Upload
nerdwaldo
View
173
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Antihistamin pada penyakit kulit
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tahun 1937 Bovet dan Staub menemukan ikatan amin yang
mengandung eter fenolik yang bersifat antagonis terhadap efek histamin pada
reseptor H1. Antihistamin atau antagonis reseptor histamin ini mulai
digunakan sebagai pengobatan pada sekitar tahun 1940. Pada zaman sekarang
antihistamin sangat terkenal baik dalam dunia kedokteran maupun dikalangan
masayakat umum.
Antihistamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek
histamin terhadap tubuh dengan jalan mengeblok reseptor histamin. Secara
farmakologis reseptor histamin dapat di bagi dalam 2 tipe yaitu reseptor H1
dan reseptor H2. Berdasarkan hal tersebut, antihistamin juga dapat dibagi
dalam 2 kelompok, yakni antagonis reseptor H1 (singkatnya disebut H1 blokers
atau antihistamin ) antagonis reseptor H2 (H2 blokers).
Para ahli dermatologi sering menggunakan antihistamin untuk
mengobati kelainan kronik maupun rekuren. Pemakaian antihistmin ini harus
teliti karena pada kelompok-kelompok antihistamin yang berbeda mempunyai
efek samping potensial. Untuk itu, penggunaan antihistamin secara rasional
perlu dipelajari untuk lebih menjelaskan perannya dalam terapi penyakit kulit
karena pada saat ini banyak antihistamin generasi baru yang diajukan sebagai
obat yang banyak menjanjikan keuntungan yaitu frekuensi pemberiannya lebih
sedikit, efek sedasi yang lebih rendah serta lebih aman dibandingkan
antihistamin generasi pertama.
B. Tujuan
Tujuan penulisan referat yang berjudul “Antihistamin pada
Dermatologi” ini adalah untuk memberikan informasi ilmiah mengenai
antihistamin, meliputi definisi, klasifikasi, farmakokinetik, farmakodinamik,
indikasi dan kontraindikasi serta penggunaannya pada penyakit kulit
khususnya alergi.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Alergi
1. Definisi
Istilah hipersensitivitas atau alergi menunjukkan suatu kondisi respon
imunitas yang menimbulkan reaksi yang berlebihan, tidak diinginkan
(menimbulkan ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari
sistem kekebalan tubuh sehingga bermanifestasi padaradang atau
kerusakan jaringan. Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh
baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T.
Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan
menimbulkan suatu keadaan imunopatologi yang disebut reaksi
hipersensitivitas.
2. Etiologi
a. Obat-obatan
Alergi obat biasanya terjadi karena tubuh seseorang sangat sensitif
sehingga bereaksi secaraberlebihan terhadap obat yang digunakan.
Tubuh berusaha menolak obat tersebut, namunreaksi penolakannya
amat berlebihan sehingga merugikan tubuh sendiri.
b. Makanan
Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang
berbahaya. Seperti alergen lain,alergi terhadap makanan dapat
bermanifestasi pada salah satu atau berbagai organ target:kulit
(urtikaria, angiodema, dermatitis atopik), saluran nafas (rinitis, asma),
saluran cerna(nyeri abdomen, muntah, diare), dan sistem
kardiovaskular (syok anafilaktik). Urtikaria akibat alergi makanan
biasanya timbul setelah 30-90 menit setelah makan dan biasa
disertaigejala lain seperti diare, mual, kejang perut, hidung buntu,
bronkospasme, hingga gangguanvaskular. Semua gejala ini
diperantarai oleh IgE.Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi
untuk menimbulkan reaksi alergi. Alergendalam makanan terutama
2
berupa protein yang terdapat di dalamnya. Namun, tidak semuaprotein
dalam makanan mampu menginduksi produksi IgE. Penyebab tersering
alergi padaorang dewasa adalah kacang-kacangan, ikan, dan kerang.
Sedangkan penyebab alergitersering pada anak adalah susu, telur,
kacang-kacangan, ikan, dan gandum. Sebagian besaralergi hilang
setelah pasien menghindari makanan tersebut, dan melakukan
eliminasimakanan, kecuali terhadap kacang-kacangan, ikan, dan
kerang cenderung menetap ataumenghilang setelah jangka waktu yang
sangat lama.5Gambaran klinis reaksi alergi terhadap makanan terjadi
melalui IgE dan menunjukkanmanifestasi terbatas: gastrointestinal,
kulit dan saluran nafas. Tanda dan gejalanya disebabkanoleh pelepasan
histamin, leukotrien, prostaglandin, dan sitokin. Alergen yang dimakan
dapatmenimbulkan efek luas, berupa respon urtikaria di seluruh tubuh,
karena distribusi randomIgE pada sel mast yang tersebar di seluruh
tubuh.
c. Hirupan
Seperti debu, serbuk sari bunga, bulu binatang, tungau (pada kasur
kapuk).Disamping itu, alergi berhubungan dengan adanya gen dan
alergen. Alergi terjadi padabeberapa individu yang memiliki gen
alergi, yaitu pada gen HLA (Human LeucocyteAntigen). Gen alergi ini
bisa diturunkan pada individu lain dengan manifestasi yang
berbeda.Alergi bisa dihilangkan dengan menjauhi alergen.
3. Mekanisme alergi
Hipersensitivitas terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam
beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai.Ini
dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian
protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti
hay fever).
Urutan kejadian reaksi hipersensitifias adalah sebagai berikut:
a. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel
mast dan basofil.
3
b. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang
dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang
berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
c. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas
farmakologik.
Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan
sebagai berikut.Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi
dan disebarkan ke seluruh tubuh.Untuk mencegah respon imun terhadap
semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan secara
selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi.Kegagalan untuk
melakukann toleransi oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan
yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada alergen.Antibodi tersebut
berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga
berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit,
eosinofil, dan trombosit.
Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang
dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan
sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai mediator (histamin,
prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi, sekresi
mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian
dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan
berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat
4. Klasifikasi dan patofisiologi
Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan
olehCoomb dan Gell. Satu reaksi alergik dapat mengikuti salah satu dari
ke-4 jalur ini.1.
a. Tipe I (reaksi cepat)
Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali
terhadapobat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi
pajananselanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Antibody yang
terbentuk adalahantibody IgE yang mempunyai afinitas yang tinggi
4
terhadap mastosit danbasofil.Pada pemberian obat yang sama, antigen
dapat menimbulkan peerubahanberupa degranulasi sel mast dan basofil
dengan dilepaskannya bermacam - macam mediator, antara lain
histamin, serotonin, bradikinin, heparindan SRSA.
Mediator mediator ini mengakibatkan bermacam macam efek
antaralain urtikaria, dan yang lebih berat adalah angioedema. Yang
palingberbahaya ialah terjadi syok anafilaktik. Penisilin merupakan
penyebabutama erupsi obat hipersensitivitas tipe cepat yang IgE-
dependant.
Gambar 1. Reaksi hipersentivitas tipe 1
b. Tipe II (reaksi sitostatik)
Reaksi tipe ini disebabkan oleh obat (antigen) yang
memerlukanpenggabungan antara IgG dan IgM di permukaan sel. Hal
ini akanmenyebabkan efek sitolitik oleh sel efektor yang diperantarai
komplemen.Gabungan obat antibody komplemen terfiksasi pada sel
sasaran. Sebagaisel sasaran ialah berbagai macam sel biasanya
5
eritrosit, leukosit, trombosityang mengakibatkan lisis sel, sehingga tipe
II tersebut disebut sebagaireaksi sitotoksik atau sitolisis. Contohnya
penisilin, streptomysin,sulfonamide, dan isoniazid.EOA yang
berhubungan dengan tipe ini ialah purpura, bila sel
sasarannyatrombosit. Obat lain menyebabkan alergik tipe ini ialah
penisilin,sefalosporin, klorpromazine, sulfonamide, analgesic dan
antipiretik.
Gambar 2. Reaksi hipersensitivitas tipe 2
c. Tipe III (reaksi kompleks imun)
Reaksi ini ditandai dengan pembentukan kompleks antigen, antibody
(IgGdan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan
mengaktifkankomplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian
melepaskan berbagai mediator diantaranya enzim - enzim yang dapat
merusak jaringan.Kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi dan
kemudian didepositpada sel sasaran. Contohnya adalah penisilin,
eritromysin, sulfonamide,salisilat dan isoniazid.
6
Gambar 3. Reaksi Hipersensitivitas tipe III
d. Tipe IV (reaksi alergik selular tipe lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting Cell) dan
selLangerhans yang mempresentasi antigen kepada limfosit T.
Limfosit Tyang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen.
Reaksi ini disebutreaksi tipe lambat yaitu terjadi 12-48 jam setelah
pajanan terhadap antigenmenyebabkan pelepasan serangkaian
limfokin. Contoh reaksi tipe iniadalah dermatitis kontak alergi.
7
Gambar 4. Reaksi Hipersensitivitas tipe IV
5. Tanda dan Gejala
Tanda-tanda reaksi alergi diantaranya:
a. Sistem Pernapasan
pada bayi: napas sering berbunyi grok-grok, batuk, pilek, bersin,
mimisan, hidung buntu, sesak (asma), sering
menggerak-gerakkan/mengusap-usap hidung.
b. Sistem Pembuluh Darah dan jantung
1) palpitasi (berdebar-debar)
2) flushing (muka kemerahan)
3) nyeri dada
4) kolaps (jatuh)
5) pingsan
6) serta tekanan darah rendah.
c. Sistem Pencernaan
1) Pada bayi: sering rewel, kolik/menangis terus-menerus tanpa sebab
pada malam hari, sering cegukan, sering "buang bair besar (BAB)
mengejan", kembung, sering gumoh, BAB berwarna hitam atau
hijau, BAB timbul warna darah.
8
2) Pada anak: nyeri perut, sering BAB lebih dari 3 kali sehari,
gangguan BAB (kotoran keras, BAB tidak setiap hari, BAB di
celana, BAB berwarna hitam atau hijau, BAB mengejan) kembung,
muntah, sulit BAB, sering buang angin (flatus), sariawan, mulut
berbau.
d. Kulit
Pada bayi sering timbul penebalan merah di pipi, daerah popok dan
telinga, timbul kerak di kulit kepala, sering gatal, dermatitis, bengkak
di bibir, lebam biru kehitaman, bekas hitam seperti digigit nyamuk,
berkeringat berlebihan.
e. Sistem Saluran Kemih
1) Sering kencing
2) nyeri kencing
f. Sistem Susunan Saraf Pusat
1) Bayi: sensitif, sering kaget dengan rangsangan suara/cahaya,
gemetar.
2) Anak: Sering sakit kepala, migrain, gangguan tidur, keterlambatan
bicara dan gangguan perilaku. Gangguan perilaku yang sering
terjadi adalah emosi berlebihan, agresif, overaktif, gangguan
belajar, gangguan konsentrasi, gangguan koordinasi, hiperaktif
hingga autisme.
g. Perilaku
1) Impulsif
2) Sering marah
3) Agresif.
h. Sistem Hormonal
1) Gangguan tidur
2) Chronic fatique symptom (sering lemas),
3) Gampang marah
4) Emosi meningkat
5) Histeris
9
i. Jaringan otot dan tulang
1) Nyeri tulang
2) Nyeri otot
3) Bengkak di leher seperti gondong.
j. Mata
1) Mata berair
2) Mata gatal
3) Sering belekan
4) Bintil pada mata
5) Kulit di bawah mata kehitaman
6. Penegakan diagnosis
Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit
alergi,langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih
dahulu apakah pasien benar-benar menderita penyakit alergi.Selanjutnya
baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen penyebab, selain juga
faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Diagnosis alergi makanan ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Banyak jenis uji
diagnostik untuk menegakkan diagnosis alergi makanan, yang bisa dipilih
mana yang murah dan mudah atau praktis untuk dilakukan:
a. Riwayat Penyakit. didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal
adanya keterkaitan penyakit dengan alergi.
b. Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat,
dengan perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi
kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru.Pemeriksa.an difokuskan pada
manifestasi yang tirnbul.
a. Pemeriksaan Laboratorium. Jika setelah anamnesis dan pemeriksaan
fisik dicurigai adanya alergi, dilakukan skin prick test atau
pemeriksaan IgE spesifik. Skin prick test sering dan sudah dikerjakan
(nilai prediksi positif 50%, nilai prediksi negatif 95%),.Pemeriksaan
laboaratorium dapat berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel,
10
serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik. Tes kulit berupa
skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya dilakukan
terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab
keluhan pasien.
7. Pencegahan
Bila diagnosis hipersensitivitas telah ditegakkan, maka alergen
penyebab harus dihindari. Diagnosis alergi pada mass anak tidak bersifat
menetap seumur hidup, dan dianjurkan untuk melaksanakan evaluasi
ulang dengan uji kulit setiap 1-3 tahun. Keadaan ini tidak berlaku untuk
dermatitis herpetiformis, sehingga pada penyakit ini penghindaran alergen
berlaku seumur hidup. Penderita alergi sebaiknya selalu membawa kartu
atau daftar jenis alergi atau alergen yang dideritanya.
B. Antihistamin
1. Definisi
Antihistamin adalah zat zat yang dapat mengurangi atau
menghalagi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan mengeblok
reseptor histamin. Secara farmakologis reseptor histamin dapat di
bagi dalam 2 tipe yaitu reseptor H, dan reseptor H2. Berdasarkan hal
tersebut, antihistamin juga dapat dibagi dalam 2 kelompok, yakni
antagonis reseptor HI (singkatnya disebut H, blokers atau antihistamin )
antagonis reseptor H2 (H2 blokers atau zat penghambat asam).
2. Klasifikasi
a. Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1)
Atihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas
digunakan di seluruh dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil
apapun yang berkenaan dengan obat ini menjadi suatu hal yang sangat
penting. Semisal perubahan dalam penggolongan antihistamin H1.
Dulu antihistamin H1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1.
Namun baru-baru ini seiring perkembangan ilmu farmakologi
11
molekular, antihistamin H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist
ketimbang antagonis reseptor histamin H1.
Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi
reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek
berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif)
tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis
bekerja dengan bertindak sebagai ligan ynag mengikat reseptor atau
menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan
inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak
mempunyai aktivitas intrinsik.
1) Klasifikasi atau Penggolongan antihistamin 1 (AH1)
a) antihistamin generasi pertama
AH1 efektif untuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada
urtikaria kronik hasilnya kurang baik. Mekanisme kerja
antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala alergi
berlangsung melalui kompetisi dalam berikatan dengan
reseptor H1 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi
akan memunculkan lebih banyak reseptor H1. Antihistamin
tersebut digolongkan dalam antihistamin generasi pertama.
Pada umumnya obat antihistamin generasi pertama ini
mempunyai efektifitas yang serupa bila digunakan menurut
dosis yang dianjurkan dan dapat dibedakan satu sama lain
menurut gambaran efek sampingnya. Namun, efek yang tidak
diinginkan obat ini adalah menimbulkan rasa mengantuk
sehingga mengganggu aktifitas dalam pekerjaan.
Efek sedatif ini diakibatkan oleh karena antihistamin generasi
pertama ini memiliki sifat lipofilik yang dapat menembus
sawar darah otak sehingga dapat menempel pada reseptor H1 di
sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang menempel pada
reseptor H1 sel otak, kewaspadaan menurun dan timbul rasa
mengantukSelain itu, efek sedatif diperberat pada pemakaian
alkohol dan obat antidepresan. Di samping itu, beberapa
12
antihistamin mempunyai efek samping antikolinergik seperti
mulut menjadi kering, dilatasi pupil, penglihatan berkabut,
retensi urin, konstipasi dan impotensia.
b) antihistamin generasi kedua
Antihistamin generasi kedua mempunyai efektifitas antialergi
seperti generasi pertama, memiliki sifat lipofilik yang lebih
rendah sulit menembus sawar darah otak. Reseptor H1 sel otak
tetap diisi histamin, sehingga efek samping yang ditimbulkan
agak kurang tanpa efek mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat
baik, dapat diberikan dengan dosis yang tinggi untuk
meringankan gejala alergi sepanjang hari, terutama untuk
penderita alergi yang tergantung pada musim. Obat ini juga
dapat dipakai untuk pengobatan jangka panjang pada penyakit
kronis seperti urtikaria dan asma bronkial. Peranan histamin
pada asma masih belum sepenuhnya diketahui. Pada dosis yang
dapat mencegah bronkokonstriksi karena histamin, antihistamin
dapat meredakan gejala ringan asma kronik dan gejala-gejala
akibat menghirup alergen pada penderita dengan hiperreaktif
bronkus. Namun, pada umumnya mempunyai efek terbatas dan
terutama untuk reaksi cepat dibanding dengan reaksi lambat,
sehingga antihistamin generasi kedua diragukan untuk terapi
asma kronik.
c) antihistamin generasi ketiga
Antihistamin generasi ketiga yaitu feksofenadin, norastemizole
dan deskarboetoksi loratadin (DCL), ketiganya adalah
merupakan metabolit antihistamin generasi kedua. Tujuan
mengembangkan antihistamin generasi ketiga adalah untuk
menyederhanakan farmakokinetik dan metabolismenya, serta
menghindari efek samping yang berkaitan dengan obat
sebelumnya.
13
Gambar 5. Golongan obat antihistamin dan contohnya
2) Farmakologi
Sebagai ineverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan
bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum
aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan
reseptor histamin H1 ini bisa mengurangi permeabilitas vaskular,
pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta
napas. Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga
memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih
selektif pada reseptor perifer dan juga bisa menurunkan lipofilitas,
sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu,
obat ini juga memiliki kemampuan anti alergi tambahan, yakni
14
sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini
mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan
menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast atau membran
basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium
intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan
bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan
menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
3) Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral, Antihistamin H1 diabsorbsi
secara baik. Pemberian antihistamin H1 secara oral efeknya timbul
15-30 menit dan maksimal setelah 1-2 jam, mencapai konsentrasi
puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Konsentrasi plasma yang
relatif rendah setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan
kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati. Antihistamin
H1 diekskresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk
metabolitnya. Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi.
Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada
anak dan lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, dan
pasien yang menerima ketokonazol, eritromosin, atau
menghambat microsomal oxygenase lainnya.
4) Indikasi
Antihistamin H1 berguna untuk pengobatan simptomatik berbagai
penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.
Antihistamin generasi pertama digunakan untuk mengatasi
hipersitifitas, reaksi tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman
atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi konjunktivitas, dan
urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis
adjuvan.
5) Kontraindikasi
a) Hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara
struktural
b) Bayi baru lahir atau premature
15
c) Ibu menyusui
d) Narrow-angle glaucoma
e) Stenosing peptic ulcer
f) Hipertropi prostat simptomatik
g) Bladder neck obstruction
h) Penyumbatan pylorodudenal
i) Gejala saluran napas atas (termasuk asma)
j) Pasien tua
k) Pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor
(MAOI)
6) Efek samping
Pada dosis, terapi, semua antihistamin H1 menimbulkan efek
samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang
bila pengobatan diteruskan. Terdapat variasi yang besar dalam
toleransi obat antar individu, kadang-kadang efek ini sangat
menganggu sehingga terapi perlu dihentikan.
Efek samping antihistamin H1 Generasi pertama:
a) Alergi: Fotosentivitas, shock anafilaksis, ruam, dermatitis
b) Kardiovaskular: Hipotensi postural, refleks takikardia,
palpitasi, trombosis vena pada sisi injeks.
c) S.Syaraf pusat: Sedasi, pusing, gangguan koordinas, bingung,
rx.extraparamidal(dosis tinggi)
d) Gastrointestinal: Apigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal
spray)
e) Genitourinari: Urinary frequency, urinary retention, dysuria
f) Respiratori: Dada sesak, mulut kering, epitaksis dan nasal
burning (nasa spray)
Efek samping antihistamin H1 generasi kedua dan ketiga:
a) Alergi: Fotosentivitas, shocks anafilaksis, ruam, dan dermatitiS
b) SSP: Mengantuk, sakit kepala, sedasi
c) Respiratori: Mulut kering
d) Gastrointestinal: Nausea, vomiting, abdominal distress
16
Beberapa efek samping lain dari antihistamin :
a) Efek sedasi
b) Gangguan psikomotor
c) Gangguan kognitif
d) Efek kardiotoksisitas
b. Anthistamin Penghambat Reseptor H2 (AH2)
Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap sekresi
cairan lambung, perangsangan jantung. Beberapa jaringan otot polos
pembuluh darah mempunyai kedua reseptor yaitu H1 dan H2.
Sejak tahun 1978 di Amerika Serikat telah diteliti peran potensial
H2cemitidine untuk penyakit kulit. Pada tahun 1983, ranitidine
ditemukan pula sebagai antihistamin H2. Baik simetidine dan ratidine
diberikan dalam bentuk oral untuk mengobati penyakit kulit
1) Struktur
Antihistamin H2 secara struktur hampir mirip dengan histamin.
Simetidin mengandung komponen imidazole, dan ranitidin
mengandung komponen aminomethylfuran moiety.
2) Farmakodinamik
Simetidine dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif
dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi
cairan lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin
sekresi cairan lambung dihambat.
3) Farmakokinetik
Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah
pemberian IV atau IM. Absorpsi simetidin diperlambat oleh
makanan. Absorpsi terjadi pada menit ke 60-90. Masa paruh
eliminasi sekitar 2jam. Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan
secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati.
Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang
meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma
dicapai dalam 1-3 jam setelah pengguanaan 150 mg ranitidin
secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%.Sekitar
17
70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan
secara oral diekskresi dalam urin.
4) Mekanisme aksi
Walaupun simetidin dan ranitidin berfungsi sama yaitu
menghambat reseptor H2, namun ranitidin lebih poten. Simetidin
juga menghambat histamin N-methyl transferase, suatu enzim
yang berperan dalam degrasi histamin. Tidak seperti ranitidin,
simetidin menunjukkan aktivitas antiandrogen, suatu efek yang
diketahui tidak berhubungan dengan kemampuan menghambat
raseptor H2. Simetidin tampak meningkatkan sistem imun dengan
menghambat aktivitas sel T supresor. Hal ini disebabkan oleh
blokade resptor H2 yang dapat dilihat dari supresor limfosit T.
Imunitas humoral dan sel dapat dipengaruhi.
5) Indikasi
Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik.
Antihistamin H2 sama efektif dengan pengobatan itensif dengan
antasid untuk penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum.
Antihistamin H2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam
lambung pada sindrom Zollinger-Ellison.
Penggunaan antihistamin H2 dalam bidang dermatologi seringkali
digunakan ranitidin atau simetidin untuk pengobatan gejala dari
mastocytosis sistematik, seperti urtikaria dan pruritus. Pada
beberapa pasien pengobatan digunakan dosis tinggi.
6) Kontraindikasi
a) Kehamilan
b) Ibu menyusui
7) Efek samping
Insiden efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya
berhubungan dengan pemhambatan terhadap reseptor H2, beberapa
efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan
reseptor. Efek samping ini antara lain :
a) Nyeri kepala
18
b) Pusing
c) Malaise
d) Mialgia
e) Mual
f) Diare
g) Konstipasi
h) Ruam kulit
i) Pruritus
j) Kehilangan libido
k) Impoten
19
BAB III
KESIMPULAN
1. Hipersensitivitas atau alergi menunjukkan suatu kondisi respon imunitas yang
menimbulkan reaksi yang berlebihan, tidak diinginkan (menimbulkan
ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari sistem kekebalan
tubuh sehingga bermanifestasi pada radang atau kerusakan jaringan.
2. Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan oleh
Coomb dan Gell yaitu reaksi hipersensitivitas Tipe I (reaksi cepat), Tipe II
(reaksi sitostatik), Tipe III (reaksi kompleks imun) dan Tipe IV (reaksi alergik
selular tipe lambat).
3. Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek
terhadap tubuh dengan jalan mengeblok reseptor histaminn, yang digolongkan
menjadi Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1) dan Anthistamin
Penghambat Reseptor H2 (AH2).
4. Pengguanaan antihistamin H1 dan H2 dalam bidang dermatologi seringkali
digunakan untuk pengobatan gejala dari mastocytosis sistematik, seperti
urtikaria dan pruritus.
20
DAFTAR PUSTAKA
Abhi. 2009. Hipersensitif . Availble from URL : http://abhique.blogspot.com/2009/09.
Agatha Dinar. 2009. Reaksi hipersensitivitas sebagai dasar mekanisme alergi terkait dengan faktor nutrisi. Available from URL : http://sampahtutorial.blogspot.com/2009/07/imunologi urtikariahipersensitivitas.html.
Bratawidjaya, KG. 2006. Imunologi Dasar. Edisi 7. Jakarta: FKUI.
Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2005. Mikrobiologi kedokteran. Ed 1. Jakarta : SalembaMedika.
Christanto, Anton. 2011. Manifestasi Alergi Makanan Pada Telinga, Hidung, Dan Tenggorok. Vol. 38 No. 6 Continuing Medical Education: IDI.
Criado PR, Criado RFJ, Maruta CW, Machado Filho CA. Histamine, Histamine receptors and antihistamines: new concepts. Annals Brazilian of Dermatology, 2010;85(2):195-210.
Djunda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 5. Jakarta: FKUI.
Greaves, MW. Antihistamines in Dermatology. Journal of Skin Pharmacology and Physiology, 2005:18 (5);220-229.
Metrogaya. 2009. Tips mengatasi alergi obat. Available from URL : http://www.metrogaya.com/kesehatan/home/tips-mengatasi-alergi-obat.
Neal, MJ. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi 5. Jakarta: EMS.
Rizwan Ridhani. 2010. Available from URL : http://www.keperawatan.net.
Sudewi, Ni Putu. 2009. Berbagai Teknik Pemeriksaan untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi. Vol. 11, No. 3. Sari Pediatri.
21