Upload
dr013
View
44
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
neonatus
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah)
Definisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari
2500 gram tanpa memandang usia gestasi. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang
bulan (< 37 minggu) atau pada bayi cukup bulan (intrauterine growth restriction)
(Pudjiadi, dkk., 2010).
Klasifikasi
Ada beberapa cara dalam mengelompokkan BBLR (Proverawati dan
Ismawati, 2010) :
a. Menurut harapan hidupnya
1) Bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500-2500 gram
2) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat lahir 1000-1500
gram.
3) Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) dengan berat lahir kurang dari
1000 gram.
b. Menurut masa gestasinya
1) Prematuritas murni yaitu masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat
badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi atau biasa disebut
neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan (NKB-SMK).
2) Dismaturitas yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan
seharusnya untuk masa gestasi itu. Bayi mengalami retardasi pertumbuhan
intrauterin dan merupakan bayi kecil untuk masa kehamilannya (KMK).
Berat badan kurang dari seharusnya yaitu dibawah persentil ke-10 (kurva
pertumbuhan intra uterin Usher Lubchenco) atau dibawah 2 Standar
Deviasi (SD) (kurva pertumbuhan intra uterin Usher dan Mc. Lean).
1
Faktor Penyebab
Beberapa penyebab dari bayi dengan berat badan lahir rendah
(Proverawati dan Ismawati, 20), sebagai berikut:
Faktor ibu
1) Penyakit
a) Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia, perdarahan antepartum,
preekelamsi berat, eklamsia, infeksi kandung kemih.
b) Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular seksual, hipertensi,
HIV/AIDS, TORCH, penyakit jantung.
c) Penyalahgunaan obat, merokok, konsumsi alkohol.
2) Ibu
a) Angka kejadian prematitas tertinggi adalah kehamilan pada usia < 20
tahun atau lebih dari 35 tahun.
b) Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1 tahun).
c) Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya.
3) Keadaan sosial ekonomi
a) Kejadian tertinggi pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini
dikarenakan keadaan gizi dan pengawasan antenatal yang kurang.
b) Aktivitas fisik yang berlebihan
c) Perkawinan yang tidak sah
Faktor janin
Faktor janin meliputi : kelainan kromosom, infeksi janin kronik (inklusi
sitomegali, rubella bawaan), gawat janin, dan kehamilan kembar.
Faktor plasenta
Faktor plasenta disebabkan oleh : hidramnion, plasenta previa, solutio
plasenta, sindrom tranfusi bayi kembar (sindrom parabiotik), ketuban pecah dini.
2
Faktor lingkungan
Lingkungan yang berpengaruh antara lain : tempat tinggal di dataran
tinggi, terkena radiasi, serta terpapar zat beracun.
Permasalahan pada BBLR
BBLR memerlukan perawatan khusus karena mempunyai permasalahan
yang banyak sekali pada sistem tubuhnya disebabkan kondisi tubuh yang belum
stabil (Surasmi, dkk., 2002).
a. Ketidakstabilan suhu tubuh
Dalam kandungan ibu, bayi berada pada suhu lingkungan 36°C- 37°C dan
segera setelah lahir bayi dihadapkan pada suhu lingkungan yang umumnya
lebih rendah. Perbedaan suhu ini memberi pengaruh pada kehilangan panas
tubuh bayi.
Hipotermia juga terjadi karena kemampuan untuk mempertahankan panas
dan kesanggupan menambah produksi panas sangat terbatas karena
pertumbuhan otot-otot yang belum cukup memadai, ketidakmampuan untuk
menggigil, sedikitnya lemak subkutan, produksi panas berkurang akibat lemak
coklat yang tidak memadai, belum matangnya sistem saraf pengatur suhu
tubuh, rasio luas permukaan tubuh relatif lebih besar dibanding berat badan
sehingga mudah kehilangan panas.
b. Gangguan pernafasan
Akibat dari defisiensi surfaktan paru, toraks yang lunak dan otot respirasi
yang lemah sehingga mudah terjadi periodik apneu. Disamping itu lemahnya
reflek batuk, hisap, dan menelan dapat mengakibatkan resiko terjadinya
aspirasi.
3
c. Imaturitas imunologis
Pada bayi kurang bulan tidak mengalami transfer IgG maternal melalui
plasenta selama trimester ketiga kehamilan karena pemindahan substansi
kekebalan dari ibu ke janin terjadi pada minggu terakhir masa kehamilan.
Akibatnya, fagositosis dan pembentukan antibodi menjadi terganggu. Selain itu
kulit dan selaput lendir membran tidak memiliki perlindungan seperti bayi
cukup bulan sehingga bayi mudah menderita infeksi.
d. Masalah gastrointestinal dan nutrisi
Lemahnya reflek menghisap dan menelan, motilitas usus yang menurun,
lambatnya pengosongan lambung, absorbsi vitamin yang larut dalam lemak
berkurang, defisiensi enzim laktase pada jonjot usus, menurunnya cadangan
kalsium, fosfor, protein, dan zat besi dalam tubuh, meningkatnya resiko NEC
(Necrotizing Enterocolitis). Hal ini menyebabkan nutrisi yang tidak adekuat
dan penurunan berat badan bayi.
e. Imaturitas hati
Adanya gangguan konjugasi dan ekskresi bilirubin menyebabkan
timbulnya hiperbilirubin, defisiensi vitamin K sehingga mudah terjadi
perdarahan. Kurangnya enzim glukoronil transferase sehingga konjugasi
bilirubin direk belum sempurna dan kadar albumin darah yang berperan dalam
transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar berkurang.
f. Hipoglikemi
Kecepatan glukosa yang diambil janin tergantung dari kadar gula darah
ibu karena terputusnya hubungan plasenta dan janin menyebabkan terhentinya
pemberian glukosa. Bayi berat lahir rendah dapat mempertahankan kadar gula
darah selama 72 jam pertama dalam kadar 40 mg/dl. Hal ini disebabkan
cadangan glikogen yang belum mencukupi.
4
Keadaan hipotermi juga dapat menyebabkan hipoglikemi karena stress
dingin akan direspon bayi dengan melepaskan noreepinefrin yang
menyebabkan vasokonstriksi paru. Efektifitas ventilasi paru menurun sehingga
kadar oksigen darah berkurang. Hal ini menghambat metabolisme glukosa dan
menimbulkan glikolisis anaerob yang berakibat pada penghilangan glikogen
lebih banyak sehingga terjadi hipoglikemi. Nutrisi yang tak adekuat dapat
menyebabkan pemasukan kalori yang rendah juga dapat memicu timbulnya
hipoglikemi.
Penatalaksanaan BBLR
Konsekuensi dari anatomi dan fisiologi yang belum matang menyebabkan
bayi BBLR cenderung mengalami masalah yang bervariasi. Hal ini harus
diantisipasi dan dikelola pada masa neonatal. Penatalaksanaan yang dilakukan
bertujuan untuk mengurangi stress fisik maupun psikologis. Adapun
penatalaksanaan BBLR meliputi (Wong, 2008; Pillitteri, 2003) :
a. Dukungan respirasi
Tujuan primer dalam asuhan bayi resiko tinggi adalah mencapai dan
mempertahankan respirasi. Banyak bayi memerlukan oksigen suplemen dan
bantuan ventilasi. Bayi dengan atau tanpa penanganan suportif ini diposisikan
untuk memaksimalkan oksigenasi karena pada BBLR beresiko mengalami
defisiensi surfaktan dan periadik apneu.
Dalam kondisi seperti ini diperlukan pembersihan jalan nafas, merangsang
pernafasan, diposisikan miring untuk mencegah aspirasi, posisikan
tertelungkup jika mungkin karena posisi ini menghasilkan oksigenasi yang
lebih baik, terapi oksigen diberikan berdasarkan kebutuhan dan penyakit bayi.
Pemberian oksigen 100% dapat memberikan efek edema paru dan retinopathy
of prematurity.
5
b. Termoregulasi
Kebutuhan yang paling krusial pada BBLR setelah tercapainya respirasi
adalah pemberian kehangatan eksternal. Pencegahan kehilangan panas pada
bayi distress sangat dibutuhkan karena produksi panas merupakan proses
kompleks yang melibatkan sistem kardiovaskular, neurologis, dan metabolik.
Bayi harus dirawat dalam suhu lingkungan yang netral yaitu suhu yang
diperlukan untuk konsumsi oksigen dan pengeluaran kalori minimal. Menurut
Thomas (1994) suhu aksilar optimal bagi bayi dalam kisaran 36,5°C – 37,5°C,
sedangkan menurut Sauer dan Visser (1984) suhu netral bagi bayi adalah
36,7°C – 37,3°C.
Menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi dapat dilakukan melalui
beberapa cara, yaitu (Kosim Sholeh, 2005) :
1) Kangaroo Mother Care atau kontak kulit dengan kulit antara bayi dengan
ibunya. Jika ibu tidak ada dapat dilakukan oleh orang lain sebagai
penggantinya.
2) Pemancar pemanas
3) Ruangan yang hangat
4) Inkubator
Suhu inkubator yang direkomendasikan menurut umur dan berat
Berat Bayi Suhu inkubator , menurut umur
35oC 34oC 33oC 32oC
<1500gr 1-10 hari 11 hari-3
minggu
3-5 minggu >5 minggu
1500-2000 gr 1-10 hari 11 hari-4 minggu >4 minggu
2100-2500 gr 1-2 hari 3 hari-3 minggu >3 minggu
>2500 gr 1-2 hari >2 hari
Bila jenis inkubatornya berdinding tunggal, naikkan suhu inkubator 1°C setiap
perbedaan suhu 7°C antara suhu ruang dan inkubator.
6
c. Perlindungan terhadap infeksi
Perlindungan terhadap infeksi merupakan bagian integral asuhan semua
bayi baru lahir terutama pada bayi preterm dan sakit. Pada bayi BBLR imunitas
seluler dan humoral masih kurang sehingga sangat rentan denan penyakit.
Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah infeksi antara lain :
1) Semua orang yang akan mengadakan kontak dengan bayi harus melakukan
cuci tangan terlebih dahulu.
2) Peralatan yang digunakan dalam asuhan bayi harus dibersihkan secara
teratur. Ruang perawatan bayi juga harus dijaga kebersihannya.
3) Petugas dan orang tua yang berpenyakit infeksi tidak boleh memasuki
ruang perawatan bayi sampai mereka dinyatakan sembuh atau disyaratkan
untuk memakai alat pelindung seperti masker ataupun sarung tangan untuk
mencegah penularan.
d. Hidrasi
Bayi resiko tinggi sering mendapat cairan parenteral untuk asupan
tambahan kalori, elektrolit, dan air. Hidrasi yang adekuat sangat penting pada
bayi preterm karena kandungan air ekstraselulernya lebih tinggi (70% pada
bayi cukup bulan dan sampai 90% pada bayi preterm). Hal ini dikarenakan
permukaan tubuhnya lebih luas dan kapasitas osmotik diuresis terbatas pada
ginjal bayi preterm yang belum berkembang sempurna sehingga bayi tersebut
sangat peka terhadap kehilangan cairan.
e. Nutrisi
Nutrisi yang optimal sangat kritis dalam manajemen bayi BBLR tetapi
terdapat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi mereka karena berbagai
mekanisme ingesti dan digesti makanan belum sepenuhnya berkembang.
Jumlah, jadwal, dan metode pemberian nutrisi ditentukan oleh ukuran dan
kondisi bayi. Nutrisi dapat diberikan melalui parenteral ataupun enteral atau
dengan kombinasi keduanya.
7
Bayi preterm menuntut waktu yang lebih lama dan kesabaran dalam
pemberian makan dibandingkan bayi cukup bulan. Mekanisme oral-faring
dapat terganggu oleh usaha memberi makan yang terlalu cepat. Penting untuk
tidak membuat bayi kelelahan atau melebihi kapasitas mereka dalam menerima
makanan. Toleransi yang berhubungan dengan kemampuan bayi menyusu
harus didasarkan pada evaluasi status respirasi, denyut jantung, saturasi
oksigen, dan variasi dari kondisi normal dapat menunjukkan stress dan
keletihan. Bayi akan mengalami kesulitan dalam koordinasi mengisap,
menelan, dan bernapas sehingga berakibat apnea, bradikardi, dan penurunan
saturasi oksigen. Pada bayi dengan reflek menghisap dan menelan yang
kurang, nutrisi dapat diberikan melalui sonde ke lambung. Kapasitas lambung
bayi prematur sangat terbatas dan mudah mengalami distensi abdomen yang
dapat mempengaruhi pernafasan.
B. RDS (Respiratory Distress Syndrome)
Definisi
Distress respirasi atau gangguan nafas merupakan masalah yang sering
dijumpai pada hari-hari pertama kehidupan BBL, ditandai dengan takipnea,
nafas cuping hidung, retraksi interkostal, sianosis dan apnue. Gangguan nafas
yang paling sering ialah TTN (Transient Tachypnea of The New Born), RDS
(Respiratory Distress Syndrome) atau PMH (Penyakiht Membran Hyalin) dan
Displasia bronkoplumonar.
Gangguan nafas adalah suatu keadaan meningkatnya kerja pernafasan yang
ditandai dengan :
1. Takipnue : frekuensi nafas > 60 – 80 x/menit
2. Retraksi : cekungan atau tarikan kulit antara iga (interkostal) dan atau di
bawah sternum (sub sternal) selama inspirasi
3. Nafas cuping hidung
4. Merintih atau grunting
5. Sianosis
8
6. Apnue atau henti nafas
7. Dalam jam-jam pertama setelah lahir, terdapat empat gejala distress
respirasi (takipnea, retraksi, nch dan grunting).
Untuk menentukan tingkat gangguan pernafasan, dilakukan skoring downess,
yang terdiri dari:
Total Diagnosis
1 – 3 Sesak nafas ringan
4 – 5 Sesak nafas sedang
≥ 6 Sesak nafas berat
Faktor Predisposisi RDS:
Bayi kurang bulan
Depresi neonatal (kegawatan neonatal)
Bayi dari Ibu menderita Diabetes Melitus
Bayi yang lahir dari Ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini atau air
ketuban yang berbau busuk.
Keadaan yang sering memberi gambaran klinis RDS:
a. Bronkopneumonia
Sering terjadi sekunder akibat infeksi Streptokoki Grup B beta hemolitikus
(GBBS). Pada gambaran foto thorax didapati infiltrat atau konsolidasi pada
seluruh lapangan paru.
b. Transient Tachypnea of the Newborn
Biasanya terjadi pada bayi cukup bulan atau mendekati cukup bulan.
c. Sindroma Aspirasi Mekonium
9
Sindrom gangguan nafas akibat aspirasi air ketuban atau mekonium.
d. Penyakit Membran Hialin
Kumpulan gejala gangguan pernapasan karena tidak adekuatnya surfaktan
dalam paru akibat dari hambatan pembentukan surfaktan.
e. Kebocoran Udara pada Paru
Pneumothoraks, emfisema interstisial, pneumomediastinum,
pneumoperikardium. Pada bayi cukup bulan, hal ini terjadi akibat
pemberian ventilasi tekanan positiv yang berlebihan atau dapat terjadi
spontan.
f. Kelainan Paru Kongenital
Misalnya hernia diafragmatika, silotoraks, pembentukan kista adenomatoid
paru kongenital, emfisema lobaris, kista bronko-genik, sekuestrasi paru.
g. Kelainan Jantung Kongenital
h. Gejala Sisa atau Sekuel RDS
Termasuk perdarahan intrakranial dan/atau lekomalasia periventrikular
sering dihubungkan dengan keterlambatan perkembangan neurologis,
septicimia, Diplasia bronkhopulmoner, Patent Ductus Arteriosus, dan
perdarahan paru.
C. Bronkopneumonia
Definisi
Bronkopneumonia merupakan peradangan paru yang dimulai di bronkioli
terminal.
Etiologi
Spektrum etiologi pneumonia pada anak meliputi Streptococcus
pneumoniae, Haemophylus influenza tipe B, Staphylococcus aureus,
Myoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, dan berbagai virus
respiratori. Bronkopneumonia biasanya disebabkan oleh infeksi Streptococcus
pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata
diseluruh lapangan paru.
10
Patologi dan Patogenesis
Umumnya mikroorganisme sering terhisap ke paru pada bagian perifer
melalui saluran pernafasan. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan
yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya.
Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi
penyerbukan PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukan kuman di
aveoli. Stadium ini dinamakan stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi
fibrin semakin bertambah, terdapat benang fibrin dan leukosit PMN di alveoli
dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium
hepatisasi kelabu.
Kemudian jumlah makrofag meningkat di alveoli, dan sel akan mengalami
degenerasi, fibrin akan menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini
disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak
terkena akan tetap normal.
Pemeriksaan Penunjang
a. Darah perifer lengkap
Pada pneumonia virus dan juga pneumonia mikoplasma umumnya
ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Pada
pneumonia bakteri akan ditemukan leukositosis. Hasil pemeriksaan darah
perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan
infeksi bakteri secara pasti.
b. C- Reactive Protein (CRP)
Kadar CRP terkadang lebih rendah pada infeksi virus atau bakteri
superfisialis daripada infeksi bakteri profunda.
c. Uji Serologis
Untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik.
d. Pemeriksaan mikrobiologis
11
Spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan
bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Diagnosa dikatakan
definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura atau aspirasi paru.
Pemeriksaan Rontgen Thoraks
Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer
paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Diagnosis dan Penatalaksanaan
Dasar Diagnosis:
Demam, batuk, sesak, pernafasan cepat dan dangkal, pernafasan cuping
hidung, retraksi dinding thoraks, suara nafas vesikuler meningkat sampai
bronkial, dan bising tambahan ronkhi basah halus nyaring.
Penatalaksanaan:
Antibiotika polifragmasi selama 7 – 10 hari
Ampisilin 100 mg/KgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
Gentamisin : untuk BB < 2000 gram 2,5 mg/kgBB/24 jam
untuk BB >2000 gram 2,5 mg/kgBB/18 jam
Bila umur > 7 hari berikan tiap 12-18 jam
Ceftazidim 50 mg/KgBB/hari diberikan dalam 2 dosis
Suportif
IVFD dextrose 7,5% atau 10% + NaCl 15% 6cc
Bila terjadi impending decompensation cordis:
Pengurangan cairan sampai dengan ¾ kebutuhan
Diberikan diuretika
Bila tak teratasi, diberikan digitalisasi
12
Prognosis
Dengan pengobatan yang tepat, prognosis untuk bronkopneumonia adalah
baik.
Komplikasi
Meliputi:
Empiema torasis
Perikarditis purulenta
Pneumothoraks
Infeksi ekstrapulmoner
D. Asfiksia Neonatorum
Definisi
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang gagal
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Ditandai dengan
hipoksemia, hiperkabia, dan asidosis.
Menurut American College of Obstetricans and Gynecologists
(ACOG) dan American Academy of Pediatrics (AAP), seorang neonatus
disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut.
a. Nilai Apgar menit kelima 0-3.
b. Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0).
c. Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma).
d. Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan
kardiovaskular,gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem
renal).
e. Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multi organ, kejang dan
ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang
mengalami episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki
risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai
pertimbangan utama (Health Technology Assessment Indonesia Depkes
RI, 2008).
13
Etiologi Asfiksia Neonatorum
Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit - menit
pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila
terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke
janin akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul
pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir (McGuire,
2007).
Towell (1966) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan Pernafasan
pada bayi, yang terdiri dari :
1. Faktor ibu
a. Hipoksia ibu
Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat
pemberian obat analgetika atau anastesia dalam.
b. Gangguan aliran darah uterus
Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan
berkurangnya oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin. Hal
ini sering ditemukan pada keadaan :
i) Gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni
atau
tetani uterus akibat penyakit atau obat.
ii) Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan.
iii) Hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain-lain.
2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan
kondisi plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan
mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan
plasenta, dan lain-lain.
14
3. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran
darah dalam pembuluh darah umbulikus dan menghambat pertukaran
gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan
pada kelainan tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi
tali pusat janin dan jalan lahir, dan lain-lain.
4. Faktor Persalinan
Persalinan dengan tindakan, korioamnionitis, kelainan letak,
partus lama, ketuban pecah dini, inertia uteri, air ketuban bercampur
mekonium, penggunaan anestesi umum, penggunaan narkotik < 4 jam
sebelum persalinan.
Patofisiologi Asfiksia Neonatorum
Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber
oksigen atau jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh
arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga
tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari
jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh
darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang
bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke
aorta.
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru
sebagai sumber utama oksigen. Pada saat bayi mengambil napas
pertama, udara memasuki alveoli paru dan cairan yang mengisi alveoli
akan diserap ke dalam jaringan paru. Pada napas kedua dan berikutnya,
udara yang masuk alveoli bertambah banyak dan cairan paru diabsorpsi
sehingga kemudian seluruh alveoli berisi udara yang mengandung
15
oksigen. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen
mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan
tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah
sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di
alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga
tahanan terhadap aliran darah bekurang.
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah
sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah
dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat
sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang
diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah
yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri,
kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada
kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk
menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen
meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus
mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus
sekarang melalui paru-paru akan mengambil banyak oksigen untuk
dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan
menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan
pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari
jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang
utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat
dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari
abu-abu/biru menjadi kemerahan (Health Technology Assessment
Indonesia Depkes RI, 2008).
Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi
16
Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan
atau setelah lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum
atau selama persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran
darah di plasenta atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi
frekuensi jantung janin. Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih
banyak berkaitan dengan jalan napas dan paru-paru, misalnya sulit
menyingkirkan cairan atau benda asing seperti mekonium dari alveolus,
sehingga akan menghambat udara masuk ke dalam paru mengakibatkan
hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan menghambat
peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik). Selain itu kekurangan
oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan
mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi
penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan.
Aliran darah paru meningkat secara dramatis. Hal ini disebabkan
ekspansi paru yang membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan tekanan
akhir ekspirasi yang lebih tinggi. Ekspansi paru dan peningkatan tekanan
oksigen alveoli, keduanya, menyebabkan penurunan resistensi vaskuler
paru dan peningkatan aliran darah paru setelah lahir. Aliran intrakardial
dan ekstrakardial mulai beralih arah yang kemudian diikuti penutupan
duktus arteriosus. Kegagalan penurunan resistensi vaskuler paru
menyebabkan hipertensi pulmonal persisten (Persisten Pulmonary
Hypertension of the Neonate) pada bayi baru lahir, dengan aliran darah
paru yang inadekuat dan hipoksemia relatif. Ekspansi paru yang inadekuat
menyebabkan gagal napas (Dharmasetiawani, 2008).
Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke
dalam paru-parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke
jaringan insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol
pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini
17
terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi
cairan dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen.
Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi
arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian
aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk
mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah
akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun
demikian, jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi
kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung,
penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh
organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan
oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang
irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi
yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda
klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot
dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen;
bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen
pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan
oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah
yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan; takipnu
(pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan
sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah (Health Technology
Assessment Indonesia Depkes RI, 2008).
Klasifikasi Asfiksia NeonatorumKlasifikasi asfiksia neonatorum dibagi berdasarkan tingkat
keparahan asfiksia yang dinilai berdasarkan skor apgar. Nilai Apgar
ditemukan pada tahun 1952 oleh seorang obstetrical anesthesiologist
bernama dr. Virginia Apgar di Sloane Hospital for Women, New York.
Skor apgar ini biasanya dinilai 1 menit setelah bayi lahir lengkap,
yaitu pada saat bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah
18
dilakukan pengisapan lendir dengan sempurna. Skor apgar 1 menit ini
menunjukkan beratnya asfiksia yang diderita dan baik sekali sebagai
pedoman untuk menentukan cara resusitasi. Skor apgar perlu pula dinilai
setelah 5 menit bayi lahir, karena hal ini mempunyai korelasi yang erat
demgan morbiditas dan mortalitas neonatal (Abdoerrachman dkk, 1985).
Skor Apgar
Tanda Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2
Warna kulit
(Appearance)
Biru/pucat Tubuh kemerahan, ekstremitas biru
Tubuh dan ekstremitas kemerahan
Frekuensi jantung
(Pulse)
Tidak ada <100x/menit >100x/menit
Refleks
(Grimace)
Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
Tonus otot
(Activity)
Lumpuh Ekstremitas fleksi sedikit
Gerakan aktif
Usaha bernafas
(Respiration)
Tidak ada Lambat Menangis kuat
Berdasarkan standar penatalaksanaan ilmu kesehatan anak Rumah Sakit
Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang, asfiksia neonatorum dapat
dibagi sebagai berikut:
1. Tidak asfiksia, yaitu skor Apgar menit pertama antara 8 - 1.
2. Asfiksia ringan, yaitu skor Apgar menit pertama antara 5 - 7
3. Asfiksia sedang, yaitu skor Apgar menit pertama antara 3 - 4
4. Asfiksia berat, yaitu skor Apgar menit pertama antara 0 – 2
19
Diagnosis Asfiksia Neonatorum
1. Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terjadinya asfiksia.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Bayi tidak bernafas atau menangis.
b. Denyut jantung kurang dari 100x/menit.
c. Tonus otot menurun.
d. Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium atau sisa
mekonium pada tubuh bayi.
e. BBLR.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium beupa analisis gas darah tali pusat menunjukkan
hasil asidosis pada darah tali pusat:
a. PaO2 < 50 mm H2O
b. PaCO2 > 55 mm H2
c. pH < 7,30
Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif,
pemeriksaan penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi,
berupa :
Darah perifer lengkap
Analisis gas darah sesudah lahir
Gula darah sewaktu
Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)
Ureum kreatinin
Laktat
Ronsen dada
Ronsen abdomen tiga posisi
Pemeriksaan USG kepala
Pemeriksaan EEG dan CT Scan kepala
20
(IDAI, 2004).
Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum
Tujuan utama mengatasi asfiksia ialah untuk mempertahankan
kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin timbul
di kemudian hari. Tindakan yang dikerjakan pada bayi lazim disebut
resusitasi bayi baru lahir. Penilaian awal dilakukan pada setiap bayi baru
lahir untuk menetukan apakah tindakan resusitasi harus segera dimulai.
Segera setelah lahir dilakukan penilaian pada semua bayi dengan cara
melihat :
1. Apakah bayi lahir cukup bulan ?
2. Apakah air ketuban jernih dan tidak bercampur mekonium ?
3. Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis ?
4. Apakah tonus otot baik ?
Apabila semua jawaban diatas ‘Ya’, berarti bayi baik dan tidak
memerlukan tindakan resusitasi. Pada bayi ini segera dilakukan Asuhan
Bayi Normal. Bila salah satu atau lebih jawaban ‘tidak’, bayi memerlukan
tindakan resusitasi segera.
1). Langkah awal dalam stabilisasi
a. Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant
warmer) dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh
bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh.
b. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya
Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah
dalam posisi menghidu agar posisi farings, larings dan trakea
dalam satu garis lurus yang akan mempermudah masuknya udara.
Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan
balon dan sungkup atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.
c. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan
21
Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat
menyebabkan pneumonia aspirasi. Bila terdapat mekoneum dalam
cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi
pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari
100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul
pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium. Bila
terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak
bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada
bayi tanpa mekoneum.
d. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada
posisi yang benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret,
dan mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi
untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar,
penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat,
maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau
menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh
dan ekstremitas bayi.
2). Ventilasi tekanan positif
Setelah dilakukan langkah awal resusitasi, ventilasi tekanan
positif harus dimulai bila bayi tetap apnea setelah stimulasi atau
pernapasan tidak adekuat, dan/atau frekuensi jantung memadai tetapi
sianosis sentral, bayi diberi oksigen aliran bebas. Bila setelah ini bayi
tetap sianosis, dapat dicoba melakukan ventilasi tekanan positif.
3). Pemberian Oksigen
Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan
tambahan oksigen. Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan
dengan menggunakan sungkup oksigen, sungkup dengan balon tidak
mengembang sendiri, T-piece resuscitator dan selang/pipa oksigen.
22
Pemberian oksigen 100% tidak dianjurkan pada bayi kurang
bulan karena dapat merusak jaringan. Penghentian pemberian oksigen
dilakukan secara bertahap bila tidak terdapat sianosis sentral lagi yaitu
bayi tetap merah atau saturasi oksigen tetap baik walaupun
konsentrasi oksigen sama dengan konsentrasi oksigen ruangan. Bila
bayi kembali sianosis, maka pemeberian oksigen perlu dilanjutkan
sampai sianosis sentral hilang. Kemudian secepatnya dilakukan
pemeriksaan gas darah arteri dan oksimetri untuk menyesuaikan kadar
oksigen mencapai normal.
4) Kompresi dada
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari
60x/menit setelah dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik.
Kompresi dada dilakukan dengan menekan sternum menggunakan 1
jempol atau 2 jari tegak lurus di linea parasentralis kiri sedalam 1/3
diameter anteroposterior rongga dada dengan 3 kali penekanan dan 1
kali ventilasi dalam 2 detik (45 kali kompresi dada dan 15 kali
ventilasi selama 30 detik).
5). Terapi Medikamentosa
a. Epinefrin 1:10.000
Dosis : 0,1-0,3 ml/kg berat badan atau 0,01-0,03 mg/kg
berat badan diberikan secara cepat, dilarutkan dengan larutan NaCl
0,9% menjadi 1-2 ml bila secara endotrakea.
b. Cairan penambah volume darah (plasma expander)
Dosis awal 10 ml/kg dengan kecepatan 5-10 menit secara
intravena. Bila bayi menunjukkan perbaikan yang minimal setelah
pemberian dosis pertama, dapat dberikan dosis tambahan lagi 10
ml/kg.
c. Nalokson
23
Dosis : 0,1 mg/kg diberikan secara intravena atau
intramuskular.
d. Natrium Bikarbonat
Dosis : 1-2 mEq/kg diberikan secara intravena setelah
ventilasi dan perfusi adekuat dicapai, diberikan dalam kira-kira 2
menit yaitu 1 mEq/kg/menit (Dharmasetiawani, 2008).
Algoritme Resusitasi Bayi Baru Lahir
Prognosis Asfiksia Neonatorum
24
Apabila bayi yang mengalami asfiksia dapat bertahan hidup pada
24 jam pertama maka prognosis kehidupannya biasanya akan baik.
Namun, sekitar 1 juta bayi yang bertahan dari asfiksia neonatorum hidup
dengan gangguan perkembangan otak kronik, termasuk cerebral palsy,
retardasi mental dan kesulitan belajar.
Komplikasi Asfiksia Neonatorum
Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi yang mengalami asfiksia
neonatorum adalah asidosis metabolik, hipoglikemia, enselofati hipoksia
iskemik dan gagal ginjal. Kompresi dada juga dapat menyebabkan trauma
pada bayi. Organ vital dibawah tulang iga adalah jantung, paru, dan
sebagian hati. Tulang rusuk juga rapuh dan mudah patah. Kompresi harus
dilakukan dengan hati-hati supaya tidak merusak organ dibawahnya
(Health Technology Assessment Indonesia Depkes RI, 2008).
E. Sepsis Neonatorum
Definisi
Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah bayi
selama empat minggu pertama kehidupan.(Bobak, 2005)
Sepsis adalah sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-tanda
klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang ke arah
septisemia dan syok septik. (Doenges, Marylyn E. 2000, hal 871).
Etiologi
a. Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri
mampu menyebabkan sepsis.
b. Mikroorganisme berupa bakteri, jamur, virus atau riketsia. Penyebab
paling sering dari sepsis : Escherichia Coli dan Streptococcus grup B
(dengan angka kesakitan sekitar 50 – 70 %. Diikuti dengan malaria,
sifilis, dan toksoplasma. Streptococcus grup A, dan streptococcus
viridans, patogen lainnya gonokokus, candida alibicans, virus herpes
25
simpleks (tipe II) dan organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki,
hepatitis, influenza, parotitis.
c. Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan
tindakan.
d. Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan.
Faktor- faktor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum
berasal dari tiga kelompok, yaitu :
1. Faktor Maternal
a. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang. Mempengaruhi
kecenderungan terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak
diketahui sepenuhnya. Ibu yang berstatus sosio- ekonomi rendah
mungkin nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak
higienis. Bayi kulit hitam lebih banyak mengalami infeksi dari pada
bayi berkulit putih.
b. Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur
ibu (kurang dari 20 tahun atua lebih dari 30 tahun
c. Kurangnya perawatan prenatal.
d. Ketuban pecah dini (KPD)
e. Prosedur selama persalinan
2. Faktor Neonatatal
a. Prematurius ( berat badan bayi kurang dari 1500 gram), merupakan
faktor resiko utama untuk sepsis neonatal. Umumnya imunitas bayi
kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup bulan. Transpor
imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh
terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin
serum terus menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia berat.
Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit.
b. Defisiensi imun. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG
spesifik, khususnya terhadap streptokokus atau Haemophilus
influenza. IgG dan IgA tidak melewati plasenta dan hampir tidak
26
terdeteksi dalam darah tali pusat. Dengan adanya hal tersebut,
aktifitas lintasan komplemen terlambat, dan C3 serta faktor B tidak
diproduksi sebagai respon terhadap lipopolisakarida. Kombinasi
antara defisiensi imun dan penurunan antibodi total dan spesifik,
bersama dengan penurunan fibronektin, menyebabkan sebagian
besar penurunan aktivitas opsonisasi.
c. Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki-
laki empat kali lebih besar dari pada bayi perempuan.
3. Faktor diluar ibu dan neonatal
a. Penggunaan kateter vena/ arteri maupun kateter nutrisi parenteral
merupakan tempat masuk bagi mikroorganisme pada kulit yang
luka. Bayi juga mungkin terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.
b. Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bis
menimbulkan resiko pada neonatus yang melebihi resiko
penggunaan antibiotik spektrum luas, sehingga menyebabkan
kolonisasi spektrum luas, sehingga menyebabkan resisten berlipat
ganda.
c. Kadang- kadang di ruang perawatan terhadap epidemi penyebaran
mikroorganisme yang berasal dari petugas ( infeksi nosokomial),
paling sering akibat kontak tangan.
d. Pada bayi yang minum ASI, spesies Lactbacillus dan E.colli
ditemukan dalam tinjanya, sedangkan bayi yang minum susu
formula hanya didominasi oleh E.colli.
Klasifikasi Sepsis
1. Sepsis awitan dini
terjadi 3 hari pertama kehidupan.
Karakteristik : sumber organisme pada saluran genital ibu dan atau
cairan amnion, biasanya fulminan dengan angka mortalitas tinggi.
2. Sepsis lanjutan/ nosokomial/ awitan lambat
27
yaitu terjadi setelah 3 hari pertama kehidupan dan didapat dari
lingkungan pasca lahir. Karakteristik : Didapat dari kontak langsung
atau tak langsung dengan organisme yang ditemukan dari lingkungan
tempat perawatan bayi, sering mengalami komplikasi.
Patofisiologi
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus
melalui beberapa cara yaitu :
a. Pada masa antenatal atau sebelum lahir pada masa antenatal kuman
dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilicus masuk kedalam
tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi
adalah kuman yang dapat menembus plasenta, antara lain virus
rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis.
Bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain malaria, sifilis dan
toksoplasma.
b. Pada masa intranatal atau saat persalinan infeksi saat persalinan terjadi
karena kuman yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai kiroin
dan amnion akibatnya, terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya
kuman melalui umbilkus masuk ke tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat
persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi dapat terinhalasi oleh
bayi dan masuk ke traktus digestivus dan traktus respiratorius,
kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain melalui
cara tersebut diatas infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi
atau “port de entre” lain saat bayi melewati jalan lahir yang
terkontaminasi oleh kuman (mis. Herpes genitalis, candida albican dan
gonorrea).
c. Infeksi pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi
sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial dari
lingkungan diluar rahim (mis, melalui alat-alat; pengisap lendir,
selang endotrakea, infus, selang nasagastrik, botol minuman atau dot).
28
Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat
menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial.
Manifestasi Klinik
a. Umum : hipertermi kemudian hipotermi, tampak tidak sehat, malas
minum
b. Saluran cerna : distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare,
hepatomegali
c. Saluran napas : apnea, dispnea, takipnea, napas cuping hidung,
merintih, sianosis.
d. Sistem kardiovaskuler : sianosis,hipotensi,takikardi,bradikardia.
e. Sistem saraf pusat :tremor, kejang,penurunan kesadaran
f. Hematologi : ikterus,splenomegali, pucat, petekie, pendarahan.
(Kapita selekta kedokteran Jilid II,Mansjoer Arief 2008)
Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan darah rutin(hb,leuko,trombosit,CT,BT,LED,SGOT,
SGPT)
b. Kultur darah dapat menunjukkan organisme penyebab.
c. Analisis kultur urine dan cairan sebrospinal (CSS) dengan lumbal
fungsi dapat mendeteksi organisme.
d. DPL menunjukan peningkatan hitung sel darah putih (SDP) dengan
peningkatan neutrofil immatur yang menyatakan adanya infeksi.
e. Laju endah darah, dan protein reaktif-c (CRP) akan meningkat
menandakan adanya inflamasi.
Kriteria Diagnosis
Hasil laboratorium yang membantu untuk diagnosis sepsis adalah bila
ditemukan lebih dari satu hasil laboratorium dibawah ini:
29
- Leukosit < 5000/mm3 atau > 34.000/mm3
- I/T ratio 0,2 atau lebih
- Mikro LED > 15 mm/jam
- CRP (+) > 9 mg/dl
- Trombositopenia
Penatalaksanaan Medis
1. Suportif
- Lakukan monitoring cairan elektrolit dan glukosa
IVF dekstrose 7,5% atay 10% 500cc + Ca glukonas dengan jumlah
sesuai kebutuhan bayi. Mulai hari ketoga baru ditambahkan NaCl
15% 6cc/kolf. Jika ada asidosis berikan dekstrose dan bicnat (4:1)
sampai secara klinis tidak ada tanda asidosis.
- Berikan koreksi jika terjadi hipovolemia, hipokalsemia dan
hipoglikemia
- Atasi syok, dan hipoksia
- Awasi adanya hiperbilirubinemia
- Pertimbangkan nurtisi parenteral bila pasien tidak dapat menerima
nutrisi enteral.
2. Kausatif
Antibiotik diberikan sebelum kuman penyebab diketahui. Pada
bayi dengan tersangka infeksi langsung diberikan Ampisillin 100
mg/kgBB/hari i.v dibagi 2 dosis dan Gentamisin 2,5 mg/KgBB/24 jam
i.v 1 dosis, untuk bayi kurang bulan selama 3-5 hari. Bila dari klinis
dan hasil laboratorium benar menunjukkan adanya sepsis digantikan
dengan Ceftazidime 50 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 2 dosis, bila
dicurigai infeksi oleh karena stafilokokus maka diberikan sefalosporin
generasi ke-2, 50 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 2 dosis. Bila tidak
ada perbaikan klinis dalam 48 jam atau keadaan umum semakin
memburuk, pertimbangkan pindah ke antibiotik yang lebih poten,
30
misalnya meropenem 20mg/kgBB i.v tiap 8 jam atau sesuai hasil tes
resistensi. Antibiotik diberikan 7-10 hari, dan dihentikan setelah klinis
membaik selama 5 hari. Bila terjadi Meningitis, antibiotik diberikan
selama 14-21 hari dengan dosis sesuai untuk Meningitis.
Komplikasi
Meningitis
Hipoglikemia, asidosis metabolik
Koagulopati, gagal ginjal, disfungsi miokard, perdarahan intrakranial
ikterus/kernikterus
Prognosis
Angka kematian pada sepsis neonatal berkisar antara 10 – 40 %.
Angka tersebut berbeda-beda tergantung pada cara dan waktu awitan
penyakit, agen atiologik, derajat prematuritas bayi, adanya dan keparahan
penyakit lain yang menyertai dan keadaan ruang bayi atau unit perawatan.
Angka kematian pada bayi prematur yang kecil adalah 2 kali lebih
besar.
31
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang bayi perempuan berusia 1 hari dengan berat badan 1900 gram,
panjang badan 41 cm, berkebangsaan Indonesia, beralamat di dalam kota, dirawat
di boks Neonatus Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH Palembang pada tanggal
24 Oktober 2012 (MRS saat usia 0 hari).
Bayi lahir diluar spontan, ditolong oleh bidan, dari ibu G4P3A0 hamil 34-35
minggu, bayi lahir tidak langsung menangis, APGAR Score 5/7. Berat badan lahir
1900 gram, panjang 41 cm. Riwayat ibu demam tidak ada, riwayat KPSW tidak
ada, riwayat ketuban kental, hijau, berbau busuk tidak ada. Riwayat injeksi
vitamin K ada. Sejak lahir tangis penderita merintih, sesak nafas ada, wajah
penderita langsung biru bila bantuan oksigen dilepas, penderita akhirnya dirujuk
ke RSMH Palembang.
Dari data di atas, disimpulkan bahwa bayi ini termasuk dalam kategori bayi
berat lahir rendah (BBLR), yaitu kurang dari 2500 gram. Dikatakan preterm
karena bayi lahir saat usia kandungan < 37 minggu. Dikatakan AGA berdasarkan
analisis menggunakan kurva lubchenco.
32
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya sesak, yang sebelumnya tidak
disertai dengan batuk. Sesak yang dialami penderita kemungkinan besar bukan
berasal dari masalah ekstra pulmoner sebab tidak ada riwayat biru ketika minum
ASI ataupun menangis (melemahkan kemungkinan diagnosis penyakit jantung
congenital), dan tidak ada riwayat biru ketika penderita diam dan hilang jika
menangis (menyingkirkan obstruksi jalan napas atas, misalnya atresia koana).
Sesak yang tidak dipengaruhi posisi, cuaca, dan aktivitas juga melemahkan
kemungkinan gangguan jantung. Sesak yang tidak disertai mengi menyingkirkan
asma bronchial. Secara epidemiologi, asma bronchial jarang ditemukan pada
neonatus. Adapun masalah gangguan intrapulmoner yang sering menyebabkan
distress pernapasan pada pada neonatus dan anak usia kurang dari 2 tahun adalah
bronkopneumonia dan bronkiolitis akut.
Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan CRP negatif. Hasil ini tidak
membuktikan adanya sepsis pada pasien ini. Hasil rontgen memberikan
gambaran infiltrate pada kedua lobus paru, sehingga mendukung diagnosis
bronkopneumonia.
Penatalaksanaan kasus ini meliputi IVFD Dextrose D5% ditambah ca
glukonas 30cc gtt 6/menit (mikro), nasal oksigen 1L/menit, injeksi Ampicilin 2 x
100 mg, Ceftazidim 2 x 50 mg, Aminofilin 3 x 4 mg, dan ASI/PASI 8x10 cc via
33
NGT. Pemasangan jalur intravena ditujukan untuk hidrasi dan membukan jalur
untuk injeksi obat. Kebutuhan cairan diberikan berdasarkan berat badan dan usia.
Pemberian oksigen nasal kanul sebanyak 1L/menit bertujuan untuk mencukupi
kebutuhan oksigen bayi. Injeksi ampicillin dan ceftazidim ditujukan untuk
mengeradiksi bakteri penyebab bronkopneumonia. Dosis disesuaikan dengan
kebutuhan berdasarkan berat badan. ASI/PASI diberikan melalui NGT karena
bayi dalam kondisi sesak.
Pada hari ke-4 penderita mulai mengalami perbaikan, walaupun berat
badannya belum bertambah. Namun pada hari ke-5, penderita mendadak
mendapat serangan periodik apnu.
Pada pemeriksaan fisik saat perawatan hari ke-6 (usia bayi 6 hari),
didapatkan aktivitas hipoaktif, refleks isap lemah, dan tangis lemah sehingga
ditegakkan klinis sepsis. Pada pemeriksaan fisik di temukan adanya takipneu, tapi
belum ditemukan retraksi pada pemeriksaan thorax. Pemeriksaan Laboratorium
juga memberikan kesan sepsis (peningkatan CRP dan trombositopenia ).
Pengobatan diteruskan dengan dosis yang dinaikkan menjadi dosis meningitis,
karena dicurigai meningitis. Oksigen melalui Headbox 5 L/menit, ASI/PASI 8 x
20 cc melalui NGT, IVFD D7,5% 1/5 NS gtt 6/menit (mikro), Ampicilin 2 x 200
mg, Ceftazidime 2 x 125 mg, Aminofilin 3 x 4 mg.
Pemeriksaan hari ke-7, didapatkan ubun-ubun yang tegang dan sutura
yang melebar pada pemeriksaan kepala. Namun rencana USG transfontanella
belum terlaksana.
Pada perawatan hari ke-10, berat badan penderita bertambah, tidak
demam, dan tidak lagi dijumpai sesak. Namun aktifitas masih hipoaktif, reflek
isap dan menangis lemah, klinis sepsis masih ada. Penderita juga masih
menggunakan oksigen melalui nasal kanul 1 liter/menit. Prognosis pasien ini quo
ad vitam dan functionam dubia karena keadaan klinis yang masih lemah.
34