52
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah) Definisi Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan (< 37 minggu) atau pada bayi cukup bulan (intrauterine growth restriction) (Pudjiadi, dkk., 2010). Klasifikasi Ada beberapa cara dalam mengelompokkan BBLR (Proverawati dan Ismawati, 2010) : a. Menurut harapan hidupnya 1) Bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500-2500 gram 2) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat lahir 1000-1500 gram. 3) Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) dengan berat lahir kurang dari 1000 gram. b. Menurut masa gestasinya 1) Prematuritas murni yaitu masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi atau biasa disebut 1

BAB II & Bab III Case Neo

  • Upload
    dr013

  • View
    44

  • Download
    1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

neonatus

Citation preview

Page 1: BAB II & Bab III Case Neo

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah)

Definisi

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari

2500 gram tanpa memandang usia gestasi. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang

bulan (< 37 minggu) atau pada bayi cukup bulan (intrauterine growth restriction)

(Pudjiadi, dkk., 2010).

Klasifikasi

Ada beberapa cara dalam mengelompokkan BBLR (Proverawati dan

Ismawati, 2010) :

a. Menurut harapan hidupnya

1) Bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500-2500 gram

2) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat lahir 1000-1500

gram.

3) Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) dengan berat lahir kurang dari

1000 gram.

b. Menurut masa gestasinya

1) Prematuritas murni yaitu masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat

badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi atau biasa disebut

neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan (NKB-SMK).

2) Dismaturitas yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan

seharusnya untuk masa gestasi itu. Bayi mengalami retardasi pertumbuhan

intrauterin dan merupakan bayi kecil untuk masa kehamilannya (KMK).

Berat badan kurang dari seharusnya yaitu dibawah persentil ke-10 (kurva

pertumbuhan intra uterin Usher Lubchenco) atau dibawah 2 Standar

Deviasi (SD) (kurva pertumbuhan intra uterin Usher dan Mc. Lean).

1

Page 2: BAB II & Bab III Case Neo

Faktor Penyebab

Beberapa penyebab dari bayi dengan berat badan lahir rendah

(Proverawati dan Ismawati, 20), sebagai berikut:

Faktor ibu

1) Penyakit

a) Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia, perdarahan antepartum,

preekelamsi berat, eklamsia, infeksi kandung kemih.

b) Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular seksual, hipertensi,

HIV/AIDS, TORCH, penyakit jantung.

c) Penyalahgunaan obat, merokok, konsumsi alkohol.

2) Ibu

a) Angka kejadian prematitas tertinggi adalah kehamilan pada usia < 20

tahun atau lebih dari 35 tahun.

b) Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1 tahun).

c) Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya.

3) Keadaan sosial ekonomi

a) Kejadian tertinggi pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini

dikarenakan keadaan gizi dan pengawasan antenatal yang kurang.

b) Aktivitas fisik yang berlebihan

c) Perkawinan yang tidak sah

Faktor janin

Faktor janin meliputi : kelainan kromosom, infeksi janin kronik (inklusi

sitomegali, rubella bawaan), gawat janin, dan kehamilan kembar.

Faktor plasenta

Faktor plasenta disebabkan oleh : hidramnion, plasenta previa, solutio

plasenta, sindrom tranfusi bayi kembar (sindrom parabiotik), ketuban pecah dini.

2

Page 3: BAB II & Bab III Case Neo

Faktor lingkungan

Lingkungan yang berpengaruh antara lain : tempat tinggal di dataran

tinggi, terkena radiasi, serta terpapar zat beracun.

Permasalahan pada BBLR

BBLR memerlukan perawatan khusus karena mempunyai permasalahan

yang banyak sekali pada sistem tubuhnya disebabkan kondisi tubuh yang belum

stabil (Surasmi, dkk., 2002).

a. Ketidakstabilan suhu tubuh

Dalam kandungan ibu, bayi berada pada suhu lingkungan 36°C- 37°C dan

segera setelah lahir bayi dihadapkan pada suhu lingkungan yang umumnya

lebih rendah. Perbedaan suhu ini memberi pengaruh pada kehilangan panas

tubuh bayi.

Hipotermia juga terjadi karena kemampuan untuk mempertahankan panas

dan kesanggupan menambah produksi panas sangat terbatas karena

pertumbuhan otot-otot yang belum cukup memadai, ketidakmampuan untuk

menggigil, sedikitnya lemak subkutan, produksi panas berkurang akibat lemak

coklat yang tidak memadai, belum matangnya sistem saraf pengatur suhu

tubuh, rasio luas permukaan tubuh relatif lebih besar dibanding berat badan

sehingga mudah kehilangan panas.

b. Gangguan pernafasan

Akibat dari defisiensi surfaktan paru, toraks yang lunak dan otot respirasi

yang lemah sehingga mudah terjadi periodik apneu. Disamping itu lemahnya

reflek batuk, hisap, dan menelan dapat mengakibatkan resiko terjadinya

aspirasi.

3

Page 4: BAB II & Bab III Case Neo

c. Imaturitas imunologis

Pada bayi kurang bulan tidak mengalami transfer IgG maternal melalui

plasenta selama trimester ketiga kehamilan karena pemindahan substansi

kekebalan dari ibu ke janin terjadi pada minggu terakhir masa kehamilan.

Akibatnya, fagositosis dan pembentukan antibodi menjadi terganggu. Selain itu

kulit dan selaput lendir membran tidak memiliki perlindungan seperti bayi

cukup bulan sehingga bayi mudah menderita infeksi.

d. Masalah gastrointestinal dan nutrisi

Lemahnya reflek menghisap dan menelan, motilitas usus yang menurun,

lambatnya pengosongan lambung, absorbsi vitamin yang larut dalam lemak

berkurang, defisiensi enzim laktase pada jonjot usus, menurunnya cadangan

kalsium, fosfor, protein, dan zat besi dalam tubuh, meningkatnya resiko NEC

(Necrotizing Enterocolitis). Hal ini menyebabkan nutrisi yang tidak adekuat

dan penurunan berat badan bayi.

e. Imaturitas hati

Adanya gangguan konjugasi dan ekskresi bilirubin menyebabkan

timbulnya hiperbilirubin, defisiensi vitamin K sehingga mudah terjadi

perdarahan. Kurangnya enzim glukoronil transferase sehingga konjugasi

bilirubin direk belum sempurna dan kadar albumin darah yang berperan dalam

transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar berkurang.

f. Hipoglikemi

Kecepatan glukosa yang diambil janin tergantung dari kadar gula darah

ibu karena terputusnya hubungan plasenta dan janin menyebabkan terhentinya

pemberian glukosa. Bayi berat lahir rendah dapat mempertahankan kadar gula

darah selama 72 jam pertama dalam kadar 40 mg/dl. Hal ini disebabkan

cadangan glikogen yang belum mencukupi.

4

Page 5: BAB II & Bab III Case Neo

Keadaan hipotermi juga dapat menyebabkan hipoglikemi karena stress

dingin akan direspon bayi dengan melepaskan noreepinefrin yang

menyebabkan vasokonstriksi paru. Efektifitas ventilasi paru menurun sehingga

kadar oksigen darah berkurang. Hal ini menghambat metabolisme glukosa dan

menimbulkan glikolisis anaerob yang berakibat pada penghilangan glikogen

lebih banyak sehingga terjadi hipoglikemi. Nutrisi yang tak adekuat dapat

menyebabkan pemasukan kalori yang rendah juga dapat memicu timbulnya

hipoglikemi.

Penatalaksanaan BBLR

Konsekuensi dari anatomi dan fisiologi yang belum matang menyebabkan

bayi BBLR cenderung mengalami masalah yang bervariasi. Hal ini harus

diantisipasi dan dikelola pada masa neonatal. Penatalaksanaan yang dilakukan

bertujuan untuk mengurangi stress fisik maupun psikologis. Adapun

penatalaksanaan BBLR meliputi (Wong, 2008; Pillitteri, 2003) :

a. Dukungan respirasi

Tujuan primer dalam asuhan bayi resiko tinggi adalah mencapai dan

mempertahankan respirasi. Banyak bayi memerlukan oksigen suplemen dan

bantuan ventilasi. Bayi dengan atau tanpa penanganan suportif ini diposisikan

untuk memaksimalkan oksigenasi karena pada BBLR beresiko mengalami

defisiensi surfaktan dan periadik apneu.

Dalam kondisi seperti ini diperlukan pembersihan jalan nafas, merangsang

pernafasan, diposisikan miring untuk mencegah aspirasi, posisikan

tertelungkup jika mungkin karena posisi ini menghasilkan oksigenasi yang

lebih baik, terapi oksigen diberikan berdasarkan kebutuhan dan penyakit bayi.

Pemberian oksigen 100% dapat memberikan efek edema paru dan retinopathy

of prematurity.

5

Page 6: BAB II & Bab III Case Neo

b. Termoregulasi

Kebutuhan yang paling krusial pada BBLR setelah tercapainya respirasi

adalah pemberian kehangatan eksternal. Pencegahan kehilangan panas pada

bayi distress sangat dibutuhkan karena produksi panas merupakan proses

kompleks yang melibatkan sistem kardiovaskular, neurologis, dan metabolik.

Bayi harus dirawat dalam suhu lingkungan yang netral yaitu suhu yang

diperlukan untuk konsumsi oksigen dan pengeluaran kalori minimal. Menurut

Thomas (1994) suhu aksilar optimal bagi bayi dalam kisaran 36,5°C – 37,5°C,

sedangkan menurut Sauer dan Visser (1984) suhu netral bagi bayi adalah

36,7°C – 37,3°C.

Menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi dapat dilakukan melalui

beberapa cara, yaitu (Kosim Sholeh, 2005) :

1) Kangaroo Mother Care atau kontak kulit dengan kulit antara bayi dengan

ibunya. Jika ibu tidak ada dapat dilakukan oleh orang lain sebagai

penggantinya.

2) Pemancar pemanas

3) Ruangan yang hangat

4) Inkubator

Suhu inkubator yang direkomendasikan menurut umur dan berat

Berat Bayi Suhu inkubator , menurut umur

35oC 34oC 33oC 32oC

<1500gr 1-10 hari 11 hari-3

minggu

3-5 minggu >5 minggu

1500-2000 gr 1-10 hari 11 hari-4 minggu >4 minggu

2100-2500 gr 1-2 hari 3 hari-3 minggu >3 minggu

>2500 gr 1-2 hari >2 hari

Bila jenis inkubatornya berdinding tunggal, naikkan suhu inkubator 1°C setiap

perbedaan suhu 7°C antara suhu ruang dan inkubator.

6

Page 7: BAB II & Bab III Case Neo

c. Perlindungan terhadap infeksi

Perlindungan terhadap infeksi merupakan bagian integral asuhan semua

bayi baru lahir terutama pada bayi preterm dan sakit. Pada bayi BBLR imunitas

seluler dan humoral masih kurang sehingga sangat rentan denan penyakit.

Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah infeksi antara lain :

1) Semua orang yang akan mengadakan kontak dengan bayi harus melakukan

cuci tangan terlebih dahulu.

2) Peralatan yang digunakan dalam asuhan bayi harus dibersihkan secara

teratur. Ruang perawatan bayi juga harus dijaga kebersihannya.

3) Petugas dan orang tua yang berpenyakit infeksi tidak boleh memasuki

ruang perawatan bayi sampai mereka dinyatakan sembuh atau disyaratkan

untuk memakai alat pelindung seperti masker ataupun sarung tangan untuk

mencegah penularan.

d. Hidrasi

Bayi resiko tinggi sering mendapat cairan parenteral untuk asupan

tambahan kalori, elektrolit, dan air. Hidrasi yang adekuat sangat penting pada

bayi preterm karena kandungan air ekstraselulernya lebih tinggi (70% pada

bayi cukup bulan dan sampai 90% pada bayi preterm). Hal ini dikarenakan

permukaan tubuhnya lebih luas dan kapasitas osmotik diuresis terbatas pada

ginjal bayi preterm yang belum berkembang sempurna sehingga bayi tersebut

sangat peka terhadap kehilangan cairan.

e. Nutrisi

Nutrisi yang optimal sangat kritis dalam manajemen bayi BBLR tetapi

terdapat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi mereka karena berbagai

mekanisme ingesti dan digesti makanan belum sepenuhnya berkembang.

Jumlah, jadwal, dan metode pemberian nutrisi ditentukan oleh ukuran dan

kondisi bayi. Nutrisi dapat diberikan melalui parenteral ataupun enteral atau

dengan kombinasi keduanya.

7

Page 8: BAB II & Bab III Case Neo

Bayi preterm menuntut waktu yang lebih lama dan kesabaran dalam

pemberian makan dibandingkan bayi cukup bulan. Mekanisme oral-faring

dapat terganggu oleh usaha memberi makan yang terlalu cepat. Penting untuk

tidak membuat bayi kelelahan atau melebihi kapasitas mereka dalam menerima

makanan. Toleransi yang berhubungan dengan kemampuan bayi menyusu

harus didasarkan pada evaluasi status respirasi, denyut jantung, saturasi

oksigen, dan variasi dari kondisi normal dapat menunjukkan stress dan

keletihan. Bayi akan mengalami kesulitan dalam koordinasi mengisap,

menelan, dan bernapas sehingga berakibat apnea, bradikardi, dan penurunan

saturasi oksigen. Pada bayi dengan reflek menghisap dan menelan yang

kurang, nutrisi dapat diberikan melalui sonde ke lambung. Kapasitas lambung

bayi prematur sangat terbatas dan mudah mengalami distensi abdomen yang

dapat mempengaruhi pernafasan.

B. RDS (Respiratory Distress Syndrome)

Definisi

Distress respirasi atau gangguan nafas merupakan masalah yang sering

dijumpai pada hari-hari pertama kehidupan BBL, ditandai dengan takipnea,

nafas cuping hidung, retraksi interkostal, sianosis dan apnue. Gangguan nafas

yang paling sering ialah TTN (Transient Tachypnea of The New Born), RDS

(Respiratory Distress Syndrome) atau PMH (Penyakiht Membran Hyalin) dan

Displasia bronkoplumonar.

Gangguan nafas adalah suatu keadaan meningkatnya kerja pernafasan yang

ditandai dengan :

1. Takipnue : frekuensi nafas > 60 – 80 x/menit

2. Retraksi : cekungan atau tarikan kulit antara iga (interkostal) dan atau di

bawah sternum (sub sternal) selama inspirasi

3. Nafas cuping hidung

4. Merintih atau grunting

5. Sianosis

8

Page 9: BAB II & Bab III Case Neo

6. Apnue atau henti nafas

7. Dalam jam-jam pertama setelah lahir, terdapat empat gejala distress

respirasi (takipnea, retraksi, nch dan grunting).

Untuk menentukan tingkat gangguan pernafasan, dilakukan skoring downess,

yang terdiri dari:

Total Diagnosis

1 – 3 Sesak nafas ringan

4 – 5 Sesak nafas sedang

≥ 6 Sesak nafas berat

Faktor Predisposisi RDS:

Bayi kurang bulan

Depresi neonatal (kegawatan neonatal)

Bayi dari Ibu menderita Diabetes Melitus

Bayi yang lahir dari Ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini atau air

ketuban yang berbau busuk.

Keadaan yang sering memberi gambaran klinis RDS:

a. Bronkopneumonia

Sering terjadi sekunder akibat infeksi Streptokoki Grup B beta hemolitikus

(GBBS). Pada gambaran foto thorax didapati infiltrat atau konsolidasi pada

seluruh lapangan paru.

b. Transient Tachypnea of the Newborn

Biasanya terjadi pada bayi cukup bulan atau mendekati cukup bulan.

c. Sindroma Aspirasi Mekonium

9

Page 10: BAB II & Bab III Case Neo

Sindrom gangguan nafas akibat aspirasi air ketuban atau mekonium.

d. Penyakit Membran Hialin

Kumpulan gejala gangguan pernapasan karena tidak adekuatnya surfaktan

dalam paru akibat dari hambatan pembentukan surfaktan.

e. Kebocoran Udara pada Paru

Pneumothoraks, emfisema interstisial, pneumomediastinum,

pneumoperikardium. Pada bayi cukup bulan, hal ini terjadi akibat

pemberian ventilasi tekanan positiv yang berlebihan atau dapat terjadi

spontan.

f. Kelainan Paru Kongenital

Misalnya hernia diafragmatika, silotoraks, pembentukan kista adenomatoid

paru kongenital, emfisema lobaris, kista bronko-genik, sekuestrasi paru.

g. Kelainan Jantung Kongenital

h. Gejala Sisa atau Sekuel RDS

Termasuk perdarahan intrakranial dan/atau lekomalasia periventrikular

sering dihubungkan dengan keterlambatan perkembangan neurologis,

septicimia, Diplasia bronkhopulmoner, Patent Ductus Arteriosus, dan

perdarahan paru.

C. Bronkopneumonia

Definisi

Bronkopneumonia merupakan peradangan paru yang dimulai di bronkioli

terminal.

Etiologi

Spektrum etiologi pneumonia pada anak meliputi Streptococcus

pneumoniae, Haemophylus influenza tipe B, Staphylococcus aureus,

Myoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, dan berbagai virus

respiratori. Bronkopneumonia biasanya disebabkan oleh infeksi Streptococcus

pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata

diseluruh lapangan paru.

10

Page 11: BAB II & Bab III Case Neo

Patologi dan Patogenesis

Umumnya mikroorganisme sering terhisap ke paru pada bagian perifer

melalui saluran pernafasan. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan

yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya.

Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi

penyerbukan PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukan kuman di

aveoli. Stadium ini dinamakan stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi

fibrin semakin bertambah, terdapat benang fibrin dan leukosit PMN di alveoli

dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium

hepatisasi kelabu.

Kemudian jumlah makrofag meningkat di alveoli, dan sel akan mengalami

degenerasi, fibrin akan menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini

disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak

terkena akan tetap normal.

Pemeriksaan Penunjang

a. Darah perifer lengkap

Pada pneumonia virus dan juga pneumonia mikoplasma umumnya

ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Pada

pneumonia bakteri akan ditemukan leukositosis. Hasil pemeriksaan darah

perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan

infeksi bakteri secara pasti.

b. C- Reactive Protein (CRP)

Kadar CRP terkadang lebih rendah pada infeksi virus atau bakteri

superfisialis daripada infeksi bakteri profunda.

c. Uji Serologis

Untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik.

d. Pemeriksaan mikrobiologis

11

Page 12: BAB II & Bab III Case Neo

Spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan

bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Diagnosa dikatakan

definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura atau aspirasi paru.

Pemeriksaan Rontgen Thoraks

Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua

paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer

paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Diagnosis dan Penatalaksanaan

Dasar Diagnosis:

Demam, batuk, sesak, pernafasan cepat dan dangkal, pernafasan cuping

hidung, retraksi dinding thoraks, suara nafas vesikuler meningkat sampai

bronkial, dan bising tambahan ronkhi basah halus nyaring.

Penatalaksanaan:

Antibiotika polifragmasi selama 7 – 10 hari

Ampisilin 100 mg/KgBB/hari dibagi dalam 2 dosis

Gentamisin : untuk BB < 2000 gram 2,5 mg/kgBB/24 jam

untuk BB >2000 gram 2,5 mg/kgBB/18 jam

Bila umur > 7 hari berikan tiap 12-18 jam

Ceftazidim 50 mg/KgBB/hari diberikan dalam 2 dosis

Suportif

IVFD dextrose 7,5% atau 10% + NaCl 15% 6cc

Bila terjadi impending decompensation cordis:

Pengurangan cairan sampai dengan ¾ kebutuhan

Diberikan diuretika

Bila tak teratasi, diberikan digitalisasi

12

Page 13: BAB II & Bab III Case Neo

Prognosis

Dengan pengobatan yang tepat, prognosis untuk bronkopneumonia adalah

baik.

Komplikasi

Meliputi:

Empiema torasis

Perikarditis purulenta

Pneumothoraks

Infeksi ekstrapulmoner

D. Asfiksia Neonatorum

Definisi

Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang gagal

bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Ditandai dengan

hipoksemia, hiperkabia, dan asidosis.

Menurut American College of Obstetricans and Gynecologists

(ACOG) dan American Academy of Pediatrics (AAP), seorang neonatus

disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut.

a. Nilai Apgar menit kelima 0-3.

b. Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0).

c. Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma).

d. Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan

kardiovaskular,gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem

renal).

e. Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multi organ, kejang dan

ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang

mengalami episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki

risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai

pertimbangan utama (Health Technology Assessment Indonesia Depkes

RI, 2008).

13

Page 14: BAB II & Bab III Case Neo

Etiologi Asfiksia Neonatorum

Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit - menit

pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila

terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke

janin akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul

pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir (McGuire,

2007).

Towell (1966) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan Pernafasan

pada bayi, yang terdiri dari :

1. Faktor ibu

a. Hipoksia ibu

Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.

Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat

pemberian obat analgetika atau anastesia dalam.

b. Gangguan aliran darah uterus

Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan

berkurangnya oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin. Hal

ini sering ditemukan pada keadaan :

i) Gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni

atau

tetani uterus akibat penyakit atau obat.

ii) Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan.

iii) Hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain-lain.

2. Faktor Plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan

kondisi plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan

mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan

plasenta, dan lain-lain.

14

Page 15: BAB II & Bab III Case Neo

3. Faktor fetus

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran

darah dalam pembuluh darah umbulikus dan menghambat pertukaran

gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan

pada kelainan tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi

tali pusat janin dan jalan lahir, dan lain-lain.

4. Faktor Persalinan

Persalinan dengan tindakan, korioamnionitis, kelainan letak,

partus lama, ketuban pecah dini, inertia uteri, air ketuban bercampur

mekonium, penggunaan anestesi umum, penggunaan narkotik < 4 jam

sebelum persalinan.

Patofisiologi Asfiksia Neonatorum

Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir

Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber

oksigen atau jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh

arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga

tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari

jantung kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh

darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang

bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke

aorta.

Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru

sebagai sumber utama oksigen. Pada saat bayi mengambil napas

pertama, udara memasuki alveoli paru dan cairan yang mengisi alveoli

akan diserap ke dalam jaringan paru. Pada napas kedua dan berikutnya,

udara yang masuk alveoli bertambah banyak dan cairan paru diabsorpsi

sehingga kemudian seluruh alveoli berisi udara yang mengandung

15

Page 16: BAB II & Bab III Case Neo

oksigen. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen

mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.

Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan

tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah

sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di

alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga

tahanan terhadap aliran darah bekurang.

Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah

sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah

dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat

sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang

diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah

yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri,

kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada

kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk

menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen

meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus

mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus

sekarang melalui paru-paru akan mengambil banyak oksigen untuk

dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.

Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan

menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan

pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari

jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang

utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat

dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari

abu-abu/biru menjadi kemerahan (Health Technology Assessment

Indonesia Depkes RI, 2008).

Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi

16

Page 17: BAB II & Bab III Case Neo

Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan

atau setelah lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum

atau selama persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran

darah di plasenta atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi

frekuensi jantung janin. Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih

banyak berkaitan dengan jalan napas dan paru-paru, misalnya sulit

menyingkirkan cairan atau benda asing seperti mekonium dari alveolus,

sehingga akan menghambat udara masuk ke dalam paru mengakibatkan

hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan menghambat

peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik). Selain itu kekurangan

oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan

mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi

penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan.

Aliran darah paru meningkat secara dramatis. Hal ini disebabkan

ekspansi paru yang membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan tekanan

akhir ekspirasi yang lebih tinggi. Ekspansi paru dan peningkatan tekanan

oksigen alveoli, keduanya, menyebabkan penurunan resistensi vaskuler

paru dan peningkatan aliran darah paru setelah lahir. Aliran intrakardial

dan ekstrakardial mulai beralih arah yang kemudian diikuti penutupan

duktus arteriosus. Kegagalan penurunan resistensi vaskuler paru

menyebabkan hipertensi pulmonal persisten (Persisten Pulmonary

Hypertension of the Neonate) pada bayi baru lahir, dengan aliran darah

paru yang inadekuat dan hipoksemia relatif. Ekspansi paru yang inadekuat

menyebabkan gagal napas (Dharmasetiawani, 2008).

Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi

Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke

dalam paru-parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke

jaringan insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol

pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini

17

Page 18: BAB II & Bab III Case Neo

terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi

cairan dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen.

Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi

arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian

aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk

mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah

akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun

demikian, jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi

kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung,

penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh

organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan

oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang

irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi

yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda

klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot

dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen;

bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen

pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena kekurangan

oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah

yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan; takipnu

(pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan

sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah (Health Technology

Assessment Indonesia Depkes RI, 2008).

Klasifikasi Asfiksia NeonatorumKlasifikasi asfiksia neonatorum dibagi berdasarkan tingkat

keparahan asfiksia yang dinilai berdasarkan skor apgar. Nilai Apgar

ditemukan pada tahun 1952 oleh seorang obstetrical anesthesiologist

bernama dr. Virginia Apgar di Sloane Hospital for Women, New York.

Skor apgar ini biasanya dinilai 1 menit setelah bayi lahir lengkap,

yaitu pada saat bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah

18

Page 19: BAB II & Bab III Case Neo

dilakukan pengisapan lendir dengan sempurna. Skor apgar 1 menit ini

menunjukkan beratnya asfiksia yang diderita dan baik sekali sebagai

pedoman untuk menentukan cara resusitasi. Skor apgar perlu pula dinilai

setelah 5 menit bayi lahir, karena hal ini mempunyai korelasi yang erat

demgan morbiditas dan mortalitas neonatal (Abdoerrachman dkk, 1985).

Skor Apgar

Tanda Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2

Warna kulit

(Appearance)

Biru/pucat Tubuh kemerahan, ekstremitas biru

Tubuh dan ekstremitas kemerahan

Frekuensi jantung

(Pulse)

Tidak ada <100x/menit >100x/menit

Refleks

(Grimace)

Tidak ada Gerakan sedikit Menangis

Tonus otot

(Activity)

Lumpuh Ekstremitas fleksi sedikit

Gerakan aktif

Usaha bernafas

(Respiration)

Tidak ada Lambat Menangis kuat

Berdasarkan standar penatalaksanaan ilmu kesehatan anak Rumah Sakit

Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang, asfiksia neonatorum dapat

dibagi sebagai berikut:

1. Tidak asfiksia, yaitu skor Apgar menit pertama antara 8 - 1.

2. Asfiksia ringan, yaitu skor Apgar menit pertama antara 5 - 7

3. Asfiksia sedang, yaitu skor Apgar menit pertama antara 3 - 4

4. Asfiksia berat, yaitu skor Apgar menit pertama antara 0 – 2

19

Page 20: BAB II & Bab III Case Neo

Diagnosis Asfiksia Neonatorum

1. Anamnesis

Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terjadinya asfiksia.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Bayi tidak bernafas atau menangis.

b. Denyut jantung kurang dari 100x/menit.

c. Tonus otot menurun.

d. Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium atau sisa

mekonium pada tubuh bayi.

e. BBLR.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium beupa analisis gas darah tali pusat menunjukkan

hasil asidosis pada darah tali pusat:

a. PaO2 < 50 mm H2O

b. PaCO2 > 55 mm H2

c. pH < 7,30

Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif,

pemeriksaan penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi,

berupa :

Darah perifer lengkap

Analisis gas darah sesudah lahir

Gula darah sewaktu

Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)

Ureum kreatinin

Laktat

Ronsen dada

Ronsen abdomen tiga posisi

Pemeriksaan USG kepala

Pemeriksaan EEG dan CT Scan kepala

20

Page 21: BAB II & Bab III Case Neo

(IDAI, 2004).

Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum

Tujuan utama mengatasi asfiksia ialah untuk mempertahankan

kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin timbul

di kemudian hari. Tindakan yang dikerjakan pada bayi lazim disebut

resusitasi bayi baru lahir. Penilaian awal dilakukan pada setiap bayi baru

lahir untuk menetukan apakah tindakan resusitasi harus segera dimulai.

Segera setelah lahir dilakukan penilaian pada semua bayi dengan cara

melihat :

1. Apakah bayi lahir cukup bulan ?

2. Apakah air ketuban jernih dan tidak bercampur mekonium ?

3. Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis ?

4. Apakah tonus otot baik ?

Apabila semua jawaban diatas ‘Ya’, berarti bayi baik dan tidak

memerlukan tindakan resusitasi. Pada bayi ini segera dilakukan Asuhan

Bayi Normal. Bila salah satu atau lebih jawaban ‘tidak’, bayi memerlukan

tindakan resusitasi segera.

1). Langkah awal dalam stabilisasi

a. Memberikan kehangatan

Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant

warmer) dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh

bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh tubuh.

b. Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya

Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah

dalam posisi menghidu agar posisi farings, larings dan trakea

dalam satu garis lurus yang akan mempermudah masuknya udara.

Posisi ini adalah posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan

balon dan sungkup atau untuk pemasangan pipa endotrakeal.

c. Membersihkan jalan napas sesuai keperluan

21

Page 22: BAB II & Bab III Case Neo

Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat

menyebabkan pneumonia aspirasi. Bila terdapat mekoneum dalam

cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi

pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari

100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul

pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium. Bila

terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak

bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada

bayi tanpa mekoneum.

d. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada

posisi yang benar

Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret,

dan mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi

untuk memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar,

penghisapan sekret dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat,

maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan menepuk atau

menyentil telapak kaki, atau dengan menggosok punggung, tubuh

dan ekstremitas bayi.

2). Ventilasi tekanan positif

Setelah dilakukan langkah awal resusitasi, ventilasi tekanan

positif harus dimulai bila bayi tetap apnea setelah stimulasi atau

pernapasan tidak adekuat, dan/atau frekuensi jantung memadai tetapi

sianosis sentral, bayi diberi oksigen aliran bebas. Bila setelah ini bayi

tetap sianosis, dapat dicoba melakukan ventilasi tekanan positif.

3). Pemberian Oksigen

Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan

tambahan oksigen. Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan

dengan menggunakan sungkup oksigen, sungkup dengan balon tidak

mengembang sendiri, T-piece resuscitator dan selang/pipa oksigen.

22

Page 23: BAB II & Bab III Case Neo

Pemberian oksigen 100% tidak dianjurkan pada bayi kurang

bulan karena dapat merusak jaringan. Penghentian pemberian oksigen

dilakukan secara bertahap bila tidak terdapat sianosis sentral lagi yaitu

bayi tetap merah atau saturasi oksigen tetap baik walaupun

konsentrasi oksigen sama dengan konsentrasi oksigen ruangan. Bila

bayi kembali sianosis, maka pemeberian oksigen perlu dilanjutkan

sampai sianosis sentral hilang. Kemudian secepatnya dilakukan

pemeriksaan gas darah arteri dan oksimetri untuk menyesuaikan kadar

oksigen mencapai normal.

4) Kompresi dada

Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari

60x/menit setelah dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik.

Kompresi dada dilakukan dengan menekan sternum menggunakan 1

jempol atau 2 jari tegak lurus di linea parasentralis kiri sedalam 1/3

diameter anteroposterior rongga dada dengan 3 kali penekanan dan 1

kali ventilasi dalam 2 detik (45 kali kompresi dada dan 15 kali

ventilasi selama 30 detik).

5). Terapi Medikamentosa

a. Epinefrin 1:10.000

Dosis : 0,1-0,3 ml/kg berat badan atau 0,01-0,03 mg/kg

berat badan diberikan secara cepat, dilarutkan dengan larutan NaCl

0,9% menjadi 1-2 ml bila secara endotrakea.

b. Cairan penambah volume darah (plasma expander)

Dosis awal 10 ml/kg dengan kecepatan 5-10 menit secara

intravena. Bila bayi menunjukkan perbaikan yang minimal setelah

pemberian dosis pertama, dapat dberikan dosis tambahan lagi 10

ml/kg.

c. Nalokson

23

Page 24: BAB II & Bab III Case Neo

Dosis : 0,1 mg/kg diberikan secara intravena atau

intramuskular.

d. Natrium Bikarbonat

Dosis : 1-2 mEq/kg diberikan secara intravena setelah

ventilasi dan perfusi adekuat dicapai, diberikan dalam kira-kira 2

menit yaitu 1 mEq/kg/menit (Dharmasetiawani, 2008).

Algoritme Resusitasi Bayi Baru Lahir

Prognosis Asfiksia Neonatorum

24

Page 25: BAB II & Bab III Case Neo

Apabila bayi yang mengalami asfiksia dapat bertahan hidup pada

24 jam pertama maka prognosis kehidupannya biasanya akan baik.

Namun, sekitar 1 juta bayi yang bertahan dari asfiksia neonatorum hidup

dengan gangguan perkembangan otak kronik, termasuk cerebral palsy,

retardasi mental dan kesulitan belajar.

Komplikasi Asfiksia Neonatorum

Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi yang mengalami asfiksia

neonatorum adalah asidosis metabolik, hipoglikemia, enselofati hipoksia

iskemik dan gagal ginjal. Kompresi dada juga dapat menyebabkan trauma

pada bayi. Organ vital dibawah tulang iga adalah jantung, paru, dan

sebagian hati. Tulang rusuk juga rapuh dan mudah patah. Kompresi harus

dilakukan dengan hati-hati supaya tidak merusak organ dibawahnya

(Health Technology Assessment Indonesia Depkes RI, 2008).

E. Sepsis Neonatorum

Definisi

Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah bayi

selama empat minggu pertama kehidupan.(Bobak, 2005)

Sepsis adalah sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-tanda

klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang ke arah

septisemia dan syok septik. (Doenges, Marylyn E. 2000, hal 871).

Etiologi

a. Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri

mampu menyebabkan sepsis.

b. Mikroorganisme berupa bakteri, jamur, virus atau riketsia. Penyebab

paling sering dari sepsis : Escherichia Coli dan Streptococcus grup B

(dengan angka kesakitan sekitar 50 – 70 %. Diikuti dengan malaria,

sifilis, dan toksoplasma. Streptococcus grup A, dan streptococcus

viridans, patogen lainnya gonokokus, candida alibicans, virus herpes

25

Page 26: BAB II & Bab III Case Neo

simpleks (tipe II) dan organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki,

hepatitis, influenza, parotitis.

c. Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan

tindakan.

d. Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan.

Faktor- faktor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum

berasal dari tiga kelompok, yaitu :

1. Faktor Maternal

a. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang. Mempengaruhi

kecenderungan terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak

diketahui sepenuhnya. Ibu yang berstatus sosio- ekonomi rendah

mungkin nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak

higienis. Bayi kulit hitam lebih banyak mengalami infeksi dari pada

bayi berkulit putih.

b. Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur

ibu (kurang dari 20 tahun atua lebih dari 30 tahun

c. Kurangnya perawatan prenatal.

d. Ketuban pecah dini (KPD)

e. Prosedur selama persalinan

2. Faktor Neonatatal

a. Prematurius ( berat badan bayi kurang dari 1500 gram), merupakan

faktor resiko utama untuk sepsis neonatal. Umumnya imunitas bayi

kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup bulan. Transpor

imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh

terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin

serum terus menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia berat.

Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit.

b. Defisiensi imun. Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG

spesifik, khususnya terhadap streptokokus atau Haemophilus

influenza. IgG dan IgA tidak melewati plasenta dan hampir tidak

26

Page 27: BAB II & Bab III Case Neo

terdeteksi dalam darah tali pusat. Dengan adanya hal tersebut,

aktifitas lintasan komplemen terlambat, dan C3 serta faktor B tidak

diproduksi sebagai respon terhadap lipopolisakarida. Kombinasi

antara defisiensi imun dan penurunan antibodi total dan spesifik,

bersama dengan penurunan fibronektin, menyebabkan sebagian

besar penurunan aktivitas opsonisasi.

c. Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki-

laki empat kali lebih besar dari pada bayi perempuan.

3. Faktor diluar ibu dan neonatal

a. Penggunaan kateter vena/ arteri maupun kateter nutrisi parenteral

merupakan tempat masuk bagi mikroorganisme pada kulit yang

luka. Bayi juga mungkin terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.

b. Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bis

menimbulkan resiko pada neonatus yang melebihi resiko

penggunaan antibiotik spektrum luas, sehingga menyebabkan

kolonisasi spektrum luas, sehingga menyebabkan resisten berlipat

ganda.

c. Kadang- kadang di ruang perawatan terhadap epidemi penyebaran

mikroorganisme yang berasal dari petugas ( infeksi nosokomial),

paling sering akibat kontak tangan.

d. Pada bayi yang minum ASI, spesies Lactbacillus dan E.colli

ditemukan dalam tinjanya, sedangkan bayi yang minum susu

formula hanya didominasi oleh E.colli.

Klasifikasi Sepsis

1. Sepsis awitan dini

terjadi 3 hari pertama kehidupan.

Karakteristik : sumber organisme pada saluran genital ibu dan atau

cairan amnion, biasanya fulminan dengan angka mortalitas tinggi.

2. Sepsis lanjutan/ nosokomial/ awitan lambat

27

Page 28: BAB II & Bab III Case Neo

yaitu terjadi setelah 3 hari pertama kehidupan dan didapat dari

lingkungan pasca lahir. Karakteristik : Didapat dari kontak langsung

atau tak langsung dengan organisme yang ditemukan dari lingkungan

tempat perawatan bayi, sering mengalami komplikasi.

Patofisiologi

Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus

melalui beberapa cara yaitu :

a. Pada masa antenatal atau sebelum lahir pada masa antenatal kuman

dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilicus masuk kedalam

tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi

adalah kuman yang dapat menembus plasenta, antara lain virus

rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis.

Bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain malaria, sifilis dan

toksoplasma.

b. Pada masa intranatal atau saat persalinan infeksi saat persalinan terjadi

karena kuman yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai kiroin

dan amnion akibatnya, terjadi amnionitis dan korionitis, selanjutnya

kuman melalui umbilkus masuk ke tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat

persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi dapat terinhalasi oleh

bayi dan masuk ke traktus digestivus dan traktus respiratorius,

kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain melalui

cara tersebut diatas infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi

atau “port de entre” lain saat bayi melewati jalan lahir yang

terkontaminasi oleh kuman (mis. Herpes genitalis, candida albican dan

gonorrea).

c. Infeksi pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi

sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial dari

lingkungan diluar rahim (mis, melalui alat-alat; pengisap lendir,

selang endotrakea, infus, selang nasagastrik, botol minuman atau dot).

28

Page 29: BAB II & Bab III Case Neo

Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat

menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial.

Manifestasi Klinik

a. Umum : hipertermi kemudian hipotermi, tampak tidak sehat, malas

minum

b. Saluran cerna : distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare,

hepatomegali

c. Saluran napas : apnea, dispnea, takipnea, napas cuping hidung,

merintih, sianosis.

d. Sistem kardiovaskuler : sianosis,hipotensi,takikardi,bradikardia.

e. Sistem saraf pusat :tremor, kejang,penurunan kesadaran

f. Hematologi : ikterus,splenomegali, pucat, petekie, pendarahan.

(Kapita selekta kedokteran Jilid II,Mansjoer Arief 2008)

Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan darah rutin(hb,leuko,trombosit,CT,BT,LED,SGOT,

SGPT)

b. Kultur darah dapat menunjukkan organisme penyebab.

c. Analisis kultur urine dan cairan sebrospinal (CSS) dengan lumbal

fungsi dapat mendeteksi organisme.

d. DPL menunjukan peningkatan hitung sel darah putih (SDP) dengan

peningkatan neutrofil immatur yang menyatakan adanya infeksi.

e. Laju endah darah, dan protein reaktif-c (CRP) akan meningkat

menandakan adanya inflamasi.

Kriteria Diagnosis

Hasil laboratorium yang membantu untuk diagnosis sepsis adalah bila

ditemukan lebih dari satu hasil laboratorium dibawah ini:

29

Page 30: BAB II & Bab III Case Neo

- Leukosit < 5000/mm3 atau > 34.000/mm3

- I/T ratio 0,2 atau lebih

- Mikro LED > 15 mm/jam

- CRP (+) > 9 mg/dl

- Trombositopenia

Penatalaksanaan Medis

1. Suportif

- Lakukan monitoring cairan elektrolit dan glukosa

IVF dekstrose 7,5% atay 10% 500cc + Ca glukonas dengan jumlah

sesuai kebutuhan bayi. Mulai hari ketoga baru ditambahkan NaCl

15% 6cc/kolf. Jika ada asidosis berikan dekstrose dan bicnat (4:1)

sampai secara klinis tidak ada tanda asidosis.

- Berikan koreksi jika terjadi hipovolemia, hipokalsemia dan

hipoglikemia

- Atasi syok, dan hipoksia

- Awasi adanya hiperbilirubinemia

- Pertimbangkan nurtisi parenteral bila pasien tidak dapat menerima

nutrisi enteral.

2. Kausatif

Antibiotik diberikan sebelum kuman penyebab diketahui. Pada

bayi dengan tersangka infeksi langsung diberikan Ampisillin 100

mg/kgBB/hari i.v dibagi 2 dosis dan Gentamisin 2,5 mg/KgBB/24 jam

i.v 1 dosis, untuk bayi kurang bulan selama 3-5 hari. Bila dari klinis

dan hasil laboratorium benar menunjukkan adanya sepsis digantikan

dengan Ceftazidime 50 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 2 dosis, bila

dicurigai infeksi oleh karena stafilokokus maka diberikan sefalosporin

generasi ke-2, 50 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 2 dosis. Bila tidak

ada perbaikan klinis dalam 48 jam atau keadaan umum semakin

memburuk, pertimbangkan pindah ke antibiotik yang lebih poten,

30

Page 31: BAB II & Bab III Case Neo

misalnya meropenem 20mg/kgBB i.v tiap 8 jam atau sesuai hasil tes

resistensi. Antibiotik diberikan 7-10 hari, dan dihentikan setelah klinis

membaik selama 5 hari. Bila terjadi Meningitis, antibiotik diberikan

selama 14-21 hari dengan dosis sesuai untuk Meningitis.

Komplikasi

Meningitis

Hipoglikemia, asidosis metabolik

Koagulopati, gagal ginjal, disfungsi miokard, perdarahan intrakranial

ikterus/kernikterus

Prognosis

Angka kematian pada sepsis neonatal berkisar antara 10 – 40 %.

Angka tersebut berbeda-beda tergantung pada cara dan waktu awitan

penyakit, agen atiologik, derajat prematuritas bayi, adanya dan keparahan

penyakit lain yang menyertai dan keadaan ruang bayi atau unit perawatan.

Angka kematian pada bayi prematur yang kecil adalah 2 kali lebih

besar.

31

Page 32: BAB II & Bab III Case Neo

BAB III

ANALISIS KASUS

Seorang bayi perempuan berusia 1 hari dengan berat badan 1900 gram,

panjang badan 41 cm, berkebangsaan Indonesia, beralamat di dalam kota, dirawat

di boks Neonatus Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSMH Palembang pada tanggal

24 Oktober 2012 (MRS saat usia 0 hari).

Bayi lahir diluar spontan, ditolong oleh bidan, dari ibu G4P3A0 hamil 34-35

minggu, bayi lahir tidak langsung menangis, APGAR Score 5/7. Berat badan lahir

1900 gram, panjang 41 cm. Riwayat ibu demam tidak ada, riwayat KPSW tidak

ada, riwayat ketuban kental, hijau, berbau busuk tidak ada. Riwayat injeksi

vitamin K ada. Sejak lahir tangis penderita merintih, sesak nafas ada, wajah

penderita langsung biru bila bantuan oksigen dilepas, penderita akhirnya dirujuk

ke RSMH Palembang.

Dari data di atas, disimpulkan bahwa bayi ini termasuk dalam kategori bayi

berat lahir rendah (BBLR), yaitu kurang dari 2500 gram. Dikatakan preterm

karena bayi lahir saat usia kandungan < 37 minggu. Dikatakan AGA berdasarkan

analisis menggunakan kurva lubchenco.

32

Page 33: BAB II & Bab III Case Neo

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya sesak, yang sebelumnya tidak

disertai dengan batuk. Sesak yang dialami penderita kemungkinan besar bukan

berasal dari masalah ekstra pulmoner sebab tidak ada riwayat biru ketika minum

ASI ataupun menangis (melemahkan kemungkinan diagnosis penyakit jantung

congenital), dan tidak ada riwayat biru ketika penderita diam dan hilang jika

menangis (menyingkirkan obstruksi jalan napas atas, misalnya atresia koana).

Sesak yang tidak dipengaruhi posisi, cuaca, dan aktivitas juga melemahkan

kemungkinan gangguan jantung. Sesak yang tidak disertai mengi menyingkirkan

asma bronchial. Secara epidemiologi, asma bronchial jarang ditemukan pada

neonatus. Adapun masalah gangguan intrapulmoner yang sering menyebabkan

distress pernapasan pada pada neonatus dan anak usia kurang dari 2 tahun adalah

bronkopneumonia dan bronkiolitis akut.

Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan CRP negatif. Hasil ini tidak

membuktikan adanya sepsis pada pasien ini. Hasil rontgen memberikan

gambaran infiltrate pada kedua lobus paru, sehingga mendukung diagnosis

bronkopneumonia.

Penatalaksanaan kasus ini meliputi IVFD Dextrose D5% ditambah ca

glukonas 30cc gtt 6/menit (mikro), nasal oksigen 1L/menit, injeksi Ampicilin 2 x

100 mg, Ceftazidim 2 x 50 mg, Aminofilin 3 x 4 mg, dan ASI/PASI 8x10 cc via

33

Page 34: BAB II & Bab III Case Neo

NGT. Pemasangan jalur intravena ditujukan untuk hidrasi dan membukan jalur

untuk injeksi obat. Kebutuhan cairan diberikan berdasarkan berat badan dan usia.

Pemberian oksigen nasal kanul sebanyak 1L/menit bertujuan untuk mencukupi

kebutuhan oksigen bayi. Injeksi ampicillin dan ceftazidim ditujukan untuk

mengeradiksi bakteri penyebab bronkopneumonia. Dosis disesuaikan dengan

kebutuhan berdasarkan berat badan. ASI/PASI diberikan melalui NGT karena

bayi dalam kondisi sesak.

Pada hari ke-4 penderita mulai mengalami perbaikan, walaupun berat

badannya belum bertambah. Namun pada hari ke-5, penderita mendadak

mendapat serangan periodik apnu.

Pada pemeriksaan fisik saat perawatan hari ke-6 (usia bayi 6 hari),

didapatkan aktivitas hipoaktif, refleks isap lemah, dan tangis lemah sehingga

ditegakkan klinis sepsis. Pada pemeriksaan fisik di temukan adanya takipneu, tapi

belum ditemukan retraksi pada pemeriksaan thorax. Pemeriksaan Laboratorium

juga memberikan kesan sepsis (peningkatan CRP dan trombositopenia ).

Pengobatan diteruskan dengan dosis yang dinaikkan menjadi dosis meningitis,

karena dicurigai meningitis. Oksigen melalui Headbox 5 L/menit, ASI/PASI 8 x

20 cc melalui NGT, IVFD D7,5% 1/5 NS gtt 6/menit (mikro), Ampicilin 2 x 200

mg, Ceftazidime 2 x 125 mg, Aminofilin 3 x 4 mg.

Pemeriksaan hari ke-7, didapatkan ubun-ubun yang tegang dan sutura

yang melebar pada pemeriksaan kepala. Namun rencana USG transfontanella

belum terlaksana.

Pada perawatan hari ke-10, berat badan penderita bertambah, tidak

demam, dan tidak lagi dijumpai sesak. Namun aktifitas masih hipoaktif, reflek

isap dan menangis lemah, klinis sepsis masih ada. Penderita juga masih

menggunakan oksigen melalui nasal kanul 1 liter/menit. Prognosis pasien ini quo

ad vitam dan functionam dubia karena keadaan klinis yang masih lemah.

34