21
BAB I PENDAHULUAN Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah penyempitan pembuluh darah arteri di perifer, dimana prosesnya kronis dan progresif. Bentuk penyempitan yang bisa terjadi adalah adanya ateroma, arteritis, trombus lokal, ataupun embolisasi sehingga outputnya adalah pengurangan aliran darah ke jaringan yang lebih perifer. Respon adaptasi hemodinamik sangat beragam membuat klinis dari PAP berbeda-beda, lebih 50% penderita PAP dijumpai tanpa gejala, 25% dengan keluhan klasik dan 10% dengan iskemik kritis anggota gerak yang ditandai adanya rasa sakit waktu istirahat, ulkus iskemik yang tidak sembuh (nyeri, kulit ulkus yang kering terutama didaerah jempol kaki, dan adanya gangren. Secara umum, penyakit arteri perifer (peripheral arterial disease, PAD) merupakan kumpulan kelainan yang menghambat aliran darah ke ekstremitas baik atas maupun bawah, kebanyakan terjadi akibat aterosklerosis. Gejala utama dari PAD ekstremitas bawah, klaudikasio intermiten, cenderung menghambat aktivitas pasien, menimbulkan ketergantungan terhadap orang lain, dan menurunkan kualitas hidup pasien tersebut. Prevalensinya PAD bervariasi tergantung umur, namun jumlahnya lebih tinggi PAD kelompok usia diatas 40 tahun (15%- 20%) Kebanyakan pasien PAD (80%), adalah perokok maupun bekas perokok.2Di Indonesia, prevalensinya PAD pasien diabetes mellitus mencapai 44%.3 Data rekam medis Pusat Jantung Harapan Kita (PJNHK) menunjukkan jumlah pasien PAD ekstremitas bawah sebanyak 119 pasien selama Januari 2011 hingga Agustus 2012.

BAB I

Embed Size (px)

DESCRIPTION

baB 1

Citation preview

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah penyempitan pembuluh darah arteri di perifer,

dimana prosesnya kronis dan progresif. Bentuk penyempitan yang bisa terjadi adalah

adanya ateroma, arteritis, trombus lokal, ataupun embolisasi sehingga outputnya adalah

pengurangan aliran darah ke jaringan yang lebih perifer. Respon adaptasi hemodinamik

sangat beragam membuat klinis dari PAP berbeda-beda, lebih 50% penderita PAP dijumpai

tanpa gejala, 25% dengan keluhan klasik dan 10% dengan iskemik kritis anggota gerak

yang ditandai adanya rasa sakit waktu istirahat, ulkus iskemik yang tidak sembuh (nyeri,

kulit ulkus yang kering terutama didaerah jempol kaki, dan adanya gangren.

Secara umum, penyakit arteri perifer (peripheral arterial disease, PAD) merupakan

kumpulan kelainan yang menghambat aliran darah ke ekstremitas baik atas maupun bawah,

kebanyakan terjadi akibat aterosklerosis. Gejala utama dari PAD ekstremitas bawah, klaudikasio

intermiten, cenderung menghambat aktivitas pasien, menimbulkan ketergantungan terhadap

orang lain, dan menurunkan kualitas hidup pasien tersebut.

Prevalensinya PAD bervariasi tergantung umur, namun jumlahnya lebih tinggi PAD

kelompok usia diatas 40 tahun (15%-20%) Kebanyakan pasien PAD (80%), adalah perokok

maupun bekas perokok.2Di Indonesia, prevalensinya PAD pasien diabetes mellitus mencapai

44%.3 Data rekam medis Pusat Jantung Harapan Kita (PJNHK) menunjukkan jumlah pasien

PAD ekstremitas bawah sebanyak 119 pasien selama Januari 2011 hingga Agustus 2012.

Penyakit Arteri Perifer adalah gangguan vaskular yang disebabkan oleh proses

aterosklerosis atau tromboemboli, yang mengganggu struktur maupun fungsi aorta dan cabang

viseralnya serta arteri yang memperdarahi ekstrimitas bawah.1 PAD mencakup semua gangguan

PAD arteri non-koroner yang memperdarahi ekstrimitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri

mesenterika, aorta abdominalis serta semua percabangan setelah keluar dari aorto iliaka.2 PAP

dapat melibatkan berbagai arteri lain, namun secara klinis, PAP merupakan gangguan PAD arteri

yang memperdarahi ekstrimitas bawah.3 Arteri yang terlibat adalah arteri aorto-iliaka (30%),

arteri femoralis dan poplitea (80-90%), arteri tibialis dan peroneal (40-50%).

Patogenesis utama PAP adalah aterosklerosis. PAP merupakan bagian dari proses sistemik

yang melibatkan kelainan arteri multipel. Identifikasi PAP PAD satu arteri menjadi prediktor

kuat adanya PAP PAD arteri lainnya, termasuk PAD pembuluh darah koroner, karotis dan

serebral. Pasien dengan PAP memiliki resiko tinggi mengalami infark miokard, stroke iskemik

hingga kematian.3 Pasien dengan PAP memiliki resiko penyakit kardiovaskular 2 kali lebih

besar dan resiko mortalitas 2-5 kali lebih tinggi dibandingkan individu tanpa PAP

Page 2: BAB I

Gejala utama PAP adalah klaudikasio intermiten yaitu sensasi nyeri, pegal, kram, baal,

atau tidak nyaman PAD otot yang terjadi saat beraktivitas dan menghilang dengan istirahat.

Nyeri timbul karena pasokan darah tidak dapat mencukupi kebutuhan jaringan yang meningkat

saat aktivitas.2 Klaudikasio intermiten dapat terjadi PAD satu kaki saja (40%) atau mengenai

kedua kaki (60%).4 Rasa nyeri biasanya muncul PAD sekelompok otot yang terletak distal dari

obstruksi arteri. Nyeri PAD pinggul dan paha merujuk kelainan PAD segmen aorto-iliaka

sementara nyeri PAD betis menunjukkan kelainan segmen femoral dan popliteal.

Page 3: BAB I

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah penyempitan pembuluh darah arteri di perifer,

dimana prosesnya kronis dan progresif 10 Bentuk penyempitan yang bisa terjadi

adalah adanya ateroma, arteritis, trombus lokal, ataupun embolisasi sehingga outputnya

adalah pengurangan aliran darah ke jaringan yang lebih perifer

2.2 Faktor Resiko

Secara umum faktor-faktor risiko yang berperan timbulnya PAP adalah usia, hipertensi,

rokok, dislipidemia, dan faktor risiko lain. Secara umum faktor risiko ini bekerja pada

timbulnya aterosklerosis

1. Usia

Prevalensi dari PAP meningkat dengan tajam sesuai dengan pertambahan usia,

dari 3% pada pasien yang lebih muda dari 60 tahun hingga 20 % pada pasien yang

lebih tua dari 75 tahun23,24 data dari Studi Framingham menghasilkan bahwa prevalensi

dari PAP meningkat 10 kali dari laki-laki usia 30-44 tahun hingga 65-74 tahun dan hampir

20 kali lipat pada wanita pada kelompok umur yang sama. Untuk klaudikasio

intermiten, prevalensi meningkat dengan peningkatan usia dan dihubungkan dengan

peran peningkatan komomorbiditas yang lain

2. Hipertensi

Penelitian-penelitian epidemiologi lain juga menghubungkan dan mendapatkan

risiko PAP dan hipertensi sekitar 50-92%. Pada studi National Health and Nutritional

Examination Survey (NHANES) dan Peripheral Arterial Disease Awareness Risk And

Treatment: New Resources for Survival (PARTNERS) mendapatkan hubungan PAP

dengan hipertensi sekitar 74% dan 92% berturut-turut. Pada Studi Framingham menunjukkan

peningkatan 2,5-4 kali lipat risiko klaudikasio intermiten dengan hipertensi. Namun tidak ada

studi dalam mengevaluasi apakah terapi antihipertensi langsung mengganggu

progresifitas dari PAD yang simptomatik. Tekanan darah yang proporsional pada studi

diabetes membuktikan pengurangan dari kejadian kardiovaskular pada PAP. Pada guidelines

yang paling baru dari JNC pada deteksi, evaluasi, dan pengobatan hipertensi, PAP

dipikirkan bersamaan pada risiko terjadinya iskemia jantung, ini menyokong pengunaan

Page 4: BAB I

terapi agressif tekanan darah.27 Dan target yang disepakati oleh American

Association Diabetes (ADA) untuk tekanan darah adalah <130/80 mmHg.

3. Rokok

Penggunaan rokok merupakan hal yang paling penting dalam merubah faktor risiko

pada perkembangan dari penyakit aterosklerosis.28 Jumlah dan lamanya rokok berkorelasi

secara langsung dengan perkembangan progresifitas PAP27. Peranannya adalah

efek aterogenik dari rokok. Efek tersebut adalah akibat gabungan aktivasi dari sistem

simpatetik, efek vasokonstriksi, oksidasi dari LDL kolesterol, penghambatan

pembebasan dari plasminogen aktivator dari endotelium, peningkatan kadar fibrinogen,

peningkatan aktivitas trombosit, peningkatan ekspresi dari faktor jaringan, dan disfungsi

endotel 29 Pada studi Reykjavik30 merokok meningkatkan risiko terjadinya

klaudikasio intermitten 8 hingga 10 kali, dan penghentian rokok bisa menghasilkan

penurunan 50% dari klaudikasio intermitten hingga kurang lebih 20 % pada orang Iceland.

Hubungan sebab akibat dari penggunaan rokok dengan perkembangan PAD adalah regresi

PAP terjadi setelah menyetop rokok. Penghentian rokok menghasilkan perbaikan dari

tekanan di ankle dan toleransi latihan pada pasien dengan klaudikasio intermitten lebih awal

10 bulan setelah stop rokok 27

Penghentian rokok ini juga mempunyai efek besar pada penurunan risiko komplikasi,

termasuk progresifitas dari PAP, infark otot jantung dan mortalitas. Pada studi

Jonason dkk 27 laju dari perkembangan rasa sakit waktu istirahat pada pasien dengan

klaudikasio intermiten adalah 0 pada yang bukan perokok dan 16% pada perokok, sementara

10 tahun laju infark otot jantung adalah 11% dan 53%, 10 tahun laju kumulatif dari kematian

oleh karena jantung adalah 6% dan 43% dan 10 tahun survival rate 82% dan 46% diantara yang

tidak merokok dan perokok secara bertutut-turut.

4. Dislipidemia

Studi PARTNERS menemukan prevalensi PAP meningkat 66% pada pasien dislipidemia.

Pada Framingham Heart Study peningkatan kadar kolesterol total dihubungkan

dengan peningkatan dua kali klaudikasio intermiten. Dari studi mengenai lipid

mengkonfirmasi dislipoproteinemia yang terjadi adalah kombinasi penurunan HDL dan

Page 5: BAB I

peningkatan trigliserida. 27,31. Pada National Cholesterol Education Program Adult

Treatment Panel III (NCEP-ATP III) pada deteksi, evaluasi dan pengobatan dari

kolesterol yang tinggi pada darah PAP diperkirakan sebagai risiko yang sama dengan

penyakit arteri koroner31. Pada banyak studi tentang statin, terbukti statin bisa

mengurangi ketebalan dari pembuluh darah. Ini menunjukkan bahwa penyakit

aterosklerosis bisa diperlambat dengan pemberian statin32

2.3 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik dari PAP bisa: tanpa gejala, ataupun bergejala seperti

klaudikasio intermiten, dan rasa sakit pada ekstremitas bawah waktu istirahat.

Lebih dari 50% kasus PAP adalah tanpa gejala, baik pada waktu olah raga

ataupun istirahat. Klaudikasio intermiten bisa sebagai manifestasi tunggal dari

PAP yang bergejala awal 32 Hal-hal yang berkenaan dengan klaudikasio

intermiten pada arterial bisa dilihat sebagai berikut 33,27

PAP pada aortoiliaka bisa bermanifestasi sebagai rasa sakit pada paha dan pinggul,

sedangkan PAP pada femoral ataupun pada poplitea bermanifestasi berupa rasa sakit di

betis. Gejala biasanya dicetuskan oleh berjalan dengan jarak < 200 meter dan

manifestasinya menghilang setelah istirahat. Peredaran darah kolateral bisa berkembang

dan ini akan mengurangi gejala, namun bila gagal dalam mengontrol faktor presipitasi

ataupun faktor risiko maka PAP ini akan makin berat. Rasa sakit pada PAP tidak dijumpai

pada perobahan posisi dari duduk ke berdiri atau sebaliknya. Keadaan yang lebih

menghawatirkan dikenal rasa sakit waktu istirahat (ischemic rest pain). Keadaan ini bisa

dijumpai bila PAP disertai keadaan yang menimbulkan curah jantung yang kurang. Pada

keadaan ini rasa sakit akan hilang bila extremitas diposisikan tergantung (menjuntai)

sehingga perfusi akan membaik dengan gravitasi.

Tanda-tanda fisik 27 Pemeriksaan fisik dari gangguan pembuluh darah disebut sangat kritis

bila ditemukan: tanda-tanda klasik "5 P's": yaitu pulselessness, paralysis, paraesthesia,

pain dan pallor. Bila dijumpai Paralysis dan paraesthesia kita sangkakan sudah terjadi

iskemia kaki yang sangat kritis dan keharusan untuk dilakukan evaluasi dan konsultasi.

Nilai juga desah dari jantung yang tak normal. Periksa semua pembuluh darah perifer

termasuk carotid, abdominal, dan femoral, untuk kualitas pols dan adanya bruit. Dikatakan

Page 6: BAB I

pada a. dorsalis pedis bisa tidak dijumpai adanya pols pada 5-8% subjek, tapi a. tibial

posterior ada. Keduanya bisa tidak dijumpai pada 0.5% pasien. Kulit bisa atropi, dan

nampak bersinar, hal ini bisa menunjukkan tanda perubahan pertumbuhan, termasuk

alopesia; kering, scaly, atau kulit erythematous perubahan pigmentasi. Manifestasi PAP

lanjut “fishnet pattern” (livedo reticularis), pulselessness, numbness, atau cyanosis. Bisa

diikuti Paralysis, dan extremitas menjadi dingin; dan bisa dijumpai gangren. Penyembuhan

yang sangat sukar juga dari ulkus pada extremitas bisa kita sangkakan kemungkinan PAP33.

2.4 Prognosis

Beberapa ukuran yang sering dipakai dalam melihat perjalanan alami PAP antara lain:

jarak tempuh jalan kaki (walking distance) perburukan dari lumen arteri itu sendiri,

morbiditas, dan mortalitas. Untuk walking distance dikatakan 33% dari penderita

dengan klaudikasio intermiten akan mengalami perburukan. Pada satu studi angiografi

(Studi Basle) dijumpai perburukan yang progresif dalam interval 5 tahun. Pada Studi

Basle dan juga Studi Framingham diketahui risiko untuk amputasi relatif kecil yaitu

sekitar 2%, namun risiko mortalitas secara umum meningkat sebanyak 50%. Mekanisma

progresifitas dari perburukan ini tetap adalah aterosklerosis. Studi lain, sekitar

27% dari pasien dengan PAP menunjukkan progresifitas dalam 5 tahun, dengan

kejadian kehilangan kaki 4%. Mortalitas umum yang terjadi pada klaudikasio

intermiten ditaksir 30% akan terjadi pada 5 tahun pertama, 50% akan meninggal pada

10 tahun, dan 70% pada 15 tahun. Tingginya mortalitas dan morbiditas ini memberikan

kesan bahwa klaudikasio intermiten merupakan ancaman hidup walaupun bukan pada

ancaman secara khusus pada kondisi kesehatan kaki.

Pada individu dengan Critical Limb Ischemic (CLI), outcome lebih buruk lagi,

sekitar 25% akan menjalani amputasi dan 25% akan meninggal dalam 12 bulan. Di

bawah ini dilihatkan perjalanan alami dari PAP secara umum27

Page 7: BAB I

2.5 Klasifikasi

Pada terminologi klinis maka PAP dibagi menjadi 4 kelas menurut Fontaine 34

Page 8: BAB I

Tingkat I

Tingat II

Tingkat IIa

: Asymptomatik arteriopathy

: Iskemia yang di induksi olah raga

: Intermitten Claudicatio (IC) (klaudikasio intermitten), rasa

sakit waktu berjalan, gejala menghilang waktu istirahat, pada

keadaan terkompensasi berjalan masih bisa > 200 m.

Page 9: BAB I

Tingkat II b : Dekompensasi: Jarak berjalan < 200 m

Tingat III : Rasa sakit pada waktu istirahat

Tingkat IV : Gangren/ulkus tropik

Pembagian menurut Fontaine di atas praktis digunakan, namun belakangan

kurang sering digunakan terutama bila dihubungkan ke aspek kualitas hidup oleh

karena keterbatasan dalam sering dijumpainya salah penempatan tingkat, oleh

karena bisa saja penderita tidak dijumpai klaudikasio intermiten dan karena

tidak sering olah raga penderita ditempatkan pada kelas asymptomatik, padahal

kenyataanya bisa penderita sudah pada tingkat IIb. Klasifikasi yang lain juga dikenal

klasifikasi Rutherford (Tabel 1). Klasifikasi ini membagi PAP menjadi empat grade

dan 6 kategori, dimana masing-masing grade satu kategori kecuali grade I dibagi

menjadi 3 kategori.

Klasifikasi ini sangat berguna pada studi studi epidemiologi dalam

mengidentifikasi PAP baik yang simptomatik maupun yang tidak simptomatik. Tabel

I Klasifikasi Rutherford. Dikutip dari Hirsch et al 2005 ACC/AHH Practice

Guidelines

Diagnosis Banding

Beberapa keadaan yang bisa memberikan gejala seperti PAP adalah27 OA panggul

atau sendi lutut: Rasa sakit pada OA tidak hilang setelah latihan, bisa dihubungkan

dengan perobahan cuaca, dan intensitas berubah dari hari ke hari.

Pseudoklaudikasio: Sindrom rasa sakit yang disebabkan kompresi kanalis

spinalis berupa penyempitan karena pembentukan osteofit pada kanalis

neurospinal. Rasa sakit pada pseudoclaudicatio pada keadaan tegak (lordosis) dan

hilang setelah duduk atau berbaring.

Klaudikasi oleh karena vasospasme: Kondisi yang ditandai oleh pulsasi normal

& bruit (-) tapi gejala (+) bila stres. Belakangan diteliti lesi sub aterosklerotik telah

dijumpai pada fase ini. Walau jarang kompresi dari luar bisa menyebabkan kondisi

ini yang

terjadi

pada

sindroma

entr

apment a.

poplitea.

Diagnosis

Kompone

n

pertama

pada

penilaian

PAP

adalah

anamnesi

Page 10: BAB I

Anamnesis ditujukan untuk mengetahui keberadaan gejala. Pertanyaan ditujukan

untuk mengetahui adanya rasa sakit pada kaki waktu berjalan, apakah rasa sakit muncul

pada waktu perobahan posisi dari duduk ke berdiri atau sebaliknya, demikian juga untuk

mengetahui lokasi rasa sakit dan apakah rasa sakit ini masih dijumpai setelah

istirahat? Pertanyaan- pertanyaan lain bisa dilihat pada tabel di bawah seperti pada tabel

kuesioner Rose. Penyebab alternatif nyeri tungkai saat berjalan banyak, termasuk

stenosis spinal, artritis, saraf yang tertekan, sindrom kompartemen kronis, sehingga hal

hal ini harus disingkirkan27

Kuesioner di bawah ini dikenal sebagai Kuesioner Rose yang dikenal juga kuesioner

WHO dimana sangat berguna dalam mengidentifikasi penyakit arteri perifer 35,36

Klaudikasio intermitten dianggap positip bila semua jawaban sesuai dengan yang

disediakan.

Komponen kedua yang penting yaitu pemeriksaan fisik : inspeksi kaki dan palpasi denyut

nadi perifer. Pada inspeksi diamati adanya tanda-tanda rubor, pucat, tidak adanya bulu

kaki, distropia kuku ibu jari kaki dan rasa dingin pada tungkai bawah, kulit kering,

fisura pada kulit, hal ini merupakan tanda insufisiensi pembuluh darah. Diantara jari-jari

kaki harus juga diamati adanya fisura, ulserasi dan infeksi 37. Kehadiran dari bruit

pada femoral menolong pemeriksa untuk mengidentifikasi kehadiran dari PAP yang cukup

tinggi yaitu 95 % dari data-data yang ada, dan dikatakan walaupun sensitivitas

dari pemeriksaan fisik sekitar 29% tapi dengan kehadiran bruit di atas, kemungkinan untuk

PAP pasien yang diperiksa adalah 5,7 kali lebih besar. Pada palpasi: denyut nadi

merupakan komponen rutin yang harus dinilai. Penilaian meliputi arteri femoralis, poplitea

dan dorsalis pedis. Denyut arteri dorsalis pedis akan menghilang pada 8,1% populasi

normal, arteri tibialis posterior pada 2,0% populasi normal. Bila tidak dijumpai kedua

denyut nadi pada kaki tersebut diduga kuat adanya penyakit vaskular.

Komponen yang ketiga untuk diagnostik adalah dengan bantuan alat37,37. Alat yang

digunakan seperti halnya pemakaian alat pengukur ABI, angiografi, Magnetic Resonance

Angiografi (MRI), Computed Tomograpic Angiografi (CTA) dan lain lain. Untuk

Page 11: BAB I

menegakkan penyakit arteri perifer sebaiknya akurat, murah, diterima secara luas,

mudah dan non invasif. Variasi teknik yang tersedia untuk mendeteksi penyakit arteri

perifer yaitu menilai adanya stenosis , tingkat keparahan, evaluasi pasien terhadap

progresivitas penyakit atau respon dari terapi.

Dalam deteksi dini dari PAP dikenal beberapa tehnik atau fasilitas dalam menilai

gambaran dari PAP yang bisa digunakan pada waktu rawat jalan

1. Ankle Brachial Indeks (ABI)

ABI merupakan penilaian kwantitatif dari sirkulasi perifer, test ini mudah dan

murah. Test ini dilakukan dengan menghitung rasio Tekanan Darah (TD) sistolik

pembuluh darah arteri pergelangan kaki dibandingkan dengan pembuluh

darah arteri lengan. Pengukuran ABI dilakukan sesudah pasien berbaring 5-10

menit.

Test ini mencatat TD sitolik kedua arteri brachialis dan kedua arteri dorsalis pedis

serta arteri tibialis posterior. ABI dihitung pada masing-masing tungkai dengan

pembagian nilai tertinggi TD sistolik pergelangan kaki dibagi nilai tertinggi TD

sistolik lengan, yang dicatat nilai dengan 2 angka desimal. Interpretasi

nilai ABI menurut American Collage of Cardiology

(ACC)/American Diabetes Association (ADA):

ABI dapat mendeteksi lesi stenosis paling sedikit 50% pada tungkai. Pembuluh darah

yang kaku bila didapati adanya kalsifikasi arteri. Hal ini sering dijumpai pada pasien

diabetes, orang tua, GGK dengan HD reguler dan pasien yang mendapat terapi steroid

Page 12: BAB I

kronis. Bila ABI tidak dapat mendeteksi penyakit arteri perifer karena pembuluh darah

yang kaku, maka digunakan test toe-brachial indeks. Test ini lebih baik untuk menilai

perfusi ke tungkai bawah bila nilai ABI > atau sama dengan 1,3. Nilai toe brachial indeks <

0,7 dapat digunakan menegakkan adanya gangguan pembuluh darah arteri perifer.

Sensitivitas dan spesifisitas dari ABI ini 95% dan 100% berturut-turut. Petunjuk praktis

penanganan PAP menurut ACC/AHA merekomendasikan test ABI dilakukan pada

individu yang diduga gangguan arteri perifer karena adanya luka yang tidak sembuh

sembuh atau pada Usia 50-70 tahun yang mempunyai riwayat merokok atau

DM.

Sebagai tambahan, ADA menyarankan skrining ABI dilakukan pada penderita

DM dengan usia < 50 tahun yang mempunyai faktor risiko penyakit arteri perifer seperti

merokok, hipertensi, hiperlipidemia, terutama pada yang menderita DM di atas 10

tahun.

2. Segmental Limb Pressure dan Pulse Volume Recording

Segmental limb pressure dapat menilai adanya PAP serta lokasinya yang dicatat

dengan alat dopler dari plaethysmographic cuffs yang ditempatkan pada arteri

brakialis dan daerah tungkai bawah termasuk di atas paha, di bawah lulut dan

pergelangan kaki. Test ini mempunyai batasan yang sama dengan ABI tentang

adanya pembuluh darah yang kaku, dapat diukur menyempit, adanya dicrotic

notch sampai dasar. Pada gangguan arteri perifer, terdapat gambaran

gelombang yang mulai landai, puncak yang melingkar, pulsasi yang

melebar, dicrotic notch yang menghilang dan melengkung kebawah.

3. Exercise Stress Testing tersendiri, tetapi umumnya digunakan bersamaan pulse

volume recording,

Dimana kombinasi keduanya mempunyai akurasi diagnostik 97%. Pulse

volume recording digunakan dengan sistem cuffs, dimana pneumo

plaethysmograph mendeteksi perubahan volume pada tungkai melalui siklus

jantung. Perubahan kontur nadi dan amplitudo juga dapat dianalisis.

Page 13: BAB I

Gelombang normal bila kenaikannya tinggi, puncak sistolik yang menajam, pulsasi

yang Pengukuran ABI dilakukan dengan kombinasi pre dan post aktivitas yang dapat

digunakan untuk menilai gejala tungkai bawah yang disebabkan gangguan

pembuluh darah arteri perifer atau pseudo-claudication dan menilai status fungsi pasien

dengan gangguan pembuluh darah arteri perifer. Metoda ini baik, non invasif dalam

mendeteksi gangguan pembuluh darah arteri perifer, dimana digunakan bila nila

ABI pada saat istirahat normal, tetapi secara klinis diduga mengalami gangguan.

4. Duplex Ultrasonography

Alat ini berguna dalam mendeteksi PAP pada tungkai bawah yang juga sangat

berguna dalam menilai lokasi penyakit dan membedakan adanya lesi stenosis dan

oklusi, selain itu juga dapat sebagai persiapan untuk pasien yang akan dilakukan

tindakan/intervensi. Duplex Ultrasonography merupakan kombinasi analisis

gelombang dopler dan kecepatan aliran dari dopler.

5. Magnetic Resonance Angiografi (MRA)

MRA khusus digunakan sebagai diagnosis radiologi penyakit arteri perifer. MRA

dilakukan sebagai tindakan lanjutan persiapan evaluasi

re- vaskularisasi.

6. Computed Tomography Angiografi (CTA)

CTA digunakan sebagai alat terbaru diagnostik penyakit arteri perifer, dengan

kemampuan resolusi tampilan gambar lebih baik dan tiap scanning menampilkan

64 channel menggunakan multidetector scanner. ACC/AHA: rekomendasi CTA

dipakai dalam perencanaan tindakan revaskularisasi, mempunyai kemampuan

menampilkan gambar yang lebih cepat dan ketepatan lebih baik dibandingkan

dengan MRI. Sebagai pegangan bahwa kombinasi dari pemeriksaan fisik dan

hasil ABI menentukan sensitivitas dan spesifisitas dan juga likehood of rasio

atau kemungkinan untuk ditemukannya penyakit arteri perifer ini.

Prevalensi dari PAP yang dilaporkan dipengaruhi oleh metoda dalam mendiagnosis.

Dua hal yang paling sering adalah ketidak hadiran dari pulse dan kehadiran dari

klaudikasio intermiten dimana 2 hal ini sangat tidak sensitif. ABI merupakan

hasil pembagian dari sistole tertinggi dari arteri dorsalis pedis atau arteri

Page 14: BAB I

tibialis dengan arteri brakialis dengan menggunakan a hand held dopler dan

kemudian menghitung rasionya dan ini dianggap lebih akurat. Ini telah divalidasi

dengan angiografi didapatkan 95% sensitif dan hampir 100% spesifik.