Upload
nhovi-kristina
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Muttaqin (2008; 126), Tetanus adalah penyakit infeksi yang
diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani, dimanifestasikan dengan kejang
otot secara paroksismal dan diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus
otot ini tampak pada otot maseter dan otot-otot rangka.
Menurut batticaca (2008; 219), penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh toksin kuman clostridium tetani , yang bermanifestasi dengan
kejang otot secara proksismal dan diikuti kekakuan seluruh badan. clostridium tetani
adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang, berspora,
golongan gram positif, hidup anaerob.
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah
mendapatkan imunisasi tetanus (DPT) dan pada umumnya terdapat pada anak dari
keluarga yang belum mengerti pentingnya imunisasi dan pemeliharaan kesehatan
seperti kebersihan lingkungan dan perorangan. Penyakit tetanus adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman Clostridium Tetani, yang bermanifestasi
dengan kejang otot secara paroksismal dan diikuti kekakuan seluruh badan.
Penyakit tetanus biasanya terjadi setelah tubuh terluka dan kebanyakan terjadi
setelah tubuh terluka dan kebanyakan luka tusuk yang mendalam misalnya tertusuk
paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor;karena terjatuh
ditempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/
kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka. Luka yang kotor/tertutup
memungkinkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan clostridium tetani.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pembahasan yang menjadi pokok
pembahasan dalam makalah ini adalah.
1. Bagaimana konsep dasar dari Tetanus ?
2. Bagaimana asuahan keperawatan pada klien dengan Tetanus ?
1
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dan para pembaca dapat mengetahui dan memahami tentang
konsep dasar Tetanus dan asuhan keperawatan pada klien dengan Tetanus.
1.3.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa dan pembaca dapat memahami :
1. Memahami tentang konsep dasar dari Tetanus, yang meliputi ; pengertian,
etiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan medis,
serta patofisiologi berupa pathway.
2. Mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan pada klien dengan
tetanus yang mencakup ; pengkajian, diagnosa keperawatan serta intervensi.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar
2.1.1 Pengertian
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman
Clostridium tetani, dimanifestasikan dengan kejang otot secara paroksismal dan
diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini tampak pada otot
maseter dan otot-otot rangka. (Mutaqin, 2008).
Menurut batticaca (2008; 219), penyakit tetanus adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh toksin kuman clostridium tetani , yang bermanifestasi dengan
kejang otot secara proksismal dan diikuti kekakuan seluruh badan. clostridium tetani
adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang, berspora,
golongan gram positif, hidup anaerob.
2.1.2 Etiologi
Menurut Muttaqin ( 2008; 126), clostridium tetani merupakan basil
berbentuk batang yang bersifat anaerob, membentuk spora (tahan panas), gram-
positif, mengeluarkan eksotoksin yang bersifat neurotoksin (yang efeknya
mengurangi aktivitas kendali SPP), patogenesis bersimbiosis dengan
mikroorganisme piogenik (pyogenic).
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda, dan tanah
yang dipupuk kotoran kuda. Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka
tusuk, luka dengan jaringan mati (corpus alienum) karena merupakan kondisi yang
baik untuk proliferasi kuman anaerob. Luka dengan infeksi piogenik dimana bakteri
piogenik mengonsumsi eksogen pada luka sehingga suasana menjaadi anaerob yang
penting bagi tumbuhnya basis tetanus. (Muttaqin, 2008).
2.1.3 Manifestasi klinis
Menurut Muttaqin (2008; 126), gejala klinis dari tetanus adalah :
1) masa inkubasi clostridium tetani adalah 4-21 hari. Semakin lama masa inkubasi,
maka prognosisnya semakin baik. Masa inkubasi tergantung dari jumlah bakteri,
3
virulensi dan jarak tempat masuknya kuman (port d’entre) dengan SPP. Semakin
dekat luka dengan SPP maka prognosisnya akan semakin serius dan semakin
jelek. Misalnya, luka ditelapak kaki dan leher bila sama-sama terserang basil
tetanus, yang lebih baik prognosisnya adalah luka yang dikaki.
2) Timbulnya gejala biasanya mendadak, didahului dengan ketegangan otot
terutama pada rahang dan leher.
3) Sulit membuka mulut (trismus).
4) Kaku kuduk.
5) Badan kakau dengan epistotonus, tungkai dalam mengalami ekstensi lengan
kaku dan mengepal.
6) Kejang tonik.
7) Kesadaran biasanya tetap baik.
8) Asfiksia dan sianosis akibat kontraksi otot, retensi urine bahkan dapat terjadi
fraktur kolumna vertebralis (pada anak) akibat kontraksi otot yang sangat kuat.
9) Demam ringan.
2.1.4 Pemeriksaan diagnostik
2.1.4.1 Anamnesis
1) Lokasi luka
2) Penyebab luka (pernah kena karat, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, dan
jatuh dijalan dekat kotoran kuda, berkelahi dekat kandang kuda, hobi yang
berhubungan dengan kuda atau kototran kuda).
3) Luka sebelumnya (ada otitis media, karies gigi).
4) Pernah diberi ATS/Toxoid dan semacamnya.
2.1.4.2 Amati gejala-gejala yang tampak (misalnya sakit saat menelan, sulit bernapas, sulit
atau tidak dpat berkemih, dan lainya).
2.1.4.3 Pemeriksaan laboratorium :
1) Biasanya terdapat leukositosis ringan.
2) Kadang-kadang terjadi peningkatan Tekanan Cairan Otak.
3) Pada pemeriksaan bakteriologis (kultur jaringan) didaerah luka ditemukan
clostridium tetani.
4
2.1.5 Penatalaksanaan Medis
2.1.5.1 Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1) Imunisasi aktif dengan pemberian DPT, booster dose (untuk balita). Jika terjadi
luka lagi, booster ulang.
2) Imunisasi pasif, pemberian ATS profilaksis 1500-4500 UI (dapat bertahan 7-10
hari). Pemberian imunisaasi ini sering menyebabkan syok anafilaksis sehingga
harus dilakukan skin test terlebih dahulu. Jika pada skin test tidak terjadi
kemerahan, gatal, dan pembengkakan maka imunisasi dapat diinjeksikan, anak-
anak diberikan setengah dosis (750-1250 UI). Hypertet 250 UI untuk dosis anak-
anak diberikan setengah (125 UI) bila tidak tahan ATS.
3) Pencegahan pada luka, toiletisasi (pembersihan luka) memakai Perhidrol
(hidrogen peroksida- H2O2), debridemen, bilas dengan NaCl, dan jahit.
4) Injeksi penisilin (terhadap basil anaerob dan basil simbiosis).
2.1.5.2 pengobatan tetanus
Berdasarkan patogenesis, prinsip terapi ditunjukan pada adanya toksin yang
beredar di sirkulasi darah dan adanya basil luka. Adanya stimulus yang diterima saraf
aferen dan adanya serabut motorik yang menimbulkan spasme dan kejang.
2.1.6 Patofisiologi
Penyakit tetanus biasanya terjadi setelah tubuh terluka dan kebanyakan
luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau
luka yang menjadi kotor; karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau
kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar dan patch
tulang terbuka. Luka yang kotor/tertutup memungkinkan keadaan anaerob yang ideal
untuk pertumbuhan Clostridium tetani. Sebagai Porte d'entree lainnya dapat juga
luka gores yang ringan kemudian menjadi bernanah; gigi berlobang dikorek dengan
bends yang kotor atau otitis media purulen (OMP) yang dibersihkan dengan kain
yang kotor. Mass inkubasi tetanus berkisar antara 2-14 hari. Prognosis penyakit ini
sangat buruk bila ads OMP dan luka pads kulit kepala.
Toksin tersebut bersifat seperti antigen, sangat mudah diikat oleh
jaringan saraf danibila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh
antitoksin spesifik. Tetapi toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah
5
dinetralkan oleh antitoksin. Hal ini penting untuk pencegahan dan pengobatan
penyakit tetanus ini.
2.1.7 WOC
6
7
Suasana yang memungkinkan organisme anaerob Clostridium tetani berpoliferasi disebabkan keadaan/ porte d’entrée antara lain: luka tusuk dalam dan kotor serta belum terimunisasi, luka karena lalu lintas, luka bakar, luka tembak, gigitan hewan/manusia, gigi berlubang , lesi pada mata, infeksi telinga, tonsil, perawatan luka/tali pusat yang tidak baik.
Clostridium tetani mengeluarkan toksin, toksin diabsorposi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu silindrik ke SSP
Dari Susunan limfatik ke sirkulasi darah arteri dan masuk ke SSP
Toksin bersifat neurotoksin/tetanospasmin, tetanulisin, menghancurkan sel darah merah, merusak leokusit.
Perubahan fisiologis intraknial
Penekanan area fokal kortikal
Peningkatan permeablitas darah/otak
Kejang tonik umum, kejang rangsang (terhadap visual, suara, dantaktil), kejang spontan, kejang pada abdomen, dan retensi urine.
Kesulitan membuka mulut (trismus), kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding perut (perut papan), dan kaku tulang belakang.
Sulit menelan/menyusu
Intake nutrisi tidak adekuat
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
Perubahan eliminasi urin dan avi
Proses inflamasi di jaringan
otak (pe ↑ suhu tubuh),
perubahan tingkat kesadaran, perubahan frekuensi nadi.
Peningkatan sekret dan penurunan kemampuan
batuk
2. Hipertermi
Penurunan tingkat kesadaran, penurunan perfusi jaringan otak.
5. Resiko tinggi trauma/cedera
4. Resiko tinggi kejang berulang.
9. Kuping tidak efektif
10. KecemasanKoma
Penurunan tingkat kesadaran penurunan perfusi jaringan otak.
Perubahan mobilitas fisik
Penurunan kemampuan
batuk
8. gg pemenuhan kebutuhan eliminasi urin dan alvi
6. gg mobilitas fisik
7. gg ADL
1.Bersihan jalan napas tidak efektif
2.2 Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
1. Anamnesis
Identitas klien yang harus diketahui perawat meliputi nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama, atau kepercayaan suku bangsa, bahasa yang
dipakai, status pendidikan pekerjaan klien, dan asuransi kesehatan.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua
membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan
tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat Penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk
mengetahui predisposisi penyebab sumber luka. Di sini harus ditanya dengan
jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau
bertambah buruk. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan
pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa
yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan dalam
upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan toksin tetanus yang menginflamasi jaringan otak. Keluhan perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi,
tidak responsif, dan koma.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam misalnya
tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor;
karena terjatuh ditempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka
yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka. Adakah
porte d’entree lainnya seperti luka gores yang ringan kemudian menjadi
bernanah dan gigi berlubang dikorek dengan benda yang kotor.
8
5. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang didertitanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya
dalam dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan,
rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secar optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Karena klien
harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi danmpak pada
status ekonomi klien karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dan
yang tidak sedikit.
Pada pengkajian pada klien anak perlu diperhatikan dampka hospitalisasi
pada anak dan family center. Anak dengan tetanus sangat rentan terhadap
tindakan invasif yang sering dilakukan untuk mengurangi keluhan, hal ini
memberi dampak stres pada anak dan menyebabkan anak kurang kooperatif
terhadap tindakan keperawatan dan medis. Pengkajian psikososial yang terbaik
dilaksanakan saat observasi anak-anak bermain ayau selama berinteraksi dengan
orangtua. Anak-anak sering kali tidak mampu untuk mengekspresikan perasaan
mereka dan cenderung untuk memperlihatkan masalah meraka melalui tingkah
laku.
6. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pads keluhan-keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (Bl–B6) dengan
fokus pemeriksaan fisik pads pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pada klien tetanus biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih
dari normal 38-40°C. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses
inflamasi dan toksin tetanus yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh.
Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan penurunan perfusi jaringan otak.
Apabila disertai peningkatan frekuensi pernapasan sering berhubungan dengan
peningkatan laju metabolisms umum. TD biasanya normal.
9
a. B1 (Breathing)
- Inspeksi
apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot
bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering
didapatkan pada klien tetanus yang disertai adanya ketidakefektifan
bersihan jalan napas.
- Palpasi
Thorak didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
- Auskultasi
Bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan
produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan syok hipovolemik yang
sering terjadi pada klien tetanus. TD biasanya normal, peningkatan heart rate,
adanya anemis karena hancurnya eritrosit.
c. B3 (Brain)
Pengkajian B3, merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
- Tingkat kesadaran
Kesadaran klien biasanya compos mentis. Pada keadaan lanjut
tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat
letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami
koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat
kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
- Fungsi Serebri
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gays bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik
yang pada klien tetanus tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
- Pemeriksaan Kranial
Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
10
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien tetanus
mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif yang berlebihan terhadap
cahaya. Respons kejang umum akibat stimulus rangsang cahaya
perlu diperhatikan perawat untuk memberikah intervensi menurunkan
stimulasi cahaya tersebut.
Saraf V. Refleks masester meningkat. Mulut mencucu seperti mulut
ikan (ini adalah gejala khas dari tetanus).
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah- simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka
mulut (stimulus).
Saraf X1. Didapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher
(mendadak).
Saraf X11. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
- Sistem Motorik
Kekuatan otot menurun, kontiol keseimbangan dan koordinasi pada
tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.
- Gerakan Involunter
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan 'pada tendon, ligamentum, atau
periosteum deraiat refleks pada respons normal.
- Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, Tic, dan distonia. Pada keadaan tertentu
klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan
tetanus disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang berhubungan
sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
- Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya didapatkan perasaan raba
normal, perasaan nyeri normal. Perasaan suhu normal, tidak ada perasaan
abnormal di permukaan tubuh. Perasaan proprioseptif normal dan
11
perasaan diskriminatif normal.
d. B4 ( Bladder)
Penurunan volume haluaran urine berhubungan dengan penurunan
perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urine karena
kejang umum. Pada klien yang sering kejang sebaiknya pengeluaran urine
dengan menggunakan kateter.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menuruti,karena anoreksia
dan adanya kejang, kaku Binding perut (perut pagan) merupakan tanda khan
pada tetanus. Adanya spasme otot menyebabkan kesulitan BAB.
f. B6 (Bone)
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan
menurunkan aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami patch
tulang terbuka yang memungkinkan port de entree kuman Clostridium
tetani, sehingga memerlukan perawatan luka yang optimal. Adanya kejang
memberikan risiko pada fraktur vertebra pada bayi, ketegangan, dan spasme
otot pada abdomen.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan adanya sekret
dalam trakea, kemampuan batuk menurun.
2) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin
dijaringan otak.
3) Risiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang
(terhadap visual, suara, dan taktil)
4) Risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
yang berhubungan dengan ketidak mampuan menelan, keadaan kejang abdomen,
trismus.
5) Risiko cedera yang berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental
dan penurunan tingkat kesadaran.
6) Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan adanya kejang berulang
12
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Tujuan rencana Intervensi secara umum adalah menghindari komplikasi
akibat serangan kejang, menjaga kepatenan jalan napas, menurunkan panas tubuh,
menurunkan stimulus ulus rangsang kejang, dan meningkatkan koping individu
serta, penurunan tingkat kecemasan.
1. Bersihan jalan napas tidak efektik yang berhubungan dengan adanya
sekret dalam trakhea, kemampuan batuk menurun.
Tujuan dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan bersihan jalan napas
kembali efektif.
Kriteria hasil : secara subjektif sesak napas (-), RR 16-20x/mnt. Tidak
menggunakan otot bantu napas, retraksi ICS (-), Ronkhi (-/-), mengi (-/). Dapat
mendemonstrasikan cara batuk efektif.
intervensi Rasionalisasi
Kaji fungsi paru, adanya bunyi
napas tambahan, perubahan irama
dan kedalaman, pengunaan otot-
otot aksesori, warna, dan
kekentalan skutum.
Memantau dan mengatasi komplikasi
potensial. Pengkajian pungsi pernapasan
dengan intevensi yang beraturan adalah
penting karena adanya kelemahan atau
persalinan pada otot-otot interkonstal dan
difragma yang berkembang dengan cepat.
Atur posisi folwer dan semifowler Peninggian kepala tempat tidur
memudahkan pernapasan, meninggkatkan
ekspansi dada, dan meningkatkan batuk
lebih efektif.
Ajarkan cara batuk efektif Kelian barada pada resiko tinggi bila tidak
pada batukefektif untuk membersihkan
jalan napas dan mengalami kesulitan dalam
menelan, yang dapat menyebabkan aspirasi
saliva, dan mencetuskan gagal napas akut.
Lakukan fisioterapi dada, vibrasi
dada.
Terapi fisik dada membantu meningkatkan
batuk lebih efektif
Penuhi hidrasi cairan via oral Pemenuhan cairan dapat mengencerkan
13
seperti minum air putih dan
pertahankan intake cairan 2500
ml/hari.
mukus yang kental dan dapat membantu
pemenuhan cairan yang banyak keluar dari
tubuh.
Lakukan pengisapan lendir dan
jalan napas.
Pengisapan mungkin diperlukan untuk
mempertahankan kepatenan jalan napas
menjadi bersih.
Berikan oksigen sesuai klinis. Pemenuhan oksigen terutama pada klien
tetanus dengan laju metabolisme yang
tinggi.
2. Peningkatan suhu tubuh ynag behubungan dengan proses invlamasi
yang efektif toksin di jaringan otak.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam perawatan sushu tubuh menurun.
Kriteria hasil ; suhu tubuh normal 36-37°C
intervensi rasionalisasi
Monitor suhu tubuh klien. Peningkatan suhu tubuh menjadi stimulus
rangsangan kejang pada klien tetanus.
Beri kompres dingin di kepala dan
aksila.
Memberikan respon dinding pada pusat
pengaturan panas dan pada pembuluh
darah besar.
Pertahankan bedresttotal selama
pase akut.
Mengurangi peningkatan proses
metabolisme umum yang terjadi pada klien
tetanus.
Kolaborasi pemberian terapi, ATS
dan antimikroba.
ATS dapat mengurangi dampak toksin
tetanus dijaringan otak dan antimikroba
dapat mengurangi inflamasi sekunder dan
toksin.
3. Risiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang
rangsang (terhadap visual, suara, dan taktil).
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam perawatan risiko kejang berulang tidak terjadi.
Kriteria hasil : klien tidak mengalami kejang.
Intervensi Rasionalisasi
14
Kaji stimulus kejang Stimulus kejang pada tetanus adalah rangsang
cahaya dan peningkatan suhu tubuh
Hindarkan stimulus cahaya,
kalau perlu klien ditempatkan
pada ruangan dengan
pencahayaan yang kurang
Penurunan rangsang cahaya dapat membantu
menurunkan stimulus rangsang kejang.
Pertahankan bedrest total
selama fase akut
Mengurangi risiko jatuh/terluka jika vertigo,
sincope, dan ataksia terjadi.
Kolaborasi pemberian terapi;
diazepam, phenobarbital.
Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
Catatan : phenobarbital dapat menyebabkan
respiratorius depresi dan sedasi.
4. Risiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan
menelan, keadaan kejang abdomen, trismus.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria hasil : tidak adanya tanda malnutrisi dengan nilai laboratorium dalam
batas normal.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji kemampuan klien dalam
menelan, batuk, dan adanya
sekret.
Faktor-faktor tersebut menentukan kemampuan
menelan klien dan klien harus dilindungi dari
risiko aspirasi
Berikan pengertian tentang
pentingnya nutrisi bagi tubuh.
Agar termotivasi untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi.
Auskultasi bowel sound, amati
penurunan atau hiperaktivitas
suara bowel.
Fungsi gastrointestinal tergantung pula pada
kerusakan otak, bowel sound menentukan
respons feedling atau terjadinya komplikasi
misalnya illeus.
. Timbang berat badan sesuai
indikasi.
Untuk mengevaluasi efektivitas dari asupan
makanan
Berikan makanan dengan cara menurunkan risiko regurgitasi atau aspirasi.
15
meninggikan kepala.
Bila klien sering kejang
berikan makanan lewat NGT.
Pemenuhan nutrisi dengan langsung
memasukan kelambung akan menurunkan
risiko regurgitasi atau aspirasi.
Pertahankan lingkungan yang
tenang dan anjurkan keluarga
atau orang terdekat untuk
memberikan makan pada klien.
Membuat klien merasa aman sehingga asupan
dapat dipertahankan.
5. Risiko cedera berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status
mental dan penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam perawatan klien bebas dari cedera yang
disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran.
Kriteria Hasil : klien tidak mengalami cedera apabila kejang berulang ada.
Intervensi Rasional
Monitor kejang pada tangan,
kaki mulut, otot-otot muka
lainnya.
Gambaran tribalitas sistem saraf pusat
memerlukan evaluasi yang sesuai dengan
intervensi yang tepat untuk mencegah
terjadinya komplikasi.
Persiapkan lingkungan
lingkungan yang aman seperti
batasan ranjang, papan
pengaman, dan alat suction
atau selalu berada dekat klien.
Melindungi klien bila kejang terjadi.
Pertahankan bedrest total
selam fase akut
Mengurangi risiko jatuh/treluka jika vertigo,
sincope, dan ataksia terjadi.
Kolaborasi pemberian terapi;
diazepam, phenobarbital.
Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
Catatan : Phenobarbital dapat menyebabkan
respiratorius depresi dan sedasi.
16
6. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kejang
berulang.
Tujuan : tidak terjadi kointraktur, footdrop, gangguan integritas kulit, fungsi
bowell dan bladder optimal serta peningkatan kemampuan fisik.
Kriteria Hasil : skala ketergantungan klien meningkatkan menjadi bantuan
minimal.
Intervensi Rasionalisasi
Review kemampuan fisik dan
kerusakan yang terjadi
Mengidentifikasi kerusakan fungsi dan
menentukan pilihan intervensi.
Kaji tingkat imobilisasi,
gunakan skala tingkat
ketergantungan.
Tingkat ketergantungan minimal care (hanya
memerlukan bantuan minimal), partial care
(memerlukan bantuan sebagian), dan total care
(memerlukan bantuan total dari perawat dan
klien yang memerlukan pengawasan khusus
karena risiko tinggi).
Berikan perubahan posisi yang
teratur pada klien.
Perubahan posisi teratur dapat
mendistribusikan berat badan secara
menyeluruh dan memfasilitasi peredaran darah
serta mencegah dekubitus.
Pertahankan body aligment
adekuat, berikan latihan ROM
pasif jika klien sudah bebas
panas dan kejang.
Mencegah terjadinya kontraktur atau footrop
seta dapat mempercepat penegmbalian fungsi
tubuh nantinya.
Berikan perawatan kulit secara
adekuat, lakukan masase, ganti
pakaian klien dengan bahan
linen dan pertahankan tempat
tidur dalam keadaan kering.
Memfasilitasi sirkulasi dan mencegah
gangguan integritas kulit.
Berikan perawatan mata,
bersihkan mata dan tutup
dengan kapas yang basah
sesekali
Melindungi mata dari kerusakan akibat
terbukannya mata terus-menerus.
17
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman
Clostridium tetani, dimanifestasikan dengan kejang otot secara paroksismal dan
diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kuman clostridium tetani merupakan basil
berbentuk batang yang bersifat anaerob, membentuk spora (tahan panas), gram-
positif, mengeluarkan eksotoksin yang bersifat neurotoksin (yang efeknya
mengurangi aktivitas kendali SPP), patogenesis bersimbiosis dengan
mikroorganisme piogenik (pyogenic). Basil ini banyak ditemukan pada kotoran
kuda, usus kuda, dan tanah yang dipupuk kotoran kuda.
Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka tusuk, luka dengan
jaringan mati (corpus alienum) karena merupakan kondisi yang baik untuk
proliferasi kuman anaerob.
Berdasarkan patogenesis, prinsip terapi ditunjukan pada adanya toksin yang
beredar di sirkulasi darah dan adanya basil luka. Adanya stimulus yang diterima
saraf aferen dan adanya serabut motorik yang menimbulkan spasme dan kejang.
3.2 Saran
Penyakit tetanus biasanya terjadi setelah tubuh terluka dan kebanyakan
terjadi setelah tubuh terluka dan kebanyakan luka tusuk yang mendalam misalnya
tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor;karena
terjatuh ditempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang
tertutup debu/ kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka.
Untuk itu jika tubuh terasa kaku dan kejang diaharapkan dapat segera
menanganinya serta mencari informasi dari berbagai sumber agar cepat ditangani.
18
19