111
BAB I PENDAHULUAN Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan pejamu rentan yang terjadi melalui kode transmisi kuman yang tertentu. Organisme yang paling umum yang menginvasi kulit ialah Streptococci, Staphylococcus aureus, dan methicillin- resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Infeksi kulit memiliki dampak negatif pada kualitas hidup pasien. Pasien dengan diabetes dan immunodefisiensi lebih rentan terhadap infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri gram negatif. Infeksi kulit meningkat menjadi kondisi yang paling umum di antara anak-anak di rumah sakit pada tahun 2009. Jumlah pasien yang dirawat inap disebabkan infeksi secara keseluruhan telah meningkat 29% dari tahun 2000 sampai 2004. Di United Kingdom (UK), insidensi infeksi kulit pada anak- anak pada tahun 2005 adalah sekitar 75 per 100 000. Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus, atau kedua-duanya. 1 Penyebabnya yang utama ialah Staphylococcus aureus dan Streptococcus Beta hemolyticus, sedangkan Staphylococcus epidermidis merupakan penghuni normal di kulit dan jarang menyebabkan infeksi. 1 Faktor Predisposisi yaitu Higiene yang kurang, Menurunnya daya tahan. Misalnya: kekurangan gizi, anemia, penyakit kronik, neoplasma ganas dan diabetes melitus. Telah ada 1

penyakit bakteri pada kulit

Embed Size (px)

DESCRIPTION

m

Citation preview

Page 1: penyakit bakteri pada kulit

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan pejamu rentan yang

terjadi melalui kode transmisi kuman yang tertentu. Organisme yang paling umum yang

menginvasi kulit ialah Streptococci, Staphylococcus aureus, dan methicillin-resistant

Staphylococcus aureus (MRSA). Infeksi kulit memiliki dampak negatif pada kualitas hidup

pasien. Pasien dengan diabetes dan immunodefisiensi lebih rentan terhadap infeksi kulit

yang disebabkan oleh bakteri gram negatif. Infeksi kulit meningkat menjadi kondisi yang

paling umum di antara anak-anak di rumah sakit pada tahun 2009. Jumlah pasien yang

dirawat inap disebabkan infeksi secara keseluruhan telah meningkat 29% dari tahun 2000

sampai 2004. Di United Kingdom (UK), insidensi infeksi kulit pada anak-anak pada tahun

2005 adalah sekitar 75 per 100 000. Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh

Staphylococcus, Streptococcus, atau kedua-duanya.1

Penyebabnya yang utama ialah Staphylococcus aureus dan Streptococcus Beta

hemolyticus, sedangkan Staphylococcus epidermidis merupakan penghuni normal di kulit

dan jarang menyebabkan infeksi.1

Faktor Predisposisi yaitu Higiene yang kurang, Menurunnya daya tahan. Misalnya:

kekurangan gizi, anemia, penyakit kronik, neoplasma ganas dan diabetes melitus. Telah

ada penyakit lain di kulit, karena terjadi kerusakan di epidermis, maka fungsi kulit sebagai

pelindung akan terganggu sehingga memudahkan terjadinya infeksi.1

Klasifikasi pyoderma terbagi menjadi pioderma primer, Infeksi terjadi pada kulit

yang normal. Gambaran klinisnya tertentu, penyebabnyabiasanya satu macam

mikroorganisme. Pioderma sekunder Pada kulit yang telah ada penyakit kulit yang lain.

Gambaran klinisnya tidak khas dan mengikuti penyakit kulit yang telah ada. Jika penyakit

kulit disertai pioderma sekunder disebut impetigenisata. Contohnya: Dermatitis

impetigenisata dan skabies impetigenisata. Tanda impetigenisata ialah jika terdapat pus,

pustul, bula purulen, krusta berwarna kuning kehijauan, pembesaran kelenjar getah bening

regional, leukositosis dan demam.1

1

Page 2: penyakit bakteri pada kulit

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pioderma

Infeksi merupakan interaksi antara mikroorganisme dengan pejamu rentan yang

terjadi melalui kode transmisi kuman yang tertentu. Organisme yang paling umum yang

menginvasi kulit ialah Streptococci, Staphylococcus aureus, dan methicillin-resistant

Staphylococcus aureus (MRSA). Infeksi kulit memiliki dampak negatif pada kualitas hidup

pasien. Pasien dengan diabetes dan immunodefisiensi lebih rentan terhadap infeksi kulit

yang disebabkan oleh bakteri gram negatif. Infeksi kulit meningkat menjadi kondisi yang

paling umum di antara anak-anak di rumah sakit pada tahun 2009. Jumlah pasien yang

dirawat inap disebabkan infeksi secara keseluruhan telah meningkat 29% dari tahun 2000

sampai 2004. Di United Kingdom (UK), insidensi infeksi kulit pada anak-anak pada tahun

2005 adalah sekitar 75 per 100 000. Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh

Staphylococcus, Streptococcus, atau kedua-duanya.1

Penyebabnya yang utama ialah Staphylococcus aureus dan Streptococcus Beta

hemolyticus, sedangkan Staphylococcus epidermidis merupakan penghuni normal di kulit

dan jarang menyebabkan infeksi.1

Faktor Predisposisi yaitu Higiene yang kurang, Menurunnya daya tahan. Misalnya:

kekurangan gizi, anemia, penyakit kronik, neoplasma ganas dan diabetes melitus. Telah

ada penyakit lain di kulit, karena terjadi kerusakan di epidermis, maka fungsi kulit sebagai

pelindung akan terganggu sehingga memudahkan terjadinya infeksi.1

Klasifikasi pyoderma terbagi menjadi pioderma primer, Infeksi terjadi pada kulit

yang normal. Gambaran klinisnya tertentu, penyebabnyabiasanya satu macam

mikroorganisme. Pioderma sekunder Pada kulit yang telah ada penyakit kulit yang lain.

Gambaran klinisnya tidak khas dan mengikuti penyakit kulit yang telah ada. Jika penyakit

kulit disertai pioderma sekunder disebut impetigenisata. Contohnya: Dermatitis

impetigenisata dan skabies impetigenisata. Tanda impetigenisata ialah jika terdapat pus,

pustul, bula purulen, krusta berwarna kuning kehijauan, pembesaran kelenjar getah bening

regional, leukositosis dan demam.1

2

Page 3: penyakit bakteri pada kulit

B. Impetigo

1. Definisi

Impetigo secara klinis didefinisikan sebagai penyakit infeksi menular pada kulit

yang superfisial yaitu hanya menyerang epidermis kulit, yang menyebabkan terbentuknya

lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula) seperti tersundut rokok/api. Penyakit ini

merupakan salah satu contoh pioderma yang sering dijumpai di bagian Ilmu Penyakit Kulit

dan Kelamin.Terdapat dua jenis impetigo yaitu impetigo bulosa yang disebabakan oleh

Stafilokokus aureus dan non-bulosa yang disebabkan oleh Streptokokus β hemolitikus.

Dasar infeksinya adalah kurangnya hygiene dan terganggunya fungsi kulit.2,3

2. Epidemologi

Di Amerika Serikat, kurang lebih 9 ± 10 % dan anak-anak yang datang ke klinik kulit

menderita impetigo. Perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah

sama. Impetigo lebih sering menyerang anak-anak, jenis yang terbanyak (kira-kira 90%)

adalah impetigo bullosa yang terjadi pada anak yang berusia kurang dan 2 tahun. Impetigo

menyebar melalui kontak langsung dengan lesi (daerah kulit yang terinfeksi). Di Inggris

kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada

anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan impetigo krustosa.nsiden impetigo ini terjadi

hampir di seluruh dunia. Paling sering mengenai usia 2-5 tahun, umumnya mengenai anak

yang belum sekolah, namun tidak menutup kemungkinan untuk semua umur dimana

frekuensi laki-laki dan wanita sama. Di Amerika Serikat, merupakan 10% dari masalah

kulit yang dijumpai pada klinik. Kebanyakan kasus ditemukan di daerah tropis atau

beriklim panas serta pada negara-negara yang berkembang dengan tingkat ekonomi

masyarakatnya masih tergolong lemah atau miskin.4

Penelitian pada tahun 2005 menunjukkan S. aureus sebagai pathogen terbanyak yang

menyebabkan baik impetigo bulosa dan impetigo non bulosa pada Amerika dan Eropa,

sementara itu Streptococcus pyogenes pada negara berkembang. Kebanyakan infeksi

bermula sebagai infeksi Streptokokus tetapi kemudian Staphylococci mengantikan

streptokokus. Selain dapat menyebabkan manifest pyoderm primer dan kulit yang utuh,

dapat juga menyebabkan infeksi sekunder dari penyakit kulit yang ada sebelumnya atau

pada kulit yang terkena trauma, yang disebut dengan dermatitis impetigenisata. Impetigo

jarang berkembang menjadi infeksi sistemik, walaupun post streptococcal

3

Page 4: penyakit bakteri pada kulit

glomerulonepritis yang merupakan komplilkasi pada infeksi GABHS dapat terjadi

walaupun jarang. Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain

setelah rnenggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah atau

tempat penitipan anak dan juga pada tempat dengan higiene yang buruk atau tempat tinggal

yang padat penduduk.5

3. Faktor Predisposisi

Faktor-faktor pencetus terjadinya Pioderma, antara lain:

a. Higiene yang kurang;

b. Menurunnya daya tahan tubuh; misalnya karena kekurangan gizi, anemia, atau

penyakitpenyakit tertentu seperti penyakit kronis, neoplasma ganas, dan diabetes mellitus

c. Telah ada penyakit lain di kulit; karena terjadi kerusakan di epidermis, maka fungsi

kulit sebagai pelindung akan terganggu.4

4. Klasifikasi Impetigo

Terdapat dua bentuk dari impetigo, yaitu:

a) Impetigo Krustosa (impetigo kantagiosa, impetigo vulgaris, impetigo TiliburyFox)

Impetigo krustosa, disebabkan biasanya oleh Streptococcus B hemolyticus.Tidak

disertai gejala umum, hanya terdapat pada anak.Tempat predileksi di muka, yakni sekitar

lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber infeksi dan daerah tersebut. Kelainan

kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat memecah sehingga jika pendenita datang

berobat yang terlihat ialah krusta tebal berwama kuning seperti madu. Jika krusta

dilepaskan akan tampak erosi dibawahnya, krusta sering menyebar ke penifer dan sembuh

di bagian tengah. Komplikasinya glomerulonefritis (2-5%), yang disebabkan oleh sero tipe

tertentu. Diagnosis bandingnya adalah Ektima. Pengobatan yang dipakai jika krusta sedikit,

lepaskan krusta dan diberi antibiotik. Jika krusta banyak, diberikan pengobatan antibiotik

sistemik.2,3

.

4

Page 5: penyakit bakteri pada kulit

Gambar 1. Impetigo Krustosa

Gambar 2. Impetigo Krustosa

b) Impetigo bulosa (Impetigo vesiko-bulosa, cacar monyet)

Impetigo bulosa biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, keadaan umum tidak

dipengaruhi, dengan predileksi di daerah ketiak, dada, punggung.Sering bersama-saina

miliaria, terdapat pada anak dan orang dewasa.Kelainan kulit berupa eritema, bula dan hula

hipopion.Kadang-kadang saat datang berobat, vesikel/bula sudah memecah sehingga yang

tampak hanyalah koleret dan dasamya masih eritematosa. Diagnosis banding dan impetigo

ini adalah dermatofitosis (jika sudah pecah dan tampak koleret).

Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah sebelumnya terdapat lepuh. Jika ada,

diagnosisnya adalah impetigo bullosa. Pengobatannya jika hanya terdapat beberapa vesikel

bula ditangani dengan cara memecahkan bula, lalu berikan salep antibiotik atau cairan

antiseptik. Jika bula vesikel banyak maka berikan pula antibiotic sistemik.2,4

5

Page 6: penyakit bakteri pada kulit

Gambar 3. Impetigo Bullosa

5. Patofisiologi Impetigo

Infeksi Staphylococcus aureus atau Group A Beta Hemolitik Streptococcus

dimana kita ketahui bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan penyakit berkat

kemampuannya mengadakan pembelahan dan menyebar luas ke dalam jaringan dan

melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut adalah enzim

dan yang lain berupa toksin meskipun fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus

dapat menghasilkan katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin

eksfoliatif, toksik sindrom syok toksik, dan enterotoksin. Bakteri staph menghasilkan racun

yang dapat menyebabkan impetigo menyebar ke area lainnya. Toxin ini menyerang protein

yang membantu mengikat sel-sel kulit. Ketika protein ini rusak, bakteri akan sangat cepat

menyebar. Enzim yang dikeluarkan oleh Stap akan merusak struktur kulit dan adnya rasa

gatal dapat menyebabkan terbentuknya lesi pada kulit.

Rasa gatal dengan lesi awal berupa makula eritematosa berukuran 1-2 mm,

kemudian berubah menjadi bula atau vesikel. Pada Impetigo contagiosa Awalnya berupa

warna kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan padat dengan diameter

<0,5cm) yang berukuran 2-5 mm. Lesi papul segera menjadi vesikel atau pustul (papula

yang berwarna keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah pecah dan menjadi papul

dengan keropeng/koreng berwarna kunig madu dan lengket yang berukuran <2cm dengan

kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan disekelilingnya, sekret seropurulen kuning

kecoklatan yang kemudian mengering membentuk krusta yang berlapis-lapis. Krusta

mudah dilepaskan, di bawah krusta terdapat daerah erosif yang mengeluarkan sekret,

sehingga krusta akan kembali menebal. Sering krusta menyebar ke perifer dan menyembuh

di bagian tengah. Kemudian pada Bullous impetigo bula yang timbul secara tiba tiba pada

6

Page 7: penyakit bakteri pada kulit

kulit yang sehat dari plak (penonjolan datar di atas permukaan kulit) merah, berdiameter 1-

5cm, pada daerah dalam dari alat gerak (daerah ekstensor), bervariasi dari miliar sampai

lentikular dengan dinding yang tebal, dapat bertahan selama 2 sampai 3 hari. Bila pecah,

dapat menimbulkan krusta yang berwarna coklat, datar dan tipis.2,4

6. GejalaKlinis

Impetigo dapat timbul sendiri (primer) atau komplikasi dan kelainan lain (sekunder)

baik penyakit kulit (gigitan binatang, vanisela, infeksi herpes simpleks, dermatitis atopi)

atau penyakit sistemik yang menurunkan kekebalan tubuh (diabetes melitus, HIV) 3.

a. Impetigo Bulosa

Vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter <0,5cm) yang timbul sampai bulla

(gelembung berisi cairan berdiameter >0,5cm) kurang dan 1 cm pada kulit yang utuh,

dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang

jernih yang berubah menjadi berwarna keruh

Atap dan bulla pecah dan meninggalkan gambaran ‘collarette’ pada pinggirnya. Krusta

‘varnishlike’ terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan memperlihatkan dasar

yang merah dan basah

Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh

Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat menyertai

dermatitis atopi, vanisela, gigitan binatang dan lain-lain.

Lesi dapat lokal atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat lain, sepertitempat yang

lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher.

Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi.

Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gej ala demam, lemah, diare. Jarang

sekali disetai dengan radang pam, infeksi sendi atau tulang.4,2

b. Impetigo Krustosa

Awalnya berupa wama kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan padat

dengan diameter <0,5cm) yang berukuran 2-5 mm.

Lesi papul segera menjadi menjadi vesikel atau pustul (papula yang berwarna

keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah pecah dan menjadi papul dengan

7

Page 8: penyakit bakteri pada kulit

keropeng/koreng berwarna kuning madu dan lengket yang berukuran <2cm dengan

kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan disekelilingnya.

Lesi muncul pada kulit normal atau kulit yang kena trauma sebelumnya atau mengikuti

kelainan kulit sebelumnya (skabies, vasisela, dermatitis atopi) dan dapat menyebar

dengan cepat.

Lesi berada sekitar hidung, mulut dan daerah tubuh yang sering terbuka (tangan dan

kaki).

Kelenjar getah bening dapat menbesar dan dapat nyeri

Lesi juga menyebar ke daerah sekitar dengan sendirinya (autoinokulasi)

Jika dibiarkan tidak diobati maka lesi dapat menyebar terus karena tindakan din sendiri

(digaruk lalu tangan memegang tempat lain sehingga mengenai tempat lain).

Lalu dapat sembuh dengan sendininya dalarn beberapa minggu tanpajaringan parut.

Walaupun jarang, bengkak pada kaki dan tekanan darah tinggi dapat ditemukan pada

orang dengan impetigo krustosa sebagai tanda glomerulonefritis (radang pada ginjal)

akibat reaksi tubuh terhadap infeksioleh kuman Sfreptokokus penyebab impetigo.4,2

7. Diagnosis banding

Lupus eritematosa bullosa : lesi vesikel dan bula yang menyebar dapat gatal, seringkali

melibatkan bagian atas badan dan daerah lengan

Pemfigus bulosa : vesikel dan bula timbul cepat dan gatal menyeluruh, dengan plak

urtikaria

Herpes simplex : vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang pecah menjadi lecet

dan tertutup krusta, biasanya pada bibir dan kulit

Pemfigus vulgaris : bulla yang tidak gatal, ukuran bervariasi dan 1 sampai beberapa

sentimeter, muncul bertahap dan menjadi menyeluruh penyembuhan dengan

hiperpigmentasi (warna kulit yanglebih gelap dan sebeluinnya).

Varisela: vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ke tangan kaki

dan wajah; vesikel pecah dan membentuk krusta; -lesi terdapat pada beberapa tahap

(vesikel, krusta) pada saat yang sama.

8

Page 9: penyakit bakteri pada kulit

Dermatitis atopi : keluhan gatal yang berulang atau berlangsung lama (kronik) dan kulit

yang kering; penebalan pada pada lipatan kulit terutama pada dewasa (likenifikasi); pada

anak seringkali melibatkan daerah wajah atau tangan bagian dalam.

Dermatitis kontak: gatal pada daerah sensitif yang kontak dengan zat-zat yang

mengiritasi.

Ektima: lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus (luka dengan dasar dan dinding) dapat

menetap selama beberapa minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila infeksi sampai

jaringan kulit dalam (dermis).1,4,5

8. Pemeriksaan Penunjang

Pada keadaan khusus, dimana diagnosis impetigo masih diragukan, atau pada suatu

daerah dimana impetigo sedang mewabah, atau pada kasus yang kurang berespons

terhadap pengobatan, maka diperlukan pemeriksaan-pemeniksaan sebagai berikut:

1) Pemeriksaan Laboratorium

Pewarnaan gram. Pada pemeriksaan ini akan mengungkapkan adanya neutropil

dengan kuman coccus gram positif berbentuk rantai atau kelompok.

Kultur cairan. Pada pemeriksaan mi umuinnya akan mengungkapkan adanya

Streptococcus. aureus, atau kombinasi antara Streptococcus pyogenes dengan

Streptococcus beta hemolyticus grup A (GABHS), atau kadang-kadang dapat berdiri

sendiri.

2) Pemeriksaan Lain:

Titer anti-streptolysin-O (ASO), mungkin akan menunjukkan hasil positif lemah untuk

streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan. Streptozyme, menunjukkan

hasil positif untuk Streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan.

Pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri

9.Terapi

Tujuan pengobatan impetigo adalah menghilangkan rasa tidak nyaman dan

memperbaiki kosmetik dan lesi impetigo, mencegah penyebaran infeksi ke orang lain dan

mencegah kekambuhan

a. Penatalaksanaan Farmakologis

9

Page 10: penyakit bakteri pada kulit

Syarat pengobatan yang baik adalah pengobatan harus efektif, tidak mahal dan

memiliki sedikit efek samping. Antibiotik topikal (lokal) menguntungkan karena hanya

diberikan pada kulit yang teriafeksi sehingga meminimalkan efek samping. Kadangkala

antibiotik topikal dapat menyebabkan reaksi sensitifitas pasa kulit orang-orang tertentu.

Pada lesi yang terlokalisir maka pemberian antibiotik topilcal diutamakan. Karena

antibiotilc topikal sama efektiffiya dengan antibiotik oral. Pilihan antibiotik topikal adalah

mupirocin 2% atau asam fusidat. Antibiotilc oral disimpan untuk kasus dimana pasien

sensitif terhadap antibiotik topikal, lesi lebih luas atau dengan penyakit penyerta yang

berat.Penggunaan disinfektan topikal tidak direkomendasikan dalam pengobatan

impetigo.Obat topikal yang diberikan mupirocin 2% diberikan di kulit yang terinfeksi 3x

sehari selania tiga sampai lima hari. Antibiotik oral yang dapat diberikan adalah

Amoxicillin dengan asam kiavulanat; cefuroxime;cephalexin; dieloxacillin;

atauenitromiein selama 10 hari.

10. Komplikasi

Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam dua minggu walaupun tidak diobati.

kómplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi Streptokokus terjadi pada 1-5% pasien

terutama isia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik. Gejala

berupa bengkak tekanan darah tinggi, terdapat urin seperti warna teh. Keadaan ini

umumnya sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul.2

11. Pencegahan

Kebersihan sederhana dan perhatian dapat mencegah timbulnya impetigo

Seseorang yang sudah terkena impetigo atau gejala-gejala rnfeksi/peradangan

Streptococcus beta hemolyticus grup A (GABHS) membuthkan perawatan medik dan jika

perlu dimulai dengan ,pemberian antibiotik secepat mungkin untuk mencegah

menyebamya infeksi ke orang lain. Penderita impetigo harus diisolasi, dan dicegah agar

tidak terjadi kontak dengan orang lain minimal dalam 24 jam setelah pemberian antibiotik.

Adapun pencegahan yang harus di lakukan yaitu :

Cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir bila habis kontak dengan

pasien, terutama apabila terkena luka.

Jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita

10

Page 11: penyakit bakteri pada kulit

Bersihkan dan lakukan desinfektan pada mainan yang mungkin bisa menularkan

pada orang lain, setelah digunakan pasien

Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun

dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitif)

Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap pendek

dan bersih

Jauhkan diri dari orang dengan impetigo

Cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang

lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau

pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan disinfektan.

Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang

terinfeksi dan cuci tangan setelah itu.3,4

12. Prognosis

Secara umum prognosis dari penyakit ini adalah baik jika dilakukan pengobatan

yang teratur, meskipun dapat pula komplikasi sistemik seperti glomerulonefritis dan lain-

lain. Lesi mengalami perbaikan setelah 7-10 hari pengobatan.2,4

C. Folikulitis

1. Definisi

Folikulitis adalah radang follikel rambut yang disebabkan Staphylococcus aureus.

Biasanya dijumpai di daerah dimana adanya follikel rambut. Kelainanya berupa pustul

dan papul yang eritematosa dan ditenganhnya terdapat rambut yang biasanya multiple.1

Radang folikel rambut, terutama disebabkan oleh S.aureus. Terdapat dua jenis

yaitu folikulitis superfisialis yaitu bila lesi hanya sampai di epidermis dan folikulitis

profunda bila lesi mencapai dermis.6

11

Page 12: penyakit bakteri pada kulit

Gambar 4. Folikulitis

2. Epidemiologi

Folikulitis dapat mengenai semua umur, tetapi lebih sering di jumpai pada anak–

anak dan folikulitis juga tidak di pengaruhi oleh jenis kelamin. Jadi pria dan wanita

memiliki angka resiko yang sama untuk terkena folikulitis, dan folkulitis lebih sering

timbul pada daerah panas atau beriklim tropis.7

3. Patofisiologi

Setiap rambut tumbuh dari folikel, yang merupakan suatu kantung kecil di

bawahkulit. Selain menutupi seluruh kulit kepala, folikel juga terdapat pada seluruh

tubuh kecuali pada telapak tangan, telapak kaki dan membrane mukosa bibir.

Folikulitis bisadi sebabkan oleh karena minyak ataupun pelumas dan keringat

berlebihan yangmenutupi dan menyumbat saluran folikel rambut. Bisa juga di

sebabkan oleh gesekansaat bercukur atau gesekan pakaian pada folikel rambut maupun

trauma atau luka padakulit. Hal ini merupakan port de entry dari berbagai

mikroorganisme terutama staphylococcus aureus sebagai penyebab folikulitis.

Kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk menjadi faktor pemicu dari timbulnya

folikulitis, sedangkan keadaan lelah, kurang gizi dan diabetes melitus merupan faktor

yang mempercepat atau memperberat folikulitis ini.7

4. Klasifikasi

Berdasarkan lokasinya dalam jaringan, kulit folikulitis folikulitis terbagi atas 2

jenis yaitu :

Folikulitis superfisialis

Folikulitis Superfisialis adalah radang folikel rambut dengan pustul berdinding

tipis pada orifisium folikel yang terbatas pada epidermis.

12

Page 13: penyakit bakteri pada kulit

Folikulitis Profunda

Folikulitis Profunda adalah radang folikel rambut dengan pustul perifolikular

kronik yang di tandai dengan adanya papul, pustul dan sering terjadirekurensi,

merupakan folikulitis piogenik dengn infeksi yang meluas kedalam folikel rambut

sampai subkutan.7

5. Gejala Klinis

Secara umum folikulitis menimmbulkan rasa gatal seperti terbakar pada daerah

rambut. Gejala konstitusional yang sedang juga dapat muncul pada folikulitis seperti

badan panas, malaise dan mual. Pada folikulitis superfisialis gambaran klinisnya

ditandai dengan timbulnya rasa gatal dan agak nyeri, tetapi biasanya tidak terlalu

menyakitkan hanya seperti gigitan serangga, tergores atau akibat garukan dan

traumakulit lainnya. Kelainan di kulitnya dapat berupa papul atau pustul yang

erimatosa dan di tengahnya terdapat rambut dan biasanya multiple serta adanya krusta

di sekitar daerah inflamasi. Tempat predileksi biasanya pada tungkai bawah. Folikulitis

superfisialis ini dapat sembuh sendiri setelah beberapa hari tanpa meninggalkan

jaringan parut. Pada folikulitis profunda gambaran klinisnya hampir sama

sepertifolikulitis superfisialis. Folikulitis profunda ini terasa sangat gatal yang di sertai

rasa terbakar serta teraba infiltrat di subkutan yang akhirnya dapat meninggalkan

jaringan parut apabila taelah sembuh.7

6. Diagnosis

Diagnosa di tegakkan berdasarkan anamnesa, gambaran klinis, pemeriksaan

bakteriologis dari sekret lesi dan kalau mendukung bisa dilakukan pemeriksaan

histopatologi. Pada pemeriksaan histopatologi pada folikel rambut tampak edematosa

dengan sebukan sel radang.7

7. Diagnosis Banding

Diagnosa banding dari folikulitis adalah :

Tinea Barbae.

Acne Vulgaris.

Kertosis Piliaris

13

Page 14: penyakit bakteri pada kulit

8. Pentalaksanaan

Folikulitis kadang dapat sembuh sendiri setelah dua atau tiga hari, tetapi pada

beberapa kasus yang persisten dan rekuren perlu penanganan.

1. Umum

Cukup dengan menjaga kebersihan diri terutama kulit, menghindari garukandan

faktor pencetus seperti gesekan pakaian atau mencukur dan luka atautrauma.2.

Khusus, terbagi 2 yaitu secara tropikal dan secara sistemik.

Topikal, dapat di berikan antibiotik misalnya :

Kemicetin salap 2 %

Kompres PK 1/ 5000 solusio sodium chloride 0,9 %( jika ada eksudasi)

Salep natrium fusidat.

Sistemik, dapat diberikan :

Antibiotik (umumnya di berikan 7–10 hari) misalnya :

Penisilin dan semisintetiknya.

a. Penisilin G prokain injeksi 0,6 –1,2 juta IU, IM selama 7 –14 hari, 1 –2 kali/

hari.

b. Ampisilin 250–500 mg/ dosis, 4 kali/ haric. Amoksisilin, 250–500 mg/ dosis,

3 kali/ harid.

c. Kloksasilin ( untuk staphylococcus yang kebal penisilin),dosis 250-500 mg, 4

kali / hari.

d. Dikloksasilin ( untuk staphylococcus yang kebalpenisilin), dosis 125 –250

mg, 3 -4 kali/ hari.

Eritromisin 250 –500 mg 3–4 kali/ hari(dewasa) dan 12,5 –25mg/kbBB/ dosis

3 –4 kali/ hari(anak).

Klindamisin 150 –300 mg 3 –4 kali/ hari (dewasa) dan 8–20mg/ kgBB/ dosis

3- 4 ksli/ hsri(anak).

Penggunaan antiseptik dapat di berikan sebagai terapi tambahan (misalnya :

Chlorhexidine) tetapi jangan di gunakan tanpa pemberian antibiotik sistemik.

Dianjurkan pemberian antibiotik sistemik dengan harapan dapat mencegah terjadinya

infeksi kronik.7

14

Page 15: penyakit bakteri pada kulit

9. Prognosa

Prognosa penyakit folikulitis ini adalah Baik.

D. Furunkel, karbunkel

1. Definisi

Furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan subkutan

sekitarnya. Furunkel dapat terbentuk pada lebih dari satu tempat. Jika lebih dari satu

tempat disebut furunkulosis. Furunkulosis dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara

lain akibat iritasi, kebersihan yang kurang, dan daya tahan tubuh yang kurang. Infeksi

dimulai dengan adanya peradangan pada folikel rambut dikulit (folikulitis), kemudian

menyebar kejaringan sekitarnya. Furunkel dapat disebut juga sebagai bisul.8

Karbunkel adalah satu kelompok beberapa folikel rambut yang terinfeksi oleh

Staphylococcus aureus, yang disertai oleh keradangan daerah sekitarnya dan juga

jaringan dibawahnya termasuk lemak bawah kulit.8

Gambar 5. Furunkel

Gambar 6. Karbunkel

15

Page 16: penyakit bakteri pada kulit

2. Epidemiologi

Penyakit ini memiliki insidensi yang rendah. Belum terdapat data spesifik yang

menunjukkan prevalensi furunkel. Furunkel umumnya terjadi pada anak-anak, remaja

sampai dewasa muda frekuensi terjadinya antara pria dan wanita.8

3. Etiologi

Permukaan kulit normal atau sehat dapat dirusak oleh karena iritasi,tekanan,

gesekan, hiperhidrosis, dermatitis, dermatofitosis, dan beberapa factor yang lain,

sehingga kerusakan dari kulit tersebut dipakai sebagai jalan masuknya Staphylococcus

aureus maupun bakteri penyebab lainnya. Penularannya dapat melalui kontak atau auto

inokulasi dari lesi penderita. Furunkulosis dapat menjadi kelainan sistemik karena

faktor predisposisi antara lain, alcohol, malnutrisi,diskrasia darah, iatrogenic atau

keadaan imunosupresi termasuk AIDS dan diabetes mellitus.

4. Patogenesis

Kulit memiliki flora normal, salah satunya S.aureus yang merupakan floraresiden

pada permukaan kulit dan kadang-kadang pada tenggorokan dan saluran hidung.

Predileksi terbesar penyakit ini pada wajah, leher, ketiak, pantat atau paha. Bakteri

tersebut masuk melalui luka, goresan, robekan dan iritasi pada kulit.Selanjutnya,

bakteri tersebut berkolonisasi di jaringan kulit. Respon primer host terhadap infeksi

S.aureus adalah pengerahan sel PMN ke tempat masuk kuman tersebut untuk melawan

infeksi yang terjadi. Sel PMN ini ditarik ke tempat infeksi oleh komponen bakteri

seperti formylated peptides atau peptidoglikan dan sitokin TNF (tumor necrosis factor)

dan interleukin (IL) 1 dan 6 yang dikeluarkan oleh sel endotel dan makrofag yang

teraktivasi. Hal tersebut menimbulkan inflamasi dan pada akhirnya membentuk pus

yang terdiri dari sel darah putih, bakteri dan sel kulit yang mati.

Didapatkan keluhan utama dan keluhan tambahan pada perjalanan dari penyakit

furunkel. Lesi mula-mula berupa infiltrat kecil, dalam waktu singkat. membesar

kemudian membentuk nodula eritematosa berbentuk kerucut. Kemudian pada tempat

rambut keluar tampak bintik-bintik putih sebagai mata bisul. Nodus tadi akan melunak

(supurasi) menjadi abses yang akan memecah melalui lokus minoris resistensi yaitu di

muara folikel, sehingga rambut menjadi rontok atau terlepas. Jaringan nekrotik keluar

16

Page 17: penyakit bakteri pada kulit

sebagai pus dan terbentuk fistel. Karena adanya mikrolesi baik karena garukan atau

gesekan baju, maka kuman masuk ke dalam kulit. Beberapa faktor eksogen yang

mempengaruhi timbulnya furunkel yaitu, musim panas (karena produksi keringat

berlebih), kebersihan dan hygiene yang kurang, lingkungan yang kurang bersih.

Sedangkan faktor endogen yang mempengaruhi timbulnya furunkel yaitu, diabetes,

obesitas, hiperhidrosis,anemia, dan stres emosional.

Gambar 7. Klasifikasi dari infeksi bakterial pada folikel rambut

5. Gejala Klinis

Mula-mula nodul kecil yang mengalami keradangan pada folikel rambut,

kemudian menjadi pustule dan mengalami nekrosis dan menyembuh setelah pus keluar

dengan meninggalkan sikatriks. Awal juga dapat berupa macula.eritematosa lentikular

setempat, kemudian menjadi nodula lentikular setempat,kemudian menjadi nodula

lentikuler-numular berbentuk kerucut. Nyeri terjadi terutama pada furunkel yang akut,

besar, dan lokasinya dihidung dan lubang telinga luar. Bisa timbul gejala kostitusional

yang sedang,seperti panas badan, malaise, mual. Furunkel dapat timbul di banyak

tempat dan dapat sering kambuh. Predileksi dari furunkel yaitu pada muka, leher,

lengan,pergelangan tangan, jari-jari tangan, pantat, dan daerah anogenital.

6. Diagnosa

Diagnosa dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan klinis,pemeriksaan

bakteriologi dari sekret.

a. Anamnesa

17

Page 18: penyakit bakteri pada kulit

Penderita datang dengan keluhan terdapat nodul yang nyeri. Ukuran nodul

tersebut meningkat dalam beberapa hari. Beberapa pasien mengeluh demam dan

malaise.

b. Pemeriksaan Fisik Terdapat nodul berwarna merah, hangat dan berisi pus.

Supurasi terjadisetelah kira-kira 5-7 hari dan pus dikeluarkan melalui saluran

keluar tunggal (single follicular orifices). Furunkel yang pecah dan kering

kemudian membentuk lubang yang kuning keabuan ireguler pada bagian tengah

dan sembuh perlahandengan granulasi.

c. Pemeriksaan Penunjang Furunkel biasanya menunjukkan leukositosis.

Pemeriksaan histologis dari furunkel menunjukkan proses inflamasi dengan PMN

yang banyak di dermis dan lemak subkutan. Diagnosis dapat ditegakkan

berdasarkan gambaran klinis yang dikonfirmasi dengan pewarnaan gram dan

kultur bakteri. Pewarnaan gram S.aureus akan menunjukkan sekelompok kokus

berwarna ungu (gram positif) bergerombol seperti anggur, dan tidak bergerak.

Kultur pada medium agar MSA(Manitot Salt Agar) selektif untuk S.aureus.

Bakteri ini dapat memfermentasikan manitol sehingga terjadi perubahan medium

agar dari warna merah menjadi kuning. Kultur S. aureus pada agar darah

menghasilkan koloni bakteri yang lebar (6-8 mm), permukaan halus, sedikit

cembung, dan warna kuning keemasan. Uji sensitivitas antibiotik diperlukan

untuk penggunaan antibiotik secara tepat.

Gambar 8. Gambaran Mikroskopik S.aureus dengan Pengecatan Gram

18

Page 19: penyakit bakteri pada kulit

Gambar 9. Hasil Kultur S.aureus dalam Medium Agar Darah dan Hasil Kultur S.

aureus dalam Medium MSA.

7. Diagnosa Banding

a. Kista Epidermal

Diagnosa banding yang paling utama dari furunkel adalah kista epidermalyang

mengalami inflamasi. Kista epidermal yang mengalami inflamasi dapatdengan

tiba-tiba menjadi merah, nyeri tekan dan ukurannya bertambah dalam satuatau

beberapa hari sehingga dapat menjadi diagnosa banding furunkel.

Diagnosabanding ini dapat disingkirkan berdasarkan terdapatnya riwayat kista

sebelumnya pada tempat yang sama, terdapatnya orificium kista yang terlihat

jelas dan penekanan lesi tersebut akan mengeluarkan masa seperti keju yang

berbau tidak sedap sedangkan pada furunkel mengeluarkan material purulen.

b. Hidradenitis Suppurativa

Hidradenitis suppurativa (apokrinitis) sering membuat salah diagnosis furunkel.

Berbeda dengan furunkel, penyakit ini ditandai oleh abses steril dan sering

berulang. Selain itu, daerah predileksinya berbeda dengan furunkel yaitu pada

aksila, lipat paha, pantat atau dibawah payudara. Adanya jaringan parut yanglama,

adanya saluran sinus serta kultur bakteri yang negatif memastikan diagnosis

penyakit ini dan juga membedakannya dengan furunkel.

19

Page 20: penyakit bakteri pada kulit

c. Sporotrikosis Merupakan kelainan jamur sistemik, timbul benjolan-benjolan yang

berjejer sesuai dengan aliran limfe, pada perabaan terasa kenyal dan terdapat

nyeritekan.

d. Blastomikosis

Didapatkan benjolan multipel dengan beberapa pustula, daerah sekitarnya

melunak.

e. Skrofuloderma

Biasanya berbentuk lonjong, livid, dan ditemukan jembatan-jembatan kulit (skin

bridges).

8. Penatalaksanaan

Pada furunkel di bibir atas pipi dan karbunkel pada orang tua sebaiknyadirawat

inapkan. Pengobatan topikal, bila lesi masih basah atau kotor dikompresdengan solusio

sodium chloride 0,9%. Bila lesi telah bersih, diberi salep natrium fusidat atau

framycetine sulfat kassa steril.Antibiotik sistemik mempercepat resolusi penyembuhan

dan wajibdiberikan pada seseorang yang beresiko mengalami bakteremia. Antibiotik

diberikan selama tujuh sampai sepuluh hari. Lebih baiknya, antibiotik diberikansesuai

dengan hasil kultur bakteri terhadap sensitivitas antibiotik.

Bila infeksi berasal dari methicillin resistent Streptococcus aureus (MRSA) dapat

diberikan vankomisin sebesar 1 gram tiap 12 jam. Pilihan lain adalahtetrasiklin, namun

obat ini berbahaya untuk anak-anak. Terapi pilihan untuk golongan penicilinase-

resistant penicillin adalah dicloxacilin Pada penderita yangalergi terhadap penisilin

dapat dipilih golongan eritromisin. Pada orang yangalergi terhadap β -lactam antibiotic

dapat diberikan vancomisin. Tindakan insisi dapat dilakukan apabila telah terjadi

supurasi. Higienekulit harus ditingkatkan. Jika masih berupa infiltrat, pengobatan

topikal dapatdiberikan kompres salep iktiol 5% atau salep antibotik. Adanya penyakit

yang mendasari seperti diabetes mellitus, harus dilakukan pengobatan yang tepat

danadekuat untuk mencegah terjadinya rekurensi. Terapi anti mikrobial harus

dilanjutkan sampai semua bukti inflamasi berkurang. Lesi yang di drainase harus

ditutupi untuk mencegah autoinokulasi. Pasien dengan furunkel yang berulang

memerlukan evaluasi dan penanganan lebih komplek.

20

Page 21: penyakit bakteri pada kulit

9. Prognosis

Prognosis baik sepanjang faktor penyebab dapat dihilangkan, dan prognosis

menjadi kurang baik apabila terjadi rekurensi. Umumnya pasienmengalami resolusi,

setelah mendapatkan terapi yang tepat dan adekuat. Beberapapasien mengalami

komplikasi bakteremia dan bermetastasis ke organ lain.Beberapa pasien mengalami

rekurensi, terutama pada penderita dengan penurunan kekebalan tubuh.

E. Eritrasma

1. Definisi

Eritrasma ialah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan

oleh Corynebacterium minitussismum ditandai dengan adanya lesi berupa eritema dan

skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha.

Gambar 10. Eritrasma

2. Etiologi

Seperti yang telah disebutkan di atas etiologi dari penyakit ini adalah

Corynebacterium minitussismum Bakteri ini adalah bakteri gram positif (difteroid)

Bakteri ini tidak membentuk spora dan merupakan basil yang bersifat aerob atau

anaerob yang fakultatif. Corynebacterium minitussismum merupakan flora normal di

kulit yang dapat menyebabkan infeksi epidermal superfisial pada keadaan-keadaan

tertentu.

21

Page 22: penyakit bakteri pada kulit

3. Gejala Klinis

Lesi kulit dapat berukuran sebesar miliar sampai plakat. Lesi

eritoskuamosa, berskuama halus kadang-kadang dapat terlihat merah kecoklat-

coklatan.Variasi ini rupanya bergantung pada area lesi dan warna kulit

penderita. Tempat predileksi dimulai dari tempat yang paling sering, yakni toe

webspaces (diantara jari kaki), lipat paha, aksila. Selain itu, juga bisa ditemukan di

daerah intertriginosa lain (terutama pada penderita gemuk),intergluteal,

inframamary ( submammary).

Lesi didaerah lipat paha dapat menunjukkan gejala berupa gatal dan terasa

terbakar .Sedangkan lesi pada tempat lain asimtomatik. Perluasan lesi terlihat pada

pinggir yang eritematosa dan serpiginosa. Lesi tidak menimbulkan dan tidak terlihat

vesikulasi.Skuama kering yang halus menutupi lesi dan pada perabaan terasa

berlemak . Beberapa penulis beranggapan ada hubungan erat antara eritrasma dan

diabetes melitus. Penyakit ini terutama menyerang pria dewasa dan dianggap tidak

begitu menular, berdasarkan observasi pada pasangan suami istri yang biasanya tidak

terserang penyakit tersebut secara bersama-sama. Eritrasma tidak menimbulkan

keluhan subyektif, kecuali bila terjadi ekzematisasi oleh karena penderita berkeringat

banyak atau terjadi maserasi pada kulit.

4. Diagnosis

Pemeriksaan terdiri atas pemeriksaan dengan lampu Wood dan sediaan langsung.

Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, lesi terlihat berfluoresensi merah membara

(coral-red). Fluoresensi ini terlihat karena adanya porfirin. Pencucian atau pembersihan

daerah lesi sebelum diperiksa akan mengakibatkan hilangnya fluoresensi. Bahan untuk

sediaan langsung dengan cara mengerok. Lesi dikerok dengan skalpeltumpul atau

pinggir gelas obyek. Bahan kerokan kulit ditambah satu tetes eter, dibiarkan menguap.

Bahan tersebut yang lemaknya sudah dilarutkan dan kering ditambah birumetilen atau

biru laktofenol, ditutup dnegan gelas penutup dan dilihat di bawah mikroskopdengan

pembesaran 10x100. Bila sudah ditambah biru laktofenol, susunan benang halus belum

terlihat nyata, sediaan dapat dipanaskan sebentar di atas api kecil dan gelas penutup

ditekan, sehingga preparat menjadi tipis. Organisme terlihat sebagai batang pendek

22

Page 23: penyakit bakteri pada kulit

halus, bercabang, berdiameter 1u atau kurang, yang muda putus sebagai bentuk basil

kecil atau difteroid .Pemeriksaan harus teliti untuk melihat bentuk terakhir ini. Kultur

biasanya tidak diperlukan.

5. Diagnosis banding

Kelainan kulit kronik, non-inflamasi pada daerah intertriginosa, yang

berwarnamerah kecoklatan,dilapisi skuama halus merupakan tanda eritrasma.

Pemeriksaan dengan lampu Wood dan sediaan langsung KOH dapat menentukan

diagnosis. Pitiriasis versicolor biasanya tidak terbatas pada daerah intertriginosa.

Pemeriksaan dengan lampu Wood dan sediaan langsung dapat membedakan kedua

penyakit tersebut.Tinea kruris dan dermatitis seboroik, maupun dermatitis kontak lebih

nyata tanda radangnya, apalagi bila terlihat vesikulasi.

6. Penatalaksanaan

Eritromisin merupakan obat pilihan. Satu gram sehari (4x250mg) untuk 2-3

minggu. Obat topikal, misalnya salap tetrasiklin 3% juga bermanfaat. Demikian pula

obat antijamur yang baru yang berspektrum luas. Hanya pengobatan topikal

memerlukan lebih ketekunandan kepatuhan penderita.

7. Prognosis

Prognosis cukup baik, bila semua lesi diobati dengan tekun dan menyeluruh.

F. Erisipelas

1. Definisi

Erisipelas adalah suatu jenis selulitis kutaneus superfisial yang ditandai dengan

keterlibatan pembuluh limfatik pada kulit. Ia disebabkan oleh bakteri S treptococcus b-

hemolytic grup A dan jarang disebabkan oleh S. aureus. Pada bayi yang baru lahir,

bakteri S treptococcus b-hemolytic grup B bisa menyebabkan erisipelas. Limfaedema,

vena stasis,dan obesitas merupakan faktor resiko pada pasien dewasa.

23

Page 24: penyakit bakteri pada kulit

2. Etiologi

Erisipelas pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh bakteri Streptococcus b-

hemolytic grup A, Staphylococcus aureus, dan gabungan bakteri anaerobik

fakultatif,bakteri gram positif dan bakteri gram negatif seperti Clostridia. Erisipelas

jarangdisebabkan oleh Streptococcus grup C dan G. Bakteri S treptococcus B

hemolytic grup Bbisa menginfeksi bayi baru lahir yang biasanya disebabkan oleh

penyakit erisipelasabdomen atau perianal pada wanita setelah baru melahirkan.

3. Patogenesis

Pada awalnya, erisepelas terjadi akibat inokulasi bakteri pada daerah trauma pada

kulit. Selain itu, faktor lokal seperti insufisiensi vena, ulkus, peradangan pada

kulit,infeksi dermatofita, gigitan serangga dan operasi bisa menjadi port of the entry

penyakit ini. Bakteri streptokokus merupakan penyebab umum terjadinya erisipelas.

Infeksi pada wajah biasanya disebabkan oleh bakteri streptokokus grup A, sedangkan

infeksi pada kaki disebabkan oleh bakteri streptokokus non-grup A. Bakteri ini

menghasilkan toksin sehingga menimbulkan reaksi inflamasi pada kulit yang ditandai

dengan bercak berwarna merah cerah, plak edematous dan bulla.

Erisipelas pada wajah berawal dari bercak merah unilateral dan kemudian terus-

menerus menyebar melewati hidung sampai ke sisisebelahnya sehingga menjadi

simetris. Nasofaring mungkin menjadi port of the entry erisipelas pada wajah bila

disertai dengan riwayat streptokokal faringitis. Pada erisipelasdi daerah extremitas

inferior, pasien mengeluh adanya pembesaran kelenjar limfatik femoral dan disertai

demam.

4. Gejala klinis

Terdapat gejala-gejala konstitusi seperti: demam, malaise, flu, menggigil, nyeri

kepala, muntah dan nyeri sendi. Kelainan kulit yang utama adalah eritema

yangberwarna merah cerah, berbatas tegas dan pinggirnya meninggi dengan tanda

radang akut.Dapat disertai edema, vesikel dan bulla dan terdapat leukositosis. Lesi

pada kulit bervariasi dari permukaan yang bersisik halus sampai ke inflamasi berat

yang disertai vesikel dan bulla. Erupsi lesi berawal dari satu titik dan dapat menyebar

ke area sekitarnya. Pada tahap awal, kulit tampak kemerahan, panas, terasasakit dan

24

Page 25: penyakit bakteri pada kulit

bengkak. Kemudian kemerahan berbatas tegas dengan bagian tepi meninggi yang dapat

dirasakan saat di palpasi dengan jari. Pada beberapa kasus, vesikel dan bulla berisi

cairan seropurulen. Pembengkakan nodus limfe di sekitar infeksi sering

ditemukan.Bagian yang paling sering terkena adalah kaki dan wajah. Pada kaki, sering

ditemukanedema dan lesi bulla. Biasanya inflamasi pada wajah bermula dari pipi dekat

hidung ataudi depan cuping telinga dan kemudian menyebar ke kulit kepala. Infeksi

biasanya terjadibilateral dan ia jarang disebabkan oleh trauma.

5. Diagnosis

Anamnesis

Keluhanan utama :

bercak kemerah-merahan pada kulit wajah dan/atau kakidisertai rasa nyeri.

Keluhan lain :

bercak eritem pada daerah wajah, awalnya unilateral lama-kelamaan menjadi bilateral

atau diawali dengan bercak eritem di tungkai bawah yang sebelumnya dirasakan nyeri

di area lipatan paha. Disertai gejala-gejala konstritusi seperti demam, malaise, flu,

menggigil, sakit kepala, muntahdan nyeri sendi.

Riwayat penyakit :

faringitis, ulkus kronis pada kaki, infeksi akibat penjepitantali pusat yang tidak steril

pada bayi

Riwayat pengobatan :

pernah dioperasi

Faktor resiko :

vena statis, obesitas, limfaedemab.

Pemeriksaan fisis

Inspeksi :

bercak merah bilateral pada pada pipi dan kaki, bekas garukan danabrasi, bekas luka,

dan pembesaran kelenjar limfatik femoral.

Effloresensi :

25

Page 26: penyakit bakteri pada kulit

eritema yang berwarna merah cerah, berbatas tegas danpinggirnya meninggi. Sering

disertai udem, vesikel dan bulla yang berisicairan seropurulen.

Pemeriksaan penunjang

Bakteri dapat di indentifikasi melalui pemeriksaan biopsi kulit dan kultur.

Spesimen untuk kultur bisa diambil dari apusan tenggorokan, darah dan cairan

seropurulen pada lesi. Pada pemeriksaan darah rutin menunjukkan adanya

polimorfonuklear leukositosis, meningkatnya laju endap darah (LED) dan juga

meningkatnya C-reaktif protein.

Gambar 11. Erisipelas. Bercak kemarahan pada tungkai bawah yang disertai rasa

nyeri yang batas tegas.

6. Diagnosis Banding

Selulitis

Terjadi pada lapisan dermis dan subkutan. Etiologi paling sering disebabkan oleh S.

pyogens, S.aureusdan GAS. Selain itu, bakteri streptokokus grupB juga bisa

menyerang bayi dan bakteri basil gram negatif bisa menyerang orang dengan

tingkat imun yang rendah. Tinea pedis biasanya menjadi port of the entry infeksi

penyakit ini. Selulitis mempunyai gejala yang sama dengan erisipelas yaitueritema

dan sakit, tetapi dapat dibedakan dengan batas lesi yang tidak tegas, terjadi

dilapisan yang lebih dalam, permukaan lebih keras dan ada krepitasi saat

dipalpasi.Selulitis dapat berkembang menjadi bulla dan nekrosis sehingga

mengakibatkan penggelupasan dan erosi lapisan epidermal yang luas.

26

Page 27: penyakit bakteri pada kulit

Gambar 12. Selulitis pada ekstremitas bawah disertai bengkak, melepuh dan

berkrusta

Dermatitis Kontak Alergi

Dermatitis kontak alergi merupakan presentasi dari respon hipersensitivitas type IV

terhadap lebih 3700 jenis zat kimia eksogen. Gejala – gejala klinis akan muncul

segera setelah terekspos oleh alergen. Fase akut ditandai dengan eritema,permukaan

menonjol dan plak bersisik. Penderita dermatitis kontak alergi biasanya dalam

keadaan normal dan tidak ditemukan tanda-tanda patologis pada pemeriksaan lab.

7. Penatalaksanaan

Pada erisipelas di daerah kaki, istirahatkan tungkai bawah dan kaki yang diserang

ditinggikan. Pengobatan sistemik ialah antibiotik, topikal diberikan kompres terbuka

dengan larutan antiseptik.

Penicilline

merupakan obat antibiotik pilihan utama dan memberikan responsangat bagus untuk

penyembuhan erisipelas. Pemberian obat harus disesuaikan dengan kondisi

penyakitnya :

a. Infeksi sedang

– Procaine penicillin (penicillin G) 600,00 IU i.m 1-2x setiap hari

– Penicillin V 250 mg p.o 4-6x setiap hari

– Jika suspek terjadi infeksi staphylococcus, berikan dicloxacillin 500-1000 mg

p.o

– Jika pasien alergi Penicillin, berikan erythromycin 500 mg p.o atau clindamycin

150 – 300 mg p.o

27

Page 28: penyakit bakteri pada kulit

b. Infeksi berat

- Rawat inap, lakukan kultur dan tes sensitivitas, konsultasi penyakit infeksi

- Penicillin G 10,000,000 IU i.v

- Jika suspek terjadi infeksi staphylococcus, berikan nafcillin 500-1000 mg i.v atau

flucloxacillin 1 g i.v

- Jika pasien alergi penicillin, berikan vancomycin 1.0-1.5 g i.v setiap hari

Obat Topikal:

o Kompres dengan Sodium Chloride 0,9 %.

o Salep atau krim antibiotika, misalnya: Natrium Fusidat, Mupirocin,

Garamycin,Gentamycin.

8. Prognosis

Prognosis pasien erisipelas adalah bagus. Komplikasi dari infeksi tidak

menyebabkan kematian dan kebanyakan kasus infeksi dapat diatasi dengan

terapiantibiotik. Bagaimanapun, infeksi ini masih sering kambuh pada pasien yang

memilikifaktor predisposisi. Jika tidak diobati akan ia menjalar ke sekitarnya terutama

keproksimal. Kalau sering residif di tempat yang sama, dapat terjadi elephantiasis.

G. Skrofuloderma

1. Definisi

Skrofuloderma atau yang dikenal sebagai Tuberculosis colliquativa cutis adalah

tuberkulosis subkutan yang mengarah pada pembentukan abses dingin dan kehancuran

sekunder dari kulit di atasnya. Hal ini terjadi akibat penjalaran langsung dari suatu organ

bawah kulit yang mengandung kuman tb dan meluas melalui dermis, contohnya

limfadenitis tb, tb tulang dan sendi, atau epididimitis tb.10

28

Page 29: penyakit bakteri pada kulit

Gambar 13. Skrofuloderma: terdapat underlying limfadenopati tb servikal. Bentuk

karakteristik skar yang berlipat/berkerut.

2. Epidemiologi

Bakteri Mycobacterium tuberculosis hanya sekitar 5-10% infeksi menunjukkan

manifestasi klinis. Bakteri ini memiliki distribusi di seluruh dunia, lebih umum di daerah

dengan iklim dingin dan lembab, tetapi juga dapat terjadi di daerah tropis. Kini

skofuloderma palingsering terdapat pada anak-anak dan imigran dewasa dari negara-

negara berkembang. Konsumsi susu yang belum dipasteurisasi dan mengandung

Mycobacterium bovis adalah penyebab umum terjadinya skrofuloderma di negara

berkembang. Prevalensinya lebih tinggi pada anak, remaja,dan orang tua.

3. Etiologi

Skrofuloderma diakibatkan kuman tb yang secara langsung menginvasi kulit

(ekstensi dari suatu fokus tuberkulosis ke jaringan luar sehingga menimbulkan kerusakan

jaringan kulit dan luka terbuka). Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab utama

dari skrofuloderma. Bakteri ini adalah bakteri aerobik, non motil, tahan terhadap asam

dan alkohol yang dibungkus oleh senyawa lipid kompleks sehingga membuat bakteri ini

resisten terhadap degradasi setelah fagositosit. Mycobacterium scrofulaceum,

Mycobacterium bovis, Mycobacterium avium, dan vaksin yang mengandung Bacillus

Calmette Guerin (BCG)  juga merupakan etiologi lain dari skrofuloderma.

4. Patogenesis

29

Page 30: penyakit bakteri pada kulit

Skrofuloderma timbul akibat penjalaran per kontinuitatum dari organ di bawah

kulit yangtelah diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari kelenjar getah

bening, juga dapat berasal dari sendi dan tulang. Oleh karena itu tempat predileksinya

pada tempat-tempat yang banyak didapati kelenjar getah bening superfisialis, yang

tersering pada leher, kemudian disusuldi ketiak dan yang terjarang di lipatan paha. Porte

d’entrée skrofuloderma di daerah leher ialah pada tonsil atau paru. Jika di ketiak maka

kemungkinan porte d’entrée pada apeks pleura, jika dilipat paha pada ekstremitas bawah.

Kadang-kadang ketiga tempat predileksi tersebut diserang sekaligus, yakni pada leher,

ketiak danlipat paha. Pada kejadian tersebut kemungkinan besar terjadi penyebaran

secara hematogen.

Kelenjar limfe yang terinfeksi tuberkulosis akan mengalami adenitis, kemudian pe

riadenitis. Akibatnya satu kelenjar dengan kelenjar lain yang bersamaan terinfeksi dapat b

ergabung menyebabkan perlengketan kelenjar tersebut dengan jaringan sekitarnya.

Kelenjar tersebut akan melunak membentuk abses, lalu membentuk fistula dan ulkus 

ke permukaan kulit secara per kontinuitatum. Sifat khas ulkus berbentuk linier atau

ireguler dengan terowongan dibawahnya, daerah sekitar berwarna merah kebiru-biruan,

dasar jaringan yang bergranulasi, dan teraba lunak. Dapat pula terbentuk jaringan parut

menghubungkan daerah yang mengalami ulserasi atau bahkan kulit normal. Kadang-

kadang di atas sikatriks (jaringan parut)tersebut terdapat jembatan kulit (skin brigde).

Tes Tuberkulin

Dasar dari tes tuberkulin adalah respon imun termediasi sel terhadap protein

tuberculin atau respon terhadap M.tuberkulosis. Tes ini hanya berguna bila pasien

memiliki sistem imun yang utuh terhadap protein tuberkulin. Hasil tes akan positif antara

2 sampai 10 minggu setelah infeksi dan tetap positif setelah bertahun-tahun. Biasanya

dengan cara menyuntikkan Purified  Protein Derivative(PPD) 0.1 cc intrakutan dengan

kekuatan 5 tuberkulin unit (TU). Bila hasil positif [indurasi 10 mm atau lebih, untuk

pasien Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif ±5 mm], berarti sedang atau pernah

mengalami infeksi M.tuberkulosis, M.bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria  patogen

lainnya. Menurut Ramos-e-silva dkk, hasil tes tuberkulin biasanya positif pada penderita

skrofuloderma.

30

Page 31: penyakit bakteri pada kulit

Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG)

BCG merupakan basil M. bovis yang telah dilemahkan yang digunakan di penjuru

dunia untuk meningkatkan imunitas terhadap tuberkulosis. Vaksinasi ini diberikan hanya

pada pasien dengan hasil tes tuberkulin yang negatif. Sekali pasien divaksinasi, maka tes

tuberkulinnya akan memberikan hasil yang positif dan bertahan dalam jangka waktu yang

cukup lama. Tingkat efektivitas vaksinasi ini juga akan menurun seiring dengan

penambahan usia. Komplikasi dari vaksinasi BCG jarang ditemukan. Dostrowsky dkk

melaporkan hanya 27 pasien dari 200.000 pasien yang mendapatkan vaksinasi yang

mengalami reaksi pada kulit. Casanova et al dalam pustaka lain menyebutkan, dari survei

yang dilakukan di Perancis tahun1974 dan 1994 didapatkan prevalensi komplikasi dari

vaksin BCG adalah sebesar 0.59 tiap1.000.000 kasus dari total pasien yang mendapatkan

vaksinasi.keterjadian komplikasi vaksinasi BCG yang berbeda di berbagai sentra kesehat

an, rata-rata komplikasi lokal yang terjadi berkisar antara 0.1-0.5 tiap 1000 vaksinasi,

dengan komplikasi serius kurang dari 1 tiap 1.000.000 vaksinasi. Secara umum

komplikasi yang timbul akibat vaksinasi BCG dibagi menjadi dua yaitu:

komplikasi infeksi (ulkus dan abses pada tempat suntikan, limfadenitis regional

yang berat, lupusvulgaris,  Koch phenomenon-like reaction, lesi jauh seperti penyakit

diseminata dan osteitis).

komplikasi noninfeksi (reaksi hipersensitivitas seperti eritema nodosum dan konju

ngtivits pliktenular, dan reaksi imun lainnya keloid, liken skrofulosorum, urtikaria,

eritema multiform,eksema, dan erupsi makula simpel).

5. Gejala Klinis

Skrofuloderma paling sering timbul di regionparotid, submandibula, dan suprakla

vicula,serta di leher sebelah lateral. Hal ini diduga merupakan penjalaran dari kelenjar

getah bening (KGB) servikal, sedangkan lokasi lain yang cukup sering adalah aksila

dan inguinal.Skrofuloderma diawali dengan limfadenitis tuberkulosis, setelah berbulan-

bulan,liquifaksi dan perforasi terjadi, membentuk ulkus dan sinus. Karakteristik ulkus

yaitu bentuk memanjang, serpiginosa, tidak teratur, dengan dasar yang cekung,

sekitarnya berwarna merahkebiru-biruan (livid), menggaung, lunak dengan dasar

31

Page 32: penyakit bakteri pada kulit

jaringan granulasi tertutup pusseropurulen. Terdapat saluran-saluran sinusoid di bawah

kulit.

Gambar 14. Skrofuloderma pada regio klavikula: abses, ulkus, dan ekstrusi

purulen dan perkijuan

Saluran sinusoid yang terbentuk dapat berhubungan langsung dengan area infeksi

organdalam, atau membentuk saluran menuju fokus primer infeksi terutama di leher,

dinding dada, dan pelvis. Kadang-kadang terbentuk cordlike scars atau jaringan parut. 

Jaringan parut ini menghubungkan area ulseratif atau bahkan menarik kulit

normal dengan proses penyembuhannya memakan waktu yang lama.

6. Diagnosis

Skrofuloderma ditegakkan diagnosisnya berdasarkan beberapa hal berikut:

o Anamnesis

– Riwayat tinggal di daerah endemis tuberkulosis.

– Riwayat terpapar tuberkulosis dari orang sekitar penderita (rumah, sekolah,

tempatkerja, dan lain-lain).

– Riwayat mendapatkan pengobatan tuberkulosis sebelumnya.

– Riwayat penyakit sistemik yang meningkatkan faktor resiko infeksi

tuberkulosis.

– Riwayat keluhan mengarah pada tanda tuberkulosis pada penderita,

misalnya: batuk lama, berkeringat banyak di malam hari, nafsu makan

menurun, kelainan miksi, danlain-lain.

o Pemeriksaan fisik 

– Pembesaran kelenjar getah bening

32

Page 33: penyakit bakteri pada kulit

– Abses dan multipel sinus

– Ulkus yang khas

– Jaringan parut

– Jembatan kulit  (skin bridge)

o Pemeriksaan penunjang

– Pemeriksaan radiologis pada posisi posterior-anterior.Pemeriksaan ini

ditujukan untuk mencari fokal infeksi terutama yang berasal dari paru.

– Pemeriksaan bakteriologik. Pemeriksaan bakteriologik yang dimaksud

adalah pemeriksaan basil tahan asam (BTA) dengan pengecatan Ziehl-

Neelsen (ZN) terhadap bahan yang diambil dari

dasar ulkus dan biakan pada media Lowenstein Jensen atau inokulasi padam

armut. Pada penderita dengan skrofuloderma, hasil pemeriksaan BTA akan

ditemukan adanya bakteri penyebab skrofuloderma, ex: Mycobacterium

tuberculosis.

– Pemeriksaan laboratorium darah Hasil umumnya menunjukkan peningkatan

laju endap darah (LED).

– Pemeriksaan histopatologi Saluran sinusoid pada skrofuloderma

menunjukkan adanya inflamasi akut dankronik yang bersifat nonspesifik.

Bagian tengah lesi di dominasi oleh nekrosis masif dan pembentukan abses.

Namun, bagian perifer dari abses atau batas-

batassinus mengandung granuloma tuberkuloid. Nekrosis perkijuan dengan

bakteri dalam jumlah besar ditemukan pada struktur kulit yang lebih dalam.

Basil tb dapat diisolasi dengan mudah melalui pus.

– Tes tuberkulin.Biasanya hasilnya positif.

– Biakan dari bahan yang berasal dari lesi atau ulkus.Dilakukan pada media

Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu 37ºC. Jika positif, koloni

tumbuh dalam waktu 8 minggu, artinya kuman tuberkulosis.

33

Page 34: penyakit bakteri pada kulit

Gambar 15. Pewarnaan Ziehl-Neelsen: kelompok kecil basil tahan asam, merah,

pada tengah lapangan pandang.

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tb kutis terdiri dari pemberian regimen obat multipel dengan

durasi yang panjang dan terapi bedah ditujukan tidak hanya untuk membunuh

mikroorganisme yang menjadi etiologi tetapi juga untuk mencegah resistensi strain

bakteri tertentu terhadap obat dan timbulnya rekurensi.

Tatalaksana tb kutis sama dengan tb sistemik. Hal ini dikarenakan jumlah bakteri 

penyebab tb kutis jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tb sistemik.

Tb kutis, termasuk skrofuloderma, tergolong tb ekstra paru ringan yang mendapat

pengobatan tb kategori III Centers for disease control and prevention (CDC)

merekomendasikan kemoterapi tb kutis menjadi 2 fase terdiri dari:

– Fase inisial

Fase ini meliputi pemberian dosis harian regimen obat antituberkulosis (OAT);

isoniazid,rifampisin, pirazinamid, dan etambutol selama 8 minggu. Terapi fase

inisial dimaksudkanuntuk memusnahkan bakteri penyebab tb kutis.

– Fase lanjutan

Fase ini diberikan regimen obat isoniazid dan rifampisin dosis harian, sebanyak 2-

3 x seminggu selama 16 minggu. Terapi pada fase ini ditujukan untuk

mengeliminasi sisa bakteri yang menjadi etiologi tb kutis.

34

Page 35: penyakit bakteri pada kulit

Penatalaksanaan lebih lanjut juga harus dilakukan pada infeksi tb di organ lain

seperti tulang, kelenjar dan paru yang menjadi fokus infeksi skrofuloderma. Regimen

pengobatan yangdiberikan didasarkan pada kriteria WHO adalah sebagai berikut:

– OAT kategori I

OAT kategori I diindikasikan pada penderita baru BTA positif, penderita baru

denganBTA negatif dengan kelainan radiologis yang luas dan penderita tb

ekstraparu beratmisalnya tb ginjal, tb milier, meningitis tb, peritonitis tb,

perikarditis tb, efusi pleura bilateral, osteomielitis dan spondilitis. Regimen

pengobatan terdiri dari pemberianIsoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan

etambutol (2HRZE/ 4H3R3). OAT kategori I disediakan dalam bentuk paket obat

kombinasi dosis tetap (KDT) dan bentuk kombipak, yaitu paket obat lepas yang

terdiri dari isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, dan etambutol dalam kemasan

blister.

– OAT kategori II

OAT kategori II diindikasikan untuk kasus gagal, kambuh dan pengobatan

setelahlalai. Regimen OAT kategori II juga tersedia dalam bentuk KDT dan

kombipak, terdiridari isoniazid, rifamfisin, pirazinamid, sterptomisin dan

etambutol (2HRZES/ HRZE/5H3R3E3)

Penatalaksanaan operatif yakni eksisi dapat membantu menangani skrofuloderma

karena dapat mengurangi morbiditas.

8. Prognosis

Penyembuhan spontan pada skrofuloderma dapat terjadi, namun ini terjadi secara

amatlambat dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum lesi digantikan

sepenuhnya oleh jaringan parut. Keberadaan infeksi tb pada organ lain seperti tulang,

kelenjar, dan paru juga perlu penatalaksanaan lebih lanjut.

H. Lepra

1. Definisi

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya

35

Page 36: penyakit bakteri pada kulit

dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem

retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat. Pada

kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun sebagian kecil

memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya

pada tangan dan kaki.

Masa inkubasi kusta bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, dengan rata-rata 3-

5 tahun. Masa inkubasi berkaitan dengan pembelahan sel yang lama, yaitu antara 2 – 3

minggu dan di luar tubuh manusia (kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai

9 hari. Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus pada suhu 27 – 300 C.

2. Epidemiologi

Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui secara

pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis.

Dapat menyerang semua umur, frekwensi tertinggi pada kelompok umur antara 30-50

tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita. Menurut WHO (2002),

diantara 122 negara yang endemik pada tahun 1985 dijumpai 107 negara telah

mencapai target eliminasi kusta dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000. Pada

tahun 2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih

penderita baru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai kontribusi 94%

dari seluruh penderita baru didunia.

Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil. Di

Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola

penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000 Indonesia

secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai

dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah

penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi terbanyak

melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua, Sulawesi Utara dan Sulawesi

Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20 per 100.000 penduduk. 2,7 2 Pada tahun

2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 7,22 per

100.000 penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di

Indonesia dengan angka prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk.

36

Page 37: penyakit bakteri pada kulit

3. Etiologi

Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh GH

Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini bersifat

tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2 - 0,5 mikron,

biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama

jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini

juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada binatang armadilo. Secara skematik

struktur M. leprae terdiri dari :

A. Kapsul

Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan

berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk M.

leprae. Zona transparan ini terdiri dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate, yang

dianggap memegang peranan protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang

terdiri dari tiga molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul

fenol pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia yang unik dan

sifat antigenik yang spesifik terhadap M. leprae

B. Dinding sel

Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:

– Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung lipopolisakarida

yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang diesterifikasi dengan

rantai panjang asam mikolat, mirip dengan yang ditemukan pada

Mycobacteria lainnya.

– Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang dihubungkan

melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian asam-amino yang mungkin

spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini terlalu sedikit untuk digunakan

sebagai antigen diagnostik.

C. Membran Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu

membran yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar

organisme. Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa

enzim dan secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini

37

Page 38: penyakit bakteri pada kulit

juga dapat membentuk ‘antigen protein permukaan’ yang diekstraksi dari dinding

sel M. leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas.

D. Sitoplasma Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material

genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein

yang penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam

mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari

armadillo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara

genetik, terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.

4. Pathogenesis

M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin. Ketidak

seimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh

respon imun yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma

setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu

penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejalak linisnya lebih

sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.

Meskipun cara masuk M. leprae k e da l am t ubuh mas ih be l um

d ike t ahu i dengan pas t i ,  beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa

yang tersering ialah melalui kulit yang lecet  pada bagian tubuh yang bersuhu

dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M leprae terhadap kulit bergantung pada

faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada, suhu tubuhyang rendah,

waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksis.

M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel

makrofag disekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di

jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan

bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel

mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya. Pada kusta tipe TT

kemarnpuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup

menghancurkan kuman. Namun, setelah semua kuman di fagositosis,

makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif

dan kadang-kadang bersatu membentuk sel  datia Langhans. Bila infeksi ini

38

Page 39: penyakit bakteri pada kulit

tidak segera diatasi, maka akan terjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid akan

menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.

Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae. Sel

Schwann memiliki fungsi untuk demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya

sebagai fagositosis, jadi bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel

Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya akitivitas

regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.

Sedangkan pada kusta tipe LL t e r j ad i   ke lumpuhan   s i s t e m-

imun i t a s ,   dengan  dem ik i an makrofag tidak mampu

menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan  bebas,

yang kemudian dapat merusak jaringan

5. Gejala Klinik 

Perbandingan gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar dan Multibasilar disajikan

dalam tabel berikut:

PB ( Pausibasilar ) MB ( Multibasilar )

Lesi kulit (macula

yangdatar, papul yang

meninggi, infiltrate,

plak eritem, nocus)

1-5 lesi Hipopigmentasi/

eritema Distribusi tidak

simetris

>5 lesi Distribusi lebih

simetris

Kerusakan

saraf (menyebabkan

hilangnya

sensasi/kelemahan otot

yang dipersarafi oleh saraf

yang terkena

Hilangnya sensasi yang jelas

Hanya satu cabang saraf

Hilangnya sensasi kurang jelas

Banyak cabang saraf

BTA Negative Positif

Tipe Indeterminate (I), Tuberkuloid

(T),Borderline tuberkuloid

(BT )

Lepromatosa (LL),Borderline

lepromatous(BL), Mid

borderline (BB)

Gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar 

39

Page 40: penyakit bakteri pada kulit

Karateristik Tuberkuloid Borderline

tuberkuloid

Indeterminate

Lesi

Tipe Macula saja atau

macula di batasi

infiltat

Macula di batasi

infiltrate atau infiltrate

saja

Hanya infiltrate

Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu

dengan satelit

Satu atau beberapa

Distribusi Asimetris Masih asimetris variasi

permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat

Batas Jelas jelas Dapat jelas atau dapat

tidak jelas

Anesthesia jelas jelas Tak ada sampai tidak

jelas

BTA

Pada lesi kulit Negative Negative atau hanya

1+

Biasanya negatif

Tes lepromin Positif kuat (+3 ) Positif lemah Dapat positif lemah

atau negatif

Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah 3

minggu.

Gejala klinik Morbus-Hansen Multibasilar 

karakteristik Lepramatosa Borderline

Lepromatosa

Mid Borderline

Lesi

Tipe Macula

Infiltrate difus

Nodus

Macula

Plakat

Papul

Plakat

Dome-shaped ( kubah )

Punched-out

40

Page 41: penyakit bakteri pada kulit

Papul

Jumlah Tidak terhitung,

praktis tidak ada kulit

sehat

Sukar dihitung,

masih ada kulit

sehat

Dapat dihitung, kulit

sehat jelas ada

Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak berkilat

Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

Anesthesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas

BTA

Lesi kulit Banyak ( ada globus ) banyak Agak banyak

Sekret hidung Banyak ( ada globus ) Biasanya negative Negative

Tes lepromin Negatif negatif Negative

6. Diagnosis

Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakteriologis dan

histopatologis. Dari ketiga diagnosis klinis merupakan yang terpenting dan paling

sederhana. Sebelum diagnosis klinis ditegakkan, harus dilakukan anamnesa,

pemeriksaan klinik (pemeriksaan kulit, pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya). Untuk

menetapkan diagnosis klinis penyakit kusta harus ada minimal satu tanda utama atau

cardinal sign.

Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau

tanda kardinal, yaitu:

Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa. Kelainan kulit/lesi yang dapat berbentuk

bercak keputihan (hypopigmentasi) atau kemerahan (erithematous) yang mati rasa

(anaesthesia).

Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi

saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis pada saraf tepi (neuritis

perifer). Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf tepi berupa:

– Gangguan fungsi sensoris: mati rasa.

– Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan

(paralise).

41

Page 42: penyakit bakteri pada kulit

– Gangguan fungsi otonom: kulit kering.

Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis.

7. Penunjang Diagnosis

Pemeriksaan Bakterioskopik

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan

diagnosis dan pengamatan obat.Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau

usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap

basil tahan asam (BTA) ,antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik

pada seorang penderita tidak berarti seseorang tidak mengandung bakteri M. Leprae

.Pada pengambilan sample diharapkan mengambil bahan dari tempat yang

mengandung kuman paling banyak seperti dikedua cuping telinga.

M.leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Di bedakan bentuk

sold, fragmented, dan granular. Bentuk solid adalah kuman hidup, sedang

fragmented dan granular adalah bentuk mati.Secara teori penting untuk

membedakan bentuk solod dan non solid, sebab bentuk yang hidup lebih

berbahaya, karena dapat berkembang biak dan dapat menularkan ke orang lain.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non solid pada sebuah sediaan

dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai +6 menurut RIDLEY.

0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).

1+ bila 1-10 BTA dalam 100LP

2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP

3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP

4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

5+ bila 101-1000 BTA rata-ratra dalam 1 LP

6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Pemeriksaa dengan menggunakan miroskopok cahaya dengan minyak emersi

pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semualesi

yang dibuat sediaan. Indeks Morfologi (IM) adalah persentase jumlah bentuk solid

di banding dengan jumlah solid dan non solid. Rumus :

Jumlah solid x 100% = ....%

42

Page 43: penyakit bakteri pada kulit

Jumlah solid+ non solid

Syarat perhitungan :

– Jumlah perhitungan kuman tiap lesi 100 BTA

– IB 1+ tidak perlu dibuat IM nya karena untuk mendapat 100 BTA harus

mencari 1000 sampai 10000 lapangan.

– Mulai dari IB 3+ harus hitung IM nya,sebab dengan IB 3+ maksimum

harus dicari dalam 1000 lapangan.

Pemeriksaan Histopatologik

Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih

nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit non solid. Pada tipe lepromatosa terdapat

kelim sunyi subepidermal (subepidermak clear zone), yaitu suatu darah langsung

dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Pada tipe borderline, terdapat

campuran unsur-unsur tersebut.

Pemeriksaan serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang

yang terinfeksi M. Leprae. Macam-macam pemeriksaannya adalah:

Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Agglutination)

Uji Elisa (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)

ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstik)

ML flow test (Mycobacterium leprae flow test )

Reaksi kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang

sebenarnya sangat akut.adapun patofisiologi belum jelas serta terminology dan

klasifikasinya bermacam-macam.reaksi imunologi dapat menguntungkan serta dapat pula

merugikan yang di sebutkan reaksi imun patologik.dalam bermacam-macam akhir-akhir

ini yang di anut ada dua, yaitu:

ENL (eritema nodusum leprosum)

Reaksi reversal atau reaksi upgrading

43

Page 44: penyakit bakteri pada kulit

ENL timbul pada tipe BL dan LL.semakin tinggi tingkat multibasilernya semakin

tinggi timbulnya eritema nodusum leprosum.Secara imunopatologis,ENL termasuk

respons imun humoral,berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen

M.leprae + antibody (IgM,IgG) + komplemen menjadi kompleks imun.dengan

terbentuknya kompleks imun maka ENL di golongkan ke dalam penyakit komplek

imun,karna protein M.leprae bersifat antigenic,maka anti body dapat terbentuk.ENL

banyak terjadi pada saat pengobatan dikarenakan banyak kuman kusta yang mati dan

hancur ,berarti banyak antigen yang di lepaskan dan bereaksi dengan antibody,serta

mengaktifkan system komplemen.Kompleks imun tersebut beredar dalam sirkulasi darah

yang akhirnya dapat melibatkan beberapa organ. Pada kulit akan timbul nodul eritema,

serta nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Apabila mengenai organ lain

akan menimbulkan gejala iridosiklitis,neuritis akut, limfadenitis, atritis, ringan sampai

berat.

ENL tidak terjadi perubahan tipe.Lain halnya dengan reaksi reversal yang hanya

dapat pada tipe borderline (Li,BL,BB,BT,Ti),sehingga ini dapat disebut reaksi

borderline.Yang memegang peranan utama ialah SIS,yang di perkirakan adanya

hubungan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.Reaksi peradangan terjadi pada tempat-

tempat kuman kuman M.leprae berada yaitu pada saraf dan kulit,umumnya pada

pengobatan 6 bulan pertama.Neuritis akut menyebabkan kerusakan saraf secara

mendadak dan memerlukan pengobatan segera.yang menentukan tipe penyakit kusta ini

adalah SIS.Pada tipe borderline dapat bergerak bebas kea rah TT dan LL mengikuti naik

turunnya SIS.Dan reaksi reversal terjadi perpindahan tip eke arah TT disertai peningkatan

SIS secara mendadak dan cepat.

Gejala klinis rekasi reversal ialah sebagian atau seluruh lesi yang bertambah aktif

atau timbul lesi baru dalam waktu yang singkat.Adanya gejala neuritis akut sangat

diperhatikan untuk pemberian kortikosteroid.Secara sigifikan bahwa ENL adanya lesi

eritema nodusum maka disebut juga reaksi lepra nodular dan reaksi reversal atau

borderline tidak adanya lesi tanpa nodus serta disebut juga reaksi lepra non-nodular.

Fenomena Lucio

44

Page 45: penyakit bakteri pada kulit

Fenomena Lucio ialah reaksi kusta yang sangat berat yaitu reaksi lepromentosa

non-nodular difus.Ini sering di temukan di Meksiko dan Amerika Tengah.Gejala

klinisnya ialah adanya plak atau infiltrate difus,bewarna merah muda,bentuk tidak

teratur,dan terasa nyeri.Lesi berada di ekstremitas dan meluas ke seluruh tubuh.Apabila

berat akan tampak lebih erimatosa disertai purpura,bula dan menjadi nekrosis serta

ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan menjadi jaringat parut.

Gambar 16. Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular

Gambar 17. Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy

8. Klasifikasi

Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap selanjutnya

harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat diklasifikasikan

berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil

45

Page 46: penyakit bakteri pada kulit

pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi.

Klasifikasi bertujuan untuk:

Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.

Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang menularkan dan

memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai target utama pengobatan.

Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.

Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi

Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India dan klasifikasi menurut WHO.

Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953) Pada klasifikasi ini penyakit

kusta dibagi atas Indeterminate (I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B),

Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling sederhana

berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan pemeriksaan

histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy Association di

Madrid tahun

Klasifikasi Ridley-Jopling (1966) Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu

spektrum klinis mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi sampai

mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap M.leprae di sisi yang

lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity = CMI) seseorang yang akan

menentukan apakah dia akan menderita kusta apabila individu tersebut mendapat

infeksi M.leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya pada spektrum penyakit

kusta. Sistem klasifikasi ini banyak digunakan pada penelitian penyakit kusta,

karena bisa menjelaskan hubungan antara interaksi kuman dengan respon

imunologi seseorang, terutama respon imun seluler spesifik. Kelima tipe kusta

menurut Ridley-Jopling adalah tipe Lepromatous (LL), tipe Borderline

Lepromatous (BL), tipe Mid- 1,4 Universitas Sumatera Utara Borderline (BB),

tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe Tuberculoid (T).

Klasfikasi menurut WHO Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi

untuk memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh

penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe

Multibasiler (MB). Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan

46

Page 47: penyakit bakteri pada kulit

klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar

dari klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan

bakteriologi

9. Penatalaksanaan

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden

penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit,

untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi

dini dan pengobatan penderita. Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik

yaitu mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan

antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan

PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia

hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.

Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi

kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K

ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu

kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri

lambung.4 Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja

dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan

berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.

Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk

penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan

kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB

I. Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh

WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:

1. Pausi Basiler (PB)

2. Multi Basiler (MB) Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug

Treatment.

Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,

mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat

pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta

47

Page 48: penyakit bakteri pada kulit

dalam jaringan. Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan

lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali

saja langsung RFT/= Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-

anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas

diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5). Bila lesi tunggal dgn pembesaran

saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).

Tabel. Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut WHO/DEPKES RI

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa

(50-70 kg)

600 mg 400 mg 100 mg

Anak

(5-14 th)

300 mg 200 mg 50 mg

PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)

bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti

minum obat.

Tabel. Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)

Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hr diminum di

rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

50 mg/hari diminum di

rumah

48

Page 49: penyakit bakteri pada kulit

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan

selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease

From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan

secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.

Tabel. Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)

Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hari diminum

di rumah

300 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dgn 50

mg/hari diminum di

rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

diminum di depan

petugas

50 mg/hari diminum

di rumah

150 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dg 50 mg

selang sehari

diminum di rumah

Pengobatan reaksi kusta.

Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan

berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw toes , dan

kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip

pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan

sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak

diubah.

49

Page 50: penyakit bakteri pada kulit

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan

obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari,

dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan sedative,

MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti reaksi

dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin

dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150

mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara

selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena

toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ). Dosis 400

mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.

Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan

prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik

walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering

off) setelah terjadi respon maksimal1,2,3.

Gambar 18. Regimen MDT

10. Prognosis

50

Page 51: penyakit bakteri pada kulit

Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan

bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang asien dapat

mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.

I. Sifilis stadium 1 dan 2

1. Definisi

Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, sangat

kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir seluruh alat

tubuh, dapat mnyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten dan dapat ditularkan

dari ibu ke janin.

2. Epidemiologi

Asal penyakit ini tak jelas. Sebelum tahun 1492 belum dikenal di Eropa. Ada

yangmenganggap penyakit ini berasal dari penduduk Indian yang dibawa oleh anak

bushColumbus waktu mereka kembali ke Spanyol pada tahun 1492. Pada tahun 1494

terjadiepidemi di Napoli. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis dan

gonoredisebabkan oleh sanggama dan keduanya dianggap disebabkan oleh infeksi yang

sama.Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar

antara 0,04-0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan yang tertinggi di

Amerika Selatan. DiIndonesia insidensinya 0,61%. Di bagian kami penderita yang

terbanyak ialah stadium laten,disusul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka

ialah sifilis stadium II. WHOmemperkirakan bahwa terdapat 12 juta kasus baru pada

tahun 1999, dimana lebih dari 90%terdapat di negara berkembang.

3. Etiologi

Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman

ialahTreponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia

Spirochaetaceae, dan genusTreponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya

antara 6-15 um, lebar 0,15 um,terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan.

Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksisdan maju seperti gerakan pembuka botol..

Membiak secara pembelahan melintang, padastadium aktif terjadi setiap tiga puluh

jam. Pembiakan pada umumya tidak dapat dilakukan diluar badan. Diluar badan

51

Page 52: penyakit bakteri pada kulit

kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat hidup tujuh

puluh dua jam.

Gambar 19. Treponema pallidum

4. Klasifikasi

Sifilis dibagi menjadi:

1.Sifilis kongenital

a. Dini : Sebelum 2 tahun

b.Lanjut: Sesudah 2 tahun

c.Stigmata

2.Sifilis Akuisita (didapat) Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua cara;

a.Secara klinis dibagi menjadi tiga stadium:

1.Stadium I (SI)

2.Stadium II (SII)

3.Stadium III (SIII)

b.Secara epidemiologi menurut WHO dibagi menjadi:

– Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi) : terdiri atas SI,

SII,Stadium rekuren dan stadium laten dini.

– Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), tediri

atasstadium laten lanjut dan SIII.

c.Bentuk lain adalah sifilis kardiovaskular dan neurosifilis. Ada yang

memasukkanya kedalam S III atau S IV.

52

Page 53: penyakit bakteri pada kulit

5. Patogenesis

Stadium dini

T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya

melalui sanggama. Kuman tersebut membiak, jaringan bereaksi dengan membentuk

infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel- sel plasma, terutama di perivaskular,

pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel

radang. Treponema tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan

perivaskular di sekitarnya. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan

hipertrofik endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans).

Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak

sebagai S1. Sebelum S1 terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional

secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan

menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak kemudian.1

Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi enam sampai

delapan minggu sesudah S1. S1 akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat

tersebut jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya

sembuh berupa sikatriks. SII juga mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang.

Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif masih

terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan bayi dengan

sifilis kongenital. Kadang-kadang proses imunitas gagal mengontrol infeksi sehingga

T.pallidum membiak lagi pada tempat S I dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman

tersebut menyebar melalui jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren S II,

yang terakhir ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut dapat

timbul berulang-ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi 2 tahun.

Stadium lanjut

Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema dalam

keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum penderita.

Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat sekonyong-konyong berubah,

sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat

53

Page 54: penyakit bakteri pada kulit

itu muncullah S III berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan

T. pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-tahun.

Setelah mengalami masa laten yang bervariasi guma tersebut timbul di tempat-tempat

lain. Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi

kerusakan menjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk

menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan guma biasanya tidak mendapat gangguan

saraf dan kardiovaskular, demikian pula sebaliknya. Kira-kira dua pertiga kasus dengan

stadium laten tidak memberi gejala.

6. GAMBARAN KLINIS

Sifilis Akuisita

Sifilis Dini

a. Sifilis primer (SI)

Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tunggal (disebut chancre),

tetapi bisa juga terdapat tukak lebih dari satu. Tukak dapat terjadi dimana saja di

daerah genitalia eksterna, 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya berupa

papul yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi. Permukaan

dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya bervariasi dari beberapa mm

sampai dengan 1-2 cm. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi dan keras. Bila tidak disertai

infeksi bakteri lain, maka akan berbentuk khas dan hampir tidak ada rasa nyeri.

Kelainan tersebut dinamakan afek primer. Pada pria tempat yang sering dikenai

ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor. Selain

itu juga dapat diekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus.

Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe inguinal medial

unilateral/bilateral.2 Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran

kelenjar getah bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut

kompleks primer. Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak lunak, besamya

biasanya lentikular, tidak supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di

atasnya tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut.

54

Page 55: penyakit bakteri pada kulit

Gambar 20. Ulkus durum

Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu.

Istilah syphilis d'emblee dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk

ke jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfuse darah atau suntikan.

 

b. Sifilis sekunder (SII)

Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan sejumlah

sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai sembilan

bulan .Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat

disertai gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya

umumnya tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan, malese, nyeri

kepala, demam yang tidak tinggi, dan artralgia. Manifestasi klinis sifilis sekunder

dapat berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Dapat

disertai demam, malaise. Juga adanya kelainankulit dan selaput lendir dapat

diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit

biasanya simetris, dapat berupa makula, papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan

pustul. Jarang dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada

sifilis kongenital. Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit

sehingga disebut the great imitator. 1

Selain memberi kelainan pada kulit, SII dapat juga memberi kelainan pada

mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang, dan saraf. Gejala lainnyaa

55

Page 56: penyakit bakteri pada kulit

dalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah,

demam dan anemia.2

Gambar 21. Bercak-bercak eritema pada S II

Bentuk Lesi

Lesi dapat berupa roseola, papul, pustul, atau bentuk lain.

a. Roseola

Roseola ialah eritema makular, berbintik-bintik atau berbercak-bercak, warna

merah tembaga, berbentuk bulat atau lonjong, diameter 0,5-2 cm (8). Roseola

biasanya merupakan kelainan kulit yang pertama terlihat pada S II dan disebut

roseola sifilitika. Karena efloresensi tersebut merupakan kelainan S II dini,

maka seperti telah dijelaskan, lokalisasinya generalisata dan simetrik, telapak

tangan dan kaki ikut dikenai. Disebut pula eksantema karena timbulnya cepat

dan menyeluruh. Roseola akan menghilang dalam beberapa hari atau minggu,

dapat pula bertahan hingga beberapa bulan. Kelainan tersebut dapat residif,

jumlahnya menjadi lebih sedikit, lebih lama bertahan, dapat anular, dan

bergerombol. Jika menghilang, umumnya tampak bekas, kadangkala dapat

meninggalkan bercak hipopigmentasi dan disebut leukoderma sifilitikum. Jika

roseola terjadi pada kepala yang berambut, dapat menyebabkan rontoknya

rambut. 1

56

Page 57: penyakit bakteri pada kulit

Gambar 22. Roseola Sifilitika

b. Papul

Bentuk ini merupakan bentuk yang paling sering terlihat pada S II.

Bentuknya bulat, adakalanya terdapat bersama dengan roseola. Papul tersebut

dapat berskuama yang terdapat di pinggir (koleret) dan disebut papulo-

skuamosa. Skuama dapat pula menutupi permukaan papul sehingga mirip

psoriasis, oleh karea itu dinamakan psoriasiformis. Jika papul-papul tersebut

menghilang dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi dan disebut

leukoderma sifilitika, yang akan menghilang perlahan-lahan. Bila pada leher

disebut leukoderma koli atau kolar of Venus. Selain papul yang lentikular

dapat pula terbentuk papul yang likenoid, meskipun jarang dapat pula

folikular dan ditembus rambut. Pada S II dini, papul generalisata dan simetrik,

sedangkan pada yang lanjut bersifat setempat dan tersusun secara teratur,

arsinar, sirsinar, polisiklik, dan korimbiformis. Jika pada dahi susunan yang

arsinar/sirsinar tersebut dinamakan korona venerik karena menyerupai

mahkota. Papul-papul tersebut juga dapat dilihat pada sudut mulut, ketiak, di

bawah mamae, dan alat genital.

Bentuk lain ialah kondilomata lata, terdiri atas papul-papul lentikular,

permukaannya datar, sebagian berkonfluensi, terletak pada daerah lipatan kulit

akibat gesekan antar kulit permukaan menjadi erosif, eksudatif, sangat

menular.

Tempat predileksinya di lipat paha, skrotum, vulva, perianal, di bawah

mamae dan antar jari kaki. Kejadian yang jarang terlihat ialah pada tempat

afek primer terbentuk lagi infiltrasi dan reindurasi sebabnya treponema masih

57

Page 58: penyakit bakteri pada kulit

tertinggal pada waktu S I menyembuh dan kemudian akan membiak dan

dinamakan chancer redux.1

Gambar 23. Kondiloma lata

c. Pustul

Bentuk ini jarang terdapat. Mula-mula terbetuk banyak papul yang menjadi

vesikel dan kemudian terbentuk pustul, sehingga di samping pustul masih pula

terlihat papul. Timbulnya banyak pustul ini sering disertai demam yang

intermitten dan penderita tampak sakit, lamanya dapat berminggu-minggu.

Kelaianan kulit demikian disebut sifilis variseliformis karena menyerupai

varisela.1

d. Bentuk lain

Kelainan lain yang dapat terlihat pada S II ialah banyak papul, pustul, dan

krusta yang berkonfluensi sehingga mirip impetigo, karena itu disebut sifilis

impetiginosa. Dapat pula timbul berbagai ulkus yang tertutupi krusta yang

disebut ektima sifilitikum. Bila krustanya tebal disebut rupia sifilitika. Disebut

sifilis ostrasea jika ulkus meluas ke perifer sehingga berbentuk seperti kulit

kerang. Sifilis yang berupa ulkus-ulkus yang terdapat di kulit dan mukosa

disertai demam dan keadaan umum buruk disebut sifilis maligna yang dapat

menyebabkan kematian.1

1. Sifilis lanjut

Perbedaan karakteristik sifilis dini dan sifilis lanjut ialah sebagai berikut: 

1. Pada sifilis dini bersifat infeksius, pada sifilis lanjut tidak, kecuali

kemungkinan pada wanita hamil.

58

Page 59: penyakit bakteri pada kulit

2. Pada sifilis dini hasil pemeriksaan lapangan gelap ditemukan T. pallidum,

pada sifilis lanjut tidak ditemukan.

3. Pada sifilis dini infeksi ulang dapat terjadi walau telah diberi pengobatan

yang cukup, sedangkan pada sifilis lanjut sangat jarang.

4. Pada sifilis dini tidak bersifat destruktif, sedangkan pda sifilis lanjut

destruktif

Pada sifilis dini hasil tes serologis selalu reaktif dengan titer tinggi, setelah

diberi pengobatan yang adekuat akan berubah menjadi non reaktif atau titer rendah,

sedangkan pada sifilis lanjut umumnya reaktif, selalu dengan titer rendah dan sedikit atau

hampir tidak ada perubahan setelah diberi pengobatan. Titer yang tinggi pada sifilis lanjut

dijumpai pada gumma dan paresis.

7. DIAGNOSIS

1. Pemeriksaan T. Pallidum

Cara pemeriksaan adalah dengan mengambil serum dari lesi kulit dan dilihat

bentuk dan pergerakannya dengan microskop lapangan gelap. Pemeriksaan dilakukan tiga

hari berturut-turut. Jika hasil pada hari I dan II negatif. Sementara itu lesi dikopres

dengan larutan garam faal. Bila negatif bukan selalu berarti diagnosisnya bukan sifilis,

mungkin kumannya terlalu sedikit. Treponema tampak berwarna putih pada latar

belakang gelap. Pergerakannya memutar terhadap sumbunya, bergerak perlahan-lahan

melintasi lapangan pada pandangan, jika tidak bergerak cepat seperti Borrelia vincentii

penyebab stomatitis.

Pemeriksaan lain dengan pewarna menurut Buri, tidak dapat dilihat

pergerakannya karena treponema tersebut telah mati, jadi hanya tampak bentuknya saja.

Sementar itu lesi dikompres dengan larutan garam faal setiap hari. Pemeriksaan yang

tidak rutin ialah dengan teknik fluoresen. T. pallidum tidak dapat dibedakan secara

mikroskopik dan serologik dengan T. Penrtenue penyebab frambusia dan T. Carateum

penyebab pinta.1

1. Tes Serologik Sifilis (T.S.S)

59

Page 60: penyakit bakteri pada kulit

T.S.S. atau Serologic Tests for Sypilis (S.T.S) merupakan pembantu diagnosis yang

penting bagi sifilis. Sebagai ukuran untuk mengevaluasi tes serologi ialah sensitivitas

dan spesifisitas. Sentivitas ialah kemampuan untuk bereaksi pada penyakit sifilis.

Sedangkan spesifisitas berarti kemampuan nonreaktif pada penyakit bukan sifilis.

Makin tinggi sensitivitas suatu tes, makin baik tes tersebut dipakai untuk tes

screening. Tes dengan spesifisitas yang tinggi sangat baik untuk diagnosis. Makin

spesifik suatu tes, makin sedikit memberi hasil semua positif.1,5

S I pada mulanya memberi hasil T.S.S. negatif (seronegatif), kemudian menjadi

positif (seropositif) dengan titer rendah, jadi positif lemah. Pada S II yang masih dini

reaksi menjadi positif agak kuat, yang akan menjadi sangat kuat pada S II lanjut. Pada

S III reaksi menurut lagi menjadi positif lemah atau negatif.6

T.S.S. dibagi menjadi dua berdasarkan antigen yang dipakai, yaitu :

1. Nontreponema (tes reagin).

Pada tes ini digunakan antigen tidak spesifik yaitu kardiolipin yang

dikombinasikan dengan lesitin dan kolestrol, karena itu tes ini dapat memberi

Reaksi Biologik Semu (RBS) atau Biologic Fase Positive (BFP).

Antibodinya disebut reagin, yangterbentuk setelah infeksi dengan T.pallidum,

tetapi zat tersebut terdapat pula pada berbagai penyakit lain dan selama

kehamilan. Reagin ini dapat bersatu dengan suspensi ekstrak lipid dari binatang

atau tumbuhan, menggumpal membentuk masa yang dapat dilihat pada tes

flokulasi. Massa tersebut juga dapat bersatu dengan komplemen yang

merupakan dasar bagi tes ikatan komplemen. Contoh tes nontreponemal :

- Tes fiksasi komplemen : Wasserman (WR), Kolmer.

- Tes flokulasi : VDRL (Venereal Disease Research Laboratories), Kahn,

RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Test), dan RST

(Reagin Screen Test).

Diantara tes-tes tersebut, yang dianjurkan ialah VDRL dan RPR secara

kuantitatif, karena teknik lebih mudah dan lebih cepat dari pada tes fiksasi

komplemen, lebih sensitif daripada tes Kolmer/Wasserman, dan baik untuk

menilai terapi.

60

Page 61: penyakit bakteri pada kulit

Tes RPP dilakukan dengan antigen VDRL, kelebihan RPP ialah flokulasi

dapat dilihat secara makroskopik, lebih sederhana, serta dapat dibaca setelah

sepuluh menit sehingga dapat dipakai untuk screening.

Kalau terapi berhasil, maka titer VDRL cepat menurun, dalam enam minggu titer

akan menjadi normal. Tes ini dipakai secara rutin, termasuk untuk tes screening.

Jika titer seperempat atau lebih tersangka penderita sifilis, mulai positif setelah

dua sampai empat minggu sejak S I timbul. Titer akan meningkat hingga

mencapai puncaknya pada S II lanjut (1/64) atau (1/128) kemudian berangsur-

angsur menurun dan menjadi negatif.

Pada tes flokasi dapat terjadi reaksi negatif semu karena terlalu banyak reagin

sehingga flokulasi tidak terjadi. Reaksi demikian disebut reaksi si prozon. Jika

serum diencerkan dan tes lagi, hasilnya menjadi positif.

2. Treponemal

Tes ini bersifat spesifik karena antigennnya ialah treponema atau ekstraknya

dan dapat digolongkan menjadi empat kelompok :

Tes Imobilisasi : TPI (Treponemal pallidum Imobilization Test).

Tes fiksasi komplemen : RPCF (Reiter Protein Complement Fixation

Test).

Tes Imunofluoresen : FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antbody

Absorption Test), ada dua : lgM, lgG; FTA-Abs DS (Fluorescent

Treponemal Antibody-Absorption Double Staining).

o Tes hemoglutisasi : TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination Assay), 19S

lgM SPHA (Solid-phase Hemabsorption Assay), HATTS (Hemagglutination

Treponemal Test for Syphilis), MHA-TP (Microhemagglutination Assay for

Antibodies to Treponema pallidum).

TPI merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai kekurangan : biasanya

mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu banyak. Selain itu juga reaksinya lambat ,

baru positif pada akhir stadium primer, tidak dapt digunakan untuk menilai hasil

pengobatan, hasil dapat negatif pada sifilis dini dan sangat lanjut.

61

Page 62: penyakit bakteri pada kulit

RPCF sering digunakan untuk tes screening karena biayanya murah; kadang-

kadang didapatkan reaksi positif semu. FTA-Abs paling sensitif (90%), terdapat

dua macam yaitu untuk lgM dan lgG sudah positif pada waktu timbuk kelainan S I.

lg M sangat reaktif pada sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer lgM cepat turun,

sedangkan lgG lambat. lgM penting untuk mendiagnosis sifilis kongenital (lihat

bab mengenai sifilis kongenital).

TPHA merupakan tes treponemal yang dianjurkan karena teknis dan

pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik dan sensitif, menjadi reaktifnya cukup

dini. Kekurangannya tidak dapat dipakai untuk menilai hasil terapi, karena tetap

reaktif dalam waktu yang lama. Tes ini sudah dapat dilakukan di Indonesia.

Sebaliknya dilakukan secara kuantitatif yakni dengan pengenceran antar 1/80 –

1/1024.

lgS lgM SPHA merupakan tes yang reaktif baru. Sebagai antiserum ialah

cincin spesifik U dan reagin TPHA. Secara teknis lebih mudah daripada FTA-Abs

lgM. Maksud tes ini ialah untuk mendeteksi secara cepat lgM yang spesifik

terhadap T. Pallidum dan memegang peranan penting untuk membantu diagnosis

neurosifilis. Jika titernya melebihi 2560, artinya menyongkong diagnosis aktif.

Menurut Notowics (1981) urutan sensitivitas untuk S I sebagai berikut: FTA-

Abs, RPR, RPCF, VDRL, Kolmer, TPI. Pada sifilis laten ialah : FTA-Abs, RPCF,

RPR, VDRL, Kolmer.

O’Neil membandingkan tes FTA-Abs lgG/lgM, TPHA, dan VDRL. Yang

cepat bereaksi ialah FTA-Abs, yakni satu minggu setelah afek primer. Disusul oleh

FTA-Abs lgG, kemudian TPHA bersama-sama VDRL. Pada pengobatan yang

paling cepat menurun berturt-turut ialah VDRL, FTA-Abs lgM, FTA-Abs lgG,

sedangkan titer TPHA masih tetap tinggi. Menurut Platts (1974), WR lebih lambat

bereaksi dibandingkan VDRL/RPCF, sedangkan TPI lebih lambat daripada WR.

Pada tabel 58-1 dicantumkan enam pola serologik dan interprestasinya yang

dikemukakan oleh O’Neil.

Sensitivitas MHA-TP hampir sama dengan FTA-Abs pada S II, laten dan

stadium lanjut, tetapi pada S I FTA-Abs lebih sensitif. Pada sifilis laten dan S III,

tes nontreponemal bervariasi : positif lemah atau negatif, sedangkan tes treponemal

62

Page 63: penyakit bakteri pada kulit

positif lemah. Tes rutin yang dianjurkan ialah RPP/VDRL dan TPHA, dipakai

sebagai pemeriksaan pembantu dan screening. Jika perlu baru FTA-Abs; sayang

tes ini umumnya belum dapat dilakukan di Indonesia.

Bila hasil tes serologik tidak sesuai dengan klinis, tes tersebut peru diulangi,

karena mungkin terjadi kesalahan teknis. Kalau perlu di laboratorium lain.

Demikian pula jika hasil tes yang satu dengan yang lain tidak sesuai, misalnya titer

VDRL rendah (1/4), sedangkan titer TPHA tinggi (1/1024)

Pemeriksaan mikroskopis lapangan gelap terhadap lesi kulit, merupakan

pemeriksaan yang paling spesifik untuk diagnosis sifilis. Kuman spirochaeta hidup

berbentuk khas seperti sekrup, dapat terlihat pada pemeriksaan slide eksudat secara

mikroskopis.

Uji absorpsi antibodi treponema menggunakan fluoresensi akan mendeteksi

antigen T.pallidum yang terdapat pada jaringan, cairan mata, LCS, sekret

trakeobronkial dan eksudat pada lesi. Pemeriksaan ini sangat sensitif untuk

mendeteksi sifilis pada berbagai tahap. Sekali reaktif, ia akan tetap reaktif.

Prosedur lain adalah uji serologis berupa uji VDRL (Venereal Disease Research

Laboratory) dan RPR (Rapid Plasma Reagin), untuk mendeteksi antibodi

nonspesifik. Keduanya reaktif pada minggu 1-2 setelah munculnya lesi primer

atau 4-5 minggu setelah dimulainya infeksi. Pada neurosifilis, pemeriksaan LCS

menunjukkan kadar protein di atas 40 mg/dL, VDRL reaktif, dan hitung sel lebih

dari 5 sel mononuklear/ uL.

Pemeriksaan LCS

Diagnosis neurosifilis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan LCS dengan hitung

leukosit > 20 sel/ µL, dan/atau VDRL LCS reaktif, dan/atau indeks antibodi T.

pallidum LCS intratekal positif. Terdapat kelainan LCS berupa peningkatan kadar

protein dan pleiositosis pada 70% pasien, disertai hasil VDRL terhadap LCS yang

reaktif. Pemeriksaan LCS dianjurkan bagi semua pasien sifilis yang tidak diobati,

karena ketidaktahuan atau pada yang lebih dari 1 tahun tanpa diobati. Pemberian

penisilin G pada tahap awal sifilis tidak mencapai kadar treponemasidal di LCS,

sehingga para ahli menganjurkan agar penderita sifilis sekunder dan laten awal

63

Page 64: penyakit bakteri pada kulit

melakukan pungsi lumbal, dan terus memfollow-up penderita yang hasilnya

abnormal.

Pungsi lumbal diperlukan untuk mengevaluasi sifilis laten yang telah

berlangsung lebih dari 1 tahun, pada kecurigaan neurosifilis, dan komplikasi

lanjut selain neurosifilis simtomatik (sifilis asimtomatik dapat timbul bersama

komplikasi lainnya). Titer RPR serum 1:32 merupakan batas perlu tidaknya

dilakukan pungsi lumbal. Untuk menilai keberhasilan terapi, dapat dilakukan

pengawasan berkala terhadap hasil pemeriksaan LCS, misalnya pleiositosis pada

LCS. Meski demikian, pungsi lumbal harus dilakukan dengan hati-hati jika pada

pemeriksaan neuroimaging ditemukan adanya gumma (berupa space- occupying

lesion) karena dapat terjadi hernia sefalokaudal.

Kriteria diagnosis standar untuk sifilis, adalah ditemukannya spirochaeta

pada lesi primer dan sekunder menggunakan pemeriksaan lapangan gelap. Namun

diagnosis neurosifilis ditegakkan berdasarkan klinis, yaitu manifestasi neurologis,

temuan LCS dan bukti paparan pada uji serologis. Pada kasus perinatologi, jika

terjadi peningkatan beta2-mikroglobulin pada LCS, maka diduga ada keterlibatan

SSP pada kasus sifilis kongenital. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk

memonitor respon terhadap terapi.

Pemeriksaan serologis

Infeksi sifilis akan merangsang timbulnya 2 jenis antibodi, yaitu antibodi

nonspesifik reaginik (cardiolipin) dan antibodi spesifik treponema. Cardiolipin

dapat positif pada infeksi yang disebabkan oleh semua infeksi treponema,

termasuk treponema nonsifilis. Pemeriksaan VDRL dan RPR termasuk

pemeriksaan nontreponemal, sementara yang termasuk pemeriksaan treponema

adalah FTA-ABS dan microhemag-glutination assay-T pallidum (MHA-TP).

FTA-ABS dan MHA-TP bersifat sangat reaktif (sensitif dan spesifik) dan

mengonfirmasi diagnosis sifilis sekunder, laten, tersier, dan kuarterner. Hasil ini

tetap positif, meski telah terjadi kesembuhan atau serokonversi. Hasil positif palsu

dapat terjadi pada Lyme disease.

64

Page 65: penyakit bakteri pada kulit

Pada pemeriksaan nontreponema, RPR lebih sering digunakan dibanding VDRL.

Keduanya memiliki sensitivitas yang sama, dan dapat digunakan dalam tes

penyaringan serta follow-up serial. Pada sifilis tersier, hasil pemeriksaan VDRL

akan tetap positif. Respon terhadap terapi dapat dinilai berdasarkan penurunan

titer antibodi. Jika titer malah meningkat, kemungkinan ada reinfeksi atau terapi

yang inadekuat. Titer VDRL tidak berhubungan langsung dengan titer RPR. Oleh

karena itu, jenis pemeriksaan yang digunakan untuk menilai harus selalu sama.

Hindari kontaminasi darah selama pungsi lumbal, untuk mencegah hasil positif

palsu pada pemeriksaan serologis LCS, termasuk untuk FTA-ABS.

Untuk follow-up, CDC AS menganjur- kan bahwa pasien yang menjalani terapi

sifilis primer atau sekunder harus dianggap mengalami kegagalan pengobatan,

jika titer RPRnya tidak menurun dengan 2 atau lebih pengenceran dalam waktu 3

bulan setelah terapi. Sejumlah ahli menganjurkan pungsi lumbal 6 bulan setelah

terapi pada penderita sifilis dengan infeksi HIV, guna mengevaluasi respon terapi,

bersama dengan evaluasi klinik dan pemeriksaan serologis berkala. Pemeriksaan

VDRL pada LCS perlu waktu bertahun-tahun untuk kembali normal. Untuk itu,

respon terapi sebaiknya dilihat melalui pleiositosis pada LCS. Pasien dianggap

tidak memiliki kecenderungan neurosifilis, jika pemerik- saan LCS normal dua

tahun setelah terapi.

8. PENATALAKSANAAN

Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, danselama

belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedinimungkin,

makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten terapi bermaksud mencegah proses

lebih lanjut. Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain.

PENISILIN

Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat

menembus placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat menyembuhkan

janin yangterinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis.

65

Page 66: penyakit bakteri pada kulit

Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang dari0,03 unit/ml.

Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan dalam serum selamasepuluh sampai

empat betas hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua puluh sate hariuntuk neurosifilis dan

sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah lebih dari dua

puluh empat sampai tiga puluh jam, maka kuman dapat berkembang biak.

Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:

a. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat jam,

jadi bersifat kerja singkat.

b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM), lama

kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.

c. Penisilin G benzatin, dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam serum dua

sampai tiga minggu, bersifat kerja lama.

Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral

tidak dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan dengan

suntikan. Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing-masing;

yang pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan yang ketiga

biasanya setiap minggu.

 Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, maka kadar obat dalam serum dapat

bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu disuntik setiap hari

seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua. Obat ini mempunyai

kekurangan, yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis karena sukar masuk ke dalam

darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua.

Karena penisilin G benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan, ada yang tidak

menganjurkan pemberiannya kepada bayi. Demikian pula PAM memberi rasa nyeri

pada tempat suntikan dan dapat mengakibatkan abses jika suntikan kurangdalam; obat

ini kini jarang digunakan.1

 Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G benzatin

9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu.

66

Page 67: penyakit bakteri pada kulit

Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua 18-24

jutaunit sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari.2Pada

sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam akua100.000-

150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg B.B., i.m.,setiap hari

selama 10 hari.

Reaksi Jarish-Herxheimer

Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer. Sebab

yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh

hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T. Pallidum yang coati.

Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat terjadi setelah

enam sampai dua belas jam pada suntikan penisilin yang pertama. Gejalanya dapat

bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya ringan berupa sedikit demam.

Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi, nyeri kepala ,artralgia, malese,

berkeringat, dan kemerahan pada muka.3 Gejala lokal yakni afek  primer menjadi

bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan

menghilang setelah sepuluh sampai dua belas jam tanpa merugikan penderita pada S

I.

Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema

glotis pada penderita dengan guma di laring, penyempitan arteria koronaria pada

muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis serebral. Selain itu juga dapat

terjadi ruptur aneurisma atau ruptur dinding aorta yang telah menipis yang

disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang berlebihan akibat penyembuhan

yang cepat. Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid,

contohnya dengan prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan

sebagai pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta dan

diberikandua sampai tiga hari sebelum pemberian penisilin serta dilanjutkan dua

sampai tiga hari kemudian.1

67

Page 68: penyakit bakteri pada kulit

Tabel 1. Ikhtisar Penatalaksanaan Sifilis

Sifilis Pengobatan Pemantauan Serologik

Sifilis primer 1. Penisilin G benzatin

dosis 4,8 juta unit

secara IM 2,4 juta) dan

diberikan satu kali

seminggu unit.

2. Penisilin G prokain

dalam akua dosis total

6 juta, diberi 0,6 juta

unit/hari selama 10

hari

3. PAM (penisilin prokain

+2% aluminium

monostrerat) dosis 4,8

juta unit, diberikan 1,2

juta unit/kali 2 kali

seminggu

Pada bulan I, III, VI, dan

XII dan setiap enam bulan

pada tahun ke dua

Sifilis sekunder Sama seperti sifilis primer

Sifilis laten 1.Penisilin G benzatin

dosis total 7,2 juta unit

2.Penisilin G prokain

dalam akua, dosis total 12

juta unit (0,6 juta unit/hari)

3. PAM dosis total 7,2juta

unit (1,2 juta unit/kali, 2

68

Page 69: penyakit bakteri pada kulit

kali seminggu)

Sifilis S III 1.Penisilin G benzatin

dosis total 9,6 juta unit

2.Penisilin G prokain

dalam akua, dosis total 18

juta unit (0,6 juta unit/hari)

3. PAM dosis total 9,6 juta

unit (1,2 juta unit/kali, 2

kali seminggu)

ANTIBIOTIK LAIN

Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan

sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin. Bagi yang alergi

terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atauaeritromisin 4 x 500

mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama pengobatan 15 hari bagi S I dan S II

dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin bagi yang hamil, efektivitasnya

meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik daripada tetrasiklin, yakni 90-100%,

sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.

 Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin yangdiberikan

sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan perbaikan.  Obat yang lain

ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500 mgsehari selama 15 hari.

Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal i.m. atau i.v.selama 15 hari.

Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama dinegara yang sedang

berkembang untuk menggantikan penisilin. Dosisnya 500 mg sehari sebagai dosis

tunggal. Lama pengobatan 10 hari.

TINDAK LANJUT

Evaluasi T.S.S. (V.D.R.L) dibagian kami sebagai berikut:

69

Page 70: penyakit bakteri pada kulit

- 1 bulan sesudh pengobatan selesai T. S. S diulang:

a. Titer ↓ : tidk diberikan pengobatan lagi.

b. Titer ↑: pengobatan ulang

c. Titer menetap : tunggu 1 bulan lagi

- 1 bulan sesudah c:

a. Titer ↓ : tidak diberikan pengobatan

b. Titer ↑ atau tetap : pengobatan ulang

Kriteria sembuh, jika lesi telah menghilang, kelenjar getah bening tidak teraba

lagi dan V.D.R.L negatif. Pada sifillis dini yang diobati T.S.S (VDRL/RPR) akan

menjadi negative dalam 3-6 bulan. Pada 16% kasus tetap positif dengan titer

rendah selama setahun atau lebih, tetapi akan menjadi neatif setelah 2 tahun.

Tindak lanjut dilakukan sesudah 3,6 dan 12 bulan sejak selesai pengobatan.

Setelah setahun diperiksa liquor serebrispinal. Kasus yang mengalami kambuh

serologic atau klinis diberikan terapi ulang dengan dosis dua kali lebih banyak.

Terapi ulang juga untuk kasus seroresisten yang tidak terjadi penurunan titer

serologic setelah 6-12 bulan setelah terapi. Pada sifilis laten tindak lanjut

dilakukan selama 2 tahun. Penderita sifilis kardiovaskuler dan neurosifilis yang

telah diobti hendaknya ditindaklanjuti selama bertahun-tahun.

VIII. PROGNOSIS

Dengan ditemukannya penisilin, maka prognosis sifilis menjadi lebih baik. Untuk

menentukan penyembuhan mikrobiologik, yang berarti bahwa semua T.pallidum di

badan terbunuh tidaklah mungkin. Penyembuhan berarti sembuh klinis seumur

hidup, tidak menular keorang lain, T.S.S pada darah dan likuor serebrospinalis

selalu negative. Jika sifilis tidak diobati, maka hampir seperempatnya akan kambuh,

5% akan mendapat S III, 10% mengalami sifilis kardiovaskular, neurosifilis pada pria

9% dan pada wanita 5%, 23%akan meninggal. Pada sifilis dini yang diobati, angka

penyembuhan mencapai 95%. Kelainan kulit akan sembuh dalam 7-14 hari.

70

Page 71: penyakit bakteri pada kulit

Pembesaran kelenjar getah bening akan menetap berminggu-minggu. Kegagalan

terapi sebanyak 5% pada S I dan S II. Kambuh klinis umumnya terjadi 30 setahun

sesudah terapi, berupa lesi menular pada mulut, tenggorok, dan region perianal.

Disamping itu dikenal pula kambuh serologic, yang berarti T.S.S yang negative

menjadi positif atau yang telah positif menjadi makin positif. Rupanya kambuh

serologic ini mendahului kambuh klinis. Kambuh klinis pada wanita juga dapat

bermanifestasi pada bayi berupa sifilis kongenital. Pada sifilis laten lanjut

prognosisnya baik, prognosis pada sifilis gumatosa bergantung pada alat yang dikenai

dan banyaknya kerusakan. Dengan melihat hasil T.S.S pada sifilis lanjut sukar

ditentukan prognosisnya. T.S.S yang tetap positif lebih daripada 80% meskipun telah

mendapat terapi yang adekuat. Umumnya titer akan menurun jika meningkat

menunjukkan kambuh dan memerlukan terapi ulang. Pada sifilis kardiovaskular

prognosisnya suka ditentukan. Pada aortitis tanpa komplikasi prognosisnya baik. Pada

payah jantung prognosisnya buruk. Aneurisma merupakan komplikasi berat karena

dapat mengalami rupture. Meskipun demikian sebagian penderita dapat hidup sampai

10 tahun atau lebih. Prognosis pada wanita lebih baik daripada pria. Pada kelainan

arteria koronaria, prognosisnya bergantung pada derajat penyempitan yang

berhubungan dengan kerusakan miokardium. Pada setiap stadium sifilis

kardiovaskular penderita dapat meninggal secara mendadak akibat oklusi muara arteri

koronaria, rupture aneurisma, atau kerusakan katup. Prognosis neurosifilis

bergantung pada tempat dan derajat kerusakan. Sel saraf yang rusak bersifat

irreversible. Prognosis neurosifilis dini baik, angka penyembuhan dapat

mencapai100%, neurosifilis asimptomatik pada stadium lanjut prognosisnya juga

baik, kurang dari 1%memerlukan terapi ulang. Pada kasus sifilis meningitis,

penyembuhan lebih dari 50%. Pada demensia paralitika ringan 50% menunjukkan

perbaikan. Pada tabes dorsalis hanya sebagian gejala akan menghilang, sedangkan

yang lain menetap. Prognosis sifilis congenital dini baik. Pada yang lanjut

prognosisnya bergantung pada kerusakan yang telah ada. Stigmata akan menetap,

misalnya keratitis interstitialis, ketulian nervus VIII, dan Clutton`s joint . Meskipun

telah diobati, tetapi pada 70% kasus ternyata tes reagen tetap positif.1

71

Page 72: penyakit bakteri pada kulit

BAB III

DAFTAR PUSTAKA

1. USU. Pioderma. Diunduh dari: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/

40233/3/Chapter%20II.pdf. Diakses tanggal 20 mei 2016.

2. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin. Edisi ke-4. Jakarta : FKUI. 2006.

3. Siregar, R.S, 2005. Atlas Berwama Saripati Penyakit Kulit. Edisi Kedua. Penerbit

Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal. 45-49

4. Wahid, Dian Ibnu. Impetigo: Terapi dan Penggunaan Antibiotika Topikal

Berdasarkan Evidence Based Medicine. 18 Mei 2008. Diakses di

http://diyoyen.blog.friendster.com/2009/05/impetigo-terapi-dan-penggunaan-antibiot

ik-topikal-berdasarkan-evidence-based-medicine/

5. Makalah impetigo. Availble at : http://www.darwaners.co.cc/2010/08/makalah-

impetigo.html

6. Nugraha S. Folikulitis. Diunduh dari : http://journal-kesehatan.blogspot.co.id/

2011/11/folikulitis.html. Diakses tanggal 20 mei 2016.

7. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi Kelima,

cetakan pertama,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007, Hal 59 – 60.

8. Abdullah, Benny. Furunkulosis. In: Dermatologi Pengetahuan Dasar dan Kasusdi

Rumah Sakit. SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Haji.Surabaya.2009. hal

113-115.

9. W Klaus, Johnson RA. Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology,

ed. Ke-6. United States: The McGraw-Hill Companies, 2009.

10. Hutapea, NO. Sifilis. Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular Seksual, Balai

Penerbit FKUI, Jakarta,2009. h:84-102.

72