32
BAB I PENDAHULUAN Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan kompleks endokrin dan metabolik yang ditandai dengan adanya anovulasi kronik dan atau hiperandrogenisme yang diakibatkan oleh kelainan dari fungsi ovarium dan bukan oleh sebab lain. Pertama kali diperkenalkan oleh Stein dan Leventhal (1935) dalam bentuk penyakit ovarium polikistik (polycyctic ovary disease/Ovarium polikistik/Stein-Leventhal Syndrome) , dimana gambaran dari sindroma ini terdiri dari polikistik ovarium bilateral dan terdapat gejala ketidakteraturan menstruasi sampai amenorea, riwayat infertil, hirsutisme, retardasi pertumbuhan payudara dan kegemukan. Sindroma ini dicirikan dengan sekresi gonadotropin yang tidak sesuai, hiperandrogenemia, peningkatan konversi perifer dari androgen menjadi estrogen, anovulasi kronik, dan ovarium yang sklerokistik dengan demikian sindroma ini merupakan satu dari penyebab paling umum dari infertilitas. 1 Diagnosis dan terapi SOPK masih menjadi kontroversi. Pada pertemuan European Society for Human Reproduction and Embryology (ESHRE) and the American Society for Reproductive Medicine (ASRM) di Rotterdam pada tahun 2003 telah ditetapkan poin diagnostik untuk menegakkan SOPK yaitu adanya oligomenorrhea atau anovulasi, tanda-tanda hiperandrogenisme secara klinis maupun biokimia, polycystic ovarian morphology (sonography), setidaknya didapatkan 2 dari 3 kriteria tersebut maka seorang wanita dapat ditegakkan diagnosis SOPK. 2 1

BAB I

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan kompleks endokrin dan

metabolik yang ditandai dengan adanya anovulasi kronik dan atau hiperandrogenisme yang

diakibatkan oleh kelainan dari fungsi ovarium dan bukan oleh sebab lain.

Pertama kali diperkenalkan oleh Stein dan Leventhal (1935) dalam bentuk penyakit

ovarium polikistik (polycyctic ovary disease/Ovarium polikistik/Stein-Leventhal Syndrome),

dimana gambaran dari sindroma ini terdiri dari polikistik ovarium bilateral dan terdapat

gejala ketidakteraturan menstruasi sampai amenorea, riwayat infertil, hirsutisme, retardasi

pertumbuhan payudara dan kegemukan. Sindroma ini dicirikan dengan sekresi gonadotropin

yang tidak sesuai, hiperandrogenemia, peningkatan konversi perifer dari androgen menjadi

estrogen, anovulasi kronik, dan ovarium yang sklerokistik dengan demikian sindroma ini

merupakan satu dari penyebab paling umum dari infertilitas.1

Diagnosis dan terapi SOPK masih menjadi kontroversi. Pada pertemuan European

Society for Human Reproduction and Embryology (ESHRE) and the American Society for

Reproductive Medicine (ASRM) di Rotterdam pada tahun 2003 telah ditetapkan poin

diagnostik untuk menegakkan SOPK yaitu adanya oligomenorrhea atau anovulasi, tanda-

tanda hiperandrogenisme secara klinis maupun biokimia, polycystic ovarian morphology

(sonography), setidaknya didapatkan 2 dari 3 kriteria tersebut maka seorang wanita dapat

ditegakkan diagnosis SOPK.2

Oleh karena SOPK sering menunjukkan beragam manifestasi klinis maka pemahaman gejala

klinis sangat penting sehingga diagnosis dapat ditegakkan seakurat mungkin, dengan

demikian penatalaksanaan yang diberikan dapat serasional mungkin dan bermanfaat baik

secara medikamentosa ataupun operatif.1

BAB II

PEMBAHASAN

1

2.1 Definisi

Sindroma ovarium polikistik merupakan serangkaian gejala yang dihubungkan

dengan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yang berhubungan dengan kelainan

endokrin dan metabolik pada wanita tanpa adanya penyakit primer pada kelenjar hipofise

atau adrenal yang mendasari.

Anovulasi kronik terjadi akibat kelainan sekresi gonadotropin sebagai akibat dari

kelainan sentral dimana terjadi peningkatan frekuensi dan amplitudo pulsasi GnRH dengan

akibat terjadi peningkatan kadar LH serum dan peningkatan rasio LH/ FSH serta androgen.

Hiperandrogenisme secara klinis dapat ditandai dengan hirsutisme, timbulnya jerawat

(akne), alopesia akibat androgen dan naiknya konsentrasi serum androgen khususnya

testosteron dan androstenedion. Sedangkan kelainan metabolik berhubungan dengan

timbulnya keadaan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik.3

Gambar 1.1

2.2 Prevalensi

Penelitian tentang prevalensi SOPK masih terbatas. Di Amerika Serikat prevalensinya

berkisar 4-6%. Menurut Leventhal sindroma ini terjadi 1% - 3 % dari semua wanita steril,

3%-7% wanita yang mempunyai pengalaman ovarium polikistik serta 15-25% wanita usia

reproduksi akan mengalami siklus yang tidak berovulasi. Sebanyak 75% dari siklus yang

tidak berovulasi itu berkembang menjadi anovulasi kronis dalam bentuk Ovarium polikistik

2

(OPK). Telah ditemukan bahwa 80% dari kelainan ovarium polikistik ini secara klinis tampil

sebagai Penyakit Ovarium Polikistik (POPK). Pada 5-10% wanita usia reproduksi, Penyakit

Ovarium polikistik ini akan bergejala lengkap sebagai Sindroma Ovarium polikistik (SOPK).1

2.3 Anatomi

Ovarium berhubungan dengan uterus dengan ligamentum ovarii proprium. Ovarium terletak

pada bagian belakang ligamentum latum. Sebagian besar ovarium berada intraperitoneal dan

tidak dilapisi oleh peritoneum. Bagian ovarium kecil berada di dalam ligamentum latum

(hilus ovarii). Lipatan yang menghubungkan lapisan belakang ligamentum latum dengan

ovarium dinamakan mesovarium. Mesovarium ini berfungsi sebagai penggantung ovarium. 5

gambar 2.1 Anatomi ovarium

3

Melalui hilus ovarii, pembuluh- pembuluh darah dan saraf masuk dan keluar ovarium. Suplai

darah ke ovarium melalui sepasang arteri ovarium yang berasal dari aorta desendens.Drainase

vena ovarium sinistra menuju ke vena renalis sinistra, dan vena ovarium dekstra bermuara

langsung ke dalam vena kava inferior. 5

Persarafan kedua ovarium berjalan bersama pembuluh darah melalui ligamentum

suspensorium ovarii, memasuki ovarium melalui hilus ovarii. Persarafan tersebut lewat

plexus ovarium, plexus hipogastrik dan plexus aorta. 5 Ovarium terdiri atas dua bagian,

bagian luar disebut korteks, dan bagian dalam disebut medula. Korteks mengandung epitel

germinal yang merupakan

Gambar 2.2 Bagian ovarium.

Sel- sel folikel terletak di jaringan ikat yang longgar di korteks ovarium dan dapat dibagi

menjadi dua tipe fungsional, yaitu nongrowing atau folikel primordial dan growing. Bayi

perempuan yang baru dilahirkan memiliki kurang lebih 1.000.000 folikel primordial, saat

menarche tinggal 400 ribu hingga pada saat mencapai umur 45 tahun hanya tinggal sekitar

1.000 folikel, yang sampai waktu pascamenopause praktis akan lenyap. Berdasarkan tahapan

pertumbuhannya, sel- sel folikel dibedakan atas folikel primer, folikel sekunder, folikel

tersier, folikel de Graaf, dan folikel atresia. 5-6

4

2.4 Etiologi

Etiologi SOPK tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan sangat dipengaruhi

oleh genetik. Bila dalam satu keluarga terdapat penderita SOPK maka 50% wanita dalam

keluarga tersebut akan menderita SOPK pula.3 Pada masa ini terdapat peningkatan penemuan

tentang hipotesa etiologi dari SOPK yaitu tekanan darah tinggi selama kehamilan yang dapat

berdampak bagi ibu dan anak, salah satu dampak bagi anak tersebut adalah timbulnya

ovarium polikistik.4

Tanda awal SOPK umumnya terlihat setelah menarche. Remaja dengan periode haid sekitar

45 hari perlu mendapatkan pemeriksaan lanjutan untuk menyingkirkan kemungkinan SOPK.

Pada beberapa penderita, gejala SOPK muncul setelah berat badan meningkat pesat. 3

2.5 Patofisiologi

Sindrom ovarium polikistik adalah suatu anovulasi kronik yang menyebabkan

infertilitas dan bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi gangguan hubungan umpan balik

antara pusat (hipotalamus-hipofisis) dan ovarium sehingga kadar estrogen selalu tinggi yang

mengakibatkan tidak pernah terjadi kenaikan kadar FSH yang cukup adekuat. Selain itu

dijumpai pula peningkatan kadar androgen. Kelainan metabolik berupa hiperinsulinemia dan

resistensi insulin ikut berperan dalam timbulnya SOPK.1,3

Pada sindrom ovarium polikistik terjadi peningkatan aktivitas sitokrom p-450c17

(enzim yang diperlukan untuk pembentukan androgen ovarium) dan terjadi juga peningkatan

kadar LH yang tinggi akibat sekresi gonadotropine releasing hormone(GnRH) yang

meningkat. Hal ini sehingga menyebabkan sekresi androgen dari ovarium bertambah karena

ovarium pada penderita sindrom ini lebih sensitif terhadap stimulasi gonadotropin.

Peningkatan produksi androgen menyebabkan terganggunya perkembangan folikel sehingga

tidak dapat memproduksi folikel yang matang.

Hal ini mengakibatkan berkurangnya estrogen yang dihasilkan oleh ovarium dan tidak

adanya lonjakan LH yang memicu terjadinya ovulasi. Selain itu adanya resistensi insulin

menyebabkan keadaan hiperinsulinemia yang mengarah pada keadaan hiperandrogen, karena

insulin merangsang sekresi androgen dan menghambat sekresi SHBG hati sehingga androgen

bebas meningkat. 1,3

5

Gambar 2.5.1 Patofisiologi PCOS

6

2.6 Gambaran Klinis

1. Gangguan menstruasi dan infertilitas

Penderita SOPK sering datang dengan keluhan gangguan menstruasi dapat berupa

oligomenorea, amenorea dan infertilitas. Hal ini disebabkan oleh adanya anovulasi kronik

dan hiperandrogenemia.5

2. Hirsutisme

Keadaan dengan pertumbuhan rambut yang berlebihan pada kulit ditempat yang biasa, seperti

kepala dan ekstremitas. Keadaan ini terjadi akibat pembentukkan androgen yang berlebihan

akibat kerusakan enzim 3 betahidroksisteroid dehidrogenase. 2

3. Obesitas

Wanita dengan berat badan yang berlebihan, 4-5 kali lebih sering terjadi gangguan fungsi

ovarium. Wanita yang gemuk menunjukkan aktivitas kelenjar suprarenal yang berlebihan,

peningkatan produksi testosteron, androstenedion serta peningkatan rasio estron/estradion

2,5. Selain itu dikemukakan pula penurunan kadae SHBG serum. Androgen merupakan

hormon yang diperlukan oleh tubuh untuk menghasilkan estrogen. Enzim yang diperlukan

untuk mengubah androgen menjadi estrogen adalah aromatase. Jaringan yang dimiliki

kemampuan untuk mengaromatisasi androgen menjadi estrogen adalah sel-sel granulosa dan

jaringan lemak. 2,3

Perubahan androstenedion menjadi E1 terjadi terutama di jaringan lemak, dan tingkat

perubahan ini berhubungan dengan jumlah jaringan lemak. Pengurangan berat badan pada

wanita gemuk berhubungan dengan pengurangan kadar androgen dan estrogen terutama

estron serum. Hiperestronemia dan hiperinsulinemia adalah 2 hal yang berhubungan dengan

kegemukan yang berperan dalam patogenesis ovarium polikistik. 2,3,5

7

4. Akne, seborrhoe, pembesaran klitoris , pengecilan payudara.

Keadaan ini terjadi akibat pembentukkan androgen yang berlebihan. 2

2.7 Pemeriksaan fisik

Gejala hirsutisme dapat dinilai dengan menggunakan sistem skoring standar modifikasi

Ferriman-Gallwey. Penilaian 0-3 pada setiap area tubuh yang dinilai. Area tubuh yang dinilai

yaitu, di atas bibir, wajah, dagu, rahang dan leher, punggung atas dan bawah, lengan, paha,

dada, perut bagian atas dan bawah, serta perineum (gambar 1). Skor 8 atau lebih dianggap

abnormal untuk wanita dewasa kulit putih.1,4

Gambar 2.7.1 - Sistem skoring standar modifikasi Ferriman-Gallwey

Obesitas pada wanita dengan PCOS dinilai dengan mengukur lingkar perut. Dikatakan

obesitas jika lingkar perut lebih dari 35 inci (> 88 cm). Pasien dengan gejala sindrom

metabolik dapat mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >130 mmHg atau lebih dan

tekanan darah diastolik >85 mmHg atau lebih. Walaupun pembesaran ovarium tidak selalu

ditemukan pada pasien PCOS, tetap harus dilakukan pemeriksaan bimanual untuk melihat

kemungkinan adanya pembesaran ovarium. 1,4

2.8 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan dengan :

1. Data-data subjektif dan objektif :

8

Infertilitas, gangguan haid, perubahan suara kelaki-lakian, jerawat, hirsutisme, hipertropi

klitoris, hipertropi otot, obesitas (+/-), gambaran USG dan gangguan hormonal.

2. Temuan penunjang :

Ultrasonografi: pemeriksaan USG transabdominal untuk pemeriksaan ovarium polikistik

mempunyai spesifitas yang tinggi, tetapi kurang sensitif terutama pada wanita gemuk. Tetapi

kelemahan ini dapat diatasi dengan cara USG transvaginal.

Gambar 2.8.2.1 Gambaran USG pada ovarium polikistik.

Beberapa kriteria diagnositik ovarium polikistik dengan USG :

Cara USG Parameter USG Kriteria OPK

Trans abdominal Volume ovarium

Folikel dengan ukuran 5-8

cm

> 10 cm 3

> 5

Trans vaginal Volume ovarium

Folikel dgn ukuran >6 mm

Ukuran folikel rata-rata

Stroma ovarium mening-kat

> 8 cm 3

> 11

< 4 mm

50% atau > 7,6 cm2

3. Pemeriksaan hormonal :

9

Pemeriksaan hormonal yang digunakan untuk mendiagnosis adanya penyakit ovarium

polikistik adalah kadar : progesterone, LH, testosteron, androstenedion, nisbah LH/FSH,

nisbah testosteron/SHBG, nisbah gula darah puasa/insulin puasa.

Tabel 2.8.3.1 Pemeriksaan penunjang pada SOPK beserta tujuan pemeriksaannya

Pemeriksaan Nilai normal Tujuan

β-hCG Menyingkirkan kehamilan

TSH 0,5-4,5 μU/mL (0,5-4,5

mU/L)

Menyingkirkan gangguan

tiroid

Prolaktin Menyingkirkan

hiperprolaktinemia

Testosteron (total) Menyingkirkan tumor yang

menghasilkan androgen

Testosteron (bebas) 20-30 tahun: 0,06-2,57

pg/mL (0,20-8,90 pmol/L)

40-59 tahun: 0,4-2,03 pg/mL

(1,40-7,00 pmol/L)

Menegakkan diagnosis atau

monitoring terapi

DHEAS 600-3.400 ng/mL (1,6-9,2

μmol/L)

Menyingkirkan tumor yang

menghasilkan androgen

Androstenedione 0,4-2,7 ng/mL (1,4-9,4

nmol/L)

Menegakkan diagnosis

17α-hydroxyprogesterone Fase folikuler Menyingkirkan NCAH

Glukosa puasa 65-119 mg/dL (3,6-6,6 Menyingkirkan diabetes tipe

10

mmol/L) 2 atau intoleransi glukosa

Rasio glukosa puasa : insulin ≥ 4,5 Menyingkirkan resistensi

insulin

Kolesterol (total) 150-200 mg/dL (1,5-2 g/L) Monitor perubahan gaya

hidup

Kolesterol HDL 35-85 mg/dL (0,9-2,2

mmol/L)

Monitor perubahan gaya

hidup

Kolesterol LDL 80-130 mg/dL (2,1-3,4

mmol/L)

Monitor perubahan gaya

hidup

Diagnosis SOPK ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab lain oligomenorea atau

hiperandrogenisme. Pemeriksaan-pemeriksaan lain mungkin berguna untuk monitoring

terapi.

4. Resistensi insulin

Ada beberapa cara pengukuran untuk menentukan adanya resistensi insulin, antara lain :

a. Uji Toleransi Glukosa Oral

b. Uji toleransi insulin

c. Infus glukosa secara berkesinambungan

d. Tehnik klem euglikemik, ini merupakan baku emas untuk mengukur sensitivitas jaringan

terhadpa insulin.

e. Nisbah gula darah puasa / insulin puasa.

Menurut kesepakatan National Institute of Health – National Institute of Child Health and

Human Development NIH-NICHD untuk mendiagnosa SOPK ditetapkan Kriteria mayor : 6,7

- Anovulasi

11

- Hiperandrogenemia

- Tanda klinis hiperandrogenisme

- Penyebab lainnya dapat disingkirkan

Kriteria minor :

- Resistensi insulin

- Hirsutisme dan obesitas yang menetap

- Meningkatnya perbandingan rasio LH-FSH

- Anovulasi intermiten yang berhubungan dengan hiperandrogenemia

- Bukti secara ultrasonografi terdapat ovarium polikistik

Terdapat dua kriteria mayor untuk mendiagnosis SOPK:

Anovulasi

adanya hiperandrogenisme yang ditetapkan secara klinis dan laboratorium.

Adanya dua kelainan ini cukup untuk mendiagnosis SOPK tanpa adanya penyakit primer

pada kelenjar hipofise atau adrenal yang mendasari seperti neoplasma adrenal atau ovarium,

sindrom Cushing, hypogonadotropic atau gangguan hypergonadotropic, hyperprolactinemia,

dan penyakit tiroid.

Dibutuhkan 1 kriteria mayor yaitu anovulasi dan 2 kriteria minor yaitu rasio LH/FSH

> 2,5 dan terbukti adanya ovarium polikistik secara USG. USG dan atau laparoskopi

merupakan alat utama untuk diagnosis. Dengan USG, hampir 95 % diagnosis dapat dibuat.

Terlihat gambaran seperti roda pedati, atau folikel-folikel kecil berdiameter 7-10 mm. Baik

dengan USG, maupun dengan laparoskopi, ke dua, atau salah satu ovarium pasti membesar.7

Wanita SOPK menunjukkan kadar FSH, PRL, dan E normal, sedangkan LH sedikit meninggi

(nisbah LH/FSH>3). LH yang tinggi ini akan meningkatkan sintesis T di ovarium, dan

membuat stroma ovarium menebal (hipertikosis). Kadar T yang tinggi membuat folikel atresi.

LH menghambat enzim aromatase. Bila di temukan hirsutismus, perlu diperiksa testosteron,

dan umumnya kadar T tinggi. Untuk mengetahui, apakah hirsutismus tersebut berasal dari

ovarium, atau kelenjar suprarenal, perlu di periksa DHEAS.

12

Kadar T yang tinggi selalu berasal dari ovarium (> 1,5 ng/ml), sedangkan kadar

DHEAS yang tinggi selalu berasal dari suprarenal (> 5-7ng/ml). Indikasi pemeriksaan T

maupun DHEAS dapat di lihat dari ringan beratnyapertumb uhan rambut. Bila pertumbuhan

rambut yang terlihat hanya sedikit saja (ringan), maka kemungkinan besar penyebab

tingginya androgen serum adalah akibat gangguan pada ovarium, berupa anovulasi kronik,

sedangkan bila terlihat pertumbuhan rambut yang mencolok, maka peningkatan androgen

kemugkinan besar berasal dari kelenjar suprarenal, berupa hiperplasia, atau tumor.7

2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding termasuk variasi yang luas dari sejumlah gangguan lain yang berakibat

pada abnormalitas pelepasan gonadotropin, anovulasi kronik, dan ovarium yang sklerokistik.

Ovarium yang sklerokistik merupakan ekspresi morfologi yang nonspesifik dari anovulasi

kronik pada pasien-pasien premenopause, dan dapat disertai :

a. Lesi adrenal, misalnya sindroma Cushing, hiperplasia adrenal kongenital, dan tumor-tumor

adrenal virilisasi.

b. Gangguan hipotalamus-pituitari primer

c. Lesi-lesi ovarium yang memproduksi jumlah yang berlebihan dari estrogen atau androgen,

termasuk tumor-tumor sex-cord stromal, tumor-tumor sel steroid dan beberapa lesi

nonneoplastik seperti hiperplasia sel Leydig dan hipertekosis troma.

Ovarium sklerokistik juga terjadi pada pasien-pasien dengan ooforitis autoimun, setelah

penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang, berhubungan dengan adhesi periovarium,

setelah terapi androgen jangka panjang pada wanita agar menjadi pria transeksual dan

ditemukan normal pada individu-indivudi prespubertas.7

2.10 Penatalaksanaan

Sindroma ovarium polikistik adalah sekelompok masalah gangguan kesehatan akibat

gangguan keseimbangan hormonal. Seringkali SOPK menyebabkan gangguan pada pola haid

dan menimbulkan kesulitan untuk mendapatkan kehamilan.1,8

Olahraga secara teratur, konsumsi makanan sehat, serta menghentikan kebiasaan merokok

dan mengendalikan berat badan merupakan kunci utama pengobatan SOPK. Alternatif

pengobatan lainnya adalah dengan menggunakan obat untuk menyeimbangkan hormon. 1,8

Tidak terdapat pengobatan definitif untuk SOPK, namun pengendalian penyakit dapat

menurunkan resiko infertilitas, abortus, diabetes, penyakit jantung dan karsinoma uterus. 1,8

13

2.10.1 Terapi non-Medikamentosa

Pengendalian dan penurunan berat badan

Dapat menurunkan resiko terjadinya diabetes, hipertensi dan hiperkolesterolemia. Penurunan

berat badan yang tidak terlalu drastis dapat mengatasi kadar androgen dan kadar insulin serta

infertiliti. Penurunan berat badan sebesar 5 – 7% dalam waktu 6 bulan sudah dapat

menurunkan kadar androgen sedemikian rupa sehingga ovulasi dan fertilitas menjadi pulih

pada 75% kasus SOPK.2,8

- Penurunan berat badan. Memperoleh berat badan yang ideal akan memperbaiki kesehatan

penderita dan dapat mengatasi masalah kesehatan jangka panjang. Meningkatkan aktivitas

dan makan makanan sehat merupakan kunci pengendalian berat badan.

- Olah raga. Penderita diharap untuk menjadikan olah raga teratur sebagai bagian penting

dalam kehidupannya. Berjalan kaki merupakan aktivitas yang paling baik dan sederhana yang

dapat dengan mudah dikerjakan.

- Makanan sehat dan gizi seimbang yang terdiri dari kombinasi buah dan sayuran, produk

makanan kecil berkalori rendah yang dapat memuaskan nafsu makan dan menngatasi

kebiasaan makan kecil.

- Pertahankan berat badan yang sehat.

- Hentikan kebiasaan merokok

2.10.2. Terapi Medikamentosa

Pengobatan tergantung tujuan pasien. Beberapa pasien membutuhkan terapi kontrasepsi

hormonal, dimana yang lainnya membutuhkan induksi ovulasi. Kebanyakan pasien dengan

SOPK mencari pengobatan untuk hirsutisme dan infertilitasnya. Hirsutisme dapat diobati

dengan obat antiandrogen yang menurunkan kadar androgen tubuh. Infertilitas pada SOPK

sering berespon terhadap klomifen sitrat. 1,5

Kontrasepsi Oral

Kontrasepsi oral kombinasi menurunkan produksi adrenal dan androgen, dan mengurangi

pertumbuhan rambut dalam 2/3 pasien hirsutisme. Terapi dengan kontrasepsi oral memiliki

beberapa manfaat, antara lain :

1. Komponen progestin menekan LH, mengakibatkan penurunan produksi androgen ovarium

14

2. Estrogen meningkatkan produksi hepatik SHBG, menghasilkan penurunan testosteron

bebas.

3. Mengurangi kadar androgen sirkulasi.

4. Estrogen mengurangi konversi testosteron menjadi dehidrotestosteron pada kulit dengan

menghambat 5α-reduktase. 1

Pasien dengan SOPK terjadi anovulasi yang kronis dimana endometriumnya distimulasi

hanya dengan estrogen. Hal ini menjadi endometrium hiperplasia dan dapat terjadi

endometrium carcinoma pada pasien SOPK dengan anovulasi yang kronis. Banyak dari kasus

seperti ini dapat dikembalikan dengan menggunakan progesteron dosis tinggi, seperti

megestrol asetat 40-60 mg/hari untuk 3-4 bulan.5

Ketika kontrasepsi oral digunakan untuk mengobati hirsutisme, keseimbangan harus

dipertahankan antara penurunan kadar testosteron bebas dan androgenisitas intrinsik dari

progestin. Tiga progestin senyawa yang terdapat dalam kontrasepsi oral (norgestrel,

norethindrone, dan norethindrone asetat) diyakini merupakan androgen dominan.

Kontrasepsi oral yang berisi progestin baru (desogestrel, gestodene, norgestimate, dan

drospirenone) memiliki aktivitas androgenik yang minimal. Terdapat bukti yang terbatas

bahwa terdapat perbedaan dalam hasil uji klinis yang ditentukan oleh perbedaan-perbedaan

ini secara in vitro dari potensi androgenik. 1

2. Medroksiprogesteron Asetat

Penggunaan medroksiprogesteron asetat secara oral atau intramuskuler telah berhasil

digunakan untuk pengobatan hirsutisme. Secara langsung mempengaruhi axis hipofise-

hypothalamus oleh menurunnya produksi GnRH dan pelepasan gonadotropin, sehingga

mengurangi produksi testosteron dan estrogen oleh ovarium.

Meskipun penurunan SHBG, kadar androgen total dan bebas berkurang secara signifikan.

Dosis oral yang direkomendasikan adalah 20-40 mg per hari dalam dosis terbagi atau 150 mg

diberikan intramuscular setiap 6 minggu sampai 3 bulan dalam bentuk depot. Pertumbuhan

rambut berkurang sebanyak 95% pasien. Efek samping dari pengobatan termasuk amenorea,

hilangnya kepadatan mineral tulang, depresi, retensi cairan, sakit kepala, disfungsi hepatik,

dan penambahan berat badan. 1

3. Agonis Gonadotropin releasing Hormone (Gn-RH) 15

Penggunaan GnRH agonis memungkinkan diferensiasi androgen adrenal yang dihasilkan

oleh ovarium. Ini ditujukan untuk menekan kadar steroid ovarium pada pasien SOPK.

Pengobatan dengan leuprolid asetat yang diberikan intramuskular setiap 28 hari mengurangi

hirsutisme dan diameter rambut pada hirsutisme idiopatik atau pada hirsutisme sekunder pada

SOPK. Tingkat androgen ovarium secara signifikan dan selektif ditekan. GnRH agonis dapat

diberikan dengan dosis tunggal, 3 mg pada hari ke 8 siklus haid, atau dengan dosis ganda

setiap hari 0,25 mg mulai hari ke 7 siklus haid. Penambahan kontrasepsi oral atau terapi

penggantian estrogen untuk pengobatan agonis GnRH dapat mencegah keropos tulang dan

efek samping lainnya dari menopause, seperti hot flushes dan atrofi genital. Supresi

hirsutisme tidak menambah potensi dengan terapi penambahan estrogen untuk pengobatan

agonis GnRH. 1

4. Ketokonazol

Ketokonazol, agen antijamur yang disetujui oleh US Food and Drug Administration,

menghambat kunci sitokrom steroidogenik. Diberikan pada dosis rendah (200 mg / hari),

dapat secara signifikan mengurangi tingkat androstenedion, testosteron, dan testosteron

bebas. 1

5. Flutamide

Flutamid merupakan antiandrogen nonsteroid yang dilaporkan tidak mempunyai aktivitas

progestasional, estrogenik, kortikoid, atau antigonadotropin.

Pada banyak studi, kadar perifer T dan T bebas tidak berubah, meskipun beberapa dilaporkan

modulasi produksi androgen. Flutamid mempunyai efikasi yang serupa dengan spironolakton

dan cyproteron. Obat ini telah digunakan untuk mengobati kanker prostat pada laki-laki. Obat

ini diguakan secara umum dalam dosis 125-250 mg dua kali sehari. Efek samping yang

umum ialah kulit kering dan meningkatkan nafsu makan. 2

6. Cyproterone Acetate

Cyproterone asetat adalah progestin sintetis poten yang memiliki sifat antiandrogen kuat.

Mekanisme utama cyproterone asetat ialah menginhibisi secara kompetitif testosteron dan

DHT pada tingkat reseptor androgen. Agen ini juga menginduksi enzim hepatik dan dapat

16

meningkatkan laju metabolisme plasma clearance androgen. Formulasi Eropa dengan

cyproterone ethinyl estradiol plasma acetate mengurangi kadar testosteron dan

androstenedion secara signifikan, menekan gonadotropin, dan meningkatkan tingkat SHBG.

Cyproterone asetat juga menunjukkan aktivitas glukokortikoid ringan dan dapat mengurangi

tingkat DHEAS.

Diberikan dalam rejimen berurutan terbalik (cyproterone asetat 100 mg / hari pada

hari ke-5 - 15, dan ethinyl estradiol 30-50 mg / hari pada siklus hari ke-5 - 26), jadwal siklus

ini membuat perdarahan menstruasi yang teratur, membuat kontrasepsi yang sangat baik, dan

efektif dalam pengobatan hirsutisme dan bahkan jerawat yang parah.

Efek samping cyproterone asetat ialah:1

Kelelahan

meningkatnya berat badan

penurunan libido

perdarahan tak teratur, mual, dan sakit kepala.

* Gejala ini terjadi lebih jarang ketika ethinyl estradiol ditambahkan.

7. Spironolactone

Spironolacton merupakan diuretik hemat kalium yang menginhibisi pertumbuhan rambut

dengan menghambat aktivitas 5α-reduktase dan mengikat secara kompetitif terhadap reseptor

intraseluler dari DHT. Dosis pemberian spironolakton adalah 2x50 mg/hari.

Dosis yang lebih besar mengganggu aktivitas sitokrom P-450, yang mengurangi

jumlah total androgen sintesis dan sekresi. Efek samping spironolakton ialah menstruasi yang

ireguler, mual dan lemah dengan dosis yang lebih tinggi. Disebabkan spironolakton

merupakan diuretik hemat kalium, wanita dengan hiperkalemia harus diobservasi dengan

hati-hati atau sebaiknya diberikan alternatif obat lainnya.3

8. Insulin Sensitizers

Karena hiperinsulinemia memainkan peran dalam SOPK terkait anovulasi, pengobatan

dengan insulin sensitizers dapat menggeser keseimbangan endokrin terhadap ovulasi dan

kehamilan, baik penggunaan sendiri atau dalam kombinasi dengan modalitas pengobatan lain. 1

Metformin direkomendasikan didalam International Guidelines sebagai terapi utama untuk

diabetes mellitus tipe 2 karena mempunyai profil yang baik dalam pengontrolan metabolism

17

glukosa. Akan tetapi sampai saat ini belum ditemukan regimen dosis yang tetap sehingga

dianjurkan untuk disesuaikan secara individu dengan dasar efektifitas dan toleransi dan tidak

melebihi dosis maksimal yang direkomendasikan yaitu 2250 mg untuk dewasa dan 2000 mg

untuk anak-anak dalam sehari. Untuk meminimalisir efek samping, terapi metformin dimulai

pada dosis yang rendah yang diminum saat makan, dan dosis ini ditingkatkan secara

progresif.

Pasien-pasien diberi metformin 500 mg sekali/hari diminum saat makan besar,

biasanya makan malam selama 1 minggu kemudian ditingkatkan menjadi 2kali/sehari,

bersama sarapan dan makan malam, selama 1 minggu kemudian dosis dinaikkan 500 mg saat

sarapan dan 1000 mg saat makan malam selama 1 minggu dan akhirnya dosis ditingkatkan

menjadi 1000 mg 2kali/hari saat sarapan dan makan malam. Tidak terdapat penelitian

mengenai kisaran dosis metformin pada sindrom ovarium polikistik, tapi penelitian kisaran

dosis pada pasien diabetes menggunakan kadar hemoglobin glikase sebagai pengukur

outcome, menunjukkan bahwa dosis 2000 mg per hari sudah optimal. 1

Dosis dan jangka waktu yang optimal untuk pemberian metformin pada penderita SOPK

dengan insulin resisten sampai sekarang belum ditemukan suatu

18

konsensus. Beberapa peneliti memberi pengobatan 4 sampai 8 minggu dengan dosis 500 mg

tiga kali sehari sebagai pengobatan awal sebelum diberikan clomiphene citrate, tetapi banyak

pasien yang merasa tidak nyaman dan sering menemukan efek samping dengan pemberian 4

sampai 8 minggu tersebut, sehingga banyak yang tidak melanjutkan pengobatan. Untuk

mempersingkat waktu dan meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan, banyak peneliti

mencoba pemberian metformin yang lebih singkat. Hwu dkk memberikan metformin dengan

dosis 500 mg tiga kali sehari untuk 12 hari sebelum dimulai pengobatan dengan clomiphene

citrate. Pada penelitian tersebut ovulasi ditemukan pada 42.5% dibandingkan hanya 12.5%

pada kelompok kontrol. Khorram dkk memberikan metformin 500 mg tiga kali sehari dimulai

dari hari pertama withdrawal bleeding (setelah pemberian medroxy-progesterone acetate 10

mg perhari selama 10 hari) dan pemberian clomiphene citrate pada hari ke lima sampai hari

ke sembilan. Pada penelitian tersebut ditemukan 44% dan 31% dibandingkan hanya 6.7% dan

0% pada kelompok kontrol yang ovulasi dan keberhasilan untuk hamil.

9. Clomiphene citrate

Clomiphene citrate merupakan estrogen lemah sintetis yang meniru aktivitas antagonis

estrogen bila diberikan pada dosis farmakologi khas untuk induksi ovulasi. Fungsi hipofise-

hipotalamus-ovarium axis diperlukan untuk kerja klomifen sitrat yang tepat. Lebih khusus

lagi, clomiphene sitrat diperkirakan dapat mengikat dan memblokir reseptor estrogen di

hipotalamus untuk periode yang lama, sehingga mengurangi umpan balik estrogen normal

hipotalamus-ovarium. Blokade ini meningkatkan jumlah GnRH di beberapa wanita yang

anovulatoir. Peningkatan kadar GnRH menyebabkan peningkatan sekresi hipofise

gonadotropin, yang memperbaiki perkembangan folikel ovarium. Clomiphene citrate juga

dapat mempengaruhi ovulasi melalui tindakan langsung pada hipofisis atau ovarium.

Sayangnya, efek antiestrogen clomiphene sitrat pada tingkat endometrium atau serviks

memiliki efek yang merugikan pada kesuburan pada sebagian kecil individu. 1

Obat ini adalah suatu antagonis estrogen yang bekerja dengan mengadakan penghambatan

bersaing dengan estrogen terhadap hipotalamus sehingga efek umpan balik estrogen

ditiadakan. Dengan demikian hipotalamus akan melepaskan LH-FSH-RH yang selanjutnya

akan rnenyebabkan hipofisis anterior meningkatkan sekresi FSH dan LH. Dengan demikian

akan terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel serta ovulasi.

19

Dosis diberikan 50 mg satu kali pemberian perhari dengan dosis maksimal perhari dapat

ditingkatkan menjadi 200 mg. Penggunaan clomiphene sitrat untuk induksi ovulasi memiliki

hasil yang sangat baik. Bahkan, pada beberapa populasi, 80% hingga 85% wanita akan

berovulasi dan 40% akan hamil. 1

2.8.3. Terapi Pembedahan

Terapi pembedahan kadang-kadang dilakukan pada kasus infertilitas akibat SOPK yang tidak

segera mengalami ovulasi setelah pemberian terapi medikamentosa. Melalui pembedahan,

fungsi ovarium di pulihkan dengan mengangkat sejumlah kista kecil.2

Alternatif tindakan :

“Wedge Resection” , mengangkat sebagian ovarium. Tindakan ini dilakukan untuk

membantu agar siklus haid menjadi teratur dan ovulasi berlangsung secara normal. Tindakan

ini sudah jarang dikerjakan oleh karena memiliki potensi merusak ovarium dan menimbulkan

jaringan parut. 2

“Laparoscopic ovarian drilling” , merupakan tindakan pembedahan untuk memicu

terjadinya ovulasi pada penderita SOPK yang tidak segera mengalami ovulasi setelah

menurunkan berat badan dan memperoleh obat-obat pemicu ovulasi. Pada tindakan ini

dilakukan eletrokauter atau laser untuk merusak sebagian ovarium. Beberapa hasil penelitian

memperlihatkan bahwa dengan tindakan ini dilaporkan angka ovulasi sebesar 80% dan angka

kehamilan sebesar 50%.11 Wanita yang lebih muda dan dengan BMI dalam batas normal

akan lebih memperoleh manfaat melalui tindakan ini. 2

20

BAB III

KESIMPULAN

Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan kompleks endokrin dan

metabolik yang ditandai dengan adanya anovulasi kronik dan atau hiperandrogenisme yang

diakibatkan oleh kelainan dari fungsi ovarium dan bukan oleh sebab lain.

Prevalensi terjadinya SOPK sekitar 1% - 3 % dari semua wanita steril, 3%-7% dari wanita

yang mempunyai pengalaman ovarium polikistik

Etiologi SOPK tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan sangat dipengaruhi oleh

genetik.

SOPK menyebabkan infertilitas dan bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi gangguan

hubungan umpan balik antara pusat (hipotalamus-hipofisis) dan ovarium sehingga kadar

estrogen selalu tinggi yang mengakibatkan tidak pernah terjadi kenaikan kadar FSH yang

cukup adekuat.

Gambaran klinis berupa : Gangguan menstruasi dan infertilitas, hirsutisme, obesitas, akne,

seborrhoe, pembesaran klitoris , dan pengecilan payudara.

Penatalaksanaan awal berupa pengendalian dan penurunan berat badan

Terapi medikamentosa dengan pemberian kontrasepsi oral, medroksiprogesteron asetat,

agonis gonadotropin releasing hormone (gn-rh), ketokonazol, flutamide, cyproterone acetate,

spironolactone, insulin sensitizers, dan clomiphene citrate

Terapi pembedahan dengan “Wedge Resection” dan “Laparoscopic ovarian drilling”

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Maharani, L. Wratsangka R. 2002. Sindrom Ovarium Polikistik: Permasalahan Dan

Penatalaksanaannya. (diunduh tanggal 07 februari 2012). Dari URL :

http://www.univmed.org/wp-content/ uploads/2011/02/Dr._Laksmi.pdf

2. Hadibroto, B.R. 2005. Sindroma Ovarium Polikistik. (diunduh tanggal 07 februari 2012).

Dari URL : http://repository.usu.ac.id/bitstream /123456789/15588/1/mkn-des2005-

%20%2811%29.pdf

3. Duarsa, M.A. 2004. Pendekatan Medisinalis Dan Bedah Pada Penanganan Sopk. (diunduh

tanggal 07 februari 2012). Dari URL :

http://digilib.unsri.ac.id/jurnal/health-sciences/pendekatan-medisinalis-dan-bedah-pada-

penanganan-sopk/mrdetail/914/

4. Ramli R. 2010. Dampak Preeklampsia. (diunduh tanggal 10 februari 2012). Dari URL :

http://www.ibubayi.com/topik/dampak-preeklampsia.html

5. Melissa Conrad Stöppler. William C. Shiel Jr. 2010. Polycystic Ovarian Syndrome.

(diunduh tanggal 07 februari 2012). Dari URL :

http://www.medicinenet.com/polycystic_ovary/article.htm

6. Hestiantoro, A. 2009. Sindroma ovarium polikistik, penyebab gangguan haid. (diunduh

tanggal 07 februari 2012). Dari URL :

http://botefilia.com/index.php/archives/2009/04/10/sindroma-ovarium-polikistik-penyebab-

gangguan-haid/

7. Anonym. 2010. Ovarium polikistik Sindrom - Penyebab, Gejala dan Metode Pengobatan.

(Diunduh tanggal 07 februari 2012). Dari URL : http://id.hicow.com/polikistik-ovarium-

sindrom/kehamilan/hormon-772734.html

8. Murfida, L. 2001. terapi metformin pada sindrom ovarium polikistik. (diunduh tanggal 07

februari 2012). Dari URL : http://digilib.unsri.ac.id/download/Terapi %20Metformin

%20pada%20SOPK.pdf

9. Balen AH, Rutherford AJ; Managing anovulatory infertility and polycystic ovary

22

syndrome. BMJ. 2007 Sep 29;335(7621):663-6.

23