137
i SKRIPSI KEDUDUKAN DAN FUNGSI DEWAN PERS DALAM MELINDUNGI KEMERDEKAAN PERS OLEH: RAMLI B 111 11 371 DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

SKRIPSI KEDUDUKAN DAN FUNGSI DEWAN PERS DALAM

Embed Size (px)

Citation preview

i

SKRIPSI

KEDUDUKAN DAN FUNGSI DEWAN PERS DALAM

MELINDUNGI KEMERDEKAAN PERS

OLEH:

RAMLI

B 111 11 371

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

i

KEDUDUKAN DAN FUNGSI DEWAN PERS DALAM

MELINDUNGI KEMERDEKAAN PERS

OLEH:

RAMLI

B 111 11 371

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam rangka penyelesaian studiSarjana pada Departemen Hukum Tata Negara

Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

ii

iii

iv

v

ABSTRAK

Ramli, B111 11 371, Kedudukan dan Fungsi Dewan Pers dalam MelindungiKemerdekaan Pers. (Dibimbing oleh Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, S.H.,M.Hum., selaku Pembimbing I dan Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H., selakuPembimbing II)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan dan fungsi DewanPers dalam melindungi kemerdekaan pers, juga untuk mengetahui upaya-upayayang patut dilakukan demi memperkuat kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalammelindungi kemerdekaan pers.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitianhukum normatif, yaitu menitikberatkan pengkajian masalah hukum padapersoalan norma. Objek kajian berupa bahan hukum primer yang mencakupperaturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder seperti hasil penelitiandan hasil karya kalangan hukum yang berbentuk buku, juga bahan hukum tersierseperti kamus. Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan.Bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, sejalan dengankaidah penelitian normatif. Analisis ini mengkaji persoalan secara deduktif, yaitumenelaah kenyataan hukum menggunakan konsep hukum yang ideal.

Adapun hasil dari penelitian ini, yaitu: (1). Kedudukan Dewan Perssebagai lembaga independen, masih memiliki fungsi yang kurang memadai dalammelaksanakan peranannya untuk melindungi kemerdekaan pers. Dalam UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, Dewan Pers sekadar jadi pengawal kehidupan pers.Fungsinya cuma sebagai mediator sengketa pers, pendata organisasi pers, danpenjaga nilai etika jurnalistik. Dewan Pers tidak dapat bertindak lebih jauh dalammenanggulangi pelanggaran prinsip kemerdekaan pers, khususnya yang dilakukanpihak perusahaan pers; (2). Untuk mendudukkan kembali Dewan Pers padaposisinya sebagai lembaga negara independen yang berfungsi melindungikemerdekaan pers, maka restrukturisasi kelembagaan perlu dilakukan.Keanggotaan Dewan Pers yang selama ini didominasi organisasi pers, perludiimbangi dengan menambah keterwakilan unsur masyarakat dan ahli. Pengusulanatau pemilihan unsur tersebut, juga harus menjadi urusan masyarakat sendiri,misalnya melalui organisasi pemantau media. Format tersebut bertujuan untukmenjamin bahwa prinsip kemerdekaan pers, senantiasa diimbangi dengan prinsipperlindungan kepentingan publik. Selain pembenahan kelembgaaan, Dewan Persjuga perlu diberi kewenangan quasi yudisial, berupa kewenangan menerimalaporan, memeriksa, memutuskan, serta memberikan sanksi atas pelanggaranjurnalistik. Hal itu, kemudian harus didukung dengan pemberian kewenanganmembentuk peraturan secara mandiri sesuai tugas dan tanggung jawabnya, yangmengikat bagi organisasi dan insan pers.

Kata Kunci: Dewan Pers, Lembaga Negara Independen, Kemerdekaan Pers.

vi

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.

Alhamdulillah, segala puji ke hadirat Allah SWT, karena atas segala

rahmat dan hidayah-Nya, Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

berjudul: Kedudukan dan Fungsi Dewan Pers dalam Melindungi

Kemerdekaan Pers. Selawat serta salam, juga Penulis haturkan kepada junjungan

Nabi Muhammad SAW, sebab atas perjuangannyalah, sedikit ilmu dari sumber

yang hakiki, sampai juga kepada Penulis.

Atas penyelesaian skripsi ini, untuk yang pertama dan utama, Penulis

mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada dua sosok tangguh:

Ayahanda Lahaping dan Ibunda Saharia Rubang. Atas doa dan dukungan

merekalah, Penulis mampu memantapkan hati untuk memulai dan mengakhiri

penyusunan skripsi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga kepada kakak-

kakak Penulis yang penuh pengertian: Hatipa, Abdul Latif, Naslan, Anwar,

Darwis. Dari merekalah, kesadaran Penulis terus hidup, bahwa banyak mimpi-

mimpi indah di luar sana yang sebaiknya digapai daripada menunda-nunda

pengetikan skripsi sepanjang waktu.

Selain itu, tentu banyak lagi pihak-pihak yang membantu Penulis atas

penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka pada

kesempatan ini, Penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada:

vii

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., selaku Rektor Universitas

Hasanuddin, beserta jajarannya.

2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin, beserta jajarannya.

3. Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., M.Si. dan M. Zulfan Hakim, S.H., M.H.,

selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Hukum Tata Negara, beserta

jajarannya.

4. Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing I dan Dr.

Anshori Ilyas, S.H., M.H., selaku Pembimbing II. Terima kasih atas segala

bentuk bimbingan yang diberikan kepada Penulis, sehingga skripsi ini

menjadi layak untuk dipertanggungjawabkan.

5. Prof. Dr. A. Pangerang Moenta, S.H., M.H., selaku Penguji I, Dr. Zulkifli

Aspan, S.H., M.H., selaku Penguji II, dan Ariani Arifin, S.H., M.H.,

selaku Penguji III. Terima kasih atas segala kritik dan sarannya kepada

Penulis, sehingga skripsi ini dapat diterima sebagai karya ilmiah yang

telah dipertanggungjawabkan.

6. Segenap dosen Fakultas Hukum Unhas yang telah membagikan ilmunya

kepada Penulis.

7. Segenap staf akademik dan pegawai Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin yang banyak melayani Penulis.

8. Seluruh anggota keluarga Penulis di Lembaga Pers Mahasiswa Hukum

Universitas Hasanuddin (LPMH-UH), “rumah kecil” tempat Penulis

mengais ilmu, merangkai pengalaman, dan membentuk mental untuk

viii

waktu yang lama. Terima kasih kepada para senior yang telah banyak

membimbing, kepada kawan-kawan seperjuangan atas semua cerita

kebersamaan yang indah, juga kepada adik-adik yang tetap bertahan

menyalakan lilin kecil di rumah kita. Jangan berhenti menulis!

9. Teman-teman seposko Penulis saat menjalani KKN (Kuliah Kerja Nyata)

Unhas Gelombang 87 di Desa Curio, Kecamatan Curio, Kabupaten

Enrekang. Terima kasih untuk hari-hari yang penuh rasa persaudaraaan.

Akhir kata, Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Akan banyak ditemui kekurangan di sana-sini disebabkan oleh keterbatasan

Penulis sebagai manusia biasa. Tapi semoga kekurangan itu tidak menjadi

penghalang atas niat baik Penulis untuk berbagi pengetahuan kepada siapapun

yang berkenan membaca.

Semoga penelitian ini bermanfaat, khususnya bagi Penulis sendiri.

Wassalamualaikum wr. wb.

Makassar, Oktober 2017

Penulis

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ................................................................ ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... iii

LEMBAR PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ........................... iv

ABSTRAK ........................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi

DAFTAR ISI....................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah................................................................................. 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan........................................................... 8

1. Tujuan Penulisan ............................................................................. 8

2. Kegunaan Penulisan ........................................................................ 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Lembaga Negara ................................................................................... 9

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Lembaga Negara........................... 9

2. Konsep dan Kedudukan Lembaga Negara Independen .................. 12

3. Fungsi dan Kewenangan Lembaga Negara Independen ................. 15

4. Peraturan Lembaga Negara Independen ......................................... 18

B. Pers........................................................................................................ 20

1. Pengertian dan Fungsi Pers ............................................................. 20

2. Sejarah Hukum Pers ........................................................................ 22

3. Teori dan Sistem Pers...................................................................... 25

4. Struktur Kelembagaan Pers ............................................................. 28

5. Kemerdekaan Pers........................................................................... 30

C. Dewan Pers ........................................................................................... 33

1. Sejarah Dewan Pers......................................................................... 33

2. Kedudukan Dewan Pers .................................................................. 35

x

3. Fungsi dan Kewenangan Dewan Pers ............................................. 36

D. Perusahaan Pers ................................................................................... 39

1. Pendirian Perusahaan Pers ............................................................. 39

2. Kewajiban dan Tanggung Jawab Perusahaan Pers ........................ 41

3. Organisasi Perusahaan Pers............................................................ 42

E. Wartawan ............................................................................................. 44

1. Pengertian Wartawan ..................................................................... 44

2. Independensi Wartawan ................................................................. 46

3. Perlindungan Hukum terhadap Wartawan ..................................... 47

4. Organisasi Wartawan ..................................................................... 49

5. Kode Etik Wartawan ...................................................................... 50

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian ..................................................................................... 52

B. Sumber Bahan Hukum......................................................................... 53

C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................................... 53

D. Analisis Bahan Hukum ........................................................................ 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kedudukan dan Fungsi Dewan Pers dalam Melindungi

Kemerdekaan Pers ............................................................................... 55

1. Konstruksi Kelembagaan Dewan Pers ........................................... 55

a. Dewan Pers dalam UU No. 11 Tahun 1966 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers............................................... 55

b. Dewan Pers dalam UU No. 21 Tahun 1982 tentang

Perubahan atas UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan

Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU

No. 4 Tahun 1967 ....................................................................... 58

c. Dewan Pers dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers........... 62

d. Perbandingan Kelembagaan Dewan Pers dalam Peraturan

Perundang-undangan Sebelum Reformasi dan Sesudah

Reformasi ................................................................................... 65

xi

2. Dewan Pers dan Kemerdekaan Pers............................................... 67

a. Kondisi Kemerdekaan Pers ........................................................ 67

i. Kehidupan Pers Sebelum Reformasi .................................... 67

ii. Kehidupan Pers Setelah Reformasi ...................................... 73

b. Kapabelitas Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan

Pers ............................................................................................. 81

c. Kelemahan Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan

Pers ............................................................................................. 85

B. Penguatan Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan Pers .......... 89

1. Kedudukan Dewan Pers dalam Struktur Ketatanegaraan .............. 89

a. Status Dewan Pers sebagai Lembaga Negara Independen ........ 89

b. Perbandingan Kelembagaan Dewan Pers dengan Beberapa

Lembaga Negara yang Dibentuk berdasarkan Undang-

undang ........................................................................................ 95

c. Persinggungan Fungsi dan Kewenangan Dewan Pers dengan

Lembaga Negara di Bidang Komunikasi dan Informasi ........... 101

2. Revitalisasi Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan Pers 106

a. Usul-usul Penguatan Dewan Pers............................................. 106

b. Reformulasi Kelembagaan Dewan Pers dalam Melindungi

Kemerdekaan Pers .................................................................... 111

c. Penguatan Fungsi dan Kewenangan Dewan Pers dalam

Melindungi Kemerdekaan Pers ................................................ 114

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................... 118

B. Saran ................................................................................................... 120

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 122

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hak atas informasi, sedari awal, telah diakui dalam tata hukum nasional

Indonesia. Dalam UUD Tahun 1945 sebelum amandemen, Pasal 28 UUD Tahun

1945 dengan tegas menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan

Undang-Undang”. Amanah konstitusi inilah yang kemudian menjadi dasar dalam

perumusan peraturan perundang-undangan terkait pers.

Adanya jaminan konstitusional hak atas informasi dalam UUD Tahun

1945, termasuk di dalamnya hak atas kemerdekaan dan kebebasan pers, ternyata

tidak diimplementasikan dengan baik oleh pemerintah Indonesia dalam sejarah

yang panjang. Pada zaman Orde Lama, hingga zaman Orde baru, kehidupan pers

masih dikekang. Lahirnya UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pers yang disahkan Presiden Soekarno pada tanggal 12 Desember 1966,

belum memberikan kemerdekaan kepada pers. Bahkan pers dijaikan sarana

propaganda pemerintah. Di masa Presiden Soeharto, lahirnya UU No. 21 Tahun

1982 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967,

juga masih mendudukkan pers di bawah kekuasaan pemerintah. Undang-undang

itu bahkan memuat ketentuan soal perizinan pers dalam bentuk Surat Izin Usaha

Penerbitan Pers (SIUPP) yang ampuh menjadi instrumen pembredelan media pers.

2

Rezim pemerintahan Orde Baru yang dinilai otoriter dan mengekang

demokrasi, akhirnya runtuh pada tanggal 28 Mei 1998. Momentum itu menandai

dimulainya era Reformasi. Di era ini, kemerdekaan dan kebebasan pers, tidak lagi

dikekang atas dasar kekuasaan yang dilegitimasi oleh aturan hukum sesuai tafsir

dan selera penguasa. Disahkannya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers oleh

Presiden B.J. Habibie pada tanggal 23 September 1999, yang menggantikan UU

No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers beserta

perubahannya, menjadi tonggak bersejarah bagi kehidupan pers yang lebih baik.

Kehadiran UU No. 40 Tahun 1999, pada dasarnya ditujukan untuk

mewujudkan kemerdekaan pers, terutama memberikan jaminan perlindungan bagi

pers dari intervensi apapun dalam melaksanakan perannya.1 Salah satu upaya

untuk mencapai hal tersebut adalah penguatan terhadap kelembagaan Dewan Pers.

Jika peraturan perundang-undangan sebelumnya menempatkan Dewan Pers di

bawah kendali pemerintah, maka dalam UU No. 40 Tahun 1999, Dewan Pers

didudukkan sebagai lembaga independen. Dewan Pers, tidak lagi didikte oleh

pemerintah dengan cara mendudukan Menteri Penerangan sebagai ketuanya.

Pemerintah pun tak bisa lagi mencampuri soal keanggotaan Dewan pers.

Dewan Pers yang bebas dari campur tangan pemerintah, memiliki peranan

yang strategis dalam mengatur pola hubungan negara dan pers. Pers diharapkan

tidak lagi menjadi alat propaganda yang digunakan untuk mengelola tatanan

sosial-politik agar selalu seperti yang diharapkan penguasa.2 Hal itulah yang

1 Lihat Konsideran Menimbang huruf c UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers2 Zainal Arifin Mochtar, 2016, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembangan

dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, Cetakan I, Rajawali Pers,Jakarta, hlm. 111.

3

menjadi tujuan utama penguatan Dewan Pers, yaitu terwujudnya pers yang

merdeka dan bebas dalam melaksanakan fungsinya sebagai media informasi,

pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Desain itu tergambar dalam Pasal 15 ayat

(1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa keberadaan

Dewan Pers yang independen adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers

dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Secara lebih jelas, Pasal 15 ayat (2)

huruf a undang-undang tersebut menyatakan bahwa Dewan Pers berfungsi untuk

“melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain”.

Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan

pembentuk opini, harus dapat melaksanakan fungsi dan peranannya dengan

sebaik-baiknya, berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional. Untuk itulah,

pers harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur

tangan dan paksaan dari manapun.3 Pasal 4 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999

tentang Pers menyatakan bahwa "Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi

warga negara", yang pada bagian penjelasan pasalnya dimaknai sebagai “…pers

bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak

masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.

Amanat undang-undang yang mendudukkan Dewan Pers sebagai

pelindung kemerdekaan pers, diejawantahkan Dewan Pers dalam berberapa aturan

yang bertujuan untuk melindungi insan pers dalam menjalankan tugas profesinya.

Salah satunya melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006

tentang Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang telah disahkan sebagai peraturan Dewan

3 Lihat bagain Konsideran Menimbang huruf c UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

4

Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008. Pasal 1 KEJ

tersebut menegaskan bahwa wartawan Indonesia harus bersikap independen.

Tafsir otentik “independen” dalam KEJ tersebut adalah memberitakan peristiwa

atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan

intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

Perlindungan terhadap independensi wartawan, jelas menjadi titik fokus

yang penting dalam upaya mewujudkan kemerdekaan pers. Wartawan sebagai

orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik, memiliki kedudukan

yang vital, sebab merekalah yang bersentuhan langsung dengan peramuan berita.

Namun seiring waktu, Dewan Pers ternyata belum mampu mewujudkan hal

tersebut. Masih terdapat sejumlah intervensi pihak luar yang bertujuan

mengganggu independensi dan objektivitas insan pers dalam pemberitaan. Jika

dahulu, intervensi yang terjadi secara struktural dilakukan oleh pemerintah, maka

perkembangan kekinian menunjukkan arus intervensi lebih besar berasal dari

pemilik modal atau pemilik perusahaaan pers. Pihak-pihak yang notabene berada

di luar struktur ruang redaksi itu, sengaja memberikan tekanan kepada para

wartawan demi kepentingan ekonomi dan politik praktis.

Intervensi pihak perusahaan pers yang melanggar prinsip kemerdekaan

pers, dapat dilihat pada pesta demokrasi. Pada pemilu presiden/wakil presiden

tahun 2014 misalnya, masyarakat membaca jelas kalau muatan berita TV One

lebih condong pada kepentingan politik pasangan Prabowo-Hatta, sedangkan

5

Metro TV lebih condong ke pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.4 Kondisi yang tak

lepas dari campur tangan pemilik media itu, akhirnya disikapi Dewan Pers dengan

mengeluarkan Surat Edaran Dewan Pers Nomor: 02/SE-DP/II/2014 tentang

Independensi Wartawan dan Pemuatan Iklan Politik di Media Massa. Poin 2 Surat

Edaran itu meminta kepada wartawan dan perusahaan pers untuk bersikap adil dan

independen dalam memberitakan peserta Pemilu 2014. Wujudnya adalah

memberikan kesempatan yang sama dalam pemberitaan atau pemuatan iklan

kepada kedua calon presiden/wakil presiden.5

Rongrongan atas independensi wartawan, turut dikomentari Ketua Umum

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Margiono pada perayaan Hari Pers

Nasional (HPN) di Manado, 8-12 Februari 2013. Ia secara gamblang

mengungkapkan kesangsiannya atas independesi wartawan pada media yang

bersentuhan dengan ranah politik, apalagi media yang dikuasai oleh politisi,

seperti media MNC Group milik Hary Tanoesudibyo, Viva News (ANTV, TV

One) milik Aburizal Bakrie, dan Metro TV milik Surya Paloh. 6

Rentannya ruang redaksi dari intervensi pemilik media, juga dapat dilihat

dari hasil penelitian Anett Keller yang meneliti otonomi redaksi di empat media

cetak nasional, yaitu Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Republika.

4 Komisi Penyiaran Indonesia, 10 Juni 2014, Pemberitaan Tidak Netral, KPI Pusat TegurMetro TV dan TV One, https://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32106-pemberitaan-tidak-netral-kpi-pusat-tegur-metro-tv-dan-tv-one, diakses pada tanggal 19 Februari2017, pukul 14.22 Wita

5 Dewan Pers, 28 Februari 2014, Surat Edaran Dewan Pers tentang IndependensiWartawan dan Pemuatan Iklan Politik di Media Massa,http://www.dewanpers.or.id/pernyataan/detail/151/surat-edaran-dewan-pers-tentang-independensi-wartawan-dan-pemuatan-iklan-politik-di-media-massa, diakses pada tanggal 20 Februari 2017,pukul 15.15 Wita.

6 Dewan Pers, 7 Mei 2013. Muhammad Ridlo Eisy (opini). Jurnalisme Partisan,http://dewanpers.or.id/opini/detail/74/jurnalisme-partisan, diakses pada tanggal 16 Maret 2017,pukul 15.45 Wita.

6

Pada tiga dari empat harian yang diteliti (Kompas, Media Indonesia, Republika),

pemilik saham mayoritas, juga merangkap sebagai direktur perusahaan, sehingga

mempunyai hak untuk menetapkan garis haluan surat kabarnya. Tidak ada apapun

yang menghalanginya untuk melakukan tekanan kepada pihak redaksi. Pihak

tersebut juga dapat menentukan atau memaksakan pemilihan dan pengerjaan tema

tertentu kepada pihak redaksi sesuai kepentingannya, sehingga mekanisme yang

memberi prioritas kepada kepentingan umum, tidak berlaku lagi.7

Uraian di atas menunjukkan bahwa persoalan ekonomi-politik media

menjadi isu yang serius. Konglomerasi media dilakukan segelintir orang, bahkan

menggurita hingga ke media lokal. Demokrasi pun terancam. Sejumlah kasus jelas

membuktikan bahwa kepentingan dan ideologi pemilik media, sedikit banyak

berpengaruh pada cara media mengupas fenomena dan realitas sosial-politik.8

Wartawan sebagai pekerja pers, diintervensi oleh pemilik perusahaan pers agar

substansi berita mengarah pada sudut pandang tertentu. Aktivitas jurnalistik

disetir untuk melancarkan propaganda, demi kepentingan ekonomi dan politiknya.

Intervensi terhadap independensi wartawan yang kian meresahakan,

akhirnya memunculkan pertanyaan terkait fungsi Dewan Pers. Itu sulit dihindari

sebab Dewan Pers menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan bisa menjaga

independensi wartawan sebagai esensi kemerdekaan pers. Tak pelak, muncul

banyak tuntutan agar keberadaan Dewan Pers kembali ditinjau. Yang diharapkan,

tentu hadirnya Dewan Pers yang tangguh sebagai pelindung kemerdekaan pers.

7 Anett Keller, 2009, Tantangan Dari Dalam: Otonomi Redaksi di 4 Media CetakNasional: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Cetakan I, Friedrich EbertStiftung (FES) Indonesia Office, Jakarta, hlm. 104.

8 Henry Subiakto dan Rachmah Ida, 2015, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi.Cetakan III, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 179.

7

Perlunya pembenahan terhadap kedudukan, fungsi, dan kewenangan

Dewan Pers, juga menjadi perhatian Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Secara

umum, status dan kedudukan dewan pers dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang

Pers, dinilai tidaklah begitu jelas, apakah sebagai sebuah komisi khusus, atau semi

komisi yang bersifat regulatory body, atau lembaga internal masyarakat pers, atau

sebuah paguyuban yang terakreditasi oleh negara.9 Selain itu, kewenangan Dewan

Pers dalam UU, juga sangat minimalis. Fungsi dan kewenangan Dewan Pers lebih

ditekankan sebagai humas dan lembaga fasilitasi pers, termasuk penjaga etika,

ketimbang menjadi pembela dan pengawas kemerdekaan pers, yang memiliki

kewenangan penegakan hukum pers atau semi yudisial.10

Atas dasar permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, Penulis merasa

terdorong untuk melakukan penelitian berjudul: Kedudukan dan Fungsi Dewan

Pers dalam Melindungi Kemerdekaan Pers.

B. Rumusan Masalah

Merujuk pada latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik dua

rumusan masalah, yaitu:

1. Bagaimana kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalam melindungi

kemerdekaan pers?

2. Bagaimana memperkuat kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalam

melindungi kemerdekaan pers?

9 Jajang Jamaludin (Ed.), 2009, Menguji Ide Revisi UU Pers; Hasil Kajian & Usulan AJISoal Undang Undang Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Jakarta Pusat, hlm. 29

10 Ibid., hlm. 31.

8

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalam menjaga

melindungi kemerdekaan pers;

b. Untuk mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan untuk

memperkuat kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalam melindungi

kemerdekaan pers.

2. Kegunaan Penulisan

Tulisan ini merupakan wujud pemikiran terkait persoalan Hukum Tata

Negara, khususnya tentang kelembagaan negara dan hak asasi warga negara. Pers

sebagai pilar demokrasi dan mengandung segi kepentingan publik, diharapkan

mampu berperan baik. Kuncinya tentu dengan mewujudkan kemerdekaan pers,

terutama menjaga independensi wartawan dari intervensi pihak manapun.

Kehadiran Dewan Pers independen sebagai lembaga pelindung

kemerdekaan pers, jelas memiliki kedudukan yang strategis. Keberadaan Dewan

Pers dan pentingnya kemerdekaan pers, menjadi elemen kajian dalam penulisan

ini. Tujuannya akhirnya adalah mencari formulasi yang jitu, agar Dewan Pers

mampu menegakkan kemerdekaan pers.

Akhirnya, tulisan ini diharapkan memberikan kegunaan bagi para insan

hukum, khususnya Hukum Tata Negara. Bagi pengambil kebijakan, tulisan ini

ditujukan sebagai referensi dalam upaya penataan kehidupan pers ke depan.

Tulisan ini juga diharapkan menjadi referensi atau bagian dari penelitian serupa

selanjutnya, guna membenahi kehidupan pers di negara ini.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lembaga Negara

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Lembaga Negara

Pada dasarnya, “lembaga negara” tidak memiliki peristilahan tunggal.

Apalagi, istilah itu adalah konstruksi para pemikir hukum dan politik, sehingga

biasanya tidak didefinisikan dalam konstitusi negara. Dalam kepustakaan Inggris,

“lembaga negara” diistilahkan political institution, sedangkan dalam terminologi

bahasa Belanda disebut staat organen. Sementara itu, dalam bahasa Indonesia

dikenal istilah lembaga negara, badan negara, dan organ negara.11

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sebelum amandemen UUD

Tahun 1945, istilah “lembaga negara” pertama kali digunakan secara resmi dalam

Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara.12

Sementara setelah perubahan UUD Tahun 1945, sama sekali tidak terdapat

ketentuan hukum perihal definisi “lembaga negara”, sehingga para pemikir hukum

membuat definisi dan melakukan klasifikasi terhadap konsep lembaga negara.13

Pada perkembangan selanjutnya, kajian kelembagaan negara senantiasa

dikaitkan dengan konsep trias politica. Doktrin Montesquie ini membagi

kekuasaan negara dalam tiga macam cabang, yaitu kekuasaan legislatif yang

berfungsi membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif yang berfungsi

11 Firmansyah Arifin, dkk., 2005, Lembaga Negara dan Sengketa KewenanganAntarlembaga Negara, cetakan I, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Jakarta, hlm. 29.

12 Zainal Arifin Mochtar, Op.cit., hlm. 28-29.13 Ibid.

10

melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif sebagai kekuasaan yang

mengadili pelanggar atas undang-undang.14 Lembaga negara yang mengemban

fungsi eksekutif bisa jadi presiden, perdana menteri, atau raja. Di sisi lain,

kekuasaan legislatif diemban oleh parlemen, sedangkan kekuasaan yudikatif

berada di ranah lembaga kehakiman, semisal supreme court.15

Selain itu, lembaga negara juga dapat dikaji dari unsur organ dan fungsi.

Organ adalah status dan bentuknya, sedangkan fungsi adalah isi sesuai maksud

pembentukannya. Dalam UUD Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada

yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan secara

eksplisit hanya fungsinya. Di sisi lain, ada pula lembaga atau organ yang nama,

fungsi, dan kewenangannya, akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.16

UUD Tahun 1945 pascaamandemen menyebutkan lembaga negara, baik

dengan nama atau nomenklatur yang eksplisit maupun implisit. Lembaga dengan

nomenklatur eksplisit adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, Presiden, Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri,

Menteri Pertahanan, Gubernur, Walikota, Bupati, Tentara Nasional Indonesia

(TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia; Mahkamah Agung, Mahkamah

Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Badan Pemeriksa Keuangan.17 Di samping itu,

ada juga lembaga atau institusi yang diatur kewenangannya dalam UUD, di

14 Firmansyah Arifin, dkk., Op.cit., hlm. 14-15.15 Ibid., hlm. 31.16 Evy Trisulo, 2012, Konfigurasi State Auxiliary Bodies dalam Sistem Pemerintahan

Indonesia, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 48.17 Ernawati Munir, 2005, Laporan Akhir Pengkajian Hukum tentang Hubungan Lembaga

Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia-BadanPembinaan Hukum Nasional, Jakarta, hlm. 16-17.

11

antaranya TNI, Kepolisian, pemerintah daerah, dan partai Politik. Selain itu, ada

pula lembaga yang tidak disebut namanya dalam UUD, tetapi disebut fungsinya,

namun kewenangannya dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu

Bank Indonesia sebagai bank sentral yang tidak disebut namanya dengan “Bank

Indonesia”, dan Komisi Pemilihan Umum yang namanya tidak definitif dalam

UUD sebab ditulis dengan huruf kecil.18

Di luar daripada lembaga negara yang kelahirannya didasarkan pada UUD

Tahun 1945, teori ketatanegaraan memperluas ruang lingkup lembaga negara.

Salah satu teori menyatakan bahwa selain lembaga negara utama (state main

organ) yang berdasar pada konstitusi, terdapat juga lembaga negara bantu (state

auxiliary organ) yang berdasar pada undang-undang atau keputusan presiden. Jika

lembaga negara utama menjadi unsur bangunan dasar kelembagaan negara,

lembaga negara bantu hanyalah penunjang dari fungsi kenegaraan tertentu.

Di negara demokrasi mapan, seperti Amarika Serikat dan Prancis, juga

banyak bertumbuhan lembaga negara baru. Lembaga itu biasanya disebut state

auxiliary organs, atau auxiliary institutions, yaitu lembaga yang bersifat

menunjang. Di antara lembaga itu, ada juga yang diidentifikasi sebagai self

regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau lembaga dengan fungsi

campuran antara fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman.19

Lembaga negara yang tidak berdasar pada konstitusi, tidak dapat

diperlakukan sebagai organisasi swasta atau lembaga non-pemerintah. Namun,

18 Ni’matul Huda, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia (Edisi Revisi), Cetakan IX,Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 159.

19 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata negara Jilid II, SekretariatJenderal dan Kepeniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 79.

12

keberadaannya juga tidak berada dalam ranah kekuasaan legislatif, eksekutif,

ataupun kehakiman. Ada yang bersifat independen, namun ada pula yang semi

atau quasi independen, sehingga biasa juga disebut independent agencies, quasi

independent agencies, corporations, committees, atau commissions.20

2. Konsep dan Kedudukan Lembaga Negara Independen

Kompleksitas problem ketatanegaraan yang dihadapi negara, melahirkan

banyak konsep baru dalam praktik ketatanegaraan, sehingga berimplikasi pada

makin bervariasinya cabang kelembagaan negara. Perkembangan ini salah satunya

diwarnai dengan munculnya lembaga negara independen.21 Dalam konteks

Indonesia, penyebab lahirnya lembaga independen tersebut adalah:22

1. Tiadanya kredibiltas lembaga-lembaga negara yang telah ada akibat tindak

korupsi yang sistemik dan mengakar serta sulit untuk diberantas;

2. Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang ada, sehingga tunduk

di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lain;

3. Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang ada untuk melakukan

tugas pada di masa transisi demokrasi karena masalah birokrasi dan KKN;

4. Respons perkembangan global, yaitu sebagai alternatif bagi lembaga yang

ada, yang mungkin menjadi bagian dari sistem yang harus direformasi;

5. Tekanan lembaga internasional sebagai prasyarat memasuki pasar global,

juga untuk membuat demokrasi sebagai satu-satunya jalan dan tujuan bagi

negara yang asalnya berada di bawah kekuasaan otoriter.

20 Ibid., hlm. 79-80.21 Zainal Arifin Mochtar, Op.cit., hlm 1.22 Firmansyah Arifin, dkk., Op.cit., hlm. 59-60.

13

Kelahiran lembaga-lembaga independen, juga sering dianggap

perkembangan atau penyimpangan konsep trias politica, sebagai jawaban atas

makin bertambahnya kebutuhan negara untuk melayani kepentingan warganya.23

Lembaga independen tersebut, terpisah atau berbeda dari cabang kekuasaan lain.

Independensinya kemudian dapat dikelompokkan menjadi: independen atas

lembaga negara lain dan menjalankan fungsi tertentu secara permanen (state

independent agencies); hanya bersifat menunjang (state auxiliary agencies),

disematkan kewenangan untuk membentuk aturan sendiri (self regulatory

agencies); dimaksudkan untuk melaksanakan fungsi pengawasan tertentu

(independent supervisory agencies); maupun lembaga yang memiliki fungsi

campuran antara regulatif, administratif, pengawasan, dan penegakan hukum.24

Pendekatan dalam menilai status independen sebuah lembaga negara, juga

dapat dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang menjadi

dasar pembentukannya, meski bisa jadi ada lembaga negara independen yang

pembentukannya menggunakan beleid pemerintah, yakni peraturan pemerintah

atau peraturan presiden.25 Lembaga negara yang dasar hukumnya bebas dari

penguasaan salah satu cabang kekuasaan, seperti undang-undang, dapat dipastikan

sebagai lembaga independen. Sebaliknya, lembaga yang didasarkan pada beleid

pemerintah, dapat digolongkan sebagai lembaga negara eksekutif. Selain itu,

kadar independensi lembaga negara, juga dapat ditelaah secara komprehensif, baik

dari dasar hukum pembentukannya, maupun ciri-ciri keindependenannya.26

23 Ibid., hlm 1-2.24 Zainal Arifin Mochtar, Op.cit., hlm 2.25 Ibid., hlm. 62.26 Ibid., hlm 62.

14

Secara umum, ciri teoritik yang melekat pada lembaga negara independen,

dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu sebagai berikut:27

1. Tdak menjadi bagian dari cabang kekuasaan yang ada, meskipun

mengerjakan tugas yang dulunya dipegang oleh pemerintah;

2. Proses pemilihan anggotanya melalui seleksi, atau tidak melalui monopoli

satu cabang kekuasaan tertentu dalam kerangka check and balances. Bisa

juga diserahkan sepenuhnya kepada segmentasi tertentu di publik untuk

memilih perwakilannya, tanpa melibatkan kekuatan politik;

3. Proses pemilihan dan pemberhentian anggotanya, hanya bisa dilakukan

berdasarkan mekanisme yang ditentukan oleh aturan yang mendasarinya;

4. Pelaporan kinerjanya didekatkan kepada rakyat selaku pemegang

kedaulatan negara, baik secara langsung maupun melalui parlemen;

5. Kepemimpinan yang bersifat kolegial dan kolektif dalam pengambilan

keputusan kelembagaan;

6. Bukan merupakan lembaga negara utama yang tanpa keberadaannya,

negara mustahil berjalan, tetapi keberadaannya tetap penting karena

tuntutan masa transisi maupun karena kebutuhan ketatanegaraan;

7. Memiliki kewenangan yang bersifat self regulated, dalam artian bisa

mengeluarkan aturan sendiri yang berlaku secara umum;

8. Memiliki legitimasi hukum, meski kemudian dibentuk dengan undang-

undang saja untuk lembaga yang ada dalam konstitusi, dan dengan

peraturan pemerintah saja untuk lembaga yang ada dalam undang-undang.

27 Ibid., hlm 64.

15

3. Fungsi dan Kewenangan Lembaga Negara Independen

Kata “fungsi” dapat dimaknai serupa dengan kata “kegunaan” ataupun

“faedah”. “Fungsi” secara kebahasaan berarti, “kegunaan suatu hal, daya guna;

jabatan (pekerjaan) yang dilakukan.”28 Oleh karena itu, “fungsi” merupakan

potensi peran yang dapat diaktualisasikan dalam mencapai tujuan tertentu.

Menurut Dr. Hardjono, “fungsi” mempunyai makna yang lebih luas dari “tugas”.

Kata “tugas” lebih tepat untuk menyebut aktivitas-aktivitas yang diperlukan agar

fungsi dapat terlaksana. Oleh karena itu, gabungan dari tugas-tugas adalah

operasionalisasi dari sebuah fungsi.29

Sebagai penyimpangan dari teori pemisahan kekuasaan secara murni,

lembaga negara independen akhirnya memiliki fungsi kelembagaan yang unik.

Oleh sebab itu, lembaga independen sering diistilahkan sesuai dengan fungsi yang

dijalankannya. Selain disebut auxiliary state organ, lembaga-lembaga itu juga ada

yang disebut self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau

lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function).30

Fungsi campuran lembaga independen, kemudian memunculkan sejumlah

varian. Ada lembaga independen yang memiliki fungsi legislatif atau regulatif,

ada juga yang lebih dekat ke fungsi administratif-eksekutif, bahkan ada yang lebih

condong fungsi yudikatif. Sebagai contoh, Komnas HAM yang fungsinya lebih

dekat dengan perjuangan aspirasi seperti DPR, tetapi sekaligus dekat dengan

fungsi peradilan. Ada juga KPK yang lebih dekat ke fungsi kekuasaan kehakiman.

28 Aditya Bagus Pratama, 2015, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Cetakan V, PustakaMedia, Surabaya, hlm. 136.

29 Firmansyah Arifin, dkk., Op.cit., hlm. 19.30 Evy Trisulo, Op.cit., hlm. 26-27.

16

Demikian pula KPI, KPU, PPATK, dan KPPU yang mempunyai fungsi campuran

antara legislatif, eksekutif, dan/atau sekaligus yudikatif..31

Pelaksanaan fungsi oleh lembaga negara, selanjutnya membutuhkan

serangkaian kekuasaan. Dalam terminologi hukum, kekuasaan tersebut berupa

kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “kewenangan” yang berasal dari kata dasar

“wenang”, diartikan sebagai (1) hal berwenang; (2) hak dan kekuasaan yang

dipunyai untuk melakukan sesuatu.32 Di sisi lain, istilah “wewenang” yang juga

sering kali ditemukan dalam kajian ilmu hukum dan pemerintahan, diartikan

dalam KBBI sebagai: (1) hak dan kekuasaan untuk bertindak; (2) kekuasaan

membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada

orang lain; (3) Fungsi yang boleh tidak dilaksanakan.33

Dari definisi di atas, pengertian kewenangan dan wewenang, sepintas

memiliki makna yang sama. Keduanya terkait dengan hak dan kekuasaan lembaga

negara. Namun dalam terminologi ilmu hukum dan pemerintahan, kedua istilah

tersebut memiliki arti yang berbeda. Hal ini dapat dirujuk pada UU No. 30 Tahun

2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 5 UU tersebut

mengartikan wewenang sebagai “Hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan

dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.” Sedangkan pada Pasal 1

31 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara PascaReformasi, Cetakan II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta,hlm. 23-24.

32 Kamus Bahasa Indonesia Online, http:/kamusbahasaindonesia.org/kewenangan, diaksespada tanggal 5 April 2017, pukul 21.03 Wita.

33 Ibid., http:/kamusbahasaindonesia.org/wewenang, diakses pada tanggal 5 April 2017,pukul 21.10 Wita.

17

angka 6, kewenangan diartikan sebagai “Kekuasaan Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah

hukum publik.” Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wewenang hanya

mencakup hak untuk bertindak dalam ranah internal kelembagaan, sedangkan

kewenangan juga berkaitan dengan kekuasaan untuk mengambil tindakan yang

memiliki implikasi eksternal kelembagaan.

Sejalan dengan kedudukan lembaga negara yang memiliki fungsi publik

tertentu, maka fungsi lembaga negara dalam aturan pembentukannya, senantiasa

dibarengi dengan instrumen kewenangan. Kewenangan itu, dapat berasal dari tiga

cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Definisinya, dapat dirujuk pada Pasal 1

angka 22, 23, dan 24, UU No. 30 Tahun 2014, sebagai berikut:

22. Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atauPejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.

23. Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau PejabatPemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau PejabatPemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggunggugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.

24. Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau PejabatPemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau PejabatPemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggunggugat tetap berada pada pemberi mandat.

Berangkat dari penjelasan di atas, maka tampak bahwa kewenangan yang

diperoleh secara atribusi, bersifat asli, sebab berasal dari peraturan perundang-

undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara

langsung dari redaksi pasal dalam peraturan perundang-undangan, sehingga pihak

pemegang kewenangan ini pun dapat menciptakan kewenangan baru untuk

18

dialihkan kepada organ pemerintahan tertentu.34 Di sisi lain, kewenangan delegatif

adalah kewenangan yang diberikan oleh pemegang kewenangan atributif kepada

lembaga tertentu dibawahnya untuk mengatur lebih lanjut peraturan perundang-

undangan yang dibuat oleh pemegang kewenangan atributif.35 Dengan demikian,

cara perolehan kewenangan, dapat menjadi tolok ukur untuk menilai seberapa

kuat kedudukan dan kewenangan sebuah lembaga negara.

4. Peraturan Lembaga Negara Independen

Pada setiap lembaga negara independen pada hakikatnya melekat

kewenangan untuk mengeluarkan aturan, khususnya bagi lembaga yang

dikategorikan self regulated bodies. Sifat kelembagaan ini berarti lembaga

memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peraturan dengan bungkus baju

peraturan kelembagaan yang mengikat ke luar.36 Kewenangan tersebut pada

umumnya ditegaskan dalam undang-undang atau berdasarkan pendelegasian

kewenangan mengatur yang diberikan oleh pembentuk undang-undang (legislative

delegation of rule-making).37

Sejauh menyangkut kewenangan regulatif, lembaga negara independen

dapat saja menetapkan peraturan internal yang bersifat khusus dalam rangka

menjalankan undang-undang. Peraturan tersebut bersifat khusus terhadap

peraturan perundang-undang lain, sehingga tunduk pada prinsip lex specialis

34 Ibid., hlm. 105-106.35 Noor M. Aziz, dkk., 2010, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Eksistensi

Peraturan Perundang-Undangan di Luar Hierarki Berdasarkan UU No.10 Tahun 2004 tentangPembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Penelitian dan Pengembangan SistemHukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, hlm.12.

36 Zainal Arifin Mochtar, Op.cit., hlm. 147-148.37 Noor M. Aziz, dkk Ibid., hlm. 85-86.

19

derogat lex generalis. Dengan demikian, lembaga independen dapat menjalankan

tugasnya tanpa harus terbatas kepada pengaturan regulatif pemerintah.38

Kedudukan peraturan lembaga negara independen, memang tidak

termasuk dalam jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana

dimaksud pada Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, yang hanya mencakup UUD NRI Tahun 1945, Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah,

Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota. Namun demikian, peraturan perundang-undangan, tidaklah

terbatas pada tujuh jenis saja. UU No. 12 Tahun 2011, juga mengakui peraturan

badan atau lembaga negara lain sebagai peraturan perundang-undangan. Pasal

Pasal 8 ayat (1) UU tersebut menyatakan:

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalamPasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MajelisPermusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan PerwakilanDaerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan PemeriksaKeuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atauPemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan RakyatDaerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat DaerahKabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Selanjutnya, pada Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan:

Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikatsepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebihtinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

38 Jimly Asshiddiqie, 2003, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah PerubahanKeempat UUD Tahun 1945, Makalah, disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum nasionalVIII dengan tema Penegakan Hukum Era Pembangunan Berkelanjutan, yang diselengarakan olehBadan Pembinaan Hukum Nasional, Departeman kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, hlm. 54.

20

Merujuk pada ketentuan di atas, maka peraturan lembaga negara

independen dapat digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan jika

dikeluarkan berdasarkan dua atau satu alasan, yaitu adanya delegasi kewenangan

dari peraturan yang lebih tinggi, atau berdasarkan kewenangan lembaga negara

bersangkutan. Maksud klausul “berdasarkan kewenangan” dapat dirujuk pada

bagian Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU tersebut, yang menyatakan bahwa, “Yang

dimaksud dengan ‘berdasarkan kewenangan’ adalah penyelenggaraan urusan

tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”

B. Pers

1. Pengertian dan Fungsi Pers

Istilah pers yang dikenal saat ini, berasal dari bahasa Belanda, yaitu pers

yang artinya menekan atau mengepres. Kata pers itu sendiri merupakan padanan

kata press dalam bahasa Inggris yang juga berarti menekan. Jadi secara harfiah,

kata pers atau press mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan

perantara barang cetakan.39

Di dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 13, pengertian pers itu

dibedakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan sempit. Pers dalam arti luas

adalah media cetak dan elektronik yang memuat laporan dalam bentuk fakta,

pendapat, usulan, dan gambar kepada masyarakat luas secara regular. Laporan

yang dimaksud melalui beberapa proses, mulai dari pengumpulan bahan, sampai

39 Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, 2012, Jurnalistik: Teori danPraktik, Cetakan Kelima, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 17.

21

penyiaran. Di dalam pengertian sempit atau terbatas, pers adalah media tercetak

seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, majalah dan buletin.40

Pada sisi lain, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers memberikan

pengertian tersendiri tentang pers. Pasal 1 angka 1 UU tersebut menyatakan:

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yangmelaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baikdalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dangrafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.41

Berangkat dari serangkaian definisi pers di atas, maka cakupan pers tidak

hanya sebatas pada media cetak, tetapi juga meliputi media elektronik, yaitu radio

dan televisi. Ruang lingkup pengertian pers tidak berdasarkan bentuk media,

tetapi pada berlangsungnya aktivitas jurnalistik. Selama insan pers melaksanakan

kerja-kerja jurnalistik secara menyeluruh, maka baik media cetak maupun

elektronik, dapat digolongkan sebagai pers.

Aktivitas jurnalistik di sebuah media, pada dasarnya ditujukan untuk

mengaktualisasikan fungsi pers yang tidak sekadar sebagai media komunikasi,

tetapi juga melaksanakan serangkaian fungsi lain, yaitu:42

1. Fungsi informatif untuk menyalurkan informasi kepada khalayak;

2. Fungsi kontrol untuk mengoreksi kebijakan para penguasa;

3. Fungsi interpretatif dan direktif untuk menyajikan interpretasi dan

bimbingan kepada masyarakat atas sebuah peristiwa;

4. Fungsi menghibur, semisal meyajikan tayangan humor dan musik;

40 Samsul Wahidin, 2011, Hukum Pers, Cetakan II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 35.41 Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers42 Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Op.cit., hlm. 27-29.

22

5. Fungsi regeneratif untuk menyajikan sejarah sebagai pedoman hidup

masyarakat di masa mendatang;

6. Fungsi pengawalan hak-hak warga negara untuk menjaga kepentingan

individu dan sosial terpenuhi secara seimbang;

7. Fungsi ekonomi untuk menyediakan wadah bagi aktivitas perdagangan,

semisal melaui penyediaan ruang iklan; dan

8. Fungsi swadaya untuk mengupayakan kemandirian dalam soal permodalan

yang akan menyokong aktivitas jurnalistik.

Fungsi pers di atas, pada dasarnya mencakup fungi pers yang tercantum

dalam Pasal 3 UU No. Tahun 1999 tantang Pers, yaitu sebagai media informasi,

pendidikan, hiburan, kontrol sosial, serta lembaga ekonomi. Fungsi ekonomi di

sini, ditujukan agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan

karyawannya, semakin meningkat, tanpa meninggalkan kewajiban sosialnya.43

2. Sejarah Hukum Pers

Sejak awal kemerdekaan, pada tiga macam konstitusi yang berlaku di

Indonesia, telah terdapat dasar konstitusional bagi kehidupan pers. UUD Tahun

1945 sebelum amandemen memuat ketentuan yang menyiratkan penghormatan

terhadap kebebasan pers, yaitu pada Pasal 28 yang menyatakan “Kemerdekaan

berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan

sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Setelah konstitusi berganti, dasar

konstitusional bagi hak berpendapat, tetap ada. Pada Pasal 19 Konstitusi Republik

Indonesia Serikat (RIS) 1949 dirumuskan bahwa “Setiap orang berhak atas

43 Lihat penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

23

kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Rumusan itu tetap

dipertahankan dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS),44 hingga UUD

Tahun 1945 kembali diberlakukan melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.

Lebih rinci, undang-undang yang pertama kali mengatur terkait pers

adalah UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang

disahkan Presiden Soekarno tanggal 12 Desember 1966. Falsafah UU itu adalah

“Pers Sosialis Pancasila” untuk mewujudkan agenda revolusi, sesuai dengan

kepentingan pemerintahan masa itu. Cirinya adalah bebas dan bertanggung jawab.

Bebas berarti tidak ada pembatasan, sedangkan bertanggung jawab berarti

memperhatikan kepentingan yang lebih besar, seperti kepentingan umum dan

kepentingan bangsa. Tanggung jawab pers ini ditandai dengan pengendalian,

pengawasan, dan pembinaan oleh pemerintah.45 Namun atas kendali pemerintah

yang terlalu kuat, pers tak ubahnya sebagai alat propaganda pemerintah.

Disahkannya UU No. 4 Tahun 1967 oleh Presiden Soeharto pada tanggal 6

Mei 1967, sebagai perubahan atas UU No. 11 Tahun 1966, tidak mengubah

kerangka pengaturan pers. UU perubahan tersebut hanya menambahkan satu ayat

pada Pasal 21 UU No. 11 Tahun 1966, yang menyatakan tidak berlakunya

Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-

Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum, khusus

mengenai buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-

44 J.C.T. Simorangkir, 1986, Pers, SIUPP, dan Wartawan, Cetakan I, Gunung Agung,Jakarta, hlm. 224.

45 Sudirman Tebba, 2007, Hukum Media Massa Nasional, Cetakan I, Pustaka IrVan,Banten, hlm. 155.

24

penerbitan berkala. Alasannya karena barang cetakan yang berupa produk pers,

telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 1966.46

UU No. 11 Tahun 1966 kembali diubah dengan UU No. 21 Tahun 1982

untuk menyesuaikan undang-undang pers dengan kebijakan pembangunan atas

nama Pancasila dengan segala konsekuensinya. Perubahan ini lebih menekankan

tanggung jawab dan membatasi kebebasan pers.47 Yang dirasakan paling

mengerikan oleh kalangan pers saat itu adalah lahirnya Peraturan Menteri

Penerangan (Menpen) No: 01/Per/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha

Penerbitan Pers (SIUPP), yang berdasar pada UU No. 21 Tahun 1982.48 Peraturan

Menpen itu dirasa mengerikan karena memungkinkan pemerintah untuk mencabut

SIUPP, yang berarti mematikan hak hidup suatu penerbitan pers. Ironis, sebab UU

No. 11 Tahun 1966 sebenarnya masih menganut larangan sensor dan pembredelan

bagi pers nasional, yang ketentuannya tak diubah dalam UU No. 21 Tahun 1982.49

Kini, di era reformasi, pengaturan hukum terkait pers mengalami

perubahan drastis. Pasal 28 UUD Tahun 1945 sebelum amandemen, mampu

diejawantahkan secara lebih baik dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU

ini dengan tegas menjadikan kemerdekaan pers sebagai titik fokus. Pers

diharapkan terbebas dari paksaan dan campur tangan pihak manapun.

Tak sampai di situ, semangat reformasi juga memberi landasan

konstitusional yang lebih baik bagi kehidupan pers. Pascaamandeman UUD

Tahun 1945, khususnya pada amandemen kedua pada 7-18 Agustus tahun 2000,

46 Ibid., hlm. 156.47 Ibid., hlm. 16848 Ibid., hlm. 174.49 Ibid.

25

lahir Pasal 28F UUD Tahun 1945 menyatakan, “Setiap orang… berhak untuk

mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan

informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

3. Teori dan Sistem Pers

Membicarakan mengenai kedudukan pers dalam sebuah negara, maka

dalam literatur terkait pers, dijumpai ada empat teori. Teori tersebut dikemukakan

oleh Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm dalam bukunya

Four Theories of the Press. Keempat teori itu adalah:50

1. Teori Pers Authoritarian

Teori ini muncul pada masa renaissance, dengan beranjak pada premis

bahwa kebenaran bukanlah hasil dari masyarakat, tetapi dari sekelompok

orang yang dianggap bijak. Kontrol pers bergerak dari atas ke bawah.

Penguasa memfungsikan pers sebagai sarana pemberi informasi tentang

apa yang dianggapnya perlu diketahui dan didukung oleh rakyat.

2. Teori Pers Libertarian

Teori ini muncul pada abad 17 sampai abad 19 sebagai akibat

pertumbuhan kesadaran terhadap demokrasi politik, kebebasan beragama,

dan mobilitas ekonomi. Terori ini beranjak dari premis bahwa manusia

bukanlah makhluk yang harus dituntun, sebab manusia mampu menilai

dan memilih dari sekian banyak alternatif secara tepat. Pencarian

kebenaran pun dianggap sebagai hak asasi manusia. Fungsi pers adalah

50 Irman Syahriar, 2015. Hukum Pers: Telaah Teoritis atas Kepastian Hukum dankemerdekaan Pers di Indonesia, Cetakan I, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hlm. 32-33.

26

sebagai mitra pencarian kebenaran. Pers bukanlah instrumen pemerintah,

tetapi alat untuk mengawasi kebijakan pemerintah.

3. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial

Teori ini merupakan perkembangan dari teori libertarian sehingga disebut

libertarianisme baru. Umumnya tumbuh di negara-negara nonkomunis

yang berkembang pada abad XX. Premis teori ini menyatakan bahwa

aktivitas pers harus diiringi dengan tanggung jawab sosial kepada

masyarakat, utamanya dalam menyajikan informasi yang objektif.

4. Teori Pers Soviet Komunis

Teori ini merupakan perkembangan dari teori pers otoritarian. Teori ini

berkembang di Uni Soviet sebagai konsekuensi terhadap ajaran marxis

yang memusatkan kehidupan sosial pada negara. Teori ini beranjak pada

premis bahwa pers adalah milik negara. Masyarakat dianggap

membutuhkan tutunan para pelaksana negara, khususnya mengenai

kebenaran apa yang perlu diyakini guna menjaga persatuan bangsa.

Selain keempat teori tersebut, terdapat juga dua teori yang dicetuskan oleh

McQuail dalam tulisannya Uncertainty about the Auidience and the Organization

of Mass Communications. Kedua teori tersebut yaitu:51

1. Teori Pers Pembangunan

Teori ini diterapkan di negara-negara berkembang. Pers diposisikan oleh

negara sebagai sarana pembangunan. Negara dapat melakukan pembatasan

kepada pers demi prioritas ekonomi dan pembangunan. Atas nama

51 Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Op.cit., hlm. 25-27.

27

kelancaran proses pembangunan, negara berhak mencampuri kegiatan

media pers, hingga melakukan kontrol dan sensor secara langsung.

2. Teori Pers Partisipan-Demokratik

Teori ini lahir berlaku dalam masyarakat liberal yang sudah maju.

Penganut teori ini menentang komersialisasi dan monopoli media oleh

pihak swasta, juga menentang sentralisasi dan birokratisasi institusi siaran

publik. Teori ini ini mengharapkan pers yang mengutamakan kepentingan

public, serta menjunjung tinggi keberagaman, minoritas, lokalitas,

deinstitusionalisasi, serta kesederajatan dalam berinteraksi.

Dalam konteks pers di Indonesia, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

telah menggariskan titik tengah antara kebebasan pers dan tanggung jawab sosial

pers. Pasal 2 UU tersebut menyatakan bahwa “kemerdekaan pers adalah salah satu

wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan

supremasi hukum”. Selain itu, meski menegaskan kemerdekaan pers sebagai hak

asasi manusia, UU No. 40 Tahun 1999 juga menggariskan bahwa kemerdekaan

pers harus disertai kesadaran penegakan supremasi hukum, pelaksanaan tanggung

jawab profesi dalam kode etik, serta sesuai dengan hati nurani insan pers.52

Keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab sosial sebuah pers,

merupakan hal yang penting. Jika dikaitkan dengan teori-teori sistem pers,

keseimbangan itu dapat tercapai dengan mengombinasikan segi positif dari setiap

teori pers. Kalau hal itu dilakukan, setidaknya, terdapat enam asas yang dapat

menjadi panduan bagi pers, yaitu: (a). asas kebebasan media; (b). asas antisensor;

52 Lihat bagian Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

28

(c). asas pertanggungjawaban sosial; (d). asas pembatasan kepemilikan; (e). asas

perlindungan profesi; (f). asas perlindungan hak perseorangan.53

4. Struktur Kelembagaan Pers

Pers yang menyelenggarakan aktivitas jurnalistik melalui media tertentu,

memiliki struktur keorganisasian yang berbeda di banding lembaga lain. Keunikan

pers terletak pada adanya pembagian bidang kerja antara bidang perusahaan dan

bidang keredaksiaan. Bidang perusahaan mengelola persoalan operasional

perusahaan, sedangkan bidang keredaksian mengurusi soal pemberitaan.

Secara umum, struktur keorganisasian sebuah media pers terdiri dari:54

1. Pemimpin Umum, yaitu pemilik media atau orang yang ditunjuk mewakili

pemilik media. Pemimpin Umum duduk di puncak organisasi dan

membawahi bidang perusahaan dan keredaksian sekaligus;

2. Pemimpin Perusahaan, yaitu orang yang bertanggung jawab kepada

Pemimpin Umum terkait urusan administrasi, keuangan perusahaan, dan

pemasaran. Di bawah Pemimpin Perusahaan terdapat kepala bagian atau

manajer sirkulasi, iklan, promosi, produksi, serta bagian lain yang

berkaitan dengan masalah bisnis, teknik, dan operasi-operasi distribusi;

3. Pemimpin Redaksi, yaitu orang yang mengurus dan bertanggung jawab

atas operasi redaksional secara keseluruhan. Secara umum, Pemimpin

Redaksi hanya mengawasi dan mengarahkan, atau melakukan supervisi

53 Armansyah, 2015, Pengantar Hukum Pers, Cetakan I, Gramata Publishing, Bekasi,hlm. 58.

54 a dan Purnama Kusumaningrat, Op.cit., hlm. 72-74.

29

atas operasionalisasi keredaksian. Untuk itu, di bawahnya erdapat unit

kerja berupa:

a. Redaktur Pelaksana, yaitu orang yang mengurusi secara teknis soal-soal

keredaksian. Tugasnya adalah mengawasi pelaksanaan peliputan berita,

atau diistilahkan sebagai kepten regu pemberitaan. Ia bertanggung

jawab atas disajikannya berita yang berimbang dan lengkap, khususnya

berita utama yang dinanti khalayak, baik berita lokal maupun nonlokal;

b. Redaktur, yaitu orang yang posisinya berada di bawah Redaktur

Pelaksana. Tugasnya adalah melakukan penugasan peliputan dan

penyuntingan berita sesuai rubrik yang menjadi kewenangannya.

Karena itulah, pada sebuah media pers, terdapat beberapa redaktur yang

menangani rubrik tertentu, misalnya redaktur bidang olahraga, redaktur

bidang politik, dan redaktur bidang ekonomi.

c. Reporter, yaitu orang yang diturunkan ke lapangan untuk meliput secara

langsung sebuah peristiwa setelah mendengar arahan dari redaktur

terkait apa-apa yang perlu diliput.

Selain reporter, media massa biasanya juga memiliki koresponden, setter

atau juru ketik naskah, juga korektor yang bertugas mengoreksi kesalahan

pengetikan. Bagian tak talah penting lainnya adalah Perpustakaan dan

Dokumentasi, serta bagian Penelitian dan Pengembangan (Litbang).55

Secara umum, berikut ini bagan struktur keorganisasian pers:56

55 Asep Syamsul M. Ramli, 2009, Jurnalisme Praktis: Untuk Pemula, Cetakan VIII, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 109.

56 Ibid., hlm. 110.

30

Bagan 1: Struktur Keorganisasi Pers

Sumber: Diperoleh dari bahan hukum tersier

5. Kemerdekaan Pers

Kata “kemerdekaan” dalam KBBI didefinisikan sebagai “keadaan atau hal

berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dsb.); kebebasan.”57 Hal ini

sejalan dengan tafsir kata “merdeka” sebagai kata dasarnya, yaitu bebas, berdiri

sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, atau tidak terikat atau tidak

bergantung kepada orang atau pihak lain.58 Jika dikaitkan dengan kata “pers”,

maka kemerdekaan mengindikasikan bahwa pers terbebas dari intervensi pihak

manapun dalam melaksanakan fungsinya.

57 Kamus Bahasa Indonesia Online, http:/kamusbahasaindonesia.org/kemerdekaan,diakses pada tanggal 10 April 2017, pukul 19.40 Wita.

58 Ibid., http:/kamusbahasaindonesia.org/merdeka, diakses pada tanggal 10 April 2017,pukul 19.45 Wita.

Pemimpin Umum

Pemimpin Redaksi Pemimpin Perusahaan

Redaktur Pelaksana

Redaktur Bahasa Para Redaktur Desk Redaktur Pracetak

Reporter

Koresponden

Fotografer

Setting

Layout

Korektor

Sirkulasi, Iklan,Promosi, Umum TataUsaha, Keuangan, dll.

Perpustakaan, Dokumentasi, Litbang

31

Soal kemerdekaan pers, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, memang

tidak memberikan pengertian tersendiri. Namun semangat kemerdekaan pers,

tetap melandasi kelahiran dan perumusannya. Bagian konsideran Menimbang

huruf a UU tersebut menyatakan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu

wujud kedaulatan rakyat sehingga harus mendapatkan jaminan perlindungan,

sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD Tahun 1945. Bahkan pada Bagian

konsideran Menimbang huruf c UU itu, juga dinyatakan bahwa pers nasional

harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya

berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus perlindungan

hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun.

Penghormatan terhadap kemerdekaan pers, kemudian ditegaskan dalam

Pasal 4 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa

“Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.” Tafsir klausul ini

dalam bagian penjelasan pasalnya adalah bahwa pers bebas dari tindakan

pencegahan, pelarangan, atau penekanan, agar hak masyarakat untuk memperoleh

informasi, terjamin. Hal itu ditunjang dengan ketentuan pada ayat (2), (3) dan (4)

pasal yang sama. Ditegaskan di situ bahwa pers nasional tidak dikenakan

penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Pers nasional juga

mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan

informasi. Bahkan secara rinci, wartawan diberikan hak tolak, yaitu hak untuk

melindungi sumber informasi dengan tidak menyebutkan indentitasnya, termasuk

jika dimintai keterangan oleh penyidik atau bersaksi di pengadilan.

32

Pentingnya melindungi kemerdekaan pers, tidak lain daripada upaya

menjamin agar pers mampu menjadi pengontrol kekuasaan negara secara

keseluruhan. Sejak tahun 1841, Thomas Carlylle telah membuat pernyataan

bahwa pers adalah the fourth estate atau cabang kekuasaan keempat, di samping

legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pernyataan itu bermakna pers harus merdeka

dari kekuasaan lain.59 Kemerdekaan pers jelas merupakan kebutuhan media dan

insan pers guna menjalankan peran dan fungsinya sebagai pengawal jalannya

pemerintahan yang dilakukan oleh pemangku kekuasaan negara. Jaminan

kemerdekaan pers akan menjamin objektivitas pers dalam menyampaikan

informasi, tanpa perlu takut pada tekanan apapun.60

Paling tidak, ada tiga alasan pentingnya menjamin dan melindungi

kemerdekaan pers. Pertama, bertalian dengan fungsi alamiah pers. Kemerdekaan

merupakan hakikat dan kebutuhan pers dalam melaksanakan fungsinya. Dengan

kemerdekaan pers, informasi yang disampaikan kepada publik layak dipercaya,

akurat, dan tidak bias. Kedua, bertalian dengan fungsi pers sebagai instrumen hak

asasi manusia. Hak setiap orang untuk berkomunikasi, menyatakan pikiran dan

pendapat, sangat memerlukan pers yang merdeka. Ketiga, pers sebagai sarana

demokrasi. Demokrasi tidak sekadar soal pemilihan pejabat publik, tetapi juga

soal pertanggungjawaban publik. Dalam hal itu, pers merdeka, independen, dan

imparsial, menjadi sarana efektif dalam mengawal demokrasi.61

59 Bagir Manan, Kemerdekaan Pers dalam Perspektif Pertanggungjawaban Hukum,Jurnal Dewan Pers (Ancaman Perundang-undangan terhadap Kemerdekaan Pers), Edisi No. 8,Desember 2013, Dewan Pers, Jakarta, hlm. v.

60 Irman Syahriar, Op.cit., hlm 119.61 Bagir Manan, 2012, Politik Publik Pers, Cetakan I, Dewan Pers, Jakarta, hlm. 214-215.

33

Sebagaimana dalam tatanan yang teratur seperti demokrasi, tidak ada

kemerdekaan atau kebebasan yang tak berbatas. Demikian pula kemerdekaan pers.

Pembatasan kemerdekaan pers dapat bersumber dari internal lingkungan pers

sendiri (self sensorship), atau dari luar lingkungan pers berupa kekuasaan publik

(public authority). Pembatasan internal, bersifat self restraint atau self censorship,

baik atas dasar kode etik atau UU Pers. Di sisi lain, pembatasan eksternal dari

kekuasaan publik mencakup pembatasan atas dasar ketertiban umum, keamanan

nasional, harmoni politik dan sosial, penghormatan terhadap privasi, serta

pembatasan atas dasar ketentuan pidana, ketentuan perdata, atau hukum lainnya.62

C. Dewan Pers

1. Sejarah Dewan Pers

Dewan Pers pertama kali dibentuk tahun 1968. Pembentukannya

berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers.

Dewan Pers kala itu, sesuai Pasal 6 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1966, berfungsi

mendampingi pemerintah untuk bersama-sama membina pertumbuhan dan

perkembangan pers nasional. Karena itu, ketua Dewan Pers dijabat oleh Menteri

Penerangan sebagaimana ditetapkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1966.63

Konstruksi hukum yang menempatkan Dewan Pers sebagai domain

pemerintah, ditujukan untuk menghindari dualisme kepentingan dalam

pengelolaan pers, sebagaimana diinginkan pemerintah. Segala kebijakan terkait

62 Bagir Manan, 2016, Pers, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Cetakan I, Dewan Pers,Jakarta, hlm. 75-76

63 Edy Susanto, dkk., 2014, Hukum Pers di Indonesia, Cetakan I, PT. Rineka Cipta,Jakarta, hlm. 136.

34

pers akan diambil setelah mufakat yang dicapai sebagai hasil musyawarah di

dalam tubuh Dewan Pers.64 Kesatuan suara itu, akan mudah dicapai karena sedari

awal, Dewan Pers memang hanya sebagai pendamping atau pembantu pemerintah

dalam membina pers nasional.

Pemerintah Orde Baru melalui UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan

atas UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967, tidak banyak mengubah

status Dewan Pers. Kedudukan dan fungsinya tetap sama, yaitu menjadi penasehat

pemerintah. Sedangkan Menteri Penerangan tetap merangkap sebagai Ketua

Dewan Pers.65 Bahkan perubahan tersebut membuat kewenangan Dewan Pers

semakin menciut. Indikasi itu dapat dilihat dari diubahnya semua klausul

"Pemerintah bersama-sama Dewan Pers" dalam UU No. 11 Tahun 1999 menjadi

“Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers".66

Perubahan fundamental hukum pers terjadi setelah peralihan kekuasaan

negara dari Orde Baru ke Reformasi. Melalui UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

yang disahkan Presiden B.J. Habibie tanggal 23 September 1999, Dewan Pers

menjadi lembaga independen. Pasal 15 ayat (1) UU tersebut menyatakan, “Dalam

upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers

nasional, dibentuk Dewan Pers yang Independen.” 67

Fungsi Dewan Pers yang independen, membuatnya tidak lagi menjadi

penasihat pemerintah, tetapi pelindung kemerdekaan pers. Hubungan struktural

64 Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-KetentuanPokok Pers.

65 Edy Susanto, Op.cit., hlm. 136.66 Lihat Pasal I angka 1 huruf b UU No. 21 Tahun 1982.67 Edy Susanto, Loc.cit.

35

antara Dewan Pers dan Pemerintah diputus, apalagi setalah dibubarkannya

Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Tidak ada lagi unsur

pemerintah dalam keangggotaan Dewan Pers, meski formalitas pengangkatan

anggotanya tetap dengan Keputusan Presiden. Soal jabatan ketua Dewan Pers,

juga tidak lagi direcoki pemerintah, namun diputuskan sendiri oleh seluruh

anggota Dewan Pers dalam rapat pleno.68

2. Kedudukan Dewan Pers

Menurut Asimov, lembaga negara ataupun diistilahkan komisi negara

dapat dibedakan dalam dua kategori: pertama, komisi negara independen, yaitu

organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan kerenanya berada di

luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudisial. Organ negara itu,

lazimnya memiliki fungsi campuran dari cabang kekuasaan yang ada; Kedua,

komisi negara biasa (state commissions), yaitu komisi negara yang merupakan

bagian kekuasaan eksekutif, dan tidak mempunyai peran yang terlalu penting.69

Dewan Pers sebagai lembaga negara yang berfungsi untuk melindungi

kemerdekaan pers, didesain agar bebas dari cabang kekuasaan manapun.

Kedudukan Dewan Pers semakin kokoh sebagai lembaga negara independen,

mengingat dasar pembentukannya adalah undang-undang, yaitu UU No. 40 Tahun

1999 tentang Pers. Independensi Dewan Pers, kemudian ditopang oleh desain

kelembagaan yang unik. Salah satunya adalah keanggotaanya yang dipilih secara

68 Ibid.69 Titik Triwulan Tutik, 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Amandemen UUD 1945, Kencana, Jakarta, hlm. 180.

36

mandiri oleh organisasi pers, yaitu organisasi wartawan dan organisasi perusahaan

pers. Pasal 15 ayat (3) UU No. 40 Tahun 1999 menggariskan bahwa:

Anggota Dewan Pers terdiri dari :a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang

lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasiperusahaan pers;

Dalam upaya menjaga independensinya, sumber dana untuk pembiayaan

lembaga Dewan Pers, juga tidak ditumpukan sepenuhnya pada anggaran negara.

Pasal 15 ayat (7) UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers menyatakan bahwa sumber

pembiayaan Dewan Pers berasal dari organisasi pers, perusahaan pers, serta

bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.

3. Fungsi dan Kewenangan Dewan Pers

Pada saat UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pers masih berlaku, Dewan Pers hanya bertugas mendampingi pemerintah dalam

membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. Tugas Dewan Pers itu di

antaranya: memberikan pertimbangan terkait boleh tidaknya sebuah perusahaan

pers menerima atau memberi bantuan kepada pihak asing; bersama pemerintah

merumuskan syarat-syarat lebih lanjut untuk menjadi Pemimpin Umum,

pemimpin Redaksi dan Pemimpin Perusahaan di sebuah lembaga pers; bersama

pemerintah merumuskan ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai wartawan;

dan bersama pemerintah merumuskan ketentuan mengenai Surat Izin Terbit dalam

masa peralihan, serta mendaftar perusahaan pers.

37

Fungsi dan kewenangan Dewan Pers dalam UU No. 11 Tahun 1966, jelas

tak bisa dilaksanakan secara mandiri dan otonom. Dewan pers hanya didudukkan

sebagai partner pemerintah dalam merumuskan kebijakan pers, juga

melaksanakan fungsi lain yang bersifat administratif. Dengan demikian, fungsi itu

bisa dikatakan tak berarti, sebab Dewan Pers tak ubahnya lembaga perpanjangan

tangan dan pembantu pemerintah.

Setelah disahkannya UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas UU

No. 11 Tahun 1966 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967,

fungsi dan kedudukan Dewan Pers tak banyak berubah, kecuali bahwa Dewan

Pers juga turut dalam perumusan aturan terkait SIUPP, hak tolak, dan hak jawab.

Pengaturan lebih rinci terkait kedudukan, tugas, fungsi, dan wewenang Dewan

Pers dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1984 tentang Dewan Pers, juga

tetap dalam kerangka kelembagaan Dewan Pers sebagai subordinasi pemerintah.

Memasuki era Reformasi, persoalan kebebasan pers menjadi salah satu

tuntutan masyarakat. Hal itu seiring dengan harapan akan terwujudnya

pemerintahan yang akuntabel, penyelenggaraan negara yang transparan, serta

terwujudnya keadilan. Dalam hal itu, pers yang merdeka dan bertanggung jawab,

jelas dibutuhkan. Hingga akhirnya, pada tanggal 23 September 1999, Presiden

B.J. Habibie pun mengesahkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang

menggantikan UU No. 11 Tahun 1966 beserta perubahannya.

Revitalisasi fungsi Dewan Pers, menjadi salah hal yang menggembirakan

dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Paling tidak, Dewan Pers telah

diberikan fungsi lebih memadai, sesuai dengan semangat kemerdekaan pers yang

38

menghendaki pers terbebas dari campur tangan pihak manapun, termasuk dari

pemerintah. Serangkain fungsi itu, terurai di Pasal 15 ayat (2) UU tersebut, yaitu:

a. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;b. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan

masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaanpers;

e. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;f. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-

peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesikewartawanan;

g. mendata perusahaan pers;

Demi menunjang pelaksanaan fungsinya, Dewan Pers pun dapat

membentuk organ penunjang. Statuta Dewan Pers menyatakan bahwa anggota

Dewan Pers dapat membentuk Badan Pertimbangan yang beranggotakan lima

orang. Tugas dan fungsinya adalah memberikan pertimbangan kepada Dewan

Pers atau melaksanakan tugas khusus yang diberikan Dewan Pers. Dewan Pers

juga dapat membentuk satuan kerja, misalnya dalam bentuk Komisi. Komisi

Dewan Pers saat ini, terdiri atas Komisi Pengaduan Masyarakat, Komisi Hukum,

Komisi Hubungan Antarlembaga dan Luar Negeri, serta Komisi Pengembangan

Profesi Wartawan, Penelitian dan Pendataan Perusahaan Pers. Setiap komisi

tersebut, fokus menunjang pelaksanaan fungsi tertentu dari Dewan Pers.

Penguatan terhadap fungsi Dewan Pers dalam UU No. 40 Tahun 1999

tentang Pers, pada sisi lain, nyatanya tidak dibarengi dengan serangkaian

kewenangan. Dalam Keterangan Umum RUU Pers, memang tampak keinginan

untuk menghindari sejauh mungkin campur tangan pemerintah terhadap pers,

yaitu dengan memberikan fungsi yang luas kepada Dewan Pers. Salah satunya

39

adalah memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk mengeluarkan aturan-

aturan di bidang pers.70 Namun dalam UU No. 40 Tahun 1999, tidak ditemukan

wujud nyata dari rencana tersebut. Hal itu akhirnya menimbulkan kegamangan,

termasuk soal status peraturan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers.

D. Perusahaan Pers

1. Pendirian Perusahaan Pers

Soal perusahaan pers, Pasal 1 angka 2 UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers

menyatakan bahwa, “Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang

menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik,

dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus

menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.” Pasal 1 angka 6

UU tersebut kemudian menyatakan bahwa, “Pers nasional adalah pers yang

diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.” Lebih lanjut, pada Pasal 9 ayat

(1) UU itu, juga dinyatakan bahwa, “Setiap warga negara Indonesia dan negara,

berhak mendirikan perusahaan pers.” Pada ayat (2) pasal yang sama, dinyatakan,

“Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.”

Status badan hukum yang dipersyaratkan dalam pendirian perusahaan pers,

tidak diuraian lebih lanjut dalam UU No. 40 Tahun 1999, termasuk soal jenis

badan hukumnya. Namun pada angka 2 Peraturan Dewan Pers Nomor:

4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers, dinyatakan bahwa,

“Perusahaan pers berbadan hukum perseroan terbatas dan badan-badan hukum

70 Zainal Arifin Mochtar, Op.cit., hlm. 112.

40

yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Perusahaan pers juga dipersyaratkan untuk mendapat pengesahan dari

Departemen Hukum dan HAM atau instansi lain yang berwenang.

Dari uraian di atas, tampak ada dua unsur penting pelaksanaan pengelolaan

pers, yaitu usaha pers harus dijalankan oleh perusahaan, dan perusahaan pers

harus badan usaha yang berbentuk berbadan hukum. Dua aspek itu mengandung

beberapa konsekuensi. Pertama, perusahaan yang dimaksud harus sebagai

perkumpulan modal atau perkumpulan orang, sehingga tidak dapat dilakukan

secara perorangan. Kedua, dalam makna hukum, perusahaan adalah aktivitas

ekonomi yang dijalankan secara teratur dan terbuka, serta memiliki fungsi

ekonomi. Ketiga, perusahaan pers harus berbentuk badan hukum, yaitu berbentuk

PT dan bentuk badan hukum lain, misalnya berupa koperasi dan yayasan.71

Lebih lanjut, Peraturan Dewan Pers Nomor: 4/Peraturan-DP/III/2008, juga

menetapkan bahwa untuk mendirikan perusahaan pers, harus dengan modal dasar

sekurang-kurangnya sebesar Rp.50.000.000 atau ditentukan oleh Peraturan Dewan

Pers. Penambahan modal asing pada perusahaan pers media cetak dilakukan

melalui pasar modal dan tidak boleh mencapai mayoritas, untuk media penyiaran

tidak boleh lebih dari 20% dari seluruh modal.

Saat ini, berdasarkan data dari situs resmi Dewan Pers, dewanpers.or.id,

terdapat sebanyak 1765 perusahaan pers. Dari jumlah itu, sebanyak 78

terverifikasi administrasi dan faktual, sebanyak 899 terverifikasi administrasi, dan

sebanyak 788 belum terverifikasi.

71 Bagir Manan, 2016, Pers, Hukum, dan Hak Asasi Manusia, Op.cit., hlm. 26.

41

2. Kewajiban dan Tanggung Jawab Perusahaan Pers

Perusahaan pers wajib menjamin netralitas ruang keredaksian dari

intervensi pihak manapun. Hal itu dapat disimak dalam ketentuan pidana pers,

sebagaimana tercantum di Pasal 18 UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers. Pada

ketentuan itu, terdapat larangan beserta sanksi bagi setiap orang yang melanggar

larangan sensor, bredel, dan pelarangan penyairan, juga bagi setiap orang yang

menganggu aktivitas jurnalistik sebagai bentuk kemerdekaan pers. Bahkan khusus

bagi perusahaan pers, dapat juga dikenai pidana denda jika medianya

memberitakan sesuatu yang melanggar norma dan asas praduga tak bersalah, tidak

melayani hak jawab, melanggar larangan muatan iklan tertentu, tidak memenuhi

persyaratan sebagai badan hukum, serta tidak mengumumkan idenditas

perusahaan dan penanggung jawab.

Motif ekonomi yang mendasari pendiriannya, tidak boleh menghilangkan

karakteristik perusahaan pers yang harus senantiasa dijaga. Karakteristik tersebut

antara lain: Pertama; perusahaan pers harus tunduk pada asas dan kaidah pers,

seperti menjaga kemerdekaan pers, menghormati kode etik pers, menjaga

profesionalisme pers. Kedua; menjunjung tinggi prinsip fire wall yang

memisahkan antara kegiatan perusahaan dan kegiatan jurnalistik. Pengelolaan

perusahaan, pemilik perusahaan, atau para pemegang saham, tidak mengintervensi

aktivitas jurnalistik awak redaksi. Namun, redaksi juga harus memperhatikan

kepentingan perusahaan, selama tidak melanggar kemerdekaan pers. Ketiga; harus

42

ada pemisahan tegas antara manajemen perusahaan sebagai satuan kegiatan

ekonomi dengan manajemen pers sebagai pengelola kegiatan jurnalistik.72

Perusahaan pers selayaknya melaksanakan fungsi pers secara utuh. Pada

Pasal 3 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dinyatakan bahwa pers nasional

memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Di sisi lain, pers nasional juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi, yaitu dengan

memberikan kesejahteraan kepada para wartawan dan karyawannya tanapa

meninggalkan kewajiban sosialnya.73 Dengan demikian, kepentingan ekonomi

perusahaan dan tanggung jawab publiknya, harus berjalan seiringan.

Dalam soal pertanggung jawabannya, perusahaan pers sebagaimana

tercantum dalam Pasal 12 UU No. 40 Tahun 1999, diharuskan mengumumkan

identitas perusahaan dan penanggung jawab secara terbuka, melalui media yang

bersangkutan. Yang dimaksud "penanggung jawab" adalah penanggung jawab

perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Pengumuman itu

dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang

diterbitkan atau disiarkan. Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana,

menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.74

3. Organisasi Perusahaan Pers

Ketentuan lebih rinci tentang organisasi perusahaan pers, tidak terdapat

dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU tersebut, hanya menyebutkan

peran organisasi perusahaan pers, yaitu memilih anggota Dewan Pers dari unsur

72 Ibid., hlm. 28.73 Lihat bagian Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.74 Lihat bagian Penjelasan Pasal 12 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

43

pimpinan perusahaan pers. Selain itu, organisasi perusahaan pers bersama

organisasi wartawan, juga berwenang memilih anggota Dewan Pers dari tokoh

masyarakat yang ahli di bidang tertentu.

Soal organisasi perusahaan pers, kemudian diatur lebih lanjut dalam

Peraturan Dewan Pers Nomor: 3/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar

Organisasi Perusahaan Pers. Dalam peraturan tersebut, dinyatakan bahwa

organisasi perusahaan pers berbentuk Badan Hukum Perkumpulan Indonesia yang

telah mendapat pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM. Organisasi

perusahaan pers dapat didirikan pada tingkat nasional maupun provinsi.

Soal Stuktur kepengurusan, peraturan tersebut mengatur bahwa organisasi

perusahaan pers memiliki pengurus pusat, sekurang-kurangnya terdiri atas seorang

ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara dan dua orang pengurus lainnya.

Mekanisme pergantian pengurus harus melalui sistem yang demokratis, paling

lama dilakukan dalam lima tahun. Hasil pergantian kepengurusan, kemudian

dilaporkan ke Dewan Pers.

Lebih lanjut, peraturan Dewan Pers tersebut juga mengatur bahwa anggota

organisasi perusahaan pers disesuaikan dengan bentuk medianya, baik organisasi

perusahaan pers media cetak, penyiaran radio, maupun penyiaran televisi. Jumlah

anggota organisasi perusahaan pers kemudian ditentukan sebagai berikut:

a. Untuk media cetak sekurang-kurangnya berjumlah 100 perusahaan pers

media cetak yang ada di Indonesia dan minimal berdomisili di 15 provinsi.

44

b. Untuk media radio sekurang-kurangnya berjumlah 200 perusahaan

penyelenggara jasa penyiaran radio yang ada di Indonesia dan minimal

berdomisili di 15 provinsi.

c. Untuk media televisi sekurang-kurangnya berjumlah 8 perusahaan

penyelenggara jasa penyiaran televisi.

Organisasi perusahaan pers yang memenuhi syarat kemudian ditetapkan

berdasarkan Keputusan/Peraturan Dewan Pers. Selain itu, organisasi perusahaan

pers juga diverifikasi dan terdaftar di Dewan Pers.

Setidaknya, ada empat organisasi perusahaan pers yang diputuskan oleh

Dewan Pers telah memenuhi Standar Organisasi Perusahaan Pers. Empat

organisasi tersebut adalah Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), Persatuan Radio

Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia

(ATVSI), dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI). Keputusan ini termuat

dalam Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 1/SK-DP/IX/2009 tentang Hasil

Verifikasi Organisasi Perusahaan Pers Tahun 2009.75

E. Wartawan

1. Pengertian Wartawan

Lazimnya dalam dunia pers, dikenal beberapa istilah untuk orang yang

pekerjaannya berhubungan dengan pemberitaan. Di antara istilah itu adalah

jurnalis, reporter, dan wartawan. Istilah jurnalis baru muncul di Indonesia setelah

75 Dewan Pers, 23 November 2009, Empat Organisasi Perusahaan Pers Penuhi Standar,http://dewanpers.or.id/berita/detail/341/empat-organisasi-perusahaan-pers-penuhi-standar, diaksespada tanggal 2 Juni 2017, pukul 10.09 Wita.

45

masuknya pengaruh ilmu komunikasi yang cenderung berkiblat ke Amerika

Serikat. Istilah ini kemudian berimbas pada penamaan seputar posisi-posisi

kewartawanan. Misalnya, "redaktur" menjadi "editor." Pada saat Aliansi Jurnalis

Independen berdiri, terjadi pembaruan istilah. Menurut AJI, jurnalis adalah profesi

atau penamaan seseorang yang pekerjaannya berhubungan dengan isi media.

Akhirnya, banyak orang mempersamakan istilah jurnalis dengan reporter, yaitu

seseorang yang mengumpulkan informasi dan menciptakan laporan, atau cerita.

Tetapi, hal ini tidak sepenuhnya benar karena reporter tidak meliputi tipe jurnalis

lainnya, seperti kolumnis, penulis utama, fotografer, dan desain editorial.76

Sementara itu, istilah wartawan juga menimbulkan tafsir yang bebeda-

beda. Dalam pendefinisian Persatuan Wartawan Indonesia, wartawan diartikan

sebagai pekerjaan yang hubungannya dengan kegiatan tulis-menulis, di antaranya

seperti mencari data (riset, liputan, verifikasi) untuk membuat dan melengkapi

laporan. Wartawan pun dituntut untuk objektif, sehingga berbeda dengan penulis

kolom yang bisa mengemukakan subjektivitasnya lewat media.77

Di sisi lain, pengertian wartawan dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 40 Tahun

1999 tentang Pers adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan

jurnalistik. Kegiatan jurnalistik yang dimaksud, dapat dirujuk dalam Pasal 1 angka

1 UU No. 40 Tahun 1999, yaitu mencakup kegiatan mencari, memperoleh,

memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam

bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun

76 Wikipedia, Wartawan. https://id.wikipedia.org/wiki/Wartawan, diakses pada 14 Juni2016 pukul 15.00 Wita.

77 Ibid.

46

dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan

segala jenis saluran yang tersedia.

2. Independensi Wartawan

Kata independensi dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari

independence dalam bahasa Inggris yang berarti “kemerdekaan”. Independen

sendiri berarti keadaan tidak tergantung pada hal yang lain. Pada dasarnya, kata

independen itu merupakan negasi dari kata dependen yang berarti “tergantung

(terikat pada); tidak berdiri sendiri”.78 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

independensi adalah perihal mandiri atau tidak tergantung pada sesuatu yang lain.

Pengertian independen juga dapat dirujuk pada Surat Keputusan Dewan

Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagaimana

telah disahkan sebagai Peraturan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers

Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008. Pada Pasal 1 KEJ tersebut ditegaskan bahwa

wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,

berimbang, dan tidak beritikad buruk. Selanjutnya, pada bagian penjelasan pasal,

ditafsirkan bahwa, “Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai

dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak

lain termasuk pemilik perusahaan pers”.

Prinsip independensi wartawan, jelas merupakan salah satu hal yang harus

ditegakkan. Hal itu sejalan dengan roh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang

berupaya melindungi kemerdekaan pers. Pasal 4 ayat (3) UU tersebut menyatakan

78 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dependen, http://kbbi.web.id/dependen,diakses pada 30 Juni 2017 pukul 10.11 Wita.

47

bahwa “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak

mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Oleh sebab

itu, perlindungan terhadap independensi wartawan sebagai pihak yang

bersentuhan langsung dengan kerja-kerja jurnalistik, harus menjadi fokus utama

dalam mewujudkan kemerdekaan pers. Hal ini juga sejalan dengan maksud

dijaminnya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara, yaitu agar pers

bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak

masyarakat untuk memperoleh informasi, terjamin.79

Arti penting independensi bagi wartawan, tidak terlepas dari urgensi

peranan yang harus mereka wujudkan melalui media pers. Keberadaan pers

seiring dengan pertumbuhan demokrasi di Indonesia, haruslah mampu

mempergunakan ruang kemerdekaan dan kebebasan yang dijamin oleh hukum

dengan mengimplementasikan peranannya dengan baik. Pers harus dapat menjadi

watch dog atau pemberi peringatan dini terhadap proses penyelengggaraan negara,

serta mengungkap tindak ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.80

3. Perlindungan Hukum terhadap Wartawan

UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, jelas mengakomodir pentingnya

perlindungan terhadap wartawan dalam melaksanakan aktivitas jurnalistik. Pada

Pasal 8 UU tersebut, ditegaskan bahwa, “Dalam melaksanakan profesinya

wartawan mendapat perlindungan hukum”. Maksud dari perlindungan hukum itu,

sebagaimana diuraikan di bagian penjelasan pasal tersebut adalah jaminan

79 Lihat bagaian Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.80 Irman Syahriar, Op.cit., hlm. 101.

48

perlindungan pemerintah atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan

fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Demi menjamin perlindungan hukum terhadap wartawan dalam

melaksanakan aktivitas jurnalistik, diadakan pula ancaman pidana bagi setiap

orang yang mengganggu hak kemerdekaan pers para wartawan. Pasal 18 ayat (1)

UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan:

Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukantindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaanketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjarapaling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00(Lima ratus juta rupiah).

Pasal 4 ayat (2) dan (3) yang dirujuk ketentuan di atas menyatakan:

(2). Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelanatau pelarangan penyiaran.

(3). Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hakmencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Perlindungan hukum terhadap profesi kewartawanan, juga tercermin dengan

diberikannya hak eksklusif kepada para wartawan berupa hak tolak, yaitu hak

untuk menutupi identitas sumber berita. Dengan adanya hak tolak ini, maka

wartawan bisa merasa tenang dalam mengungkap suatu fakta, tanpa perlu takut

terhadap intimidasi pihak luar karena mempersoalkan proses pemberitaan yang

menjadi rahasia keredaksian.

Di sisi lain, untuk menjamin validitas informasi, masyarakat juga

diberikan hak untuk turut mengawasi profesionalitas kerja wartawan, yaitu dengan

adanya Hak Jawab dan Hak Koreksi. Hak Jawab adalah hak seseorang atau

49

sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap

pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan Hak Koreksi

adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi

yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.81

Dengan demikian, segala kekeliruan pemberitaan yang merugikan masyarakat,

tidak serta-merta diselesaikan melalui jalur litigasi, tetapi dapat diselesaikan

melalui jalur nonlitigasi, baik dengan melalui hak jawab atau hak koreksi, maupun

dengan mediasi melalui Dewan Pers.

4. Organisasi Wartawan

UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tidak menguraikan terkait organisasi

wartawan. UU itu hanya menyatakan bahwa organisasi wartawan berwenang

memilih anggota Dewan Pers dari unsur wartawan. Bersama dengan organsasi

perusahaan pers, organisasi wartawan juga berwenang memilih anggota Dewan

Pers dari unsur tokoh masyarakat. Selain itu, disebutkan pula kewenangan lain

organisasi wartawan, yaitu menyepakati Kode Etik Jurnalistik untuk kemudian

ditetapkan oleh Dewan Pers sebagai panduan umum para wartawan.

Penguraian terkait organisasi wartawan, kemudian dapat dilihat dalam

Peraturan Dewan Pers Nomor: 7/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat

Keputusan Dewan Pers Nomor 04/SK-DP/III/2006 tentang Standar Organisasi

Wartawan sebagai Peraturan Dewan Pers. Peraturan tersebut menerangkan bahwa

organisasi wartawan berbentuk badan hukum, serta memiliki Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga sebagai organisasi profesi. Setiap organisasi wartawan

81 Pasal 1 angka 11 dan 12 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

50

juga memiliki kode etik jurnalistik yang secara prinsip tidak bertentangan dengan

Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Untuk itu, organisasi

wartawan juga memiliki dewan kehormatan atau majelis kode etik jurnalistik yang

bertugas mengawasi, memutuskan, dan menetapkan sanksi atas pelanggaran etik.

Peraturan Dewan Pers tersebut, juga menentukan bahwa organisasi

wartawan memiliki kantor pusat yang berkedudukan di ibu kota negara atau di ibu

kota provinsi. Soal kepengurusan, organisasi wartawan memiliki pengurus pusat

yang sedikitnya terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara, dan tiga orang pengurus

lainnya. Organisasi wartawan juga memiliki pengurus cabang sekurang-

kurangnya di sepuluh jumlah provinsi di Indonesia. Mekanisme pergantian

pengurus dilakukan melalui kongres, musyawarah nasional, atau muktamar dalam

kurun waktu tertentu. Hasilnya lalu diregistrasi ke Dewan Pers. Selain itu,

organisasi wartawan juga harus memiliki anggota sedikitnya 500 wartawan dari

seluruh cabang. Jika sudah memenuhi persyaratan, organisasi wartawan harus

terdaftar dan bersedia diverifikasi Dewan.

Sampai saat ini, organisasi wartawan yang memenuhi syarat dan diakui

keberadaannya oleh Dewan Pers hanya ada tiga, sebagaimana terpampang di situs

resmi Dewan Pers, yaitu Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan

Wartawan Indonesia (PWI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

4. Kode Etik Wartawan

Fungsi sentral wartawan sebagai subjek yang bersentuhan langsung

dengan objek pemberitaan, sangat menentukan terhadap kualitas berita.

Wartawanlah yang melakukan perencanaan, pancarian, dan peramuan berita. Pada

51

posisi inilah, diperlukan sebuah panduan bagi wartawan dalam melaksanakan

aktivitas jurnalistik, yaitu sebuah kode etik.

Di lingkup dunia kewartawanan Indonesia, terdapat sebuah kode etik

jurnalistik sebagai pedoman umum. Kode etik itu disahkan Dewan Pers pada 24

Maret 2006 melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006

tentang Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Secara keseluruhan, KEJ terdiri dari 11

pasal. Khusus terkait etik independensi wartawan, Pasal 1 KEJ menyatakan,

“Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,

berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Tafsir tekstual dalam KEJ tersebut

menyatakan bahwa, “Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai

dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak

lain termasuk pemilik perusahaan pers.”

Lebih lanjut, sebagaimana dinyatakan dalam KEJ tersebut, penilaian akhir

atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers, sedangkan sanksi

atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan atau

organisasi perusahaan pers

KEJ yang ditetapkan oleh Dewan Pers di atas, bukanlah kode etik tunggal

untuk wartawan. Kedudukan KEJ itu adalah sebagai pedoman umum bagi

organisasi wartawan dalam menyusun kode etik. Hal tersebut jelas dinyatakan

dalam Surat Keputusan Dewan Pers No. 04/SK-DP/III/2006 tentang Standar

Organisasi Wartawan. Angka 9 surat keputusan itu menyatakan bahwa

“Organisasi wartawan memiliki kode etik jurnalistik, yang secara prinsip tidak

bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers”.

52

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Penulisan ini menggunakan jenis penelitian ilmu hukum normatif, yaitu

menitikberatkan pengkajian masalah hukum pada persoalan norma. Pendekatan

ini akan fokus menelaah kenyataan hukum dari kacamata substansi hukum yang

mengatur. Artinya, akar permasalahan hukum terkait penelitian ini, akan

dititikberatkan pada segi sistem norma, bukan pada efektivitas implementasinya.

Penelitian ilmu hukum normatif meliputi pengkajian mengenai (a) Asas-

asas hukum; (b) Sistematika hukum; (c) Taraf sinkronisasi hukum; (d)

Perbandingan hukum, (e) Sejarah hukum. Salah satu contohnya adalah seperti

yang dikemukakan Sumitro, yaitu penelitian berupa inventarisasi perundang-

undangan yang berlaku, berupaya mencari asas-asas atau dasar falsafah dari

perundang-undangan tersebut, atau penelitian yang berupa usaha penemuan

hukum yang sesuai dengan suatu kasus tertentu.82

Tujuan dari penelitian hukum normatif ini adalah menemukan masalah

terkait norma hukum yang diterapkan dalam suatu persoalan hukum. Masalah

tersebut kemudian dikaji, dan berujung pada kesimpulan dan saran perbaikan

terkait perlu tidaknya dilakukan perubahan terhadap norma hukum yang sedang

diberlakukan.

82 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Cetakan I, CV. MandarMaju, Bandung, hlm. 86

53

B. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian, pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh

secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Data yang

diperoleh langsung dari masyarakat disebut data primer, sedangkan yang

diperoleh dari bahan-bahan pustaka disebut data sekunder.83

Penelitian hukum normatif, pada dasarnya dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka atau data sekunder belaka. Di dalam penelitian ini, data sekunder

yang diteliti mencakup:84

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terdiri atas

peraturan dasar berupa Batang Tubuh UUD Tahun 1945, serta peraturan

perundang-undangan di bawahnya.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang bertujuan memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, misalnya rancangan undang-undang, hasil-

hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan hukum.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus,

dan ensiklopedia.

C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini akan dilakukan melalui

studi kepustakaan. Dengan studi kepustakaan, akan dikumpulkan beragam bahan

hukum, baik yang sifatnya primer, sekunder, maupun tersier. Bahan-bahan hukum

83 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif; Suatu TinjauanSingkat, Cetakan XIII, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 12.

84 Ibid., hlm. 13-14.

54

tersebut dapat berupa dokumen-dokumen resmi, laporan-laporan, maupun

publikasi dalam bentuk cetak maupun elektronik.

D. Analisis Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari berbagai sumber, akan dianalisis

secara kualitatif, sejalan dengan kaidah penelitian normatif. Analisis semacam ini

berusaha mengkaji persoalan secara deduktif, yaitu menelaah kenyataan hukum,

dengan menggunakan konsep hukum yang ideal. Dengan demikian, fakta

permasalahan hukum akan dilihat dengan kacamata teori dan peraturan hukum

yang normatif.

Analisis kualitatif akan menghasilkan uraian yang bersifat deskriptif.

Objek penelitian akan diulas secara gamblang, sehingga jelas bahwa akar

permasalahan hukum yang diteliti tidak terletak pada kesalahan implementasi,

melainkan adanya kerancuan dalam norma hukum. Untuk itulah, analisis kualitatif

dalam penelitian hukum normatif ini, akan berusaha menelaah permasalahan

untuk menemukan saran-saran perbaikan yang layak dipertimbangkan ataupun

diimplementasikan untuk perbaikan perumusan norma hukum di masa mendatang.

55

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Fungsi Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan Pers

1. Konstruksi Kelembagaan Dewan Pers

a. Dewan Pers dalam UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers

Kehidupan pers di Indonesia setelah kemerdekaan, awalnya diatur secara

lebih memadai dengan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pers. Pengaturan dalam bentuk undang-undang tersebut, lebih jelas dan

rinci dibanding dengan dasar hukum bagi pers yang ada sebelumnya, yaitu

Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1963 tentang Pembinaan Pers, juga Ketetapan

MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers. Pada kedua dasar hukum

yang terakhir itu, perihal pers hanya diulas secara ringkas dan bersifat umum.

Pemantapan dasar hukum bagi kehidupan pers dalam bentuk undang-

undang, memang menunjukkan adanya perhatian yang serius dari pemerintah bagi

pertumbuhan pers. Setidaknya, UU No. 11 Tahun 1966 telah mengatur secara

komprehensif tentang pers, di antaranya soal hak dan kewajiban pers, Dewan

Pers, perusahaan pers, wartawan, hingga ketentuan pidana pers. Meski begitu, roh

undang-undang tersebut, tidak lepas dari situasi dan kondisi pemerintahan saat itu.

Hal ini tersurat di bagian konsideran menimbangnya, yang menyatakan bahwa

pers harus berdasarkan asas demokrasi Pancasila, serta harus menjadi alat dan

pengawal revolusi. Bentuk nyata dari kerangka itu adalah penitikberatan

pembinaan pers di tangan pemerintah, yang secara teknis dilakukan oleh Menteri

56

Penerangan. Sampai akhirnya, kenyataan menunjukkan bahwa demi kepentingan

menjaga stabilitas negara menurut tafsir pemerintah, pers pun diposisikan sebagai

alat untuk menyampaikan slogan pemerintah.

Pembentukan Dewan Pers berdasarkan UU No. 11 Tahun 1966, juga tidak

bisa dilepaskan dari konsep dan agenda pemerintah tentang pers. Bab III UU No.

11 Tahun 1966 yang mengatur secara khusus tentang Dewan Pers, menunjukkan

bahwa lembaga tersebut tidak punya kuasa berarti. Dewan Pers hanya didudukkan

sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam mengurusi persoalan pers. Pasal 6

ayat (1) sampai (5) UU No. 11 Tahun 1966 menyatakan:

(1). Untuk mendampingi Pemerintah dalam bersama-sama membinapertumbuhan dan perkembangan pers nasional, dibentuk Dewan Pers.

(2). Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil-wakil organisasi pers dan ahli-ahli dalam bidang pers.

(3). Syarat-syarat organisasi pers yang dapat mengirimkan wakil-wakilnyadalam dewan Pers, jumlah anggota dan syarat-syarat keanggotaannyaditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(4). Penetapan anggota-anggota ahli dalam bidang pers dan tambahankeanggotaan diputuskan oleh Pemerintah bersama-sama dengananggota yang mewakili organisasi pers.

(5). Keanggotaan dalam Dewan Pers disahkan dengan PeraturanPemerintah.

Selanjutnya, Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 11 Tahun 1966,

menyatakan:

(1). Ketua Dewan Pers adalah Menteri Penerangan.(2). Pimpinan Harian Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota-anggota

Dewan Pers.(3). Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai tugas Dewan Pers, cara-

cara bekerjanya, cara-cara penggantian lowongan dalam Dewan Persdan sebagainya ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama denganDewan Pers.

57

Penempatan Menteri Penerangan sebagai ketua Dewan Pers, menunjukkan

kuatnya kepentingan dan kendali pemerintah terhadap pers. Ada ketakutan

pemerintah atas gangguang stabilitas pemerintahan jika pers tumbuh dan

berkembang bebas. Karena itu, pemerintah menghendaki adanya kesatuan kata

melalui saluran pers. Hal itu terbaca pada bagian Penjelasan Pasal 7 UU No. 11

Tahun 1966 yang menyatakan, “Karena Dewan Pers diketuai oleh Menteri

Penerangan sebagai ditentukan dalam ayat (1) pasal 7, maka dualisme di dalam

pembinaan pers dapat dicegah, dan sebagai gantinya adalah kata mufakat yang

dicapai sebagai hasil musyawarah di dalam Dewan Pers tersebut.”

Menindaklanjuti ketentuan di atas, khususnya amanah Pasal 6 ayat (3) UU

No. 11 Tahun 1966, maka dibentuklah Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1967

tentang Dewan Pers. Namun untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman,

akhirnya PP tersebut digantikan oleh PP No. 19 Tahun 1970 tentang Dewan Pers.

Tapi sebagaimana pengaturan teknis pada umumnya, PP itu tak lebih dari

penguraian ketentuan dalam UU No. 11 Tahun 1966, bahwa Dewan Pers

subordinasi terhadap pemerintah. Pasal 1 PP No. 19 Tahun 1970 pun kembali

menegaskan posisi Dewan Pers sebagai pendamping Pemerintah dalam membina

pertumbuhan dan perkembangan pers. Kedudukan Dewan Pers itu, lalu

berimplikasi pada pola pembiayaannya yang dibebankan kepada anggaran belanja

Departemen Penerangan, sebagaimana dinyatakan Pasal 6 PP No. 19 Tahun 1970.

Keberadaan Dewan Pers di bawah kekuasaan pemerintah, berdampak pada

struktur keanggotaannya. Pasal 4 ayat (1) PP No. 19 Tahun 1970 menyatakan

bahwa anggota Dewan Pers sebanyak-banyaknya 17 orang, yang tersusun atas:

58

a. Menteri Penerangan sebagai ketua merangkap anggota;

b. Anggota, terdiri dari 5 orang wakil organisasi wartawan, 4 orang wakil

organisasi perusahaan pers, 5 orang ahli di bidang pers, Direktur Jenderal

Pembinaan Pers dan Grafika, dan 1 orang pejabat Departemen Penerangan.

c. Wakil Ketua dan Sekretaris dipilih Dewan Pers dari anggota-anggotanya.

Dari komposisi di atas, tampak bahwa selain dari unsur pemerintah,

keanggotaan Dewan Pes juga berasal dari unsur organisasi pers dan masyarakat.

Meski begitu, unsur dari organisasi pers maupun ahli bidang pers, masih tetap

dalam kontrol pemerintah. Pasal 5 ayat (1) PP No. 19 Tahun 1970 jelas

menyatakan bahwa anggota Dewan Pers, harus berasal dari unsur organisasi pers

yang disahkan Pemerintah. Sedangkan anggota dari unsur ahli di bidang pers, baik

dari kalangan masyarakat maupun pemerintah, harus mempunyai hubungan

fungsionil dalam pembinaan pers dan memenuhi syarat tertentu. Dominasi

pemerintah itu, diperkuat oleh Pasal 5 ayat (1) PP No. 19 Tahun 1970, yang

menetapkan bahwa anggota Dewan Pers diangkat oleh Presiden atas usul Menteri

Penerangan untuk masa dua tahun, dan sesudah itu dapat diangkat kembali.

b. Dewan Pers dalam UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas UUNo. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perssebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967

Berselang lima bulan setelah disahkannya UU No. 11 Tahun 1966 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, terjadi perubahan melalui UU No. 4 Tahun

1967 tentang Penambahan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pers. Namun lahirnya undang-undang tersebut, tidak menimbulkan

perubahan yang substansial. Undang-undang yang hanya terdiri atas dua pasal itu,

59

sekadar untuk menghindari tabrakan norma terkait produk pers, yaitu antara UU

No. 11 Tahun 1966 dan Penetapan Presiden No. 4 tahun 1963 tentang

Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu

Ketertiban Umum. Pasal 1 UU No. 4 Tahun 1967 menyatakan:

Dengan berlakunya Undang-undang ini maka tidak berlaku ketentuan-ketentuan dalam Penetapan Presiden No. 4 tahun 1963 tentangPengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya DapatMengganggu Ketertiban Umum, khususnya mengenai buletin-buletin,surat-surat kabar harian, majalah-majalah dan penerbitan-penerbitanberkala.

Barulah setelah UU No. 21 Tahun 1982 disahkan pada tanggal 20

September 1982 oleh Presiden Soeharto, sebagai perubahan kedua atas UU No. 11

Tahun 1966, terjadi perubahan berarti, yang disesuaikan dengan kepentingan

pemerintahan Orde Baru masa itu. Konsideran Menimbang undang-undang

tersebut juga menyatakan bahwa perubahan dilakukan untuk menindaklanjuti

amanah ketentuan-ketentuan dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang

Garis-garis Besar Haluan Negara, khususnya bidang Penerangan dan Pers.

Untuk menjamin pertumbuhan pers yang sehat, pers yang bebas danbertanggung jawab maka Undang-Undang tentang Ketentuan-ketentuanPokok Pers perlu ditinjau kembali. Sejalan dengan hal itu maka perludipersiapkan perangkat peraturan di bidang pers yang dapat lebihmenjamin pertumbuhan pers yang sehat dalam rangka pelaksanaanDemokrasi Pancasila.1

Sebagai bentuk perubahan untuk menyesuaian dengan spirit pemerintahan

Orde Baru, maka rumusan UU No. 21 Tahun 1982 tidak terlalu menyentuh aspek

kelembagaan pers, melainkan lebih pada penegasan ideologi pemerintah dalam

1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-GarisBesar Haluan Negara, hlm. 47.

60

ranah kehidupan pers. Hal itu tampak dari Pasal I Angka 1 Huruf a UU No. 21

Tahun 1982 yang mengubah peristilahan secara menyeluruh, misalnya "alat

revolusi" diubah menjadi "alat Perjuangan Nasional", "alat penggerak massa"

diubah menjadi "alat penggerak pembangunan bangsa", “pengawal revolusi"

diubah menjadi "pengawal ideologi Pancasila", dan lain sebagainya.

Ketentuan soal Dewan Pers, juga mengalami perubahan. Pasal I angka 1

huruf b UU No. 21 Tahun 1982 menyatakan bahwa “Rumusan dalam UU No. 11

Tahun 1966 yang berbunyi ‘Pemerintah bersama-sama Dewan Pers’ diubah

menjadi Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers.” Meski pada

bagian penjelasan pasal diterangkan bahwa pengertian "Pemerintah setelah

mendengar pertimbangan Dewan Pers" tidak mengubah jiwa dan semangat Pasal

6 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1966, namun secara tersurat, perubahan tersebut

semakin menegaskan kedudukan Dewan Pers sebagai subordinasi pemerintah.

Di samping itu, ketentuan terkait Dewan Pers dalam Pasal 6 UU No. 11

Tahun 1966, juga mengalami perubahan. Pasal I angka 8 UU No. 21 Tahun 1982:

Pada Pasal 6 diadakan perubahan sebagai berikut:

a. Ayat (2) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut Anggota DewanPers terdiri dari wakil organisasi pers, wakil Pemerintah dan wakilmasyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers serta ahli-ahli dibidang lain;

b. Ayat (3) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Kedudukan, tugas,fungsi dan wewenang, jumlah dari susunan anggota, syarat-syaratkeanggotaan serta pengangkatan anggota Dewan Pers akan diaturdengan Peraturan Pemerintah;

c. Ayat (4) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Penunjukan ahli-ahli di bidang pers dan ahli-ahli di bidang dilakukan oleh Pemerintahsetelah mendengar organisasi-organisasi pers;

d. Ayat (5) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Ketentuan-ketentuan lain tentang Dewan Pers yang belum diatur dalam Peraturan

61

Pemerintah ditetapkan oleh Menteri Penerangan setelah mendengarpertimbangan Dewan Pers.

Lebih lanjut, perubahan yang terjadi, juga menghapuskan ketentuan Pasal

7 ayat (3) UU No. 11 Tahun 1966.

Perubahan di atas, tampak tidak mengubah status dan kedudukan Dewan

Pers secara mendasar. Pasal 6 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1966 yang menyatakan

bahwa Dewan Pers hanya mendampingi pemerintah, tidak diubah. Selain itu,

Pasal 7 ayat (1) yang mendudukkan Menteri Penerangan sebagai ketua Dewan

Pers, juga tidak diubah. Bahkan sebaliknya, perubahan yang tampak jelas adalah

penegasan keterwakilan unsur pemerintah dalam tubuh Dewan Pers. Hal itu

dinilai pemerintah sebagai upaya mencerminkan interaksi positif antara pers,

pemerintah, dan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam GBHN.2

Sebagai pengaturan lebih rinci atas UU No. 21 Tahun 1982, diterbitkanlah

PP No. 1 Tahun 1984 tentang Dewan Pers yang menggantikan PP No. 19 Tahun

1970 tentang Dewan Pers. Dalam Pasal 5 PP tersebut, susunan keanggotaan

Dewan Pers diubah menjadi sebagai berikut:

a. Ketua merangkap anggota: Menteri Penerangan;

b. Wakil Ketua merangkap anggota: Salah seorang anggota Dewan yang

dipilih oleh Dewan;

c. Sekretaris merangkap anggota: Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika;

d. Anggota sebanyak-banyaknya 25 orang, yaitu: 8 orang wakil organisasi

wartawan; 6 orang wakil organisasi perusahaan pers; 1 orang wakil

2 Lihat bagian Penjelasan Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.

62

organisasi grafika pers; 1 orang wakil organisasi media periklanan; 5 orang

wakil Pemerintah; 4 orang wakil masyarakat yang ahli di bidang tertentu.

Susunan keanggotaan Dewan Pers yang terdiri atas berbagai unsur, tidak

secara otomatis menghadirkan keberimbangan kuasa. Hal itu karena anggota

Dewan Pers dipersyaratkan berasal dari organisasi pers yang disetujui pemerintah.

Selain itu, penetapan anggota dari unsur organisasi pers dan unsur masyarakat,

tetap melalui tahap pemilihan oleh Menteri Penerangan untuk kemudian diusulkan

pengangkatannya kepada presiden. Organisasi pers hanya berwenang untuk

mengusulkan calon anggota.3 Dominasi dan kontrol pemerintah terhadap Dewan

Pers semakin memungkinkan, sebab menurut Pasal 10 ayat (1) PP No. 1 Tahun

1984, anggota Dewan Pers diangkat dan diberhentikan oleh Presiden untuk masa

tiga tahun, dan sesudah itu dapat diangkat kembali. Sebagai domain pemerintah,

pembiayaan Dewan Pers pun dibebankan pada anggaran belanja Departemen

Penerangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13 PP No. 1 Tahun 1984.

c. Dewan Pers dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

Setelah memasuki era Reformasi, tuntutan masyarakat atas hak atas

informasi, khususnya hak bagi pers untuk berkembang secara baik, akhirnya

disikapi dengan lahirnya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Spirit kemerdekaan

pers yang melandasi lahirnya undang-undang tersebut, terbaca dalam bagian

konsideran Menimbang huruf c UU No. 40 Tahun 1999, yang menyatakan:

bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebarinformasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi,

3 Lihat Pasal 10 PP No. 1 Tahun 1984 tentang Dewan Pers

63

hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkankemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan danperlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan darimanapun.

Semangat perlindungan kemerdekaan pers, selanjutnya tercermin Pasal 4

ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa terhadap pers nasional

tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Selain itu,

pada ayat (3) pasal yang sama, ditekankan bahwa pers nasional berhak untuk

mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Ketentuan itu

mempertegas bahwa campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers, hingga

berujung pembredelan, tidak dibolehkan lagi. Bahkan perizinan terkait

penyelenggaraan usaha pers, baik dalam bentuk Surat Izin Terbit (SIT) yang

masih diakui keberadaannya dalam UU No. 11 Tahun 1966, maupun Surat Izin

Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang menggantikan SIT pasca disahkannya UU

No. 21 Tahun 1982, tidak diadopsi dalam UU No. 40 Tahun 1999.

Penghormatan terhadap kemerdekaan pers dalam UU No. 40 Tahun 1999,

juga berimbas pada desain kelembagaan Dewan Pers. Jika aturan perundang-

undangan sebelum Reformasi mendudukkan Dewan Pers sebagai pendamping

pemerintah, maka UU No. 40 Tahun 1999 secara tegas menyatakan bahwa Dewan

Pers adalah lembaga yang independen. Pasal 15 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999

menyatakan bahwa, “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan

meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.”

Sebagai perumusan lebih lanjut atas klausul “Dewan Pers yang

independen”, maka struktur keorganisasian dan kepengurusan Dewan Pers, juga

terbebas dari campur tangan pemerintah. Dewan Pers tidak lagi diketuai secara

64

otomatis oleh Menteri Penerangan, bahkan wakil pemerintah tidak diakomodasi

lagi dalam tubuh Dewan Pers. Desain kelembagaan itu, dapat dilihat dalam Pasal

15 ayat (3) dan (4) UU No. 40 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut:

(3). Anggota Dewan Pers terdiri dari :a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan

pers;c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan

bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan danorganisasi perusahaan pers;

(4). Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.(5). Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal

ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden.(6). Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah

itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.(7). Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari :

a. organisasi pers;b. perusahaan pers;c. bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.

Penguraian lebih lanjut terkait kelembagaan Dewan Pers, hanya dapat

dirujuk pada Statuta Dewan Pers yang bersifat internal, sebab UU No. 40 Tahun

1999, tidak mengandung satu pun klausul untuk mengadakan pengaturan lebih

lanjut dalam peraturan perundang-undangan lain. Secara rinci, anggota Dewan

Pers berdasarkan Pasal 6 ayat (1) statuta tersebut, ditentukan sebanyak 9 orang,

yang terdiri dari: 3 orang unsur wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan, 3

orang unsur pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan

pers, serta 3 orang unsur tokoh masyarakat dengan keahlian tertentu yang dipilih

oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Untuk proses

pemilihannya, Dewan Pers yang sedang menjabat membentuk Badan Pekerja

Pemilihan Anggota (BPPA) yang beranggotakan wakil-wakil organisasi wartawan

65

dan organisasi perusahaan pers yang lolos verifikasi Dewan Pers. BPPA terdiri

dari Ketua merangkap anggota, Sekretaris merangkap anggota, dan anggota.

Selanjutnya, anggota BPPA dari unsur organisasi wartawan kemudian

mengusulkan 6 orang wartawan, anggota BPPA dari unsur organisasi perusahaan

pers mengusulkan 6 orang pemimpin perusahaan pers, sedangkan 6 calon anggota

dari unsur masyarakat dipilih oleh BPPA. Dari calon-calon itu, kemudian dipilih 9

orang untuk menjadi anggota baru oleh BPPA bersama Dewan Pers.

Sebagai bekal mengaktualisasikan kedudukannya yang strategis, Dewan

Pers pun diberikan fungsi yang lebih memadai. Serangkain fungsi yang berakar

dari semangat kemerdekaan pers itu, terurai dalam Pasal 15 ayat (2) UU No. 40

Tahun 1999, yang menyatakan bahwa Dewan Pers melaksanakan fungsi berupa:

a. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;b. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan

masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaanpers;

e. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;f. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-

peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesikewartawanan;

g. mendata perusahaan pers;

d. Perbandingan Kelembagaan Dewan Pers dalam Peraturan Perundang-undangan Sebelum Reformasi dan Sesudah Reformasi

Status dan kedudukan Dewan Pers menunjukkan perubahan signifikan jika

ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, sebelum dan

sesudah era Reformasi. Tampak jelas bahwa lahirnya UU No. 40 Tahun 1999

tentang Pers, telah mengokohkan posisi Dewan Pers sebagai pelindung

66

kemerdekaan pers. Hal itu tampak dari desain kelembagaan Dewan Pers yang

independen, yang lepas dari campur tangan pihak manapun, termasuk pemerintah.

Untuk lebih jelasnya, berikut tabel perbandingan kelembagaan Dewan Pers

di antara peraturan perundang-undangan pers:

Tabel 1: Perbandingan Kelembagaan Dewan Pers dalam Peraturan Perundang-undangan Sebelum dan Sesudah Reformasi

DasarHukum

Kedudukan Lembaga

KomposisiAnggota

PemilihanAnggota

UU No.11/1966jo. PP No.19/1970

Subordinasipemerintah

Berjumlah 17 orang yangmeliputi unsur organisasipers dan ahli bidang pers(dari kalangan masyarakatdan pemerintah)

Ketua: menteri penerangan

Diangkat olehpresiden atas usulmenteri penerangan

UU No.21/1982jo. PP No.1/1984

Subordinasi

Pemerintah

Berjumlah 25 orang yangmeliputi unsur organisasipers, pemerintah, sertamasyarakat yang ahli dibidang pers dan ahli-ahlibidang lain

Ketua: menteri penerangan

Menteri peneranganmemilih dari calonyang diajukan pihakorganisasi pers,pemerintah, dan ahliuntuk diusulkanpengangkatannyakepada presiden.

UU No.40/1999jo.StatutaDewanPers

Independen Jumlahnya tidak ditentukan,namun lazimnya 9 orangyang berasal unsurorganisasi wartawan,organisasi perusahaan pers,serta tokoh masyarakat, ahlidi bidang pers ataukomunikasi, dan bidanglain.

Ketua: Dipilih dari dan olehanggota

Dipilih olehorganisasi wartawandan organisasiperusahaan pers

Sumber: Hasil olah bahan hukum primer, 2017.

67

2. Dewan Pers dan Kemerdekaan Pers

a. Kondisi Kemerdekaan Pers

Dalam rentang sejarah kehidupan pers, persolan sejauh mana pers dapat

merdeka dan bebas dalam menyebarluaskan informasi, menjadi sebuah hal yang

sensitif dan selalu disikapi rezim pemerintahan dengan cara yang berbeda-beda.

Paling tidak, persolan tersebut dapat ditelusuri pada bagaimana format hukum di

setiap rezim mengatur terkait pers. Lebih dari itu, persoalan kemerdekaan pers,

juga terkait dengan kepentingan pemerintah yang mempengaruhi tafsir aturan

hukum, hingga terwujud dalam kehidupan pers secara nyata. Alasannya karena

bisa saja aturan hukum secara normatif telah memadai bagi kemerdekaan pers,

tetapi kekuasaan rezim memang sengaja mengenyampingkannya.

Membedah sejauah mana kemerdekaan pers di setiap rezim pemerintahan,

dapat didasarkan pada kajian aturan hukum, karekteristik pemerintahan, dan

kondisi kebangsaan masing-masing. Untuk itu, pembedahan dapat dibagi dalam

dua masa yang berbeda citra nuansa, yaitu sebelum dan setelah Reformasi.

i. Kehidupan Pers Sebelum Reformasi

Sebelum kemerdekaan, Persbreidel Ordonantie bertanggal 7 September

1931, merupakan perangkat hukum pers yang digunakan pemerintah kolonial

Hindia Belanda. Dengan aturan tersebut, surat kabar yang dianggap mengganggu

ketertiban umum sejak tahun 80’an, dibungkam. Kelahiran ordonantie itu

menyusul kasus diadilinya Ir. Soekarno yang terkenal dengan pidato pembelaan

dirinya bertajuk Indonesia Menggugat (Indonesia Klaagt Aan) di Mahkamah

68

Pengadilan, Bandung, Agustus-Desember 1930.4 Ordonansi itu baru dicabut

setelah kemerdekaan dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1954 tentang

Pencabutan Persbreidel Ordonnanantie. Walau begitu, pembredelan surat kabar

masih terus terjadi hingga tahun 1967, ketika berakhirnya era Orde Lama.5

Berlakunya UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pers yang disahkan Presiden Soekarno pada 12 Desember 1966, tidak juga

mampu menjadi landasan kemerdekaan pers yang memadai. Pers diwarnai

berbagai bentuk intervensi dari pemerintah. Atas alasan kepentingan nasional,

pers diwajibkan untuk turut pada garis kebijakan pemerintah yang tersebar dalam

berbagai peraturan perundang-undangan. Pemerintah sebagai pemegang kuasa

atas tafsir aturan hukum, pun dengan mudah merecoki kehidupan pers atas alasan

demi kepentingan dan kebijakan nasional.

Kehadiran UU No. 11 Tahun 1966, pada dasarnya mendudukkan pers di

posisi yang gamang. Pada satu sisi, kebebasan pers diakui, namun di sisi lain,

harus dalam kerangka kebijakan dan tafsir pemerintah. Pasal 5 ayat (1) UU No. 11

Tahun 1966 menyatakan bahwa “Kebebasan Pers sesuai dengan hak azasi warga

negara dijamin”. Namun pada ayat (2) pasal tersebut, dinyatakan bahwa

kebebasan pers sebagai hak pers, didasarkan atas tanggung jawab nasional dan

pelaksanaan fungsi dan kewajiban yang digariskan dalam undang-undang. Pada

posisi inilah kehidupan pers rentan diintervensi oleh pemerintah atas tafsir bahwa

pers tidak lagi melaksanakan fungsi dan kewajibannya untuk kepentingan

4 Winarta Adisubrata, Dari Persbreidel Ordonantie Tahun 1931 Hingga KemerdekaanPers dalam Era Reformasi, Jurnal Dewan Pers (Ancaman Perundang-undangan terhadapKemerdekaan Pers), Edisi No. 8, Desember 2013, Dewan Pers, Jakarta, hlm. 11.

5 Ibid., hlm. 12.

69

nasional. Buktinya, Pasal 4 UU No. 11 Tahun 1966 yang menyatakan bahwa,

“Terhadap Pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pemberedelan”, sering kali

diabaikan pemerintah atas nama kepentingan negara.

Kontrol pemerintah terhadap kebebasan pers dalam UU No. 11 Tahun

1966, bahkan menyentuh pada kelembagaan pers. Organisasi pers, baik organisasi

wartawan maupun organisasi perusahaan pers, diakui bila telah disetujui atau

disahkan oleh pemerintah. Campur tangan pemerintah juga masuk sampai ke

stuktur organisasi perusahaan pers. Ditegaskan bahwa untuk duduk sebagai

pimpinan sesuatu penerbitan pers, baik pimpinan umum, pimpinan redaksi

ataupun pimpinan perusahaan, seseorang harus tidak pernah terlibat aksi yang

bertentangan dengan kebijakan pemerintah, serta harus memenuhi syarat-syarat

yang ditentukan oleh pemerintah bersama Dewan Pers. Demikian juga untuk

menjadi seorang wartawan, seseorang harus sepaham dan sejalan dengan ideologi

pemerintah, serta memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan pemerintah bersama

Dewan Pers. Kerangka ini, tetap dipertahankan pascalahirnya UU No. 21 Tahun

1982 sebagai perubahan kedua atas UU No. 11 Tahun 1966.

Penggunaan frasa “kebebasan pers” untuk menyiratkan hak pers dalam

UU No. 11 Tahun 1966, kembali digunakan dalam UU No. 21 Tahun 1982.

Bahkan pengejawantahan kebebasan pers dalam undang-undang perubahan ini,

semakin menekankan kedudukan pers sebagai penyokong kepentingan

pemerintahan. Klausul “kebebasan pers yang bertanggung jawab” menjadi garis

pokok penguraian pasal-pasalnya. Pasal 2 ayat (2) huruf c UU No. 11 Tahun 1966

yang menyatakan bahwa pers nasional berkewajiban “memperjuangkan kebenaran

70

dan keadilan atas dasar kebebasan pers”, melalui UU No. 21 Tahun 1982, diubah

menjadi pers nasional bertugas dan berkewajiban “memperjuangkan kebenaran

dan keadilan atas dasar kebebasan pers yang bertanggung jawab.”

Salah satu tindak lanjut klausul “kebebasan pers yang bertanggung jawab”

dalam UU No. 21 Tahun 1982 adalah keharusan memiliki Surat Izin Usaha

Penerbitan Pers (SIUPP), sebagai pengganti Surat Izin Terbit (SIT) yang masih

diakui dalam UU No. 11 Tahun 1966. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal II

Angka 13 UU No. 21 Tahun 1982 yang menambahkan ayat (5) dan ayat (6) pada

Pasal 13 UU No. 11 Tahun 1966. Tambahan ayat (5) tersebut menyatakan, “Setiap

penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat

Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat SIUPP yang dikeluarkan oleh

Pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh Pemerintah

setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers.” Pada bagian penjelasan ayat

tersebut, dinyatakan bahwa, “Adanya izin bagi usaha penerbitan pers merupakan

hal yang wajar. SIUPP adalah sarana pembinaan dan pengembangan pers menuju

kehidupan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab…”

Ketentuan SIUPP yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri

Penerangan No. 01/PER/MENPEN/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan

Pers, menimbulkan kerentanan bagi keberlangsungan kehidupan pers pada masa

Orde Baru. Hal itu karena Permenpen tersebut memuat ketentuan sanksi yang

memungkinkan SIUPP dibatalkan kembali. Pasal 33 Permenpen itu menyatakan

bahwa SIUPP yang telah diberikan kepada perusahaan/penerbit pers dapat

dibatalkan oleh Menteri Penerangan setelah mendengar Dewan Pers, jika

71

melanggar ketentuan terkait larangan permodalan asing dalam tubuh pers

nasional, tidak melaksanakan penerbitan secara berkala, ataukah atas penilaian

Dewan Pers dianggap tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers

yang bebas, dan bertanggung jawab.

Instrumen SIUPP beserta sejumlah aturan perundang-undangan yang

dilaksanakan dengan selera kekuasaan pada masa Orde Baru, membuat sebagian

besar media massa hanya sebagai bagian dari ideological state apparatus, yaitu

berperan dalam proses mereproduksi dan menjaga stabilitas legitimasi rezim.

Pemerintahan Presiden Soeharto jelas menerapkan kontrol yang ketat terhadap

pers, termasuk penyiaran, dengan berbagai regulasi dan perundang-undangan.6

Indikasi masih adanya otonomi relatif adalah adanya bermacam peringatandari pemerintah terhadap pers. Jika dicermati, berbagi peringatanpemerintah Orde Baru tersebut justru muncul karena kepedulian pers padakepentingan masyarakat. Ini artinya, pers yang mendapat peringatanpemerintah sama saja dia mempunyai otonomi, sebab ia beranimenentukan pilihannya untuk berpihak pada masyarakat. Pembatalan tigapenerbitan sekaligus (Tempo, Editor, DeTIK), salah satunya dipicu olehsemangat pers untuk memelihara otonominya meski pada akhirnyaterbentur keperkasaan negara. Tidak bisa dipungkiri dominasi pemerintahpernah sangat kuat dalam kehidupan pers pada era kekuasaan rezim OrdeBaru.7

Tindakan represif pemerintahan Orde Baru terhadap pers, juga dapat

dilihat dari hasil polling atas 131 responden yang dilakukan oleh majalah Editor

pada 13 Oktober 1990. Hasilnya menunjukkan bahwa 19,1% menyatakan pers

berani memberikan fakta secara objektif di lapangan, 30,5% menyatakan pers

6 Henry Subiakto, hlm. 86.7 Nurudin, 2014, Sistem Komunikasi Indonesia, Cetakan II, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.

81.

72

banyak menyembunyikan fakta, 22,1 menyatakan pers mendukung pemerintah,

dan 25,59% menyatakan pers “banci”.8

Dari perjalanan kehidupan pers sejak Proklamasi hingga tumbangnya Orde

Lama, kemerdekaan pers mengalami pasang-surut. Di antara tahun 1945-1949,

walaupun sedang revolusi dan perang melawan Belanda, kemerdekaan pers

berjalan sebagaimana mestinya. Media pers bebas menyatakan pendapat dan

memuat berita oposisi atau perbedaan pendapat dengan pemerintah. Demikian

pula antara tahun 1950-1959 yang disebut masa liberal, tidak ada hambatan

terhadap kemerdekaan pers. Terpuruknya kemerdekaan pers, kemudian terjadi di

masa Orde Lama, yaitu antara tahun 1959-1966. Sejumlah media, seperti harian

Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, dilarang terbit karena dianggap tidak sesuai

kemauan penguasa. Di masa awal Orde Baru, tahun 1966 -1971, memang didapati

adanya kemerdekaan pers. Namun sejak era tujuh puluhan sampai tumbangnya

Orde Baru tahun 1998, kemerdekaan pers surut kembali. Masa-masa suram

kemerdekaan pers (1959-1966 dan 1970-1998) itu, seiring dengan sistem

kekuasaan otoriter yang tidak mendukung kemerdekaan pers, kecuali yang

mendukung dan membenarkan sistem otoritarian atau kediktatorannya.9

Pada fase tertentu di zaman Orde Lama dan Orde Baru, tekanan terhadap

kemerdekaan atau kebebasan pers, memang merupakan suatu kenyataan yang

tidak mungkin dibantah. Sistem SIUPP sebagai instrumen pemberian dan

pencabutan izin, bredel, pengendalian terhadap isi berita dengan perintah langsung

8 Ibid., hlm. 82.9 Bagir Manan, 2012, Politik Publik Pers, Op.cit., hlm. 215-216.

73

dari penguasa, penahanan wartawan atau redaksi tanpa diadili, merupakan bukti

nyata ketiadaan kemerdekaan pers.10

Dari gambaran besar di atas, tampak bahwa sebelum era Reformasi,

kehidupan pers jauh dari kata merdeka. Atas nama kepentingan negara,

pemerintah dengan mudah mengintervensi bahkan mematikan hidup dan

kehidupan pers, baik karena aturan hukum memungkinkannya melalui instrumen

semacam SIUPP, juga karena pemerintah yang kuasa atas tafsir aturan hukum

bertindak sewenang-wenang.

ii. Kehidupan Pers Setelah Reformasi

Lahirnya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers di era Reformasi, menjadi

momentum diputusnya rantai belenggu terhadap pers, seperti peniadaan SIUPP,

peniadaan sistem kendali preventif, dan peniadaan pembereidelan. Pemerintah

dilarang mencampuri urusan rumah tangga pers.11 Atas prinsip “kemerdekaan

pers” dalam undang-undang tersebut, pemerintah tidak lagi diberikan kewenangan

untuk mengatur secara teknis soal pers dalam jenis peraturan apapun, termasuk

soal kelembagaan pers. Selain itu, usaha pers juga tidak lagi mempersyaratkan

izin tertentu. Dengan demikian, pemerintah tidak lagi bisa menjadikan kekuasaan

dan soal administrasif sebagai jalan mengekang kehidupan pers, sebagaimana

terjadi di rezim sebelumnya. Kemerdekaan pers sebagai roh UU No. 40 Tahun

1999, ditetapkan sebagai prasyarat utama kebebasan pers yang harus diwujudkan.

Karena itu, sedari awal, ada keinginan kuat dari para perumus undang-undang,

berdasarkan tuntutan Reformasi, agar kehidupan pers terbebas dari segala macam

10 Ibid., hlm. 36-37.11 Ibid., hlm. 37.

74

bentuk intervensi, terutama dari pemerintah. Ini berarti bahwa secara struktur-

kelembagaan dan administratif, celah bagi pemerintah untuk mendikte pers, harus

ditutup sama sekali.

Kemerdekaan pers sebagai spirit UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers,

tampak jelas dalam konsideran Menimbang huruf c UU tersebut yang menyatakan

bahwa pers harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari

campur tangan dan paksaan dari mana pun. Semangat tersebut kemudian terurai

dalam rumusan pasal-pasalnya, salah satunya adalah Pasal 4 ayat (1) yang

menegaskan bahwa, “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”.

Tafsir atas diktum tersebut pada bagian penjelasannya adalah, “bahwa pers bebas

dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan, agar hak masyarakat

untuk memperoleh informasi, terjamin.”

Secara umum, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mengandung beberapa

prinsip kemerdekaan pers. Pertama, kemerdekaan pers sekaligus sebagai pranata

demokrasi dan hak asasi manusia. Kedua, kemerdekaan pers melarang segala

bentuk pembelengguan, baik yang bersifat preventif atau prior restraint

(sensorship, licencing, larangan siaran), maupun yang bersifat represif seperti

pemberedelan atau tindakan lain atas suatu berita, kecuali kalau bertentangan

dengan hukum. Ketiga, kemerdekaan pers mengandung muatan kebebasan

mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan

(menyebarkan) informasi, dengan memperhatikan kepentingan nasional,

75

kepentingan publik, nilai-nilai keagamaan, dan kesusilaan, serta kewajiban

menghormati hak asasi.12

Penegasan kemerdekaan pers dalam UU No. 40 Tahun 1999, memang

telah berhasil membebaskan pers dari intervensi ekternal, khususnya penguasa

pemerintahan. Format undang-undang tersebut, jelas menghindarkan pers dari

campur tangan pemerintah. Namun seiring itu, tantangan baru kemerdekaan pers

dari internal tubuh pers sendiri, menjadi persoalan yang patut disikapi secara

serius, yaitu distorsi bilik redaksi oleh pihak internal pers. Fenomena ini dapat

dilihat pada hasil riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang yang

menunjukkan kerasnya campur tangan pihak internal dalam kerja-kerja jurnalistik

para wartawan. Pihak-pihak dalam wilayah internal adalah pemilik perusahaan,

pemimpin perusahaan, pemimpin redaksi, redaktur, jurnalis sekantor, bagian iklan

dan sirkulasi.13

Pemilik media atau pemimpin perusahaan meminta agar berita negatif darikenalannya tidak ditulis. Pemimpin redaksi dan redaktur meminta agarberita-berita yang menyerang kenalan, pemasang iklan, diperhalus atautidak usah ditulis. Selain itu pemimpin redaksi dan redaktur juga bisamenghilangkan beberapa fakta dalam berita ketika mengedit. Intervensijuga bisa datang dari rekan sekantor yang meminta agar berita-berita yangmenyerang kenalan mereka diperhalus atau tidak usah ditulis.14

Dalam fenomena kehidupan pers kekinian, di saat pers masuk dalam

lingkaran industri, pemilik perusahaan perslah yang memiliki andil sangat besar

dalam mengintervensi kerja-kerja jurnalistik secara umum, baik karena alasan

kepentingan ekonomi, politik, maupun yang lain. Ketika pemilik perusahaan pers

12 Ibid., hlm. 159-160.13 Pratono, dkk., 2014, Potret Intervensi di Bilik Redaksi, Aliansi Jurnalis Independen

(AJI), Semarang, hlm. 166-167.14 Ibid., hlm. 117-118.

76

mencampuri urusan bilik redaksi, para wartawan yang terhimpun dalam ruang

redaksi, sulit untuk tidak turut. Alasannya karena para wartawan terikat dengan

kepentingan ekonomi, yaitu berkedudukan sebagai pekerja di perusahaan pers.

Kondisi semacam ini, jelas rentan menimbulkan distorsi pada isi media pers,

misalnya pengaburan fakta, atau pemberitaan atas sesuatu yang subjektif dan tidak

memiliki dimensi kepentingan publik.

Potret distorsi isi media demi kepentingan internal pihak perusahaan pers,

juga dapat disimak dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Anett Keller terhadap

empat media besar nasional, yaitu Kompas, Media Indonesia, Republika, dan

Tempo. Dari hasil penerlitiannya dengan mewawancarai pihak di bidang redaksi

dan perusahaan dari media tersebut, Annet menemukan besarnya pengaruh

kepemilikan media terhadap independensi ruang pemberitaan.

Di tiga dari empat harian yang diteliti (Kompas, Media Indonesia,Republika) pemilik saham mayoritas juga merangkap sebagai direkturperusahaan. Ia mempunyai hak untuk menetapkan garis haluan suratkabarnya. Tidak ada apapun yang menghalanginya untuk melakukantekanan yang tidak relevan kepada pihak redaksi. Ia juga dapatmenentukan atau bahkan memaksakan pemilihan dan pengerjaan tema-tema kepada pihak redaksi menurut kepentingannya dan dengan demikianmengubah mekanisme pengambilan keputusan redaksional sehinggamekanisme yang memberi prioritas kepada kepentingan umum tidakberlaku lagi.15

Dalam penelitian yang sama, keadaan jauh berbeda terdapat di media

Tempo. Berbeda dengan tiga media lain yang diteliti, Tempo tidak memiliki

pemilik saham terbesar. Lebih dari 50% kepemilikan perusahaan dipunyai oleh

yayasan-yayasan. Dengan demikian, di Koran Tempo tidak ada pemilik media

15 Anett Keller, Op.cit., hlm. 104.

77

dalam arti yang biasanya.16 Tidak adanya kepemilikan saham mayoritas, membuat

ruang redaksi media ini lebih otonom dalam menentukan garis-garis pemberitaan

demi kepentingan publik.

Bentuk kepemilikan yang tidak membiarkan adanya pemilik sahammayoritas tampaknya merupakan hal yang positif bagi otonomi redaksi.Kekhawatiran akan adanya veto dari pemilik perusahaan dalam prosesredaksional tidak terdapat di Koran Tempo. Para wartawan yangdiwawancarai mengungkapkan banyak segi positif tentang kebebasanjurnalistik yang mereka nikmati di surat kabar mereka. Hal itu lagi-lagisesuai dengan prinsip watchdog dan persepsi dari masyarakat tentang(Koran) Tempo sebagai media massa yang kritis dan demokratis.17

Independensi media, di Indonesia, jelas dipengaruhi oleh kepentingan

politik. Terlebih, memang banyak pemilik media yang bergabung dengan partai

politik. Mereka adalah Surya Paloh, pemilik Grup Media Indonesia (Metro TV,

Media Indonesia, Lampung Post, Tabloid Prioritas); Abu Rizal Bakrie, pemilik

Grup Vivanews (TV One, ANTV, Vivanews. com); dan Hari Tanoesoedibjo,

pemilik MNC Group (RCTI, Global TV, MNC TV, Sindo Network). Persentuhan

antara media dan politik praktis itu, akhirnya berpengaruh pada independensi dan

netralitas media dalam pemberitaan dan iklan politik.18

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Masduki, dkk., dapat

disimpulkan bahwa konten berita di tiga stasiun televisi (Trans TV, Metro TV,

dan TV One), menunjukkan perbedaan yang signifikan. Berita tentang Pemilu

2014 di TV One lebih banyak menyebut Partai Golkar serta Calon Presiden

Aburizal Bakrie. Demikian pula Metro TV, lebih banyak menampilkan

16 Ibid., 58.17 Ibid., hlm. 106.18 Masduki, dkk., (Tim Peneliti dari Masyarakat Peduli Media), Analisis terhadap

Kecenderungan Pemberitaan 4 Grup Media Nasional di Indonesia, Jurnal Dewan Pers(Mengungkap Independensi Media), Edisi No. 9, Juni 2014, Dewan Pers, Jakarta, hlm. 43.

78

narasumber dari kalangan Partai Nasdem dan Calon Presiden Surya Paloh. Narasi

pemberitaan TV One selalu memberikan nuansa positif kepada Aburizal. Hal yang

sama juga dilakukan Metro TV terhadap Surya Paloh. Sedangkan siaran Trans TV

yang pemiliknya bukan politisi, secara umum tidak menunjukkan keberpihakan

pada partai politik maupun calon presiden tertentu.19

Tak jauh berbeda dengan hasil penelitian Effendi, dkk. Secara kualitatif,

penelitian tersebut menyimpulkan bahwa media digunakan untuk membela

kepentingan pemilik. Pada media online dan televisi, berita mengenai pemilik dan

kelompok afiliasinya cenderung lebih sering muncul jika pemiliknya mempunyai

kepentingan politik pragmatis. Di okezone.com dan juga RCTI (MNC Group),

berita mengenai pemilik media jauh lebih tinggi dibandingkan dengan berita di

Kompas Group (Kompas TV dan kompas.com). Ini semakin menegaskan bahwa

media yang dimiliki elit politik, cenderung digunakan pemiliknya untuk

kepentingan pribadi dibandingkan melayani kepentingan publik.20

Dari gambaran di atas, tampak bahwa selalu terjadi tarik ulur antara

kemerdekaan pers dan kepentingan publik di satu sisi, dengan kepentingan

pemilik dan pemodal perusahaan pers di sisi lain. Dalam situasi demikian, mau

tidak mau, pers harus didudukkan pada posisi yang semestinya.

Untuk mempertemukan kepentingan yang mungkin berbeda tersebut, adasatu pertanyaan, “Apakah perusahaan pers, betapapun besar maknaekonomi atau sebagai industri memiliki keunikan yang membedakannyadari usaha ekonomi lainnya?” Mestinya, ya. Apakah itu? Perusahaan persharus tetap menyadari: Pertama, pers sebagai institusi publik mengemban

19 Ibid., hlm. 80.20 Amir Effendi Siregar, dkk., Menakar Independensi dan Netralitas Jurnalisme dan

Media di Indonesia, Jurnal Dewan Pers (Mengungkap Independensi Media), Edisi No. 9, Juni2014, Dewan Pers, Jakarta, hlm. 34.

79

kepentingan publik. Kedua, pers sebagai subsistem demokrasi harusterpelihara tetap merdeka (bebas) dalam menjalankan tugas-tugasjurnalistik. Ketiga, perusahaan pers seyogianya menjadi sarana yang turutserta mewujudkan kesejahteraan umum atas dasar keadilan sosial bagiseluruh rakyat.21

Demi menangahi dua kepentingan yang berbeda di atas, dicetuskanlah

Piagam Palembang tentang Kesepakatan Perusahaan Pers Nasional. Piagam itu

ditandatangani di Palembang oleh 18 orang pemimpin perusahaan pers, pada 9

Februari 2010. Di antara penanda tangan adalah Hary Tanoesudiby (MNC

Group), Agung Adiprasetyo (Kompas Gramedia Group), Dahlan Iskan (Jawa Pos

Group), dan Chairul Tanjung (Transmedia Group), serta masih membuka

kesempatan kepada perusahaan pers lain untuk menerapkannya. Salah satu poin

dari piagam tersebut ialah kesediaan para pemilik perusahaan pers untuk

melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers,

Standar Perlindungan Wartawan, Standar Kompetensi Wartawan, serta akan

menerapkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan-ketentuan

yang berlaku di perusahaan mereka. Namun seiring waktu, kenyataan

menunjukkan bahwa kesepakatan itu, khususnya yang berhubungan dengan

kemerdekaan pers di ruang redaksi, sering diabaikan.

Goyahnya kemerdekaan pers di internal perusahaan pers, akhirnya

berpengaruh pada citra pers Indonesia. Dalam buku Indeks Kemerdekaan Pers

(IKP) 2016 yang diluncurkan Dewan Pers, kemerdekaan media pers Indonesia

masuk dalam kategori agak bebas (fairly free) dengan nilai 62,81. Kemerdekaan

pers dinyatakan tidak bebas pada skor 0-30, kurang bebas pada skor 31-55, agak

21 Bagir Manan, 2012, Politik Publik Pers, Op.cit., hlm. 255-256.

80

bebas pada skor 56-69, cukup bebas pada nilai 70-89, dan bebas pada skor 90-

100. Kondisi mengkhawatirkan tersebut, sangat dipengaruhi oleh intervensi

pemilik perusahaan pers. Alih-alih menjadikan pers bebas demi kepentingan

publik, pers kadangkala digunakan untuk kepentingan politik dan ekonomi.

Karena itu, dalam IKP 2016, independensi dari kelompok kepentingan meraih

poin tiga terbawah yaitu 56,18 dari 20 indikator utama yang dinilai.22

Penilaian yang mengkhawatirkan atas kemerdekaan pers Indonesia, juga

diberikan lembaga internasional Freedom House yang menempatkan Indonesia

untuk rentang tahun 2012-2017, pada kategori bebas sebagian (partly free) dengan

skor 49/100. Skor 0-30 untuk bebas, 31-60 bebas sebagian, dan 61-100 tidak

bebas. Selain itu, Lembaga internasional Reporters Sans Frontiers (RSF) pada

2017 menempatkan kemerdekaan pers Indonesia di urutan 124 dari 180 negara,

dengan skor 39.93. Posisi Indonesia lebih buruk dibandingkan Afganistan (120)

dan Uganda (112).23 Indeks Kebebasan Pers Sedunia yang dirilis Reporters

Without Borders (RWB)24 pada Rabu, 26 April 2017, juga masih menunjukkan

keadaan yang mengkhawatirkan. Indonesia hanya naik enam peringkat ke 124,

dari posisi 130 tahun lalu. Dengan begitu, Indonesia berada tepat di bawah Qatar

dan di atas Angola. Meski mengalami peningkatan, kenaikan peringkat Indonesia

bukan murni karena perbaikan kualitas kemerdekaan pers, tapi juga dikarenakan

22 Tirto.id, 12 Agustus, 2017, Independensi dan Kemerdekaan Pers di HUT RI Ke-72,https://tirto.id/independensi-dan-kemerdekaan-pers-di-hut-ri-ke-72-cupR, diakses pada tanggal 22September 2017, pukul 20.29 Wita.

23 Ibid.24 RWB adalah organisasi non-pemerintah internasional yang mempromosikan dan

membela kebebasan informasi dan kebebasan pers. Indikator yang digunakan RWB dalammengukur Indeks Kebebasan Pers adalah pluralisme isi media, independensi media, lingkungandan penyensoran, kebijakan pemerintahan, keterbukaan informasi, infrastruktur media, sertaperlindungan terhadap wartawan (disarikan dari website RWB: https://rsf.org/en/).

81

negara-negara lain mengalami situasi yang lebih buruk, seperti konflik

berkepanjangan.25

b. Kapabelitas Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan Pers

UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjunjung tinggi kemerdekaan

pers, membuat campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers, hilang sama

sekali, termasuk di dalam kelembagaan Dewan Pers. Tak ada lagi keterwakilan

pemerintah dalam tubuh Dewan Pers seperti dalam undang-undang sebelumnya.

Hingga akhirnya, Dewan Pers menjadi satu-satunya lembaga negara yang

mempunyai akses terhadap kehidupan pers. Karena itu, Dewan Pers menjadi

penanggungjawab utama dalam menjaga kemerdekaan pers. Pasal 15 ayat (1) UU

No. 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa, “Dalam upaya mengembangkan

kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan

Pers yang independen.” Pada bagian penjelasan ayat tersebut, diuraikan bahwa,

“Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan

pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional.”

Kehadiran Dewan Pers yang independen sebagai lembaga pelindung

kemerdekaan pers, akhirnya menjadi harapan utama insan pers. Perlindungan

yang dihadapkan, mencakup perlindungan dari intervensi pihak eksternal maupun

internal pers. Hal ini sejalan dengan salah satu fungsi Dewan Pers dalam Pasal 15

ayat (2) huruf a UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa

Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi, salah satunya ialah, “Melindungi

25 Rappler, 27 April 2017, Indeks Kebebasan Pers Sedunia: Kerisauan Indonesia dalamPeringkat yang Lebih Baik, https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/168134-indeks-kebebasan-pers-sedunia-indonesia-2017, diakses pada tanggal 22 September 2017, pukul 16.05Wita.

82

kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.” Amanah tersebut sejalan

dengan spirit pembentukan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang tercantum

dalam konsideran Menimbang huruf c undang-undang tersebut, yang menyatakan:

bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebarinformasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi,hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkankemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan danperlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan darimanapun;

Persoalan sejauh mana ruang lingkup kemerdekaan pers, harus senantiasa

dikaitkan dengan aktivitas jurnalistik. Hal itu sejalan dengan pengertian pers

dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yaitu:

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yangmelaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baikdalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dangrafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Jika pengertian “kemerdekaan” dilekatkan dengan pengertian “pers”

sebagaimana dimaksud di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sepanjang

menyangkut pelaksanaan aktivitas jurnalistik, pers harus bebas dari campur

tangan pihak manapun. Hal ini sejalan dengan penegasan Pasal 4 ayat (1) UU No.

40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa, “Kemerdekaan pers dijamin

sebagai hak asasi warga negara.” Tafsir klausul tersebut dalam bagian

penjelasanya adalah, “…bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan,

dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.”

Oleh karena itulah, insan pers sebagai pengembang tugas jurnalistik, harus

83

terlepas dari intervensi apapun yang dapat merecoki independensinya dalam

menyampaikan informasi.

Di sisi lain, soal ruang lingkup tafsir “campur tangan pihak lain” yang

dimaksud dalam ketentuan di atas, memang tidak ditemukan uraiannnya dalam

UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tapi setidaknya dapat ditarik gambaran

umum bahwa pihak lain yang dimaksud adalah pihak yang berada di luar tubuh

pers, yaitu orang yang tidak bersentuhan langsung dengan aktivitas jurnalistik.

Jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 4 yang menyatakan bahwa, “Wartawan

adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”, maka selain

wartawan, pada dasarnya dapat digolongkan sebagai pihak di luar pers yang tidak

boleh mengintervensi apalagi mengganggu kemerdekaan pers. Karangka ini

sejalan dengan maksud Pasal 1 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-

DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-

DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers, yang

menyatakan bahwa, ”Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan

berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Tafsir kata

“independen” dalam Peraturan Dewan Pers tersebut adalah “…memberitakan

peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani, tanpa campur tangan,

paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik perusahaan pers.”

Dalam upaya melindungi kemerdekaan pers secara menyeluruh

sebagaimana dimaksud di atas, maka fungsi Dewan Pers sebagaimana terurai

dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pun, pada umumnya ditujukan untuk

menghindarkan pers dari campur tangan pihak luar. Secara utuh, Pasal 15 ayat (2)

84

UU No. 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa Dewan Pers melaksanakan fungsi-

fungsi sebagai berikut:

a. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;b. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan

masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaanpers;

e. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;f. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-

peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesikewartawanan;

g. mendata perusahaan pers.

Jika diperhatikan secara seksama, maka serangkaian fungsi Dewan Pers di

atas menghendaki adanya kehidupan pers yang tidak lagi mendapat intervensi dari

pihak mana pun, serta dalam bentuk apapun. Untuk itu, UU No. 40 Tahun 1999

tentang Pers, telah mendudukan Dewan Pers sebagai mediator yang berwenang

menjembatani permasalahan yang timbul antara pers dengan masyarakat. Salah

satu wujud nyatanya adalah diberikannya fungsi kepada Dewan Pers untuk

memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan

masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Dengan

begitu, tindakan represif dari pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan, bisa

dihindari dengan upaya mediasi melalui Dewan Pers. Instumen mediasi ini

semakin kokoh dengan sokongan fungsi Dewan Pers untuk menetapkan dan

mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Dengan begitu, segala persoalan

terkait insan pers, akan diselesaikan terlebih dahulu melalui penilaian etik oleh

Dewan Pers, sehingga tidak serta merta mendahulukan jalur litigasi yang dapat

berujung pada pemidanaan terhadap wartawan.

85

c. Kelemahan Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan Pers

Kemerdekaan pers yang menjadi spirit UU No. 40 Tahun 1999 tentang

Pers, terurai dalam beberapa kerangka kelembagaan, salah satu adalah sterilisasi

Dewan Pers dari campur tangan pemerintah. Dewan Pers menjadi satu-satunya

lembaga yang memegang tanggung jawab besar untuk mengawal kehidupan pers.

Hanya melalui Dewan Pers, pendekatan secara langsung terhadap pers, dapat

dilakukan, itu pun dalam batas-batas tertentu sebagaimana digariskan dalam UU

No. 40 Tahun 1999. Dengan demikian, campur tangan pemerintah terhadap

kehidupan pers, baik secara langsung maupun melalui tubuh Dewan Pers, seperti

yang terjadi sebelum era Reformasi, sirna sama sekali.

Keinginan agar pers benar-benar merdeka dari dikte pemerintah sebagai

salah satu tuntutan Reformasi, akhirnya berpengaruh pada desain UU No. 40

Tahun 1999 tentang Pers. Tak ingin ada lagi intervensi pemerintah dalam

kehidupan pers, membuat perumus undang-undang, menutup celah yang

memungkinan hal itu terjadi. Salah satunya dengan menutup jalan bagi

pemerintah untuk mengatur kehidupan pers dengan segala macam bentuk

peraturan hukum. Karena itu pula, UU No. 40 Tahun 1999, jadi sangat minimalis.

Tidak ada satu pun klausul di dalamnya yang memerintahkan untuk diadakan

pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang, sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang terkait pers

yang berlaku sebelumnya.

UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang minimalis, akhirnya turut

berdampak pada kelembagaan Dewan Pers, termasuk fungsi dan kewenangannya.

86

Jika ditilik dalam UU No. 40 Tahun 1999, memang tampak bahwa Dewan Pers

memiliki fungsi yang lebih luas dan terinci dibanding dalam undang-undang

sebelumnya. Namun kenyataan itu tidak berarti kelembagaan Dewan Pers tak

patut dipertanyakan lagi. Alasannya karena UU No. 40 Tahun 1999 hanya

mengatur terkait Dewan Pers secara umum, tanpa mengamanahkan pengaturan

lebih lanjut dalam bentuk peraturan perundang-undangan lainnya, seperti pada

undang-undang terkait pers sebelumnya. Akibatnya, desain kelembagaan Dewan

Pers masih mengandung sejumlah pertanyaan yang tentu berpengaruh pada

eksistensi dan kinerjanya selama ini.

Salah satu dampak dari pengaturan terkait Dewan Pers yang simpel adalah

tidak terurainya kewenangan Dewan Pers secara jelas. Bahkan UU No. 40 Tahun

1999 sama sekali tidak menyebutkan satu pun kewenangan Dewan Pers.

Imbasnya, fungsi Dewan Pers yang tidak dibarengi penguraian kewenangan itu,

tidak dapat dilaksanakan secara maksimal, utamanya dalam upaya menjaga

kemerdekaan pers. Hal ini tentu berbeda dengan desain Dewan Pers yang terdapat

dalam undang-undang yang berlaku sebelumnya, yaitu UU No. 21 Tahun 1982

tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967. Undang-

undang tersebut jelas mengamanahkan penguraikan terkait kedudukan, tugas,

fungsi, dan wewenang Dewan Pers dalam Peraturan Pemerintah.

Dewan Pers tanpa kewenangan yang jelas, akhirnya menjadi tak berdaya

dalam membendung intervensi terhadap kehidupan pers. Pada satu sisi, intervensi

dari pemerintah memang telah mampu diredam secara struktural. Namun pada sisi

87

lain, seiring dengan arus industrialisasi yang semakin kapitalistik, intervensi pihak

internal terhadap kerja-kerja pers, menjadi sebuah tantangan baru. Atas nama

kepentingan ekonomi, pemilik perusahaan pers, dengan mudah mengintervensi

ruang keredaksian pers, sehingga mengubah alur politik keredaksian yang

sejatinya untuk kepentingan publik, menjadi untuk kepentingan pribadi atau

golongan. Pada kondisi ini, Dewan Pers tak memiliki daya apa-apa untuk

melindungi kemerdekaan pers. Dewan Pers tak bisa mengambil tindakan tegas,

meski intervensi pihak internal jelas-jelas bertentangan dengan semangat

kemerdekaan pers. Sebisanya, Dewan Pers hanya melaksanakan upaya-upaya

sosialisasi, himbauan, ataupun seruan kepada para pihak pemilik perusahaan

untuk menghormati kebebasan ruang redaksi sebagai inti dari kemerdekaan pers.

Dewan Pers memang telah mengeluarkan sejumlah peraturan. Salah satu

adalah Peraturan Dewan Pers Nomor: 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar

Perusahaan Pers. Meski mengatur mekanisme dan persyaratan pendirian

perusahaan pers serta pemenuhan hak wartawan sebagai pekerja perusahaan pers,

namun peraturan tersebut sama sekali tidak mempersyaratkan atau sekadar

merekomendasikan bagaimana tangung jawab perusahaan pers dalam menjaga

kemerdekaan pers, khususnya dalam menjamin independensi para wartawan di

ruang redaksi dalam melaksanakan aktivitas jurnalistik. Penegasan perlindungan

kemerdekaan pers secara lebih memadai, malah terdapat dalam Peraturan Dewan

Pers Nomor: 5/Peraturan-DP/IV/2008 tentang Standar Perlindungan Profesi

Wartawan. Pada angka 3 peraturan itu, menyatakan bahwa dalam menjalankan

tugas jurnalistik, wartawan dilindungi dari tindak kekerasan, pengambilan,

88

penyitaan dan atau perampasan alat-alat kerja, serta tidak boleh dihambat atau

diintimidasi oleh pihak manapun. Bahkan pada angka 9 peraturan itu, dinyatakan

bahwa pemilik atau manajemen perusahaan pers dilarang memaksa wartawan

untuk membuat berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik atau hukum yang

berlaku. Meski begitu, penegakan peraturan Dewan Pers selanjutnya, sangat

tergantung pada kesadaran dan ketundukan pribadi para insan pers. Hal itu karena

pada dasarnya, peraturan Dewan Pers hanyalah kesepakatan antara organisasi

pers, praktisi pers, dan Dewan Pers sendiri. Dewan Pers hanya berfungsi sebagai

fasilitator organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers,

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) f UU No. 40 Tahun 1999.

Produk peraturan Dewan Pers memang hanya berkedudukan sebagai

seruan moril bagi pihak pers, sebab UU No. 40 Tahun 1999, tidak menyebutkan

secara tegas bahwa Dewan Pers berwenang mengeluarkan peraturan terkait pers

secara mandiri. Karena itu, tegaknya aturan Dewan Pers, tergantung pada

penerimaan para pihak. Terlebih lagi, Dewan Pers tidak memiliki kewenangan

untuk menjatuhkan sanksi kepada perusahaan pers maupun insan pers.

Akhirnya, keberhasilan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam

melahirkan Dewan Pers yang independen, masih meninggalkan sejumlah

persoalan yang patut ditelaah. Pada satu sisi, keterlibatan pemerintah dalam tubuh

Dewan Pers, memang telah ditangkal. Tapi pada sisi lain, kehadiran Dewan Pers

yang berfungsi sebagai pelindung kemerdekaan pers, jadi tak mampu berbuat apa-

apa dalam menghadapi intervensi pihak perusahaan pers, sebab Dewan Pers tak

diberi kewenangan yang berarti.

89

B. Penguatan Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan Pers

1. Kedudukan Dewan Pers dalam Struktur Ketatanegaraan

a. Status Dewan Pers sebagai Lembaga Negara Independen

Pasal 15 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan bahwa,

“Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan

pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.” Lebih lanjut, tafsir

“Dewan Pers yang independen” tidak ditemukan uraiannya dalam undang-undang

tersebut. Pada bagian Penjelasan Pasal 15 ayat (1) itu, hanya sekadar menyatakan

bahwa, “Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan

kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional.”

Terkait apa maksud dari klausul “Dewan Pers yang independen”,

setidaknya bisa dirujuk pada desain kelembagaan Dewan Pers dalam UU No. 40

Tahun 1999 tentang Pers. Langkah itu dapat dibarengi dengan studi komparasi

antara kedudukan Dewan Pers dalam peraturan perundang-undangan terdahulu

dengan kedudukan Dewan Pers dalam UU No. 40 Tahun 1999. Dari pendekatan

tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada perubahan signifikan terkait status dan

kedudukan Dewan Pers. Jika pada masa berlakunya UU No. 21 Tahun 1982

tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967, Dewan Pers

memiliki kedudukan yang subordinasi terhadap pemerintah, maka setelah

berlakunya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Dewan Pers telah terbebas dari

campur tangan pemerintah.

90

Dari uraian umum di atas, dapat diperoleh sedikit gambaran bahwa tafsir

“Dewan Pers yang independen” merujuk pada status dan kedudukan Dewan Pers

yang tidak lagi menjadi lembaga perpanjangan tangan pemerintah, dalam hal ini

kekuasaan eksekutif. Dewan Pers telah menjadi salah satu lembaga independen

yang memiliki kedudukan, tugas pokok, dan fungsi yang terpisah dari tiga cabang

kekuasaan besar, yaitu legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif. Paling tidak, hal itu

dapat dilihat dari proses pemilihan anggota Dewan Pers yang tidak lagi menjadi

domain mutlak cabang kekuasaan eksekutif. Susunan kepengurusan pun, menjadi

kuasa internal Dewan Pers, yaitu bahwa ketua dan wakil ketua Dewan Pers dipilih

dari dan oleh anggota Dewan Pers sendiri.

Fungsi Dewan Pers yang Independen tidak lagi menjadi penasehatpemerintah, tapi pelindung kemerdekaan pers. Hubungan struktural antaraDewan Pers dengan pemerintah diputus, terutama sekali dipertegas denganpembubaran Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid.Dengan demikian, pemerintah tidak lagi mempunyai wakil dalamkeanggotaan Dewan Pers seperti yang berlangsung selama masa OrdeBaru. Meskipun pengangkatan anggota Dewan Pers tetap melaluiKeputusan Presiden, tapi tidak ada lagi campur tangan pemerintahterhadap institusi maupun keanggotaan Dewan Pers yang independen.Jabatan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers tidak lagi dicantumkan dalamKeputusan Presiden, tapi diputuskan oleh seluruh anggota Dewan Persdalam Rapat Pleno.26

Independensi Dewan Pers semakin kukuh dengan sumber pendanaannya

yang tidak lagi tergantung sepenuhnya dari anggaran negara, yaitu mengikut pada

anggaran belanja Departemen Penerangan seperti dahulu, tetapi berasal dari

organisasi pers maupun perusahaan pers. Pembiayaan Dewan Pers jadi lebih

26 S. Bayu Wahyono, dkk., 2011, Ironi Eksistensi Regulator Media di Era Demokrasi,Cetakan I, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) bekerja sama dengan YayasanTifa, Yogyakarta, hlm. 32.

91

fleksibel. Dalam pasal 15 ayat (7), disebutkan bahwa pembiayaan Dewan Pers

berasal dari organisasi pers, perusahaan pers, serta dari bantuan negara dan

bantuan lain yang tidak mengikat.27

Status independen selanjutnya menimbulkan pertanyaan lebih lanjut

mengenai format kelembagaan Dewan Pers jika ditinjau dari teori kelembagaan

negara. Secara sepintas, bahwa Dewan Pers tidak lagi menjadi domain

pemerintah, jelas tak bisa dibantahkan. Namun format kelembagaan Dewan Pers,

membutuhkan telaah yang lebih mendalam, terutama ditinjau dari fungsi apa yang

dilaksanakannya. Pada posisi ini, secara umum, sejumlah pihak menilai Dewan

Pers melaksanakan fungsi yang bertujuan untuk melindungi kepentingan publik

dalam kaitannya dengan aktivitas pers.

Dewan Pers bukan suatu badan pemerintahan. Dewan Pers tidakmenjalankan fungsi kekuasaan dan pemerintahan, melainkan sebuah fungsipublik. Dewan Pers lebih tepat disebut sebagai suatu badankemasyarakatan (public agency) yang dijamin undang-undang. Dalammenjalankan fungsi dan tugasnya, Dewan Pers secara langsungbertanggungjawab kepada publik.28

Makna fungsi publik yang dijalankan oleh Dewan Pers, selanjutnya

menimbulkan pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Hal ini karena pada

satu sisi Dewan Pers bertindak sebagai penjaga kemerdekaan pers, sedangkan

pada sisi lain, ia dihadapkan pada tuntutan masyarakat atas produk media pers

yang berkualitas, serta terjaganya hak masyarakat di hadapan media.29 Atas

kegamangan terkait kedudukan fungsional Dewan Pers, akhirnya sering timbul

27 Ibid., hlm. 34.28 Bagir Manan, 2012, Politik Publik Pers, Op.cit., hlm. 27729 S. Bayu Wahyono, dkk., Op.cit., hlm. 30.

92

keluhan-keluhan masyarakat yang menilai bahwa Dewan Pers hanya menjadi

tameng sejumlah perusahaan pers yang nakal untuk berlindung dari tuntutan

masyarakat.

Sesuai perundangan, Dewan Pers adalah Independen, dan tugasnyamenjaga kebebasan pers. Keluhan yang datang kepada Dewan Pers adalahDewan Pers dianggap cenderung memenangkan kepentingan pers lebihdari kepentingan masyarakat/narasumber. Oleh karena itu, muncul usulanoleh sementara kalangan agar keanggotaan Dewan Pers dari unsurmasyarakat, ditambah. Namun, usulan ini masih belum diterima olehkalangan jurnalis. Selain itu, cara pemilihan anggota Dewan Pers yangdiserahkan hanya kepada kelompok jurnalis, pemilik media, maupun wakilmasyarakat sering dianggap kurang terbuka.30

Di luar daripada kekaburan posisi Dewan Pers di antara kepentingan

pelaku usaha pers dan masyarakat, paling tidak, dapat dipahami bahwa UU No. 40

Tahun 1999 tentang Pers memang sengaja menempatkan Dewan Pers untuk

melaksanakan fungsi publik yang strategis, yaitu menjauhkan pers dari intervensi

dan intimidasi dari pihak eksternal, sekaligus juga menjadi mediator jika pihak

masyarakat merasa haknya tidak terpenuhi atau dinodai oleh pemberitaan media

pers. Wujud dari upaya tersebut adalah masuknya unsur tokoh masyarakat yang

ahli di bidang pers atau komunikasi dan bidang lainnya dalam keanggotaan

Dewan Pers. Tujuan utama dari kerangka itu adalah menjamin bahwa pers

nasional tetap menjalankan fungsinya untuk kepentingan publik, sedangkan pihak-

pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan dapat mempersoalkannya melalui

Dewan Pers.

Lebih lanjut, terkait desain kelembagaan Dewan Pers, juga memiliki

karakteritik yang unik dibandingkan dengan lembaga negara independen lainnya.

30 Ibid., hlm. 56.

93

Salah satu yang paling mencolok adalah pemilihan anggota Dewan Pers yang

sama sekali tidak melalui campur tangan cabang kekuasaan legislatif maupun

eksekutif, baik dalam bentuk fit and proper test oleh DPR, ataupun pemilihan oleh

presiden. Persoalan susunan keanggotaan Dewan Pers menjadi urusan mutlak

organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Mekanisme ini kemudian

menimbulkan sejumlah asumsi terkait status dan kedudukan Dewan Pers.

Secara hukum status dan kedudukan dewan pers dalam UU tidaklah begitujelas. Apakah lembaga ini sebagai sebuah komisi khusus atau semi komisiyang bersifat regulatory body atau lembaga internal masyarakat pers atausebuah paguyuban yang terakreditasi oleh negara. UU hanya menyatakanDewan Pers dibentuk untuk tujuan mengembangkan kemerdekaan pers danmeningkatkan kehidupan pers nasional. Dengan tujuan itulah, maka kitabisa menyatakan bahwa Dewan Pers bersifat Independen atau mandiri.31

Merujuk pada desain kelembagaan dan pola kerja Dewan Pers selama ini,

maka bisa disimpulkan bahwa Dewan Pers diposisikan untuk melindungi

kemerdekaan pers, juga menjamin kepentingan publik atas informasi. Kesimpulan

ini dapat didasarkan pada kenyataan bahwa struktur dan keanggotaan Dewan Pers,

murni berasal dari dan oleh organisasi pers, yaitu organisasi wartawan dan

organisasi perusahaan pers, ditambah perwakilan masyarakat ahli yang dipilih

oleh organisasi pers tersebut. Oleh karena itu, Dewan Pers dapat dianggap sebagai

sebuah lembaga bentukan organisasi pers untuk mengawal persoalan pers secara

umum, sehingga pers terhindar dari campur tangan pihak mana pun dalam

menjalankan fungsi publiknya

Dewan Pers yang dibentuk oleh otoritas organisasi pers, menguatkan

asumsi bahwa format lembaga ini diperuntukkan untuk mewujudkan skema

31 Jajang Jamaludin (Ed), Op.cit., hlm. 29.

94

pengaturan internal oleh insan pers. Secara filosofis dan praktis, UU No. 40 Tahun

1999 tentang Pers telah menjamin kemerdekaan pers, sehingga menutup keran

pemerintah untuk melakukan sensor dan pembredelan. Sebaliknya, peranan self

regulatory, yaitu format pengaturan diri sendiri seperti yang berlangsung dalam

tubuh Dewan Pers, diposisikan lebih utama dibanding dengan pengaturan oleh

negara.32 Pemilihan anggota Dewan oleh organisasi pers dan wartawan,

merupakan wujud dari prinsip pengaturan sendiri yang luar biasa. Karena itu,

sebagian pihak menilai implementasi UU No. 40 Tahun 1999 dengan memperkuat

prinsip pengaturan diri sendiri melalui peraturan yang dikeluarkan oleh Dewan

Pers, jauh lebih penting daripada berupaya merevisi undang-undang tersebut.33

Menyikapi kedudukannya sebagai wadah self regulatory, Dewan Pers pun

mengesahkan sejumlah aturan berkenaan dengan pers. Kebijakan Dewan Pers

tersebut berdasar pada Pasal 15 ayat (2) huruf f UU No. 40 Tahun 1999 tentang

Pers yang menyatakan bahwa salah satu fungsi Dewan Pers adalah “memfasilitasi

organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers

dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan”. Dengan demikian, produk-

produk peraturan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers selama ini, merupakan

kesimpulan atau hasil kesepakatan antara Dewan Pers dan organisasi pers.

Peraturan itu, tak lain daripada aspirasi organisasi pers sebagai wujud dari prinsip

pengaturan diri sendiri.

Kedudukan Dewan Pers sebagai lembaga yang dijalankan dengan kuasa

organisasi pers, akhirnya turut berpengaruh pada produk peraturan yang

32 S. Bayu Wahyono, Op.cit., hlm. xvii.33 Ibid.

95

dikeluarkannya. Peraturan Dewan Pers yang lahir dari, oleh, dan untuk

kepentingan organisasi pers, membuat Dewan Pers tak punya otoritas untuk

mengonsepkan dan menekankan keberlakukan peraturan tersebut secara mandiri.

Dewan pers independen, yang lahir dalam semangat reformasi, bersifatmandiri dan tidak ada lagi unsur pemerintah dalam keanggotaannya.Dengan dukungan masyarakat pers Indonesia, otoritas Dewan Pers semata-mata terletak pada kemauan perusahaan dan redaksi media pers untukmenghargai pandangan Dewan Pers dengan secara sukarela mematuhikode etik jurnalistik dan mengakui kesalahan, sengaja atau tidak, secaraterbuka.34

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa muruah Dewan Pers sebagai

lembaga independen yang dibentuk dengan undang-undang, sangat bergantung

pada bagaimana organisasi pers menginsafi kedudukan Dewan Pers sebagai

lembaga yang patut dihormati, terutama dengan mematuhi segala bentuk

peraturan yang dikeluarkannya, atas kesadaran bahwa peraturan Dewan Pers

merupakan hasil kesepakatan antarorganisasi pers yang membutuhkan kepatuhan

secara bersama-sama.

b. Perbandingan Kelembagaan Dewan Pers dengan Beberapa LembagaNegara yang Dibentuk berdasarkan Undang-undang

Di Indonesia, terdapat sejumlah lembaga negara yang dibentuk atas dasar

undang-undang. Beberapa di antaranya dipaparkan sebagai perbandingan bagi

status kelembagaan Dewan Pers.

1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Lembaga ini

dibentuk berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 1 angka 7 UU tersebut menyatakan bahwa Komnas HAM adalah

34 Ibid., hlm. 33.

96

lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara

lainnya, yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan,

pemantauan, dan mediasi HAM. Anggota Komnas HAM dipilih DPR

berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden. Sebagai

pertanggungjawaban kinerja, Komnas HAM wajib menyampaikan laporan

tahunan kepada DPR dan Presiden dengan tembusan Mahkamah Agung.

2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini didasarkan pada UU

No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Pasal 3 UU tersebut menyatakan bahwa KPK adalah lembaga

negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat

independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Secara

struktural, KPK dipimpin oleh lima orang yang dipilih oleh DPR

berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden, setelah melalui

tahapan di panitia seleksi. Soal pertanggungjawaban, KPK bertanggung

jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan

laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.

3. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga ini dibentuk berdasarkan UU

No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal 7 ayat (2) UU itu menyatakan

bahwa KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur

hal-hal mengenai penyiaran. Selain KPI Pusat, dapat juga dibentuk KPI

tingkat provinsi yang kelembagaannya terkait dengan gubernur dan DPRD

provinsi. Khusus anggota KPI Pusat, dipilih oleh DPR atas usul

masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka. Secara

97

administratif, anggota KPI Pusat ditetapkan oleh Presiden atas usul DPR.

Soal akuntabilitas kinerja, KPI Pusat bertanggung jawab kepada Presiden

dan menyampaikan laporan kepada DPR.

4. Komisi Informasi. Lembaga ini lahir berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008

tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pasal 23 UU tersebut menyatakan

bahwa Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi

menetapkan petunjuk standar layanan informasi publik, dan menyelesaikan

sengkata informasi publik melalui mediasi atau ajudikasi nonlitigasi.

Penjelasan Pasal itu menguraikan bahwa yang dimaksud dengan ‘mandiri’

adalah independen menjalankan wewenang, tugas, dan fungsinya. Selain

Komisi Informasi Pusat (KIP), dapat juga dibentuk Komisi Informasi

daerah yang menjadi urusan pemerintah daerah. Khusus pengangkatan

anggota KIP, diawali rekrutmen terbuka oleh Pemerintah. Sejumlah calon

anggota yang diterima, lalu diajukan presiden ke DPR untuk dipilih.

Hasilnya kemudian ditetapkan presiden. Soal kinerja, KIP bertanggung

jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporan kepada DPR.

5. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga ini dibentuk

berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal 30 ayat (2) UU tersebut

menyatakan bahwa KPPU adalah lembaga independen yang terlepas dari

pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. Di antara tugas

KPPU adalah melakukan penilaian terhadap perjanjian, penguasaan, dan

kegiatan usaha yang dapat mengakibatkan tindak pelanggaran persaingan

98

usaha. Anggota KPPU diangkat dan diberhentikan Presiden atas

persetujuan DPR. KPPU pun bertanggung jawab kepada presiden, serta

bertugas untuk memberikan laporan berkala kepada Presiden dan DPR.

6. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Keberadaan lembaga ini

didasarkan pada UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 74 ayat (1) UU tersebut

menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan

penyelenggaraan pemenuhan hak anak, dibentuk KPAI yang bersifat

independen. Soal personel, anggota KPAI yang berasal dari unsur

pemerintah dan masyarakat, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden

setelah mendapat pertimbangan DPR. Soal kinerja, dalam Pasal 2 ayat (2)

Perpres No. 61 Tahun 2016 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia,

ditetapkan bahwa KPAI bertanggung jawab kepada presiden.

7. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Lembaga ini lahir berdasarkan

UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Pasal 37 ayat (1) UU

tersebut menyatakan bahwa Kompolnas berkedudukan di bawah dan

bertanggung jawab kepada Presiden. Ayat (2) kemudian menyatakan,

bahwa Kompolnas dibentuk dengan Keputusan Presiden. Tugas

Kompolnas adalah membantu presiden dalam menetapkan arah kebijakan

kepolisian, juga memberikan pertimbangan dalam pengangkatan dan

pemberhentian kapolri. Anggota Kompolnas diangkat dan diberhentikan

oleh presiden, juga bertanggung jawab kepada presiden.

99

Sebagai gambaran ringkas, berikut perbandingan pokok kelembagaan

beberapa lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undangan:

Tabel 2: Perbandingan Lembaga Negara yang Dibentuk dengan Undang-undang

LembagaNegara Status Keanggotaan Pertanggungjawaban

KomnasHAM

Mandiri Dipilih oleh DPRberdasarkan usulanKomnas HAM dandiresmikan olehPresiden

Menyampaikan laporantahunan kepada DPRdan Presiden dengantembusan MahkamahAgung.

KPK Independen Dipilih oleh DPR diantara calon anggotayang diusulkan olehPresiden. Calon yangterpilih kemudiandisahkan oleh Presiden.

Bertanggung jawabkepada publik danmenyampaikan laporanterbuka dan berkalakepada Presiden, DPR,dan BPK

KPI Pusat Independen Dipilih dan diusulkanoleh DPR untukditetapkan olehPresiden

Bertanggung jawabkepada Presiden danmenyampaikan laporankepada DPR

KomisiInformasiPusat

Mandiri/Independen

Dipilih oleh DPR daricalon yang diajukanoleh Presiden untukkemudian ditetapkanoleh Presiden

Bertanggung jawabkepada Presiden danmenyampaikan laporankepada DPR

KPPU Independen Diangkat dandiberhentikan olehPresiden ataspersetujuan DPR.

Bertanggung jawabkepada presiden, jugamemberikanlaporan berkala kepadaPresiden dan DPR

KPAI Independen Diangkat dandiberhentikan Presidenatas pertimbangan DPR

Bertanggung jawabkepada presiden

Kompolnas Berkedudukan di bawahpresiden

Diangkat dandiberhentikan olehpresiden

Bertanggung jawabkepada presiden

Sumber: Hasil olah bahan hukum primer, 2017.

100

Perbandingan di atas, menunjukkan bahwa lembaga negara yang dibentuk

berdasarkan undang-undang, memiliki kadar independensi yang berbeda-beda.

Hal itu dipengaruhi oleh desain kelembagaan, misalnya soal mekanisme

pengangkatan anggota dan pertanggungjawabannya. Lembaga negara yang

anggotanya diangkat oleh presiden, secara otomatis tunduk dan bertanggung

jawab kepada presiden, misalnya Kompolnas. Sama halnya dengan KPAI. Meski

disebut “bersifat independen” dalam undang-undang pembentuknya, tapi

anggotanya diangkat oleh presiden, sedang DPR hanya memberi pertimbangan.

Keanggotaannya bahkan melibatkan unsur pemerintah. Implikasinya, KPAI pun

bertanggung jawab kepada presiden. Independensi Kompolnas dan KPAI semakin

lemah mengingat presiden berwenang melakukan pengaturan lebih lanjut.

Kondisi kelembagaan yang lebih baik, tampak pada KPI, KIP, dan KPPU.

Penyebabnya karena sistem pengangkatan anggota di ketiga lembaga tersebut,

melibatkan kekuasaan presiden dan DPR secara seimbang. Karena itu, meski

pertanggungjawaban secara kelembagaan tetap dititipberatkan kepada presiden

sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, lembaga itu juga diharuskan

menyampaikan laporan kepada DPR. Sedikit berbeda, KPK yang penetapan

anggotanya juga dengan perimbangan kekuatan DPR dan presiden dengan

mekanisme yang lebih selektif, memiliki pertanggungjawaban langsung kepada

publik, meski tetap menyampaikan laporan kepada Presiden, DPR, dan BPK.

Komnas HAM dengan pemilihan anggota yang unik, yaitu dipilih oleh DPR atas

usulan Komnas HAM, juga tidak dibebankan pertanggung jawaban secara

101

struktural-kelembagaan, meski wajib menyampaikan laporan tahunan kepada

DPR dan Presiden dengan tembusan MA.

Format kelembagaan di atas, berbeda dengan Dewan Pers, sebagaimana

digariskan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di antaranya adalah anggota

Dewan Pers yang dipilih oleh organisasi pers dari kalangan organisasi pers sendiri

serta masyarakat yang ahli di bidang tertentu. Konsekuensinya, Dewan Pers tidak

dibebankan bertanggung jawab kepada lembaga mana pun, bahkan dalam bentuk

laporan sekali pun. Ini menunjukkan tingginya derajat independensi Dewan Pers.

Apalagi, UU No. 40 Tahun 1999 tidak membuka ruang bagi kekuasaan eksekutif

untuk mengadakan pengaturan kelembagaan Dewan Pers secara lebih lanjut.

c. Persinggungan Fungsi dan Kewenangan Dewan Pers denganLembaga Negara di Bidang Komunikasi dan Informasi

Kompetensi Dewan Pers dalam mengurusi persoalan pers, tidak bisa

dilepaskan dari sistem komunikasi dan informasi secara keseluruhan. Apalagi pers

memang merupakan salah satu bagian terkecil dari sistem pengelolaan informasi.

Pers berkutat pada aktivitas penyampaian informasi secara faktual kepada

masyarakat. Aktivitas jurnalistik pers, jelas menjadi domain Dewan Pers. Namun

saat informasi pers memasuki tahap penyebarluasan, kompetensi Dewan Pers pun

bersinggungan dengan lembaga negara lain, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia

(KPI). KPI merupakan pengawas dan penegak regulasi media penyiaran yang

menggunakan instrumen publik yang terbatas dan berada dalam penguasaan

negara, yaitu spektrum frekuensi radio.

102

Soal KPI, Pasal 7 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,

menyatakan bahwa, “KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen,

mengatur hal-hal mengenai penyiaran.” Itu berarti bahwa KPI hadir untuk

mengontrol aktivitas penyiaran. Fungsi regulasi yang dijalankan KPI diperkuat

dengan sokong masyarakat yang turut melakukan kontrol terhadap penyiaran.35

Format itu dipertegas dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2002 yang

memosisikan KPI sebagai mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan

masyarakat akan penyiaran.

Fungsi KPI sebagai pelindung kepentingan masyarakat akan penyiaran,

sedangkan Dewan Pers sebagai pelindung kemerdekaan pers, tak pelak membuka

ruang persinggungan yang tak bisa dihindari. Persinggungan terjadi pada media

penyiaran yang menjadi domain KPI, yaitu media pers berbasis elektronik yang

menggunakan frekuensi, baik radio atau televisi. Pada kedua media itulah, dapat

terjadi saling klaim kompetensi. Pada satu sisi, Dewan Pers dapat mengklaim satu

kegiatan penyebarluasan informasi sebagai kompetensinya, sebab merupakan

bagain dari aktivitas jurnalistik. Namun di sisi lain, KPI pun merasa punya

kompetensi jika informasi tersebut disebarluaskan melalui radio atau televisi.

Pada akhirnya, dua persepsi itu memicu perdebatan sampai saat ini. Dewan Pers

menilai semua program siaran berita harus berdasarkan UU No. 40 tahun 1999

tentang Pers, sedangkan KPI beranggapan bahwa karya jurnalistik yang disiarkan

melalui lembaga penyiaran harus merujuk pada UU Penyiaran 2002.36

35 Lihat Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran36 S. Bayu Wahyono, Op.cit., hlm. 116.

103

Potensi persinggungan Dewan Pers dengan KPI menjadi semakin besar

jika ditinjau dari aspek kekuasaannya masing-masing. Kewenangan Dewan Pers

yang tak jelas dalam menjaga kemerdekaan pers, berbanding terbalik dengan

kewenangan KPI yang jelas dalam melindungi kepentingan masyarakat di bidang

penyiaran. Jika Dewan Pers tidak berwenang melakukan pengaturan secara

otonom dan menjatuhkan sanksi pada media pers, maka KPI dapat melakukan

sebaliknya. Pasal 8 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

menyatakan bahwa KPI memiliki wewenang untuk menetapkan Standar Program

Siaran (SPS); menyusun peraturan dan menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran

(P3); mengawasi pelaksanaan peraturan dan P3-SPS; serta memberikan sanksi

terhadap pelanggaran peraturan dan P3-SPS. Lebih jelasnya, dalam Pasal 75 ayat

(1) dan (2) Peraturan KPI No. 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran

(SPS) dinyatakan bahwa program siaran yang terbukti secara sah dan meyakinkan

melanggar SPS, dapat dijatuhi sanksi administratif oleh KPI, di antaranya berupa:

teguran tertulis; penghentian sementara mata acara yang bermasalah; pembatasan

durasi dan waktu siaran; denda administratif; atau pembekuan kegiatan siaran

untuk waktu tertentu. Kekuasaan KPI yang kuat itu, jelas dapat berimbas pada

tindakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran yang bertentangan

dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Salah satu wujud pesinggungan kompetensi antara Dewan Pers dan KPI

adalah keputusan KPI untuk melakukan penghentian sementara penyiaran

Headline News Metro TV pukul 05.00 WIB selama tujuh hari berturut-turut, serta

mengharuskan Metro TV menyampaikan permohonan maaf tiga kali sehari

104

selama tujuh hari berturut-turut. Sanksi itu lantaran pada 14 Juni 2010, Metro TV

menayangkan video adegan berbau pornografi tanpa di-blur selama 5 detik, ketika

menyampaikan pemberitaan razia di sebuah warung internet di Trenggalek, Jawa

Timur. Keputusan KPI tersebut dinilai Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)

sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip kemerdekaan pers karena dinilai

sebagai bentuk pelarangan penyiaran yang melanggar Pasal 4 ayat (2) UU No. 40

Tahun 1999 tentang Pers.37 Menanggapi keadaan itu, KPI pun mengeluarkan

Siaran Pers No 05/KPI/07/2010 yang menegaskan bahwa sanksi terhadap Metro

TV, sudah sejalan dengan kewenangannya KPI dalam menegakkan P3-SPS. KPI

pun beralasan bahwa sanksi terhadap Metro TV bukan pelanggaran terhadap

kemerdekaan pers, dengan alasan: pertama, KPI tidak mencabut Izin

Penyelenggaraan Siaran MetroTV. Kedua, KPI tidak menghentikan keseluruhan

program Headline News Metro TV. Headline News adalah program yang

ditayangkan setiap jam, sehingga 23/24 program acara tersebut, tetap berjalan.38

Untuk menggulangi persinggungan yang dapat menjurus pada konflik

kelembagaan, KPI dan Dewan Pers akhirnya membuat Nota Kesepahaman

tentang Penanganan Pelanggaran Isi Siaran Jurnalistik. Tujuannya untuk

mengharmoniskan koordinasi dan kerja sama kedua lembaga dalam

menyelesaikan permasalahan atas dugaan pelanggaran isi siaran jurnalistik

terhadap KEJ, P3-SPS, dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

37 Antara News, 19 Juli 2010, PWI Prihatin Keputusan KPI Atas Metro TV,http://www.antaranews.com/berita/212450/pwi-prihatin-keputusan-kpi-atas-metro-tv, diakses padatanggal 10 September 2017, pukul 20.05 Wita.

38 KPI, 23 Juli 2010, KPI Bukan Ancaman Bagi Kemerdekaan Pers,http://www.kpi.go.id/index.php/id/siaran-pers/2525-kpi-bukan-ancaman-bagi-kemerdekaan-pers?start=9&detail3=1100&detail5=990, diakses pada tanggal 10 September 2017, pukul 20.20Wita.

105

Salah satu kebijakan teknis nota tersbebut adalah pembentukan gugus tugas yang

terdiri dari perwakilan Dewan Pers dan KPI masing-masing tiga orang, yang

tugasnya adalah mengkaji dan menilai pelanggaran isi siaran jurnalistik.

Selain dengan KPI, fungsi Dewan Pers juga bersinggungan dengan

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Titik singgung

antara lembaga ini terletak pada soal perizinan media pers penyiaran. Sebagai

bagian pemerintah yang bertindak selaku regulator, kementerian ini memegang

kuasa atas izin penyelenggaraan usaha di bidang komunikasi dan informasi, yang

mencakup media pers berbasis penyiaran. Fungsi yang dijalankan Kemenkominfo

lebih pada penerbitan izin penyiaran, sedangkan pengawasan aktivitas penyiaran

dilakukan oleh KPI. Pencabutan izin penyiaran, juga menjadi kewenangan

Kemenkominfo, sedangkan KPI sekadar sebagai pemberi rekomendasi kepada

Kemenkominfo atas pencabutan izin. Pasal 8 ayat (3) dan (4) PP 50 Tahun 2005

tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta dengan jelas

menyatakan sanksi pencabutan izin penyiaran karena alasan tidak melakukan

kegiatan siaran lebih tiga bulan berturut-turut, memindahtangankan izin

penyelenggaraan penyiaran, atau melanggar Standar Program Siaran KPI (setelah

adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap),

dilaksanakan atas dasar rekomendasi KPI.

Persinggungan kompetensi juga terjadi antara Dewan Pers dan Komisi

Informasi. Di satu sisi, Dewan Pers adalah pelindung kemerdekaaan pers,

sedangkan di sisi lain, Komisi Informasi adalah fasilitator keterbukaan informasi

dan pengadil atas sengketa informasi publik. Karena itu, bisa terjadi silang

106

pendapat antara kedua lembaga tersebut terkait kualifikasi sebuah informasi,

apakah termasuk informasi publik yang patut diberitakan, atau masuk kategori

informasi yang dikeculikan untuk menyebar di ranah publik. Meski begitu, selama

ini, persinggungan kedua lembaga tersebut lebih bersifat sinergis. Terlebih, secara

kelembagaan, KIP punya kepentingan agar iklim keterbukaan informasi publik,

berlangsung dengan baik, sehingga Dewan Pers menjadi partner yang tepat.

Bahkan, pada 14 Juli 2011, Dewan Pers dan KIP telah menandatangani kerja

sama tentang pelaksanaan keterbukaan informasi publik untuk mendukung

kemerdekaan pers. Keduanya sepakat merumuskan kebijakan yang memudahkan

para jurnalis dalam memperoleh informasi publik untuk kebutuhan berita.39

2. Revitalisasi Dewan Pers dalam Menjaga Kemerdekaan Pers

a. Usul-usul Penguatan Dewan Pers

Dalam rentang waktu sekitar 18 tahun berlakunya UU No. 40 Tahun 1999

tentang Pers, muncul keinginan beberapa pihak untuk melakukan revisi. Salah

satunya adalah wartawan senior Djaffar Assegaf. Ia menilai penyusunan UU No.

40 Tahun 1999 dahulu, dilakukan secara tergesa-gesa saat bangsa dilanda euforia

reformasi. Akibatnya, substansinya mengandung banyak kelemahan dan tidak

mampu lagi menyesuaikan dengan perkembangan pers kekinian yang berbasis

media teknologi, khususnya internet.40 Namun di sisi lain, terdapat juga sejumlah

pihak yang merasa UU No. 40 Tahun 1999 dengan segala muatannya, telah cukup

39 Tempo.co, 14 Juli 2011, Dewan Pers dan KIP Perjuangkan Pers Punya Hak KhususPeroleh Dokumen, https://nasional.tempo.co/read/346618/dewan-pers-dan-kip-perjuangkan-pers-punya-hak-khusus-peroleh-dokumen, diakses pada tanggal 11 September 2017, pukul 17.13 Wita.

40 Hukum Online, 25 September 2012. Menkumham Dukung Revisi UU Pers,http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt506140314dd92/menkumham-dukung-revisi-uu-pers,diakses pada tanggal 14 September 2017, pukul 13.07 Wita.

107

memadai sebagai dasar menegakkan kemerdekaan pers, sehingga tak perlu

diadakan perubahan.

Pemerintah berada di posisi yang menilai perlunya diadakan perubahan.

Dalam rapat pada 20 Februari 2004, Menkominfo Syamsul Muarif dan Komisi I

DPR, sepakat untuk melakukan revisi. Alasan antara lain, soal otoritas Dewan

Pers yang dinilai kurang memadai untuk menjaga kebebasan pers; problem

anggaran karena anggota Dewan Pers tak dipilih DPR; serta adanya penilaian

bahwa Dewan Pers kurang memihak kepada publik.41

Di waktu selanjutnya, saat Sofyan Djalil menjabat Menteri Komunikasi

dan Informasi (Menkominfo), malah sempat tersebar draf RUU revisi UU Pers

usulan pemerintah. Rencana itu, bahkan sudah masuk dalam program legislasi

nasional 2005-2009. Namun draf usul pemerintah, mendapat penolakan dari insan

pers karena dinilai memuat klausul yang rentan mengerangkeng kemerdekaan

pers. Draf RUU itu ditengarai bukan untuk memperkuat peran Dewan Pers dan

organisasi pers, tapi memperkuat peran pengawasan pemerintah terhadap pers.

Indikasinya tampak dengan adanya kewenangan pemerintah untuk menerbitkan

Peraturan Pemerintah terkait pers. Misalnya, Pasal 9 ayat (3) RUU tersebut yang

menyatakan bahwa, “Setiap perusahaan pers wajib memenuhi standar persyaratan

perusahaan pers”. Pada ayat (4) pasal yang sama kemudian dinyatakan bahwa,

“Ketentuan lebih lanjut tentang standar persyaratan perusahaan pers sebagaimana

dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.42

41 Jajang Jamaludin, Op.cit., hlm. 15.42 Dunia Anggara, 22 Juni 2007, Menyoal RUU Perubahan UU No 40 Tahun 1999

tentang Pers, https://anggara.org/2007/06/22/menyoal-ruu-perubahan-uu-no-40-tahun-1999-tentang-pers/, diakses pada tanggal 17 September 2017, pukul 13.20 Wita.

108

Dari hasil kajian Dewan Pers sendiri, RUU perubahan UU No. 40 Tahun

1999 yang diusulkan pemerintah, paling tidak mengandung enam ancaman bagi

kemerdekaan pers, yaitu: (a). Memperbolehkan sensor, beredel, atau pelarangan

penyiaran atas berita dan media yang membahayakan sistem penyelenggaraan

pertahanan dan keamanan nasional; (b). Adanya amanat pengaturan pers dalam

bentuk Peraturan Pemerintah; (c). Menganut politik hukum yang dapat

mengkriminalkan pers dalam pekerjaan jurnalistik; (f). Paradigma konsep revisi

tersebut menempatkan kemerdekaan pers hanya untuk mendukung pembangunan;

(e). Dewan Pers menentukan sendiri sejumlah regulasi pers tanpa menyertakan

komunitas pers; (d). Membolehkan gugatan hukum kepada pers, tanpa perlu

mediasi melalui Dewan Pers.43

Dalam setiap usul perubahan terhadap UU No. 40 Tahun 1999, persoalan

Dewan Pers, memang selalu menjadi bahan perbincangan. Salah satunya adalah

soal tata cara pemilihan anggotanya. Sejumlah pemikiran baru menghendaki

seperti KPI dan KIP, yaitu anggota Dewan Pers dipilih oleh DPR. Namun

komunitas pers berpendapat sistem keanggotaan yang diatur UU No. 4 Tahun

1999 sudah tepat sebagai cara menjaga independensi Dewan Pers. Pemilihan

melalui DPR akan membuka peluang masuknya unsur-unsur pertimbangan dan

kepentingan politik dalam tubuh Dewan Pers.44

Menanggapi usul-usul yang berkembang, terutama usul dari pemerintah,

pada tahun 2009, AJI pun melansir hasil kajian berisi usul perubahan atas UU No.

43 Naungan Harahap, Melindungi Kemerdekaan Pers, Jurnal Dewan Pers (AncamanPerundang-undangan terhadap Kemerdekaan Pers), Edisi No. 8, Desember 2013, Dewan Pers,Jakarta, hlm. 42-43.

44 Bagir Manan, 2012, Politik Publik Pers, Op.cit., hlm. 12.

109

40 Tahun 1999. Berkas usulan yang terdiri dari Ide Revisi UU Pers, Naskah

Akademik RUU Pers, dan Draf RUU Pers itu, termuat dalam seberkas buku

berjudul Hasil Kajian & Usulan AJI Soal Undang-Undang Pers. Dalam usulannya,

AJI menilai keanggotaan Dewan Pers, sudah tepat jika menjadi urusan organisasi

pers, tanpa campur tangan lembaga negara lain. Meski begitu, AJI melihat perlu

keseimbangan unsur organisasi pers dan unsur masyarakat, sejalan dengan

fungsinya sebagai pelindung kemerdekaan pers dan penjaga kepentingan publik.

Untuk itu, AJI mengusulkan agar anggota Dewan Pers ditetapkan sebanyak 11

orang, yang terdiri dari 3 orang yang mewakili organisasi jurnalis, 3 orang yang

mewakili organisasi korporasi pers, dan 5 orang dari unsur masyarakat ahli yang

diusulkan oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Terkait

dengan tata cara pemilihannya, AJI mengusulkan agar Dewan Pers membentuk

panitia seleksi yang terdiri atas 7 orang, yaitu 2 orang berasal dari unsur

masyarakat, 2 orang berasal dari unsur organisasi wartawan, 3 orang berasal dari

unsur organisasi perusahaan pers. Panitia seleksilah yang kemudian memilih calon

anggota yang diusulkan oleh organisasi pers. Calon anggota yang lolos seleksi

kemudian ditetapkan dan diangkat oleh presiden sebagai anggota Dewan Pers.45

Soal kedudukan, AJI menilai Dewan Pers masih kurang jelas, apakah

sebagai lembaga internal masyarakat pers yang menetapkan dan mengawasi kode

etik (self regulatory body) atau lembaga yang memiliki kuasa untuk melakukan

pengaturan secara mandiri (regulatory body).46 Selain itu, fungsi dan kewenangan

Dewan Pers, juga dinilai sangat minimalis. Dewan Pers lebih ditekankan sebagai

45 Jajang Jamaludin (Ed.), Op.cit., hlm. 80 & 82.46 Ibid., hlm. 29-30.

110

humas dan lembaga fasilitasi pers, termasuk penjaga etika, ketimbang lembaga

yang menjadi pembela dan pengawas kemerdekaan pers yang memiliki

kewenangan penegakan hukum pers atau semi yudisial. Kondisi tersebut memicu

berbagai persoalan mendasar dalam penegakan hukum pers.47

Berangkat dari masalah di atas, AJI mengusulkan agar Dewan Pers

dijadikan institusi tunggal untuk melakukan pelaksanaan dan penegakan hukum

pers. Untuk sekarang, memang undang-undang telah memberikan fungsi kepada

Dewan Pers untuk menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik,

serta memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian sengketa pers

melalui mediasi. Namun karena minimnya kewenangan Dewan Pers di bidang

eksekusi pengaduan dan lemahnya kekuasaan memaksa terhadap pers maupun

terhadap nonpers, mengakibatkan peran tersebut tidak maksimal.48 Atas kondisi

tersebut, AJI mengusulkan agar Dewan Pers independen, diberi kuasa semi

yudisial, termasuk menjatuhkan sanksi. Selain itu, AJI juga mengusulkan agar

Dewan Pers diberikan kewenangan untuk membuat peraturan terkait tugas dan

tanggung jawabnya.

Secara lengkap, pada Pasal 24 draf RUU Pers usulan AJI, dinyatakan:”49

Dalam mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupanpers nasional Dewan Pers berwenang:

a. Menerima laporan, memeriksa dan memutuskan pelanggaranjurnalistik;

b. Memberikan sanksi dalam hal terjadi pelanggaran jurnalistik;c. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;d. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;e. Memfasilitasi pembuatan Kode Perilaku Jurnalistik

47 Ibid., hlm. 31.48 Ibid., hlm. 36.49 Ibid., hlm. 79.

111

f. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;g. Menetapkan standar kompetensi jurnalis dan standar kompetensi

organisasi jurnalis;h. Menetapkan standar produk jurnalistik;i. Memantau adanya indikasi penyeragaman informasi produk jurnalistik;j. Menetapkan standar pendirian korporasi pers;k. Memfasilitasi organisasi-organisasi jurnalistik dalam menyusun

peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesijurnalistik;

l. mendata korporasi pers;m. Membuat laporan secara berkala kepada publik paling sedikit sekali

dalam 1 (satu) tahun;n. Melakukan upaya perdamaian bagi pihak-pihak yang bersengketa

dalam hal terjadinya sengketa pemberitaan;o. Melakukan penyelesaian sengketa pemberitaan melalui mediasi, cara

penilaian ahli, dan konsiliasi;p. Memberikan rekomendasi kepada para pihak untuk menyelesaikan

pelanggaran jurnalistik ke pengadilan, dalam hal terjadi pelangaranjurnalistik yang bersifat melawan hukum;

q. Membuat peraturan-peraturan terkait dengan tugas dantanggungjawabnya.

Dalam RUU usulan AJI tersebut, memang terdapat perubahan

nomenklatur dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. AJI tidak

menggunakan kata “fungsi”, “tugas”, atau “peran” untuk mewakili makna

kekuasaan Dewan Pers, tapi lebih memilih kata “berwenang”. Namun secara

konsep, bisa dipahami bahwa AJI memang menghendaki penguatan Dewan Pers

agar mampu proaktif untuk menyelesaikan persoalan di bidang pers.

b. Reformulasi Kelembagaan Dewan Pers dalam MelindungiKemerdekaan Pers

Kelembagaan Dewan Pers yang bebas dari campur tangan pemerintah,

menjadi keunikan tersendiri dibanding dengan lembaga negara lainnya. Jika

lazimnya lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang mendapat

pengaruh dari Presiden dan DPR, khususnya soal pemilihan anggota, hal itu tidak

112

berlaku bagi Dewan Pers. Persoalan keanggotaan Dewan Pers menjadi urusan

organisasi pers. Format ini mengindikasikan kokohnya independensi Dewan Pers.

Kedudukan Dewan Pers yang independen, menimbulkan harapan besar

dari para insan pers akan kemerdekaan pers yang benar-benar terlindungi. Di sisi

lain, kehadiran Dewan Pers, juga manjadi harapan masyarakat, khususnya dalam

pemenuhan hak atas informasi melalui media pers. Dengan demikian, Dewan Pers

mengamban tugas dari kepentingan yang berbeda, yaitu melindungi kemerdekaan

pers, sekaligus menjamin terlaksananya fungsi pers untuk kepentingan publik.

Demi menjamin pemenuhan kemerdekaan pers dan kepentingan publik

atas pers secara adil, maka kedua pemangku kepentingan tersebut, seharusnya

dilibatkan secara seimbang dalam tubuh Dewan Pers. Pada titik ini, saran agar

keterwakilan unsur masyarakat ditambah dalam keanggotaan Dewan Pers,

menjadi sangat relevan. Paling tidak, keterwakilan masyarakat tidak terlalu

senjang dengan unsur organisasi pers yang berasal dari organisasi wartawan dan

organisasi perusahaan pers. Hal itu penting agar aspirasi masyarakat terkait pers,

terakomodasi secara baik. Masyarakat punya rasa memiliki terhadap Dewan Pers

atas keterwakilannya, sehingga menjadi lebih proaktif dalam melakukan kritik

yang membangun bagi kehidupan pers. Format semacam ini akan lebih jitu untuk

mewujudkan Dewan Pers yang tidak sekadar melindungi kemerdekaan pers, tapi

sekaligus menjamin hak publik atas informasi. Jika demikian, stigma negatif

bahwa Dewan Pers hanya menjadi tameng perusahaan pers untuk

menyembunyikan kebobrokannya dari pantauan masyarakat, dapat dilenyapkan.

113

Sebagai jaminan bahwa anggota Dewan Pers yang terpilih benar-benar

mewakili kepentingan kemerdekaan pers dan kepentingan masyarakat, maka

desain pemilihan anggotanya, juga harus diformulasi ulang. Mekanisme pemilihan

sebisa mungkin tidak mengesankan dominasi kepentingan organisasi pers. Dalam

hal ini, pelibatan unsur masyarakat dalam pemilihan anggota, perlu dilakukan.

Formatnya bisa dilakukan sebagaimana usul AJI, yaitu Dewan Pers membentuk

panitia seleksi yang terdiri atas unsur masyarakat, unsur organisasi wartawan, dan

unsur organisasi perusahaan pers. Panitia seleksi tersebut, kemudian memilih

calon yang diusulkan untuk kemudian ditetapkan sebagai anggota Dewan Pers

oleh presiden.

Soal pengusul calon anggota dari unsur masyarakat, juga perlu ditinjau

ulang untuk menjamin keterwakilan masyarakat. Terkait itu, AJI menawarkan

konsep bahwa calon anggota diusulkan oleh organisasi wartawan dan organisasi

perusahaan pers, termasuk calon anggota dari unsur masyarakat. Namun dengan

konsep tersebut, kesan bahwa anggota dari unsur masyarakat hanya titipan

organisasi pers, sulit dilenyapkan. Untuk itu, alternatif lain berupa pengusulan

langsung oleh pihak masyarakat, patut layak dipertimbangkan. Salah satu cara

yang patut menjadi pilihan adalah memberikan kuasa pengusulan unsur

masyarakat kepada organisasi pemantau media (media watch)50 yang selama ini

memang sengaja dibentuk untuk menjembatani peran serta masyarakat dalam

50 Organisasi pemantau media, diakui dalam UU No. 40 Tahun 1999. Ketetuan besertapenjelasan Pasal 17 UU tersebut menyatakan bahwa peran masyarakat dalam memantau kinerjapers, bisa melalui organisasi pemantau media. Setidaknya, ada 5 organisasi pemantau yang terdatadi situs resmi Dewan Pers, yaitu Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), KajianInformasi Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS), Lembaga Studi Pers dan Informasi(LeSPI), Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), dan Media Watch The Habibie Center.

114

mengawal kehidupan pers. Pihak organisasi pemantau medialah yang kemudian

mengusulkan unsur masyarakat kepada panitia seleksi bentukan Dewan Pers

Akhirnya, dengan keterwakilan unsur masyarakat secara baik, maka

potensi penyalahgunaan kemerdekaan pers yang dilakukan oleh pihak perusahaan

pers atas nama kepentingan ekonomi dan politik, dapat ditangkal. Masyarakat

dengan keterwakilannya, akan berperan aktif dalam memantau dan mengkritisi

kinerja pers. Dengan demikian, keterwakilan masyarakat dalam tubuh Dewan

Pers, tidak saja untuk menjamin terjaganya kepentingan publik atas pers, tetapi

juga menjamin bahwa kemerdekaan pers tidak disalahgunakan para pemilik

perusahaan pers, sembari berlindung di belakang Dewan Pers.

c. Penguatan Fungsi dan Kewenangan Dewan Pers dalam MelindungiKemerdekaan Pers

Status independen memperkokoh kedudukan Dewan Pers sebagai satu-

satunya lembaga yang diberikan kekuasaan untuk mengawal kehidupan pers

secara langsung. Demi menangkal intevensi pihak luar terhadap pers, maka

segenap fungsi Dewan Pers, telah menyediakan mekanisme sehingga

permasalahan pers hanya perlu diselesaikan melalui Dewan Pers. Fungsi Dewan

Pers untuk menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik,

memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian sengketa pers, serta

memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers, jelas

bertujuan agar persoalan pers tidak keluar dari ranah Dewan Pers.

Dalam perkembangan pers kekinian, sejumlah kasus menunjukkan bahwa

serangkaian fungsi Dewan Pers, tidak mampu lagi menjadi instrumen untuk

115

melindungi kemerdekaan pers dan kepentingan publik atas pers. Salah satu

tantangan bagi pers saat ini adalah kapitalisasi dan politisasi media pers, yang

rentan bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers. Pada kondisi itu, Dewan

Pers seakan tidak memiliki daya apa-apa. Pasalnya, kapitalisasi dan politisasi

media pers sering kali merupakan kebijakan perusahaan pers. Pemimpin, pemilik,

maupun para penyokong modal perusahaan pers, menjadikan media pers sekadar

sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan politik.

Tantangan dari perusahaan pers, akhirnya membuat Dewan Pers berada

pada posisi yang dilematis. Ia memikul tanggung jawab untuk melindungi

kemerdekaan pers, tetapi pelanggarnya adalah pihak dari internal kelembagaan

pers sendiri. Mereka mengintevensi aktivitas jurnalistik di ruang redaksi yang

seharusnya steril dari campur tangan pihak mana pun, termasuk pemilik

perusahaan pers. Posisi Dewan Pers pun semakin dilematis mengingat

kelembagaannya selama ini, terutama persoalan keanggotaannya, melibatkan

unsur perusahaan pers, baik dalam proses pemilihan, maupun unsur anggota yang

duduk sebagai anggota Dewan Pers. Keadaan tersebut membuat Dewan Pers

menjadi semakin tak berdaya di hadapan pemilik perusahaan pers yang terus

memperalat media.

Kenyataan kekinian sebagaimana digambarkan di atas, jelas membutuhkan

langkah-langkah jitu. Selain restrukturisasi kelembagaan Dewan Pers, juga

diperlukan penguatan terhadap fungsi dan kewenangan Dewan Pers. Salah satu

yang patut dipertimbangkan dalam upaya menguatkan Dewan Pers adalah usul

perubahan yang ditawarkan oleh AJI. Dalam usul tersebut, Dewan Pers tidak lagi

116

sekadar didudukkan sebagai administrator atau pendata organisasi pers dan

wartawan, fasilitator organisasi pers dalam perumusan aturan, penjaga etik, dan

juga mediator sengketa pers. Di luar itu, AJI mengusulkan penguatan kewenangan

Dewan, yaitu menjadi sebuah lembaga quasi yudisial. Bentuk nyatanya adalah

memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk menerima laporan,

memeriksa dan memutuskan pelanggaran jurnalistik, juga memberikan sanksi

dalam hal terjadi pelanggaran jurnalistik.51 Usul ini jelas patut dipertimbangkan

demi mewujudkan kemerdekaan pers di ranah perusahaan pers. Terlebih lagi,

selama ini Dewan Pers memang tidak memiliki kekuasaan menyelesaikan

pelanggaran jurnalistik secara mandiri. Di antaranya bahwa Dewan Pers hanya

melakukan menilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik oleh wartawan,

sedangkan penjatuhan sanksinya, diberikan oleh perusahaan pers atau organisasi

wartawan. Bahkan pelanggaran prinsip jurnalistik dan kemerdekaan pers oleh

pihak perusahaan pers sendiri, sama sekali tidak memiliki mekanisme penindakan,

apalagi pengenaan sanksi.

Usul lain dari AJI yang patut dipertimbangkan adalah penegasan bahwa

Dewan Pers berwenang untuk membuat peraturan terkait dengan tugas dan

tanggungjawabnya. Penegasan semacam ini akan semakin menguatkan posisi

peraturan Dewan Pers di kalangan insan pers. Dewan Pers diharapkan bisa

mengeluarkan peraturan secara mendiri perihal pers yang memiliki daya mengikat

dan memaksa, termasuk kepada pihak perusahaan pers. Kewenangan membuat

peraturan itu akan semakin berdampak jika dikaitkan dengan kewenangan untuk

51 Jajang Jamaludin (Ed.), Op.cit., hlm. 79.

117

memutus dan memberi sanksi atas pelanggaran jurnalistik. Jika demikian, maka

penegakan peraturan Dewan Pers, tidak lagi ditumpukan pada kesadaran dan

kemauan dari para insan pers. Secara mandiri, Dewan Pers dapat membuat

peraturan terkait sistem kerja di dalam satu perusahaan pers secara menyeluruh,

juga menerapkan sanksi tertentu atas setiap pelanggar kemerdekaan pers,

termasuk kepada pemilik perusahaan pers.

Di luar dari usul penguatan fungsi dan kewenangan Dewan Pers, memang

terdapat ketakutan sejumlah pihak bahwa Dewan Pers dengan kekuasaan yang

mumpuni, akan jadi serupa Departeman Penerangan di zaman Orde Baru. Bahkan

Dewan Pers dikhawatirkan akan menjadi saluran pemerintah untuk kembali

mengekang kemerdekaan pers. Namun ketakutan tersebut, seharusnya tidak

menutup kenyataan akan pentingnya penguatan Dewan Pers. Hal itu mengingat

tantangan pers masa kini, sudah berbeda. Realitasnya, pers yang terlepas dari

belenggu eksternal, terutama dari pemerintah, malah tak bisa melepaskan diri dari

belenggu internal, yaitu dari pihak pemilik dan pemodal perusahaan pers. Pada

kondisi inilah, dibutuhkan Dewan Pers yang lebih bertaji. Untuk menjamin bahwa

Dewan Pers tidak akan berubah jadi tirani baru, maka penangkalannya harus

dengan penguatan kelembagaan. Artinya, selama kelembagaan Dewan Pers

dimantapkan, dalam hal ini soal pemilihan anggota dan pembentukan struktur

Dewan Pers menjadi wilayah organisasi pers beserta masyarakat, maka

seharusnya tidak perlu ada ketakutan berlebih bahwa Dewan Pers akan

menyalahgunakan fungsi dan kewenangannya, hingga mengingkari prinsip

kemerdekaan pers dan mengabaikan fungsi publik pers.

118

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Merujuk pada persoalan yang diuraikan pada bagian pembahasan, dapat

disimpulan beberapa hal sebagai hasil pokok dari penelitian ini, yaitu:

1. Saat berlakunya UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Ketentuan

Pokok Pers beserta perubahannya, Dewan Pers hanya didudukkan sebagai

lembaga pendamping pemerintah dalam mengurusi persoalan pers. Namun

setelah undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku dan diganti

dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Dewan Pers menjadi sebuah

lembaga yang independen. Kedudukannya yang independen, membuat

lembaga ini lepas dari campur tangan pemerintah secara struktural. Dewan

Pers menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai legalitas untuk

bersentuhan langsung dengan aktivitas pers dalam batas-batas tertentu.

Tugas utamanya adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan

pihak mana pun.

2. Perkembangan kekinian menunjukkan bahwa Dewan Pers tidak mampu

lagi menangkal pelanggaran atas prinsip kemerdekaan pers, utamanya

yang berasal dari internal kelembagaan pers sendiri, yaitu tindak

kapitalisasi dan politisasi media pers yang dilakukan oleh pemilik

perusahaan pers. Hal itu karena fungsi Dewan Pers dalam UU No. 40

Tahun 1999 tentang Pers tak lebih dari sebatas fasilitator serta

119

administrator organisasi pers dan wartawan, penjaga nilai etik, juga

mediator sengketa pers. Kondisi ini diperburuk oleh kenyataan bahwa

Dewan Pers tidak diberi kewenangan, terutama kewenangan untuk

membuat peraturan secara mandiri yang sifatnya mengikat organisasi dan

insan pers, serta memberikan sanksi kepada pihak yang melanggar prinsip

kemerdekaan pers. Keberadaan Dewan Pers semakin tak berdaya

mengingat organisasi pers, khususnya organisasi perusahaan pers,

merupakan unsur yang sangat berpengaruh terhadap kelembagaan Dewan

Pers, terutama dalam soal keanggotaannya. Akhirnya, Dewan Pers

diposisinya sekadar sebagai pelindung organisasi pers, bukan untuk

menjamin terwujudnya fungsi publik pers.

3. Dalam melindungi kemerdekaan pers, utamanya dari pihak internal

perusahaan pers sendiri, maka penguatan kedudukan Dewan Pers perlu

dilakukan, di antaranya melalui reformulasi kelembagaan, khususnya soal

keanggotaan. Perihal keanggotaan Dewan Pers yang unik dibanding

lembaga negara lain, yaitu dengan tidak melibatkan campur tangan DPR

maupun presiden, memang patut dipertahankan. Namun di sisi lain,

perbaikan tetap perlu dilakukan. Jika jumlah anggota Dewan Pers saat ini

didominasi unsur organisasi pers, maka ke depan, hal itu perlu diimbangi

dengan penambahan jumlah unsur masyarakat. Pemilihan anggota dari

unsur masyarakat, juga sebaiknya diserahkan langsung kepada komponen

masyarakat, misalnya melalui organisasi pemantau media yang terdaftar di

Dewan Pers.

120

4. Desain kelembagaan Dewan Pers yang menjadi domain organisasi pers

dan masyarakat ke depan, akan menjamin posisi Dewan Pers dalam

melaksanakan fungsi sebagai perlindungan kemerdekaan pers, sekaligus

perlindungan kepentingan publik atas pers. Perbaikan format kelembagaan

Dewan Pers, selanjutnya perlu dibarengi dengan memberikan fungsi dan

kewenangan yang memadai. Dewan Pers perlu diberikan kewenangan

quasi yudisial, yaitu untuk memeriksa, memutuskan, dan memberikan

sanksi atas pelanggaran di ranah pers. Kewenangan itu kemudian harus

disokong dengan kewenangan membentuk peraturan terkait tugas dan

tanggung jawabnya secara mandiri, yang mengikat bagi organisasi dan

insan pers. Dengan begitu, Dewan Pers akan bisa membuat peraturan,

misalnya soal struktur dan tata kerja sebuah perusahaan pers pers, demi

menjamin terwujudnya kemerdekaan pers untuk kepentingan publik.

B. Saran

Dari kesimpulan yang ada, dapat direkomendasikan beberapa saran atau

rekomendasi untuk perbaikan Dewan Pers ke depan, yaitu sebagai berikut:

1. Atas maraknya aksi kapitalisasi dan politisasi media pers oleh pemilik

perusahaan pers sebagai bentuk pelanggaran atas kemerdekaan pers, maka

kajian terkait penataan kehidupan pers, perlu dilakukan. Semua pihak

harus berperan dalam upaya mendudukkan pers pada posisinya yang sejati,

yaitu sebagai sarana bagi kultur demokrasi. Pers harus dihadirkan untuk

121

kepentingan masyarakat secara umum, bukan untuk kepentingan kelompok

tertentu.

2. Pada posisi ini, kajian akademik yang berangkat pada masalah

independensi pers, perlu dilakukan. Fokus kajian harus ditujukan untuk

menemukan solusi jitu bagi upaya menegakkan kemerdekaan pers. Yang

diharapkan adalah munculnya kesadaran, keresahan, dan kepedulian

bersama akan urgensi pembenahan kelembagaan pers, salah satu melalui

penguatan Dewan Pers. Kedudukan, fungsi, dan kewenagan lembaga ini,

perlu dikuatkan agar lebih berdaya dalam melindungi kemerdekaan pers.

3. Pembenahan kehidupan pers secara menyeluruh, hanya bisa diwujudkan

dengan merevisi UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Langkah ini perlu

dilakukan seiring dengan tantangan baru dunia pers, juga untuk

menyelaraskan semangat baru perlindungan pers pascaamandemen

konstitusi, yaitu lahirnya Pasal 28F UUD Tahun 1945 pada amandemen

kedua tahun 2000, yang lebih akomodatif bagi pers. Salah satu poin

perbaikan yang penting adalah merevitalisasi kedudukan serta memperkuat

fungsi dan kewenangan Dewan Pers.

4. Dewan Pers harus diformat ulang dan diberdayakan agar mampu

melindungi kemerdekaan pers demi kepentingan masyarakat, terutama

menangkal penyalahgunaan media pers untuk kepentingan pemilik

perusahaan pers semata. Penguatan Dewan Pers tersebut, tidak hanya

untuk mengokohkan kemerdekaan pers, tetapi juga demi menjamin

terwujudnya fungsi publik pers.

122

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anett Keller. 2009. Tantangan Dari Dalam: Otonomi Redaksi di 4 Media CetakNasional: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika. Cetakan I.Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia Office: Jakarta.

Armansyah. 2015. Pengantar Hukum Pers. Cetakan I. Gramata Publishing:Bekasi.

Asep Syamsul M. Ramli. 2009. Jurnalisme Praktis: Untuk Pemula. Cetakan VIII.PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.

Bagir Manan. 2012. Politik Publik Pers. Cetakan I. Dewan Pers: Jakarta.

______2016. Pers, Hukum dan Hak Asasi Manusia. Cetakan I. Dewan Pers:Jakarta.

Bahder Johan Nasution. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Cetakan I. CV.Mandar Maju: Bandung

Edy Susanto, dkk. 2014. Hukum Pers di Indonesia. Cetakan I. PT. Rineka Cipta:Jakarta.

Firmansyah Arifin, dkk. 2005. Lembaga Negara dan Sengketa KewenanganAntarlembaga Negara. Cetakan I. Konsorsium Reformasi HukumNasional (KRHN): Jakarta.

Henry Subiakto dan Rachmah Ida. 2015. Komunikasi Politik, Media, danDemokrasi. Cetakan III. Kencana Prenadamedia Group: Jakarta.

Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat. 2012. Jurnalistik: Teoridan Praktik, Cetakan Kelima. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.

Irman Syahriar. 2015. Hukum Pers: Telaah Teoritis atas Kepastian Hukum dankemerdekaan Pers di Indonesia. Cetakan I. LaksBang PRESSindo:Yogyakarta.

Jajang Jamaludin (Ed.), 2009, Menguji Ide Revisi UU Pers; Hasil Kajian &Usulan AJI Soal Undang Undang Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI)Indonesia: Jakarta Pusat.

J.C.T. Simorangkir. 1986. Pers, SIUPP, dan Wartawan. Cetakan I. GunungAgung: Jakarta.

Jimly Asshiddiqie. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata negara Jilid II. SekretariatJenderal dan Kepeniteraan Mahkamah Konstitusi RI: Jakarta.

______2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,Cetakan II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah KonstitusiRI: Jakarta.

123

Moh. Mahfud MD. 2010. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. CetakanII. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.

Ni’matul Huda. 2014. Hukum Tata Negara Indonesia (Edisi Revisi). Cetakan IX.Rajawali Pers: Jakarta.

Nurudin. 2014. Sistem Komunikasi Indonesia. Cetakan II. Rajawali Pers: Jakarta.

Pratono, dkk.. 2014. Potret Intervensi di Bilik Redaksi. Aliansi JurnalisIndependen (AJI): Semarang.

Samsul Wahidin. 2011. Hukum Pers. Cetakan II. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif; SuatuTinjauan Singkat. Cetakan XIII. Rajawali Pers: Jakarta.

Sudirman Tebba. 2007. Hukum Media Massa Nasional. Cetakan I. Pustaka IrVan:Banten.

S. Bayu Wahyono, dkk.. 2011. Ironi Eksistensi Regulator Media di EraDemokrasi, Cetakan I, Pemantau Regulasi dan Regulator Media(PR2Media) bekerja sama dengan Yayasan Tifa: Yogyakarta.

Titik Triwulan Tutik. 2011. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia PascaAmandemen UUD 1945. Kencana: Jakarta.

Zainal Arifin Mochtar. 2016. Lembaga Negara Independen: DinamikaPerkembangan dan urgensi Penataannya Kembali Pasca-AmandemenKonstitusi. Cetakan I. Rajawali Pers: Jakarta.

Jurnal, Laporan Penelitian, Tesis, dan Makalah

Amir Effendi Siregar, dkk.. Menakar Independensi dan Netralitas Jurnalisme danMedia di Indonesia, Jurnal Dewan Pers (Mengungkap IndependensiMedia), Edisi No. 9, Juni 2014, Dewan Pers, Jakarta.

Bagir Manan. Kemerdekaan Pers dalam Perspektif Pertanggungjawaban Hukum,Jurnal Dewan Pers (Ancaman Perundang-undangan terhadapKemerdekaan Pers), Edisi No. 8, Desember 2013, Dewan Pers, Jakarta.

Ernawati Munir. 2005. Laporan Akhir Pengkajian Hukum tentang HubunganLembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945. Departemen Hukum danHak Asasi Manusia-Badan Pembinaan Hukum Nasional: Jakarta.

Evy Trisulo. 2012. Konfigurasi State Auxiliary Bodies dalam SistemPemerintahan Indonesia. Tesis. Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Jimly Asshiddiqie. 2003. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah PerubahanKeempat UUD Tahun 1945. Makalah. Disampaikan pada SeminarPembangunan Hukum nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum EraPembangunan Berkelanjutan, yang diselengarakan oleh Badan PembinaanHukum Nasional, Departeman kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.

124

Masduki, dkk. (Tim Peneliti dari Masyarakat Peduli Media). Analisis terhadapKecenderungan Pemberitaan 4 Grup Media Nasional di Indonesia, JurnalDewan Pers (Mengungkap Independensi Media), Edisi No. 9, Juni 2014,Jakarta, Dewan Pers.

Naungan Harahap, Melindungi Kemerdekaan Pers, Jurnal Dewan Pers (AncamanPerundang-undangan terhadap Kemerdekaan Pers), Edisi No. 8, Desember2013, Dewan Pers, Jakarta.

Noor M. Aziz, dkk. 2010. Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang EksistensiPeraturan Perundang-Undangan di Luar Hierarki Berdasarkan UUNo.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum NasionalBadan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI.

Winarta Adisubrata. Dari Persbreidel Ordonantie Tahun 1931 HinggaKemerdekaan Pers dalam Era Reformasi, Jurnal Dewan Pers (AncamanPerundang-undangan terhadap Kemerdekaan Pers), Edisi No. 8, Desember2013, Dewan Pers, Jakarta.

Media Daring

Antara News. 19 Juli 2010. PWI Prihatin Keputusan KPI Atas Metro TV,http://www.antaranews.com/berita/212450/pwi-prihatin-keputusan-kpi-atas-metro-tv, diakses pada tanggal 10 September 2017, pukul 20.05 Wita.

Dunia Anggara. 22 Juni 2017. Menyoal RUU Perubahan UU No 40 Tahun 1999tentang Pers, https://anggara.org/2007/06/22/menyoal-ruu-perubahan-uu-no-40-tahun-1999-tentang-pers/, diakses pada tanggal 17 September 2017,pukul 13.20 Wita.

Komisi Penyiaran Indonesia. 10 Juni 2014. Pemberitaan Tidak Netral, KPI PusatTegur Metro TV dan TV One, https://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32106-pemberitaan-tidak-netral-kpi-pusat-tegur-metro-tv-dan-tv-one, diakses pada 19 Januari 2017 pukul 14.22 Wita.

______23 Juli 2010. KPI Bukan Ancaman Bagi Kemerdekaan Pers,http://www.kpi.go.id/index.php/id/siaran-pers/2525-kpi-bukan-ancaman-bagi-kemerdekaan-pers?start=9&detail3=1100&detail5=990, diakses padatanggal 10 September 2017, pukul 20.20 Wita.

Dewan Pers. 7 Mei 2013. Muhammad Ridlo Eisy (opini). Jurnalisme Partisan,http://dewanpers.or.id/opini/detail/74/jurnalisme-partisan, diakses padatanggal 16 November 2016 pukul 15.45 Wita.

______28 Februari 2014. Surat Edaran Dewan Pers tentang IndependensiWartawan dan Pemuatan Iklan Politik di Media Massa,http://www.dewanpers.or.id/pernyataan/detail/151/surat-edaran-dewan-pers-tentang-independensi-wartawan-dan-pemuatan-iklan-politik-di-media-massa, diakses pada 20 Januari 2017 pukul 15.15 Wita.

125

______Pers. 23 November 2009. Empat Organisasi Perusahaan Pers PenuhiStandar, http://dewanpers.or.id/berita/detail/341/empat-organisasi-perusahaan-pers-penuhi-standar, diakses pada tanggal 2 Juni 2017, pukul10.09 Wita.

Hukum Online. 25 September 2012. Menkumham Dukung Revisi UU Pers,http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt506140314dd92/menkumham-dukung-revisi-uu-pers, diakses pada tanggal 14 September 2017, pukul13.07 Wita.

Rappler. 27 April 2017. Indeks Kebebasan Pers Sedunia: Kerisauan Indonesiadalam Peringkat yang Lebih Baik,https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/168134-indeks-kebebasan-pers-sedunia-indonesia-2017, diakses pada tanggal 22September 2017, pukul 16.05 Wita.

Tempo.co. 14 Juli 2011. Dewan Pers dan KIP Perjuangkan Pers Punya HakKhusus Peroleh Dokumen, https://nasional.tempo.co/read/346618/dewan-pers-dan-kip-perjuangkan-pers-punya-hak-khusus-peroleh-dokumen,diakses pada tanggal 11 September 2017, pukul 17.13 Wita.

Tirto.id. 12 Agustus, 2017. Independensi dan Kemerdekaan Pers di HUT RI Ke-72, https://tirto.id/independensi-dan-kemerdekaan-pers-di-hut-ri-ke-72-cupR, diakses pada tanggal 22 September 2017, pukul 20.29 Wita.

Wikipedia. Wartawan. https://id.wikipedia.org/wiki/Wartawan, diakses pada 14Oktober 2016 pukul 15.00 Wita.