116

Download Download PDF - Jurnal Penelitian Pers dan

Embed Size (px)

Citation preview

Jurnal Penelitian Pers ISSN: 1410-8283

Dan Komunikasi Pembangunan

Vol. 19 No.3, Februari 2016

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan adalah publikasi hasil penelitian atau kajian fenomena informasi, media massa,

komunikasi pembangunan, baik komunikasi politik maupun komunikasi publik serta teknologi komunikasi dan informatika.Jurnal ini

diterbitkan tiga kali dalam setahun pada bulan Februari, Juni, dan Oktober oleh Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi

dan Informatika (BPPKI Banjarmasin), Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Journal of Press Research and Development Communication is a scientific publication reporting research or study from phenomena

of information, mass media, development communication, politic communication as well as public communication and informatics

and communication technology. The journal is published three times per years, in February, June, and October by Informatics and

Communication Technology Assessment and Development Institute of Banjarmasin, Research and Human Resource Development Agency, Ministry of Communication and Informatics of Indonesia

Pelindung (Condescendent) : Laila, S.H., M.Med.Kom (Kepala BPPKI Banjarmasin)

Dewan Redaksi (Editor Board)

Penanggung Jawab (Editor in Chief) : Drs. A. Mishbahruddin. (Peneliti Madya Komunikasi Politik)

Anggota (Members) : 1. Dra. Hartiningsih, M.I.Kom. (Peneliti Utama Media Massa)

2. Hendrawati, S.H, (Peneliti Utama Bidang Komunikasi)

3. Siti Jamzaroh, S.S., M.Hum (Peneliti Muda Balai Bahasa Kalimantan Selatan)

4. Sri Astuty, S.Sos., M.Si (Komunikasi Universitas Lambung Mangkurat)

Mitra Bestari (Peer Reviewer) : 1. Prof. (Riset). Drs. Rusdi Muchtar, M.A,

(Komunikasi/Opini Publik, Universitas Islam Kalimantan)

2. Prof. Dr. Henri Subiakto, S.H., M.A

(Komunikasi dan Media Massa, Universitas Airlangga)

3. Dr. Muhammad Farid, M.Si

(Komunikasi Organisasi, Universitas Hasanuddin)

4. Fathul Wahid, M.Sc., Ph.D

(eGovernment, ICT4D, Enterprise System, Universitas Islam Indonesia)

5. Juhriyansyah Dalle, S,Pd., S.Si., M.Kom., Ph.D.

(Teknologi Komunikasi dan Informatika, Universitas Lambung Mangkurat)

6. Muliadi Mau, S.Sos., M.Si

(Komunikasi dan Media Massa, Universitas Hasanuddin)

7. Dr., Drs. Widodo Agus Setianto, M.Si

(Komunikasi Budaya, Universitas Gajah Mada)

8. Fahriannoor, S.IP., M.Si.

(Komunikasi, Universitas Lambung Mangkurat)

Redaksi Pelaksana (Managing Editor) : 1. Agus Budiman, S.Kom

2. Syarifuddin, M.A

3. Siti Alfa Ariestya, S.S

4. Firda Zulivia Abraham, S.Kom.

5. Hilarion Hamjen, S.T

Diterbitkan Oleh (Published By):

BPPKI Banjarmasin (Informatics and Communication Technology Assessment and Development Institute of Banjarmasin)

Badan Penelitian dan Sumber Daya Manusia (Research and Human Resource Development Agency)

Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia (Ministry of Communication and Informatics of Indonesia)

Alamat (address) : Jalan Yos Sudarso No.29 Banjarmasin, Kalimantan Selatan 70119, Indonesia

Telepon (telephone) : +62-511-3353849

Fax (Facsimile) : +62-511-3353849

Email : [email protected]

Website : http://www.jurnal-p2kp.id

Percetakan (Printing Company) : CV. Ananda Prima Jasa Banjarmasin

| I

UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari (Peer Reviewer) yang telah menelaah

naskah yang dimuat pada edisi Vol. 19

1. Prof. (Riset). Drs. Rusdi Muchtar, M.A.,

2. Prof. Dr. Henri Subiakto, S.H., M.A

3. Dr. Muhammad Farid, M.Si

4. Juhriyansyah Dalle, S,Pd., S.Si., M.Kom., Ph.D.

5. Muliadi Mau, S.Sos., M.Si

6. Dr. Drs. Widodo Agus Setianto, M.Si

7. Fahriannoor, S.IP., M.Si.

Banjarmasin, Februari 2016

Dewan Redaksi

II |

Kata Pengantar | III

KATA PENGANTAR

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan (Jurnal P2KP) sudah terbit berkala

setiap tahun mulai tahun 1996. Edisi Cetak Jurnal P2KP yang telah berusia 20 tahun telah

memberikan perannya sebagai komunikasi ilmiah, menampung gagasan dan karya inovatif serta

kreatif, mempublikasikan lebih dari 300 karya tulis ilmiah untuk dapat diterima oleh dunia ilmu

pengetahuan, serta tidak ketinggalan peran sebagai desiminasi informasi, Volume 19 Nomor 3,

Februari 2016 ini edisi cetak terakhir bagi Jurnal P2KP. Perkembangan teknologi semakin membuat

kami untuk mengikuti bentuk dari perkembangannya. Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi

Pembangunan selanjutnya bisa di akses melalui internet dengan alamat jurnal-p2kp.id.

Pada Volume 19 No.3 ini berisi tulisan beragam dari berbagai daerah serta instansi. Yang

pertama penelitian mengenai Identifikasi Faktor-Faktors Keberhasilan Implementasi Sistem

Informasi Rumah Sakit, oleh Andika Bayu Saputra dari Magister Teknik Informatika Universitas

Islam Indonesia. Selanjutnya penelitian mengenai peran Humas Pemerintah dan menjalankan

perannya sebagai expert prescriber dan problem solving facilitator, oleh Belinda Devi Larasati

Siswanto. Selain itu ada topik mengenai analisis wacana, dengan judul Imperialisme Budaya Dalam

Media yang ditulis oleh Noviana Sari dari Universitas Lambung Mangkurat. Lalu dari Intan Putri

Cahyani dari Universitas Pancasakti Tegal mengenai Adopsi Google Apps For Education di

Perguruan Tinggi. Dan Terakhir Muhammad Najih Farihanto, dari Universitas Ahmad Dahlan,

tentang Dinamika Komunikasi dalam Pembangunan Desa Wisata Brayut Kabupaten Sleman

Demikian kiranya, semoga artikel terdapat pada jurnal kal ini dapat memberikan manfaat

bagi ilmu pengetahuan maupun bagi para pengambil kebijakan dan para stakeholder yang terlibat.

Banjarmasin, Februari 2016

Redaksi,

IV |

Daftar Isi | V

JURNAL PENELITIAN PERS ISSN: 1410-8283

DAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN

Vol. 19 No.2 Oktober 2015

DAFTAR ISI

(CONTENTS)

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR KEBERHASILAN IMPLEMENTASI SISTEM

INFORMASI MANAJEMEN RUMAH SAKIT

(The Identification of Success Factors Implementation Managemen Information Of

Hospital)

Andika Bayu Saputra…...................................................................................................... 135 – 148

PERAN EXPERT PRESCRIBER DAN PROBLEM SOLVING FACILITATOR HUMAS

PEMPROV KALSEL DALAM MELAYANI INFORMASI PUBLIK

(Role of Expert Pescriber and Problem Solving Process of Public Relations Provincial

Facilitator of South Borneo Serving in Public Information)

Belinda Devi Larasati Siswanto.......................................................................................... 149 – 166

IMPERIALISME BUDAYA DALAM MEDIA

(Culture Imperialism in Media)

Noviana Sari........................................................................................................................ 167 – 182

ADOPSI GOOGLE APPS FOR EDUCATION DI PERGURUAN TINGGI: SEBUAH

KOLABORASI REAL-TIME DOSEN DAN MAHASISWA

(Adoption of Google Apps for Education at Universities: A Realtime Collaboration of

Lecturers and Students)

Intan Putri Cahyani……..................................................................................................... 183 – 202

DINAMIKA KOMUNIKASI DALAM PEMBANGUNAN DESA WISATA BRAYUT

KABUPATEN SLEMAN

(Dynamics of Communication in the Development on Tourist Village Brayut Sleman

Regency)

Muhammad Najih Farihanto............................................................................................... 203 – 214

VI | Daftar Isi

Lembar Abstrak | I

JURNAL PENELITIAN PERS ISSN: 1410-8283

DAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN

Vol. 19 No.3 Februari2015

Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh di fotocopy tanpa izin dan biaya

Alvin Yulityas Sandy

Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

KEBIJAKAN KOMUNIKASI PADA PROYEK EKSPLORASI PANAS BUMI DI

BATURADEN DALAM PERSPEKTIF FPIC

JP2KP, Vol. 19 No.1, Juni 2015, hal.1-10

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan nilai FPIC (Free Prior of Informed Consent)

pada proyek eksplorasi panas bumi di Gunung Selamet, baik oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas

sebagai entitas negara, maupun oleh PT. Sejahtera Alam Energy sebagai entitas perusahaan. Penelitian ini

menggunakan metode study kasus, dengan perspektif relasi negara, pasar dan publik, penggunaan pendekatan

implementasi nilai FPIC yang diterapkan oleh pihak Pemda Banyumas dan PT.SAE, berdasarkan hasil

penelitian dapat disimpulkan pelaksanaan FPIC masih jauh dari tataran ideal, terutama menggunakan standar

pelaksanaan UN REDD ++ Indonesia. Dari sisi regulasi, FPIC sebetulnya sudah ada dan diatur dalam serakan

peraturan dan perijinan, namun masih lemah pada tataran teknis tafsir pelaksanaan, sehingga menghasilkan

bentuk komunikasi publik yang cenderung model komunikasi satu arah (linear), tidak mencerminkan

komunikasi transaksional yang berbasiskan pada program dan nilai Free Prior of Informed Consent.

Kata Kunci : Implementasi, Free Prior of Informed Consent, Negara-Pasar-Publik.

Muhammad Rustam

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Makassar

SURVEI PENGGUNAAN TELEPON GENGGAM PADA MASYARAKAT NELAYAN DI

KECAMATAN PULAU DULLAH UTARA, KOTA TUAL PROVINSI MALUKU

JP2KP, Vol. 19 No.1, Juni 2015, hal.11-22

Abstrak

Telepon genggam atau handphone (HP) merupakan perangkat telekomunikasi elektronik yang mempunyai

kemampuan dasar yang sama dengan telepon konvensional saluran tetap.Mobile phone ini dapat dibawa ke

mana-mana (portabel mobile) dan tidak perlu disambungkan dengan jaringan telepon menggunakan kabel (nirkabel, wireless). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan telepon genggam, rata-

rata pengeluaran, dan penggunaan telepon genggam berdasarkan pembagian desa. Survei ini dilakukan dengan

melakukan wawancara tatap muka dengan responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Pemilihan

responden dalam rumah tangga menggunakan Kish Grid. Responden yang menggunakan telepon genggam

dalam tiga bulan terakhir sebanyak 39 orang (81,3%). Responden yang menyatakan memiliki telepon genggam

sebanyak 26 orang (54,2%) dengan rincian pengguna telepon genggam smartphone sebanyak 16 orang

(61,5%), sedangkan pengguna telepon genggam nonsmartphone sebanyak 10 orang (38,5%). Penggunaan

telepon genggam tertinggi dalam tiga bulan terakhir tertingi di Desa Ohotahit sebanyak 15 orang (93,8%),

sedangkan pengakuan responden terkait kepemilikan telepon genggam tertinggi di Desa Tamedan sebanyak

10 orang (62,5%). Mean untuk rata-rata pengeluaran komunikasi setiap bulan yang dikeluarkan oleh responden

II | Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016

Rp34.231,00. Masyarakat berharap agar ada pemasangan jaringan Telepon/HP dan Jaringan Internet yang

baik, murah dan terjangkau disiapkan seperti sarana dan prasarana TIK.

Kata Kunci : Penggunaan, Telepon genggam, Masyarakat Nelayan

Emilsyah Nur

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Makassar

PEMANFAATAN TIK DALAM MENUNJANG PRODUKSI PERTANIAN

DI KABUPATEN SOPPENG

JP2KP, Vol. 19 No.1, Juni 2015, hal.23-34

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mendesripsikan seberapa besar pemanfaatan TIK di kalangan

para petani di Kabupaten Soppeng untuk memenuhi kebutuhan akses informasi yang terkait dengan

permasalahan pengelolaan peningkatan produksi pertanian mereka. Penelitian bertujuan untuk

mengidentifikasi faktor apa yang mempengaruhi kebutuhan informasi melalui pemanfaatan TIK dan

bagaimana solusi dalam mengatasi masalah tesebut. Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Soppeng,

Provinsi Sulawesi Selatan yang dimulai dari bulan Januari sampai Maret 2015. Penelitian ini menggunakan

metode deskritif dan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam,

Kemudian data diproses dan dianalisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan TIK bagi para

petani di kabupaten Soppeng provinsi Sulawesi Selatan dalam meningkatkan produksi pertanian mereka

tergantung dari penyediaan infrastrktur jaringan internet, keterlibatan komunitas para petani seperti kelompok

tani dan kelompok informasi masayrakat serta ketersediaan SDM dalam mengelola media internet tersebut.

Pemerintah pusat dan daerah diharapkan dapat memberikan bantuan yang maksimal terhadap pembangunan

dan pengembangan jaringan internet hingga ke seluruh pelosok desa yang terdapat di kabupaten Soppeng, agar

para petani kita dapat mengetahui perkembangan terkini masalah pertanian secara global.

Kata Kunci : Infrastruktur TIK, Pemerintah Daerah, Produksi, Pertanian

Sarwani

Ilmu Komunikasi, Universitas Lambung Mangkurat

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN DAN STRATEGI KOMUNIKASI SEKDA

TERHADAP KINERJA PEGAWAI DI SEKRETARIAT DAERAH

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

JP2KP, Vol. 19 No.1, Juni 2015, hal.35-46

Abstrak

Penelitian bertujuan untuk menjelaskan pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Strategi Komunikasi Pimpinan

terhadap kinerja pegawai di Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan terhadap Kinerja pegawai. Untuk

menganalisa gaya kepemimpinan, peneliti menggunakan teori kepemimpian dua faktor oleh Fleishmann dan

rekan-rekannya di Ohio State University kemudian untuk menganalisa strategi komunikasi peneliti

menggunakan teori Smeltzer. Masalah yang ada pada saat ini adalah masih belum optimalnya tingkat kinerja

pegawai di Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan hasil riset dari Indonesian

Government Index IGI tahun 2013. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya seperti gaya

kepemimpinan dan strategi komunikasi. Dengan menggunakan metode penelitian survei dan uji regresi

berganda. Hasil penelitian itu secara simultan (bersama-sama) menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan dan

strategi komunikasi mempengaruhi secara signifikan kinerja pegawai di sekretariat daerah Provinsi

Kalimantan Selatan sebesar 74,8 %.

Kata Kunci : Gaya Kepemimpinan, Strategi Komunikasi, Kinerja Pegawai

Lembar Abstrak | III

Udi Rusadi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Literasi dan Profesi Badan Litbang SDM Kominfo

PENGARUH FAKTOR DEMOGRAFIS MASYARAKAT KOTA

TERHADAP LITERASI BERITA TELEVISI

JP2KP, Vol. 19 No.1, Juni 2015, hal.47-62

Abstrak

Pengaruh media dalam kajian komunikasi dan praktek media selalu menjadi perhatian karena dalam teori-teori

normatif, diharapkan mampu memberikan efek yang fungsional. Salah satu asumsi agar media berpengaruh

fungsional, ialah kondisi literasi masyarakatnya yang harus memadai. Berita TV sebagai salah satu produk

media memiliki karakteristik dan proses yang unik yang bebeda dengan produk lain yang bukan media,

sehingga diperlukan literasi tertentu masyarakatnya terhadap berita TV. Studi ini bertujuan menjelaskan

kondisi literasi masyarakat kota dan pengaruh faktor demografis terhadap literasi berita televisi. Penelitian

dilakukan di wilayah kota Banjarmasin Kalimantan Selatan, dengan metode Survey. Hasilnya menunjukkan,

masyarakat sudah memiliki literasi yang cukup kuat terhadap perlunya melakukan seleksi baik dalam aspek

isi, proses dan penilaian berita televisi. Perspektif literasi mereka masih dalam konteks positivistik, yang

melihat proses berita sebagai proses pengiriman realitas dan bukan konstruksi realitas. Tidak semua aspek

demografis mempengaruhi semua aspek literasi dan aspek jenis pekerjaan memiliki pengaruh pada elemen

literasi berita yang paling banyak.

Kata Kunci : Literasi, Berita Televisi, Masyarakat Kota, Demografis.

Laila

Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Banjarmasin

EKSISTENSI MEDIA TRADISIONAL SEBAGAI MEDIA INFORMASI PUBLIK

JP2KP, Vol. 19 No.2, Oktober 2015, hal.63-82

Abstrak

Penelitian eksistensi media tradisional sebagai media informasi publik dilakukan di wilayah Kalimantan

Selatan dan Kalimantan Tengah. Tujuannya untuk mengetahui eksistensi media pertunjukkan tradisional

sebagai media informasi publik dan informasi apa yang dianggap tepat bagi penonton. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Metode penelitian menggunakan studi

kasus untuk menjawab potensi media pertunjukkan rakyat tradisional manakah yang cocok sebagai media

informasi publik dan pesan-pesan apa saja yang dianggap tepat sesuai selera penonton. Hasil penelitian

diketahui bahwa media pertunjukkan rakyat di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah cukup banyak yang

dapat dijadikan sebagai sarana informasi publik, hanya saja yang eksis untuk di Kalimantan Selatan yakni

Madihin, bapantun, mamanda dan wayang, Sedangkan di Kalimantan Tengah yakni Kerungut dan Deder,

Informasi yang cocok disajikan melalui melalui media pertunjukkan rakyat beragam, sesuai dengan krakter

penontonnya. Bila penontonnya anak-anak muda, masalah larangan narkoba, minuman keras tetapi bila

penontonnya orang tua atau dewasa informasi tentang keluarga, politik dan lain sebagainya. Karene itu media

tradisional yang masih eksis dan dapat dijadikan sebagai media informasi publik, hendaknya bisa dijadikan

sebagai kelompok informasi masyarakat, yang pembinaannya tidak saja dari kementerian pariwisata atau

Dinas pariwisata, tetapi juga dari Kementerian Kominfo atau Dinas Komunikasi dan inforamatika yang ada di

daerah masing-masing.

Kata Kunci : Eksistensi, Media Tradisional, Informasi Publik

Atjih Ratnawati

Pusat Penelitian dan Pengembangan Penyelenggaraan Pos dan Informatika

IV | Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016

KEPUASAN PELANGGAN TERHADAP JASA PENGIRIMAN SURAT DAN PAKET

JP2KP, Vol. 19 No.2, Oktober 2015, hal.83-94

Abstrak

Penyelenggaraan pos saat ini diatur dalam Undang-undang Pos No.38 tahun 2009 tentang Pos. Sebagai imbas

dari implementasi Undang-undang Pos yang baru tersebut, ada banyak jenis perusahaan jasa pos termasuk

ekspedisi. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan secara kuantitatif mengenai data dan informasi

terkait kualitas layanan jasa pengiriman surat dan paket PT Pos di kota Bandung ditinjau berdasarkan kepuasan

pelanggan. Sedangkan metode penelitian adalah metode survey dengan pendekatan kuantitatif dengan

mengacu pada teori kualitas layanan. Dilihat dari 5 (lima) aspek kualitas layanan yaitu kehandalan, daya

tanggap, jaminan, empaty dan bukti fisik, diketahui bahwa aspek kualitas kehandalan yang tinggi nilainya dan

yang rendah adalah aspek kualitas bukti fisik (tengibel). Jasa pengiriman surat dan paket PT Pos Indonesia

dalam memberikan layanannya kepada pelanggannya dinilai baik dan handal oleh masyarakat pengguna jasa

layanan pos.

Kata Kunci : Pos, Kualitas, Layanan

Hartiningsih

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Banjarmasin

TANGGAPAN MASYARAKAT TERHADAP KONTEN MEDIA MASSA DALAM KASUS

KONFLIK ANTAR WARGA DI KABUPATEN SIGI

JP2KP, Vol. 19 No.2, Oktober 2015, hal.95-106

Abstrak

Penelitian konten pemberitaan media massa kasus konflik antar warga di Kabupaten Sigi di lakukan di

Kabupaten Sigi. Tujuan penelitian untuk memberikan gambaran mengenai tanggapan masyarakat Kabupaten

Sigi terhadap konten pemberitaan media massa dalam kasus konflik antar warga di Kabupaten Sigi dari sudut

netralitas, akurasi berita dan dampak positif serta negatifnya berita tersebut bagi masyarakat Sigi. Melalui

pendekatan kualitatif dengan infoman yang ditentukan secara porpusive hasil penelitian menunjukkan, bahwa

konten pemberitaan media massa baik media cetak, maupun elektronik yang terdapat di Sulawesi Tengah

mengenai konflik yang terjadi di Kabupaten Sigi dianggap informan cukup netral, dan juga cukup obyektif

serta akurat. Indikasi tersebut antara lain pemberitaan media massa tentang tragedi Sigi sebagian besar sesuai

dengan fakta yang terjadi di lapangan. Hal positif dari pemberitaan adalah munculnya kesadaran untuk saling

introspeksi menjaga keamanan dan ketentraman. Negatifnya, pemberitaan konflik ditempat yang berbeda

dapat menimbulkan kembali rasa troumatik masa lalu. Disimpulkan konten pemberitaan media massa dalam

kasus konflik di Kabupaten Sigi telah seasui dengan ketentuan hukum dan etika yang berlaku. Sekalipun

demikian, media massa hendaknya tetap mengedepankan hati nurani untuk mempertimbangkan kelayakan

berita.

Kata Kunci : Media Massa, Konflik, Warga, Berita

Lembar Abstrak | V

Atika1, Tri Indah Rusli2

1Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat 2Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Kendari

PEMANFAATAN RADIO KOMUNITAS SEBAGAI MEDIA INFORMASI DAN

KOMUNIKASI MASYARAKAT DI SULAWESI TENGGARA

JP2KP, Vol. 19 No.2, Oktober 2015, hal.107-122

Abstrak

Radio komunitas didirikan untuk memenuhi kebutuhan informasi dan komunikasi anggota komunitasnya.

Tujuan tersebut dapat dicapai ketika keberadaannya dimanfaatkan oleh anggota komunitas. Oleh karena itu,

penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis pemanfaatan radio komunitas sebagai media informasi

dan komunikasi bagi masyarakat di Sulawesi Tenggara. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, dengan

subjek riset adalah Radio Fajar FM yang berlokasi di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kendari.

Informan dalam penelitian ini sebanyak 7 pihak, dengan teknik pengumpulan data menggunakan metode

observasi, wawancara mendalam, dan Focus Group Discussion (FGD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pemanfaatan radio komunitas di Sulawesi Tenggara masih sangat kurang. Frekuensi yang disediakan khusus

untuk radio komunitas di Sulawesi Tenggara belum dimanfaatkan atau digunakan secara optimal.

Kata Kunci : Radio Komunitas, Informasi, Komunikasi

Kasiyanto

Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

KEBUTUHAN INFORMASI KELOMPOK MASYARAKAT BERPENGHASILAN

RENDAH

JP2KP, Vol. 19 No.2, Oktober 2015, hal.123-134

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengetahui informasi apa saja yang dibutuhkan kelompok masyarakat

berpenghasilan rendah, (2) mengetahui media apa saja yang digunakan untuk mencari informasi, dan (3)

mengetahui cara pemenuhan kebutuhan informasi. Teori yang digunakan adalah teori kebutuhan informasi.

Sedang metode penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan memilih secara purposif,

tokoh masyarakat di Desa Kertosari sebagai narasumber. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Informasi

yang dibutuhkan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah di Desa Kertosari adalah informasi kesehatan,

informasi pendidikan, informasi pertanian, dan informasi pasar. Media yang digunakan untuk mencari

Informasi adalah media televisi dan media radio. Media televisi dan radio sebenarnya digunakan untuk

memenuhi kebutuhan informasi itu secara kebetulan, artinya kebetulan sedang menghidupkan televisi dan

radio kemudian secara kebetulan ada informasi informasi yang dibutuhkan tersebut. Dan terakhir, Cara yang

digunakan untuk memenuhi kebutuhan informasi. Selain melaui media televisi dan radio terdapat cara khusus

untuk memenuhi kebutuhan informasinya yaitu dengan cara memanfaatkan dengan bantuan UNDP didirikan

lembaga telecenter Semeru sebagai sarana memenuhi kebutuhan informasi kelompok masyarakat

berpenghasilan rendah sekaligus menjawab masalah kesenjangan informasi / kesenjangan digital pada

masyarakat berpenghasilan rendah di Desa Kertosari tersebut.

Kata Kunci : Kebutuhan Informasi, Masyarakat Berpenghasilan Rendah, TIK, Kesenjangan Digital.

VI | Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016

Andika Bayu Saputra

Magister Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR KEBERHASILAN IMPLEMENTASI

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RUMAH SAKIT

JP2KP, Vol. 19 No.3, Februari 2016, hal.135-148

Abstrak

Penerapan SIMRS saat ini masih mengalami kendala dan hambatan ditingkat penerimaan pengguna Penelitian

ini melakukan analisis terhadap hasil Evaluasi faktor-faktor keberhasilan penerapan SIMRS dengan

menggunakan Model HOT-Fit (Human Organization Technology – Net benefits). Model ini dapat memberikan

penjelasan dan memberikan identifikasi faktor penerapan sebuah sistem dari sisi Teknologi, Manusia,

Organisasi dan Net benefit. Model ini melibatkan delapan variabel yang terdiri dari Kualitas Sistem, Kualitas

Informasi, Kualitas Layanan, Penggunaan Sistem, Kepuasan Pengguna, Struktur Organisasi, Lingkungan

Organisasi dan Manfaat Sistem. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari RS PKU Muhammadiyah Temanggung,

maka dapat disimpulkan bahwa variabel yang mempengaruhi keberhasilan penerapan SIMRS adalah dari sisi

variabel teknologi yaitu kualitas sistem, kualitas informasi dan kualitas layanan, sedangkan dari sisi variable

manusia yaitu kepuasan pengguna mempengaruhi penggunaan sistem, dari sisi variabel organisasi yaitu

struktur sangat mempengaruhi lingkungan organisasi yang ada. Keberhasilan penerapan SIMRS di RS PKU

Muhammadiyah Temanggung dipengaruhi oleh adanya dukungan dan dorongan dari pihak manajerial kepada

para pengguna SIMRS serta tersedianya kondisi fasilitas yang memadai di lingkungan rumah sakit untuk

menggunakan SIMRS

Kata Kunci : Sistem Informasi, Manajemen, Rumah Sakit

Belinda Devi Larasati Siswanto

Biro Humas, Sekretarias Daerah Provinsi Kalimantan Selatan

PERAN EXPERT PRESCRIBER DAN PROBLEM SOLVING PROCESS FACILITATOR

HUMAS PEMPROV KALSEL DALAM MELAYANI INFORMASI PUBLIK

JP2KP, Vol. 19 No.3, Februari 2016, hal.149-166

Abstrak

Penelitian ini menitikberatkan Humas pemerintah yang memiliki fungsi sebagai expert Presciber dan Problem

Solving Process Facilitator dalam menguatkan fungsi Humas Pemerintah itu sendiri. Penelitian ini dilakukan

dengan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus deskriptif, Penelitian ini dilakukan di kantor Biro

Humas Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Teknik pengumpulan data terakhir yakni wawancara

mendalam dengan menggunakan wawancara semi terstruktur, Penentuan Key Person yang dijadikan

narasumber dalam penelitian ini dengan memper-hatikan tingkat kesesuaian (relevansi) antara kedudukan/

jabatan dan keter-libatan informan dalam proses keterbukaan informasi public. Hasil penelitian menunjukan

Biro Humas tidak memenuhi peran sebagai expert Prescriber dalam kegiatan yang dilakukannya. Sementara itu

peran problem solving process facilitator tidak ada terlihat pada Biro Humas, hal ini dikarenakan Biro Humas

belum menjalankan kegiatan verifikasi dan inventarisasi informasi untuk didiskusikan oleh pimpinan tingkat

atas. Saran penelitian ini Biro Humas Provinsi Kalimantan Selatan dapat memanfaatkan sumber daya manusia

yang sudah ada untuk memiliki kemampuan menjalankan tugas sebagai Humas pemerintah maupun PPID

utama di Provinsi Kalsel, mengingat tidak meratanya koordinasi antar bagian pada Biro Humas. selanjutnya

Biro Humas harus segera mungkin merencanakan program kegiatan beserta strategi-strategi yang

berkesinambungan untuk percepatan keterbukaan informasi publik.

Kata Kunci: Humas, Pemerintah, Expert Prescriber, Problem Solving Precess Facilitator

Lembar Abstrak | VII

Noviana Sari

Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat.

IMPERIALISME BUDAYA DALAM MEDIA

JP2KP, Vol. 19 No.3, Februari 2016, hal.167-182

Abstrak

Wacana merupakan basis produksi kekuasaan, legitimasi dan hegemoni dari kelas dominan yang memproduksi

hal-hal seperti gagasan atau pengetahuan yang mengandung ideologi dari yang mereproduksi wacana, seperti

halnya dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, organisasi sosial dan aktivitas kehidupan sehari-hari, termasuk

juga di dalamnya adalah gaya hidup. Proses hegemoni wacana gaya hidup adalah salah satu strategi dari kelas

dominan untuk melakukan politik imperialisme budaya. Dengan bahasa yang menarik dan persuasif yang

ditawarkan dalam majalah, proses politik imperialisme budaya memperoleh pembenaran, karena majalah

sebagai agen tidak hanya menginformasikan gaya hidup dari suatu budaya tertentu tetapi mampu

mendefinisikan mana pola hidup yang dianggap benar. Penelitian ini didasari untuk membongkar makna

wacana gaya hidup yang ditawarkan dalam sebuah majalah franchise USA yang masuk ke Indonesia, yaitu

Cosmogirl! Indonesia, melalui rubrik fashion The CG! Look: Gaya Seleb dan trend modelnya sebagai bentuk

orientasi dari proses imperialisme budaya barat ke budaya timur. Dalam rubrik The CG! Look: Gaya Seleb,

Cosmogirl! tidak hanya menyajikan fashion-fashion yang sedang menjadi trend dan digunakan para artis luar

negeri yang disarankan untuk diadopsi, namun juga menyembunyikan pesan-pesan secara eksplisit dan tidak

disadari. Nilai-nilai yang dikenalkan oleh Cosmogirl! terlihat dalam tema-tema pada rubrik fashion The CG

Look: Gaya Seleb terlihat bagaimana Cosmogirl! menyajikan model fashion yang sedang trend dan tentu saja

didukung dengan strategi-strategi yang menampilkan sisi positif dari gaya berbusana ala barat. Strategi-strategi

tersebut dilakukan oleh Cosmogirl! dengan cara menyerang citra diri kita sebagai remaja wanita yang pastinya

ingin tampil semenarik mungkin.

Kata Kunci: analisis wacana, imperialisme budaya, gaya hidup, fashion, majalah, rubrik.

Intan Putri Cahyani

Prodi S1 Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Pancasakti

Adopsi Google Apps For Education Di Perguruan Tinggi: Sebuah Kolaborasi Real-Time Dosen

Dan Mahasiswa

JP2KP, Vol. 19 No.3, Februari 2016, hal.183-202

ABSTRAK

Teknologi komputasi awan atau sering dikenal dengan cloud computing hadir sebagai sebuah dampak

perubahan lingkungan budaya dan ekosistem yang kompetitif pada Pendidikan Tinggi di dunia, termasuk

Indonesia. Cloud computing ini sejatinya merupakan gabungan pemanfaatan teknologi komputer

(‘komputasi’) dan pengembangan berbasis Internet (‘awan’). Pendidikan tinggi dianggap sangat ideal untuk difusi

inovasi karena mereka memiliki jantung yang bisa mendorong inovasi dan selalu ada perubahan baik di level fakultas

atau jurusan, pedagogis serta teknologi. Studi ini akan mengangkat keunikan dimana dosen (digital immigrant) dan

mahasiswa (digital native) dapat berkolaborasi secara realtime dengan mengadopsi teknologi cloud computing milik

Google yaitu Google Apps for Education (GAFE) dalam sistem pembelajaran. Teori difusi inovasi milik Rogers akan

dielaborasi secara mendalam untuk menjelaskan proses adopsi teknologi komunikasi jenis baru yang sekarang tengah

menjadi trendsetter ini. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode grounded

yang melibatkan beberapa Perguruan Tinggi di Jawa Tengah yang sudah menggunakan teknologi GAFE selama tiga

tahun terakhir, yaitu UNNES, UDINUS, dan UNISSULA. Pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling

dengan jumlah sampel sebanyak 12 orang yang merupakan dosen dan mahasiswa pengguna aktif GAFE dalam

sistem pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan dosen terutama dosen junior memiliki peranan sentral

VIII | Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016

sebagai fasilitator dalam memutuskan teknologi pembelajaran apa yang akan digunakan. Kesamaan

kepentinganlah yang menjadi faktor utama mengapa walaupun berbeda generasi, namun dosen dan

mahasiswa bisa mengadopsi GAFE. Kata Kunci: Difusi Inovasi, Teknologi Cloud Computing, GAFE, Digital Immigrant, Digital Native,

Muhammad Najih Farihanto

Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Dinamika Komunikasi dalam Pembangunan Desa Wisata Brayut Kabupaten Sleman

JP2KP, Vol. 19 No.3, Februari 2016, hal.203-214

ABSTRAK

Pembangunan desa wisata di Yogyakarta akhir-akhir ini sangat pesat, di Kabupaten Sleman terdapat puluhan

desa wisata bahkan beberapa desa wisata sudah berstatus mandiri. Untuk menjadi desa wisata yang berstatus

mandiri, terdapat komunikasi organisasi yang terjadi di antara para pengelola desa wisata. Salah satunya

adalah desa wisata Brayut. Dalam pembangunan desa wisata hingga berstatus mandiri tentunya terdapat

dinamika komunikasi yang terjadi. Penelitian ini didapatkan hasil bahwa banyak terjadi dinamika komunikasi

dalam pembangunan desa wisata. Salahsatunya adalah konflik yang terjadi pada saat desa brayut akan

dijadikan sebagai desa wisata dan juga pada saat menjadi tuan rumah ngayogjazz. Selain itu ditemukan juga

dinamika komunikasi dalam organisasi desa wisata brayut. Penelitian ini merupakan penelitian deskripstif

kualitatif dan menggunakan studi kasus karena mengangkat masalah empiris mengenai suatu kasus. Hal ini

dimaksudkan agar lebih terfokus kepada objek kajian serta mampu menjelaskan objek-objek di sekitar kajian.

Dalam penelitian ini menggunakan motode wawancara, penelususan dokumen dan observasi langsung dalam

proses pengumpulan data.

Kata kunci: Dinamika Komunikasi, Pembangunan, Desa Wisata

Abstract Sheet |IX

JURNAL PENELITIAN PERS ISSN: 1410-8283

DAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN

Vol. 19 No.2 Oktober 2015

The keywords sourced from the article, and represent the concept of the article.

This abstract sheets are allowed to copy without permission from the publisher and free to charge

Alvin Yulityas Sandy

Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

COMMUNICATION POLICY OF GEOTHERMAL EXPLORATION AT BATURADEN

ON FPIC PERSPECTIVE

JP2KP, Vol. 19 No.1, June 2015, pp.1-10

Abstract

The aim of this study is to find out the implementation of Free Prior of Informed Consent (FPIC) value in

Geothermal Project at Slamet Mountain, both Banyumas local government as a government identity and PT.

Sejahtera Alam Energy as a business identity. This research uses case study method through government,

market, and public relation perspective. This research also uses the value of FPIC implementation approach

applied by Banyumas local government and PT. SAE. Base on the research result it can be conclude that FPIC

implementation is still far from ideal level, mainly base on standard of UN REDD++ Indonesia. In regulation

side, FPIC has already existed and managed in regulation and license but it still weak at the level of

interpretation and implementation, so the effect is the form of public communication tends to one way

communication (linier model), it doesn’t suitable with the transactional communication base on FPIC value

and program.

Keywords: Implementation, Free Prior of Informed Consent, Government-Market-Society

Muhammad Rustam

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Makassar

SURVEY OF MOBILE PHONE USES AT FISHERMEN COMMUNITY ON NORTH

PULAU DULLAH TUAL CITY PROVINCE MALUKU

JP2KP, Vol. 19 No.1, June 2015, pp.11-22

Abstract

Cell phone or mobile phone is an electronic communications device that has same function with fixed-line

telephone. This mobile phone can be taken anywhere and doesn’t need to be connected to the telephone

network using a cable (wireless LAN). This study aims to describe the use of mobile phone, the average of

expanse, and the use of mobile phone base on the division of the village. This survey was conducted face to

face interviews with respondents using questionnaire. The selection of respondent in the household uses Kish

Grid. Respondent who use mobile phone in the last three months are 39 people (81,3%). Respondent who is

reported having a cell phone are 26 people (54,2%) with the detail users for smart phone are 16 people

(61,5%) while non-smart phone users are 10 people (38,5%). The highest use of mobile phone in the last three

months is in Ohotahit village, they are 15 people (93,8%) while the testimony of respondent who own mobile

phone in Tamedan are 10 people (62,5%). Mean for the average expanse every month is Rp34.231,00. People

hope that there will be a good, cheap, and affordable for network mobile phone or telephone installation and

internet networks prepared as ICT infrastructure.

Keywords: Use, Mobile phones, Fishermen Community

X | Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Feberuary 2016

Emilsyah Nur

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Makassar

ICT UTILIZATION IN SUPPORT AGRICULTURE PRODUCTION

AT SOPPENG REGENCY

JP2KP, Vol. 19 No.1, June 2015, pp.23-34

Abstract

This study aims to explain and describe how much the use of ICT among farmers at Soppeng regency to fulfill

the information access that linked to the problems of increasing their agricultural production. This study also

aims to identify the factors that influence the information needs through the use of ICT and how to handle the

problems. This study was held at Soppeng regency, south Sulawesi province. It started from January to March

2015. This study uses descriptive method and qualitative approach. The data are obtained through in depth

interview then the data will be process and analyze. The result shows that the use of ICT for farmers at Soppeng

regency to increase their agricultural production depends on the supply of internet network infrastructure, the

involvement farmers such like farmer group, people information group, and the availability of human resource

to manage the internet. Central and local governments are expected to give maximum contribution to the

development of internet connection in all corners of the villages located at Soppeng regency, so that our

farmers know the latest development about global agricultural issues.

Keywords: ICT Infrastructure, Local Government, Acricultural, Production

Sarwani

Communication Studies, Lambung Mangkurat University

INFLUENCE OF LEADERSHIP STYLE AND COMMUNICATION STRATEGY OF

REGIONAL SECRETARY TO EMPLOYEE PERFORMANCE

AT THE REGIONAL SECRETARIAT OF SOUTH KALIMANTAN PROVINCE

JP2KP, Vol. 19 No.1, June 2015, pp.35-46

Abstract

This study is aimed to examine the influence of leadership style and their communication strategy to the

employee’s performance at the regional secretary office, south Kalimantan province. To analyze the

leadership style researcher use two factors leadership theory by Fleishman and his colleague in Ohio State

University. To analyze the communication strategy researcher uses Smeltzer theory. Base on the research by

Indonesian Government Index (IGI) in 2013, the low level of employee’s performance is the main problem in

regional secretary office of south Kalimantan province. This circumstance is caused by several factors such

like leadership style and communication strategy. This study uses survey method and double regression test.

The result simultaneously shows that leadership style and communication strategy have significant influence

to the level of employee’s performance in south Kalimantan province, that is 74,8%.

Keyword: Leadership Style, Communication Strategy, Employee’s performance.

Abstract Sheet |XI

Udi Rusadi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Literasi dan Profesi, Badan Litbang SDM Kominfo

THE INFLUENCE OF DEMOGRAPHIC FACTORS OF THE URBAN SOCIETY

TOWARD TELEVISION NEWS LITERACY

JP2KP, Vol. 19 No.1, June 2015, pp.47-62

Abstract

The influence of media in communication studies and media practices has always became interest because in

normative theories media is expected to provide functional effects. One of the assumption to make media has

functional influence is the literacy condition of the society. Television news as the product of media has

unique characteristic and process which vary from other non-media products, so certain literacy is needed

by the society concerning to TV news. This study aims to explain the literacy condition of the urban society

and the influence of demographic factors towards television news literacy. The study was conducted in

Banjarmasin south Kalimantan using survey method. The result shows that people have always strong

literacy to select in term of content, process, and assessment of the television news. The literacy perspective

is still in positivistic context which regard news as the delivery process of reality and not as a construction of

reality. Not all demographic aspects influence all aspect of literacy and aspect kinds of work have the most

influence on the elements of news literacy.

Keywords: Literacy, Television News, Urban Society, Demographic.

Laila

Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Banjarmasin

EXISTENCE OF TRADITIONAL MEDIA AS PUBLIK INFORMATION

JP2KP, Vol. 19 No.2, October 2015, pp.63-82

Abstract

Research of existence of traditional media as publik information media be held in South and Central

Kalimantan. The goal is to discover the existence of performance traditional media as publik information

media and the suitable model and information for the audience. This research using a qualitative approach

with constructivist paradigm. The research method used case study to answer potency of traditional people

performance, which suitable for publik information as publik information media and messages according to

audience tastes. The result showed that people performance media in South and Central Kalimantan are pretty

much could be as publik information media, the existing performance media in South Kalimantan are Madihin,

Bapantun, Mamanda dan Wayang. And Central Kalimantan are Keringat and Deder. The suitable information

will be presented by many media performances according to character of the audience. If the audience are

young people, it will be presented about drug and alcohol prohibition and also if the audience are adult it will

be presented about family, politics etc. Meanwhile, the model performances of traditional media loved by

audiences is a story theme, such as art combination with some song lyrics and dangdut. So, it has to be suitable

to the audiences preference, and also the time dimension since traditional media still exist and can be used as

publik information media, it should be as society information group, which institution builder not only by the

ministry of tourism or tourism department, but also by the ministry of ICT or ICT department in every regions.

Keywords: Existence, Traditional Media, Publik Information

XII | Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Feberuary 2016

Atjih Ratnawati

Pusat Penelitian dan Pengembangan Penyelenggaraan Pos dan Informatika

CUSTOMER SATISFACTION TOWARD MAIL AND PACKAGE DELIVERY SERVICE

JP2KP, Vol. 19 No.2, October 2015, pp.83-94

Abstract

This very moment post organization is regulated in the Law of Post No. 38 at the year of 2009 about post. As

the impact of the implementation of Post Law, there are many types of postal service companies including

expedition. This study aims to describe quantitatively related to data and information about the quality of mail

and package delivery service PT Pos in Bandung reviewed based on customer satisfaction. This research uses

survey method with quantitative approach referring to the quality of service theory (Service Quality). Refer to

five (5) aspects of service quality, namely reliability, responsiveness, assurance, empathy and tangible, it is

found that the quality aspect of reliability gets high score and the quality aspects of the physical evidence

(tangible) gets low score. Mail and package delivery services PT Pos Indonesia in providing services to its

customers is considered good and reliable by the postal service users.

Keywords: Post, Quality, Services

Hartiningsih

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Banjarmasin

PEOPLE RESPONSE TOWARD MASS MEDIA NEWS IN CONFLICT AMONG PEOPLE

IN SIGI REGENCY

JP2KP, Vol. 19 No.2, October 2015, pp.95-106

Abstract

A research about mass media news toward conflict among people in Sigi regency was done in Sigi regency.

This study aims to give description about people response in Sigi regency toward mass media news about

conflict among people in Sigi regency from neutrality side, news accuracy, positive and negative impact about

the news for Sigi people. Through qualitative approach with purposive informant, the result shows that mass

media news both print media and electronic media located in Central Sulawesi which informing about conflict

in Sigi regency are considered neutral, objective, and accurate. One of those indicators are the information of

mass media about Sigi tragedy mostly in line with the fact. The positive thing from that news is the rising of

awareness to introspect each other to keep the security and tranquility. The negative thing is information about

conflict in difference places could make trauma from the past. It can be concluding that mass media news

toward conflict among people in Sigi regency was already in line with the applicable law and ethics. Thus, it

is hoped that mass media are still prioritizing consciousness to consider the suitability of the news.

Keywords: Mass Media, Conflict, Among People, News

Atika1, Tri Indah Rusli2

1Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat 2Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Kendari

THE UTILIZATION OF COMMUNITY RADIO AS THE INFORMATION AND

COMMUNICATION MEDIA FOR SOCIETY IN SOUTHEAST SULAWESI

JP2KP, Vol. 19 No.2, October 2015, pp.107-122

Abstract

Community radio is established to fulfill the information and communication needs for the community

members. The purpose can be achieved when its existence used by community members. Therefore, the purpose

Abstract Sheet |XIII

of this research is to analyze the utilization of community radio as the information and communication media

for society in Southeast Sulawesi. This study uses qualitative approach, while the research subject is Radio

Fajar FM located in Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kendari. The informants in this study are

7 parties. The data collection technique uses observation method, in-depth interviews, and Focus Group

Discussion (FGD). The results shows that the utilization of radio community in Southeast Sulawesi is still less.

Frequency channel which is provided exclusively for radio community in Southeast Sulawesi hasn’t been used

optimally.

Keyword: Leadership Style, Communication Strategy, Employee’s performance.

Kasiyanto

Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya

THE NEED OF INFORMATION FOR THE GRASS ROOTS

JP2KP, Vol. 19 No.2, October 2015, pp.123-134

Abstract

The aim of the research is (1) to find out what are the information needed by the grass roots, (2) to find out

what media used to find the information, and (3) to find out how do they fullfil their information need. This

study uses information need theory, while the method is descriptive qualitative approach through choosing

purposive method, leader of kertosari village as the informant. From the result it can be conclude that ,the

information needed by the grass roots in Kertosari village are information about health, education, farming,

market, the media which is used to find the information is television and radio. These media are actually used

to fullfil their information coincidentally. It means that while they watch television and heard radio, they heard

and watch the information which they need, and, the way they fullfil their information need. Besides television

and radio, there is special way to fullfil information need that is the utilization of UNDP established by

Telecenter institution as the tool to fullfil the information for the grass roots. It is also to answer a problem

about information discrepancy/ digital descrepency to the grass roots in Kertosari village.

Keywords: Information Need, The Grass Roots, ICT, Digital Discrepancy.

Andika Bayu Saputra

Magister Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia

The Identification of Success Factors Implementation Management Information of Hospital

JP2KP, Vol. 19 No.3, February 2016, pp.135-148

Abstract

Implementation SIMRS currently still experiencing problems and obstacles level of user acceptance. This study

analyzed the results of evaluation of the success factors SIMRS application using HOT-Fit Model

(Organization Human Technology - Net benefits). The model have been selected for this model may provide

an explanation and provide identification factor of the implementation of a system in terms of Technology,

Human, Organization and Net benefit. The model included eight variables consist of System Quality,

Information Quality, Service Quality, Use of the System, User Satisfaction, Organizational Structure,

Environmental Organizations and Net benefits (the benefit system). Based on the results of data obtained from

the RS PKU Muhammadiyah Temanggung, it can be concluded that the variables that affect the successful

implementation SIMRS is on the side of the variable tehnology is the quality of the system, the quality of

information and service quality, while from the variable human ie user satisfaction affects the use of the system,

in terms of organization variables which greatly affect the structure of the existing organizational environment.

The successful implementation of SIMRS at RS PKU Muhammadiyah Temanggung influenced by the support

XIV | Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Feberuary 2016

and encouragement from the managerial to the users SIMRS conditions and the availability of adequate

facilities in the hospital environment for use SIMRS.

Keywords: Information System, Managemen, Hospital

Belinda Devi Larasati Siswanto

Biro Humas, Sekretarias Daerah Provinsi Kalimantan Selatan

Role of Expert Pescriber and Problem Solving Process of Public Relations Provincial Facilitator

of South Borneo Serving in Public Information

JP2KP, Vol. 19 No.3, Februari 2016, pp.149-166

Abstract

This study focuses PR government that has a function as an expert Presciber and Problem Solving Process

Facilitator in strengthening the Government Relations function itself. This research was conducted with a

qualitative approach with descriptive case study method, this research was conducted at the office of the Public

Relations Bureau of the Regional Secretariat of South Kalimantan Province. Last data collection techniques

dept interviews using a semi-structured interview, Determination Key Person who used informants in this study

taking into-hatikan level of concordance (relevance) between the position / positions and Keter-informant

involvement in the process of public information disclosure. The results showed the PR Bureau does not fulfill

the role as an expert prescriber in the activities he does. Meanwhile, the role of problem solving process

facilitator nothing visible in the PR Bureau, this is because the PR Bureau has not run verification and

inventory information to be discussed by senior management. Suggestion of this study Public Relations Bureau

of South Kalimantan province can utilize the human resources that already exist to have the ability to perform

tasks as a public relations major government and PPID in South Kalimantan province, given the uneven

coordination between the Bureau of Public Relations section. The next PR Bureau should be possible to plan

a program of activities and their sustainable strategies for the acceleration of public disclosure.

Keywords: Public Relations, Government, Expert prescriber, Problem Solving Facilitator precess

Noviana Sari

Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat.

Culture Imperialism In Media

JP2KP, Vol. 19 No.3, Februari 2016, pp.167-182

Abstract

Discourse is a production base of power, legitimacy and hegemony of the dominant classes that produce things

such as the idea or knowledge that contains the ideology of which reproduces the discourse, as well as in

families, schools, workplaces, social organization and activities of daily life, including in it is a lifestyle. The

process of hegemonic discourse of lifestyle is one of the strategies of the dominant classes to do politics of

cultural imperialism. With an attractive and persuasive language offered in the magazine, the political process

of cultural imperialism obtain justification, because the magazine as an agent not only inform the lifestyle of

a particular culture but were able to define where the lifestyle is considered correct. This research is based to

unpack the meaning of discourse lifestyle offered in a franchise magazine USA to Indonesia, namely

CosmoGirl! Indonesia, through the rubric of fashion The CG! Look: Celebrity Style and trend model as a form

of cultural imperialism orientation of the west to the eastern culture. In the rubric The CG! Look: Celebrity

Style, CosmoGirl! not only presents fashion-fashion fads and used by foreign artists recommended for

adoption, but also hide explicit messages and unconsciously. The values introduced by CosmoGirl! seen in

themes at fashion rubric The CG Look: Style Celebrity look how CosmoGirl! presents a model that is a trend

of fashion and of course backed up with strategies to show the positive side of the style of dress western style.

These strategies are carried out by CosmoGirl! by attacking the image of ourselves as young women who

definitely wants to appear as attractive as possible.

Abstract Sheet |XV

Keywords: discourse analysis, Cultural Imperialism, lifestyle, fashion, magazines, rubric.

Intan Putri Cahyani

Prodi S1 Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Pancasakti

Adoption Of Google Apps For Education At Universities: A Realtime Collaboration Of Lecturers

And Students

JP2KP, Vol. 19 No.3, February 2016, pp.183-202

Abstract

Cloud-computing technology present as an impact of the changing cultural environment and competitive

ecosystem of Higher Education in the world, including Indonesia. Cloud computing is actually a combination

use of computer technology ("computing") and the development of Internet-based ('cloud'). Higher education

is considered ideal for the diffusion of innovation because they have a core that can encourage innovation and

there are frequently changes in faculty or department’s level, pedagogical and technological. This study

pointed out a uniqueness where lecturers (digital immigrant) and students (digital native) could collaborate

in realtime by adopting cloud-computing technology, namely Google's Google Apps for Education (GAFE),

in the learning system. Diffusion-innovation theory of Rogers will be in depth elaborated to explain the process

of adoption of new kind of communication technologies which is currently becoming trendsetter. This type of

study is qualitative descriptive with grounded theory method involving several universities in Central Java

that are already using GAFE technology during the last three years, i.e. UNNES, UDINUS, and UNISSULA.

This study used purposive sampling with total sample of 12 people who are lecturers and students, GAFE active users

in learning system. The results showed lecturers especially junior lecturers have a central role as a facilitator of learning

technologies in deciding what to use. Common interest is the main reason behind. Though lecturers and students came

from different generation but both of them adopted GAFE

Keywords : Difussion Innovation, Cloud Computing Technology, GAFE, Digital Immigrant, Digital Native

Muhammad Najih Farihanto

Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Dynamics Of Communication In The Development On Tourist Village Brayut Sleman Regency

JP2KP, Vol. 19 No.3, February 2016, pp.203-214

Abstract

Development of rural tourism in Yogyakarta lately very rapidly, in Sleman there are dozens of tourist villages

and even some tourist villages has status independently. To be a tourist village that independent status, there

are organizational communication that occurs between the managers of the tourist village. One is the tourist

village Brayut. In the construction of tourist villages must be available to independent status communication

dynamics that occur. This study showed that a lot of the dynamics of communication in the construction of a

tourist village. One of them is the conflict that occurs when Brayut village will serve as a tourist village and

also at host Ngayogjazz. Also found was also the dynamics of communication within the organization Brayut

Tourist Village. This research is a qualitative deskripstif and using case studies for empirical issues raised

regarding a case. It is intended to be more focused on the object of study and be able to explain the objects

around the study. In this study using interviews motode, penelususan documents and direct observation in the

data collection process.

Keywords: Dynamics of Communication, Development, Tourism Village

XVI | Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Feberuary 2016

Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Andika Bayu Saputra

135

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR KEBERHASILAN IMPLEMENTASI

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RUMAH SAKIT

THE IDENTIFICATION OF SUCCESS FACTORS IMPLEMENTATION

MANAGEMENT INFORMATION OF HOSPITAL

Andika Bayu Saputra

Magister Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia

Jl. Kaliurang Km.14.5, Sleman, Daerah Istimewa Jogjakarta, Indonesia

Email: [email protected]

diterima: 18 Desember 2015 | direvisi: 28 Januari 2016 | disetujui: 29 Januari 2016

ABSRACT

Implementation SIMRS currently still experiencing problems and obstacles level of user acceptance. This study

analyzed the results of evaluation of the success factors SIMRS application using HOT-Fit Model

(Organization Human Technology - Net benefits). The model have been selected for this model may provide

an explanation and provide identification factor of the implementation of a system in terms of Technology,

Human, Organization and Net benefit. The model included eight variables consist of System Quality,

Information Quality, Service Quality, Use of the System, User Satisfaction, Organizational Structure,

Environmental Organizations and Net benefits (the benefit system). Based on the results of data obtained from

the RS PKU Muhammadiyah Temanggung, it can be concluded that the variables that affect the successful

implementation SIMRS is on the side of the variable tehnology is the quality of the system, the quality of

information and service quality, while from the variable human ie user satisfaction affects the use of the system,

in terms of organization variables which greatly affect the structure of the existing organizational environment.

The successful implementation of SIMRS at RS PKU Muhammadiyah Temanggung influenced by the support

and encouragement from the managerial to the users SIMRS conditions and the availability of adequate

facilities in the hospital environment for use SIMRS.

Keywords: Information System, Managemen, Hospital

ABSTRAK

Penerapan SIMRS saat ini masih mengalami kendala dan hambatan ditingkat penerimaan pengguna Penelitian

ini melakukan analisis terhadap hasil Evaluasi faktor-faktor keberhasilan penerapan SIMRS dengan

menggunakan Model HOT-Fit (Human Organization Technology – Net benefits). Model ini dapat memberikan

penjelasan dan memberikan identifikasi faktor penerapan sebuah sistem dari sisi Teknologi, Manusia,

Organisasi dan Net benefit. Model ini melibatkan delapan variabel yang terdiri dari Kualitas Sistem, Kualitas

Informasi, Kualitas Layanan, Penggunaan Sistem, Kepuasan Pengguna, Struktur Organisasi, Lingkungan

Organisasi dan Manfaat Sistem. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari RS PKU Muhammadiyah Temanggung,

maka dapat disimpulkan bahwa variabel yang mempengaruhi keberhasilan penerapan SIMRS adalah dari sisi

variabel teknologi yaitu kualitas sistem, kualitas informasi dan kualitas layanan, sedangkan dari sisi variable

manusia yaitu kepuasan pengguna mempengaruhi penggunaan sistem, dari sisi variabel organisasi yaitu

struktur sangat mempengaruhi lingkungan organisasi yang ada. Keberhasilan penerapan SIMRS di RS PKU

Muhammadiyah Temanggung dipengaruhi oleh adanya dukungan dan dorongan dari pihak manajerial kepada

para pengguna SIMRS serta tersedianya kondisi fasilitas yang memadai di lingkungan rumah sakit untuk

menggunakan SIMRS.

Kata Kunci : Sistem Informasi, Manajemen, Rumah Sakit

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 135-148

136

I. PENDAHULUAN

Teknologi sistem informasi telah mendorong

dan mempengaruhi pelayanan kesehatan yang

dibutuhkan dalam rangka memenuhi tuntutan

masyarakat akan ketepatan dan kecepatan pelayanan

yang diberikan oleh rumah sakit. Rumah sakit

sebagai tempat pelayanan kesehatan diharapkan

mampu memberikan pelayanan yang maksimal

kepada masyarakat. Perkembangan Sistem Informasi

Manajemen rumah sakit (SIMRS) yang berbasis

komputer di Indonesia telah dimulai pada akhir

dekade 80’an. Salah satu yang pada waktu itu telah

memanfaatkan komputer untuk mendukung

operasionalnya adalah Rumah Sakit Husada.

Implementasi sistem informasi manajemen rumah

sakit pada saat itu kurang mendapatkan hasil yang

cukup memuaskan semua pihak. Ketidak berhasilan

dalam pengembangan sistem informasi tersebut lebih

disebabkan dalam segi perencanan kurang baik,

dimana identifikasi faktor-faktor penentu

keberhasilan (critical success factors) dalam

implementasi sistem informasi manajemen rumah

sakit tersebut kurang lengkap dan menyeluruh.

Perkembangan dan perubahan yang cepat dalam

segala hal juga terjadi di dunia pelayanan kesahatan.

Departemen Kesehatan RI telah mengeluarkan

kebijakan yang menjadi pedoman bagi

penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang

dilaksanakan oleh pemerintah maupun swasta dalam

rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di

rumah sakit, sesuai dengan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1171/MENKES/PER/VI/2011 (PMKRI 2011). Per-

turan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1171/MENKES/PER/VI/2011 Pasal 1 Ayat 1

disebutkan bahwa “Setiap rumah sakit wajib

melaksanakan Sistem Informasi Rumah Sakit”.

Sistem informasi rumah sakit merupakan salah satu

komponen yang penting dalam mewujudkan upaya

peningkatan mutu tersebut. Sistem informasi rumah

sakit secara umum bertujuan untuk menginte-

grasikan sistem informasi dari berbagai subsistem,

mengumpulkan, menyajikan dan mengolah data

rumah sakit sehingga menghasilkan informasi yang

diperlukan sebagai pengambilan keputusan bagi

rumah sakit. Namun, pada saat ini banyak rumah

sakit yang tidak menyadari betapa pentingnya

pengelolaan data di rumah sakit yang sangat besar

dan belum tersusun secara baik sehingga pelayanan

pihak rumah sakit tidak berjalan secara efektif. Selain

itu, saat ini rumah sakit masih belum menyadari

seberapa banyak informasi yang telah didapat dan

diproses serta didistribusikan baik secara manual

maupun secara komputerisasi.

Sistem informasi yang telah terkomputerisasi

memiliki kelebihan dalam hal kecepatan dan

ketepatan untuk pengolahan data, agar dapat

meminimalkan kesalahan yang terjadi. Sistem

informasi manajemen rumah sakit (SIMRS) adalah

suatu sistem terkomputerisasi yang mampu

melakukan pengolahan data secara cepat, akurat, dan

menghasilkan sekumpulan informasi yang saling

berinteraksi untuk diberikan kepada semua tingkatan

manajemen di rumah sakit.

Hasil informasi dari data yang telah diolah yaitu

berupa laporan, dapat digunakan oleh pengguna

dalam mengambil keputusan untuk peningkatan

upaya pelayanan kesehatan. SIMRS berfungsi untuk

pengendalian mutu pelayanan, pengendalian mutu

dan penilaian produktivitas, penyederhanaan

pelayanan, analisis manfaat dan perkiraan

kebutuhan, penelitian klinis, pendidikan, serta

perencanaan dan evaluasi program (Kapalwi 2009).

Perkembangan sistem informasi manajemen

khususnya rumah sakit, saat ini belum bisa dikatakan

mengalami perkembangan yang cukup baik. Masih

banyaknya hal yang bersifat operasional dan

manajerial, membuat penerapan SIMRS mengalami

hambatan. Termasuk di RS PKU Muhammadiyah

Temanggung ini. Walaupun penerapan sistem

informasi telah dilakukan, namun penggunaan sistem

ini masih memiliki banyak kendala dan hambatan.

Hal inilah yang membuat SIMRS tidak maksimal

digunakan oleh pihak Rumah Sakit. Selain itu

pengguna yang merasa kesulitan dalam hal

penggunaan sistem, membuat pelaksanaan sistem ini

menjadi terhambat. Kesulitan pengguna dalam

menggunakan sistem informasi akan memberikan

dampak kepada ketidakberhasilan penerapan

SIMRS, yang akan berpengaruh terhadap pelayanan

rumah sakit kepada masyarakat.

Kondisi sistem informasi yang ada pada rumah

sakit saat ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Andika Bayu Saputra

137

1. Masing-masing program memiliki sistem

informasi sendiri yang belum terintegrasi,

sehingga bila diperlukan informasi yang

menyeluruh diperlukan waktu yang cukup lama

seperti data pasien dengan data keuangan /

tagihan serta data rekam medis pasien.

2. Terbatasnya perangkat keras (hardware) dan

perangkat lunak (software) di berbagai jenjang

padahal kapabilitas untuk itu dirasa memadai.

3. Terbatasnya kemampuan dan kemauan sumber

daya manusia untuk mengelola dan

mengembangkan sistem informasi

4. Masih belum membudayanya pengambilan

keputusan berdasarkan data / informasi.

5. Belum adanya pengembangan karir bagi

pengelola sistem informasi, sehingga sering

sekali timbul keengganan bagi petugas untuk

mamasuki atau dipromosikan menjadi pengelola

sistem informasi.

6. Adanya penyimpangan dengan menggunakan

nota ganda pada banyak transaksi baik dibagian

gudang dan kasir.

Sesuai dengan kondisi diatas, pada tiap Rumah

Sakit memiliki kendala yang akan dihadapai dalam

implementasi sistem informasi terintegritas. Baik

dari sisi faktor eksternal rumah sakit maupun faktor

internal rumah sakit itu sendiri. Bagi para penyedia

jasa pembuatan Sistem Informasi (vendor) proses

bisnis yang ada dirumah sakit menjadi acuan awal

dalam pembuatan SIM RS. Pada dasarnya proses

bisnis dan alur pelayanan pada tiap-tiap Rumah Sakit

memiliki kesamaan sehingga pihak vendor memiliki

gambaran awal dalam pembuatan SIM RS. Tidak

menutup kemungkinan jika rumah sakit yang satu

dengan yang lainnya meminta perubahan pada sistem

menyesuaikan kondisi yang ada. Perbedaan dari sisi

alur bisnis yang ada dirumah sakit dan pada sistem

terkadang membuat sistem informasi tersebut dalam

implementasinya kurang berjalan lancar sehingga

memberikan beban pada rumah sakit dikarenakan

waktu dalam implementasi yang cukup lama dan

menghabiskan dana operasional yang tidak sedikit.

Untuk itu perlu adanya adanya penelitian untuk

mengidentifikasi faktor – faktor apa saja yang

mendukung keberhasilan implementasi SIM RS,

selain itu untuk mengetahui faktor – faktor yang

harus dihindari agar implementasi SIM RS tidak

dikatakan gagal / kurang berhasil. Diharapkan

dengan adanya penelitian ini akan memberikan

metode baru yang perlu diperhatikan ketika sebuah

rumah sakit akan mengimplementasikan Sistem

informasi manajemen rumah sakit.

Secara umum, permasalahan dalam

implementasi sistem informasi terintegrasi pada

rumah sakit adalah sebagai berikut (Wijaya 2011).

a. Implementasi sistem informasi merupakan

proyek yang menuntut kerja keras dan kerja

cerdas. Hal ini didukung oleh orang – orang yang

suka terhadap perubahan, suka terhadap pola

pekerjaan yang berhubungan dengan orang dan

menyukai pekerjaan yang menantang untuk

menciptakan suatu perubahan yang dapat

menjadikan pekerjaan lebih efisien.

b. Sistem informasi yang terintegrasi tidak berkerja

sendiri. pada prinsipnya cara kerja sistem

informasi yang terintegrasi menuntut peran

utama dari orang – orang yang mau melakukan

dan menjalankan sesuai prosedur aplikasi

program. Suatu aplikasi program tidak dapat

bekerja sendiri tanpa sentuhan pengguna untuk

melakukan penginputan transaksi operasional

secara berkala.

c. Implementasi sistem informasi harus dijadikan

pekerjaan utama. Pada tahapan implementasi

suatu sistem informasi yang terintergrasi, sering

terjadi kegiatan yang parallel antara sistem baru

dengan sistem tradisional. Hal ini membuat para

pengguna enggan, terbeban dan tidak termotivasi

untuk melakukan trial simulasi, implementasi

untuk melakukan input data pada sistem

informasi baru yang belum dikenal. Sikap

pengguna terhadap pelaksanaan sistem informasi

baru dapat dikelompokkan menjadi sebagai

berikut, (1) Kelompok Pro Perubahan, (2)

Kelompok Netral, dan (3) Kelompok Perlawanan

(resistance) terhadap perubahan.

d. Perubahan cara kerja dan pola pikir (mindset).

Setiap Rumah Sakit memiliki budaya cara kerja

yang sudah berjalan selama Rumah Sakit itu

berdiri.

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 135-148

138

Sistem informasi yang ada pada saat ini, dalam

penerapannya memiliki banyak tantangan baik dari

faktor internal maupun eksternal instansi pelayanan

kesehatan dalam hal ini yaitu rumah sakit. Talah

banyak ditemukan permasalahan teknis dan non

teknis dalam melakukan penerapan sistem informasi

terlebih jika menghadapi pengguna dari beberapa

level/tingkatan, baik tingkatan pengguna biasa

hingga tingkatan manajerial. Secara umum,

permasalahan dalam penerapan sistem informasi

adalah sebagai berikut: (1) Penerapan sistem

informasi merupakan proyek yang menuntut kerja

keras dan kerja cerdas. (2) Sistem informasi yang

terintegrasi dapat bekerja sendiri. (3) Penerapan

sistem informasi harus dijadikan pekerjaan utama.

(4) Perubahan cara kerja dan pola pikir.

Ketidakberhasilan penerapan sistem informasi

dikarenakan pengembangan sistem informasi yang

ada tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi. Hal ini

disebabkan, belum diketahui secara pasti bagaimana

peran sistem informasi terhadap organisasi. Hasil

penelitian yang telah dilakukan terhadap sistem

informasi kesehatan menunjukkan bahwa aspek

pemanfaatan terhadap sistem informasi pada saat ini

masuk pada kategori rendah, sedangkan aspek

strategis sistem informasi untuk masa yang akan

datang masuk pada kategori tinggi (Setiono 2011).

Pengkategorian peran sistem informasi ini

didasarkan menurut McFarlan’s Grid yang terdiri

dari empat kategori yaitu support mode, factory

mode, strategic mode dan turnaround mode.

Penelitian yang akan dilakukan terhadap

SIMRS mengacu pada kerangka kerja HOT-Fit.

HOT-Fit adalah salah satu kerangka teori yang

dipakai untuk evaluasi sistem informasi dalam

bidang pelayanan kesehatan. Teori HOT-Fit

ditujukan pada komponen inti dalam sistem

informasi yaitu Human (manusia) – Organization

(organisasi) – Technology (Teknologi) dan

kecocokan diantar ketiga komponen tersebut (Yusof

et al 2006).

Teori HOT-Fit dikemukakan oleh Yusof et al.

(2006) di konferensi Internasional Hawaii Sciences

System ke-39. Teori dibuat dari dua model evaluasi

untuk sistem informasi, model tersebut adalah IS

Success Model (DeLone and Mclean 2004) dan IT

Organization-Fit Model (Morton 1990).

Kerangka teori Metode Evaluasi HOT-Fit

adalah sebagai berikut:

1. Human. Ada dua hal berikut menjadi komponen

penting, yaitu: (a) System use; mengacu pada

keseringan dan cakupan penggunaan fungsi-

fungsi sistem, pelatihan, pengetahuan,

pengharpan, dan penerimaan atau penolakan. (b)

User Satisfaction; merupakan evaluasi secara

keseluruhan dari pengalaman pengguna dalam

menggunakan sistem informasi dan potensi

pengaruh sistem informasi. User satisfaction

berhubungan dengan pengetahuan

kedayagunaan sistem dan sikap pengguna

tentang sistem informasi yang dipengaruhi

karakteristik pengguan (Preece 2002).

2. Organization. Dua hal berikut menjadi

komponen penting dalam organization, yaitu: (a)

Structure; struktur organisasi mencerminkan

keadaan instansi, budaya, politik, hirarki,

autonomi, perencanaan dan sistem control,

strategi, manajemen, kepemimpinan dan

komunikasi. (b) Environment; lingkungan ini

adalah lingkungan diluar dari organisasi seperti,

politik, kebijakan pemerintah, sumber keuangan

(pemilik modal), lokasi, kompetisi, hubungan

antar instansi, populasi yang dilayani dan

komunikasi.

3. Technology. Komponen dalam teknologi tiga hal

berikut: (a) System Quality; pengukuran fitur-

fitur yang terdapat pada sistem informasi

terutama kemampuan sistem dan tampilan antar

muka (Preece 2002). Contoh: kemudahan

penggunaan, kemudahan pembelajaran, waktu

tanggapan, kedayagunaan, ketersediaan, tahan

uji, penyesuaian, keamanan dan ketersediaan

dukungan teknis. (b) Information Quality;

berkaitan dengan proses informasi dan informasi

yang dihasilkan oleh sistem. Kriteria dari

kualitas informasi adalah kelengkapan,

ketepatan, kemudahan pembacaan, tepat waktu,

ketersediaan, relevansi, konsistensi, tahan uji,

metode input data, dan kualitas. (c) Service

Quality; pengukuran secara keseluruhan dari

dukungan penyedia jasa sistem atau teknologi.

Kriteria yang diukur adalah kecepatan respons,

jaminann layanan, empati dan penanganan

layanan.

Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Andika Bayu Saputra

139

TECHNOLOGY

System Quality

Information Quality

Service Quality

HUMAN

System Use

User Satisfication

Organization

Structure

Environment

NET BENEFIT

Fit

Influence

Gambar 1. Kerangka Kerja HOT-Fit (Sumber: Yusof et al 2006) Figure 1. HOT-Fit Framework (Source: Yusof et al 2006)

4. Net Benefits. adalah keseimbangan antara

dampak positif dan negatif dari pengguna (para

pekerja medis, manajer, pegawai non medis,

developer sistem dan semua bagian yang terkait).

Net Benefit dapat diakses menggunakan benefit

langsung, efek pekerjaan, efisiensi dan

efektivitas, menurunkan tingkat kesalahan,

komunikasi, mengendalikan pengeluaran dan

biaya. Semakin tinggi dampak positif yang

dihasilkan semakin berhasil implementasi sistem

informasi. Fit dapat diukur dan dianalisis

menggunakan jumlah definisi yang diberikan

dari ketiga faktor tersebut. Ketiga faktor tersebut

berhubungan dalam delapana dimensi relasi atas

kesuksesan SIMRS, yaitu System Quality,

Information Quality, Service Quality, System

Use, User Satisfaction, Organizational

Structure, Organizational Environment dan Net

Benfits. Hubungan kedelapan dimensi ini adalah

sebagai berikut: (a) Saling mempengaruhi baik

secara sementara dan sebab akibat antara System

Quality, Information Quality, Service Quality

secara tunggal maupun bersama-sama

mempengaruhi System Use dan User

Satisfaction. (b) System Use dan User

Satisfaction memiliki hubungan timbal balik

dengan Information Quality. Sistem akan

menghasilkan keluaran informasi yang baik jika

pengguna mahir dan puas menggunakan sistem

informasi. Kemahiran pengguna tergantung pada

pengetahuan pengguna dan pelatihan terhadap

penggunaan sistem informasi. (c) System Use

juga memiliki hubungan timbal balik dengan

User satisfaction. Pengguna akan semakin puas

dalam menggunakan sistem informasi jika

pengguna mahir dan memahami sistem

informasi. (d) Faktor Environtment seperti

aturan pemerintah dan politik dapat

mempengaruhi Structure (struktur organisasi),

Structure juga akan mempengaruhi

Environtment, yaitu populasi yang akan dilayani.

(e) System use dan User Satisfaction akan

memberikan informasi langsung kepada Net

Benefit. Net Benefit akan memberikan timbal

balik juga kepada System Use dan User

Satisfaction. (f) Structure dan Environtment

organisasi akan memberikan informasi langsung

kepada Net Benefit. Net Benefit akan

memberikan timbal balik juga kepada Structure

dan Environtment organisasi.

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 135-148

140

II. METODOLOGI

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan

pendekatan kuatitatif. Pengumpulan data primer

menggunakan kuesioner yang disusun berdasarkan

data dari literatur dan paper yang berhubungan

dengan HOT-Fit. Sedangkan data sekunder pustaka

regulasi berupa peraturan pemerintah, melakukan

penelusuran dari sejumlah literatur seperti jurnal,

paper dan buku yang berhubungan dengan penelitian

SIMRS.

Pengumpulan data dilakukan di rumah sakit

yaitu RS PKU Muhammadiyah Sruweng yang ada

dikebumen. Cakupan data adalah khusus yang terkait

dengan 2 komponen yaitu bagian manajerial RS,

karyawan RS (SDM) terdiri dari perawat, pegawai

administrasi, pegawai kasir, pegawai apotik, pegawai

gudang farmasi, pegawai gudang gizi, dan lainnya.

Analisis data dengan menggunakan metode

HOT-FIT dan metode evaluasi hasil penelitian

menggunakan SEM (Structural Equation Model).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan dengan memperoleh data

dari kuesioner yang disebar. Dari 150 kuesioner yang

disebar ada 125 kuesioner yang dikembalikan dan

ada 111 kuesioner yang layak dianalisis. Data

kuisioner seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengumpulan Kuesioner Table 1. Result of Collecting Questionnaire

Kuesioner

(Questionnaire)

Jumlah

(Amount)

Yang Disebar 150

Yang Kembali 125

Yang Layak Di Analisi 111

1. Identitas Responden

Deskripsi responden dikelompokkan menjadi

empat, yaitu berdasarkan jenis kelamin, usia, jenjang

pendidikan, dan jabatan dalam organisasi. Secara

terperinci deskripsi responden sebagai berikut.

Berdasarkan jenis kelamin, responden terdiri

dari laki-laki dan perempuan. Data identitas

responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat

pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis Kelamin Responden Table 2. Respondent Gender

Jenis Kelamin (Gender) Jumlah (Amount)

Laki-Laki 41

Perempuan 70

Berdasarkan usia, responden terdiri atas tiga

kategori, yaitu 20 – 30 tahun, 31 – 40 tahun, dan 40

– 50 tahun. Data karakteristik responden berdasarkan

usia dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Usia Responden Table 3. Ages of Respondents

Usia (Ages) Jumlah (Amount)

20 – 30 Tahun 97

31 – 41 Tahun 12

40 – 50 Tahun 2

Berdasarkan Tabel 3.3 menunjukkan bahwa

responden terbanyak berusia antara 20 – 30 tahun

yaitu 97 responden atau 87,38% dari total jumlah

responden diikuti dengan responden yang berusia 31

– 40 tahun yaitu 12 responden atau 10,81% dari total

jumlah responden. Sisanya berasal dari kelompok

usia lain, yaitu 41 – 50 tahun sebanyak 2 orang atau

1,80% dari total jumlah responden.

Berdasarkan jenjang pendidikan, responden

terdiri atas lima kategori, yaitu SMA dan sederajat,

Diploma (D1/D3), Sarjana (S1), Pasca Sarjana (S2)

dan Lainnya.

Tabel 4. Pendidikan Terakhir Responden Table 4. Respondents Last Education

Pendidikan (Education) Jumlah (Amount)

SMA 15

Diploma (D1/D3) 103

Sarjana (S1) 3

Pasca Sarjana (S2) 0

Lainnya 0

Kategori yang terakhir merupakan kategori

pendidikan diluar dari kategori yang ada. Data

karakteristik responden berdasarkan jenjang

pendidikan terakhir dapat dilihat pada Tabel 4.

Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Andika Bayu Saputra

141

Tabel 5. Jabatan Responden Table 5. Respondents Position

Jabatan (Position)

Jumlah Pegaawai (Worker Total)

Minimal Respondent (Minimal Respondents)

Responden (Respondents)

Perawat Pelaksana 123 30 40

Koordinator 22 6 14

Apoteker 5 2 4

Asisten Manajer 22 6 10

Perawatan Administrasi 91 21 25

Penunjang Medis 28 7 10

Total 307 76 111

Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa

responden mayoritas memiliki tingkat pendidikan

terakhir sebagai Diploma (D1/D3) sebanyak 103

responden atau 92,79% dari total responden. Sisanya

dari tingkat pendidikan lain yaitu SMA dan sederajat

sebanyak 15 responden atau 13,51%, Sarjana (S1)

sebanyak 3 responden atau 2,70%.

Berdasarkan jabatan dalam organisasi,

responden terdiri atas tujuh kategori, yaitu perawat

pelaksana, koordinator, apoteker, asisten manajer,

bidan, perawatan administrasi dan jabatan lainnya

seperti manajer unit. Data responden berdasarkan

jabatan dalam organisasi dapat dilihat pada Tabel 5.

Berdasarkan Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa

yang menjadi responden mayoritas memiliki jabatan

sebagai perawat pelaksana sebanyak 40 responden

atau 36,03% dari total responden. Sisanya dari

jabatan lain yaitu koordinator sebanyak 14 responden

atau 12,61%, apoteker sebanyak 4 responden atau

3,60%, asisten manajer sebanyak 10 responden atau

9,00%, bidan sebanyak 8 responden atau 7,20%,

perawatan administrasi sebanyak 25 responden atau

22,52% dan penunjang medis sebanyak 10 responden

atau 9,00%.

2. Tanggapan dari Responden

Jawaban responden di tiap variabel berdasarkan

kuesioner yang telah disebar akan diuraikan sebagai

berikut:

A. Kualitas Sistem

Jawaban responden terhadap variable kualitas

sistem dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel

4.6 terlihat mayoritas responden yaitu sebesar

55,50% dari total jumlah responden menjawab setuju

atas pertanyaan mengenai kualitas sistem dari

SIMRS dan hanya 3% menjawab sangat tidak setuju

dan 2,52% menjawab tidak setuju.

Tabel 6. Kualitas Sistem Table 6. Quality of System

Item Pertanyaan (Question Item)

Jenis Jawaban (Type of Answering)

Jumlah (Total)

Sangat Tidak Setuju

(Strongly Disagree)

Tidak Setuju (Disagree)

Netral Setuju (Agree)

Sangat Setuju (Strongly

Agree)

KS1 1 6 21 77 6 111

0% 5.41% 18.92% 69.37% 5.41% 100%

KS2 0 4 21 79 7 111

0% 3.60% 18.92% 71.17% 6.31% 100%

KS3 0 5 21 65 20 111 0% 4.50% 18.92% 58.56% 18.02% 100%

KS4 13 51 27 16 4 111 0% 45.95% 24.32% 14.00% 3.60% 100%

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 135-148

142

Tabel 6. Lanjutan Table 6. Continued

Item Pertanyaan (Question

Item)

Jenis Jawaban (Type of Answering)

Jumlah (Total)

Sangat Tidak Setuju (Highly

Disagree)

Tidak Setuju (Disagree)

Netral Setuju (Agree)

Sangat Setuju (Highly Agree)

KS5 0 8 18 71 14 111

0% 7.21% 16.22% 63.96% 12.31% 100% Kualitas Sistem

14 74 108 308 51 555

3% 2.52% 19.46% 55.50% 9.19% 100%

B. Kualitas Informasi

Jawaban responden terhadap variabel kualitas

informasi dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan

data yang dapat dilihar pada tabel Tabel 7 terlihat

bahwa mayoritas responden yaitu sebesar 65,05%

dari total jumlah responden menjawab setuju atas

pertanyaan mengenai kualitas informasi dari SIMRS

dan 6,85% menjawab tidak setuju.

Tabel 7. Kualitas Infomasi Table 7. Quality of Informations

Item

Jenis Jawaban (Type of Answering)

T STS TS N S SS

KI1 0 13 18 70 10 111

0% 11.71% 16.22% 63.06% 9.01% 100%

KI2 0 7 18 72 14 111

0% 6.31% 16.22% 64.86% 12.61% 100%

KI3 1 8 24 74 4 111

0.90% 7.21% 21.62% 66.67% 3.60% 100%

KS4

0 4 25 74 8 111

0% 3.60% 22.52% 66.67 7.21 100%

KS5 0 6 20 71 14 111

0% 5.41% 18.02% 63.96% 12.61% 100% Total 1 38 105 361 50 555

0.18% 6.85% 18.92% 65.05% 9.01% 100% Keterangan (Remarks) : STS : Sangat Tidak Setuju (Highly Disagree) TS : Tidak Setuju (Disagree) N : Netral (Neutral) S : Setuju (Agree) SS : Sangat Setuju (Highly Agree)

C. Kualitas Layanan

Jawaban responden terhadap variabel kualitas

layanan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Kualitas Infomasi Table 8. Quality of Informatios

Item

Jenis Jawaban (Type of Answering)

T STS TS N S SS

KL1 2 15 31 60 3 111

1.80% 13.51% 27.93% 54.05% 2.70% 100%

KL2 1 11 35 61 3 111

0.90% 9.91% 31.53% 54.95% 2.70% 100%

KL3 1 9 31 64 6 111

0.90% 8.11% 27.93% 57.66% 5.41% 100%

KL4 2 10 30 65 4 111

1.80% 9.01% 27.03% 58.56% 3.60% 100% Total 6 45 127 250 16 444

1.35% 10.14% 28.60% 56.31% 3.60% 100% Keterangan (Remarks) : STS : Sangat Tidak Setuju (Highly Disagree) TS : Tidak Setuju (Disagree) N : Netral (Neutral) S : Setuju (Agree) SS : Sangat Setuju (Highly Agree)

Jawaban responden terhadap variabel kualitas

informasi dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan

data yang dapat dilihar pada tabel Tabel 7 terlihat

bahwa mayoritas responden yaitu sebesar 65,05%

dari total jumlah responden menjawab setuju atas

pertanyaan mengenai kualitas informasi dari SIMRS

dan 6,85% menjawab tidak setuju.

D. Penggunaan Sistem

Jawaban responden terhadap variable

penggunaan sistem dapat dilihat pada Tabel 9.

Berdasarkan Tabel 3.9 terlihat bahwa mayoritas

responden yaitu sebesar 61,73% dari total jumlah

responden menjawab setuju atas pertanyaan

mengenai penggunaan sistem dari SIMRS dan hanya

Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Andika Bayu Saputra

143

0,19% menjawab sangat tidak setuju dan 6,54%

menjawab tidak setuju.

Tabel 9. Penggunaan Sistem Table 9. Uses of the System

Item

Jenis Jawaban (Type of Answering) T

STS TS N S SS

PS1 0 3 18 66 24 111

0.00% 2.70% 16.22% 59.46% 21.62% 100%

PS2 1 4 17 78 11 111

0.90% 3.60% 15.32% 70.27% 9.91% 100%

PS3 0 9 34 64 4 111

0.00% 8.11% 30.63% 57.66% 3.60% 100%

PS4 0 16 19 65 11 111

0.00% 14.41% 17.12% 58.56% 9.91% 100%

Total 1 32 88 273 50 444

0.23% 7.21% 19.82% 61.49% 11.26% 100%

Keterangan (Remarks) : STS : Sangat Tidak Setuju (Highly Disagree) TS : Tidak Setuju (Disagree) N : Netral (Neutral) S : Setuju (Agree) SS : Sangat Setuju (Highly Agree)

E. Kepuasan Pelanggan

Jawaban responden terhadap variable Kepuasan

Pelanggan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Kepuasan Pelanggan Table 10. User Satistification

Item

Jenis Jawaban (Type of Answering)

T

STS TS N S SS

PS1 1 7 18 72 13 111

0.90% 6.31% 16.22% 64.86% 11.71% 100%

PS2 3 22 30 53 3 111

2.70% 19.82% 27.03% 47.75% 2.70% 100% Total 4 29 48 125 16 222

1.80% 13.06% 21.62% 56.31% 7.21% 100% Keterangan (Remarks) : STS : Sangat Tidak Setuju (Highly Disagree) TS : Tidak Setuju (Disagree) N : Netral (Neutral) S : Setuju (Agree) SS : Sangat Setuju (Highly Agree)

F. Struktur Organisasi

Berdasarkan data pada Tabel 11 terlihat bahwa

mayoritas responden yaitu sebesar 64,31% dari total

jumlah responden menjawab setuju atas pertanyaan

mengenai implementasi SIMRS direncanakan

dengan baik oleh pihak manajemen dan hanya 0,31%

menjawab sangat tidak setuju dan 5,54% menjawab

setuju.

Tabel 11. Kepuasan Pelanggan Table 11. Users Satisfication

Item

Jenis Jawaban (Type of Answering)

T STS TS N S SS

SO1 0 9 30 61 11 111

0% 8.11% 27.03% 54.95% 9.91% 100%

SO2 0 1 17 76 17 111

0% 0.90% 15.32% 68.47% 15.32% 100%

SO3 1 10 28 63 9 111

0% 9.01% 25.23% 56.76% 8.11% 100%

SO4 0 2 23 68 18 111

0% 1.80% 20.72% 61.26% 16.22% 100%

SO5 1 2 28 66 14 111

0.90% 1.80% 25.23% 59.46% 12.61% 100%

Total 2 24 126 334 69 555

0.36% 4.32% 22.70% 60.18% 12.43% 100% Keterangan (Remarks) : STS : Sangat Tidak Setuju (Highly Disagree) TS : Tidak Setuju (Disagree) N : Netral (Neutral) S : Setuju (Agree) SS : Sangat Setuju (Highly Agree)

G. Lingkungan Organisasi (LO)

Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa mayoritas

responden yaitu sebesar 61,23% dari total jumlah

responden menjawab setuju atas pertanyaan

mengenai lingkungan organisasi setelah penerapan

SIMRS dan hanya 3,69% menjawab tidak setuju.

Tabel 11. Kepuasan Pelanggan Table 11. Users Satisfication

Item

Jenis Jawaban (Type of Answering)

T STS TS N S SS

LO1 0 4 18 82 7 111

0% 3.60% 16.22% 73.87% 6.31% 100%

LO2 0 1 22 73 15 111

0% 0.90% 19.82% 65.77% 13.51% 100%

LO3 0 6 23 70 12 111

0% 5.41% 20.72% 63.06% 10.81% 100%

LO4 1 18 17 52 23 111

0% 16.22% 15.32% 46.85% 20.72% 100%

LO5 1 7 16 65 22 111

0% 6.31% 14.41% 58.56% 19.82% 100%

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 135-148

144

Tabel 11. Lanjutan Table 11. Continued

Item

Jenis Jawaban (Type of Answering)

T

STS TS N S SS

Total 2 36 96 342 79 555

0% 6.49% 17.30% 61.62% 14.23% 100% Keterangan (Remarks) : STS : Sangat Tidak Setuju (Highly Disagree) TS : Tidak Setuju (Disagree) N : Netral (Neutral) S : Setuju (Agree) SS : Sangat Setuju (Highly Agree)

H. Manfaat Sistem (MS)

Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa mayoritas

responden yaitu sebesar 68,62% dari total jumlah

responden menjawab setuju atas pertanyaan

mengenai manfaat sistem dari SIMRS dan hanya

1,08% menjawab tidak setuju.

Tabel 13. Manfaat Sistem Table 13. Benefits System

Item

Jenis Jawaban (Type of Answering)

T STS TS N S SS

MS1 0 2 23 73 13 111

0% 1.80% 20.72% 65.77% 11.71% 100%

MS2 0 0 21 80 10 111

0% 0.00% 18.92% 72.07% 9.01% 100%

MS3 0 1 20 74 16 111

0% 0.90% 18.02% 66.67% 14.41% 100%

MS4 0 0 18 78 15 111

0% 0.00% 16.22% 70.27% 13.51% 100%

Total 0 4 26 61 20 111

0% 3.60% 23.42% 54.95% 18.02% 100%

Keterangan (Remarks) : STS : Sangat Tidak Setuju (Highly Disagree) TS : Tidak Setuju (Disagree) N : Netral (Neutral) S : Setuju (Agree) SS : Sangat Setuju (Highly Agree)

3. Tanggapan dari Responden

Penelitian tentang penerapan Sistem Informasi

Manajemen Rumah Sakit di RS PKU

Muhammadiyah Temanggung dengan

mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan

penerapan SIMRS dengan menggunakan metode

HOT-Fit yang dilakukan memiliki sebelas hipotesis

yang akan diuji. Dari sebelas hipotesis tersebut

terdapat delapan hipotesis yang diterima dan bisa

dilihat pada Tabel 14.

Tabel 10. Hasiln Hipotesis Penelitian Table 10. Resul of Research Hipotesist

No. Hipotesis Arah Pengaruh

Hasil Dari Ke

1 H1 KS PS Diterima 2 H2 KS KP Diterima 3 H3 KI PS Ditolak 4 H4 KI KP Diterima 5 H5 KL PS Ditolak 6 H6 KL KP Diterima 7 H7 KP PS Diterima 8 H8 SO LO Diterima 9 H9 PS MS Ditolak 10 H10 KP MS Diterima 11 H11 ORG MS Diterima

A. Ada Pengaruh dari Kualitas Sistem (system

quality) Terhadap Pengguna Sistem (system

user)

Kualitas sistem dalam sistem informasi menurut

Yusof et al (2006) dapat dinilai dari kemudahan

penggunaan (easy of use), kemudahan untuk

dipelajari (easy of learning), response time,

usefulness, ketersediaan, fleksibilitas, dan sekuritas

serta menyangkut keterkaitan fitur dalam sistem

termasuk performa sistem dan user interface.

Sedangkan penggunaan sistem (system use)

berhubungan dengan siapa yang menggunakan (who

use it), tingkat penggunanya (level of user),

pelatihan, pengetahuan, harapan dan sikap menerima

(acceptance) atau menolak (resistance) sistem.

Sehingga bisa dianalisis bila kualitas sistem dari

suatu sistem informasi dikatakan baik bila memenuhi

syarat-syarat yang disebutkan Yusof et al diatas

dengan melihat siapa yang menggunakan, tingkat

penggunanya, sikap menerima dan menolak sistem

tersebut. Dalam kasus SIMRS, responden

menganggap kualitas sistem berpengaruh dalam

penggunaan SIMRS. Hasil penelitian tersebut juga

dimungkinkan karena sebagian besar pengguna

memahami tentang kualitas sistem yang digunakan.

B. Ada Pengaruh Kualitas Sistem (system

quality) Terhadap Kepuasan Pengguna

(user satisfaction).

Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Andika Bayu Saputra

145

Berdasarkan hasil observasi terhadap responden

kemudahan sistem mempengaruhi kepuasan

penggunanya dalam membantu pekerjaan mereka

mengolah data dan informasi. Menurut Purba (2007)

kemudahan teknologi merupakan hal yang

mempengaruhi frekuensi penggunaan sistem.

Kemudahan penggunaan juga dipengaruhi oleh

kemudahan untuk dipelajari dan kemanfaatan

dipengaruhi oleh kemudahan penggunaan.

Sementara kemudahan dan kemanfaatan akan

mempengaruhi penerimaan sistem oleh

penggunanya. Sistem yang diterima akan

memberikan kepuasan bagi penggunanya.

Dari kasus penelitian ini, kualitas sistem sudah

memuskan penggunanya. Dikarenakan adanya

kemudahaan sistem agar memberikan manfaat

optimal bagi para pengguna dengan lebih

meningkatkan penggunaan SIMRS di rumah sakit.

Menurut Yusof et al (2006), kepuasan pengguna

merupakan keseluruhan penilaian dari pengalaman

pengguna dalam menggunakan sistem informasi dan

dampak potensialnya. Kepuasan pengguna dapat

dihubungkan dengan kemanfaatan teknologi dan

sikap pengguna terhadap sistem.

C. Ada Pengaruh Kualitas Informasi

(information quality) Terhadap Pengguna

Sistem (system use)

Menurut Jogiyanto (2001) kualitas suatu

informasi tergantung dari tiga hal yaitu: (a) Akurat,

informasi harus bebas dari kesalahan dan harus jelas

mencerminkan maksudnya. (b) Tepat pada

waktunya, informasi yang dating ke penerima tidak

boleh terlambat. Informasi yang usang tidak ada

nilainya lagi. Karena informasi menjadi landasan

dalam pengambilan keputusan. (c) Relevan,

informasi tersebut mempunyai manfaat untuk

pemakainya.

Sedangkan menurut Yusof et al (2006), kriteria

yang dapat digunakan untuk menilai kualitas

informasi antara lain kelengkapan, keakuratan,

ketepatan waktu, ketersediaan, relevansi, konsistensi

dan data entry. Bila syarat-syarat kualitas informasi

sudah memenuhi syarat yang telah disebutkan, maka

kualitas informasi dalam suatu sistem informasi

sudah dapat dikatakan baik. Untuk mendapatkan

kualitas informasi yang baik bagi penggunaannya,

perlu dilakukan pembenahan kualitas sistem untuk

menghasilkan kualitas informasi yang baik bagi

penggunanya.

D. Ada Pengaruh Kualitas Informasi

(information quality) Terhadap Pengguna

Sistem (system use)

Hasil hipotesis keempat ini menurut peneliti ada

keterkaitan dengan hipotesis sebelumnya (hipotesis

ketiga), dimana kualitas informasi akan

mempengaruhi pengunaanya. Bila kualitas informasi

yang dihasilkan baik akan memberikan kepuasan

kepada penggunanya dan sebaliknya. Oleh karena itu

untuk memberikan kepuasan bagi pengguna SIMRS,

perlu ditingkatkan kualitas informasinya.

E. Ada Pengaruh Dari Kualitas Layanan

(service quality) Terhadap Penggunaan

Sistem (system use).

Berdasarkan hasil pengujian tersebut diatas,

berarti semakin tinggi kualitas layanan maka akan

semakin rendah penggunaan sistem informasi

tersebut. Hasil ini menunjukkan bahwa kemudahan

dari vendor menyebabkan responden memiliki

ketergantungan yang tinggi terhadap vendor karena

dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi

sehingga berkurangnyan responden untuk

menggunakan sistem ini.

F. Ada Pengaruh Dari Kualitas Layanan

(service quality) Terhadap Kepuasan

Pengguna (user satisfication).

Berdasarkan pengujian diatas, maka semakin

tinggi kualitas layanan maka akan semakin tinggi

kepuasan pengguna SIMRS. Hipotesis ini

menunjukkan adanya kualitas layanan yang baik dari

vendor sehingga menimbulkan kepuasan pengguna

SIMRS. Kepuasan pengguna disebabkan karena

layanan vendor yang cepat saat dibutuhkan, vendor

memberikan jaminan kualitas dan layanan terhadap

penggunaan SIMRS serta mampu menyelesaikan

permasalahan yang mungkin timbul dalam

penggunaan SIMRS.

G. Ada Pengaruh Dari Kepuasan Pengguna

(user satisfication) Terhadap Kepuasan

Penggunaan Sistem (system use).

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 135-148

146

Berdasarkan hasil tersebut diatas, berarti

semakin tinggi kepuasan pengguna maka akan

semakin tinggi pula penggunaan sistem informasi

tersebut. Penggunaan SIMRS pada dasarnya

membantu dalam pelayanan di rumah sakit. Karena

sistem ini sering digunakan dalam kegiatan sehari-

hari sebagai tugas rutin sehingga membuat responden

menjadi terbiasa dengan sistem ini sehingga mudah

dalam penggunaanya. Sistem yang lebih sering

digunakan menunjukkan bahwa sistem tersebut lebih

dikenal, lebih mudah dioperasikan, dan lebih mudah

digunakan. Bila sistem terasa mudah digunakan akan

mendatangkan kepuasan bagi pengguna. Oleh karna

itu untuk lebih lebih meningkatkan kepuasan

pengguna perlu disarankan untuk meningkatkan

penggunaan sistem ini dan sering diadakan pelatihan-

pelatihan agar penggua lebih terampil

menggunakannya.

H. Ada Pengaruh Dari Struktur Organisasi

(user satisfication) Terhadap Lingkungan

Organisasi (envirovment).

Dari hasil pengujian tersebut diperoleh bahwa

semakin tinggi nilai suatu struktur organisasi maka

akan semakin tinggi pula pengaruh lingkungan

organisasi sistem informasi tersebut. Struktur

organisasi adalah tipe, kultur, politik, hirarki,

perencanaan dan pengendalian sistem, strategi,

manajemen dan komunikasi. Kepemimpinan,

dukungan dari top manajemen dan dukungan staf.

Lingkungan organisasi adalah sumber pembiayaan,

pemerintahan, politik, kompetisi, hubungan

interorganisasional dan komunikasi (Yusof at al

2006).

I. Ada Pengaruh Penggunaan Sitem (system

use) terhadap Net Benefit.

Dari hasil pengujian ini penggunaan sistem

tidak berpengaruh signifikan terhadap net benefit.

Artinya belum ada manfaat langsung yang diperoleh

dari penggunaan sistem informasi ini, seperti efek

pekerjaan, efisien dan efektifitas, menurunkan

tingkat kesalahan, mengendalikan pengeluaran dan

biaya. Dari pengamatan dilapangan tidak semua

responden yang menggunakan sistem informasi ini

dalam kegiatan sehari-harinya. Oleh karena itu perlu

ditingkatkan penggunaan sistem yang berkualitas

untuk mencapai net benefit yang diinginkan Rumah

sakit.

J. Ada Pengaruh dari Kepuasan Pelanggan

(user satisfication) terhadap Net Benefit.

Kepuasan pengguna adalah merupakan respon

dan umpan balik yang dimunculkan pengguna

setelah memakai sistem informasi. Sikap pengguna

terhadap sistem informasi merupakan kriteria

subjektif mengenai seberapa suka pengguna terhadap

sistem yang digunakan (Radityo,2007). Hasil

penelitian ini menunjukkan pengguna mendapatkan

mafaat langsung dari kepuasan pengguna dalam

memakai SIMRS seperti semakin efektif dan efisien

pelayanan yang dilakukan oleh rumah sakit,

berdampak pada meningkatnya kualitas rumah sakit

di masyarakat.

K. Ada Pengaruh dari Structure, Environment

(organizations) terhadap Net Benefit.

Organisasi harus mempunyai kemampuan

untuk menyiapkan sumber daya manusia untuk dapat

menyesuaikan terhadap masalah yang mungkin

terjadi dalam penerapan sistem informasi untuk

mengurangi kendala dalam mengelola transformasi.

Hal ini dapat dicapai melalui strategi dan manajemen

seperti dukungan pemimpin, kerja tim, dan

komunikasi efektif yang dibentuk dengan melibatkan

peran dan kemampuan karyawan. Disamping itu

segala sesuatu yang berhubungan dengan organisasi

dan perencanaan teknologi informasi haruslah

sejalan satu sama lain untuk menjamin bahwa

pengembangan teknologi didukung oleh tujuan

organisasi itu sendiri (Purba, 2007). Karena SDM,

prasarana dan program belum terwujud dengan baik

sehinga rumah sakit belum bisa mendapatkan

manfaat langsung dari SIMRS. Perlu diusulkan

peningkatkan pelayanan dengan perencanaan dan

pengembangan program TI, pendidikan dan

pelatihan bagi personil, sosialisasi SIMRS,

pengadaan sarana dan prasarana pendukung

penerapan SIMRS.

Dari hasil pembahasan analisis deskriptif dan

analisis korelasi yang menghasilakn bahwa masing-

masing variabel memiliki hubungan yang kuat dan

searah (positif), baik dari sisi Teknologi

(Technology), Manusia (Human), Organisasi

Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Andika Bayu Saputra

147

(Organization), dan manfaat sistem (Net beneftis)

maka hal-hal yang perlu diperhatikan bagi organisasi

rumah sakit terhadap SIMRS adalah sebagai berikut:

1. Sistem sering error terutama pada jam-jam

pelayanan yang sibuk dan mengakibatkan

informasi yang diharapkan lambat diperoleh,

seingga mengurangi kepuasan pengguna. Pihak

vendor harus memantau kemampuan sistem

dalam memproses data sehingga dapat diketahui

puncak jumlah data atau jumlah pengguna yang

mengakses sistem yang mengakibatkan sistem

menjadi lambat. Perbaikan sistem jaringan

komputer seperti pemisahan backbone SIMRS

dengan jaringan intranet rumah sakit.

2. Layanan vendor dibagian tertentu dinilai kurang

cepat, karena keterbatasan personil vendor. Hal

ini dapat diatasi dengan memberdayakan

personil EDP, supaya personil EDP dapat

membatu, maka EDP perlu dilibatkan dalam

proses perawatan sistem agar mengetahui

dokumentasi SIMRS (Hal ini perlu persetujuan

antara vendor dengan pihak manajemen rumah

sakit).

3. Pelatihan penggunaan SIMRS dinilai kurang

oleh responden, karena selama ini banyak

perawat bangsal belajar menggunakan sistem

dari pengguna yang sudah mahir menggunakan

sistem.

4. Organisasi perlu untuk memberikan

penghargaan bagi para pegawai yang berprestasi

supaya dapat meningkatkan kinerja dan

produktivitasnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Metode evaluasi HOT-Fit merupakan salah

satu metode yang digunakan untuk mengevaluasi

sistem informasi dibidang pelayanan kesehatan.

Memiliki 4 variabel yaitu Teknologi (Technology)

terdiri dari Kualitas sistem, kualitas informasi dan

kualitas layanan, Manusia (Human) terdiri dari

penggunaan sistem dan kepuasan pengguna,

Organisasi (Organization) terdiri dari struktur

organisasi dan lingkungan organisasi, dan Manfaat

sistem (Net Benefits). Variabel yang ada saling

mempengaruhi dimulai dari variabel teknologi

mempengaruhi manusia sebagai pengguna akhir dan

manfaat yang didapatkan (Net benefits). Dari sisi

teknologi, manusia dan organisasi juga

mempengaruhi net benefits.

Dari penjabaran diatas ditemukan indikator

yang berpengaruh positif dan signifikan yaitu dari

sisi teknologi (Technology) kualitas sistem memiliki

peranan penting terhadap penggunaan dan kepuasan

pengguna. Tidak hanya pada kualitas sistem, kualitas

informasi sistem dan kualitas layanan vendor juga

berpengaruh terhadap kepuasan pengguna. Dari sisi

Manusia (Human) pengguna akhir sistem, faktor

kepuasaan pengguna berpengaruh positif terhadap

penggunaan sistem. Sedangkan dari sisi Organisasai

(Organization), struktur organisasi yaitu sangat

berpengaruh positif dan signifikan terhadap

lingkungan organisasi. Organisasi (struktur dan

lingkungan) dan kepuasan pengguna memiliki

pengaruh yang positif dan signifikan terhadap

manfaat sistem (Net benefits).

Penerapan SIMRS di RS PKU Muhammadiyah

Temanggung masih ada beberapa kelemahan minor

yang tidak sulit untuk diatasi. Beberapa evaluasi

yang ditemukan adalah sistem yang masih error

pada jam – jam pelayanan yang padat, menyebakan

aktifitas pelayanan terhambat. Kurangnya personil

untuk menangani permasalahan sistem. Pengguna

yang masih kurang memahami tentang cara

penggunaan sistem.

B. Saran

Saran yang diberikan kepada pihak rumah sakit

untuk dapat memaksimalkan penerapan sistem

informasi manajemen rumah sakit adalah :

1. Perlu adanya peningkatan hubungan antara

teknologi dan pengguna (human) agar

penggunaan SIMRS dapat lebih ditingkatkan.

Dengan adanya pelatihan penggunaan sistem.

2. Pihak Vendoruntuk mengatasi permasalahan

kurangnya personil bisa memanfaatkan personil

EDP yang dibekali dengan dokumentasi sistem.

3. Pihak Vendor lebih meningkatkan kehandalan

sistem dan memberikan respon yang cepat jika

terjadi masalah pada sistem.

4. Organisasi sebaiknya lebih memperhatikan

infrastruktur pendukung SIMRS karena tanpa

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 135-148

148

dukungan dari manajemen akan banyak mucul

permasalahan yang dapat memepengaruhi

penerapan SIMRS.

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah agar

melibatkan variabel-variabel lain yang ada di dalam

metode HOT-Fit yang belum disertakan di dalam

penelitian ini agar dapat melihat pengaruhnya

terhadap penerapan sistem informasi khususnya

SIMRS.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyadari dalam melakukan penelitian ini,

telah mendapatkan banyak dukungan dan bantuan

dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima

kasih yang tak terhingga kepada Seluruh staf dan

dosen pada Magister Teknik Informatika Universitas

Islam Indonesia yang telah memberikan pelayanan

dan bekal ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis.

Pihak Rumah Sakit PKU Muhammadiyah

Temanggung yang tidak dapat penulis sebut satu

persatu, yang telah meluangkan waktunya untuk

memberikan informasi yang penulis butuhkan.

DAFTAR PUSTAKA

DeLone, W. H., McLean, E. R., 2003. The Delone

and McLean Model of Information System

Success : A Ten-Year Update. Journal of

Management Information System. Spring 2003,

Vol 19 (4), hal.9-30.

Kapalawi, I., 2009. Sistem Informasi Manajemen

Rumah Sakit. [online] tersedia di:

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/

6836

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 511 tahun 2002 tentang Kebijakan dan

Strategi Pengembangan Sistem Informasi

Kesehatan Nasional (SIKNAS). Jakarta: 2002

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1171/MENKES/PER/VI/2011 tentang

Sistem Informasi Rumah Sakit. K. K. R.

Indonesia, 2011.

Purba, E. L., 2007. Akseotabsu dan Kepuasan

Pengguna sistem Informasi Rumah Sakit

(SIRS) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)

Pematang Siantar. Yogyakarta.: Sekolah

Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

Jogiyanto, H. M., 2005. Sistem Teknologi Informasi.

Yogyakarta: Penerbit Andi

Radityo, D. & Zulaikha, 2007. Pengujian Model

DeLone and McLean Dalam pengembangan

Sistem Informasi Manajemen (Kajian Sebuah

Kasus). Simposium Nasional Akuntansi X.

Unhas Makasar 26-28 Juli 2007.

Setiono, 2011. Analisis Peran Sistem Informasi Di

Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung

Dengan Menggunakan Pendekatan

McFarlan’s Grid. Yogyakarta: UGM

Wijaya, S. F., 2011. Pengaruh Teknologi Informasi

Dan Perubahan Organisasi Dalam Bisnis.

Yogyakarta: Seminar Nasional Aplikasi

Teknologi Informasi 2011

Yusof, M. M., Paul, R. J., Stergioulas, L. K., 2006.

Towards a Framework for Health Information

Systems Evaluation. System Sciences. HICSS

’06 Proceedings of the 39th Annual Hawaii

International Conference. Vol. 5.

Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto

149

PERAN EXPERT PRESCRIBER DAN PROBLEM SOLVING PROCESS FACILITATOR HUMAS

PEMPROV KALSEL DALAM MELAYANI INFORMASI PUBLIK

ROLE OF EXPERT PESCRIBER AND PROBLEM SOLVING PROCESS OF PUBLIC

RELATIONS PROVINCIAL FACILITATOR OF SOUTH BORNEO SERVING IN PUBLIC

INFORMATION

Belinda Devi Larasati Siswanto

Biro Humas, Sekretarias Daerah Provinsi Kalimantan Selatan

Jalan Aneka Tambang, Komplek Setda Prov. Kalsel, Banjarbaru, Indonesia. 082153517979

Email: [email protected]

diterima: 4 Januari 2016 | direvisi: 11 Januari 2016 | disetujui: 18 Januari 2016

ABSTRACT

This study focuses PR government that has a function as an expert Presciber and Problem Solving Process

Facilitator in strengthening the Government Relations function itself. This research was conducted with a

qualitative approach with descriptive case study method, this research was conducted at the office of the Public

Relations Bureau of the Regional Secretariat of South Kalimantan Province. Last data collection techniques

dept interviews using a semi-structured interview, Determination Key Person who used informants in this

study taking into-hatikan level of concordance (relevance) between the position / positions and Keter-

informant involvement in the process of public information disclosure. The results showed the PR Bureau does

not fulfill the role as an expert prescriber in the activities he does. Meanwhile, the role of problem solving

process facilitator nothing visible in the PR Bureau, this is because the PR Bureau has not run verification

and inventory information to be discussed by senior management. Suggestion of this study Public Relations

Bureau of South Kalimantan province can utilize the human resources that already exist to have the ability to

perform tasks as a public relations major government and PPID in South Kalimantan province, given the

uneven coordination between the Bureau of Public Relations section. The next PR Bureau should be possible

to plan a program of activities and their sustainable strategies for the acceleration of public disclosure.

Keywords: Public Relations, Government, Expert prescriber, Problem Solving Facilitator precess

ABSTRAK

Penelitian ini menitikberatkan Humas pemerintah yang memiliki fungsi sebagai expert Presciber dan Problem

Solving Process Facilitator dalam menguatkan fungsi Humas Pemerintah itu sendiri. Penelitian ini dilakukan

dengan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus deskriptif, Penelitian ini dilakukan di kantor Biro

Humas Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Teknik pengumpulan data terakhir yakni wawancara

mendalam dengan menggunakan wawancara semi terstruktur, Penentuan Key Person yang dijadikan

narasumber dalam penelitian ini dengan memper-hatikan tingkat kesesuaian (relevansi) antara kedudukan/

jabatan dan keter-libatan informan dalam proses keterbukaan informasi public. Hasil penelitian menunjukan

Biro Humas tidak memenuhi peran sebagai expert Prescriber dalam kegiatan yang dilakukannya. Sementara itu

peran problem solving process facilitator tidak ada terlihat pada Biro Humas, hal ini dikarenakan Biro Humas

belum menjalankan kegiatan verifikasi dan inventarisasi informasi untuk didiskusikan oleh pimpinan tingkat

atas. Saran penelitian ini Biro Humas Provinsi Kalimantan Selatan dapat memanfaatkan sumber daya manusia

yang sudah ada untuk memiliki kemampuan menjalankan tugas sebagai Humas pemerintah maupun PPID

utama di Provinsi Kalsel, mengingat tidak meratanya koordinasi antar bagian pada Biro Humas. selanjutnya

Biro Humas harus segera mungkin merencanakan program kegiatan beserta strategi-strategi yang

berkesinambungan untuk percepatan keterbukaan informasi publik.

Kata Kunci: Humas, Pemerintah, Expert Prescriber, Problem Solving Process Facilitator

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166

150

I. LATAR BELAKANG

Isu mengenai keterbukaan informasi publik saat

ini masih menjadi hal yang aktual menjadi

perbincangan dalam masyarakat. Apalagi hal-hal

yang terkait dengan informasi dari pemerintahan

untuk dapat dikonsumsi publik. Pemerintah selaku

penyelenggara pelayanan publik seharusnya semakin

memiliki integritas tinggi dalam melaksanakan

fungsi sebagai pelayan masyarakat dalam

memberikan keterbukaan informasi, apalagi setelah

Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU

KIP) dikeluarkan, pemerintah semakin diawasi oleh

masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas dalam

penyelenggaraan pemerintahan hingga kini masih

menjadi “barang yang langka”. Hal ini dibuktikan

dari hasil penilaian Komisi Informasi Pusat Tahun

2013 terhadap kepatuhan Badan Publik dalam

menerapkan UU KIP, yang menunjukkan nilai rata-

rata tingkat keterbukaan informasi badan publik

masih dibawah 50. (Trisulo 2014)

Di Pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan

salah satu bukti belum berjalannya keterbukaan

informasi kepada publik yakni terkait dengan tidak

terealisasinya proyek atau proyek gagal pada tahun

2014. Seperti dilaporkan oleh surat kabar harian

Banjarmasin Post, Pemprov Kalsel dikeluhkan masih

belum terbuka dalam menyampaikan informasi yang

sudah seharusnya diketahui oleh masyarakat.

Informasi tersebut terkait proyek pembangunan di

Kalsel setiap tahunnya (Dia 2015. Anon 2015)

Lee, Neeley, dan Steward, (2012) menerangkan

bahwa memberikan pelayanan publik merupakan hal

yang paling penting dan diperlukan oleh humas

pemerintah, tidak hanya sekedar mengatur strategi

komunikasi yang efektif demi mewujudkan misi dari

pemerintahan semata. Informasi publik merupakan

salah satu aspek kunci untuk akuntabilitas

pemerintah, praktisi humas pemerintah perlu

membangun komunikasi eksternal dalam

menyampaikan informasi publik yang dapat

digunakan untuk memajukan kinerja pemerintahan

itu sendiri

Keberadaan Government Public Relations atau

yang kerap disebut humas pemerintah merupakan

suatu keharusan secara fungsional dan operasional

dalam upaya menyebarluaskan dan mempubli-

kasikan suatu kegiatan atau kebijakan pemerintahan

pada publiknya. Terlebih kini dengan tuntutan

keterbukaan informasi publik, humas sebagai corong

informasi pemerintah diharapkan dapat berperan

lebih dalam pelayanan keterbukaan informasi publik

di pemerintahan. Terbitnya Undang-Undang

Keterbukaan Informasi Publik No 14 tahun 2008

memerlukan untuk dibentuknya Pejabat Pengelola

Informasi Daerah (PPID) pada badan publik

termasuk pemerintah Provinsi/Kab/Kota di

Indonesia. PPID merupakan struktur yang

bertanggungjawab dalam penyediaan, penyimpanan,

pendokumentasian, dan pengamanan informasi serta

memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat

yang membutuhkan. Pembentukan PPID ini pada

provinsi di Indonesia seperti Jawa Tengah, Jawa

Timur, Yogyakarta, Sumatera Utara, Kalimantan

Timur dan Tengah misalnya, PPID utama berada

pada Dinas Komunikasi dan Informatika. Sedangkan

Provinsi lainnya diantaranya Kalimantan Selatan dan

Barat serta Sumatera Selatan, meletakkan Biro

Humas sebagai PPID utama.

Di Provinsi Kalsel sistem informasi publik yang

berjalan masih dikendalikan oleh masing-masing

SKPD/ instansi dan menjadi kewenangan mereka

untuk memberikan informasi kepada publik.

Sedangkan Biro Humas Kalsel menjadi pelayan

informasi lingkup Sekretariat Daerah saja. Namun

dengan Biro Humas Kalsel merangkap sebagai PPID

utama, maka Biro Humas juga berperan untuk

mengakomodir semua informasi publik dari seluruh

instansi Provinsi Kalsel, tidak hanya yang berada

pada lingkup Sekretariat Daerah. Menjadi penting

ketika Biro Humas mengetahui dan ikut memahami

hal-hal yang merupakan informasi publik dari

instansi-instansi di Kalsel, sehingga informasi yang

didapatkan oleh publik dapat berjalan satu pintu

yakni melalui Biro Humas Kalsel, Seperti yang

selama ini terjadi pada Kabupaten Kediri, Jawa

Timur.

Sementara itu hubungan yang terjadi antara

Biro Humas Kalsel dengan Komisi Informasi Daerah

(KID) sama-sama memberikan pengertian mengenai

UU KIP kepada publik, namun apabila Humas pada

publik internal pemprov Kalsel, KID

mensosialisasikan kepada publik eksternal yakni

Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto

151

masyarakat luas. Namun dalam hal pelayanan

keterbukaan informasi publik, Biro Humas lah yang

berperan untuk melayani publik secara luas.

Menjadi konsentrasi Biro Humas Kalsel kini

yang juga menjadi PPID utama ikut berperan sebagai

jembatan komunikasi antar instansi dalam

memutuskan pelayanan keterbukaan informasi

publik. Dalam konteks pelayanan informasi publik,

selama ini Biro Humas provinsi Kalimantan Selatan

melakukannya dengan cara membina hubungan baik

dengan media massa. Biro Humas

menginformasikan berita pemerintahan melalui press

release, advertorial maupun acara khusus di televisi

maupun radio. Sementara itu penggunaan website

resmi Provinsi Kalsel dalam layanan informasi

publik kepada masyarakat, telah lama dilakukan

namun belum maksimal, dikarenakan belum

beroperasi secara online sehingga publik yang ingin

memberikan feedback atas informasi dari pemerintah

masih kesulitan.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka

rumusan masalah pada yang ingin dijawab dalam

penelitian ini adalah bagaimana peran expert

Prescriber dan Problem Solving Process Facilitator

Biro Humas Provinsi Kalimantan Selatan dalam

melayani informasi publik di Lingkungan Provinsi

Kalimantan Selatan Tahun 2012-2014?

Penelitian sebelumnya dilakukan Welkinson

(2012) dengan menggunakan teori Dozier yakni

Expert Prescriber dan Problem Soving Facilitator.

Teori tersebut mengelaborasi peran tersebut dengan

teori tahapan manajemen kehumasan oleh Jefkins.

Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan aktivitas

humas DPR RI lebih mengarah kepada peran sebagai

manajer namun terletak pada peran fasilitator

komunikasi dan juga berperan sebagai teknisi

komunikasi. Sedangkan dua peran lainnya tidak

terlalu menonjol dan apabila di bandingkan dengan

konsep teori peran humas dari Dozier, Humas DPR

RI masih menjalankan perannya pada tingkat

fasilitator dan teknisi komunikasi.

Penelitian sebelumnya juga dilakukan Hidayati

(2014) dengan temuan yang juga menegaskan hasil

penelitian yang dilakukan Welkinson. Temuan

tersebut berupa realita bahwa humas dalam badan

publik pemerintah berada pada posisi peran sebagai

fasilitator komunikasi dan teknisi komunikasi.

Humas BPK RI yang menjadi obyek penelitian,

disimpulkan sangat berperan dalam memberikan

masukan dan kebijakan mengenai keterbukaan

informasi publik namun masih sangat bergantung

kepada pimpinan yang berada diatasnya lagi atau

yang disebut dengan pemangku kepentingan.

II. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan

kualitatif dengan metode studi kasus deskriptif. Yin

(2014) menjelaskan, pada ranah komunikasi, studi

kasus diyakini merupakan metode yang sesuai untuk

menjawab tipe pertanyaan ‘how’ dan ‘why’ oleh

karena itu metode ini dianggap mampu membantu

peneliti dalam memahami secara mendalam dan

menjawab pertanyaan mengenai bagaimana peran

Biro Humas Provinsi Kalsel dalam melayani

informasi publik di lingkungan Provinsi Kalsel.

Penelitian ini dilakukan di kantor Biro Humas

Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Jl.

Aneka Tambang Banjarbaru, pada bulan Maret

sampai dengan Mei 2015.

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan

menggunakan observasi langsung, telaah terhadap

dokumen tertulis berupa surat masuk dan surat

keluar, disposisi, laporan-laporan, dan dokumen-

dokumen lain yang terkait dengan peran Biro Humas

dalam keterbukaan informasi publik. Kemudian

pengumpulan data yang terakhir yaitu, wawancara

mendalam.

Kemudian teknik pengumpulan data yakni

wawancara mendalam dengan menggunakan

wawancara semi terstruktur. Penentuan Key Person

yang dijadikan narasumber dalam penelitian ini

dengan memper-hatikan tingkat kesesuaian

(relevansi) antara kedudukan/ jabatan dan keter-

libatan informan dalam proses keterbukaan informasi

publik. Informan-informan yang dirasa dapat

membantu peneliti untuk mencapai tujuan penelitian

dapat dilihat pada Tabel 1.

Data yang telah selesai dikumpulkan diolah

melalui dua tahap. Pertama, reduksi data setelah

prose itu selesai, tahap yang kedua, yakni

kategorisasi data. Data-data yang telah dikumpulkan

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166

152

Tabel 1. Daftar Narasumber Wawancara Mendalam Table 1. List of Depth Interview Informan

Nama Informan (Informant Name)

Kedudukan Informan (Position Informants)

Alasan Pemilihan Informan (Reason Selection of informant)

Abdul Haris Makkie Kepala Biro Humas Provinsi Kalsel

Sebagai PPID utama yang terlibat langsung sejak awal KIP akan diberlakukan pada pemerintah Provinsi Kalsel

Zainuddin Kepala Bagian Pengolahan Informasi

Sebagai bidang pendukung PPID utama yang bertugas dalam pengumpulan dan verifikasi informasi

Syah Yulianda Kepala Sub Bagian Pelayanan Informasi dan Data

Sebagai bidang pendukung PPID utama yang bertugas dalam ketersediaan dokumentasi dan informasi publik untuk dapat diakses

dijabarkan dalam bentuk kategori agar proses

verifikasi menjadi mudah sehingga diperoleh

kumpulan data yang siap dianalisis. Kategorisasi data

tersebut ditentukan berdasarkan indikator yang

terdapat pada konsep penelitian untuk menjawab

pertanyaan pokok penelitian ini.

Teknik penyajian data dilakukan dengan cara

penguraian dalam deskripsi kata-kata (naratif) dan

juga disajikan data formal berupa tabel kegiatan atau

aktivitas humas sesuai dengan indikator yang

terdapat pada konsep peran humas yang disajikan

dalam bentuk deskripsi yang terintegrasi.

Menurut Yin, terdapat tiga teknik analisis data

dalam metode studi kasus, yaitu: (1) Penjodohan

Pola, (2) Pembuatan Penjelasan, dan (3) Analisis

Deret Waktu. Teknik penjodohan pola dilakukan

dengan membandingkan pola kejadian atau

fenomena yang senyatanya terjadi dengan pola

kejadian yang diprediksikan (proposisi/prediksi

alternatif). Jika kedua pola ini menunjukkan

persamaan, maka akan menguatkan validitas internal

sebuah studi kasus. Teknik pembuatan penjelasan

dilakukan dengan cara membuat eksplanasi tentang

kasus yang diteliti. Teknik analisis deret waktu

menyelenggarakan analisis deret waktu yang secara

langsung analog dengan analisis deret waktu yang

diselenggarakan dengan eksperimen dan kuasi

eksperimen. (Yin 2014).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

teknik penjodohan pola, yaitu dengan

membandingkan data pola peran Humas atau

aktivitas yang senyatanya terjadi di Biro Humas

Provinsi Kalsel dengan pola peran Humas menurut

proposisi atau prediksi alternatif peneliti

berdasarkan teori Dozier dan Broom (1995) dan

Cutlip (2006). Adapun proposisi atau prediksi

alternatif peneliti mengenai peran Biro Humas

Provinsi Kalsel dalam keterbukaan informasi publik

adalah “Peran Humas yang sarat akan dukungan

organisasi, ketersediaan sumber daya dan praktik

komunikasi yang lancar dari pemerintah ke publik

pada setiap dimensi peran akan membawa dan

mengarahkan Humas memiliki peranan yang

menonjol dan aktif dalam pemerintahan”.

Hasil penjodohan pola antara data temuan

dengan proposisi teori di atas kemudian disajikan

dalam bentuk narasi agar lebih mudah dipahami.

Hasil akhir penelitian ini adalah pembahasan

menyeluruh mengenai gambaran organisasi Biro

Humas Provinsi Kalsel menjalankan peran Humas

yang juga sebagai PPID utama terkait dengan

keterbukaan informasi publik.

Validitas data penelitian ini dilakukan

menggunakan triangulasi sumber yakni

membandingkan konsistensi hasil temuan dalam satu

metode penelitian kualitatif dari observasi,

wawancara dan dokumen.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Peran Expert Presciber

1. Merumuskan Kebijakan Standar

Operasional Prosedur Layanan Informasi

Kegiatan perumusan kebijakan dalam

organisasi maupun dalam lingkup Pemerintahan

yang terkait dengan kehumasan maupun

penyebarluasan pemberitaan pemerintah merupakan

salah satu kegiatan Biro Humas Provinsi Kalimantan

Selatan yang tertuang dalam tugas pokok dan fungsi

Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto

153

Biro Humas sebagai Humas pemerintah sesuai atas

Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No. 093

tahun 2012. Biro Humas yang merupakan Pejabat

Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) utama

pada Provinsi Kalsel, dalam kegiatannya juga

melakukan perumusan kebijakan terkait keterbukaan

informasi publik.

Perumusan kebijakan oleh Biro Humas dalam

kedudukannya sebagai PPID utama berkaitan dengan

Keterbukaan Informasi Publik, yakni Biro Humas

membuat rumusan Standar Operasional Prosedur

(SOP) pelayanan informasi. Sejalan dengan yang

diungkapkan oleh Kepala Biro Humas Provinsi

Kalsel, Abdul Haris Makkie, perumusan kebijakan

yang berkaitan dengan kehumasan dan PPID utama

dilakukan oleh Biro Humas tanpa campur tangan

atau intervensi dari pihak lain, hal ini dikarenakan

Biro Humas telah dianggap lebih mengetahui

mengenai masalah kehumasan dalam pemerintahan.

“Ya buat sendiri, karena kan yang lebih

tau kita, cuman kita kan belajar juga

dengan yang sudah. Melalui media

internet, melalui konsultasi ke KI (Komisi

Informasi) pusat, kita bikin sendiri, juga

ada panduan pembentukan PPID dan

penyusunan SOP sudah ada petunjuknya

jadi tinggal kita ikuti saja nanti kita

sesuaikan dengan kondisi kita. Namun

keterlibatan Biro Hukum selalu karena

pasti ada hubungannya dengan hukum.

Kalo ada keterkaitannya dengan lembaga

maka Biro Organisasi, kalo nanti itu

menyangkut ada masalah keuangannya

kita libatkan Biro Keuangan.”

Penjelasan diatas menerangkan bahwa

keterkaitan dengan pihak lain atau unit kerja lain

diluar dari Biro Humas terjadi dikarenakan

menyangkut hal diluar dari yang bukan terkait

langsung dengan bidang Humas, misalnya keuangan

atau hukum dan kelembagaan. Sementara itu dalam

upaya menuju pada penerapan keterbukaan informasi

publik, Biro Humas telah membuat Standar

Operasional Prosedur (SOP) pelayanan informasi

publik yang diperuntukkan bagi Pejabat Pengelola

Informasi dan Dokumentasi (PPID) pembantu

dilingkup Pemerintah Provinsi Kalsel agar

mempermudah dalam mengelola dan memberikan

layanan informasi kepada masyarakat. Dalam

pembuatan SOP tersebut Biro Humas berpedoman

pada perundang-undangan yang berlaku dan

berkonsultasi kepada Daerah yang telah lebih dulu

menjalankan Undang-undang Keterbukaan

Informasi Publik.

Sementara itu dalam kedudukannya sebagai

Humas pemerintah pada Provinsi Kalsel, menurut

Makkie perumusan kebijakan yang dilakukan oleh

Biro Humas berkaitan dengan program kegiatan yang

dilakukan Biro Humas dalam kegiatan kehumasan

pemerintah maupun hal-hal yang berkaitan dengan

pimpinan atau lingkup kekuasaannya.

“Biro Humas pada proses pembuatan

perumusan kebijakan atau peraturan

internal kehumasan itu melibatkan setiap

bidang dalam Biro Humas yang terkait

dengan masalah atau program kegiatan

yang ditangani. Misalnya pada

penanganan Hibah media atau lembaga

yang menaungi pers, kemudian juga

berkaitan dengan kegiatan publikasi

pemberitaan yang melibatkan media

massa, nah…Biro Humas merumuskan

kebijakannya sendiri, kan itu kuasa kita di

bidang kehumasan.”

Apabila dilihat dari penjelasan diatas,

perumusan kebijakan yang dilakukan oleh Biro

Humas terkait dengan hubungan dengan media dan

juga penyebarluasan pemberitaan pemerintahan.

Aktivitas perumusan sebenarnya adalah untuk

melihat keterlibatan Biro Humas dalam penyelesaian

masalah kehumasan maupun kemampuannya dalam

bidang kehumasan sehingga Biro Humas tidak hanya

dipandang sebagai pelengkap dalam organisasi

pemerintahan semata, seperti yang selama ini masih

menjadi anggapan orang kebanyakan.

Maka dalam konteks keterbukaan informasi

publik, Biro Humas merumuskan kebijakan SOP

pelayanan informasi yang kemudian dibagikan untuk

seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

lingkup Provinsi Kalsel sebagai panduan dalam

melayani permintaan informasi sesuai dengan

Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

Namun Biro Humas dalam posisinya sebagai PPID

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166

154

utama belum bergerak cepat untuk upaya percepatan

penerapan keterbukaan informasi publik yakni

dengan kebijakan mengenai kategori daftar informasi

publik yang seharusnya dikumpulkan oleh SKPD dan

kemudian dilakukan pengklasifikasian terhadap jenis

informasi publik yang telah dikumpulkan. Biro

Humas seharusnya dapat membuat dokumen

panduan kunci dan dijadikan suatu kebijakan yang

berisikan kategori maupun persyaratan dokumen

daftar informasi publik, sehingga kategori daftar

informasi publik yang dikumpulkan oleh SKPD lebih

mudah dan seragam.

Biro Humas saat ini hanya mengandalkan

sosialisasi maupun Bimbingan Teknis dalam

tugasnya sebagai PPID utama, hal ini menyebabkan

Biro Humas belum menjadi pihak pengusul atau

yang merumuskan pembuatan kategori dokumen-

dokumen daftar informasi publik bagi SKPD dan

juga perumusan peraturan terkait dengan

pengumpulan daftar informasi publik, yang

merupakan hal mendasar utama dalam berjalannya

keterbukaan informasi publik di pemerintahan.

Sehingga Biro Humas memiliki terobosan dalam

pihak yang menjadi pengusul bagi perumusan

kebijakan dalam upaya percepatan keterbukaan

informasi publik.

2. Rencana Program Kegiatan yang Masih

Minim

Pembuatan rencana program kegiatan dalam

pengelolaan kehumasan menjadi hal yang harus

dilakukan oleh Biro Humas, dikarenakan hal tersebut

merupakan bagian dari Rencana Kerja (Renja)

tahunan Biro Humas. Menurut Kepala Biro Humas

Provinsi Kalsel, Abdul Haris Makkie, Renja yang

merupakan dokumen perencanaan Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD) termasuk Biro Humas

untuk periode 1 (satu) tahun. Renja memberikan

gambaran tentang program dan kegiatan yang akan

dikerjakan oleh Biro Humas dalam satu tahun

anggaran. Renja berpedoman pada Rencana Strategis

(Renstra) Sekretariat Daerah Provinsi Kalsel

terutama yang berkaitan dengan penyebarluasan

informasi kepada masyarakat dan sesuai dengan

Tupoksi Biro Humas Sekretariat Daerah Provinsi

Kalsel.

Biro Humas sejak tahun 2012 membuat

program kegiatannya mengacu pada beberapa

peraturan yakni, Perda Nomor 6 Tahun 2008 tanggal

15 April 2008 tentang SOTK Pemerintah Provinsi

Kalsel dan berpegang pada Undang-undang nomor

14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi

Publik, serta Undang-undang nomor 40 tahun 1999

tentang Pers dan Undang-undang nomor 32 tahun

2001 tentang Penyiaran. Dalam Laporan

Akuntabilitas Kinerja Biro Humas, pembuatan

program kegiatan didasarkan pada tujuan Biro

Humas yang memfasilitasi kebutuhan masyarakat

atas informasi khususnya informasi pembangunan

dan pemerintahan daerah baik pada media cetak

maupun elektronik. Inti dari kerja Humas selama ini

yakni berperan dalam proses penyebarluasan

informasi pemerintahan, sehingga dalam program

kegiatan Biro Humas perlu adanya semacam

kegiatan kerjasama antara Pemerintah daerah dan

Media.

Program kegiatan Biro Humas tahun 2012

sampai 2014 terkait kehumasan tidak jauh berbeda,

pada garis besarnya terdapat lima program dengan 13

(tiga belas) kegiatan, yaitu: (1) Peningkatan Sarana

dan Prasarana Aparatur; (2) Program Perbaikan

Sistem Administrasi; (3) Pengembangan

Komunikasi, Informasi dan Media Massa; (4)

Fasilitasi Peningkatan SDM Bidang Komunikasi dan

Informasi; dan (5) Kerjasama Informasi dengan

Media Massa (Laporan Pertanggungjawaban Akhir

Gubernur Periode tahun 2011-2015).

Kemudian pada tahun 2013 terdapat 6 (enam)

program dengan 15 (lima belas) kegiatan. Kegiatan

yang berkaitan langsung dengan kegiatan

keterbukaan informasi publik yakni Sosialisasi PPID

dan Rapat Kerja PPID. Pada tahun berikutnya 2014,

Biro Humas kembali hanya memiliki 5 program

dengan 15 kegiatan. Program Biro Humas kembali

seperti pada tahun 2012, namun dimasukkan 2

kegiatan yang berbasiskan pada pemenuhan dalam

menunjang teknologi informasi di Biro Humas yakni,

1) Peningkatan Kapasitas SDM Bidang Komunikasi

dan Teknologi Informasi, 2) Pengembangan dan

Penerapan Teknologi Berbasis Informasi. Kedua

kegiatan diatas merupakan pengganti kegiatan

Sosialisasi dan Rapat Kerja PPID yang telah ada pada

Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto

155

tahun sebelumnya. Sementara itu masih dalam

menunjang Keterbukaan Informasi Publik, terdapat

kegiatan baru yakni Peningkatan Kualitas Pelayanan

Informasi Publik, yang merupakan wujud upaya

dukungan dalam penerapan Undang-undang

Keterbukaan Informasi Publik dan penunjang

tugasnya sebagai PPID utama di Provinsi Kalsel.

Melihat Program Kegiatan yang dibuat Biro

Humas pada 2012-2014 dapat dilihat bahwa Biro

Humas meletakkan kegiatannya berdasarkan pada

seperti layaknya kegiatan Humas Pemerintah yang

bertumpu pada penyebarluasan kegiatan pemerintah.

Meskipun begitu Biro Humas telah membuat

kegiatan yang berkaitan dengan penerapan Undang-

Undang Keterbukaan Informasi Publik sejak tahun

2012, yakni berupa Seleksi Anggota Komisi

Informasi Provinsi Kalsel. Biro Humas dipercaya

untuk membentuk tim fasilitasi seleksi calon anggota

Komisi Informasi Provinsi Kalsel. Tim tersebut

beranggotakan 6 orang yang semuanya merupakan

pejabat dan fungsional Biro Humas Provinsi Kalsel

berdasarkan pada Keputusan Kuasa Pengguna

Anggaran Nomor 489/25b/PI/HUMAS Tentang

Pembentukan Tim Fasilitasi Seleksi Calon Anggota

Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Selatan.

Kemudian dari Tim tersebut menghasilkan

keanggotaan Tim Khusus Seleksi Calon Anggota

Komisi Informasi Provinsi Kalsel berjumlah 5 orang

yang diangkat melalui Keputusan Gubernur Nomor

188.44/0543/KUM/2013 Tentang Pembentukan Tim

Khusus Seleksi Calon Anggota Komisi Informasi

Provinsi Kalimantan Selatan. Semua Tim Seleksi

merupakan perwakilan semua unsur yakni;

1. Unsur Pemerintah yang diwakili oleh Kepala

Biro Humas Provinsi Kalsel,

2. Unsur Tokoh Masyarakat diwakili oleh Ketua

PWI Kalsel,

3. Unsur Keterwakilan Perempuan diwakili oleh

Dosen Universitas

4. Unsur Akademisi diwakili oleh Dosen

Universitas

5. Unsur Komisi Informasi Pusat diwakili oleh

Dosen Universitas

Pada tahun 2013, dalam program kegiatan Biro

Humas juga telah memasukkan kegiatan sosialisasi

dan rapat kerja PPID. Biro Humas yang ditunjuk oleh

Wakil Gubernur Kalsel sebagai PPID utama, dituntut

untuk dapat berperan aktif untuk mewujudkan

keterbukaan informasi di Provinsi Kalsel. Kemudian

untuk mendukung kerja Humas sebagai Humas

pemerintah dan PPID utama pada tahun 2014, Biro

Humas juga mulai berfokus pada kebutuhan akan

teknologi informasi. Seperti yang diungkapkan oleh

Kepala Biro Humas Provinsi Kalsel, Abdul Haris

Makkie, program yang terutama ada di Biro Humas

menekankan pada pemaksimalan penggunaan

teknologi informasi dalam rangka mengikuti

perkembangan zaman dan percepatan arah

digitalisasi kehumasan.

“Banyak sebetulnya. Sebetulnya sebelum

ada KIP (Undang-Undang Keterbukaan

Informasi Publik) sampai ada KIP,

terutama menyangkut dengan teknologi

informasi. Kemaren saya minta website

kita itu selalu update, setiap hari update.

Kemudian koordinasi dengan Kabupaten

Kota, kita berikan sub domain kita minta

juga semua informasi dari sana.

Kemudian menghimpun data seluruh

potensi, baik potensi ekonomi, pariwisata

jadi mau tau apa, kita sudah bisa memberi.

Bisa jadi bank data kita. Yang kedua, kita

arahkan kemaren memiliki media online,

belum kesampaian juga. Trus apa

perpustakaan online juga, belum juga.

Maksudnya gini kalo itu bisa mumpung

ini masih kecil jadi mencoba online

sehingga menjadi percontohon.”

Humas Provinsi Kalsel, Abdul Haris Makkie,

saat ini Biro Humas juga berfokus pada kemampuan

dalam mengelola serta menggunakan teknologi

informasi. Dalam program kegiatan Biro Humas

tahun 2014 pada poin program Pengembangan

Komunikasi, Informasi dan Media Massa, terdapat 2

kegiatan yang membenarkan apa yang dikatakan oleh

Makkie, yakni 1) Peningkatan kapasitas SDM bidang

komunikasi dan teknologi informasi, 2)

Pengembangan dan penerapan teknologi berbasis

informasi. Kemudian hal tersebut juga bersinergi

dengan poin program Kerjasama Informasi dengan

Media Massa yakni kegiatan Peningkatan kualitas

pelayanan informasi publik, yang merupakan pokok

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166

156

kegiatan dari PPID dalam menunjang jalannya

keterbukaan informasi publik.

Adanya beberapa kegiatan yang telah

mendukung keterbukaan informasi publik dan

teknologi informasi pada Biro Humas merupakan hal

yang patut diberikan apresiasi. Namun dalam hal

keterbukaan informasi publik, kegiatan lanjutan

setelah pembentukan Komisi Informasi Daerah

(KID) dan Pejabat Pengelola Informasi Dokumentasi

(PPID) yang hanya berupa sosialisasi, rapat kerja dan

bimbingan teknis belum dirasa cukup. Berkaitan

dengan rencana program kegiatan terkait

keterbukaan informasi publik, dihasilkan bahwa Biro

Humas Provinsi Kalsel masih minim dalam membuat

rencana program kegiatan yang jelas selama tahun

2012 hingga tahun 2014.

Rencana program kegiatan yang masih minim

terkait keterbukaan informasi publik tersebut bisa

menjadi penyebab tidak berjalannya secara cepat dan

maksimal keterbukaan informasi publik di Provinsi

Kalsel. Maksud dari keterbukaan informasi publik

sudah jelas diterima oleh Biro Humas namun tidak

diikuti adanya rencana program kerja yang jelas

berisi strategi-strategi percepatan keterbukaan

informasi publik agar segera terlaksana di semua

SKPD.Seharusnya kedudukannya yang tidak hanya

sebagai Humas Pemerintah namun juga PPID utama

di Provinsi Kalsel, Biro Humas dapat membuat dan

mengembangkan program kegiatan dalam

menunjang percepatan keterbukaan informasi publik

di Kalsel. Misalkan saja, langkah-langkah atau

strategi khusus yang diwujudkan dalam kegiatan

yang dapat mempercepat pengumpulan informasi

pada SKPD dan pembuatan layanan informasi publik

secara online maupun offline.

3. Kemampuan Monitoring dan Evaluasi

Informasi Kegiatan Kurang Memadai

Pada indikator monitoring dan evaluasi

informasi disini, Biro Humas melihatnya hanya

dengan perhitungan anggaran telah dipakai oleh

kegiatan tersebut dan telah sesuai dengan yang telah

diprogramkan dengan semestinya atau tidak, namun

evaluasi kepuasan dan kesuksesan program tidak

dilakukan. Hal ini disebabkan karena penilaian

kinerja pada setiap kegiatan hanya berdasarkan

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

(LAKIP).

LAKIP adalah laporan tahunan yang disusun

oleh setiap instansi pemerintah termasuk Biro Humas

dengan tujuan sebagai bahan evaluasi dan tolak ukur

dalam pelaksanaan program kegiatan berikutnya.

Menurut Kepala Biro Humas Provinsi Kalsel, Abdul

Haris Makkie, dikarenakan monitor dan evaluasi

hanya sebatas LAKIP, maka kegiatan yang

dilaksanakan menjadi monoton tanpa ada perubahan

kearah yang lebih baik. Masing-masing bidang tidak

menjalankan monitor dan evaluasi secara berkala dan

rutin sehingga hanya melakukan kegiatan seperti

yang sudah layaknya dilakukan saja setiap tahunnya

tanpa melihat mutu dari kegiatan tersebut.

Selain itu fungsi monitoring tidak dilakukan

berjenjang oleh setiap bidang dalam Biro Humas

sehingga tidak ada kontrol yang terkoordinasi.

“Nah itukan berjenjang. Nih ada staf,

kasubag, kabag dan kepala biro. Kalau

secara administrasi secara organisasi

harus jalan tanggung jawab dan monitor

dari masing-masing individu maupun

bagian, kalo bekerja tanpa struktur ini

tidak berfungsi. Lalu akhirnya ada yang

jadi tukang gunting. Saling bertanggung

jawab ini terhadap ini, ini terhadap ini, ini

tidak terjadi dalam manajemen organisasi

sulit menerapkan itu. Sebetulnya kalo

berpikir ideal esktrem ya ganti semua

orang itu, aku masukin dari awal doktrin

dari awal itu bisa jadi orang humas bujur-

bujur (benar-benar) humas tapi kalo masih

pola pikir dulu itu susah.”

Dari penjelasan yang diperoleh dan observasi

membuktikan tidak ada monitor dan evaluasi dalam

program kegiatan yang dilakukan oleh Biro Humas

secara rutin maupun berkesinambungan. Sampai saat

ini kegiatan monitoring dan evaluasi yang semacam

itu hanya dapat dilihat dari LAKIP Biro Humas. Dari

LAKIP dapat terlihat kinerja Biro Humas tersebut

tercapai atau tidaknya dari hasil pencapaian tujuan

program tersebut sudah berjalan atau belum,

anggaran yang seharusnya diperlukan oleh kegiatan

Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto

157

tersebut telah dipakai atau telah diserap seberapa

banyak.

Tidak jarang dari pengamatan yang dilakukan,

setiap bidang di Biro Humas bahkan tidak

mengetahui bagaimana cara mengevaluasi kegiatan

baik secara mandiri maupun melalui LAKIP,

dikarenakan pekerjaan pengolahan LAKIP ini hanya

dilakukan oleh satu orang, yang seharusnya

monitoring dan evaluasi diperlukan kerja tim dan

perlu masukan dari masing-masing Kepala Bagian di

Biro Humas. Sehingga kegiatan monitoring evaluasi

yang harusnya dilakukan dalam peran ini, tidak

berjalan dengan semestinya. Hal ini bertolak

belakang dengan yang telah dikatakan oleh Moss

(2005) bahwa peran monitor dan evaluasi dijalankan

ketika praktisi Humas menjalankan tanggung

jawabnya dalam melaksanakan kegiatan dengan

menyusun tujuan dan sasaran dan memantau

kegiatan terseut lewat pngukuran yang tepat.

4. Menyediakan Pendidikan dan Pelatihan

Pengembangan SDM Terkait Kehumasan

Biro Humas Provinsi Kalsel dalam kualitas

sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki masih

minim, Kepala Biro Humas Provinsi Kalsel, Abdul

Haris Makkie, menjelaskan bahwa ketersediaan

SDM yang dimiliki oleh Biro Humas dapat dikatakan

masih sangat kurang apabila melihat peran yang

dijalankan oleh Biro Humas saat ini, yakni sebagai

PPID utama.

Humas pemerintah bukan sekedar penciptaan

citra yang baik tentang pemerintahan, bukan pula

sekedar pembuat naskah pidato namun lebih kepada

melaksanakan kegiatan Humas yang sebenar-

benarnya untuk dapat meningkatkan performa dari

pemerintahan maupun organisasi Humas itu sendiri.

Praktisi Humas Pemerintah harus mampu

melakukan analisa-analisa terhadap isu-isu yang

berkembang dalam media massa maupun masyarakat

sehingga dapat menyampaikan hal tersebut kepada

pimpinan dan kemudian mampu memberi masukan

dalam membuat kebijakan maupun pemberitaan

yang dapat menyeimbangkan berbagai potensi isu di

masyarakat.

Maka terkait dengan kemampuan Biro Humas,

praktisi kehumasan harus mampu berpikir yang

sistematis, rasional dan terstruktur. Hal-hal tersebut

tadi yang dirasa belum terpenuhi dalam Biro Humas

Provinsi Kalsel.

“Sangat kurang. Jadi begini di formal

Humas saja itu kan sudah kurang

ditambah dengan kehadiran PPID yang

harus menghandle itu. SDM itu sangat

kurang dalam arti kuantitas dulu, kita

belum bicara kualitas. Kalo kualitas kita

bisa bayangkan sendiri, banyak hal yang

harus dipahami. Orang Humas itu kan

tidak hanya sekedar Bergerak dibidang

penyusunan naskah pidato, tidak hanya

masalah-masalah yang berkenaan dengan

pencitraan tetapi lebih kepada persoalan-

persoalan yang menyangkut bagaimana

membuat apa, membuat apa ya namanya,

analisa-analisa terhadap isu-isu yang

berkembang, nah itu yang agak lemah di

Humas selama saya 3 tahun disini.

Seharusnya apa yang berkembang di

media, apa yang berkembang di

masyarakat meskipun tidak di media, itu

harus di handle oleh Humas, saya

sebetulnya sudah membagi-bagi tugas itu

tapi tidak bisa kerja sendiri juga. Kita ini

PNS tapi harus bekerja professional,

idelanya di sebuah organisasi meskipun

dalam proposional Humas, ya Humas

dengan media, apa yang berkembang di

media itu harus ada analisanya. Nah..

apalagi ditambah dengan PPID, lalu PPID

itukan tugasnya menghimpun data

mengklasifikasi dokumen-dokumen yang

kita miliki, itukan harus mempunyai

kemampuan berpikir yang rasional,

berpikir yang sistematis terstruktur yang

bisa menempatkan informasi ini di suatu

blok jadi di saat pencarian data dapat, trus

saya pikir ke depan bahwa informasi ini

dalam konteks teknologi informasi.”

Dalam menunjang kerja Biro Humas, Makkie

pun dengan analisisnya tersebut terhadap kebutuhan

SDM di Biro Humas, meminta setiap tahunnya

kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi

Kalsel untuk dipenuhi kriteria pegawai yang dapat

menunjang kerja di Biro Humas. Biasanya Biro

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166

158

Humas menentukan dengan berdasarkan pada

kualifikasi pendidikan calon pegawai. Namun

menurutnya hal seperti itu juga pasti dilakukan oleh

unit kerja atau instansi lain yang merasa masih

membutuhkan atau kekurangan SDM di unit

kerjanya. Menurutnya permasalahannya adalah

berupa cara perekrutan dan kadang peletakkan

pegawai yang tidak sesuai dengan kriteria yang

diminta oleh unit kerja.

“Kita pernah minta ke BKD, kemudian

mencoba mengarahkan teman-teman

(pegawai BKD) bahwa dalam

melaksanakan tugas itu memberikan

guide tentang tugas disini itu ini lo…,

meskipun kita tau, itu juga kesulitan

menterjemahkan yang kita inginkan

karena tidak semua yang ada dikepala kita

masuk ke kepala mereka (Pegawai

BKD).”

Dari observasi dilapangan didapat bahwa Biro

Humas dalam meningkatkan kemampuan

kehumasan di Provinsi Kalsel sudah baik,

dikarenakan selain mengutamakan kebutuhan

sumber daya manusia (SDM) dalam organisasi Biro

Humas, juga ikut dalam mengupayakan kemampuan

kehumasan pada unit kerja lain bahkan juga pada

kalangan wartawan. Biro Humas dalam

kemampuannya melihat kebutuhan SDM yang sesuai

dengan kehumasan berdasarkan pada upayanya

untuk menunjang kerja dan kualitas kerja dari Biro

Humas maupun kehumasan yang teletak pada SKPD

lain dilingkup Provinsi Kalsel.

“Pelatihan atau bimtek mengenai website

atau yang berkaitan dengan teknologi

informasi sekarang mulai digiatkan karna

kan sudah mulai ada di program kegiatan

Humas, yaaaah menunjang kerja orang

humas yang kan harus update melek

teknologi.”

Setiap tahun Biro Humas menyiapkan bahan

pendidikan dan pelatihan untuk mengembangkan

kemampuan SDM kehumasan. Biro Humas tidak

hanya melakukan pelatihan pendidikan bagi praktisi

Humas dalam organisasi Biro Humas Provinsi

Kalsel, namun juga bagi praktisi Humas pemerintah

di Provinsi Kalsel. Kegiatan tersebut telah ada di

program kegiatan Biro Humas sejak tahun 2012

sampai 2014.

“Kalau disini, ada pelatihan buat Humas

Kabupaten kota juga instansi di Provinsi.

Namanya itu peningkatan praktisi

kehumasan dan jurnalistik. Biasanya

narasumbernya itu dari kawan-kawan di

media atau Humas sendiri atau bisa saja

Humas dari pusat.”

Dari informasi yang diperoleh dari Kepala Sub

Bagian Pelayanan Data dan Informasi, Syah

Yulianda dan Kepala Bagian Pengolahan Data Biro

Humas Provinsi Kalsel, Zainuddin, pelatihan

tersebut diadakan untuk meningkatkan kemampuan

praktisi Humas di Provinsi Kalsel dalam pengelolaan

berita dan juga kehumasan pemerintah. Misalkan

saja pada tahun 2014 yang lalu, Biro Humas Provinsi

Kalsel menyelenggarakan bimbingan teknis

pembuatan Website dengan CMS Open Source bagi

para pengelola website dan informasi di setiap SKPD

atau unit kerja lingkup Provinsi Kalsel, bimbingan

semacam ini atau yang berkaitan dengan teknologi

informasi dilaksanakan dua (2) kali dalam setahun.

Kemudian ada pula, seperti pada tahun 2012

lalu yakni Pelatihan Peningkatan Praktisi

Kehumasan dan Jurnalistik yakni Teknis Penulisan,

Produksi dan Pengambilan Gambar Berita Televisi,

kemudian tahun 2014 diadakan kembali pelatihan

dengan materi Jurnalistik Media Online. Kedua

kegiatan pelatihan tersebut diperuntukkan bagi

petugas Humas Kabupaten/Kota, Dinas/ Instansi,

BUMD/BUMN se Kalsel, yang dilaksanakan dua (2)

kali dalam setahun, namun dengan materi yang

berbeda atau bervariasi.

Disamping pelatihan atau bimbingan teknis

yang diperuntukkan bagi petugas Humas di Kalsel,

Biro Humas juga memberikan pelatihan dan

bimbingan teknis bagi praktisi Humas di dalam

organisasi Biro Humas Provinsi Kalsel guna

meningkatkan kemampuan dan kinerja Biro Humas.

Seperti pada tahun 2014 lalu, Biro Humas

mengirimkan 2 (dua) orang pegawainya untuk

Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto

159

mengikuti pelatihan terkait teknologi informasi

dengan Fokus Manajemen Trafik dan Keamanan

Jaringan dengan Mikrotik yang bertempat pada suatu

perusahaan di Kota Yogyakarta.

Namun menurut Kepala Biro Humas Provinsi

Kalsel, Abdul Haris Makkie, dari banyak pelatihan

maupun pendidikan yang diperoleh oleh praktisi

Humas dalam Biro Humas maupun Humas pada

pemerintah, pada umumnya yang paling penting

adalah penerapan dalam pekerjaan atas yang telah

diperoleh dalam pelatihan dan pendidikan yang

diikuti. Lebih lanjut lagi menurutnya, tidak sedikit

yang mengikuti pendidikan dan pelatihan hanya

untuk mendapatkan angka kredit atas jabatan yang

dimilikinya maupun hanya agar tugas keluar daerah

yang artinya tidak berada didalam kantor atau ikatan

pekerjaan. Sehingga tidak bersunggung-sungguh saat

mengikuti pelatihan yang dijalani, output yang

didapat pun tidak seperti yang diharapkan.

“Yang paling penting itukan bagaimana

menterjemahkan atau membreakdown apa

yang mereka terima, itu yang sulit

biasanya disitu. Membreakdown itu kan

yang perlu pemahaman yang perlu

berpikir terstruktur itu. Karena orang

banyak ai tahu (banyak aja tau), ini lo,

tidak hanya orang SD, SMP, S3 bahkan ini

lo forbidden tidak boleh masuk, banyak

orang tau tapi banyak juga yang

melanggar, karena ini secara etis, secara

hukum, itu ketabrak semua. Sama hal

dengan, banyak yang tau tugas PPID tugas

Humas ini-ini karena ada uraian tugas dan

lain-lain, tapi mereka tidak bisa

membreakdown, tidak bisa berim-

provisasi dengan itu. Sehingga kada kawa

meolah (tidak bisa membuat) kegiatan,

kada kawa meolah (tidak bisa membuat)

apa yang harus mereka kerjakan.

Akhirnya apa, akhirnya mereka jadi paku,

kalau ada palu dicatuk (dipukul) baruuu…

harusnya kan kada kaya itu (tidak seperti

itu). Professional itu begitu sudah tau apa

yang dilakukan, bikin ini bikin itu bawa

kepimpinan.”

Pada indikator ini, Biro Humas memang telah

menyiapkan pendidikan dan pelatihan untuk

pengembangan praktisi Humas baik bagi Biro Humas

sendiri maupun Humas pemerintah lainnya. Biro

Humas mampu dengan keahliannya dalam membaca

kebutuhan para Humas Pemerintah untuk

mendukung kinerjanya di Pemerintahan. Namun,

yang menjadi kendala adalah masih terpakunya

pegawai Biro Humas atau sulitnya mengeluarka ilmu

atau kebisaan yang dimiliki untuk memperbaharui

kinerja Biro Humas, dikarenakan banyak dari mereka

hanya ingin berada di zona aman serta tidak ingin

bereksplorasi dengan hal yang baru. Kemudian tidak

semua pegawai Biro Humas pula menguasai

mengenai keterbukaan informasi publik, sehingga

hal ini juga yang menjadi tantangan Biro Humas

kedepannya sebagai PPID utama.

B. Peran Problemg Solving Process

Facilitator

1. Tidak Terlaksananya Verifikasi dan

Inventarisasi Bahan Informasi Publik

Melakukan verifikasi bahan informasi publik

merupakan langkah pengujian informasi-informasi

yang telah di klasifikasikan oleh tiap SKPD dan

dihimpun oleh Biro Humas. Menurut Kepala

Pengolahan Informasi Biro Humas Provinsi Kalsel,

Zainuddin, dari verifikasi tersebut didapat berbagai

permasalahan tentang informasi yang termasuk

dikecualikan atau tidak. Maka tugas Biro Humas

untuk menjelaskan dan menjadi fasilitator dalam

proses verifikasi informasi publik tersebut,

dikarenakan Biro Humas sebagai PPID utama

Provinsi Kalsel.

“Jadi memverifikasi itu kan biasanya

untuk mengelompokkan informasi itu.

Jadi yang serta merta dan lain-lain itu kan

tugasnya di PPID jadi tugas Karo Humas

yang mengklasifikasikan itu kemudian

kalo itu mengklasifikasi, ini informasi

yang boleh di publish ke masyarakat, ini

informasi yang dikecualikan. Nah itu

harus di uji di bahas oleh tim

pertimbangan. Jadi mereka itu yang

mengklasifikasi. Karena ada kaitannya

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166

160

misalnya teknis, misalnya masalah tata

ruang misal nah tata ruang siapa?

Bappeda, berarti Bappeda yang tahu. Jadi

ini apakah termasuk dikecualikan atau

tidak. Harus ada kalo itu maksudnya

dikecualikan apa dasarnya jadi

pengecualian. Tapi sampai sekarang tahap

mengklasifikasikan belum ada sampai

kesana.”

Setelah melakukan verifikasi bahan informasi

publik dari berbagai SKPD, Biro Humas kemudian

menginventarisasi bahan informasi publik yang

dikecualikan oleh SKPD untuk di uji konsekuensi

oleh Tim Pertimbangan. Tim pertimbangan yang

melakukan uji konsekuensi bersama Biro Humas

yakni beranggotakan Sekretaris Daerah, Asisten

(Pemerintahan, Pembangunan dan Administrasi),

Staf Ahli, Inspektur Provinsi Kalsel, Kepala SKPD

lingkup Provinsi Kalsel, dan Kepala Biro Hukum

Provinsi Kalsel, sesuai dengan Surat Keputusan

Gubernur Kalimantan Selatan nomor

188.44/0239/KUM/2014 tanggal 6 Mei 2014.

Namun sampai saat ini Biro Humas sebagai

PPID utama masih dalam proses meminta agar

SKPD segera membentuk struktur PPID di

organisasinya, kemudian masing-masing SKPD

diminta untuk mengklasifikasikan informasi yang

ada di organisasinya sesuai dengan ketentuan-

ketentuan yang ada di Undang-Undang Keterbukaan

Informasi Publik. Sehingga proses uji konsekuensi

belum terjadi dalam kegiatan Biro Humas.

“cuma sekarang ini kita meminta masing-

masing SKPD mengklasifikasikan informasi masing-

masing dulu, baru serahkan ke kita. Memang mereka

disuruh membentuk struktur PPID dulu, nah disuruh

untuk mengklasifikasikan informasi tadi. Nah…jadi

bila sudah klasifikasikan dikirim ke PPID utama

terkumpul semua. Kemudian direkapkan lalu

dibahas, benar tidak yang mereka bilang itu masuk

yang dikecualikan atau tidak.”

Proses dalam verifikasi informasi publik oleh

Biro Humas dengan cara melakukan verifikasi

terhadap Form Daftar Informasi Publik yang berasal

dari PPID tiap-tiap SKPD lingkup Provinsi Kalsel.

Verifikasi dilakukan dengan mengacu kepada

Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik dan

Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010,

setelah dilakukan verifikasi, maka di inventarisasi

lagi informasi publik yang dikecualikan oleh SKPD

untuk selanjutnya di bwa ke Tim Pertimbangan untuk

di uji. Hasilnya yakni berupa Daftar Informasi Publik

(DIP) dari PPID setiap SKPD akan ditetapkan oleh

PPID utama melalui surat penetapan DIP, dengan

persetujuan dari Sekretaris Daerah sebagai Atasan

PPID, yang merupakan hasil dari penetapan DIP di

lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimatan Selatan.

Belum berjalannya inventarisasi informasi

publik yang dikecualikan oleh SKPD dan Biro

Humas, menurut Kepala Bagian Pengolahan

Informasi, Zainuddin, diakibatkan oleh belum

pahamnya PPID pembantu dalam SKPD terhadap

jenis informasi publik yang dikecualikan atau yang

wajib diberikan serta boleh diberitahukan oleh

masyarakat. Dalam upaya penerapan keterbukaan

informasi publik, sengketa informasi merupakan

permasalahan utama yang akan di hadapi oleh badan

publik dalam pemerintahan apabila SKPD maupun

Biro Humas belum memiliki Daftar informasi publik.

Kemudian menurut Kepala Biro Humas, Abdul

haris Makkie, kedudukan Biro Humas sama seperti

SKPD lain apabila menerima laporan sengketa

informasi dapat bertindak langsung terhadap

sengketa informasi yang terjadi di organisasinya

sendiri, namun juga Biro Humas juga dapat ikut

dalam menangani sengketa informasi yang terjadi di

lingkup Sekretariat Daerah Provinsi Kalsel,

khususnya yang melibatkan Gubernur, Wakil

Gubernur dan Sekretaris Daerah. Hal ini dikarenakan

tugas pokok dan fungsi Biro Humas sebagai

pelayanan pada pimpinan dan karena keberadaannya

pula yang berada di bawah Sekretariat Daerah

Provinsi Kalimantan Selatan.

“Apabila yang dipersengketakan atau

dipermasalahkan SK (Surat Keputusan)

Gubernur, SK Gubernur menyangkut

SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah)

lain, nah itu kita ikut turun. Tapi secara

teknis kan mereka harus terlibat si

SKPDnya sendiri, mengapa SK itu

muncul, mengapa kebijakan ini muncul.

Nah… apa backgroundnya apa. Nah itu

Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto

161

teknisnya ada di mereka, karena humas ini

pelayanan Sekretariat Daerah.”

Karena perangkat Sekretariat Daerah tidak

berjalan sendiri, maka ketika ada laporan sengketa

informasi, unit kerja atau instansi yang terkait

langsung dengan materi yang dipersoalkan ikut juga

terlibat dalam penyelesaian bersama dengan Biro

Humas. Namun seperti yang telah diketahui

sebelumnya sampai penelitian ini dilakukan belum

pernah ada terjadi sengketa informasi menyangkut

Biro Humas maupun pimpinan dalam lingkup

Sekretariat Daerah (Gubernur, Wagub dan Sekretaris

Daerah). Namun apabila terjadi laporan seperti itu di

dalam organisasi Biro Humas, maka

penyelesaiannya harus dilakukan sesuai dengan

prosedur yang berlaku dalam peraturan perundang-

undangan.

“Selama dibentuk itu belum ada laporan

sengketa informasi disini. Kalaupun ada

maka penyelesaiannya sesuai dengan

prosedur yang berlaku artinya di

selesaikan internal Humas terlebih dahulu

baru biasanya pelaporan ke KI (Komisi

Informasi).”

Ditambahkan oleh Kepala Bagian Pengolahan

Informasi, Zainuddin, dalam hal penyelesaian

sengketa informasi, menurut Undang-Undang

Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), hal

tersebut merupakan wewenang dari Komisi

Informasi Daerah (KID).

“Belum ada laporan sengketa informasi

disini, kalo ada biasanya harus

diselesaikan di dalam Humas dulu. Kalo

kada (tidak) sepakat baru lari ke KI

(Komisi Informasi), kan mereka yang urus

sengketa bila ada dari masyarakat protes.

Atau bisa jua (juga) kita yg belapor

(melaporkan) karena informasi dari kita di

salah gunakan atau data orangnya palsu.”

Ditambahkan oleh Kepala Bagian Pengolahan

Informasi, Zainuddin, dalam hal penyelesaian

sengketa informasi, menurut Undang-Undang

Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), hal

tersebut merupakan wewenang dari Komisi

Informasi Daerah (KID). Namun sebelum sampai

pada KID, dalam UU KIP dijelaskan bahwa setiap

pemohon informasi publik dapat mengajukan

keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat

Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)

berdasarkan alasan sebagai berikut ; (1) penolakan

atas permintaan informasi, (2) tidak disediakannya

informasi berkala, (3) tidak ditangapinya permintaan

informasi, (4) permintaan informasi ditanggapi tidak

sebagaimana yang diminta, (5) tidak dipenuhinya per

permintaan informasi, (6) pengenaan biaya yang

tidak wajar, dan atau (7) penyampaian informasi

yang melebihi waktu yang diatur dalam Undang-

Undang. Kemudian dijelaskan pada Pasal 36 ayat 2

atasan Pejabat atau PPID harus memberikan

tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh

Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu

paling lambat 30 hari kerja sejak diterimanya

keberatan secara tertulis. Dari penjelasan Undang-

Undang tersebut jelas bahwa langkah pertama ketika

menghadapi sengketa informasi, badan publik yang

dilaporkan harus menyelesaikan terlebih dahulu

permasalahan tersebut secara internal kemudian

apabila tidak menemui titik terang dikarenakan salah

satu pihak tidak terpuaskan, maka akan dimediasi

oleh Komisi Informasi Daerah (KID) sesuai dengan

Pasal 37 ayat 1.

Sehingga pada dasarnya baik Biro Humas

maupun unit kerja atau instansi lain akan

menyelesaikan permasalahan ini secara mandiri

terlebih dahulu dikarenakan semua SKPD atau

instansi memiliki PPID yang menangani pelayanan

informasi dalam organisasinya, setelah tidak

mendapat jalan keluar maka permasalahan sengketa

informasi merupakan hal yang harus ditangani oleh

Komisi Informasi Daerah (KID).

Hal berbeda berlaku ketika sengketa informasi

terjadi langsung pada unit kerja/ instansi atau SKPD

lain seperti Dinas maupun Badan. Maka Biro Humas

tidak dapat ikut campur atau mewakili dalam

penyelesaian sengketa informasi yang dialami oleh

Dinas atau Badan Provinsi Kalsel. Menurut Kepala

Biro Humas Provinsi Kalsel, Abdul Haris Makkie,

apabila sengketa informasi tersebut berada pada

SKPD maka SKPD tersebutlah yang

menyelesaikannya sendiri. Biro Humas selaku PPID

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166

162

utama merupakan tempat untuk berkonsultasi SKPD

dalam menghadapi dan upaya menyelesaikan

permasalahan sengketa informasi di organisasinya.

“Tapi kalo menyangkut sengketa di SKPD

itu tugasnya di SKPD sendiri. Kan mereka

punya PPID sendiri, yang PPID utama

hanya menghimpun data yang mungkin

tersebar di SKPD, dijadikan satu disini

(Biro Humas). tapi kalo sudah

menyangkut teknis tidak mungkinlah kita

bisa memberikan, ya SKPD sendiri harus

menyelesaikannya. Paling-paling kita jadi

tempatnya berkonsultasi apa yang harus

mereka lakukan itu aja, jadi tidak semua,

jadi mereka sendiri menyelesaikannya.”

Hal seperti diatas pernah terjadi pada kasus

permintaan informasi yang melibatkan Dinas

Pekerjaan Umum (PU) dan Dinas Pendapatan Daerah

(Dispenda) Provinsi Kalsel. Namun menurut Kepala

Bagian Pengolahan Informasi Biro Humas Provinsi

Kalsel, Zainuddin, permasalahan yang terjadi pada

Dinas PU dan Dispenda belum bisa dikatakan

persoalan sengketa informasi, dikarenakan masih

pada tahap awal yakni berupa permintaan informasi

yang belum dipenuhi oleh pihak Dinas PU dan

Dispenda, kemudian pemohon informasi

memberikan surat keberatan atas penolakan dari

Pihak Dinas PU kepada PPID Dinas PU dan

Dispenda, sedangkan Komisi Informasi Daerah

(KID) hanya mendapatkan tembusan dari surat

tersebut. Sehingga KID belum berhak untuk turun

tangan dalam permasalahan ini. Pada kasus seperti

ini, posisi Biro Humas menjadi fasilitator proses

pemecahan masalah tersebut yang berada di dalam

pemerintahan tanpa berhubungan dengan pihak

pemohon informasi. Biro Humas menjadi pihak yang

diminta pendapatnya oleh kedua Dinas tersebut

mengenai langkah awal penanganan permasalahan

ini dan diminta saran serta masukan tanpa ikut

mencampuri kebijakan yang akan diambil oleh Dinas

terkait.

“Ada surat tembusan ke KI (Komisi

Informasi), pernah minta informasi ke

Dinas PU (Pekerjaan Umum) tentang e…

anggaran biaya pembangunan samsat

lawan (dan) flyover. Jadi tembusan ke KI

minta jawaban selama 10 hari kerja sesuai

dengan petunjuk di Undang-Undang.

Dinas PU ada telpon kesini, kaya apa

(bagaimana) ini Pak? Ku bilang itu

kewajiban badan publik. Tapi kan belum

ada PPID katanya. Walaupun PPID itu

belum ada dibentuk, di dinas badan tapi

kewajiban badan publik untuk

memberikan informasi yang diminta oleh

masyarakat itu. Sepanjang informasi

tersebut bukan yang dikecualikan. Info itu

boleh lah. Kalo informasi dalam masih

bentuk rencana atau proses itu termasuk

dikecualikan, kalo sudah jadi ya wajib

untuk diberikan informasi tersebut.”

Keberatan yang dilayangkan kepada Dinas PU

dan Dispenda Provinsi Kalsel tersebut baru terjadi

pada tahun 2015. Keberatan tersebut diungkapkan

oleh salah satu Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)

di Banjarmasin, yakni Lembaga Komunitas Untuk

Demokrasi (LKOMDEK) Banjarmasin. Melalui

surat dengan nomor 19/DEM/III/2015, LKOMDEK

mempermasalahkan permintaan informasi yang tidak

kunjung dijawab oleh Dinas PU dan Dispenda

Provinsi Kalsel. Permintaan ini berkaitan dengan

pekerjaan pembangunan jembatan Fly Over dan

kantor baru Samsat di Banjarmasin. Sampai pada

penelitian ini selesai dilakukan, Dinas PU dan

Dispenda menurut Zainuddin masih belum

memberikan jawaban.

Hal ini dikarenakan baik Dinas PU dan

Dispenda merasa tidak yakin apakah informasi yang

diminta tersebut dapat diberikan atau masuk dalam

pengecualiaan. Namun Biro Humas yang dimintai

masukkannya oleh kedua Dinas tersebut menyatakan

bahwa informasi yang diminta merupakan informasi

publik dan berhak diketahui oleh pemohon

informasi. Melihat dari kenyataan di atas, terlihat

jelas bahwa baik Dinas PU dan Dispenda belum

mengerti dan menjalankan tugasnya sebagai PPID di

dalam organisasinya, hal tersebut juga dibenarkan

oleh Zainuddin yang mengatakan bahwa banyak

SKPD di pemprov Kalsel belum memiliki struktur

PPID di organisasinya dan belum juga menjalankan

Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto

163

perintah Undang-Undang Keterbukaan Informasi

Publik.

Keterlibatan Biro Humas dalam manajemen

puncak terkait keterbukaan informasi publik belum

terjadi terutama dalam hal verifikasi dan

inventarisasi informasi publik yang dikecualikan

untuk dilakukan uji konsekuensi. Selain itu Biro

Humas sebagai PPID utama juga belum

melaksanakan verifikasi dan inventarisasi untuk

organisasinya sendiri, ini menjadi kelemahan bagi

Biro Humas sebagai PPID utama dan sebagai

bagaian dari unit kerja Provinsi Kalsel. Kemudian

dalam penyelesaian sengketa informasi hanya

sengketa yang terjadi dalam lingkup tugas pokok dan

fungsi dari Biro Humas. Dalam hal ini Biro Humas

hanya menangani permasalahan sengketa informasi

yang terjadi di lingkup pimpinan atau Sekretariat

Daerah Provinsi Kalsel, sehingga dapat terlibat

dalam tim manajemen puncak yakni pimpinan

(Gubernur, Wagub dan Sekretaris Daerah).

Sedangkan SKPD lain merupakan SKPD

mandiri yang memiliki PPID sendiri, PPID tersebut

telah dibentuk sehingga permasalahan sengketa

informasi dapat diselesaikannya, peran Biro Humas

hanyalah sebagai tempat konsultasi bagi SKPD. Oleh

karena itulah PPID pembantu setiap SKPD perlu

dibentuk agar dapat menyeimbangkan dalam

penerapan Undang-Undang Keterbukaan Informasi

Publik dan Biro Humas selaku PPID utama

seharusnya menunjukkan kemampuaannya dalam

mengelola informasi publik yang dimulai dari

organisasinya terlebih dahulu. Dari penjelasan

tersebut didapat bahwa Biro Humas tidak mampu

memiliki akses koalisi dominan dalam organisasi

yang ditandai dengan sejauh mana praktisi

berpartisipasi dalam manajemen puncak seperti yang

dikemukakan oleh Dozier (1995). Hal ini

dikarenakan Biro Humas dianggap hanyalah sebatas

pelayanan pada pimpinan dalam Sekretariat Daerah

yang masukan maupun keputusan yang dibuatnya

tidak memiliki implikasi penuh pada SKPD lain

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada penelitian yang telah

dilakukan terkait peran Biro Humas dalam

keterbukaan informasi publik, Biro Humas

secara umum masih belum memiliki peran yang

kuat dalam pemerintahan untuk menerapkan

keterbukaan informasi publik, padahal dalam

posisinya sebagai PPID utama seharusnya

banyak yang dapat dilakukan agar memancing

SKPD lain bergerak cepat terhadap keterbukaan

informasi tersebut.

Hal tersebut didasarkan pada pelaksanaan

dimensi peran tidak dijalankan penuh oleh Biro

Humas dan dalam kegiatannya, Humas tidak di

dukung penuh oleh organisasi, keterbatasan

sumber daya manusia dan praktik komunikasi

yang tidak mengedepankan keterbukaan dan

interaktivitas dari pemerintah ke publik sehingga

Biro Humas dapat dikatakan belum memiliki

peranan yang menonjol dan aktif dalam

pemerintahan terkait dengan pelaksanaan

keterbukaan informasi publik.

Biro Humas tidak memenuhi peran

sebagai expert Presciber dalam kegiatan yang

dilakukannya. Sementara itu peran problem

solving process facilitator tidak ada terlihat pada

Biro Humas, hal ini dikarenakan Biro Humas

belum menjalankan kegiatan verifikasi dan

inventarisasi informasi untuk didiskusikan oleh

pimpinan tingkat atas. Kegiatan verifikasi akan

dilakukan apabila daftar informasi publik dari

SKPD telah dikumpulkan pada Biro Humas,

namun sampai saat penelitian dilakukan SKPD

belum mengumpulkan semua daftar informasi

publik diorganisasinya pada Biro Humas.

Selain itu penelitian ini mendapati bahwa

Biro Humas lemah dalam menjalankan

posisinya sebagai PPID utama. Hal ini terbukti

dari masih minimnya rencana program kegiatan

terkait dengan posisinya sebagai PPID utama

maupun yang terkait dengan keterbukaan

informasi publik.

Kegiatan yang ada sejak tahun 2012

hingga 2014 hanya berupa kegiatan umum dan

biasa atau masih terpatok pada fungsi awal Biro

Humas pelayanan pada pimpinan yang bearda

ditingkat Sekretariat Daerah. Kegiatan yang

adapun tanpa diikuti adanya rencana program

kerja yang jelas berisi strategi-strategi

percepatan keterbukaan informasi publik agar

segera terlaksana di semua SKPD.

B. Saran

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166

164

Biro Humas Provinsi Kalimantan Selatan dapat

memanfaatkan sumber daya manusia yang sudah ada

untuk memiliki kemampuan menjalankan tugas

sebagai Humas pemerintah maupun PPID utama di

Provinsi Kalsel, mengingat tidak meratanya

koordinasi antar bagian pada Biro Humas.

selanjutnya Biro Humas harus segera mungkin

merencanakan program kegiatan beserta strategi-

strategi yang berkesinambungan untuk percepatan

keterbukaan informasi publik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Dr.Phil Ana Nadhya Abrar,M.E.S dan Drs.

I Gusti Ngurah Putra, M.A, yang telah banyak

membantu untuk menyelesaikan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Trisulo, E., 2014. Perlunya Grand Design

Keterbukaan Informasi Publik, [online] 04

Februari. Tersedia di:

<http://www.komisiinformasi.go.id/news/vie

w/perlunya-grand-design-keterbukaan-

informasi-publik>

Dia, 2015. Tak Ada Data Gagal Lelang.

Banjarmasin Post, [online] 9 Januari. Tersedia

di:

<http://banjarmasin.tribunnews.com/2015/01/

09/tak-ada-data-gagal-lelang>

Anon, 2015. Menutupi Informasi Pulik.

Banjarmasin Post, [online] 10 Januari.

Tersedia di: <http://banjarmasin.

tribunnews.com/2015/01/10/menutupi-

informasi-publik>

Kemendagri, 2013. Rekapitulasi SK PPID Provinsi

Se-Indonesia. [pdf] Kementerian Dalam Negri.

Tersedia di: <http://www.kemendagri.go.id/

media/filemanager/2013/10/01/p/p/ppid_prov

_se_indonesia.pdf>

Kominfo, 2014. Rekapitulasi Pejabat Pengelola

Informasi dan Dokumentasi (PPID) Pada

Badan Publik Negara. [pdf] Kementerian

Komunikasi dan Informatika. Tersedia di: <

https://ppidkemkominfo.files.wordpress.com/

2014/07/tabel-rekap-ppid-per-1-juli-

2014.pdf>

Welkinson, D., 2012. Peran Humas Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam

Upaya Implementasi Undang-Undang No.14

Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi

Publik. Sarjana. Universitas Indonesia.

Tersedia di: <http://lib.ui.ac.id/file?file=digital

/20289266-S-David%20Welkinson.pdf>

Hidayati, T., 2014. Peran Humas Dalam

Implementasi Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi

Publik di Badan Publik (Studi Kasus Pada

Badan Pemeriksa Keuangan RI). Sarjana.

Universitas Gadjah Mada. Tersedia di: <

http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod

=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act

=view&typ=html&buku_id=69733>

Creswell, J. W., 2003. Research Design:

Qualitative and Quantitative Approaches.

Penerjemah oleh Budiman, A., Hasbroto, B.,

dan Chryshnanda. Jakarta: KIK Press.

Lee, M., Neeley, G., Steward, K., 2012. Practice of

Government Public Relations. London: CRC

Press.

Yin, R. K. 2014. Studi Kasus: Desain dan Metode.

Jakarta: Raja Grafindo Persada

Botan, Carl H, Vincent, Hazleton. 2009. Public

Relations Theory II. New Jersey: Lawrence

Erlbaum Associates, Inc, Publishers

Boundreaux, Jill. 2005. A Quantitative Assesment of

Public Relations Practitioners Perceptions of

their Relationship with the Organization they

Represent. Graduate Theses & Dissertations:

University of South Florida

Castelli, Joelle Wiley. 2007. A Quantitative

Assesment of Government Public Relations

Practitioners Role & Public Relations Model

Usage. Graduate Theses & Dissertations:

Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto

165

University of South Florida

Chen, Ni. 2009. ‘From Propaganda to Public

Relations: Evolutionary Change in the Chinese

Government’. Asian Journal of

Communication, 13:2, 96-121

Cucciniello, M & Nasi, G. 2014. ‘Transparency for

Trust in Government, How Effective is Formal

Transparency?’. International Journal of

Public Administration, 13-37,911-921

Cutlip, Scott M., Allen H. Center, dan Glen M.

Broom. 2006. Effective Public Relations. Edisi

Kesembilan. Terjemahan. Jakarta: Kencana

Dozier, D. M & Broom,G.M. 1995. Evolution of the

manager role in public relations practice.

Journal of Public Relations Research, 7(1), 3-

26

Dozier, D. M., Grunig, L. A., & Grunig, J. E. (1995).

The manager’s guide to excellence in public

relations and communications management.

Mahwah, NJ: Lawrence Earlbaum Associates,

In

Graham, Melissa. 2014. ‘Government

Communication in the Digital Age: Social

Media’s Effect on Local Government Public

Relations’. Public Relations Inquiry, Vol.3 (3)

Grunig, J. E. 2001.The Role of Public Relations in

Management and it’s Contribution to

Organizational & Societal Effectiveness.

Speech Delivered in Taipe, Taiwan

(http://www.instituteforpr.org/wp-

content/uploads/2001_PRManagement.pdf)

Grunig, J.E. & Hon, L. 1999. Guidelines for

measuring Relationships in Public Relations.

The Institute for Public Relations

(http://www.instituteforpr.org/wp-

content/uploads/Guidelines_Measuring_Relati

onships.pdf)

Kelleher, Tom. 2001. ‘Public Relations Roles &

Media Choices’. Journal of Public Relations

Research, 13 (4), 303-320

Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset

Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group

Laskin, Alexander. 2009. ‘The Evalution of Model

of Public Relations : an Outsider’s

Perspective’. Journal of Communication

Management Vol. 13 No.1, 37-50

Lee, Mordecai. 2009. ‘The Return of Public

Relations to the Public Administration

Curriculum?’. Journal of Public Affairs

Education Vol. 15(4), 515-533

Lee, M, Neeley, G, Steward, K. 2012. Practice of

Government Public Relations. London: CRC

Press

Liu, B. F, Horsley, J, S. 2007. ‘The Government

Communication Decision Wheel: Toward a

Public Relations Model for the Public Sector’.

Journal of Public Relations Research,

19:4,377-393

Liu, B. F, Horsley, J, S, Levenshus, A, B. 2010.

‘Government and Corporate Communication

Practices : do the Differencies Matter?’.

Journal of Applied Communication Research,

38:2, 189-213

Moleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian

Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya

Moss, D, Newman, A, Desanto,B. 2005. ‘What do

Communication Managers do? Defining &

Refining the core Elements of Management in

Public Relations/ Corporate Communication

Context’. Journal J & MC Quarterly, Vol.82,

No.4

Narendra, Pitra. 2008. Metodologi Riset Komunikasi

: PanduanUntuk Melaksanakan Penelitian

Komunikasi. Yogyakarta: BPPI & PKMBP

Putra, I Gusti Ngurah. 1999. Manajemen Hubungan

Masyarakat. Yogyakarta: UAJ Yogayakarta

Putra, I.Gusti Ngurah. 2004. Public Relations Untuk

Pemerintah Daerah: Tantangan Baru dalam

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166

166

Alam Demokrasi. Dalam Koalisi Dominan:

Refleksi Kritis Atas Peran dan Fungsi Public

Relations Dalam Manajemen. Jakarta: BPP

Perhumas

Vos, M. & Westerhoudt, E. (2008), 'Trends in

Government Communication in The

Netherlands'. Journal of Communication

Management, Volume 12, Issue 1, pp. 18‐29

Yin, R. K. 2014. Studi Kasus: Desain dan Metode.

Jakarta: Raja Grafindo Persada

Imperialisme Budaya Dalam Media Noviana Sari

167

IMPERIALISME BUDAYA DALAM MEDIA

CULTURE IMPERIALISM IN MEDIA

Noviana Sari

Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat.

Jl. Brigjend H. Hasan Basry Kayu Tangi Banjarmasin, 70123. Kalimantan Selatan, Indonesia. 0511-3304595

Email: [email protected]

diterima: 4 Januari 2016 | direvisi: 15 Januari 2016 | disetujui: 18 Januari 2016

ABTRACT

Discourse is a production base of power, legitimacy and hegemony of the dominant classes that produce things

such as the idea or knowledge that contains the ideology of which reproduces the discourse, as well as in

families, schools, workplaces, social organization and activities of daily life, including in it is a lifestyle. The

process of hegemonic discourse of lifestyle is one of the strategies of the dominant classes to do politics of

cultural imperialism. With an attractive and persuasive language offered in the magazine, the political process

of cultural imperialism obtain justification, because the magazine as an agent not only inform the lifestyle of

a particular culture but were able to define where the lifestyle is considered correct. This research is based to

unpack the meaning of discourse lifestyle offered in a franchise magazine USA to Indonesia, namely

CosmoGirl! Indonesia, through the rubric of fashion The CG! Look: Celebrity Style and trend model as a form

of cultural imperialism orientation of the west to the eastern culture. In the rubric The CG! Look: Celebrity

Style, CosmoGirl! not only presents fashion-fashion fads and used by foreign artists recommended for

adoption, but also hide explicit messages and unconsciously. The values introduced by CosmoGirl! seen in

themes at fashion rubric The CG Look: Style Celebrity look how CosmoGirl! presents a model that is a trend

of fashion and of course backed up with strategies to show the positive side of the style of dress western style.

These strategies are carried out by CosmoGirl! by attacking the image of ourselves as young women who

definitely wants to appear as attractive as possible.

Keywords: discourse analysis, Cultural Imperialism, lifestyle, fashion, magazines, rubric.

ABSTRAK

Wacana merupakan basis produksi kekuasaan, legitimasi dan hegemoni dari kelas dominan yang memproduksi

hal-hal seperti gagasan atau pengetahuan yang mengandung ideologi dari yang mereproduksi wacana, seperti

halnya dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, organisasi sosial dan aktivitas kehidupan sehari-hari, termasuk

juga di dalamnya adalah gaya hidup. Proses hegemoni wacana gaya hidup adalah salah satu strategi dari kelas

dominan untuk melakukan politik imperialisme budaya. Dengan bahasa yang menarik dan persuasif yang

ditawarkan dalam majalah, proses politik imperialisme budaya memperoleh pembenaran, karena majalah

sebagai agen tidak hanya menginformasikan gaya hidup dari suatu budaya tertentu tetapi mampu

mendefinisikan mana pola hidup yang dianggap benar. Penelitian ini didasari untuk membongkar makna

wacana gaya hidup yang ditawarkan dalam sebuah majalah franchise USA yang masuk ke Indonesia, yaitu

Cosmogirl! Indonesia, melalui rubrik fashion The CG! Look: Gaya Seleb dan trend modelnya sebagai bentuk

orientasi dari proses imperialisme budaya barat ke budaya timur. Dalam rubrik The CG! Look: Gaya Seleb,

Cosmogirl! tidak hanya menyajikan fashion-fashion yang sedang menjadi trend dan digunakan para artis luar

negeri yang disarankan untuk diadopsi, namun juga menyembunyikan pesan-pesan secara eksplisit dan tidak

disadari. Nilai-nilai yang dikenalkan oleh Cosmogirl! terlihat dalam tema-tema pada rubrik fashion The CG

Look: Gaya Seleb terlihat bagaimana Cosmogirl! menyajikan model fashion yang sedang trend dan tentu saja

didukung dengan strategi-strategi yang menampilkan sisi positif dari gaya berbusana ala barat. Strategi-strategi

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182

168

tersebut dilakukan oleh Cosmogirl! dengan cara menyerang citra diri kita sebagai remaja wanita yang pastinya

ingin tampil semenarik mungkin.

Kata Kunci: analisis wacana, Imperialisme Budaya, gaya hidup, fashion, majalah, rubrik.

I. LATAR BELAKANG

Majalah Cosmogirl! Indonesia adalah salah satu

majalah franchise dari Amerika Serikat yang

menggambarkan kehidupan remaja wanita sesuai

dengan fenomena yang terjadi pada masyarakat

global yang mulai mencerna kehidupan remaja yang

ada di masyarakat. Majalah Cosmogirl! ini dinilai

sebagai gejala kehidupan yang dibentuk untuk

mempublikasikan ide sekaligus sebagai mode atau

trend dan akhirnya menjadi bahan yang diterima

masyarakat melalui media yang menyajikan semua

issue yang berhubungan dengan kehidupan remaja-

remaja wanita.

Pada setiap edisinya, Cosmogirl! Indonesia

dipadati dengan beberapa rubrik-rubrik andalannya.

Salah satu rubriknya adalah rubrik fashion yang

dinamakan “The CG! Look” yang memuat sekmen

yang dinamakan Look: Gaya Seleb, dimana beberapa

hal tentang trend berbagai macam busana dan

fashion yang dimuat beserta foto-foto selebritis dunia

maupun busana-busana rancangan desainer ternama.

Rubrik tersebut memberikan rekomendasi gaya

berbusana ala artis luar negeri, dari harga hingga

tempat penjualan dimana kita bisa mendapatkan

barang-barang tersebut. Dilengkapi pula dengan tips

dan trik berbusana sesuai karakter diri serta memberi

pilihan beragam sesuai kebutuhan individu dalam

kaitannya dengan rubrik fashion terhadap gaya

berbusana remaja.

Berkembangnya dunia fashion merupakan efek

yang ditimbulkan akibat globalisasi media, karena

dengan menggunakan pendekatan hiburan, negara-

negara maju yang mempunyai agenda tertentu dapat

dengan mudah masuk dalam persepsi masyarakat.

Dalam hal imperialisme budaya, selera remaja ini

tentu bisa dilihat secara langsung, selain dari

majalah-majalah dengan lisensi luar negeri itu juga

dan secara tidak langsung produk-produk luar yang

ditawarkan dalam majalah bertendensi mendorong

remaja-remaja di Indonesia mengikuti pola trend

yang terjadi di luar negeri daripada trend yang ada di

Indonesia.

Terkait dengan imperialisme budaya, majalah

Cosmogirl! Indonesia sebagai media massa tidak

akan terlepas dari kepentingan ekonomi politik dan

ideologi mereka sendiri. Majalah Cosmogirl!

Indonesia yang merupakan majalah franchise dari

Amerika dan telah menglobal ini tentunya membawa

motif ekonomi dan politik tersendiri di Indonesia.

Meskipun 30% isi dari majalah ini telah

menyesuaikan dengan kondisi budaya Indonesia,

akan tetapi hal itu masih saja bercermin dengan

budaya luar. Terkait dengan hal tersebutlah yang

membuat penulis tertarik untuk menganalisis wacana

Wacana Caption Rubrik Fashion “The CG! Look:

Gaya Seleb” pada Majalah Cosmogirl! Indonesia

dengan mengunakan pendekatan Van Dijk yang

meliputi teks (text), kognisi sosial, dan konteks.

Tujuan dari penelitian ini adalah ingin melihat

bagaimana imperialisme budaya barat masuk ke

Indonesia melalui rubrik fashion “The CG! Look:

Gaya Seleb“ pada majalah Cosmogirl! Indonesia,

dalam deteksi: 1. Style artis (selebriti dunia) dalam

wujud busana-busana yang mereka kenakan dalam

berbagai acara. 2. Ketertarikan dan konsumtivitas

pembaca Cosmogirl! Indonesia, dalam hal ini remaja

wanita Indonesia pada untuk melihat dan meniru

fashion style artis mancanegara pada rubrik fashion

“The CG! Look: Gaya Seleb“

Sebagai informasi dan kontribusi bagi kalangan

ilmuan (peneliti, mahasiswa, dan pegamat media)

dalam rangka mengembangkan ilmu komunikasi

tentang wacana imperialisme budaya dalam media,

khususnya wacana pergeseran budaya remaja di

Indonesia. Serta sebagai masukan bagi praktisi

media, khususnya media cetak dalam

mengkonstruksi pergeseran budaya remaja di

Indonesia. Lebih jauh lagi, setelah mengetahui

bagaimana imperialisme budaya barat bisa

diidentifikasi melalui trend model yang diadaptasi

untuk konteks Indonesia pada rubrik fashion “The

CG! Look“ dalam majalah Cosmogirl! Indonesia.

Imperialisme Budaya Dalam Media Noviana Sari

169

Objek penelitian ini adalah rubrik fashion “The

CG! Look: Gaya Seleb“ pada majalah Cosmogirl!

Indonesia, bulan Januari 2010 sampai Juni 2010.

Dalam kajian ini peneliti memahami kerangka

penelitian ini sebagai fenomena politik imperialisme

budaya dengan menggunakan wacana fashion dan

lifestyle sebagai strategi untuk mengkomunikasikand

ominasi budaya dominan. Dalam hal ini media massa

dapat dikatakan sebagaiagen dari budaya dominan.

Media massa yang bekerja sama dengan kapitalisme

selalu mendefinisikan budaya barat adalah budaya

yang patut untuk diadopsi.

Pengaruh dunia barat dengan nilai-nilainya

sedikit banyak mempengaruhi nilai budaya kita. Hal

tersebut akibat arus simbolik global yang nyata yaitu

nilai-nilai dari luar dapat dengan mudah masuk ke

dalam kehidupan masyarakat melalui transformasi

teknologi komunikasi modern dan industri komersil.

Kemasan media massa yang menarik dapat membuat

masyarakat tertarik untuk melihat atau membaca

informasi tersebut. Bagaimana media massa

mengkonstruksikan realitas ke dalam sebuah

kemasan medianya.

Teori imperialisme budaya menyatakan bahwa

negara Barat mendominasi media di seluruh dunia

ini. Ini berarti pula, media massa negara Barat juga

mendominasi media massa di dunia ketiga, karena

media barat mempunyai efek yang kuat untuk

mempengaruhi media dunia ketiga dan media barat

sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga.

Sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul

lewat media tersebut. (Nurudin 2007)

Dalam perspektif teori ini, ketika terjadi proses

peniruan media negara berkembang dari negara

maju, saat itulah terjadi penghancuran budaya asli di

negara ketiga. Kebudayaan Barat memproduksi

hampir semua mayoritas media massa di dunia ini,

seperti film, berita, komik, foto, bahkan fashion dan

lain-lain. Mereka bisa mendominasi seperti itu

karena mereka mempunyai uang, dengan uang

mereka akan bisa berbuat apa saja untuk

memproduksi berbagai ragam sajian yang

dibutuhkan media massa. Bahkan media Barat sudah

dikembangkan secara kapitalis. Dengan kata lain,

media massa Barat sudah dikembangkan menjadi

industri yang juga mementingkan laba. Negara barat

juga mempunyai teknologi modern yang

memungkinkan sajian media massa diproduksi

secara lebih baik, meyakinkan dan “seolah nyata”.

(Nurudin 2007)

Teori ini juga menerangkan bahwa ada satu

kebenaran yang diyakininya. Sepanjang negara dunia

ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media

massanya berasal dari negara Barat, orang-orang

dunia ketika akan selalu percaya apa yang

seharusnya mereka kerjakan, pikir dan rasakan.

Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh

orang-orang yang berasal dari kebudayaan Barat.

Analisis wacana dalam penelitian ini digunakan

karena alalisis wacana dapat mengetahui makna yang

tersembunyi dari suatu teks. Berbeda dengan analisis

ini yang hanya menganalisis apa yang ada dalam teks

tanpa melihat apakah si pembuat teks mempunyai

kepentingan dari artikel tersebut. Dengan

menggunakan analisis wacana, akan dapat diketahui

bahwa teks-teks yang ada dalam suatu artikel

bukanlah suatu yang netral. Teks-teks tersebut adalah

praktek ideologis dari kelas dominan.

Analisis wacana tidak hanya meneliti tentang

pesan suatu teks komunikasi melainkan juga dapat

digunakan untuk mengkaji tentang makna yang ada

dibelakang suatu pesan teks komunikasi melalui

bahasa yang ada dalam pesan tersebut. Hal ini terkait

dengan konsep wacana itu sendiri. Wacana bukan

sesuatu yang netral, karena dibelakang wacana pasti

ada kuasa dan ideology kekuasaan akan

mengartikulasikan ideologi pengetahuannya melalui

wacana. Sehingga dengan menggunakan analisis

wacana maka akan terlihat siapa dan dengan maksud

apa ideologi memproduksi suatu wacana. Dengan

demikian tujuan analisi wacana bukanlah untuk

mencari apa yang sebenarnya terjadi, tetapi

bagaimana suatu aktor memproduksi kebenaran pada

atas suatu wacana. (Eriyanto, 2001).

Wacana oleh Van Dijk digambarkan memiliki

tiga dimensi, yaitu yang pertama adalah teks, dimana

dalam dimensi teks yang diteliti adalah bagaimana

struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk

menegaskan suatu tema tertentu. Yang kedua adalah

kognisi sosial, dimana analisis wacana tidak hanya

membatasi perhatiannya pada struktur teks yang

diproduksi. Menurutnya perlu adanya penelitian

mengenai kognisi sosial dalam kesadaran

komunikator yang membentuk teks tersebut. Dengan

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182

170

adanya analisis kognisi sosial akan dapat diketahui

makna tersembunyi dari suatu teks. Dan yang ketiga

adalah konteks sosial yang merupakan setting yang

mencakup latar belakang, waktu, tempat dan situasi

dari suatu peristiwa yang melahirkan suatu teks

tertentu. Konteks digunakan untuk menggambarkan

keadaan dan kondisi sosial, politik dan sejarah pada

saat terjadinya kegiatan, proses atau peristiwa

tertentu.

II. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian yang

bersifat kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif

tentang Bagaimana imperialisme budaya barat

masuk ke Indonesia melalui rubrik fashion “The CG!

Look: Gaya Seleb“ pada majalah Cosmogirl!

Indonesia.

Kerangka analisis Van Dijk berimplikasi bahwa

setiap jenjang pengamatan mempunyai teknik

pengumpulan data masing-masing. Sebagaimana

telah dijelaskan bahwa kerangka analisis Van Dijk

terdiri dari tiga jejang, yaitu, teks, kognisi social, dan

konteks social. Jadi teknik pengumpulan data dari

kerangka analisis wacana Van Dijk dapat dilihat

dalam tabel 1. (Eriyanto 2001)

Tabel 1. Jenjang Pengumpulan Data

Jenjang Metode Pengumpulan

Data Teks: Menganalisis bagaimana strategi wacana dan stretegi tekstual yang dipakai oleh majalah Cosmogirl! Indonesia dalam menggambarkan produk-produk budaya barat

Critical linguistic (struktur wacana Teun A. van Dijk)

Kognisi sosial: Menganalisis bagaimana kognisi wartawan majalah Cosmogirl! Indonesia dalam hubungannya dengan imperialisme budaya

Wawancara mendalam

Konteks Sosial: Menganalisis bagaimana wacana yang

Penelitian (studi) pustaka, penelusuran sejarah

berkembang dalam masyarakat tentang produk-produk budaya barat dalam proses imperialisme budaya

Sesuai dengan temanya, maka penelitian ini

akan mengkaji teks (caption) yang ada dalam rubrik

fashion” the CG! Look”, dengan artikel Look: gaya

Seleb dalam majalah Cosmogirl! Indonesia. Artikel

tersebut dipilih karena mengandung pesan-pesan

yang eksplisit dan secara tidak disadari menjadi

strategi dari kelompok dominan untuk memperoleh

legitimasinya.

Majalah Cosmogirl! Indonesia dipilih sebagai

objek dalam penelitian ini karena peneliti melihat

sebagaian besar isi dari majalah Cosmogirl!

Indonesia Mengadopsi Cosmogirl! versi aslinya,

khususnya pada pada rubrik fashion nya yang

mengadaptasi budaya barat dalam 6 edisi.

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian

ini yaitu ada tiga level analisis, yaitu text, kognisi

sosial, dan konteks. Pada level text, teknik analisis

datanya adalah dengan menganalisis caption pada

artikel “Gaya Seleb” majalah Cosmogirl! Indonesia

dalam rubrik fashion “The CG! Look”.

Sesuai dengan struktur analisis teks wacana dari

Van Dijk, maka perlu untuk menganalisis struktur

tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik dan

retoris. Stuktur-struktur tersebut dalam analisis teks

sangat penting karena melalui struktur-struktur

tersebut strategi pengemasan pesan oleh media massa

dapat diketahui. Selain itu juga dapat digunakan

untuk melihat praktek ideologis dari kaum

pemodal/budaya dominan. (Van Dijk, T. A., 1994)

Struktur Wacana Tematik

Topik atau tema merupakan gambaran umum,

gagasan inti dari pesan yang ingin disampaikan oleh

komunikator. Tema yang disampaikan oleh

komunikator memainkan peran penting dalam

membentuk kesadaran sosial, maksudnya dalah

ketika komunikator memaparkan sebuah tema, maka

pada waktu itu kesadaran sosial telah terbentuk.

Dalam analisis struktur ini akan terlihat bagaimana

rubrik fashion “The CG! Look” dalam Look: Gaya

Seleb, ingin menekankan melalui tema-tema gaya

busananya yang menggunakan patokan dari barat

adalah gaya busana yang harus diadopsi.

Imperialisme Budaya Dalam Media Noviana Sari

171

Struktur Wacana Skematik

Analisis skematik merupakan salah satu cara

untuk mengamati bagaimana bagian dan urutan

berita diskemakan dalam teks berita. Dengan

melakukan analisis skematik ini akan diketahui

bagian mana yang didahulukan dan bagian mana

yang bisa dijadikan strategi untuk menyembunyikan

informasi penting.

Struktur Wacana Semantik

Semantic dikategorikan sebagai makna local,

yaitu makna yang muncul dari hubungan antar

kalimat, hubungan antar proposisi yang membangun

makna tertentu dalam suatu bangunan teks. Semantik

tidak hanya mendefinisikan bagian mana yang

penting dari struktur wacana, tetapi juga menggiring

kea rah sisi tertentu dari suatu peristiwa. Strategi ini

dimaksudkan untuk menggambarkan diri sendiri

secara positif dan menggambarkan kelompok lain

secara buruk.

Struktur Wacana Sintaksis

Strategi ini dilaksanakan untuk meampilkan diri

sendiri secara positif dan lawan secara negative

dengan menggunakan kata pemakaian ganti, aturan

tata kata, pemakaian kalimat aktif dan pasif,

peletakan anak kalimat dan pemakaian kalimat yang

kompleks.

Struktur Wacana Stilistik

Pusat perhatian stilistik adalah style, yaitu cara

yang digunakan komunikator untuk menyatakan

maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai

saran. Jadi style dapat diterjemahkan sebagai gaya

bahasa yang mencakup diksi atau pilihan leksikal,

struktur kalimat, majas dan pencitraan, serta pola

rima.

Struktur Wacana Retoris

Wacana retoris adalah salah satu strategi yang

dilakukan untuk mengetahui bagaimana media massa

mendefinisikan makna-makna tertentu. Retoris

mempunyai fungsi persuasive dan berhubungan erat

dengan bagaimana pesan itu ingin disampaikan

kepada khalayak.

Pada level kognisi sosial adalah dengan

menganalisis hasil wawancara mendalam dengan key

informant yang memahami proses serta seluk-beluk

proses penciptaan caption dan tata busana selebritis

yang ditampilkan dalam rubrik fashion “The CG!

Look: Gaya Seleb” yang menampilkan dan

menawarkan produk-produk serupa yang dikenakan

oleh selebritis dunia yang ditampilkan pada rubrik

tersebut.

Sedangkan pada level konteks, dilakukan studi

literatur untuk mengaitkan temuan fakta dalam

analisis teks (caption) dan analisis lapangan sesuai

dengan kondisi sosial budaya yang ditinjau secara

menyeluruh untuk melihat bagaimana Bagaimana

imperialisme budaya barat tersebut masuk ke

Indonesia melalui rubrik fashion “The CG! Look:

Gaya Seleb” pada majalah Cosmogirl! Indonesia.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Wacana Teks (Caption) Rubrik

Fashion “GAYA SELEB”

a. Tema: Refleksi kepentingan communicator dan

budaya barat

Budaya barat dan kepentingan dari komunikator

oleh Cosmogirl! dijadikan sebagai landasan dalam

penyajian tema. Majalah Cosmogirl! dalam

menyajikan tema gaya busana selalu mengikuti

standar atau patokan budaya barat dan komunikator.

Jadi dapat dikatakan bahwa standing point dari

majalah Cosmogirl! adalah sebagai juru bahasa dari

budaya dominan dan komunikator. Hal ini terlihat

dalam tema-tema yang disajikan, diantaranya tata

busana dengan menggunakan patokan artis

Hollywood perlu untuk diadopsi supaya dapat tampil

menarik dan mewah. Dalam rubrik tersebut disajikan

bagaimana artis-artis Hollywood memiliki rahasia

dalam berbusana yang dianggap oleh Cosmogirl!

pantas untuk ditiru. Dimana kepantasan untuk ditiru

tersebut sesuai dengan standar dari Hollywood yang

mencerminkan budaya barat.

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182

172

Gambar 3. Rubrik Fashion ‘LOOK_GayaSeleb’ pada Majalah Cosmogirl!

Dengan tema For Fake’s sake pada gambar 3

diatas, Cosmogirl! ingin menampilkan gaya fashion

Animal print, Bling-bling, Feathers, dan Leathers,

namun dengan bahan buatan atau palsu (imitasi).

Cosmogirl! menunjukkan bahwa walaupun bukan

terbuat dari bulu, kulit binatang ataupun perhiasan

asli, tema fashion ini lah yang sedang trend diseluruh

dunia pada saat ini dan juga digunakan oleh artis-artis

Hollywood yang sedang naik daun seperti Katty

Perry, Fergie ‘The Black Eyed Pease”, dan Kate

Moss.

Gambar 4. Rubrik Fashion ‘LOOK_GayaSeleb’ pada Majalah Cosmogirl!

Tema The L Words yang muncul pada caption

gambar 4 di atas adalah tentang dua artis muda

mancanegara yang sama-sama mempunyai inisial L,

Yaitu Lykke Li yang seorang penyanyi indie dan

Leven Rambin yang merupakan aktris muda

berbakat. Lykke Li adalah artis barat (kelahiran

Swedia) yang berprofesi sebagai penyanyi indie

muda, dengan nama lengkap Li Lykke Timotej

Zachrisson. Diceritakan juga bahwa Lykke Li punya

banyak koneksi dengan musisi-musisi hebat seperti

Kanye West, Bjorn Ytlling, DJ Kleerup, Royksopp.

Penyebutan salah satu hits lagunya (Possibility)

sebagai soundstrack film Newmoon adalah penguat

cerita bahwa tokoh obyek adalah orang yang terkenal

dan berpengaruh di ranah selebriti dan hiburan. Teks

di atas juga dibumbui dengan istilah-istilah asing

(dalam bahasa inggris) sebagai wujud “western”.

Sedangkan Leven Rambin adalah cewek

berumur 20 tahun yang berasal dari Texas bernama

lengkap Leven Alice Rambin yang pada saat

sekarang ini wajah cantiknya sering muncul di layar

kaca dengan membintangi berbagai serial TV seperti

All My Children, Law & Order, Lipstick Jungle,

Grey’s Anatomy dan Terminator: The Sarah Connor

Chronicles. Diceritakan juga bahwa Rambin adalah

seorang gadis tomboy namun suka tampil feminim.

Gambar 5. Rubrik Fashion ‘LOOK_GayaSeleb’ pada Majalah Cosmogirl!

Imperialisme Budaya Dalam Media Noviana Sari

173

Dengan tema Musik & Gaya, gaya seleb edisi

Maret menceritakan tentang dua band yang sama-

sama berkiprah di dunia musik internasional dan

berani tampil dengan gaya yang berbeda. Mereka

adalah La Roux dan The Plastiscines. La Roux

dengan Eleanor Jackson atau yang lebih dikenal

dengan Elly Jackson dari band La Roux ini menjadi

inspirasi banyak remaja di London, dengan

penampilannya yang keren dengan model rambut

pendek dan koleksi-koleksi pakaiannya yang

terkesan Boyish dan berani tampil beda, seperti

blazer, jaket sampai celana yang tabrak motif.

Sedangkan The Plastiscines yang

beranggotakan Katty besnard, Marine Nevilly,

Louise Basilien, Anoushka, dan Vandevyvere atau

Anais ini memainkan musik dengan genre indie pop

dan garage rock yang terinspirasi dari The White

Stripes dan The Strokes. Lagu mereka pun dipakai

dalam salah satu episode di serial Gossip Girl. Untuk

urusan pakaian dan penampilan, band yang terdiri

dari cewek-cewek Prancis ini selalu menyesuaikan

dengan penampilan panggung mereka, yaitu bergaya

Punk feminine.

Gambar 6. Rubrik Fashion ‘LOOK_GayaSeleb’ pada Majalah Cosmogirl!

Pada edisi ini, rubrik gaya seleb bertemakan

Chic and Talented, yang menceritakan dua artis

muda Hollywood berbakat, Amanda Seyfried dan

Carey Mulligan. Amanda Seyfried yang menyenangi

gaya chic yang dipadukan dengan sentruhan vintage

dan rambut blonde nya yang panjang. Amanda sudah

menjadi model anak-anak sejak usia 11 tahun dan

menjadi pemeran figuran dalam film Mean Girls dan

semakin terkenal sejak beradu acting dengan Megan

Fox dalam film Jenifer’s Body dan menjadi pemeran

utama dalam film musical Mamma Mia.

Sedangkan Carey Mulligan yang lahir ada 28

Mei 1985 ini juga adalah seorang aktris film, TV dan

teater di Inggris yang memulai debut filmnya dengan

berakting di film Pride and prejudice dan

pementasan drama Broadway yang berjudul The

Seagull. Carey yang selalu tampil dengan riasan yang

“berani” selalu terlihat unik dengan gaya rambutnya

yang pendek. Baru-baru ini ia dinominasikan sebagai

aktris terbaik di Golden Globe Award untuk

penampilannya sebagai Jenny dalam film An

Education.

Gambar 7. Rubrik Fashion ‘LOOK_GayaSeleb’ pada Majalah Cosmogirl!

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182

174

Dress galore yang menjadi tema di bulan Mei

menyajikan beragam parade gaun para seleb

Hollywood yang berlaga di atas red carpet pada

beberapa acara penghargaan bergengsi dunia. Di

edisi Dress Galore ini, Cosmogirl! ingin mengajak

pembacanya untuk mencoba mengadopsi serta

memadupadankan gaun-gaun malam yang dipakai

oleh para selebriti dunia seperti Kristen stewart,

Cameron Diaz, Mia Wasikowska, Carrey Mulligan,

Diane Kruger, Demi moore, Miley Cyrus dan

Brittany Snow sebagai inspirasi untuk pergi ke pesta.

Gambar 8. Rubrik Fashion ‘LOOK_GayaSeleb’ pada Majalah Cosmogirl!

Pada edisi ini, gaya seleb mengangkat tema

Ektra Plus untuk para wanita yang berukuran besar

(Big Size). Walaupun bertubuh besar, bukan berarti

tidak bisa tampil dengan maksimal, seperti halnya

selebriti-selebriti Hollywood yang di tampilkan oleh

Cosmogirl! Pada rubrik ini, yaitu, Jordin spark,

Amber Riley dan America Ferrera yang menyiasati

tubuh gemuk mereka dengan beberapa koleksi padu

padannya.

Dalam keenam edisi tersebut dapat terlihat

bagaimana Cosmogirl! menampilkan tata busana

dengan menggunakan patokan dari barat yang

merupakan suatu kebutuhan yang mengharuskan

soerang perempuan untuk tampil menarik dan

mewah. Inilah kesadaran yang ingin ditampilkan

oleh Cosmogirl! agar diterima oleh para recipients

atau pembacanya. Kesadaran yang berusaha

ditanamkan ini bertujuan agar recipients mau

mengakui, menghargai dan mengadopsi budaya barat

sebagai bagian dari budaya kita, budaya Indonesia.

Untuk mengkonstruksi pemikiran dan kesadaran

kita, maka Cosmogirl! menggunakan strategi

menyajikan rahasia berbusana dari aktris

manacanegara yang dianggap sebagai icon-icon

berbusana yang baik dan menarik. Dengan

menyajikan rubrik fashion ‘Gaya Seleb’, maka

diharapkan para recipients mau mengadopsi gaya

berbusana mereka.

b. Skema: menyembunyikan maksud dalam

mengadopsi gaya busana ala barat

Analisis dari elemen struktur skematik dapat

dilakukan dengan melihat dua kategori skema besar.

Pertama, summary yang umumnya ditandai dengan

dua elemen, yakni judul dan lead (pengantar

ringkasan apa yang ingin dikatakan sebelum masuk

dalam isi caption secara lengkap). Kedua, story, yaitu

isi caption secara keseluruhan, yang memiliki dua

subkategori yang berupa situasi dalam proses atau

jalannya peristiwa dan komentar yang ditampilkan

dalam caption. Subkategori situasi terdiri dari dua

bagian, yaitu episode atau kisah utama dari suatu

peristiwa dan latar untuk mendukung episode yang

disajikan kepada khalayak. Latar yang dipakai untuk

member konteks agar suatu peristiwa lebih jelas

ketika disampaikan kepada khalayak.

c. Tematik: Judul yang menyerang citra diri

pembaca

Dalam rubrik fashion The CG Look: gaya Seleb

pada majalah Cosmogirl!, judul-judul yang disajikan

berupa judul yang memikat citra diri pembacanya

serta menarik minat si pembaca tersebut (attrack the

reader). Keberadaan judul yang menarik bukan

hanya untuk menarik minat si pembaca melainkan

juga erat kaitannya dengan tema. Judul dalam rubrik

fashion The CG Look: gaya Seleb pada majalah

Cosmogirl! yang memuat pernyataan atau

pendefinisian makna (pendefinisian model busana

yang baru trend), dalam 6 edisi ini diantaranya

adalah For Fake’s Sake, The L Words, Musik dan

Imperialisme Budaya Dalam Media Noviana Sari

175

Gaya, Chic and Talented, Dress Galore, dan Ekstra

Plus.

Strategi yang digunakan oleh majalah

Cosmogirl! dalam elemen analisis judul juga dengan

penggunaan metafora: animal print, chic, plus size =

A +. bling-bling.

Dari judul-judul diatas beserta strateginya,

dapat dilihat bahwa struktur skematik dari rubik

Look: Gaya Seleb menyajikan judul-judul menarik

yang menyerang citra diri kita, terlepas dari apakah

itu berbentuk ajakan, definisi atau metafora yang

dapat menggugah kesadaran dari pembacanya.

Tujuan Cosmogirl! menyajikan judul-judul tersebut

untuk menarik minat para pembaca agar mau

mengakui dan mengadopsi apa yang menjadi definisi

dari sang communicator dan Cosmogirl! itu sendiri.

B. Skematik: Menggambarkan situasi

faktual yang membenarkan

pengadopsian gaya busana yang

ditawarkan

Situasi adalah proses atau jalannya peristiwa

yang terdiri dari dua bagian, yaitu episode atau kisah

utama dari berita yang disajikan dan latar untuk

mendukung tema.

Gambar 16. Leather dan Feather, The CG Look : Gaya Seleb, Cosmogirl!

Gambar 16 memaparkan tentang style busana

bermotif leather (kulit binatang) dan feather (bulu

binatang) berbahan buatan yang menyerupai aslinya.

Konsekuensi yang didapat dan dengan didukung oleh

latar pada awal kalimat gambar 16 yang dipaparkan

oleh Cosmogirl!, sama halnya dengan paparan pada

gambar 15, maka ketika kita menggunakan bahan

buatan yang menyerupai bulu binatang (feather) dan

kulit binatang (leather), kita tidak hanya melindungi

binatang dari kepunahan dan tidak menyakiti

binatang, namun juga akan terlihat menarik dan

memperbaiki penampilan kita agar menjadi pusat

perhatian dengan berbagai jenis dan beragam bentuk

serta warna yang ditawarkannya.

Dengan melihat elemen judul dan situasi

penceritaan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

strategi semantic yang dilakukan oleh Cosmogirl!

adalah menyajikan berita yang menguntungkan. Hal

ini terlihat dari judul-judul yang memikat citra diri

yang berusaha mengaja pembacanya untuk

menggunakan model-model busana yang telah

didefinisikan oleh Cosmogirl!. penyajian berita yang

juga menguntungkan bagi communicator ini juga

didukung adanya strategi situasi yang memaparkan

tentang jalannya peristiwa dengan didukung konteks

yang membantu untuk membenarkan argumen dan

maksud sebenarnya.

1. Semantik: Penekanan makna western dalam

ajakan mengadopsi gaya busana sebagai

Cosmogirl! sejati

a. Latar

Keberadaan latar dalam analisis wacana sangat

penting karena dipergunakan untuk menegaskan

makna yang ingin ditampilkan. Jadi, latar yang

disajikan akan menentukan kearah mana pandangan

khalayak hendak dibawa. Latar pada umumnya

ditampilkan diawal, sebelum pendapat dari

Cosmogirl! dan communicator yang sebenarnya

muncul dengan maksud mempengaruhi. Strategi

latar yang yang digunakan oleh Cosmogirl! adalah

dengan cara menyajikan suguhan yang memberi

konteks terhadap judul secara khusus dan tema

secara umum.

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182

176

Gambar 18. Bling Bling, The CG Look : Gaya Seleb, Cosmogirl!

Maksud dari gambar 18 adalah mengajak untuk

memiliki berbagai macam aksesoris yang berkilau

(bling-bling) agar terlihat tampil gaya dan semakin

bersinar walaupun bukan perhiasan asli. Dengan

diberi latar ‘Mungkin belum saatnya kamu punya

perhiasan yang berkilau. Tidak masalah!’, maka

Cosmogirl! ingin membenarkan pendapat perlunya

untuk memiliki aksesoris atau perhiasan yang

berkilau walaupun bukan perhiasan asli (imitasi),

namun tetap dengan ala bling-bling yang berkilau

supaya terlihat manarik, bersinar dan menjadi pusat

perhatian.

b. Detil

Elemen wacana detil berhubungan dengan

kontrol informasi atau fakta yang ditampilkan oleh

communicator. Communicator akan menampilkan

informasi yang dianggapnya menguntungkan dengan

berlebihan, sedangkan informasi yang merugikan

dalam jumlah yang sedikit atau bahkan tidak

disampaikan.

Dalam rubrik Look: Gaya Seleb, elemen detil

ini terlihat dari bagaimana informasi-informasi yang

disajikan tersebut disampaikan secara detil dan

lengkap agar memudahkan recipients.

Gambar 23. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!

Dalam gambar 23, terlihat bagaimana

Cosmogirl! secara detil mengkonstruksi gaya busana

yang dipakai oleh model yang ada pada gambar

tesebut dengan barang-barang yang di sediakan oleh

Cosmogirl! dan communicator lengkap dengan

harga, label toko dan disertai dengan gambarnya.

Dengan strategi detilnya, Cosmogirl! dan

communicator terlihat berusaha dengan keras untuk

mempengaruhi kesadaran khalayak dengan

mengkonstruksi gaya berbusana. Hal ini terlihat

dalam elemen detil yang menyampaikan dengan detil

informasi-informasi yang menguntungkan bagi

Cosmogirl! dalam usahanya untuk mengajak

recipients mengadopsi gaya berbusana dari barat.

Jadi dengan adanya strategi detil yang dilakukan,

terlihat bagaimana komitmen dari Cosmogirl!

terhadap keberadaan budaya barat sangat tinggi.

2. Sintaksis: Struktur yang menawarkan gaya

busana agar terlihat menarik dan percaya diri

Analisis sintaksis adalah pola penyusunan kata

dan frase ke dalam sebuah kalimat yang digunakan

dengan cara melihat penggunaan kalimat yang

disusun pada pemakaian kata ganti, aturan tata kata,

serta pemakaian kata pasif dan aktif. Analisa ini

digunakan untuk melihat bagaimana struktur kalimat

dan struktur teks dimanfaatkan untuk menampilkan

diri sendiri secara positif.

a. Koherensi

Koherensi adalah pertalian atau jalinan antar

kata atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang

menggambarkan fakta yang berbeda dapat

dihubungkan sehingga tampak koheren. Jadi, fakta

yang pada awalnya tidak berhubungan sekalipun

dapat menjadi terhubung ketika seseorang

menghubungkannya dengan koherensi.

Gambar 24. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!

Imperialisme Budaya Dalam Media Noviana Sari

177

Gambar 25. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!

Gambar 26. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!

Pada gambar 24, terlihat antara kalimat pertama

dan terakhir tidak berhubungan, apakah ada

hubungan antara memiliki busana animal print agar

kita peduli terhadap binatang dengan menjadi

seorang Cosmogirl! Sejati?. Namun dengan

penggunaan kata-kata yang baik, maka akan terlihat

koheren dan berhubungan. Setelah memiliki dan

memakai busana dari motif animal print yang

berbahan dasar buatan, maka recipients tersebut

secara otomatis akan menjadi pusat perhatian dan

menjadikannya sebagai seorang Cosmogirl! Sejati.

b. Bentuk Kalimat

Bentuk kalimat pasif dan aktif dengan

memposisikan diri sebagai subjek digunakan untuk

membentuk hubungan antara susunan S-P-O

(Subjek-Predikat-Objek). Entuk kalimat bukan

hanya persoalan teknis tentang kebenaran tata

bahasa, tetapi juga menentukan makna yang dibentuk

oleh susunan kalimat. Dalam kalimat berstruktur

aktif, seseorang menjadi objek dari pernyataannya.

Dalam rubrik Look: Gaya Seleb, kalimat-

kalimat yang digunakan adalah kalimat aktif dan

pasif. Namun meskipun menggunakan kalimat aktif

dan pasif, keduanya dapat melebur menjadi satu.

Gambar 25 merupakan bentuk kalimat aktif.

Dalam hal ini yang menjadi subjek adalah dua artis

yang sama-sama berinisial L, Lykke Li dan Leven

Rambin, dan Cosmogirl! sebagai communicator

yang menetukan pendefinisian maknanya. Para

recipients atau pembaca sebagai pihak pasif, yang

menerima definisi makna dari communicator. Jika

dihubungkan dengan gambar diatas, maka yang

mendefinisikan agar tampilan bisa mempesona

seperti kostum warna warni yang disukai oleh Leven

Rambin dan pakaian hitam yang diidentikkan dengan

Lykke Li adalah Cosmogirl!. sedangkan pembaca

hanyalah sebagai pasif yang memilih style mana

yang di tawarkan oleh Cosmogirl! yang cocok

dengan karakter recipients itu sendiri.

Gambar 26 adalah merupakan bentuk kalimat

pasif, namun tetap terlihat bagaimana Cosmogirl!

tetap berada sebagai pihak yang aktif. Dimana pihak

Cosmogirl! mendefinisikan bahwa tampilan yang

bisa membuat seseorang maksimal adalah tampilan

seseorang dengan ukuran tubuh yang besar (big size)

seperti halnya selebritis yang berbadan besar yang

dijabarkan oleh Cosmogirl!. para recipients sebagai

pihak pasif yang menerima model tata busana seperti

apa yang di tawarkan oleh Cosmogirl! untuk mereka

yang kurang percaya diri dengan ukuran tubuhnya

yang besar, agar bisa tampil maksimal dan menarik

perhatian dengan tata busana yang ditawarkan

Cosmogirl!.

Dengan adanya analisis seperti diatas, maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa Cosmogirl! dan

communicator selalu menjadi pihak aktif. Sedangkan

recipients atau pembaca berada di pihak pasif. Jadi,

kedudukan dari recipients adalah sebagai pihak yang

menerima dan memilih, model-model busana seperti

apa yang dikonstruksi dan sudah didefinisikan oleh

Cosmogirl! dan communicator. Tujuan Cosmogirl!

selalu memposisikan dirinya sebagai subjek semakin

membuktikan bahwa dirinya dan adalah corong dari

communicator dan budaya dominan.

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182

178

Gambar 27. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!

c. Penggunaaan Kata Ganti

Kata ganti dipakai untuk menunjukkan posisi

seseorang atau kelompok dalam suatu wacana.

Dalam Look: Gaya Seleb, Cosmogirl! banyak

menggunakan kata ganti bahasa yang lebih ‘gaul’

agar terkesan menyatu dan dekat secara personal

dengan recipients yang kebanyakan adalah para

remaja. Misalnya untuk kata ‘perempuan = cewek’,

‘anda = kamu’, ‘selebritis (artis) = seleb’.

C. Stilistik: Pemilihan kata asing agar

terlihat menarik, mencolok dan

bergengsi

Gambar 28. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!

Bahasa asing yang digunakan pada gambar 28:

Ekstra edgy

Gambar 30. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!

Bahasa asing yang digunakan pada gambar 30:

Rising, stylish, so pretty.

Elemen ini menandakan bagaimana Cosmogirl!

melakukan pemilihan kata atas berbagai

kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata yang

dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu.

Dalam rubrik Look: Gaya Seleb, banyak penggunaan

bahasa asing yang dipakai oleh Cosmogirl! untuk

menggambarkan sesuatu, baik itu model busana

ataupun sang artis itu sendiri agar terkesan lebih

menarik, simple (mudah) dan pendek (tidak

memakan tempat yang banyak seperti halnya dalam

bahasa Indonesia).

D. Retoris: Visualisasi pesan persuasif dan

penempatan diri Cosmogirl! sebagai

pihak aktif

Struktur wacana retoris mempunyai fungsi

persuasif dan berhubungan erat dengan bagaimana

pesan itu ningin disampaikan kepada khalayak.

a. Interaksi

Interaksi adalah salah satu strategi dari

Cosmogirl! untuk mengetahui bagaimana

Cosmogirl! menempatkan posisinya dianatara

khalayak. Dalam rubriknya, communicator

menempatkan diri sebagai pihak yang aktif dalam

mendefinisikan makna, busana mana yang harusnya

dipakai pada suatu waktu dan tempat tertentu serta

busana apa yang cocok dengan karakter pribadi si

pembaca atau recipients.

Gambar 31. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!

Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Novita Sari

179

Dari gambar 31 tersebut terlihat bagaimana

Cosmogirl! Mendefinisikan makna gaya busana

seperti apa yang harus dikenakan untuk acuan

recipient pergi mengadiri suatu acara atau pesta.

Cosmogirl! Mengarahkan dan menawarkan

recipients agar mengadopsi gaya busana gaun pesta

yang dipakai oleh para selebritis dan memadukan

dengan aksesoris yang tepat seperti yang ditawarkan

oleh Cosmogirl!.

b. Grafis

Elemen ini dimaksudkan untuk membantu

menonjolkan bagian penting atau menghilangkan

bagian tertentu yang dari teks yang disampaikan.

Dalam teks, biasanya grafis muncul lewat bagian

tulisan yang dibuat lain, grafik, gambar, atau tabel

untuk mendukung arti penting suatu pesan.

Gambar 32. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!

Pada keempat caption yang terdapat dalam

gambar 32 diatas, judul dengan ukuran font yang

lebih besar serta di block dengan warna warna terang

telah menunjukkan sebuah elemen grafis. Dimana

tujuan dari bentuk judul yang dibuat oleh Cosmogirl!

Dengan semenarik mungkin adalah ingin

memberikan penekanan tentang pendefinisian mana

style busana dengan tema yang ingin ditampilkan,

seperti: tema ‘BLING BLING’, tema ANIMAL,

tema FEATHER, dan tema LEATHER, yang tertera

di gambar 32.

Dalam rubrik Look: Gaya Seleb, elemen grafis

juga muncul dalam bentuk gambar, seperti berikut:

Gambar 34. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!

Dengan adanya elemen grafis dalam bentu

gambar, maka proses untuk mengkonstruksi akan

lebih efektif dan efisien sesuai dengan apa yang ingin

didefinisikan oleh Cosmogirl!. pembaca disuguhi

dengan gambar-gambar menarik beserta model-

modelnya yang merupakan artis mancanegara,

sehingga recipients dengan mudah dapat

membayangkan, meniru/mengadopsi sesuai dengan

apa yang disajikan dan ditawarkan.

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182

180

E. Analisis Kognisi Sosial Rubrik Fashion

”THE CG! LOOK: GAYA SELEB”

Cosmogirl! dalam kognisi sosial mempunyai

kekuasaan dan kekuatan melalui rubrik fashion nya

dalam mempengaruhi khalayak, dengan

memasukkan nilai-nilai dan norma-norma barat yang

diusungnya kedalam nilai-nilai dan norma-norma

timur secara perlahan melalui gaya berbusana yang

ditawarkannya. Cosmogirl! mempunyai kemampuan

untuk menjalankan peran ideologis dengan

menampilkan nilai-nilai tertentu dari masyarakat

barat, sehingga menjadi nilai yang dominan dan

menjadi kiblat atau tuntunan bagi masyarakat timur

yang dinilai mempunyai prilaku konsumtif dan suka

meniru dengan alasan prestige yang merujuk pada

pengadopsian perilaku dan nilai-nilai yang dianggap

dapat merubah gaya hidup mereka menjadi lebih

berkelas dan menarik.

Berdasarkan konteks sosial tersebut, hasil

temuan yang didapat adalah:

a. Komersil

Cosmogirl! yang berorientasi profit/bisnis

memiliki kekuasaan atas isi berita dan memproduksi

teks tersebut dengan melihat konteks sosial

masyarakat Indonesia yang sangat konsumtif, yang

beranggapan bahwa jika tidak mengkonsumsi

barang-barang bermerk dan kebarat-baratan tersebut,

maka ia akan dinilai sebagai masyarakat yang

ketinggalan zaman atau tidak gaul. Berlatarbelakang

itulah, maka Cosmogirl! dapat dengan mudah

memasukkan nilai-nilai atau unsur-unsur budaya

barat yang nantinya akan diadopsi oleh remaja

Indonesia.

b. Imperialisme

Dalam analisis teks (caption), sudah terlihat

jelas bagaimana Cosmogirl! dengan strateginya telah

mengkonstruksi dan mendefinisikan makna

mengarahkan kepada recipients bahwa gaya hidup

seperti yang Cosmogirl! tawarkan itulah yang perlu

untuk diadopsi. Dengan adanya strategi-strategi yang

dilakukan tersebut, Cosmogirl! telah memposisikan

dirinya sebagai agen dari imperialisme yang

mengkonstruksi dan mengarahkan gaya hidup kita

secara langsung maupun tidak. Proses imperialisme

yang dilakukan oleh Cosmogirl! dapat terlihat dalam

konstruksi terhadap gaya busana yang ditawarkan

adalah perlu untuk diadopsi agar lebih terlihat

menarik dan tidak ketinggalan jaman.

Majalah Cosmogirl! sebagai agen imperialisme

budaya bergerak dalam wacana industri budaya dan

akan tetap menjadikannya sebagai agen, karena

kapitalisme budaya sebagai subyek yang mampu

menentukan gaya hidup apa yang harus diadopsi oleh

massa yang sangat membutuhkan media massa

sebagai agen untuk menyebarluaskan ideologinya.

c. Ideologi

Keberadaan Cosmogirl! sebagai agen

imperialisme budaya dengan melihat strategi-strategi

yang dilakukannya bukanlah sebagai suatu hal yang

berdiri sendiri, akan tetapi berada dalam suatu

konteks yang melatarbelakanginya. Keberadaan

Cosmogirl! dalam posisinya sebagai agen dari

imperialisme budaya berada dalam suatu medan

wacana serta melingkupi para pelibat wacana. Peran

dari majalah Cosmogirl! sebagai bagian dari agen

imperialisme budaya dapat ditangkap sebagai salah

satu bentuk dari ideologi yang diusung Cosmogirl!.

dalam bab III dijelaskan tentang pelibat wacana yang

mengatur ideologi Cosmogirl! yang mengikuti apa

yang telah didefinisikan oleh majalah Induknya

(hearst Magazine) yang dilihat dari teks-teks yang

mereka sajikan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Cosmogirl! merupakan salah satu majalah

franchise dari Amerika yang memuat banyak konten

yang mengadopsi majalah luar negeri yang memuat

beragam gaya berbusana dan bagaimana cara

mendapatkannya yang ditawarkan oleh Cosmogirl!

yang secara tidak langsung merupakan praktek dari

budaya massa yang secara sadar maupun tidak

menyebarkan ideologi nya dengan cara mendoktrin

remaja dengan apa yang menurut mereka seharusnya

dikonsumsi oleh remaja tanpa menghiraukan apakah

itu sesuai atau tidak, apakah sebenarnya cocok

dengan gaya berpakaian ala Indonesia atau tidak.

Peran Cosmogirl! sebagai agen imperialisme budaya

Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Novita Sari

181

tidak hanya berhenti pada posisinya dalam

menginformasikan gaya hidup ala barat, namun juga

telah mendefinisikan makna bahwa gaya hidup barat

adalah gaya hidup yang benar dan wajar, serta patut

untuk ditiru dan diadopsi agar bisa tampil lebih

menarik dan tidak ketinggalan jaman.

Dengan adanya analisis teks rubrik fashion The

CG Look: Gaya Seleb, terlihat bagaimana strategi-

strategi yang dilakukan untuk membentuk suatu

pembenaran bahwa definisi makna yang dimiliki dan

ditawarkan oleh communicator adalah benar dan

logis. Aktor-aktor yang terlibat dalam pembentukan

wacana, yaitu para pelibat wacana, membentuk suatu

wacana tersebut agar terlihat wajar dan logis dimata

khalayak. Mereka membentuk konsensus dan

pembenaran atas definisi makna yang mereka buat

demi kepentingan para pelibat wacana tersebut.

Nilai-nilai yang dikenalkan oleh Cosmogirl!

terlihat dalam tema-tema pada rubrik fashion The CG

Look: Gaya Seleb terlihat bagaimana Cosmogirl!

menyajikan model fashion yang sedang trend dan

tentu saja didukung dengan strategi-strategi yang

menampilkan sisi positif dari gaya berbusana ala

barat. Strategi-strategi tersebut dilakukan oleh

Cosmogirl! dengan cara menyerang citra diri kita

sebagai remaja wanita yang pastinya ingin tampil

semenarik mungkin.

Keberhasilan Cosmogirl! atas pengakuan

makna sebagai agen dari imperialisme budaya yang

mengkonstruksi dan mendefinisikan gaya hidup

jaman sekarang adalah gaya hidup ala barat lah yang

harus diadopsi oleh remaja Indonesia yang ingin

selalu tampil menarik dan tidak ingin dianggap kuper

serta ketinggalan jaman. Konstruksi pengadopsian

budaya berbusana ala barat yang ditawarkan oleh

Cosmogirl! tersebut dilakukan secara halus yang

dimulai dengan judul yang menarik dan menyerang

citra diri recipients serta bertujuan untuk mengajak.

Hal tersebut diperkuat oleh communicator sebagai

agen dari kapitalis yang menyuplai produk-produk

yang ditampilkan Cosmogirl! pada setiap edisinya

dan produk-produk budaya yang diproduksi oleh

kapitalis dapat diketahui dan diadopsi oleh khalayak.

Imperialisme budaya adalah salah satu strategi

yang dilakukan oleh kapitalisme dengan cara

menghegemoni wacana tentang fashion yang

memuat para selebritis yang diidolakan remaja

sekarang, agar para remaja tertarik dan berusaha

untuk mengadopsi apa yang ditampilkan dan

ditawarkan oleh Cosmogirl! dan communicator

dengan memaparkan tata busana yang bergaya ala

selebritis dunia adalah suatu kebutuhan yang harus

dimiliki oleh remaja Indonesia masa kini sebagai

cara untuk bisa tampil menarik, percaya diri dan

tidak ketinggalan jaman.

Cosmogirl! sebagai corong, yang menjelaskan

dan memberi makna keberadaan gaya busana dengan

standar barat. Hal trsebut terlihat dari kecendrungan

masyarakat Indonesia, khususnya remaja sekarang

ini yang lebih memilih budaya asing yang pada

dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita

yang dulunya sangat menjunjung tinggi norma

kesopanan sebagai kiblat mode yang lebih praktis

dan sesuai dengan perkembangan zaman. Sekarang

ini yang terjadi adalah norma-norma kesopanan

tersebut telah berubah mengikuti dan seiring dengan

perkembangan jaman yang cenderung menggunakan

pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan

bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan.

Oleh karena itu, ketika kita akan mengadopsi

segala hal yang berhubungan dengan hal-hal baru,

termasuk gaya hidup ala barat yang bertentangan

dengan nilai-nilai yang ada dimasyarakat kita

Indonesia, maka perlu lah untuk dipikirkan dan di

saring, mana yang memang benar-benar baik dan

pantas untuk ditiru dan mana yang tidak. Karena

dalam era globalisasi seperti sekarang ini, tidaklah

mungkin apabila kita tidak berinteraksi dengan dunia

luar dan masyarakat barat dan belahan dunia yang

lain. Saran penulis, kita haruslah bisa memilah dan

menyaring apa saja hal yang baik untuk kita tiru dan

adopsi dan apa hal-hal yang tidak sesuai dengan

budaya dan norma kita dengan menggunakan akal

budi pikiran kita, bukan hanya sekedar mengikuti

arus jaman. Dengan demikian, maka kita akan

menjadi remaja wanita Indonesia yang smart dan

tidak mudah terjerumus dalam budaya

konsumerisme.

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182

182

DAFTAR PUSTAKA

Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali

Pers, Jakarta, 2007

Abrar, Ana Nadhya. Mengurai Permasalahan

Jurnalisme. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1995.

Barnard, Malcolm. Fashion Sebagai

Komunikasi. Bandung: Jalasutra, 2008.

Chaney, D. Lifestyle : Sebuah Pengantar

Komprehensif (terj.), Yogyakarta: Jalasutra

1996.

Eriyanto, Analisis Wacana, Yogyakarta: LKIS,

2001. Hal 66

Eriyanto, Analisis Wacana, Yogyakarta: LKIS,

2001.

Jorgensen, M.W, Phillips L.J, Analisis Wacana,

teori dan Metode, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta. 2007.

Littlejohn, Stephen W. Theories of Human

Communication. Thomson-Wadsworth:

California, 2004.

Majalah Cosmogirl! Indonesia edisi Januari

sampai dengan Juni 2010

Prayudhi, Jurnal Ilmu Komunikasi, Analisis

Tekstual: Pemahaman Akademis

Van Dijk, Teun A., Discourse and Cognition in

Society, dalam David Crowley dan David

Mitchell, Communication Theory Today,

Cambridge, Polity Press, 1994.

Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani

183

ADOPSI GOOGLE APPS FOR EDUCATION DI PERGURUAN TINGGI: SEBUAH

KOLABORASI REAL-TIME DOSEN DAN MAHASISWA

ADOPTION OF GOOGLE APPS FOR EDUCATION AT UNIVERSITIES: A REALTIME

COLLABORATION OF LECTURERS AND STUDENTS

Intan Putri Cahyani

Prodi S1 Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Pancasakti

Jln. Halmahera KM. 1 Kota Tegal. (0283) 357784.

e-Mail: [email protected]

diterima: 4 Januari 2016 | direvisi: 15 Januari 2016 | disetujui: 18 Januari 2016

ABSTRACT

Cloud-computing technology present as an impact of the changing cultural environment and competitive

ecosystem of Higher Education in the world, including Indonesia. Cloud computing is actually a combination

use of computer technology ("computing") and the development of Internet-based ('cloud'). Higher education

is considered ideal for the diffusion of innovation because they have a core that can encourage innovation and

there are frequently changes in faculty or department’s level, pedagogical and technological. This study

pointed out a uniqueness where lecturers (digital immigrant) and students (digital native) could collaborate

in realtime by adopting cloud-computing technology, namely Google's Google Apps for Education (GAFE),

in the learning system. Diffusion-innovation theory of Rogers will be in depth elaborated to explain the process

of adoption of new kind of communication technologies which is currently becoming trendsetter. This type of

study is qualitative descriptive with grounded theory method involving several universities in Central Java

that are already using GAFE technology during the last three years, i.e. UNNES, UDINUS, and UNISSULA.

This study used purposive sampling with total sample of 12 people who are lecturers and students, GAFE active users

in learning system. The results showed lecturers especially junior lecturers have a central role as a facilitator of learning

technologies in deciding what to use. Common interest is the main reason behind. Though lecturers and students came

from different generation but both of them adopted GAFE

Keywords : Difussion Innovation, Cloud Computing Technology, GAFE, Digital Immigrant, Digital Native

ABSTRAK

Teknologi komputasi awan atau sering dikenal dengan cloud computing hadir sebagai sebuah dampak

perubahan lingkungan budaya dan ekosistem yang kompetitif pada Pendidikan Tinggi di dunia, termasuk

Indonesia. Cloud computing ini sejatinya merupakan gabungan pemanfaatan teknologi komputer

(‘komputasi’) dan pengembangan berbasis Internet (‘awan’). Pendidikan tinggi dianggap sangat ideal untuk difusi

inovasi karena mereka memiliki jantung yang bisa mendorong inovasi dan selalu ada perubahan baik di level fakultas

atau jurusan, pedagogis serta teknologi. Studi ini akan mengangkat keunikan dimana dosen (digital immigrant) dan

mahasiswa (digital native) dapat berkolaborasi secara realtime dengan mengadopsi teknologi cloud computing milik

Google yaitu Google Apps for Education (GAFE) dalam sistem pembelajaran. Teori difusi inovasi milik Rogers akan

dielaborasi secara mendalam untuk menjelaskan proses adopsi teknologi komunikasi jenis baru yang sekarang tengah

menjadi trendsetter ini. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode grounded

yang melibatkan beberapa Perguruan Tinggi di Jawa Tengah yang sudah menggunakan teknologi GAFE selama tiga

tahun terakhir, yaitu UNNES, UDINUS, dan UNISSULA. Pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling

dengan jumlah sampel sebanyak 12 orang yang merupakan dosen dan mahasiswa pengguna aktif GAFE dalam

sistem pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan dosen terutama dosen junior memiliki peranan sentral

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202

184

sebagai fasilitator dalam memutuskan teknologi pembelajaran apa yang akan digunakan. Kesamaan

kepentinganlah yang menjadi faktor utama mengapa walaupun berbeda generasi, namun dosen dan

mahasiswa bisa mengadopsi GAFE.

Kata Kunci: Difusi Inovasi, Teknologi Cloud Computing, GAFE, Digital Immigrant, Digital Native,

I. PENDAHULUAN

Perubahan selalu terjadi dalam segala aspek

kehidupan manusia termasuk teknologi komunikasi.

Teknologi komunikasi berubah di setiap generasi

dengan kecenderungan mengikuti Hukum Moore,

salah satunya Cloud Computing. Cloud computing

ini sejatinya merupakan gabungan pemanfaatan

teknologi komputer (‘komputasi’) dan

pengembangan berbasis Internet (‘awan’). Kemajuan

yang signifikan dalam bidang Information &

Communication Technology (ICT) secara umum dan

munculnya situs jejaring sosial (SNS) dan aplikasi

Web 2.0 lainnya, secara khusus, menyebabkan

meningkatnya pertumbuhan dan popularitas Cloud

Computing. Melalui penggunaan teknologi

virtualisasi, Cloud Computing menjanjikan untuk

menghilangkan kebutuhan untuk pemeliharaan

mahal dari perangkat keras (hardware) komputer dan

menyediakan sejumlah pengguna yang beragam

dengan menggunakan serangkaian sumber fisik

untuk saling berbagi yang sama. Dengan adanya

Cloud Computing kita hanya membutuhkan PC atau

laptop serta koneksi internet. Bahkan kita tidak lagi

membutuhkan harddrive untuk menyimpan data.

(Straubhaar, 2013: 263)

Salah satu perusahaan IT yang terus berinovasi

dan memperluas bisnis perangkat lunak internet

berupa Cloud Computing yaitu Google. Berdasarkan

hasil survey Nielsen NetView bulan Januari 2010,

Google termasuk dalam sepuluh properti website dan

perusahan IT terpopuler di dunia. Goole berhasil

menduduki peringkat pertama dengan active reach

sebanyak 79.83% dan waktu kunjungan per orang

sekitar 2 jam 1 menit 33 detik. Google berhasil

mengalahkan Yahoo! yang menduduki peringkat

kedua dengan active reach sebanyak 66.97% dan

waktu kunjungan per orang sekitar 2 jam 8 menit 51

detik, Microsoft di urutan ketiga dengan active reach

sebanyak 59.80% dan waktu kunjungan per orang

sekitar 1 jam 29 menit 52 detik dan Facebook di

urutan keempat active reach sebanyak 57.28% dan

waktu kunjungan per orang sekitar 7 jam 1 menit 41

detik (Straubhaar, 2013: 264)

Hal di atas juga semakin dikuatkan oleh internet

reputation Google yang juga terbukti sangat bagus.

Hal ini dilihat dari kriteria trustworthiness yang

mencapai skor 94, vendor reliability mencapai skor

94, privacy mencapai skor 94 dan perolehan skor 92

untuk child safety.

(http://www.statshow.com/www/google.com

diakses 10 Januari 2016)

Salah satu implementasi Cloud Computing

Google yaitu Google Apps for Education. Google

Apps for Education (GAFE) adalah layanan google

untuk dunia pendidikan mulai dari TK, SD, SMP,

SMA/MA/SMK dan perguruan tinggi. Google

memberi solusi untuk komunikasi yang terintegrasi

dengan email, kalender dan obrolan/ diskusi dan

solusi berkolaborasi dalam kegiatan pembelajaran.

Menurut Pepita Gunawan, Indonesian Education

Lead for Google Southeast Asia, GAFE adalah

serangkaian aplikasi dengan sinergisitas dan

kolaborasi real time antara mahasiswa, dosen, dan

staff di kampus yang bisa diakses menggunakan PC

computer, notebook, tablet, bahkan smartphone.

Termasuk di dalamnya aplikasi Email, Calendar,

Sites, Docs/Drive, Groups, video, social media yang

dapat diintegrasikan dengan Learning Management

System di kampus dengan Google yang bertindak

sebagai vendor.

(https://www.google.co.id/intl/id/edu/products/prod

uctivity-tools/ diakses 10 Januari 2016)

Adapun fitur utama GAFE antara lain

1. Gmail

Gmail pada fitur GAFE berbeda dengan Gmail

pada umumnya yang berdomain @gmail.com karena

domain email yang ada akan disesuaikan dengan

nama sekolah atau kampus seperti misalnya

[email protected] sesuai dengan

kesepakatan dengan Google. Google Apps

Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani

185

menawarkan penyimpanan hingga 30 GB per

pengguna, pemfilteran spam yang canggih, dan

jaminan waktu aktif sesuai Service Level Agreement

(SLA) 99,9%. Semua dihosting oleh Google, tanpa

biaya dan tanpa iklan untuk mahasiswa, pengajar,

dan juga staf. Gmail dirancang untuk membuat siapa

pun lebih produktif. Penyimpanan hingga 30 GB

berarti tidak perlu menghapus apa pun, penelusuran

yang canggih berarti segala sesuatunya ada dalam

jangkauan, dan label serta filter membantu pengguna

Pengguna tetap teratur. Gmail diberdayakan secara

aman oleh web, sehingga mahasiswa dan staf

pengajar dapat menjadi produktif di rumah, di jalan,

atau di perangkat seluler mereka. Kotak masuk tak

sekadar berisi pesan, namun juga orang. Fitur

Ngobrol berupa teks, suara, dan video berarti bahwa

mahasiswa dan dosen dapat melihat siapa yang

sedang online dan langsung terhubung. Tidak ingin

mahasiswa Pengguna menggunakan fitur obrolan?

Ingin membatasi siapa yang dapat mengirim email

kepada siapa? Semua itu ada di kontrol administrator.

2. Kalender

Hamparkan beberapa kalender untuk melihat

saat orang-orang tersedia - cara terbaik untuk

mengelola jadwal informasi akademik, misalnya.

Google Kalender mengirimkan undangan dan

mengelola RSVP (Répondez S'il Vous Plaît). Google

Kalender diintegrasikan ke dalam Gmail dan dapat

dioperasikan bersama dengan aplikasi kalender

populer. Kalender dapat dibagi ke seluruh bagian

baik dari tingkat jurusan, fakultas, universitas atau

dengan kolega tertentu. Beragam kontrol izin berbagi

membantu menjaga keamanan dan privasi.

3. Drive

Google Drive di perangkat Mac, PC, Android,

atau iOS Pengguna memberi Pengguna satu tempat

untuk versi terbaru file Pengguna dari mana saja.

Bagikan file satu per satu atau seluruh folder dengan

orang tertentu atau seluruh tim atau bahkan

kontraktor, mitra, dan konstituen. Buat dan balas

komentar di file untuk mendapatkan masukan atau

menambahkan ide. Mulai dengan hingga 30 GB

kapasitas gratis untuk setiap pengguna.

4. Documents

GAFE memiliki fitur documents yang terdiri

atas spreadsheet dan presentasi. Pada spreadsheet

memiliki fitur yang hampir sama dengan Ms Words

dan MS Excel. Kita dapat menyimpan dan

membagikan daftar, melacak proyek, menganalisis

data, dan melacak hasil dengan editor spreadsheet

canggih Google dengan melibatkan beberapa orang

dan realtime. Sedangkan untuk presentasi, kita dapat

membuat slide yang indah dengan editor presentasi

Google, yang mendukung hal-hal seperti video yang

disematkan, animasi, dan transisi slide dinamis.

Setelah selesai kita bisa mempublikasikan presentasi

Pengguna di web sehingga siapa saja dapat

melihatnya, atau membagikan presentasi itu secara

pribadi.

5. Sites

Mahasiswa juga dapat membuat website tanpa

menulis kode apapun. Semudah menulis dokumen.

Dan, untuk menghemat lebih banyak waktu,

Pengguna dapat menyediakan ratusan template siap

pakai untuk mereka. Administrator dapat mengelola

izin berbagi situs di lingkup universitas, dan penulis

dapat berbagi dan mencabut akses file setiap saat.

Google Sites dapat digunakan pada browser di

komputer PC, Mac, dan Linux sehingga dosen,

mahasiswa, dan staf tidak perlu membeli atau

mengunduh perangkat lunak.

Alasan mengapa Google memilih

bekerjasama dengan Perguruan Tinggi sebagai

tempat pengadopsi Google Apps for Education yang

berbasis Cloud Computing yaitu karena pendidikan

tinggi sangat ideal untuk difusi inovasi karena

dua alasan yaitu pertama, kebebasan tingkat

individu, penelitian dan fakultas adalah jantung

yang bisa mendorong inovasi dan kedua,

perubahan di level fakultas atau jurusan, perubahan

pedagogis dan teknologi adalah selalu konstan

(Barone, 2003; Duderstadt, 2000; Watson,

2007).

Dalam disertasinya, Watson mengungkapkan

bahwa

“Universities of the 21st century are

seeking to remain relevant in a rapidly

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202

186

changing social and cultural landscape …

they have the potential to affect change

locally, through interactions with

individual faculty, and globally, as those

faculty then exercise new ideas, practices,

and technologies.” (Watson, 2007:2)

Hingga saat ini sudah ada lebih dari 50 kampus

ternama di seluruh Indonesia yang mengadopsi

GAFE dan Jawa Tengah menjadi salah satu lokasi

adopter generasi pertama. Terdapat tiga Perguruan

Tinggi yang merupakan pelopor untuk Gone Google

yaitu Universitas Negeri Semarang (UNNES),

Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS), dan

Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA).

UNISSULA mendeklarasikan Gone Google pada

tanggal 18 Januari 2013, disusul oleh UDINUS pada

tanggal 13 Februari 2013 dan UNNES pada tanggal

4 April 2013. Menurut Pepita Gunawan selaku Edu

Lead Indonesia Google Apps Supporting. Program.

Ketiga perguruan tinggi tersebut dipilih oleh Google

karena telah memiliki kesiapan infrastruktur yang

memadai, memiliki budaya cyber yang cukup kuat

serta potensi loyalitas sebagai end user Google.

Menurut Rosenberg (2001), seiring dengan

meningkatnya dan berkembangnya penggunaan ICT

ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran

yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang

kelas ke di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke

“on line” atau saluran, (4) fasilitas fisik ke fasilitas

jaringan kerja, dan (5) dari waktu siklus ke waktu

nyata. Komunikasi dalam pembelajaran dilakukan

dengan menggunakan berbagai platform teknologi

media termasuk teknologi komputasi awan. Interaksi

antara dosen dan mahasiswa tidak lagi hanya

dilakukan melalui hubungan tatap muka. Dosen

dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan

langsung dengan mahasiswa. Demikian pula

mahasiswa dapat memperoleh informasi dalam

lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui

cyber space dengan memanfaatkan teknologi digital.

Oleh karena itu dosen dituntut untuk menguasai

ICT agar dapat mengembangkan dan

mengaplikasikannya dalam dunia pembelajaran.

Tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan

dan kesempatan yang lebih luas kepada mahasiswa

dalam proses pembelajaran agar mampu menguasai

keilmuan baik secara hardskill maupun sofskill untuk

meningkatkan daya saing di tingkat global,

mengingat Indonesia sudah memasuki era

Masyarakat Ekonomi ASEAN. (UU No.14/2015

tentang Guru dan Dosen)

Informasi, komunikasi, dan teknologi

merupakan tiga hal penting dalam kehidupan

manusia yang tidak bisa dipisahkan. Sekarang

ini kita memasuki era masyarakat informasi

dimana kita hidup dan beraktivitas di dalamnya.

Produksi, pengolahan, distribusi, hingga

konsumsi informasi menjadi kunci utama

aktivitas sosial dan ekonomi. Dalam masyarakat

informasi, jumlah manusia yang menggunakan

media komunikasi serta intensitas waktu yang

dihabiskan meningkat secara tajam, baik di

negara maju maupun negara berkembang.

Bahkan hingga melahirkan sebuah generasi baru

yaitu digital native, yaitu mereka yang lahir

selama atau setelah pengenalan umum teknologi

digital dan telah melalui interaksi dengan

teknologi digital sejak usia dini, serta memiliki

pemahaman mendalam tentang berbagai konsep

teknologi. (Straubhaar, 2013: 24-25)

Di dalam buku Media Now: Understanding

Media, Culture, and Technology dijelaskan

terdapat dua kategorisasi generasi yang terkait

siklus evolusi IT Literacy, yaitu digital native

dan digital immigrant. Digital native adala

mereka yang lahir setelah tahun 1980an dan

memiliki karakteristik utama yaitu generasi yang

multitasking, berpikir parallel, senang

menggunakan berbagai macam media dalam

satu waktu serta memiliki beragam sumber

informasi. Generasi ini sering disebut sebagai

Generasi Y dan Generasi Z . Sedangkan digital

immigrant adalah mereka yang lahir sebelum

tahun 1980 dengan karakteristik utama berupa

keterbatasan sumber, cenderung fokus pada satu

aktivitas, memiliki akses media yang terbatas,

serta berpikir secara sekuensial dan dikenal juga

dengan istilah generasi X. (Straubhaar, 2013:

255)

Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani

187

Jika dikaitkan dengan perbedaan karakteristik

antara dosen dan mahasiswa, mereka adalah dua

generasi yang berbeda dimana mayoritas dosen

adalah para digital immigrant sedangkan para

mahasiswa merupakan generasi digital native.

Namun pada kenyataannya justru dosen dan

mahasiswa di UNNES, UDINUS, dan UNISSULA

mengadopsi Google Apps for Education dalam

proses pembelajaran mereka. Oleh karena proses

adopsi Google oleh dosen dan mahasiswa yang

berbeda generasi di ketiga kampus tersebut menjadi

menarik untuk diteliti mengingat UNNES, UDINUS,

dan UNISSULA adalah kampus generasi pertama

yang Gone Google baik di Jawa Tengah maupun di

Indonesia. Adapun rumusan masalah dalam

penelitian ini antara lain (1) mengapa dosen dan

mahasiswa di UNNES, UDINUS, dan UNISSULA

mengadopsi GAFE?, (2) bagaimana proses adopsi

GAFE di UNNES, UDINUS, dan UNISSULA?, dan

(3) bagaimana dosen sebagai digital immigrant dan

mahasiswa sebagai digital native dengan segala

keunikannya dapat mencapai mutal understanding

dan berkolaborasi secara realtime dengan

mengadopsi GAFE?

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

menjelaskan alasan di balik adopsi Google Apps for

Education (GAFE), proses adopsi teknologi cloud

computing milik Google yaitu Google Apps for

Education (GAFE) di berbagai Perguruan Tinggi di

Jawa Tengah serta mengangkat keunikan dimana

dosen (digital immigrant) dan mahasiswa (digital

native) dapat berkolaborasi secara realtime dengan

mengadopsi GAFE dalam sistem pembelajaran.

Secara akademis atau teoritis, penelitian ini

diharapkan dapat menguji teori teknologi

komunikasi yaitu difusi inovasi dalam proses adopsi

Google Apps for Education (GAFE) sehingga bisa

memberikan kontribusi bagi peneliti selanjunya serta

melengkapi penelitian sebelumnya terutama pada

disiplin ilmu komunikasi dengan konsentrasi

komunikasi strategis. Kemudian dalam tataran

praktis, riset ini ditujukan kepada UNNES, UDINUS

dan UNISSULA supaya dosen dan mahasiswa dapat

berkolaborasi dalam pelaksanaan Tridharma

Perguruan Tinggi dengan memanfaatkan Google

Apps for Education (GAFE) secara optimal Dalam

tataran sosial, riset ini diharapkan mampu

memberikan arahan kepada publik tentang

pergeseran lansekap (perkembangan lingkungan

budaya dan ekosistem yang kompetitif) Pendidikan

Tinggi di bidang teknologi komunikasi dan

bagaimana aplikasi teknologi tersebut dapat

dimaanfatkan dalam proses pembelajaran, khususnya

oleh Perguruan Tinggi melalui Google Apps for

Education (GAFE).

. Penelitian tentang teknologi cloud computing

tertuang dalam paper milik Constantinos K.

Coursaris, Wietske van Osch , Jieun Sung dari

Michigan State University yang berjudul A “Cloud

Lifestyle”: The Diffusion of Cloud Computing

Applications and the Effect of Demographic and

Lifestyle Clusters. Sebagai teknologi baru, mereka

bertiga tertarik menganalisis proses adopsi dan

penggunaan Cloud Computing dengan

mempertimbangkan karakteristik pengguna akhir,

meliputi segmentasi demografis, gaya hidup dan

pengetahuan yang relevan. Tujuan dari penelitian ini

antara lain meneliti faktor-faktor konstektual dan

atribut inovasi dari teknologi Cloud Computing yang

mempengaruhi maksud adopsi dengan menggunakan

partial-least square (PLS), mengidentifikasi berbagai

segmentasi perilaku gaya hidup, dan meneliti peran

dari berbagai konteks, persepsi dan maksud yang

berbeda dalam proses adopsi dengan analisis kluster

Hasil dari PLS menunjukkan efek

signifikan dari atribut inovasi pada maksud

perilaku untuk menggunakan Cloud Computing.

Sedangkan analisis kluster mengungkap ada tiga

kluster gaya hidup, yaitu Traditionalist, Hedonic

Yuppies, dan Intelligent Bussinessman. Dari

ketiga kluster di atas, Hedonic Yuppies sangat

kuat dalam mencerminkan “Cloud Lifestyle”.

Selain itu penelitian ini juga mengungkap

pentingnya variabel gaya hidup dan demografis

untuk memahami, menjelaskan dan

memprediksi adopsi.

Peneliti menggunakan Teori Difusi Inovasi

dari Rogers (2003) yang menjelaskan bagaimana

inovasi atau ide baru disebarluaskan dalam

sistem sosial dari waktu ke waktu, memfokuskan

diri pada pengetahuan, perubahan sikap dan

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202

188

proses pengambilan keputusan yang

mempengaruhi adopsi inovasi. Teori Difusi

Inovasi digunakan untuk menganalisis

seperangkat karakteristik inovasi dengan lebih

luas, yaitu (1) relative advantage, (2)

complexity, (3) compatibility, (4) observability,

dan (5) triability. Selain lima faktor tersebut,

Ostlund (1974) juga menambahkan risiko

sebagai salah satu atribut inovasi. Risiko disini

yaitu, ketidakpastian yang dirasakan dalam

pembelian situasi-sebagai prediktor tambahan

perilaku niat orang untuk mengadopsi. Risiko

munculnya produk masa depan yang baru dan

lebih baik serta keamanan dan privasi negatif

mempengaruhi keputusan adopsi. Seperti

disebutkan di atas, Cloud Computing dikaitkan

dengan risiko keamanan dan privasi, maka, ini

mungkin berpengaruh negatif terhadap adopsi.

Menarik dari pendapat Coursaris dan Kim

(2013) mengenai kerangka kegunaan

kontekstual, peneliti menyarankan bahwa

kegunaan dan konsekuensi kegunaan (termasuk

adopsi) dipengaruhi oleh 4 rangkaian faktor

kontekstual yaitu (1) User, (2) Environment, (3)

Technology, dan (4) Task/Activity

characteristics

Dalam penelitian ini, peneliti menggali tiga

faktor kontekstual yang semuanya

berkedudukan sebagai variabel anteseden yaitu

(1) tekanan social dari kelompok rujukan untuk

melakukan perilaku tertentu, (2) tingkat paparan

sebelumnya terhadap teknologi terkait, dan (3)

kesadaran masyarakkat dan informasi tentang

teknologi baru.

Studi ini juga menggunakan model Brand

Strategy Research (BSR) yang menawarkan

operasionalisasi multidimensi yang paling

menyeluruh dan secara khusus berguna untuk

menciptakan kluster motivasi dalam adopsi

teknologi. BSR berfokus pada lima konstruksi

yang bersama-sama menjelaskan gaya hidup

konsumen, yaitu karakter, jenis rumah tangga,

informasi profesional, hobi dan minat, dan nilai-

nilai.

Berdasarkan model BSR, penelitian ini

akan menggunakan segmentasi gaya hidup

untuk membedakan antara beberapa kelompok

konsumen berdasarkan dimensi gaya hidup di

samping variabel demografi, teknologi, dan

kontekstual, untuk memberikan penjelasan yang

lebih holistik dan pemahaman yang lebih kaya

dari proses adopsi yang terkait dengan aplikasi

”note” pada Cloud Computing

Studi ini fokus pada aplikasi “note” pada

Cloud Computing, yaitu aplikasi editing

dokumen yang dapat digunakan pada halaman

web dan perangkat mobile serta mendukukung

sinkronisasi dan update otomatis , sejumlah

pilihan penyimpanan dan berbagi. Penelitian ini

menggunakan random sampling pada 1721

respondent yang tinggal di AS dan berumur

minimal 18 tahun. Selanjutnya data yang dipakai

hanya sebanyak 402 orang sedangkan sisanya

sebanyak 1319 didiskualifikasi. Semua skala

dalam kuesioner, kecuali untuk skala untuk

pengetahuan, yang diadaptasi dari studi yang

ada. Selanjutnya, semua skala, kecuali untuk

skala untuk pengetahuan, diukur sepanjang skala

Likert lima poin mulai dari "sangat tidak setuju"

untuk "sangat setuju".

Hasil penelitian membuktikan bahwa

atribut inovasi memiliki dampak yang signifikan

pada keinginan menggunakan inovasi dan dari

tiga faktor konstekstual yang berkedudukan

sebagai variabel anteseden, pengaruh sosial

menjadi faktor yang paling kuat dalam

mempengaruhi atribut inovasi.

Berbagai teori Teori Difusi Inovasi milik

Rogers dkk (2003) dianggap paling sesuai untuk

menyelidiki proses adopsi teknologi dalam

pendidikan tinggi dan lingkungan pendidikan

karena telah dipelajari dan diuji selama lebih dari

30 tahun dan menjadi salah satu model teori

yang bisa diaplikasikan dalam berbagai disiplin

Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani

189

ilmu termasuk ilmu komunikasi (Medlin, 2001;

Parisot, 1995).

Rogers mendefinisikan adopsi sebagai

sebuah keputusan untuk secara penuh

menggunakan salah satu inovasi sebagai salah

satu cara praktik terbaik dari perilaku yang

tersedia dan penolakan adalah sebuah keputusan

untuk tidak mengadopsi sebuah inovasi. Selain

itu Rogers mendefinisikan difusi sebagai proses

dimana inovasi dikomunikasikan melalui

channel tertentu secara terus-menerus di antara

anggota dari sebuah sistem sosial.(Rogers, 2003

: 5)

Terdapat empat elemen utama dalam difusi

inovasi, yaitu (1) inovasi, (2) saluran komunikasi, (3)

waktu, dan (4) sistem sosial. Inovasi merupakan ide,

praktik atau proyek yang dianggap baru oleh individu

atau unit lain untuk diadopsi. Ketidakpastian menjadi

penghalang dari adopsi inovasi. Konsekuensi inovasi

memungkinkan untuk menciptakan ketidakpastian.

Konsekuensi adalah perubahan yang terjadi dalam

diri individu atau sistem sosial sebagai hasil dari

adopsi atau penolakan terhadap sebuah inovasi.

Untuk mengurangi ketidakpastian individu

seharusnya diinformasi tentang keuntungan dan

kerugian untuk membuat mereka sadar tentang

konsekuensinya. Inovasi dalam penelitian ini adalah

Google Apps for Education (GAFE).

Menurut Rogers komunikasi adalah proses

dimana partisipan menciptakan dan berbagi

informasi satu dengan yang lain untuk mencapai

pemahaman bersama. Komunikasi ini terjadi

melalui channel antar sumber. Sumber adalah

individu atau institusi yang memulai pesan

sedangkan channel adalah cara dimana pesan

disalurkan dari sumber kepada penerima. Media

massa dan komunikasi interpersonal adalah dua

channel komunikasi. (Rogers, 2003 : 10)

Para peneliti menggolongkan saluran

komunikasi (1) dari segi sifatnya: interpersonal

dan media massa, (2) dari asalnya: lokalit dan

kosmopolit. Kajian dan penelitian yang lalu

Gambar 1- Model Tahapan Proses Keputusan Inovasi Figure 1- A Model of Stage in Innovation Decision Process Sumber : Everett M. Rogers. (2003). Diffusion of Innovations, 5th Edition. Hal 170

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202

190

menunjukkan bahwa saluran komunikasi ini

memainkan peranan yang berbeda dalam

menciptakan pengetahuan atau dalam membujuk

orang agar merubah sikap mereka terhadap

inovasi. Saluran juga berbeda bagi pengguna

awal ide baru dan pengguna akhir. (Rogers, 2003

: 197-198)

Seringkali aspek waktu diabaikan dalam

hampir semua riset perilaku. Proses difusi

inovasi, kategorisasi pengadopsi, dan tingkat

adopsi semuanya melibatkan dimensi waktu.

Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a)

proses pengambilan keputusan inovasi, (b)

keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau

lebih lambat dalam menerima inovasi, dan (c)

kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem

sosial. Sedangkan sistem sosial merupakan

serangkaian unit terkait yang terikat dan

bergabung dalam penyelesaian masalah untuk

mencapai tujuan tertentu. Karena difusi inovasi

terjadi dalam sistem sosial maka ini dipengaruhi

struktur sosial dari sistem sosial. Menurut

Rogers, struktur adalah pengaturan berpola dari

unit-unit yang ada dalam sebuah sistem.

(Rogers, 2003 : 10)

Dalam penelitian ini yang menjadi sistem

sosial yaitu Perguruan Tinggi di Jawa Tengah

khususnya kota Semarang yang sudah

menggunakan Google Apps for Education.

Dalam bukunya, Rogers menggambarkan

tahapan proses keputusan dalam mengadopsi

sebuah inovasi untuk memberikan pemahaman

kepada kita bagaimana sebuah inovasi bisa

berhasil atau gagal untuk diadopsi. Berikut ini

merupakan model tahapan dalam proses

keputusan adopsi inovasi.

A. Knowledge Stage

Lawrence (1981) sebagai seorang sosiolog

mencoba menjelaskan apa saja yang terjadi dalam

tahap pembentukan pengetahuan. Dalam tataran

kognitif ini, individu belajar tentang keberadaan

inovasi dan mencari informasi tentang inovasi

tersebut. Apa, bagaimana, dan kenapa menjadi

pertanyaan kritis dalam fase pengetahuan. Dalam hal

ini reputasi dari unit (baik itu individu ataupun

institusi) yang mengeluarkan inovasi sangat

mempengaruhi dalam pembentukan pengetahuan

individu. Reputasi ini berkaitan dengan frame of

references dan field of experience. Menurut, field of

experience dalam proses difusi inovasi adalah praktik

sebelumnya (previous practice). Praktik sebelumnya

merupakan standar familiar dimana inovasi

diintepretasikan dengan baik sehingga menurunkan

ketidakpastian. Tingkat adopsi ide baru

dipengaruhi oleh gagasan lama yang

menggantikan. Jelas, namun, jika ide baru yang

benar-benar selaras dengan praktek yang ada,

tidak akan ada inovasi, setidaknya dalam pikiran

pengadopsi potensial. Sebuah pengalaman

negatif dengan satu inovasi dapat mempengaruhi

adopsi inovasi masa depan. Negativisme inovasi

adalah sejauh mana kondisi kegagalan suatu

inovasi pada adopter potensial untuk menolak

inovasi di masa mendatang. Ketika satu ide

gagal, pengadopsi potensial dikondisikan untuk

melihat semua inovasi masa depan dengan

kekhawatiran. (Rogers, 2003:171)

Inovasi teknologi menciptakan semacam

ketidakpastian dalam pikiran pengadopsi

potensial (tentang konsekuensi yang

diharapkan), serta menggambarkan kesempatan

untuk mengurangi ketidakpastian dalam arti

yaitu informasi teknologi. Jenis terakhir dari

pengurangan potensial dari ketidakpastian

(informasi yang terkandung dalam inovasi

teknologi itu sendiri) menunjukkan

kemungkinan keberhasilan inovasi dalam

pemecahan kebutuhan yang dirasa atau masalah

yang dihadapi seseorang.

Keuntungan ini memberikan motivasi yang

mendorong seseorang untuk memaksimalkan

usaha dengan mendalami dan mempelajari

tentang inovasi. Setelah kegiatan mencari

informasi tersebut dapat mengurangi

ketidakpastian tentang konsekuensi yang

Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani

191

diharapkan atas inovasi ke tingkat yang dapat

ditoleransi bagi masing-masing individu,

keputusan mengenai adopsi atau penolakan akan

serta merta dibuat. (Rogers, 2003 : 13)

Selama tahap pengetahuan, individu juga

mencoba untuk menentukan apakah inovasi itu dan

mengapa inovasi itu bekerja. Pertanyaan-pertanyaan

tersebut membentuk tiga tipe dari pengetahuan, yaitu

(1) awareness knowledge yang merepresentasikan

keberadaan inovasi, (2) how-to-knowledge yang

mengandung informasi tentang bagaimana cara

menggunakan inovasi secara benar, dan (3) principle

knowledge yang melibatkan prinsip fungsi yang

mendeskripsikan bagaimana sebuah inovasi bekerja.

Karakteristik sosioekonomi individu dianggap

memiliki pengaruh dalam tahap pengetahuan.

Dengan kata lain, orang yang memiliki pendidikan

yang lebih tinggi dan keadaan sosioekonomi yang

lebih tinggi lebih cepat tahu mengenai inovasi

tertentu. Dalam bukunya, Rogers merangkum

berbagai generalisasi temuan penelitian tentang

pengetahuan awal tentang inovasi yang dijelaskan

dalam tabel berikut ini:

Tabel 1. Generaliasi Pengetahuan Awal tentang Inovasi Table 1. Early Knowledge Generalization of Innovation

Generalisasi 1 Orang yang mengetahui inovasi lebih awal memiliki pendidikan yang lebih tinggi dibanding yang lebih lambat

Generalisasi 2 Orang yang mengetahui inovasi lebih awal memiliki status sosial yang lebih tinggi dibanding yang lebih lambat

Generalisasi 3 Orang yang mengetahui inovasi lebih awal lebih terekspos pada saluran-saluran komunikasi media massa dibanding yang lebih lambat

Generalisasi 4 Orang yang mengetahui inovasi lebih awal lebih terekspos pada saluran-saluran komunikasi interpersonal dibanding yang lebih lambat

Generalisasi 5 Orang yang mengetahui inovasi lebih awal lebih terekspos memiliki lebih banyak kontak agen

perubahan dibanding yang lebih lambat

Generalisasi 6 Orang yang mengetahui inovasi lebih awal memiliki partisipasi sosial yang lebih banyak dibanding yang lebih lambat

Generalisasi 7 Orang yang mengetahui inovasi lebih awal lebih bersifat kosmopolit dibanding yang lebih lambat

Sumber: Everett M. Rogers. (2003). Diffusion of Innovations, 5th Edition. 174

1. Persuasion Stage

Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki

sikap negatif atau positif terhadap inovasi tetapi

pembentukan sikap yang baik ataupun tidak baik

terhadap inovasi. Namun tidak selalu mengacu

langsung atau tidak langsung menjadi adopsi atau

menolak. Tahap persuasi lebih fokus pada afektif.

Tingkat ketidakpastian lanjutan tentang fungsi

inovasi dan penguatan sosial dari pihak lain

mempengaruhi pendapat dan keyakinan individu

tentang inovasi tersebut. Evaluasi subjektif

kelompok rujukan terdekat yang mengurangi

ketidakpastian tentang hasil inovasi biasanya lebih

kredibel. (Rogers, 2003:175)

2. Decision Stage

Tahap keputusan dalam proses keputusan-

inovasi terjadi ketika seorang individu (atau unit

pengambil keputusan lainnya) terlibat dalam

kegiatan yang mengarah pada pilihan untuk

mengadopsi atau menolak inovasi. Adopsi

adalah keputusan untuk memanfaatkan

sepenuhnya suatu inovasi sebagai tindakan

terbaik yang tersedia. Penolakan adalah

keputusan untuk tidak mengadopsi suatu

inovasi. (Rogers, 2003 : 177) Pada tahap ini individu memilih untuk

mengadopsi atau menolak inovasi. Jika inovasi

memiliki basis percobaan sementara, biasanya akan

diadopsi secara lebih cepat karena hampir setiap

individu pertama kali ingin mencoba inovasi dalam

situasi mereka sendiri dan kemudian datang dengan

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202

192

keputusan adopsi. Percobaan yang mewakili ini

dapat mempercepat proses keputusan terhadap

inovasi. (Rogers, 2003 : 177)

Terdapat 2 macam penolakan, yaitu (1) Active

rejection di mana individu mencoba inovasi dan

berpikir akan mengadopsi, namun kenyataannya dia

memutuskan untuk tidak mengadopsi dan (2) Passive

rejection di mana individu tidak berpikir sama sekali

untuk mengadopsi (Rogers, 2003:178)

3. Implementation Stage

Dalam tahap ini, inovasi sudah berada dalam

posisi praktis. Ketidakpastian tentang hasil inovasi

masih menjadi masalah dalam fase ini. Oleh

karenanya orang yang melakukan implementasi

butuh bantuan teknis dari agen perubahan dan pihak

lain untuk mengurangi tingkatan ketidakpastian

tersebut. Reinvention biasanya juga terjadi pada

tahap ini. Reinvention sendiri yaitu sejauh mana

sebuah inovasi diubah atau dimodifikasi oleh

pengguna dalam proses adopsi dan implementasi.

Semakin banyak reinvention yang terjadi maka akan

semakin cepat pula inovasi diadopsi dan menjadi

diinstitusionalkan. (Rogers, 2003:180)

4. Confirmation

Pada tahap ini individu cenderung akan mencari

dukungan untuk keputusannya. Karena bergantung

pada dukungan, diskontinyuitas umum terjadi selama

tahap konfirmasi. Diskonyuitas ini terjadi dalam dua

cara, yaitu (1) replacement discontinuance dimana

individu menolak inovasi dan selanjutnya

mengadopsi inovasi yang lebih baik untuk

menggantikan inovasi sebelumnya dan (2)

disenchantment discontinuance dimana individu

menolak inovasi karena mereka merasa tidak puas

dengan kinerja inovasi tersebut (Rogers, 2003:184)

Christ Roberts (2008) dalam salah satu

tulisannya yang berjudul Personal Computers di

buku Communication Technology Update, generasi

anak kuliah sekarang berada pada gelombang

pertama digital native yang kehidupannya,

budayanya, identitasnya terikat dengan komputer

dan Computer-Mediated Communication. Hal

tersebut semakin diperkuat oleh hasil penelitian

oleh Wina Nurfitriani (2013)

mengenai Computer Self-Efficacy (CSE) dalam

Ruang Lingkup Usia dalam Penggunaan Teknologi

Informasi. Wina menemukan bahwa mereka yang

berumur 15 hingga 25 tahun memiliki tingkat CSE

tertinggi dan terbaik dibandingkan kategori umur

lainnya yaitu 26-35 tahun dan 36-49 tahun. Bahkan

berdasarkan hasil wawancara dengan responden,

responden yang berusia 36-49 tahun menyatakan

beberapa kesulitan bagi mereka untuk mempelajari

komputer.

Alasan pertama, mereka mengenal komputer

atau mempelajarinya pada saat mereka memasuki

tingkat perguruan tinggi sehingga mereka

mengenalnya pada saat berusia 18/19 tahun. Akan

tetapi bagi mereka yang berusia 15 hingga 25 tahun

sudah mendapatkan pelajaran Teknologi Informasi

dan Komunikasi dari SD ataupun SMP. Alasan

kedua, respoden dengan usia 36-49 tahun

mengatakan sulit bagi mereka belajar di usia yang

sudah tua karena mereka lama untuk mengingat dan

mudah untuk melupakan apa yang mereka pelajari

jika tidak menjadi sebuah kebiasaan. Alasan terakhir,

masalah dalam penggunaan komputer yang lebih

banyak menggunakan bahasa Inggris. Responden

yang berusia 36-49 tahun mengeluhkan sulitnya

untuk mengerti berbagai program dan menu yang ada

di dalam komputer karena penggunaan bahasa

Inggris yang menjadi faktor utamanya.

II. METODOLOGI

Penelitian tentang adopsi Google Apps for

Education (GAFE) pemanfaatan di Perguruan

Tinggi: sebuah kolaborasi real-time dosen dan

mahasiswa menggunakan pendekatan kualitatif

karena kedudukan penelitian didasarkan atas

interpretasi subyek, dan temuan penelitian terikat

konteks. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang

menggambarkan atau mendeskripsikan suatu

masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan

(Kriyantono, 2006: 57). Sedangkan jenis

penelitiannya adalah deskriptif karena bertujuan

membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan

akurat tentang fakta dan sifat obyek tertentu. Adapun

metode penelitian yang digunakan adalah grounded.

Grounded theory merupakan prosedur penelitian

sekaligus teori baru yang bertujuan menghasilkan

Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani

193

atau mengembangkan teori baru. Grounded adalah

sebuah pendekatan yang refleksif dan terbuka, di

mana pengumpulan data, pengembangan konsep-

konsep teoritis, dan ulasan literature berlangsung

dalam proses yang berkelanjutan (Daymon dan

Holloway, 2008: 180). Penelitian ini menggunakan

grounded karena permasalahan penelitian tepat

didekati dengan grounded, di mana penelitian ini

fokus pada rangkaian peristiwa, tindakan, dan

aktivitas individual maupun kolektif yang

berkembang dari waktu ke waktu dan dalam konteks

tertentu.

Dalam metode grounded ada beberapa prosedur

penelitian. Prosedur-prosedur itu adalah

perbandingan konstan, pengajuan pertanyaan yang

bersifat generatif dan berhubungan dengan konsep

secara sistematis, sampling teoritis, prosedur

pengkodean secara sistematis, kerangka penelitian

yang memadatkan konsep, dan variasi dan integrasi

konseptual (Denzin dan Lincoln, 2009: 351).

Menurut Strauss dan Corbin metode pengumpulan

datanya hampir sama dengan penelitian kualitatif

lainnya, yaitu wawancara (mendalam) dan observasi

lapangan yang didukung dengan dokumentasi dalam

berbagai bentuk. (Denzin dan Lincoln, 2009: 350)

Universitas Negeri Semarang (UNNES),

Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) dan

Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) yang

merupakan Perguruan Tinggi di Jawa Tengah dipilih

menjadi situs penelitian. Alasan pemilihan lokasi

penelitian yaitu karena ketiga Perguruan Tinggi

tersebut sudah mengadopsi Google Apps for

Education (GAFE) lebih dari dua tahun. Menurut

Rogers, proses adopsi dikatakan sempurna bila telah

memenuhi kurun waktu sekurang-kurangnya dua

tahun sehingga ketiga Perguruan Tinggi tersebut

dianggap memenuhi syarat. Dalam menentukan unit

analisis peneliti menggunakan purposive sampling

yaitu pengambilan sample berdasarkan kriteria

tertentu yang harus disesuaikan dengan masalah dan

tujuan penelitian (Johnston, 2009:208). Teknik ini

mencakup orang-orang yang akan diseleksi atas

kriteria-kriteria tertentu yang dibuat peneliti

berdasarkan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini

unit analisisnya adalah adalah dosen dan mahasiswa

di UNNES, UDINUS, UNISSULA yang aktif

menggunakan GAFE dalam sistem pembelajaran

sebanyak 12 orang, di mana masing-masing

Perguruang Tinggi diwakili oleh 2 orang dosen dan

2 orang mahasiswa.

Untuk penelitian yang menggunakan metode

grounded theory, teknik pengumpulan data yang

akan digunakan antara lain, (Yin, 2006: 103-118)

1. Dokumentasi

Dokumen digunakan untuk mendukung dan

menambahkan bukti dari sumber-sumber lain.

Teknik dokumentasi bertujuan untuk

mengumpulkan data-data sekunder yang

diperoleh dengan cara mengumpulkan dan

mempelajari dokumentasi tertulis, serta

dokumen-dokumen lain yang relevan. Buku,

jurnal, thesis, disertasi serta tulisan di internet

atau media massa yang berkaitan dengan

penelitian digunakan dalam rangka mendukung

penelitian ini.

2. Rekaman arsip

Pengumpulan data dalam penelitian ini juga

memanfaatkan sumber – sumber yang berasal

dari arsip-arsip Perguruan Tinggi dan proses

pembelajaran yang sudah dilaksanakan.

Rekaman-rekaman arsip ini dapat digunakan

bersama-sama dengan sumber-sumber

informasi yang lain dalam penelitian. Sumber-

sumber arsip dapat menghasilan informasi

kualitatif maupun kuantitatif.

3. Wawancara

Teknik wawancara dilakukan untuk

mengumpulkan data primer. Wawancara

dilakukan secara mendalam dengan

menggunakan panduan wawancara atau

interview guide, ataupun pertanyaan –

pertanyaan yang sifatnya spontan muncul saat

wawancara. Wawancara ini bersifat luwes,

susunan pertanyaan dan susunan kata – kata

dalam pertanyaan dapat diubah pada saat

wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan

kondisi saat wawancara, termasuk karakteristik

sosial-budaya responden yang dihadapi.

4. Observasi langsung

Jenis observasi yang dilakukan adalah

observasi non partisan, yaitu dengan mengamati

langsung objek yang diteliti.

Setelah data-data terkumpul selanjutnya

dilakukan analisis data. Analisis data kualitatif

dimulai dari analisis berbagai data yang berhasil

dikumpulkan peneliti di lapangan. Data yang

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202

194

terkumpul baik melalui wawancara mendalam,

dokumen-dokumen serta rekaman arsip. Kemudian

data tersebut diklarifikasikan ke dalam kategori

tertentu. Setelah melakukan klarifikasi, peneliti

melakukan pemaknaan terhadap data. Pemaknaan ini

merupakan prinsip dasar penelitian kualitatif, yaitu

realitas ada pada pikiran manusia, realitas adalah

hasil konstruksi sosial manusia. Setelah pemaknaan

atau intrepetasi, penelitian kemudian berteori untuk

menjelaskan dan berargumentasi tentang temuannya

(Kriyantono,2006:192 :197).

Menurut Denzin dan Lincoln (2009: 350)

terdapat beberapa strategi umum yang dapat

dilakukan dalam analisis data, yaitu (1) memasukkan

informan dalam daftar yang berbeda, (2) membuat

matriks kategori dan menempatkan bukti-bukti ke

dalam kategori tersebut, (3) menciptakan analisis

data – flowchart dan perangkat lainnya- guna

memeriksa data yang bersangkutan, dan (4)

memasukkan informan ke dalam urutan kronologis/

menggunakan skema waktu atau kelompok tertentu.

Jenis analisis data dalam analisis umum yang

digunakan adalah mendasarkan pada proposisi teori,

menganalisa dengan mendasarkan pada proposisi

teori yang menuntun dalam penelitian. Proposisi-

proposisi ini akan membantu menfokuskan perhatian

pada data tertentu dan mengabaikan data yang lain.

Bentuk analisis yang digunakan adalah bentuk

analisis dominan dengan penjodohan pola dengan

membandingkan antara kenyataan dan hipotesa/

dugaan-dugaan yang berdasarkan teori dan konsep.

Goodness criteria atau uji kualitas data sangat

dibutuhkan untuk memastikan data yang

disampaikan dalam penelitian ini terpercaya dan

dipastikan kebenarannya. Uji kualitas data yang

dilakukan pada penelitian ini adalah dengan

menggunakan kepercayaan (kredibilitas/ credibility)

dan ketergantungan (dependability). Jenis uji

kredibilitas yang digunakan dalam penelitian ini

adalah respondent balidation or member validation,

yaitu upaya peneliti untuk mendapatkan konfirmasi

dari pihak yang diteliti. Ada tiga aspek yang perlu

mendapatkan konfirmasi anatara lain (1) apa yang

dikatakan oleh narasumber penelitian (2) melakukan

konfirmasi dengan group partisipan dan (3)

memberikan hasil jadi dari penelitian yang dilakukan

kepada para subjek penelitian. Sedangkan

ketergantungan pada dasarnya sama dengan

reliabilitas. Reliabilitas merupakan syarat bagi

validitas. Hanya dengan data yang reliable, maka

akan dapat diperoleh data yang valid. Untuk

mendapatkan data yang reliable hasil penelitian kita

dapat dinilai oleh kolega, seperti peers review baik

sejak desain penelitian maupun hasil penelitian.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Alasan di balik Adopsi Google Apps for

Education

Jutaan mahasiswa, tenaga kependidikan, dan

dosen yang tersebar di berbagai Perguruan Tinggi di

seluruh dunia (tidak hanya di Indonesia)

menggunakan Google Apps for Education (GAFE)

karena berbagai manfaat yang bisa didapat sekaligus.

Selain itu bagi pihak universitas sendiri merupakan

kerjasama yang menguntungkan karena dengan

bekerjasama dengan Google mereka sudah

menghemat sekitar $5 untuk setiap akun per tahun.

Berikut adalah berbagai alasan di balik adopsi GAFE

yang dikemukakan oleh dosen dan mahasiswa

UNNES, UDINUS dan UNISSULA.

1. Keamanan

Faktor keamanan menjadi pertimbangan

pertama sebelum para dosen dan mahasiswa

memutuskan untuk mengadopsi GAFE. Mayoritas

informan menyatakan, “Kami tertarik menggunakan

GAFE karena adanya sistem keamanan yang handal.

Dimana privasi pengguna terjaga dan yang paling

penting semua dicadangkan. Sehingga tidak perlu

khawatir data hilang sewaktu-waktu. Berbeda

dengan ketika kita menggunakan flashdisk atau

hardisk untuk menyimpan data. Ketika rusak atau

hilang, maka data kita ikut hilang. Selain memiliki

data, user juga dapat mengontrol data tersebut.”

Hal tersebut semakin diperkuat oleh Primagain,

pihak yang ditunjuk resmi oleh Google dalam

membantu mempercepat tingkat adopsi Google Apps

for Education di tiga kampus tersebut.

“GAFE berisi lusinan fitur keamanan penting

yang secara khusus dirancang agar data pengguna

tetap aman, terlindung, dan berada dalam kontrol

Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani

195

pengguna. Data adalah milik pengguna dan aplikasi

memungkinkan pengguna untuk mengontrolnya,

termasuk kepada siapa dan bagaimana pengguna

membagikannya. Jaringan pusat data Google

memberikan keamanan dan jaminan yang luar biasa.

Selain itu semua data pengguna GAFE akan

dicadangkan secara otomatis di server Google.

Sehingga bila terjadi hal-hal tidak diinginkan,

pengguna tetap bisa langsung mulai bekerja tanpa

hambatan. Sebagai catatan, setiap data yang

pengguna masukkan ke Google Apps adalah milik

pengguna, dan hal itu disebutkan dalam kontrak

Google. Informasi Pengguna aman dari organisasi

lain, meskipun semua itu ada pada server yang sama.

Berbagai aplikasi yang canggih dan mudah

digunakan secara langsung membantu administrator

mengelola hal-hal seperti pengguna, dokumen, dan

layanan, dan tetap melacak penggunaan serta data

melalui dasbor. Dan tentu saja pengguna adalah

pemilik data sepenuhnya, bukan Google. Pusat data

Google yang dirancang dan dibangun untuk aplikasi

tidak menyertakan perangkat keras maupun lunak

yang tidak diperlukan. Ini akan mengurangi jumlah

kerentanan yang berpotensi dapat dieksploitasi.”

“Tidak hanya itu, GAFE menawarkan lapisan

keamanan tambahan dengan autentikasi dua faktor,

yang sangat mengurangi risiko pembajak mencuri

nama pengguna dan sandi. Google juga

mengenkripsi sesi browser secara otomatis dengan

SSL untuk pengguna Apps tanpa memerlukan VPN

atau infrastruktur lainnya yang rumit dan mahal. Hal

ini membantu melindungi data pelajar dan pendidik

saat melintas di antara browser pengguna dan pusat

data Google. Tim keamanan informasi Google

secara berkesinambungan memantau jaringan

global pusat data Google. Banyak di antara mereka

yang memiliki gelar tingkat lanjut dan merupakan

tokoh pemikir yang menetapkan praktik keamanan

info untuk industri Google. Google Apps dan pusat

data Google juga telah lulus audit SSAE 16 / ISAE

3402 Tipe II SOC 2 dan telah meraih sertifikasi ISO

27001. Google Apps diatur oleh kebijakan privasi

yang terperinci, yang menjamin Google tidak akan

berbagi atau menyalahgunakan informasi pribadi

yang dimasukkan ke dalam sistem Google. Google

mematuhi hukum privasi AS yang berlaku, dan

Persyaratan Layanan Google Apps dapat

menjabarkan dengan detail kewajiban dan

kepatuhan Googleterhadap peraturan FERPA (UU

Hak Pendidikan dan Privasi Keluarga). Google juga

terdaftar dalam perjanjian Safe Harbor AS-UE, yang

membantu memastikan bahwa kepatuhan

perlindungan data Google memenuhi standar Uni

Eropa untuk lembaga pendidikan.”

2. Tetap Terhubung

Sebagai salah satu teknologi cloud computing,

semua yang ada di Google Apps for Education

(GAFE) otomatis disimpan di “awan” dan 100%

diberdayakan oleh web. Ini berarti bahwa email,

dokumen, kalender, dan situs dapat diakses dan

diedit di hampir semua perangkat seluler atau tablet

kapan saja dan di mana saja.

3. Kolaborasi real-time

Seiring dengan perkembangan teknologi di

dunia pendidikan, belajar bersama dalam waktu

nyata dan jarak jauh bukanlah sebuah hal yang

mustahil. Seperti pengalaman yang dirasakan oleh

mahasiswa di UNNES, UDINUS, dan UNISSULA.

Berikut adalah hasil wawancara dengan Aditya Ati

Ningsih, Mahasiswa FE UNISSULA angkatan 2013

“Baru kali ini saya bisa mengerjakan tugas

kelompok secara bersama-sama tanpa

harus bertatap muka. Dengan adanya

GAFE, kami bisa mengerjakan tugas

kelompok kapanpun juga saat kami

mengingingkannya entah itu dari rumah,

dari kampus, dari kost, dan hebatnya

langsung diawasi oleh dosen yang

bersangkutan secara real-time. Hal

tersebut tentu saja memudahkan kami

sebagai mahasiswa jika menemui kendala

atau kesulitan dalam menyelesaikan tugas

yang berbentuk paper atau presentasi.”

Sedangkan dosen yang memiliki kewajiban

melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi juga

merasa terbantu dengan adanya teknologi Google

Apps for Education. Kesibukan tidak lagi menjadi

kendala untuk tetap berkomunikasi dengan rekan

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202

196

sejawat dan para mahasiswa dalam menyelesaikan

berbagai pekerjaan.

Cepat dan mudah berkolaborasi adalah yang

membedakan Google Apps dengan aplikasi yang

lain. Situs web dan alat pembuatan dokumen Google

menawarkan pengeditan waktu nyata, kontrol

berbagi yang canggih, dan kompatibilitas tanpa

kendala merupakan lingkungan yang ideal untuk

belajar di era TGIF ini. Dengan Google Documents,

cukup berbagi dengan beberapa klik dan setiap

mahasiswa di kelas, pengguna memiliki akses ke

versi yang tepat dari setiap spreadsheet, dokumen,

atau presentasi. Setiap orang dapat membuka dan

mengedit pada saat yang bersamaan. Tidak perlu lagi

mengirim bolak-balik lampiran dan beberapa versi

melalui email yang tidak dapat pengguna lacak.

Selain itu baik dekat maupun jauh, mahasiswa dan

staf dapat mengatur obrolan video langsung dari

kotak masuk Gmail pengguna atau membuka

dokumen yang sama dan mengeditnya bersama-sama

seolah-olah mereka duduk di depan komputer yang

sama.

4. Kerja Tuntas

Alasan keempat yang menjadikan Google Apps

for Education (GAFE) diadopsi oleh para dosen dan

mahasiswa yaitu kerja tuntas. Kerja tuntas disini

maksudnya adalah GAFE dapat membantu

mengefisienkan tugas-tugas akademik seperti

menulis esai dan penjadwalan kelas. Sekelompok

mahasiswa dapat bekerja sama dalam sebuah tugas di

Google Documents, melihat perubahan secara

waktu-nyata daripada menunggu versi dikirim

melalui email. Mahasiswa dapat melihat persis kapan

dosen mereka senggang dan sebaliknya dengan

Google Kalender. Dengan menyingkirkan hal-hal

yang menyia-nyiakan waktu, Apps meluangkan

waktu pengguna untuk belajar dan mengajar.

Dengan menggunakan Google Apps tidak ada

waktu yang akan terbuang untuk mencari email,

dokumen, situs proyek, atau file yang sulit

ditemukan. Dengan Google Apps, semua dokumen

pelajar dan pendidik pengguna berada dalam satu

tempat, dapat ditemukan dengan cepat dengan

penelusuran canggih Google (tidak perlu lagi

menyortir dan mengarsipkan), dan dapat dibagikan

dengan siapa pun di universitas hanya dengan sekali

klik.

5. Teknologi Informasi yang Kasat Mata

Penggunaan Google Apps for Education

(GAFE) akan lebih menghemat waktu dalam

mengelola infrastruktur Teknologi Informasi

pengguna. Dosen, mahasiswa dan administrator

selalu memiliki akses ke perangkat lunak terbaru,

termasuk fitur terbaru dan pembaruan keamanan.

Pengguna tidak perlu membeli atau mengelola server

dan segalanya dapat dikelola dari satu antarmuka.

Dengan kata lain penggunaan aplikasi ini benar-

benar gratis.

Terlebih lagi organisasi pengguna dapat aktif

dan berjalan di Apps dalam hitungan menit, dengan

alamat email yang disesuaikan

([email protected]). Jika

pengguna belum memiliki alamat web, Google dapat

membantu pengguna membuatnya. Dan saat pelajar

dan staf baru bergabung, pengguna dapat

menambahkan pengguna baru hanya dengan

beberapa klik. Google Apps for Education (GAFE)

tidak hanya gratis, tetapi pengguna tidak perlu

membeli atau memelihara server sendiri atau

perangkat lunak klien, sehingga pengguna juga akan

menghemat uang pada hal tersebut.

Google Apps diperbarui secara otomatis,

sehingga rekan-rekan pengguna di divisi TI dapat

melupakan kerepotan mengunduh dan menerapkan

tambalan atau menghadapi risiko keamanan akibat

pembaruan yang tertunda. Google mempermudahnya

dengan mengelola segalanya, termasuk pembaruan

produk, melalui server Google. Selain itu tak perlu

menunggu bertahun-tahun untuk peningkatan versi

produk. Apps diperbarui setiap saat pengguna masuk

ke sistem, sehingga pengguna mendapatkan fitur

terbaru segera setelah fitur tersebut siap. Hampir

setiap minggu Google juga membuat pembaruan

yang dapat menguntungkan bagi organisasi

Pengguna.

Selain itu, pengguna hanya membutuhkan

browser internet untuk menggunakan dan menjaga

Apps tetap diperbarui. Artinya, Pengguna tidak perlu

Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani

197

lagi memasang dan memelihara perangkat keras atau

perangkat lunak klien khusus, sehingga dapat

menghemat waktu Pengguna dalam upaya

mengoperasikan semua perangkat tersebut.

6. Go Green

Alasan terakhir yang terkadang luput dari

perhatian adalah dengan beralih ke Google Apps

membantu mengurangi pengeluaran perguruan tinggi

secara keseluruhan dan dampak perguruan tinggi

terhadap lingkungan. Apps diberdayakan oleh pusat

data hemat energi milik Google, sehingga intensitas

karbon dan energi yang digunakan lebih sedikit

daripada server milik sendiri. Berikut merupakan

alasan kenapa salah satu manfaat Google Apps for

Education adalah Go Green. Selain itu pindah ke

cloud berarti pengguna dapat menghemat biaya

untuk infrastruktur TI dan listrik. Gunakan Gmail:

memindahkan inang email Pengguna dari yang

dimiliki sendiri ke gemawan dapat membuat

pengguna hemat energi hingga 80x lebih besar.

Alat kolaborasi seperti obrolan video dan

dokumen bersama membantu pelajar dan pendidik

merasa seperti mereka berada di ruang yang sama.

Pengguna akan mengurangi pencetakan eksternal,

biaya perjalanan antara kampus, dan keseluruhan

jejak lingkungan Pengguna. Menurut Pepita

Gunawan, Pepita Gunawan, Indonesian Education

Lead for Google Southeast Asia, Google adalah

perusahaan netral karbon.

“Perlu diketahui, Google mencapai posisi

ini melalui kombinasi pusat data hemat

energi, pembelian energi yang dapat

diperbarui, dan penyeimbangan karbon

bermutu tinggi. Ini berarti bahwa Google

Apps (dan semua produk yang Pengguna

gunakan di awan Google) memiliki

dampak “benar-benar nol” terhadap

lingkungan dan itu telah dijadikan salah

satu komitmen.”

Keenam alasan di atas menjelaskan atribut

inovasi yang melekat dalam Goggle Apps for

Education yang ada pada tahapan persuasi yang

sudah dijelaskan dalam model tahapan proses

keputusan difusi inovasi milik Rogers (2003) yaitu

relative advantage, complexity, compatibility,

observability, triability. relative advantage adalah

sejauh mana inovasi dianggap lebih baik daripada

gagasan yang digantikan, complexity memiliki

pengertin sejauh mana inovasi dianggap sulit

dipahami dan digunakan, sedangkan compatibility

merupakan sejauh mana suatu inovasi dianggap

konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman

masa lalu, dan kebutuhan pengadopsi potensial,

observability sendiri yaitu sejauh mana hasil suatu

inovasi dapat dilihat oleh orang lain, dan triability

adalah sejauh mana suatu inovasi dapat dieksperiman

secara terbatas sehingga memungkinkan individu

untuk melakukan “percobaan dan pembelian”.

(Rogers, 2003:175)

B. Proses Adopsi Google Apps for

Education di Perguruan Tinggi

Google Apps for Education (GAFE) pertama

kali dirilis sekitar bulan Oktober 2006. Namun di

Indonesia sendiri GAFE baru dikenal setelah tahun

2010 itupun oleh kalangan terbatas. Tidak lama

setelah itu Google mulai mengajak kerjasama

Perguruan Tinggi di Indonesia, termasuk di

antaranya Universitas Semarang (UNNES),

Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS), dan

Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA).

Setelah melakukan berbagai persiapan untuk proses

adopsi Google Apps for Education (GAFE),

UNISSULA akhirnya mendeklarasikan Gone

Google pada tanggal 18 Januari 2013, disusul oleh

UDINUS pada tanggal 13 Februari 2013 dan

UNNES pada tanggal 4 April 2013.

Pepita Gunawan selaku Edu Lead Indonesia

Google Apps Supporting. Program mengatakan

“Sekarang ini Brasil, Rusia, Indonesia,

Meksiko (BRIM) sedang menjadi fokus

Google untuk digarap, salah satunya di

bidang pendidikan. BRIM merupakan 4

negara berkembang yang memiliki

potensi sebagai end-user Google. Oleh

karena itu kami memiliki target dimana

setiap kampus yang sudah bekerja sama

dengan Google dalam dua tahun sudah

secara penuh mengadopsi Google Apps

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202

198

for Education (GAFE). Oleh karena itu

Perguruan Tinggi yang kami pilih harus

memiliki persyaratan minimal seperti

telah memiliki kesiapan infrastruktur yang

memadai, memiliki budaya cyber yang

cukup kuat serta yang paling penting

memiliki potensi loyalitas sebagai end

user Google.”

Dalam proses adopsi GAFE di UNNES,

UDINUS, dan UNISSULA, mereka menggunakan

dua channel komunikasi yaitu media massa dan

komunikasi interpersonal. Saluran media massa

adalah cara penyaluran pesan yang menggunakan

perantara massa seperti website universitas, sosial

media, surat kabar, dsb yang memungkinkan

seseorang atau sedikit sumber menjangkau banyak

audien. Media massa dapat (1) menjangkau audien

lebih luas dan lebih cepat, (2) Menciptakan

pengetahuan dan menyebarkan informasi, (3)

Mengubah sikap-sikap yang kurang teguh. (Rogers,

2003 : 197-198)

Pembetukan dan perubahan sikap yang teguh

paling baik diakukan oleh saluran antar pribadi,

tetapi saluran komunikasi antar pribadi juga penting

dalam proses pembentukan pengetahuan untuk

menghindari adanya mispersepsi. Saluran antar

pribadi melibatkan pertemuan tatap muka antara dua

orang atau lebih. Saluran ini lebih efektif untuk

menghadapi penolakan dan keengganan pada

sebagian komunikasi. Hal terbaik yang bisa

dilakukan melalui komunikasi antar pribadi yaitu (1)

pertukaran informasi bisa dua arah. Seseorang dapat

memperoleh kejelasan atau informasi tambahan

tentang inovasi dari orang lain. Ciri jaringan antar

pribadi kadang-kadang memungkinkan mengatasi

rintangan-rintangan sosiologis pemilihan terpaan,

persepsi dan penyimpanan dan (2) mengajak orang

atau mengubah sikap-sikap yang telah dipegang

teguh. Peranan saluran antar pribadi terutama penting

dalam membujuk seseorang untuk mengadopsi atau

menolak suatu inovasi. (Rogers, 2003 : 197-198)

Dalam penelitian ini komunikasi interpersonal

yang digunakan dalam membantu proses adopsi

Google Apps for Education (GAFE) yaitu para

opinion leader dan Google Student Champion.

Sebelum diterjunkan ke dalam jaringan difusi yang

berisi calon adopter, para opinion leader dilibatkan

ke dalam serangkaian training for trainer dan

workshop yang diselenggarakan oleh Perguruan

Tinggi bekerjasama dengan Primagain (pihak ketiga

yang resmi ditunjuk oleh Google). Seperti yang

disarikan Rogers dalam bukunya di Chapter 8

mengenai Opinion Leader dan Diffusion

Network dimana ketika calon adopter terlibat

dalam jaringan difusi interpersonal yang

heterofii mereka cenderung akan mencari

opinion leader yang (1) memiliki SES lebih

tinggi, (2) memiliki tingkat pendidikan yang

lebih tinggi, (3) mendapat terpaan media massa

yang lebih baik, (4) lebih kosmopolit, (5)

memiliki kontak yang baik dengan agen

perubahan, (6) lebih inovatif (Rogers, 2003:

307)

Sedangkan Google Student Champion

merupakan agent of change yang terlibat dalam

proses adopsi, namun khusus bagi calon adopter

mahasiswa. Untuk memudahkan dalam

pengimplementasian GAFE, maka setiap kampus

mengadakan seleksi untuk mendapatkan Google

Student Champion yang nantinya bertugas sebagai

agen perubahan terkait sosialisasi penggunaan GAFE

di lingkungan kampus. Untuk menjadi Google

Student Champion harus memenuhi kriteria seperti,

prestasi akademik yang bagus (IPK > 3.5), bisa

berbahasa Inggris baik aktif maupun pasif, memiliki

kemampuan komunikasi dan presentasi yang baik,

memiliki kepribadian menarik, memiliki softskill dan

hardskill tentang ICT serta memiliki passion yang

tinggi terhadap perkembangan teknologi ICT.

Jika dilihat dari sudut pandang orang-orang

yang diubah (the Client System), Agen Perubahan

dalam buku The Change Agent's Guide to Innovation

in Education (Ronald G. Havelock, 1973 : 8-9)

berperan dalam 4 kemungkinan yaitu (1) sebagai

katalis dimana agen perubahan perlu untuk

mengatasi alasan seperti calon adopter yang tidak

ingin berubah dan tetap mengingkan hal yang sama

seperti sekarang. Agen perubahan perlu tahu tentang

hal-hal apa saja yang membuat calon adopter berlaku

demikian, (2) sebagai pemberi solusi dimana agen

prubahan harus tahu kapan dan bagaimana

Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani

199

menawarkan solusi kepada calon adopter sesuai

dengan kebutuhan mereka, (3) penolong selama

proses adopsi berlangsung dimana Karena calon

adopter tidak ahli dalam “bagaimana untuk berubah”,

maka agen perubahan yang merupakan sekumpulan

orang dengan kemampuan problem solver tertentu

bisa membantu mereka. Sebagai process helper, agen

perubahan dapat menyediakan asistensi seperti

menunjukkan pada klien bagaimana untuk mengenali

dan mendefinisikan kebutuhan, menunjukkan pada

klien bagaimana untuk mendiagnosis masalah dan

membentuk tujuan, menunjukkan pada klien

bagaimana untuk memperoleh sumber yang relevan,

dan (4) sebagai penghubung berbagai sumber.

Sumber disini maksudnya bisa beragam, dari bantuan

financial, solusi pengetahuan, pengetahuan dan

kemampuan dalam mendeteksi masalah,

memformulasi dan mengadopsi solusi dan

kepiawaian dalam proses perubahan itu sendiri.

Sumber juga bisa terdiri dari orang-orang dengan

waktu, energi dan motivasi untuk membantu. Oleh

karenanya, agen prubahan yang baik harus bisa

menghubungkan calon adopter dengan berbagai

sumber yang mereka butuhkan baik di dalam sistem

maupun di luar sistem.

Baik opinion leader maupun Google Student

Champion, keduanya berperan baik langsung

maupun tidak langsung di setiap tahap dalam proses

adopsi Google Apps for Education (GAFE). Tahapan

tersebut antara lain (1) knowledge stage, (2)

persuasion stage, (3) decision stage, (4)

implementation stage, dan (5) confirmation stage.

Dalam tataran kognitif sendiri, individu belajar

tentang keberadaan inovasi dan mencari informasi

tentang inovasi tersebut. Apa, bagaimana, dan

kenapa menjadi pertanyaan kritis dalam fase

pengetahuan. Oleh karenanya reputasi dari institusi

yang mengeluarkan inovasi sangat mempengaruhi

dalam pembentukan pengetahuan individu. Reputasi

ini berkaitan dengan frame of references dan field of

experience dimana kedua hal tersebut sangat

mempengaruhi keputusan adopsi individu.

Menurut Rogers, field of experience dalam

proses difusi inovasi adalah praktik sebelumnya

(previous practice). Praktik sebelumnya merupakan

standar familiar dimana inovasi diintepretasikan

dengan baik sehingga menurunkan ketidakpastian.

Tingkat adopsi ide baru dipengaruhi oleh

gagasan lama yang menggantikan. Jelas, namun,

jika ide baru yang benar-benar selaras dengan

praktek yang ada, tidak akan ada inovasi,

setidaknya dalam pikiran pengadopsi potensial.

Sebuah pengalaman negatif dengan satu inovasi

dapat mempengaruhi adopsi inovasi masa depan.

Negativisme inovasi adalah sejauh mana kondisi

kegagalan suatu inovasi pada adopter potensial

untuk menolak inovasi di masa mendatang.

Ketika satu ide gagal, pengadopsi potensial

dikondisikan untuk melihat semua inovasi masa

depan dengan kekhawatiran. (Rogers, 2003:225)

Seperti yang ditekankan oleh Pepita Gunawan

bahwa GAFE memiliki banyak aplikasi yang bisa

disinergikan ke dalam sistem yang sudah ada.

“Dengan GAFE, kalender akademik yang

sudah ada di kampus bisa disinergikan

dengan Google Calender yang bisa

diakses setiap saat oleh mahasiswa dan

dosen. Selain itu fasilitas email dari GAFE

juga bisa dimanfaatkan untuk notifikasi

gaji bagi semua dosen dan juga karyawan”

Keberhasilan Google Apps for Education yang

berbasis Cloud Computing salah satunya ditentukan

oleh reputasi vendor yang mengeluarkan inovasi

tersebut (dalam hal ini Google). Google sendiri pada

bulan Januari 2010 masuk dalam 10 properti website

terpopuler di dunia bahkan menduduki peringkat

pertama mengalahkan vendor popular lainnya seperti

Yahoo, Amazon, Facebook, dll. Selain itu internet

reputation yang dimiliki Google juga sangat bagus

karena skor yang dicapai untuk kriteria

trustworthiness, vendor reliability, privacy dan child

safety menunjukkan angka lebih dari 90. Hal tersebut

semakin menguatkan bahwa Google memang

memiliki reputasi yang baik dan diakui secara

mendunia. Dalam berbagai penelitian di ranah

psikologi sendiri menyatakan bahwa reputasi

perusahaan mempengaruhi sisi kognitif, dan

selanjutnya berimbas pada aspek afektif berupa

keputusan awal para calon pengguna dalam proses

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202

200

pengambilan keputusan (dalam Shuang-Yueh Pui,

2010)

C. Google Apps for Education : Titik Temu

Digital Immigrant dan Digital Native

Dalam difusi inovasi dikenal adanya kategori

adopter dimana mereka merupakan kategori

pengadopsi merupakan klasifikasi dari anggota

sistem sosial atas dasar daya inovasi. Daya inovasi

sendiri merupakan sejauh mana unit individu atau

lainnya relatif lebih awal dalam mengadopsi ide-

ide baru dibanding anggota lain dari sistem

mereka. Braak menyebutkan bahwa daya inovasi

relatif stabil, dikonstruksi sosial, ketergantungan

dengan inovasi yang mengindikasikan keinginan

individu untuk mengubah praktik

kesehariannya. (Rogers, 2003: 242)

Beberapa kategori pengadopsi yang

ditawarkan oleh Rogers, antara lain

1. Innovators : Venturesome, merupakan individu

yang ingin merasakan pengalaman dari ide-ide

baru yang ada. Oleh karenanya mereka harus

siap untuk mengatasi inovasi yang tidak

menguntungkan dan gagal serta tingkat

tertentu ketidakpastian tentang inovasi.

Inovator juga menjadi penjaga gawang yang

membawa inovasi ke dalam sistem. 2. Early adopters : Respectable, Early adopter

lebih dibatasi oleh batas-batas dari sistem

sosial. Dengan demikian, sebagai role

model, sikap Early adopter terhadap inovasi

itu penting. Evaluasi subyektif mereka

tentang inovasi dapat mencapai anggota lain

dari sistem sosial melalui jaringan

interpersonal.

Early adopter menempatkan stempel

persetujuan pada ide baru dengan

mengadopsi 3. Early majority : Deliberate, Walaupun Early

majority memiliki interaksi yang baik dengan

anggota lain dalam sistem sosial namun mereka

tidak memiliki peran kepemimpinan seperti yang

dimiliki oleh early adopter, Early majority

mengadopsi inovasi sebelum bagian lain dari

rekan-rekan mereka mengadopsi itu. Mereka

sengaja dalam mengadopsi suatu inovasi dan

mereka bukan sebagai yang pertama maupun

yang terakhir untuk mengadopsi itu. Dengan

demikian, keputusan inovasi mereka

biasanya membutuhkan waktu lebih lama

dari yang dibutuhkan inovator dan early

adopter.

4. Late Majority : Sceptical, meliputi sepertiga

dari seluruh anggota sistem sosial yang

menunggu sampai sebagian besar rekan-

rekan mereka mengadopsi inovasi.

Meskipun mereka skeptis tentang inovasi

dan hasil-hasilnya, kebutuhan ekonomi dan

tekanan teman sebaya dapat menuntun

mereka untuk adopsi inovasi.

5. Laggards : Traditional, Laggard memiliki

pandangan tradisional dan mereka lebih

skeptis tentang inovasi dan agen perubahan

dibanding dengan late majority. Laggard

cenderung memutuskan setelah melihat

apakah inovasi tersebut berhasil diadopsi

oleh anggota lain dari sistem sosial di masa

lalu. Karena semua karakteristik ini, periode

inovasi-keputusan laggard relatif panjang.

Sebagai tambahan Rogers

mengkategorikan 5 jenis pengadopsi ini ke

dalam dua kelompok besar, yaitu (1) Earlier

Adopter, yang terdiri dari innovator, early

adopter dan early majority dan (2) Later

Adopter, yang terdiri dari late majority dan

laggard. Rogers mengidentifikasi perbedaan

keduanya terletak pada SES, kepribadian,

perilaku komunikasi yang secara positif

berkorelasi dengan daya inovasi. (Rogers, 2003

: 245-251)

Melihat karakteristik yang dimiliki maka

dosen dan mahasiswa yang ada di tiga Perguruan

Tinggi yang menjadi tempat penelitian termasuk

dalam kategori earlier adopter, khususnya early

majority terkait adopsi Google Apps for Education

(GAFE). Inilah yang menjadi salah satu titik temu

dosen yang merupakan digital immigrant dengan

mahasiswa yang merupakan generasi digital native.

Dalam proses pembelajaran dosen memiliki

peranan sentral sebagai fasilitator termasuk

memutuskan media atau teknologi apa yang akan

digunakan dalam pembelajaran dan juga pelaksanaan

Tridharma Perguruan Tinggi. Ketika dosen

memutuskan untuk menggunakan GAFE sebagai

Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani

201

teknologi komunikasi dalam sistem pembelajaran,

maka secara otomatis mahasiswa akan mengadopsi

teknologi yang sama dengan dosennya. Disinilah

kesamaan kepentingan menjadi faktor utama

mengapa walaupun berbeda generasi, namun dosen

dan mahasiswa bisa sama-sama menggunakan

GAFE. Namun yang menjadi catatan penting di

UNNES, UDINUS, dan UNISSULA mayoritas

dosen yang mengadopsi GAFE adalah mereka para

dosen junior sedangkan dosen senior masih nyaman

dengan pembelajaran konvensional atau

menggunakan teknologi komunikasi yang biasa

mereka gunakan. Hal tersebut menjadi relevan jika

dikaitkan dengan faktor lain yang mempengaruhi

adopsi seperti mobilitas sosial dan keinginan

menggunakan reputasi (personal branding)

IV. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Lansekap pendidikan di bidang teknologi

pembelajaran mengalami perubahan yang

revolusioner dengan hadirnya teknologi cloud

computing. Google Apps for Education (GAFE)

menjadi salah satu teknologi cloud computing yang

cukup berhasil dimanfaatkan di Perguruan Tinggi

oleh para dosen dan mahasiswa. Keamanan, tetap

terhubung, kolaborasi real-time, kerja tuntas

teknologi informasi kasat mata, go-green menjadi

alasan GAFE diadopsi di UNNES, UDINUS, dan

UNISSULA. Proses adopsi GAFE di ketiga kampus

yang berlokasi di Semarang ini menggunakan dua

channel komunikasi yaitu media massa dan

komunikasi interpersonal. Media massa yang

digunakan antara lain seperti website universitas,

sosial media, surat kabar. Sedangkan dalam

penelitian ini komunikasi interpersonal yang

digunakan dalam membantu proses adopsi Google

Apps for Education (GAFE) yaitu para opinion

leader dan Google Student Champion. Baik opinion

leader maupun Google Student Champion, keduanya

berperan baik langsung maupun tidak langsung di

setiap tahap dalam proses adopsi Google Apps for

Education (GAFE). Tahapan tersebut antara lain (1)

knowledge stage, (2) persuasion stage, (3) decision

stage, (4) implementation stage, dan (5) confirmation

stage. Sedangkan kesamaan kepentingan menjadi

faktor utama mengapa walaupun berbeda generasi,

namun dosen sebagai digital immigrant dan

mahasiswa sebagai digital native bisa sama-sama

mengadopsi GAFE berkolaborasi secara realtime

dalam melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi.

B. Saran

1. Dosen junior sebaiknya lebih aktif mempersuasi

dosen senior untuk mencoba Google Apps for

Education (GAFE) sehingga ke depannya dosen

senior juga mengadopsi dan menggunakan

GAFE

2. Perguruan Tinggi lain di Jawa Tengah khususnya

dan di Indonesia umumnya yang belum bekerja

sama dengan Google untuk bisa segera bekerja

sama dengan Google dan mengadopsi Google

Apps for Education karena inovasi ini

memberikan banyak manfaat dalam proses

pembelajaran dan juga sangat meguntungkan

dari segi finansial.

3. Perguruan Tinggi yang akan mengadopsi Google

Apps for Education sebaiknya membuat riset

awal supaya menemukan strategi komunikasi

yang tepat sehingga tingkat adopsi Google Apps

for Education bisa mencapai 100% serta output

sesuai dengan yang diharapkan

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada seluruh pihak yang telah

berperan dalam proses penelitian, di antaranya

pimpinan Peguruan Tinggi, dosen dan mahasiswa di

lingkungan Universitas Semarang (UNNES),

Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS), dan

Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)

Semarang, Primagain, Edu Lead Indonesia Google

Apps Supporting. Program, Indonesian Education

for Google Southeast Asia, Google Student

Champion, Google Student Ambassador.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Lawrence A. (1981), Innovation

Diffusion: A New Perpevtive. New York:

Methuen and Co

Coursaris, Constantinos K. , Wietske van Osch and

Jieun Sung. (2013). A “Cloud Lifestyle”: The

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202

202

Diffusion of Cloud Computing Applications

and the Effect of Demographic and Lifestyle

Clusters. Michigan State University.

(Presented in 2013 46th Hawaii International

Conference on System Sciences

Denzin, N.K, & Lincoln Y.S. (2009). Hanbook of

Qualitative Research. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Grant, August E. and Jennifer H. Meadows. (2008).

Communication Technology Upate &

Fundamental, 11th Edition. Oxford: Focal

Press.

Havelock , G. Ronald. (1973). The Change Agent's

Guide to Innovation in Education. USA :

Educational Technology Publication, Inc

Kriyantono, Rachmat. (2009). Teknik Praktis Riset

Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group.

Rogers, E. M. (2003). Diffusion of Innovations (5th

ed.). New York, NY: Free Press.

Straubhar , Joseph, Robert La Rose, and Lucinda

Davenport. (2013). Media Now :

Understanding Media, Culture, and

Technology , 8th Edition. Boston: Wadsworth

Cengage Learning.

Medlin, B.D. (2001). The factors that may influence

a faculty member's decision to adopt electronic

technologies in instruction (Doctoral

dissertation, Virginia Polytechnic Institute and

State University, 2001). ProQuest Digital

Dissertations. (UMI No. AAT 3095210).

Parisot, A.H. (1995). Technology and teaching: The

adoption and diffusion of technological

innovations by a community college faculty

(Doctoral dissertation, Montana State

University, 1995). ProQuest Digital

Dissertations. (UMI No. AAT 9542260).

Romadlan, Said. (2010). Difusi Inovasi

Teknologi Komunikasi (Internet)

dikalangan. Pondok Pesantren

Muhammadiyah. Jurnal Adopsi Teknologi.

Watson, C. E. (2007). Self-Efficacy, The Innovation-

Decision Process, And Faculty In Higher

Education: Implications For Faculty

Development. Doctor of Philosophy

Dissertation, Virginia Polytechnic Institute and

State University, Blacksburg, VA. ETD

database

Nurfitriani, Wina. (2013). Computer Self Efficacy

dalam Ruang Lingkup Usia dalam Penggunaan

Teknologi Informasi.

http://www.academia.edu/7236218/computer_

selfefficacy_dalam_ruang_lingkup_usia_dala

m_penggunaan_teknologi_informasi diakses

21 Juli 2014 pukul 09:15 WIB

Dinamika Komunikasi Dalam Pembangunan Desa… Muhammad Najih Farihanto

203

DINAMIKA KOMUNIKASI DALAM PEMBANGUNAN DESA WISATA BRAYUT

KABUPATEN SLEMAN

DYNAMICS OF COMMUNICATION IN THE DEVELOPMENT ON TOURIST VILLAGE

BRAYUT SLEMAN REGENCY

Muhammad Najih Farihanto

Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Jl. Pramuka 42, Sidikan, Umbulharjo, Yogyakarta 55161, Indonesia. +62 274 6692188 ext.211

Email: [email protected]

diterima: 4 Januari 2016 | direvisi: 15 Januari 2016 | disetujui: 18 Januari 2016

ABSTRACT

Development of rural tourism in Yogyakarta lately very rapidly, in Sleman there are dozens of tourist villages

and even some tourist villages has status independently. To be a tourist village that independent status, there

are organizational communication that occurs between the managers of the tourist village. One is the tourist

village Brayut. In the construction of tourist villages must be available to independent status communication

dynamics that occur. This study showed that a lot of the dynamics of communication in the construction of a

tourist village. One of them is the conflict that occurs when Brayut village will serve as a tourist village and

also at host Ngayogjazz. Also found was also the dynamics of communication within the organization Brayut

Tourist Village. This research is a qualitative deskripstif and using case studies for empirical issues raised

regarding a case. It is intended to be more focused on the object of study and be able to explain the objects

around the study. In this study using interviews motode, penelususan documents and direct observation in the

data collection process.

Keywords: Dynamics of Communication, Development, Tourism Village

ABSTRAK

Pembangunan desa wisata di Yogyakarta akhir-akhir ini sangat pesat, di Kabupaten Sleman terdapat puluhan

desa wisata bahkan beberapa desa wisata sudah berstatus mandiri. Untuk menjadi desa wisata yang berstatus

mandiri, terdapat komunikasi organisasi yang terjadi di antara para pengelola desa wisata. Salah satunya

adalah desa wisata Brayut. Dalam pembangunan desa wisata hingga berstatus mandiri tentunya terdapat

dinamika komunikasi yang terjadi. Penelitian ini didapatkan hasil bahwa banyak terjadi dinamika komunikasi

dalam pembangunan desa wisata. Salahsatunya adalah konflik yang terjadi pada saat desa brayut akan

dijadikan sebagai desa wisata dan juga pada saat menjadi tuan rumah ngayogjazz. Selain itu ditemukan juga

dinamika komunikasi dalam organisasi desa wisata brayut. Penelitian ini merupakan penelitian deskripstif

kualitatif dan menggunakan studi kasus karena mengangkat masalah empiris mengenai suatu kasus. Hal ini

dimaksudkan agar lebih terfokus kepada objek kajian serta mampu menjelaskan objek-objek di sekitar kajian.

Dalam penelitian ini menggunakan motode wawancara, penelususan dokumen dan observasi langsung dalam

proses pengumpulan data.

Kata kunci: Dinamika Komunikasi, Pembangunan, Desa Wisata

I. Latar belakang

Pembangunan secara awam dapat

dimaknai sebagai upaya perbaikan kondisi ekonomi.

Pembangunan merupakan suatu proses perubahan

sosial dengan harapan meningkatnya partisipasi yang

luas dari masyarakat untuk kemajuan sosial dan

material (termasuk di dalamnya bertambah besarnya

keadilan, kebebeasan dan kualitas lainnya yang

dihargai) melalui kontrol yang lebih besar dengan

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 203-214

204

tujuan meningkatkan pendapatan masyarakat yang

bersumber dalam lingkungannya (Nasution, 2002).

Demi mencapai sebuah pembangunan, dibutuhkan

proses komunikasi yang berkesinambungan dan

tentunya dapat menunjang tujuan dari proses

pembangunan tersebut. Proses komunikasi yang

terjadi dalam pembangunan disebut juga sebagai

komunikasi pembangunan. Apabila dielaborasikan

dengan pengertian pembangunan diatas, komunikasi

pembangunan mengandung makna komunikasi yang

terjadi dalam proses perubahan sosial untuk

meningkatkan atau memperbaiki kondisi ekonomi

masyarakat.

Dalam menciptakan pembangunan

daerah yang kondusif menurut Budiman (1996: 14)

harus diciptakan kondisi-kondisi yang membuat

manusia bisa mengembangkan kreatifitasnya.

Bagaimanapun juga pembangunan pada akhirnya

harus ditujukan pada pembangunan manusia.

Manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif.

Untuk bisa kreatif, manusia tersebut harus merasa

bahagia, merasa aman dan bebas dari rasa takut.

Hanya manusia seperti inilah yang bisa

menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan

masalah yang dijumpainya.

Di Kabupaten Sleman Daerah

Istimewa Yogyakarta, banyak bermunculan Desa

Wisata yang merupakan trend baru untuk tujuan

wisata di kalangan masyarakat. Masyarakat

perkotaan yang kesehariannya disibukkan dengan

aktifitas pekerjaan yang sangat padat dan dipenuhi

oleh gemerlapnya kehidupan metropolitan lebih

memilih menghabisakan waktu liburnya di Desa

Wisata yang alami. Di sisi lain, dampak positif

dengan banyak bermunculannya Desa Wisata berarti

juga dapat membuka peluang bagi penduduk desa

untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dengan

membuka berbagai peluang usaha.

Desa Wisata Brayut merupakan

salah satu Desa Wisata yang terletak di Kabupaten

Sleman daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Wisata

ini menawarkan berbagai macam fasilitas seperti

homestay, sanggar budaya, kegiatan bercocok tanam

secara tradisonal dan beberapa fasilitas menarik

lainnya. Prestasi yang telah diraih adalah Desa

Wisata Brayut menjadi salah satu Desa Wisata

dengan status mandiri dari Kementrian Pariwisata

dan Ekonomi Kreatif diantara seklian banyak desa

wisata yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dengan adanya status tersebut berarti Desa Wisata

Brayut dapat dengan mandiri mengelola segala

potensi wisata yang dimiliki dan menjadi salah satu

Desa Wisata percontohan. Selain itu, prestasi yang

ditorehkan oleh desa wisata Brayut adalah menjadi

tuan rumah Ngayogjazz selama dua kali. Perlu

diketahui bahwa Ngayogjazz adalah event musik jazz

prestisius tahunan yang diadakan di desa wisata di

Yogyakarta.

Namun menurut Darmadji ketua

pengurus desa wisata Brayut yang peneliti temui

pada 8 Juni 2014 di pendopo desa wisata Brayut,

terdapat permasalahan yang terjadi di dalam

kepengurusan organisasi desa wisata Brayut di mana

terjadi perbedaan pendapat tentang desa wisata

antara para sesepuh desa dan generasi muda.

Perselisihan ini muncul salah satunya ketika

penyelenggaraan Ngayogjazz yang pertama, para

sesepuh menolak diadakannya Ngayogjazz, karena

masih menganggap musik jazz adalah bagian dari

budaya modern dan ingin mempertahankan budaya

tradisional Jawa. Sementara para generasi muda

ingin mengawinkan antara budaya modern dengan

budaya Jawa sehingga menjadi keunikan tersendiri

dan menjadi nilai lebih dari desa wisata Brayut.

Komunikasi pembangunan yang terjadi di dalam

kepengurusan desa wisata Brayut sangat dinamis.

Namun apabila kita kembali kepada pernyataan

Budiman di mana untuk menciptakan masyarakat

yang kreatif, harus merasa bahagia, merasa aman dan

bebas dari rasa takut. Tentusaja ini sangat bertolak

belakang dengan yang terjadi di Desa Wisata Brayut

yang sudah mendapat predikat Desa Wisata Mandiri.

Dari teori dan latar belakang permasalahan

di atas, peneliti ingin mengetahui lebih dalam

tentang bagaimana dinamika komunikasi yang

terjadi dalam pembangunan Desa Wisata Brayut.

Dari latar belakang diatas dapat disimpulkan bahwa

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

bagaimana dinamika komunikasi dalam

pembangunan Desa Wisata Brayut?

A. Komunikasi dan pembangunan

Pembangunan secara awam dapat dimaknai

sebagai upaya perbaikan kondisi ekonomi.

Dinamika Komunikasi Dalam Pembangunan Desa… Muhammad Najih Farihanto

205

Pembangunan merupakan suatu proses perubahan

sosial dengan harapan meningkatnya partisipasi yang

luas dari masyarakat untuk kemajuan sosial dan

material (termasuk di dalamnya bertambah besarnya

keadilan, kebebeasan dan kualitas lainnya yang

dihargai) melalui control yang lebih besar dengan

tujuan meningkatkan pendapatan masyarakat yang

bersumber dalam lingkungannya (Nasution, 2002).

Pada perkembangannya, pembangunan menurut

paradigm baru didefinisikan sebagai seuatu proses

partitipasi di segala bidang dalam perubahan sosial

dalam sauatu masyarakat, dengan tujuan membuat

kemajuan sosial dan material, termasuk pemerataan

serta kebebeasan besar untuk mengatur

lingkungannya (Rogers dalam Noor, 2008). Dalam

sebuah Negara, informasi yang harus di

komunikasikan dari pemerintah kepada masyarakat,

dan sebaliknya, membutuhkan proses yang sangat

penjang arar pesan dari masing-masing pihak

tersampaikan dan terjadi pemahaman yang sama.

Sedangakn menurut Quarry dan Ramiez (2009)

kesuksesan komunikasi dalam pembangunan adalah

jika pemerintah lebiih banyak mendengar apa saja

kebutuhan masyarakat, karena pembangunan yang

baik di dalamnya terdapat proses komunikasi yang

baik pula. Pembangunan mengacu pada upaya

pengiriman sumber daya, sehingga agenda lain daru

pembangunan adalah perhatian pada peningkatan

kapasitas dalam memfasilitasi dialog sosial.

Tujuannya agar dalam dialog sosial terlihat posisi

yang setara antara pemerintah dengan masyarakat.

Schramm (1964) menyebutkan komunikasi dalam

pembangunan meliputi tiga hal, yaitu:

a. Informasi kepada masyarakat mengenai

pembangunan nasional tersampaikan dengan

baik. Perhatian masyarakat harus dipusatkan

pada kebutuhan akan perubahan, kesempatan

atau cara mencapai perubahan, serta sarananya,

termasuk membangkitkan aspirasi masyarakat

secara nasional.

b. Masyarakat memperoleh kesempatan berperan

aktif dalam proses pengambilan keputusan.

Pemuka masyarakat diberi kesempatan

memimpin dan mendengarkan pendapat

masyarakat dari kelompok terbawah dan

termarjinalkan, memberi penjelasan, serta

menyampaikan alternative-alternatif dalam

diskusi kemasyarakatan.

c. Memperluas pendidikan kepada tenaga kerja,

petani dan anak-anak. Masyarakat didik dan

dilatih cara hidup sehat.

Dalam arti luas, komuniasi

pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi

diantara semua pihak yang terlibat dalam usaha

pembangunan terutama masyarakat dan pemerintah,

sejak dari porses perencanaan hingga penilaian

pembangunan. Sementara secara presifik,

komunikasi pembangunan merupakan upaya dan

cara serta teknik penyampaian gagasan dan

keterampilan-keterampilan pembangunan yang

berasal dari pihak yang memiliki prakarsa

pembangunan yang berasal dari pihak yang memiliki

prakarsa pembangunan untuk masyarakat luas.

Kegiatan tersebut bertujuan arar masyarakat menjadi

sasaran pembangunan dapat memahami, menerima

dan berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan yang

disampaikan (Nasution, 2002).

B. Dinamika Komunikasi

Dalam penelitian ini yang laing banyak peneliti

temui adalah dinamika komunikasi organisasi.

Komunikasi organisasi adalah proses pengiriman dan

penerimaan pesan organisasi dalam kelompok formal

maupun informal dari suatu organisasi (Wiryanto,

2005). Komunikasi formal adalah komunikasi yang

disetujui dan berlaku dalam organisasi itu sendiri

yang sifatnya berorientasi kepentingan organiasasi.

Berupa cara kerja yang harus dalam organisasi,

misalnya memo, kebijakan, pernyataan, jumpa pers

dan surat-surat resimi. Adapun komunikasi informal

adalah komunikasi yang disetujui dan berlaku hanya

untuk perorangan. Orientasi bukan pada organisasi,

tetapi lebih kepada anggota secara kolektif.

Sementara itu, Littlejohn dan Foss (2009: 395)

menyatakan bahwa organisasi dapat dihasilkan

melalui interaksi antara anggotanya. Dengan kata

lain, komunikasi dianggap sebagai sebuah alat bantu

oleh anggota organisasi sebenarnya merupakan

media yang menjadikan organisasi tersebut ada.

Komuniasi organisasi merupakan pengiriman dan

penerimaan pesan di antara elemen-elemen

komunikasi yang merupakan bagian dari semuah

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 203-214

206

organisasi. Komunikasi organisasi bisa dilakukan

secara vertikal maupun horisontal antar anggota

organisasi. Komunikasi organisasi baik formal

maupun sosial tidak hanya dilakukan internal

organisasi tetapi juga dilakukan dengan ekternal

organisasi. Komunikasi organisasi tidak hanya

menyangkut pengiriman dan penerimaan pesan

antara eleman-elemen organisasi, tetapi juga

hubungan dengan elemen-elemen tersebut dengan

lingkungan internal dan eksternal organisasi.

Sementara itu, secara umum komunikasi

organisasi dapat dibedakan atas komunikasi formal

dan komunikasi informal. Komunikasi formal

salurannya ditentukan oleh struktur yang telah

direncanakan dan tidak dapat dipungkiri oleh

organisasi. Bila pesan mengalir melaui jalur resmi

yang ditentukan oleh hierarki resmi organisasi atau

oleh fungsi pekerjaan maka pesan itu berada dalam

jalur komunikasi formal.

Furqon, (2013) menyebutkan paling tidak ada

tiga bentuk komunikasi formal, yaitu berdasarkan:

(1) arah yang dituju: vertikal, horisontal/lateral (2)

sifat, tipe jaringan komunikasi disesuaikan dengan

tugas, misalnya pelaporan, perintah, pengarah atau

perlindungan dan kepenasihatan dan (3) keformalan

(sisi formal), sejauh mana alur komunikasi dibatasi

oleh kewenangan. Dalam penelitian ini, peneliti akan

melihat komunikasi dari arah yang dituju, yaitu pesan

dalam komunikasi formal vertikal baik atas kebawah,

dari bawah keatas dan juga komunikasi formal secara

horisontal atau tingkat yang sama.

Bentuk jaringan komunikasi vertikal terdiri atas

vertikal dari atas dan dari bawah. Dalam komunikasi

vertikal, pesan bergerak sepanjang saluran vertikal

melalui dua arah, dari atas dan dari bawah.

Komunikasi kebawah (top down) dalam sebuah

organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari

jabatan berorientasi lebih tinggi kepada mereka yang

berotoritas lebih rendah (Muhammad 2007: 108).

Sementara itu komunikasi dari bawah keatas

(bottom up) adalah pesan yang mengalir dari

bawahan kepada atasan atau dengan kata lain

komunikasi yang terjadi dari tingkat yang lebih

rendah kepada tingkat yang lebih tinggi. Tujuan

komunikasi ini adalah untuk memberikan balikan,

memberikan saran dan mengajukan pertanyaan.

Komunikasi ini mempunyai efek pada

penyempurnaan moral dan sikap bawahan, tipe pesan

adalah integrasi dan pembauran (Muhammad, 2007:

116-117).

Pendapat lain mengatakan, komunikasi keatas

berfungsi sebagai balikan bagi pemimpin

memberikan petunjuk tentang keberhasilan suatu

pesan yang disampaikan kepada bahawan dan dapat

memberikan stimulus kepada anggotanya untuk

berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan bagi

organisasinya (Goldhaber, 1986). Namun

komunikasi keatas memiliki kendala yang salah

satunya yaitu perasaan para bawahan bahwa sang

pemimpin tidak dapat menerima dan merespons

terhadap apa yang dikatakan oleh bawahan.

Betuk komunikasi formal yang selanjutnya

adalah komunikasi horizontal adalah pertukaran

pesan di antara orang-orang yang sama tingkat

otoritasnya di dalam organisasi (Muhammad,

2007:212). Pace dan Faules (2010: 95) mengatakan

bahwa fungsi dari komunikasi horisontal adalah

untuk saling memerikan informasi dalam

perencanaan dan berbagai aktifitas. Ide dari banyak

orang biasanya akan lebih baik dari pada ide satu

orang. Oleh karena itu komunikasi horisontal sangat

diperlukan untuk mecari ide yang lebih baik.

II. METODOLOGI

Penelitian ini merupakan penelitian

deskripstif kualitatif. Peneliti ingin menggambarkan

secara alami tentang keadaan dengan tidak

menggunakan hipotesis. Penelitian ini bertujuan

untuk memberikan gambaran tentang komunikasi

organisasi dalam pembangunan Desa Wisata Brayut

secara diskriptif. Melalui metode diskriptif akan

mampu memaparkan fenomena secara rinci serta

menghadirkan analisis yang lebih mendalam yang

tidak mampu diungkapkan dengan metode

kuantitatif.

Penelitian ini menggunakan studi kasus karena

mengangkat masalah empiris mengenai suatu kasus.

Hal ini dimaksudkan agar lebih terfokus kepada

objek kajian serta mampu menjelaskan objek-objek

di sekitar kajian. Studi kasus merupakan suatu

pendekatan untk mempelajari, menerangkan atu

mengintepretasi suatu “kasus” dalam konteksnya

yang alamian tanpa ada intervensi dari pihak luar

(Baedowi dalam Agus Salim, 2006: 118). Studi kasus

Dinamika Komunikasi Dalam Pembangunan Desa… Muhammad Najih Farihanto

207

ini daat dilakukan ketika peneliti ingin memahami

atau menjelaskan suatu fenomena tertentu (Wimmer

dan Dominick, 2006: 136).

Studi kasus adalah pendekatan yang bisa secara

detail memberikan gambaran mengenai latar

belakang sifat dan suatu peristiwa. Dalam penelitian

ini, bentuk pertanyaan utama yang diajukan adalah

“bagaimana”, yang sangat cocok dengan pendekatan

studi kasus. Wimmer dan Dominick (2006: 138)

menjelaskan: the case study is most appropriate for

quoestions that begin with “how” or “why”. Yin

(2004: 13) menjelaskan bahwa pertanyaan

“bagaimana” akan diarahkan pada serangkaian

peristiwa kontemporer di mana hanya memiliki

sedikit peluang untuk melakukan kontrol terhadap

peristiwa tersebut.

Studi kasus sangat tepat karena peneliti tidak

dapat melakukan intervensi atau kontrol terhadap

implementasi kegiatan hubungan media diDesa

Wisata Brayut. Peneliti hanya dapat melakukan

pengamatan dengan seksama secara utuh dan

menyeluruh mengenai segala unsur dan faktor yang

menjadi bagian dari objek penelitian.

Penelitian ini dilakukan Desa Wisata Brayut

Kabupaten Sleman.Penelitian studi kasus, menurut

Yin (2004:13) dapat dilakukan melalui beberapa

cara, diantaranya adalah rekaman arsip, wawancara,

dan observasi langsung. Peneliti telah mewawancarai

informan yang dapat mendukung rumusan masalah

diantaranya adalah ketua pengurus desa wisata,

perwakilan dari sesepuh desa wisata, dan beberapa

anggota pengurus desa wisata. Sementar untuk

mendukung data yang dapatkan oleh wawancara,

peneliti observasi langsung di dalam keseharian para

pengurus desa wisata Brayut dalam menjalankan

organisasi guna mengetahui dinamika komunikasi

organisasinya. Untuk sebagai pelengkap data,

peneliti menelusuri dokumen-dokumen yang dapat

menguatkan atau menyeimbangkan dari data-data

yang didapatkan dari wawancara dan observasi

langsung.

Data yang telah diperoleh kemudian dipelajari

dan dikaji ulang dengan penyesuaian-penyesuaian

dari keseluruahn data, baik dari wawancara,

dokumentasi dan observasi langsung, agar

sinkronisasi data ditemukan dan memepermudah

pelaksanaan penelitian hingga pada tahap pelaporan.

Triangulasi adalah teknik memeriksa keabsahan

data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Menurut

Moleong (2009:330) diluar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembangding terhadap data

itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan

ialah memeriksa melalui sumber lainnya. Denzin

dalam Moleong (2009:330) membedakan empat

macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang

menafaatkan pengguna sumber, metode dan teori.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

triangulasi sumber, dimana peneliti membandingkan

dan mengkoreksi ulang derajat kepercayaan suatu

informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat

yang berbada dalam penelitian kualitatif (Patton

dalam Moleong, 2009:330-331). Hal itu dicapai

dengan jalan membandingkan data hasil pengamatan

dengan data hasil wawancara dan membandingkan

hasil wawancara dengan sutu dokumen yang

berkaitan.

Berdasarkan identifikasi masalah di atas,

limitasi atau pembatasan penelitian masalah pada

penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan

dinamika komunikasi dalam pembangunan Desa

Wisata Brayut.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bagian ini peneliti akan memaparkan

tentang temuan-temuan penelitian dan analisis

dinamika komunikasi dalam pembangunan desa

wisata Brayut Temuan ini peneliti bagi berdasarkan

kerangka konsep yang ada. Dimulai dari

pembangunnan desa wisata Brayut dan dilanjutkan

dengan dinamika komunikasi desa wisata Brayut.

A. Pembangunan Desa Wisata Brayut

Desa wisata Brayut berdiri pada tanggal 14

Agustus 1999 oleh inisiatif salah seorang warganya

bernama Budi Utomo yang merupakan guru bahasa

inggis di salah satu lembaga pendidikan di

Yogyakarta. Seringkali Budi mengajak pada

siswanya yang merupakan warga negara asing untuk

berkunjung ke desa Brayut untuk meningkatkan

kemampuan bahasa terutama dalam bahasa

indonesia. Mulai dari situ, kegiatan tersebut

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 203-214

208

diapresiasi bagus oleh para siswa dan para warga

desa Brayut. Menutur Darmadji yang merupakan

kepala desa wisata Brayut, desa wisatanya yang ia

kelola sejak tahun 2004 tersebut merupakan desa

wisata pertama yang berada di Sleman.

“..desa Brayut merupakan desa wisata

pertama di Sleman. Saat itu kita langsung

mengundang Dinas Pariwisata, namun

responnya kurang begitu bagus. Tapi kita

tetap jalan terus, kita punya maksud baik,

dalam artian untuk mengenalkan desa

dengan orang asing, tamu-tamu asing..”

(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)

Dalam membangun desa waisata Brayut,

banyak sekali permasalahan yang dihadapi darmadji

dan rekan-rekannya, salah satunya adalah dari warga

yang belum mengerti apa itu desa wisata. Saat itulah

Darmadji mengedukasi dan perlahan mengajak

warga setempat untuk berpartisipasi dalam

pembangunan desa wisata seperti rumah warga yang

akan menjadi home stay, pemandu wisata, pengelola

desa wisata, aktif dalam kelembagaan atau pengurus.

Tujuan edukasi itu menurutnya adalah untuk

membangun paradigma positif kepada warga bahwa

desa wisata untuk pemberdayaan masyarakat dan

yang paling penting warga bisa menjadi pelopor

pariwisata di kampungnya sendiri. Tentunya segala

proses pengembangan potensi pariwisata yang

berbasis kearifan lokal.

Edukasi yang dilakukan Darmadji dan rekan-

rekan ternyata tidak berjalan dengan mulus namun ia

tetap melanjutkan perjuangan.

“..Memang banyak warga yang tidak

setuju, namun kita boleh terus beroperasi

asalkan tidak mengganggu. Namun kita

terus berupaya untuk mengampanyekan

tentang desa wisata ini, kan maksudnya

juga baik to? Namun, desa wisata tidak

akan bergerak tanpa adanya swadaya dari

masyarakat. Karena, tempat menginap,

pemandu wisata, semuanya dari warga

juga..”

(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)

Darmadji menjelaskan sempat terjadi resistensi

oleh masyarakat dengan adanya desa wisata Brayut.

Beberapaa warga bahkan menaruh rasa curiga, takut

dan muncul anggapan bahwa pariwisata nantinya

akan bisa menutup akses keberagamaan dan

mengurangi kadar religiusitas masyarakat. Ternyata,

sampai saat ini di desa Brayut tidak pernah ada

resistensi dengan agama apapun. karena Darmadji

memberikan penjelasan yang komperhensif

mengenai pengembangan desa wisata.

“..sekarang mungkin mulai berkurang ya,

memang ada beberapa yang menaruh

curiga, namun kecurigaan itu hanya

sebatas skeptik, artinya hanya minta

penjelasan secara detail, beberapa

pertanyaan fundamental seperti, apa

kontribusinya untung kampung, apa sisi

positifnya, apa sisi negatifnya..”

(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)

Pembangunan dapat dimaknai sebagai upaya

perbaikan kondisi ekonomi. Pembangunan

merupakan suatu proses perubahan sosial dengan

harapan meningkatnya partisipasi yang luas dari

masyarakat untuk kemajuan sosial dan material

(termasuk di dalamnya bertambah besarnya keadilan,

kebebeasan dan kualitas lainnya yang dihargai)

melalui control yang lebih besar dengan tujuan

meningkatkan pendapatan masyarakat yang

bersumber dalam lingkungannya (Nasution, 2002).

Pada perkembangannya, pembangunan menurut

paradigm baru didefinisikan sebagai seuatu proses

partitipasi di segala bidang dalam perubahan sosial

dalam suatu masyarakat, dengan tujuan membuat

kemajuan sosial dan material, termasuk pemerataan

serta kebebeasan besar untuk mengatur

lingkungannya (Rogers dalam Noor, 2008). Begitu

juga yang terjadi di desa wisata Brayut, perubahan

desa Brayut menjadi desa wisata merupakan usaha

yang berasal dari warga warga untuk merubah taraf

hidup khususnya perekonomian warga desa. Para

warga desa mencoba untuk terbuka dengan hal-hal

baru yang merupakan angin segar untuk

memperbaharui dan memperbaiki kualitas dan

kuantitas sosial dan finansial. Namun sayangnya di

awal perkembangan desa wisata Brayut kurang

Dinamika Komunikasi Dalam Pembangunan Desa… Muhammad Najih Farihanto

209

mendapat apresiasi dari pemerintah kabupaten

Sleman, tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat

para warga untuk tetap memperbaiki taraf hidup

melelaui perintisan desa Brayut menjadi desa wisata.

“Pada tahun 2003 saya mencoba untuk

melanjutkan cita-cita Pak Budi yang

berhenti ini. Pada saat itu karena ada Bom

Bali, kegiatan masih sangat terbatas ya,

hanya berbasis wisata desa. Kita ajarin

Baku jaga, Egrang, belajar Mbatik, hanya

sebatas itu. Namun lama kelamaan

responnya cukup meningkat, artinya tetap

jalan to. Saya mencoba untuk melanjutkan

terus, dan akhirnya pada tahun 2004

sekertariatnya kita pindah ke daerah sini

sekitar bulan Agustus, sekaligus saya

melaunching dan memperkenalkan Joglo

Cafe. Dari ketela setidaknya kita bisa

membuat 43 jenis makanan. karena

keterampilan sudah cukup dirasa

mumpuni, kita mencoba memperkuat

lembaga dengan cara merekrut anak-anak

muda untuk bergabung dan mengelola

desa wisata. Namun, setelah itu kita masih

bingung apa yang mau kita jual. tetapi

setelah itu pemikiran kita berkembang,

kita punya inisiatif untung mencari

rumput, menanam padi, membajak sawah,

menangkap ikan, permainan tradisional,

belajar Batik, Karawitan, menari. Ooo..

itu semua hanya ada di Brayut. Setelah

kita membuat brosur, promosi dan

bekerjasama, Alhamdulillah tamu mulai

berdatangan. Kita menyebut proses ini

dengan istilah embrio, tumbuh,

berkembang, mandiri.”

(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)

Pembangunan mengacu pada upaya

pengiriman sumber daya, sehingga agenda lain daru

pembangunan adalah perhatian pada peningkatan

kapasitas dalam memfasilitasi dialog sosial.

Tujuannya agar dalam dialog sosial terlihat posisi

yang setara antara pemerintah dengan masyarakat.

Schramm (1964) menyebutkan komunikasi dalam

pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi

diantara semua pihak yang terlibat dalam usaha

pembangunan terutama masyarakat dan pemerintah,

sejak dari porses perencanaan hingga penilaian

pembangunan. Sementara secara spesifik,

komunikasi pembangunan merupakan upaya dan

cara serta teknik penyampaian gagasan dan

keterampilan-keterampilan pembangunan yang

berasal dari pihak yang memiliki prakarsa

pembangunan yang berasal dari pihak yang memiliki

prakarsa pembangunan untuk masyarakat luas.

Kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat menjadi

sasaran pembangunan dapat memahami, menerima

dan berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan yang

disampaikan (Nasution, 2002). Desa wisata Brayut

sekarang sudah mendapatkan predikat desa wisata

mandiri. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah

Kabupaten Sleman sudah sangat memperhitungkan

pembangunan desa wisata sebagai salah satu cara

untuk mensejahterakan masyarakat baik secara sosial

maupun finansial.

“..kalau mandiri desa wisata itu, artinya

desa wisata itu sudah bisa melakukan

manajemen sendiri, promosi sendiri, tanpa

harus bergantung kepada pemerintah. Kita

tidak perlu mencari dana ke mana kan.

Intinya kita berusaha untuk menghidupi

organisasi ini agar terus bisa dinamis..”

(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)

Sudarmadji menambahkan bahwa sekarang ini,

antara pemerintah dan desa wisata satu sepakat, satu

tujuan, satu tujuan, bahkan Pemerintah Kabupaten

Sleman mengklaim desa wisata menjadi salah satu

program unggulannya. Karena ada tiga hal

keunggulan Sleman, yakni desa wisata, agrowisata,

minapolitan.

Prestasi yang ditoreh desa wisata Brayut

tidak hanya menjadi desa wisata dengan predikat

mandiri, tetapi juga telah dua kali menjadi tuan

rumah perhelatan musik jazz tahunan yang bernama

ngayogjazz pada tahun 2012 dan 2014. Menurut

Darmadji desa Brayut sudah memenuhi prasayarat

sebagai tuan rumah Ngayogjazz. Karena,

persyaratannya cukup berat, ada beberapa aspek

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 203-214

210

yang dijadikan parameter, yakni budaya, sosial,

infrastruktur, kesiapan warga. Selama hampir tiga

bulan penilita ngayogjazz melakukan survey

mengenai kelayakan untuk menjadi tuan rumah. Di

situlah warga kemudian dikumpulkan untuk

berembuk dan bersepakat untuk bersedia jadi tuan

rumah Ngayogjazz 2012. Tentunya pada saat

sosialisasi atau rembuk, diterangkan juga kepada

warga dampak positif dari kehadiran Ngayogjazz,

yakni bisa meningkatkan wisatawan yang

berkunjung, kemudian bisa mendapatkan nilai

tambah seperti penjualan, branding nama, promosi,

semua bisa didapat.

Tidak hanya pada tahun 2012, di tahun 2014

desa wisata Brayut kembali menjadi tuan rumah

ngayogjazz.

“..Event Ngayogjazz yang kedua itu

begini, rencana awalnya itu kegiatannya

dilaksanakan di Malangrejo,

Maguwoharjo. Namun, hampir sekitar 3

bulan ada banyak pro dan kontra di sana

terkait penyelenggaraan event tersebut,

nah, itu, kalau tetap dilanjutkan terlalu

berisiko, karena mereka takut

kampungnya jadi rusak, tanamannya

banyak yang hancur. Padahal, konser Jazz

tidak seperti Dangdut, penonton

Ngayogjazz umumnya elit, santun,

terpelajar, nrimo opo ono ne, akhirnya

oleh panitia Ngayogjazz, desa Brayut

ditawarkan lagi untuk menjadi tuan

rumah. Setelah mendapat tawaran

tersebut, kami kemudian merembukan

serta memusyawarahkan kembali dengan

elemen masyarakat. Dan ketika ditanya

kesiapan untuk menjadi tuan rumah,

warga menjawab dengan antusias :

siaapp! Setelah mendapat lampu hijau

dari warga, segala sesuatunya baik teknis

dan pokok yang berkenaan dengan event

tersebut, kita persiapkan secara bersama-

sama..”

(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)

Diselenggarakannya ngayogjazz di desa

wisata Brayut merupakan salah satu bukti bahwa

desa wisata Brayut melakukan sebuah pembangunan

seperti yang dikatakan oleh Nasution (2002: 25)

suatu jenis perubahan sosial di mana ide-ide baru

diperkenalkan kepada sautu sistem sosial untuk

menghasilkan pendapatan perkapita dan tingkat

kehidupan yang lebih tinggi melalui metode produksi

yang lebih modern dan organisasi sosial yang lebih

baik disebut sebagai pembangunan.

B. Dinamika Komunikasi Desa Wisata

Brayut

Penyelenggaraan ngayogjazz di desa wisata

Brayut awalnya sempat ditolak oleh beberapa warga.

Hal ini sangat lumrah ketika ada sesuatu hal yang

baru tiba-tiba datang dan masuk ke sistem sosial

yang masih tradisional.

“..warga ada yang menolak. Tentunya

mereka masih belum mengerti

manfaatnya secara kongkrit terhadap desa.

Efek jangka panjangnya juga, ada

keresahan yang timbul, baik dari segi

keamanan, pencurian dsb. Tetapi event

tersebut tetap berjalan terus. Saat itu, Pak

Lurah masih memegang jabatan di desa

Brayut. Akhirnya kita bersama Pak Lurah

beserta warga berembuk untuk

menyelesaikannya. Dan, syukurlah

beberapa warga tadi sepakat. Kemudian

kita jalan..”

(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)

Hal senada juga disampaikan Dwi, sekertaris

desa wisata Brayut bahwa sempat terjadi penolakan

yang dilakukan warga pada saat aka n

diselenggarakannya ngayogjazz di desa wisata

Brayut. Namun dengan segera pengelola desa wisata

dan jga beebrapa panitia ngayogjazz mengadakan

sosialisasi dan pendekatan secara persuasif kepada

warga yang menolak.

“awalnya sempat alot mas, karena para

warga yang menolak belum ngerti

ngayogjazz itu apa. Mereka kira konser

ngayogjazz itu seperti konser-konser yang

lain yang rusuh dan bisa mengganggu

ketenangan dan kenyamanan para warga

Dinamika Komunikasi Dalam Pembangunan Desa… Muhammad Najih Farihanto

211

desa. Tapi kami lakukan penjelasakn ke

mereka tentang manfaat-manfaat dari

ngayogjaaz dan kami juga meyakinkan

mereka kalau ngayogjazz itu tidak

mengganggu warga..”

(Rahmawan Dwi Atmaja, Sekertaris Desa

Wisata Brayut 5 September 2015)

Dari temuan data di atas menunjukkan kepada

peneliti bahwa terjadi semuah dinamika komunikasi

di desa wisata Brayut. Hal itu terjadi karena adanya

interaksis para warga sehingga memunculkan

transaksi pesan. Dinamika berasal dari kata

Dynamics (Yunani) yang bermakna “Kekuatan”

(force). “Dynamics is facts or concepts which refer

to conditions of change, expecially to forces”.

Dinamika berarti tingkah laku warga yang satu

secara langsung mempengaruhi warga yang lain

secara timbal balik. Dinamika berarti adanya

interaksi dan interdependensi antara anggota

kelompok yang satu dengan anggota kelompok

secara keseluruhan. Terjadi sebuah interaksi dimana

antara warga satu dengan warga yang lain saling

mempengaruhi yang dalam konteks penelitian ini

adalah warga Brayut yang saling meyakinkan tentang

akan diselenggarakannya ngayogjazz.

Selain dinamika komunikasi seperti temuan

data di atas, peneliti juga menemukan dinamika

komunikasi yang terjadi di dalam organisasi

kepengurusan desa wisata Brayut. Dinamika

komunikasi organisasi desa wisata Brayut bisa dilihat

dari struktur kepengurusannya. Dijelaskan oleh

darmadji bahwa struktur organisasi desa wisata amat

sangat penting.

“..memang itu sangat penting ya,

istilahnya itu kelembagaan lokal. Di situ

supaya ada penanggung jawabnya.

Hierarkinya antara lain, ada ketua,

sekertaris, bendahara, ada divisi untuk

mengatur teknis kegiatan seperti

perlengkapan, pertanian, kesenian, dan

kuliner..”

(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)

Namun dalam organiasi kepengurusan desa

wisata Brayut masih bisa dibilang tradisional. Sejak

tahun 2003 Darmadji menjadi ketua pengelola desa

wisata.

“..Saya memimpin sudah sejak tahun

2003. Saya itu kepingin teman-teman

yang lain ikut mencoba. Namun ada-ada

saja alasan mereka, umumnya khawatir

sih, karena memang cukup berat, salah

satunya adalah desa tidak boleh kaku

dalam artian desa mesti terbuka dan

sebanyak mungkin mencari medium atau

akses yang tujuannya adalah menggali

potensi pedesaan..”

(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)

Melihat temuan data diatas, terdapat hubungan

yang interdependensi antara anggota organisasi

pengelola desa wisata Brayut yanng di mana

hubungan interdependensi itu untuk menjaga

eksistensi dari desa wisata Brayut. Eksistensi

merupakan tolok ukur dari kehidupan organisasi

tersebut. Apabila tidak ada interaksi yang terjadi di

dalam organisasi tersebut makan roda organisasi

akan terhentu dan tujuan dari organisasi akan tidak

tercapai. Dalam konteks penelitian ini, desa wisata

Brayut memiliki tujuan organisasi yang di manan

tujuan itu harus dicapai dengan cara interaksi antar

anggota organisasi yang saling berhubungan.

Komunikasi formal yang terjadi di desa wisata

Brayut terjadi pada saat rapat rutin dan beberapa

kordinasi lainnya. Dijelaskan oleh Darmadji bahwa

bentuk rapat rutin yang selama ini ada di

kepengrurusan desa wisata Brayut hanya

dilaksanaakan pada saat akan ada tamu atau ada

kegiatan saja.

“..iya, rapat rutin terus kita lakukan

kadang tiga sampai enam kali dalam

sebulan. Contoh, ketika ada rombongan

yang ingin menginap di Brayut, maka kita

akan menyiapkan segalanya, mulai dari

akomodatif, home stay, teknis acara

seremonial, konsumsi dsb. Kalau tidak

ada tamu ya, kita bisa santai-santai. Tetapi

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 203-214

212

sambil memikirkan konsep kegiatan

berikutnya.

(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)

Melihat dari teori tentang komunikasi formal

dan juga temuan data penelitian di desa wisata Brayut

tentang rapat rutin yang bisa dikategorikan sebagai

bentuk komunikasi formal organisasi bisa peneliti

ambil benang merah bahwa komunikasi formal

organisasi yang terjadi berfungsi sebagai sarana

kordinasi pembagian tugas sesuai dengan fungsi

setiap anggota organisasi yang telah disepakati.

Selain itu bentuk komunikasi formal yang terjadi di

desa wisata Brayut berbentuk vertikal dan horisontal.

Komunikasi vertikal terjadi top down dan bottom up

ketika antara pemimpin organisasi dan para

anggotanya saling bertransaksi pesan, juga

komunikasi vertikal terjadi ketika para anggota

organisasi saling berinteraksi di mana kedudukan

antara anggota organisasi satu dengan lainnya setara.

Sementara itu komunikasi formal dalam

organisasi adalah ketika anggota organisasi saling

berinteraksi dengan yang lainnya tanpa

memperhatikan posisi mereka dalam organisasin dan

pengarahan arus informasi bersifat pribadi.

Pengertian tersebut mengisyaraktkan terdapat dua

jaringan dalam komunikasi informal organisasi yaitu

sifat hubungan atau pola interaksi dan arah aliran

informasi. Untuk sifat hubungan adalah hubungan

pribadi yang termasuk hubungan antar pesona dan

aliran aliran informasi bersifat pribadi yang muncul

dari interaksi di antara orang-orang dan mengalir ke

seluruh aliran organisasi tanpa bisa diperkirakan

(Pace & Faules, 2010: 199).

Komunikasi informal organisasi di desa

wisata Brayut terjadi pada keseharian para

anggotanya. Dijelaskan oleh Darmadji bahwa tidak

adanya kordinasi rutin apabila tidak ada tamu yang

akan berkunjung atau menginap di desa wisata

Brayut memudahkan para pengurus organisasi dalam

berkordinasi atau saling bertukar pikiran untuk

memajukan pembangunan desa wisata. Bahkan

menurut Dwi yang merupakan sekertaris pengelola

dese wisata Brayut tidak banyaknya pertemuan rutin

yang ada di desa wisata Brayut justru lebih

mempermudah dirinya dalam memberikan dan

menerima masukan dari anggota organisasi baik

ketua maupun anggota yang lain. Peneliti menarik

kesimpulan bahwa kordinasi informal justru

membuat nyaman para anggota organisasi. Menilik

dari teori di atas tentang komunikasi informal

organisasi yang lebih menekankan hubungan antar

personal antar anggota organisasi justru dapat

menghilangkan sekat hirarki yang ada di dalam

kepengurusan desa wisata. Aliran informasi lebih

bersifat pribadi yang membuat para anggota lebih

luwes dalam menyampaikan pedapatnya. Hal ini

amat sangat lumrah ketika peneliti melihat sistem

sosial yang masih tradisional. Ditunjang dengan

budaya jawa yang masih sangat kental dan tidak

mendukung masyarakat untuk ekspresif. Dengan

kata lain bahwa komunikasi yang terjadi adalah

komunikasi tingkat tinggi atau high context

communications yang lekat dengan budaya indonesia

pada umumnya khususnya budaya jawa.

Dalam memimpin kepengurusan desa wisata

Brayut, Darmadi mencoba untuk bersikap

demokratis dan terbuka dengan ide atau gagasan para

anggotanya. Menurutnya seorang pemimpin adalah

pengintegrasi dari anggotanya.

“..ketua itu kan harus menjadi panutan

atau leader. Jadi, ide itu tidak harus

dimonopoli oleh ketua. Justru, semakin

banyak ide yang ditawarkan dari anggota,

artinya suasana organisasi semakin lebih

hidup. Di sini, tingginya jabatan tidak

berpengaruh pada pemberian honor, tetapi

parameternya adalah kinerja..”

(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)

Hal yang sama juga disampaikan oleh Dwi.

Sebagai salah satu generasi muda dalam

kepengurusan desa wisata, dirinya mendapat banyak

pelajaran dalam berorganisasi terutama dalam

menyalurkan ide-idenya. Tidak hanya dengan para

pengurus desa wisata, tetapi sikap terbuka seorang

pemimpin juga ditunjukkan darmaji kepada warga

desa wisata Brayut.

“.. kita membangun perilaku warga.

Karena apa? Kebersihan, ramah tamah

dan kerapihan menjadi sebuah kewajiban,

terutama terhadap tamu yang datang.

Dinamika Komunikasi Dalam Pembangunan Desa… Muhammad Najih Farihanto

213

Untuk itu, perlu ditanamkan secara

gradual agar itu semua menjadi budaya.

Sebagai panutan tentu saja warga nantinya

secara perlahan akan meniru. Saya juga

tidak memaksakan mereka (para

pengurus) untuk terus atau tetap menjadi

pengurus desa wisata. sistem yang kita

gunakan yakni dengan pendekatan

kultural, ada beberapa yang sudah bekerja

di kantor, PNS, dan mahasiswa. Siasat kita

yakni dengan merekrut pengganti warga

sekitar dengan cara ditawarkan. Cara kerja

kita berbasis kolektivitas, sama-sama,

gotong royong, sosial. Konsepnya adalah

pemberdayaan, tidak ada unsur paksaan..”

(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)

Littlejohn dan Foss (2009: 395) menyatakan

bahwa organisasi dapat dihasilkan melalui interaksi

antara anggotanya. Dengan kata lain, komunikasi

dianggap sebagai sebuah alat bantu oleh anggota

organisasi sebenarnya merupakan media yang

menjadikan organisasi tersebut ada. Komuniasi

organisasi merupakan pengiriman dan penerimaan

pesan di antara elemen-elemen komunikasi yang

merupakan bagian dari semuah organisasi.

Komunikasi organisasi bisa dilakukan secara vertikal

maupun horisontal antar anggota organisasi.

Komunikasi organisasi baik formal maupun sosial

tidak hanya dilakukan internal organisasi tetapi juga

dilakukan dengan ekternal organisasi.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam membangun desa waisata Brayut,

banyak sekali permasalahan yang dihadapi darmadji

dan rekan-rekannya, salah satunya adalah dari warga

yang belum mengerti apa itu desa wisata. Saat itulah

Darmadji mengedukasi dan perlahan mengajak

warga setempat untuk berpartisipasi dalam

pembangunan desa wisata seperti rumah warga yang

akan menjadi home stay, pemandu wisata, pengelola

desa wisata, aktif dalam kelembagaan atau pengurus.

Tujuan edukasi itu menurutnya adalah untuk

membangun paradigma positif kepada warga bahwa

desa wisata untuk pemberdayaan masyarakat dan

yang paling penting warga bisa menjadi pelopor

pariwisata di kampungnya sendiri. Tentunya segala

proses pengembangan potensi pariwisata yang

berbasis kearifan lokal. Kendala tidak hanya datang

dari warga tetapi juga dari pemerintah yang kurang

mendukung berdirinya desa wisata sebagai wisata

alternatif. Namun sekarang ini, antara pemerintah

dan desa wisata satu sepakat, satu tujuan, satu tujuan,

bahkan Pemerintah Kabupaten Sleman mengklaim

desa wisata menjadi salah satu program

unggulannya. Karena ada tiga hal keunggulan

Sleman, yakni desa wisata, agrowisata, minapolitan.

Di desa wisata Brayut terjadi dinamika

komunikasi di mana terdapat interaksi antara warga

satu dengan warga yang lain saling mempengaruhi

salah satunya pada saat akan diselenggarakannya

ngayogjazz yang sempat ditolak oleh beberapa

warga. Selain itu juga ditemukan dinamika

komunikasi yang terjadi di dalam organisasi

kepengurusan desa wisata Brayut. Komunikasi

formal yang terjadi di desa wisata Brayut terjadi pada

saat rapat rutin dan beberapa kordinasi lainnya.

Komunikasi informal organisasi di desa wisata

Brayut terjadi pada keseharian para anggotanya.

Tidak adanya kordinasi rutin apabila tidak ada tamu

yang akan berkunjung atau menginap di desa wisata

Brayut memudahlan para pengurus organisasi dalam

berkordinasi atau saling bertukar pikiran untuk

memajukan pembangunan desa wisata. kordinasi

informal justru membuat nyaman para anggota

organisasi. Hal ini amat sangat lumrah ketika peneliti

melihat sistem sosial yang masih tradisional.

Ditunjang dengan budaya jawa yang masih sangat

kental dan tidak mendukung masyarakat untuk

ekspresif. Dengan kata lain bahwa komunikasi yang

terjadi adalah komunikasi tingkat tinggi atau high

context communications yang lekat dengan budaya

indonesia pada umumnya khususnya budaya jawa.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arief. 1996. Teori Pembangunan Dunia

Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Furqon,Choirul.Hakikat Komunikasi Organisasi.

http://file.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._M

Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 203-214

214

ANAJEMEN_FPEB/197207152003121-

CHAIRUL_FURQON/Artikel-

Organizational_Communication.pdf . Diakses

Pada Tanggal 18 Maret 2013.

Goldhaber, Gerald M,tt. 1986. Organizational

Communication Fourth Edition. Wm. C,

Brown Publishers.

Littlejhon, Steven W & Foss, Karen A. 2009.

Theories of Human Communications, 9th

Edition. Belmont Thomshon Wadsworth.

Liliweri, Alo. 2004. Wacana Komunikasi

Organisasi. Bandung: CV. Mandar maju.

Muhammad, Arni. 2007. Komunikasi Organisasi.

Jakarta: Bumi Aksara.

Moleong, Lexy J. 2009. Metode Penelitian

Kualitatif. Bandung: remaja Rosda Karya.

Nasution, Z., 2002. Komunikasi Pembangunan:

pengelanan Teori dan Penerapan. Edisi revisi,

Jakarta: Rajawali Pers.

Noor, M. 2008. Strategi komunikasi dan

pembangunan pusat masyarakat perikanan.

Jurnal aplikasi manajemen vol. 6 no. 1, tahun

2008, hlm 273-280.

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/6108273

280.pdf (diakses pada 11 November 2014)

Pace, R Wayne & Faules, Don, F. 2010. Komunikasi

Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja

Perusahaan. Terjemahan: Deddy Mulyana.

Bandung : Remaja Rosda Karya.

Quarry, W and Ramirez, R., 2009., communications

for another development. Listening before

telling. London: zed books.

Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian

Sosial : Buku Sumber Untuk Penelitian

Kuanlitatif. Yogyakarta: Tirta Wacana.

Schraam, W., 1964, the role of informations in

national development. Abridge version of mass

media and national development, californiua:

standford university press.

Wirmer, Roger D & Dominick, Josep R. 2006. Mass

Media Researc an Introductions. Australia:

Tomshon.

Yin, Robert K. 2004. Studi Kasus, Desain dan

Metode. Jakarta: Raja Grafindo.

Wiryanto. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi.

Jakarta : Gramedia Wilasarana Indonesia.

ISI VOLUME 19

Nomor 1

Alvin Yulityas Sandy

Kebijakan Komunikasi Pada Proyek Eksplorasi Panas Bumi Di Baturaden Dalam

Perspektif FPIC

(Communication Policy of Geothermal Exploration At Baturaden on FPIC

Perspective)

1

Muhammad Rustam

Survei Penggunaan Telepon Genggam Pada Masyarakat Nelayan Di Kecamatan Pulau

Dullah Utara, Kota Tual Provinsi Maluku

(The Survey Of Mobile Phone Use At Fishermen Community On North Dullah Island

Tual City, Province Maluku)

11

Emilsyah Nur

Pemanfaatan Tik Dalam Menunjang Produksi Pertanian Di Kabupaten Soppeng

(ICT Utilization To Suppport Agriculture Production At Soppeng Regency)

23

Sarwani

Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Strategi Komunikasi Sekda Terhadap Kinerja

Pegawai Di Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan

(Influence Of Leadership Style And Communication Strategy Of Regional Secretary

Leader To The Employee’s Performance At The Regional Secretary Of South

Kalimantan Province)

35

Udi Rusadi

Pengaruh Faktor Demografis Masyarakat Kota Terhadap Literasi Berita Televisi

(The Influence Of Demographic Factors Of The Urban Society Toward Television

News Literacy)

47

ISI VOLUME 19

Nomor 2

Laila

Eksistensi Media Tradisional Sebagai Media Informasi Publik

(Existence of Traditional Media as Publik Information Media)

63

Atjih Ratnawati

Kepuasan Pelanggan Terhadap Jasa Pengiriman Surat Dan Paket

(Customer Satisfaction Towards Mail and Package Delivery Service)

83

Hartiningsih

Tanggapan Masyarakat Terhadap Konten Media Massa Dalam Kasus Konflik Antar

Warga Di Kabupaten Sigi

(People Response Toward Mass Media News In Conflict Among People In Sigi

Regency)

95

Atika dan Tri Indah Rusli

Pemanfaatan Radio Komunitas Sebagai Media Informasi Dan Komunikasi Masyarakat

Di Sulawesi Tenggara

(the Utilization of Community Radio as the Information and Communication Media for

Society in Southeast Sulawesi)

107

Kasianto

Kebutuhan Informasi Kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah

(the need of Information for the Grass Roots)

123

ISI VOLUME 19

Nomor 3

Andika Bayu Saputra

Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi Sistem Informasi Manajemen

Rumah Sakit

(The Identification of Success Factors Implementation Managemen Information Of

Hospital)

135

Belinda Devi Larasati Siswanti

Peran Expert Prescriber Dan Problem Solving Facilitator Humas Pemprov Kalsel

Dalam Melayani Informasi Publik

(Role of Expert Pescriber and Problem Solving Process of Public Relations Provincial

Facilitator of South Borneo Serving in Public Information)

149

Noviana Sari

Imperialisme Budaya Dalam Media

(Culture Imperialism in Media)

167

Intan Putri Cahyani

Adopsi Google Apps For Education Di Perguruan Tinggi: Sebuah Kolaborasi Real-

Time Dosen Dan Mahasiswa

(Adoption of Google Apps for Education at Universities: A Realtime Collaboration of

Lecturers and Students)

183

Muhammad Najih Farihanto

Dinamika Komunikasi Dalam Pembangunan Desa Wisata Brayut Kabupaten Sleman

(Dynamics of Communication in the Development on Tourist Village Brayut Sleman

Regency)

203

INDEKS PENULIS VOLUME 19

A

Atika 107

C

Cahyani, Indah Putri 183

F

Farihanto, Muhammad Najih 203

H

Hartiningsih 95

K

Kasiyanto 123

L

Laila 63

N

Noviana Sari 167

Nur, Emilsyah 23

R

Ratnawati, Atjih 83

Rusadi, Udi 47

Rusli, Tri Indah 107

Rustam, Muhammad 11

S

Sandy, Alvin Yulityas 1

Saputra, Andika Bayu 135

Sarwani 35

Siswanto, Belinda Devi Larasari 149

INDEKS KATA KUNCI VOLUME 19

A

Analisis Wacana 168, 169, 170, 171,

175, 182

B

Berita 95, 96, 97, 98, 99,

100, 101, 102, 103,

104, 105

Berita Televisi 47, 48, 49, 51, 53, 57

D

Demografis 47, 48, 49, 50, 51,

52, 53, 54, 55, 56,

57, 58, 59, 60, 61, 62

Desa Wisata 203, 204, 206, 207,

208, 209, 210, 211,

212, 213

Difusi Inovasi 183, 184, 185, 187,

188, 189, 190, 197,

199, 200, 202

Digital Immigrant 183, 184, 186, 187,

200, 201

Digital Native 184, 186, 187, 192,

200, 201

Dinamika

Komunikasi

203, 204, 205, 206,

207, 208, 209, 210,

211, 212, 213, 214

E

Eksistensi 63, 64, 65, 66, 67,

68, 69, 70, 71, 72,

73, 74, 75, 76, 77,

78, 80, 81, 82

Expert Prescriber 149, 150, 151, 152,

153, 154, 155, 156,

157, 158, 159, 160,

161, 162, 163, 164,

165, 166

F

Fashion 167, 168, 169, 170,

171, 172, 173, 174,

180, 181, 182

Free Prior of

Informed Consent

1, 2, 3, 5, 9

G

GAFE 183, 184, 185, 186,

187, 189, 192, 193,

194, 195, 196, 197,

198, 199, 200, 201

Gaya Hidup 167, 168, 180, 181

Gaya

Kepemimpinan

35, 36, 37, 38, 39,

40, 41, 42, 43, 44

H

Humas 149, 150, 151, 152,

153, 154, 155, 156,

157, 158, 159, 160,

161, 162, 163, 164,

166

I

Imperialisme

Budaya

167, 168, 169, 170,

171, 172, 173, 174,

175, 176, 177, 178,

179, 180, 181, 182

Infrastruktur TIK 23, 24

Informasi 107, 108, 109, 110,

111, 114, 115, 116,

117, 118, 119, 120,

121

Informasi Publik 63, 64, 65, 66, 67,

69, 70, 71, 72, 73,

74, 75, 76, 77, 78,

80, 81

Implementasi 1, 2, 5

K

Kebutuhan

Informasi

123, 124, 125, 126,

127,128, 129, 130,

131, 132, 133, 134

Kesenjangan

Digital

123

Kinerja Pegawai 35, 37, 38, 39, 41,

42, 43, 44, 45

Komunikasi 107, 108, 109, 110,

111, 112, 113, 114,

115, 116, 117, 118,

119, 120, 121, 122

Konflik 95, 96, 97, 98, 99,

100, 101, 102, 103,

104

Kualitas 83, 84, 85, 86, 88,

89, 90, 91, 92, 93, 94

L

Layanan 83, 84, 85, 86, 87,

88, 89, 90, 91, 92,

93, 94

Literasi 47, 48, 49, 50, 51,

52, 53, 54, 55, 56,

57, 58, 59, 60, 61

M

Majalah 167, 168, 169, 170,

171, 172, 173, 174,

175, 180, 182

Manajemen 135, 136, 137, 138,

143, 144, 145, 146,

147, 148

Masyarakat

Berpenghasilan

Rendah

123, 124, 125, 126,

127,128, 129, 130,

131, 132, 133,

Masyarakat Kota 47, 48, 49, 50, 51,

52, 53, 54, 55, 56,

57, 58, 59, 60, 61, 62

Masyarakat

Nelayan

11, 12, 13, 18, 19, 20

Media Massa 95, 96, 97, 98, 99,

100, 101, 102, 103,

104, 105

Media Tradisional 63, 64, 65, 66, 67,

68, 69, 70, 71, 72,

73, 74, 75, 76, 77,

78, 80, 81, 82

N

Negara-Pasar-

Publik

1

P

Pertanian 23, 24, 25, 26, 27,

28, 29, 31, 32

Pembangunan 203, 204, 205, 206,

207, 208, 209, 210,

211, 212, 213, 214

Pemerintah 149, 150, 151, 152,

153, 154, 155, 156,

157, 158, 159, 160,

161, 162, 163, 164,

166

Pemerintah Daerah 23, 27, 32

Penggunaan 11, 12, 13, 14, 15,

16, 17, 18, 19, 20,

21, 22

Pos 83, 84, 85, 86, 87,

88, 89, 90, 91, 92,

93, 94

Problem Solving

Process Facilitator

149, 151, 163

Produksi 23, 24, 25, 26, 27,

28, 29, 30, 31, 32,

33, 34

R

Radio Komunitas 107, 108, 109, 110,

111, 112, 113, 114,

115, 116, 117, 118,

119, 120, 121, 122

Rubrik 167, 168, 169, 170,

171, 172, 173, 174,

175, 176, 177, 178,

179, 180, 181

Rumah Sakit 135, 136, 137, 138,

140, 144, 145, 146,

147, 148

S

Strategi

Komunikasi

35, 37, 38, 39, 40,

41, 42, 43, 44, 45

Sistem informasi 135, 136, 137, 138,

139, 144, 145, 146,

147, 148

T

Teknologi Cloud

Computing

183, 184, 18, 195,

201

Telepon Gengam 11, 12, 13, 14, 15,

16, 17, 18, 19, 20,

21, 22

TIK 123, 124, 125, 129,

131, 132, 133

W

Warga 95, 96, 98, 100, 101,

102, 103, 104

PETUNJUK PENULISAN NASKAH

“JURNAL PENELITIAN PERS DAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN”

I. KETENTUAN UMUM

A. Makalah adalah Karya Tulis Ilmiah (KTI) hasil penelitian atau kajian fenomena informasi, media massa,

komunikasi pembangunan, baik komunikasi politik maupun komunikasi publik serta teknologi

komunikasi dan informatika.

B. Kajian karangan/tinjauan buku ilmiah maksimal dua tahun terkahir, mengenai masalah komunikasi serta

pendekatan baru dalam ilmu komunikasi dam informatika.

C. Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan terbit tiga kali dalam satu tahun. Terbitan pertama

Nomor 3 bulan Februari, terbit kedua Nomor 1 bulan Juni, dan terbit ketiga Nomor 2 bulan Oktober.

D. Penulis yang menyerahkan naskah harus menjamin bahwa naskah yang diajukan tidak melanggar hak

cipta, belum pernah dipublikasikan dan tidak sedang diajkan ke media lain untuk dipublikasikan.

E. Apabila dikemudian hari diketahui ada double pemuatan atas naskah yang sama tanpa ada

penyempurnaan, pembaruan isi, data, dan/atau tidak merujuk publikasi sebelumnya maka penulis yang

bersangkutan akan masuk daftar hitam dari penerbitan selanjutnya.

F. Apabila setelah dimuatnya naskah diketahui adanya plagiasi dalam berbagai jenis maka naskah dicabut

dari Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan dan diumumkan pada penerbitan berikutnya.

G. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris.

H. Naskah diketik pada kertas ukutan A4 (210 mm x 297 mm), dengan spasi 1,15. A4 (210 mm x 297 mm).

Margin yang digunakan adalah: Atas (top), 32 mm; Kiri (left), 20 mm; Bawah (bottom) 20 mm; Kanan

(right), 20 mm. Jumlah halaman antara 10 sampai 25 halaman.

I. Semua naskah yang masuk ke redaksi akan ditelaah Mitra Bestari sesuai dengan bidang kepakarannya.

J. Untuk menjaga objektivitas penelaahanm setiap artikel yang dikirim ke Mitra Bestari dalam keadaan

blind review.

K. Apabila hasil penelaahan menuntut adanya perbaikan subtansi, maka naskah akan dikembalikan kepada

penulis untuk direvisi. Namun, kalau perbaikan sebatas redaksional akan ditangani oleh redaktur.

L. Sebagai ujibaca atas naskah siap cetak yang akan diterbitkan, penulis akan menerima proof-reading

untuk dilakukan pemeriksaan, dan diminta menandatangai lembar pernyataan persetujuan klirens etik.

M. Naskah yang masuk ke redaksi menjadi milik redaksi. Artikel yang tidak dimuat akan diberitahukan

dengan secara tertulis dan dikembalikan kepada penulis dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan

sejak waktu penerbitan.

II. KETENTUAN KHUSUS

A. JUDUL: ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Judul dibuat tidak lebih dari 2 (dua) baris

berikisar antara 10-15 kata dan harus mencerminkan inti dari naskah. Judul diketik dengan font Times

New Roman dengan ukuran 14.

B. NAMA PENULIS: dicantumkan di bawah judul tanpa mencantumkan gelar, ditulis dengan font Times

New Roman, dengan ukuran 12, di bawah nama penulis diikuti lembaga tempat penulis bekerja, alamat

instansi, nomor telepon, faximile, nomor handphone, serta alamat email penulis.

C. ABSTRAK: ditulis dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, dengan menggunakan font Times New

Roman dengan ukutan 10, dengan 1 spasi, minimal 150 kata, dan maksimal 200 kata tanpa paragraf. Isi

abstrak memuat lokasi penelitian – tujuan – metode penelitian – hasil – kesimpulan – saran-saran (kalau

ada)

D. KATA KUNCI: dalam abstrak ditulis dibawah abstrak dengan minimal 3 (tiga) kata, dan maksimal 5

(lima) kata. Judul, abstrak, dan kata kunci berbahasa Inggris dicetak miring (italic)

E. SISTEMETIKA PENULISAN NASKAH sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bagian pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, hipotesa

(jika ada), dan tinjauan pustaka (temuan penelitian terdahulu, teori/konsep yang digunakan). Semua

unsur tersebut tidak terbagi dalam subbab seperti penulisan laporan teknis.

II. METODOLOGI

Metode penelitian yang dicantumkan hendaknya memuat Jenis dan Pendekatan Penelitian, Lokasi Penelitian,

Waktu Penelitian, Populasi dan Sample, Teknik Pengumpulan Data, Pengolahan data, dan Lainnya yang penting

dan dibutuhkan dalam metode penelitian

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Berisi hasil-hasil atau temuan penelitian. Pembaban diperlukan untuk memudahkan fokus

terhadap hasil penelitian.Sedangkan Pembahasan Isinya mencakup hasil telaah dan analisa serta

terhadap hasil penelitian.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Adalah hasil dari pembahasan yang menjawab permasalahan penelitian. Isi kesimpulan dan saran tidak

dalam pointer, tetapi dalam bentuk paragraf.

UCAPAN TERIMA KASIH

Berisi ucapan terima kasih kepada suatu instansi jika penelitian ini didanai atau mendapat dukungan

oleh instansi tersebut, atau jika ada pihak yang secara signifikan membantu langsung penelitian atau

penulisan artikel ini, jika pihak tersebut sudah tercantum sebagai penulis, maka tidak diperlukan lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Lihat Poin J.

F. TUBUH NASKAH: diatur dalam Bab dan Sub Bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan. Semua

nomor ditulis rata di batas kiri tulisan seperti berikut:

I, II, III, IV, V untuk Bab

A, B, C, D, dst untuk Sub Bab

1, 2, 3, 4, dst untuk Sub Subbab

a, b, c, d, dst untuk Sub Sub Subbab

G. TABEL: Menggunakan font Calibri, ukuran 10 harus diberi nomor, dan judul tabel diatas tabel. Nomor

tabel ditulis tebal, dan judul tidak tebal. Tabel ditulis dalam dua Bahasa, Indonesia dan Inggris, dengan

tulisan inggris menggunakan italic, atau miring. Dibawah ditulis sumber tabel, serta tahun tabel.

Tetapi jika sumber adalah olahan dari hasil penelitian tidak dicantumkan sumber tabel.

Keterangan, catatan, atau lainnya diperlukan jika perlu, dan ditulis dibawah sumber dengan dua Bahasa.

Contoh tabel seperti dibawah ini. Untuk persentase menggunakan (minimal) dua angka dibelakang koma.

Tabel 1. Jumlah Populasi Kab Kota Propinsi Lokasi Penelitian

Table 1. Total Population at Research Area

Lokasi Penelitian (Research Location )

Jumlah Populasi (Total Population)

Persentase % (Percentage %)

Kota Banjarmasin 482.624 48,85 Kabupaten Balangan 112.430 11,38 Kabupaten Hulu Sungai Selatan 166.081 16,81 Kabupaten Kotabaru 226.803 22,95

JUMLAH 987.938 100,00

Sumber: Kalimantan Selatan, Dalam Angka. BPS, 2011 Source: South Kalimantan, In Number. Central Agency of Statistics of Indonesia. 2011

Keterangan :

a. Keterangan tidak harus mengunakan huruf,

tetapi bisa angka, atau pointer, atau keterangan

lain seperti n, %, dan lainnya

b. ...

Remarks:

a. Remarks not must using character, can using

number, pointer, or other remarks, like n, % or

etc.

b. ...

H. GAMBAR: Grafik dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus konstras dan dibuat dengan warna yang

mencolok, sehingga memudahkan dalam melihat isi gambar. Setiap gambar harus diberi nomor, judul dan

keterangan yang jelas, dan dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

I. FOTO: Foto harus mempunyai ketajaman (sesolusi) yang baik, diberi judul dan keterangan yang jelas

dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

J. DAFTAR PUSTAKA:

- Naskah untuk Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan harus didukung pustaka acuan primer

minimal 15 dan diharapkan 80% berasal merupakan kutipan dari jurnal nasional dan atau jurnal

internasional.

- Pustaka acuan untuk penulisan naskah diharapkan lebih banyak menggunakan publikasi 5 tahun terakahir.

- Tidak diperkenankan menggunakan sumber yang berasar dari Wikipedia.

- Ditulis dengan merujuk pada format Harvard System of Refrencing (Penulis – Tahun Sistem).

- Lebih baik menggunakan aplikasi Mendeley (unduh disini: www.mendeley.com/download-mendeley-

desktop), agar lebih mudah dalam penyusunan Daftar Pustaka.

- Penulisan daftar pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad berdasarkan nama belakang penulis

buku/sumber dengan mencantumkan nama penulis, tahun terbit, judul pustaka, terbitan (Vol. No. Hal),

kota penerbit, dan penerbit.

- Contoh penulisan di dalam naskah:

Penulis yang dimasukan di dalam tulisan:

Secara umum, saat menulis publikasi profesional, sebaiknya melatih untuk membuat daftar pustaka

dari penelitian lain yang telah diterbitkan. Ini terlihat dari penelitian dari Cormack (1994).

Cormack (1994, hal.32-33) menyatakan bahwa ”saat menulis publikasi profesional, penulis hendaknya

membuat refrensi daftar pustaka dari karya yang sudah diterbitkan”.

Penulis yang tidak dimasukan di dalam tulisan:

Membuat daftar pustaka untuk publikasi menunjukan bahwa karakteristik untuk pembaca profesional

(Cormack 1994)

- Contoh Penulisan di daftar pustaka:

Jurnal :

Nama Belakang, Inisial Nama Depan., Inisial Nama Tengah., Tahun. Judul Naskah. Nama Jurnal,

volume(Nomor), hal.pertama-terakhir

Hamjen, H., 2013. Penggunaan Perangkat Komunikasi Terhadap Akses Konten Cyberporn Oleh

Masyarakat. Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan. 17(2), hal.118-134.

Buku :

Nama Belakang, Inisial., Tahun. Judul Buku. Edisi (hanya dimasukan jika bukan edisi pertama). Kota

Publikasi: Penerbit

Kasiram, M., 2010. Metode Penelitian Kualitatif-Kuantitatif. Malang: UIN-Maliki Press.

Baran, S., J., dan Davis, D., K., 2010. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and future

5th edition. Singapore: Cengage Learning

- Untuk informasi lengkap tentang penulisan Harvard System of Cititation dapat dilihat di

http://libweb.anglia.ac.uk/referencing/harvard.htm

III. KETENTUAN LAIN:

A. Artikel dikirimkan sebanyak 1 (satu) ekslemplar hardcopy atau softcopy berupa file dalam format .doc,

.docx, atau .odt. kepada:

Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan

Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Banjarmasin

Jl. Yos Sudarso No.29 Banjarmasin,

Kalimantan Selatan 70119.

Atau email ke:

[email protected] atau [email protected]

Untuk penamaan File sebagai berikut Naskah KTI_Nama Penulis_Judul

B. Penulis dari luar Instansi Badan Litbang Kementerian Komunikasi dan Informatika diharapkan

menyertakan Curriculum Vitae (CV), Nomor Hp dan alamat yang jelas.

Contact Person : Firda Abraham – 08125313529

Syarifuddin – 081351756008

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA RI