32
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tahun 1937 Bovet dan Staub menemukan ikatan amin yang mengandung eter fenolik yang bersifat antagonis terhadap efek histamin pada reseptor H1. Antihistamin atau antagonis reseptor histamin ini mulai digunakan sebagai pengobatan pada sekitar tahun 1940. Pada zaman sekarang antihistamin sangat terkenal baik dalam dunia kedokteran maupun dikalangan masayakat umum. Antihistamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan mengeblok reseptor histamin. Secara farmakologis reseptor histamin dapat di bagi dalam 2 tipe yaitu reseptor H 1 dan reseptor H 2 . Berdasarkan hal tersebut, antihistamin juga dapat dibagi dalam 2 kelompok, yakni antagonis reseptor H 1 (singkatnya disebut H 1 blokers atau antihistamin ) antagonis reseptor H 2 (H 2 blokers). Para ahli dermatologi sering menggunakan antihistamin untuk mengobati kelainan kronik maupun rekuren. Pemakaian antihistmin ini harus teliti karena pada kelompok-kelompok antihistamin yang berbeda mempunyai efek samping potensial. Untuk itu, penggunaan antihistamin secara rasional perlu 1

Antihistamin pada penyakit kulit

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Antihistamin pada penyakit kulit

Citation preview

Page 1: Antihistamin pada penyakit kulit

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tahun 1937 Bovet dan Staub menemukan ikatan amin yang

mengandung eter fenolik yang bersifat antagonis terhadap efek histamin pada

reseptor H1. Antihistamin atau antagonis reseptor histamin ini mulai

digunakan sebagai pengobatan pada sekitar tahun 1940. Pada zaman sekarang

antihistamin sangat terkenal baik dalam dunia kedokteran maupun dikalangan

masayakat umum.

Antihistamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek

histamin terhadap tubuh dengan jalan mengeblok reseptor histamin. Secara

farmakologis reseptor histamin dapat di bagi dalam 2 tipe yaitu reseptor H1

dan reseptor H2. Berdasarkan hal tersebut, antihistamin juga dapat dibagi

dalam 2 kelompok, yakni antagonis reseptor H1 (singkatnya disebut H1 blokers

atau antihistamin ) antagonis reseptor H2 (H2 blokers).

Para ahli dermatologi sering menggunakan antihistamin untuk

mengobati kelainan kronik maupun rekuren. Pemakaian antihistmin ini harus

teliti karena pada kelompok-kelompok antihistamin yang berbeda mempunyai

efek samping potensial. Untuk itu, penggunaan antihistamin secara rasional

perlu dipelajari untuk lebih menjelaskan perannya dalam terapi penyakit kulit

karena pada saat ini banyak antihistamin generasi baru yang diajukan sebagai

obat yang banyak menjanjikan keuntungan yaitu frekuensi pemberiannya lebih

sedikit, efek sedasi yang lebih rendah serta lebih aman dibandingkan

antihistamin generasi pertama. 

B. Tujuan

Tujuan penulisan referat yang berjudul “Antihistamin pada

Dermatologi” ini adalah untuk memberikan informasi ilmiah mengenai

antihistamin, meliputi definisi, klasifikasi, farmakokinetik, farmakodinamik,

indikasi dan kontraindikasi serta penggunaannya pada penyakit kulit

khususnya alergi.

1

Page 2: Antihistamin pada penyakit kulit

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Alergi

1. Definisi

Istilah hipersensitivitas atau alergi menunjukkan suatu kondisi respon

imunitas yang menimbulkan reaksi yang berlebihan, tidak diinginkan

(menimbulkan ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari

sistem kekebalan tubuh sehingga bermanifestasi padaradang atau

kerusakan jaringan. Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh

baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T.

Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan

menimbulkan suatu keadaan imunopatologi yang disebut reaksi

hipersensitivitas.

2. Etiologi

a. Obat-obatan

Alergi obat biasanya terjadi karena tubuh seseorang sangat sensitif

sehingga bereaksi secaraberlebihan terhadap obat yang digunakan.

Tubuh berusaha menolak obat tersebut, namunreaksi penolakannya

amat berlebihan sehingga merugikan tubuh sendiri.

b. Makanan

Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang

berbahaya. Seperti alergen lain,alergi terhadap makanan dapat

bermanifestasi pada salah satu atau berbagai organ target:kulit

(urtikaria, angiodema, dermatitis atopik), saluran nafas (rinitis, asma),

saluran cerna(nyeri abdomen, muntah, diare), dan sistem

kardiovaskular (syok anafilaktik). Urtikaria akibat alergi makanan

biasanya timbul setelah 30-90 menit setelah makan dan biasa

disertaigejala lain seperti diare, mual, kejang perut, hidung buntu,

bronkospasme, hingga gangguanvaskular. Semua gejala ini

diperantarai oleh IgE.Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi

untuk menimbulkan reaksi alergi. Alergendalam makanan terutama

2

Page 3: Antihistamin pada penyakit kulit

berupa protein yang terdapat di dalamnya. Namun, tidak semuaprotein

dalam makanan mampu menginduksi produksi IgE. Penyebab tersering

alergi padaorang dewasa adalah kacang-kacangan, ikan, dan kerang.

Sedangkan penyebab alergitersering pada anak adalah susu, telur,

kacang-kacangan, ikan, dan gandum. Sebagian besaralergi hilang

setelah pasien menghindari makanan tersebut, dan melakukan

eliminasimakanan, kecuali terhadap kacang-kacangan, ikan, dan

kerang cenderung menetap ataumenghilang setelah jangka waktu yang

sangat lama.5Gambaran klinis reaksi alergi terhadap makanan terjadi

melalui IgE dan menunjukkanmanifestasi terbatas: gastrointestinal,

kulit dan saluran nafas. Tanda dan gejalanya disebabkanoleh pelepasan

histamin, leukotrien, prostaglandin, dan sitokin. Alergen yang dimakan

dapatmenimbulkan efek luas, berupa respon urtikaria di seluruh tubuh,

karena distribusi randomIgE pada sel mast yang tersebar di seluruh

tubuh.

c. Hirupan

Seperti debu, serbuk sari bunga, bulu binatang, tungau (pada kasur

kapuk).Disamping itu, alergi berhubungan dengan adanya gen dan

alergen. Alergi terjadi padabeberapa individu yang memiliki gen

alergi, yaitu pada gen HLA (Human LeucocyteAntigen). Gen alergi ini

bisa diturunkan pada individu lain dengan manifestasi yang

berbeda.Alergi bisa dihilangkan dengan menjauhi alergen.

3. Mekanisme alergi

Hipersensitivitas terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam

beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai.Ini

dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian

protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti

hay fever).

Urutan kejadian reaksi hipersensitifias adalah sebagai berikut:

a. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE

sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel

mast dan basofil.

3

Page 4: Antihistamin pada penyakit kulit

b. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang

dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang

berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

c. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)

sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas

farmakologik.

Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan

sebagai berikut.Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi

dan disebarkan ke seluruh tubuh.Untuk mencegah respon imun terhadap

semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan secara

selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi.Kegagalan untuk

melakukann toleransi oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan

yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada alergen.Antibodi tersebut

berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga

berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit,

eosinofil, dan trombosit.

Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang

dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan

sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai mediator (histamin,

prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi, sekresi

mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian

dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan

berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat

4. Klasifikasi dan patofisiologi

Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan

olehCoomb dan Gell. Satu reaksi alergik dapat mengikuti salah satu dari

ke-4 jalur ini.1.

a. Tipe I (reaksi cepat)

Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali

terhadapobat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi

pajananselanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Antibody yang

terbentuk adalahantibody IgE yang mempunyai afinitas yang tinggi

4

Page 5: Antihistamin pada penyakit kulit

terhadap mastosit danbasofil.Pada pemberian obat yang sama, antigen

dapat menimbulkan peerubahanberupa degranulasi sel mast dan basofil

dengan dilepaskannya bermacam - macam mediator, antara lain

histamin, serotonin, bradikinin, heparindan SRSA.

Mediator mediator ini mengakibatkan bermacam macam efek

antaralain urtikaria, dan yang lebih berat adalah angioedema. Yang

palingberbahaya ialah terjadi syok anafilaktik. Penisilin merupakan

penyebabutama erupsi obat hipersensitivitas tipe cepat yang IgE-

dependant.

Gambar 1. Reaksi hipersentivitas tipe 1

b. Tipe II (reaksi sitostatik)

Reaksi tipe ini disebabkan oleh obat (antigen) yang

memerlukanpenggabungan antara IgG dan IgM di permukaan sel. Hal

ini akanmenyebabkan efek sitolitik oleh sel efektor yang diperantarai

komplemen.Gabungan obat antibody komplemen terfiksasi pada sel

sasaran. Sebagaisel sasaran ialah berbagai macam sel biasanya

5

Page 6: Antihistamin pada penyakit kulit

eritrosit, leukosit, trombosityang mengakibatkan lisis sel, sehingga tipe

II tersebut disebut sebagaireaksi sitotoksik atau sitolisis. Contohnya

penisilin, streptomysin,sulfonamide, dan isoniazid.EOA yang

berhubungan dengan tipe ini ialah purpura, bila sel

sasarannyatrombosit. Obat lain menyebabkan alergik tipe ini ialah

penisilin,sefalosporin, klorpromazine, sulfonamide, analgesic dan

antipiretik.

Gambar 2. Reaksi hipersensitivitas tipe 2

c. Tipe III (reaksi kompleks imun)

Reaksi ini ditandai dengan pembentukan kompleks antigen, antibody

(IgGdan IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan

mengaktifkankomplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian

melepaskan berbagai mediator diantaranya enzim - enzim yang dapat

merusak jaringan.Kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi dan

kemudian didepositpada sel sasaran. Contohnya adalah penisilin,

eritromysin, sulfonamide,salisilat dan isoniazid.

6

Page 7: Antihistamin pada penyakit kulit

Gambar 3. Reaksi Hipersensitivitas tipe III

d.  Tipe IV (reaksi alergik selular tipe lambat)

Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting Cell) dan

selLangerhans yang mempresentasi antigen kepada limfosit T.

Limfosit Tyang tersensitisasi mengadakan reaksi dengan antigen.

Reaksi ini disebutreaksi tipe lambat yaitu terjadi 12-48 jam setelah

pajanan terhadap antigenmenyebabkan pelepasan serangkaian

limfokin. Contoh reaksi tipe iniadalah dermatitis kontak alergi.

7

Page 8: Antihistamin pada penyakit kulit

Gambar 4. Reaksi Hipersensitivitas tipe IV

5. Tanda dan Gejala

Tanda-tanda reaksi alergi diantaranya:

a. Sistem Pernapasan

pada bayi: napas sering berbunyi grok-grok, batuk, pilek, bersin,

mimisan, hidung buntu, sesak (asma), sering

menggerak-gerakkan/mengusap-usap hidung.

b. Sistem Pembuluh Darah dan jantung

1) palpitasi (berdebar-debar)

2) flushing (muka kemerahan)

3) nyeri dada

4) kolaps (jatuh)

5) pingsan

6) serta tekanan darah rendah.

c. Sistem Pencernaan

1) Pada bayi: sering rewel, kolik/menangis terus-menerus tanpa sebab

pada malam hari, sering cegukan, sering "buang bair besar (BAB)

mengejan", kembung, sering gumoh, BAB berwarna hitam atau

hijau, BAB timbul warna darah.

8

Page 9: Antihistamin pada penyakit kulit

2) Pada anak: nyeri perut, sering BAB lebih dari 3 kali sehari,

gangguan BAB (kotoran keras, BAB tidak setiap hari, BAB di

celana, BAB berwarna hitam atau hijau, BAB mengejan) kembung,

muntah, sulit BAB, sering buang angin (flatus), sariawan, mulut

berbau.

d. Kulit

Pada bayi sering timbul penebalan merah di pipi, daerah popok dan

telinga, timbul kerak di kulit kepala, sering gatal, dermatitis, bengkak

di bibir, lebam biru kehitaman, bekas hitam seperti digigit nyamuk,

berkeringat berlebihan.

e. Sistem Saluran Kemih

1) Sering kencing

2) nyeri kencing

f. Sistem Susunan Saraf Pusat

1) Bayi: sensitif, sering kaget dengan rangsangan suara/cahaya,

gemetar.

2) Anak: Sering sakit kepala, migrain, gangguan tidur, keterlambatan

bicara dan gangguan perilaku. Gangguan perilaku yang sering

terjadi adalah emosi berlebihan, agresif, overaktif, gangguan

belajar, gangguan konsentrasi, gangguan koordinasi, hiperaktif

hingga autisme.

g. Perilaku

1) Impulsif

2) Sering marah

3) Agresif.

h. Sistem Hormonal

1) Gangguan tidur

2) Chronic fatique symptom (sering lemas),

3) Gampang marah

4) Emosi meningkat

5) Histeris

9

Page 10: Antihistamin pada penyakit kulit

i. Jaringan otot dan tulang

1) Nyeri tulang

2) Nyeri otot

3) Bengkak di leher seperti gondong.

j. Mata

1) Mata berair

2) Mata gatal

3) Sering belekan

4) Bintil pada mata

5) Kulit di bawah mata kehitaman

6. Penegakan diagnosis

Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit

alergi,langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih

dahulu apakah pasien benar-benar menderita penyakit alergi.Selanjutnya

baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen penyebab, selain juga

faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala.

Diagnosis alergi makanan ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Banyak jenis uji

diagnostik untuk menegakkan diagnosis alergi makanan, yang bisa dipilih

mana yang murah dan mudah atau praktis untuk dilakukan:

a. Riwayat Penyakit. didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal

adanya keterkaitan penyakit dengan alergi.

b. Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat,

dengan perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi

kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru.Pemeriksa.an difokuskan pada

manifestasi yang tirnbul.

a. Pemeriksaan Laboratorium. Jika setelah anamnesis dan pemeriksaan

fisik dicurigai adanya alergi, dilakukan skin prick test atau

pemeriksaan IgE spesifik. Skin prick test sering dan sudah dikerjakan

(nilai prediksi positif 50%, nilai prediksi negatif 95%),.Pemeriksaan

laboaratorium dapat berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel,

10

Page 11: Antihistamin pada penyakit kulit

serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik. Tes kulit berupa

skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya dilakukan

terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab

keluhan pasien.

7. Pencegahan

Bila diagnosis hipersensitivitas telah ditegakkan, maka alergen

penyebab harus dihindari. Diagnosis alergi pada mass anak tidak bersifat

menetap seumur hidup, dan dianjurkan untuk melaksanakan evaluasi

ulang dengan uji kulit setiap 1-3 tahun. Keadaan ini tidak berlaku untuk

dermatitis herpetiformis, sehingga pada penyakit ini penghindaran alergen

berlaku seumur hidup. Penderita alergi sebaiknya selalu membawa kartu

atau daftar jenis alergi atau alergen yang dideritanya.

B. Antihistamin

1. Definisi

Antihistamin adalah zat zat yang dapat mengurangi atau

menghalagi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan mengeblok

reseptor histamin. Secara farmakologis reseptor histamin dapat di

bagi dalam 2 tipe yaitu reseptor H, dan reseptor H2. Berdasarkan hal

tersebut, antihistamin juga dapat dibagi dalam 2 kelompok, yakni

antagonis reseptor HI (singkatnya disebut H, blokers atau antihistamin )

antagonis reseptor H2 (H2 blokers atau zat penghambat asam).

2. Klasifikasi

a. Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1)

Atihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas

digunakan di seluruh dunia. Fakta ini membuat perkembangan sekecil

apapun yang berkenaan dengan obat ini menjadi suatu hal yang sangat

penting. Semisal perubahan dalam penggolongan antihistamin H1.

Dulu antihistamin H1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1.

Namun baru-baru ini seiring perkembangan ilmu farmakologi

11

Page 12: Antihistamin pada penyakit kulit

molekular, antihistamin H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist

ketimbang antagonis reseptor histamin H1.

Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi

reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek

berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif)

tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis

bekerja dengan bertindak sebagai ligan ynag mengikat reseptor atau

menghentikan kaskade pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan

inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak

mempunyai aktivitas intrinsik.

1) Klasifikasi atau Penggolongan antihistamin 1 (AH1)

a) antihistamin generasi pertama

AH1 efektif untuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan pada

urtikaria kronik hasilnya kurang baik. Mekanisme kerja

antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala alergi

berlangsung melalui kompetisi dalam berikatan dengan

reseptor H1 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi

akan memunculkan lebih banyak reseptor H1. Antihistamin

tersebut digolongkan dalam antihistamin generasi pertama.

Pada umumnya obat antihistamin generasi pertama ini

mempunyai efektifitas yang serupa bila digunakan menurut

dosis yang dianjurkan dan dapat dibedakan satu sama lain

menurut gambaran efek sampingnya. Namun, efek yang tidak

diinginkan obat ini adalah menimbulkan rasa mengantuk

sehingga mengganggu aktifitas dalam pekerjaan.

Efek sedatif ini diakibatkan oleh karena antihistamin generasi

pertama ini memiliki sifat lipofilik yang dapat menembus

sawar darah otak sehingga dapat menempel pada reseptor H1 di

sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang menempel pada

reseptor H1 sel otak, kewaspadaan menurun dan timbul rasa

mengantukSelain itu, efek sedatif diperberat pada pemakaian

alkohol dan obat antidepresan. Di samping itu, beberapa

12

Page 13: Antihistamin pada penyakit kulit

antihistamin mempunyai efek samping antikolinergik seperti

mulut menjadi kering, dilatasi pupil, penglihatan berkabut,

retensi urin, konstipasi dan impotensia.

b) antihistamin generasi kedua

Antihistamin generasi kedua mempunyai efektifitas antialergi

seperti generasi pertama, memiliki sifat lipofilik yang lebih

rendah sulit menembus sawar darah otak. Reseptor H1 sel otak

tetap diisi histamin, sehingga efek samping yang ditimbulkan

agak kurang tanpa efek mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat

baik, dapat diberikan dengan dosis yang tinggi untuk

meringankan gejala alergi sepanjang hari, terutama untuk

penderita alergi yang tergantung pada musim. Obat ini juga

dapat dipakai untuk pengobatan jangka panjang pada penyakit

kronis seperti urtikaria dan asma bronkial. Peranan histamin

pada asma masih belum sepenuhnya diketahui. Pada dosis yang

dapat mencegah bronkokonstriksi karena histamin, antihistamin

dapat meredakan gejala ringan asma kronik dan gejala-gejala

akibat menghirup alergen pada penderita dengan hiperreaktif

bronkus. Namun, pada umumnya mempunyai efek terbatas dan

terutama untuk reaksi cepat dibanding dengan reaksi lambat,

sehingga antihistamin generasi kedua diragukan untuk terapi

asma kronik.

c) antihistamin generasi ketiga

Antihistamin generasi ketiga yaitu feksofenadin, norastemizole

dan deskarboetoksi loratadin (DCL), ketiganya adalah

merupakan metabolit antihistamin generasi kedua. Tujuan

mengembangkan antihistamin generasi ketiga adalah untuk

menyederhanakan farmakokinetik dan metabolismenya, serta

menghindari efek samping yang berkaitan dengan obat

sebelumnya.

13

Page 14: Antihistamin pada penyakit kulit

Gambar 5. Golongan obat antihistamin dan contohnya

2) Farmakologi

Sebagai ineverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan

bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum

aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan

reseptor histamin H1 ini bisa mengurangi permeabilitas vaskular,

pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta

napas. Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga

memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih

selektif pada reseptor perifer dan juga bisa menurunkan lipofilitas,

sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu,

obat ini juga memiliki kemampuan anti alergi tambahan, yakni

14

Page 15: Antihistamin pada penyakit kulit

sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini

mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan

menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast atau membran

basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium

intraseluler dalam sel.  Obat ini menghambat reaksi alergi dengan

bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan

menghasilkan efek anti-platelet activating factor.

3) Farmakokinetik

Setelah pemberian oral atau parenteral, Antihistamin H1 diabsorbsi

secara baik. Pemberian antihistamin H1 secara oral efeknya timbul

15-30 menit dan maksimal setelah 1-2 jam, mencapai konsentrasi

puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Konsentrasi plasma yang

relatif rendah setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan

kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati. Antihistamin

H1 diekskresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk

metabolitnya. Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi.

Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada

anak dan lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, dan

pasien yang menerima ketokonazol, eritromosin, atau

menghambat microsomal oxygenase lainnya.

4) Indikasi

Antihistamin H1 berguna untuk pengobatan simptomatik berbagai

penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.

Antihistamin generasi pertama digunakan untuk mengatasi

hipersitifitas, reaksi tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman

atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi konjunktivitas, dan

urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis

adjuvan.

5) Kontraindikasi

a) Hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara

struktural

b) Bayi baru lahir atau premature

15

Page 16: Antihistamin pada penyakit kulit

c) Ibu menyusui

d) Narrow-angle glaucoma

e) Stenosing peptic ulcer

f) Hipertropi prostat simptomatik

g) Bladder neck obstruction

h) Penyumbatan pylorodudenal

i) Gejala saluran napas atas (termasuk asma)

j) Pasien tua

k) Pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor

(MAOI)

6) Efek samping

Pada dosis, terapi, semua antihistamin H1 menimbulkan efek

samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang

bila pengobatan diteruskan. Terdapat variasi yang besar dalam

toleransi obat antar individu, kadang-kadang efek ini sangat

menganggu sehingga terapi perlu dihentikan.

Efek samping antihistamin H1 Generasi pertama:

a) Alergi: Fotosentivitas, shock anafilaksis, ruam, dermatitis

b) Kardiovaskular: Hipotensi postural, refleks takikardia,

palpitasi, trombosis vena pada sisi injeks.

c) S.Syaraf pusat: Sedasi, pusing, gangguan koordinas, bingung,

rx.extraparamidal(dosis tinggi)

d) Gastrointestinal: Apigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal

spray)

e) Genitourinari: Urinary frequency, urinary retention, dysuria

f) Respiratori: Dada sesak, mulut kering, epitaksis dan nasal

burning (nasa spray)

Efek samping antihistamin H1 generasi kedua dan ketiga:

a) Alergi: Fotosentivitas, shocks anafilaksis, ruam, dan dermatitiS

b) SSP: Mengantuk, sakit kepala, sedasi

c) Respiratori: Mulut kering

d) Gastrointestinal: Nausea, vomiting, abdominal distress

16

Page 17: Antihistamin pada penyakit kulit

Beberapa efek samping lain dari antihistamin :

a) Efek sedasi

b) Gangguan psikomotor

c) Gangguan kognitif

d) Efek kardiotoksisitas

b. Anthistamin Penghambat Reseptor H2 (AH2)

Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap sekresi

cairan lambung, perangsangan jantung. Beberapa jaringan otot polos

pembuluh darah mempunyai kedua reseptor yaitu H1 dan H2.

Sejak tahun 1978 di Amerika Serikat telah diteliti peran potensial

H2cemitidine untuk penyakit kulit. Pada tahun 1983, ranitidine

ditemukan pula sebagai antihistamin H2. Baik simetidine dan ratidine

diberikan dalam bentuk oral untuk mengobati penyakit kulit

1) Struktur 

Antihistamin H2 secara struktur hampir mirip dengan histamin.

Simetidin mengandung komponen imidazole, dan ranitidin

mengandung komponen aminomethylfuran moiety.

2) Farmakodinamik

Simetidine dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif

dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi

cairan lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin

sekresi cairan lambung dihambat.

3) Farmakokinetik

Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah

pemberian IV atau IM. Absorpsi simetidin diperlambat oleh

makanan. Absorpsi terjadi pada menit ke 60-90. Masa paruh

eliminasi sekitar 2jam. Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan

secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati.

Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang

meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma

dicapai dalam 1-3 jam setelah pengguanaan 150 mg ranitidin

secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%.Sekitar

17

Page 18: Antihistamin pada penyakit kulit

70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan

secara oral diekskresi dalam urin. 

4) Mekanisme aksi

Walaupun simetidin dan ranitidin berfungsi sama yaitu

menghambat reseptor H2, namun ranitidin lebih poten. Simetidin

juga menghambat histamin N-methyl  transferase, suatu enzim

yang berperan dalam degrasi histamin. Tidak seperti ranitidin,

simetidin menunjukkan aktivitas antiandrogen, suatu efek yang

diketahui tidak berhubungan dengan kemampuan menghambat

raseptor H2. Simetidin tampak meningkatkan sistem imun dengan

menghambat aktivitas sel T supresor. Hal ini disebabkan oleh

blokade resptor H2 yang dapat dilihat dari supresor limfosit T.

Imunitas humoral dan sel dapat dipengaruhi.

5) Indikasi

Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik.

Antihistamin H2 sama efektif dengan pengobatan itensif dengan

antasid  untuk penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum.

Antihistamin H2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam

lambung pada sindrom Zollinger-Ellison.

Penggunaan antihistamin H2 dalam bidang dermatologi seringkali

digunakan ranitidin atau simetidin untuk pengobatan gejala dari

mastocytosis sistematik, seperti urtikaria dan pruritus. Pada

beberapa pasien pengobatan digunakan dosis tinggi.

6) Kontraindikasi

a) Kehamilan

b) Ibu menyusui

7) Efek samping

Insiden efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya

berhubungan dengan pemhambatan terhadap reseptor H2, beberapa

efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan

reseptor. Efek samping ini antara lain :

a) Nyeri kepala

18

Page 19: Antihistamin pada penyakit kulit

b) Pusing

c) Malaise

d) Mialgia

e) Mual

f) Diare

g) Konstipasi

h) Ruam kulit

i) Pruritus

j) Kehilangan libido

k) Impoten

19

Page 20: Antihistamin pada penyakit kulit

BAB III

KESIMPULAN

1. Hipersensitivitas atau alergi menunjukkan suatu kondisi respon imunitas yang

menimbulkan reaksi yang berlebihan, tidak diinginkan (menimbulkan

ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari sistem kekebalan

tubuh sehingga bermanifestasi pada radang atau kerusakan jaringan.

2. Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan oleh

Coomb dan Gell yaitu reaksi hipersensitivitas Tipe I (reaksi cepat), Tipe II

(reaksi sitostatik), Tipe III (reaksi kompleks imun) dan Tipe IV (reaksi alergik

selular tipe lambat).

3. Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek

terhadap tubuh dengan jalan mengeblok reseptor histaminn, yang digolongkan

menjadi Antihistamin Penghambat Reseptor H1 (AH1) dan Anthistamin

Penghambat Reseptor H2 (AH2).

4. Pengguanaan antihistamin H1 dan H2 dalam bidang dermatologi seringkali

digunakan untuk pengobatan gejala dari mastocytosis sistematik, seperti

urtikaria dan pruritus.

20

Page 21: Antihistamin pada penyakit kulit

DAFTAR PUSTAKA

Abhi. 2009. Hipersensitif . Availble from URL : http://abhique.blogspot.com/2009/09.

Agatha Dinar. 2009. Reaksi hipersensitivitas sebagai dasar mekanisme alergi terkait dengan faktor nutrisi. Available from URL : http://sampahtutorial.blogspot.com/2009/07/imunologi urtikariahipersensitivitas.html.

Bratawidjaya, KG. 2006. Imunologi Dasar. Edisi 7. Jakarta: FKUI.

Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2005. Mikrobiologi kedokteran. Ed 1. Jakarta : SalembaMedika.

Christanto, Anton. 2011. Manifestasi Alergi Makanan Pada Telinga, Hidung, Dan Tenggorok. Vol. 38 No. 6 Continuing Medical Education: IDI.

Criado PR, Criado RFJ, Maruta CW, Machado Filho CA. Histamine, Histamine receptors and antihistamines: new concepts. Annals Brazilian of Dermatology, 2010;85(2):195-210.

Djunda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 5. Jakarta: FKUI.

Greaves, MW. Antihistamines in Dermatology. Journal of Skin Pharmacology and Physiology, 2005:18 (5);220-229.

Metrogaya. 2009. Tips mengatasi alergi obat. Available from URL : http://www.metrogaya.com/kesehatan/home/tips-mengatasi-alergi-obat.

Neal, MJ. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi 5. Jakarta: EMS.

Rizwan Ridhani. 2010. Available from URL : http://www.keperawatan.net.

Sudewi, Ni Putu. 2009. Berbagai Teknik Pemeriksaan untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi. Vol. 11, No. 3. Sari Pediatri.

21