49
BAB I PEMBAHASAN JURNAL Menghindari Kesalahan dalam Diagnosa Perdarahan Subarachnoid Pasien dengan nyeri kepala sebanyak 1 hingga 2 persen mengunjungi Instalasi Gawat Darurat, 4 persen mengujungi tempat praktik dokter. Dan dari sekian pasien dengan nyeri kepala mayoritas adalah nyeri kepala primer yaitu migrain dan tension headace. Hanya sedikit yang disebabkan oleh nyeri kepala sekunder, yaitu karena penyakit pada ekstremitas, otak atau pengelihatan, termasuk perdarahan subarachnoid. Berikut adalah macam nyeri kepala yang membutuhkan penanganan : 1

BAB I

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PEMBAHASAN JURNAL

Menghindari Kesalahan dalam Diagnosa Perdarahan SubarachnoidPasien dengan nyeri kepala sebanyak 1 hingga 2 persen mengunjungi Instalasi Gawat Darurat, 4 persen mengujungi tempat praktik dokter. Dan dari sekian pasien dengan nyeri kepala mayoritas adalah nyeri kepala primer yaitu migrain dan tension headace. Hanya sedikit yang disebabkan oleh nyeri kepala sekunder, yaitu karena penyakit pada ekstremitas, otak atau pengelihatan, termasuk perdarahan subarachnoid. Berikut adalah macam nyeri kepala yang membutuhkan penanganan :

Penyebab utama perdarahan subarachnoid nontraumatik 80 persen adalah karena rupturnya aneurisme saccular yang banyak terjadi pada 30000 pasien di Amerika Serikat. Kemuadian sebanyak 20 persen, mengalami perdarahan perimesencephalic non-aneurisme, hal ini dilakukan dengan penekatan diagnosa yang sama terhadap dua penyebab perdarahan subarachnoid.

1

Sebanyak 1 persen dari pasien dengan nyeri kepala yang datang ke instalasi gawatdarurat karena perdarahan subarachnoid. Sebuah penelitian menyatakan bahwa pasien dengan perdarahan subarachnoid tersebut datang dengan gejala nyeri kepala yang paling sakit yang pernah mereka alami dengan hasil pemeriksaan neurologi normal. Kejadian ini meningkat sebanyak 25 persen jika pasien dengan hasil pemeriksaan neurologi abnormal dimasukkan. Adanya perdarahan adalah hal fatal yang akan menyebabkan kerusakan neurologi yang nyata terlihat atau gejala kerusakan neurologi yang relatif ringan. Hal ini terjadi karena operasi definitif dini untuk memperbaiki aneurime untuk menurunkan komplikasi jangka pendek (terutama terulangnya perdarahan dan vasospasme) dan memperbaiki hasil akhir, dan diagnosis dini. Meskipun disertai dengan peralatan neuroimaging , misdiagnosis dari perdarahan subarachnoid seringkali terjadi, dan ini penyebab utama dari persoalan pengobatan emergency.

Lingkup Permasalahan dari Kesalahan Diagnosa Biasanya pasien dengan perdarahan subarachnoid mengalami sakit kepala yang parah secara tiba-tiba (sering digambarkan sebagai sakit kepala terburuk dalam hidupnya) yang terjadi saat beraktivitas. Hilangnya kesadaran sementara atau sering menekuk kaki menyertai sakit kepala, kemudian disusul dengan muntah. Pemeriksaan fisik mungkin menunjukkan adanya perdarahan retina (Gambar 1), kaku kuduk, gelisah, tingkat kesadaran berkurang, dan tandatanda neurologis fokal (Tabel 2). Pasien dengan gejala klasik yang sedikit membuat sulit untuk menegakkan diagnostic, sehingga dokter sering salah diagnosis, karena beberapa studi telah menunjukkan selama tahun 1980, 23 sampai 37 persen dari semua pasien yang dirujuk 2

ke Universitas Iowa dengan perdarahan subarachnoid diberi diagnosis yang salah pada saat mereka ke dokter. Pasien-pasien ini cenderung tidak mengalami sakit yang sangat dan memiliki pemeriksaan neurologis normal. Di antara pasien yang dirawat di empat unit bedah saraf Connecticut pada 1990-an, 25 persen pasien dengan perdarahan subarachnoid awalnya menerima diagnosis yang salah, kebanyakan dari mereka berada dalam kondisi klinis yang baik saat datang ke dokter. Setengah dari 54 pasien dengan diagnosis yang salah keadaannya memburuk, biasanya akibat dari perdarahan berulang, sebelum pengobatan definitif dimulai. Dari 163 pasien yang diberi diagnosis yang benar, kondisi hanya 2,5 persen memburuk. Di antara pasien yang berada dalam kondisi klinis yang baik ketika pertama kali dilihat, 91 persen pasien dengan diagnosis yang benar memiliki hasil yang baik atau sangat baik pada enam minggu, dibandingkan dengan 53 persen pasien dengan diagnosis yang salah. Peneliti di Inggris juga menemukan bahwa separuh dari serangkaian pasien dengan perdarahan subarachnoid awalnya menerima diagnosis yang salah, 65 persen mengalami perdarahan berulang sebelum mendapatkan diagnosis yang benar.

Tabel 3 menunjukkan hasil dari empat studi di mana sebagian besar pasien diberi diagnosis yang salah. Misdiagnosis Sering juga telah didokumentasikan di Belanda, Portugal, dan Australia. Dalam Studi Kooperatif Internasional tentang Timing Bedah Aneurisme, yang melibatkan 68 pusat di 14 negara, hampir separuh dari pasien yang memenuhi syarat diagnosa perdarahan subarachnoid aneurisma dikeluarkan karena adanya keterlambatan lebih dari tiga hari sebelum rujukan.

3

Tiga fakta yang jelas. Pertama, dokter salah mendiagnosa secara konsisten perdarahan subarachnoid. Kedua, pasien yang menginginkan operasi adalah orang-orang yang paling sering menerima diagnosis yang salah. Ketiga, komplikasi terjadi lebih awal pada pasien dengan diagnosis yang salah, sehingga hasil yang lebih buruk lebih sering pada pasien ini dibandingkan pada mereka awalnya diberi diagnosis yang benar. Misdiagnosis berasal dari tiga hal tersebut yang terjadi berulang, pola yang harus diperbaiki dalam kesalahan diagnostik: tidak bisa mengenali gejala klinis, tidak bisa memahami keterbatasan computed tomography (CT), dan tidak bisa melakukan dan menginterpretasikan dengan benar hasil pungsi lumbal (Tabel 4).

4

Macam Gejala Klinis

Nyeri Kepala Antara 20 dan 50 persen pasien dengan perdarahan subarachnoid mengalami sakit kepala, yang terasa sangat parah dalam beberapa hari atau minggu sebelum terjadi episode perdarahan, disebut sebagai warning headace. Sakit kepala ini terjadi dalam hitungan detik, mencapai intensitas maksimal dalam menit, dan jam terakhir dalam beberapa hari atau disebut thunderclap headace. Diagnosis diferensial meliputi ekspansi subarachnoid perdarahan akut, diseksi, atau trombosis serebral unruptured trombosis vena aneurisma sinus, sakit kepala singkat selama beraktivitas dan hubungan seksual, dan thunderclap headace. Seluruh pasien yang mengalami thunderclap headace harus dievaluasi sebagai perdarahan subarachnoid.

5

Penyimpangan dari Gejala Klinik Klasik

Kira-kira setengah dari semua pasien dengan perdarahan subarachnoid mengalami episode pendarahan kecil, yang sering dengan fitur atipikal. Di antara 500 pasien dengan perdarahan subarachnoid dalam satu seri, pada 34 persen pasien nyeri kepala terjadi selama kegiatan yang tidak berat dan 12 persen selama tidur. Sakit kepala

mungkin terjadi di setiap lokasi, mungkin lokal atau umum, mungkin ringan, mungkin hilang secara spontan, atau dapat dihilangkan dengan analgesik non-narkotik. Pasien dengan sakit kepala yang kurang berat seperti yang mengalami kesalahan diagnosa misalnya migrain, nyeri kepala karena tegangan atau tension headace, sinus related headace. Nyeri kepala yang tidak begitu sakit cenderung terjadi tiba-tiba. Ketika muntah tejadi, disertai dengan demam ringan sering didiagnosis dengan viral-syndrom, meningitis viral, influenza, atau gastroenteritis. Pasien dengan nyeri leher yang menonjol diberikan diagnosis keseleo atau arthritis, dan mereka mengalami iritasi lumbal teka diberikan diagnosis sciatica. Pasien yang bingung, gelisah, atau gelisah dan yang tidak mampu memberikan cerita perjalanan sakit yang pasti didiagnosis psikiatri primer. Menurut International Headache Society, episode pertama dari sakit kepala yang parah tidak dapat diklasifikasikan sebagai migrain atau tension headace, kriteria diagnostik memerlukan beberapa episode dengan karakteristik tertentu (lebih dari 9 episode untuk nyeri kepala tipe tegang dan lebih dari 4 episode untuk migrain tanpa aura). Walaupun pasien dengan gangguan nyeri kepala primer harus memiliki riwayat sakit kepala pertama mereka di beberapa titik, diagnosis tidak dapat dibuat secara definitif pada waktu itu. Sakit kepala pertama atau terburuk memerlukan evaluasi, sakit kepala secara kualitatif dirasakan berbeda pada setiap pasien, bahkan jika sakit kepala tersebut bukan merupakan yang paling sakit dalam hidup mereka. Pada pasien dengan aneurisma unruptured, kejang, efek adanya massa, neuropati kranial, atau iskemia otak karena adanya bekuan darah dalam bagian distal aneurisma juga dapat terjadi. Biasanya, lesi aneurisme pada saraf III kranial menyebabkan dilatasi pupil, sedangkan infark mikrovaskuler tidak, meskipun ada pengecualian. Pasien dengan lesi parsial jarak pupil harus dievaluasi untuk memastikan pemeriksaan.

6

Cedera Kepala Sekunder, Tekanan Darah Tinggi, Temuan Abnormal elektrokardiografi

Ambiguitas Diagnostik muncul pada pasien dengan perdarahan subarachnoid yang kehilangan kesadaran karena cedera, jatuh, dan cedera menopang kepala. Darah yang terlihat pada CT scan mungkin bukan disebabkan trauma, meskipun trauma penyebab paling umum dari adanya darah dalam ruang subarachnoid. Beberapa pasien mungkin memiliki tekanan darah tinggi, dengan atau tanpa perubahan kesadaran. Fokus yang berlebihan pada tekanan darah dapat menyebabkan kesalahan diagnosa menjadi darurat hipertensi primer. Sampai dengan 91 persen pasien dengan perdarahan subarachnoid memiliki aritmia jantung, dan pola elektrokardiografi mirip iskemia miokard infark, sehingga diagnosis keliru menjadi gangguan jantung. Meskipun hanya sebagai peringatan, sebagian besar pasien dengan perdarahan subarachnoid memiliki onset nyeri kepala yang mendadak berat, dan nyeri leher. 7

Temuan abnormal pada pemeriksaan neurologis ditemukan, hanya jika didapatkan meningismus atau temuan okular. Pemahaman menyeluruh dari berbagai gejala klinis, ditambah pemeriksaan fisik yang secara aktif dan teliti menjadi petunjuk diagnostik, dan merupakan strategi terbaik untuk mengidentifikasi pasien yang harus dievaluasi sebagai perdarahan subarachnoid.

Keterbatasan CT Scan

Pada penelitian diagnostik pertama harus menggunakan CT noncontrast (Gambar 2). Teknik adalah bagian yang sangat penting. Pemotongan dilakukan dengan sangat tipis (ketebalan = 3 mm) melalui dasar otak, karena pemotongan yang terlalu tebal (10 mm) melewatkan gambaran kecil perdarahan. Pesawat scanning harus sejajar dengan hard palate. Darah dan tulang yang berdekatan, keduanya tampak putih, sulit untuk membedakan satu sama lain, terutama dalam perdarahan kecil. Karena peningkatan densitas darah di CT adalah fungsi dari konsentrasi hemoglobin, darah dengan konsentrasi hemoglobin di bawah 10 g per desiliter akan tampak isodense. Artefak dari gerakan pada ct scan pasien yang gelisah dapat membuat scan tersebut secara teknis suboptimal dan mengaburkan diagnosis. Kepekaan CT menurun dari waktu ke waktu dari timbulnya gejala, dinamika cairan serebrospinal dan lisis spontan dapat mengakibatkan pembersihan darah di subarachnoid dengan cepat. Dalam Studi Kooperatif Internasional Timing Bedah Aneurisme, lebih dari 3500 pasien dengan perdarahan subarachnoid aneurismal menjalani pemeriksaan CT scan yang digunakan antara tahun 1980 dan 1983. Sembilan puluh dua persen dari scan positif adanya ruptur, namun persentase ini menurun menjadi 86 persen satu hari kemudian, 76 persen dua hari kemudian, dan 58 persen lima hari kemudian. Dalam studi lain, 85 persen dari scan positif lima hari setelah ruptur dan 50 persen pada satu minggu. Empat penelitian telah dievaluasi dengan modern menggunakan CT scanner generasi ketiga. Studi retrospektif pasien yang dirawat di rumah sakit dengan perdarahan subarachnoid menunjukkan bahwa 100 persen pasien yang menjalani pemindaian dalam 12 jam pertama (80 dari 80) dan 93 persen dari pasien yang diteliti dalam 24 jam pertama (134 dari 144) setelah timbulnya sakit kepala memiliki temuan positif pada CT scan. Studi prospektif pasien rawat jalan menemukan sensitivitas 98 persen (117 dari 119) untuk pemeriksaan dilakukan dalam 12 jam pertama dan 93 persen (14 dari 15) untuk pemindaian dilakukan dalam 24 jam pertama. Dalam tiga dari studi ini, ahli neuroradiologi menafsirkan CT scan, tetapi di banyak rumah sakit ahli tersebut tidak tersedia. Penelitian keempat, di mana pembacaan dilakukan 8

oleh ahli radiologi, menemukan sensitivitas 93 persen untuk pemeriksaan dilakukan dalam waktu 24 jam setelah timbulnya gejala. Keterampilan dengan benar dalam mengidentifikasi perdarahan pada CT scan bervariasi antara dokter emergency, ahli saraf, dan ahli radiologi. Kurangnya pengalaman dapat melewatkan kelainan kelainan yang halus. Bias Spectrum adalah masalah lain, pemberian peringatan pada pasien untuk mencari perawatan ketika mendapatkkan hasil CT scan yang normal tetapi dengan status mental menurun. Dalam Studi Kooperatif Internasional, 15 persen dari 638 pasien suspect memiliki hasil scan normal. Pasien dengan perdarahan kecil, yang paling mungkin untuk menerima diagnosis klinis yang salah, juga lebih cenderung memiliki hasil negatif pada CT. Meskipun teknologi resonansi magnetik terus maju dan dapat mendeteksi aneurisma, pencitraan resonansi magnetik standar lebih rendah daripada CT scan dalam mendeteksi perdarahan subarachnoid akut. Magnetic Resonance Imaging yang dilengkapi cairan inversi menunjukkan kemampuannya mendeteksi aneurime, tetapi tetap CT scan yang menjadi metode pencitraan pilihan karena kemampuannya yang lebih luas, biaya lebih rendah, dan lebih nyaman untuk pasien dan karena pengalaman dalam intrepetasinya lebih banyak.

Gambar 2. Perdarahan subarachnoid pada CT scan

9

Intrepetasi Hasil Lumbar Puncture

Pungsi lumbal harus dilakukan pada pasien yang gejala klinis menunjukkan perdarahan subarachnoid dan hasil CT scan negatif, samar-samar, atau secara teknis tidak memadai. Hal ini direkomendasikanmeskipun sering tidak dilakukan dalam prakteknya. Pungsi lumbal sebagai strategi pertama, dengan nilai cost effective lebih baik untuk pasien yang hasil pemeriksaan fisik normal, tetapi belum diteliti secara klinis. Duffy melaporkan bahwa dari 55 pasien yang menjalani pungsi lumbal sebagai sarana awal mendiagnosis perdarahan subarachnoid, sejumlah 7 kondisinya memburuk segera sesudahnya. Hillman describedfour pasien dengan kemungkinan perdarahan subarachnoid kondisi neurologisnya memburuk setelah pungsi lumbal. Dalam kedua studi, semua pasien yang kondisinya memburuk memiliki hasil CT scan adanya clots atau dilatasi pupil. Pasien dengan meningitis bakteri mungkin harus diobati dengan antibiotik sambil menunggu persiapan pemeriksaan radiologi. Pada pungsi lumbal kesalahan kadang-kadang dibuat ketika menafsirkan temuan cairan cerebrospinal. Tekanan cairan cerebrospinal harus selalu diukur. Tekanan intrakranial yang tinggi merupakan petunjuk penting pada pasien dengan thrombosis vena sinus atau pseudotumor cerebri dan dapat membantu membedakan perdarahan akibat traumatik pungsi lumbal atau perdarahan subarachnoid. "Traumatic taps" terjadi pada 20 persen dari pungsi lumbar dan harus dibedakan dari perdarahan subarachnoid. Salah tafsir dari Traumatic taps pada pasien dengan aneurisma insidental dapat memicu intervensi diagnostik dan terapi yang berisiko, membedakan Traumatic taps dengan perdarahan adalah penting. Dengan menggunakan "metode threetube," di mana dicari jumlah penurunan eritrosit dalam tiga tabung cairan serebrospinal berturut-turut, sepenuhnya dapat diandalkan dalam

mengidentifikasi Traumatic taps. Jika cairan bening diperoleh pada tusukan kedua jarak intercoste lebih tinggi, maka kemungkinan bahwa tusukan pertama adalah traumatis. Setelah perdarahan aneurismal, eritrosit dengan cepat menyebar di seluruh ruang subarachnoid, di mana mereka bertahan selama berhari-hari atau berminggu-minggu dan kemudian secara bertahap segaris. Hemoglobin dilepaskan dimetabolisme ke oksihemoglobin molekul berpigmen (pink kemerahan) dan bilirubin (kuning), sehingga terbentuk xanthochromia. Oksihemoglobin dapat dideteksi dalam beberapa jam. Pembentukan bilirubin dan enzim lebih dapat diandalkan, tetapi membutuhkan hingga 12 jam terjadi. Waktu adalah hal yang penting dalam menafsirkan hasil pungsi lumbal, cairan serebrospinal harus disentrifugasi dan diperiksa segera sehingga eritrosit akibat perdarahan selama pungsi lumbal tidak mengalami 10

lisis in vitro, menghasilkan xanthochromia dari oksihemoglobin. Banyak yang setuju bahwa kehadiran xanthochromia adalah kriteria utama untuk diagnosis perdarahan subarachnoid pada pasien dengan CT scan negatif. Orang lain berpendapat bahwa kehadiran eritrosit, bahkan dalam ketiadaan xanthochromia, lebih akurat. Ini pendapat yang berbeda dapat dijelaskan oleh berbagai metode untuk mendeteksi xanthochromia. Mereka yang percaya bahwa xanthochromia adalah spektrofotometri yang paling penting, sedangkan mereka yang percaya bahwa eritrosit yang paling penting saat inspeksi visual, yang dapat melewatkan perubahan warna pada hingga 50 persen dari spesimen. Dalam sebuah studi oleh Vermeulen et al., Ke-111 pasien dengan perdarahan subarachnoid yang menjalani pungsi lumbal antara 12 jam dan 2 minggu setelah timbulnya gejala memiliki xanthochromic cairan serebrospinal, sebagaimana ditentukan oleh spektrofotometri. Vermeulen et al., Bersama dengan orang lain, merekomendasikan menunggu 12 jam setelah onset sakit kepala, sehingga upaya pertama traumatis yang dilakukan sebelumnya tidak menyebabkan xanthochromia dan miss diagnostic ketika tusukan berikutnya dilakukan. Penundaan pungsi lumbal pada pasien dengan hasil CT scan negative sangat tidak dianjurkan, karena didapatkan potensi terjadinya rebleeding, dalam 12 jam pertama setelah perdarahan.. Pasien dengan cairan cerebrospinal terus menerus berdarah tanpa xanthochromia (sebagaimana ditentukan oleh metode apapun pada pasien dalam 12 jam pertama setelah onset sakit kepala dan seperti yang ditentukan secara visual pada pasien setelah 12 jam) harus menjalani pemeriksaan pencitraan pembuluh darah ketika tingkat kecurigaan subarachnoid perdarahan tinggi. Pendekatan ini juga berlaku untuk pasien dengan cairan cerebrospinal xanthochromic. Jika CT atau pungsi lumbal menunjukkan adanya perdarahan subarachnoid, konsultasi dengan spesialis dan dengan menunjukkan pencitraan pembuluh darah. Bagaimana jika evaluasi negatif? Apakah pencitraan pembuluh darah diindikasikan pada pasien tersebut? Hari dan Raskin melaporkan pada pasien dengan thunder clap dan hasil negatif pada CT dan pungsi lumbal, pada pemeriksaan angiografi didapatkan aneurisma internal carotid arteri-unruptured dan vasospasme. Aneurisma itu dipotong, dan pasien sembuh. Raps et al. menjelaskan, tujuh pasien lain dengan aneurisma unruptured dengan thunder clap. Di sisi lain, dalam evaluasi retrospektif dari 71 pasien dengan thunder clap yang hasilnya pada CT dan pungsi lumbal adalah negatif, pasien tidak mengalami perdarahan subarachnoid selama periode follow-up rata-rata 3,3 tahun. Hampir setengah kemudian mengalami migrain atau tension headace. Selanjutnya, dalam tiga studi prospektif di mana total 117 pasien dengan thunder clap dan temuan negatif pada CT dan pungsi lumbal diikuti selama lebih dari satu tahun, tidak ada pasien mengalami perdarahan atau mati mendadak. 11

Kesimpulan

Data yang dijelaskan di atas mendukung dua kesimpulan. Pertama, sakit kepala peringatan yang terjadi pada kenyataannya, merupakan indikasi perdarahan subarachnoid indikasi yang belum dapat didiagnosis dengan metode yang tepat. Kedua, dilakukannya dan pembacaan intrepetasi dari CT scan dan pungsi lumbar dengan benar ditujukan pada pasien dengan sakit kepala yang parah akan mampu mengidentifikasikan sebagian besar pasien dengan perdarahan subarachnoid. Pengobatan gejala sakit kepala, ketidaknyamanan, dan rawat jalan adalah praktek yang aman pada pasien yang hasilnya normal. Pengecualian pada pasien yang lebih dari dua minggu setelah timbulnya gejala, yang memiliki temuan negatif pada CT scan dan memiliki cairan serebrospinal yang normal dan juga beberapa pasien yang hasil tes diagnosanya ambigu atau yang beresiko sangat tinggi untuk aneurisma (Tabel 5) harus menjalani pemeriksaan neurologis pemeriksaan MRI pembuluh darah, CT scan, atau angiografi kateter konvensional atau konsultasi bedah saraf.

12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Perdarahan subaracnoid adalah keadaan yang akut, karena terjadi perdarahan ke dalam ruangan subarachnoid. Biasanya disebabkan oleh aneurisma yang pecah (50%), pecahnya malformasi arteriovena (5%), asalnya primer dari perdarahan intraserebral (20%) dan cedera kepala (Poerwadi, 2006; Ahmar, 2010; dan Harsono, 2005)

Gambar 3.1 Stoke Hemoragik

13

Gambar 3.2 Perdarahan Subarachnoid Perdarahan subaraknoid non-trauma adalah masalah neurologik darurat akibat ekstravasasi darah ke ruang yang menutupi sistem saraf pusat yang terisi oleh cairan serebrospinal. Penyebab utama perdarahan subaraknoid non-trauma ini adalah rupturnya aneurisma intrakranial yang merupakan 80% kasus dan memiliki tingkat kematian dan komplikasi yang tinggi. Perdarahan subaraknoid non-aneurismal, termasuk perdarahan subaraknoid perimesensefali terisolasi, terjadi sekitar 20% kasus dan memiliki prognosis baik dengan komplikasi neurologik yang tidak umum (Jose, 2006). 2.2 Epidemiologi Sebanyak 46% pasien yang bertahan terhadap perdarahan subaraknoid menderita gangguan kognitif jangka panjang yang mempengaruhi fungsi dan kualitas hidup pasien. Perdarahan subaraknoid memiliki karakter demografi, faktor resiko dan terapi yang berbedabeda. Perdarahan ini menyumbangkan 2-5% kasus stroke baru dan mempengaruhi 21.000 s/d 33.000 orang setiap tahunnya di Amerika Serikat. Insidensi perdarahan subaraknoid ini tetap stabil selama 30 tahun terakhir dan meskipun bervariasi antar daerah, insidensi di dunia secara keseluruhan adalah sekitar 10,5 kasus per 100.000 orang per tahun. Insidensi meningkat dalam hal usia, yaitu rata-rata muncul pada usia 55 tahun. Resiko terjadi pada 14

perempuan 1,6 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, dan resiko untuk orang kulit hitam 2,1 kali lebih banyak dibandingkan orang kulit putih. Rata-rata case fatality rate (CFR) atau tingkat kematian perdarahan subaraknoid adalah 51% dengan setidaknya pasien yang bertahan hidup memerlukan perawatan seumur hidup. Kebanyakan kematian terjadi dalam 2 minggu setelah iktus dengan 10% terjadi sebelum pasien mendapat pengobatan medis dan 25% dalam 24 jam setelahnya. Secara keseluruhan, perdarahan subaraknoid menyumbang 5% kematian akibat stroke tetapi 27% dari tahun-tahun pasca-stroke berpotensi adanya kematian sebelum usia 65 tahun (Jose, 2006). 2.3 Etiologi Penyebab dari perdarahan subarachnoid (Gilroy, 2000): 1. Common causes a. Traumatic subarachnoid hemorrhage b. Spontaneous subarachnoid hemorrhage - Intracerebral hemorrhage with rupture into the subarachnoid space - Primary subarachnoid hemorrhage Ruptured saccular aneurysm Bleeding AVM Ruptured myotic aneurysm

15

2. Rare causes a. Developmental devects, including pseudoxanthoma elasticum, ehlers- Danlos syndrome, Marfans syndrome, sturge- weber disease, hereditary hemorrhagic telangectasia pontis, autosomal dominant polycystic kidney disease. b. Herpes simplex encephalitis, acute hemorrhagic leukoencephalitis, brain abses, tuberculous meningitis, symphilitic vasculitis c. Neoplasm, primary or metastatic brain tumor, hemangioblastoma of the cerebellum or brainstem d. Blood dyscrasias, leukemia, Hodgkin disease, thrombosytopenia, sickle cell anemia, hemophilia, apalstic anemia, pernicious anemia, anticoagulant therapy,congenital defisiensi of factor VII e. Hypertension f. Vasculitis, polyarteritis nodosa, anaphylactic purpura, wegeners granulomatosis, primary angitis of the CNS g. Atherosclerosis with rupture of an arteriosclerotic vessel h. Rupture of a dissecting aneurysm of the carotid or vertebral/ posterior cerebral arteries i. Subdural hematoma with rupture into the subarachnoid space j. Endometriosis of the spinal canal 2.4 Patofisiologi Aneurisma Hampir selalu terletak dipercabangan arteri, aneurisma itu manifestasi akibat suatu gangguan perkembangan emrional, sehingga dinamakan juga aneurisma sakular (berbentuk seperti saku) kongenital. Aneurisma berkembang dari dinding arteri yang mempunyai kelemahan pada tunika medianya. Tempat ini merupakan tempat dengan daya ketahanan yang lemah (lokus minoris resaistensiae), yang karena beban tekanan darah tinggi dapat menggembung dan terbentuklah aneurisma. Aneurismna dapat juga berkembang akibat

16

trauma, yang biasanya langsung bersambung dengan vena, sehingga membentuk shunt arterivenous (Mardjono, 1989 dan Ngorah, 1990). Apabila oleh lonjakan tekanan darah atau karena lonjakan intraabdominal, aneurisma intraserebral itu pecah, maka terjadilah perdarahan yang menimbulkan gambaran penyakit yang menyerupai perdarahan intraserebral akibat pecahnya aneurisma Charcot-Bouchard. Pada umumnya faktur presipitasi tidak jelas, oleh karena tidak teringat oleh penderita (Mardjono, 1989 dan Ngorah, 1990).

Gambar 3.3 lokasi aneurisma

17

Gambar 3.4 AVM 2.5 Gejala klinis Gejala klinis yang dapat ditemukan pada perdarahan subaracnoid yaitu (Poerwadi, 2006; Harsono, 2005; dan Israr, 2008): 1. Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis, berlangsung dalam 1 2 detik sampai 1 menit. Kurang lebih 25% penderita didahului nyeri kepala hebat. 2. Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah dan kejang. 3. Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa menit sampai beberapa jam. 4. Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen 5. Fundus Okuli : 10% penderita mengalami edema papil beberapa jam setelah perdrahan. Perdarahan retina berupa perdarahan subhialoid (10%), merupakan gejala karakteristik perdarahan subarakhnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior atau arteri karotis interna. 18

6. Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau hipertensi, banyak 7. keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan

Gambar 3.4 Gejala Perdarahan Subarachnoid Perdarahan subaraknoid harus selalu dicurigai pada pasien-pasien dengan gambaran tipikal termasuk onset tiba-tiba sakit kepala berat (seringkali diakui pasien sebagai sakit

19

kepala terburuk yang pernah dirasakan) disertai mual, muntah, nyeri leher, fotofobia dan hilang kesadaran. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya perdarahan retinal, meningismus, kesadaran menurun dan tanda neurologik terlokalisir. Penemuan berikutnya biasanya berupa kelumpuhan nervus III (aneurisma komunikans posterior), kelumpuhan nervus VI (peningkatan tekanan intrakranial), kelemahan ekstremitas bawah bilateral atau abulia (aneurisma komunikans anterior) serta kombinasi hemiparesis dan afasia atau visuospatial neglect (aneurisma arteri serebri intermedia). Perdarahan retinal harus dibedakan dengan perdarahan pre-retinal pada sindroma Terson yang mengindikasikan atas adanya peningkatan drastis tekanan intrakranial dan hal ini dapat meningkatkan mortalitas (Jose, 2006). Tanpa adanya keluhan dan tanda klinis klasik, perdarahan subaraknoid dapat salah didiagnosis (misdiagnosis). Frekuensi misdiagnosis dapat sampai 50% dari pasien-pasien yang datang pertama kali ke dokter. Kesalahan diagnosis yang umum terjadi adalah migrain dan tension-type headache. Kegagalan pengambilan foto radiologik yang benar menyumbangkan 73% kasus salah diagnosis dan kegagalan melakukan interpretasi yang benar atas hasil punksi lumbal menyumbangkan 23%-nya. Pasien yang salah didiagnosis cenderung tampak sakit ringan dan memiliki hasil pemeriksaan neurologik yang normal. Namun demikian, dalam kasus tersebut, dapat terjadi komplikasi neurologik sebanyak 50% pasien dan pasien-pasien ini dihubungkan dengan resiko yang lebih tinggi terhadap kematian dan kecacatan. Sakit kepala mungkin hanya mewakili 40% keluhan pasien dan dapat hilang dalam beberapa menit atau jam, hal ini disebut sentinel headache atau thunderclap headache atau warning leaks (peringatan kemungkinan kebocoran pembuluh darah) (Jose, 2006). Evaluasi darurat atas sentinel headache diperlukan karena pasien mungkin telah memiliki perdarahan subaraknoid dalam 3 minggu. Dalam praktiknya, tidak ada gambaran klinis yang reliabel untuk membedakan sentinel headache dari benign headache. Beberapa

20

pasien mungkin tidak memiliki sakit kepala berat, bahkan keluhan lain seperti kejang atau kebingungan mungkin lebih menonjol. Setiap pasien dengan sakit kepala berat atau pertama kali harus diduga akan adanya perdarahan subaraknoid dan perlu direncanakan CT-scan kepala (Jose, 2006).

2.6 Grading

21

22

2.7 Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis perdarahan subarachnoid dapat digunakan cara pemeriksaan sebagai berikut (Poerwadi, 2006; Harsono, 2005; dan Israr, 2008): 1. Anamnesis (mulainya) akut, nyeri kepala hebat satu sisi, mual, muntah dapat disusul gangguan kesadaran dan kejang. 2. Pemeriksaan klinis neurologis 3. Pemeriksaan tambahan a. Funduskopi : cari subhyaloid bleeding b. CT scan kepala : aneurisma dengan ukuran 7 mm tidak terlihat, dengan menggunakan kontras , dapat terlihat aneurisma maupun MAV.

23

Gambar 3.5 CT Scan perdarahan Subarachnoid c. Lumbal punksi : dilakukan dalam waktu 12 jam bilamana CT Scan kepala tidak dapat dikerjakan atau gambaran CT scan kepala normal, sedangkan klinis sangat mencurigakan suatu perdarahan subaraknoid dan tidak ada kontraindikasi lumbal punksi. d. MRI tidak dapat dilakukan untuk mendiagnosis SAH

Gambar 3.6 MRI Aneurisma

24

e. Angiongrafi sebagai periapan operasi

Gambar 3.6 Magnetic Resonance Angiogram dan Angiography 4. Likuor : hampir 100% berdarah, dengan eritrosit 150.000/mm3. Warna xantokrom timbul dalam 4 jam hingga 20-30 hari. Eritrosit lisis dalam 7 hari,kcuali adanya perdarahan baru.

25

Gambaran klinis tipikal Sakit kepala berat + mual + muntah Meningismus Kesadaran menurun Tanda neurologik telokalisir Gambaran klinis atipikal Thunderclap headache Kejang Kebingungan Trauma kepala yang berhubungan

CT-scan kepala tanpa kontras

Perdarahan Subaraknoid (+)

Perdarahan Subaraknoid (-)

Punksi Lumbal

CT atau cerebral angiografi

Abnormal unequivocal (xanthochromia, hitung eritrosit meningkat tidak berubah dari tabung 1 ke 4)

Abnormal equivocal (tanpa xanthochromia, hitung eritrosit meningkat dari tabung 1 saja)

Normal

Stop CT atau cerebral angiografi

Aneurisma

Normal

Terapi awal

Ulang CT angio 1-3 mgg Aneurisma Normal

Imaging otak, batang otak dan batang

Terapi awal

Stop

26

Algoritme Diagnostik untuk Perdarahan Subaraknoid .

CT-scan kepala harus dilakukan pertama kali pada setiap pasien dengan suspek perdarahan subaraknoid. Karakteristik tampilan darah yang ekstravasasi adalah hiperdens. Karena darah dalam jumlah kecil dapat saja terlewat, setiap scan harus dilakukan dengan irisan tipis melalui basis otak. Kualitas CT-scan kepala yang baik dapat memperlihatkan perdarahan subaraknoid pada 100% kasus dalam 12 jam setelah onset keluhan dan pada 93% kasus dalam 24 jam (Jose, 2006). CT-scan kepala juga dapat memperlihatkan adanya hematom intraparenkimal, hidrosefalus dan edem serebri serta dapat membantu memprediksikan sisi ruptur aneurisma, terutama pada pasien dengan aneurisma pada arteri serebri anterior atau arteri komunikans anterior. CT-scan kepala juga tes paling reliabel untuk memprediksi vasospasme serebral dan hasil pengobatan yang buruk. Karena pembersihan cepat oleh darah, CT-scan yang tertunda dapat normal meskipun terdapat riwayat yang mendukung dan sensitifitasnya jatuh menjadi 50% setelah tujuh hari (jose, 2006). Punksi lumbal harus dilakukan pada setiap pasien dengan suspek perdarahan subaraknoid dan hasil negatif atau equivocal pada CT-scan kepala. Cairan serebrospinal harus dikumpulkan di dalam 4 tabung konsekutif, hitung eritrosit ditentukan dari tabung 1 dan 4. Penemuan yang konsisten dengan perdarahan subaraknoid termasuk elevated opening pressure, peningkatan hitung eritrosit yang tidak berkurang dari tabung 1 dan 4 serta xanthochromia (dideteksi dengan spektrofotometri) yang memerlukan lebih dari 12 jam untuk berkembang. Pada pasien dengan punksi lumbal diagnostik atau equivocal, foto radiologik, seperti CT angiografi pada kepala atau angiografi serebral, harus dilakukan. Digitalsubtraction cerebral angiography merupakan gold standard untuk deteksi aneurisma serebral tetapi CT angiografi lebih populer dan sering digunakan karena non-invasif serta sensitifitas dan spesifisitas dapat dibandingkan dengan yang menggunakan angiografi serebral (Jose, 2006).

27

Dalam praktik, evaluasi yang teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien akan memiliki aneurisma multipel. Pasien dengan foto radiologik negatif harus dilakukan pengulangan 7-14 hari setelah kemunculan gejala yang pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma, magnetic resonance imaging (MRI) harus dilakukan untuk menutup kemungkinan malformasi vaskular pada otak, batang otak atau batang spinal. Teknik rediologik lainnya yang dapat digunakan termasuk MRI kepada untuk menentukan ukuran aneurisma (terutama pada kasus trombosis parsial aneurisma) dan threedimensional digital-subtraction cerebral angiography (yang membantu melihat morfologi aneurisma) (Gambar 2C). Selain itu, perkembangan terbaru pada three-dimensional CT angiography dapat mengurangi kebutuhan akan angiografi serebral yang invasif dan mengurangi resiko karenanya (Jose, 2006). 2.8 Penatalaksanaan Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline Stroke 2007: 1. Pedoman Tatalaksana a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA): Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O2 2-3 L/menit. Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif. Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-kelainan neurologi yang timbul. b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih intensif:

28

Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang gawat darurat. Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang nafas yang adekuat. Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi. Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan penilaian status neurologi. 2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan antihipertensi saja tidak direkomendasikan untuk mencegah perdarahan ulang setelah terjadi PSA, namun kedua hal tersebut sering dipakai dalam pengobatan pasien dengan PSA. b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk terjadinya vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada operasi yang ditunda. c. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang. d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba. 3. Operasi pada aneurisma yang rupture a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang setelah rupture aneurisma pada PSA. b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang setelah PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda. Operasi yang segera dianjurkan pada pasien dengan grade yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera atau ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus.

29

c. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi untuk perdarahan ulang. 4. Tatalaksana pencegahan vasospasme a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti memperbaiki deficit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau intravena tidak bermakna. b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H yaitu hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujuan mempertahankan cerebral perfusion pressure sehingga dapat mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping. c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu bermakna. d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada pasienpasien yang gagal dengan terapi konvensional. e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut: Pencegahan vasospasme: Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari. 3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari. Jaga keseimbangan cairan.

Delayed vasospasm: Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika. Berikan 5% Albumin 250 mL IV. Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure 12-14 mmHg. 30

Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2. Berikan Dobutamine 2-15 g/kg/menit. 5. Antifibrinolitik Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang sering dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau tranexamid acid dengan dosis 6-12 g/hari.

6. Antihipertensi a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90 mmHg (sebelum tindakan operasi aneurisma clipping). b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg. c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2 mg/menit sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse dosisnya 50-200 mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan karena menyebabkan vasodilatasi dan memberikan efek takikardi. d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra yang mungkin terjadi akibat vasospasme. 7. Hiponatremi Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi 0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama. Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg dalam 200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan

31

hipotonis sebaiknya dihindari karena menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk pengobatan hiponatremi. 8. Kejang Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan tidak direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien yang mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma arteri serebri media, kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari risiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti konvulsan sebagai profilaksis. Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan dosis terbagi. Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk menghentikan kejang. Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada penderita yang tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang mempunyai faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri media. 9. Hidrosefalus a. Akut (obstruksi) Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama. Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau drainase eksternal ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi. b. Kronik (komunikan) Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara temporer atau permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt. 10. Terapi Tambahan

32

a. Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara regular. Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau pneumatic compression devices. b. Analgesik: Asetaminofen -1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari. Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam. Tylanol dengan kodein. Hindari asetosal. Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan: Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam. Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam. Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam. Propofol 3-10 mg/kg/jam. Cegah terjadinya stress ulcer dengan memberikan: Antagonis H2 Antasida Inhibitor pompa proton selama beberapa hari. Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali sehari. Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.

33

DAFTAR PUSTAKA

Chandra B. Neurology Klinik. Surabaya. Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNAIR, 1994;28 45 Aliah A, Kuswara FF, Limoa RA, Wuysang G. Gambaran Umum Tentang Gangguan Peredaran Darah Otak. Dalam: Harsono, ed. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press, 2003; 79 103 Sidharta P. Neurologi Klinik Dalam Praktek Umum. Jakarta. Dian Rakyat, 2005; 260 294 Mardjono M, Sidharta P. Neourologi Klinis Dasar. Jakarta. Dian Rakyat, 2003; 269 292 Harsono ed. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press, 2005; 59 107 Poerwadi T,et al. Pedoman Diagnosis dan Terapi Edisi III. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNAIR,2006; 33-35 Ahmar .Stroke (0nline), diakses tanggal 14 Mei 2010 http//www.google.com), 2006 Harsono ed. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press, 2005; 9799 Jose I.S, Robert W. T.,Warren R.S. Current Concepts Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. N Eng J Med 2006;354:387-96 Israr, YA.Stroke. Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Riau, 2008. Sarrafzadeh AS, Haux D, Ldemann L et al. Cerebral Ischemia in Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage A Correlative Microdialysis-PET Study. Stroke 2004;35:638-643 Junaidi Iskandar. 2001. Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke. PT Bhuana Ilmu Populer kelompok Gramedia. Jakarta. Harsono. 2000. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Mardjono M, Sidharta P. 1989. Neurologi Klinis Dasar, ed 5. PT. Dian Rakyat. Jakarta. Ngorah I. G. N. 1990. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Penerbit dan Percetakan Universitas Air Langga. Gilroy John. 2000. Basic Neurology, ed 3. The McGraw-Hill Companies, Inc. USA. Adams and Victors. 2005. Principles of Neurology, ed. 8. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta, 2007.

34