63
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk memahami etika usaha yang Islami, terlebih dahulu harus dipahami peran dan tugas manusia di dunia. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Adz Dzaariyat ayat 56, yang artinya:“ Dan tidak Ku-Ciptakan jin dan manusia melainkan (semata mata) agar mereka beribadah (mengabdi) kepada-Ku”. Oleh karena itu semua tindakan manusia di dunia ini adalah semata-mata ibadah, semata-mata untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dan sebagai abdi Allah SWT maka manusia dalam semua tindakannya harus mengikuti perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya. Semua tindakan tersebut juga termasuk tindakan dalam berusaha. Disamping sebagai abdi dari Allah SWT, manusia juga diangkat olehAllah SWT untuk 1

BAB I

Embed Size (px)

DESCRIPTION

akuntansi syariah

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk memahami etika usaha yang Islami, terlebih dahulu harus dipahami

peran dan tugas manusia di dunia. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Adz

Dzaariyat ayat 56, yang artinya:“

Dan tidak Ku-Ciptakan jin dan manusia melainkan (semata mata) agar mereka

beribadah (mengabdi) kepada-Ku”.

Oleh karena itu semua tindakan manusia di dunia ini adalah semata-mata ibadah,

semata-mata untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dan sebagai abdi Allah SWT maka

manusia dalam semua tindakannya harus mengikuti perintah-Nya dan menghindari

larangan-Nya. Semua tindakan tersebut juga termasuk tindakan dalam berusaha.

Disamping sebagai abdi dari Allah SWT, manusia juga diangkat olehAllah SWT

untuk menjadi khalifah di muka bumi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat

Al Baqarah ayat 30:“

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:“Sesungguhnya

Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” 

1

Dan dalam surat Al A’raf ayat 128:“

Sesungguhnya bumi kepunyaan Allah, dipusakakan-Nya kepada yang

dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya.” 

Islam adalah agama yang paling banyak mendorong umatnya untuk menguasai

perdagangan. Karena itu, Islam memberikan penghormatan yang tinggi kepada para

pedagang. Dalam Sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw,menempatkan dan

mensejajarkan para pedagang bersama para Nabi, Syuhada dan Sholihin (Hadits

riwayat Tarmizi). Menurut Ibnu Khaldun, bidang ini memiliki kedudukan yang

sangat penting dalam membangun peradaban Islam. Namun, masalah perdagangan

(bisnis) kurang mendapat tempat dalam gerakan peradaban Islam. Padahal sektor ini

sangat penting untuk diaktualisasikan kaum muslimin menuju kejayaan Islam di masa

depan. Tema perdagangan ini perlu diangkat ke permukaan mengingat kondisi

obyektif kaum muslimin di berbagai belahan dunia sangat tertinggal dibidang

perdagangan. Dalam berbagai hadits Nabi Muhammad Saw sering menekankan

pentingnya perdagangan. Di antaranya riwayat dari Mu’adz bin Jabal, bahwaNabi

bersabda:

“Sesungguhnya sebaik-baik usaha adalah usaha perdagangan

(H.R.Baihaqi dan dikeluarkan oleh As-Ashbahani).

Hadits ini dengan tegas menyebutkan bahwa profesi terbaik menurut Nabi

Muhammad adalah perdagangan. Namun sangat disayangkan, kaum muslimin tidak

2

merealisasikan hadits ini dalam realitas kehidupan dan membiarkan perdagangan

dikuasai orang lain, akibatnya ekonomi umat Islam kalah jauh apabila dibandingkan

dengan ekonomi bangsa-bangsa yang lainnya. Keadaan seperti ini juga pernah terjadi

di masa Umar bin Khattab, yaitu ketika para sahabat mendapat harta ghanimah yang

melimpah melalui ekspansi wilayah Islam ke Persia, Palestina dan negara-negara

tetangga, karena itu para pejabat dan panglima tentera Islam mulai meninggalkan

perdagangan. Umar mengingatkan mereka, “Saya lihat orang asing mulai banyak

menguasai perdagangan, sementara kalian mulai meninggalkannya (karena telah

menjadi pejabat di daerah dan mendapat harta ghanimah), Jangan kalian tinggalkan

perdagangan, nanti laki-laki kamu tergantung dengan laki-laki mereka dan wanita

kamu tergantung dengan wanita mereka”.

Dari pernyataan Umar di atas, dapat dijelaskan bahwa jika perdagangan

dikuasai umat lain (bangsa lain), dikhawatirkan umat Islam akan tergantung kepada

bangsa tersebut. Apa yang dikhawatirkan Umar tersebut, kini telah terjadi di negara-

negara Muslim, termasuk di Indonesia, dimana umat Islam sangat tergantung pada

bangsa-bangsa lain, bahkan ketergantungan itu merasuk kepada kebijakan ekonomi

dan politik negara muslim, merasuk ke aspek budaya, ilmu pengetahuan, bahkan

mengganggu aqidah dan akhlak umat Islam.

Betapa pentingnya umat Islam dalam menguasai perdagangan, sehingga Nabi

Muhammad Saw mewajibkan umat Islam untuk menguasai perdagangan. Dalam

sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Hendaklah kamu berdagang,

karena di dalamnya terdapat 90 % pintu rezeki(H.R.Ahmad).

3

Berkaitan dengan permasalahan yang telah dipaparkan maka berikut penulis

akan membahas secara lebih rinci dalam bentuk makalah sebagai Tugas Pada Mata

Kuliah Akuntansi Syariah.

B. Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami lebih mendalam lagi tentang

pembahasan “Dagang dalam Syariah” sekaligus sebagai salah satu syarat dalam

menempuh perkuliahan pada mata kuliah Akuntansi Syariah.

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perdagangan dalam Al-quran

Perdagangan secara umum berarti kegiatan jual beli barang dan/atau jasa yang

dilakukan secara terus menerus dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan/atau

jasa dengan disertai imbalan atau kompensasi (SK MENPERINDAG No.

23/MPP/Kep/1/1998).

Dalam Al-quran, perdagangan dijelaskan dalam tiga bentuk,

yaitu tijarah (perdagangan), bay’(menjual) dan Syira’ (membeli). Selain istilah

tersebut masih banyak lagi istilah-istilah lain yang berkaitan dengan perdagangan,

seperti dayn, amwal, rizq, syirkah, dharb, dan sejumlah perintah melakukan

perdagangan global (QS. Al-Jum’ah : 9). Kata tijarah adalah mashdar dari kata kerja

yang berarti menjual dan membeli. Kata tijarah ini disebut sebanyak 8 kali dalam

Alquran yang tersebar dalam tujuh surat, yaitu surat Al-Baqarah : 16 dan 282, An-

Nisaa’ : 29, At-Taubah : 24, An-Nur :37, Fathir : 29 , Shaf : 10 dan Al-Jum’ah :11.

Pada surat Al-Baqarah disebut dua kali, sedangkan pada surat lainnya hanya disebut

masing-masing satu kali. Sedangkan kata ba’a (menjual) disebut sebanyak 4 kali

dalam Al-quran, yaitu Surat Al-Baqarah : 254 dan 275, Surat Ibrahim : 31 dan Surat

Al-Jum’ah : 9.

5

Selanjutnya istilah lain dari perdagangan yang juga terdapat dalam Al-quran

adalah As-Syira. Kata ini terdapat dalam 25 ayat. Dua ayat di antaranya berkonotasi

perdagangan dalam konteks bisnis yang sebenarnya (surat Yusuf ayat 21 dan 22),

yang menjelaskan tentang kisah Nabi Yusuf yang dijual oleh orang yang

menemukannya. Dalam surat al-Jum’ah ayat 10 Allah berfirman, ” Apabila shalat

sudah ditunaikan maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah serta

banyak-banyaklah mengingat Allah agar kalian menjadi orang yang beruntung.

Apabila ayat ini kita perhatikan secara seksama, ada dua hal penting yang harus

kita cermati, yaitu fantasyiruu fi al-ard (bertebaranlah di muka bumi) dan wabtaghu

min fadl Allah (carilah rezeki Allah). Makna fantasyiruu adalah perintah Allah agar

umat Islam segera bertebaran di muka bumi untuk melakukan aktivitas bisnis setelah

shalat fardlu selesai ditunaikan. Allah SWT tidak membatasi manusia dalam

berusaha, hanya di kampung, kecamatan, kabupaten, provinsi, atau Indonesia saja.

Allah memerintahkan kita untuk go global atau fi al-ard. Ini artinya kita harus

menembus seluruh penjuru dunia.

Ketika perintah bertebaran ke pasar global bersatu dengan perintah berdagang,

maka menjadi keharusan bagi kita membawa barang, jasa dan komoditas ekspor

lainnya serta bersaing dengan pemain-pemain global lainnya. Menurut

kaidah marketing yang sangat sederhana tidak mungkin kita bisa bersaing sebelum

memiliki daya saing di 4 P: Products, Price, Promotion, dan Placement atau delivery.

6

Dalam Surat Al-Quraisy Allah melukiskan satu contoh dari kaum Quraisy yang

telah mampu menjadi pemain global dengan segala keterbatasan sumber daya alam di

negeri mereka. Allah berfirman, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy. (Yaitu)

kebiasaan melakukan perjalanan dagang pada musim dingin dan musim panas.”

Para ahli tafsir baik klasik, seperti al-Thabari, Ibn Katsir, Zamakhsyari, maupun

kontemporer seperti, al-Maraghi, az-Zuhaily, dan Sayyid Qutb, sepakat bahwa

perjalanan dagang musim dingin dilakukan ke utara seperti Syria, Turki, Bulgaria,

Yunani, dan sebagian Eropa Timur, sementara perjalanan musim panas dilakukan ke

selatan seputar Yaman, Oman, atau bekerja sama dengan para pedagang Cina dan

India yang singgah di pelabuhan internasional Aden.

B. Karakteristik Perdagangan Syari’ah

Prinsip dasar yang telah ditetapkan Islam mengenai perdagangan atau niaga

adalah tolok ukur dari kejujuran, kepercayaan dan ketulusan. Dalam perdagangan

nilai timbangan dan ukuran yang tepat dan standar benar-benar harus diperhatikan.

Seperti yang telah dijelaskan dalam surat Al Muthoffifin ayat 2-7 :

“Kecelakaan besarlah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila

menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila

mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.

tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan

dibangkitkan pada suatu hari yang besar, yaitu hari ketika manusia berdiri

7

menghadap Tuhan Semesta Alam? Sekali-kali jangan curang, karena

sesungguhnya kitab orang yang durhaka, tersimpan dalam Sijjin.”

Selain itu, Islam tidak hanya menekankan agar memberikan timbangan dan ukuran

yang penuh, tetapi juga dalam menimbulkan itikad baik dalam transaksi bisnis. Hasil

beberapa pengamatan yang dilakukan menjelaskan bahwa hubungan buruk yang

timbul dalam bisnis dikarenakan kedua belah pihak yang tidak dapat menentukan

kejelasan secara tertulis syarat bisnis mereka. Untuk membina hubungan baik dalam

berbisnis, semua perjanjian harus dinyatakan secara tertulis dengan menyantumkan

syarat-syaratnya, karena “yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, dan lebih

menguatkan persaksian, dan lebih dapat mencegah timbulnya keragu-raguan.” (Al

Baqoroh : 282-283)

Disamping itu, ada beberapa hal yang terkait dengan perdagangan syariah, yaitu :

1. Penjual berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada konsumen,

sehingga konsumen akan merasa telah berbelanja sesuai syariah Islam,

dimana konsumen tidak membeli barang sesuai keinginan tetapi menurut

kebutuhan.

2. Penjual menjalankan bisnisnya secara jujur yakni kualitas barang yang dijual

sesuai dengan harganya, dan pembeli tidak dirangsang untuk membeli barang

sebanyak-banyaknya.

8

3. Hal yang paling baik bukan masalah harga yang diatur sesuai mekanisme

pasar, namun status kehalalan barang yang dijual adalah lebih utama. Dengan

konsep perdagangan syariah, konsumen yang sebagian besar masyarakat

awam akan merasa terlindungi dari pembelian barang dengan tidak sengaja

yang mengandung unsur haram yang terkandung di dalamnya. Barang-barang

yang dijual dengan perdagangan syariah juga diperoleh dengan cara tidak

melanggar hukum diantaranya bukan barang selundupan, memiliki izin SNI

dan sebagian lagi memiliki label halal.

4. Sesungguhnya barang dan komoditi yang dijual haruslah berlaku pada pasar

terbuka, sehingga pembeli telah mengetahui keadaan pasar sebelum

melakukan pembelian secara besar-besaran. Penjual tidak diperkenankan

mengambil keuntungan dari ketidaktahuan pembeli akan keadaan pasar dan

harga yang berlaku.

C. Perdagangan Yang Dilarang.

Islam pada prinsipnya tidak melarang perdagangan, kecuali ada unsur-unsur

kezaliman, penipuan, penindasan dan mengarah kepada sesuatu yang dilarang oleh

Islam. Misalnya memperdagangkan arak, babi, narkotik, berhala, patung dan

sebagainya yang sudah jelas oleh Islam diharamkan, baik memakannya,

mengerjakannya atau memanfaatkannya.

Semua pekerjaan yang diperoleh dengan jalan haram adalah suatu dosa. Dan

setiap daging yang tumbuh dari dosa (haram), maka nerakalah tempatnya. Orang

9

yang memperdagangkan barang-barang haram ini tidak dapat diselamatkan karena

kebenaran dan kejujurannya. Sebab pokok perdagangannya itu sendiri sudah mungkar

yang ditentang dan tidak dibenarkan oleh Islam dengan jalan apapun.

Ini tidak termasuk orang yang memperdagangkan emas dan sutera, karena

kedua bahan tersebut halal buat orang-orang perempuan. Justru itu mereka ini kelak

di hari kiamat tidak akan dibangkitkan dalam golongan pendurhaka yang ditempatkan

di neraka Jahim.

Pada suatu hari Rasulullah s.a.w. keluar ke tempat sembahyang, tiba-tiba

dilihatnya banyak manusia yang sedang berjual-beli. Kemudian Rasulullah

memanggil mereka: Hai para pedagang! ... Mereka pun lantas menjawab dan

mengangkat kepala dan pandangannya. Maka kata Rasulullah:

"Sesungguhnya pedagang kelak di hari kiamat akan dibangkitkan sebagai

pendurhaka, kecuali orang yang takut kepada Allah, baik dan jujur." (Riwayat

Tarmizi, Ibnu Majah dan Hakim. Kata Tarmizi: hadis ini hasan sahih)

Dari Watsilah bin al-Asqa' ia berkata: "Rasulullah pernah keluar menuju kami,

sedang kami adalah golongan pedagang-- maka kata beliau: 'Hai para pedagang, hati-

hati kamu jangan sampai berdusta.'" (Riwayat Thabarani)

Untuk itu seorang pedagang harus berhati-hati, jangan sekali-kali dia berdusta,

karena dusta itu merupakan bahaya (lampu merah) bagi pedagang. Dan dusta itu

10

sendiri dapat membawa kepada perbuatan jahat, sedang kejahatan itu dapat membawa

kepada neraka.

Di samping itu hindari pula banyak sumpah, khususnya sumpah dusta, sebab

Nabi Muliammad s.a.w. pernah bersabda: "Tiga golongan manusia yang tidak akan

dilihat Allah nanti di hari kiamat dan tidak akan dibersihkan, serta baginya adalah

siksaan yang pedih, salah satu di antaranya ialah: Orang yang menyerahkan barang

dagangannya (kepada pembeli) karena sumpah dusta." (Riwayat Muslim)

"Dari Abu Said ia berkata: Ada seorang Arab gunung berjalan membawa seekor

kambing, kemudian saya bertanya kepadanya: Apa kambing itu akan kamu jual

dengan tiga dirham? Ia menjawab: Demi Allah tidak! Tetapi tiba-tiba dia jual dengan

tiga dirham juga. Saya utarakan hal itu kepada Nabi, maka kata Nabi: Dia telah

menjual akhiratnya dengan dunianya." (Riwayat Ibnu Hibban). Di samping itu si

pedagang harus menjauhi penipuan, sebab orang yang menipu itu dapat keluar dari

lingkungan umat Islam.

Hindari pula pengurangan timbangan dan takaran, sebab mengurangi timbangan

dan takaran itu membawa celaka, seperti firman Allah: Wailul lil muthaffifin

(celakalah orang-orang yang mengurangi takaran). Dan hindari pulalah dari

penimbunan, sehingga Allah dan RasulNya tidak akan membiarkan dia begitu saja.

Terakhir, hindarilah perbuatan riba. Karena sesungguhnya Allah akan

menghancurkannya. Seperti tersebut dalam hadis yang mengatakan : "Satu dirham

11

uang riba dimakan oleh seseorang, sedangkan dia tahu (bahwa uang tersebut adalah

uang riba), akan lebih berat (siksaannya) daripada tigapuluh enam kali berzina."

(R iwayat Ahmad)

D. Etika Perdagangan Islam

Islam memang menghalalkan usaha perdagangan, perniagaan dan atau jual beli.

Namun tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha perdagangan secara Islam,

dituntut menggunakan tata cara khusus, ada aturan mainnya yang mengatur

bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan agar

mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.

Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai etika yang harus

dilakukan oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan

dengan menggunakan dan mematuhi etika perdagangan Islam tersebut, suatu usaha

perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu

mendapat berkah Allah SWT di dunia dan di akhirat. Etika perdagangan Islam

menjamin, baik pedagang maupun pembeli, masing-masing akan saling mendapat

keuntungan.

12

Adapun etika perdagangan Islam tersebut antara lain:

1. Shidiq (Jujur)

Seorang pedagang wajib berlaku jujur dalam melakukan usaha jual beli. Jujur

dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mcngada-ngada fakta, tidak

bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain sebagainya. Mengapa harus jujur?

Karena berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang jelas-jelas

berdosa, jika biasa dilakukan dalam berdagang juga akan mewarnai dan berpengaruh

negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pedagang itu sendiri. Bahkan lebih

jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan mewarnai dan mempengaruhi

kehidupan bermasyarakat.

Dalam Al Qur’an, keharusan bersikap jujur dalam berdagang, berniaga dan

atau jual beli, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain

kejujuran tersebut, di beberapa ayat dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan,

sebagaimana firman Allah SWT: ”Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan

dengan adil”. (Q.S Al An’aam(6): 152)

Firman Allah SWT :

”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang

merugikan, dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu

merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi

ini dengan membuat kerusakan.” (Q.S AsySyu’araa(26): 181-183)

13

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan

neraca yang benar. ItuIah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

(Q.S Al lsraa(17): 35)

“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi

neraca itu.” (Q.S Ar Rahmaan(55): 9)

Dengan hanya menyimak ketiga ayat tersebut di atas, maka kita sudah dapat

mengambil kesimpulan bahwa; sesungguhnya Allah SWT telah menganjurkan

kepada seluruh umat manusia pada umumnya, dan kepada para pedagang khususnya

untuk berlaku jujur dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan.

Penyimpangan dalam menimbang, menakar dan mengukur yang merupakan wujud

kecurangan dalam perdagangan, sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan

kerusakan yang diakibatkannya pada manusia ketimbang tindak kejahatan yang lehih

besar lagi seperti; perampokan, perampasan, pencurian, korupsi, manipulasi,

pemalsuan dan yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh Allah SWT dan

Rasulnya. Karena kebiasaan melakukan kecurangan menimbang, menakar dan

mengukur dalam dunia perdagangan, akan menjadi cikal baka! dari bentuk kejahatan

lain yang jauh lebih besar. Sehingga nampak pula bahwa adanya pengharaman serta

larangan dari Islam tersebut, merupakan pencerminan dan sikap dan tindakan yang

begitu bijak yakni, pencegahan sejak dini dari setiap bentuk kejahatan manusia yang

akan merugikan manusia itu sendiri.

14

Di samping itu, tindak penyimpangan dan atau kecurangan menimbang,

menakar dan mengukur dalam dunia perdagangan, merupakan suatu perbuatan yang

sangat keji dan culas, lantaran tindak kejahatan tersebut bersembunyi pada hukum

dagang yang telah disahkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, atau

mengatasnamakan jual beli atas dasar suka sama suka, yang juga telah disahkan oleh

agama.

Jika perampokan, pencurian, pemerasan, perampasan, sudah jelas merupakan

tindakan memakan harta orang lain dengan cara batil, yang dilakukan dengan jalan

terang-terangan. Namun tindak penyimpangan dan atau kecurangan dalam

menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan, merupakan kejahatan yang

dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sehingga para pedagang yang melakukan

kecurangan tersebut, pada hakikatnya adalah juga pencuri, perampok dan perampas

dan atau penjahat, hanya mereka bersembunyi di balik lambang keadilan yakni,

timbangan, takaran dan ukuran yang mereka gunakan dalam perdagangan. Dengan

demikian, tidak ada bedanya, mereka sama-sama penjahat. Maka alangkah kejinya

tindakan mereka itu. Sehingga wajar, jika Allah SWT dan Rasul-Nya mengharamkan

perbuatan tersebut, dan wajar pula jika para pelakunya diancam Allah SWT; akan

menerima azab dan siksa yang pedih di akhirat kelak, sebagaimana Firman Allah

SWT dalam Al Qur’an:

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang

apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila

15

mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah

orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada

suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan

Semesta Alam ini.” (Q.S Al Muthaffifiin (83): 1-6)

Selain ancaman azab dan siksa di akhirat kelak bagi orang-orang yang

melakukan berbagai bentuk penyimpangan dan kecurangan dalam menakar,

menimbang dan mengukur barang dagangan mereka, sesungguhnya Al Qur’an juga

telah menuturkan dengan jelas dan tegas kisah onang-orang Madyan yang terpaksa

harus menerima siksa dunia dari Allah SWT, lantaran menolak peringatan dari Nabi

mereka Syuaib as.

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka Syuaib. Ia

berkata:”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-

Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka

sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah membuat kerusakan di muka

bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika

betul-betul kamu orang-orang yang beriman”. (Q.S Al A’raaf(7): 85)

Firman Allah SWT:

“Dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang

beriman bersama-sama dia dengan Rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zalim

16

dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati

bergelimpangan di tempat tinggalnya.” (Q.S Hud(11): 94)

Kedua ayat tersebut di atas, hendaknya menjadi peringatan bagi kita, bahwa

ternyata perbuatan curang dalam menimbang, menakar dan mengukur barang

dagangan, sama sekali tidak memberikan keuntungan, kebahagiaan bagi para

pelakunya, bahkan hanya menimbulkan murka Allah. Sedangkan azab dan siksa serta

hukuman bagi para pelaku kejahatan tersebut, nyatanya tidak selalu diturunkan Allah

SWT kelak di akhirat saja, namun juga diturunkan di dunia.

Oleh sebab itu, Rasulullah SAW dalam banyak haditsnya, kerapkali

mengingatkan para pedagang untuk berlaku jujur dalam berdagang.

Sabda Rasulullah SAW:

”Wahai para pedagang, hindarilah kebohongan”. (HR. Thabrani)

“Seutama-utama usaha dari seseorang adalah usaha para pedagang yang bila

berbicara tidak berbohong, bila dipercaya tidak berkhianat, bila berjanji tidak

ingkar, bila membeli tidak menyesal, bila menjual tidak mengada-ngada, bila

mempunyai kewajiban tidak menundanya dan bila mempunyai hak tidak

menyulitkan”. (HR. Ahmad, Thabrani dan Hakim)

“Pedagang dan pembeli keduanya boleh memilih selagi belum berpisah. Apabila

keduanya jujur dan terang-terangan, maka jual belinya akan diberkahi. Dan apabila

17

keduanya tidak rnau berterus terang serta berbohong, maka jual belinya tidak

diberkahi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAW menegaskan pula, bahwa pedagang yang jujur dalam

melaksakan jual beli, di akhirat kelak akan ditempatkan di tempat yang mulia. Suatu

ketika akan bersama- sama para Nabi dan para Syahid. Suatu ketika di bawah Arsy,

dan ketika lain akan berada di suatu tempat yang tidak terhalang baginya masuk ke

dalam surga.

Sabda Rasulullah SAW:

“Pedagang yang jujur serta terpercaya (tempatnya) bersama para Nabi, orang-

orang yang jujur, dan orang-orang yang mati Syahid pada hari kiamat”. (HR.

Bukhari, Hakim, Tirmidzi dan Ibnu Majjah)

“Pedagang yang jujur di bawah Arsy pada hari kiamat”. (HR. Al-Ashbihani)

“Pedagang yang jujur tidak terhalang dari pintu-pintu surga”. (HR. Tirmidzi)

Allah Ta’ala berfirman (dalam hadits Qudsi):

“Aku yang ketiga (bersama) dua orang yang berserikat dalam usaha (dagang)

selama yang seorang tidak berkhianat (curang) kepada yang lainnya. Apabila

berlaku curang, maka Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Dawud)

18

“Sesama Muslim adalah saudara. Oleh karena itu seseorang tidak boleh menjual

barang yang ada cacatnya kepada saudaranya, namun ia tidak menjelaskan cacat

tersebut.” (HR. Ahmad dan lbnu Majaah)

“Tidak halal bagi seseorang menjual sesuatu barang dengan tidak menerangkan

(cacat) yang ada padanya, dan tidak halal bagi orang yang tahu (cacal) itu, tapi

tidak menerangkannya.” (HR. Baihaqie)

“Sebaik-baik orang Mu‘min itu ialah, mudah cara menjualnya, mudah cara

membelinya, mudah cara membayarnya dan mudah cara menagihnya.” (HR.

Thabarani)

2. Amanah (Tanggungjawab)

Setiap pedagang harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan atau

jabatan sebagai pedagang yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini

artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang

secara otomatis terbeban di pundaknya.

Sudah kita singgung sebelumnya bahwa dalam pandangan Islam setiap

pekerjaan manusia adalah mulia. Berdagang, berniaga dan atau jual beli juga

merupakan suatu pekerjaan mulia, lantaran tugasnya antara lain memenuhi kebutuhan

seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan

kehidupannya.

19

Dengan demikian, kewajiban dan tanggungjawab para pedagang antara lain:

menyediakan barang dan atau jasa kebutuhan masyarakat dengan harga yang wajar,

jumlah yang cukup serta kegunaan dan manfaat yang memadai. Dan oleh sebab itu,

tindakan yang sangat dilarang oleh Islam sehubungan dengan adanya tugas,

kewajiban dan tanggung jawab dan para pedagang tersebut adalah menimbun barang

dagangan.

Menimbun barang dagangan dengan tujuan meningkatkan pemintaan dengan

harga selangit sesuai keinginan penimbun barang, merupakan salah satu bentuk

kecurangan dari para pedagang dalam rangka memperoleh keuntungan yang berlipat

ganda.

Menimbun barang dagangan terutama barang-barang kebutuhan pokok

dilarang keras oleh Islam, lantaran perbuatan tersebut hanya akan menimbulkan

keresahan dalam masyarakat. Dan dalam prakteknya, penimbunan barang kebutuhan

pokok masyarakat oleh sementara pedagang akan menimbulkan atau akan diikuti oleh

berbagai hal yang negative seperti; harga-harga barang di pasar melonjak tak

terkendali, barang-barang tertentu sulit didapat, keseimbangan permintaan dan

penawaran terganggu, munculnya para spekulan yang memanfaatkan kesempatan

dengan mencari keuntungan di atas kesengsaraan masyarakat dan lain sebagainya.

Ada banyak hadits Rasulullah yang menyinggung tentang penimbunan barang

dagangan, baik dalam bentuk peringatan, larangan maupun ancaman, yang antara lain

sebagai berikut:

20

Sabda Rasulullah (yang artinya):

“Allah tidak akan berbelas kasihan terhadap orang-orang yang tidak mempunyai

belas kasihan terhadap orang lain.” (HR. Bukhari)

“Barangsiapa yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum Muslimin,

Allah akan menimpanya dengan kerugian atau akan terkena penyakit lepra.” (HR.

Ahmad)

“Orang yang mendatangkan barang dagangan untuk dijual, selalu akan memperoleh

rejeki, dan orang yang menimbun barang dagangannya akan dilaknat Allah.” (HR.

lbnu Majjah)

“Barangsiapa yang menimbun makanan, maka ia adalah orang yang berdosa.” (HR.

Muslim dan Abu Daud)

“Barangsiapa yang menimbun makanan selama 40 hari, maka ia akan lepas dari

tanggung jawab Allah dan Allah pun akan cuci tangan dari perbuatannya.” (HR.

Ahmad)

3. Tidak Menipu

Dalam suatu hadits dinyatakan, seburuk-buruk tempat adalah pasar. Hal ini

lantaran pasar atau termpat di mana orang jual beli itu dianggap sebagai sebuah

21

tempat yang di dalamnya penuh dengan penipuan, sumpah palsu, janji palsu,

keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya.

Sabda Rasulullah SAW:

“Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburuk-buruk tempat adalah pasar”. (HR.

Thabrani)

“Siapa saja menipu, maka ia tidak termasuk golonganku”. (HR. Bukhari)

Setiap sumpah yang keluar dan mulut manusia harus dengan nama Allah. Dan

jika sudah dengan nama Allah, maka harus benar dan jujur. Jika tidak benar, maka

akibatnya sangatlah fatal.

Oleh sehab itu, Rasulululah SAW selalu memperingatkan kepada para

pedagang untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang

cenderung mengada-ngada, semata-mata agar barang dagangannya laris terjual,

lantaran jika seorang pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa

dirinya hanyalah kerugian.

Sabda Rasulullah SAW:

“Jangan bersumpah kecuali dengan nama Allah. Barangsiapa bersumpah dengan

nama Allah, dia harus jujur (benar). Barangsiapa disumpah dengan nama Allah ia

22

harus rela (setuju). Jika tidak rela (tidak setuju), niscaya lepaslah ia dari

pertolongan Allah.” (HR. lbnu Majaah dan Aththusi)

“Ada tiga kelompok orang yang kelak pada hari kiamat Allah tidak akan berkata-

kata, tidak akan melihat, tidak akan pula mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang

pedih. Abu Dzarr berkata, “Rasulullah mengulang-ulangi ucapannya itu, dan aku

bertanya,” Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang

pakaiannya menyentuh tanah karena kesombongannya, orang yang menyiarkan

pemberiannya (mempublikasikan kebaikannya), dan orang yang menjual

dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim)

“Sumpah dengan maksud melariskan barang dagangan adalah penghapus barokah.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

“Sumpah (janji) palsu menjadikan barang dagangan laris, (tetapi) menghapus

keberkahan”. (HR. Tirmidzi, Nasal dan Abu Dawud)

“Berhati-hatilah, jangan kamu bersumpah dalam penjualan. Itu memang melariskan

jualan tapi menghilangkan barokah (memusnahkan perdagangan).” (HR. Muslim)

Sementara itu, apa yang kita alami selama ini, jual beli, perdagangan dan atau

perniagaan di zaman sekarang terutama di pasar-pasar bebas tidak banyak lagi

diketemukan orang yang mau memperhatikan etikat perdagangan Islam. Bahkan

nyaris, setiap orang penjual maupun pembeli tidak mampu lagi membedakan barang

23

yang halal dan yang haram, dimana keadaan ini sesungguhnya sudah disinyalir akan

terjadi oleh Rasulullah SAW, sebagaimana dinyatakan dalam haditsnya. Dari Abu

Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: 

“Akan datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak memperhatikan

apakah yang diambilnya itu dan barang yang halal atau haram.” (HR. Bukhari).

Memang sangat disayangkan, mengapa hal seperti ini harus terjadi. Sementara

tidak hanya sekali saja Rasulullah SAW memberi peringatan kepada para pedagang

untuk berbuat jujur, tidak menipu dalam berjual beli agar tidak merugikan orang lain.

Sebagaimana pernyataan beberapa hadits di bawah ini:

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: 

“Janganlah seseorang menjual akan suatu barang yang telah dibeli oleh orang

lain”. (HR. Bukhari)

Dari lbnu Umar: Bahwa seorang laki-laki menyatakan pada Nabi SAW bahwa ia

tertipu ketika berjual beli. Maka Nabi menyatakan: “Jika engkau berjualbeli maka

katakanlah: Tidak boleh menipu”. (HR. Bukhari)

24

4. Menepati Janji

Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada

para pembeli maupun di antara sesama pedagang, terlebih lagi tentu saja, harus dapat

menepati janjinya kepada Allah SWT.

Janji yang harus ditepati oleh para pedagang kepada para pembeli misalnya;

tepat waktu pengiriman, menyerahkan barang yang kwalitasnya, kwantitasnya,

warna, ukuran dan atau spesifikasinya sesuai dengan perjanjian semula, memberi

layanan puma jual, garansi dan lain sebagainya. Sedangkan janji yang harus ditepati

kepada sesama para pedagang misalnya; pembayaran dengan jumlah dan waktu yang

tepat. Sementara janji kepada Allah yang harus ditepati oleh para pedagang Muslim

misalnya adalah shalatnya. Sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur’an:

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan

carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung.

Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk

menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah).

Katakanlah: ”Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan

perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki” (Q.S Al Jumu’ah (62):10-11).

Dengan demikian, sesibuk-sibuknya urusan dagang, urusan bisnis dan atau

urusan jual beli yang sedang ditangani sebagai pedagang Muslim janganlah pernah

sekali-kali meninggalkan shalat. Lantaran Allah SWT masih memberi kesempatan

25

yang sangat luas kepada kita untuk mencari dan mendapatkan rejeki setelah shalat,

yakni yang tercermin melalui perintah-Nya; bertebaran di muka bumi dengan

mengingat Allah SWT banyak- banyak supaya beruntung.

5. Murah Hati

Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar para pedagang

selalu bermurah hati dalam melaksanakan jual beli. Murah hati dalam pengertian;

ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh

tanggungjawab.

Sabda Rasulullah SAW:

“Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila membeli

dan atau ketika menuntut hak”. (HR. Bukhari)

“Allah memberkahi penjualan yang mudah, pembelian yang mudah, pembayaran

yang mudah dan penagihan yang mudah”. (HR. Aththahawi)

6. Tidak Melupakan Akhirat

Jual beli adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban

Syariat Islam adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat pasti lebih utama

ketimbang keuntungan dunia. Maka para pedagang Muslim sekali-kali tidak boleh

terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan

26

meninggalkan keuntungan akhirat. Sehingga jika datang waktu shalat, mereka wajib

melaksanakannya sebelum habis waktunya. Alangkah baiknya, jika mereka bergegas

bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah, ketika adzan telah dikumandangkan.

Begitu pula dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi rukun Islam yang lain. Sekali-

kali seorang pedagang Muslim hendaknya tidak melalaikan kewajiban agamanya

dengan alasan kesibukan perdagangan.

Sejarah telah mencatat, bahwa dengan berpedoman kepada etika perdagangan

Islam sebagaimana tersebut di atas, maka para pedagang Arab Islam tempo dulu

mampu mengalami masa kejayaannya, sehinga mereka dapat terkenal di hampir

seluruh penjuru dunia.

E. Hukum Perdagangan Menurut Syariat islam.

Hukum yang mengatur perdagangan dalam islam adalah muamalat.

Muamalat adalah tukar menukar barang, jasa atau sesuatu yang memberi manfaat

dengan tata cara yang ditentukan. Termasuk dalam muammalat yakni jual beli,

hutang piutang, pemberian upah, serikat usaha, patungan, dan lain-lain.

Menurut syariah islam, dalam melakukan jual beli atau perdagangan harus

memenuhi rukun jual beli. Rukun adalah ketentuan dalam menegakkan pekerjaan itu

sendiri atau dalam bahasa mudahnya (Rukun adalah bagian dari pekerjaan itu

sendiri). Berikut ini merupakan rukun jual beli menurut syariah islam :

27

1. Ada penjual dan pembeli yang keduanya harus berakal sehat, atas kemauan

sendiri, dewasa/baligh dan tidak mubadzir alias tidak sedang boros.

2. Ada barang atau jasa yang diperjualbelikan dan barang penukar seperti uang,

dinar emas, dirham perak, barang atau jasa. Untuk barang yang tidak terlihat

karena mungkin di tempat lain namanya salam.

3. Ada ijab qabul yaitu adalah ucapan transaksi antara yang menjual dan yang

membeli (penjual dan pembeli).

Adapun dalam hukum muamalat ada hal-hal yang terlarang atau larangan dalam

melakukan jual beli. Larangan itu meliputi :

1. Membeli barang di atas harga pasaran

2. Membeli barang yang sudah dibeli atau dipesan orang lain.

3. Memjual atau membeli barang dengan cara mengecoh/menipu (bohong).

4. Menimbun barang yang dijual agar harga naik karena dibutuhkan masyarakat.

5. Menghambat orang lain mengetahui harga pasar agar membeli barangnya.

6. Menyakiti penjual atau pembeli untuk melakukan transaksi.

7. Menyembunyikan cacat barang kepada pembeli.

8. Menjual barang dengan cara kredit dengan imbalan bunga yang ditetapkan.

9. Menjual atau membeli barang haram.

10. Jual beli tujuan buruk seperti untuk merusak ketentraman umum,

menyempitkan gerakan pasar, mencelakai para pesaing, dan lain-lain.

28

Dalam melakukan kegiatan perdagangan atau jual beli ada beberapa

hukumnya, yaitu haram, mubah, dan wajib. Berikut ini adalah penjelasan tentang

hukum jual beli :

1. Haram. Jual beli haram hukumnya jika tidak memenuhi syarat/rukun jual beli

atau melakukan larangan jual beli.

2. Mubah. Jual beli secara umum hukumnya adalah mubah.

3. Wajib. Jual beli menjadi wajib hukumnya tergantung situasi dan kondisi, yaitu

seperti menjual harta anak yatim dalam keadaaan terpaksa.

Dalam melakukan kegiatan perdagangan baik secara konvensional maupun syariah

islam, yang terpenting adalah dalam kegiatan jual beli tersebut tidak ada pihak yang

dirugikan

F. Keadaan Perdagangan Saat Ini

Contoh yang paling dekat dengan kemampuan dagang yang dilukiskan Al-

Qur’an saat ini mungkin terdapat pada Singapura atau Hongkong, negeri yang miskin

sumberdaya alam tetapi mampu menggerakkan dan mengontrol alur ekspor di

regional Asia Tenggara dan Pasifik. Bagaimana dengan Indonesia, yang luas salah

satu provinsinya (Riau) 50 kali Singapura, dengan potensi ekspor dan sumberdaya

alam yang ribuan kali lipat. Mungkin kita harus becermin pada Al-Qur’an yang

selama ini kita tinggalkan untuk urusan bisnis dan ekonomi.

29

Meskipun Al-Qur’an cukup banyak membicarakan perdagangan bahkan dengan

tegas memerintahkannya, dan meskipun negeri-negeri muslim memiliki kekayaan

alam yang besar, namun ekonomi umat Islam jauh tertinggal dibanding negara-negara

non Muslim. Banyak faktor yang membuat umat Islam tertinggal dari bangsa lain,

antara lain, lemahnya kerjasama perdagangan sesama negeri muslim. Menurut catatan

OKI sebagaimana yang terdapat dalam buku “Menuju tata baru Ekonomi Islam,

kegiatan perdagangan sesama negeri muslim hanya 12 % dari jumlah perdagangan

negara-negara Islam”.

Fenomena lemahnya kerja sama perdagangan itu terlihat pada data-data berikut :

1. Lebanon dan Turki mengekspor mentega ke Belgia, United Kingdom dan

negara-negara Eropa Barat lainnya. Semenentara Iran, Malayisa, Pakistan dan

Syiria mengimpor mentega dari Eropa Barat.

2. Aljazair mengekspor gas asli ke Perancis, sedangkan Perancis mengekspornya

ke Magribi

3. Mesir adalah pengekspor kain tela yang ke 10 terbesar di dunia, tetapi

Aljazair, Indonesia, dan Iran mendapatkan kain itu (impor) dari Eropa Barat.

4. Aljazair, Mesir dan Malaysia mengimpor tembakau dari Columbia, Greece,

India, Philipine dan Amerika Serikat. Sementara Turki dan Indonesia adalah

mengekspor utama tembakau ke Amerika dan Eropa.

Fakta lain juga menunjukkan bahwa produk Indonesia yang dibutuhkan negara

muslim di Timur Tengah, harus melalui Singapura. Kounsekuensinya yang mendapat

keuntungan besar adalah Singapura, karena ia membeli dengan harga murah dan

30

menjual ke Timur Tengah dengan harga mahal. Dan negara kita sering kali cukup

puas dengan kemampuan ekspor sekalipun mendapatkan keuntungan (margin) yang

sedikit. Hal ini menunjukkan kebodohan kita dalam perdagangann internasional. Hal

ini tentu tidak sesuai dengan Nabi Muhammad yang telah meneladankan sikap

fathanah (cerdas) dan komunikatif (tabligh) dalam perdagangan.

Dengan berbagai kelemahan dan fakta yang ada di atas, maka diperlukan

penerapan beberapa langkah ataupun strategi yang baik dan sesuai/tidak jauh dari Al-

Qur’an. Dalam melaksanakan strategi-strategi tersebut, maka harus didasarkan pada

konsep berusaha yang sesuai syariat Islam. Konsep-konsep dasar dalam berusaha

tersebut antara lain :

1. Berusaha hanya untuk mengambil yang halal dan baik (thoyib).

Allah SWT telah memerintahkan kepada seluruh manusia jadi bukan hanya

untuk orang yang beriman dan muslim saja untuk hanya mengambil segala sesuatu

yang halal dan baik (thoyib).Dan untuk tidak mengikuti langkah-langkah syaitan

dengan mengambil yang tidak halal dan tidak baik.

“Hai sekalian manusia, makanlah (ambillah) yang halal lagi baik dari apa yang

terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena

sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Q.S. Al Baqarah :168)

Oleh karena itu, dalam berusaha Islam mengharuskan manusia untuk hanya

mengambil hasil yang halal. Yang meliputi halal dari segi materi, halal dari cara

perolehannya, serta juga harus halal dalam cara pemanfaatan atau penggunaannya.

31

Banyak manusia yang memperdebatkan mengenai ketentuan halal ini. Padahal bagi

umat Islam acuannya sudah jelas, yaitu sesuai dengan sabda Rasulullaah SAW:

Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan perkara haram itupun jelas, dan diantara

keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (meragukan) yang tidak diketahui

oleh orang banyak. Oleh karena itu, barangsiapa menjaga diri dari perkara syubhat,

ia telah terbebas (dari kecaman) untuk agamanya dan kehormatannya . . .. . .Ingat!

Sesungguhnya didalam tubuh itu ada sebuah gumpalan, apabila ia baik, maka baik

pula seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh, tidak lain ia

adalah hati” (Hadits)

Jadi sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan bila masih

diragukan maka sebenarnya ukurannya berkaitan erat dengan hati manusia itu sendiri,

apabila hatinya jernih maka segala yang halal akan menjadi jelas. Dan sesungguhnya

segala sesuatu yang tidak halal termasuk yang syubhat tidak boleh menjadi obyek

usaha dan karenanya tidak mungkin menjadi bagian dari hasil usaha.

2. Memperoleh hasil usaha hanya melalui perniagaan yang berlaku secara ridho

sama ridho karena saling memberi manfaat

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku

secara ridho sama ridho di antara kamu”. (Q.S. An Nisaa:29)

Kemudian Allah SWT memerintahkan kepada orang yang beriman agar bila ingin

memperoleh keuntungan dari sesamanya hanya boleh dengan jalan perniagaan (baik

32

perniagaan barang atau jasa) yang berlaku secara ridho sama ridho. Untuk

penjelasannya dapat dikaji hadits berikut ini:

Nabi Muhammad saw. pernah mempekerjakan saudara Bani `Adiy Al Anshariy untuk

memungut hasil Khaibar. Maka ia datang dengan membawa kurma Janib (kurma

yang paling bagus mutunya). Nabi Muhammad SAW bertanya kepadanya: Apakah

semua kurma Khaibar demikian ini? Orang itu menjawab: Tidak, demi Allah, wahai

Nabi Utusan Allah. Saya membelinya satu sha` dengan dua sha` kurma Khaibar

(sebagai bayarannya). Nabi Muhammad SAW bersabda: Janganlah berbuat begitu,

tetapi tukarkan dengan jumlah yang sama, atau juallah ini (kurma Khaibar) lalu

belilah kurma yang baik dengan hasil penjualan (kurma Khaibar) tadi.

Intisari dari pelajaran yang diberikan oleh Rasulullah SAW adalah bahwa harga

dalam setiap perniagaan harus mengikuti penilaian (valuasi atau mekanisme) pasar.

Karena penilaian yang dilakukan (oleh masyarakat) melalui mekanisme pasar akan

memberikan penilaian yang adil. Tentunya selama pasar berjalan dengan wajar.

Sehingga kaidah ‘ridho sama ridho’ yang disyaratkan dapat dicapai. Dan untuk

memfasilitasi perniagaan melalui mekanisme pasar tersebut diperlukan prasarana alat

tukar nilai yang disebut sebagai uang.

3. Fungsi Uang yang utama adalah sebagai alat tukar nilai di dalam transaksi

Dalam syariah Islam, uang semata-mata berfungsi sebagai alat tukar nilai.

Oleh karena itu salah seorang pemikir Islam, Imam Ghazali, menyatakan bahwa

“Uang bagaikan cermin, ia tidak mempunyai warna namun dapat merefleksikan

semua warna.” Maksudnya uang itu sendiri seharusnya tidak menjadi obyek

33

(perniagaan) melainkan semata-mata untuk merefleksikan nilai dari obyek. Dan

bagaikan cermin yang baik, uang harus dapat merefleksikan nilai dari obyek

(perniagaan) secara jernih dan lengkap. Oleh karena itu pada zaman Rasulullah SAW

uang dibuat dari logam mulia (emas atau perak) dan mempunyai spesifikasi (mutu

dan berat) yang tertentu.

Pemerintahan Rasulullah SAW sendiri tidak menerbitkan uang. Karena

pemerintahan Rasulullah SAW tidak perlu menerbitkan uang sendiri selama uang itu

mempunyai nilai yang dapat diterima di semua pasar yang terkait. Sehingga pemikir

Islam lainnya, Ibnu Khaldun menyatakan “Kekayaan suatu negara tidak ditentukan

oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi di

negara tersebut dan kemampuan untuk memperoleh neraca perdagangan yang

positif.”

Karena dalam syariah Islam uang adalah alat tukar nilai, maka uang

diperlukan untuk memperlancar perniagaan. Artinya peran uang sejalan dengan

pemakaian uang itu dalam perniagaan. Sehingga bila uang disimpan dan tidak dipakai

dalam perniagaan maka masyarakat akan merugi karena perniagaan akan mengalami

hambatan. Karena pada zaman Rasulullah SAW uang dibuat dari emas dan perak,

maka dalam surat At Taubah ayat 34 dinyatakan:

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di

jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat

siksa yang pedih).”

34

4. Berlaku adil dengan menghindari keraguan yang dapat merugikan dan

menghindari resiko yang melebihi kemampuan

Kemudian dalam melakukan perniagaan, Islam mengharuskan untuk berbuat adil

tanpa memandang bulu, termasuk kepada pihak yang tidak disukai. Karena orang

yang adil akan lebih dekat dengan taqwa.

“Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu

menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah

sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak

adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan taqwa” (Q.S. Al Ma’idah:8)

Bahkan Islam mengharuskan untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, dimana

berlaku adil harus didahulukan dari berbuat kebajikan.

“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan” (Q.S. An

Nahl:90)

Dalam perniagaan, persyaratan adil yang paling mendasar adalah dalam menentukan

mutu dan ukuran (takaran maupun timbangan).

“..Maka sempurnakanlah  takaran dan timbangan dengan adil..” (Q.S. Al

An’am:152)

“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya

kamu jangan melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan

adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu” (Q.A. Ar Rahman:7-9)

Berlaku adil akan dekat dengan taqwa, karena itu berlaku tidak adil akan membuat

seseorang tertipu pada kehidupan dunia. Karena itu dalam perniagaan, Islam

35

melarang untuk menipu bahkan ‘sekedar’ membawa suatu kondisi yang dapat

menimbulkan keraguan yang dapat menyesatkan atau gharar. Contoh yang diajarkan

Rasulullah SAW adalah sesuatu (ikan) dalam air, karena pandangan pada segala

sesuatu yang berada dalam air akan terbias dan dapat menimbulkan keraguan yang

menipu.

Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah benar maka janganlah sekali-kali kamu

tertipu kehidupan dunia dan janganlah sekali-kali tertipu tentang Allah (karena)

seorang penipu (al gharuur). (Q.S. Al Faatir: 5)

“Janganlah kalian membeli ikan di dalam air (kolam/laut) karena hal itu adalah

gharar”. (HR Ahmad)

Sebaliknya atas harta milik sendiri dilarang untuk mengambil resiko yang melebihi

kemampuan yang wajar untuk mengatasi resiko tersebut. Walaupun resiko tersebut

mempunyai probabilita untuk membawa manfaat, namun bila probabilitas untuk

membawa kerugian lebih besar dari kemampuan menanggung kerugian tersebut maka

tindakan usaha tersebut adalah sama dengan mengeluarkan yang lebih dari keperluan

sehingga harus difikirkan dengan matang.

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan maysir, (maka) katakanlah pada

keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, dan dosa

keduanya lebih besar dari manfaat keduanya, Dan mereka bertanya kepadamu apa

yang mereka nafkahkan (keluarkan), maka katakanlah yang lebih dari keperluan,

demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya supaya kamu berfikir.

(Q.S. Al Baqarah:219)

36

5. Menjalankan usaha harus memenuhi semua ikatan yang telah disepakati

Sebagai abdi Allah SWT menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi,

atas nama Allah SWT, dalam menjalankan usaha Islam mengharuskan dipenuhinya

semua ikatan yang telah disepakati. Perubahan ikatan akibat perubahan kondisi harus

dilaksanakan secara ridho sama ridho, disepakati oleh semua fihak terkait.

“Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Q.S. Al Ma’idah:1)

“Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun

yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang

benar..” (Q.S. Al A’raf : 33)

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu

membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah

menjadikan Allah sebagai saksimu..” (Q.S. An Nahl:91)

6. Manusia harus bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan

Manusia memang ditakdirkan untuk diciptakan dengan perbedaan, dimana

sebagian diantaranya diberi kelebihan dibandingkan sebagian yang lain, dengan

tujuan agar manusia dapat bekerjasama untuk mencapai hasil yang lebih baik.

“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan

dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain

beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.

Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Q.S. Az

Zukhruf :32)

37

Pakar ekonomi Islami, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa “Setiap individu tidak dapat

dengan sendirinya memperoleh kebutuhan hidupnya. Semua manusia harus

bekerjasama untuk memperoleh kebutuhan hidup dalam peradabannya.” Lebih lanjut

Ibnu Khaldun juga menerangkan akan hasil kerjasama yang sekarang kita sebut

synergy, sebagai berikut: “Hasil kerjasama sejumlah manusia dapat menutupi

kebutuhan beberapa kali lipat dari jumlah mereka sendiri.”

38

BAB III

KESIMPULAN

Rasulullah merupakan sosok teladan yang patut kita jadikan contoh,

keberhasilan beliau dalam mengembangkan perekonomian umat telah terbukti. Hanya

dalam waktu setahun setelah hijrah ke madinah, beliau berhasil membangun

perekonomian yang sangat kuat. Hanya dalam waktu setahun umat Islam berhasil

menguasai ekonomi yang selama ini dipegang oleh orang-orang Yahudi dan umat

lainnya.

Rahasia kesuksesan tersebut adalah ternyata Rasulullah memprioritaskan

pasar. Yang pertama kali dilirik oleh Rasulullah adalah pasar. Beliau membangun

jalan dari masjid sampai ke pelosok-pelosok desa, sehingga masyarakat mempunyai

akses pemasaran.

Selain itu Nabi Muhammad telah mempraktekan usaha perdagangan sejak

berusia yang relatif muda, yaitu 12 tahun. Dan ketika berusia 17 tahun ia telah

memimpin sebuah ekspedisi perdagangan ke luar negeri. Profesi inilah yang

ditekuninya sampai beliau diangkat menjadi Rasul di usia yang ke 40. Afzalur

Rahman dalam buku Muhammad A Trader menyebutkan bahwa reputasinya dalam

dunia bisnis demikian bagus, sehingga beliau dikenal luas di Yaman, Syiria,

Yordania, Iraq, Basrah dan kota-kota perdagangan lainnya di jazirah Arab. Dalam

konteks profesinya sebagai pedagang inilah ia dijuluki gelaran mulia, Al-

Amin Afzalur Rahman juga mencatat dalam ekspedisi perdagangannya, bahwa

39

Muhammad Saw telah mengharungi 17 negara ketika itu, sebuah aktivitas

perdagangan yang luar biasa.

Semangat inilah seharusnya yang dibangun dan dikembangkan oleh kaum

muslimin saat ini agar peradaban kaum muslimin bisa bangkit kembali di jagad ini

melalui kejayaan ekonomi dan perdagangan.

Dengan mengambil contoh kisah diatas, umat Islam perlu memperhatikan

perekonomian. Dahulu umat Islam pernah berjaya di bidang ekonomi, namun kini

jauh tertinggal dibandingkan umat-umat yang lain. Karena itu, umat Islam harus

mengejar ketinggalan tersebut dengan cara membangun ekonominya. Dan sektor

perniagaanlah yang agaknya sesuai untuk lebih diperhatikan dalam membangun

perekonomian.

Negara-negara Islam memiliki 70% cadangan minyak dunia dan menguasai

30% sumber gas asli dunia. Negara-negara Islam juga merupakan pemasok dan

penyuplay 42% permintaan petrolium (minyak) dunia. Data-data tersebut

menunjukkan bahwa negeri-negeri muslim memiliki potrensi ekonomi yang cukup

besar dan strategis

40

DAFTAR PUSTAKA

http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/2048.html

http://cempaka-gold.blogspot.com/2011/08/hukum-dagang-islam-tentang-

perdagangan.html

http://abuzubair.wordpress.com/2007/08/10/jual-beli-yang-dilarang-dalam-islam/

http://rinaelrahma.blogspot.com/2010/05/prinsip-perdagangan-dalam-islam.html

http://antan2dd03.blogspot.com/2010/03/perdagangan-menurut-syariah-islam.html

http://ldiisurabaya.org/kunci-bisnis-menurut-nabi-muhammad-saw/

http://aspal-putih.blogspot.com/2012/07/berdagang-menurut-islam.html

http://lampung.tribunnews.com/2012/07/30/hukum-dagang-dengan-untung-100-

persen

http://www.muslimbusana.com/umum/adab-berdagang-dalam-islam/index.htm

http://abudzakwanbelajarislam.blogspot.com/2011/02/dalam-berdagang-berapa-

keuntngn-yang.html

Agustianto. Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Mahasiswa

Program Doktor Ekonomi Islam UIN Jakarta. (Artikel)

Mannan, Abdul. 1995. Teori Dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT Dana

Bhakti Wakaf.

Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti

Wakaf.

http://ditjenpdn.depdag.go.id/pls/portal30/url/folder/

41

http://fossei.4t.com/Artikel.htm

http://muhammadfendisyariah.blog.friendster.com/about/

http://www.ekonomisyariah.org/docs/detail_cara.php?idKategori=1

Hasan Ali, AM, (2004), Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Prenada Media ,

Jakarta.

IrfanKurniadi, http://empatempat.wordpress.com/2010/02/21/asuransi-syariah-

prospek-tantanga-dan-strategi/

Muhammad Syakir Sula dan Hermawan Kartajaya, (2006), Syariah marketing, Mizan

Pustaka, Bandung

Syakir Sula, Muhammad, Asuransi Syariah (life ang general) Konsep dan system

Operasional, (akarta: Gema Insani, 2004

Sudarsono, Heri, (2007),  Bank dan lembaga keuangan Syari’ah, Deskripsi dan

Ilustrasi, Ekonisia, Yogyakarta.

Sumitro, Warkum,  (1996), Asas – Asas Perbankan Islam dan Lembaga – Lembaga

Terkait (BMUI dan Takaful) di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Solahudin, M, (2006),  Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam,  Muhammadiyah

University Press, Surakarta.

42