Upload
rovypratama
View
219
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
baB 1
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah penyempitan pembuluh darah arteri di perifer,
dimana prosesnya kronis dan progresif. Bentuk penyempitan yang bisa terjadi adalah
adanya ateroma, arteritis, trombus lokal, ataupun embolisasi sehingga outputnya adalah
pengurangan aliran darah ke jaringan yang lebih perifer. Respon adaptasi hemodinamik
sangat beragam membuat klinis dari PAP berbeda-beda, lebih 50% penderita PAP dijumpai
tanpa gejala, 25% dengan keluhan klasik dan 10% dengan iskemik kritis anggota gerak
yang ditandai adanya rasa sakit waktu istirahat, ulkus iskemik yang tidak sembuh (nyeri,
kulit ulkus yang kering terutama didaerah jempol kaki, dan adanya gangren.
Secara umum, penyakit arteri perifer (peripheral arterial disease, PAD) merupakan
kumpulan kelainan yang menghambat aliran darah ke ekstremitas baik atas maupun bawah,
kebanyakan terjadi akibat aterosklerosis. Gejala utama dari PAD ekstremitas bawah, klaudikasio
intermiten, cenderung menghambat aktivitas pasien, menimbulkan ketergantungan terhadap
orang lain, dan menurunkan kualitas hidup pasien tersebut.
Prevalensinya PAD bervariasi tergantung umur, namun jumlahnya lebih tinggi PAD
kelompok usia diatas 40 tahun (15%-20%) Kebanyakan pasien PAD (80%), adalah perokok
maupun bekas perokok.2Di Indonesia, prevalensinya PAD pasien diabetes mellitus mencapai
44%.3 Data rekam medis Pusat Jantung Harapan Kita (PJNHK) menunjukkan jumlah pasien
PAD ekstremitas bawah sebanyak 119 pasien selama Januari 2011 hingga Agustus 2012.
Penyakit Arteri Perifer adalah gangguan vaskular yang disebabkan oleh proses
aterosklerosis atau tromboemboli, yang mengganggu struktur maupun fungsi aorta dan cabang
viseralnya serta arteri yang memperdarahi ekstrimitas bawah.1 PAD mencakup semua gangguan
PAD arteri non-koroner yang memperdarahi ekstrimitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri
mesenterika, aorta abdominalis serta semua percabangan setelah keluar dari aorto iliaka.2 PAP
dapat melibatkan berbagai arteri lain, namun secara klinis, PAP merupakan gangguan PAD arteri
yang memperdarahi ekstrimitas bawah.3 Arteri yang terlibat adalah arteri aorto-iliaka (30%),
arteri femoralis dan poplitea (80-90%), arteri tibialis dan peroneal (40-50%).
Patogenesis utama PAP adalah aterosklerosis. PAP merupakan bagian dari proses sistemik
yang melibatkan kelainan arteri multipel. Identifikasi PAP PAD satu arteri menjadi prediktor
kuat adanya PAP PAD arteri lainnya, termasuk PAD pembuluh darah koroner, karotis dan
serebral. Pasien dengan PAP memiliki resiko tinggi mengalami infark miokard, stroke iskemik
hingga kematian.3 Pasien dengan PAP memiliki resiko penyakit kardiovaskular 2 kali lebih
besar dan resiko mortalitas 2-5 kali lebih tinggi dibandingkan individu tanpa PAP
Gejala utama PAP adalah klaudikasio intermiten yaitu sensasi nyeri, pegal, kram, baal,
atau tidak nyaman PAD otot yang terjadi saat beraktivitas dan menghilang dengan istirahat.
Nyeri timbul karena pasokan darah tidak dapat mencukupi kebutuhan jaringan yang meningkat
saat aktivitas.2 Klaudikasio intermiten dapat terjadi PAD satu kaki saja (40%) atau mengenai
kedua kaki (60%).4 Rasa nyeri biasanya muncul PAD sekelompok otot yang terletak distal dari
obstruksi arteri. Nyeri PAD pinggul dan paha merujuk kelainan PAD segmen aorto-iliaka
sementara nyeri PAD betis menunjukkan kelainan segmen femoral dan popliteal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah penyempitan pembuluh darah arteri di perifer,
dimana prosesnya kronis dan progresif 10 Bentuk penyempitan yang bisa terjadi
adalah adanya ateroma, arteritis, trombus lokal, ataupun embolisasi sehingga outputnya
adalah pengurangan aliran darah ke jaringan yang lebih perifer
2.2 Faktor Resiko
Secara umum faktor-faktor risiko yang berperan timbulnya PAP adalah usia, hipertensi,
rokok, dislipidemia, dan faktor risiko lain. Secara umum faktor risiko ini bekerja pada
timbulnya aterosklerosis
1. Usia
Prevalensi dari PAP meningkat dengan tajam sesuai dengan pertambahan usia,
dari 3% pada pasien yang lebih muda dari 60 tahun hingga 20 % pada pasien yang
lebih tua dari 75 tahun23,24 data dari Studi Framingham menghasilkan bahwa prevalensi
dari PAP meningkat 10 kali dari laki-laki usia 30-44 tahun hingga 65-74 tahun dan hampir
20 kali lipat pada wanita pada kelompok umur yang sama. Untuk klaudikasio
intermiten, prevalensi meningkat dengan peningkatan usia dan dihubungkan dengan
peran peningkatan komomorbiditas yang lain
2. Hipertensi
Penelitian-penelitian epidemiologi lain juga menghubungkan dan mendapatkan
risiko PAP dan hipertensi sekitar 50-92%. Pada studi National Health and Nutritional
Examination Survey (NHANES) dan Peripheral Arterial Disease Awareness Risk And
Treatment: New Resources for Survival (PARTNERS) mendapatkan hubungan PAP
dengan hipertensi sekitar 74% dan 92% berturut-turut. Pada Studi Framingham menunjukkan
peningkatan 2,5-4 kali lipat risiko klaudikasio intermiten dengan hipertensi. Namun tidak ada
studi dalam mengevaluasi apakah terapi antihipertensi langsung mengganggu
progresifitas dari PAD yang simptomatik. Tekanan darah yang proporsional pada studi
diabetes membuktikan pengurangan dari kejadian kardiovaskular pada PAP. Pada guidelines
yang paling baru dari JNC pada deteksi, evaluasi, dan pengobatan hipertensi, PAP
dipikirkan bersamaan pada risiko terjadinya iskemia jantung, ini menyokong pengunaan
terapi agressif tekanan darah.27 Dan target yang disepakati oleh American
Association Diabetes (ADA) untuk tekanan darah adalah <130/80 mmHg.
3. Rokok
Penggunaan rokok merupakan hal yang paling penting dalam merubah faktor risiko
pada perkembangan dari penyakit aterosklerosis.28 Jumlah dan lamanya rokok berkorelasi
secara langsung dengan perkembangan progresifitas PAP27. Peranannya adalah
efek aterogenik dari rokok. Efek tersebut adalah akibat gabungan aktivasi dari sistem
simpatetik, efek vasokonstriksi, oksidasi dari LDL kolesterol, penghambatan
pembebasan dari plasminogen aktivator dari endotelium, peningkatan kadar fibrinogen,
peningkatan aktivitas trombosit, peningkatan ekspresi dari faktor jaringan, dan disfungsi
endotel 29 Pada studi Reykjavik30 merokok meningkatkan risiko terjadinya
klaudikasio intermitten 8 hingga 10 kali, dan penghentian rokok bisa menghasilkan
penurunan 50% dari klaudikasio intermitten hingga kurang lebih 20 % pada orang Iceland.
Hubungan sebab akibat dari penggunaan rokok dengan perkembangan PAD adalah regresi
PAP terjadi setelah menyetop rokok. Penghentian rokok menghasilkan perbaikan dari
tekanan di ankle dan toleransi latihan pada pasien dengan klaudikasio intermitten lebih awal
10 bulan setelah stop rokok 27
Penghentian rokok ini juga mempunyai efek besar pada penurunan risiko komplikasi,
termasuk progresifitas dari PAP, infark otot jantung dan mortalitas. Pada studi
Jonason dkk 27 laju dari perkembangan rasa sakit waktu istirahat pada pasien dengan
klaudikasio intermiten adalah 0 pada yang bukan perokok dan 16% pada perokok, sementara
10 tahun laju infark otot jantung adalah 11% dan 53%, 10 tahun laju kumulatif dari kematian
oleh karena jantung adalah 6% dan 43% dan 10 tahun survival rate 82% dan 46% diantara yang
tidak merokok dan perokok secara bertutut-turut.
4. Dislipidemia
Studi PARTNERS menemukan prevalensi PAP meningkat 66% pada pasien dislipidemia.
Pada Framingham Heart Study peningkatan kadar kolesterol total dihubungkan
dengan peningkatan dua kali klaudikasio intermiten. Dari studi mengenai lipid
mengkonfirmasi dislipoproteinemia yang terjadi adalah kombinasi penurunan HDL dan
peningkatan trigliserida. 27,31. Pada National Cholesterol Education Program Adult
Treatment Panel III (NCEP-ATP III) pada deteksi, evaluasi dan pengobatan dari
kolesterol yang tinggi pada darah PAP diperkirakan sebagai risiko yang sama dengan
penyakit arteri koroner31. Pada banyak studi tentang statin, terbukti statin bisa
mengurangi ketebalan dari pembuluh darah. Ini menunjukkan bahwa penyakit
aterosklerosis bisa diperlambat dengan pemberian statin32
2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari PAP bisa: tanpa gejala, ataupun bergejala seperti
klaudikasio intermiten, dan rasa sakit pada ekstremitas bawah waktu istirahat.
Lebih dari 50% kasus PAP adalah tanpa gejala, baik pada waktu olah raga
ataupun istirahat. Klaudikasio intermiten bisa sebagai manifestasi tunggal dari
PAP yang bergejala awal 32 Hal-hal yang berkenaan dengan klaudikasio
intermiten pada arterial bisa dilihat sebagai berikut 33,27
PAP pada aortoiliaka bisa bermanifestasi sebagai rasa sakit pada paha dan pinggul,
sedangkan PAP pada femoral ataupun pada poplitea bermanifestasi berupa rasa sakit di
betis. Gejala biasanya dicetuskan oleh berjalan dengan jarak < 200 meter dan
manifestasinya menghilang setelah istirahat. Peredaran darah kolateral bisa berkembang
dan ini akan mengurangi gejala, namun bila gagal dalam mengontrol faktor presipitasi
ataupun faktor risiko maka PAP ini akan makin berat. Rasa sakit pada PAP tidak dijumpai
pada perobahan posisi dari duduk ke berdiri atau sebaliknya. Keadaan yang lebih
menghawatirkan dikenal rasa sakit waktu istirahat (ischemic rest pain). Keadaan ini bisa
dijumpai bila PAP disertai keadaan yang menimbulkan curah jantung yang kurang. Pada
keadaan ini rasa sakit akan hilang bila extremitas diposisikan tergantung (menjuntai)
sehingga perfusi akan membaik dengan gravitasi.
Tanda-tanda fisik 27 Pemeriksaan fisik dari gangguan pembuluh darah disebut sangat kritis
bila ditemukan: tanda-tanda klasik "5 P's": yaitu pulselessness, paralysis, paraesthesia,
pain dan pallor. Bila dijumpai Paralysis dan paraesthesia kita sangkakan sudah terjadi
iskemia kaki yang sangat kritis dan keharusan untuk dilakukan evaluasi dan konsultasi.
Nilai juga desah dari jantung yang tak normal. Periksa semua pembuluh darah perifer
termasuk carotid, abdominal, dan femoral, untuk kualitas pols dan adanya bruit. Dikatakan
pada a. dorsalis pedis bisa tidak dijumpai adanya pols pada 5-8% subjek, tapi a. tibial
posterior ada. Keduanya bisa tidak dijumpai pada 0.5% pasien. Kulit bisa atropi, dan
nampak bersinar, hal ini bisa menunjukkan tanda perubahan pertumbuhan, termasuk
alopesia; kering, scaly, atau kulit erythematous perubahan pigmentasi. Manifestasi PAP
lanjut “fishnet pattern” (livedo reticularis), pulselessness, numbness, atau cyanosis. Bisa
diikuti Paralysis, dan extremitas menjadi dingin; dan bisa dijumpai gangren. Penyembuhan
yang sangat sukar juga dari ulkus pada extremitas bisa kita sangkakan kemungkinan PAP33.
2.4 Prognosis
Beberapa ukuran yang sering dipakai dalam melihat perjalanan alami PAP antara lain:
jarak tempuh jalan kaki (walking distance) perburukan dari lumen arteri itu sendiri,
morbiditas, dan mortalitas. Untuk walking distance dikatakan 33% dari penderita
dengan klaudikasio intermiten akan mengalami perburukan. Pada satu studi angiografi
(Studi Basle) dijumpai perburukan yang progresif dalam interval 5 tahun. Pada Studi
Basle dan juga Studi Framingham diketahui risiko untuk amputasi relatif kecil yaitu
sekitar 2%, namun risiko mortalitas secara umum meningkat sebanyak 50%. Mekanisma
progresifitas dari perburukan ini tetap adalah aterosklerosis. Studi lain, sekitar
27% dari pasien dengan PAP menunjukkan progresifitas dalam 5 tahun, dengan
kejadian kehilangan kaki 4%. Mortalitas umum yang terjadi pada klaudikasio
intermiten ditaksir 30% akan terjadi pada 5 tahun pertama, 50% akan meninggal pada
10 tahun, dan 70% pada 15 tahun. Tingginya mortalitas dan morbiditas ini memberikan
kesan bahwa klaudikasio intermiten merupakan ancaman hidup walaupun bukan pada
ancaman secara khusus pada kondisi kesehatan kaki.
Pada individu dengan Critical Limb Ischemic (CLI), outcome lebih buruk lagi,
sekitar 25% akan menjalani amputasi dan 25% akan meninggal dalam 12 bulan. Di
bawah ini dilihatkan perjalanan alami dari PAP secara umum27
2.5 Klasifikasi
Pada terminologi klinis maka PAP dibagi menjadi 4 kelas menurut Fontaine 34
Tingkat I
Tingat II
Tingkat IIa
: Asymptomatik arteriopathy
: Iskemia yang di induksi olah raga
: Intermitten Claudicatio (IC) (klaudikasio intermitten), rasa
sakit waktu berjalan, gejala menghilang waktu istirahat, pada
keadaan terkompensasi berjalan masih bisa > 200 m.
Tingkat II b : Dekompensasi: Jarak berjalan < 200 m
Tingat III : Rasa sakit pada waktu istirahat
Tingkat IV : Gangren/ulkus tropik
Pembagian menurut Fontaine di atas praktis digunakan, namun belakangan
kurang sering digunakan terutama bila dihubungkan ke aspek kualitas hidup oleh
karena keterbatasan dalam sering dijumpainya salah penempatan tingkat, oleh
karena bisa saja penderita tidak dijumpai klaudikasio intermiten dan karena
tidak sering olah raga penderita ditempatkan pada kelas asymptomatik, padahal
kenyataanya bisa penderita sudah pada tingkat IIb. Klasifikasi yang lain juga dikenal
klasifikasi Rutherford (Tabel 1). Klasifikasi ini membagi PAP menjadi empat grade
dan 6 kategori, dimana masing-masing grade satu kategori kecuali grade I dibagi
menjadi 3 kategori.
Klasifikasi ini sangat berguna pada studi studi epidemiologi dalam
mengidentifikasi PAP baik yang simptomatik maupun yang tidak simptomatik. Tabel
I Klasifikasi Rutherford. Dikutip dari Hirsch et al 2005 ACC/AHH Practice
Guidelines
Diagnosis Banding
Beberapa keadaan yang bisa memberikan gejala seperti PAP adalah27 OA panggul
atau sendi lutut: Rasa sakit pada OA tidak hilang setelah latihan, bisa dihubungkan
dengan perobahan cuaca, dan intensitas berubah dari hari ke hari.
Pseudoklaudikasio: Sindrom rasa sakit yang disebabkan kompresi kanalis
spinalis berupa penyempitan karena pembentukan osteofit pada kanalis
neurospinal. Rasa sakit pada pseudoclaudicatio pada keadaan tegak (lordosis) dan
hilang setelah duduk atau berbaring.
Klaudikasi oleh karena vasospasme: Kondisi yang ditandai oleh pulsasi normal
& bruit (-) tapi gejala (+) bila stres. Belakangan diteliti lesi sub aterosklerotik telah
dijumpai pada fase ini. Walau jarang kompresi dari luar bisa menyebabkan kondisi
ini yang
terjadi
pada
sindroma
entr
apment a.
poplitea.
Diagnosis
Kompone
n
pertama
pada
penilaian
PAP
adalah
anamnesi
Anamnesis ditujukan untuk mengetahui keberadaan gejala. Pertanyaan ditujukan
untuk mengetahui adanya rasa sakit pada kaki waktu berjalan, apakah rasa sakit muncul
pada waktu perobahan posisi dari duduk ke berdiri atau sebaliknya, demikian juga untuk
mengetahui lokasi rasa sakit dan apakah rasa sakit ini masih dijumpai setelah
istirahat? Pertanyaan- pertanyaan lain bisa dilihat pada tabel di bawah seperti pada tabel
kuesioner Rose. Penyebab alternatif nyeri tungkai saat berjalan banyak, termasuk
stenosis spinal, artritis, saraf yang tertekan, sindrom kompartemen kronis, sehingga hal
hal ini harus disingkirkan27
Kuesioner di bawah ini dikenal sebagai Kuesioner Rose yang dikenal juga kuesioner
WHO dimana sangat berguna dalam mengidentifikasi penyakit arteri perifer 35,36
Klaudikasio intermitten dianggap positip bila semua jawaban sesuai dengan yang
disediakan.
Komponen kedua yang penting yaitu pemeriksaan fisik : inspeksi kaki dan palpasi denyut
nadi perifer. Pada inspeksi diamati adanya tanda-tanda rubor, pucat, tidak adanya bulu
kaki, distropia kuku ibu jari kaki dan rasa dingin pada tungkai bawah, kulit kering,
fisura pada kulit, hal ini merupakan tanda insufisiensi pembuluh darah. Diantara jari-jari
kaki harus juga diamati adanya fisura, ulserasi dan infeksi 37. Kehadiran dari bruit
pada femoral menolong pemeriksa untuk mengidentifikasi kehadiran dari PAP yang cukup
tinggi yaitu 95 % dari data-data yang ada, dan dikatakan walaupun sensitivitas
dari pemeriksaan fisik sekitar 29% tapi dengan kehadiran bruit di atas, kemungkinan untuk
PAP pasien yang diperiksa adalah 5,7 kali lebih besar. Pada palpasi: denyut nadi
merupakan komponen rutin yang harus dinilai. Penilaian meliputi arteri femoralis, poplitea
dan dorsalis pedis. Denyut arteri dorsalis pedis akan menghilang pada 8,1% populasi
normal, arteri tibialis posterior pada 2,0% populasi normal. Bila tidak dijumpai kedua
denyut nadi pada kaki tersebut diduga kuat adanya penyakit vaskular.
Komponen yang ketiga untuk diagnostik adalah dengan bantuan alat37,37. Alat yang
digunakan seperti halnya pemakaian alat pengukur ABI, angiografi, Magnetic Resonance
Angiografi (MRI), Computed Tomograpic Angiografi (CTA) dan lain lain. Untuk
menegakkan penyakit arteri perifer sebaiknya akurat, murah, diterima secara luas,
mudah dan non invasif. Variasi teknik yang tersedia untuk mendeteksi penyakit arteri
perifer yaitu menilai adanya stenosis , tingkat keparahan, evaluasi pasien terhadap
progresivitas penyakit atau respon dari terapi.
Dalam deteksi dini dari PAP dikenal beberapa tehnik atau fasilitas dalam menilai
gambaran dari PAP yang bisa digunakan pada waktu rawat jalan
1. Ankle Brachial Indeks (ABI)
ABI merupakan penilaian kwantitatif dari sirkulasi perifer, test ini mudah dan
murah. Test ini dilakukan dengan menghitung rasio Tekanan Darah (TD) sistolik
pembuluh darah arteri pergelangan kaki dibandingkan dengan pembuluh
darah arteri lengan. Pengukuran ABI dilakukan sesudah pasien berbaring 5-10
menit.
Test ini mencatat TD sitolik kedua arteri brachialis dan kedua arteri dorsalis pedis
serta arteri tibialis posterior. ABI dihitung pada masing-masing tungkai dengan
pembagian nilai tertinggi TD sistolik pergelangan kaki dibagi nilai tertinggi TD
sistolik lengan, yang dicatat nilai dengan 2 angka desimal. Interpretasi
nilai ABI menurut American Collage of Cardiology
(ACC)/American Diabetes Association (ADA):
ABI dapat mendeteksi lesi stenosis paling sedikit 50% pada tungkai. Pembuluh darah
yang kaku bila didapati adanya kalsifikasi arteri. Hal ini sering dijumpai pada pasien
diabetes, orang tua, GGK dengan HD reguler dan pasien yang mendapat terapi steroid
kronis. Bila ABI tidak dapat mendeteksi penyakit arteri perifer karena pembuluh darah
yang kaku, maka digunakan test toe-brachial indeks. Test ini lebih baik untuk menilai
perfusi ke tungkai bawah bila nilai ABI > atau sama dengan 1,3. Nilai toe brachial indeks <
0,7 dapat digunakan menegakkan adanya gangguan pembuluh darah arteri perifer.
Sensitivitas dan spesifisitas dari ABI ini 95% dan 100% berturut-turut. Petunjuk praktis
penanganan PAP menurut ACC/AHA merekomendasikan test ABI dilakukan pada
individu yang diduga gangguan arteri perifer karena adanya luka yang tidak sembuh
sembuh atau pada Usia 50-70 tahun yang mempunyai riwayat merokok atau
DM.
Sebagai tambahan, ADA menyarankan skrining ABI dilakukan pada penderita
DM dengan usia < 50 tahun yang mempunyai faktor risiko penyakit arteri perifer seperti
merokok, hipertensi, hiperlipidemia, terutama pada yang menderita DM di atas 10
tahun.
2. Segmental Limb Pressure dan Pulse Volume Recording
Segmental limb pressure dapat menilai adanya PAP serta lokasinya yang dicatat
dengan alat dopler dari plaethysmographic cuffs yang ditempatkan pada arteri
brakialis dan daerah tungkai bawah termasuk di atas paha, di bawah lulut dan
pergelangan kaki. Test ini mempunyai batasan yang sama dengan ABI tentang
adanya pembuluh darah yang kaku, dapat diukur menyempit, adanya dicrotic
notch sampai dasar. Pada gangguan arteri perifer, terdapat gambaran
gelombang yang mulai landai, puncak yang melingkar, pulsasi yang
melebar, dicrotic notch yang menghilang dan melengkung kebawah.
3. Exercise Stress Testing tersendiri, tetapi umumnya digunakan bersamaan pulse
volume recording,
Dimana kombinasi keduanya mempunyai akurasi diagnostik 97%. Pulse
volume recording digunakan dengan sistem cuffs, dimana pneumo
plaethysmograph mendeteksi perubahan volume pada tungkai melalui siklus
jantung. Perubahan kontur nadi dan amplitudo juga dapat dianalisis.
Gelombang normal bila kenaikannya tinggi, puncak sistolik yang menajam, pulsasi
yang Pengukuran ABI dilakukan dengan kombinasi pre dan post aktivitas yang dapat
digunakan untuk menilai gejala tungkai bawah yang disebabkan gangguan
pembuluh darah arteri perifer atau pseudo-claudication dan menilai status fungsi pasien
dengan gangguan pembuluh darah arteri perifer. Metoda ini baik, non invasif dalam
mendeteksi gangguan pembuluh darah arteri perifer, dimana digunakan bila nila
ABI pada saat istirahat normal, tetapi secara klinis diduga mengalami gangguan.
4. Duplex Ultrasonography
Alat ini berguna dalam mendeteksi PAP pada tungkai bawah yang juga sangat
berguna dalam menilai lokasi penyakit dan membedakan adanya lesi stenosis dan
oklusi, selain itu juga dapat sebagai persiapan untuk pasien yang akan dilakukan
tindakan/intervensi. Duplex Ultrasonography merupakan kombinasi analisis
gelombang dopler dan kecepatan aliran dari dopler.
5. Magnetic Resonance Angiografi (MRA)
MRA khusus digunakan sebagai diagnosis radiologi penyakit arteri perifer. MRA
dilakukan sebagai tindakan lanjutan persiapan evaluasi
re- vaskularisasi.
6. Computed Tomography Angiografi (CTA)
CTA digunakan sebagai alat terbaru diagnostik penyakit arteri perifer, dengan
kemampuan resolusi tampilan gambar lebih baik dan tiap scanning menampilkan
64 channel menggunakan multidetector scanner. ACC/AHA: rekomendasi CTA
dipakai dalam perencanaan tindakan revaskularisasi, mempunyai kemampuan
menampilkan gambar yang lebih cepat dan ketepatan lebih baik dibandingkan
dengan MRI. Sebagai pegangan bahwa kombinasi dari pemeriksaan fisik dan
hasil ABI menentukan sensitivitas dan spesifisitas dan juga likehood of rasio
atau kemungkinan untuk ditemukannya penyakit arteri perifer ini.
Prevalensi dari PAP yang dilaporkan dipengaruhi oleh metoda dalam mendiagnosis.
Dua hal yang paling sering adalah ketidak hadiran dari pulse dan kehadiran dari
klaudikasio intermiten dimana 2 hal ini sangat tidak sensitif. ABI merupakan
hasil pembagian dari sistole tertinggi dari arteri dorsalis pedis atau arteri
tibialis dengan arteri brakialis dengan menggunakan a hand held dopler dan
kemudian menghitung rasionya dan ini dianggap lebih akurat. Ini telah divalidasi
dengan angiografi didapatkan 95% sensitif dan hampir 100% spesifik.