Upload
khangminh22
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Penelitian Pers ISSN: 1410-8283
Dan Komunikasi Pembangunan
Vol. 19 No.3, Februari 2016
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan adalah publikasi hasil penelitian atau kajian fenomena informasi, media massa,
komunikasi pembangunan, baik komunikasi politik maupun komunikasi publik serta teknologi komunikasi dan informatika.Jurnal ini
diterbitkan tiga kali dalam setahun pada bulan Februari, Juni, dan Oktober oleh Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi
dan Informatika (BPPKI Banjarmasin), Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Journal of Press Research and Development Communication is a scientific publication reporting research or study from phenomena
of information, mass media, development communication, politic communication as well as public communication and informatics
and communication technology. The journal is published three times per years, in February, June, and October by Informatics and
Communication Technology Assessment and Development Institute of Banjarmasin, Research and Human Resource Development Agency, Ministry of Communication and Informatics of Indonesia
Pelindung (Condescendent) : Laila, S.H., M.Med.Kom (Kepala BPPKI Banjarmasin)
Dewan Redaksi (Editor Board)
Penanggung Jawab (Editor in Chief) : Drs. A. Mishbahruddin. (Peneliti Madya Komunikasi Politik)
Anggota (Members) : 1. Dra. Hartiningsih, M.I.Kom. (Peneliti Utama Media Massa)
2. Hendrawati, S.H, (Peneliti Utama Bidang Komunikasi)
3. Siti Jamzaroh, S.S., M.Hum (Peneliti Muda Balai Bahasa Kalimantan Selatan)
4. Sri Astuty, S.Sos., M.Si (Komunikasi Universitas Lambung Mangkurat)
Mitra Bestari (Peer Reviewer) : 1. Prof. (Riset). Drs. Rusdi Muchtar, M.A,
(Komunikasi/Opini Publik, Universitas Islam Kalimantan)
2. Prof. Dr. Henri Subiakto, S.H., M.A
(Komunikasi dan Media Massa, Universitas Airlangga)
3. Dr. Muhammad Farid, M.Si
(Komunikasi Organisasi, Universitas Hasanuddin)
4. Fathul Wahid, M.Sc., Ph.D
(eGovernment, ICT4D, Enterprise System, Universitas Islam Indonesia)
5. Juhriyansyah Dalle, S,Pd., S.Si., M.Kom., Ph.D.
(Teknologi Komunikasi dan Informatika, Universitas Lambung Mangkurat)
6. Muliadi Mau, S.Sos., M.Si
(Komunikasi dan Media Massa, Universitas Hasanuddin)
7. Dr., Drs. Widodo Agus Setianto, M.Si
(Komunikasi Budaya, Universitas Gajah Mada)
8. Fahriannoor, S.IP., M.Si.
(Komunikasi, Universitas Lambung Mangkurat)
Redaksi Pelaksana (Managing Editor) : 1. Agus Budiman, S.Kom
2. Syarifuddin, M.A
3. Siti Alfa Ariestya, S.S
4. Firda Zulivia Abraham, S.Kom.
5. Hilarion Hamjen, S.T
Diterbitkan Oleh (Published By):
BPPKI Banjarmasin (Informatics and Communication Technology Assessment and Development Institute of Banjarmasin)
Badan Penelitian dan Sumber Daya Manusia (Research and Human Resource Development Agency)
Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia (Ministry of Communication and Informatics of Indonesia)
Alamat (address) : Jalan Yos Sudarso No.29 Banjarmasin, Kalimantan Selatan 70119, Indonesia
Telepon (telephone) : +62-511-3353849
Fax (Facsimile) : +62-511-3353849
Email : [email protected]
Website : http://www.jurnal-p2kp.id
Percetakan (Printing Company) : CV. Ananda Prima Jasa Banjarmasin
| I
UCAPAN TERIMA KASIH
Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari (Peer Reviewer) yang telah menelaah
naskah yang dimuat pada edisi Vol. 19
1. Prof. (Riset). Drs. Rusdi Muchtar, M.A.,
2. Prof. Dr. Henri Subiakto, S.H., M.A
3. Dr. Muhammad Farid, M.Si
4. Juhriyansyah Dalle, S,Pd., S.Si., M.Kom., Ph.D.
5. Muliadi Mau, S.Sos., M.Si
6. Dr. Drs. Widodo Agus Setianto, M.Si
7. Fahriannoor, S.IP., M.Si.
Banjarmasin, Februari 2016
Dewan Redaksi
Kata Pengantar | III
KATA PENGANTAR
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan (Jurnal P2KP) sudah terbit berkala
setiap tahun mulai tahun 1996. Edisi Cetak Jurnal P2KP yang telah berusia 20 tahun telah
memberikan perannya sebagai komunikasi ilmiah, menampung gagasan dan karya inovatif serta
kreatif, mempublikasikan lebih dari 300 karya tulis ilmiah untuk dapat diterima oleh dunia ilmu
pengetahuan, serta tidak ketinggalan peran sebagai desiminasi informasi, Volume 19 Nomor 3,
Februari 2016 ini edisi cetak terakhir bagi Jurnal P2KP. Perkembangan teknologi semakin membuat
kami untuk mengikuti bentuk dari perkembangannya. Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi
Pembangunan selanjutnya bisa di akses melalui internet dengan alamat jurnal-p2kp.id.
Pada Volume 19 No.3 ini berisi tulisan beragam dari berbagai daerah serta instansi. Yang
pertama penelitian mengenai Identifikasi Faktor-Faktors Keberhasilan Implementasi Sistem
Informasi Rumah Sakit, oleh Andika Bayu Saputra dari Magister Teknik Informatika Universitas
Islam Indonesia. Selanjutnya penelitian mengenai peran Humas Pemerintah dan menjalankan
perannya sebagai expert prescriber dan problem solving facilitator, oleh Belinda Devi Larasati
Siswanto. Selain itu ada topik mengenai analisis wacana, dengan judul Imperialisme Budaya Dalam
Media yang ditulis oleh Noviana Sari dari Universitas Lambung Mangkurat. Lalu dari Intan Putri
Cahyani dari Universitas Pancasakti Tegal mengenai Adopsi Google Apps For Education di
Perguruan Tinggi. Dan Terakhir Muhammad Najih Farihanto, dari Universitas Ahmad Dahlan,
tentang Dinamika Komunikasi dalam Pembangunan Desa Wisata Brayut Kabupaten Sleman
Demikian kiranya, semoga artikel terdapat pada jurnal kal ini dapat memberikan manfaat
bagi ilmu pengetahuan maupun bagi para pengambil kebijakan dan para stakeholder yang terlibat.
Banjarmasin, Februari 2016
Redaksi,
Daftar Isi | V
JURNAL PENELITIAN PERS ISSN: 1410-8283
DAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN
Vol. 19 No.2 Oktober 2015
DAFTAR ISI
(CONTENTS)
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR KEBERHASILAN IMPLEMENTASI SISTEM
INFORMASI MANAJEMEN RUMAH SAKIT
(The Identification of Success Factors Implementation Managemen Information Of
Hospital)
Andika Bayu Saputra…...................................................................................................... 135 – 148
PERAN EXPERT PRESCRIBER DAN PROBLEM SOLVING FACILITATOR HUMAS
PEMPROV KALSEL DALAM MELAYANI INFORMASI PUBLIK
(Role of Expert Pescriber and Problem Solving Process of Public Relations Provincial
Facilitator of South Borneo Serving in Public Information)
Belinda Devi Larasati Siswanto.......................................................................................... 149 – 166
IMPERIALISME BUDAYA DALAM MEDIA
(Culture Imperialism in Media)
Noviana Sari........................................................................................................................ 167 – 182
ADOPSI GOOGLE APPS FOR EDUCATION DI PERGURUAN TINGGI: SEBUAH
KOLABORASI REAL-TIME DOSEN DAN MAHASISWA
(Adoption of Google Apps for Education at Universities: A Realtime Collaboration of
Lecturers and Students)
Intan Putri Cahyani……..................................................................................................... 183 – 202
DINAMIKA KOMUNIKASI DALAM PEMBANGUNAN DESA WISATA BRAYUT
KABUPATEN SLEMAN
(Dynamics of Communication in the Development on Tourist Village Brayut Sleman
Regency)
Muhammad Najih Farihanto............................................................................................... 203 – 214
Lembar Abstrak | I
JURNAL PENELITIAN PERS ISSN: 1410-8283
DAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN
Vol. 19 No.3 Februari2015
Kata Kunci Bersumber dari artikel. Lembar Abstrak ini boleh di fotocopy tanpa izin dan biaya
Alvin Yulityas Sandy
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
KEBIJAKAN KOMUNIKASI PADA PROYEK EKSPLORASI PANAS BUMI DI
BATURADEN DALAM PERSPEKTIF FPIC
JP2KP, Vol. 19 No.1, Juni 2015, hal.1-10
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan nilai FPIC (Free Prior of Informed Consent)
pada proyek eksplorasi panas bumi di Gunung Selamet, baik oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Banyumas
sebagai entitas negara, maupun oleh PT. Sejahtera Alam Energy sebagai entitas perusahaan. Penelitian ini
menggunakan metode study kasus, dengan perspektif relasi negara, pasar dan publik, penggunaan pendekatan
implementasi nilai FPIC yang diterapkan oleh pihak Pemda Banyumas dan PT.SAE, berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan pelaksanaan FPIC masih jauh dari tataran ideal, terutama menggunakan standar
pelaksanaan UN REDD ++ Indonesia. Dari sisi regulasi, FPIC sebetulnya sudah ada dan diatur dalam serakan
peraturan dan perijinan, namun masih lemah pada tataran teknis tafsir pelaksanaan, sehingga menghasilkan
bentuk komunikasi publik yang cenderung model komunikasi satu arah (linear), tidak mencerminkan
komunikasi transaksional yang berbasiskan pada program dan nilai Free Prior of Informed Consent.
Kata Kunci : Implementasi, Free Prior of Informed Consent, Negara-Pasar-Publik.
Muhammad Rustam
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Makassar
SURVEI PENGGUNAAN TELEPON GENGGAM PADA MASYARAKAT NELAYAN DI
KECAMATAN PULAU DULLAH UTARA, KOTA TUAL PROVINSI MALUKU
JP2KP, Vol. 19 No.1, Juni 2015, hal.11-22
Abstrak
Telepon genggam atau handphone (HP) merupakan perangkat telekomunikasi elektronik yang mempunyai
kemampuan dasar yang sama dengan telepon konvensional saluran tetap.Mobile phone ini dapat dibawa ke
mana-mana (portabel mobile) dan tidak perlu disambungkan dengan jaringan telepon menggunakan kabel (nirkabel, wireless). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan telepon genggam, rata-
rata pengeluaran, dan penggunaan telepon genggam berdasarkan pembagian desa. Survei ini dilakukan dengan
melakukan wawancara tatap muka dengan responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Pemilihan
responden dalam rumah tangga menggunakan Kish Grid. Responden yang menggunakan telepon genggam
dalam tiga bulan terakhir sebanyak 39 orang (81,3%). Responden yang menyatakan memiliki telepon genggam
sebanyak 26 orang (54,2%) dengan rincian pengguna telepon genggam smartphone sebanyak 16 orang
(61,5%), sedangkan pengguna telepon genggam nonsmartphone sebanyak 10 orang (38,5%). Penggunaan
telepon genggam tertinggi dalam tiga bulan terakhir tertingi di Desa Ohotahit sebanyak 15 orang (93,8%),
sedangkan pengakuan responden terkait kepemilikan telepon genggam tertinggi di Desa Tamedan sebanyak
10 orang (62,5%). Mean untuk rata-rata pengeluaran komunikasi setiap bulan yang dikeluarkan oleh responden
II | Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016
Rp34.231,00. Masyarakat berharap agar ada pemasangan jaringan Telepon/HP dan Jaringan Internet yang
baik, murah dan terjangkau disiapkan seperti sarana dan prasarana TIK.
Kata Kunci : Penggunaan, Telepon genggam, Masyarakat Nelayan
Emilsyah Nur
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Makassar
PEMANFAATAN TIK DALAM MENUNJANG PRODUKSI PERTANIAN
DI KABUPATEN SOPPENG
JP2KP, Vol. 19 No.1, Juni 2015, hal.23-34
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mendesripsikan seberapa besar pemanfaatan TIK di kalangan
para petani di Kabupaten Soppeng untuk memenuhi kebutuhan akses informasi yang terkait dengan
permasalahan pengelolaan peningkatan produksi pertanian mereka. Penelitian bertujuan untuk
mengidentifikasi faktor apa yang mempengaruhi kebutuhan informasi melalui pemanfaatan TIK dan
bagaimana solusi dalam mengatasi masalah tesebut. Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Soppeng,
Provinsi Sulawesi Selatan yang dimulai dari bulan Januari sampai Maret 2015. Penelitian ini menggunakan
metode deskritif dan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam,
Kemudian data diproses dan dianalisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan TIK bagi para
petani di kabupaten Soppeng provinsi Sulawesi Selatan dalam meningkatkan produksi pertanian mereka
tergantung dari penyediaan infrastrktur jaringan internet, keterlibatan komunitas para petani seperti kelompok
tani dan kelompok informasi masayrakat serta ketersediaan SDM dalam mengelola media internet tersebut.
Pemerintah pusat dan daerah diharapkan dapat memberikan bantuan yang maksimal terhadap pembangunan
dan pengembangan jaringan internet hingga ke seluruh pelosok desa yang terdapat di kabupaten Soppeng, agar
para petani kita dapat mengetahui perkembangan terkini masalah pertanian secara global.
Kata Kunci : Infrastruktur TIK, Pemerintah Daerah, Produksi, Pertanian
Sarwani
Ilmu Komunikasi, Universitas Lambung Mangkurat
PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN DAN STRATEGI KOMUNIKASI SEKDA
TERHADAP KINERJA PEGAWAI DI SEKRETARIAT DAERAH
PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
JP2KP, Vol. 19 No.1, Juni 2015, hal.35-46
Abstrak
Penelitian bertujuan untuk menjelaskan pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Strategi Komunikasi Pimpinan
terhadap kinerja pegawai di Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan terhadap Kinerja pegawai. Untuk
menganalisa gaya kepemimpinan, peneliti menggunakan teori kepemimpian dua faktor oleh Fleishmann dan
rekan-rekannya di Ohio State University kemudian untuk menganalisa strategi komunikasi peneliti
menggunakan teori Smeltzer. Masalah yang ada pada saat ini adalah masih belum optimalnya tingkat kinerja
pegawai di Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan hasil riset dari Indonesian
Government Index IGI tahun 2013. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya seperti gaya
kepemimpinan dan strategi komunikasi. Dengan menggunakan metode penelitian survei dan uji regresi
berganda. Hasil penelitian itu secara simultan (bersama-sama) menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan dan
strategi komunikasi mempengaruhi secara signifikan kinerja pegawai di sekretariat daerah Provinsi
Kalimantan Selatan sebesar 74,8 %.
Kata Kunci : Gaya Kepemimpinan, Strategi Komunikasi, Kinerja Pegawai
Lembar Abstrak | III
Udi Rusadi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Literasi dan Profesi Badan Litbang SDM Kominfo
PENGARUH FAKTOR DEMOGRAFIS MASYARAKAT KOTA
TERHADAP LITERASI BERITA TELEVISI
JP2KP, Vol. 19 No.1, Juni 2015, hal.47-62
Abstrak
Pengaruh media dalam kajian komunikasi dan praktek media selalu menjadi perhatian karena dalam teori-teori
normatif, diharapkan mampu memberikan efek yang fungsional. Salah satu asumsi agar media berpengaruh
fungsional, ialah kondisi literasi masyarakatnya yang harus memadai. Berita TV sebagai salah satu produk
media memiliki karakteristik dan proses yang unik yang bebeda dengan produk lain yang bukan media,
sehingga diperlukan literasi tertentu masyarakatnya terhadap berita TV. Studi ini bertujuan menjelaskan
kondisi literasi masyarakat kota dan pengaruh faktor demografis terhadap literasi berita televisi. Penelitian
dilakukan di wilayah kota Banjarmasin Kalimantan Selatan, dengan metode Survey. Hasilnya menunjukkan,
masyarakat sudah memiliki literasi yang cukup kuat terhadap perlunya melakukan seleksi baik dalam aspek
isi, proses dan penilaian berita televisi. Perspektif literasi mereka masih dalam konteks positivistik, yang
melihat proses berita sebagai proses pengiriman realitas dan bukan konstruksi realitas. Tidak semua aspek
demografis mempengaruhi semua aspek literasi dan aspek jenis pekerjaan memiliki pengaruh pada elemen
literasi berita yang paling banyak.
Kata Kunci : Literasi, Berita Televisi, Masyarakat Kota, Demografis.
Laila
Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Banjarmasin
EKSISTENSI MEDIA TRADISIONAL SEBAGAI MEDIA INFORMASI PUBLIK
JP2KP, Vol. 19 No.2, Oktober 2015, hal.63-82
Abstrak
Penelitian eksistensi media tradisional sebagai media informasi publik dilakukan di wilayah Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah. Tujuannya untuk mengetahui eksistensi media pertunjukkan tradisional
sebagai media informasi publik dan informasi apa yang dianggap tepat bagi penonton. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Metode penelitian menggunakan studi
kasus untuk menjawab potensi media pertunjukkan rakyat tradisional manakah yang cocok sebagai media
informasi publik dan pesan-pesan apa saja yang dianggap tepat sesuai selera penonton. Hasil penelitian
diketahui bahwa media pertunjukkan rakyat di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah cukup banyak yang
dapat dijadikan sebagai sarana informasi publik, hanya saja yang eksis untuk di Kalimantan Selatan yakni
Madihin, bapantun, mamanda dan wayang, Sedangkan di Kalimantan Tengah yakni Kerungut dan Deder,
Informasi yang cocok disajikan melalui melalui media pertunjukkan rakyat beragam, sesuai dengan krakter
penontonnya. Bila penontonnya anak-anak muda, masalah larangan narkoba, minuman keras tetapi bila
penontonnya orang tua atau dewasa informasi tentang keluarga, politik dan lain sebagainya. Karene itu media
tradisional yang masih eksis dan dapat dijadikan sebagai media informasi publik, hendaknya bisa dijadikan
sebagai kelompok informasi masyarakat, yang pembinaannya tidak saja dari kementerian pariwisata atau
Dinas pariwisata, tetapi juga dari Kementerian Kominfo atau Dinas Komunikasi dan inforamatika yang ada di
daerah masing-masing.
Kata Kunci : Eksistensi, Media Tradisional, Informasi Publik
Atjih Ratnawati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Penyelenggaraan Pos dan Informatika
IV | Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016
KEPUASAN PELANGGAN TERHADAP JASA PENGIRIMAN SURAT DAN PAKET
JP2KP, Vol. 19 No.2, Oktober 2015, hal.83-94
Abstrak
Penyelenggaraan pos saat ini diatur dalam Undang-undang Pos No.38 tahun 2009 tentang Pos. Sebagai imbas
dari implementasi Undang-undang Pos yang baru tersebut, ada banyak jenis perusahaan jasa pos termasuk
ekspedisi. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan secara kuantitatif mengenai data dan informasi
terkait kualitas layanan jasa pengiriman surat dan paket PT Pos di kota Bandung ditinjau berdasarkan kepuasan
pelanggan. Sedangkan metode penelitian adalah metode survey dengan pendekatan kuantitatif dengan
mengacu pada teori kualitas layanan. Dilihat dari 5 (lima) aspek kualitas layanan yaitu kehandalan, daya
tanggap, jaminan, empaty dan bukti fisik, diketahui bahwa aspek kualitas kehandalan yang tinggi nilainya dan
yang rendah adalah aspek kualitas bukti fisik (tengibel). Jasa pengiriman surat dan paket PT Pos Indonesia
dalam memberikan layanannya kepada pelanggannya dinilai baik dan handal oleh masyarakat pengguna jasa
layanan pos.
Kata Kunci : Pos, Kualitas, Layanan
Hartiningsih
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Banjarmasin
TANGGAPAN MASYARAKAT TERHADAP KONTEN MEDIA MASSA DALAM KASUS
KONFLIK ANTAR WARGA DI KABUPATEN SIGI
JP2KP, Vol. 19 No.2, Oktober 2015, hal.95-106
Abstrak
Penelitian konten pemberitaan media massa kasus konflik antar warga di Kabupaten Sigi di lakukan di
Kabupaten Sigi. Tujuan penelitian untuk memberikan gambaran mengenai tanggapan masyarakat Kabupaten
Sigi terhadap konten pemberitaan media massa dalam kasus konflik antar warga di Kabupaten Sigi dari sudut
netralitas, akurasi berita dan dampak positif serta negatifnya berita tersebut bagi masyarakat Sigi. Melalui
pendekatan kualitatif dengan infoman yang ditentukan secara porpusive hasil penelitian menunjukkan, bahwa
konten pemberitaan media massa baik media cetak, maupun elektronik yang terdapat di Sulawesi Tengah
mengenai konflik yang terjadi di Kabupaten Sigi dianggap informan cukup netral, dan juga cukup obyektif
serta akurat. Indikasi tersebut antara lain pemberitaan media massa tentang tragedi Sigi sebagian besar sesuai
dengan fakta yang terjadi di lapangan. Hal positif dari pemberitaan adalah munculnya kesadaran untuk saling
introspeksi menjaga keamanan dan ketentraman. Negatifnya, pemberitaan konflik ditempat yang berbeda
dapat menimbulkan kembali rasa troumatik masa lalu. Disimpulkan konten pemberitaan media massa dalam
kasus konflik di Kabupaten Sigi telah seasui dengan ketentuan hukum dan etika yang berlaku. Sekalipun
demikian, media massa hendaknya tetap mengedepankan hati nurani untuk mempertimbangkan kelayakan
berita.
Kata Kunci : Media Massa, Konflik, Warga, Berita
Lembar Abstrak | V
Atika1, Tri Indah Rusli2
1Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat 2Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Kendari
PEMANFAATAN RADIO KOMUNITAS SEBAGAI MEDIA INFORMASI DAN
KOMUNIKASI MASYARAKAT DI SULAWESI TENGGARA
JP2KP, Vol. 19 No.2, Oktober 2015, hal.107-122
Abstrak
Radio komunitas didirikan untuk memenuhi kebutuhan informasi dan komunikasi anggota komunitasnya.
Tujuan tersebut dapat dicapai ketika keberadaannya dimanfaatkan oleh anggota komunitas. Oleh karena itu,
penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis pemanfaatan radio komunitas sebagai media informasi
dan komunikasi bagi masyarakat di Sulawesi Tenggara. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, dengan
subjek riset adalah Radio Fajar FM yang berlokasi di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kendari.
Informan dalam penelitian ini sebanyak 7 pihak, dengan teknik pengumpulan data menggunakan metode
observasi, wawancara mendalam, dan Focus Group Discussion (FGD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemanfaatan radio komunitas di Sulawesi Tenggara masih sangat kurang. Frekuensi yang disediakan khusus
untuk radio komunitas di Sulawesi Tenggara belum dimanfaatkan atau digunakan secara optimal.
Kata Kunci : Radio Komunitas, Informasi, Komunikasi
Kasiyanto
Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya
KEBUTUHAN INFORMASI KELOMPOK MASYARAKAT BERPENGHASILAN
RENDAH
JP2KP, Vol. 19 No.2, Oktober 2015, hal.123-134
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengetahui informasi apa saja yang dibutuhkan kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah, (2) mengetahui media apa saja yang digunakan untuk mencari informasi, dan (3)
mengetahui cara pemenuhan kebutuhan informasi. Teori yang digunakan adalah teori kebutuhan informasi.
Sedang metode penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan memilih secara purposif,
tokoh masyarakat di Desa Kertosari sebagai narasumber. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Informasi
yang dibutuhkan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah di Desa Kertosari adalah informasi kesehatan,
informasi pendidikan, informasi pertanian, dan informasi pasar. Media yang digunakan untuk mencari
Informasi adalah media televisi dan media radio. Media televisi dan radio sebenarnya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan informasi itu secara kebetulan, artinya kebetulan sedang menghidupkan televisi dan
radio kemudian secara kebetulan ada informasi informasi yang dibutuhkan tersebut. Dan terakhir, Cara yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan informasi. Selain melaui media televisi dan radio terdapat cara khusus
untuk memenuhi kebutuhan informasinya yaitu dengan cara memanfaatkan dengan bantuan UNDP didirikan
lembaga telecenter Semeru sebagai sarana memenuhi kebutuhan informasi kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah sekaligus menjawab masalah kesenjangan informasi / kesenjangan digital pada
masyarakat berpenghasilan rendah di Desa Kertosari tersebut.
Kata Kunci : Kebutuhan Informasi, Masyarakat Berpenghasilan Rendah, TIK, Kesenjangan Digital.
VI | Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016
Andika Bayu Saputra
Magister Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR KEBERHASILAN IMPLEMENTASI
SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RUMAH SAKIT
JP2KP, Vol. 19 No.3, Februari 2016, hal.135-148
Abstrak
Penerapan SIMRS saat ini masih mengalami kendala dan hambatan ditingkat penerimaan pengguna Penelitian
ini melakukan analisis terhadap hasil Evaluasi faktor-faktor keberhasilan penerapan SIMRS dengan
menggunakan Model HOT-Fit (Human Organization Technology – Net benefits). Model ini dapat memberikan
penjelasan dan memberikan identifikasi faktor penerapan sebuah sistem dari sisi Teknologi, Manusia,
Organisasi dan Net benefit. Model ini melibatkan delapan variabel yang terdiri dari Kualitas Sistem, Kualitas
Informasi, Kualitas Layanan, Penggunaan Sistem, Kepuasan Pengguna, Struktur Organisasi, Lingkungan
Organisasi dan Manfaat Sistem. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari RS PKU Muhammadiyah Temanggung,
maka dapat disimpulkan bahwa variabel yang mempengaruhi keberhasilan penerapan SIMRS adalah dari sisi
variabel teknologi yaitu kualitas sistem, kualitas informasi dan kualitas layanan, sedangkan dari sisi variable
manusia yaitu kepuasan pengguna mempengaruhi penggunaan sistem, dari sisi variabel organisasi yaitu
struktur sangat mempengaruhi lingkungan organisasi yang ada. Keberhasilan penerapan SIMRS di RS PKU
Muhammadiyah Temanggung dipengaruhi oleh adanya dukungan dan dorongan dari pihak manajerial kepada
para pengguna SIMRS serta tersedianya kondisi fasilitas yang memadai di lingkungan rumah sakit untuk
menggunakan SIMRS
Kata Kunci : Sistem Informasi, Manajemen, Rumah Sakit
Belinda Devi Larasati Siswanto
Biro Humas, Sekretarias Daerah Provinsi Kalimantan Selatan
PERAN EXPERT PRESCRIBER DAN PROBLEM SOLVING PROCESS FACILITATOR
HUMAS PEMPROV KALSEL DALAM MELAYANI INFORMASI PUBLIK
JP2KP, Vol. 19 No.3, Februari 2016, hal.149-166
Abstrak
Penelitian ini menitikberatkan Humas pemerintah yang memiliki fungsi sebagai expert Presciber dan Problem
Solving Process Facilitator dalam menguatkan fungsi Humas Pemerintah itu sendiri. Penelitian ini dilakukan
dengan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus deskriptif, Penelitian ini dilakukan di kantor Biro
Humas Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Teknik pengumpulan data terakhir yakni wawancara
mendalam dengan menggunakan wawancara semi terstruktur, Penentuan Key Person yang dijadikan
narasumber dalam penelitian ini dengan memper-hatikan tingkat kesesuaian (relevansi) antara kedudukan/
jabatan dan keter-libatan informan dalam proses keterbukaan informasi public. Hasil penelitian menunjukan
Biro Humas tidak memenuhi peran sebagai expert Prescriber dalam kegiatan yang dilakukannya. Sementara itu
peran problem solving process facilitator tidak ada terlihat pada Biro Humas, hal ini dikarenakan Biro Humas
belum menjalankan kegiatan verifikasi dan inventarisasi informasi untuk didiskusikan oleh pimpinan tingkat
atas. Saran penelitian ini Biro Humas Provinsi Kalimantan Selatan dapat memanfaatkan sumber daya manusia
yang sudah ada untuk memiliki kemampuan menjalankan tugas sebagai Humas pemerintah maupun PPID
utama di Provinsi Kalsel, mengingat tidak meratanya koordinasi antar bagian pada Biro Humas. selanjutnya
Biro Humas harus segera mungkin merencanakan program kegiatan beserta strategi-strategi yang
berkesinambungan untuk percepatan keterbukaan informasi publik.
Kata Kunci: Humas, Pemerintah, Expert Prescriber, Problem Solving Precess Facilitator
Lembar Abstrak | VII
Noviana Sari
Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat.
IMPERIALISME BUDAYA DALAM MEDIA
JP2KP, Vol. 19 No.3, Februari 2016, hal.167-182
Abstrak
Wacana merupakan basis produksi kekuasaan, legitimasi dan hegemoni dari kelas dominan yang memproduksi
hal-hal seperti gagasan atau pengetahuan yang mengandung ideologi dari yang mereproduksi wacana, seperti
halnya dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, organisasi sosial dan aktivitas kehidupan sehari-hari, termasuk
juga di dalamnya adalah gaya hidup. Proses hegemoni wacana gaya hidup adalah salah satu strategi dari kelas
dominan untuk melakukan politik imperialisme budaya. Dengan bahasa yang menarik dan persuasif yang
ditawarkan dalam majalah, proses politik imperialisme budaya memperoleh pembenaran, karena majalah
sebagai agen tidak hanya menginformasikan gaya hidup dari suatu budaya tertentu tetapi mampu
mendefinisikan mana pola hidup yang dianggap benar. Penelitian ini didasari untuk membongkar makna
wacana gaya hidup yang ditawarkan dalam sebuah majalah franchise USA yang masuk ke Indonesia, yaitu
Cosmogirl! Indonesia, melalui rubrik fashion The CG! Look: Gaya Seleb dan trend modelnya sebagai bentuk
orientasi dari proses imperialisme budaya barat ke budaya timur. Dalam rubrik The CG! Look: Gaya Seleb,
Cosmogirl! tidak hanya menyajikan fashion-fashion yang sedang menjadi trend dan digunakan para artis luar
negeri yang disarankan untuk diadopsi, namun juga menyembunyikan pesan-pesan secara eksplisit dan tidak
disadari. Nilai-nilai yang dikenalkan oleh Cosmogirl! terlihat dalam tema-tema pada rubrik fashion The CG
Look: Gaya Seleb terlihat bagaimana Cosmogirl! menyajikan model fashion yang sedang trend dan tentu saja
didukung dengan strategi-strategi yang menampilkan sisi positif dari gaya berbusana ala barat. Strategi-strategi
tersebut dilakukan oleh Cosmogirl! dengan cara menyerang citra diri kita sebagai remaja wanita yang pastinya
ingin tampil semenarik mungkin.
Kata Kunci: analisis wacana, imperialisme budaya, gaya hidup, fashion, majalah, rubrik.
Intan Putri Cahyani
Prodi S1 Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Pancasakti
Adopsi Google Apps For Education Di Perguruan Tinggi: Sebuah Kolaborasi Real-Time Dosen
Dan Mahasiswa
JP2KP, Vol. 19 No.3, Februari 2016, hal.183-202
ABSTRAK
Teknologi komputasi awan atau sering dikenal dengan cloud computing hadir sebagai sebuah dampak
perubahan lingkungan budaya dan ekosistem yang kompetitif pada Pendidikan Tinggi di dunia, termasuk
Indonesia. Cloud computing ini sejatinya merupakan gabungan pemanfaatan teknologi komputer
(‘komputasi’) dan pengembangan berbasis Internet (‘awan’). Pendidikan tinggi dianggap sangat ideal untuk difusi
inovasi karena mereka memiliki jantung yang bisa mendorong inovasi dan selalu ada perubahan baik di level fakultas
atau jurusan, pedagogis serta teknologi. Studi ini akan mengangkat keunikan dimana dosen (digital immigrant) dan
mahasiswa (digital native) dapat berkolaborasi secara realtime dengan mengadopsi teknologi cloud computing milik
Google yaitu Google Apps for Education (GAFE) dalam sistem pembelajaran. Teori difusi inovasi milik Rogers akan
dielaborasi secara mendalam untuk menjelaskan proses adopsi teknologi komunikasi jenis baru yang sekarang tengah
menjadi trendsetter ini. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode grounded
yang melibatkan beberapa Perguruan Tinggi di Jawa Tengah yang sudah menggunakan teknologi GAFE selama tiga
tahun terakhir, yaitu UNNES, UDINUS, dan UNISSULA. Pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling
dengan jumlah sampel sebanyak 12 orang yang merupakan dosen dan mahasiswa pengguna aktif GAFE dalam
sistem pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan dosen terutama dosen junior memiliki peranan sentral
VIII | Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016
sebagai fasilitator dalam memutuskan teknologi pembelajaran apa yang akan digunakan. Kesamaan
kepentinganlah yang menjadi faktor utama mengapa walaupun berbeda generasi, namun dosen dan
mahasiswa bisa mengadopsi GAFE. Kata Kunci: Difusi Inovasi, Teknologi Cloud Computing, GAFE, Digital Immigrant, Digital Native,
Muhammad Najih Farihanto
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Dinamika Komunikasi dalam Pembangunan Desa Wisata Brayut Kabupaten Sleman
JP2KP, Vol. 19 No.3, Februari 2016, hal.203-214
ABSTRAK
Pembangunan desa wisata di Yogyakarta akhir-akhir ini sangat pesat, di Kabupaten Sleman terdapat puluhan
desa wisata bahkan beberapa desa wisata sudah berstatus mandiri. Untuk menjadi desa wisata yang berstatus
mandiri, terdapat komunikasi organisasi yang terjadi di antara para pengelola desa wisata. Salah satunya
adalah desa wisata Brayut. Dalam pembangunan desa wisata hingga berstatus mandiri tentunya terdapat
dinamika komunikasi yang terjadi. Penelitian ini didapatkan hasil bahwa banyak terjadi dinamika komunikasi
dalam pembangunan desa wisata. Salahsatunya adalah konflik yang terjadi pada saat desa brayut akan
dijadikan sebagai desa wisata dan juga pada saat menjadi tuan rumah ngayogjazz. Selain itu ditemukan juga
dinamika komunikasi dalam organisasi desa wisata brayut. Penelitian ini merupakan penelitian deskripstif
kualitatif dan menggunakan studi kasus karena mengangkat masalah empiris mengenai suatu kasus. Hal ini
dimaksudkan agar lebih terfokus kepada objek kajian serta mampu menjelaskan objek-objek di sekitar kajian.
Dalam penelitian ini menggunakan motode wawancara, penelususan dokumen dan observasi langsung dalam
proses pengumpulan data.
Kata kunci: Dinamika Komunikasi, Pembangunan, Desa Wisata
Abstract Sheet |IX
JURNAL PENELITIAN PERS ISSN: 1410-8283
DAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN
Vol. 19 No.2 Oktober 2015
The keywords sourced from the article, and represent the concept of the article.
This abstract sheets are allowed to copy without permission from the publisher and free to charge
Alvin Yulityas Sandy
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
COMMUNICATION POLICY OF GEOTHERMAL EXPLORATION AT BATURADEN
ON FPIC PERSPECTIVE
JP2KP, Vol. 19 No.1, June 2015, pp.1-10
Abstract
The aim of this study is to find out the implementation of Free Prior of Informed Consent (FPIC) value in
Geothermal Project at Slamet Mountain, both Banyumas local government as a government identity and PT.
Sejahtera Alam Energy as a business identity. This research uses case study method through government,
market, and public relation perspective. This research also uses the value of FPIC implementation approach
applied by Banyumas local government and PT. SAE. Base on the research result it can be conclude that FPIC
implementation is still far from ideal level, mainly base on standard of UN REDD++ Indonesia. In regulation
side, FPIC has already existed and managed in regulation and license but it still weak at the level of
interpretation and implementation, so the effect is the form of public communication tends to one way
communication (linier model), it doesn’t suitable with the transactional communication base on FPIC value
and program.
Keywords: Implementation, Free Prior of Informed Consent, Government-Market-Society
Muhammad Rustam
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Makassar
SURVEY OF MOBILE PHONE USES AT FISHERMEN COMMUNITY ON NORTH
PULAU DULLAH TUAL CITY PROVINCE MALUKU
JP2KP, Vol. 19 No.1, June 2015, pp.11-22
Abstract
Cell phone or mobile phone is an electronic communications device that has same function with fixed-line
telephone. This mobile phone can be taken anywhere and doesn’t need to be connected to the telephone
network using a cable (wireless LAN). This study aims to describe the use of mobile phone, the average of
expanse, and the use of mobile phone base on the division of the village. This survey was conducted face to
face interviews with respondents using questionnaire. The selection of respondent in the household uses Kish
Grid. Respondent who use mobile phone in the last three months are 39 people (81,3%). Respondent who is
reported having a cell phone are 26 people (54,2%) with the detail users for smart phone are 16 people
(61,5%) while non-smart phone users are 10 people (38,5%). The highest use of mobile phone in the last three
months is in Ohotahit village, they are 15 people (93,8%) while the testimony of respondent who own mobile
phone in Tamedan are 10 people (62,5%). Mean for the average expanse every month is Rp34.231,00. People
hope that there will be a good, cheap, and affordable for network mobile phone or telephone installation and
internet networks prepared as ICT infrastructure.
Keywords: Use, Mobile phones, Fishermen Community
X | Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Feberuary 2016
Emilsyah Nur
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Makassar
ICT UTILIZATION IN SUPPORT AGRICULTURE PRODUCTION
AT SOPPENG REGENCY
JP2KP, Vol. 19 No.1, June 2015, pp.23-34
Abstract
This study aims to explain and describe how much the use of ICT among farmers at Soppeng regency to fulfill
the information access that linked to the problems of increasing their agricultural production. This study also
aims to identify the factors that influence the information needs through the use of ICT and how to handle the
problems. This study was held at Soppeng regency, south Sulawesi province. It started from January to March
2015. This study uses descriptive method and qualitative approach. The data are obtained through in depth
interview then the data will be process and analyze. The result shows that the use of ICT for farmers at Soppeng
regency to increase their agricultural production depends on the supply of internet network infrastructure, the
involvement farmers such like farmer group, people information group, and the availability of human resource
to manage the internet. Central and local governments are expected to give maximum contribution to the
development of internet connection in all corners of the villages located at Soppeng regency, so that our
farmers know the latest development about global agricultural issues.
Keywords: ICT Infrastructure, Local Government, Acricultural, Production
Sarwani
Communication Studies, Lambung Mangkurat University
INFLUENCE OF LEADERSHIP STYLE AND COMMUNICATION STRATEGY OF
REGIONAL SECRETARY TO EMPLOYEE PERFORMANCE
AT THE REGIONAL SECRETARIAT OF SOUTH KALIMANTAN PROVINCE
JP2KP, Vol. 19 No.1, June 2015, pp.35-46
Abstract
This study is aimed to examine the influence of leadership style and their communication strategy to the
employee’s performance at the regional secretary office, south Kalimantan province. To analyze the
leadership style researcher use two factors leadership theory by Fleishman and his colleague in Ohio State
University. To analyze the communication strategy researcher uses Smeltzer theory. Base on the research by
Indonesian Government Index (IGI) in 2013, the low level of employee’s performance is the main problem in
regional secretary office of south Kalimantan province. This circumstance is caused by several factors such
like leadership style and communication strategy. This study uses survey method and double regression test.
The result simultaneously shows that leadership style and communication strategy have significant influence
to the level of employee’s performance in south Kalimantan province, that is 74,8%.
Keyword: Leadership Style, Communication Strategy, Employee’s performance.
Abstract Sheet |XI
Udi Rusadi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Literasi dan Profesi, Badan Litbang SDM Kominfo
THE INFLUENCE OF DEMOGRAPHIC FACTORS OF THE URBAN SOCIETY
TOWARD TELEVISION NEWS LITERACY
JP2KP, Vol. 19 No.1, June 2015, pp.47-62
Abstract
The influence of media in communication studies and media practices has always became interest because in
normative theories media is expected to provide functional effects. One of the assumption to make media has
functional influence is the literacy condition of the society. Television news as the product of media has
unique characteristic and process which vary from other non-media products, so certain literacy is needed
by the society concerning to TV news. This study aims to explain the literacy condition of the urban society
and the influence of demographic factors towards television news literacy. The study was conducted in
Banjarmasin south Kalimantan using survey method. The result shows that people have always strong
literacy to select in term of content, process, and assessment of the television news. The literacy perspective
is still in positivistic context which regard news as the delivery process of reality and not as a construction of
reality. Not all demographic aspects influence all aspect of literacy and aspect kinds of work have the most
influence on the elements of news literacy.
Keywords: Literacy, Television News, Urban Society, Demographic.
Laila
Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Banjarmasin
EXISTENCE OF TRADITIONAL MEDIA AS PUBLIK INFORMATION
JP2KP, Vol. 19 No.2, October 2015, pp.63-82
Abstract
Research of existence of traditional media as publik information media be held in South and Central
Kalimantan. The goal is to discover the existence of performance traditional media as publik information
media and the suitable model and information for the audience. This research using a qualitative approach
with constructivist paradigm. The research method used case study to answer potency of traditional people
performance, which suitable for publik information as publik information media and messages according to
audience tastes. The result showed that people performance media in South and Central Kalimantan are pretty
much could be as publik information media, the existing performance media in South Kalimantan are Madihin,
Bapantun, Mamanda dan Wayang. And Central Kalimantan are Keringat and Deder. The suitable information
will be presented by many media performances according to character of the audience. If the audience are
young people, it will be presented about drug and alcohol prohibition and also if the audience are adult it will
be presented about family, politics etc. Meanwhile, the model performances of traditional media loved by
audiences is a story theme, such as art combination with some song lyrics and dangdut. So, it has to be suitable
to the audiences preference, and also the time dimension since traditional media still exist and can be used as
publik information media, it should be as society information group, which institution builder not only by the
ministry of tourism or tourism department, but also by the ministry of ICT or ICT department in every regions.
Keywords: Existence, Traditional Media, Publik Information
XII | Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Feberuary 2016
Atjih Ratnawati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Penyelenggaraan Pos dan Informatika
CUSTOMER SATISFACTION TOWARD MAIL AND PACKAGE DELIVERY SERVICE
JP2KP, Vol. 19 No.2, October 2015, pp.83-94
Abstract
This very moment post organization is regulated in the Law of Post No. 38 at the year of 2009 about post. As
the impact of the implementation of Post Law, there are many types of postal service companies including
expedition. This study aims to describe quantitatively related to data and information about the quality of mail
and package delivery service PT Pos in Bandung reviewed based on customer satisfaction. This research uses
survey method with quantitative approach referring to the quality of service theory (Service Quality). Refer to
five (5) aspects of service quality, namely reliability, responsiveness, assurance, empathy and tangible, it is
found that the quality aspect of reliability gets high score and the quality aspects of the physical evidence
(tangible) gets low score. Mail and package delivery services PT Pos Indonesia in providing services to its
customers is considered good and reliable by the postal service users.
Keywords: Post, Quality, Services
Hartiningsih
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Banjarmasin
PEOPLE RESPONSE TOWARD MASS MEDIA NEWS IN CONFLICT AMONG PEOPLE
IN SIGI REGENCY
JP2KP, Vol. 19 No.2, October 2015, pp.95-106
Abstract
A research about mass media news toward conflict among people in Sigi regency was done in Sigi regency.
This study aims to give description about people response in Sigi regency toward mass media news about
conflict among people in Sigi regency from neutrality side, news accuracy, positive and negative impact about
the news for Sigi people. Through qualitative approach with purposive informant, the result shows that mass
media news both print media and electronic media located in Central Sulawesi which informing about conflict
in Sigi regency are considered neutral, objective, and accurate. One of those indicators are the information of
mass media about Sigi tragedy mostly in line with the fact. The positive thing from that news is the rising of
awareness to introspect each other to keep the security and tranquility. The negative thing is information about
conflict in difference places could make trauma from the past. It can be concluding that mass media news
toward conflict among people in Sigi regency was already in line with the applicable law and ethics. Thus, it
is hoped that mass media are still prioritizing consciousness to consider the suitability of the news.
Keywords: Mass Media, Conflict, Among People, News
Atika1, Tri Indah Rusli2
1Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat 2Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Kendari
THE UTILIZATION OF COMMUNITY RADIO AS THE INFORMATION AND
COMMUNICATION MEDIA FOR SOCIETY IN SOUTHEAST SULAWESI
JP2KP, Vol. 19 No.2, October 2015, pp.107-122
Abstract
Community radio is established to fulfill the information and communication needs for the community
members. The purpose can be achieved when its existence used by community members. Therefore, the purpose
Abstract Sheet |XIII
of this research is to analyze the utilization of community radio as the information and communication media
for society in Southeast Sulawesi. This study uses qualitative approach, while the research subject is Radio
Fajar FM located in Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kendari. The informants in this study are
7 parties. The data collection technique uses observation method, in-depth interviews, and Focus Group
Discussion (FGD). The results shows that the utilization of radio community in Southeast Sulawesi is still less.
Frequency channel which is provided exclusively for radio community in Southeast Sulawesi hasn’t been used
optimally.
Keyword: Leadership Style, Communication Strategy, Employee’s performance.
Kasiyanto
Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Surabaya
THE NEED OF INFORMATION FOR THE GRASS ROOTS
JP2KP, Vol. 19 No.2, October 2015, pp.123-134
Abstract
The aim of the research is (1) to find out what are the information needed by the grass roots, (2) to find out
what media used to find the information, and (3) to find out how do they fullfil their information need. This
study uses information need theory, while the method is descriptive qualitative approach through choosing
purposive method, leader of kertosari village as the informant. From the result it can be conclude that ,the
information needed by the grass roots in Kertosari village are information about health, education, farming,
market, the media which is used to find the information is television and radio. These media are actually used
to fullfil their information coincidentally. It means that while they watch television and heard radio, they heard
and watch the information which they need, and, the way they fullfil their information need. Besides television
and radio, there is special way to fullfil information need that is the utilization of UNDP established by
Telecenter institution as the tool to fullfil the information for the grass roots. It is also to answer a problem
about information discrepancy/ digital descrepency to the grass roots in Kertosari village.
Keywords: Information Need, The Grass Roots, ICT, Digital Discrepancy.
Andika Bayu Saputra
Magister Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia
The Identification of Success Factors Implementation Management Information of Hospital
JP2KP, Vol. 19 No.3, February 2016, pp.135-148
Abstract
Implementation SIMRS currently still experiencing problems and obstacles level of user acceptance. This study
analyzed the results of evaluation of the success factors SIMRS application using HOT-Fit Model
(Organization Human Technology - Net benefits). The model have been selected for this model may provide
an explanation and provide identification factor of the implementation of a system in terms of Technology,
Human, Organization and Net benefit. The model included eight variables consist of System Quality,
Information Quality, Service Quality, Use of the System, User Satisfaction, Organizational Structure,
Environmental Organizations and Net benefits (the benefit system). Based on the results of data obtained from
the RS PKU Muhammadiyah Temanggung, it can be concluded that the variables that affect the successful
implementation SIMRS is on the side of the variable tehnology is the quality of the system, the quality of
information and service quality, while from the variable human ie user satisfaction affects the use of the system,
in terms of organization variables which greatly affect the structure of the existing organizational environment.
The successful implementation of SIMRS at RS PKU Muhammadiyah Temanggung influenced by the support
XIV | Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Feberuary 2016
and encouragement from the managerial to the users SIMRS conditions and the availability of adequate
facilities in the hospital environment for use SIMRS.
Keywords: Information System, Managemen, Hospital
Belinda Devi Larasati Siswanto
Biro Humas, Sekretarias Daerah Provinsi Kalimantan Selatan
Role of Expert Pescriber and Problem Solving Process of Public Relations Provincial Facilitator
of South Borneo Serving in Public Information
JP2KP, Vol. 19 No.3, Februari 2016, pp.149-166
Abstract
This study focuses PR government that has a function as an expert Presciber and Problem Solving Process
Facilitator in strengthening the Government Relations function itself. This research was conducted with a
qualitative approach with descriptive case study method, this research was conducted at the office of the Public
Relations Bureau of the Regional Secretariat of South Kalimantan Province. Last data collection techniques
dept interviews using a semi-structured interview, Determination Key Person who used informants in this study
taking into-hatikan level of concordance (relevance) between the position / positions and Keter-informant
involvement in the process of public information disclosure. The results showed the PR Bureau does not fulfill
the role as an expert prescriber in the activities he does. Meanwhile, the role of problem solving process
facilitator nothing visible in the PR Bureau, this is because the PR Bureau has not run verification and
inventory information to be discussed by senior management. Suggestion of this study Public Relations Bureau
of South Kalimantan province can utilize the human resources that already exist to have the ability to perform
tasks as a public relations major government and PPID in South Kalimantan province, given the uneven
coordination between the Bureau of Public Relations section. The next PR Bureau should be possible to plan
a program of activities and their sustainable strategies for the acceleration of public disclosure.
Keywords: Public Relations, Government, Expert prescriber, Problem Solving Facilitator precess
Noviana Sari
Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat.
Culture Imperialism In Media
JP2KP, Vol. 19 No.3, Februari 2016, pp.167-182
Abstract
Discourse is a production base of power, legitimacy and hegemony of the dominant classes that produce things
such as the idea or knowledge that contains the ideology of which reproduces the discourse, as well as in
families, schools, workplaces, social organization and activities of daily life, including in it is a lifestyle. The
process of hegemonic discourse of lifestyle is one of the strategies of the dominant classes to do politics of
cultural imperialism. With an attractive and persuasive language offered in the magazine, the political process
of cultural imperialism obtain justification, because the magazine as an agent not only inform the lifestyle of
a particular culture but were able to define where the lifestyle is considered correct. This research is based to
unpack the meaning of discourse lifestyle offered in a franchise magazine USA to Indonesia, namely
CosmoGirl! Indonesia, through the rubric of fashion The CG! Look: Celebrity Style and trend model as a form
of cultural imperialism orientation of the west to the eastern culture. In the rubric The CG! Look: Celebrity
Style, CosmoGirl! not only presents fashion-fashion fads and used by foreign artists recommended for
adoption, but also hide explicit messages and unconsciously. The values introduced by CosmoGirl! seen in
themes at fashion rubric The CG Look: Style Celebrity look how CosmoGirl! presents a model that is a trend
of fashion and of course backed up with strategies to show the positive side of the style of dress western style.
These strategies are carried out by CosmoGirl! by attacking the image of ourselves as young women who
definitely wants to appear as attractive as possible.
Abstract Sheet |XV
Keywords: discourse analysis, Cultural Imperialism, lifestyle, fashion, magazines, rubric.
Intan Putri Cahyani
Prodi S1 Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Pancasakti
Adoption Of Google Apps For Education At Universities: A Realtime Collaboration Of Lecturers
And Students
JP2KP, Vol. 19 No.3, February 2016, pp.183-202
Abstract
Cloud-computing technology present as an impact of the changing cultural environment and competitive
ecosystem of Higher Education in the world, including Indonesia. Cloud computing is actually a combination
use of computer technology ("computing") and the development of Internet-based ('cloud'). Higher education
is considered ideal for the diffusion of innovation because they have a core that can encourage innovation and
there are frequently changes in faculty or department’s level, pedagogical and technological. This study
pointed out a uniqueness where lecturers (digital immigrant) and students (digital native) could collaborate
in realtime by adopting cloud-computing technology, namely Google's Google Apps for Education (GAFE),
in the learning system. Diffusion-innovation theory of Rogers will be in depth elaborated to explain the process
of adoption of new kind of communication technologies which is currently becoming trendsetter. This type of
study is qualitative descriptive with grounded theory method involving several universities in Central Java
that are already using GAFE technology during the last three years, i.e. UNNES, UDINUS, and UNISSULA.
This study used purposive sampling with total sample of 12 people who are lecturers and students, GAFE active users
in learning system. The results showed lecturers especially junior lecturers have a central role as a facilitator of learning
technologies in deciding what to use. Common interest is the main reason behind. Though lecturers and students came
from different generation but both of them adopted GAFE
Keywords : Difussion Innovation, Cloud Computing Technology, GAFE, Digital Immigrant, Digital Native
Muhammad Najih Farihanto
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Dynamics Of Communication In The Development On Tourist Village Brayut Sleman Regency
JP2KP, Vol. 19 No.3, February 2016, pp.203-214
Abstract
Development of rural tourism in Yogyakarta lately very rapidly, in Sleman there are dozens of tourist villages
and even some tourist villages has status independently. To be a tourist village that independent status, there
are organizational communication that occurs between the managers of the tourist village. One is the tourist
village Brayut. In the construction of tourist villages must be available to independent status communication
dynamics that occur. This study showed that a lot of the dynamics of communication in the construction of a
tourist village. One of them is the conflict that occurs when Brayut village will serve as a tourist village and
also at host Ngayogjazz. Also found was also the dynamics of communication within the organization Brayut
Tourist Village. This research is a qualitative deskripstif and using case studies for empirical issues raised
regarding a case. It is intended to be more focused on the object of study and be able to explain the objects
around the study. In this study using interviews motode, penelususan documents and direct observation in the
data collection process.
Keywords: Dynamics of Communication, Development, Tourism Village
Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Andika Bayu Saputra
135
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR KEBERHASILAN IMPLEMENTASI
SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RUMAH SAKIT
THE IDENTIFICATION OF SUCCESS FACTORS IMPLEMENTATION
MANAGEMENT INFORMATION OF HOSPITAL
Andika Bayu Saputra
Magister Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia
Jl. Kaliurang Km.14.5, Sleman, Daerah Istimewa Jogjakarta, Indonesia
Email: [email protected]
diterima: 18 Desember 2015 | direvisi: 28 Januari 2016 | disetujui: 29 Januari 2016
ABSRACT
Implementation SIMRS currently still experiencing problems and obstacles level of user acceptance. This study
analyzed the results of evaluation of the success factors SIMRS application using HOT-Fit Model
(Organization Human Technology - Net benefits). The model have been selected for this model may provide
an explanation and provide identification factor of the implementation of a system in terms of Technology,
Human, Organization and Net benefit. The model included eight variables consist of System Quality,
Information Quality, Service Quality, Use of the System, User Satisfaction, Organizational Structure,
Environmental Organizations and Net benefits (the benefit system). Based on the results of data obtained from
the RS PKU Muhammadiyah Temanggung, it can be concluded that the variables that affect the successful
implementation SIMRS is on the side of the variable tehnology is the quality of the system, the quality of
information and service quality, while from the variable human ie user satisfaction affects the use of the system,
in terms of organization variables which greatly affect the structure of the existing organizational environment.
The successful implementation of SIMRS at RS PKU Muhammadiyah Temanggung influenced by the support
and encouragement from the managerial to the users SIMRS conditions and the availability of adequate
facilities in the hospital environment for use SIMRS.
Keywords: Information System, Managemen, Hospital
ABSTRAK
Penerapan SIMRS saat ini masih mengalami kendala dan hambatan ditingkat penerimaan pengguna Penelitian
ini melakukan analisis terhadap hasil Evaluasi faktor-faktor keberhasilan penerapan SIMRS dengan
menggunakan Model HOT-Fit (Human Organization Technology – Net benefits). Model ini dapat memberikan
penjelasan dan memberikan identifikasi faktor penerapan sebuah sistem dari sisi Teknologi, Manusia,
Organisasi dan Net benefit. Model ini melibatkan delapan variabel yang terdiri dari Kualitas Sistem, Kualitas
Informasi, Kualitas Layanan, Penggunaan Sistem, Kepuasan Pengguna, Struktur Organisasi, Lingkungan
Organisasi dan Manfaat Sistem. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari RS PKU Muhammadiyah Temanggung,
maka dapat disimpulkan bahwa variabel yang mempengaruhi keberhasilan penerapan SIMRS adalah dari sisi
variabel teknologi yaitu kualitas sistem, kualitas informasi dan kualitas layanan, sedangkan dari sisi variable
manusia yaitu kepuasan pengguna mempengaruhi penggunaan sistem, dari sisi variabel organisasi yaitu
struktur sangat mempengaruhi lingkungan organisasi yang ada. Keberhasilan penerapan SIMRS di RS PKU
Muhammadiyah Temanggung dipengaruhi oleh adanya dukungan dan dorongan dari pihak manajerial kepada
para pengguna SIMRS serta tersedianya kondisi fasilitas yang memadai di lingkungan rumah sakit untuk
menggunakan SIMRS.
Kata Kunci : Sistem Informasi, Manajemen, Rumah Sakit
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 135-148
136
I. PENDAHULUAN
Teknologi sistem informasi telah mendorong
dan mempengaruhi pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan dalam rangka memenuhi tuntutan
masyarakat akan ketepatan dan kecepatan pelayanan
yang diberikan oleh rumah sakit. Rumah sakit
sebagai tempat pelayanan kesehatan diharapkan
mampu memberikan pelayanan yang maksimal
kepada masyarakat. Perkembangan Sistem Informasi
Manajemen rumah sakit (SIMRS) yang berbasis
komputer di Indonesia telah dimulai pada akhir
dekade 80’an. Salah satu yang pada waktu itu telah
memanfaatkan komputer untuk mendukung
operasionalnya adalah Rumah Sakit Husada.
Implementasi sistem informasi manajemen rumah
sakit pada saat itu kurang mendapatkan hasil yang
cukup memuaskan semua pihak. Ketidak berhasilan
dalam pengembangan sistem informasi tersebut lebih
disebabkan dalam segi perencanan kurang baik,
dimana identifikasi faktor-faktor penentu
keberhasilan (critical success factors) dalam
implementasi sistem informasi manajemen rumah
sakit tersebut kurang lengkap dan menyeluruh.
Perkembangan dan perubahan yang cepat dalam
segala hal juga terjadi di dunia pelayanan kesahatan.
Departemen Kesehatan RI telah mengeluarkan
kebijakan yang menjadi pedoman bagi
penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang
dilaksanakan oleh pemerintah maupun swasta dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di
rumah sakit, sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1171/MENKES/PER/VI/2011 (PMKRI 2011). Per-
turan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1171/MENKES/PER/VI/2011 Pasal 1 Ayat 1
disebutkan bahwa “Setiap rumah sakit wajib
melaksanakan Sistem Informasi Rumah Sakit”.
Sistem informasi rumah sakit merupakan salah satu
komponen yang penting dalam mewujudkan upaya
peningkatan mutu tersebut. Sistem informasi rumah
sakit secara umum bertujuan untuk menginte-
grasikan sistem informasi dari berbagai subsistem,
mengumpulkan, menyajikan dan mengolah data
rumah sakit sehingga menghasilkan informasi yang
diperlukan sebagai pengambilan keputusan bagi
rumah sakit. Namun, pada saat ini banyak rumah
sakit yang tidak menyadari betapa pentingnya
pengelolaan data di rumah sakit yang sangat besar
dan belum tersusun secara baik sehingga pelayanan
pihak rumah sakit tidak berjalan secara efektif. Selain
itu, saat ini rumah sakit masih belum menyadari
seberapa banyak informasi yang telah didapat dan
diproses serta didistribusikan baik secara manual
maupun secara komputerisasi.
Sistem informasi yang telah terkomputerisasi
memiliki kelebihan dalam hal kecepatan dan
ketepatan untuk pengolahan data, agar dapat
meminimalkan kesalahan yang terjadi. Sistem
informasi manajemen rumah sakit (SIMRS) adalah
suatu sistem terkomputerisasi yang mampu
melakukan pengolahan data secara cepat, akurat, dan
menghasilkan sekumpulan informasi yang saling
berinteraksi untuk diberikan kepada semua tingkatan
manajemen di rumah sakit.
Hasil informasi dari data yang telah diolah yaitu
berupa laporan, dapat digunakan oleh pengguna
dalam mengambil keputusan untuk peningkatan
upaya pelayanan kesehatan. SIMRS berfungsi untuk
pengendalian mutu pelayanan, pengendalian mutu
dan penilaian produktivitas, penyederhanaan
pelayanan, analisis manfaat dan perkiraan
kebutuhan, penelitian klinis, pendidikan, serta
perencanaan dan evaluasi program (Kapalwi 2009).
Perkembangan sistem informasi manajemen
khususnya rumah sakit, saat ini belum bisa dikatakan
mengalami perkembangan yang cukup baik. Masih
banyaknya hal yang bersifat operasional dan
manajerial, membuat penerapan SIMRS mengalami
hambatan. Termasuk di RS PKU Muhammadiyah
Temanggung ini. Walaupun penerapan sistem
informasi telah dilakukan, namun penggunaan sistem
ini masih memiliki banyak kendala dan hambatan.
Hal inilah yang membuat SIMRS tidak maksimal
digunakan oleh pihak Rumah Sakit. Selain itu
pengguna yang merasa kesulitan dalam hal
penggunaan sistem, membuat pelaksanaan sistem ini
menjadi terhambat. Kesulitan pengguna dalam
menggunakan sistem informasi akan memberikan
dampak kepada ketidakberhasilan penerapan
SIMRS, yang akan berpengaruh terhadap pelayanan
rumah sakit kepada masyarakat.
Kondisi sistem informasi yang ada pada rumah
sakit saat ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Andika Bayu Saputra
137
1. Masing-masing program memiliki sistem
informasi sendiri yang belum terintegrasi,
sehingga bila diperlukan informasi yang
menyeluruh diperlukan waktu yang cukup lama
seperti data pasien dengan data keuangan /
tagihan serta data rekam medis pasien.
2. Terbatasnya perangkat keras (hardware) dan
perangkat lunak (software) di berbagai jenjang
padahal kapabilitas untuk itu dirasa memadai.
3. Terbatasnya kemampuan dan kemauan sumber
daya manusia untuk mengelola dan
mengembangkan sistem informasi
4. Masih belum membudayanya pengambilan
keputusan berdasarkan data / informasi.
5. Belum adanya pengembangan karir bagi
pengelola sistem informasi, sehingga sering
sekali timbul keengganan bagi petugas untuk
mamasuki atau dipromosikan menjadi pengelola
sistem informasi.
6. Adanya penyimpangan dengan menggunakan
nota ganda pada banyak transaksi baik dibagian
gudang dan kasir.
Sesuai dengan kondisi diatas, pada tiap Rumah
Sakit memiliki kendala yang akan dihadapai dalam
implementasi sistem informasi terintegritas. Baik
dari sisi faktor eksternal rumah sakit maupun faktor
internal rumah sakit itu sendiri. Bagi para penyedia
jasa pembuatan Sistem Informasi (vendor) proses
bisnis yang ada dirumah sakit menjadi acuan awal
dalam pembuatan SIM RS. Pada dasarnya proses
bisnis dan alur pelayanan pada tiap-tiap Rumah Sakit
memiliki kesamaan sehingga pihak vendor memiliki
gambaran awal dalam pembuatan SIM RS. Tidak
menutup kemungkinan jika rumah sakit yang satu
dengan yang lainnya meminta perubahan pada sistem
menyesuaikan kondisi yang ada. Perbedaan dari sisi
alur bisnis yang ada dirumah sakit dan pada sistem
terkadang membuat sistem informasi tersebut dalam
implementasinya kurang berjalan lancar sehingga
memberikan beban pada rumah sakit dikarenakan
waktu dalam implementasi yang cukup lama dan
menghabiskan dana operasional yang tidak sedikit.
Untuk itu perlu adanya adanya penelitian untuk
mengidentifikasi faktor – faktor apa saja yang
mendukung keberhasilan implementasi SIM RS,
selain itu untuk mengetahui faktor – faktor yang
harus dihindari agar implementasi SIM RS tidak
dikatakan gagal / kurang berhasil. Diharapkan
dengan adanya penelitian ini akan memberikan
metode baru yang perlu diperhatikan ketika sebuah
rumah sakit akan mengimplementasikan Sistem
informasi manajemen rumah sakit.
Secara umum, permasalahan dalam
implementasi sistem informasi terintegrasi pada
rumah sakit adalah sebagai berikut (Wijaya 2011).
a. Implementasi sistem informasi merupakan
proyek yang menuntut kerja keras dan kerja
cerdas. Hal ini didukung oleh orang – orang yang
suka terhadap perubahan, suka terhadap pola
pekerjaan yang berhubungan dengan orang dan
menyukai pekerjaan yang menantang untuk
menciptakan suatu perubahan yang dapat
menjadikan pekerjaan lebih efisien.
b. Sistem informasi yang terintegrasi tidak berkerja
sendiri. pada prinsipnya cara kerja sistem
informasi yang terintegrasi menuntut peran
utama dari orang – orang yang mau melakukan
dan menjalankan sesuai prosedur aplikasi
program. Suatu aplikasi program tidak dapat
bekerja sendiri tanpa sentuhan pengguna untuk
melakukan penginputan transaksi operasional
secara berkala.
c. Implementasi sistem informasi harus dijadikan
pekerjaan utama. Pada tahapan implementasi
suatu sistem informasi yang terintergrasi, sering
terjadi kegiatan yang parallel antara sistem baru
dengan sistem tradisional. Hal ini membuat para
pengguna enggan, terbeban dan tidak termotivasi
untuk melakukan trial simulasi, implementasi
untuk melakukan input data pada sistem
informasi baru yang belum dikenal. Sikap
pengguna terhadap pelaksanaan sistem informasi
baru dapat dikelompokkan menjadi sebagai
berikut, (1) Kelompok Pro Perubahan, (2)
Kelompok Netral, dan (3) Kelompok Perlawanan
(resistance) terhadap perubahan.
d. Perubahan cara kerja dan pola pikir (mindset).
Setiap Rumah Sakit memiliki budaya cara kerja
yang sudah berjalan selama Rumah Sakit itu
berdiri.
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 135-148
138
Sistem informasi yang ada pada saat ini, dalam
penerapannya memiliki banyak tantangan baik dari
faktor internal maupun eksternal instansi pelayanan
kesehatan dalam hal ini yaitu rumah sakit. Talah
banyak ditemukan permasalahan teknis dan non
teknis dalam melakukan penerapan sistem informasi
terlebih jika menghadapi pengguna dari beberapa
level/tingkatan, baik tingkatan pengguna biasa
hingga tingkatan manajerial. Secara umum,
permasalahan dalam penerapan sistem informasi
adalah sebagai berikut: (1) Penerapan sistem
informasi merupakan proyek yang menuntut kerja
keras dan kerja cerdas. (2) Sistem informasi yang
terintegrasi dapat bekerja sendiri. (3) Penerapan
sistem informasi harus dijadikan pekerjaan utama.
(4) Perubahan cara kerja dan pola pikir.
Ketidakberhasilan penerapan sistem informasi
dikarenakan pengembangan sistem informasi yang
ada tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi. Hal ini
disebabkan, belum diketahui secara pasti bagaimana
peran sistem informasi terhadap organisasi. Hasil
penelitian yang telah dilakukan terhadap sistem
informasi kesehatan menunjukkan bahwa aspek
pemanfaatan terhadap sistem informasi pada saat ini
masuk pada kategori rendah, sedangkan aspek
strategis sistem informasi untuk masa yang akan
datang masuk pada kategori tinggi (Setiono 2011).
Pengkategorian peran sistem informasi ini
didasarkan menurut McFarlan’s Grid yang terdiri
dari empat kategori yaitu support mode, factory
mode, strategic mode dan turnaround mode.
Penelitian yang akan dilakukan terhadap
SIMRS mengacu pada kerangka kerja HOT-Fit.
HOT-Fit adalah salah satu kerangka teori yang
dipakai untuk evaluasi sistem informasi dalam
bidang pelayanan kesehatan. Teori HOT-Fit
ditujukan pada komponen inti dalam sistem
informasi yaitu Human (manusia) – Organization
(organisasi) – Technology (Teknologi) dan
kecocokan diantar ketiga komponen tersebut (Yusof
et al 2006).
Teori HOT-Fit dikemukakan oleh Yusof et al.
(2006) di konferensi Internasional Hawaii Sciences
System ke-39. Teori dibuat dari dua model evaluasi
untuk sistem informasi, model tersebut adalah IS
Success Model (DeLone and Mclean 2004) dan IT
Organization-Fit Model (Morton 1990).
Kerangka teori Metode Evaluasi HOT-Fit
adalah sebagai berikut:
1. Human. Ada dua hal berikut menjadi komponen
penting, yaitu: (a) System use; mengacu pada
keseringan dan cakupan penggunaan fungsi-
fungsi sistem, pelatihan, pengetahuan,
pengharpan, dan penerimaan atau penolakan. (b)
User Satisfaction; merupakan evaluasi secara
keseluruhan dari pengalaman pengguna dalam
menggunakan sistem informasi dan potensi
pengaruh sistem informasi. User satisfaction
berhubungan dengan pengetahuan
kedayagunaan sistem dan sikap pengguna
tentang sistem informasi yang dipengaruhi
karakteristik pengguan (Preece 2002).
2. Organization. Dua hal berikut menjadi
komponen penting dalam organization, yaitu: (a)
Structure; struktur organisasi mencerminkan
keadaan instansi, budaya, politik, hirarki,
autonomi, perencanaan dan sistem control,
strategi, manajemen, kepemimpinan dan
komunikasi. (b) Environment; lingkungan ini
adalah lingkungan diluar dari organisasi seperti,
politik, kebijakan pemerintah, sumber keuangan
(pemilik modal), lokasi, kompetisi, hubungan
antar instansi, populasi yang dilayani dan
komunikasi.
3. Technology. Komponen dalam teknologi tiga hal
berikut: (a) System Quality; pengukuran fitur-
fitur yang terdapat pada sistem informasi
terutama kemampuan sistem dan tampilan antar
muka (Preece 2002). Contoh: kemudahan
penggunaan, kemudahan pembelajaran, waktu
tanggapan, kedayagunaan, ketersediaan, tahan
uji, penyesuaian, keamanan dan ketersediaan
dukungan teknis. (b) Information Quality;
berkaitan dengan proses informasi dan informasi
yang dihasilkan oleh sistem. Kriteria dari
kualitas informasi adalah kelengkapan,
ketepatan, kemudahan pembacaan, tepat waktu,
ketersediaan, relevansi, konsistensi, tahan uji,
metode input data, dan kualitas. (c) Service
Quality; pengukuran secara keseluruhan dari
dukungan penyedia jasa sistem atau teknologi.
Kriteria yang diukur adalah kecepatan respons,
jaminann layanan, empati dan penanganan
layanan.
Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Andika Bayu Saputra
139
TECHNOLOGY
System Quality
Information Quality
Service Quality
HUMAN
System Use
User Satisfication
Organization
Structure
Environment
NET BENEFIT
Fit
Influence
Gambar 1. Kerangka Kerja HOT-Fit (Sumber: Yusof et al 2006) Figure 1. HOT-Fit Framework (Source: Yusof et al 2006)
4. Net Benefits. adalah keseimbangan antara
dampak positif dan negatif dari pengguna (para
pekerja medis, manajer, pegawai non medis,
developer sistem dan semua bagian yang terkait).
Net Benefit dapat diakses menggunakan benefit
langsung, efek pekerjaan, efisiensi dan
efektivitas, menurunkan tingkat kesalahan,
komunikasi, mengendalikan pengeluaran dan
biaya. Semakin tinggi dampak positif yang
dihasilkan semakin berhasil implementasi sistem
informasi. Fit dapat diukur dan dianalisis
menggunakan jumlah definisi yang diberikan
dari ketiga faktor tersebut. Ketiga faktor tersebut
berhubungan dalam delapana dimensi relasi atas
kesuksesan SIMRS, yaitu System Quality,
Information Quality, Service Quality, System
Use, User Satisfaction, Organizational
Structure, Organizational Environment dan Net
Benfits. Hubungan kedelapan dimensi ini adalah
sebagai berikut: (a) Saling mempengaruhi baik
secara sementara dan sebab akibat antara System
Quality, Information Quality, Service Quality
secara tunggal maupun bersama-sama
mempengaruhi System Use dan User
Satisfaction. (b) System Use dan User
Satisfaction memiliki hubungan timbal balik
dengan Information Quality. Sistem akan
menghasilkan keluaran informasi yang baik jika
pengguna mahir dan puas menggunakan sistem
informasi. Kemahiran pengguna tergantung pada
pengetahuan pengguna dan pelatihan terhadap
penggunaan sistem informasi. (c) System Use
juga memiliki hubungan timbal balik dengan
User satisfaction. Pengguna akan semakin puas
dalam menggunakan sistem informasi jika
pengguna mahir dan memahami sistem
informasi. (d) Faktor Environtment seperti
aturan pemerintah dan politik dapat
mempengaruhi Structure (struktur organisasi),
Structure juga akan mempengaruhi
Environtment, yaitu populasi yang akan dilayani.
(e) System use dan User Satisfaction akan
memberikan informasi langsung kepada Net
Benefit. Net Benefit akan memberikan timbal
balik juga kepada System Use dan User
Satisfaction. (f) Structure dan Environtment
organisasi akan memberikan informasi langsung
kepada Net Benefit. Net Benefit akan
memberikan timbal balik juga kepada Structure
dan Environtment organisasi.
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 135-148
140
II. METODOLOGI
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan
pendekatan kuatitatif. Pengumpulan data primer
menggunakan kuesioner yang disusun berdasarkan
data dari literatur dan paper yang berhubungan
dengan HOT-Fit. Sedangkan data sekunder pustaka
regulasi berupa peraturan pemerintah, melakukan
penelusuran dari sejumlah literatur seperti jurnal,
paper dan buku yang berhubungan dengan penelitian
SIMRS.
Pengumpulan data dilakukan di rumah sakit
yaitu RS PKU Muhammadiyah Sruweng yang ada
dikebumen. Cakupan data adalah khusus yang terkait
dengan 2 komponen yaitu bagian manajerial RS,
karyawan RS (SDM) terdiri dari perawat, pegawai
administrasi, pegawai kasir, pegawai apotik, pegawai
gudang farmasi, pegawai gudang gizi, dan lainnya.
Analisis data dengan menggunakan metode
HOT-FIT dan metode evaluasi hasil penelitian
menggunakan SEM (Structural Equation Model).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan dengan memperoleh data
dari kuesioner yang disebar. Dari 150 kuesioner yang
disebar ada 125 kuesioner yang dikembalikan dan
ada 111 kuesioner yang layak dianalisis. Data
kuisioner seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengumpulan Kuesioner Table 1. Result of Collecting Questionnaire
Kuesioner
(Questionnaire)
Jumlah
(Amount)
Yang Disebar 150
Yang Kembali 125
Yang Layak Di Analisi 111
1. Identitas Responden
Deskripsi responden dikelompokkan menjadi
empat, yaitu berdasarkan jenis kelamin, usia, jenjang
pendidikan, dan jabatan dalam organisasi. Secara
terperinci deskripsi responden sebagai berikut.
Berdasarkan jenis kelamin, responden terdiri
dari laki-laki dan perempuan. Data identitas
responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis Kelamin Responden Table 2. Respondent Gender
Jenis Kelamin (Gender) Jumlah (Amount)
Laki-Laki 41
Perempuan 70
Berdasarkan usia, responden terdiri atas tiga
kategori, yaitu 20 – 30 tahun, 31 – 40 tahun, dan 40
– 50 tahun. Data karakteristik responden berdasarkan
usia dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Usia Responden Table 3. Ages of Respondents
Usia (Ages) Jumlah (Amount)
20 – 30 Tahun 97
31 – 41 Tahun 12
40 – 50 Tahun 2
Berdasarkan Tabel 3.3 menunjukkan bahwa
responden terbanyak berusia antara 20 – 30 tahun
yaitu 97 responden atau 87,38% dari total jumlah
responden diikuti dengan responden yang berusia 31
– 40 tahun yaitu 12 responden atau 10,81% dari total
jumlah responden. Sisanya berasal dari kelompok
usia lain, yaitu 41 – 50 tahun sebanyak 2 orang atau
1,80% dari total jumlah responden.
Berdasarkan jenjang pendidikan, responden
terdiri atas lima kategori, yaitu SMA dan sederajat,
Diploma (D1/D3), Sarjana (S1), Pasca Sarjana (S2)
dan Lainnya.
Tabel 4. Pendidikan Terakhir Responden Table 4. Respondents Last Education
Pendidikan (Education) Jumlah (Amount)
SMA 15
Diploma (D1/D3) 103
Sarjana (S1) 3
Pasca Sarjana (S2) 0
Lainnya 0
Kategori yang terakhir merupakan kategori
pendidikan diluar dari kategori yang ada. Data
karakteristik responden berdasarkan jenjang
pendidikan terakhir dapat dilihat pada Tabel 4.
Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Andika Bayu Saputra
141
Tabel 5. Jabatan Responden Table 5. Respondents Position
Jabatan (Position)
Jumlah Pegaawai (Worker Total)
Minimal Respondent (Minimal Respondents)
Responden (Respondents)
Perawat Pelaksana 123 30 40
Koordinator 22 6 14
Apoteker 5 2 4
Asisten Manajer 22 6 10
Perawatan Administrasi 91 21 25
Penunjang Medis 28 7 10
Total 307 76 111
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa
responden mayoritas memiliki tingkat pendidikan
terakhir sebagai Diploma (D1/D3) sebanyak 103
responden atau 92,79% dari total responden. Sisanya
dari tingkat pendidikan lain yaitu SMA dan sederajat
sebanyak 15 responden atau 13,51%, Sarjana (S1)
sebanyak 3 responden atau 2,70%.
Berdasarkan jabatan dalam organisasi,
responden terdiri atas tujuh kategori, yaitu perawat
pelaksana, koordinator, apoteker, asisten manajer,
bidan, perawatan administrasi dan jabatan lainnya
seperti manajer unit. Data responden berdasarkan
jabatan dalam organisasi dapat dilihat pada Tabel 5.
Berdasarkan Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa
yang menjadi responden mayoritas memiliki jabatan
sebagai perawat pelaksana sebanyak 40 responden
atau 36,03% dari total responden. Sisanya dari
jabatan lain yaitu koordinator sebanyak 14 responden
atau 12,61%, apoteker sebanyak 4 responden atau
3,60%, asisten manajer sebanyak 10 responden atau
9,00%, bidan sebanyak 8 responden atau 7,20%,
perawatan administrasi sebanyak 25 responden atau
22,52% dan penunjang medis sebanyak 10 responden
atau 9,00%.
2. Tanggapan dari Responden
Jawaban responden di tiap variabel berdasarkan
kuesioner yang telah disebar akan diuraikan sebagai
berikut:
A. Kualitas Sistem
Jawaban responden terhadap variable kualitas
sistem dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel
4.6 terlihat mayoritas responden yaitu sebesar
55,50% dari total jumlah responden menjawab setuju
atas pertanyaan mengenai kualitas sistem dari
SIMRS dan hanya 3% menjawab sangat tidak setuju
dan 2,52% menjawab tidak setuju.
Tabel 6. Kualitas Sistem Table 6. Quality of System
Item Pertanyaan (Question Item)
Jenis Jawaban (Type of Answering)
Jumlah (Total)
Sangat Tidak Setuju
(Strongly Disagree)
Tidak Setuju (Disagree)
Netral Setuju (Agree)
Sangat Setuju (Strongly
Agree)
KS1 1 6 21 77 6 111
0% 5.41% 18.92% 69.37% 5.41% 100%
KS2 0 4 21 79 7 111
0% 3.60% 18.92% 71.17% 6.31% 100%
KS3 0 5 21 65 20 111 0% 4.50% 18.92% 58.56% 18.02% 100%
KS4 13 51 27 16 4 111 0% 45.95% 24.32% 14.00% 3.60% 100%
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 135-148
142
Tabel 6. Lanjutan Table 6. Continued
Item Pertanyaan (Question
Item)
Jenis Jawaban (Type of Answering)
Jumlah (Total)
Sangat Tidak Setuju (Highly
Disagree)
Tidak Setuju (Disagree)
Netral Setuju (Agree)
Sangat Setuju (Highly Agree)
KS5 0 8 18 71 14 111
0% 7.21% 16.22% 63.96% 12.31% 100% Kualitas Sistem
14 74 108 308 51 555
3% 2.52% 19.46% 55.50% 9.19% 100%
B. Kualitas Informasi
Jawaban responden terhadap variabel kualitas
informasi dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan
data yang dapat dilihar pada tabel Tabel 7 terlihat
bahwa mayoritas responden yaitu sebesar 65,05%
dari total jumlah responden menjawab setuju atas
pertanyaan mengenai kualitas informasi dari SIMRS
dan 6,85% menjawab tidak setuju.
Tabel 7. Kualitas Infomasi Table 7. Quality of Informations
Item
Jenis Jawaban (Type of Answering)
T STS TS N S SS
KI1 0 13 18 70 10 111
0% 11.71% 16.22% 63.06% 9.01% 100%
KI2 0 7 18 72 14 111
0% 6.31% 16.22% 64.86% 12.61% 100%
KI3 1 8 24 74 4 111
0.90% 7.21% 21.62% 66.67% 3.60% 100%
KS4
0 4 25 74 8 111
0% 3.60% 22.52% 66.67 7.21 100%
KS5 0 6 20 71 14 111
0% 5.41% 18.02% 63.96% 12.61% 100% Total 1 38 105 361 50 555
0.18% 6.85% 18.92% 65.05% 9.01% 100% Keterangan (Remarks) : STS : Sangat Tidak Setuju (Highly Disagree) TS : Tidak Setuju (Disagree) N : Netral (Neutral) S : Setuju (Agree) SS : Sangat Setuju (Highly Agree)
C. Kualitas Layanan
Jawaban responden terhadap variabel kualitas
layanan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kualitas Infomasi Table 8. Quality of Informatios
Item
Jenis Jawaban (Type of Answering)
T STS TS N S SS
KL1 2 15 31 60 3 111
1.80% 13.51% 27.93% 54.05% 2.70% 100%
KL2 1 11 35 61 3 111
0.90% 9.91% 31.53% 54.95% 2.70% 100%
KL3 1 9 31 64 6 111
0.90% 8.11% 27.93% 57.66% 5.41% 100%
KL4 2 10 30 65 4 111
1.80% 9.01% 27.03% 58.56% 3.60% 100% Total 6 45 127 250 16 444
1.35% 10.14% 28.60% 56.31% 3.60% 100% Keterangan (Remarks) : STS : Sangat Tidak Setuju (Highly Disagree) TS : Tidak Setuju (Disagree) N : Netral (Neutral) S : Setuju (Agree) SS : Sangat Setuju (Highly Agree)
Jawaban responden terhadap variabel kualitas
informasi dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan
data yang dapat dilihar pada tabel Tabel 7 terlihat
bahwa mayoritas responden yaitu sebesar 65,05%
dari total jumlah responden menjawab setuju atas
pertanyaan mengenai kualitas informasi dari SIMRS
dan 6,85% menjawab tidak setuju.
D. Penggunaan Sistem
Jawaban responden terhadap variable
penggunaan sistem dapat dilihat pada Tabel 9.
Berdasarkan Tabel 3.9 terlihat bahwa mayoritas
responden yaitu sebesar 61,73% dari total jumlah
responden menjawab setuju atas pertanyaan
mengenai penggunaan sistem dari SIMRS dan hanya
Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Andika Bayu Saputra
143
0,19% menjawab sangat tidak setuju dan 6,54%
menjawab tidak setuju.
Tabel 9. Penggunaan Sistem Table 9. Uses of the System
Item
Jenis Jawaban (Type of Answering) T
STS TS N S SS
PS1 0 3 18 66 24 111
0.00% 2.70% 16.22% 59.46% 21.62% 100%
PS2 1 4 17 78 11 111
0.90% 3.60% 15.32% 70.27% 9.91% 100%
PS3 0 9 34 64 4 111
0.00% 8.11% 30.63% 57.66% 3.60% 100%
PS4 0 16 19 65 11 111
0.00% 14.41% 17.12% 58.56% 9.91% 100%
Total 1 32 88 273 50 444
0.23% 7.21% 19.82% 61.49% 11.26% 100%
Keterangan (Remarks) : STS : Sangat Tidak Setuju (Highly Disagree) TS : Tidak Setuju (Disagree) N : Netral (Neutral) S : Setuju (Agree) SS : Sangat Setuju (Highly Agree)
E. Kepuasan Pelanggan
Jawaban responden terhadap variable Kepuasan
Pelanggan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Kepuasan Pelanggan Table 10. User Satistification
Item
Jenis Jawaban (Type of Answering)
T
STS TS N S SS
PS1 1 7 18 72 13 111
0.90% 6.31% 16.22% 64.86% 11.71% 100%
PS2 3 22 30 53 3 111
2.70% 19.82% 27.03% 47.75% 2.70% 100% Total 4 29 48 125 16 222
1.80% 13.06% 21.62% 56.31% 7.21% 100% Keterangan (Remarks) : STS : Sangat Tidak Setuju (Highly Disagree) TS : Tidak Setuju (Disagree) N : Netral (Neutral) S : Setuju (Agree) SS : Sangat Setuju (Highly Agree)
F. Struktur Organisasi
Berdasarkan data pada Tabel 11 terlihat bahwa
mayoritas responden yaitu sebesar 64,31% dari total
jumlah responden menjawab setuju atas pertanyaan
mengenai implementasi SIMRS direncanakan
dengan baik oleh pihak manajemen dan hanya 0,31%
menjawab sangat tidak setuju dan 5,54% menjawab
setuju.
Tabel 11. Kepuasan Pelanggan Table 11. Users Satisfication
Item
Jenis Jawaban (Type of Answering)
T STS TS N S SS
SO1 0 9 30 61 11 111
0% 8.11% 27.03% 54.95% 9.91% 100%
SO2 0 1 17 76 17 111
0% 0.90% 15.32% 68.47% 15.32% 100%
SO3 1 10 28 63 9 111
0% 9.01% 25.23% 56.76% 8.11% 100%
SO4 0 2 23 68 18 111
0% 1.80% 20.72% 61.26% 16.22% 100%
SO5 1 2 28 66 14 111
0.90% 1.80% 25.23% 59.46% 12.61% 100%
Total 2 24 126 334 69 555
0.36% 4.32% 22.70% 60.18% 12.43% 100% Keterangan (Remarks) : STS : Sangat Tidak Setuju (Highly Disagree) TS : Tidak Setuju (Disagree) N : Netral (Neutral) S : Setuju (Agree) SS : Sangat Setuju (Highly Agree)
G. Lingkungan Organisasi (LO)
Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa mayoritas
responden yaitu sebesar 61,23% dari total jumlah
responden menjawab setuju atas pertanyaan
mengenai lingkungan organisasi setelah penerapan
SIMRS dan hanya 3,69% menjawab tidak setuju.
Tabel 11. Kepuasan Pelanggan Table 11. Users Satisfication
Item
Jenis Jawaban (Type of Answering)
T STS TS N S SS
LO1 0 4 18 82 7 111
0% 3.60% 16.22% 73.87% 6.31% 100%
LO2 0 1 22 73 15 111
0% 0.90% 19.82% 65.77% 13.51% 100%
LO3 0 6 23 70 12 111
0% 5.41% 20.72% 63.06% 10.81% 100%
LO4 1 18 17 52 23 111
0% 16.22% 15.32% 46.85% 20.72% 100%
LO5 1 7 16 65 22 111
0% 6.31% 14.41% 58.56% 19.82% 100%
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 135-148
144
Tabel 11. Lanjutan Table 11. Continued
Item
Jenis Jawaban (Type of Answering)
T
STS TS N S SS
Total 2 36 96 342 79 555
0% 6.49% 17.30% 61.62% 14.23% 100% Keterangan (Remarks) : STS : Sangat Tidak Setuju (Highly Disagree) TS : Tidak Setuju (Disagree) N : Netral (Neutral) S : Setuju (Agree) SS : Sangat Setuju (Highly Agree)
H. Manfaat Sistem (MS)
Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa mayoritas
responden yaitu sebesar 68,62% dari total jumlah
responden menjawab setuju atas pertanyaan
mengenai manfaat sistem dari SIMRS dan hanya
1,08% menjawab tidak setuju.
Tabel 13. Manfaat Sistem Table 13. Benefits System
Item
Jenis Jawaban (Type of Answering)
T STS TS N S SS
MS1 0 2 23 73 13 111
0% 1.80% 20.72% 65.77% 11.71% 100%
MS2 0 0 21 80 10 111
0% 0.00% 18.92% 72.07% 9.01% 100%
MS3 0 1 20 74 16 111
0% 0.90% 18.02% 66.67% 14.41% 100%
MS4 0 0 18 78 15 111
0% 0.00% 16.22% 70.27% 13.51% 100%
Total 0 4 26 61 20 111
0% 3.60% 23.42% 54.95% 18.02% 100%
Keterangan (Remarks) : STS : Sangat Tidak Setuju (Highly Disagree) TS : Tidak Setuju (Disagree) N : Netral (Neutral) S : Setuju (Agree) SS : Sangat Setuju (Highly Agree)
3. Tanggapan dari Responden
Penelitian tentang penerapan Sistem Informasi
Manajemen Rumah Sakit di RS PKU
Muhammadiyah Temanggung dengan
mengidentifikasi faktor-faktor keberhasilan
penerapan SIMRS dengan menggunakan metode
HOT-Fit yang dilakukan memiliki sebelas hipotesis
yang akan diuji. Dari sebelas hipotesis tersebut
terdapat delapan hipotesis yang diterima dan bisa
dilihat pada Tabel 14.
Tabel 10. Hasiln Hipotesis Penelitian Table 10. Resul of Research Hipotesist
No. Hipotesis Arah Pengaruh
Hasil Dari Ke
1 H1 KS PS Diterima 2 H2 KS KP Diterima 3 H3 KI PS Ditolak 4 H4 KI KP Diterima 5 H5 KL PS Ditolak 6 H6 KL KP Diterima 7 H7 KP PS Diterima 8 H8 SO LO Diterima 9 H9 PS MS Ditolak 10 H10 KP MS Diterima 11 H11 ORG MS Diterima
A. Ada Pengaruh dari Kualitas Sistem (system
quality) Terhadap Pengguna Sistem (system
user)
Kualitas sistem dalam sistem informasi menurut
Yusof et al (2006) dapat dinilai dari kemudahan
penggunaan (easy of use), kemudahan untuk
dipelajari (easy of learning), response time,
usefulness, ketersediaan, fleksibilitas, dan sekuritas
serta menyangkut keterkaitan fitur dalam sistem
termasuk performa sistem dan user interface.
Sedangkan penggunaan sistem (system use)
berhubungan dengan siapa yang menggunakan (who
use it), tingkat penggunanya (level of user),
pelatihan, pengetahuan, harapan dan sikap menerima
(acceptance) atau menolak (resistance) sistem.
Sehingga bisa dianalisis bila kualitas sistem dari
suatu sistem informasi dikatakan baik bila memenuhi
syarat-syarat yang disebutkan Yusof et al diatas
dengan melihat siapa yang menggunakan, tingkat
penggunanya, sikap menerima dan menolak sistem
tersebut. Dalam kasus SIMRS, responden
menganggap kualitas sistem berpengaruh dalam
penggunaan SIMRS. Hasil penelitian tersebut juga
dimungkinkan karena sebagian besar pengguna
memahami tentang kualitas sistem yang digunakan.
B. Ada Pengaruh Kualitas Sistem (system
quality) Terhadap Kepuasan Pengguna
(user satisfaction).
Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Andika Bayu Saputra
145
Berdasarkan hasil observasi terhadap responden
kemudahan sistem mempengaruhi kepuasan
penggunanya dalam membantu pekerjaan mereka
mengolah data dan informasi. Menurut Purba (2007)
kemudahan teknologi merupakan hal yang
mempengaruhi frekuensi penggunaan sistem.
Kemudahan penggunaan juga dipengaruhi oleh
kemudahan untuk dipelajari dan kemanfaatan
dipengaruhi oleh kemudahan penggunaan.
Sementara kemudahan dan kemanfaatan akan
mempengaruhi penerimaan sistem oleh
penggunanya. Sistem yang diterima akan
memberikan kepuasan bagi penggunanya.
Dari kasus penelitian ini, kualitas sistem sudah
memuskan penggunanya. Dikarenakan adanya
kemudahaan sistem agar memberikan manfaat
optimal bagi para pengguna dengan lebih
meningkatkan penggunaan SIMRS di rumah sakit.
Menurut Yusof et al (2006), kepuasan pengguna
merupakan keseluruhan penilaian dari pengalaman
pengguna dalam menggunakan sistem informasi dan
dampak potensialnya. Kepuasan pengguna dapat
dihubungkan dengan kemanfaatan teknologi dan
sikap pengguna terhadap sistem.
C. Ada Pengaruh Kualitas Informasi
(information quality) Terhadap Pengguna
Sistem (system use)
Menurut Jogiyanto (2001) kualitas suatu
informasi tergantung dari tiga hal yaitu: (a) Akurat,
informasi harus bebas dari kesalahan dan harus jelas
mencerminkan maksudnya. (b) Tepat pada
waktunya, informasi yang dating ke penerima tidak
boleh terlambat. Informasi yang usang tidak ada
nilainya lagi. Karena informasi menjadi landasan
dalam pengambilan keputusan. (c) Relevan,
informasi tersebut mempunyai manfaat untuk
pemakainya.
Sedangkan menurut Yusof et al (2006), kriteria
yang dapat digunakan untuk menilai kualitas
informasi antara lain kelengkapan, keakuratan,
ketepatan waktu, ketersediaan, relevansi, konsistensi
dan data entry. Bila syarat-syarat kualitas informasi
sudah memenuhi syarat yang telah disebutkan, maka
kualitas informasi dalam suatu sistem informasi
sudah dapat dikatakan baik. Untuk mendapatkan
kualitas informasi yang baik bagi penggunaannya,
perlu dilakukan pembenahan kualitas sistem untuk
menghasilkan kualitas informasi yang baik bagi
penggunanya.
D. Ada Pengaruh Kualitas Informasi
(information quality) Terhadap Pengguna
Sistem (system use)
Hasil hipotesis keempat ini menurut peneliti ada
keterkaitan dengan hipotesis sebelumnya (hipotesis
ketiga), dimana kualitas informasi akan
mempengaruhi pengunaanya. Bila kualitas informasi
yang dihasilkan baik akan memberikan kepuasan
kepada penggunanya dan sebaliknya. Oleh karena itu
untuk memberikan kepuasan bagi pengguna SIMRS,
perlu ditingkatkan kualitas informasinya.
E. Ada Pengaruh Dari Kualitas Layanan
(service quality) Terhadap Penggunaan
Sistem (system use).
Berdasarkan hasil pengujian tersebut diatas,
berarti semakin tinggi kualitas layanan maka akan
semakin rendah penggunaan sistem informasi
tersebut. Hasil ini menunjukkan bahwa kemudahan
dari vendor menyebabkan responden memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap vendor karena
dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi
sehingga berkurangnyan responden untuk
menggunakan sistem ini.
F. Ada Pengaruh Dari Kualitas Layanan
(service quality) Terhadap Kepuasan
Pengguna (user satisfication).
Berdasarkan pengujian diatas, maka semakin
tinggi kualitas layanan maka akan semakin tinggi
kepuasan pengguna SIMRS. Hipotesis ini
menunjukkan adanya kualitas layanan yang baik dari
vendor sehingga menimbulkan kepuasan pengguna
SIMRS. Kepuasan pengguna disebabkan karena
layanan vendor yang cepat saat dibutuhkan, vendor
memberikan jaminan kualitas dan layanan terhadap
penggunaan SIMRS serta mampu menyelesaikan
permasalahan yang mungkin timbul dalam
penggunaan SIMRS.
G. Ada Pengaruh Dari Kepuasan Pengguna
(user satisfication) Terhadap Kepuasan
Penggunaan Sistem (system use).
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 135-148
146
Berdasarkan hasil tersebut diatas, berarti
semakin tinggi kepuasan pengguna maka akan
semakin tinggi pula penggunaan sistem informasi
tersebut. Penggunaan SIMRS pada dasarnya
membantu dalam pelayanan di rumah sakit. Karena
sistem ini sering digunakan dalam kegiatan sehari-
hari sebagai tugas rutin sehingga membuat responden
menjadi terbiasa dengan sistem ini sehingga mudah
dalam penggunaanya. Sistem yang lebih sering
digunakan menunjukkan bahwa sistem tersebut lebih
dikenal, lebih mudah dioperasikan, dan lebih mudah
digunakan. Bila sistem terasa mudah digunakan akan
mendatangkan kepuasan bagi pengguna. Oleh karna
itu untuk lebih lebih meningkatkan kepuasan
pengguna perlu disarankan untuk meningkatkan
penggunaan sistem ini dan sering diadakan pelatihan-
pelatihan agar penggua lebih terampil
menggunakannya.
H. Ada Pengaruh Dari Struktur Organisasi
(user satisfication) Terhadap Lingkungan
Organisasi (envirovment).
Dari hasil pengujian tersebut diperoleh bahwa
semakin tinggi nilai suatu struktur organisasi maka
akan semakin tinggi pula pengaruh lingkungan
organisasi sistem informasi tersebut. Struktur
organisasi adalah tipe, kultur, politik, hirarki,
perencanaan dan pengendalian sistem, strategi,
manajemen dan komunikasi. Kepemimpinan,
dukungan dari top manajemen dan dukungan staf.
Lingkungan organisasi adalah sumber pembiayaan,
pemerintahan, politik, kompetisi, hubungan
interorganisasional dan komunikasi (Yusof at al
2006).
I. Ada Pengaruh Penggunaan Sitem (system
use) terhadap Net Benefit.
Dari hasil pengujian ini penggunaan sistem
tidak berpengaruh signifikan terhadap net benefit.
Artinya belum ada manfaat langsung yang diperoleh
dari penggunaan sistem informasi ini, seperti efek
pekerjaan, efisien dan efektifitas, menurunkan
tingkat kesalahan, mengendalikan pengeluaran dan
biaya. Dari pengamatan dilapangan tidak semua
responden yang menggunakan sistem informasi ini
dalam kegiatan sehari-harinya. Oleh karena itu perlu
ditingkatkan penggunaan sistem yang berkualitas
untuk mencapai net benefit yang diinginkan Rumah
sakit.
J. Ada Pengaruh dari Kepuasan Pelanggan
(user satisfication) terhadap Net Benefit.
Kepuasan pengguna adalah merupakan respon
dan umpan balik yang dimunculkan pengguna
setelah memakai sistem informasi. Sikap pengguna
terhadap sistem informasi merupakan kriteria
subjektif mengenai seberapa suka pengguna terhadap
sistem yang digunakan (Radityo,2007). Hasil
penelitian ini menunjukkan pengguna mendapatkan
mafaat langsung dari kepuasan pengguna dalam
memakai SIMRS seperti semakin efektif dan efisien
pelayanan yang dilakukan oleh rumah sakit,
berdampak pada meningkatnya kualitas rumah sakit
di masyarakat.
K. Ada Pengaruh dari Structure, Environment
(organizations) terhadap Net Benefit.
Organisasi harus mempunyai kemampuan
untuk menyiapkan sumber daya manusia untuk dapat
menyesuaikan terhadap masalah yang mungkin
terjadi dalam penerapan sistem informasi untuk
mengurangi kendala dalam mengelola transformasi.
Hal ini dapat dicapai melalui strategi dan manajemen
seperti dukungan pemimpin, kerja tim, dan
komunikasi efektif yang dibentuk dengan melibatkan
peran dan kemampuan karyawan. Disamping itu
segala sesuatu yang berhubungan dengan organisasi
dan perencanaan teknologi informasi haruslah
sejalan satu sama lain untuk menjamin bahwa
pengembangan teknologi didukung oleh tujuan
organisasi itu sendiri (Purba, 2007). Karena SDM,
prasarana dan program belum terwujud dengan baik
sehinga rumah sakit belum bisa mendapatkan
manfaat langsung dari SIMRS. Perlu diusulkan
peningkatkan pelayanan dengan perencanaan dan
pengembangan program TI, pendidikan dan
pelatihan bagi personil, sosialisasi SIMRS,
pengadaan sarana dan prasarana pendukung
penerapan SIMRS.
Dari hasil pembahasan analisis deskriptif dan
analisis korelasi yang menghasilakn bahwa masing-
masing variabel memiliki hubungan yang kuat dan
searah (positif), baik dari sisi Teknologi
(Technology), Manusia (Human), Organisasi
Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Andika Bayu Saputra
147
(Organization), dan manfaat sistem (Net beneftis)
maka hal-hal yang perlu diperhatikan bagi organisasi
rumah sakit terhadap SIMRS adalah sebagai berikut:
1. Sistem sering error terutama pada jam-jam
pelayanan yang sibuk dan mengakibatkan
informasi yang diharapkan lambat diperoleh,
seingga mengurangi kepuasan pengguna. Pihak
vendor harus memantau kemampuan sistem
dalam memproses data sehingga dapat diketahui
puncak jumlah data atau jumlah pengguna yang
mengakses sistem yang mengakibatkan sistem
menjadi lambat. Perbaikan sistem jaringan
komputer seperti pemisahan backbone SIMRS
dengan jaringan intranet rumah sakit.
2. Layanan vendor dibagian tertentu dinilai kurang
cepat, karena keterbatasan personil vendor. Hal
ini dapat diatasi dengan memberdayakan
personil EDP, supaya personil EDP dapat
membatu, maka EDP perlu dilibatkan dalam
proses perawatan sistem agar mengetahui
dokumentasi SIMRS (Hal ini perlu persetujuan
antara vendor dengan pihak manajemen rumah
sakit).
3. Pelatihan penggunaan SIMRS dinilai kurang
oleh responden, karena selama ini banyak
perawat bangsal belajar menggunakan sistem
dari pengguna yang sudah mahir menggunakan
sistem.
4. Organisasi perlu untuk memberikan
penghargaan bagi para pegawai yang berprestasi
supaya dapat meningkatkan kinerja dan
produktivitasnya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Metode evaluasi HOT-Fit merupakan salah
satu metode yang digunakan untuk mengevaluasi
sistem informasi dibidang pelayanan kesehatan.
Memiliki 4 variabel yaitu Teknologi (Technology)
terdiri dari Kualitas sistem, kualitas informasi dan
kualitas layanan, Manusia (Human) terdiri dari
penggunaan sistem dan kepuasan pengguna,
Organisasi (Organization) terdiri dari struktur
organisasi dan lingkungan organisasi, dan Manfaat
sistem (Net Benefits). Variabel yang ada saling
mempengaruhi dimulai dari variabel teknologi
mempengaruhi manusia sebagai pengguna akhir dan
manfaat yang didapatkan (Net benefits). Dari sisi
teknologi, manusia dan organisasi juga
mempengaruhi net benefits.
Dari penjabaran diatas ditemukan indikator
yang berpengaruh positif dan signifikan yaitu dari
sisi teknologi (Technology) kualitas sistem memiliki
peranan penting terhadap penggunaan dan kepuasan
pengguna. Tidak hanya pada kualitas sistem, kualitas
informasi sistem dan kualitas layanan vendor juga
berpengaruh terhadap kepuasan pengguna. Dari sisi
Manusia (Human) pengguna akhir sistem, faktor
kepuasaan pengguna berpengaruh positif terhadap
penggunaan sistem. Sedangkan dari sisi Organisasai
(Organization), struktur organisasi yaitu sangat
berpengaruh positif dan signifikan terhadap
lingkungan organisasi. Organisasi (struktur dan
lingkungan) dan kepuasan pengguna memiliki
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap
manfaat sistem (Net benefits).
Penerapan SIMRS di RS PKU Muhammadiyah
Temanggung masih ada beberapa kelemahan minor
yang tidak sulit untuk diatasi. Beberapa evaluasi
yang ditemukan adalah sistem yang masih error
pada jam – jam pelayanan yang padat, menyebakan
aktifitas pelayanan terhambat. Kurangnya personil
untuk menangani permasalahan sistem. Pengguna
yang masih kurang memahami tentang cara
penggunaan sistem.
B. Saran
Saran yang diberikan kepada pihak rumah sakit
untuk dapat memaksimalkan penerapan sistem
informasi manajemen rumah sakit adalah :
1. Perlu adanya peningkatan hubungan antara
teknologi dan pengguna (human) agar
penggunaan SIMRS dapat lebih ditingkatkan.
Dengan adanya pelatihan penggunaan sistem.
2. Pihak Vendoruntuk mengatasi permasalahan
kurangnya personil bisa memanfaatkan personil
EDP yang dibekali dengan dokumentasi sistem.
3. Pihak Vendor lebih meningkatkan kehandalan
sistem dan memberikan respon yang cepat jika
terjadi masalah pada sistem.
4. Organisasi sebaiknya lebih memperhatikan
infrastruktur pendukung SIMRS karena tanpa
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 135-148
148
dukungan dari manajemen akan banyak mucul
permasalahan yang dapat memepengaruhi
penerapan SIMRS.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah agar
melibatkan variabel-variabel lain yang ada di dalam
metode HOT-Fit yang belum disertakan di dalam
penelitian ini agar dapat melihat pengaruhnya
terhadap penerapan sistem informasi khususnya
SIMRS.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyadari dalam melakukan penelitian ini,
telah mendapatkan banyak dukungan dan bantuan
dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga kepada Seluruh staf dan
dosen pada Magister Teknik Informatika Universitas
Islam Indonesia yang telah memberikan pelayanan
dan bekal ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis.
Pihak Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Temanggung yang tidak dapat penulis sebut satu
persatu, yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan informasi yang penulis butuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
DeLone, W. H., McLean, E. R., 2003. The Delone
and McLean Model of Information System
Success : A Ten-Year Update. Journal of
Management Information System. Spring 2003,
Vol 19 (4), hal.9-30.
Kapalawi, I., 2009. Sistem Informasi Manajemen
Rumah Sakit. [online] tersedia di:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/
6836
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 511 tahun 2002 tentang Kebijakan dan
Strategi Pengembangan Sistem Informasi
Kesehatan Nasional (SIKNAS). Jakarta: 2002
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1171/MENKES/PER/VI/2011 tentang
Sistem Informasi Rumah Sakit. K. K. R.
Indonesia, 2011.
Purba, E. L., 2007. Akseotabsu dan Kepuasan
Pengguna sistem Informasi Rumah Sakit
(SIRS) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Pematang Siantar. Yogyakarta.: Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Jogiyanto, H. M., 2005. Sistem Teknologi Informasi.
Yogyakarta: Penerbit Andi
Radityo, D. & Zulaikha, 2007. Pengujian Model
DeLone and McLean Dalam pengembangan
Sistem Informasi Manajemen (Kajian Sebuah
Kasus). Simposium Nasional Akuntansi X.
Unhas Makasar 26-28 Juli 2007.
Setiono, 2011. Analisis Peran Sistem Informasi Di
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung
Dengan Menggunakan Pendekatan
McFarlan’s Grid. Yogyakarta: UGM
Wijaya, S. F., 2011. Pengaruh Teknologi Informasi
Dan Perubahan Organisasi Dalam Bisnis.
Yogyakarta: Seminar Nasional Aplikasi
Teknologi Informasi 2011
Yusof, M. M., Paul, R. J., Stergioulas, L. K., 2006.
Towards a Framework for Health Information
Systems Evaluation. System Sciences. HICSS
’06 Proceedings of the 39th Annual Hawaii
International Conference. Vol. 5.
Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto
149
PERAN EXPERT PRESCRIBER DAN PROBLEM SOLVING PROCESS FACILITATOR HUMAS
PEMPROV KALSEL DALAM MELAYANI INFORMASI PUBLIK
ROLE OF EXPERT PESCRIBER AND PROBLEM SOLVING PROCESS OF PUBLIC
RELATIONS PROVINCIAL FACILITATOR OF SOUTH BORNEO SERVING IN PUBLIC
INFORMATION
Belinda Devi Larasati Siswanto
Biro Humas, Sekretarias Daerah Provinsi Kalimantan Selatan
Jalan Aneka Tambang, Komplek Setda Prov. Kalsel, Banjarbaru, Indonesia. 082153517979
Email: [email protected]
diterima: 4 Januari 2016 | direvisi: 11 Januari 2016 | disetujui: 18 Januari 2016
ABSTRACT
This study focuses PR government that has a function as an expert Presciber and Problem Solving Process
Facilitator in strengthening the Government Relations function itself. This research was conducted with a
qualitative approach with descriptive case study method, this research was conducted at the office of the Public
Relations Bureau of the Regional Secretariat of South Kalimantan Province. Last data collection techniques
dept interviews using a semi-structured interview, Determination Key Person who used informants in this
study taking into-hatikan level of concordance (relevance) between the position / positions and Keter-
informant involvement in the process of public information disclosure. The results showed the PR Bureau does
not fulfill the role as an expert prescriber in the activities he does. Meanwhile, the role of problem solving
process facilitator nothing visible in the PR Bureau, this is because the PR Bureau has not run verification
and inventory information to be discussed by senior management. Suggestion of this study Public Relations
Bureau of South Kalimantan province can utilize the human resources that already exist to have the ability to
perform tasks as a public relations major government and PPID in South Kalimantan province, given the
uneven coordination between the Bureau of Public Relations section. The next PR Bureau should be possible
to plan a program of activities and their sustainable strategies for the acceleration of public disclosure.
Keywords: Public Relations, Government, Expert prescriber, Problem Solving Facilitator precess
ABSTRAK
Penelitian ini menitikberatkan Humas pemerintah yang memiliki fungsi sebagai expert Presciber dan Problem
Solving Process Facilitator dalam menguatkan fungsi Humas Pemerintah itu sendiri. Penelitian ini dilakukan
dengan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus deskriptif, Penelitian ini dilakukan di kantor Biro
Humas Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Teknik pengumpulan data terakhir yakni wawancara
mendalam dengan menggunakan wawancara semi terstruktur, Penentuan Key Person yang dijadikan
narasumber dalam penelitian ini dengan memper-hatikan tingkat kesesuaian (relevansi) antara kedudukan/
jabatan dan keter-libatan informan dalam proses keterbukaan informasi public. Hasil penelitian menunjukan
Biro Humas tidak memenuhi peran sebagai expert Prescriber dalam kegiatan yang dilakukannya. Sementara itu
peran problem solving process facilitator tidak ada terlihat pada Biro Humas, hal ini dikarenakan Biro Humas
belum menjalankan kegiatan verifikasi dan inventarisasi informasi untuk didiskusikan oleh pimpinan tingkat
atas. Saran penelitian ini Biro Humas Provinsi Kalimantan Selatan dapat memanfaatkan sumber daya manusia
yang sudah ada untuk memiliki kemampuan menjalankan tugas sebagai Humas pemerintah maupun PPID
utama di Provinsi Kalsel, mengingat tidak meratanya koordinasi antar bagian pada Biro Humas. selanjutnya
Biro Humas harus segera mungkin merencanakan program kegiatan beserta strategi-strategi yang
berkesinambungan untuk percepatan keterbukaan informasi publik.
Kata Kunci: Humas, Pemerintah, Expert Prescriber, Problem Solving Process Facilitator
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166
150
I. LATAR BELAKANG
Isu mengenai keterbukaan informasi publik saat
ini masih menjadi hal yang aktual menjadi
perbincangan dalam masyarakat. Apalagi hal-hal
yang terkait dengan informasi dari pemerintahan
untuk dapat dikonsumsi publik. Pemerintah selaku
penyelenggara pelayanan publik seharusnya semakin
memiliki integritas tinggi dalam melaksanakan
fungsi sebagai pelayan masyarakat dalam
memberikan keterbukaan informasi, apalagi setelah
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU
KIP) dikeluarkan, pemerintah semakin diawasi oleh
masyarakat. Transparansi dan akuntabilitas dalam
penyelenggaraan pemerintahan hingga kini masih
menjadi “barang yang langka”. Hal ini dibuktikan
dari hasil penilaian Komisi Informasi Pusat Tahun
2013 terhadap kepatuhan Badan Publik dalam
menerapkan UU KIP, yang menunjukkan nilai rata-
rata tingkat keterbukaan informasi badan publik
masih dibawah 50. (Trisulo 2014)
Di Pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan
salah satu bukti belum berjalannya keterbukaan
informasi kepada publik yakni terkait dengan tidak
terealisasinya proyek atau proyek gagal pada tahun
2014. Seperti dilaporkan oleh surat kabar harian
Banjarmasin Post, Pemprov Kalsel dikeluhkan masih
belum terbuka dalam menyampaikan informasi yang
sudah seharusnya diketahui oleh masyarakat.
Informasi tersebut terkait proyek pembangunan di
Kalsel setiap tahunnya (Dia 2015. Anon 2015)
Lee, Neeley, dan Steward, (2012) menerangkan
bahwa memberikan pelayanan publik merupakan hal
yang paling penting dan diperlukan oleh humas
pemerintah, tidak hanya sekedar mengatur strategi
komunikasi yang efektif demi mewujudkan misi dari
pemerintahan semata. Informasi publik merupakan
salah satu aspek kunci untuk akuntabilitas
pemerintah, praktisi humas pemerintah perlu
membangun komunikasi eksternal dalam
menyampaikan informasi publik yang dapat
digunakan untuk memajukan kinerja pemerintahan
itu sendiri
Keberadaan Government Public Relations atau
yang kerap disebut humas pemerintah merupakan
suatu keharusan secara fungsional dan operasional
dalam upaya menyebarluaskan dan mempubli-
kasikan suatu kegiatan atau kebijakan pemerintahan
pada publiknya. Terlebih kini dengan tuntutan
keterbukaan informasi publik, humas sebagai corong
informasi pemerintah diharapkan dapat berperan
lebih dalam pelayanan keterbukaan informasi publik
di pemerintahan. Terbitnya Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik No 14 tahun 2008
memerlukan untuk dibentuknya Pejabat Pengelola
Informasi Daerah (PPID) pada badan publik
termasuk pemerintah Provinsi/Kab/Kota di
Indonesia. PPID merupakan struktur yang
bertanggungjawab dalam penyediaan, penyimpanan,
pendokumentasian, dan pengamanan informasi serta
memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat
yang membutuhkan. Pembentukan PPID ini pada
provinsi di Indonesia seperti Jawa Tengah, Jawa
Timur, Yogyakarta, Sumatera Utara, Kalimantan
Timur dan Tengah misalnya, PPID utama berada
pada Dinas Komunikasi dan Informatika. Sedangkan
Provinsi lainnya diantaranya Kalimantan Selatan dan
Barat serta Sumatera Selatan, meletakkan Biro
Humas sebagai PPID utama.
Di Provinsi Kalsel sistem informasi publik yang
berjalan masih dikendalikan oleh masing-masing
SKPD/ instansi dan menjadi kewenangan mereka
untuk memberikan informasi kepada publik.
Sedangkan Biro Humas Kalsel menjadi pelayan
informasi lingkup Sekretariat Daerah saja. Namun
dengan Biro Humas Kalsel merangkap sebagai PPID
utama, maka Biro Humas juga berperan untuk
mengakomodir semua informasi publik dari seluruh
instansi Provinsi Kalsel, tidak hanya yang berada
pada lingkup Sekretariat Daerah. Menjadi penting
ketika Biro Humas mengetahui dan ikut memahami
hal-hal yang merupakan informasi publik dari
instansi-instansi di Kalsel, sehingga informasi yang
didapatkan oleh publik dapat berjalan satu pintu
yakni melalui Biro Humas Kalsel, Seperti yang
selama ini terjadi pada Kabupaten Kediri, Jawa
Timur.
Sementara itu hubungan yang terjadi antara
Biro Humas Kalsel dengan Komisi Informasi Daerah
(KID) sama-sama memberikan pengertian mengenai
UU KIP kepada publik, namun apabila Humas pada
publik internal pemprov Kalsel, KID
mensosialisasikan kepada publik eksternal yakni
Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto
151
masyarakat luas. Namun dalam hal pelayanan
keterbukaan informasi publik, Biro Humas lah yang
berperan untuk melayani publik secara luas.
Menjadi konsentrasi Biro Humas Kalsel kini
yang juga menjadi PPID utama ikut berperan sebagai
jembatan komunikasi antar instansi dalam
memutuskan pelayanan keterbukaan informasi
publik. Dalam konteks pelayanan informasi publik,
selama ini Biro Humas provinsi Kalimantan Selatan
melakukannya dengan cara membina hubungan baik
dengan media massa. Biro Humas
menginformasikan berita pemerintahan melalui press
release, advertorial maupun acara khusus di televisi
maupun radio. Sementara itu penggunaan website
resmi Provinsi Kalsel dalam layanan informasi
publik kepada masyarakat, telah lama dilakukan
namun belum maksimal, dikarenakan belum
beroperasi secara online sehingga publik yang ingin
memberikan feedback atas informasi dari pemerintah
masih kesulitan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
rumusan masalah pada yang ingin dijawab dalam
penelitian ini adalah bagaimana peran expert
Prescriber dan Problem Solving Process Facilitator
Biro Humas Provinsi Kalimantan Selatan dalam
melayani informasi publik di Lingkungan Provinsi
Kalimantan Selatan Tahun 2012-2014?
Penelitian sebelumnya dilakukan Welkinson
(2012) dengan menggunakan teori Dozier yakni
Expert Prescriber dan Problem Soving Facilitator.
Teori tersebut mengelaborasi peran tersebut dengan
teori tahapan manajemen kehumasan oleh Jefkins.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan aktivitas
humas DPR RI lebih mengarah kepada peran sebagai
manajer namun terletak pada peran fasilitator
komunikasi dan juga berperan sebagai teknisi
komunikasi. Sedangkan dua peran lainnya tidak
terlalu menonjol dan apabila di bandingkan dengan
konsep teori peran humas dari Dozier, Humas DPR
RI masih menjalankan perannya pada tingkat
fasilitator dan teknisi komunikasi.
Penelitian sebelumnya juga dilakukan Hidayati
(2014) dengan temuan yang juga menegaskan hasil
penelitian yang dilakukan Welkinson. Temuan
tersebut berupa realita bahwa humas dalam badan
publik pemerintah berada pada posisi peran sebagai
fasilitator komunikasi dan teknisi komunikasi.
Humas BPK RI yang menjadi obyek penelitian,
disimpulkan sangat berperan dalam memberikan
masukan dan kebijakan mengenai keterbukaan
informasi publik namun masih sangat bergantung
kepada pimpinan yang berada diatasnya lagi atau
yang disebut dengan pemangku kepentingan.
II. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan
kualitatif dengan metode studi kasus deskriptif. Yin
(2014) menjelaskan, pada ranah komunikasi, studi
kasus diyakini merupakan metode yang sesuai untuk
menjawab tipe pertanyaan ‘how’ dan ‘why’ oleh
karena itu metode ini dianggap mampu membantu
peneliti dalam memahami secara mendalam dan
menjawab pertanyaan mengenai bagaimana peran
Biro Humas Provinsi Kalsel dalam melayani
informasi publik di lingkungan Provinsi Kalsel.
Penelitian ini dilakukan di kantor Biro Humas
Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Jl.
Aneka Tambang Banjarbaru, pada bulan Maret
sampai dengan Mei 2015.
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan
menggunakan observasi langsung, telaah terhadap
dokumen tertulis berupa surat masuk dan surat
keluar, disposisi, laporan-laporan, dan dokumen-
dokumen lain yang terkait dengan peran Biro Humas
dalam keterbukaan informasi publik. Kemudian
pengumpulan data yang terakhir yaitu, wawancara
mendalam.
Kemudian teknik pengumpulan data yakni
wawancara mendalam dengan menggunakan
wawancara semi terstruktur. Penentuan Key Person
yang dijadikan narasumber dalam penelitian ini
dengan memper-hatikan tingkat kesesuaian
(relevansi) antara kedudukan/ jabatan dan keter-
libatan informan dalam proses keterbukaan informasi
publik. Informan-informan yang dirasa dapat
membantu peneliti untuk mencapai tujuan penelitian
dapat dilihat pada Tabel 1.
Data yang telah selesai dikumpulkan diolah
melalui dua tahap. Pertama, reduksi data setelah
prose itu selesai, tahap yang kedua, yakni
kategorisasi data. Data-data yang telah dikumpulkan
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166
152
Tabel 1. Daftar Narasumber Wawancara Mendalam Table 1. List of Depth Interview Informan
Nama Informan (Informant Name)
Kedudukan Informan (Position Informants)
Alasan Pemilihan Informan (Reason Selection of informant)
Abdul Haris Makkie Kepala Biro Humas Provinsi Kalsel
Sebagai PPID utama yang terlibat langsung sejak awal KIP akan diberlakukan pada pemerintah Provinsi Kalsel
Zainuddin Kepala Bagian Pengolahan Informasi
Sebagai bidang pendukung PPID utama yang bertugas dalam pengumpulan dan verifikasi informasi
Syah Yulianda Kepala Sub Bagian Pelayanan Informasi dan Data
Sebagai bidang pendukung PPID utama yang bertugas dalam ketersediaan dokumentasi dan informasi publik untuk dapat diakses
dijabarkan dalam bentuk kategori agar proses
verifikasi menjadi mudah sehingga diperoleh
kumpulan data yang siap dianalisis. Kategorisasi data
tersebut ditentukan berdasarkan indikator yang
terdapat pada konsep penelitian untuk menjawab
pertanyaan pokok penelitian ini.
Teknik penyajian data dilakukan dengan cara
penguraian dalam deskripsi kata-kata (naratif) dan
juga disajikan data formal berupa tabel kegiatan atau
aktivitas humas sesuai dengan indikator yang
terdapat pada konsep peran humas yang disajikan
dalam bentuk deskripsi yang terintegrasi.
Menurut Yin, terdapat tiga teknik analisis data
dalam metode studi kasus, yaitu: (1) Penjodohan
Pola, (2) Pembuatan Penjelasan, dan (3) Analisis
Deret Waktu. Teknik penjodohan pola dilakukan
dengan membandingkan pola kejadian atau
fenomena yang senyatanya terjadi dengan pola
kejadian yang diprediksikan (proposisi/prediksi
alternatif). Jika kedua pola ini menunjukkan
persamaan, maka akan menguatkan validitas internal
sebuah studi kasus. Teknik pembuatan penjelasan
dilakukan dengan cara membuat eksplanasi tentang
kasus yang diteliti. Teknik analisis deret waktu
menyelenggarakan analisis deret waktu yang secara
langsung analog dengan analisis deret waktu yang
diselenggarakan dengan eksperimen dan kuasi
eksperimen. (Yin 2014).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
teknik penjodohan pola, yaitu dengan
membandingkan data pola peran Humas atau
aktivitas yang senyatanya terjadi di Biro Humas
Provinsi Kalsel dengan pola peran Humas menurut
proposisi atau prediksi alternatif peneliti
berdasarkan teori Dozier dan Broom (1995) dan
Cutlip (2006). Adapun proposisi atau prediksi
alternatif peneliti mengenai peran Biro Humas
Provinsi Kalsel dalam keterbukaan informasi publik
adalah “Peran Humas yang sarat akan dukungan
organisasi, ketersediaan sumber daya dan praktik
komunikasi yang lancar dari pemerintah ke publik
pada setiap dimensi peran akan membawa dan
mengarahkan Humas memiliki peranan yang
menonjol dan aktif dalam pemerintahan”.
Hasil penjodohan pola antara data temuan
dengan proposisi teori di atas kemudian disajikan
dalam bentuk narasi agar lebih mudah dipahami.
Hasil akhir penelitian ini adalah pembahasan
menyeluruh mengenai gambaran organisasi Biro
Humas Provinsi Kalsel menjalankan peran Humas
yang juga sebagai PPID utama terkait dengan
keterbukaan informasi publik.
Validitas data penelitian ini dilakukan
menggunakan triangulasi sumber yakni
membandingkan konsistensi hasil temuan dalam satu
metode penelitian kualitatif dari observasi,
wawancara dan dokumen.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Peran Expert Presciber
1. Merumuskan Kebijakan Standar
Operasional Prosedur Layanan Informasi
Kegiatan perumusan kebijakan dalam
organisasi maupun dalam lingkup Pemerintahan
yang terkait dengan kehumasan maupun
penyebarluasan pemberitaan pemerintah merupakan
salah satu kegiatan Biro Humas Provinsi Kalimantan
Selatan yang tertuang dalam tugas pokok dan fungsi
Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto
153
Biro Humas sebagai Humas pemerintah sesuai atas
Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan No. 093
tahun 2012. Biro Humas yang merupakan Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) utama
pada Provinsi Kalsel, dalam kegiatannya juga
melakukan perumusan kebijakan terkait keterbukaan
informasi publik.
Perumusan kebijakan oleh Biro Humas dalam
kedudukannya sebagai PPID utama berkaitan dengan
Keterbukaan Informasi Publik, yakni Biro Humas
membuat rumusan Standar Operasional Prosedur
(SOP) pelayanan informasi. Sejalan dengan yang
diungkapkan oleh Kepala Biro Humas Provinsi
Kalsel, Abdul Haris Makkie, perumusan kebijakan
yang berkaitan dengan kehumasan dan PPID utama
dilakukan oleh Biro Humas tanpa campur tangan
atau intervensi dari pihak lain, hal ini dikarenakan
Biro Humas telah dianggap lebih mengetahui
mengenai masalah kehumasan dalam pemerintahan.
“Ya buat sendiri, karena kan yang lebih
tau kita, cuman kita kan belajar juga
dengan yang sudah. Melalui media
internet, melalui konsultasi ke KI (Komisi
Informasi) pusat, kita bikin sendiri, juga
ada panduan pembentukan PPID dan
penyusunan SOP sudah ada petunjuknya
jadi tinggal kita ikuti saja nanti kita
sesuaikan dengan kondisi kita. Namun
keterlibatan Biro Hukum selalu karena
pasti ada hubungannya dengan hukum.
Kalo ada keterkaitannya dengan lembaga
maka Biro Organisasi, kalo nanti itu
menyangkut ada masalah keuangannya
kita libatkan Biro Keuangan.”
Penjelasan diatas menerangkan bahwa
keterkaitan dengan pihak lain atau unit kerja lain
diluar dari Biro Humas terjadi dikarenakan
menyangkut hal diluar dari yang bukan terkait
langsung dengan bidang Humas, misalnya keuangan
atau hukum dan kelembagaan. Sementara itu dalam
upaya menuju pada penerapan keterbukaan informasi
publik, Biro Humas telah membuat Standar
Operasional Prosedur (SOP) pelayanan informasi
publik yang diperuntukkan bagi Pejabat Pengelola
Informasi dan Dokumentasi (PPID) pembantu
dilingkup Pemerintah Provinsi Kalsel agar
mempermudah dalam mengelola dan memberikan
layanan informasi kepada masyarakat. Dalam
pembuatan SOP tersebut Biro Humas berpedoman
pada perundang-undangan yang berlaku dan
berkonsultasi kepada Daerah yang telah lebih dulu
menjalankan Undang-undang Keterbukaan
Informasi Publik.
Sementara itu dalam kedudukannya sebagai
Humas pemerintah pada Provinsi Kalsel, menurut
Makkie perumusan kebijakan yang dilakukan oleh
Biro Humas berkaitan dengan program kegiatan yang
dilakukan Biro Humas dalam kegiatan kehumasan
pemerintah maupun hal-hal yang berkaitan dengan
pimpinan atau lingkup kekuasaannya.
“Biro Humas pada proses pembuatan
perumusan kebijakan atau peraturan
internal kehumasan itu melibatkan setiap
bidang dalam Biro Humas yang terkait
dengan masalah atau program kegiatan
yang ditangani. Misalnya pada
penanganan Hibah media atau lembaga
yang menaungi pers, kemudian juga
berkaitan dengan kegiatan publikasi
pemberitaan yang melibatkan media
massa, nah…Biro Humas merumuskan
kebijakannya sendiri, kan itu kuasa kita di
bidang kehumasan.”
Apabila dilihat dari penjelasan diatas,
perumusan kebijakan yang dilakukan oleh Biro
Humas terkait dengan hubungan dengan media dan
juga penyebarluasan pemberitaan pemerintahan.
Aktivitas perumusan sebenarnya adalah untuk
melihat keterlibatan Biro Humas dalam penyelesaian
masalah kehumasan maupun kemampuannya dalam
bidang kehumasan sehingga Biro Humas tidak hanya
dipandang sebagai pelengkap dalam organisasi
pemerintahan semata, seperti yang selama ini masih
menjadi anggapan orang kebanyakan.
Maka dalam konteks keterbukaan informasi
publik, Biro Humas merumuskan kebijakan SOP
pelayanan informasi yang kemudian dibagikan untuk
seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
lingkup Provinsi Kalsel sebagai panduan dalam
melayani permintaan informasi sesuai dengan
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Namun Biro Humas dalam posisinya sebagai PPID
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166
154
utama belum bergerak cepat untuk upaya percepatan
penerapan keterbukaan informasi publik yakni
dengan kebijakan mengenai kategori daftar informasi
publik yang seharusnya dikumpulkan oleh SKPD dan
kemudian dilakukan pengklasifikasian terhadap jenis
informasi publik yang telah dikumpulkan. Biro
Humas seharusnya dapat membuat dokumen
panduan kunci dan dijadikan suatu kebijakan yang
berisikan kategori maupun persyaratan dokumen
daftar informasi publik, sehingga kategori daftar
informasi publik yang dikumpulkan oleh SKPD lebih
mudah dan seragam.
Biro Humas saat ini hanya mengandalkan
sosialisasi maupun Bimbingan Teknis dalam
tugasnya sebagai PPID utama, hal ini menyebabkan
Biro Humas belum menjadi pihak pengusul atau
yang merumuskan pembuatan kategori dokumen-
dokumen daftar informasi publik bagi SKPD dan
juga perumusan peraturan terkait dengan
pengumpulan daftar informasi publik, yang
merupakan hal mendasar utama dalam berjalannya
keterbukaan informasi publik di pemerintahan.
Sehingga Biro Humas memiliki terobosan dalam
pihak yang menjadi pengusul bagi perumusan
kebijakan dalam upaya percepatan keterbukaan
informasi publik.
2. Rencana Program Kegiatan yang Masih
Minim
Pembuatan rencana program kegiatan dalam
pengelolaan kehumasan menjadi hal yang harus
dilakukan oleh Biro Humas, dikarenakan hal tersebut
merupakan bagian dari Rencana Kerja (Renja)
tahunan Biro Humas. Menurut Kepala Biro Humas
Provinsi Kalsel, Abdul Haris Makkie, Renja yang
merupakan dokumen perencanaan Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) termasuk Biro Humas
untuk periode 1 (satu) tahun. Renja memberikan
gambaran tentang program dan kegiatan yang akan
dikerjakan oleh Biro Humas dalam satu tahun
anggaran. Renja berpedoman pada Rencana Strategis
(Renstra) Sekretariat Daerah Provinsi Kalsel
terutama yang berkaitan dengan penyebarluasan
informasi kepada masyarakat dan sesuai dengan
Tupoksi Biro Humas Sekretariat Daerah Provinsi
Kalsel.
Biro Humas sejak tahun 2012 membuat
program kegiatannya mengacu pada beberapa
peraturan yakni, Perda Nomor 6 Tahun 2008 tanggal
15 April 2008 tentang SOTK Pemerintah Provinsi
Kalsel dan berpegang pada Undang-undang nomor
14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik, serta Undang-undang nomor 40 tahun 1999
tentang Pers dan Undang-undang nomor 32 tahun
2001 tentang Penyiaran. Dalam Laporan
Akuntabilitas Kinerja Biro Humas, pembuatan
program kegiatan didasarkan pada tujuan Biro
Humas yang memfasilitasi kebutuhan masyarakat
atas informasi khususnya informasi pembangunan
dan pemerintahan daerah baik pada media cetak
maupun elektronik. Inti dari kerja Humas selama ini
yakni berperan dalam proses penyebarluasan
informasi pemerintahan, sehingga dalam program
kegiatan Biro Humas perlu adanya semacam
kegiatan kerjasama antara Pemerintah daerah dan
Media.
Program kegiatan Biro Humas tahun 2012
sampai 2014 terkait kehumasan tidak jauh berbeda,
pada garis besarnya terdapat lima program dengan 13
(tiga belas) kegiatan, yaitu: (1) Peningkatan Sarana
dan Prasarana Aparatur; (2) Program Perbaikan
Sistem Administrasi; (3) Pengembangan
Komunikasi, Informasi dan Media Massa; (4)
Fasilitasi Peningkatan SDM Bidang Komunikasi dan
Informasi; dan (5) Kerjasama Informasi dengan
Media Massa (Laporan Pertanggungjawaban Akhir
Gubernur Periode tahun 2011-2015).
Kemudian pada tahun 2013 terdapat 6 (enam)
program dengan 15 (lima belas) kegiatan. Kegiatan
yang berkaitan langsung dengan kegiatan
keterbukaan informasi publik yakni Sosialisasi PPID
dan Rapat Kerja PPID. Pada tahun berikutnya 2014,
Biro Humas kembali hanya memiliki 5 program
dengan 15 kegiatan. Program Biro Humas kembali
seperti pada tahun 2012, namun dimasukkan 2
kegiatan yang berbasiskan pada pemenuhan dalam
menunjang teknologi informasi di Biro Humas yakni,
1) Peningkatan Kapasitas SDM Bidang Komunikasi
dan Teknologi Informasi, 2) Pengembangan dan
Penerapan Teknologi Berbasis Informasi. Kedua
kegiatan diatas merupakan pengganti kegiatan
Sosialisasi dan Rapat Kerja PPID yang telah ada pada
Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto
155
tahun sebelumnya. Sementara itu masih dalam
menunjang Keterbukaan Informasi Publik, terdapat
kegiatan baru yakni Peningkatan Kualitas Pelayanan
Informasi Publik, yang merupakan wujud upaya
dukungan dalam penerapan Undang-undang
Keterbukaan Informasi Publik dan penunjang
tugasnya sebagai PPID utama di Provinsi Kalsel.
Melihat Program Kegiatan yang dibuat Biro
Humas pada 2012-2014 dapat dilihat bahwa Biro
Humas meletakkan kegiatannya berdasarkan pada
seperti layaknya kegiatan Humas Pemerintah yang
bertumpu pada penyebarluasan kegiatan pemerintah.
Meskipun begitu Biro Humas telah membuat
kegiatan yang berkaitan dengan penerapan Undang-
Undang Keterbukaan Informasi Publik sejak tahun
2012, yakni berupa Seleksi Anggota Komisi
Informasi Provinsi Kalsel. Biro Humas dipercaya
untuk membentuk tim fasilitasi seleksi calon anggota
Komisi Informasi Provinsi Kalsel. Tim tersebut
beranggotakan 6 orang yang semuanya merupakan
pejabat dan fungsional Biro Humas Provinsi Kalsel
berdasarkan pada Keputusan Kuasa Pengguna
Anggaran Nomor 489/25b/PI/HUMAS Tentang
Pembentukan Tim Fasilitasi Seleksi Calon Anggota
Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Selatan.
Kemudian dari Tim tersebut menghasilkan
keanggotaan Tim Khusus Seleksi Calon Anggota
Komisi Informasi Provinsi Kalsel berjumlah 5 orang
yang diangkat melalui Keputusan Gubernur Nomor
188.44/0543/KUM/2013 Tentang Pembentukan Tim
Khusus Seleksi Calon Anggota Komisi Informasi
Provinsi Kalimantan Selatan. Semua Tim Seleksi
merupakan perwakilan semua unsur yakni;
1. Unsur Pemerintah yang diwakili oleh Kepala
Biro Humas Provinsi Kalsel,
2. Unsur Tokoh Masyarakat diwakili oleh Ketua
PWI Kalsel,
3. Unsur Keterwakilan Perempuan diwakili oleh
Dosen Universitas
4. Unsur Akademisi diwakili oleh Dosen
Universitas
5. Unsur Komisi Informasi Pusat diwakili oleh
Dosen Universitas
Pada tahun 2013, dalam program kegiatan Biro
Humas juga telah memasukkan kegiatan sosialisasi
dan rapat kerja PPID. Biro Humas yang ditunjuk oleh
Wakil Gubernur Kalsel sebagai PPID utama, dituntut
untuk dapat berperan aktif untuk mewujudkan
keterbukaan informasi di Provinsi Kalsel. Kemudian
untuk mendukung kerja Humas sebagai Humas
pemerintah dan PPID utama pada tahun 2014, Biro
Humas juga mulai berfokus pada kebutuhan akan
teknologi informasi. Seperti yang diungkapkan oleh
Kepala Biro Humas Provinsi Kalsel, Abdul Haris
Makkie, program yang terutama ada di Biro Humas
menekankan pada pemaksimalan penggunaan
teknologi informasi dalam rangka mengikuti
perkembangan zaman dan percepatan arah
digitalisasi kehumasan.
“Banyak sebetulnya. Sebetulnya sebelum
ada KIP (Undang-Undang Keterbukaan
Informasi Publik) sampai ada KIP,
terutama menyangkut dengan teknologi
informasi. Kemaren saya minta website
kita itu selalu update, setiap hari update.
Kemudian koordinasi dengan Kabupaten
Kota, kita berikan sub domain kita minta
juga semua informasi dari sana.
Kemudian menghimpun data seluruh
potensi, baik potensi ekonomi, pariwisata
jadi mau tau apa, kita sudah bisa memberi.
Bisa jadi bank data kita. Yang kedua, kita
arahkan kemaren memiliki media online,
belum kesampaian juga. Trus apa
perpustakaan online juga, belum juga.
Maksudnya gini kalo itu bisa mumpung
ini masih kecil jadi mencoba online
sehingga menjadi percontohon.”
Humas Provinsi Kalsel, Abdul Haris Makkie,
saat ini Biro Humas juga berfokus pada kemampuan
dalam mengelola serta menggunakan teknologi
informasi. Dalam program kegiatan Biro Humas
tahun 2014 pada poin program Pengembangan
Komunikasi, Informasi dan Media Massa, terdapat 2
kegiatan yang membenarkan apa yang dikatakan oleh
Makkie, yakni 1) Peningkatan kapasitas SDM bidang
komunikasi dan teknologi informasi, 2)
Pengembangan dan penerapan teknologi berbasis
informasi. Kemudian hal tersebut juga bersinergi
dengan poin program Kerjasama Informasi dengan
Media Massa yakni kegiatan Peningkatan kualitas
pelayanan informasi publik, yang merupakan pokok
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166
156
kegiatan dari PPID dalam menunjang jalannya
keterbukaan informasi publik.
Adanya beberapa kegiatan yang telah
mendukung keterbukaan informasi publik dan
teknologi informasi pada Biro Humas merupakan hal
yang patut diberikan apresiasi. Namun dalam hal
keterbukaan informasi publik, kegiatan lanjutan
setelah pembentukan Komisi Informasi Daerah
(KID) dan Pejabat Pengelola Informasi Dokumentasi
(PPID) yang hanya berupa sosialisasi, rapat kerja dan
bimbingan teknis belum dirasa cukup. Berkaitan
dengan rencana program kegiatan terkait
keterbukaan informasi publik, dihasilkan bahwa Biro
Humas Provinsi Kalsel masih minim dalam membuat
rencana program kegiatan yang jelas selama tahun
2012 hingga tahun 2014.
Rencana program kegiatan yang masih minim
terkait keterbukaan informasi publik tersebut bisa
menjadi penyebab tidak berjalannya secara cepat dan
maksimal keterbukaan informasi publik di Provinsi
Kalsel. Maksud dari keterbukaan informasi publik
sudah jelas diterima oleh Biro Humas namun tidak
diikuti adanya rencana program kerja yang jelas
berisi strategi-strategi percepatan keterbukaan
informasi publik agar segera terlaksana di semua
SKPD.Seharusnya kedudukannya yang tidak hanya
sebagai Humas Pemerintah namun juga PPID utama
di Provinsi Kalsel, Biro Humas dapat membuat dan
mengembangkan program kegiatan dalam
menunjang percepatan keterbukaan informasi publik
di Kalsel. Misalkan saja, langkah-langkah atau
strategi khusus yang diwujudkan dalam kegiatan
yang dapat mempercepat pengumpulan informasi
pada SKPD dan pembuatan layanan informasi publik
secara online maupun offline.
3. Kemampuan Monitoring dan Evaluasi
Informasi Kegiatan Kurang Memadai
Pada indikator monitoring dan evaluasi
informasi disini, Biro Humas melihatnya hanya
dengan perhitungan anggaran telah dipakai oleh
kegiatan tersebut dan telah sesuai dengan yang telah
diprogramkan dengan semestinya atau tidak, namun
evaluasi kepuasan dan kesuksesan program tidak
dilakukan. Hal ini disebabkan karena penilaian
kinerja pada setiap kegiatan hanya berdasarkan
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(LAKIP).
LAKIP adalah laporan tahunan yang disusun
oleh setiap instansi pemerintah termasuk Biro Humas
dengan tujuan sebagai bahan evaluasi dan tolak ukur
dalam pelaksanaan program kegiatan berikutnya.
Menurut Kepala Biro Humas Provinsi Kalsel, Abdul
Haris Makkie, dikarenakan monitor dan evaluasi
hanya sebatas LAKIP, maka kegiatan yang
dilaksanakan menjadi monoton tanpa ada perubahan
kearah yang lebih baik. Masing-masing bidang tidak
menjalankan monitor dan evaluasi secara berkala dan
rutin sehingga hanya melakukan kegiatan seperti
yang sudah layaknya dilakukan saja setiap tahunnya
tanpa melihat mutu dari kegiatan tersebut.
Selain itu fungsi monitoring tidak dilakukan
berjenjang oleh setiap bidang dalam Biro Humas
sehingga tidak ada kontrol yang terkoordinasi.
“Nah itukan berjenjang. Nih ada staf,
kasubag, kabag dan kepala biro. Kalau
secara administrasi secara organisasi
harus jalan tanggung jawab dan monitor
dari masing-masing individu maupun
bagian, kalo bekerja tanpa struktur ini
tidak berfungsi. Lalu akhirnya ada yang
jadi tukang gunting. Saling bertanggung
jawab ini terhadap ini, ini terhadap ini, ini
tidak terjadi dalam manajemen organisasi
sulit menerapkan itu. Sebetulnya kalo
berpikir ideal esktrem ya ganti semua
orang itu, aku masukin dari awal doktrin
dari awal itu bisa jadi orang humas bujur-
bujur (benar-benar) humas tapi kalo masih
pola pikir dulu itu susah.”
Dari penjelasan yang diperoleh dan observasi
membuktikan tidak ada monitor dan evaluasi dalam
program kegiatan yang dilakukan oleh Biro Humas
secara rutin maupun berkesinambungan. Sampai saat
ini kegiatan monitoring dan evaluasi yang semacam
itu hanya dapat dilihat dari LAKIP Biro Humas. Dari
LAKIP dapat terlihat kinerja Biro Humas tersebut
tercapai atau tidaknya dari hasil pencapaian tujuan
program tersebut sudah berjalan atau belum,
anggaran yang seharusnya diperlukan oleh kegiatan
Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto
157
tersebut telah dipakai atau telah diserap seberapa
banyak.
Tidak jarang dari pengamatan yang dilakukan,
setiap bidang di Biro Humas bahkan tidak
mengetahui bagaimana cara mengevaluasi kegiatan
baik secara mandiri maupun melalui LAKIP,
dikarenakan pekerjaan pengolahan LAKIP ini hanya
dilakukan oleh satu orang, yang seharusnya
monitoring dan evaluasi diperlukan kerja tim dan
perlu masukan dari masing-masing Kepala Bagian di
Biro Humas. Sehingga kegiatan monitoring evaluasi
yang harusnya dilakukan dalam peran ini, tidak
berjalan dengan semestinya. Hal ini bertolak
belakang dengan yang telah dikatakan oleh Moss
(2005) bahwa peran monitor dan evaluasi dijalankan
ketika praktisi Humas menjalankan tanggung
jawabnya dalam melaksanakan kegiatan dengan
menyusun tujuan dan sasaran dan memantau
kegiatan terseut lewat pngukuran yang tepat.
4. Menyediakan Pendidikan dan Pelatihan
Pengembangan SDM Terkait Kehumasan
Biro Humas Provinsi Kalsel dalam kualitas
sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki masih
minim, Kepala Biro Humas Provinsi Kalsel, Abdul
Haris Makkie, menjelaskan bahwa ketersediaan
SDM yang dimiliki oleh Biro Humas dapat dikatakan
masih sangat kurang apabila melihat peran yang
dijalankan oleh Biro Humas saat ini, yakni sebagai
PPID utama.
Humas pemerintah bukan sekedar penciptaan
citra yang baik tentang pemerintahan, bukan pula
sekedar pembuat naskah pidato namun lebih kepada
melaksanakan kegiatan Humas yang sebenar-
benarnya untuk dapat meningkatkan performa dari
pemerintahan maupun organisasi Humas itu sendiri.
Praktisi Humas Pemerintah harus mampu
melakukan analisa-analisa terhadap isu-isu yang
berkembang dalam media massa maupun masyarakat
sehingga dapat menyampaikan hal tersebut kepada
pimpinan dan kemudian mampu memberi masukan
dalam membuat kebijakan maupun pemberitaan
yang dapat menyeimbangkan berbagai potensi isu di
masyarakat.
Maka terkait dengan kemampuan Biro Humas,
praktisi kehumasan harus mampu berpikir yang
sistematis, rasional dan terstruktur. Hal-hal tersebut
tadi yang dirasa belum terpenuhi dalam Biro Humas
Provinsi Kalsel.
“Sangat kurang. Jadi begini di formal
Humas saja itu kan sudah kurang
ditambah dengan kehadiran PPID yang
harus menghandle itu. SDM itu sangat
kurang dalam arti kuantitas dulu, kita
belum bicara kualitas. Kalo kualitas kita
bisa bayangkan sendiri, banyak hal yang
harus dipahami. Orang Humas itu kan
tidak hanya sekedar Bergerak dibidang
penyusunan naskah pidato, tidak hanya
masalah-masalah yang berkenaan dengan
pencitraan tetapi lebih kepada persoalan-
persoalan yang menyangkut bagaimana
membuat apa, membuat apa ya namanya,
analisa-analisa terhadap isu-isu yang
berkembang, nah itu yang agak lemah di
Humas selama saya 3 tahun disini.
Seharusnya apa yang berkembang di
media, apa yang berkembang di
masyarakat meskipun tidak di media, itu
harus di handle oleh Humas, saya
sebetulnya sudah membagi-bagi tugas itu
tapi tidak bisa kerja sendiri juga. Kita ini
PNS tapi harus bekerja professional,
idelanya di sebuah organisasi meskipun
dalam proposional Humas, ya Humas
dengan media, apa yang berkembang di
media itu harus ada analisanya. Nah..
apalagi ditambah dengan PPID, lalu PPID
itukan tugasnya menghimpun data
mengklasifikasi dokumen-dokumen yang
kita miliki, itukan harus mempunyai
kemampuan berpikir yang rasional,
berpikir yang sistematis terstruktur yang
bisa menempatkan informasi ini di suatu
blok jadi di saat pencarian data dapat, trus
saya pikir ke depan bahwa informasi ini
dalam konteks teknologi informasi.”
Dalam menunjang kerja Biro Humas, Makkie
pun dengan analisisnya tersebut terhadap kebutuhan
SDM di Biro Humas, meminta setiap tahunnya
kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi
Kalsel untuk dipenuhi kriteria pegawai yang dapat
menunjang kerja di Biro Humas. Biasanya Biro
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166
158
Humas menentukan dengan berdasarkan pada
kualifikasi pendidikan calon pegawai. Namun
menurutnya hal seperti itu juga pasti dilakukan oleh
unit kerja atau instansi lain yang merasa masih
membutuhkan atau kekurangan SDM di unit
kerjanya. Menurutnya permasalahannya adalah
berupa cara perekrutan dan kadang peletakkan
pegawai yang tidak sesuai dengan kriteria yang
diminta oleh unit kerja.
“Kita pernah minta ke BKD, kemudian
mencoba mengarahkan teman-teman
(pegawai BKD) bahwa dalam
melaksanakan tugas itu memberikan
guide tentang tugas disini itu ini lo…,
meskipun kita tau, itu juga kesulitan
menterjemahkan yang kita inginkan
karena tidak semua yang ada dikepala kita
masuk ke kepala mereka (Pegawai
BKD).”
Dari observasi dilapangan didapat bahwa Biro
Humas dalam meningkatkan kemampuan
kehumasan di Provinsi Kalsel sudah baik,
dikarenakan selain mengutamakan kebutuhan
sumber daya manusia (SDM) dalam organisasi Biro
Humas, juga ikut dalam mengupayakan kemampuan
kehumasan pada unit kerja lain bahkan juga pada
kalangan wartawan. Biro Humas dalam
kemampuannya melihat kebutuhan SDM yang sesuai
dengan kehumasan berdasarkan pada upayanya
untuk menunjang kerja dan kualitas kerja dari Biro
Humas maupun kehumasan yang teletak pada SKPD
lain dilingkup Provinsi Kalsel.
“Pelatihan atau bimtek mengenai website
atau yang berkaitan dengan teknologi
informasi sekarang mulai digiatkan karna
kan sudah mulai ada di program kegiatan
Humas, yaaaah menunjang kerja orang
humas yang kan harus update melek
teknologi.”
Setiap tahun Biro Humas menyiapkan bahan
pendidikan dan pelatihan untuk mengembangkan
kemampuan SDM kehumasan. Biro Humas tidak
hanya melakukan pelatihan pendidikan bagi praktisi
Humas dalam organisasi Biro Humas Provinsi
Kalsel, namun juga bagi praktisi Humas pemerintah
di Provinsi Kalsel. Kegiatan tersebut telah ada di
program kegiatan Biro Humas sejak tahun 2012
sampai 2014.
“Kalau disini, ada pelatihan buat Humas
Kabupaten kota juga instansi di Provinsi.
Namanya itu peningkatan praktisi
kehumasan dan jurnalistik. Biasanya
narasumbernya itu dari kawan-kawan di
media atau Humas sendiri atau bisa saja
Humas dari pusat.”
Dari informasi yang diperoleh dari Kepala Sub
Bagian Pelayanan Data dan Informasi, Syah
Yulianda dan Kepala Bagian Pengolahan Data Biro
Humas Provinsi Kalsel, Zainuddin, pelatihan
tersebut diadakan untuk meningkatkan kemampuan
praktisi Humas di Provinsi Kalsel dalam pengelolaan
berita dan juga kehumasan pemerintah. Misalkan
saja pada tahun 2014 yang lalu, Biro Humas Provinsi
Kalsel menyelenggarakan bimbingan teknis
pembuatan Website dengan CMS Open Source bagi
para pengelola website dan informasi di setiap SKPD
atau unit kerja lingkup Provinsi Kalsel, bimbingan
semacam ini atau yang berkaitan dengan teknologi
informasi dilaksanakan dua (2) kali dalam setahun.
Kemudian ada pula, seperti pada tahun 2012
lalu yakni Pelatihan Peningkatan Praktisi
Kehumasan dan Jurnalistik yakni Teknis Penulisan,
Produksi dan Pengambilan Gambar Berita Televisi,
kemudian tahun 2014 diadakan kembali pelatihan
dengan materi Jurnalistik Media Online. Kedua
kegiatan pelatihan tersebut diperuntukkan bagi
petugas Humas Kabupaten/Kota, Dinas/ Instansi,
BUMD/BUMN se Kalsel, yang dilaksanakan dua (2)
kali dalam setahun, namun dengan materi yang
berbeda atau bervariasi.
Disamping pelatihan atau bimbingan teknis
yang diperuntukkan bagi petugas Humas di Kalsel,
Biro Humas juga memberikan pelatihan dan
bimbingan teknis bagi praktisi Humas di dalam
organisasi Biro Humas Provinsi Kalsel guna
meningkatkan kemampuan dan kinerja Biro Humas.
Seperti pada tahun 2014 lalu, Biro Humas
mengirimkan 2 (dua) orang pegawainya untuk
Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto
159
mengikuti pelatihan terkait teknologi informasi
dengan Fokus Manajemen Trafik dan Keamanan
Jaringan dengan Mikrotik yang bertempat pada suatu
perusahaan di Kota Yogyakarta.
Namun menurut Kepala Biro Humas Provinsi
Kalsel, Abdul Haris Makkie, dari banyak pelatihan
maupun pendidikan yang diperoleh oleh praktisi
Humas dalam Biro Humas maupun Humas pada
pemerintah, pada umumnya yang paling penting
adalah penerapan dalam pekerjaan atas yang telah
diperoleh dalam pelatihan dan pendidikan yang
diikuti. Lebih lanjut lagi menurutnya, tidak sedikit
yang mengikuti pendidikan dan pelatihan hanya
untuk mendapatkan angka kredit atas jabatan yang
dimilikinya maupun hanya agar tugas keluar daerah
yang artinya tidak berada didalam kantor atau ikatan
pekerjaan. Sehingga tidak bersunggung-sungguh saat
mengikuti pelatihan yang dijalani, output yang
didapat pun tidak seperti yang diharapkan.
“Yang paling penting itukan bagaimana
menterjemahkan atau membreakdown apa
yang mereka terima, itu yang sulit
biasanya disitu. Membreakdown itu kan
yang perlu pemahaman yang perlu
berpikir terstruktur itu. Karena orang
banyak ai tahu (banyak aja tau), ini lo,
tidak hanya orang SD, SMP, S3 bahkan ini
lo forbidden tidak boleh masuk, banyak
orang tau tapi banyak juga yang
melanggar, karena ini secara etis, secara
hukum, itu ketabrak semua. Sama hal
dengan, banyak yang tau tugas PPID tugas
Humas ini-ini karena ada uraian tugas dan
lain-lain, tapi mereka tidak bisa
membreakdown, tidak bisa berim-
provisasi dengan itu. Sehingga kada kawa
meolah (tidak bisa membuat) kegiatan,
kada kawa meolah (tidak bisa membuat)
apa yang harus mereka kerjakan.
Akhirnya apa, akhirnya mereka jadi paku,
kalau ada palu dicatuk (dipukul) baruuu…
harusnya kan kada kaya itu (tidak seperti
itu). Professional itu begitu sudah tau apa
yang dilakukan, bikin ini bikin itu bawa
kepimpinan.”
Pada indikator ini, Biro Humas memang telah
menyiapkan pendidikan dan pelatihan untuk
pengembangan praktisi Humas baik bagi Biro Humas
sendiri maupun Humas pemerintah lainnya. Biro
Humas mampu dengan keahliannya dalam membaca
kebutuhan para Humas Pemerintah untuk
mendukung kinerjanya di Pemerintahan. Namun,
yang menjadi kendala adalah masih terpakunya
pegawai Biro Humas atau sulitnya mengeluarka ilmu
atau kebisaan yang dimiliki untuk memperbaharui
kinerja Biro Humas, dikarenakan banyak dari mereka
hanya ingin berada di zona aman serta tidak ingin
bereksplorasi dengan hal yang baru. Kemudian tidak
semua pegawai Biro Humas pula menguasai
mengenai keterbukaan informasi publik, sehingga
hal ini juga yang menjadi tantangan Biro Humas
kedepannya sebagai PPID utama.
B. Peran Problemg Solving Process
Facilitator
1. Tidak Terlaksananya Verifikasi dan
Inventarisasi Bahan Informasi Publik
Melakukan verifikasi bahan informasi publik
merupakan langkah pengujian informasi-informasi
yang telah di klasifikasikan oleh tiap SKPD dan
dihimpun oleh Biro Humas. Menurut Kepala
Pengolahan Informasi Biro Humas Provinsi Kalsel,
Zainuddin, dari verifikasi tersebut didapat berbagai
permasalahan tentang informasi yang termasuk
dikecualikan atau tidak. Maka tugas Biro Humas
untuk menjelaskan dan menjadi fasilitator dalam
proses verifikasi informasi publik tersebut,
dikarenakan Biro Humas sebagai PPID utama
Provinsi Kalsel.
“Jadi memverifikasi itu kan biasanya
untuk mengelompokkan informasi itu.
Jadi yang serta merta dan lain-lain itu kan
tugasnya di PPID jadi tugas Karo Humas
yang mengklasifikasikan itu kemudian
kalo itu mengklasifikasi, ini informasi
yang boleh di publish ke masyarakat, ini
informasi yang dikecualikan. Nah itu
harus di uji di bahas oleh tim
pertimbangan. Jadi mereka itu yang
mengklasifikasi. Karena ada kaitannya
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166
160
misalnya teknis, misalnya masalah tata
ruang misal nah tata ruang siapa?
Bappeda, berarti Bappeda yang tahu. Jadi
ini apakah termasuk dikecualikan atau
tidak. Harus ada kalo itu maksudnya
dikecualikan apa dasarnya jadi
pengecualian. Tapi sampai sekarang tahap
mengklasifikasikan belum ada sampai
kesana.”
Setelah melakukan verifikasi bahan informasi
publik dari berbagai SKPD, Biro Humas kemudian
menginventarisasi bahan informasi publik yang
dikecualikan oleh SKPD untuk di uji konsekuensi
oleh Tim Pertimbangan. Tim pertimbangan yang
melakukan uji konsekuensi bersama Biro Humas
yakni beranggotakan Sekretaris Daerah, Asisten
(Pemerintahan, Pembangunan dan Administrasi),
Staf Ahli, Inspektur Provinsi Kalsel, Kepala SKPD
lingkup Provinsi Kalsel, dan Kepala Biro Hukum
Provinsi Kalsel, sesuai dengan Surat Keputusan
Gubernur Kalimantan Selatan nomor
188.44/0239/KUM/2014 tanggal 6 Mei 2014.
Namun sampai saat ini Biro Humas sebagai
PPID utama masih dalam proses meminta agar
SKPD segera membentuk struktur PPID di
organisasinya, kemudian masing-masing SKPD
diminta untuk mengklasifikasikan informasi yang
ada di organisasinya sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang ada di Undang-Undang Keterbukaan
Informasi Publik. Sehingga proses uji konsekuensi
belum terjadi dalam kegiatan Biro Humas.
“cuma sekarang ini kita meminta masing-
masing SKPD mengklasifikasikan informasi masing-
masing dulu, baru serahkan ke kita. Memang mereka
disuruh membentuk struktur PPID dulu, nah disuruh
untuk mengklasifikasikan informasi tadi. Nah…jadi
bila sudah klasifikasikan dikirim ke PPID utama
terkumpul semua. Kemudian direkapkan lalu
dibahas, benar tidak yang mereka bilang itu masuk
yang dikecualikan atau tidak.”
Proses dalam verifikasi informasi publik oleh
Biro Humas dengan cara melakukan verifikasi
terhadap Form Daftar Informasi Publik yang berasal
dari PPID tiap-tiap SKPD lingkup Provinsi Kalsel.
Verifikasi dilakukan dengan mengacu kepada
Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik dan
Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010,
setelah dilakukan verifikasi, maka di inventarisasi
lagi informasi publik yang dikecualikan oleh SKPD
untuk selanjutnya di bwa ke Tim Pertimbangan untuk
di uji. Hasilnya yakni berupa Daftar Informasi Publik
(DIP) dari PPID setiap SKPD akan ditetapkan oleh
PPID utama melalui surat penetapan DIP, dengan
persetujuan dari Sekretaris Daerah sebagai Atasan
PPID, yang merupakan hasil dari penetapan DIP di
lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimatan Selatan.
Belum berjalannya inventarisasi informasi
publik yang dikecualikan oleh SKPD dan Biro
Humas, menurut Kepala Bagian Pengolahan
Informasi, Zainuddin, diakibatkan oleh belum
pahamnya PPID pembantu dalam SKPD terhadap
jenis informasi publik yang dikecualikan atau yang
wajib diberikan serta boleh diberitahukan oleh
masyarakat. Dalam upaya penerapan keterbukaan
informasi publik, sengketa informasi merupakan
permasalahan utama yang akan di hadapi oleh badan
publik dalam pemerintahan apabila SKPD maupun
Biro Humas belum memiliki Daftar informasi publik.
Kemudian menurut Kepala Biro Humas, Abdul
haris Makkie, kedudukan Biro Humas sama seperti
SKPD lain apabila menerima laporan sengketa
informasi dapat bertindak langsung terhadap
sengketa informasi yang terjadi di organisasinya
sendiri, namun juga Biro Humas juga dapat ikut
dalam menangani sengketa informasi yang terjadi di
lingkup Sekretariat Daerah Provinsi Kalsel,
khususnya yang melibatkan Gubernur, Wakil
Gubernur dan Sekretaris Daerah. Hal ini dikarenakan
tugas pokok dan fungsi Biro Humas sebagai
pelayanan pada pimpinan dan karena keberadaannya
pula yang berada di bawah Sekretariat Daerah
Provinsi Kalimantan Selatan.
“Apabila yang dipersengketakan atau
dipermasalahkan SK (Surat Keputusan)
Gubernur, SK Gubernur menyangkut
SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah)
lain, nah itu kita ikut turun. Tapi secara
teknis kan mereka harus terlibat si
SKPDnya sendiri, mengapa SK itu
muncul, mengapa kebijakan ini muncul.
Nah… apa backgroundnya apa. Nah itu
Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto
161
teknisnya ada di mereka, karena humas ini
pelayanan Sekretariat Daerah.”
Karena perangkat Sekretariat Daerah tidak
berjalan sendiri, maka ketika ada laporan sengketa
informasi, unit kerja atau instansi yang terkait
langsung dengan materi yang dipersoalkan ikut juga
terlibat dalam penyelesaian bersama dengan Biro
Humas. Namun seperti yang telah diketahui
sebelumnya sampai penelitian ini dilakukan belum
pernah ada terjadi sengketa informasi menyangkut
Biro Humas maupun pimpinan dalam lingkup
Sekretariat Daerah (Gubernur, Wagub dan Sekretaris
Daerah). Namun apabila terjadi laporan seperti itu di
dalam organisasi Biro Humas, maka
penyelesaiannya harus dilakukan sesuai dengan
prosedur yang berlaku dalam peraturan perundang-
undangan.
“Selama dibentuk itu belum ada laporan
sengketa informasi disini. Kalaupun ada
maka penyelesaiannya sesuai dengan
prosedur yang berlaku artinya di
selesaikan internal Humas terlebih dahulu
baru biasanya pelaporan ke KI (Komisi
Informasi).”
Ditambahkan oleh Kepala Bagian Pengolahan
Informasi, Zainuddin, dalam hal penyelesaian
sengketa informasi, menurut Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), hal
tersebut merupakan wewenang dari Komisi
Informasi Daerah (KID).
“Belum ada laporan sengketa informasi
disini, kalo ada biasanya harus
diselesaikan di dalam Humas dulu. Kalo
kada (tidak) sepakat baru lari ke KI
(Komisi Informasi), kan mereka yang urus
sengketa bila ada dari masyarakat protes.
Atau bisa jua (juga) kita yg belapor
(melaporkan) karena informasi dari kita di
salah gunakan atau data orangnya palsu.”
Ditambahkan oleh Kepala Bagian Pengolahan
Informasi, Zainuddin, dalam hal penyelesaian
sengketa informasi, menurut Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), hal
tersebut merupakan wewenang dari Komisi
Informasi Daerah (KID). Namun sebelum sampai
pada KID, dalam UU KIP dijelaskan bahwa setiap
pemohon informasi publik dapat mengajukan
keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
berdasarkan alasan sebagai berikut ; (1) penolakan
atas permintaan informasi, (2) tidak disediakannya
informasi berkala, (3) tidak ditangapinya permintaan
informasi, (4) permintaan informasi ditanggapi tidak
sebagaimana yang diminta, (5) tidak dipenuhinya per
permintaan informasi, (6) pengenaan biaya yang
tidak wajar, dan atau (7) penyampaian informasi
yang melebihi waktu yang diatur dalam Undang-
Undang. Kemudian dijelaskan pada Pasal 36 ayat 2
atasan Pejabat atau PPID harus memberikan
tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh
Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu
paling lambat 30 hari kerja sejak diterimanya
keberatan secara tertulis. Dari penjelasan Undang-
Undang tersebut jelas bahwa langkah pertama ketika
menghadapi sengketa informasi, badan publik yang
dilaporkan harus menyelesaikan terlebih dahulu
permasalahan tersebut secara internal kemudian
apabila tidak menemui titik terang dikarenakan salah
satu pihak tidak terpuaskan, maka akan dimediasi
oleh Komisi Informasi Daerah (KID) sesuai dengan
Pasal 37 ayat 1.
Sehingga pada dasarnya baik Biro Humas
maupun unit kerja atau instansi lain akan
menyelesaikan permasalahan ini secara mandiri
terlebih dahulu dikarenakan semua SKPD atau
instansi memiliki PPID yang menangani pelayanan
informasi dalam organisasinya, setelah tidak
mendapat jalan keluar maka permasalahan sengketa
informasi merupakan hal yang harus ditangani oleh
Komisi Informasi Daerah (KID).
Hal berbeda berlaku ketika sengketa informasi
terjadi langsung pada unit kerja/ instansi atau SKPD
lain seperti Dinas maupun Badan. Maka Biro Humas
tidak dapat ikut campur atau mewakili dalam
penyelesaian sengketa informasi yang dialami oleh
Dinas atau Badan Provinsi Kalsel. Menurut Kepala
Biro Humas Provinsi Kalsel, Abdul Haris Makkie,
apabila sengketa informasi tersebut berada pada
SKPD maka SKPD tersebutlah yang
menyelesaikannya sendiri. Biro Humas selaku PPID
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166
162
utama merupakan tempat untuk berkonsultasi SKPD
dalam menghadapi dan upaya menyelesaikan
permasalahan sengketa informasi di organisasinya.
“Tapi kalo menyangkut sengketa di SKPD
itu tugasnya di SKPD sendiri. Kan mereka
punya PPID sendiri, yang PPID utama
hanya menghimpun data yang mungkin
tersebar di SKPD, dijadikan satu disini
(Biro Humas). tapi kalo sudah
menyangkut teknis tidak mungkinlah kita
bisa memberikan, ya SKPD sendiri harus
menyelesaikannya. Paling-paling kita jadi
tempatnya berkonsultasi apa yang harus
mereka lakukan itu aja, jadi tidak semua,
jadi mereka sendiri menyelesaikannya.”
Hal seperti diatas pernah terjadi pada kasus
permintaan informasi yang melibatkan Dinas
Pekerjaan Umum (PU) dan Dinas Pendapatan Daerah
(Dispenda) Provinsi Kalsel. Namun menurut Kepala
Bagian Pengolahan Informasi Biro Humas Provinsi
Kalsel, Zainuddin, permasalahan yang terjadi pada
Dinas PU dan Dispenda belum bisa dikatakan
persoalan sengketa informasi, dikarenakan masih
pada tahap awal yakni berupa permintaan informasi
yang belum dipenuhi oleh pihak Dinas PU dan
Dispenda, kemudian pemohon informasi
memberikan surat keberatan atas penolakan dari
Pihak Dinas PU kepada PPID Dinas PU dan
Dispenda, sedangkan Komisi Informasi Daerah
(KID) hanya mendapatkan tembusan dari surat
tersebut. Sehingga KID belum berhak untuk turun
tangan dalam permasalahan ini. Pada kasus seperti
ini, posisi Biro Humas menjadi fasilitator proses
pemecahan masalah tersebut yang berada di dalam
pemerintahan tanpa berhubungan dengan pihak
pemohon informasi. Biro Humas menjadi pihak yang
diminta pendapatnya oleh kedua Dinas tersebut
mengenai langkah awal penanganan permasalahan
ini dan diminta saran serta masukan tanpa ikut
mencampuri kebijakan yang akan diambil oleh Dinas
terkait.
“Ada surat tembusan ke KI (Komisi
Informasi), pernah minta informasi ke
Dinas PU (Pekerjaan Umum) tentang e…
anggaran biaya pembangunan samsat
lawan (dan) flyover. Jadi tembusan ke KI
minta jawaban selama 10 hari kerja sesuai
dengan petunjuk di Undang-Undang.
Dinas PU ada telpon kesini, kaya apa
(bagaimana) ini Pak? Ku bilang itu
kewajiban badan publik. Tapi kan belum
ada PPID katanya. Walaupun PPID itu
belum ada dibentuk, di dinas badan tapi
kewajiban badan publik untuk
memberikan informasi yang diminta oleh
masyarakat itu. Sepanjang informasi
tersebut bukan yang dikecualikan. Info itu
boleh lah. Kalo informasi dalam masih
bentuk rencana atau proses itu termasuk
dikecualikan, kalo sudah jadi ya wajib
untuk diberikan informasi tersebut.”
Keberatan yang dilayangkan kepada Dinas PU
dan Dispenda Provinsi Kalsel tersebut baru terjadi
pada tahun 2015. Keberatan tersebut diungkapkan
oleh salah satu Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)
di Banjarmasin, yakni Lembaga Komunitas Untuk
Demokrasi (LKOMDEK) Banjarmasin. Melalui
surat dengan nomor 19/DEM/III/2015, LKOMDEK
mempermasalahkan permintaan informasi yang tidak
kunjung dijawab oleh Dinas PU dan Dispenda
Provinsi Kalsel. Permintaan ini berkaitan dengan
pekerjaan pembangunan jembatan Fly Over dan
kantor baru Samsat di Banjarmasin. Sampai pada
penelitian ini selesai dilakukan, Dinas PU dan
Dispenda menurut Zainuddin masih belum
memberikan jawaban.
Hal ini dikarenakan baik Dinas PU dan
Dispenda merasa tidak yakin apakah informasi yang
diminta tersebut dapat diberikan atau masuk dalam
pengecualiaan. Namun Biro Humas yang dimintai
masukkannya oleh kedua Dinas tersebut menyatakan
bahwa informasi yang diminta merupakan informasi
publik dan berhak diketahui oleh pemohon
informasi. Melihat dari kenyataan di atas, terlihat
jelas bahwa baik Dinas PU dan Dispenda belum
mengerti dan menjalankan tugasnya sebagai PPID di
dalam organisasinya, hal tersebut juga dibenarkan
oleh Zainuddin yang mengatakan bahwa banyak
SKPD di pemprov Kalsel belum memiliki struktur
PPID di organisasinya dan belum juga menjalankan
Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto
163
perintah Undang-Undang Keterbukaan Informasi
Publik.
Keterlibatan Biro Humas dalam manajemen
puncak terkait keterbukaan informasi publik belum
terjadi terutama dalam hal verifikasi dan
inventarisasi informasi publik yang dikecualikan
untuk dilakukan uji konsekuensi. Selain itu Biro
Humas sebagai PPID utama juga belum
melaksanakan verifikasi dan inventarisasi untuk
organisasinya sendiri, ini menjadi kelemahan bagi
Biro Humas sebagai PPID utama dan sebagai
bagaian dari unit kerja Provinsi Kalsel. Kemudian
dalam penyelesaian sengketa informasi hanya
sengketa yang terjadi dalam lingkup tugas pokok dan
fungsi dari Biro Humas. Dalam hal ini Biro Humas
hanya menangani permasalahan sengketa informasi
yang terjadi di lingkup pimpinan atau Sekretariat
Daerah Provinsi Kalsel, sehingga dapat terlibat
dalam tim manajemen puncak yakni pimpinan
(Gubernur, Wagub dan Sekretaris Daerah).
Sedangkan SKPD lain merupakan SKPD
mandiri yang memiliki PPID sendiri, PPID tersebut
telah dibentuk sehingga permasalahan sengketa
informasi dapat diselesaikannya, peran Biro Humas
hanyalah sebagai tempat konsultasi bagi SKPD. Oleh
karena itulah PPID pembantu setiap SKPD perlu
dibentuk agar dapat menyeimbangkan dalam
penerapan Undang-Undang Keterbukaan Informasi
Publik dan Biro Humas selaku PPID utama
seharusnya menunjukkan kemampuaannya dalam
mengelola informasi publik yang dimulai dari
organisasinya terlebih dahulu. Dari penjelasan
tersebut didapat bahwa Biro Humas tidak mampu
memiliki akses koalisi dominan dalam organisasi
yang ditandai dengan sejauh mana praktisi
berpartisipasi dalam manajemen puncak seperti yang
dikemukakan oleh Dozier (1995). Hal ini
dikarenakan Biro Humas dianggap hanyalah sebatas
pelayanan pada pimpinan dalam Sekretariat Daerah
yang masukan maupun keputusan yang dibuatnya
tidak memiliki implikasi penuh pada SKPD lain
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada penelitian yang telah
dilakukan terkait peran Biro Humas dalam
keterbukaan informasi publik, Biro Humas
secara umum masih belum memiliki peran yang
kuat dalam pemerintahan untuk menerapkan
keterbukaan informasi publik, padahal dalam
posisinya sebagai PPID utama seharusnya
banyak yang dapat dilakukan agar memancing
SKPD lain bergerak cepat terhadap keterbukaan
informasi tersebut.
Hal tersebut didasarkan pada pelaksanaan
dimensi peran tidak dijalankan penuh oleh Biro
Humas dan dalam kegiatannya, Humas tidak di
dukung penuh oleh organisasi, keterbatasan
sumber daya manusia dan praktik komunikasi
yang tidak mengedepankan keterbukaan dan
interaktivitas dari pemerintah ke publik sehingga
Biro Humas dapat dikatakan belum memiliki
peranan yang menonjol dan aktif dalam
pemerintahan terkait dengan pelaksanaan
keterbukaan informasi publik.
Biro Humas tidak memenuhi peran
sebagai expert Presciber dalam kegiatan yang
dilakukannya. Sementara itu peran problem
solving process facilitator tidak ada terlihat pada
Biro Humas, hal ini dikarenakan Biro Humas
belum menjalankan kegiatan verifikasi dan
inventarisasi informasi untuk didiskusikan oleh
pimpinan tingkat atas. Kegiatan verifikasi akan
dilakukan apabila daftar informasi publik dari
SKPD telah dikumpulkan pada Biro Humas,
namun sampai saat penelitian dilakukan SKPD
belum mengumpulkan semua daftar informasi
publik diorganisasinya pada Biro Humas.
Selain itu penelitian ini mendapati bahwa
Biro Humas lemah dalam menjalankan
posisinya sebagai PPID utama. Hal ini terbukti
dari masih minimnya rencana program kegiatan
terkait dengan posisinya sebagai PPID utama
maupun yang terkait dengan keterbukaan
informasi publik.
Kegiatan yang ada sejak tahun 2012
hingga 2014 hanya berupa kegiatan umum dan
biasa atau masih terpatok pada fungsi awal Biro
Humas pelayanan pada pimpinan yang bearda
ditingkat Sekretariat Daerah. Kegiatan yang
adapun tanpa diikuti adanya rencana program
kerja yang jelas berisi strategi-strategi
percepatan keterbukaan informasi publik agar
segera terlaksana di semua SKPD.
B. Saran
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166
164
Biro Humas Provinsi Kalimantan Selatan dapat
memanfaatkan sumber daya manusia yang sudah ada
untuk memiliki kemampuan menjalankan tugas
sebagai Humas pemerintah maupun PPID utama di
Provinsi Kalsel, mengingat tidak meratanya
koordinasi antar bagian pada Biro Humas.
selanjutnya Biro Humas harus segera mungkin
merencanakan program kegiatan beserta strategi-
strategi yang berkesinambungan untuk percepatan
keterbukaan informasi publik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dr.Phil Ana Nadhya Abrar,M.E.S dan Drs.
I Gusti Ngurah Putra, M.A, yang telah banyak
membantu untuk menyelesaikan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Trisulo, E., 2014. Perlunya Grand Design
Keterbukaan Informasi Publik, [online] 04
Februari. Tersedia di:
<http://www.komisiinformasi.go.id/news/vie
w/perlunya-grand-design-keterbukaan-
informasi-publik>
Dia, 2015. Tak Ada Data Gagal Lelang.
Banjarmasin Post, [online] 9 Januari. Tersedia
di:
<http://banjarmasin.tribunnews.com/2015/01/
09/tak-ada-data-gagal-lelang>
Anon, 2015. Menutupi Informasi Pulik.
Banjarmasin Post, [online] 10 Januari.
Tersedia di: <http://banjarmasin.
tribunnews.com/2015/01/10/menutupi-
informasi-publik>
Kemendagri, 2013. Rekapitulasi SK PPID Provinsi
Se-Indonesia. [pdf] Kementerian Dalam Negri.
Tersedia di: <http://www.kemendagri.go.id/
media/filemanager/2013/10/01/p/p/ppid_prov
_se_indonesia.pdf>
Kominfo, 2014. Rekapitulasi Pejabat Pengelola
Informasi dan Dokumentasi (PPID) Pada
Badan Publik Negara. [pdf] Kementerian
Komunikasi dan Informatika. Tersedia di: <
https://ppidkemkominfo.files.wordpress.com/
2014/07/tabel-rekap-ppid-per-1-juli-
2014.pdf>
Welkinson, D., 2012. Peran Humas Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam
Upaya Implementasi Undang-Undang No.14
Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi
Publik. Sarjana. Universitas Indonesia.
Tersedia di: <http://lib.ui.ac.id/file?file=digital
/20289266-S-David%20Welkinson.pdf>
Hidayati, T., 2014. Peran Humas Dalam
Implementasi Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi
Publik di Badan Publik (Studi Kasus Pada
Badan Pemeriksa Keuangan RI). Sarjana.
Universitas Gadjah Mada. Tersedia di: <
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod
=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act
=view&typ=html&buku_id=69733>
Creswell, J. W., 2003. Research Design:
Qualitative and Quantitative Approaches.
Penerjemah oleh Budiman, A., Hasbroto, B.,
dan Chryshnanda. Jakarta: KIK Press.
Lee, M., Neeley, G., Steward, K., 2012. Practice of
Government Public Relations. London: CRC
Press.
Yin, R. K. 2014. Studi Kasus: Desain dan Metode.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Botan, Carl H, Vincent, Hazleton. 2009. Public
Relations Theory II. New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates, Inc, Publishers
Boundreaux, Jill. 2005. A Quantitative Assesment of
Public Relations Practitioners Perceptions of
their Relationship with the Organization they
Represent. Graduate Theses & Dissertations:
University of South Florida
Castelli, Joelle Wiley. 2007. A Quantitative
Assesment of Government Public Relations
Practitioners Role & Public Relations Model
Usage. Graduate Theses & Dissertations:
Peran expert Prescriber Dan Problem … Belinda Devi Larasati Siswanto
165
University of South Florida
Chen, Ni. 2009. ‘From Propaganda to Public
Relations: Evolutionary Change in the Chinese
Government’. Asian Journal of
Communication, 13:2, 96-121
Cucciniello, M & Nasi, G. 2014. ‘Transparency for
Trust in Government, How Effective is Formal
Transparency?’. International Journal of
Public Administration, 13-37,911-921
Cutlip, Scott M., Allen H. Center, dan Glen M.
Broom. 2006. Effective Public Relations. Edisi
Kesembilan. Terjemahan. Jakarta: Kencana
Dozier, D. M & Broom,G.M. 1995. Evolution of the
manager role in public relations practice.
Journal of Public Relations Research, 7(1), 3-
26
Dozier, D. M., Grunig, L. A., & Grunig, J. E. (1995).
The manager’s guide to excellence in public
relations and communications management.
Mahwah, NJ: Lawrence Earlbaum Associates,
In
Graham, Melissa. 2014. ‘Government
Communication in the Digital Age: Social
Media’s Effect on Local Government Public
Relations’. Public Relations Inquiry, Vol.3 (3)
Grunig, J. E. 2001.The Role of Public Relations in
Management and it’s Contribution to
Organizational & Societal Effectiveness.
Speech Delivered in Taipe, Taiwan
(http://www.instituteforpr.org/wp-
content/uploads/2001_PRManagement.pdf)
Grunig, J.E. & Hon, L. 1999. Guidelines for
measuring Relationships in Public Relations.
The Institute for Public Relations
(http://www.instituteforpr.org/wp-
content/uploads/Guidelines_Measuring_Relati
onships.pdf)
Kelleher, Tom. 2001. ‘Public Relations Roles &
Media Choices’. Journal of Public Relations
Research, 13 (4), 303-320
Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset
Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
Laskin, Alexander. 2009. ‘The Evalution of Model
of Public Relations : an Outsider’s
Perspective’. Journal of Communication
Management Vol. 13 No.1, 37-50
Lee, Mordecai. 2009. ‘The Return of Public
Relations to the Public Administration
Curriculum?’. Journal of Public Affairs
Education Vol. 15(4), 515-533
Lee, M, Neeley, G, Steward, K. 2012. Practice of
Government Public Relations. London: CRC
Press
Liu, B. F, Horsley, J, S. 2007. ‘The Government
Communication Decision Wheel: Toward a
Public Relations Model for the Public Sector’.
Journal of Public Relations Research,
19:4,377-393
Liu, B. F, Horsley, J, S, Levenshus, A, B. 2010.
‘Government and Corporate Communication
Practices : do the Differencies Matter?’.
Journal of Applied Communication Research,
38:2, 189-213
Moleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya
Moss, D, Newman, A, Desanto,B. 2005. ‘What do
Communication Managers do? Defining &
Refining the core Elements of Management in
Public Relations/ Corporate Communication
Context’. Journal J & MC Quarterly, Vol.82,
No.4
Narendra, Pitra. 2008. Metodologi Riset Komunikasi
: PanduanUntuk Melaksanakan Penelitian
Komunikasi. Yogyakarta: BPPI & PKMBP
Putra, I Gusti Ngurah. 1999. Manajemen Hubungan
Masyarakat. Yogyakarta: UAJ Yogayakarta
Putra, I.Gusti Ngurah. 2004. Public Relations Untuk
Pemerintah Daerah: Tantangan Baru dalam
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 149-166
166
Alam Demokrasi. Dalam Koalisi Dominan:
Refleksi Kritis Atas Peran dan Fungsi Public
Relations Dalam Manajemen. Jakarta: BPP
Perhumas
Vos, M. & Westerhoudt, E. (2008), 'Trends in
Government Communication in The
Netherlands'. Journal of Communication
Management, Volume 12, Issue 1, pp. 18‐29
Yin, R. K. 2014. Studi Kasus: Desain dan Metode.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Imperialisme Budaya Dalam Media Noviana Sari
167
IMPERIALISME BUDAYA DALAM MEDIA
CULTURE IMPERIALISM IN MEDIA
Noviana Sari
Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat.
Jl. Brigjend H. Hasan Basry Kayu Tangi Banjarmasin, 70123. Kalimantan Selatan, Indonesia. 0511-3304595
Email: [email protected]
diterima: 4 Januari 2016 | direvisi: 15 Januari 2016 | disetujui: 18 Januari 2016
ABTRACT
Discourse is a production base of power, legitimacy and hegemony of the dominant classes that produce things
such as the idea or knowledge that contains the ideology of which reproduces the discourse, as well as in
families, schools, workplaces, social organization and activities of daily life, including in it is a lifestyle. The
process of hegemonic discourse of lifestyle is one of the strategies of the dominant classes to do politics of
cultural imperialism. With an attractive and persuasive language offered in the magazine, the political process
of cultural imperialism obtain justification, because the magazine as an agent not only inform the lifestyle of
a particular culture but were able to define where the lifestyle is considered correct. This research is based to
unpack the meaning of discourse lifestyle offered in a franchise magazine USA to Indonesia, namely
CosmoGirl! Indonesia, through the rubric of fashion The CG! Look: Celebrity Style and trend model as a form
of cultural imperialism orientation of the west to the eastern culture. In the rubric The CG! Look: Celebrity
Style, CosmoGirl! not only presents fashion-fashion fads and used by foreign artists recommended for
adoption, but also hide explicit messages and unconsciously. The values introduced by CosmoGirl! seen in
themes at fashion rubric The CG Look: Style Celebrity look how CosmoGirl! presents a model that is a trend
of fashion and of course backed up with strategies to show the positive side of the style of dress western style.
These strategies are carried out by CosmoGirl! by attacking the image of ourselves as young women who
definitely wants to appear as attractive as possible.
Keywords: discourse analysis, Cultural Imperialism, lifestyle, fashion, magazines, rubric.
ABSTRAK
Wacana merupakan basis produksi kekuasaan, legitimasi dan hegemoni dari kelas dominan yang memproduksi
hal-hal seperti gagasan atau pengetahuan yang mengandung ideologi dari yang mereproduksi wacana, seperti
halnya dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, organisasi sosial dan aktivitas kehidupan sehari-hari, termasuk
juga di dalamnya adalah gaya hidup. Proses hegemoni wacana gaya hidup adalah salah satu strategi dari kelas
dominan untuk melakukan politik imperialisme budaya. Dengan bahasa yang menarik dan persuasif yang
ditawarkan dalam majalah, proses politik imperialisme budaya memperoleh pembenaran, karena majalah
sebagai agen tidak hanya menginformasikan gaya hidup dari suatu budaya tertentu tetapi mampu
mendefinisikan mana pola hidup yang dianggap benar. Penelitian ini didasari untuk membongkar makna
wacana gaya hidup yang ditawarkan dalam sebuah majalah franchise USA yang masuk ke Indonesia, yaitu
Cosmogirl! Indonesia, melalui rubrik fashion The CG! Look: Gaya Seleb dan trend modelnya sebagai bentuk
orientasi dari proses imperialisme budaya barat ke budaya timur. Dalam rubrik The CG! Look: Gaya Seleb,
Cosmogirl! tidak hanya menyajikan fashion-fashion yang sedang menjadi trend dan digunakan para artis luar
negeri yang disarankan untuk diadopsi, namun juga menyembunyikan pesan-pesan secara eksplisit dan tidak
disadari. Nilai-nilai yang dikenalkan oleh Cosmogirl! terlihat dalam tema-tema pada rubrik fashion The CG
Look: Gaya Seleb terlihat bagaimana Cosmogirl! menyajikan model fashion yang sedang trend dan tentu saja
didukung dengan strategi-strategi yang menampilkan sisi positif dari gaya berbusana ala barat. Strategi-strategi
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182
168
tersebut dilakukan oleh Cosmogirl! dengan cara menyerang citra diri kita sebagai remaja wanita yang pastinya
ingin tampil semenarik mungkin.
Kata Kunci: analisis wacana, Imperialisme Budaya, gaya hidup, fashion, majalah, rubrik.
I. LATAR BELAKANG
Majalah Cosmogirl! Indonesia adalah salah satu
majalah franchise dari Amerika Serikat yang
menggambarkan kehidupan remaja wanita sesuai
dengan fenomena yang terjadi pada masyarakat
global yang mulai mencerna kehidupan remaja yang
ada di masyarakat. Majalah Cosmogirl! ini dinilai
sebagai gejala kehidupan yang dibentuk untuk
mempublikasikan ide sekaligus sebagai mode atau
trend dan akhirnya menjadi bahan yang diterima
masyarakat melalui media yang menyajikan semua
issue yang berhubungan dengan kehidupan remaja-
remaja wanita.
Pada setiap edisinya, Cosmogirl! Indonesia
dipadati dengan beberapa rubrik-rubrik andalannya.
Salah satu rubriknya adalah rubrik fashion yang
dinamakan “The CG! Look” yang memuat sekmen
yang dinamakan Look: Gaya Seleb, dimana beberapa
hal tentang trend berbagai macam busana dan
fashion yang dimuat beserta foto-foto selebritis dunia
maupun busana-busana rancangan desainer ternama.
Rubrik tersebut memberikan rekomendasi gaya
berbusana ala artis luar negeri, dari harga hingga
tempat penjualan dimana kita bisa mendapatkan
barang-barang tersebut. Dilengkapi pula dengan tips
dan trik berbusana sesuai karakter diri serta memberi
pilihan beragam sesuai kebutuhan individu dalam
kaitannya dengan rubrik fashion terhadap gaya
berbusana remaja.
Berkembangnya dunia fashion merupakan efek
yang ditimbulkan akibat globalisasi media, karena
dengan menggunakan pendekatan hiburan, negara-
negara maju yang mempunyai agenda tertentu dapat
dengan mudah masuk dalam persepsi masyarakat.
Dalam hal imperialisme budaya, selera remaja ini
tentu bisa dilihat secara langsung, selain dari
majalah-majalah dengan lisensi luar negeri itu juga
dan secara tidak langsung produk-produk luar yang
ditawarkan dalam majalah bertendensi mendorong
remaja-remaja di Indonesia mengikuti pola trend
yang terjadi di luar negeri daripada trend yang ada di
Indonesia.
Terkait dengan imperialisme budaya, majalah
Cosmogirl! Indonesia sebagai media massa tidak
akan terlepas dari kepentingan ekonomi politik dan
ideologi mereka sendiri. Majalah Cosmogirl!
Indonesia yang merupakan majalah franchise dari
Amerika dan telah menglobal ini tentunya membawa
motif ekonomi dan politik tersendiri di Indonesia.
Meskipun 30% isi dari majalah ini telah
menyesuaikan dengan kondisi budaya Indonesia,
akan tetapi hal itu masih saja bercermin dengan
budaya luar. Terkait dengan hal tersebutlah yang
membuat penulis tertarik untuk menganalisis wacana
Wacana Caption Rubrik Fashion “The CG! Look:
Gaya Seleb” pada Majalah Cosmogirl! Indonesia
dengan mengunakan pendekatan Van Dijk yang
meliputi teks (text), kognisi sosial, dan konteks.
Tujuan dari penelitian ini adalah ingin melihat
bagaimana imperialisme budaya barat masuk ke
Indonesia melalui rubrik fashion “The CG! Look:
Gaya Seleb“ pada majalah Cosmogirl! Indonesia,
dalam deteksi: 1. Style artis (selebriti dunia) dalam
wujud busana-busana yang mereka kenakan dalam
berbagai acara. 2. Ketertarikan dan konsumtivitas
pembaca Cosmogirl! Indonesia, dalam hal ini remaja
wanita Indonesia pada untuk melihat dan meniru
fashion style artis mancanegara pada rubrik fashion
“The CG! Look: Gaya Seleb“
Sebagai informasi dan kontribusi bagi kalangan
ilmuan (peneliti, mahasiswa, dan pegamat media)
dalam rangka mengembangkan ilmu komunikasi
tentang wacana imperialisme budaya dalam media,
khususnya wacana pergeseran budaya remaja di
Indonesia. Serta sebagai masukan bagi praktisi
media, khususnya media cetak dalam
mengkonstruksi pergeseran budaya remaja di
Indonesia. Lebih jauh lagi, setelah mengetahui
bagaimana imperialisme budaya barat bisa
diidentifikasi melalui trend model yang diadaptasi
untuk konteks Indonesia pada rubrik fashion “The
CG! Look“ dalam majalah Cosmogirl! Indonesia.
Imperialisme Budaya Dalam Media Noviana Sari
169
Objek penelitian ini adalah rubrik fashion “The
CG! Look: Gaya Seleb“ pada majalah Cosmogirl!
Indonesia, bulan Januari 2010 sampai Juni 2010.
Dalam kajian ini peneliti memahami kerangka
penelitian ini sebagai fenomena politik imperialisme
budaya dengan menggunakan wacana fashion dan
lifestyle sebagai strategi untuk mengkomunikasikand
ominasi budaya dominan. Dalam hal ini media massa
dapat dikatakan sebagaiagen dari budaya dominan.
Media massa yang bekerja sama dengan kapitalisme
selalu mendefinisikan budaya barat adalah budaya
yang patut untuk diadopsi.
Pengaruh dunia barat dengan nilai-nilainya
sedikit banyak mempengaruhi nilai budaya kita. Hal
tersebut akibat arus simbolik global yang nyata yaitu
nilai-nilai dari luar dapat dengan mudah masuk ke
dalam kehidupan masyarakat melalui transformasi
teknologi komunikasi modern dan industri komersil.
Kemasan media massa yang menarik dapat membuat
masyarakat tertarik untuk melihat atau membaca
informasi tersebut. Bagaimana media massa
mengkonstruksikan realitas ke dalam sebuah
kemasan medianya.
Teori imperialisme budaya menyatakan bahwa
negara Barat mendominasi media di seluruh dunia
ini. Ini berarti pula, media massa negara Barat juga
mendominasi media massa di dunia ketiga, karena
media barat mempunyai efek yang kuat untuk
mempengaruhi media dunia ketiga dan media barat
sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga.
Sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul
lewat media tersebut. (Nurudin 2007)
Dalam perspektif teori ini, ketika terjadi proses
peniruan media negara berkembang dari negara
maju, saat itulah terjadi penghancuran budaya asli di
negara ketiga. Kebudayaan Barat memproduksi
hampir semua mayoritas media massa di dunia ini,
seperti film, berita, komik, foto, bahkan fashion dan
lain-lain. Mereka bisa mendominasi seperti itu
karena mereka mempunyai uang, dengan uang
mereka akan bisa berbuat apa saja untuk
memproduksi berbagai ragam sajian yang
dibutuhkan media massa. Bahkan media Barat sudah
dikembangkan secara kapitalis. Dengan kata lain,
media massa Barat sudah dikembangkan menjadi
industri yang juga mementingkan laba. Negara barat
juga mempunyai teknologi modern yang
memungkinkan sajian media massa diproduksi
secara lebih baik, meyakinkan dan “seolah nyata”.
(Nurudin 2007)
Teori ini juga menerangkan bahwa ada satu
kebenaran yang diyakininya. Sepanjang negara dunia
ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media
massanya berasal dari negara Barat, orang-orang
dunia ketika akan selalu percaya apa yang
seharusnya mereka kerjakan, pikir dan rasakan.
Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh
orang-orang yang berasal dari kebudayaan Barat.
Analisis wacana dalam penelitian ini digunakan
karena alalisis wacana dapat mengetahui makna yang
tersembunyi dari suatu teks. Berbeda dengan analisis
ini yang hanya menganalisis apa yang ada dalam teks
tanpa melihat apakah si pembuat teks mempunyai
kepentingan dari artikel tersebut. Dengan
menggunakan analisis wacana, akan dapat diketahui
bahwa teks-teks yang ada dalam suatu artikel
bukanlah suatu yang netral. Teks-teks tersebut adalah
praktek ideologis dari kelas dominan.
Analisis wacana tidak hanya meneliti tentang
pesan suatu teks komunikasi melainkan juga dapat
digunakan untuk mengkaji tentang makna yang ada
dibelakang suatu pesan teks komunikasi melalui
bahasa yang ada dalam pesan tersebut. Hal ini terkait
dengan konsep wacana itu sendiri. Wacana bukan
sesuatu yang netral, karena dibelakang wacana pasti
ada kuasa dan ideology kekuasaan akan
mengartikulasikan ideologi pengetahuannya melalui
wacana. Sehingga dengan menggunakan analisis
wacana maka akan terlihat siapa dan dengan maksud
apa ideologi memproduksi suatu wacana. Dengan
demikian tujuan analisi wacana bukanlah untuk
mencari apa yang sebenarnya terjadi, tetapi
bagaimana suatu aktor memproduksi kebenaran pada
atas suatu wacana. (Eriyanto, 2001).
Wacana oleh Van Dijk digambarkan memiliki
tiga dimensi, yaitu yang pertama adalah teks, dimana
dalam dimensi teks yang diteliti adalah bagaimana
struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk
menegaskan suatu tema tertentu. Yang kedua adalah
kognisi sosial, dimana analisis wacana tidak hanya
membatasi perhatiannya pada struktur teks yang
diproduksi. Menurutnya perlu adanya penelitian
mengenai kognisi sosial dalam kesadaran
komunikator yang membentuk teks tersebut. Dengan
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182
170
adanya analisis kognisi sosial akan dapat diketahui
makna tersembunyi dari suatu teks. Dan yang ketiga
adalah konteks sosial yang merupakan setting yang
mencakup latar belakang, waktu, tempat dan situasi
dari suatu peristiwa yang melahirkan suatu teks
tertentu. Konteks digunakan untuk menggambarkan
keadaan dan kondisi sosial, politik dan sejarah pada
saat terjadinya kegiatan, proses atau peristiwa
tertentu.
II. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian yang
bersifat kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif
tentang Bagaimana imperialisme budaya barat
masuk ke Indonesia melalui rubrik fashion “The CG!
Look: Gaya Seleb“ pada majalah Cosmogirl!
Indonesia.
Kerangka analisis Van Dijk berimplikasi bahwa
setiap jenjang pengamatan mempunyai teknik
pengumpulan data masing-masing. Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa kerangka analisis Van Dijk
terdiri dari tiga jejang, yaitu, teks, kognisi social, dan
konteks social. Jadi teknik pengumpulan data dari
kerangka analisis wacana Van Dijk dapat dilihat
dalam tabel 1. (Eriyanto 2001)
Tabel 1. Jenjang Pengumpulan Data
Jenjang Metode Pengumpulan
Data Teks: Menganalisis bagaimana strategi wacana dan stretegi tekstual yang dipakai oleh majalah Cosmogirl! Indonesia dalam menggambarkan produk-produk budaya barat
Critical linguistic (struktur wacana Teun A. van Dijk)
Kognisi sosial: Menganalisis bagaimana kognisi wartawan majalah Cosmogirl! Indonesia dalam hubungannya dengan imperialisme budaya
Wawancara mendalam
Konteks Sosial: Menganalisis bagaimana wacana yang
Penelitian (studi) pustaka, penelusuran sejarah
berkembang dalam masyarakat tentang produk-produk budaya barat dalam proses imperialisme budaya
Sesuai dengan temanya, maka penelitian ini
akan mengkaji teks (caption) yang ada dalam rubrik
fashion” the CG! Look”, dengan artikel Look: gaya
Seleb dalam majalah Cosmogirl! Indonesia. Artikel
tersebut dipilih karena mengandung pesan-pesan
yang eksplisit dan secara tidak disadari menjadi
strategi dari kelompok dominan untuk memperoleh
legitimasinya.
Majalah Cosmogirl! Indonesia dipilih sebagai
objek dalam penelitian ini karena peneliti melihat
sebagaian besar isi dari majalah Cosmogirl!
Indonesia Mengadopsi Cosmogirl! versi aslinya,
khususnya pada pada rubrik fashion nya yang
mengadaptasi budaya barat dalam 6 edisi.
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian
ini yaitu ada tiga level analisis, yaitu text, kognisi
sosial, dan konteks. Pada level text, teknik analisis
datanya adalah dengan menganalisis caption pada
artikel “Gaya Seleb” majalah Cosmogirl! Indonesia
dalam rubrik fashion “The CG! Look”.
Sesuai dengan struktur analisis teks wacana dari
Van Dijk, maka perlu untuk menganalisis struktur
tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik dan
retoris. Stuktur-struktur tersebut dalam analisis teks
sangat penting karena melalui struktur-struktur
tersebut strategi pengemasan pesan oleh media massa
dapat diketahui. Selain itu juga dapat digunakan
untuk melihat praktek ideologis dari kaum
pemodal/budaya dominan. (Van Dijk, T. A., 1994)
Struktur Wacana Tematik
Topik atau tema merupakan gambaran umum,
gagasan inti dari pesan yang ingin disampaikan oleh
komunikator. Tema yang disampaikan oleh
komunikator memainkan peran penting dalam
membentuk kesadaran sosial, maksudnya dalah
ketika komunikator memaparkan sebuah tema, maka
pada waktu itu kesadaran sosial telah terbentuk.
Dalam analisis struktur ini akan terlihat bagaimana
rubrik fashion “The CG! Look” dalam Look: Gaya
Seleb, ingin menekankan melalui tema-tema gaya
busananya yang menggunakan patokan dari barat
adalah gaya busana yang harus diadopsi.
Imperialisme Budaya Dalam Media Noviana Sari
171
Struktur Wacana Skematik
Analisis skematik merupakan salah satu cara
untuk mengamati bagaimana bagian dan urutan
berita diskemakan dalam teks berita. Dengan
melakukan analisis skematik ini akan diketahui
bagian mana yang didahulukan dan bagian mana
yang bisa dijadikan strategi untuk menyembunyikan
informasi penting.
Struktur Wacana Semantik
Semantic dikategorikan sebagai makna local,
yaitu makna yang muncul dari hubungan antar
kalimat, hubungan antar proposisi yang membangun
makna tertentu dalam suatu bangunan teks. Semantik
tidak hanya mendefinisikan bagian mana yang
penting dari struktur wacana, tetapi juga menggiring
kea rah sisi tertentu dari suatu peristiwa. Strategi ini
dimaksudkan untuk menggambarkan diri sendiri
secara positif dan menggambarkan kelompok lain
secara buruk.
Struktur Wacana Sintaksis
Strategi ini dilaksanakan untuk meampilkan diri
sendiri secara positif dan lawan secara negative
dengan menggunakan kata pemakaian ganti, aturan
tata kata, pemakaian kalimat aktif dan pasif,
peletakan anak kalimat dan pemakaian kalimat yang
kompleks.
Struktur Wacana Stilistik
Pusat perhatian stilistik adalah style, yaitu cara
yang digunakan komunikator untuk menyatakan
maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai
saran. Jadi style dapat diterjemahkan sebagai gaya
bahasa yang mencakup diksi atau pilihan leksikal,
struktur kalimat, majas dan pencitraan, serta pola
rima.
Struktur Wacana Retoris
Wacana retoris adalah salah satu strategi yang
dilakukan untuk mengetahui bagaimana media massa
mendefinisikan makna-makna tertentu. Retoris
mempunyai fungsi persuasive dan berhubungan erat
dengan bagaimana pesan itu ingin disampaikan
kepada khalayak.
Pada level kognisi sosial adalah dengan
menganalisis hasil wawancara mendalam dengan key
informant yang memahami proses serta seluk-beluk
proses penciptaan caption dan tata busana selebritis
yang ditampilkan dalam rubrik fashion “The CG!
Look: Gaya Seleb” yang menampilkan dan
menawarkan produk-produk serupa yang dikenakan
oleh selebritis dunia yang ditampilkan pada rubrik
tersebut.
Sedangkan pada level konteks, dilakukan studi
literatur untuk mengaitkan temuan fakta dalam
analisis teks (caption) dan analisis lapangan sesuai
dengan kondisi sosial budaya yang ditinjau secara
menyeluruh untuk melihat bagaimana Bagaimana
imperialisme budaya barat tersebut masuk ke
Indonesia melalui rubrik fashion “The CG! Look:
Gaya Seleb” pada majalah Cosmogirl! Indonesia.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Wacana Teks (Caption) Rubrik
Fashion “GAYA SELEB”
a. Tema: Refleksi kepentingan communicator dan
budaya barat
Budaya barat dan kepentingan dari komunikator
oleh Cosmogirl! dijadikan sebagai landasan dalam
penyajian tema. Majalah Cosmogirl! dalam
menyajikan tema gaya busana selalu mengikuti
standar atau patokan budaya barat dan komunikator.
Jadi dapat dikatakan bahwa standing point dari
majalah Cosmogirl! adalah sebagai juru bahasa dari
budaya dominan dan komunikator. Hal ini terlihat
dalam tema-tema yang disajikan, diantaranya tata
busana dengan menggunakan patokan artis
Hollywood perlu untuk diadopsi supaya dapat tampil
menarik dan mewah. Dalam rubrik tersebut disajikan
bagaimana artis-artis Hollywood memiliki rahasia
dalam berbusana yang dianggap oleh Cosmogirl!
pantas untuk ditiru. Dimana kepantasan untuk ditiru
tersebut sesuai dengan standar dari Hollywood yang
mencerminkan budaya barat.
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182
172
Gambar 3. Rubrik Fashion ‘LOOK_GayaSeleb’ pada Majalah Cosmogirl!
Dengan tema For Fake’s sake pada gambar 3
diatas, Cosmogirl! ingin menampilkan gaya fashion
Animal print, Bling-bling, Feathers, dan Leathers,
namun dengan bahan buatan atau palsu (imitasi).
Cosmogirl! menunjukkan bahwa walaupun bukan
terbuat dari bulu, kulit binatang ataupun perhiasan
asli, tema fashion ini lah yang sedang trend diseluruh
dunia pada saat ini dan juga digunakan oleh artis-artis
Hollywood yang sedang naik daun seperti Katty
Perry, Fergie ‘The Black Eyed Pease”, dan Kate
Moss.
Gambar 4. Rubrik Fashion ‘LOOK_GayaSeleb’ pada Majalah Cosmogirl!
Tema The L Words yang muncul pada caption
gambar 4 di atas adalah tentang dua artis muda
mancanegara yang sama-sama mempunyai inisial L,
Yaitu Lykke Li yang seorang penyanyi indie dan
Leven Rambin yang merupakan aktris muda
berbakat. Lykke Li adalah artis barat (kelahiran
Swedia) yang berprofesi sebagai penyanyi indie
muda, dengan nama lengkap Li Lykke Timotej
Zachrisson. Diceritakan juga bahwa Lykke Li punya
banyak koneksi dengan musisi-musisi hebat seperti
Kanye West, Bjorn Ytlling, DJ Kleerup, Royksopp.
Penyebutan salah satu hits lagunya (Possibility)
sebagai soundstrack film Newmoon adalah penguat
cerita bahwa tokoh obyek adalah orang yang terkenal
dan berpengaruh di ranah selebriti dan hiburan. Teks
di atas juga dibumbui dengan istilah-istilah asing
(dalam bahasa inggris) sebagai wujud “western”.
Sedangkan Leven Rambin adalah cewek
berumur 20 tahun yang berasal dari Texas bernama
lengkap Leven Alice Rambin yang pada saat
sekarang ini wajah cantiknya sering muncul di layar
kaca dengan membintangi berbagai serial TV seperti
All My Children, Law & Order, Lipstick Jungle,
Grey’s Anatomy dan Terminator: The Sarah Connor
Chronicles. Diceritakan juga bahwa Rambin adalah
seorang gadis tomboy namun suka tampil feminim.
Gambar 5. Rubrik Fashion ‘LOOK_GayaSeleb’ pada Majalah Cosmogirl!
Imperialisme Budaya Dalam Media Noviana Sari
173
Dengan tema Musik & Gaya, gaya seleb edisi
Maret menceritakan tentang dua band yang sama-
sama berkiprah di dunia musik internasional dan
berani tampil dengan gaya yang berbeda. Mereka
adalah La Roux dan The Plastiscines. La Roux
dengan Eleanor Jackson atau yang lebih dikenal
dengan Elly Jackson dari band La Roux ini menjadi
inspirasi banyak remaja di London, dengan
penampilannya yang keren dengan model rambut
pendek dan koleksi-koleksi pakaiannya yang
terkesan Boyish dan berani tampil beda, seperti
blazer, jaket sampai celana yang tabrak motif.
Sedangkan The Plastiscines yang
beranggotakan Katty besnard, Marine Nevilly,
Louise Basilien, Anoushka, dan Vandevyvere atau
Anais ini memainkan musik dengan genre indie pop
dan garage rock yang terinspirasi dari The White
Stripes dan The Strokes. Lagu mereka pun dipakai
dalam salah satu episode di serial Gossip Girl. Untuk
urusan pakaian dan penampilan, band yang terdiri
dari cewek-cewek Prancis ini selalu menyesuaikan
dengan penampilan panggung mereka, yaitu bergaya
Punk feminine.
Gambar 6. Rubrik Fashion ‘LOOK_GayaSeleb’ pada Majalah Cosmogirl!
Pada edisi ini, rubrik gaya seleb bertemakan
Chic and Talented, yang menceritakan dua artis
muda Hollywood berbakat, Amanda Seyfried dan
Carey Mulligan. Amanda Seyfried yang menyenangi
gaya chic yang dipadukan dengan sentruhan vintage
dan rambut blonde nya yang panjang. Amanda sudah
menjadi model anak-anak sejak usia 11 tahun dan
menjadi pemeran figuran dalam film Mean Girls dan
semakin terkenal sejak beradu acting dengan Megan
Fox dalam film Jenifer’s Body dan menjadi pemeran
utama dalam film musical Mamma Mia.
Sedangkan Carey Mulligan yang lahir ada 28
Mei 1985 ini juga adalah seorang aktris film, TV dan
teater di Inggris yang memulai debut filmnya dengan
berakting di film Pride and prejudice dan
pementasan drama Broadway yang berjudul The
Seagull. Carey yang selalu tampil dengan riasan yang
“berani” selalu terlihat unik dengan gaya rambutnya
yang pendek. Baru-baru ini ia dinominasikan sebagai
aktris terbaik di Golden Globe Award untuk
penampilannya sebagai Jenny dalam film An
Education.
Gambar 7. Rubrik Fashion ‘LOOK_GayaSeleb’ pada Majalah Cosmogirl!
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182
174
Dress galore yang menjadi tema di bulan Mei
menyajikan beragam parade gaun para seleb
Hollywood yang berlaga di atas red carpet pada
beberapa acara penghargaan bergengsi dunia. Di
edisi Dress Galore ini, Cosmogirl! ingin mengajak
pembacanya untuk mencoba mengadopsi serta
memadupadankan gaun-gaun malam yang dipakai
oleh para selebriti dunia seperti Kristen stewart,
Cameron Diaz, Mia Wasikowska, Carrey Mulligan,
Diane Kruger, Demi moore, Miley Cyrus dan
Brittany Snow sebagai inspirasi untuk pergi ke pesta.
Gambar 8. Rubrik Fashion ‘LOOK_GayaSeleb’ pada Majalah Cosmogirl!
Pada edisi ini, gaya seleb mengangkat tema
Ektra Plus untuk para wanita yang berukuran besar
(Big Size). Walaupun bertubuh besar, bukan berarti
tidak bisa tampil dengan maksimal, seperti halnya
selebriti-selebriti Hollywood yang di tampilkan oleh
Cosmogirl! Pada rubrik ini, yaitu, Jordin spark,
Amber Riley dan America Ferrera yang menyiasati
tubuh gemuk mereka dengan beberapa koleksi padu
padannya.
Dalam keenam edisi tersebut dapat terlihat
bagaimana Cosmogirl! menampilkan tata busana
dengan menggunakan patokan dari barat yang
merupakan suatu kebutuhan yang mengharuskan
soerang perempuan untuk tampil menarik dan
mewah. Inilah kesadaran yang ingin ditampilkan
oleh Cosmogirl! agar diterima oleh para recipients
atau pembacanya. Kesadaran yang berusaha
ditanamkan ini bertujuan agar recipients mau
mengakui, menghargai dan mengadopsi budaya barat
sebagai bagian dari budaya kita, budaya Indonesia.
Untuk mengkonstruksi pemikiran dan kesadaran
kita, maka Cosmogirl! menggunakan strategi
menyajikan rahasia berbusana dari aktris
manacanegara yang dianggap sebagai icon-icon
berbusana yang baik dan menarik. Dengan
menyajikan rubrik fashion ‘Gaya Seleb’, maka
diharapkan para recipients mau mengadopsi gaya
berbusana mereka.
b. Skema: menyembunyikan maksud dalam
mengadopsi gaya busana ala barat
Analisis dari elemen struktur skematik dapat
dilakukan dengan melihat dua kategori skema besar.
Pertama, summary yang umumnya ditandai dengan
dua elemen, yakni judul dan lead (pengantar
ringkasan apa yang ingin dikatakan sebelum masuk
dalam isi caption secara lengkap). Kedua, story, yaitu
isi caption secara keseluruhan, yang memiliki dua
subkategori yang berupa situasi dalam proses atau
jalannya peristiwa dan komentar yang ditampilkan
dalam caption. Subkategori situasi terdiri dari dua
bagian, yaitu episode atau kisah utama dari suatu
peristiwa dan latar untuk mendukung episode yang
disajikan kepada khalayak. Latar yang dipakai untuk
member konteks agar suatu peristiwa lebih jelas
ketika disampaikan kepada khalayak.
c. Tematik: Judul yang menyerang citra diri
pembaca
Dalam rubrik fashion The CG Look: gaya Seleb
pada majalah Cosmogirl!, judul-judul yang disajikan
berupa judul yang memikat citra diri pembacanya
serta menarik minat si pembaca tersebut (attrack the
reader). Keberadaan judul yang menarik bukan
hanya untuk menarik minat si pembaca melainkan
juga erat kaitannya dengan tema. Judul dalam rubrik
fashion The CG Look: gaya Seleb pada majalah
Cosmogirl! yang memuat pernyataan atau
pendefinisian makna (pendefinisian model busana
yang baru trend), dalam 6 edisi ini diantaranya
adalah For Fake’s Sake, The L Words, Musik dan
Imperialisme Budaya Dalam Media Noviana Sari
175
Gaya, Chic and Talented, Dress Galore, dan Ekstra
Plus.
Strategi yang digunakan oleh majalah
Cosmogirl! dalam elemen analisis judul juga dengan
penggunaan metafora: animal print, chic, plus size =
A +. bling-bling.
Dari judul-judul diatas beserta strateginya,
dapat dilihat bahwa struktur skematik dari rubik
Look: Gaya Seleb menyajikan judul-judul menarik
yang menyerang citra diri kita, terlepas dari apakah
itu berbentuk ajakan, definisi atau metafora yang
dapat menggugah kesadaran dari pembacanya.
Tujuan Cosmogirl! menyajikan judul-judul tersebut
untuk menarik minat para pembaca agar mau
mengakui dan mengadopsi apa yang menjadi definisi
dari sang communicator dan Cosmogirl! itu sendiri.
B. Skematik: Menggambarkan situasi
faktual yang membenarkan
pengadopsian gaya busana yang
ditawarkan
Situasi adalah proses atau jalannya peristiwa
yang terdiri dari dua bagian, yaitu episode atau kisah
utama dari berita yang disajikan dan latar untuk
mendukung tema.
Gambar 16. Leather dan Feather, The CG Look : Gaya Seleb, Cosmogirl!
Gambar 16 memaparkan tentang style busana
bermotif leather (kulit binatang) dan feather (bulu
binatang) berbahan buatan yang menyerupai aslinya.
Konsekuensi yang didapat dan dengan didukung oleh
latar pada awal kalimat gambar 16 yang dipaparkan
oleh Cosmogirl!, sama halnya dengan paparan pada
gambar 15, maka ketika kita menggunakan bahan
buatan yang menyerupai bulu binatang (feather) dan
kulit binatang (leather), kita tidak hanya melindungi
binatang dari kepunahan dan tidak menyakiti
binatang, namun juga akan terlihat menarik dan
memperbaiki penampilan kita agar menjadi pusat
perhatian dengan berbagai jenis dan beragam bentuk
serta warna yang ditawarkannya.
Dengan melihat elemen judul dan situasi
penceritaan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
strategi semantic yang dilakukan oleh Cosmogirl!
adalah menyajikan berita yang menguntungkan. Hal
ini terlihat dari judul-judul yang memikat citra diri
yang berusaha mengaja pembacanya untuk
menggunakan model-model busana yang telah
didefinisikan oleh Cosmogirl!. penyajian berita yang
juga menguntungkan bagi communicator ini juga
didukung adanya strategi situasi yang memaparkan
tentang jalannya peristiwa dengan didukung konteks
yang membantu untuk membenarkan argumen dan
maksud sebenarnya.
1. Semantik: Penekanan makna western dalam
ajakan mengadopsi gaya busana sebagai
Cosmogirl! sejati
a. Latar
Keberadaan latar dalam analisis wacana sangat
penting karena dipergunakan untuk menegaskan
makna yang ingin ditampilkan. Jadi, latar yang
disajikan akan menentukan kearah mana pandangan
khalayak hendak dibawa. Latar pada umumnya
ditampilkan diawal, sebelum pendapat dari
Cosmogirl! dan communicator yang sebenarnya
muncul dengan maksud mempengaruhi. Strategi
latar yang yang digunakan oleh Cosmogirl! adalah
dengan cara menyajikan suguhan yang memberi
konteks terhadap judul secara khusus dan tema
secara umum.
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182
176
Gambar 18. Bling Bling, The CG Look : Gaya Seleb, Cosmogirl!
Maksud dari gambar 18 adalah mengajak untuk
memiliki berbagai macam aksesoris yang berkilau
(bling-bling) agar terlihat tampil gaya dan semakin
bersinar walaupun bukan perhiasan asli. Dengan
diberi latar ‘Mungkin belum saatnya kamu punya
perhiasan yang berkilau. Tidak masalah!’, maka
Cosmogirl! ingin membenarkan pendapat perlunya
untuk memiliki aksesoris atau perhiasan yang
berkilau walaupun bukan perhiasan asli (imitasi),
namun tetap dengan ala bling-bling yang berkilau
supaya terlihat manarik, bersinar dan menjadi pusat
perhatian.
b. Detil
Elemen wacana detil berhubungan dengan
kontrol informasi atau fakta yang ditampilkan oleh
communicator. Communicator akan menampilkan
informasi yang dianggapnya menguntungkan dengan
berlebihan, sedangkan informasi yang merugikan
dalam jumlah yang sedikit atau bahkan tidak
disampaikan.
Dalam rubrik Look: Gaya Seleb, elemen detil
ini terlihat dari bagaimana informasi-informasi yang
disajikan tersebut disampaikan secara detil dan
lengkap agar memudahkan recipients.
Gambar 23. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!
Dalam gambar 23, terlihat bagaimana
Cosmogirl! secara detil mengkonstruksi gaya busana
yang dipakai oleh model yang ada pada gambar
tesebut dengan barang-barang yang di sediakan oleh
Cosmogirl! dan communicator lengkap dengan
harga, label toko dan disertai dengan gambarnya.
Dengan strategi detilnya, Cosmogirl! dan
communicator terlihat berusaha dengan keras untuk
mempengaruhi kesadaran khalayak dengan
mengkonstruksi gaya berbusana. Hal ini terlihat
dalam elemen detil yang menyampaikan dengan detil
informasi-informasi yang menguntungkan bagi
Cosmogirl! dalam usahanya untuk mengajak
recipients mengadopsi gaya berbusana dari barat.
Jadi dengan adanya strategi detil yang dilakukan,
terlihat bagaimana komitmen dari Cosmogirl!
terhadap keberadaan budaya barat sangat tinggi.
2. Sintaksis: Struktur yang menawarkan gaya
busana agar terlihat menarik dan percaya diri
Analisis sintaksis adalah pola penyusunan kata
dan frase ke dalam sebuah kalimat yang digunakan
dengan cara melihat penggunaan kalimat yang
disusun pada pemakaian kata ganti, aturan tata kata,
serta pemakaian kata pasif dan aktif. Analisa ini
digunakan untuk melihat bagaimana struktur kalimat
dan struktur teks dimanfaatkan untuk menampilkan
diri sendiri secara positif.
a. Koherensi
Koherensi adalah pertalian atau jalinan antar
kata atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang
menggambarkan fakta yang berbeda dapat
dihubungkan sehingga tampak koheren. Jadi, fakta
yang pada awalnya tidak berhubungan sekalipun
dapat menjadi terhubung ketika seseorang
menghubungkannya dengan koherensi.
Gambar 24. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!
Imperialisme Budaya Dalam Media Noviana Sari
177
Gambar 25. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!
Gambar 26. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!
Pada gambar 24, terlihat antara kalimat pertama
dan terakhir tidak berhubungan, apakah ada
hubungan antara memiliki busana animal print agar
kita peduli terhadap binatang dengan menjadi
seorang Cosmogirl! Sejati?. Namun dengan
penggunaan kata-kata yang baik, maka akan terlihat
koheren dan berhubungan. Setelah memiliki dan
memakai busana dari motif animal print yang
berbahan dasar buatan, maka recipients tersebut
secara otomatis akan menjadi pusat perhatian dan
menjadikannya sebagai seorang Cosmogirl! Sejati.
b. Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat pasif dan aktif dengan
memposisikan diri sebagai subjek digunakan untuk
membentuk hubungan antara susunan S-P-O
(Subjek-Predikat-Objek). Entuk kalimat bukan
hanya persoalan teknis tentang kebenaran tata
bahasa, tetapi juga menentukan makna yang dibentuk
oleh susunan kalimat. Dalam kalimat berstruktur
aktif, seseorang menjadi objek dari pernyataannya.
Dalam rubrik Look: Gaya Seleb, kalimat-
kalimat yang digunakan adalah kalimat aktif dan
pasif. Namun meskipun menggunakan kalimat aktif
dan pasif, keduanya dapat melebur menjadi satu.
Gambar 25 merupakan bentuk kalimat aktif.
Dalam hal ini yang menjadi subjek adalah dua artis
yang sama-sama berinisial L, Lykke Li dan Leven
Rambin, dan Cosmogirl! sebagai communicator
yang menetukan pendefinisian maknanya. Para
recipients atau pembaca sebagai pihak pasif, yang
menerima definisi makna dari communicator. Jika
dihubungkan dengan gambar diatas, maka yang
mendefinisikan agar tampilan bisa mempesona
seperti kostum warna warni yang disukai oleh Leven
Rambin dan pakaian hitam yang diidentikkan dengan
Lykke Li adalah Cosmogirl!. sedangkan pembaca
hanyalah sebagai pasif yang memilih style mana
yang di tawarkan oleh Cosmogirl! yang cocok
dengan karakter recipients itu sendiri.
Gambar 26 adalah merupakan bentuk kalimat
pasif, namun tetap terlihat bagaimana Cosmogirl!
tetap berada sebagai pihak yang aktif. Dimana pihak
Cosmogirl! mendefinisikan bahwa tampilan yang
bisa membuat seseorang maksimal adalah tampilan
seseorang dengan ukuran tubuh yang besar (big size)
seperti halnya selebritis yang berbadan besar yang
dijabarkan oleh Cosmogirl!. para recipients sebagai
pihak pasif yang menerima model tata busana seperti
apa yang di tawarkan oleh Cosmogirl! untuk mereka
yang kurang percaya diri dengan ukuran tubuhnya
yang besar, agar bisa tampil maksimal dan menarik
perhatian dengan tata busana yang ditawarkan
Cosmogirl!.
Dengan adanya analisis seperti diatas, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa Cosmogirl! dan
communicator selalu menjadi pihak aktif. Sedangkan
recipients atau pembaca berada di pihak pasif. Jadi,
kedudukan dari recipients adalah sebagai pihak yang
menerima dan memilih, model-model busana seperti
apa yang dikonstruksi dan sudah didefinisikan oleh
Cosmogirl! dan communicator. Tujuan Cosmogirl!
selalu memposisikan dirinya sebagai subjek semakin
membuktikan bahwa dirinya dan adalah corong dari
communicator dan budaya dominan.
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182
178
Gambar 27. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!
c. Penggunaaan Kata Ganti
Kata ganti dipakai untuk menunjukkan posisi
seseorang atau kelompok dalam suatu wacana.
Dalam Look: Gaya Seleb, Cosmogirl! banyak
menggunakan kata ganti bahasa yang lebih ‘gaul’
agar terkesan menyatu dan dekat secara personal
dengan recipients yang kebanyakan adalah para
remaja. Misalnya untuk kata ‘perempuan = cewek’,
‘anda = kamu’, ‘selebritis (artis) = seleb’.
C. Stilistik: Pemilihan kata asing agar
terlihat menarik, mencolok dan
bergengsi
Gambar 28. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!
Bahasa asing yang digunakan pada gambar 28:
Ekstra edgy
Gambar 30. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!
Bahasa asing yang digunakan pada gambar 30:
Rising, stylish, so pretty.
Elemen ini menandakan bagaimana Cosmogirl!
melakukan pemilihan kata atas berbagai
kemungkinan kata yang tersedia. Pilihan kata yang
dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu.
Dalam rubrik Look: Gaya Seleb, banyak penggunaan
bahasa asing yang dipakai oleh Cosmogirl! untuk
menggambarkan sesuatu, baik itu model busana
ataupun sang artis itu sendiri agar terkesan lebih
menarik, simple (mudah) dan pendek (tidak
memakan tempat yang banyak seperti halnya dalam
bahasa Indonesia).
D. Retoris: Visualisasi pesan persuasif dan
penempatan diri Cosmogirl! sebagai
pihak aktif
Struktur wacana retoris mempunyai fungsi
persuasif dan berhubungan erat dengan bagaimana
pesan itu ningin disampaikan kepada khalayak.
a. Interaksi
Interaksi adalah salah satu strategi dari
Cosmogirl! untuk mengetahui bagaimana
Cosmogirl! menempatkan posisinya dianatara
khalayak. Dalam rubriknya, communicator
menempatkan diri sebagai pihak yang aktif dalam
mendefinisikan makna, busana mana yang harusnya
dipakai pada suatu waktu dan tempat tertentu serta
busana apa yang cocok dengan karakter pribadi si
pembaca atau recipients.
Gambar 31. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!
Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Novita Sari
179
Dari gambar 31 tersebut terlihat bagaimana
Cosmogirl! Mendefinisikan makna gaya busana
seperti apa yang harus dikenakan untuk acuan
recipient pergi mengadiri suatu acara atau pesta.
Cosmogirl! Mengarahkan dan menawarkan
recipients agar mengadopsi gaya busana gaun pesta
yang dipakai oleh para selebritis dan memadukan
dengan aksesoris yang tepat seperti yang ditawarkan
oleh Cosmogirl!.
b. Grafis
Elemen ini dimaksudkan untuk membantu
menonjolkan bagian penting atau menghilangkan
bagian tertentu yang dari teks yang disampaikan.
Dalam teks, biasanya grafis muncul lewat bagian
tulisan yang dibuat lain, grafik, gambar, atau tabel
untuk mendukung arti penting suatu pesan.
Gambar 32. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!
Pada keempat caption yang terdapat dalam
gambar 32 diatas, judul dengan ukuran font yang
lebih besar serta di block dengan warna warna terang
telah menunjukkan sebuah elemen grafis. Dimana
tujuan dari bentuk judul yang dibuat oleh Cosmogirl!
Dengan semenarik mungkin adalah ingin
memberikan penekanan tentang pendefinisian mana
style busana dengan tema yang ingin ditampilkan,
seperti: tema ‘BLING BLING’, tema ANIMAL,
tema FEATHER, dan tema LEATHER, yang tertera
di gambar 32.
Dalam rubrik Look: Gaya Seleb, elemen grafis
juga muncul dalam bentuk gambar, seperti berikut:
Gambar 34. The CG Look: Gaya Seleb, Cosmogirl!
Dengan adanya elemen grafis dalam bentu
gambar, maka proses untuk mengkonstruksi akan
lebih efektif dan efisien sesuai dengan apa yang ingin
didefinisikan oleh Cosmogirl!. pembaca disuguhi
dengan gambar-gambar menarik beserta model-
modelnya yang merupakan artis mancanegara,
sehingga recipients dengan mudah dapat
membayangkan, meniru/mengadopsi sesuai dengan
apa yang disajikan dan ditawarkan.
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182
180
E. Analisis Kognisi Sosial Rubrik Fashion
”THE CG! LOOK: GAYA SELEB”
Cosmogirl! dalam kognisi sosial mempunyai
kekuasaan dan kekuatan melalui rubrik fashion nya
dalam mempengaruhi khalayak, dengan
memasukkan nilai-nilai dan norma-norma barat yang
diusungnya kedalam nilai-nilai dan norma-norma
timur secara perlahan melalui gaya berbusana yang
ditawarkannya. Cosmogirl! mempunyai kemampuan
untuk menjalankan peran ideologis dengan
menampilkan nilai-nilai tertentu dari masyarakat
barat, sehingga menjadi nilai yang dominan dan
menjadi kiblat atau tuntunan bagi masyarakat timur
yang dinilai mempunyai prilaku konsumtif dan suka
meniru dengan alasan prestige yang merujuk pada
pengadopsian perilaku dan nilai-nilai yang dianggap
dapat merubah gaya hidup mereka menjadi lebih
berkelas dan menarik.
Berdasarkan konteks sosial tersebut, hasil
temuan yang didapat adalah:
a. Komersil
Cosmogirl! yang berorientasi profit/bisnis
memiliki kekuasaan atas isi berita dan memproduksi
teks tersebut dengan melihat konteks sosial
masyarakat Indonesia yang sangat konsumtif, yang
beranggapan bahwa jika tidak mengkonsumsi
barang-barang bermerk dan kebarat-baratan tersebut,
maka ia akan dinilai sebagai masyarakat yang
ketinggalan zaman atau tidak gaul. Berlatarbelakang
itulah, maka Cosmogirl! dapat dengan mudah
memasukkan nilai-nilai atau unsur-unsur budaya
barat yang nantinya akan diadopsi oleh remaja
Indonesia.
b. Imperialisme
Dalam analisis teks (caption), sudah terlihat
jelas bagaimana Cosmogirl! dengan strateginya telah
mengkonstruksi dan mendefinisikan makna
mengarahkan kepada recipients bahwa gaya hidup
seperti yang Cosmogirl! tawarkan itulah yang perlu
untuk diadopsi. Dengan adanya strategi-strategi yang
dilakukan tersebut, Cosmogirl! telah memposisikan
dirinya sebagai agen dari imperialisme yang
mengkonstruksi dan mengarahkan gaya hidup kita
secara langsung maupun tidak. Proses imperialisme
yang dilakukan oleh Cosmogirl! dapat terlihat dalam
konstruksi terhadap gaya busana yang ditawarkan
adalah perlu untuk diadopsi agar lebih terlihat
menarik dan tidak ketinggalan jaman.
Majalah Cosmogirl! sebagai agen imperialisme
budaya bergerak dalam wacana industri budaya dan
akan tetap menjadikannya sebagai agen, karena
kapitalisme budaya sebagai subyek yang mampu
menentukan gaya hidup apa yang harus diadopsi oleh
massa yang sangat membutuhkan media massa
sebagai agen untuk menyebarluaskan ideologinya.
c. Ideologi
Keberadaan Cosmogirl! sebagai agen
imperialisme budaya dengan melihat strategi-strategi
yang dilakukannya bukanlah sebagai suatu hal yang
berdiri sendiri, akan tetapi berada dalam suatu
konteks yang melatarbelakanginya. Keberadaan
Cosmogirl! dalam posisinya sebagai agen dari
imperialisme budaya berada dalam suatu medan
wacana serta melingkupi para pelibat wacana. Peran
dari majalah Cosmogirl! sebagai bagian dari agen
imperialisme budaya dapat ditangkap sebagai salah
satu bentuk dari ideologi yang diusung Cosmogirl!.
dalam bab III dijelaskan tentang pelibat wacana yang
mengatur ideologi Cosmogirl! yang mengikuti apa
yang telah didefinisikan oleh majalah Induknya
(hearst Magazine) yang dilihat dari teks-teks yang
mereka sajikan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Cosmogirl! merupakan salah satu majalah
franchise dari Amerika yang memuat banyak konten
yang mengadopsi majalah luar negeri yang memuat
beragam gaya berbusana dan bagaimana cara
mendapatkannya yang ditawarkan oleh Cosmogirl!
yang secara tidak langsung merupakan praktek dari
budaya massa yang secara sadar maupun tidak
menyebarkan ideologi nya dengan cara mendoktrin
remaja dengan apa yang menurut mereka seharusnya
dikonsumsi oleh remaja tanpa menghiraukan apakah
itu sesuai atau tidak, apakah sebenarnya cocok
dengan gaya berpakaian ala Indonesia atau tidak.
Peran Cosmogirl! sebagai agen imperialisme budaya
Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi… Novita Sari
181
tidak hanya berhenti pada posisinya dalam
menginformasikan gaya hidup ala barat, namun juga
telah mendefinisikan makna bahwa gaya hidup barat
adalah gaya hidup yang benar dan wajar, serta patut
untuk ditiru dan diadopsi agar bisa tampil lebih
menarik dan tidak ketinggalan jaman.
Dengan adanya analisis teks rubrik fashion The
CG Look: Gaya Seleb, terlihat bagaimana strategi-
strategi yang dilakukan untuk membentuk suatu
pembenaran bahwa definisi makna yang dimiliki dan
ditawarkan oleh communicator adalah benar dan
logis. Aktor-aktor yang terlibat dalam pembentukan
wacana, yaitu para pelibat wacana, membentuk suatu
wacana tersebut agar terlihat wajar dan logis dimata
khalayak. Mereka membentuk konsensus dan
pembenaran atas definisi makna yang mereka buat
demi kepentingan para pelibat wacana tersebut.
Nilai-nilai yang dikenalkan oleh Cosmogirl!
terlihat dalam tema-tema pada rubrik fashion The CG
Look: Gaya Seleb terlihat bagaimana Cosmogirl!
menyajikan model fashion yang sedang trend dan
tentu saja didukung dengan strategi-strategi yang
menampilkan sisi positif dari gaya berbusana ala
barat. Strategi-strategi tersebut dilakukan oleh
Cosmogirl! dengan cara menyerang citra diri kita
sebagai remaja wanita yang pastinya ingin tampil
semenarik mungkin.
Keberhasilan Cosmogirl! atas pengakuan
makna sebagai agen dari imperialisme budaya yang
mengkonstruksi dan mendefinisikan gaya hidup
jaman sekarang adalah gaya hidup ala barat lah yang
harus diadopsi oleh remaja Indonesia yang ingin
selalu tampil menarik dan tidak ingin dianggap kuper
serta ketinggalan jaman. Konstruksi pengadopsian
budaya berbusana ala barat yang ditawarkan oleh
Cosmogirl! tersebut dilakukan secara halus yang
dimulai dengan judul yang menarik dan menyerang
citra diri recipients serta bertujuan untuk mengajak.
Hal tersebut diperkuat oleh communicator sebagai
agen dari kapitalis yang menyuplai produk-produk
yang ditampilkan Cosmogirl! pada setiap edisinya
dan produk-produk budaya yang diproduksi oleh
kapitalis dapat diketahui dan diadopsi oleh khalayak.
Imperialisme budaya adalah salah satu strategi
yang dilakukan oleh kapitalisme dengan cara
menghegemoni wacana tentang fashion yang
memuat para selebritis yang diidolakan remaja
sekarang, agar para remaja tertarik dan berusaha
untuk mengadopsi apa yang ditampilkan dan
ditawarkan oleh Cosmogirl! dan communicator
dengan memaparkan tata busana yang bergaya ala
selebritis dunia adalah suatu kebutuhan yang harus
dimiliki oleh remaja Indonesia masa kini sebagai
cara untuk bisa tampil menarik, percaya diri dan
tidak ketinggalan jaman.
Cosmogirl! sebagai corong, yang menjelaskan
dan memberi makna keberadaan gaya busana dengan
standar barat. Hal trsebut terlihat dari kecendrungan
masyarakat Indonesia, khususnya remaja sekarang
ini yang lebih memilih budaya asing yang pada
dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita
yang dulunya sangat menjunjung tinggi norma
kesopanan sebagai kiblat mode yang lebih praktis
dan sesuai dengan perkembangan zaman. Sekarang
ini yang terjadi adalah norma-norma kesopanan
tersebut telah berubah mengikuti dan seiring dengan
perkembangan jaman yang cenderung menggunakan
pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan
bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan.
Oleh karena itu, ketika kita akan mengadopsi
segala hal yang berhubungan dengan hal-hal baru,
termasuk gaya hidup ala barat yang bertentangan
dengan nilai-nilai yang ada dimasyarakat kita
Indonesia, maka perlu lah untuk dipikirkan dan di
saring, mana yang memang benar-benar baik dan
pantas untuk ditiru dan mana yang tidak. Karena
dalam era globalisasi seperti sekarang ini, tidaklah
mungkin apabila kita tidak berinteraksi dengan dunia
luar dan masyarakat barat dan belahan dunia yang
lain. Saran penulis, kita haruslah bisa memilah dan
menyaring apa saja hal yang baik untuk kita tiru dan
adopsi dan apa hal-hal yang tidak sesuai dengan
budaya dan norma kita dengan menggunakan akal
budi pikiran kita, bukan hanya sekedar mengikuti
arus jaman. Dengan demikian, maka kita akan
menjadi remaja wanita Indonesia yang smart dan
tidak mudah terjerumus dalam budaya
konsumerisme.
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 167-182
182
DAFTAR PUSTAKA
Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali
Pers, Jakarta, 2007
Abrar, Ana Nadhya. Mengurai Permasalahan
Jurnalisme. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1995.
Barnard, Malcolm. Fashion Sebagai
Komunikasi. Bandung: Jalasutra, 2008.
Chaney, D. Lifestyle : Sebuah Pengantar
Komprehensif (terj.), Yogyakarta: Jalasutra
1996.
Eriyanto, Analisis Wacana, Yogyakarta: LKIS,
2001. Hal 66
Eriyanto, Analisis Wacana, Yogyakarta: LKIS,
2001.
Jorgensen, M.W, Phillips L.J, Analisis Wacana,
teori dan Metode, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta. 2007.
Littlejohn, Stephen W. Theories of Human
Communication. Thomson-Wadsworth:
California, 2004.
Majalah Cosmogirl! Indonesia edisi Januari
sampai dengan Juni 2010
Prayudhi, Jurnal Ilmu Komunikasi, Analisis
Tekstual: Pemahaman Akademis
Van Dijk, Teun A., Discourse and Cognition in
Society, dalam David Crowley dan David
Mitchell, Communication Theory Today,
Cambridge, Polity Press, 1994.
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
183
ADOPSI GOOGLE APPS FOR EDUCATION DI PERGURUAN TINGGI: SEBUAH
KOLABORASI REAL-TIME DOSEN DAN MAHASISWA
ADOPTION OF GOOGLE APPS FOR EDUCATION AT UNIVERSITIES: A REALTIME
COLLABORATION OF LECTURERS AND STUDENTS
Intan Putri Cahyani
Prodi S1 Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Pancasakti
Jln. Halmahera KM. 1 Kota Tegal. (0283) 357784.
e-Mail: [email protected]
diterima: 4 Januari 2016 | direvisi: 15 Januari 2016 | disetujui: 18 Januari 2016
ABSTRACT
Cloud-computing technology present as an impact of the changing cultural environment and competitive
ecosystem of Higher Education in the world, including Indonesia. Cloud computing is actually a combination
use of computer technology ("computing") and the development of Internet-based ('cloud'). Higher education
is considered ideal for the diffusion of innovation because they have a core that can encourage innovation and
there are frequently changes in faculty or department’s level, pedagogical and technological. This study
pointed out a uniqueness where lecturers (digital immigrant) and students (digital native) could collaborate
in realtime by adopting cloud-computing technology, namely Google's Google Apps for Education (GAFE),
in the learning system. Diffusion-innovation theory of Rogers will be in depth elaborated to explain the process
of adoption of new kind of communication technologies which is currently becoming trendsetter. This type of
study is qualitative descriptive with grounded theory method involving several universities in Central Java
that are already using GAFE technology during the last three years, i.e. UNNES, UDINUS, and UNISSULA.
This study used purposive sampling with total sample of 12 people who are lecturers and students, GAFE active users
in learning system. The results showed lecturers especially junior lecturers have a central role as a facilitator of learning
technologies in deciding what to use. Common interest is the main reason behind. Though lecturers and students came
from different generation but both of them adopted GAFE
Keywords : Difussion Innovation, Cloud Computing Technology, GAFE, Digital Immigrant, Digital Native
ABSTRAK
Teknologi komputasi awan atau sering dikenal dengan cloud computing hadir sebagai sebuah dampak
perubahan lingkungan budaya dan ekosistem yang kompetitif pada Pendidikan Tinggi di dunia, termasuk
Indonesia. Cloud computing ini sejatinya merupakan gabungan pemanfaatan teknologi komputer
(‘komputasi’) dan pengembangan berbasis Internet (‘awan’). Pendidikan tinggi dianggap sangat ideal untuk difusi
inovasi karena mereka memiliki jantung yang bisa mendorong inovasi dan selalu ada perubahan baik di level fakultas
atau jurusan, pedagogis serta teknologi. Studi ini akan mengangkat keunikan dimana dosen (digital immigrant) dan
mahasiswa (digital native) dapat berkolaborasi secara realtime dengan mengadopsi teknologi cloud computing milik
Google yaitu Google Apps for Education (GAFE) dalam sistem pembelajaran. Teori difusi inovasi milik Rogers akan
dielaborasi secara mendalam untuk menjelaskan proses adopsi teknologi komunikasi jenis baru yang sekarang tengah
menjadi trendsetter ini. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan metode grounded
yang melibatkan beberapa Perguruan Tinggi di Jawa Tengah yang sudah menggunakan teknologi GAFE selama tiga
tahun terakhir, yaitu UNNES, UDINUS, dan UNISSULA. Pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling
dengan jumlah sampel sebanyak 12 orang yang merupakan dosen dan mahasiswa pengguna aktif GAFE dalam
sistem pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan dosen terutama dosen junior memiliki peranan sentral
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
184
sebagai fasilitator dalam memutuskan teknologi pembelajaran apa yang akan digunakan. Kesamaan
kepentinganlah yang menjadi faktor utama mengapa walaupun berbeda generasi, namun dosen dan
mahasiswa bisa mengadopsi GAFE.
Kata Kunci: Difusi Inovasi, Teknologi Cloud Computing, GAFE, Digital Immigrant, Digital Native,
I. PENDAHULUAN
Perubahan selalu terjadi dalam segala aspek
kehidupan manusia termasuk teknologi komunikasi.
Teknologi komunikasi berubah di setiap generasi
dengan kecenderungan mengikuti Hukum Moore,
salah satunya Cloud Computing. Cloud computing
ini sejatinya merupakan gabungan pemanfaatan
teknologi komputer (‘komputasi’) dan
pengembangan berbasis Internet (‘awan’). Kemajuan
yang signifikan dalam bidang Information &
Communication Technology (ICT) secara umum dan
munculnya situs jejaring sosial (SNS) dan aplikasi
Web 2.0 lainnya, secara khusus, menyebabkan
meningkatnya pertumbuhan dan popularitas Cloud
Computing. Melalui penggunaan teknologi
virtualisasi, Cloud Computing menjanjikan untuk
menghilangkan kebutuhan untuk pemeliharaan
mahal dari perangkat keras (hardware) komputer dan
menyediakan sejumlah pengguna yang beragam
dengan menggunakan serangkaian sumber fisik
untuk saling berbagi yang sama. Dengan adanya
Cloud Computing kita hanya membutuhkan PC atau
laptop serta koneksi internet. Bahkan kita tidak lagi
membutuhkan harddrive untuk menyimpan data.
(Straubhaar, 2013: 263)
Salah satu perusahaan IT yang terus berinovasi
dan memperluas bisnis perangkat lunak internet
berupa Cloud Computing yaitu Google. Berdasarkan
hasil survey Nielsen NetView bulan Januari 2010,
Google termasuk dalam sepuluh properti website dan
perusahan IT terpopuler di dunia. Goole berhasil
menduduki peringkat pertama dengan active reach
sebanyak 79.83% dan waktu kunjungan per orang
sekitar 2 jam 1 menit 33 detik. Google berhasil
mengalahkan Yahoo! yang menduduki peringkat
kedua dengan active reach sebanyak 66.97% dan
waktu kunjungan per orang sekitar 2 jam 8 menit 51
detik, Microsoft di urutan ketiga dengan active reach
sebanyak 59.80% dan waktu kunjungan per orang
sekitar 1 jam 29 menit 52 detik dan Facebook di
urutan keempat active reach sebanyak 57.28% dan
waktu kunjungan per orang sekitar 7 jam 1 menit 41
detik (Straubhaar, 2013: 264)
Hal di atas juga semakin dikuatkan oleh internet
reputation Google yang juga terbukti sangat bagus.
Hal ini dilihat dari kriteria trustworthiness yang
mencapai skor 94, vendor reliability mencapai skor
94, privacy mencapai skor 94 dan perolehan skor 92
untuk child safety.
(http://www.statshow.com/www/google.com
diakses 10 Januari 2016)
Salah satu implementasi Cloud Computing
Google yaitu Google Apps for Education. Google
Apps for Education (GAFE) adalah layanan google
untuk dunia pendidikan mulai dari TK, SD, SMP,
SMA/MA/SMK dan perguruan tinggi. Google
memberi solusi untuk komunikasi yang terintegrasi
dengan email, kalender dan obrolan/ diskusi dan
solusi berkolaborasi dalam kegiatan pembelajaran.
Menurut Pepita Gunawan, Indonesian Education
Lead for Google Southeast Asia, GAFE adalah
serangkaian aplikasi dengan sinergisitas dan
kolaborasi real time antara mahasiswa, dosen, dan
staff di kampus yang bisa diakses menggunakan PC
computer, notebook, tablet, bahkan smartphone.
Termasuk di dalamnya aplikasi Email, Calendar,
Sites, Docs/Drive, Groups, video, social media yang
dapat diintegrasikan dengan Learning Management
System di kampus dengan Google yang bertindak
sebagai vendor.
(https://www.google.co.id/intl/id/edu/products/prod
uctivity-tools/ diakses 10 Januari 2016)
Adapun fitur utama GAFE antara lain
1. Gmail
Gmail pada fitur GAFE berbeda dengan Gmail
pada umumnya yang berdomain @gmail.com karena
domain email yang ada akan disesuaikan dengan
nama sekolah atau kampus seperti misalnya
[email protected] sesuai dengan
kesepakatan dengan Google. Google Apps
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
185
menawarkan penyimpanan hingga 30 GB per
pengguna, pemfilteran spam yang canggih, dan
jaminan waktu aktif sesuai Service Level Agreement
(SLA) 99,9%. Semua dihosting oleh Google, tanpa
biaya dan tanpa iklan untuk mahasiswa, pengajar,
dan juga staf. Gmail dirancang untuk membuat siapa
pun lebih produktif. Penyimpanan hingga 30 GB
berarti tidak perlu menghapus apa pun, penelusuran
yang canggih berarti segala sesuatunya ada dalam
jangkauan, dan label serta filter membantu pengguna
Pengguna tetap teratur. Gmail diberdayakan secara
aman oleh web, sehingga mahasiswa dan staf
pengajar dapat menjadi produktif di rumah, di jalan,
atau di perangkat seluler mereka. Kotak masuk tak
sekadar berisi pesan, namun juga orang. Fitur
Ngobrol berupa teks, suara, dan video berarti bahwa
mahasiswa dan dosen dapat melihat siapa yang
sedang online dan langsung terhubung. Tidak ingin
mahasiswa Pengguna menggunakan fitur obrolan?
Ingin membatasi siapa yang dapat mengirim email
kepada siapa? Semua itu ada di kontrol administrator.
2. Kalender
Hamparkan beberapa kalender untuk melihat
saat orang-orang tersedia - cara terbaik untuk
mengelola jadwal informasi akademik, misalnya.
Google Kalender mengirimkan undangan dan
mengelola RSVP (Répondez S'il Vous Plaît). Google
Kalender diintegrasikan ke dalam Gmail dan dapat
dioperasikan bersama dengan aplikasi kalender
populer. Kalender dapat dibagi ke seluruh bagian
baik dari tingkat jurusan, fakultas, universitas atau
dengan kolega tertentu. Beragam kontrol izin berbagi
membantu menjaga keamanan dan privasi.
3. Drive
Google Drive di perangkat Mac, PC, Android,
atau iOS Pengguna memberi Pengguna satu tempat
untuk versi terbaru file Pengguna dari mana saja.
Bagikan file satu per satu atau seluruh folder dengan
orang tertentu atau seluruh tim atau bahkan
kontraktor, mitra, dan konstituen. Buat dan balas
komentar di file untuk mendapatkan masukan atau
menambahkan ide. Mulai dengan hingga 30 GB
kapasitas gratis untuk setiap pengguna.
4. Documents
GAFE memiliki fitur documents yang terdiri
atas spreadsheet dan presentasi. Pada spreadsheet
memiliki fitur yang hampir sama dengan Ms Words
dan MS Excel. Kita dapat menyimpan dan
membagikan daftar, melacak proyek, menganalisis
data, dan melacak hasil dengan editor spreadsheet
canggih Google dengan melibatkan beberapa orang
dan realtime. Sedangkan untuk presentasi, kita dapat
membuat slide yang indah dengan editor presentasi
Google, yang mendukung hal-hal seperti video yang
disematkan, animasi, dan transisi slide dinamis.
Setelah selesai kita bisa mempublikasikan presentasi
Pengguna di web sehingga siapa saja dapat
melihatnya, atau membagikan presentasi itu secara
pribadi.
5. Sites
Mahasiswa juga dapat membuat website tanpa
menulis kode apapun. Semudah menulis dokumen.
Dan, untuk menghemat lebih banyak waktu,
Pengguna dapat menyediakan ratusan template siap
pakai untuk mereka. Administrator dapat mengelola
izin berbagi situs di lingkup universitas, dan penulis
dapat berbagi dan mencabut akses file setiap saat.
Google Sites dapat digunakan pada browser di
komputer PC, Mac, dan Linux sehingga dosen,
mahasiswa, dan staf tidak perlu membeli atau
mengunduh perangkat lunak.
Alasan mengapa Google memilih
bekerjasama dengan Perguruan Tinggi sebagai
tempat pengadopsi Google Apps for Education yang
berbasis Cloud Computing yaitu karena pendidikan
tinggi sangat ideal untuk difusi inovasi karena
dua alasan yaitu pertama, kebebasan tingkat
individu, penelitian dan fakultas adalah jantung
yang bisa mendorong inovasi dan kedua,
perubahan di level fakultas atau jurusan, perubahan
pedagogis dan teknologi adalah selalu konstan
(Barone, 2003; Duderstadt, 2000; Watson,
2007).
Dalam disertasinya, Watson mengungkapkan
bahwa
“Universities of the 21st century are
seeking to remain relevant in a rapidly
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
186
changing social and cultural landscape …
they have the potential to affect change
locally, through interactions with
individual faculty, and globally, as those
faculty then exercise new ideas, practices,
and technologies.” (Watson, 2007:2)
Hingga saat ini sudah ada lebih dari 50 kampus
ternama di seluruh Indonesia yang mengadopsi
GAFE dan Jawa Tengah menjadi salah satu lokasi
adopter generasi pertama. Terdapat tiga Perguruan
Tinggi yang merupakan pelopor untuk Gone Google
yaitu Universitas Negeri Semarang (UNNES),
Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS), dan
Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA).
UNISSULA mendeklarasikan Gone Google pada
tanggal 18 Januari 2013, disusul oleh UDINUS pada
tanggal 13 Februari 2013 dan UNNES pada tanggal
4 April 2013. Menurut Pepita Gunawan selaku Edu
Lead Indonesia Google Apps Supporting. Program.
Ketiga perguruan tinggi tersebut dipilih oleh Google
karena telah memiliki kesiapan infrastruktur yang
memadai, memiliki budaya cyber yang cukup kuat
serta potensi loyalitas sebagai end user Google.
Menurut Rosenberg (2001), seiring dengan
meningkatnya dan berkembangnya penggunaan ICT
ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran
yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang
kelas ke di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke
“on line” atau saluran, (4) fasilitas fisik ke fasilitas
jaringan kerja, dan (5) dari waktu siklus ke waktu
nyata. Komunikasi dalam pembelajaran dilakukan
dengan menggunakan berbagai platform teknologi
media termasuk teknologi komputasi awan. Interaksi
antara dosen dan mahasiswa tidak lagi hanya
dilakukan melalui hubungan tatap muka. Dosen
dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan
langsung dengan mahasiswa. Demikian pula
mahasiswa dapat memperoleh informasi dalam
lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui
cyber space dengan memanfaatkan teknologi digital.
Oleh karena itu dosen dituntut untuk menguasai
ICT agar dapat mengembangkan dan
mengaplikasikannya dalam dunia pembelajaran.
Tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan
dan kesempatan yang lebih luas kepada mahasiswa
dalam proses pembelajaran agar mampu menguasai
keilmuan baik secara hardskill maupun sofskill untuk
meningkatkan daya saing di tingkat global,
mengingat Indonesia sudah memasuki era
Masyarakat Ekonomi ASEAN. (UU No.14/2015
tentang Guru dan Dosen)
Informasi, komunikasi, dan teknologi
merupakan tiga hal penting dalam kehidupan
manusia yang tidak bisa dipisahkan. Sekarang
ini kita memasuki era masyarakat informasi
dimana kita hidup dan beraktivitas di dalamnya.
Produksi, pengolahan, distribusi, hingga
konsumsi informasi menjadi kunci utama
aktivitas sosial dan ekonomi. Dalam masyarakat
informasi, jumlah manusia yang menggunakan
media komunikasi serta intensitas waktu yang
dihabiskan meningkat secara tajam, baik di
negara maju maupun negara berkembang.
Bahkan hingga melahirkan sebuah generasi baru
yaitu digital native, yaitu mereka yang lahir
selama atau setelah pengenalan umum teknologi
digital dan telah melalui interaksi dengan
teknologi digital sejak usia dini, serta memiliki
pemahaman mendalam tentang berbagai konsep
teknologi. (Straubhaar, 2013: 24-25)
Di dalam buku Media Now: Understanding
Media, Culture, and Technology dijelaskan
terdapat dua kategorisasi generasi yang terkait
siklus evolusi IT Literacy, yaitu digital native
dan digital immigrant. Digital native adala
mereka yang lahir setelah tahun 1980an dan
memiliki karakteristik utama yaitu generasi yang
multitasking, berpikir parallel, senang
menggunakan berbagai macam media dalam
satu waktu serta memiliki beragam sumber
informasi. Generasi ini sering disebut sebagai
Generasi Y dan Generasi Z . Sedangkan digital
immigrant adalah mereka yang lahir sebelum
tahun 1980 dengan karakteristik utama berupa
keterbatasan sumber, cenderung fokus pada satu
aktivitas, memiliki akses media yang terbatas,
serta berpikir secara sekuensial dan dikenal juga
dengan istilah generasi X. (Straubhaar, 2013:
255)
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
187
Jika dikaitkan dengan perbedaan karakteristik
antara dosen dan mahasiswa, mereka adalah dua
generasi yang berbeda dimana mayoritas dosen
adalah para digital immigrant sedangkan para
mahasiswa merupakan generasi digital native.
Namun pada kenyataannya justru dosen dan
mahasiswa di UNNES, UDINUS, dan UNISSULA
mengadopsi Google Apps for Education dalam
proses pembelajaran mereka. Oleh karena proses
adopsi Google oleh dosen dan mahasiswa yang
berbeda generasi di ketiga kampus tersebut menjadi
menarik untuk diteliti mengingat UNNES, UDINUS,
dan UNISSULA adalah kampus generasi pertama
yang Gone Google baik di Jawa Tengah maupun di
Indonesia. Adapun rumusan masalah dalam
penelitian ini antara lain (1) mengapa dosen dan
mahasiswa di UNNES, UDINUS, dan UNISSULA
mengadopsi GAFE?, (2) bagaimana proses adopsi
GAFE di UNNES, UDINUS, dan UNISSULA?, dan
(3) bagaimana dosen sebagai digital immigrant dan
mahasiswa sebagai digital native dengan segala
keunikannya dapat mencapai mutal understanding
dan berkolaborasi secara realtime dengan
mengadopsi GAFE?
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
menjelaskan alasan di balik adopsi Google Apps for
Education (GAFE), proses adopsi teknologi cloud
computing milik Google yaitu Google Apps for
Education (GAFE) di berbagai Perguruan Tinggi di
Jawa Tengah serta mengangkat keunikan dimana
dosen (digital immigrant) dan mahasiswa (digital
native) dapat berkolaborasi secara realtime dengan
mengadopsi GAFE dalam sistem pembelajaran.
Secara akademis atau teoritis, penelitian ini
diharapkan dapat menguji teori teknologi
komunikasi yaitu difusi inovasi dalam proses adopsi
Google Apps for Education (GAFE) sehingga bisa
memberikan kontribusi bagi peneliti selanjunya serta
melengkapi penelitian sebelumnya terutama pada
disiplin ilmu komunikasi dengan konsentrasi
komunikasi strategis. Kemudian dalam tataran
praktis, riset ini ditujukan kepada UNNES, UDINUS
dan UNISSULA supaya dosen dan mahasiswa dapat
berkolaborasi dalam pelaksanaan Tridharma
Perguruan Tinggi dengan memanfaatkan Google
Apps for Education (GAFE) secara optimal Dalam
tataran sosial, riset ini diharapkan mampu
memberikan arahan kepada publik tentang
pergeseran lansekap (perkembangan lingkungan
budaya dan ekosistem yang kompetitif) Pendidikan
Tinggi di bidang teknologi komunikasi dan
bagaimana aplikasi teknologi tersebut dapat
dimaanfatkan dalam proses pembelajaran, khususnya
oleh Perguruan Tinggi melalui Google Apps for
Education (GAFE).
. Penelitian tentang teknologi cloud computing
tertuang dalam paper milik Constantinos K.
Coursaris, Wietske van Osch , Jieun Sung dari
Michigan State University yang berjudul A “Cloud
Lifestyle”: The Diffusion of Cloud Computing
Applications and the Effect of Demographic and
Lifestyle Clusters. Sebagai teknologi baru, mereka
bertiga tertarik menganalisis proses adopsi dan
penggunaan Cloud Computing dengan
mempertimbangkan karakteristik pengguna akhir,
meliputi segmentasi demografis, gaya hidup dan
pengetahuan yang relevan. Tujuan dari penelitian ini
antara lain meneliti faktor-faktor konstektual dan
atribut inovasi dari teknologi Cloud Computing yang
mempengaruhi maksud adopsi dengan menggunakan
partial-least square (PLS), mengidentifikasi berbagai
segmentasi perilaku gaya hidup, dan meneliti peran
dari berbagai konteks, persepsi dan maksud yang
berbeda dalam proses adopsi dengan analisis kluster
Hasil dari PLS menunjukkan efek
signifikan dari atribut inovasi pada maksud
perilaku untuk menggunakan Cloud Computing.
Sedangkan analisis kluster mengungkap ada tiga
kluster gaya hidup, yaitu Traditionalist, Hedonic
Yuppies, dan Intelligent Bussinessman. Dari
ketiga kluster di atas, Hedonic Yuppies sangat
kuat dalam mencerminkan “Cloud Lifestyle”.
Selain itu penelitian ini juga mengungkap
pentingnya variabel gaya hidup dan demografis
untuk memahami, menjelaskan dan
memprediksi adopsi.
Peneliti menggunakan Teori Difusi Inovasi
dari Rogers (2003) yang menjelaskan bagaimana
inovasi atau ide baru disebarluaskan dalam
sistem sosial dari waktu ke waktu, memfokuskan
diri pada pengetahuan, perubahan sikap dan
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
188
proses pengambilan keputusan yang
mempengaruhi adopsi inovasi. Teori Difusi
Inovasi digunakan untuk menganalisis
seperangkat karakteristik inovasi dengan lebih
luas, yaitu (1) relative advantage, (2)
complexity, (3) compatibility, (4) observability,
dan (5) triability. Selain lima faktor tersebut,
Ostlund (1974) juga menambahkan risiko
sebagai salah satu atribut inovasi. Risiko disini
yaitu, ketidakpastian yang dirasakan dalam
pembelian situasi-sebagai prediktor tambahan
perilaku niat orang untuk mengadopsi. Risiko
munculnya produk masa depan yang baru dan
lebih baik serta keamanan dan privasi negatif
mempengaruhi keputusan adopsi. Seperti
disebutkan di atas, Cloud Computing dikaitkan
dengan risiko keamanan dan privasi, maka, ini
mungkin berpengaruh negatif terhadap adopsi.
Menarik dari pendapat Coursaris dan Kim
(2013) mengenai kerangka kegunaan
kontekstual, peneliti menyarankan bahwa
kegunaan dan konsekuensi kegunaan (termasuk
adopsi) dipengaruhi oleh 4 rangkaian faktor
kontekstual yaitu (1) User, (2) Environment, (3)
Technology, dan (4) Task/Activity
characteristics
Dalam penelitian ini, peneliti menggali tiga
faktor kontekstual yang semuanya
berkedudukan sebagai variabel anteseden yaitu
(1) tekanan social dari kelompok rujukan untuk
melakukan perilaku tertentu, (2) tingkat paparan
sebelumnya terhadap teknologi terkait, dan (3)
kesadaran masyarakkat dan informasi tentang
teknologi baru.
Studi ini juga menggunakan model Brand
Strategy Research (BSR) yang menawarkan
operasionalisasi multidimensi yang paling
menyeluruh dan secara khusus berguna untuk
menciptakan kluster motivasi dalam adopsi
teknologi. BSR berfokus pada lima konstruksi
yang bersama-sama menjelaskan gaya hidup
konsumen, yaitu karakter, jenis rumah tangga,
informasi profesional, hobi dan minat, dan nilai-
nilai.
Berdasarkan model BSR, penelitian ini
akan menggunakan segmentasi gaya hidup
untuk membedakan antara beberapa kelompok
konsumen berdasarkan dimensi gaya hidup di
samping variabel demografi, teknologi, dan
kontekstual, untuk memberikan penjelasan yang
lebih holistik dan pemahaman yang lebih kaya
dari proses adopsi yang terkait dengan aplikasi
”note” pada Cloud Computing
Studi ini fokus pada aplikasi “note” pada
Cloud Computing, yaitu aplikasi editing
dokumen yang dapat digunakan pada halaman
web dan perangkat mobile serta mendukukung
sinkronisasi dan update otomatis , sejumlah
pilihan penyimpanan dan berbagi. Penelitian ini
menggunakan random sampling pada 1721
respondent yang tinggal di AS dan berumur
minimal 18 tahun. Selanjutnya data yang dipakai
hanya sebanyak 402 orang sedangkan sisanya
sebanyak 1319 didiskualifikasi. Semua skala
dalam kuesioner, kecuali untuk skala untuk
pengetahuan, yang diadaptasi dari studi yang
ada. Selanjutnya, semua skala, kecuali untuk
skala untuk pengetahuan, diukur sepanjang skala
Likert lima poin mulai dari "sangat tidak setuju"
untuk "sangat setuju".
Hasil penelitian membuktikan bahwa
atribut inovasi memiliki dampak yang signifikan
pada keinginan menggunakan inovasi dan dari
tiga faktor konstekstual yang berkedudukan
sebagai variabel anteseden, pengaruh sosial
menjadi faktor yang paling kuat dalam
mempengaruhi atribut inovasi.
Berbagai teori Teori Difusi Inovasi milik
Rogers dkk (2003) dianggap paling sesuai untuk
menyelidiki proses adopsi teknologi dalam
pendidikan tinggi dan lingkungan pendidikan
karena telah dipelajari dan diuji selama lebih dari
30 tahun dan menjadi salah satu model teori
yang bisa diaplikasikan dalam berbagai disiplin
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
189
ilmu termasuk ilmu komunikasi (Medlin, 2001;
Parisot, 1995).
Rogers mendefinisikan adopsi sebagai
sebuah keputusan untuk secara penuh
menggunakan salah satu inovasi sebagai salah
satu cara praktik terbaik dari perilaku yang
tersedia dan penolakan adalah sebuah keputusan
untuk tidak mengadopsi sebuah inovasi. Selain
itu Rogers mendefinisikan difusi sebagai proses
dimana inovasi dikomunikasikan melalui
channel tertentu secara terus-menerus di antara
anggota dari sebuah sistem sosial.(Rogers, 2003
: 5)
Terdapat empat elemen utama dalam difusi
inovasi, yaitu (1) inovasi, (2) saluran komunikasi, (3)
waktu, dan (4) sistem sosial. Inovasi merupakan ide,
praktik atau proyek yang dianggap baru oleh individu
atau unit lain untuk diadopsi. Ketidakpastian menjadi
penghalang dari adopsi inovasi. Konsekuensi inovasi
memungkinkan untuk menciptakan ketidakpastian.
Konsekuensi adalah perubahan yang terjadi dalam
diri individu atau sistem sosial sebagai hasil dari
adopsi atau penolakan terhadap sebuah inovasi.
Untuk mengurangi ketidakpastian individu
seharusnya diinformasi tentang keuntungan dan
kerugian untuk membuat mereka sadar tentang
konsekuensinya. Inovasi dalam penelitian ini adalah
Google Apps for Education (GAFE).
Menurut Rogers komunikasi adalah proses
dimana partisipan menciptakan dan berbagi
informasi satu dengan yang lain untuk mencapai
pemahaman bersama. Komunikasi ini terjadi
melalui channel antar sumber. Sumber adalah
individu atau institusi yang memulai pesan
sedangkan channel adalah cara dimana pesan
disalurkan dari sumber kepada penerima. Media
massa dan komunikasi interpersonal adalah dua
channel komunikasi. (Rogers, 2003 : 10)
Para peneliti menggolongkan saluran
komunikasi (1) dari segi sifatnya: interpersonal
dan media massa, (2) dari asalnya: lokalit dan
kosmopolit. Kajian dan penelitian yang lalu
Gambar 1- Model Tahapan Proses Keputusan Inovasi Figure 1- A Model of Stage in Innovation Decision Process Sumber : Everett M. Rogers. (2003). Diffusion of Innovations, 5th Edition. Hal 170
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
190
menunjukkan bahwa saluran komunikasi ini
memainkan peranan yang berbeda dalam
menciptakan pengetahuan atau dalam membujuk
orang agar merubah sikap mereka terhadap
inovasi. Saluran juga berbeda bagi pengguna
awal ide baru dan pengguna akhir. (Rogers, 2003
: 197-198)
Seringkali aspek waktu diabaikan dalam
hampir semua riset perilaku. Proses difusi
inovasi, kategorisasi pengadopsi, dan tingkat
adopsi semuanya melibatkan dimensi waktu.
Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a)
proses pengambilan keputusan inovasi, (b)
keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau
lebih lambat dalam menerima inovasi, dan (c)
kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem
sosial. Sedangkan sistem sosial merupakan
serangkaian unit terkait yang terikat dan
bergabung dalam penyelesaian masalah untuk
mencapai tujuan tertentu. Karena difusi inovasi
terjadi dalam sistem sosial maka ini dipengaruhi
struktur sosial dari sistem sosial. Menurut
Rogers, struktur adalah pengaturan berpola dari
unit-unit yang ada dalam sebuah sistem.
(Rogers, 2003 : 10)
Dalam penelitian ini yang menjadi sistem
sosial yaitu Perguruan Tinggi di Jawa Tengah
khususnya kota Semarang yang sudah
menggunakan Google Apps for Education.
Dalam bukunya, Rogers menggambarkan
tahapan proses keputusan dalam mengadopsi
sebuah inovasi untuk memberikan pemahaman
kepada kita bagaimana sebuah inovasi bisa
berhasil atau gagal untuk diadopsi. Berikut ini
merupakan model tahapan dalam proses
keputusan adopsi inovasi.
A. Knowledge Stage
Lawrence (1981) sebagai seorang sosiolog
mencoba menjelaskan apa saja yang terjadi dalam
tahap pembentukan pengetahuan. Dalam tataran
kognitif ini, individu belajar tentang keberadaan
inovasi dan mencari informasi tentang inovasi
tersebut. Apa, bagaimana, dan kenapa menjadi
pertanyaan kritis dalam fase pengetahuan. Dalam hal
ini reputasi dari unit (baik itu individu ataupun
institusi) yang mengeluarkan inovasi sangat
mempengaruhi dalam pembentukan pengetahuan
individu. Reputasi ini berkaitan dengan frame of
references dan field of experience. Menurut, field of
experience dalam proses difusi inovasi adalah praktik
sebelumnya (previous practice). Praktik sebelumnya
merupakan standar familiar dimana inovasi
diintepretasikan dengan baik sehingga menurunkan
ketidakpastian. Tingkat adopsi ide baru
dipengaruhi oleh gagasan lama yang
menggantikan. Jelas, namun, jika ide baru yang
benar-benar selaras dengan praktek yang ada,
tidak akan ada inovasi, setidaknya dalam pikiran
pengadopsi potensial. Sebuah pengalaman
negatif dengan satu inovasi dapat mempengaruhi
adopsi inovasi masa depan. Negativisme inovasi
adalah sejauh mana kondisi kegagalan suatu
inovasi pada adopter potensial untuk menolak
inovasi di masa mendatang. Ketika satu ide
gagal, pengadopsi potensial dikondisikan untuk
melihat semua inovasi masa depan dengan
kekhawatiran. (Rogers, 2003:171)
Inovasi teknologi menciptakan semacam
ketidakpastian dalam pikiran pengadopsi
potensial (tentang konsekuensi yang
diharapkan), serta menggambarkan kesempatan
untuk mengurangi ketidakpastian dalam arti
yaitu informasi teknologi. Jenis terakhir dari
pengurangan potensial dari ketidakpastian
(informasi yang terkandung dalam inovasi
teknologi itu sendiri) menunjukkan
kemungkinan keberhasilan inovasi dalam
pemecahan kebutuhan yang dirasa atau masalah
yang dihadapi seseorang.
Keuntungan ini memberikan motivasi yang
mendorong seseorang untuk memaksimalkan
usaha dengan mendalami dan mempelajari
tentang inovasi. Setelah kegiatan mencari
informasi tersebut dapat mengurangi
ketidakpastian tentang konsekuensi yang
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
191
diharapkan atas inovasi ke tingkat yang dapat
ditoleransi bagi masing-masing individu,
keputusan mengenai adopsi atau penolakan akan
serta merta dibuat. (Rogers, 2003 : 13)
Selama tahap pengetahuan, individu juga
mencoba untuk menentukan apakah inovasi itu dan
mengapa inovasi itu bekerja. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut membentuk tiga tipe dari pengetahuan, yaitu
(1) awareness knowledge yang merepresentasikan
keberadaan inovasi, (2) how-to-knowledge yang
mengandung informasi tentang bagaimana cara
menggunakan inovasi secara benar, dan (3) principle
knowledge yang melibatkan prinsip fungsi yang
mendeskripsikan bagaimana sebuah inovasi bekerja.
Karakteristik sosioekonomi individu dianggap
memiliki pengaruh dalam tahap pengetahuan.
Dengan kata lain, orang yang memiliki pendidikan
yang lebih tinggi dan keadaan sosioekonomi yang
lebih tinggi lebih cepat tahu mengenai inovasi
tertentu. Dalam bukunya, Rogers merangkum
berbagai generalisasi temuan penelitian tentang
pengetahuan awal tentang inovasi yang dijelaskan
dalam tabel berikut ini:
Tabel 1. Generaliasi Pengetahuan Awal tentang Inovasi Table 1. Early Knowledge Generalization of Innovation
Generalisasi 1 Orang yang mengetahui inovasi lebih awal memiliki pendidikan yang lebih tinggi dibanding yang lebih lambat
Generalisasi 2 Orang yang mengetahui inovasi lebih awal memiliki status sosial yang lebih tinggi dibanding yang lebih lambat
Generalisasi 3 Orang yang mengetahui inovasi lebih awal lebih terekspos pada saluran-saluran komunikasi media massa dibanding yang lebih lambat
Generalisasi 4 Orang yang mengetahui inovasi lebih awal lebih terekspos pada saluran-saluran komunikasi interpersonal dibanding yang lebih lambat
Generalisasi 5 Orang yang mengetahui inovasi lebih awal lebih terekspos memiliki lebih banyak kontak agen
perubahan dibanding yang lebih lambat
Generalisasi 6 Orang yang mengetahui inovasi lebih awal memiliki partisipasi sosial yang lebih banyak dibanding yang lebih lambat
Generalisasi 7 Orang yang mengetahui inovasi lebih awal lebih bersifat kosmopolit dibanding yang lebih lambat
Sumber: Everett M. Rogers. (2003). Diffusion of Innovations, 5th Edition. 174
1. Persuasion Stage
Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki
sikap negatif atau positif terhadap inovasi tetapi
pembentukan sikap yang baik ataupun tidak baik
terhadap inovasi. Namun tidak selalu mengacu
langsung atau tidak langsung menjadi adopsi atau
menolak. Tahap persuasi lebih fokus pada afektif.
Tingkat ketidakpastian lanjutan tentang fungsi
inovasi dan penguatan sosial dari pihak lain
mempengaruhi pendapat dan keyakinan individu
tentang inovasi tersebut. Evaluasi subjektif
kelompok rujukan terdekat yang mengurangi
ketidakpastian tentang hasil inovasi biasanya lebih
kredibel. (Rogers, 2003:175)
2. Decision Stage
Tahap keputusan dalam proses keputusan-
inovasi terjadi ketika seorang individu (atau unit
pengambil keputusan lainnya) terlibat dalam
kegiatan yang mengarah pada pilihan untuk
mengadopsi atau menolak inovasi. Adopsi
adalah keputusan untuk memanfaatkan
sepenuhnya suatu inovasi sebagai tindakan
terbaik yang tersedia. Penolakan adalah
keputusan untuk tidak mengadopsi suatu
inovasi. (Rogers, 2003 : 177) Pada tahap ini individu memilih untuk
mengadopsi atau menolak inovasi. Jika inovasi
memiliki basis percobaan sementara, biasanya akan
diadopsi secara lebih cepat karena hampir setiap
individu pertama kali ingin mencoba inovasi dalam
situasi mereka sendiri dan kemudian datang dengan
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
192
keputusan adopsi. Percobaan yang mewakili ini
dapat mempercepat proses keputusan terhadap
inovasi. (Rogers, 2003 : 177)
Terdapat 2 macam penolakan, yaitu (1) Active
rejection di mana individu mencoba inovasi dan
berpikir akan mengadopsi, namun kenyataannya dia
memutuskan untuk tidak mengadopsi dan (2) Passive
rejection di mana individu tidak berpikir sama sekali
untuk mengadopsi (Rogers, 2003:178)
3. Implementation Stage
Dalam tahap ini, inovasi sudah berada dalam
posisi praktis. Ketidakpastian tentang hasil inovasi
masih menjadi masalah dalam fase ini. Oleh
karenanya orang yang melakukan implementasi
butuh bantuan teknis dari agen perubahan dan pihak
lain untuk mengurangi tingkatan ketidakpastian
tersebut. Reinvention biasanya juga terjadi pada
tahap ini. Reinvention sendiri yaitu sejauh mana
sebuah inovasi diubah atau dimodifikasi oleh
pengguna dalam proses adopsi dan implementasi.
Semakin banyak reinvention yang terjadi maka akan
semakin cepat pula inovasi diadopsi dan menjadi
diinstitusionalkan. (Rogers, 2003:180)
4. Confirmation
Pada tahap ini individu cenderung akan mencari
dukungan untuk keputusannya. Karena bergantung
pada dukungan, diskontinyuitas umum terjadi selama
tahap konfirmasi. Diskonyuitas ini terjadi dalam dua
cara, yaitu (1) replacement discontinuance dimana
individu menolak inovasi dan selanjutnya
mengadopsi inovasi yang lebih baik untuk
menggantikan inovasi sebelumnya dan (2)
disenchantment discontinuance dimana individu
menolak inovasi karena mereka merasa tidak puas
dengan kinerja inovasi tersebut (Rogers, 2003:184)
Christ Roberts (2008) dalam salah satu
tulisannya yang berjudul Personal Computers di
buku Communication Technology Update, generasi
anak kuliah sekarang berada pada gelombang
pertama digital native yang kehidupannya,
budayanya, identitasnya terikat dengan komputer
dan Computer-Mediated Communication. Hal
tersebut semakin diperkuat oleh hasil penelitian
oleh Wina Nurfitriani (2013)
mengenai Computer Self-Efficacy (CSE) dalam
Ruang Lingkup Usia dalam Penggunaan Teknologi
Informasi. Wina menemukan bahwa mereka yang
berumur 15 hingga 25 tahun memiliki tingkat CSE
tertinggi dan terbaik dibandingkan kategori umur
lainnya yaitu 26-35 tahun dan 36-49 tahun. Bahkan
berdasarkan hasil wawancara dengan responden,
responden yang berusia 36-49 tahun menyatakan
beberapa kesulitan bagi mereka untuk mempelajari
komputer.
Alasan pertama, mereka mengenal komputer
atau mempelajarinya pada saat mereka memasuki
tingkat perguruan tinggi sehingga mereka
mengenalnya pada saat berusia 18/19 tahun. Akan
tetapi bagi mereka yang berusia 15 hingga 25 tahun
sudah mendapatkan pelajaran Teknologi Informasi
dan Komunikasi dari SD ataupun SMP. Alasan
kedua, respoden dengan usia 36-49 tahun
mengatakan sulit bagi mereka belajar di usia yang
sudah tua karena mereka lama untuk mengingat dan
mudah untuk melupakan apa yang mereka pelajari
jika tidak menjadi sebuah kebiasaan. Alasan terakhir,
masalah dalam penggunaan komputer yang lebih
banyak menggunakan bahasa Inggris. Responden
yang berusia 36-49 tahun mengeluhkan sulitnya
untuk mengerti berbagai program dan menu yang ada
di dalam komputer karena penggunaan bahasa
Inggris yang menjadi faktor utamanya.
II. METODOLOGI
Penelitian tentang adopsi Google Apps for
Education (GAFE) pemanfaatan di Perguruan
Tinggi: sebuah kolaborasi real-time dosen dan
mahasiswa menggunakan pendekatan kualitatif
karena kedudukan penelitian didasarkan atas
interpretasi subyek, dan temuan penelitian terikat
konteks. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang
menggambarkan atau mendeskripsikan suatu
masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan
(Kriyantono, 2006: 57). Sedangkan jenis
penelitiannya adalah deskriptif karena bertujuan
membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan
akurat tentang fakta dan sifat obyek tertentu. Adapun
metode penelitian yang digunakan adalah grounded.
Grounded theory merupakan prosedur penelitian
sekaligus teori baru yang bertujuan menghasilkan
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
193
atau mengembangkan teori baru. Grounded adalah
sebuah pendekatan yang refleksif dan terbuka, di
mana pengumpulan data, pengembangan konsep-
konsep teoritis, dan ulasan literature berlangsung
dalam proses yang berkelanjutan (Daymon dan
Holloway, 2008: 180). Penelitian ini menggunakan
grounded karena permasalahan penelitian tepat
didekati dengan grounded, di mana penelitian ini
fokus pada rangkaian peristiwa, tindakan, dan
aktivitas individual maupun kolektif yang
berkembang dari waktu ke waktu dan dalam konteks
tertentu.
Dalam metode grounded ada beberapa prosedur
penelitian. Prosedur-prosedur itu adalah
perbandingan konstan, pengajuan pertanyaan yang
bersifat generatif dan berhubungan dengan konsep
secara sistematis, sampling teoritis, prosedur
pengkodean secara sistematis, kerangka penelitian
yang memadatkan konsep, dan variasi dan integrasi
konseptual (Denzin dan Lincoln, 2009: 351).
Menurut Strauss dan Corbin metode pengumpulan
datanya hampir sama dengan penelitian kualitatif
lainnya, yaitu wawancara (mendalam) dan observasi
lapangan yang didukung dengan dokumentasi dalam
berbagai bentuk. (Denzin dan Lincoln, 2009: 350)
Universitas Negeri Semarang (UNNES),
Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) dan
Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) yang
merupakan Perguruan Tinggi di Jawa Tengah dipilih
menjadi situs penelitian. Alasan pemilihan lokasi
penelitian yaitu karena ketiga Perguruan Tinggi
tersebut sudah mengadopsi Google Apps for
Education (GAFE) lebih dari dua tahun. Menurut
Rogers, proses adopsi dikatakan sempurna bila telah
memenuhi kurun waktu sekurang-kurangnya dua
tahun sehingga ketiga Perguruan Tinggi tersebut
dianggap memenuhi syarat. Dalam menentukan unit
analisis peneliti menggunakan purposive sampling
yaitu pengambilan sample berdasarkan kriteria
tertentu yang harus disesuaikan dengan masalah dan
tujuan penelitian (Johnston, 2009:208). Teknik ini
mencakup orang-orang yang akan diseleksi atas
kriteria-kriteria tertentu yang dibuat peneliti
berdasarkan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini
unit analisisnya adalah adalah dosen dan mahasiswa
di UNNES, UDINUS, UNISSULA yang aktif
menggunakan GAFE dalam sistem pembelajaran
sebanyak 12 orang, di mana masing-masing
Perguruang Tinggi diwakili oleh 2 orang dosen dan
2 orang mahasiswa.
Untuk penelitian yang menggunakan metode
grounded theory, teknik pengumpulan data yang
akan digunakan antara lain, (Yin, 2006: 103-118)
1. Dokumentasi
Dokumen digunakan untuk mendukung dan
menambahkan bukti dari sumber-sumber lain.
Teknik dokumentasi bertujuan untuk
mengumpulkan data-data sekunder yang
diperoleh dengan cara mengumpulkan dan
mempelajari dokumentasi tertulis, serta
dokumen-dokumen lain yang relevan. Buku,
jurnal, thesis, disertasi serta tulisan di internet
atau media massa yang berkaitan dengan
penelitian digunakan dalam rangka mendukung
penelitian ini.
2. Rekaman arsip
Pengumpulan data dalam penelitian ini juga
memanfaatkan sumber – sumber yang berasal
dari arsip-arsip Perguruan Tinggi dan proses
pembelajaran yang sudah dilaksanakan.
Rekaman-rekaman arsip ini dapat digunakan
bersama-sama dengan sumber-sumber
informasi yang lain dalam penelitian. Sumber-
sumber arsip dapat menghasilan informasi
kualitatif maupun kuantitatif.
3. Wawancara
Teknik wawancara dilakukan untuk
mengumpulkan data primer. Wawancara
dilakukan secara mendalam dengan
menggunakan panduan wawancara atau
interview guide, ataupun pertanyaan –
pertanyaan yang sifatnya spontan muncul saat
wawancara. Wawancara ini bersifat luwes,
susunan pertanyaan dan susunan kata – kata
dalam pertanyaan dapat diubah pada saat
wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi saat wawancara, termasuk karakteristik
sosial-budaya responden yang dihadapi.
4. Observasi langsung
Jenis observasi yang dilakukan adalah
observasi non partisan, yaitu dengan mengamati
langsung objek yang diteliti.
Setelah data-data terkumpul selanjutnya
dilakukan analisis data. Analisis data kualitatif
dimulai dari analisis berbagai data yang berhasil
dikumpulkan peneliti di lapangan. Data yang
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
194
terkumpul baik melalui wawancara mendalam,
dokumen-dokumen serta rekaman arsip. Kemudian
data tersebut diklarifikasikan ke dalam kategori
tertentu. Setelah melakukan klarifikasi, peneliti
melakukan pemaknaan terhadap data. Pemaknaan ini
merupakan prinsip dasar penelitian kualitatif, yaitu
realitas ada pada pikiran manusia, realitas adalah
hasil konstruksi sosial manusia. Setelah pemaknaan
atau intrepetasi, penelitian kemudian berteori untuk
menjelaskan dan berargumentasi tentang temuannya
(Kriyantono,2006:192 :197).
Menurut Denzin dan Lincoln (2009: 350)
terdapat beberapa strategi umum yang dapat
dilakukan dalam analisis data, yaitu (1) memasukkan
informan dalam daftar yang berbeda, (2) membuat
matriks kategori dan menempatkan bukti-bukti ke
dalam kategori tersebut, (3) menciptakan analisis
data – flowchart dan perangkat lainnya- guna
memeriksa data yang bersangkutan, dan (4)
memasukkan informan ke dalam urutan kronologis/
menggunakan skema waktu atau kelompok tertentu.
Jenis analisis data dalam analisis umum yang
digunakan adalah mendasarkan pada proposisi teori,
menganalisa dengan mendasarkan pada proposisi
teori yang menuntun dalam penelitian. Proposisi-
proposisi ini akan membantu menfokuskan perhatian
pada data tertentu dan mengabaikan data yang lain.
Bentuk analisis yang digunakan adalah bentuk
analisis dominan dengan penjodohan pola dengan
membandingkan antara kenyataan dan hipotesa/
dugaan-dugaan yang berdasarkan teori dan konsep.
Goodness criteria atau uji kualitas data sangat
dibutuhkan untuk memastikan data yang
disampaikan dalam penelitian ini terpercaya dan
dipastikan kebenarannya. Uji kualitas data yang
dilakukan pada penelitian ini adalah dengan
menggunakan kepercayaan (kredibilitas/ credibility)
dan ketergantungan (dependability). Jenis uji
kredibilitas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah respondent balidation or member validation,
yaitu upaya peneliti untuk mendapatkan konfirmasi
dari pihak yang diteliti. Ada tiga aspek yang perlu
mendapatkan konfirmasi anatara lain (1) apa yang
dikatakan oleh narasumber penelitian (2) melakukan
konfirmasi dengan group partisipan dan (3)
memberikan hasil jadi dari penelitian yang dilakukan
kepada para subjek penelitian. Sedangkan
ketergantungan pada dasarnya sama dengan
reliabilitas. Reliabilitas merupakan syarat bagi
validitas. Hanya dengan data yang reliable, maka
akan dapat diperoleh data yang valid. Untuk
mendapatkan data yang reliable hasil penelitian kita
dapat dinilai oleh kolega, seperti peers review baik
sejak desain penelitian maupun hasil penelitian.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Alasan di balik Adopsi Google Apps for
Education
Jutaan mahasiswa, tenaga kependidikan, dan
dosen yang tersebar di berbagai Perguruan Tinggi di
seluruh dunia (tidak hanya di Indonesia)
menggunakan Google Apps for Education (GAFE)
karena berbagai manfaat yang bisa didapat sekaligus.
Selain itu bagi pihak universitas sendiri merupakan
kerjasama yang menguntungkan karena dengan
bekerjasama dengan Google mereka sudah
menghemat sekitar $5 untuk setiap akun per tahun.
Berikut adalah berbagai alasan di balik adopsi GAFE
yang dikemukakan oleh dosen dan mahasiswa
UNNES, UDINUS dan UNISSULA.
1. Keamanan
Faktor keamanan menjadi pertimbangan
pertama sebelum para dosen dan mahasiswa
memutuskan untuk mengadopsi GAFE. Mayoritas
informan menyatakan, “Kami tertarik menggunakan
GAFE karena adanya sistem keamanan yang handal.
Dimana privasi pengguna terjaga dan yang paling
penting semua dicadangkan. Sehingga tidak perlu
khawatir data hilang sewaktu-waktu. Berbeda
dengan ketika kita menggunakan flashdisk atau
hardisk untuk menyimpan data. Ketika rusak atau
hilang, maka data kita ikut hilang. Selain memiliki
data, user juga dapat mengontrol data tersebut.”
Hal tersebut semakin diperkuat oleh Primagain,
pihak yang ditunjuk resmi oleh Google dalam
membantu mempercepat tingkat adopsi Google Apps
for Education di tiga kampus tersebut.
“GAFE berisi lusinan fitur keamanan penting
yang secara khusus dirancang agar data pengguna
tetap aman, terlindung, dan berada dalam kontrol
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
195
pengguna. Data adalah milik pengguna dan aplikasi
memungkinkan pengguna untuk mengontrolnya,
termasuk kepada siapa dan bagaimana pengguna
membagikannya. Jaringan pusat data Google
memberikan keamanan dan jaminan yang luar biasa.
Selain itu semua data pengguna GAFE akan
dicadangkan secara otomatis di server Google.
Sehingga bila terjadi hal-hal tidak diinginkan,
pengguna tetap bisa langsung mulai bekerja tanpa
hambatan. Sebagai catatan, setiap data yang
pengguna masukkan ke Google Apps adalah milik
pengguna, dan hal itu disebutkan dalam kontrak
Google. Informasi Pengguna aman dari organisasi
lain, meskipun semua itu ada pada server yang sama.
Berbagai aplikasi yang canggih dan mudah
digunakan secara langsung membantu administrator
mengelola hal-hal seperti pengguna, dokumen, dan
layanan, dan tetap melacak penggunaan serta data
melalui dasbor. Dan tentu saja pengguna adalah
pemilik data sepenuhnya, bukan Google. Pusat data
Google yang dirancang dan dibangun untuk aplikasi
tidak menyertakan perangkat keras maupun lunak
yang tidak diperlukan. Ini akan mengurangi jumlah
kerentanan yang berpotensi dapat dieksploitasi.”
“Tidak hanya itu, GAFE menawarkan lapisan
keamanan tambahan dengan autentikasi dua faktor,
yang sangat mengurangi risiko pembajak mencuri
nama pengguna dan sandi. Google juga
mengenkripsi sesi browser secara otomatis dengan
SSL untuk pengguna Apps tanpa memerlukan VPN
atau infrastruktur lainnya yang rumit dan mahal. Hal
ini membantu melindungi data pelajar dan pendidik
saat melintas di antara browser pengguna dan pusat
data Google. Tim keamanan informasi Google
secara berkesinambungan memantau jaringan
global pusat data Google. Banyak di antara mereka
yang memiliki gelar tingkat lanjut dan merupakan
tokoh pemikir yang menetapkan praktik keamanan
info untuk industri Google. Google Apps dan pusat
data Google juga telah lulus audit SSAE 16 / ISAE
3402 Tipe II SOC 2 dan telah meraih sertifikasi ISO
27001. Google Apps diatur oleh kebijakan privasi
yang terperinci, yang menjamin Google tidak akan
berbagi atau menyalahgunakan informasi pribadi
yang dimasukkan ke dalam sistem Google. Google
mematuhi hukum privasi AS yang berlaku, dan
Persyaratan Layanan Google Apps dapat
menjabarkan dengan detail kewajiban dan
kepatuhan Googleterhadap peraturan FERPA (UU
Hak Pendidikan dan Privasi Keluarga). Google juga
terdaftar dalam perjanjian Safe Harbor AS-UE, yang
membantu memastikan bahwa kepatuhan
perlindungan data Google memenuhi standar Uni
Eropa untuk lembaga pendidikan.”
2. Tetap Terhubung
Sebagai salah satu teknologi cloud computing,
semua yang ada di Google Apps for Education
(GAFE) otomatis disimpan di “awan” dan 100%
diberdayakan oleh web. Ini berarti bahwa email,
dokumen, kalender, dan situs dapat diakses dan
diedit di hampir semua perangkat seluler atau tablet
kapan saja dan di mana saja.
3. Kolaborasi real-time
Seiring dengan perkembangan teknologi di
dunia pendidikan, belajar bersama dalam waktu
nyata dan jarak jauh bukanlah sebuah hal yang
mustahil. Seperti pengalaman yang dirasakan oleh
mahasiswa di UNNES, UDINUS, dan UNISSULA.
Berikut adalah hasil wawancara dengan Aditya Ati
Ningsih, Mahasiswa FE UNISSULA angkatan 2013
“Baru kali ini saya bisa mengerjakan tugas
kelompok secara bersama-sama tanpa
harus bertatap muka. Dengan adanya
GAFE, kami bisa mengerjakan tugas
kelompok kapanpun juga saat kami
mengingingkannya entah itu dari rumah,
dari kampus, dari kost, dan hebatnya
langsung diawasi oleh dosen yang
bersangkutan secara real-time. Hal
tersebut tentu saja memudahkan kami
sebagai mahasiswa jika menemui kendala
atau kesulitan dalam menyelesaikan tugas
yang berbentuk paper atau presentasi.”
Sedangkan dosen yang memiliki kewajiban
melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi juga
merasa terbantu dengan adanya teknologi Google
Apps for Education. Kesibukan tidak lagi menjadi
kendala untuk tetap berkomunikasi dengan rekan
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
196
sejawat dan para mahasiswa dalam menyelesaikan
berbagai pekerjaan.
Cepat dan mudah berkolaborasi adalah yang
membedakan Google Apps dengan aplikasi yang
lain. Situs web dan alat pembuatan dokumen Google
menawarkan pengeditan waktu nyata, kontrol
berbagi yang canggih, dan kompatibilitas tanpa
kendala merupakan lingkungan yang ideal untuk
belajar di era TGIF ini. Dengan Google Documents,
cukup berbagi dengan beberapa klik dan setiap
mahasiswa di kelas, pengguna memiliki akses ke
versi yang tepat dari setiap spreadsheet, dokumen,
atau presentasi. Setiap orang dapat membuka dan
mengedit pada saat yang bersamaan. Tidak perlu lagi
mengirim bolak-balik lampiran dan beberapa versi
melalui email yang tidak dapat pengguna lacak.
Selain itu baik dekat maupun jauh, mahasiswa dan
staf dapat mengatur obrolan video langsung dari
kotak masuk Gmail pengguna atau membuka
dokumen yang sama dan mengeditnya bersama-sama
seolah-olah mereka duduk di depan komputer yang
sama.
4. Kerja Tuntas
Alasan keempat yang menjadikan Google Apps
for Education (GAFE) diadopsi oleh para dosen dan
mahasiswa yaitu kerja tuntas. Kerja tuntas disini
maksudnya adalah GAFE dapat membantu
mengefisienkan tugas-tugas akademik seperti
menulis esai dan penjadwalan kelas. Sekelompok
mahasiswa dapat bekerja sama dalam sebuah tugas di
Google Documents, melihat perubahan secara
waktu-nyata daripada menunggu versi dikirim
melalui email. Mahasiswa dapat melihat persis kapan
dosen mereka senggang dan sebaliknya dengan
Google Kalender. Dengan menyingkirkan hal-hal
yang menyia-nyiakan waktu, Apps meluangkan
waktu pengguna untuk belajar dan mengajar.
Dengan menggunakan Google Apps tidak ada
waktu yang akan terbuang untuk mencari email,
dokumen, situs proyek, atau file yang sulit
ditemukan. Dengan Google Apps, semua dokumen
pelajar dan pendidik pengguna berada dalam satu
tempat, dapat ditemukan dengan cepat dengan
penelusuran canggih Google (tidak perlu lagi
menyortir dan mengarsipkan), dan dapat dibagikan
dengan siapa pun di universitas hanya dengan sekali
klik.
5. Teknologi Informasi yang Kasat Mata
Penggunaan Google Apps for Education
(GAFE) akan lebih menghemat waktu dalam
mengelola infrastruktur Teknologi Informasi
pengguna. Dosen, mahasiswa dan administrator
selalu memiliki akses ke perangkat lunak terbaru,
termasuk fitur terbaru dan pembaruan keamanan.
Pengguna tidak perlu membeli atau mengelola server
dan segalanya dapat dikelola dari satu antarmuka.
Dengan kata lain penggunaan aplikasi ini benar-
benar gratis.
Terlebih lagi organisasi pengguna dapat aktif
dan berjalan di Apps dalam hitungan menit, dengan
alamat email yang disesuaikan
([email protected]). Jika
pengguna belum memiliki alamat web, Google dapat
membantu pengguna membuatnya. Dan saat pelajar
dan staf baru bergabung, pengguna dapat
menambahkan pengguna baru hanya dengan
beberapa klik. Google Apps for Education (GAFE)
tidak hanya gratis, tetapi pengguna tidak perlu
membeli atau memelihara server sendiri atau
perangkat lunak klien, sehingga pengguna juga akan
menghemat uang pada hal tersebut.
Google Apps diperbarui secara otomatis,
sehingga rekan-rekan pengguna di divisi TI dapat
melupakan kerepotan mengunduh dan menerapkan
tambalan atau menghadapi risiko keamanan akibat
pembaruan yang tertunda. Google mempermudahnya
dengan mengelola segalanya, termasuk pembaruan
produk, melalui server Google. Selain itu tak perlu
menunggu bertahun-tahun untuk peningkatan versi
produk. Apps diperbarui setiap saat pengguna masuk
ke sistem, sehingga pengguna mendapatkan fitur
terbaru segera setelah fitur tersebut siap. Hampir
setiap minggu Google juga membuat pembaruan
yang dapat menguntungkan bagi organisasi
Pengguna.
Selain itu, pengguna hanya membutuhkan
browser internet untuk menggunakan dan menjaga
Apps tetap diperbarui. Artinya, Pengguna tidak perlu
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
197
lagi memasang dan memelihara perangkat keras atau
perangkat lunak klien khusus, sehingga dapat
menghemat waktu Pengguna dalam upaya
mengoperasikan semua perangkat tersebut.
6. Go Green
Alasan terakhir yang terkadang luput dari
perhatian adalah dengan beralih ke Google Apps
membantu mengurangi pengeluaran perguruan tinggi
secara keseluruhan dan dampak perguruan tinggi
terhadap lingkungan. Apps diberdayakan oleh pusat
data hemat energi milik Google, sehingga intensitas
karbon dan energi yang digunakan lebih sedikit
daripada server milik sendiri. Berikut merupakan
alasan kenapa salah satu manfaat Google Apps for
Education adalah Go Green. Selain itu pindah ke
cloud berarti pengguna dapat menghemat biaya
untuk infrastruktur TI dan listrik. Gunakan Gmail:
memindahkan inang email Pengguna dari yang
dimiliki sendiri ke gemawan dapat membuat
pengguna hemat energi hingga 80x lebih besar.
Alat kolaborasi seperti obrolan video dan
dokumen bersama membantu pelajar dan pendidik
merasa seperti mereka berada di ruang yang sama.
Pengguna akan mengurangi pencetakan eksternal,
biaya perjalanan antara kampus, dan keseluruhan
jejak lingkungan Pengguna. Menurut Pepita
Gunawan, Pepita Gunawan, Indonesian Education
Lead for Google Southeast Asia, Google adalah
perusahaan netral karbon.
“Perlu diketahui, Google mencapai posisi
ini melalui kombinasi pusat data hemat
energi, pembelian energi yang dapat
diperbarui, dan penyeimbangan karbon
bermutu tinggi. Ini berarti bahwa Google
Apps (dan semua produk yang Pengguna
gunakan di awan Google) memiliki
dampak “benar-benar nol” terhadap
lingkungan dan itu telah dijadikan salah
satu komitmen.”
Keenam alasan di atas menjelaskan atribut
inovasi yang melekat dalam Goggle Apps for
Education yang ada pada tahapan persuasi yang
sudah dijelaskan dalam model tahapan proses
keputusan difusi inovasi milik Rogers (2003) yaitu
relative advantage, complexity, compatibility,
observability, triability. relative advantage adalah
sejauh mana inovasi dianggap lebih baik daripada
gagasan yang digantikan, complexity memiliki
pengertin sejauh mana inovasi dianggap sulit
dipahami dan digunakan, sedangkan compatibility
merupakan sejauh mana suatu inovasi dianggap
konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman
masa lalu, dan kebutuhan pengadopsi potensial,
observability sendiri yaitu sejauh mana hasil suatu
inovasi dapat dilihat oleh orang lain, dan triability
adalah sejauh mana suatu inovasi dapat dieksperiman
secara terbatas sehingga memungkinkan individu
untuk melakukan “percobaan dan pembelian”.
(Rogers, 2003:175)
B. Proses Adopsi Google Apps for
Education di Perguruan Tinggi
Google Apps for Education (GAFE) pertama
kali dirilis sekitar bulan Oktober 2006. Namun di
Indonesia sendiri GAFE baru dikenal setelah tahun
2010 itupun oleh kalangan terbatas. Tidak lama
setelah itu Google mulai mengajak kerjasama
Perguruan Tinggi di Indonesia, termasuk di
antaranya Universitas Semarang (UNNES),
Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS), dan
Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA).
Setelah melakukan berbagai persiapan untuk proses
adopsi Google Apps for Education (GAFE),
UNISSULA akhirnya mendeklarasikan Gone
Google pada tanggal 18 Januari 2013, disusul oleh
UDINUS pada tanggal 13 Februari 2013 dan
UNNES pada tanggal 4 April 2013.
Pepita Gunawan selaku Edu Lead Indonesia
Google Apps Supporting. Program mengatakan
“Sekarang ini Brasil, Rusia, Indonesia,
Meksiko (BRIM) sedang menjadi fokus
Google untuk digarap, salah satunya di
bidang pendidikan. BRIM merupakan 4
negara berkembang yang memiliki
potensi sebagai end-user Google. Oleh
karena itu kami memiliki target dimana
setiap kampus yang sudah bekerja sama
dengan Google dalam dua tahun sudah
secara penuh mengadopsi Google Apps
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
198
for Education (GAFE). Oleh karena itu
Perguruan Tinggi yang kami pilih harus
memiliki persyaratan minimal seperti
telah memiliki kesiapan infrastruktur yang
memadai, memiliki budaya cyber yang
cukup kuat serta yang paling penting
memiliki potensi loyalitas sebagai end
user Google.”
Dalam proses adopsi GAFE di UNNES,
UDINUS, dan UNISSULA, mereka menggunakan
dua channel komunikasi yaitu media massa dan
komunikasi interpersonal. Saluran media massa
adalah cara penyaluran pesan yang menggunakan
perantara massa seperti website universitas, sosial
media, surat kabar, dsb yang memungkinkan
seseorang atau sedikit sumber menjangkau banyak
audien. Media massa dapat (1) menjangkau audien
lebih luas dan lebih cepat, (2) Menciptakan
pengetahuan dan menyebarkan informasi, (3)
Mengubah sikap-sikap yang kurang teguh. (Rogers,
2003 : 197-198)
Pembetukan dan perubahan sikap yang teguh
paling baik diakukan oleh saluran antar pribadi,
tetapi saluran komunikasi antar pribadi juga penting
dalam proses pembentukan pengetahuan untuk
menghindari adanya mispersepsi. Saluran antar
pribadi melibatkan pertemuan tatap muka antara dua
orang atau lebih. Saluran ini lebih efektif untuk
menghadapi penolakan dan keengganan pada
sebagian komunikasi. Hal terbaik yang bisa
dilakukan melalui komunikasi antar pribadi yaitu (1)
pertukaran informasi bisa dua arah. Seseorang dapat
memperoleh kejelasan atau informasi tambahan
tentang inovasi dari orang lain. Ciri jaringan antar
pribadi kadang-kadang memungkinkan mengatasi
rintangan-rintangan sosiologis pemilihan terpaan,
persepsi dan penyimpanan dan (2) mengajak orang
atau mengubah sikap-sikap yang telah dipegang
teguh. Peranan saluran antar pribadi terutama penting
dalam membujuk seseorang untuk mengadopsi atau
menolak suatu inovasi. (Rogers, 2003 : 197-198)
Dalam penelitian ini komunikasi interpersonal
yang digunakan dalam membantu proses adopsi
Google Apps for Education (GAFE) yaitu para
opinion leader dan Google Student Champion.
Sebelum diterjunkan ke dalam jaringan difusi yang
berisi calon adopter, para opinion leader dilibatkan
ke dalam serangkaian training for trainer dan
workshop yang diselenggarakan oleh Perguruan
Tinggi bekerjasama dengan Primagain (pihak ketiga
yang resmi ditunjuk oleh Google). Seperti yang
disarikan Rogers dalam bukunya di Chapter 8
mengenai Opinion Leader dan Diffusion
Network dimana ketika calon adopter terlibat
dalam jaringan difusi interpersonal yang
heterofii mereka cenderung akan mencari
opinion leader yang (1) memiliki SES lebih
tinggi, (2) memiliki tingkat pendidikan yang
lebih tinggi, (3) mendapat terpaan media massa
yang lebih baik, (4) lebih kosmopolit, (5)
memiliki kontak yang baik dengan agen
perubahan, (6) lebih inovatif (Rogers, 2003:
307)
Sedangkan Google Student Champion
merupakan agent of change yang terlibat dalam
proses adopsi, namun khusus bagi calon adopter
mahasiswa. Untuk memudahkan dalam
pengimplementasian GAFE, maka setiap kampus
mengadakan seleksi untuk mendapatkan Google
Student Champion yang nantinya bertugas sebagai
agen perubahan terkait sosialisasi penggunaan GAFE
di lingkungan kampus. Untuk menjadi Google
Student Champion harus memenuhi kriteria seperti,
prestasi akademik yang bagus (IPK > 3.5), bisa
berbahasa Inggris baik aktif maupun pasif, memiliki
kemampuan komunikasi dan presentasi yang baik,
memiliki kepribadian menarik, memiliki softskill dan
hardskill tentang ICT serta memiliki passion yang
tinggi terhadap perkembangan teknologi ICT.
Jika dilihat dari sudut pandang orang-orang
yang diubah (the Client System), Agen Perubahan
dalam buku The Change Agent's Guide to Innovation
in Education (Ronald G. Havelock, 1973 : 8-9)
berperan dalam 4 kemungkinan yaitu (1) sebagai
katalis dimana agen perubahan perlu untuk
mengatasi alasan seperti calon adopter yang tidak
ingin berubah dan tetap mengingkan hal yang sama
seperti sekarang. Agen perubahan perlu tahu tentang
hal-hal apa saja yang membuat calon adopter berlaku
demikian, (2) sebagai pemberi solusi dimana agen
prubahan harus tahu kapan dan bagaimana
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
199
menawarkan solusi kepada calon adopter sesuai
dengan kebutuhan mereka, (3) penolong selama
proses adopsi berlangsung dimana Karena calon
adopter tidak ahli dalam “bagaimana untuk berubah”,
maka agen perubahan yang merupakan sekumpulan
orang dengan kemampuan problem solver tertentu
bisa membantu mereka. Sebagai process helper, agen
perubahan dapat menyediakan asistensi seperti
menunjukkan pada klien bagaimana untuk mengenali
dan mendefinisikan kebutuhan, menunjukkan pada
klien bagaimana untuk mendiagnosis masalah dan
membentuk tujuan, menunjukkan pada klien
bagaimana untuk memperoleh sumber yang relevan,
dan (4) sebagai penghubung berbagai sumber.
Sumber disini maksudnya bisa beragam, dari bantuan
financial, solusi pengetahuan, pengetahuan dan
kemampuan dalam mendeteksi masalah,
memformulasi dan mengadopsi solusi dan
kepiawaian dalam proses perubahan itu sendiri.
Sumber juga bisa terdiri dari orang-orang dengan
waktu, energi dan motivasi untuk membantu. Oleh
karenanya, agen prubahan yang baik harus bisa
menghubungkan calon adopter dengan berbagai
sumber yang mereka butuhkan baik di dalam sistem
maupun di luar sistem.
Baik opinion leader maupun Google Student
Champion, keduanya berperan baik langsung
maupun tidak langsung di setiap tahap dalam proses
adopsi Google Apps for Education (GAFE). Tahapan
tersebut antara lain (1) knowledge stage, (2)
persuasion stage, (3) decision stage, (4)
implementation stage, dan (5) confirmation stage.
Dalam tataran kognitif sendiri, individu belajar
tentang keberadaan inovasi dan mencari informasi
tentang inovasi tersebut. Apa, bagaimana, dan
kenapa menjadi pertanyaan kritis dalam fase
pengetahuan. Oleh karenanya reputasi dari institusi
yang mengeluarkan inovasi sangat mempengaruhi
dalam pembentukan pengetahuan individu. Reputasi
ini berkaitan dengan frame of references dan field of
experience dimana kedua hal tersebut sangat
mempengaruhi keputusan adopsi individu.
Menurut Rogers, field of experience dalam
proses difusi inovasi adalah praktik sebelumnya
(previous practice). Praktik sebelumnya merupakan
standar familiar dimana inovasi diintepretasikan
dengan baik sehingga menurunkan ketidakpastian.
Tingkat adopsi ide baru dipengaruhi oleh
gagasan lama yang menggantikan. Jelas, namun,
jika ide baru yang benar-benar selaras dengan
praktek yang ada, tidak akan ada inovasi,
setidaknya dalam pikiran pengadopsi potensial.
Sebuah pengalaman negatif dengan satu inovasi
dapat mempengaruhi adopsi inovasi masa depan.
Negativisme inovasi adalah sejauh mana kondisi
kegagalan suatu inovasi pada adopter potensial
untuk menolak inovasi di masa mendatang.
Ketika satu ide gagal, pengadopsi potensial
dikondisikan untuk melihat semua inovasi masa
depan dengan kekhawatiran. (Rogers, 2003:225)
Seperti yang ditekankan oleh Pepita Gunawan
bahwa GAFE memiliki banyak aplikasi yang bisa
disinergikan ke dalam sistem yang sudah ada.
“Dengan GAFE, kalender akademik yang
sudah ada di kampus bisa disinergikan
dengan Google Calender yang bisa
diakses setiap saat oleh mahasiswa dan
dosen. Selain itu fasilitas email dari GAFE
juga bisa dimanfaatkan untuk notifikasi
gaji bagi semua dosen dan juga karyawan”
Keberhasilan Google Apps for Education yang
berbasis Cloud Computing salah satunya ditentukan
oleh reputasi vendor yang mengeluarkan inovasi
tersebut (dalam hal ini Google). Google sendiri pada
bulan Januari 2010 masuk dalam 10 properti website
terpopuler di dunia bahkan menduduki peringkat
pertama mengalahkan vendor popular lainnya seperti
Yahoo, Amazon, Facebook, dll. Selain itu internet
reputation yang dimiliki Google juga sangat bagus
karena skor yang dicapai untuk kriteria
trustworthiness, vendor reliability, privacy dan child
safety menunjukkan angka lebih dari 90. Hal tersebut
semakin menguatkan bahwa Google memang
memiliki reputasi yang baik dan diakui secara
mendunia. Dalam berbagai penelitian di ranah
psikologi sendiri menyatakan bahwa reputasi
perusahaan mempengaruhi sisi kognitif, dan
selanjutnya berimbas pada aspek afektif berupa
keputusan awal para calon pengguna dalam proses
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
200
pengambilan keputusan (dalam Shuang-Yueh Pui,
2010)
C. Google Apps for Education : Titik Temu
Digital Immigrant dan Digital Native
Dalam difusi inovasi dikenal adanya kategori
adopter dimana mereka merupakan kategori
pengadopsi merupakan klasifikasi dari anggota
sistem sosial atas dasar daya inovasi. Daya inovasi
sendiri merupakan sejauh mana unit individu atau
lainnya relatif lebih awal dalam mengadopsi ide-
ide baru dibanding anggota lain dari sistem
mereka. Braak menyebutkan bahwa daya inovasi
relatif stabil, dikonstruksi sosial, ketergantungan
dengan inovasi yang mengindikasikan keinginan
individu untuk mengubah praktik
kesehariannya. (Rogers, 2003: 242)
Beberapa kategori pengadopsi yang
ditawarkan oleh Rogers, antara lain
1. Innovators : Venturesome, merupakan individu
yang ingin merasakan pengalaman dari ide-ide
baru yang ada. Oleh karenanya mereka harus
siap untuk mengatasi inovasi yang tidak
menguntungkan dan gagal serta tingkat
tertentu ketidakpastian tentang inovasi.
Inovator juga menjadi penjaga gawang yang
membawa inovasi ke dalam sistem. 2. Early adopters : Respectable, Early adopter
lebih dibatasi oleh batas-batas dari sistem
sosial. Dengan demikian, sebagai role
model, sikap Early adopter terhadap inovasi
itu penting. Evaluasi subyektif mereka
tentang inovasi dapat mencapai anggota lain
dari sistem sosial melalui jaringan
interpersonal.
Early adopter menempatkan stempel
persetujuan pada ide baru dengan
mengadopsi 3. Early majority : Deliberate, Walaupun Early
majority memiliki interaksi yang baik dengan
anggota lain dalam sistem sosial namun mereka
tidak memiliki peran kepemimpinan seperti yang
dimiliki oleh early adopter, Early majority
mengadopsi inovasi sebelum bagian lain dari
rekan-rekan mereka mengadopsi itu. Mereka
sengaja dalam mengadopsi suatu inovasi dan
mereka bukan sebagai yang pertama maupun
yang terakhir untuk mengadopsi itu. Dengan
demikian, keputusan inovasi mereka
biasanya membutuhkan waktu lebih lama
dari yang dibutuhkan inovator dan early
adopter.
4. Late Majority : Sceptical, meliputi sepertiga
dari seluruh anggota sistem sosial yang
menunggu sampai sebagian besar rekan-
rekan mereka mengadopsi inovasi.
Meskipun mereka skeptis tentang inovasi
dan hasil-hasilnya, kebutuhan ekonomi dan
tekanan teman sebaya dapat menuntun
mereka untuk adopsi inovasi.
5. Laggards : Traditional, Laggard memiliki
pandangan tradisional dan mereka lebih
skeptis tentang inovasi dan agen perubahan
dibanding dengan late majority. Laggard
cenderung memutuskan setelah melihat
apakah inovasi tersebut berhasil diadopsi
oleh anggota lain dari sistem sosial di masa
lalu. Karena semua karakteristik ini, periode
inovasi-keputusan laggard relatif panjang.
Sebagai tambahan Rogers
mengkategorikan 5 jenis pengadopsi ini ke
dalam dua kelompok besar, yaitu (1) Earlier
Adopter, yang terdiri dari innovator, early
adopter dan early majority dan (2) Later
Adopter, yang terdiri dari late majority dan
laggard. Rogers mengidentifikasi perbedaan
keduanya terletak pada SES, kepribadian,
perilaku komunikasi yang secara positif
berkorelasi dengan daya inovasi. (Rogers, 2003
: 245-251)
Melihat karakteristik yang dimiliki maka
dosen dan mahasiswa yang ada di tiga Perguruan
Tinggi yang menjadi tempat penelitian termasuk
dalam kategori earlier adopter, khususnya early
majority terkait adopsi Google Apps for Education
(GAFE). Inilah yang menjadi salah satu titik temu
dosen yang merupakan digital immigrant dengan
mahasiswa yang merupakan generasi digital native.
Dalam proses pembelajaran dosen memiliki
peranan sentral sebagai fasilitator termasuk
memutuskan media atau teknologi apa yang akan
digunakan dalam pembelajaran dan juga pelaksanaan
Tridharma Perguruan Tinggi. Ketika dosen
memutuskan untuk menggunakan GAFE sebagai
Adopsi Google Apps for Education… Intan Putri Cahyani
201
teknologi komunikasi dalam sistem pembelajaran,
maka secara otomatis mahasiswa akan mengadopsi
teknologi yang sama dengan dosennya. Disinilah
kesamaan kepentingan menjadi faktor utama
mengapa walaupun berbeda generasi, namun dosen
dan mahasiswa bisa sama-sama menggunakan
GAFE. Namun yang menjadi catatan penting di
UNNES, UDINUS, dan UNISSULA mayoritas
dosen yang mengadopsi GAFE adalah mereka para
dosen junior sedangkan dosen senior masih nyaman
dengan pembelajaran konvensional atau
menggunakan teknologi komunikasi yang biasa
mereka gunakan. Hal tersebut menjadi relevan jika
dikaitkan dengan faktor lain yang mempengaruhi
adopsi seperti mobilitas sosial dan keinginan
menggunakan reputasi (personal branding)
IV. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Lansekap pendidikan di bidang teknologi
pembelajaran mengalami perubahan yang
revolusioner dengan hadirnya teknologi cloud
computing. Google Apps for Education (GAFE)
menjadi salah satu teknologi cloud computing yang
cukup berhasil dimanfaatkan di Perguruan Tinggi
oleh para dosen dan mahasiswa. Keamanan, tetap
terhubung, kolaborasi real-time, kerja tuntas
teknologi informasi kasat mata, go-green menjadi
alasan GAFE diadopsi di UNNES, UDINUS, dan
UNISSULA. Proses adopsi GAFE di ketiga kampus
yang berlokasi di Semarang ini menggunakan dua
channel komunikasi yaitu media massa dan
komunikasi interpersonal. Media massa yang
digunakan antara lain seperti website universitas,
sosial media, surat kabar. Sedangkan dalam
penelitian ini komunikasi interpersonal yang
digunakan dalam membantu proses adopsi Google
Apps for Education (GAFE) yaitu para opinion
leader dan Google Student Champion. Baik opinion
leader maupun Google Student Champion, keduanya
berperan baik langsung maupun tidak langsung di
setiap tahap dalam proses adopsi Google Apps for
Education (GAFE). Tahapan tersebut antara lain (1)
knowledge stage, (2) persuasion stage, (3) decision
stage, (4) implementation stage, dan (5) confirmation
stage. Sedangkan kesamaan kepentingan menjadi
faktor utama mengapa walaupun berbeda generasi,
namun dosen sebagai digital immigrant dan
mahasiswa sebagai digital native bisa sama-sama
mengadopsi GAFE berkolaborasi secara realtime
dalam melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi.
B. Saran
1. Dosen junior sebaiknya lebih aktif mempersuasi
dosen senior untuk mencoba Google Apps for
Education (GAFE) sehingga ke depannya dosen
senior juga mengadopsi dan menggunakan
GAFE
2. Perguruan Tinggi lain di Jawa Tengah khususnya
dan di Indonesia umumnya yang belum bekerja
sama dengan Google untuk bisa segera bekerja
sama dengan Google dan mengadopsi Google
Apps for Education karena inovasi ini
memberikan banyak manfaat dalam proses
pembelajaran dan juga sangat meguntungkan
dari segi finansial.
3. Perguruan Tinggi yang akan mengadopsi Google
Apps for Education sebaiknya membuat riset
awal supaya menemukan strategi komunikasi
yang tepat sehingga tingkat adopsi Google Apps
for Education bisa mencapai 100% serta output
sesuai dengan yang diharapkan
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
berperan dalam proses penelitian, di antaranya
pimpinan Peguruan Tinggi, dosen dan mahasiswa di
lingkungan Universitas Semarang (UNNES),
Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS), dan
Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)
Semarang, Primagain, Edu Lead Indonesia Google
Apps Supporting. Program, Indonesian Education
for Google Southeast Asia, Google Student
Champion, Google Student Ambassador.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Lawrence A. (1981), Innovation
Diffusion: A New Perpevtive. New York:
Methuen and Co
Coursaris, Constantinos K. , Wietske van Osch and
Jieun Sung. (2013). A “Cloud Lifestyle”: The
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 183-202
202
Diffusion of Cloud Computing Applications
and the Effect of Demographic and Lifestyle
Clusters. Michigan State University.
(Presented in 2013 46th Hawaii International
Conference on System Sciences
Denzin, N.K, & Lincoln Y.S. (2009). Hanbook of
Qualitative Research. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Grant, August E. and Jennifer H. Meadows. (2008).
Communication Technology Upate &
Fundamental, 11th Edition. Oxford: Focal
Press.
Havelock , G. Ronald. (1973). The Change Agent's
Guide to Innovation in Education. USA :
Educational Technology Publication, Inc
Kriyantono, Rachmat. (2009). Teknik Praktis Riset
Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Rogers, E. M. (2003). Diffusion of Innovations (5th
ed.). New York, NY: Free Press.
Straubhar , Joseph, Robert La Rose, and Lucinda
Davenport. (2013). Media Now :
Understanding Media, Culture, and
Technology , 8th Edition. Boston: Wadsworth
Cengage Learning.
Medlin, B.D. (2001). The factors that may influence
a faculty member's decision to adopt electronic
technologies in instruction (Doctoral
dissertation, Virginia Polytechnic Institute and
State University, 2001). ProQuest Digital
Dissertations. (UMI No. AAT 3095210).
Parisot, A.H. (1995). Technology and teaching: The
adoption and diffusion of technological
innovations by a community college faculty
(Doctoral dissertation, Montana State
University, 1995). ProQuest Digital
Dissertations. (UMI No. AAT 9542260).
Romadlan, Said. (2010). Difusi Inovasi
Teknologi Komunikasi (Internet)
dikalangan. Pondok Pesantren
Muhammadiyah. Jurnal Adopsi Teknologi.
Watson, C. E. (2007). Self-Efficacy, The Innovation-
Decision Process, And Faculty In Higher
Education: Implications For Faculty
Development. Doctor of Philosophy
Dissertation, Virginia Polytechnic Institute and
State University, Blacksburg, VA. ETD
database
Nurfitriani, Wina. (2013). Computer Self Efficacy
dalam Ruang Lingkup Usia dalam Penggunaan
Teknologi Informasi.
http://www.academia.edu/7236218/computer_
selfefficacy_dalam_ruang_lingkup_usia_dala
m_penggunaan_teknologi_informasi diakses
21 Juli 2014 pukul 09:15 WIB
Dinamika Komunikasi Dalam Pembangunan Desa… Muhammad Najih Farihanto
203
DINAMIKA KOMUNIKASI DALAM PEMBANGUNAN DESA WISATA BRAYUT
KABUPATEN SLEMAN
DYNAMICS OF COMMUNICATION IN THE DEVELOPMENT ON TOURIST VILLAGE
BRAYUT SLEMAN REGENCY
Muhammad Najih Farihanto
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Jl. Pramuka 42, Sidikan, Umbulharjo, Yogyakarta 55161, Indonesia. +62 274 6692188 ext.211
Email: [email protected]
diterima: 4 Januari 2016 | direvisi: 15 Januari 2016 | disetujui: 18 Januari 2016
ABSTRACT
Development of rural tourism in Yogyakarta lately very rapidly, in Sleman there are dozens of tourist villages
and even some tourist villages has status independently. To be a tourist village that independent status, there
are organizational communication that occurs between the managers of the tourist village. One is the tourist
village Brayut. In the construction of tourist villages must be available to independent status communication
dynamics that occur. This study showed that a lot of the dynamics of communication in the construction of a
tourist village. One of them is the conflict that occurs when Brayut village will serve as a tourist village and
also at host Ngayogjazz. Also found was also the dynamics of communication within the organization Brayut
Tourist Village. This research is a qualitative deskripstif and using case studies for empirical issues raised
regarding a case. It is intended to be more focused on the object of study and be able to explain the objects
around the study. In this study using interviews motode, penelususan documents and direct observation in the
data collection process.
Keywords: Dynamics of Communication, Development, Tourism Village
ABSTRAK
Pembangunan desa wisata di Yogyakarta akhir-akhir ini sangat pesat, di Kabupaten Sleman terdapat puluhan
desa wisata bahkan beberapa desa wisata sudah berstatus mandiri. Untuk menjadi desa wisata yang berstatus
mandiri, terdapat komunikasi organisasi yang terjadi di antara para pengelola desa wisata. Salah satunya
adalah desa wisata Brayut. Dalam pembangunan desa wisata hingga berstatus mandiri tentunya terdapat
dinamika komunikasi yang terjadi. Penelitian ini didapatkan hasil bahwa banyak terjadi dinamika komunikasi
dalam pembangunan desa wisata. Salahsatunya adalah konflik yang terjadi pada saat desa brayut akan
dijadikan sebagai desa wisata dan juga pada saat menjadi tuan rumah ngayogjazz. Selain itu ditemukan juga
dinamika komunikasi dalam organisasi desa wisata brayut. Penelitian ini merupakan penelitian deskripstif
kualitatif dan menggunakan studi kasus karena mengangkat masalah empiris mengenai suatu kasus. Hal ini
dimaksudkan agar lebih terfokus kepada objek kajian serta mampu menjelaskan objek-objek di sekitar kajian.
Dalam penelitian ini menggunakan motode wawancara, penelususan dokumen dan observasi langsung dalam
proses pengumpulan data.
Kata kunci: Dinamika Komunikasi, Pembangunan, Desa Wisata
I. Latar belakang
Pembangunan secara awam dapat
dimaknai sebagai upaya perbaikan kondisi ekonomi.
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan
sosial dengan harapan meningkatnya partisipasi yang
luas dari masyarakat untuk kemajuan sosial dan
material (termasuk di dalamnya bertambah besarnya
keadilan, kebebeasan dan kualitas lainnya yang
dihargai) melalui kontrol yang lebih besar dengan
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 203-214
204
tujuan meningkatkan pendapatan masyarakat yang
bersumber dalam lingkungannya (Nasution, 2002).
Demi mencapai sebuah pembangunan, dibutuhkan
proses komunikasi yang berkesinambungan dan
tentunya dapat menunjang tujuan dari proses
pembangunan tersebut. Proses komunikasi yang
terjadi dalam pembangunan disebut juga sebagai
komunikasi pembangunan. Apabila dielaborasikan
dengan pengertian pembangunan diatas, komunikasi
pembangunan mengandung makna komunikasi yang
terjadi dalam proses perubahan sosial untuk
meningkatkan atau memperbaiki kondisi ekonomi
masyarakat.
Dalam menciptakan pembangunan
daerah yang kondusif menurut Budiman (1996: 14)
harus diciptakan kondisi-kondisi yang membuat
manusia bisa mengembangkan kreatifitasnya.
Bagaimanapun juga pembangunan pada akhirnya
harus ditujukan pada pembangunan manusia.
Manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif.
Untuk bisa kreatif, manusia tersebut harus merasa
bahagia, merasa aman dan bebas dari rasa takut.
Hanya manusia seperti inilah yang bisa
menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan
masalah yang dijumpainya.
Di Kabupaten Sleman Daerah
Istimewa Yogyakarta, banyak bermunculan Desa
Wisata yang merupakan trend baru untuk tujuan
wisata di kalangan masyarakat. Masyarakat
perkotaan yang kesehariannya disibukkan dengan
aktifitas pekerjaan yang sangat padat dan dipenuhi
oleh gemerlapnya kehidupan metropolitan lebih
memilih menghabisakan waktu liburnya di Desa
Wisata yang alami. Di sisi lain, dampak positif
dengan banyak bermunculannya Desa Wisata berarti
juga dapat membuka peluang bagi penduduk desa
untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dengan
membuka berbagai peluang usaha.
Desa Wisata Brayut merupakan
salah satu Desa Wisata yang terletak di Kabupaten
Sleman daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Wisata
ini menawarkan berbagai macam fasilitas seperti
homestay, sanggar budaya, kegiatan bercocok tanam
secara tradisonal dan beberapa fasilitas menarik
lainnya. Prestasi yang telah diraih adalah Desa
Wisata Brayut menjadi salah satu Desa Wisata
dengan status mandiri dari Kementrian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif diantara seklian banyak desa
wisata yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dengan adanya status tersebut berarti Desa Wisata
Brayut dapat dengan mandiri mengelola segala
potensi wisata yang dimiliki dan menjadi salah satu
Desa Wisata percontohan. Selain itu, prestasi yang
ditorehkan oleh desa wisata Brayut adalah menjadi
tuan rumah Ngayogjazz selama dua kali. Perlu
diketahui bahwa Ngayogjazz adalah event musik jazz
prestisius tahunan yang diadakan di desa wisata di
Yogyakarta.
Namun menurut Darmadji ketua
pengurus desa wisata Brayut yang peneliti temui
pada 8 Juni 2014 di pendopo desa wisata Brayut,
terdapat permasalahan yang terjadi di dalam
kepengurusan organisasi desa wisata Brayut di mana
terjadi perbedaan pendapat tentang desa wisata
antara para sesepuh desa dan generasi muda.
Perselisihan ini muncul salah satunya ketika
penyelenggaraan Ngayogjazz yang pertama, para
sesepuh menolak diadakannya Ngayogjazz, karena
masih menganggap musik jazz adalah bagian dari
budaya modern dan ingin mempertahankan budaya
tradisional Jawa. Sementara para generasi muda
ingin mengawinkan antara budaya modern dengan
budaya Jawa sehingga menjadi keunikan tersendiri
dan menjadi nilai lebih dari desa wisata Brayut.
Komunikasi pembangunan yang terjadi di dalam
kepengurusan desa wisata Brayut sangat dinamis.
Namun apabila kita kembali kepada pernyataan
Budiman di mana untuk menciptakan masyarakat
yang kreatif, harus merasa bahagia, merasa aman dan
bebas dari rasa takut. Tentusaja ini sangat bertolak
belakang dengan yang terjadi di Desa Wisata Brayut
yang sudah mendapat predikat Desa Wisata Mandiri.
Dari teori dan latar belakang permasalahan
di atas, peneliti ingin mengetahui lebih dalam
tentang bagaimana dinamika komunikasi yang
terjadi dalam pembangunan Desa Wisata Brayut.
Dari latar belakang diatas dapat disimpulkan bahwa
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana dinamika komunikasi dalam
pembangunan Desa Wisata Brayut?
A. Komunikasi dan pembangunan
Pembangunan secara awam dapat dimaknai
sebagai upaya perbaikan kondisi ekonomi.
Dinamika Komunikasi Dalam Pembangunan Desa… Muhammad Najih Farihanto
205
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan
sosial dengan harapan meningkatnya partisipasi yang
luas dari masyarakat untuk kemajuan sosial dan
material (termasuk di dalamnya bertambah besarnya
keadilan, kebebeasan dan kualitas lainnya yang
dihargai) melalui control yang lebih besar dengan
tujuan meningkatkan pendapatan masyarakat yang
bersumber dalam lingkungannya (Nasution, 2002).
Pada perkembangannya, pembangunan menurut
paradigm baru didefinisikan sebagai seuatu proses
partitipasi di segala bidang dalam perubahan sosial
dalam sauatu masyarakat, dengan tujuan membuat
kemajuan sosial dan material, termasuk pemerataan
serta kebebeasan besar untuk mengatur
lingkungannya (Rogers dalam Noor, 2008). Dalam
sebuah Negara, informasi yang harus di
komunikasikan dari pemerintah kepada masyarakat,
dan sebaliknya, membutuhkan proses yang sangat
penjang arar pesan dari masing-masing pihak
tersampaikan dan terjadi pemahaman yang sama.
Sedangakn menurut Quarry dan Ramiez (2009)
kesuksesan komunikasi dalam pembangunan adalah
jika pemerintah lebiih banyak mendengar apa saja
kebutuhan masyarakat, karena pembangunan yang
baik di dalamnya terdapat proses komunikasi yang
baik pula. Pembangunan mengacu pada upaya
pengiriman sumber daya, sehingga agenda lain daru
pembangunan adalah perhatian pada peningkatan
kapasitas dalam memfasilitasi dialog sosial.
Tujuannya agar dalam dialog sosial terlihat posisi
yang setara antara pemerintah dengan masyarakat.
Schramm (1964) menyebutkan komunikasi dalam
pembangunan meliputi tiga hal, yaitu:
a. Informasi kepada masyarakat mengenai
pembangunan nasional tersampaikan dengan
baik. Perhatian masyarakat harus dipusatkan
pada kebutuhan akan perubahan, kesempatan
atau cara mencapai perubahan, serta sarananya,
termasuk membangkitkan aspirasi masyarakat
secara nasional.
b. Masyarakat memperoleh kesempatan berperan
aktif dalam proses pengambilan keputusan.
Pemuka masyarakat diberi kesempatan
memimpin dan mendengarkan pendapat
masyarakat dari kelompok terbawah dan
termarjinalkan, memberi penjelasan, serta
menyampaikan alternative-alternatif dalam
diskusi kemasyarakatan.
c. Memperluas pendidikan kepada tenaga kerja,
petani dan anak-anak. Masyarakat didik dan
dilatih cara hidup sehat.
Dalam arti luas, komuniasi
pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi
diantara semua pihak yang terlibat dalam usaha
pembangunan terutama masyarakat dan pemerintah,
sejak dari porses perencanaan hingga penilaian
pembangunan. Sementara secara presifik,
komunikasi pembangunan merupakan upaya dan
cara serta teknik penyampaian gagasan dan
keterampilan-keterampilan pembangunan yang
berasal dari pihak yang memiliki prakarsa
pembangunan yang berasal dari pihak yang memiliki
prakarsa pembangunan untuk masyarakat luas.
Kegiatan tersebut bertujuan arar masyarakat menjadi
sasaran pembangunan dapat memahami, menerima
dan berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan yang
disampaikan (Nasution, 2002).
B. Dinamika Komunikasi
Dalam penelitian ini yang laing banyak peneliti
temui adalah dinamika komunikasi organisasi.
Komunikasi organisasi adalah proses pengiriman dan
penerimaan pesan organisasi dalam kelompok formal
maupun informal dari suatu organisasi (Wiryanto,
2005). Komunikasi formal adalah komunikasi yang
disetujui dan berlaku dalam organisasi itu sendiri
yang sifatnya berorientasi kepentingan organiasasi.
Berupa cara kerja yang harus dalam organisasi,
misalnya memo, kebijakan, pernyataan, jumpa pers
dan surat-surat resimi. Adapun komunikasi informal
adalah komunikasi yang disetujui dan berlaku hanya
untuk perorangan. Orientasi bukan pada organisasi,
tetapi lebih kepada anggota secara kolektif.
Sementara itu, Littlejohn dan Foss (2009: 395)
menyatakan bahwa organisasi dapat dihasilkan
melalui interaksi antara anggotanya. Dengan kata
lain, komunikasi dianggap sebagai sebuah alat bantu
oleh anggota organisasi sebenarnya merupakan
media yang menjadikan organisasi tersebut ada.
Komuniasi organisasi merupakan pengiriman dan
penerimaan pesan di antara elemen-elemen
komunikasi yang merupakan bagian dari semuah
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 203-214
206
organisasi. Komunikasi organisasi bisa dilakukan
secara vertikal maupun horisontal antar anggota
organisasi. Komunikasi organisasi baik formal
maupun sosial tidak hanya dilakukan internal
organisasi tetapi juga dilakukan dengan ekternal
organisasi. Komunikasi organisasi tidak hanya
menyangkut pengiriman dan penerimaan pesan
antara eleman-elemen organisasi, tetapi juga
hubungan dengan elemen-elemen tersebut dengan
lingkungan internal dan eksternal organisasi.
Sementara itu, secara umum komunikasi
organisasi dapat dibedakan atas komunikasi formal
dan komunikasi informal. Komunikasi formal
salurannya ditentukan oleh struktur yang telah
direncanakan dan tidak dapat dipungkiri oleh
organisasi. Bila pesan mengalir melaui jalur resmi
yang ditentukan oleh hierarki resmi organisasi atau
oleh fungsi pekerjaan maka pesan itu berada dalam
jalur komunikasi formal.
Furqon, (2013) menyebutkan paling tidak ada
tiga bentuk komunikasi formal, yaitu berdasarkan:
(1) arah yang dituju: vertikal, horisontal/lateral (2)
sifat, tipe jaringan komunikasi disesuaikan dengan
tugas, misalnya pelaporan, perintah, pengarah atau
perlindungan dan kepenasihatan dan (3) keformalan
(sisi formal), sejauh mana alur komunikasi dibatasi
oleh kewenangan. Dalam penelitian ini, peneliti akan
melihat komunikasi dari arah yang dituju, yaitu pesan
dalam komunikasi formal vertikal baik atas kebawah,
dari bawah keatas dan juga komunikasi formal secara
horisontal atau tingkat yang sama.
Bentuk jaringan komunikasi vertikal terdiri atas
vertikal dari atas dan dari bawah. Dalam komunikasi
vertikal, pesan bergerak sepanjang saluran vertikal
melalui dua arah, dari atas dan dari bawah.
Komunikasi kebawah (top down) dalam sebuah
organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari
jabatan berorientasi lebih tinggi kepada mereka yang
berotoritas lebih rendah (Muhammad 2007: 108).
Sementara itu komunikasi dari bawah keatas
(bottom up) adalah pesan yang mengalir dari
bawahan kepada atasan atau dengan kata lain
komunikasi yang terjadi dari tingkat yang lebih
rendah kepada tingkat yang lebih tinggi. Tujuan
komunikasi ini adalah untuk memberikan balikan,
memberikan saran dan mengajukan pertanyaan.
Komunikasi ini mempunyai efek pada
penyempurnaan moral dan sikap bawahan, tipe pesan
adalah integrasi dan pembauran (Muhammad, 2007:
116-117).
Pendapat lain mengatakan, komunikasi keatas
berfungsi sebagai balikan bagi pemimpin
memberikan petunjuk tentang keberhasilan suatu
pesan yang disampaikan kepada bahawan dan dapat
memberikan stimulus kepada anggotanya untuk
berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan bagi
organisasinya (Goldhaber, 1986). Namun
komunikasi keatas memiliki kendala yang salah
satunya yaitu perasaan para bawahan bahwa sang
pemimpin tidak dapat menerima dan merespons
terhadap apa yang dikatakan oleh bawahan.
Betuk komunikasi formal yang selanjutnya
adalah komunikasi horizontal adalah pertukaran
pesan di antara orang-orang yang sama tingkat
otoritasnya di dalam organisasi (Muhammad,
2007:212). Pace dan Faules (2010: 95) mengatakan
bahwa fungsi dari komunikasi horisontal adalah
untuk saling memerikan informasi dalam
perencanaan dan berbagai aktifitas. Ide dari banyak
orang biasanya akan lebih baik dari pada ide satu
orang. Oleh karena itu komunikasi horisontal sangat
diperlukan untuk mecari ide yang lebih baik.
II. METODOLOGI
Penelitian ini merupakan penelitian
deskripstif kualitatif. Peneliti ingin menggambarkan
secara alami tentang keadaan dengan tidak
menggunakan hipotesis. Penelitian ini bertujuan
untuk memberikan gambaran tentang komunikasi
organisasi dalam pembangunan Desa Wisata Brayut
secara diskriptif. Melalui metode diskriptif akan
mampu memaparkan fenomena secara rinci serta
menghadirkan analisis yang lebih mendalam yang
tidak mampu diungkapkan dengan metode
kuantitatif.
Penelitian ini menggunakan studi kasus karena
mengangkat masalah empiris mengenai suatu kasus.
Hal ini dimaksudkan agar lebih terfokus kepada
objek kajian serta mampu menjelaskan objek-objek
di sekitar kajian. Studi kasus merupakan suatu
pendekatan untk mempelajari, menerangkan atu
mengintepretasi suatu “kasus” dalam konteksnya
yang alamian tanpa ada intervensi dari pihak luar
(Baedowi dalam Agus Salim, 2006: 118). Studi kasus
Dinamika Komunikasi Dalam Pembangunan Desa… Muhammad Najih Farihanto
207
ini daat dilakukan ketika peneliti ingin memahami
atau menjelaskan suatu fenomena tertentu (Wimmer
dan Dominick, 2006: 136).
Studi kasus adalah pendekatan yang bisa secara
detail memberikan gambaran mengenai latar
belakang sifat dan suatu peristiwa. Dalam penelitian
ini, bentuk pertanyaan utama yang diajukan adalah
“bagaimana”, yang sangat cocok dengan pendekatan
studi kasus. Wimmer dan Dominick (2006: 138)
menjelaskan: the case study is most appropriate for
quoestions that begin with “how” or “why”. Yin
(2004: 13) menjelaskan bahwa pertanyaan
“bagaimana” akan diarahkan pada serangkaian
peristiwa kontemporer di mana hanya memiliki
sedikit peluang untuk melakukan kontrol terhadap
peristiwa tersebut.
Studi kasus sangat tepat karena peneliti tidak
dapat melakukan intervensi atau kontrol terhadap
implementasi kegiatan hubungan media diDesa
Wisata Brayut. Peneliti hanya dapat melakukan
pengamatan dengan seksama secara utuh dan
menyeluruh mengenai segala unsur dan faktor yang
menjadi bagian dari objek penelitian.
Penelitian ini dilakukan Desa Wisata Brayut
Kabupaten Sleman.Penelitian studi kasus, menurut
Yin (2004:13) dapat dilakukan melalui beberapa
cara, diantaranya adalah rekaman arsip, wawancara,
dan observasi langsung. Peneliti telah mewawancarai
informan yang dapat mendukung rumusan masalah
diantaranya adalah ketua pengurus desa wisata,
perwakilan dari sesepuh desa wisata, dan beberapa
anggota pengurus desa wisata. Sementar untuk
mendukung data yang dapatkan oleh wawancara,
peneliti observasi langsung di dalam keseharian para
pengurus desa wisata Brayut dalam menjalankan
organisasi guna mengetahui dinamika komunikasi
organisasinya. Untuk sebagai pelengkap data,
peneliti menelusuri dokumen-dokumen yang dapat
menguatkan atau menyeimbangkan dari data-data
yang didapatkan dari wawancara dan observasi
langsung.
Data yang telah diperoleh kemudian dipelajari
dan dikaji ulang dengan penyesuaian-penyesuaian
dari keseluruahn data, baik dari wawancara,
dokumentasi dan observasi langsung, agar
sinkronisasi data ditemukan dan memepermudah
pelaksanaan penelitian hingga pada tahap pelaporan.
Triangulasi adalah teknik memeriksa keabsahan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Menurut
Moleong (2009:330) diluar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembangding terhadap data
itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan
ialah memeriksa melalui sumber lainnya. Denzin
dalam Moleong (2009:330) membedakan empat
macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang
menafaatkan pengguna sumber, metode dan teori.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
triangulasi sumber, dimana peneliti membandingkan
dan mengkoreksi ulang derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat
yang berbada dalam penelitian kualitatif (Patton
dalam Moleong, 2009:330-331). Hal itu dicapai
dengan jalan membandingkan data hasil pengamatan
dengan data hasil wawancara dan membandingkan
hasil wawancara dengan sutu dokumen yang
berkaitan.
Berdasarkan identifikasi masalah di atas,
limitasi atau pembatasan penelitian masalah pada
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
dinamika komunikasi dalam pembangunan Desa
Wisata Brayut.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bagian ini peneliti akan memaparkan
tentang temuan-temuan penelitian dan analisis
dinamika komunikasi dalam pembangunan desa
wisata Brayut Temuan ini peneliti bagi berdasarkan
kerangka konsep yang ada. Dimulai dari
pembangunnan desa wisata Brayut dan dilanjutkan
dengan dinamika komunikasi desa wisata Brayut.
A. Pembangunan Desa Wisata Brayut
Desa wisata Brayut berdiri pada tanggal 14
Agustus 1999 oleh inisiatif salah seorang warganya
bernama Budi Utomo yang merupakan guru bahasa
inggis di salah satu lembaga pendidikan di
Yogyakarta. Seringkali Budi mengajak pada
siswanya yang merupakan warga negara asing untuk
berkunjung ke desa Brayut untuk meningkatkan
kemampuan bahasa terutama dalam bahasa
indonesia. Mulai dari situ, kegiatan tersebut
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 203-214
208
diapresiasi bagus oleh para siswa dan para warga
desa Brayut. Menutur Darmadji yang merupakan
kepala desa wisata Brayut, desa wisatanya yang ia
kelola sejak tahun 2004 tersebut merupakan desa
wisata pertama yang berada di Sleman.
“..desa Brayut merupakan desa wisata
pertama di Sleman. Saat itu kita langsung
mengundang Dinas Pariwisata, namun
responnya kurang begitu bagus. Tapi kita
tetap jalan terus, kita punya maksud baik,
dalam artian untuk mengenalkan desa
dengan orang asing, tamu-tamu asing..”
(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)
Dalam membangun desa waisata Brayut,
banyak sekali permasalahan yang dihadapi darmadji
dan rekan-rekannya, salah satunya adalah dari warga
yang belum mengerti apa itu desa wisata. Saat itulah
Darmadji mengedukasi dan perlahan mengajak
warga setempat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan desa wisata seperti rumah warga yang
akan menjadi home stay, pemandu wisata, pengelola
desa wisata, aktif dalam kelembagaan atau pengurus.
Tujuan edukasi itu menurutnya adalah untuk
membangun paradigma positif kepada warga bahwa
desa wisata untuk pemberdayaan masyarakat dan
yang paling penting warga bisa menjadi pelopor
pariwisata di kampungnya sendiri. Tentunya segala
proses pengembangan potensi pariwisata yang
berbasis kearifan lokal.
Edukasi yang dilakukan Darmadji dan rekan-
rekan ternyata tidak berjalan dengan mulus namun ia
tetap melanjutkan perjuangan.
“..Memang banyak warga yang tidak
setuju, namun kita boleh terus beroperasi
asalkan tidak mengganggu. Namun kita
terus berupaya untuk mengampanyekan
tentang desa wisata ini, kan maksudnya
juga baik to? Namun, desa wisata tidak
akan bergerak tanpa adanya swadaya dari
masyarakat. Karena, tempat menginap,
pemandu wisata, semuanya dari warga
juga..”
(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)
Darmadji menjelaskan sempat terjadi resistensi
oleh masyarakat dengan adanya desa wisata Brayut.
Beberapaa warga bahkan menaruh rasa curiga, takut
dan muncul anggapan bahwa pariwisata nantinya
akan bisa menutup akses keberagamaan dan
mengurangi kadar religiusitas masyarakat. Ternyata,
sampai saat ini di desa Brayut tidak pernah ada
resistensi dengan agama apapun. karena Darmadji
memberikan penjelasan yang komperhensif
mengenai pengembangan desa wisata.
“..sekarang mungkin mulai berkurang ya,
memang ada beberapa yang menaruh
curiga, namun kecurigaan itu hanya
sebatas skeptik, artinya hanya minta
penjelasan secara detail, beberapa
pertanyaan fundamental seperti, apa
kontribusinya untung kampung, apa sisi
positifnya, apa sisi negatifnya..”
(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)
Pembangunan dapat dimaknai sebagai upaya
perbaikan kondisi ekonomi. Pembangunan
merupakan suatu proses perubahan sosial dengan
harapan meningkatnya partisipasi yang luas dari
masyarakat untuk kemajuan sosial dan material
(termasuk di dalamnya bertambah besarnya keadilan,
kebebeasan dan kualitas lainnya yang dihargai)
melalui control yang lebih besar dengan tujuan
meningkatkan pendapatan masyarakat yang
bersumber dalam lingkungannya (Nasution, 2002).
Pada perkembangannya, pembangunan menurut
paradigm baru didefinisikan sebagai seuatu proses
partitipasi di segala bidang dalam perubahan sosial
dalam suatu masyarakat, dengan tujuan membuat
kemajuan sosial dan material, termasuk pemerataan
serta kebebeasan besar untuk mengatur
lingkungannya (Rogers dalam Noor, 2008). Begitu
juga yang terjadi di desa wisata Brayut, perubahan
desa Brayut menjadi desa wisata merupakan usaha
yang berasal dari warga warga untuk merubah taraf
hidup khususnya perekonomian warga desa. Para
warga desa mencoba untuk terbuka dengan hal-hal
baru yang merupakan angin segar untuk
memperbaharui dan memperbaiki kualitas dan
kuantitas sosial dan finansial. Namun sayangnya di
awal perkembangan desa wisata Brayut kurang
Dinamika Komunikasi Dalam Pembangunan Desa… Muhammad Najih Farihanto
209
mendapat apresiasi dari pemerintah kabupaten
Sleman, tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat
para warga untuk tetap memperbaiki taraf hidup
melelaui perintisan desa Brayut menjadi desa wisata.
“Pada tahun 2003 saya mencoba untuk
melanjutkan cita-cita Pak Budi yang
berhenti ini. Pada saat itu karena ada Bom
Bali, kegiatan masih sangat terbatas ya,
hanya berbasis wisata desa. Kita ajarin
Baku jaga, Egrang, belajar Mbatik, hanya
sebatas itu. Namun lama kelamaan
responnya cukup meningkat, artinya tetap
jalan to. Saya mencoba untuk melanjutkan
terus, dan akhirnya pada tahun 2004
sekertariatnya kita pindah ke daerah sini
sekitar bulan Agustus, sekaligus saya
melaunching dan memperkenalkan Joglo
Cafe. Dari ketela setidaknya kita bisa
membuat 43 jenis makanan. karena
keterampilan sudah cukup dirasa
mumpuni, kita mencoba memperkuat
lembaga dengan cara merekrut anak-anak
muda untuk bergabung dan mengelola
desa wisata. Namun, setelah itu kita masih
bingung apa yang mau kita jual. tetapi
setelah itu pemikiran kita berkembang,
kita punya inisiatif untung mencari
rumput, menanam padi, membajak sawah,
menangkap ikan, permainan tradisional,
belajar Batik, Karawitan, menari. Ooo..
itu semua hanya ada di Brayut. Setelah
kita membuat brosur, promosi dan
bekerjasama, Alhamdulillah tamu mulai
berdatangan. Kita menyebut proses ini
dengan istilah embrio, tumbuh,
berkembang, mandiri.”
(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)
Pembangunan mengacu pada upaya
pengiriman sumber daya, sehingga agenda lain daru
pembangunan adalah perhatian pada peningkatan
kapasitas dalam memfasilitasi dialog sosial.
Tujuannya agar dalam dialog sosial terlihat posisi
yang setara antara pemerintah dengan masyarakat.
Schramm (1964) menyebutkan komunikasi dalam
pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi
diantara semua pihak yang terlibat dalam usaha
pembangunan terutama masyarakat dan pemerintah,
sejak dari porses perencanaan hingga penilaian
pembangunan. Sementara secara spesifik,
komunikasi pembangunan merupakan upaya dan
cara serta teknik penyampaian gagasan dan
keterampilan-keterampilan pembangunan yang
berasal dari pihak yang memiliki prakarsa
pembangunan yang berasal dari pihak yang memiliki
prakarsa pembangunan untuk masyarakat luas.
Kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat menjadi
sasaran pembangunan dapat memahami, menerima
dan berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan yang
disampaikan (Nasution, 2002). Desa wisata Brayut
sekarang sudah mendapatkan predikat desa wisata
mandiri. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah
Kabupaten Sleman sudah sangat memperhitungkan
pembangunan desa wisata sebagai salah satu cara
untuk mensejahterakan masyarakat baik secara sosial
maupun finansial.
“..kalau mandiri desa wisata itu, artinya
desa wisata itu sudah bisa melakukan
manajemen sendiri, promosi sendiri, tanpa
harus bergantung kepada pemerintah. Kita
tidak perlu mencari dana ke mana kan.
Intinya kita berusaha untuk menghidupi
organisasi ini agar terus bisa dinamis..”
(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)
Sudarmadji menambahkan bahwa sekarang ini,
antara pemerintah dan desa wisata satu sepakat, satu
tujuan, satu tujuan, bahkan Pemerintah Kabupaten
Sleman mengklaim desa wisata menjadi salah satu
program unggulannya. Karena ada tiga hal
keunggulan Sleman, yakni desa wisata, agrowisata,
minapolitan.
Prestasi yang ditoreh desa wisata Brayut
tidak hanya menjadi desa wisata dengan predikat
mandiri, tetapi juga telah dua kali menjadi tuan
rumah perhelatan musik jazz tahunan yang bernama
ngayogjazz pada tahun 2012 dan 2014. Menurut
Darmadji desa Brayut sudah memenuhi prasayarat
sebagai tuan rumah Ngayogjazz. Karena,
persyaratannya cukup berat, ada beberapa aspek
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 203-214
210
yang dijadikan parameter, yakni budaya, sosial,
infrastruktur, kesiapan warga. Selama hampir tiga
bulan penilita ngayogjazz melakukan survey
mengenai kelayakan untuk menjadi tuan rumah. Di
situlah warga kemudian dikumpulkan untuk
berembuk dan bersepakat untuk bersedia jadi tuan
rumah Ngayogjazz 2012. Tentunya pada saat
sosialisasi atau rembuk, diterangkan juga kepada
warga dampak positif dari kehadiran Ngayogjazz,
yakni bisa meningkatkan wisatawan yang
berkunjung, kemudian bisa mendapatkan nilai
tambah seperti penjualan, branding nama, promosi,
semua bisa didapat.
Tidak hanya pada tahun 2012, di tahun 2014
desa wisata Brayut kembali menjadi tuan rumah
ngayogjazz.
“..Event Ngayogjazz yang kedua itu
begini, rencana awalnya itu kegiatannya
dilaksanakan di Malangrejo,
Maguwoharjo. Namun, hampir sekitar 3
bulan ada banyak pro dan kontra di sana
terkait penyelenggaraan event tersebut,
nah, itu, kalau tetap dilanjutkan terlalu
berisiko, karena mereka takut
kampungnya jadi rusak, tanamannya
banyak yang hancur. Padahal, konser Jazz
tidak seperti Dangdut, penonton
Ngayogjazz umumnya elit, santun,
terpelajar, nrimo opo ono ne, akhirnya
oleh panitia Ngayogjazz, desa Brayut
ditawarkan lagi untuk menjadi tuan
rumah. Setelah mendapat tawaran
tersebut, kami kemudian merembukan
serta memusyawarahkan kembali dengan
elemen masyarakat. Dan ketika ditanya
kesiapan untuk menjadi tuan rumah,
warga menjawab dengan antusias :
siaapp! Setelah mendapat lampu hijau
dari warga, segala sesuatunya baik teknis
dan pokok yang berkenaan dengan event
tersebut, kita persiapkan secara bersama-
sama..”
(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)
Diselenggarakannya ngayogjazz di desa
wisata Brayut merupakan salah satu bukti bahwa
desa wisata Brayut melakukan sebuah pembangunan
seperti yang dikatakan oleh Nasution (2002: 25)
suatu jenis perubahan sosial di mana ide-ide baru
diperkenalkan kepada sautu sistem sosial untuk
menghasilkan pendapatan perkapita dan tingkat
kehidupan yang lebih tinggi melalui metode produksi
yang lebih modern dan organisasi sosial yang lebih
baik disebut sebagai pembangunan.
B. Dinamika Komunikasi Desa Wisata
Brayut
Penyelenggaraan ngayogjazz di desa wisata
Brayut awalnya sempat ditolak oleh beberapa warga.
Hal ini sangat lumrah ketika ada sesuatu hal yang
baru tiba-tiba datang dan masuk ke sistem sosial
yang masih tradisional.
“..warga ada yang menolak. Tentunya
mereka masih belum mengerti
manfaatnya secara kongkrit terhadap desa.
Efek jangka panjangnya juga, ada
keresahan yang timbul, baik dari segi
keamanan, pencurian dsb. Tetapi event
tersebut tetap berjalan terus. Saat itu, Pak
Lurah masih memegang jabatan di desa
Brayut. Akhirnya kita bersama Pak Lurah
beserta warga berembuk untuk
menyelesaikannya. Dan, syukurlah
beberapa warga tadi sepakat. Kemudian
kita jalan..”
(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)
Hal senada juga disampaikan Dwi, sekertaris
desa wisata Brayut bahwa sempat terjadi penolakan
yang dilakukan warga pada saat aka n
diselenggarakannya ngayogjazz di desa wisata
Brayut. Namun dengan segera pengelola desa wisata
dan jga beebrapa panitia ngayogjazz mengadakan
sosialisasi dan pendekatan secara persuasif kepada
warga yang menolak.
“awalnya sempat alot mas, karena para
warga yang menolak belum ngerti
ngayogjazz itu apa. Mereka kira konser
ngayogjazz itu seperti konser-konser yang
lain yang rusuh dan bisa mengganggu
ketenangan dan kenyamanan para warga
Dinamika Komunikasi Dalam Pembangunan Desa… Muhammad Najih Farihanto
211
desa. Tapi kami lakukan penjelasakn ke
mereka tentang manfaat-manfaat dari
ngayogjaaz dan kami juga meyakinkan
mereka kalau ngayogjazz itu tidak
mengganggu warga..”
(Rahmawan Dwi Atmaja, Sekertaris Desa
Wisata Brayut 5 September 2015)
Dari temuan data di atas menunjukkan kepada
peneliti bahwa terjadi semuah dinamika komunikasi
di desa wisata Brayut. Hal itu terjadi karena adanya
interaksis para warga sehingga memunculkan
transaksi pesan. Dinamika berasal dari kata
Dynamics (Yunani) yang bermakna “Kekuatan”
(force). “Dynamics is facts or concepts which refer
to conditions of change, expecially to forces”.
Dinamika berarti tingkah laku warga yang satu
secara langsung mempengaruhi warga yang lain
secara timbal balik. Dinamika berarti adanya
interaksi dan interdependensi antara anggota
kelompok yang satu dengan anggota kelompok
secara keseluruhan. Terjadi sebuah interaksi dimana
antara warga satu dengan warga yang lain saling
mempengaruhi yang dalam konteks penelitian ini
adalah warga Brayut yang saling meyakinkan tentang
akan diselenggarakannya ngayogjazz.
Selain dinamika komunikasi seperti temuan
data di atas, peneliti juga menemukan dinamika
komunikasi yang terjadi di dalam organisasi
kepengurusan desa wisata Brayut. Dinamika
komunikasi organisasi desa wisata Brayut bisa dilihat
dari struktur kepengurusannya. Dijelaskan oleh
darmadji bahwa struktur organisasi desa wisata amat
sangat penting.
“..memang itu sangat penting ya,
istilahnya itu kelembagaan lokal. Di situ
supaya ada penanggung jawabnya.
Hierarkinya antara lain, ada ketua,
sekertaris, bendahara, ada divisi untuk
mengatur teknis kegiatan seperti
perlengkapan, pertanian, kesenian, dan
kuliner..”
(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)
Namun dalam organiasi kepengurusan desa
wisata Brayut masih bisa dibilang tradisional. Sejak
tahun 2003 Darmadji menjadi ketua pengelola desa
wisata.
“..Saya memimpin sudah sejak tahun
2003. Saya itu kepingin teman-teman
yang lain ikut mencoba. Namun ada-ada
saja alasan mereka, umumnya khawatir
sih, karena memang cukup berat, salah
satunya adalah desa tidak boleh kaku
dalam artian desa mesti terbuka dan
sebanyak mungkin mencari medium atau
akses yang tujuannya adalah menggali
potensi pedesaan..”
(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)
Melihat temuan data diatas, terdapat hubungan
yang interdependensi antara anggota organisasi
pengelola desa wisata Brayut yanng di mana
hubungan interdependensi itu untuk menjaga
eksistensi dari desa wisata Brayut. Eksistensi
merupakan tolok ukur dari kehidupan organisasi
tersebut. Apabila tidak ada interaksi yang terjadi di
dalam organisasi tersebut makan roda organisasi
akan terhentu dan tujuan dari organisasi akan tidak
tercapai. Dalam konteks penelitian ini, desa wisata
Brayut memiliki tujuan organisasi yang di manan
tujuan itu harus dicapai dengan cara interaksi antar
anggota organisasi yang saling berhubungan.
Komunikasi formal yang terjadi di desa wisata
Brayut terjadi pada saat rapat rutin dan beberapa
kordinasi lainnya. Dijelaskan oleh Darmadji bahwa
bentuk rapat rutin yang selama ini ada di
kepengrurusan desa wisata Brayut hanya
dilaksanaakan pada saat akan ada tamu atau ada
kegiatan saja.
“..iya, rapat rutin terus kita lakukan
kadang tiga sampai enam kali dalam
sebulan. Contoh, ketika ada rombongan
yang ingin menginap di Brayut, maka kita
akan menyiapkan segalanya, mulai dari
akomodatif, home stay, teknis acara
seremonial, konsumsi dsb. Kalau tidak
ada tamu ya, kita bisa santai-santai. Tetapi
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 203-214
212
sambil memikirkan konsep kegiatan
berikutnya.
(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)
Melihat dari teori tentang komunikasi formal
dan juga temuan data penelitian di desa wisata Brayut
tentang rapat rutin yang bisa dikategorikan sebagai
bentuk komunikasi formal organisasi bisa peneliti
ambil benang merah bahwa komunikasi formal
organisasi yang terjadi berfungsi sebagai sarana
kordinasi pembagian tugas sesuai dengan fungsi
setiap anggota organisasi yang telah disepakati.
Selain itu bentuk komunikasi formal yang terjadi di
desa wisata Brayut berbentuk vertikal dan horisontal.
Komunikasi vertikal terjadi top down dan bottom up
ketika antara pemimpin organisasi dan para
anggotanya saling bertransaksi pesan, juga
komunikasi vertikal terjadi ketika para anggota
organisasi saling berinteraksi di mana kedudukan
antara anggota organisasi satu dengan lainnya setara.
Sementara itu komunikasi formal dalam
organisasi adalah ketika anggota organisasi saling
berinteraksi dengan yang lainnya tanpa
memperhatikan posisi mereka dalam organisasin dan
pengarahan arus informasi bersifat pribadi.
Pengertian tersebut mengisyaraktkan terdapat dua
jaringan dalam komunikasi informal organisasi yaitu
sifat hubungan atau pola interaksi dan arah aliran
informasi. Untuk sifat hubungan adalah hubungan
pribadi yang termasuk hubungan antar pesona dan
aliran aliran informasi bersifat pribadi yang muncul
dari interaksi di antara orang-orang dan mengalir ke
seluruh aliran organisasi tanpa bisa diperkirakan
(Pace & Faules, 2010: 199).
Komunikasi informal organisasi di desa
wisata Brayut terjadi pada keseharian para
anggotanya. Dijelaskan oleh Darmadji bahwa tidak
adanya kordinasi rutin apabila tidak ada tamu yang
akan berkunjung atau menginap di desa wisata
Brayut memudahkan para pengurus organisasi dalam
berkordinasi atau saling bertukar pikiran untuk
memajukan pembangunan desa wisata. Bahkan
menurut Dwi yang merupakan sekertaris pengelola
dese wisata Brayut tidak banyaknya pertemuan rutin
yang ada di desa wisata Brayut justru lebih
mempermudah dirinya dalam memberikan dan
menerima masukan dari anggota organisasi baik
ketua maupun anggota yang lain. Peneliti menarik
kesimpulan bahwa kordinasi informal justru
membuat nyaman para anggota organisasi. Menilik
dari teori di atas tentang komunikasi informal
organisasi yang lebih menekankan hubungan antar
personal antar anggota organisasi justru dapat
menghilangkan sekat hirarki yang ada di dalam
kepengurusan desa wisata. Aliran informasi lebih
bersifat pribadi yang membuat para anggota lebih
luwes dalam menyampaikan pedapatnya. Hal ini
amat sangat lumrah ketika peneliti melihat sistem
sosial yang masih tradisional. Ditunjang dengan
budaya jawa yang masih sangat kental dan tidak
mendukung masyarakat untuk ekspresif. Dengan
kata lain bahwa komunikasi yang terjadi adalah
komunikasi tingkat tinggi atau high context
communications yang lekat dengan budaya indonesia
pada umumnya khususnya budaya jawa.
Dalam memimpin kepengurusan desa wisata
Brayut, Darmadi mencoba untuk bersikap
demokratis dan terbuka dengan ide atau gagasan para
anggotanya. Menurutnya seorang pemimpin adalah
pengintegrasi dari anggotanya.
“..ketua itu kan harus menjadi panutan
atau leader. Jadi, ide itu tidak harus
dimonopoli oleh ketua. Justru, semakin
banyak ide yang ditawarkan dari anggota,
artinya suasana organisasi semakin lebih
hidup. Di sini, tingginya jabatan tidak
berpengaruh pada pemberian honor, tetapi
parameternya adalah kinerja..”
(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)
Hal yang sama juga disampaikan oleh Dwi.
Sebagai salah satu generasi muda dalam
kepengurusan desa wisata, dirinya mendapat banyak
pelajaran dalam berorganisasi terutama dalam
menyalurkan ide-idenya. Tidak hanya dengan para
pengurus desa wisata, tetapi sikap terbuka seorang
pemimpin juga ditunjukkan darmaji kepada warga
desa wisata Brayut.
“.. kita membangun perilaku warga.
Karena apa? Kebersihan, ramah tamah
dan kerapihan menjadi sebuah kewajiban,
terutama terhadap tamu yang datang.
Dinamika Komunikasi Dalam Pembangunan Desa… Muhammad Najih Farihanto
213
Untuk itu, perlu ditanamkan secara
gradual agar itu semua menjadi budaya.
Sebagai panutan tentu saja warga nantinya
secara perlahan akan meniru. Saya juga
tidak memaksakan mereka (para
pengurus) untuk terus atau tetap menjadi
pengurus desa wisata. sistem yang kita
gunakan yakni dengan pendekatan
kultural, ada beberapa yang sudah bekerja
di kantor, PNS, dan mahasiswa. Siasat kita
yakni dengan merekrut pengganti warga
sekitar dengan cara ditawarkan. Cara kerja
kita berbasis kolektivitas, sama-sama,
gotong royong, sosial. Konsepnya adalah
pemberdayaan, tidak ada unsur paksaan..”
(Alosius Sudarmadji, 5 september 2015)
Littlejohn dan Foss (2009: 395) menyatakan
bahwa organisasi dapat dihasilkan melalui interaksi
antara anggotanya. Dengan kata lain, komunikasi
dianggap sebagai sebuah alat bantu oleh anggota
organisasi sebenarnya merupakan media yang
menjadikan organisasi tersebut ada. Komuniasi
organisasi merupakan pengiriman dan penerimaan
pesan di antara elemen-elemen komunikasi yang
merupakan bagian dari semuah organisasi.
Komunikasi organisasi bisa dilakukan secara vertikal
maupun horisontal antar anggota organisasi.
Komunikasi organisasi baik formal maupun sosial
tidak hanya dilakukan internal organisasi tetapi juga
dilakukan dengan ekternal organisasi.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam membangun desa waisata Brayut,
banyak sekali permasalahan yang dihadapi darmadji
dan rekan-rekannya, salah satunya adalah dari warga
yang belum mengerti apa itu desa wisata. Saat itulah
Darmadji mengedukasi dan perlahan mengajak
warga setempat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan desa wisata seperti rumah warga yang
akan menjadi home stay, pemandu wisata, pengelola
desa wisata, aktif dalam kelembagaan atau pengurus.
Tujuan edukasi itu menurutnya adalah untuk
membangun paradigma positif kepada warga bahwa
desa wisata untuk pemberdayaan masyarakat dan
yang paling penting warga bisa menjadi pelopor
pariwisata di kampungnya sendiri. Tentunya segala
proses pengembangan potensi pariwisata yang
berbasis kearifan lokal. Kendala tidak hanya datang
dari warga tetapi juga dari pemerintah yang kurang
mendukung berdirinya desa wisata sebagai wisata
alternatif. Namun sekarang ini, antara pemerintah
dan desa wisata satu sepakat, satu tujuan, satu tujuan,
bahkan Pemerintah Kabupaten Sleman mengklaim
desa wisata menjadi salah satu program
unggulannya. Karena ada tiga hal keunggulan
Sleman, yakni desa wisata, agrowisata, minapolitan.
Di desa wisata Brayut terjadi dinamika
komunikasi di mana terdapat interaksi antara warga
satu dengan warga yang lain saling mempengaruhi
salah satunya pada saat akan diselenggarakannya
ngayogjazz yang sempat ditolak oleh beberapa
warga. Selain itu juga ditemukan dinamika
komunikasi yang terjadi di dalam organisasi
kepengurusan desa wisata Brayut. Komunikasi
formal yang terjadi di desa wisata Brayut terjadi pada
saat rapat rutin dan beberapa kordinasi lainnya.
Komunikasi informal organisasi di desa wisata
Brayut terjadi pada keseharian para anggotanya.
Tidak adanya kordinasi rutin apabila tidak ada tamu
yang akan berkunjung atau menginap di desa wisata
Brayut memudahlan para pengurus organisasi dalam
berkordinasi atau saling bertukar pikiran untuk
memajukan pembangunan desa wisata. kordinasi
informal justru membuat nyaman para anggota
organisasi. Hal ini amat sangat lumrah ketika peneliti
melihat sistem sosial yang masih tradisional.
Ditunjang dengan budaya jawa yang masih sangat
kental dan tidak mendukung masyarakat untuk
ekspresif. Dengan kata lain bahwa komunikasi yang
terjadi adalah komunikasi tingkat tinggi atau high
context communications yang lekat dengan budaya
indonesia pada umumnya khususnya budaya jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief. 1996. Teori Pembangunan Dunia
Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Furqon,Choirul.Hakikat Komunikasi Organisasi.
http://file.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._M
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Februari 2016: 203-214
214
ANAJEMEN_FPEB/197207152003121-
CHAIRUL_FURQON/Artikel-
Organizational_Communication.pdf . Diakses
Pada Tanggal 18 Maret 2013.
Goldhaber, Gerald M,tt. 1986. Organizational
Communication Fourth Edition. Wm. C,
Brown Publishers.
Littlejhon, Steven W & Foss, Karen A. 2009.
Theories of Human Communications, 9th
Edition. Belmont Thomshon Wadsworth.
Liliweri, Alo. 2004. Wacana Komunikasi
Organisasi. Bandung: CV. Mandar maju.
Muhammad, Arni. 2007. Komunikasi Organisasi.
Jakarta: Bumi Aksara.
Moleong, Lexy J. 2009. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: remaja Rosda Karya.
Nasution, Z., 2002. Komunikasi Pembangunan:
pengelanan Teori dan Penerapan. Edisi revisi,
Jakarta: Rajawali Pers.
Noor, M. 2008. Strategi komunikasi dan
pembangunan pusat masyarakat perikanan.
Jurnal aplikasi manajemen vol. 6 no. 1, tahun
2008, hlm 273-280.
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/6108273
280.pdf (diakses pada 11 November 2014)
Pace, R Wayne & Faules, Don, F. 2010. Komunikasi
Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja
Perusahaan. Terjemahan: Deddy Mulyana.
Bandung : Remaja Rosda Karya.
Quarry, W and Ramirez, R., 2009., communications
for another development. Listening before
telling. London: zed books.
Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian
Sosial : Buku Sumber Untuk Penelitian
Kuanlitatif. Yogyakarta: Tirta Wacana.
Schraam, W., 1964, the role of informations in
national development. Abridge version of mass
media and national development, californiua:
standford university press.
Wirmer, Roger D & Dominick, Josep R. 2006. Mass
Media Researc an Introductions. Australia:
Tomshon.
Yin, Robert K. 2004. Studi Kasus, Desain dan
Metode. Jakarta: Raja Grafindo.
Wiryanto. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi.
Jakarta : Gramedia Wilasarana Indonesia.
ISI VOLUME 19
Nomor 1
Alvin Yulityas Sandy
Kebijakan Komunikasi Pada Proyek Eksplorasi Panas Bumi Di Baturaden Dalam
Perspektif FPIC
(Communication Policy of Geothermal Exploration At Baturaden on FPIC
Perspective)
1
Muhammad Rustam
Survei Penggunaan Telepon Genggam Pada Masyarakat Nelayan Di Kecamatan Pulau
Dullah Utara, Kota Tual Provinsi Maluku
(The Survey Of Mobile Phone Use At Fishermen Community On North Dullah Island
Tual City, Province Maluku)
11
Emilsyah Nur
Pemanfaatan Tik Dalam Menunjang Produksi Pertanian Di Kabupaten Soppeng
(ICT Utilization To Suppport Agriculture Production At Soppeng Regency)
23
Sarwani
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Dan Strategi Komunikasi Sekda Terhadap Kinerja
Pegawai Di Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan
(Influence Of Leadership Style And Communication Strategy Of Regional Secretary
Leader To The Employee’s Performance At The Regional Secretary Of South
Kalimantan Province)
35
Udi Rusadi
Pengaruh Faktor Demografis Masyarakat Kota Terhadap Literasi Berita Televisi
(The Influence Of Demographic Factors Of The Urban Society Toward Television
News Literacy)
47
ISI VOLUME 19
Nomor 2
Laila
Eksistensi Media Tradisional Sebagai Media Informasi Publik
(Existence of Traditional Media as Publik Information Media)
63
Atjih Ratnawati
Kepuasan Pelanggan Terhadap Jasa Pengiriman Surat Dan Paket
(Customer Satisfaction Towards Mail and Package Delivery Service)
83
Hartiningsih
Tanggapan Masyarakat Terhadap Konten Media Massa Dalam Kasus Konflik Antar
Warga Di Kabupaten Sigi
(People Response Toward Mass Media News In Conflict Among People In Sigi
Regency)
95
Atika dan Tri Indah Rusli
Pemanfaatan Radio Komunitas Sebagai Media Informasi Dan Komunikasi Masyarakat
Di Sulawesi Tenggara
(the Utilization of Community Radio as the Information and Communication Media for
Society in Southeast Sulawesi)
107
Kasianto
Kebutuhan Informasi Kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah
(the need of Information for the Grass Roots)
123
ISI VOLUME 19
Nomor 3
Andika Bayu Saputra
Identifikasi Faktor-Faktor Keberhasilan Implementasi Sistem Informasi Manajemen
Rumah Sakit
(The Identification of Success Factors Implementation Managemen Information Of
Hospital)
135
Belinda Devi Larasati Siswanti
Peran Expert Prescriber Dan Problem Solving Facilitator Humas Pemprov Kalsel
Dalam Melayani Informasi Publik
(Role of Expert Pescriber and Problem Solving Process of Public Relations Provincial
Facilitator of South Borneo Serving in Public Information)
149
Noviana Sari
Imperialisme Budaya Dalam Media
(Culture Imperialism in Media)
167
Intan Putri Cahyani
Adopsi Google Apps For Education Di Perguruan Tinggi: Sebuah Kolaborasi Real-
Time Dosen Dan Mahasiswa
(Adoption of Google Apps for Education at Universities: A Realtime Collaboration of
Lecturers and Students)
183
Muhammad Najih Farihanto
Dinamika Komunikasi Dalam Pembangunan Desa Wisata Brayut Kabupaten Sleman
(Dynamics of Communication in the Development on Tourist Village Brayut Sleman
Regency)
203
INDEKS PENULIS VOLUME 19
A
Atika 107
C
Cahyani, Indah Putri 183
F
Farihanto, Muhammad Najih 203
H
Hartiningsih 95
K
Kasiyanto 123
L
Laila 63
N
Noviana Sari 167
Nur, Emilsyah 23
R
Ratnawati, Atjih 83
Rusadi, Udi 47
Rusli, Tri Indah 107
Rustam, Muhammad 11
S
Sandy, Alvin Yulityas 1
Saputra, Andika Bayu 135
Sarwani 35
Siswanto, Belinda Devi Larasari 149
INDEKS KATA KUNCI VOLUME 19
A
Analisis Wacana 168, 169, 170, 171,
175, 182
B
Berita 95, 96, 97, 98, 99,
100, 101, 102, 103,
104, 105
Berita Televisi 47, 48, 49, 51, 53, 57
D
Demografis 47, 48, 49, 50, 51,
52, 53, 54, 55, 56,
57, 58, 59, 60, 61, 62
Desa Wisata 203, 204, 206, 207,
208, 209, 210, 211,
212, 213
Difusi Inovasi 183, 184, 185, 187,
188, 189, 190, 197,
199, 200, 202
Digital Immigrant 183, 184, 186, 187,
200, 201
Digital Native 184, 186, 187, 192,
200, 201
Dinamika
Komunikasi
203, 204, 205, 206,
207, 208, 209, 210,
211, 212, 213, 214
E
Eksistensi 63, 64, 65, 66, 67,
68, 69, 70, 71, 72,
73, 74, 75, 76, 77,
78, 80, 81, 82
Expert Prescriber 149, 150, 151, 152,
153, 154, 155, 156,
157, 158, 159, 160,
161, 162, 163, 164,
165, 166
F
Fashion 167, 168, 169, 170,
171, 172, 173, 174,
180, 181, 182
Free Prior of
Informed Consent
1, 2, 3, 5, 9
G
GAFE 183, 184, 185, 186,
187, 189, 192, 193,
194, 195, 196, 197,
198, 199, 200, 201
Gaya Hidup 167, 168, 180, 181
Gaya
Kepemimpinan
35, 36, 37, 38, 39,
40, 41, 42, 43, 44
H
Humas 149, 150, 151, 152,
153, 154, 155, 156,
157, 158, 159, 160,
161, 162, 163, 164,
166
I
Imperialisme
Budaya
167, 168, 169, 170,
171, 172, 173, 174,
175, 176, 177, 178,
179, 180, 181, 182
Infrastruktur TIK 23, 24
Informasi 107, 108, 109, 110,
111, 114, 115, 116,
117, 118, 119, 120,
121
Informasi Publik 63, 64, 65, 66, 67,
69, 70, 71, 72, 73,
74, 75, 76, 77, 78,
80, 81
Implementasi 1, 2, 5
K
Kebutuhan
Informasi
123, 124, 125, 126,
127,128, 129, 130,
131, 132, 133, 134
Kesenjangan
Digital
123
Kinerja Pegawai 35, 37, 38, 39, 41,
42, 43, 44, 45
Komunikasi 107, 108, 109, 110,
111, 112, 113, 114,
115, 116, 117, 118,
119, 120, 121, 122
Konflik 95, 96, 97, 98, 99,
100, 101, 102, 103,
104
Kualitas 83, 84, 85, 86, 88,
89, 90, 91, 92, 93, 94
L
Layanan 83, 84, 85, 86, 87,
88, 89, 90, 91, 92,
93, 94
Literasi 47, 48, 49, 50, 51,
52, 53, 54, 55, 56,
57, 58, 59, 60, 61
M
Majalah 167, 168, 169, 170,
171, 172, 173, 174,
175, 180, 182
Manajemen 135, 136, 137, 138,
143, 144, 145, 146,
147, 148
Masyarakat
Berpenghasilan
Rendah
123, 124, 125, 126,
127,128, 129, 130,
131, 132, 133,
Masyarakat Kota 47, 48, 49, 50, 51,
52, 53, 54, 55, 56,
57, 58, 59, 60, 61, 62
Masyarakat
Nelayan
11, 12, 13, 18, 19, 20
Media Massa 95, 96, 97, 98, 99,
100, 101, 102, 103,
104, 105
Media Tradisional 63, 64, 65, 66, 67,
68, 69, 70, 71, 72,
73, 74, 75, 76, 77,
78, 80, 81, 82
N
Negara-Pasar-
Publik
1
P
Pertanian 23, 24, 25, 26, 27,
28, 29, 31, 32
Pembangunan 203, 204, 205, 206,
207, 208, 209, 210,
211, 212, 213, 214
Pemerintah 149, 150, 151, 152,
153, 154, 155, 156,
157, 158, 159, 160,
161, 162, 163, 164,
166
Pemerintah Daerah 23, 27, 32
Penggunaan 11, 12, 13, 14, 15,
16, 17, 18, 19, 20,
21, 22
Pos 83, 84, 85, 86, 87,
88, 89, 90, 91, 92,
93, 94
Problem Solving
Process Facilitator
149, 151, 163
Produksi 23, 24, 25, 26, 27,
28, 29, 30, 31, 32,
33, 34
R
Radio Komunitas 107, 108, 109, 110,
111, 112, 113, 114,
115, 116, 117, 118,
119, 120, 121, 122
Rubrik 167, 168, 169, 170,
171, 172, 173, 174,
175, 176, 177, 178,
179, 180, 181
Rumah Sakit 135, 136, 137, 138,
140, 144, 145, 146,
147, 148
S
Strategi
Komunikasi
35, 37, 38, 39, 40,
41, 42, 43, 44, 45
Sistem informasi 135, 136, 137, 138,
139, 144, 145, 146,
147, 148
T
Teknologi Cloud
Computing
183, 184, 18, 195,
201
Telepon Gengam 11, 12, 13, 14, 15,
16, 17, 18, 19, 20,
21, 22
PETUNJUK PENULISAN NASKAH
“JURNAL PENELITIAN PERS DAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN”
I. KETENTUAN UMUM
A. Makalah adalah Karya Tulis Ilmiah (KTI) hasil penelitian atau kajian fenomena informasi, media massa,
komunikasi pembangunan, baik komunikasi politik maupun komunikasi publik serta teknologi
komunikasi dan informatika.
B. Kajian karangan/tinjauan buku ilmiah maksimal dua tahun terkahir, mengenai masalah komunikasi serta
pendekatan baru dalam ilmu komunikasi dam informatika.
C. Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan terbit tiga kali dalam satu tahun. Terbitan pertama
Nomor 3 bulan Februari, terbit kedua Nomor 1 bulan Juni, dan terbit ketiga Nomor 2 bulan Oktober.
D. Penulis yang menyerahkan naskah harus menjamin bahwa naskah yang diajukan tidak melanggar hak
cipta, belum pernah dipublikasikan dan tidak sedang diajkan ke media lain untuk dipublikasikan.
E. Apabila dikemudian hari diketahui ada double pemuatan atas naskah yang sama tanpa ada
penyempurnaan, pembaruan isi, data, dan/atau tidak merujuk publikasi sebelumnya maka penulis yang
bersangkutan akan masuk daftar hitam dari penerbitan selanjutnya.
F. Apabila setelah dimuatnya naskah diketahui adanya plagiasi dalam berbagai jenis maka naskah dicabut
dari Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan dan diumumkan pada penerbitan berikutnya.
G. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris.
H. Naskah diketik pada kertas ukutan A4 (210 mm x 297 mm), dengan spasi 1,15. A4 (210 mm x 297 mm).
Margin yang digunakan adalah: Atas (top), 32 mm; Kiri (left), 20 mm; Bawah (bottom) 20 mm; Kanan
(right), 20 mm. Jumlah halaman antara 10 sampai 25 halaman.
I. Semua naskah yang masuk ke redaksi akan ditelaah Mitra Bestari sesuai dengan bidang kepakarannya.
J. Untuk menjaga objektivitas penelaahanm setiap artikel yang dikirim ke Mitra Bestari dalam keadaan
blind review.
K. Apabila hasil penelaahan menuntut adanya perbaikan subtansi, maka naskah akan dikembalikan kepada
penulis untuk direvisi. Namun, kalau perbaikan sebatas redaksional akan ditangani oleh redaktur.
L. Sebagai ujibaca atas naskah siap cetak yang akan diterbitkan, penulis akan menerima proof-reading
untuk dilakukan pemeriksaan, dan diminta menandatangai lembar pernyataan persetujuan klirens etik.
M. Naskah yang masuk ke redaksi menjadi milik redaksi. Artikel yang tidak dimuat akan diberitahukan
dengan secara tertulis dan dikembalikan kepada penulis dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sejak waktu penerbitan.
II. KETENTUAN KHUSUS
A. JUDUL: ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Judul dibuat tidak lebih dari 2 (dua) baris
berikisar antara 10-15 kata dan harus mencerminkan inti dari naskah. Judul diketik dengan font Times
New Roman dengan ukuran 14.
B. NAMA PENULIS: dicantumkan di bawah judul tanpa mencantumkan gelar, ditulis dengan font Times
New Roman, dengan ukuran 12, di bawah nama penulis diikuti lembaga tempat penulis bekerja, alamat
instansi, nomor telepon, faximile, nomor handphone, serta alamat email penulis.
C. ABSTRAK: ditulis dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, dengan menggunakan font Times New
Roman dengan ukutan 10, dengan 1 spasi, minimal 150 kata, dan maksimal 200 kata tanpa paragraf. Isi
abstrak memuat lokasi penelitian – tujuan – metode penelitian – hasil – kesimpulan – saran-saran (kalau
ada)
D. KATA KUNCI: dalam abstrak ditulis dibawah abstrak dengan minimal 3 (tiga) kata, dan maksimal 5
(lima) kata. Judul, abstrak, dan kata kunci berbahasa Inggris dicetak miring (italic)
E. SISTEMETIKA PENULISAN NASKAH sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Bagian pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, hipotesa
(jika ada), dan tinjauan pustaka (temuan penelitian terdahulu, teori/konsep yang digunakan). Semua
unsur tersebut tidak terbagi dalam subbab seperti penulisan laporan teknis.
II. METODOLOGI
Metode penelitian yang dicantumkan hendaknya memuat Jenis dan Pendekatan Penelitian, Lokasi Penelitian,
Waktu Penelitian, Populasi dan Sample, Teknik Pengumpulan Data, Pengolahan data, dan Lainnya yang penting
dan dibutuhkan dalam metode penelitian
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Berisi hasil-hasil atau temuan penelitian. Pembaban diperlukan untuk memudahkan fokus
terhadap hasil penelitian.Sedangkan Pembahasan Isinya mencakup hasil telaah dan analisa serta
terhadap hasil penelitian.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Adalah hasil dari pembahasan yang menjawab permasalahan penelitian. Isi kesimpulan dan saran tidak
dalam pointer, tetapi dalam bentuk paragraf.
UCAPAN TERIMA KASIH
Berisi ucapan terima kasih kepada suatu instansi jika penelitian ini didanai atau mendapat dukungan
oleh instansi tersebut, atau jika ada pihak yang secara signifikan membantu langsung penelitian atau
penulisan artikel ini, jika pihak tersebut sudah tercantum sebagai penulis, maka tidak diperlukan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Lihat Poin J.
F. TUBUH NASKAH: diatur dalam Bab dan Sub Bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan. Semua
nomor ditulis rata di batas kiri tulisan seperti berikut:
I, II, III, IV, V untuk Bab
A, B, C, D, dst untuk Sub Bab
1, 2, 3, 4, dst untuk Sub Subbab
a, b, c, d, dst untuk Sub Sub Subbab
G. TABEL: Menggunakan font Calibri, ukuran 10 harus diberi nomor, dan judul tabel diatas tabel. Nomor
tabel ditulis tebal, dan judul tidak tebal. Tabel ditulis dalam dua Bahasa, Indonesia dan Inggris, dengan
tulisan inggris menggunakan italic, atau miring. Dibawah ditulis sumber tabel, serta tahun tabel.
Tetapi jika sumber adalah olahan dari hasil penelitian tidak dicantumkan sumber tabel.
Keterangan, catatan, atau lainnya diperlukan jika perlu, dan ditulis dibawah sumber dengan dua Bahasa.
Contoh tabel seperti dibawah ini. Untuk persentase menggunakan (minimal) dua angka dibelakang koma.
Tabel 1. Jumlah Populasi Kab Kota Propinsi Lokasi Penelitian
Table 1. Total Population at Research Area
Lokasi Penelitian (Research Location )
Jumlah Populasi (Total Population)
Persentase % (Percentage %)
Kota Banjarmasin 482.624 48,85 Kabupaten Balangan 112.430 11,38 Kabupaten Hulu Sungai Selatan 166.081 16,81 Kabupaten Kotabaru 226.803 22,95
JUMLAH 987.938 100,00
Sumber: Kalimantan Selatan, Dalam Angka. BPS, 2011 Source: South Kalimantan, In Number. Central Agency of Statistics of Indonesia. 2011
Keterangan :
a. Keterangan tidak harus mengunakan huruf,
tetapi bisa angka, atau pointer, atau keterangan
lain seperti n, %, dan lainnya
b. ...
Remarks:
a. Remarks not must using character, can using
number, pointer, or other remarks, like n, % or
etc.
b. ...
H. GAMBAR: Grafik dan ilustrasi lain yang berupa gambar harus konstras dan dibuat dengan warna yang
mencolok, sehingga memudahkan dalam melihat isi gambar. Setiap gambar harus diberi nomor, judul dan
keterangan yang jelas, dan dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
I. FOTO: Foto harus mempunyai ketajaman (sesolusi) yang baik, diberi judul dan keterangan yang jelas
dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
J. DAFTAR PUSTAKA:
- Naskah untuk Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan harus didukung pustaka acuan primer
minimal 15 dan diharapkan 80% berasal merupakan kutipan dari jurnal nasional dan atau jurnal
internasional.
- Pustaka acuan untuk penulisan naskah diharapkan lebih banyak menggunakan publikasi 5 tahun terakahir.
- Tidak diperkenankan menggunakan sumber yang berasar dari Wikipedia.
- Ditulis dengan merujuk pada format Harvard System of Refrencing (Penulis – Tahun Sistem).
- Lebih baik menggunakan aplikasi Mendeley (unduh disini: www.mendeley.com/download-mendeley-
desktop), agar lebih mudah dalam penyusunan Daftar Pustaka.
- Penulisan daftar pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad berdasarkan nama belakang penulis
buku/sumber dengan mencantumkan nama penulis, tahun terbit, judul pustaka, terbitan (Vol. No. Hal),
kota penerbit, dan penerbit.
- Contoh penulisan di dalam naskah:
Penulis yang dimasukan di dalam tulisan:
Secara umum, saat menulis publikasi profesional, sebaiknya melatih untuk membuat daftar pustaka
dari penelitian lain yang telah diterbitkan. Ini terlihat dari penelitian dari Cormack (1994).
Cormack (1994, hal.32-33) menyatakan bahwa ”saat menulis publikasi profesional, penulis hendaknya
membuat refrensi daftar pustaka dari karya yang sudah diterbitkan”.
Penulis yang tidak dimasukan di dalam tulisan:
Membuat daftar pustaka untuk publikasi menunjukan bahwa karakteristik untuk pembaca profesional
(Cormack 1994)
- Contoh Penulisan di daftar pustaka:
Jurnal :
Nama Belakang, Inisial Nama Depan., Inisial Nama Tengah., Tahun. Judul Naskah. Nama Jurnal,
volume(Nomor), hal.pertama-terakhir
Hamjen, H., 2013. Penggunaan Perangkat Komunikasi Terhadap Akses Konten Cyberporn Oleh
Masyarakat. Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan. 17(2), hal.118-134.
Buku :
Nama Belakang, Inisial., Tahun. Judul Buku. Edisi (hanya dimasukan jika bukan edisi pertama). Kota
Publikasi: Penerbit
Kasiram, M., 2010. Metode Penelitian Kualitatif-Kuantitatif. Malang: UIN-Maliki Press.
Baran, S., J., dan Davis, D., K., 2010. Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and future
5th edition. Singapore: Cengage Learning
- Untuk informasi lengkap tentang penulisan Harvard System of Cititation dapat dilihat di
http://libweb.anglia.ac.uk/referencing/harvard.htm
III. KETENTUAN LAIN:
A. Artikel dikirimkan sebanyak 1 (satu) ekslemplar hardcopy atau softcopy berupa file dalam format .doc,
.docx, atau .odt. kepada:
Dewan Redaksi Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan
Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Banjarmasin
Jl. Yos Sudarso No.29 Banjarmasin,
Kalimantan Selatan 70119.
Atau email ke:
[email protected] atau [email protected]
Untuk penamaan File sebagai berikut Naskah KTI_Nama Penulis_Judul
B. Penulis dari luar Instansi Badan Litbang Kementerian Komunikasi dan Informatika diharapkan
menyertakan Curriculum Vitae (CV), Nomor Hp dan alamat yang jelas.
Contact Person : Firda Abraham – 08125313529
Syarifuddin – 081351756008