bab II-III

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kolangiokarsinoma

Citation preview

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 KolangiokarsinomaDefinisiCholangiocarcinoma adalah tumor yang terjadi sepanjang duktus biliaris intrahepaatik ataupun ekstrahepatik. Tumor ini paling sering terjadi, sekitar 60-80% kasus, di percabangan duktus hepatic. Yang paling jarang terjadi adalah tumor pada distal duktus biliaris komnis dan duktus biliaris intrahepatik. Tanda utama yang paling sering terjadi pada pasien dengan Cholangiocarcinoma adalah ikterik sehingga setiap pasien dengan ikterik obstructive harus dicurigai adanya Cholangiocarcinoma. kebanyakan pasien hanya bisa dilakukan tindakan paliatif untuk mengalirkan cairan bilier dan mencegah terjadinya cholangitis dan gagal hati.

InsidenDi USA, insiden Cholangiocarcinoma yang dilaporkan adalah 1-2 kasus per 100.000 populasi. Data insiden dari American Cancer Society sulit diinterpretasikan karena kebanyakan duktus biliaris intrahepatik sudah melibatka kanker hati primer. Selain itu, kanker duktus biliaris ekstrahepatik juga melibatkan kanker kandung empedu. Data dari National Cancer Institute Surveillance, Epidemiology, and End Results (SEER) program menyatakan bahwa 15% kasus merupakan Cholangiocarcinoma intrahepatik. Dengan alasan yang tidak jelas, insiden Cholangiocarcinoma intrahepatik selama 2 dekade belakangan meningkat di negara-negara eropa dan amerika utara, asia, jepang, dan Australia.

Faktor ResikoBeberapa penyakit telah dihubungkan dengan kejadian Cholangiocarcinoma, seperti Cholangitis sclerotic primer, kista koledokus, dan hepatolitiasis. Karakteristik utama dari penyakit ini adalah batu saluran empedu, stasis bilier, dan infeksi. Kanker duktus biliaris pada pasien dengan cholangitis sclerotic primer paling sering terjadi di ekstrahepatik yaitu di percabangan duktus hepatic.Insiden terjadinya Cholangiocarcinoma meningkat seiring dengan bertambahnya usia dengan usia rata-rata 50-70 tahun. Insiden terjadinya Cholangiocarcinoma paling sering terjadi pada laki-laki. Hepatolitiasis juga merupakan faktor resiko terjadinya Cholangiocarcinoma yang akan meningkat 5-10% pada pasien dengan batu intrahepatik. Hepatitis B dan C juga diketahui sebagai faktor resiko meningkatnya kejadian Cholangiocarcinoma intrahepatik.Paling tidak 2 kelainan genetic berasosiasi dengan kejadian Cholangiocarcinoma. Sindrom family cancer yang lebih dikenal dengan Lynch syndrome II dan multiple biliary papillomatosis mungkin bertanggung jawab terhadap kejadian Cholangiocarcinoma. Multiple biliary papillomatosis ditandai dengan polip adenomatous multiple pada duktus biliaris, nyeri perut berulang, ikterik, dan akut cholangitis.

Klasifikasi dan StagingCholangiocarcinoma lebih baik diklasifikasikan secara anatomi kedalam 3 kelompok besar, yaitu intrahepatik, perihilar, dan distal. Pengklasifikasian ini ditujukan untuk mempermudah tatalaksana. Bismuth Corlette juga mengklasifikasikan tumor perihilar menjadi 4 klasifikasi seperti yang ditunjukkan dalam tabel 1.Tabel 1. Klasifikasi Bismuth-Corlette Modified Bismuth-Corlette Classification for hilar cholangiocarcinoma

Type IBelow the confluence

Type IIConfined to the confluence

Type IIIaExtension into the right hepatic duct

Type IIIbExtension into the left hepatic duct

Type IVExtension into the right and left hepatic ducts

Manifestasi KlinikLebih dari 90% pasien dengan tumor distal dan perihilar mengalami ikterik. Untuk itu, setiap pasien dengan keluhan utama ikterik harus dicurigai sebagai penderita Cholangiocarcinoma. Pasien dengan intrahepatik Cholangiocarcinoma jarang mengeluh ikterik sampai fase akhir penyakit. Gejala klinis lain yang jarang terjadi adalah gatal, demam, nyeri perut, lemah, nafsu makan berkurang, dan berat badan turun. Selain ikterik, pemeriksaan klinis lain dapat normal pada pasien dengan Cholangiocarcinoma.

Diagnosa dan Penilaian untuk ReseksiSelama manifestasi klinis masih terjadi, kebanyakan pasien dengan perihilar dan distal Cholangiocarcinoma mempunyai total serum bilirubin lebih dari 10 mg/dl. Peningkatan alkaline phosphatase biasanya ditemukan. Serum CA 19-9 juga meningkat pada pasien dengan Cholangiocarcinoma walaupun jumlahnya dapat menurun ketika obstruksi biliar tertangani.Evaluasi radiologis pada pasien dengan Cholangiocarcinoma harus dilakukan pada semua tumor yang meliputi tumor duktus biliaris, hati, pembuluh darah hilus, dan metastase jauh. Pemeriksaan radiologis yang bisa dilakukan meliputi USG abdomen dan CT scan. Namun, tumor perihilar dan distal sulit divisualisasikan dengan USG dan CT Scan standar. Cholangiocarcinoma Hilus memberikan gambaran dilatasi duktus biliaris intrahepatik dan kandung empedu yang kolaps ataupun normal.Setelah duktus biliaris yang berdilatasi didapat, anatomi biliar diperjelas dengan cholangiografi melalui percutaneus transhepatic dan endoskopi retrograde. Pemanjangan tumor di bagian proximal adalah ggambaan penting yang harus dicari untuk menentukan bisa atau tidaknya tumor direseksi pada pasien dengann tumor perihilar. MRC memberikan gambaran resolusi yang lebih jelas pada ekstrahepatik dan intrahepatik tumor. Tetapi harus disubtitusikan ke dalam PTC atau ERCP pada pasien yang memerlukan drainase biliar paliatif atau preoperative. Drainasse biliar diperlukan jika bilirubin pasien lebih dari 10 mg/dl. Tetapi hal ini berasosiasi terhadap peningkatan resiko cholangitis dan lamanya perawatan postoperative pada pasien ikterik obstruktif yang menjalani reseksi.Perkutaneus FNAB dan penilaian sitologi dari empedu telah digunakan untuk diagnose jaringan, namun sensitivitas untuk mendeteksi keganasan masih rendah. 7 sampai 15% pasien dengan gejala preoperative akan terbukti memiliki lesi jinak pada pemeriksaan histology dari specimen reseksi.

PenatalaksanaanAtropi lobus hepar dan pemanjangan duktus hepatic merupakan indikasi hepatektomi. Semua data yang tersedia harus digunakan untuk membedakan pasien yang bisa dilakukan reseksi dengan yang tidak bisa dilakukan reseksi. Criteria radiografis yang menyokong ke arah tidak bisa dilakukan reseksi tumor perihilar meliputi keterlibatan duktus hepatic bilateral, oklusi vena porta proximal sampai percabangan, atropi satu lobus hepar, dan keterlibatan arteri hepatic bilateral. Keterlibatan vena porta ipsilateral dan keterlibatan radical bilier sekunder bukan merupakan criteria yang menghalangi reseksi. Penatalaksanaan kuratif pada pasien dengan Cholangiocarcinoma hanya mungkin jikatelah dilakukan reseksi.Pasien dengan bukti bahwa tidak bisa direseksi pada awal evaluasi ditatalaksana paliatif non-operatif. Paliatif non-operatif bisa dicapai dengan dengan endoskopi dan perkuatan. Drainase biliar perkutan mempunyai beberapa keuntungan dibanding dengan memekai endoskopi pada pasien dengan Cholangiocarcinoma perihilar, sedangkan untuk pasien dengan distal Cholangiocarcinoma yang lebih dipilih adalah endoskopi paliatif. Sekarang, stent metallic telah digunakan pada pasien dengan obstruksi biliar maligna.Eksplorasi bedah seharusnya dilakukan pada pasien yang tidak terbukti mengalami metastase atau yang tidak bisa direseksi. Namun, intraoperatif, setengah dari total pasien ditemukan metastase ke peritoneum dan hepatic. Penggunaan laparoskopi selektif pada pasien dengan perihilar Cholangiocarcinoma yang bisa direseksi bisa menghindari laparotomi. Pada pasien yang ditemukan mengalami metastase jauh, pemasangan stent pada duktus biliaris harus ditinggalkan. Namun, cholecistectomi seharusnya dilakukan untuk menghindari resiko akut cholecistitis.Secara garis besar, panatalaksanaan Cholangiocarcinoma dapat dibagi menjadi 3 berdasarkan region yang terkena, yaitu:1. Distal/Ekstrahepatik Cholangiocarcinoma. lesi distal biasanya diterapi dengan pancreaticoduodenectomy. Jika reseksi tidak memungkinkan, cholecystectomi, Roux-en-Y hepaticojejunostomi dapat dilakukan,2. Intrahepatik Cholangiocarcinoma. Intrahepatik Cholangiocarcinoma diterapi dengan reseksi hepatic, dan hasilnya tergantung dari stadium penyakit. Angka harapan hidup dapat meningkat sampai 3 tahun.3. Perihilar Cholangiocarcinoma. reseksi duktus biliaris tunggal akan memberikan angka kekambuhan yang tinggi karena keterlibatan dari duktus hepatikus dan cabang lobus kaudatus. Reseksi kuratif masih dimungkinkan pada setengah dari total pasien. Terapi bedah tergantung pada klasifikasi Bismuth-Corlette.Perkembangan dalam reseksi curative untuk perihilar Cholangiocarcinoma telah dilakukan. Setidaknya, beberapa perkembangan ini telah memberikan kontribusi dalam penggunaan rutin parsial hepatektomi. Tingkat margin-negatif reseksi secara konsisten lebih dari 75% saat hepatectomy parsial (termasuk reseksi lobus kaudatus) ditambahkan ke reseksi saluran empedu. Pendekatan agresif telah menghasilkan 5-tahun tingkat ketahanan hidup di atas 50% dalam beberapa seri. Namun, perbaikan ini disertai dengan angka kematian lebih tinggi dibandingkan dengan terapi bedah (8% -10% dibandingkan 2% -4%). Faktor-faktor prognostik utama adalah marjin status dan stadium tumor. Selain lokasi, panggung, dan status dari margin reseksi, faktor-faktor lain mempengaruhi hasil setelah reseksi.Banyak laporan menunjukkan bahwa terapi radiasi meningkatkan angka kelangsungan hidup untuk pasien dengan cholangiocarcinoma, terutama ketika reseksi tidak mungkin dilakukan. Eksternal-beam radioterapi telah dilaporkan dengan menggunakan berbagai teknik yang inovatif, termasuk radioterapi intraoperatif dan brachytherapy dengan iridium-192 melalui perkutan atau stent endoskopi. Namun, beberpa penelitian melaporkan tidak ada manfaat untuk radiasi adjuvan pascaoperasi. Manfaat kelangsungan hidup untuk terapi radiasi pasca operasi mungkin terbatas pada pasien dengan ekstensi lokal ke dalam parenkim hati dan mikroskopis reseksi penyakit berikut sisa. Kemoterapi juga belum terbukti meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien yang bisa direseksi atau cholangiocarcinoma yang tidak bisa direseksi. Mengingat efek potensial radiosensitisasi 5-fluorouracil atau gemcitabine, kombinasi radiasi dan kemoterapi mungkin lebih efektif daripada baik agen sendiri. Sebagaimana dengan kanker kandung empedu, peran ajuvan kemoradiasi perlu diuji pada pasien dengan cholangiocarcinoma. Akhirnya, terapi photodynamic muncul sebagai pilihan paliatif penting bagi pasien dengan cholangiocarcinoma dioperasi, meskipun tidak banyak tersedia.

2.2 Fokal InfeksiDefinisiFokal infeksi adalah suatu infeksi lokal yang biasanya dalam jangka waktu cukup lama (kronis), dimana hanya melibatkan bagian kecil dari tubuh yang kemudian dapat menyebabkan suatu infeksi atau kumpulan gejala klinis pada bagian tubuh yang lain. Teori tentang fokal infeksi sangat erat hubungannya dengan bagian gigi, dimana akan mempengaruhi fungsi sistemik seseorang seperti sistem sirkulasi, skeletal, dan sistem saraf. Hal ini disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme atau toksin yang dapat berasal dari gigi, akar gigi, atau gusi yang terinfeksi.Sumber Infeksi dalam Rongga Mulut1) PeriodontumJaringan untuk mengikat gigi di dalam tulang alveolar pada serabut yang periodonsiumnya mengalami kerusakan, gigi akan goyang, dan kuman-kuman akan lebih mudah mencapai daerah ujung akar gigi dan masuk ke sirkulasi darah.2) Periapikal (ujung dari akar gigi)Penyebab yang berasal dari periapikal adalah yang paling sering. Pulpa gigi yang nekrosis akibat karies profunda memberi jalan bagi bakteri untuk masuk ke dalam jaringan periapikal. Infeksi akan menyebar ke daerah yang minimal resistensinya.3) Pulpa gigiBerasal dari kuman-kuman di sekitar gusi, juga sisa-sisa fragmen gigi yang tertinggal, karies, dan lubang-lubang baru setelah pencabutan, dan bekas tempat akar gigi. Mikroorganisme yang mempengaruhi dental pulp dapat tersebar ke gigi lain yang berdekatan atau daerah periapikal melalui ekstensi atau melalui pembuluh darah, trauma, iritasi, dan peradangan adalah kontributor utama penyebaran infeksi di pulpa gigi.Etiologi Fokus InfeksiInfeksi odontogenik dapat disebabkan karena trauma, infeksi post-operasi dan sekunder dari infeksi jaringan periodontal atau perikoronal. Bakteri penyebab infeksi umumnya bersifat endogen dan bervariasi berupa bakteri aerob, anaerob maupun infeksi campuran bakteri aerob dan anaerob. Disebutkan mikroba penyebab tersering yaitu Streptococcus mutans dan Lactobacillus sp yang memiliki aktivitas produksi asam yang tinggi.Disebutkan bahwa etiologi dari infeksi odontogenik berasal dari bakteri komensal yang berproliferasi dan menghasilkan enzim. Pada saat bayi baru dilahirkan, proses kolonisasi bakteri dimulai dan dikatakan predominan terdiri atas Streptococcus salivarius. Pada saat gigi pertama tumuh, yaitu pada saat bayi berusia 6 bulan, komunitas bakteri berubah menjadi predominan S.sanguis dan S.mutans dan pada saat gigi selesai tumbuh terdapat komunitas heterogen antara bakteri aerobik dan anaerobik. Diperkirakan terdapat 700 spesies bakteri yang berkolonisasi di mulut dimana 400 dari spesies tersebut dapat ditemukan pada area subgingival.Infeksi odontogenik merupakan suatu infeksi polimikrobial dan campuran. Infeksi tersebut merupakan hasil dari perubahan bakteri, hubungan antar bakteri dengan morfotipe yang berbeda dan peningkatan jenis bakteri. Perubahan bakteri yang terjadi berupa perubahan yang pada awalnya predominan gram positif, fakultatif dan sakarolitik menjadi predominan gram negatif, anaerobik dan proteolitik.

Patogenesis Fokus InfeksiPenetrasi dari bakteri komensal yang mengalami perubahan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif bila diikuti sistem imun dan pertahanan seluler yang terganggu, akan menyebabkan infeksi. Selain itu terganggunya keseimbangan mikroflora akibat penggunaan antibiotik tertentu juga dapat menyebabkan adanya dominasi bakteri lainnya yang potensial. Kondisi-kondisi maupun penyakit yang menyebabkan keadaan imunokompromais seperti penyakit metabolik tak terkontrol (uremia, alkoholisme, malnutrisi, diabetes), penyakit suppresif(leukimia, limfoma, tumor ganas), dan penggunaan obat-obat immunosupresif misalnya pada pasien yang menjalani kemoterapi kanker juga dapat memfasilitasi dengan mudah terjadinya infeksi odontogenik.Mekanisme tersering terjadinya infeksi odontogenik berawal dari karies dentis. Proses demineralisasi enamel gigi akan merusak enamel yang selanjutnya melanjutkan invasi bakteri ke pori/ trabekula dentin yang kemudian menyebabkan pulpitis hingga nekrosis pulpa. Dari Pulpa maka infeksi dapat menyebar ke akar gigi dan selanjutnya menyebar ke os maksila atau mandibula, menyebabkan osteomyelitis. Kerusakan ini dapat menyebabkan perforasi sehingga melibatkan pula mukosa mulut maupun kulit wajah.Sebagian besar bakteri yang berlokasi pada supragingival adalah gram positif, fakultatif dan sakarolitik yang berarti bahwa pada keadaan dimana terdapat karbohidrat terutama sukrosa, maka akan diproduksi asam. Asam ini akan membuat enamel mengalami demineralisasi yang memfasilitasi infiltrasi dari bakteri pada dentin dan pulpa. Dengan adanya invasi dari bakteri pada jaringan internal gigi, bakteri berkembang, terutama bakteri gram negatif, anaerobik dan proteolitik akan menginfeksi rongga pulpa. Beberapa bakteri ini memiliki faktor virulensi yang dapat menyebabkan invasi bakteri pada jaringan periapikal melalui foramen apikal. Lebih dari sebagian lesi periapikal yang aktif tidak dapat dideteksi dengan sinar-X karena berukuran kurang dari 0.1 mm2. Jika respon imun host menyebabkan akumulasi dari netrofil maka akan menyebabkan abses periapikal yang merupakan lesi destruktif pada jaringan. Namun jikan respon imun host lebih didominasi mediasi oleh makrofag dan sel limfosit T, maka akan berkembang menjadi granuloma apikal, ditandai dengan reorganisasi jaringan melebihi destruksi jaringan. Perubahan pada status imun host ataupun virulensi bakteri dapat menyebabkan reaktivasi dari silent periapical lessions.Infeksi odontogenik juga dapat berasal dari jaringan periodontal. Ketika bakteri subgingival berkembang dan membentuk kompleks dengan bakteri periodontal patogen yang mengekspresikan faktor virulensi, maka akan memicu respon imun host yang secara kronis dapat menyebabkan periodontal bone loss. Abses periodontal dapat berasal dari eksaserbasi periodontitis kronik, defek kongenital yang dapat memfasilitasi invasi bakteri(fusion dari akar, development grooves, dll), maupun iatrogenik karena impaksi dari kalkulus pada epitel periodontal pocket selama scaling. Beberapa abses akan membentuk fistula dan menjadi kronik yang pada umumnya bersifat asimptomatik ataupun paucisimptomatik. Bentuk khusus dari abses periodontal rekuren adalah perikoronitis yang disebabkan oleh invasi bakteri pada coronal pouch selama erupsi molar.Penyebaran dari Fokal InfeksiPenyebaran infeksi dari fokus primer ke tempat lain dapat berlangsung melalui beberapa cara, yaitu transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen), transmisi melalui aliran limfatik (limfogen), perluasan infeksi dalam jaringan, dan penyebaran dari traktus gastrointestinal dan pernapasan akibat tertelannya atau teraspirasinya materi infektif.a) Transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen)Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan stroma jaringan lunak di sekitarnya merupakan area yang kaya dengan suplai darah. Hal ini meningkatkan kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke dalam sirkulasi darah. Di lain pihak, infeksi dan inflamasi juga akan semakin meningkatkan aliran darah yang selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya organisme dan toksin masuk ke dalam pembuluh darah. Vena-vena yang berasal dari rongga mulut dan sekitarnya mengalir ke pleksus vena pterigoid yang menghubungkan sinus kavernosus dengan pleksus vena faringeal dan vena maksilaris interna melalui vena emisaria. Karena perubahan tekanan dan edema menyebabkan penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini tidak berkatup, maka aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah, memungkinkan penyebaran infeksi langsung dari fokus di dalam mulut ke kepala atau faring sebelum tubuh mampu membentuk respon perlawanan terhadap infeksi tersebut. Material septik (infektif) yang mengalir melalui vena jugularis internal dan eksternal dan kemudian ke jantung dapat membuat sedikit kerusakan. Namun, saat berada di dalam darah, organisme yang mampu bertahan dapat menyerang organ manapun yang kurang resisten akibat faktor-faktor predisposisi tertentu.b) Transmisi melalui aliran limfatik (limfogen)Seperti halnya suplai darah, gingiva dan jaringan lunak pada mulut kaya dengan aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat dengan mudah menjalar ke kelenjar limfe regional. Pada rahang bawah, terdapat anastomosis pembuluh darah dari kedua sisi melalui pembuluh limfe bibir. Akan tetapi anastomosis tersebut tidak ditemukan pada rahang bawah.Banyaknya hubungan antara berbagai kelenjar getah bening memfasilitasi penyebaran infeksi sepanjang rute ini dan infeksi dapat mengenai kepala atau leher atau melalui duktus torasikus dan vena subklavia ke bagian tubuh lainnya. Kelenjar getah bening regional yang terkena adalah sebagai berikut:Sumber infeksiKGB regional

Gingiva bawahSubmaksila

Jaringan subkutan bibir bawahSubmaksila, submental, servikal profunda

Jaringan submukosa bibir atas dan bawahSubmaksila

Gingiva dan palatum atasServikal profunda

Pipi bagian anteriorParotis

Pipi bagian posteriorSubmaksila, fasial

Inflamasi gingiva yang menyebar sepanjang sisi krista alveolar dan sepanjang jalur pembuluh darah ke sumsum tulang. Ia juga menyatakan bahwa inflamasi jarang mengenai membran periodontal. Kapiler berjalan beriringan dengan pembuluh limfe sehingga memungkinkan absorbsi dan penetrasi toksin ke pembuluh limfe dari pembuluh darah.c) Perluasan langsung infeksi dalam jaringan Supurasi yang berasal dari gigi ketiga lebih sering terjadi daripada gigi-gigi lain dan cairan yang disekresikan dari hidung dan nyeri juga berkaitan dengan hal tersebut, dengan kata lain infeksi antrum. Supurasi peritonsilar, faringeal, adenitis servikal akut, selulitis, dan angina Ludwig dapat disebabkan oleh penyakit periodontal da infeksi prikoronal sekitar molar ketiga. Parotitis, keterlibatan sinus kavernosus, noma, dan gangren juga dapat disebabkan oleh infeksi gigi. Osteitis dan osteomyelitis seringkali merupakan perluasan infeksi dari abses alveolar dan pocket periodontal. Keterlibatan bifurkasio apikal pada molar rahang bawah melalui infeksi periodontal merupakan faktor yang penting yang menyebabkan osteomyelitis dan harus menjadi bahan pertimbangan ketika mengekstraksi gigi yang terinfeksi.Perluasan langsung infeksi dapat terjadi melalui penjalaran material septik atau organisme ke dalam tulang atau sepanjag bidang fasial dan jaringan penyambung di daerah yang paling rentan. Tipe terakhir tersebut merupakan selulitis sejati, di mana pus terakumulasi di jaringan dan merusak jaringan ikat longgar, membentuk ruang (spaces), menghasilkan tekanan, dan meluas terus hingga terhenti oleh barier anatomik. Ruang tersebut bukanlah ruang anatomik, tetapi merupakan ruang potensial yang normalnya teriis oleh jaringan ikat longgar. Ketika terjadi infeksi, jaringan areolar hancur, membentuk ruang sejati, dan menyebabkan infeksi berpenetrasi sepanjang bidang tersebut, karena fasia yang meliputi ruang tersebut relatif padat.Perluasan langsung infeksi terjadi melalui tiga cara, yaitu: Perluasan di dalam tulang tanpa pointingArea yang terkena terbatas hanya di dalam tulang, menyebabkan osteomyelitis. Kondisi ini terjadi pada rahang atas atau yang lebih sering pada rahang bawah. DI rahang atas, letak yang saling berdekatan antara sinus maksila dan dasar hidung menyebabkan mudahnya ketelibatan mereka dalam penyebaran infeksi melalui tulang. Perluasan di dalam tulang dengan pointingIni merupakan tipe infeksi yang serupa dengan tipe di atas, tetapi perluasan tidak terlokalisis melainkan melewati tulang menuju jaringan lunak dan kemudian membentuk abses. Di rahang atas proses ini membentuk abses bukal, palatal, atau infraorbital. Selanjutnya, abses infraorbital dapat mengenai mata dan menyebabkan edema di mata. Di rahag bawah, pointing dari infeksi menyebabkan abses bukal. Apabila pointing terarah menuju lingual, dasar mulut dapat ikut terlibat atau pusa terdorong ke posterior sehingga membentuk abses retromolar atau peritonsilar. Perluasan sepanjang bidang fasialFasia memegang peranan penting karena fungsinya yang membungkus berbagai otot, kelenjar, pembuluh darah, dan saraf, serta karena adanya ruang interfasial yang terisi oleh jaringan ikat longgar, sehingga infeksi dapat menurun. Di bawah ini adalah beberapa fasia dan area yang penting, sesuai dengan klasifikasi dari Burman: Lapisan superfisial dari fasia servikal profunda Regio submandibula Ruang (space) sublingual Ruang submaksila Ruang parafaringealPenting untuk diingat bahwa kepala, leher, dan mediastinum dihubungkan oleh fasia, sehingga infeksi dari kepala dapat menyebar hingga ke dada. Infeksi menyebar sepanjang bidang fasia karena mereka resisten dan meliputi pus di area ini. Pada regio infraorbita, edema dapat sampai mendekati mata. Tipe penyebaran ini paling sering melibatkan rahang bawah karena lokasinya yang berdekatan dengan fasia.d) Penyebaran ke traktus gastrointestinal dan pernapasan Bakteri yang tertelan dan produk-produk septik yang tertelan dapat menimbulkan tonsilitis, faringitis, dan berbagai kelainan pada lambung. Aspirasi produk septik dapat menimbulkan laringitis, trakeitis, bronkitis, atau pneumonia. Absorbsi limfogenik dari fokus infeksi dapat menyebabkan adenitis akut dan selulitis dengan abses dan septikemia. Penyebaran hematogen terbukti sering menimbulkan infeksi lokal di tempat yang jauh.Infeksi oral dapat menimbulkan sensitisasi membran mukosa saluiran napas atas dan menyebabkan berbagai gangguan, misalnya asma. Infeksi oral juga dapat memperburuk kelainan sistemik yang sudah ada, misalnya tuberkulosis dan diabetes mellitus. Infeksi gigi dapat terjadi pada seseorang tanpa kerusakan yang jelas walaupun pasien memiliki sistem imun yang normal. Suatu tipe pneumonia dapat disebabkan oleh aspirasi material infeksi, terutama pada kelainan periodontal yang lanjut. Juga telah ditunjukkan bahwa tuberkel basil dapat memasuki tubuh melalui oral, yaitu pocket periodontal dan flap gingiva yang terinfeksi yang meliputi molar ketiga. Infeksi oral, selain dapat memperburuk TB paru yang sudah ada, juga dapat menambah systemic load, yang menghambat respon tubuh dalam melawan efek kaheksia dari penyakit TB tersebut. Mendel telah menunjukkan perjalanan tuberkel basilus dari gigi melalui limfe, KGB submaksila dan servikal tanpa didahului ulserasi primer. Tertelannya material septik dapat menyebabkan gangguan lambung dan usus, seperti konstipasi dan ulserasi.

2.3 Gangren RadiksGangren radiks adalah tertinggalnya sebagian akar gigi. Jaringan akar gigi yang tertinggal merupakan jaringan mati yang merupakan tempat subur bagi perkembangbiakan bakteri. Gangren radiks dapat disebabkan oleh karies, trauma, atau ekstraksi yang tidak sempurna.Karies dapat terjadi akibat pertumbuhan bakteri didalam mulut yang mengubah karbohidrat yang menempel pada gigi menjadi suatu zat bersifat asam yang mengakibatkan demineralisasi email. Umumnya, proses remineralisasi dapat dilakukan oleh air liur, namun jika terjadi ketidakseimbangan antara demineralisasi dan remineralisasi, maka akan terbentuk karies (lubang) pada gigi. Karies kemudian dapat meluas dan menembus lapisan dentin. Pada tahap ini, jika tidak ada perawatan,dapat mengenai daerah pulpa gigi yang banyak berisi pembuluh darah, limfe dan syaraf. Pada akhirnya,akan terjadi nekrosis pulpa, meninggalkan jaringan mati dan gigi akan keropos perlahan hingga tertinggal sisa akar gigi.Mahkota gigi dapat patah akibat trauma pada gigi, seperti terbentur benda keras saat terjatuh, berkelahi, atau sebab lainnya. Seringkali mahkota gigi yang patah menyisakan akar gigi yang masih tertanam dalam gusi, dengan pulpa gigi yang telah mati.Pencabutan tidak sempurna juga sering menyebabkan gangren radiks. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain struktur gigi yang rapuh, akar gigi yang bengkok, akar gigi yang menyebar, kalsifikasi gigi, aplikasi forceps yang kurang tepat dan tekanan yang berlebihan pada waktu tindakan pencabutan.Gigi atau sisa akar seperti ini sebaiknya segera dicabut (ekstraksi), namun antibiotik umumnya diberikan beberapa hari sebelumnya untuk menekan infeksi yang telah terjadi. Pencabutan tidak dapat dilakukan dalam keadaan gigi yang sedang sakit, karena pembiusan lokal (anestesi lokal) seringkali tidak maksimal. Sisa akar gigi yang tertinggal ukurannya bervariasi mulai dari kurang dari 1/3 akar gigi sampai sebatas permukaan gusi.Sisa akar gigi atau gangren radiks yang hanya dibiarkan saja dapat muncul keluar gusi setelah beberapa waktu, hilang sendiri karena teresorbsi oleh tubuh, atau dapat berkembang menjadi abses, kista dan neoplasma. Setiap sisa akar gigi juga berpotensi untuk mencetuskan infeksi pada akar gigi dan jaringan penyangga gigi. Infeksi ini menimbulkan rasa sakit dari ringan sampai hebat, terjadi pernanahan, pembengkakan pada gusi atau wajah hingga sukar membuka mulut (trismus). Pasien terkadang menjadi lemas karena susah makan. Pembengkakan yang terjadi di bawah rahang dapat menginfeksi kulit, menyebabkan selulitis atau flegmon, dengan kulit memerah, teraba keras bagaikan kayu, lidah terangkat keatas dan rasa sakit yang menghebat. Perluasan infeksi ini sangat berbahaya,bahkan penanganan yang terlambat dapat merenggut jiwa, seperti pada angina Ludwig.Infeksi pada akar gigi maupun jaringan penyangga gigi dapat mengakibatkan migrasinya bakteri ke organ yang lain melalui pembuluh darah. Teori ini dikenal dengan fokal infeksi. Keluhan seperti nyeri, bengkak dan pembentukan pus (nanah) adalah reaksi tubuh terhadap infeksi gigi. Bakteri yang berasal dari infeksi gigi dapat meluas ke jaringan sekitar rongga mulut, kulit, mata, saraf, atau organ berjauhan seperti otot jantung, ginjal, lambung, persendian, dan lain sebagainya.Gigi yang tinggal sisa akar tidak dapat digunakan untuk proses pengunyahan yang sempurna. Gangguan pengunyahan menjadi alasan masyararakat untuk membuat gigi tiruan. Masalahnya, sampai sekarang banyak yang masih membuat gigi tiruan diatas sisa akar gigi, keadaan ini bisa memicu infeksi lebih berat.Penatalaksanaan sisa akar gigi ini tergantung dari pemeriksaan klinis akar gigi dan jaringan penyangganya. Akar gigi yang masih utuh dengan jaringan penyangga yang masih baik, masih bisa dirawat dengan cara jaringan pulpanya dihilangkan,diganti dengan pulpa tiruan, kemudian dibuatkan mahkota gigi. Akar gigi yang sudah goyah dan jaringan penyangga gigi yang tidak mungkin dirawat perlu dicabut. Sisa akar gigi dengan ukuran kecil (kurang dari 1/3 akar gigi) yang terjadi akibat pencabutan gigi tidak sempurna dapat dibiarkan saja. Untuk sisa akar gigi ukuran lebih dari 1/3 akar gigi akibat pencabutan gigi sebaiknya tetap diambil. Untuk memastikan ukuran sisa akar gigi, perlu dilakukan pemeriksaan radiologi gigi.Pencabutan sisa akar gigi umumnya mudah. Gigi sudah mengalami kerusakan yang parah sehingga jaringan penyangga giginya sudah tidak kuat lagi.Untuk kasus yang sulit dibutuhkan tindakan bedah ringan.

2.4 Gangren PulpaGangren pulpa adalah keadaan gigi dimana jarigan pulpa sudah mati sebagai sistem pertahanan pulpa sudah tidak dapat menahan rangsangan sehingga jumlah sel pulpa yang rusak menjadi semakin banyak dan menempati sebagian besar ruang pulpa. Sel-sel pulpa yang rusak tersebut akan mati dan menjadi antigen sel-sel sebagian besar pulpa yang masih hidup. Proses terjadinya gangren pulpa diawali oleh proses karies. Karies dentis adalah suatu penghancuran struktur gigi (email, dentin dan cementum) oleh aktivitas sel jasad renik (mikro-organisme) dalam dental plak. Jadi proses karies hanya dapat terbentuk apabila terdapat 4 faktor yang saling tumpang tindih. Adapun faktor-faktor tersebut adalah bakteri, karbohidrat makanan, kerentanan permukaan gigi serta waktu. Perjalanan gangren pulpa dimulai dengan adanya karies yang mengenai email (karies superfisialis), dimana terdapat lubang dangkal, tidak lebih dari 1mm. Selanjutnya proses berlanjut menjadi karies pada dentin (karies media) yang disertai dengan rasa nyeri yang spontan pada saat pulpa terangsang oleh suhu dingin atau makanan yang manis dan segera hilang jika rangsangan dihilangkan. Karies dentin kemudian berlanjut menjadi karies pada pulpa yang didiagnosa sebagai pulpitis. Pada pulpitis terdapat lubang lebih dari 1mm. pada pulpitis terjadi peradangan kamar pulpa yang berisi saraf, pembuluh darah, dan pempuluh limfe, sehingga timbul rasa nyeri yang hebat, jika proses karies berlanjut dan mencapai bagian yang lebih dalam (karies profunda). Maka akan menyebabkan terjadinya gangrene pulpa yang ditandai dengan perubahan warna gigi terlihat berwarna kecoklatan atau keabu-abuan, dan pada lubang perforasi tersebut tercium bau busuk akibat dari proses pembusukan dari toksin kuman.Etiologi dari gangren pulpa pada dasarnya dimulai oleh terjadinya karies, sedangkan karies gigi disebabkan oleh 4 faktor/komponen yang saling berinteraksi yaitu:a) Komponen dari gigi dan air ludah (saliva) yang meliputi : Komposisi gigi, morphologi gigi, posisi gigi, Ph Saliva, Kuantitas saliva, kekentalan saliva.b) Komponen mikroorganisme yang ada dalam mulut yang mampu menghasilkan asam melalui peragian yaitu ; Streptococcus, Laktobasillus, staphilococus.c) Komponen makanan, yang sangat berperan adalah makanan yang mengandung karbohidrat misalnya sukrosa dan glukosa yang dapat diragikan oleh bakteri tertentu dan membentuk asamd) Komponen waktu

Gejala yang didapat dari pulpa yang gangrene bisa terjadi tanpa keluhan sakit, dalam keadaan demikian terjadi perubahan warna gigi, dimana gigi terlihat berwarna kecoklatan atau keabu-abuan Pada gangrene pulpa dapat disebut juga gigi non vital dimana pada gigi tersebut sudah tidak memberikan reaksi pada cavity test (tes dengan panas atau dingin) dan pada lubang perforasi tercium bau busuk, gigi tersebut baru akan memberikan rasa sakit apabila penderita minum atau makan benda yang panas yang menyebabkan pemuaian gas dalam rongga pulpa tersebut yang menekan ujung saraf akar gigi sebelahnya yang masih vital.Tindakan yang dilakukan pada gangrene pulpa yaitu ekstraksi pada gigi yang sakit, karena pada kondisi ini gigi akan menjadi non-vital (gigi mati) sehingga akan menjadi sumber infeksi (fokal infeksi).

2.5 Abrasi Servikal GigiAbrasi pada gigi adalah hilangnya struktur gigi secara patologis akibat dari keausan mekanis yang abnormal. Berbagai hal dapat menyebabkan abrasi, tetapi yang paling sering adalah akibat aktivitas sikat gigi yang tidak tepat sehingga membuat lekuk berbentuk V di bagian servikal dari permukaan fasial suatu gigi.Daerah abrasi biasanya mengkilat dan kuning karena dentin yang terbuka dan seringkali bagian yang terdalam dari alur peka terhadap ujung sonde. Abrasi pada akhirnya dapat menimbulkan terbukanya pulpa atau patahnya gigi.Abrasi dari permukaan insisal dan oklusal seringkali akibat dari terpajan bahan-bahan abrasif dalam diet dan keausan oklusal dari restorasi-restorasi porselen yang terletak di oklusal. Proses abrasi terjadi secara lambat dan kronis, memerlukan waktu bertahun-tahun sebelum menimbulkan gejala. Restorasi dari kontur gigi yang normal mungkin tidak berhasil jika pasien tidak diberi tahu faktor-faktor penyebabnya.

BAB IIIANALISIS KASUS

Pasien Ny. Malah binti Rahab, 61 tahun, dirawat di bagian Penyakit Dalam RSMH Palembang dengan kolangiokarsinoma dikonsulkan ke bagian poliklinik gigi RSMH dengan indikasi untuk dilakukan pemeriksaan adanya fokal infeksi pada gigi untuk persiapan kemoterapi. Pasien sebelumnya tidak pernah melakukan pemeriksaan ke dokter gigi. Pasien juga mengeluhkan sedikit kesulitan dalam mengunyah makanan akibat banyaknya gigi yang tanggal.Saat dikonsulkan ke Poli Gigi dan Mulut keadaan umum penderita tampak kompos mentis, nadi 76 x/menit, pernapasan 20 x/menit, suhu 36,5C, dan tekanan darah 110/60 mmHg.Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ditemukan adanya kelainan pada kepala, wajah, bibir, maupun kelenjar getah bening, namun ditemukan adanya clicking pada temporomandibular joint sebelah kiri. Pada pemeriksaan intra oral ditemukan ikterik pada lidah dan dasar mulut. Pada status lokalis ditemukan adanya gangren radiks: 1.6, 1.6, 2.1, 3.1, 4.3, gangren pulpa: 3.2, abrasi servikal: 1.4, 1.5, 2.3, 3.4, dan missing teeth: 1.1, 1.2, 1.7, 2.4, 2.5, 2.6, 2.7, 3.3, 3.5, 3.6, 3.7, 4.4, 4.5, 4.6, 4.7, 4.8.Rencana terapi yang diberikan pada pasien ini adalah pro ekstraksi pada gangren radiks dan gangren pulpa, pro konservasi pada abrasi servikal. Edukasi juga diberikan kepada pasien dalam pemilihan makanan seperti menghindari makan makanan yang keras dan cara menyikat gigi yang baik dan benar.Pada pasien ini sisa akar/gangren radiks dan gangren pulpa diduga penyebabnya adalah karies karena berhubungan dengan riwayat pasien yang tidak pernah berobat ke dokter gigi sehingga karies yang dialaminya terus berlanjut hingga menjadi sisa akar dan nekrosis pulpa. Kedua hal ini dapat menyebabkan fokal infeksi sehingga sebelum pasien menjalani kemoterapi gigi yang mengalami gangren radiks dan gangren pulpa harus di ekstraksi untuk menghindari terjadinya infeksi sistemik ke organ lain. Abrasi pada servikal gigi disebabkan oleh kesalahan dalam menyikat gigi sehingga pada bagian leher gigi semakin lama akan tergerus dan harus di tatalaksana dengan konservasi.

BAB IVKESIMPULANFokal infeksi adalah suatu infeksi lokal yang biasanya dalam jangka waktu cukup lama (kronis), dimana hanya melibatkan bagian kecil dari tubuh yang kemudian dapat menyebabkan suatu infeksi atau kumpulan gejala klinis pada bagian tubuh yang lain. Pada kasus ini fokal infeksi disebabkan karena gangren radiks dan gangren pulpa yang berawal dari karies yang berlangsung lama dan tidak dilakukan perawatan. Selain itu juga terdapat abrasi servikal yang disebabkan karena penyikatan gigi yang salah. Untuk tatalaksana gangren radiks dan gangren pulpa dilakukan ekstraksi untuk mencegah fokal infeksi sebelum dilakukan perawatan kemoterapi pada pasien ini. Sementara abrasi servikal dilakukan konservasi dan diedukasi tentang cara menyikat gigi yang benar dan menjaga kebersihan gigi dan mulutnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lix, Kolltveit, Tronstad L, Olsen I. Systemic diseases caused by oral infection. Clinical Microbiology Reviews 2000 Oct; 547-58. 2. Peterson LJ. Odontogenic infections. Diunduh dari : http://famona.erbak.com/OTOHNS/Cummings?cumm069.pdf, 29 Juni 2009).3. Sonis ST, Fazio RC, Fang L. Principles and practice of oral medicine. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1995. p.399-415. 4. Kidd A.E.M. 2005. Essentials of Dental Caries Third edition. Oxford University Press Inc: United States.5. Murrsy JJ. The Prevention Of Dental Disease. 2nded. New York, Oxford University Press; 1989: 441-76. Rock WP, Andlaw RJ, A Manual Of Paedodontics.2nded. United State of america, Churchill Livingstone Inc; 1999: 123,1317. Salzmann JA. Orthodontics: Practice and Technics. Philadelphia, WB Saunders Co; 2000: 30-38. Glurich, L, Grossi, S., Albini, B, Ho, A, 2002, Systemic Inflammation in Cardiovascular and Periodontal Disease: Study J. Am. Microbiology.22