28
4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1 Pengertian Industri Farmasi Industri Farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Industri Farmasi harus membuat obat sesuai aturan CPOB agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan konsumen, baik karena ketidakamanan, ketidakefektifan, maupun mutu obat yang substandar (Depkes RI, 2010). 2.1.2 Persyaratan Industri Farmasi Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan oleh Industri Farmasi. Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh Izin Industri Farmasi dari Direktur Jenderal. Direktur Jenderal yang dimaksud adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang bertugas dan bertanggung jawab dalam pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan (Depkes RI, 2010). Persyaratan untuk memperoleh Izin Industri Farmasi tercantum dalam Permenkes RI Nomor1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah sebagai berikut : 1. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas 2. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat 3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak Universitas Sumatera Utara

4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

  • Upload
    ngocong

  • View
    229

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

4

BAB II

TINJAUAN UMUM INDUSTRI

2.1 Industri Farmasi

2.1.1 Pengertian Industri Farmasi

Industri Farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah badan usaha yang memiliki izin dari menteri

kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Industri

Farmasi harus membuat obat sesuai aturan CPOB agar sesuai dengan tujuan

penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar

(registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan konsumen, baik

karena ketidakamanan, ketidakefektifan, maupun mutu obat yang substandar

(Depkes RI, 2010).

2.1.2 Persyaratan Industri Farmasi

Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan oleh

Industri Farmasi. Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh Izin

Industri Farmasi dari Direktur Jenderal. Direktur Jenderal yang dimaksud adalah

Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang bertugas dan bertanggung

jawab dalam pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan (Depkes RI, 2010).

Persyaratan untuk memperoleh Izin Industri Farmasi tercantum dalam

Permenkes RI Nomor1799/Menkes/Per/XII/2010 adalah sebagai berikut :

1. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas

2. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat

3. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak

Universitas Sumatera Utara

Page 2: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

5

4. Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang Apoteker Warga Negara

Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu,

produksi, dan pengawasan mutu

5. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung ataupun tidak

langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang

kefarmasian (Depkes RI, 2010).

2.1.3 Izin Usaha Industri Farmasi

Berdasarkan Permenkes RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010, untuk

memperoleh Izin Usaha Industri Farmasi diperlukan persetujuan prinsip. Tata cara

permohonan persetujuan prinsip Industri Farmasi sebagai berikut:

a. Permohonan persetujuan prinsip diajukan kepada Direktur Jenderal dengan

tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi.

b. Sebelum pengajuan permohonan persetujuan prinsip, pemohon wajib

mengajukan permohonan persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP)

kepada Kepala Badan.

c. Persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) diberikan oleh Kepala Badan

dalam bentuk rekomendasi hasil analisis Rencana Induk Pembangunan

(RIP)paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak

permohonan diterima.

d. Permohonan persetujuan prinsip diajukan dengan kelengkapannya.

e. Persetujuan prinsip diberikan oleh Direktur Jenderal paling lama dalam waktu

14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima atau menolaknya.

f. Pemohon izin industri farmasi dengan status Penanaman Modal Asing atau

Penanaman Modal Dalam Negeri yang telah mendapatkan Surat Persetujuan

Universitas Sumatera Utara

Page 3: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

6

Penanaman Modal dari instansi yang menyelenggarakan urusan penanaman

modal, wajib mengajukan permohonan persetujuan prinsip sesuai dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini (Ditjen Binfar dan Alkes RI,

2011)

Gambar 2.1 Tata cara pemberian persetujuan prinsip (Ditjen Binfar dan Alkes

RI, 2011).

Setelah memperoleh persetujuan prinsip, Industri Farmasi dapat mengurus

Izin Industri Farmasi dengan tata cara sebagai berikut:

a. Pemohon yang telah selesai melaksanakan tahap persetujuan prinsip dapat

mengajukan permohonan izin industri farmasi.

b. Surat permohonan izin industri farmasi harus ditandatangani oleh Direktur

Utama dan Apoteker penanggung jawab pemastian mutu diajukan ke

Kementerian Kesehatan beserta kelengkapannya.

c. Permohonan izin industri diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan

kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat.

d. Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya

tembusan permohonan, Kepala Badan melakukan audit pemenuhan

persyaratan CPOB.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

7

e. Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya

tembusan permohonan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi melakukan

verifikasi kelengkapan persyaratan administratif.

f. Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi

persyaratan CPOB, Kepala Badan mengeluarkan rekomendasi pemenuhan

persyaratan CPOB kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala

Dinas Kesehatan Provinsi dan pemohon.

g. Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak dinyatakan memenuhi

kelengkapan persyaratan administratif, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi

mengeluarkan rekomendasi pemenuhan persyaratan administratif kepada

Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan pemohon.

h. Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima

rekomendasi serta persyaratan lainnya, Direktur Jenderal menerbitkan izin

industri farmasi (Ditjen Binfar dan Alkes RI, 2011).

Gambar 2.2 Tata cara pemberian izin usaha industri farmasi (Ditjen Binfar dan

Alkes RI, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Page 5: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

8

2.1.4 Pembinaan dan Pengawasan Industri Farmasi

Pembinaan terhadap pengembangan Industri Farmasi dilakukan oleh

Direktur Jenderal, sedangkan pengawasan dilakukan oleh Kepala Badan.

Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Permenkes RI Nomor

1799/Menkes/Per/XII/2010 dapat dikenakan sanksi administratif berupa:

1. Peringatan secara tertulis

2. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk

penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan

obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan,

khasiat/kemanfaatan, atau mutu

3. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi

persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu

4. Penghentian sementara kegiatan

5. Pembekuan Izin Industri Farmasi

6. Pencabutan Izin Industri Farmasi

2.1.5 Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi

a. Persetujuan Prinsip

Persetujuan prinsip batal apabila setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun

dan/atau setelah jangka waktu 1 (satu) tahun perpanjangan, pemohon belum

menyelesaikan pembangunan fisik. (Ditjen Binfar dan Alkes RI, 2011).

b. Izin Industri Farmasi

Izin produksi industri farmasi dapat dicabut apabila melanggar ketentuan

peraturan perundangan yang berlaku.(Ditjen Binfar dan Alkes RI, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Page 6: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

9

2.2 Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)

Cara Pembuatan Obat yang Baik adalah pedoman pembuatan obat

bagi industri farmasi di Indonesia yang bertujuan untuk memastikan agar sifat dan

mutu obat yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah

ditentukan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. (Badan POM RI, 2012).

Berikut adalah aspek-aspek yang diatur dalam CPOB 2012:

2.2.1 Manajemen Mutu

Unsur dasar manajemen mutu adalah sistem mutu dan pemastian mutu.

Sistem mutu mencakup struktur organisasi, prosedur, proses, dan sumber daya.

Pemastian mutu (QA) adalah totalitas semua pengaturan yang dibuat dengan

tujuan untuk memastikan bahwa obat yang dihasilkan dengan mutu yang sesuai

dengan tujuan pemakaiannya. Sedangkan pengawasan mutu (QC) adalah bagian

dari CPOB yang berhubungan dengan pengambilan sampel, spesifikasi, pengujian

serta organisasi, dokumentasi, prosedur pelulusan. (Badan POM RI, 2012).

Konsep dasar Pemastian Mutu, Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB),

Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu adalah aspek manajemen mutu

yang saling terkait. (Badan POM RI, 2012).

Pemastian mutu mencakup Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)

ditambah dengan faktor lain di luar pedoman ini seperti desain dan pengembangan

produk. Sistem pemastian mutu yang benar dan tepat bagi industri farmasi

hendaklah memastikan bahwa:

- Desain dan pengembangan obat dilakukan dengan memperhatikan persyaratan

Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan semua langkah produksi dan

pengawasan diuraikan secara jelas.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

10

- Tanggung jawab manajerial diuraikan dengan jelas dalam uraian jabatan.

- Pengaturan disiapkan untuk pembuatan pasokan dan penggunaan bahan awal

dan pengemas yang benar.

- Semua pengawasan terhadap produk antara dan pengawasan selama - proses

(In Process Control/IPC) lain memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

- Pengkajian terhadap semua dokumen yang terkait dengan proses pengemasan

dan pengujian Bets (Batch) dilakukan sebelum memberikan pengesahan

pelulusan untuk distribusi. Penilaian hendaklah meliputi semua faktor yang

relevan termasuk kondisi pembuatan, hasil dan Pengawasan Selama Proses

(In Process Control/IPC), pengkajian dokumen produksi termasuk

pengemasan, pengkajian penyimpangan dari prosedur yang telah ditetapkan,

pemenuhan persyaratan dari spesifikasi produk jadi dan pemeriksaan produk

dalam kemasan akhir.

- Obat tidak dijual atau dipasok sebelum Kepala Bagian Manajemen Mutu

(pemastian mutu) menyatakan bahwa tiap bets (Batch) produksi dibuat dan

dikendalikan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam izin edar dan

peraturan lain yang berkaitan dengan aspek produksi, pengawasan mutu dan

pelulusan produk.

- Tersedia pengaturan yang memadai untuk memastikan bahwa sedapat

mungkin produk disimpan, didistribusikan dan selanjutnya ditangani

sedemikian rupa agar mutu tetap dijaga selama masa edar atau masa simpan

obat.

- Tersedia prosedur inspeksi diri dan audit mutu yang secara berkala

mengevaluasi efektivitas dan penerapan sistem pemastian mutu.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

11

- Pemasok bahan awal dan bahan pengemas dievaluasi dan disetujui untuk

memenuhi spesifikasi mutu yang telah ditentukan oleh perusahaan.

- Penyimpangan dilaporkan, diselidiki dan dicatat.

- Tersedia sistem persetujuan terhadap perubahan yang berdampak pada mutu

produk.

- Prosedur pengolahan ulang dievaluasi dan disetujui.

- Evaluasi mutu produk berkala dilakukan untuk verifikasi konsistensi proses

dan memastikan perbaikan proses yang berkesinambungan. (Badan POM RI,

2012).

Manajemen resiko mutu adalah suatu proses sistematis untuk melakukan

penilaian, pengendalian dan pengkajian resiko terhadap mutu suatu produk.

Manajemen risiko mutu hendaklah memastikan bahwa:

- Evaluasi risiko terhadap mutu dilakukan berdasarkan pengetahuan secara

ilmiah, pengalaman dengan proses dan pada akhirnya terkait pada

perlindungan pasien.

- Tingkat usaha, formalitas dan dokumentasi dari proses manajemen risiko

mutu sepadan dengan tingkat risiko. (Badan POM RI, 2012).

2.2.2 Personalia

Suatu industri farmasi bertanggung jawab menyediakan personil yang

sehat, terkualifikasi dan dalam jumlah yang memadai agar proses produksi dapat

berjalan dengan baik. Semua personil harus memahami prinsip CPOB agar

produk yang dihasilkan bermutu. (Badan POM RI, 2012).

Kesehatan personil hendaklah dilakukan pada saat perekrutan, sehingga

dapat dipastikan bahwa semua calon karyawan (mulai dari petugas kebersihan,

Universitas Sumatera Utara

Page 9: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

12

pemasangan dan perawatan peralatan, personil produksi dan pengawasan hingga

personil tingkat manajerial) memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik

sehingga akan berdampak pada mutu produk yang dibuat. Disamping itu

hendaklah dibuat dan dilaksanakan program pemeriksaan kesehatan berkala yang

mencakup pemeriksaan jenis-jenis penyakit yang dapat berdampak pada mutu dan

kemurnian produk akhir. Untuk masing-masing karyawan hendaklah ada catatan

tentang kesehatan mental dan fisiknya. (Badan POM RI, 2012).

Dalam kualifikasi dan pengalaman personil yang diperlukan untuk tiap

posisi hendaklah ditetapkan secara tertulis yang disimpan oleh bagian SDM, juga

dapat ditampilkan pada uraian tugas masing-masing. (Badan POM RI, 2012).

Jumlah personil yang memadai sangat mempengaruhi proses produksi.

Kekurangan jumlah personil cenderung mempengaruhi kualitas obat karena

jumlah karyawan yang sedikit biasanya mengakibatkan kerja lembur sehingga

dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental baik bagi operator ataupun

supervisor yang melakukan evaluasi atau mengambil keputusan. (Badan POM

RI, 2012).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 pasal 9,

Industri Farmasi minimal harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai

penanggungjawab masing-masing pada bidang Pemastian Mutu, Produksi dan

Pengawasan Mutu setiap produksi sediaan farmasi.

2.2.3 Bangunan dan Fasilitas

Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki

desain,kontruksi, letak yang memadai dan kondisi yang sesuai serta perawatan

yang dilakukan dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

13

Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil

terjadinya resiko kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain serta

memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk

menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran dan dampak lain

yang dapat menurunkan mutu obat. (Badan POM RI, 2012).

Tingkat kebersihan ruang/area untuk pembuatan obat hendaklah

diklasifikasikan sesuai dengan jumlah maksimum partikulat udara yang

diperbolehkan untuk tiap kelas kebersihan sesuai tabel di bawah ini:

Tabel 2.1. Klasifikasi tingkat kebersihan area industri farmasi

Kelas A, B, C dan D adalah kelas kebersihan ruang untuk pembuatan produk

steril. Kelas E adalah kelas kebersihan ruang untuk pembuatan produk nonsteril.

(Badan POM RI, 2012).

Ruangan produksi hendaklah dilengkapi dengan sistem ventilasi dengan

pengontrol udara yang sesuai bagi produk dan aktifitas yang dilakukan, baik

terhadap ruangan lain maupun terhadap udara luar. (Badan POM RI, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Page 11: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

14

Rancang bangunan hendaklah dibuat sehingga untuk kegiatan yang

berhubungan langsung dengan daerah luar sarananya dikelompokkan. Kegiatan

yang berhubungan langsung dengan daerah luar antara lain:

- Penerimaan bahan awal.

- Keluar masuk karyawan.

- Pemakaian seragam kerja.

- Toilet, tempat cuci tangan.

- Penyerahan produk jadi untuk distribusi.

Rancangan diatas perlu ditekankan agar tidak berdampak negatif

terhadap kegiatan produksi yang dilakukan di area dengan kelas kebersihan lebih

tinggi. (Badan POM RI, 2013).

Tata letak ruang hendaklah dikaji sejak tahap perencanaan kontruksi

bangunan demi keefektifan semua kegiatan, kelancaran arus kerja, komunikasi,

dan pengawasan serta untuk menghindari ketidakteraturan. (Badan POM RI,

2013).

Tata letak ruang dalam area produksi yang harus dipenuhi antara lain

sebagai berikut:

- Untuk memperkecil risiko bahaya medis yang serius akibat terjadi pencemaran

silang, suatu sarana khusus harus disediakan untuk produksi obat tertentu.

- Luas area kerja produksi minimal 2 kali luas yang diperlukan untuk

penempatan peralatan (termasuk wadah yang diperlukan untuk suatu kegiatan)

ditambah luas area untuk keperluan pembersihan dan perawatan mesin oleh

operator produksi atau teknisi.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

15

- Permukaan lantai, dinding, langit-langit dan pintu hendaklah:

Kedap air.

Tidak terdapat sambungan untuk mengurangi pelepasan atau pengumpulan

partikel.

Mudah dibersihkan, serta tahan terhadap proses pembersihan, bahan

pembersih dan disinfektan yang digunakan berulangkali dengan

memperhatikan faktor kepadatan, porositas, tekstur, dan sifat elektrostatis.

(Badan POM RI, 2013).

2.2.4 Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan obat hendaklah memiliki

rancang bangun dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai, dan

ditempatkan dengan tepat sehingga mutu dari setiap produk obat terjamin secara

seragam dari bets ke bets, serta untuk memudahkan pembersihan dan

perawatannya. (Badan POM RI, 2012).

Rancangan bangunan dan kontruksi peralatan hendaklah memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

1. Permukaan peralatan yang bersentuhan dengan bahan baku, produk antara,

produk jadi tidak boleh bereaksi, mengadisi atau mengasorbsi, yang dapat

mengubah identitas, mutu atau kemurniannya di luar batas yang ditentukan.

2. Peralatan tidak boleh menimbulkan akibat yang merugikan terhadap produk

3. Bahan-bahan yang diperlukan untuk suatu tujuan khusus, seperti pelumas

atau pendingin tidak boleh bersentuhan langsung dengan bahan yang diolah

4. Peralatan hendaknya dapat dibersihkan dengan mudah, baik bagian dalam

maupun bagian luar

Universitas Sumatera Utara

Page 13: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

16

5. Peralatan yang digunakan untuk menimbang, mengukur, menguji, dan

mencatat hendaklah diperiksa ketelitiannya secara teratur serta dikalibrasi

menurut suatu program dan prosedur yang tepat

6. Peralatan hendaknya dirawat sesuai jadwal yang tepat

7. Alat-alat harus dikalibrasi dan divalidasi untuk menjamin kelancaran kerja

8. Daerah yang digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan yang mudah

terbakar hendaklah dilengkapi dengan perlengkapan elektris yang kedap

eksplosi serta dibumikan dengan sempurna. (Badan POM RI, 2012).

2.2.5 Sanitasi dan Higiene

Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada

setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup meliputi personalia, bangunan,

peralatan dan kelengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan setiap hal yang

dapat merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran hendaklah

dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh serta

terpadu. (Badan POM RI, 2012).

Sanitasi dan higiene yang diatur dalam pedoman CPOB 2012 adalah

terhadap personalia, bangunan, dan peralatan. Prosedur pembersihan, sanitasi dan

higiene hendaklah divalidasi serta dievaluasi secara berkala untuk memastikan

efektivitas prosedur dan selalu memenuhi persyaratan. (Badan POM RI, 2012).

2.2.6 Produksi

Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah

ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa

menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi

ketentuan izin pembuatan dan izin edar. (Badan POM RI, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Page 14: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

17

Selain itu, produksi baiknya dilakukan dan diawasi oleh personil yang

kompeten, mutu suatu obat tidak hanya ditentukan oleh hasil analisa terhadap

produk akhir, melainkan juga oleh mutu yang dibangun selama tahapan proses

produksi sejak pemilihan bahan awal, penimbangan, proses produksi, personalia,

bangunan, peralatan, kebersihan dan higiene sampai dengan pengemasan. Prinsip

utama produksi adalah:

a. Adanya keseragaman atau homogenitas dari bets ke bets.

b. Proses produksi dan pengemasan senantiasa menghasilkan produk yang

seidentik mungkin (dalam batas syarat mutu) baik bagi bets yang sudah

diproduksi maupun yang akan diproduksi.

Sedangkan hakikat produksi adalah:

a. Mutu produk obat tidak ditentukan oleh hasil akhir analisa saja, tetapi

ditentukan oleh keseluruhan proses produksi (built in process).

b. Adanya prosedur baku (standar) untuk setiap langkah (tahapan) proses

produksi dengan persyaratan yang harus diikuti dengan konsisten. (Badan

POM RI, 2012).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam produksi antara lain:

a. Pembelian Bahan Awal

Pembelian bahan awal hendaklah hanya dari pemasok yang telah disetujui dan

memenuhi spesifikasi yang relevan. Semua penerimaan, pengeluaran dan

jumlah bahan tersisa hendaklah dicatat. Catatan hendaklah berisi keterangan

mengenai pasokan, nomor bets/lot, tanggal penerimaan, tanggal pelulusan, dan

tanggal daluarsa. (Badan POM RI,2012).

Universitas Sumatera Utara

Page 15: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

18

b. Pencegahan Pencemaran Silang

Tiap tahap proses, produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap

pencemaran mikroba dan pencemaran lain. Resiko pencemaran silang ini dapat

timbul akibat tidak terkendalinya debu, uap, percikan atau organisme dari

bahan atau produk yang sedang diproses, dari sisa yang tertinggal pada alat dan

pakaian kerja operator. Tingkat resiko pencemaran ini tergantung dari jenis

pencemaran dan produk yang tercemar. Pencemaran silang hendaklah

dihindari dengan tindakan teknis atau pengaturan yang tepat, antara lain:

- Produksi di dalam gedung yang terpisah (diperlukan untuk produk seperti

penisilin, hormon, sitotoksik, dan produk biologi).

- Tersedia ruang penyangga udara dan penghisap udara.

- Memakai pakaian pelindung yang sesuai di area dimana produk yang

beresiko tinggi terhadap pencemaran silang diproses.

- Melaksanakan prosedur pembersihan dan dekontaminasi yang terbukti

efektif. (Badan POM RI, 2012).

c. Penimbangan dan Penyerahan

Penimbangan dan penyerahan bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan

produk ruahan dianggap sebagai bagian dari siklus produksi dan memerlukan

dokumentasi yang lengkap. Hanya bahan awal, bahan pengemas, produk antara

dan produk ruahan yang telah diluluskan oleh pengawasan mutu dan masih

belum daluarsa yang boleh diserahkan. (Badan POM RI,2012).

Universitas Sumatera Utara

Page 16: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

19

d. Pengembalian

Semua bahan awal dan bahan pengemas yang dikembalikan ke gudang

penyimpanan hendaklah didokumentasikan dengan benar. (Badan POM

RI,2012).

e. Pengolahan Produk Antara dan Produk Ruahan

Semua bahan yang dipakai di dalam pengolahan hendaklah diperiksa sebelum

dipakai. Semua kegiatan pengolahan hendaklah dilaksanakan mengikuti

prosedur yang tertulis. Tiap penyimpangan hendaklah dilaporkan. Semua

produk antara dan ruahan diberi label. (Badan POM RI,2012).

f. Kegiatan Pengemasan

Kegiatan pengemasan berfungsi mengemas produk ruahan menjadi produk

jadi. Pengemasan hendaklah dilaksanakan di bawah pengendalian yang ketat

untuk menjaga identitas, keutuhan dan mutu produk akhir yang dikemas.

Semua kegiatan pengemasan hendaklah dilaksanakan sesuai dengan instruksi

yang diberikan dan menggunakan bahan pengemasan yang tercantum dalam

prosedur pengemasan induk. Rincian pelaksanaan hendaklah dicatat dalam

catatan pengemasan bets. (Badan POM RI, 2012).

g. Pengawasan Selama Proses

Pengawasan selama proses hendaklah mencakup:

- Semua parameter produk, volume atau jumlah isi produk diperiksa pada

saat awal dan selama proses pengolahan atau pengemasan.

- Kemasan akhir diperiksa selama proses pengemasan dengan selang waktu

yang teratur untuk memastikan kesesuaiannya dengan spesifikasi dan

Universitas Sumatera Utara

Page 17: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

20

memastikan semua komponen sesuai dengan yang ditetapkan dalam

prosedur pengemasan induk. (Badan POM RI, 2012).

h. Karantina Produk Jadi

Karantina produk jadi merupakan tahap akhir pengendalian sebelum

penyerahan ke gudang dan siap untuk didistribusikan. Sebelum diluluskan

untuk diserahkan ke gudang, pengawasan yang ketat hendaklah dilaksanakan

untuk memastikan produk dan catatan pengolahan bets memenuhi spesifikasi

yang ditentukan. (Badan POM RI, 2012).

2.2.7 Pengawasan Mutu

Pengawasan Mutu merupakan bagian yang esensial dari CPOB untuk

memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang

sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak

yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai

sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi produk jadi.

Pengawasan mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga harus

terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk. (Badan POM

RI, 2012).

Bagian Pengawasan Mutu secara keseluruhan mempunyai tanggung

jawab, antara lain adalah:

- Membuat, memvalidasi dan menerapkan semua prosedur pengawasan

mutu

- Menyimpan sampel pembanding dari bahan dan produk

- Memastikan pelabelan yang benar pada wadah bahan dan produk

- Memastikan pelaksanaan pemantauan stabilitas dari produk

Universitas Sumatera Utara

Page 18: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

21

- Ikut serta pada investigasi dari keluhan yang terkait dengan mutu produk

(Badan POM RI, 2012).

Personil, bangunan dan fasilitas serta peralatan laboratorium hendaklah

sesuai untuk jenis tugas yang ditentukan dan skala kegiatan pembuatan

obat.Kegiatan bagian Pengawasan Mutu yang dipersyaratkan dalam CPOB adalah

sebagai berikut:

a. Penanganan baku pembanding

b. Penyusunan spesifikasi dan prosedur pengujian

c. Penanganan contoh pertinggal

d. Validasi

e. Pengawasan terhadap bahan awal, produk antara, produk ruahan, dan obat

jadi meliputi spesifikasi, pengambilan contoh, pengujian untuk bahan-bahan

tersebut, serta in process control

f. Pengujian ulang bahan yang diluluskan

g. Pengujian stabilitas

h. Penanganan terhadap keluhan produk dan produk kembalian.

Bagian Pengawasan Mutu memiliki wewenang khusus untuk

memberikan keputusan akhir meluluskan atau menolak atas mutu bahan baku,

produk obat ataupun hal lain yang mempengaruhi mutu obat. (Badan POM RI,

2012).

Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang diterapkan bagian

Pengawasan Mutu hendaklah menjamin bahwa pengujian yang diperlukan telah

dilakukan sebelum bahan digunakan dalam produksi dan produk disetujui

sebelum didistribusikan. (Badan POM RI, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Page 19: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

22

2.2.8 Inspeksi Diri, Audit Mutu dan Audit & Persetujuan Pemasok

Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek

produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB.

(Badan POM RI,2012).

Aspek-aspek dalam inspeksi diri antara lain:

- Personalia

- Bangunan termasuk fasilitas untuk personil

- Perawatan bangunan dan peralatan

- Penyimpanan bahan awal, bahan pengemas dan obat jadi

- Peralatan

- Pengolahan dan pengawasan selama proses

- Pengawasan mutu

- Dokumentasi

- Sanitasi dan higiene

- Program validasi dan re-validasi

- Kalibrasi alat dan sistem pengukuran

- Penanganan keluhan

- Pengawasan label

- Hasil inspeksi sebelumnya dan tindakan perbaikan

Inspeksi diri hendaklah dilakukan oleh tim yang anggotanya ditunjuk

secara tertulis atau ditetapkan dalam system inspeksi diri. Anggota tim inspeksi

diri hendaklah mempunyai pengetahuan tentang CPOB dan penerapannya,

terkualifikasi dan mempunyai pengalaman yang memadai dalam melakukan

inspeksi diri.(Badan POM RI,2013).

Universitas Sumatera Utara

Page 20: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

23

Penyelenggaraan audit mutu berguna sebagai pelengkap inspeksi diri.

Audit mutu meliputi pemeriksaan dan penilaian semua atau sebagiandari sistem

manajemen mutu dengan tujuan spesifik untuk meningkatkannya. Audit mutu

umumnya dilaksanakan oleh spesialis dari luar atau independen atau suatu tim

yang dibentuk khusus untukhal ini oleh manajemen perusahaan. Audit mutu juga

dapat diperluas terhadap pemasok dan penerima kontrak. (Badan POM RI, 2012).

Hendaklah dibuat daftar pemasok yang disetujui untuk bahan awal dan

bahan pengemas. Daftar pemasok hendaklah disiapkan dan ditinjau ulang.

Hendaklah dilakukan evaluasi sebelum pemasok disetujui dan dimasukkan ke

dalam daftar pemasok atau spesifikasi. Evaluasi hendaklah mempertimbangkan

riwayat pemasok dan sifat bahan yang dipasok. Semua pemasok yang telah

ditetapkan hendaklah dievaluasi secara teratur. (Badan POM RI, 2012).

2.2.9 Penanganan Keluhan Terhadap Produk dan Penarikan Kembali

Produk

Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan

terjadi kerusakan obat harus dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis.

Untuk menangani semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun suatu sistem,

bila perlu mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga cacat

dari peredaran secara cepat dan efektif. (Badan POM RI, 2012).

Keluhan dapat ditangani dengan:

- Menunjuk personil yang bertanggung jawab untuk menangani keluhan

dan memutuskan tindakan yang hendak dilakukan bersama staf yang

memadai untuk membantunya.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

24

- Tersedia prosedur tertulis yang merinci penyelidikan, evaluasi, tindak

lanjut yang sesuai, termasuk pertimbangan untuk penarikan kembali

produk, dalam menanggapi keluhan terhadap obat yang diduga cacat.

- Memberikan perhatian khusus untuk menetapkan apakah keluhan

disebabkan oleh pemalsuan.

- Mencatat tiap keluhan yang menyangkut kerusakan produk yang

mencakup rincian mengenai asal-usul keluhan dan diselidiki secara

menyeluruh dan mendalam.

Pelaksanaan Penarikan Kembali Produk:

- Tindakan penarikan kembali produk hendaklah dilakukan segera setelah

diketahui ada produk yang cacat mutu atau diterima laporan mengenai

reaksi yang merugikan.

- Pemakaian produk yang berisiko tinggi terhadap kesehatan, hendaklah

dihentikan dengan cara embargo yang dilanjutkan dengan penarikan

kembali dengan segera.

- Sistem dokumentasi penarikan kembali produk di industri farmasi,

hendaklah menjamin bahwa embargo dan penarikan kembali dilaksanakan

secara cepat, efektif dan tuntas.

- Pedoman dan prosedur penarikan kembali terhadap produk hendaklah

dibuat untuk memungkinkan embargo dan penarikan kembali dapat

dilakukan dengan cepat dan efektif dari seluruh mata rantai distribusi.

Produk yang ditarik kembali diberi identifikasi dan disimpan terpisah di

area yang aman sementara menunggu keputusan terhadap produk tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

25

Efektivitas penyelenggaraan penarikan kembali hendaklah dievaluasi dari waktu

ke waktu. (Badan POM RI, 2012).

2.2.10 Dokumentasi

Dokumentasi pembuatan obat merupakan bagian dari sistem informasi

manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian yang sangat penting

dari pemastian mutu. Sistem dokumentasi yang dirancang/digunakan hendaklah

mengutamakan tujuannya, yaitu menentukan, memantau dan mencatat seluruh

aspek produksi serta pengendalian dan pengawasan mutu. Dokumentasi sangat

penting untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas secara

jelas dan rinci sehingga memperkecil resiko terjadinya kekeliruan yang biasanya

timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Dokumentasi meliputi:

Spesifikasi

Spesifikasi menguraikan secara rinci persyaratan yang harus dipenuhi produk

atau bahan yang digunakan atau diperoleh selama pembuatan. Dokumen ini

merupakan dasar untuk mengevaluasi mutu. Spesifikasi meliputi spesifikasi

bahan awal, spesifikasi bahan pengemas, spesifikasi produk antara dan produk

ruahan, dan spesifikasi produk jadi.

Dokumen Produksi

Dokumen produksi meliputi dokumen produksi induk, prosedur pengolahan

induk, dan prosedur pengemasan induk (formula pembuatan, instruksi

pengolahan, dan instruksi pengemasan) yang menyatakan seluruh bahan awal

dan bahan pengemas yang digunakan serta menguraikan semua operasi

pengolahan dan pengemasan.

Universitas Sumatera Utara

Page 23: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

26

Prosedur

Prosedur berisi cara untuk melaksanakan operasi tertentu, misalnya

pembersihan, berpakaian, pengendalian lingkungan, pengambilan sample,

pengujian dan pengoperasian peralatan.

Laporan dan Catatan

Catatan menyajikan riwayat tiap bets produk, termasuk distribusi dan semua

catatan yang berpengaruh pada mutu produk akhir. (Badan POM RI, 2012).

2.2.11 Pembuatan dan Analisis berdasarkan Kontrak

Kontrak hendaklah dibuat antara pemberi kontrak dan penerima kontrak

dengan menetapkan tanggung jawab masing-masing pihak yang berhubungan

dengan produksi dan pengendalian mutu produk. Semua pengaturan pembuatan

dan analisis harus sesuai dengan izin edar dan disetujui oleh kedua belah pihak.

Pemberi kontrak hendaklah:

Bertanggung jawab untuk menilai kompetensi penerima kontrak dalam

melaksanakan pekerjaan atau pengujian yang diperlukan.

Menyediakan semua informasi yang diperlukan penerima kontrak untuk

melaksanakan pekerjaan kontrak secara benar sesuai izin edar dan persyaratan

legal lain.

Memastikan semua produk yang diproses dan bahan yang dikirimkan oleh

penerima kontrak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan atau telah diluluskan.

Penerima kontrak hendaklah:

Mempunyai gedung dan peralatan yang cukup, pengetahuan dan pengalaman,

dan personil yang kompeten

Universitas Sumatera Utara

Page 24: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

27

Memastikan bahwa semua produk dan bahan yang diterima sesuai dengan

tujuan penggunaannya.

Tidak mengalihkan pekerjaan atau pengujian kepada pihak ketiga tanpa

persetujuan pihak pemberi kontrak

Membatasi diri dari segala aktifitas yang berpengaruh buruk pada mutu.

(Badan POM RI, 2012).

2.2.12 Kualifikasi dan Validasi

A. Kualifikasi

Validasi untuk mesin, peralatan produksi dan sarana penunjang disebut

dengan kualifikasi. Jadi, kualifikasi adalah kegiatan pembuktian (dokumentasi)

bahwa perlengkapan, fasilitas atau sistem yang digunakan dalam proses/sistem

akan bekerja dengan kriteria yang diinginkan secara konsisten. Kualifikasi

merupakan langkah awal (first step) dari keseluruhan pelaksanakan. (Priyambodo,

2007).

Validasi atau kualifikasi mesin, peralatan produksi dan sarana penunjang

terdiri dari 4 tingkatan, yaitu:

1. Kualifikasi Desain

Untuk menjamin dan mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan atau

bangunan yang akan dipasang atau dibangun (rancang bangunan) sesuai

dengan ketentuan atau spesifikasi yang diatur dalam ketentuan Cara

Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang berlaku. Jadi kualifikasi desain

dilaksanakan sebelum mesin, peralatan produksi atau sarana penunjang

(termasuk bangunan untuk industri farmasi) tersebut dibeli atau dipasang atau

dibangun.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

28

2. Kualifikasi Instalasi

Untuk menjamin dan mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan yang

diinstalasi atau dipasang sesuai dengan spesifikasi yang tertera pada dokumen

pembelian, buku manual alat yang bersangkutan dan pemasangannya

dilakukan memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan. Jadi kualifikasi

instalasi dilaksanakan pada saat pemasangan atau instalasi peralatan produksi

atau sarana penunjang.

3. Kualifikasi Operasional.

Untuk menjamin dan mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan yang

telah diinstalasi bekerja (beroperasi) sesuai dengan spesifikasi yang

diinginkan. Jadi kualifikasi operasional dilaksanakan setelah pemasangan

atau instalasi mesin atau peralatan produksi atau sarana penunjang dan

digunakan sebagai mesin atau peralatan percobaan.

4. Kualifikasi Kinerja.

Untuk menjamin dan mendokumentasikan bahwa sistem atau peralatan yang

telah diinstalasi bekerja (beroperasi) sesuai dengan spesifikasi yang

diinginkan dengan cara menjalankan sistem sesuai dengan tujuan

penggunaan. (Priyambodo, 2007).

Pelaksanaan kualifikasi harus dilakukan secara berurutan dan

berkesinambungan. Maka, pelaksanaan kualifikasi dimulai dari kualifikasi desain,

kemudian kualifikasi instalasi, kualifikasi operasional dan yang terakhir

kualifikasi kinerja, tidak bisa dibolak-balik. (Priyambodo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 26: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

29

B. Validasi

Validasi adalah suatu tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai

bahwa tiap bahan, proses, prosedur, kegiatan, system, perlengkapan atau

mekanisme yang digunakan dalam produksi dan pengawasan mutu akan

senantiasa mencapai hasil yang diinginkan secara konsisten/ terus-menerus.

(Priyambodo, 2007).

1. Validasi Proses

Validasi Proses diartikan sebagai tindakan pembuktian yang

didokumentasikan bahwa proses yang dilakukan dalam batas parameter yang

ditetapkan dapat bekerja secara efektif dan memberi hasil yang dapat terulang

untuk menghasilkan produk jadi yang memenuhi spesifikasi dan atribut mutu

yang ditetapkan sebelumnya. (Priyambodo, 2007).

Tujuannya adalah memberikan dokumentasi secara tertulis bahwa

prosedur produksi yang berlaku dan digunakan dalam proses produksi (Batch

Processing Record), senantiasa mencapai hasil yang diinginkan secara terus-

menerus, mengurangi problem yang terjadi selama proses produksi serta

memperkecil kemungkinan terjadinya proses ulang. (Priyambodo, 2007).

Secara sederhana, pada umumnya validasi proses dilakukan dengan

pendekatan sebagai berikut:

a. Validasi Prospektif

Validasi Prospektif adalah validasi yang dilakukan sebelum pelaksanaan

produksi rutin dari produk yang akan dipasarkan dan dilaksanakan sebelum

produk diedarkan yang berlaku untuk:

Produk baru

Universitas Sumatera Utara

Page 27: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

30

Modifikasi pada proses produksi yang dapat berdampak pada karakteristik

produk tersebut. Prasyarat lain adalah laporan produk transfer dari bagian

R&D ke bagian Produksi.

b. Validasi Konkuren

Validasi Konkuren adalah validasi yang dilakukan pada saat pembuatan rutin

produk untuk dijual yang oleh suatu hal belum dilakukan validasi prospektif.

Produk yang tidak divalidasi secara prospektif, karena hal tertentu seperti:

Perubahan parameter proses sebagai tindak lanjut dari adanya

penyimpangan atau rekomendasi dari Pengkajian Mutu Produk

Perubahan pabrik pembuat eksipien dengan spesifikasi yang sama

Perubahan mesin dengan spesifikasi yang sama

Transfer pembuatan produk ke pabrik lain

Dapat dilakukan validasi konkuren (Badan POM RI, 2013).

c. Validasi Retrospektif

Validasi Retrospektif adalah validasi pembuatan produk yang telah dipasarkan

yang dilaksanakan berdasarkan data pembuatan, pengujian dan pengawasan

bets yang dikumpulkan sesuai dengan protocol yang telah disiapkan dan

disetujui. (Badan POM RI, 2013).

2. Validasi Pembersihan

Tujuan dari pelaksanaan Validasi Pembersihan (Cleaning Validation) adalah

untuk membuktikan bahwa prosedur yang ditetapkan untuk membersihkan suatu

peralatan pengolahan, hingga pengemasan primer mampu membersihkan sisa

bahan aktif obat dan deterjen yang digunakan untuk proses pencucian dan juga

Universitas Sumatera Utara

Page 28: 4 BAB II TINJAUAN UMUM INDUSTRI 2.1 Industri Farmasi 2.1.1

31

dapat mengendalikan cemaran mikroba pada tingkat yang dapat diterima.

(Priyambodo, 2007).

3. Validasi Metode Analisis

Tujuan validasi metode analisis adalah untuk menunjukkan bahwa metode

analisis sesuai dengan tujuan penggunaannya. (Badan POM RI, 2013).

Validasi metode analisis umumnya dilakukan terhadap 4 jenis, yaitu:

Uji identifikasi

Uji kuantitatif kandungan impuritas (impurity)

Uji batas impuritas

Uji kuantitatif zat aktif dalam sampel bahan aktif obat atau obat atau

komponen tertentu dalam obat

Metode analisis lain, seperti uji disolusi untuk obat atau penentuan ukuran partikel

untuk bahan aktif obat, hendaklah juga divalidasi.(Badan POM RI, 2012).

4. Validasi Ulang

Fasilitas, sistem, peralatan, dan proses termasuk proses pembersihan

hendaklah dievaluasi secara berkala untuk konfirmasi keabsahannya. (Badan POM

RI, 2012).

Validasi ulang juga diperlukan pada kondisi sebagai berikut:

Melibatkan bahan aktif obat baru / pemasok baru

Melibatkan formulasi baru

Perubahan prosedur analisis

Prosedur pembersihan diperbaharui melalui mekanisme perubahan

Melewati jangka waktu yang ditetapkan untuk melakukan validasi ulang

(Badan POM RI, 2013).

Universitas Sumatera Utara