22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pers menjadi bagian penting dalam perjalanan sebuah bangsa, sejak awal masa Kolonial Belanda Pers telah member warna tersendiri kepada bangsa Indonesia, bahkan pada masa pergerakan Pers digunakan sebagai sarana untuk penentangan terhadap penguasa kolonial dan untuk menyuarakan cita-cita Indonesia Merdeka. Demikian pula di masa Indonesia Revolusi Fisik Pers telah menjadi sebuah alat perjuangan yang demikian besar pengaruhnya, sebab melalui pers semua kehendak dapat disalurkan kepada khalayak ramai. Pers pada masa sebelum masa Orde Lama merupakan sebuah alat propaganda yang efektif bagi para pejuang untuk cita-cita Indonesia, hampir seluruh organisasi pergerakan Nasional pada masa itu menggunakan Pers sebagai sarana untuk menarik pendapat umum serta untuk menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan masyarakat. Bahkan Pers kemudian banyak mengalami pemberedelan karena keberaniannya dalam mengungkapkan suatu hal yang dianggap membahayakan bagi penjajah Belanda atau Jepang. Kemudian memasuki masa Pemerintahan Orde Lama Pers mengalami peranan yang berbeda bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. pada masa Orde Lama ini Pers dibagi ke dalam dua masa yaitu masa Demokrasi Liberal dan masa Demokrasi Terpimpin. Perkembangan Pers pada masa orde lama ini akan dikemukakan dalam makalah ini. Pada bagian pertama kami akan membahas perkembangan Pers pada masa Orde Lama, yaitu dalam kurun waktu masa Demokrasi Liberal dan fungsi Pers pada masa ini. Kemudian pada bagian kedua kami akan membahas mengenai peranan Pers pada masa Demokrasi Terpimpin serta pada bagian ketiga akan membahas etika pers pada masa orde Lama 1.2 Rumusan Masalah a) Bagaimana Perkembangan Pers pada masa Ode Lama terutama masa Demokrasi Liberal ? b) Bagaimana Perkembangan Pers pada masa Orde Lama terutama pada masa Demokrasi aaaaaaaaTerpimpin ? c) Bagaimana Peranan Pers pada masa Orde Lama ?

Perkembangan Pers Pada Masa Orde Lama

  • Upload
    uinsgd

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pers menjadi bagian penting dalam perjalanan sebuah bangsa, sejak awal masa Kolonial

Belanda Pers telah member warna tersendiri kepada bangsa Indonesia, bahkan pada masa

pergerakan Pers digunakan sebagai sarana untuk penentangan terhadap penguasa kolonial dan

untuk menyuarakan cita-cita Indonesia Merdeka. Demikian pula di masa Indonesia Revolusi Fisik

Pers telah menjadi sebuah alat perjuangan yang demikian besar pengaruhnya, sebab melalui pers

semua kehendak dapat disalurkan kepada khalayak ramai.

Pers pada masa sebelum masa Orde Lama merupakan sebuah alat propaganda yang efektif

bagi para pejuang untuk cita-cita Indonesia, hampir seluruh organisasi pergerakan Nasional pada

masa itu menggunakan Pers sebagai sarana untuk menarik pendapat umum serta untuk

menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan masyarakat. Bahkan Pers kemudian banyak

mengalami pemberedelan karena keberaniannya dalam mengungkapkan suatu hal yang dianggap

membahayakan bagi penjajah Belanda atau Jepang.

Kemudian memasuki masa Pemerintahan Orde Lama Pers mengalami peranan yang berbeda

bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. pada masa Orde Lama ini Pers dibagi ke dalam

dua masa yaitu masa Demokrasi Liberal dan masa Demokrasi Terpimpin. Perkembangan Pers

pada masa orde lama ini akan dikemukakan dalam makalah ini.

Pada bagian pertama kami akan membahas perkembangan Pers pada masa Orde Lama, yaitu

dalam kurun waktu masa Demokrasi Liberal dan fungsi Pers pada masa ini. Kemudian pada

bagian kedua kami akan membahas mengenai peranan Pers pada masa Demokrasi Terpimpin serta

pada bagian ketiga akan membahas etika pers pada masa orde Lama

1.2 Rumusan Masalah

a) Bagaimana Perkembangan Pers pada masa Ode Lama terutama masa Demokrasi Liberal ?

b) Bagaimana Perkembangan Pers pada masa Orde Lama terutama pada masa Demokrasi

aaaaaaaaTerpimpin ?

c) Bagaimana Peranan Pers pada masa Orde Lama ?

2

d) Bagaimana Etika Pers Pada masa Ode Lama ?

3

BAB II

PEMBAHASAN

2. Pers Masa Orde Lama

2.1 Pers Masa Orde Lama

Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada

masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem

pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par-Pol. Beberapa

partai politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai

pers partisipan1.

Keberadaan pers pada masa ini dilandasi oleh konstitusi Indonesia Serikat dan UUDS.

Dalam konstitusi RIS pasal 19 disebutkan setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan

mengeluarkan pendapat. Kemudian isi pasal ini kembali dicantumkan dalam UUDS 1950

mencerminkan meskipun terjadi pasang surut kehidupan pilitik, namun kebebasan pers dalam

berpendapat seharusnya tetap ada dalam konstitusi2.

Pemerintah juga menetapkan kebijakan dibidang pers yang sifatnya positif. Pemerintah

membentuk dewan pers yang terdiri dari orang-orang persurat kabaran, cendekiawan, serta

pejabat-pejabat pemerintah. Adapun dewan ini mempunyai tugas yaitu :

1. Pengertian undan-undang pers colonial.

2. pemberian dasar social ekonomis yang lebih kuat pada pers Indonesia.

3. Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia3.

Pers pada masa orde lama terbagi menjadi dua periode, yakni Periode Demokrasi Liberal

dan Periode Demokrasi Terpimpin. Seiring dengan kembalinya bentuk negara dari negara federal

menjadi negara kesatuan, maka dimulailah pada masa ini sistem Demokrasi Liberal di Indonesia4.

Pers pada masa Demokrasi Liberal ini merupakan suatu masa dimana Pers di Indonesia

mengalami masa kebebasan yang begitu besar, setiap orang asalkan memiliki modal dapat

memiliki sebuah surat kabar, sehingga ia bisa memiliki kebebasan untuk mengeluarkan

pendapatnya, tanpa harus terlebih dahulu mengurus perizinan.

1 Hasan, Pengertian dan Sejarah Pers. http://hasangunawan23-pers.blogspot.co.id/ diunduh 24-09-2015

2 Ibid.3 Ibid.4 Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia di Indonesia (Triyinco:Jakarta, 1976). hlm. 46

4

Pada masa Demokrasi Liberal ini dapat digambarkan sebagai suatu lembaran hitam dalam

sejarah pers kita, karena untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita

yang pada umumnya mewakili aliaran-aliaran politik yang saling bertentangan menyalahgunakan

“freedom of the press”, kadangala melampaui batas-batas kesompanan. Malahan mendekati cara-

cara yang biasanya dilakukan oleh pers di negara-negara liberal seperti Amerika Serikat.5

Para Wartawana kita dalam masa Liberal ini banyak yang dihinggapi oleh jiwa liberalistis

dan penyakit sinisme. Presiden Sukarn sendiri menkonstatir di masa ini timbulnya lima macam

krisis dalam masyarakat kita, yaitu krisis kewibawaan, krisis politik, krisis pandangan dalam

Angkatang Bersenjata dan krisis moril6.

Pada masa Demokasi Liberal ini Koran-koran sangat banyak bermunculan mulai dari

surat kabar Belanda , seperti Java Bode, de Locomotief, Algemeen Indisch Dagblad de Preanger

Bode, Nieuwgier dan Nieuwe Courant. Koran-koran Belanda tersebut diberikan kebebasan untuk

mengeluarkan segala macam pendapat, seperti dalam masalah Irian Barat banyak surat kabar

Belanda, mendukung kebijaksanaan Pemerintah Belanda.

Selain itu pada masa ini surat kabar mengalami oplah yang cukup besar, namun demikian

oplah yang cukup besar ini adalah bukan oplah surat kabar dalam bidang politik, ekonomi, dll.

Namun ternyata ialah surat kabar yang berlatar belakang surat kabar berbau porno, seks, dll.

Sementara Surat Kabar politik, hukum, dan ekonomi kalah telak7.

Karena pada masa itu masyarakat lebih tertarik pada hal yang berbau sensualitas dan seks,

akibat ialah banyak surat kabar yang mengalami kelesuan dan banyak yang kemudian mengalami

gulung tikar.

Pada zaman Demokrasi Liberal ini juga ada gejala-gejala atau pertanda yang

menunjukkan bahwa waktu itu pers banyak dibuat membuat fitnah, mencaci maki, menjatuhkan

martabat seseorang atau keluarga, tanpa memikirkan ukuran-ukuran sopan-santun dan tatakrama.

Justru karenanya, orangpun lalu saling menanya sampai dimana kebebasan pers dapat

dilaksanakan, dan bila tidak ada btasnya, niscaya akan merupakan anarki8.

5 Said Tribuana. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. (Jakarta:CV Haji Masagung, 1988) hlm. 86 6 I.N.H Soebagijo. Sejarah Pers Indonesia. (Jakarta:Dewan Pers, 1977). hlm. 977 Ibid. hlm. 988 Said Tribuana. Op. Cit. hlm. 87

5

Hingga Tahun 1957 Pers Indonesia mengalami periode kebebasan Pers, namun setelah

Pemberontakan PRRI dan Permesta, serta kegagalan Konstituante merancang Undang-Undang

Dasar baru, dan dekrit Presiden Soekano. Maka kemudian mulai muncul beberapa pembredelan

terhadap beberapa majalah yang dinilai berbahaya. Dengan latar belakang kondisi politik dan

keamanan di atas berdasarkan ketentuan SOB, penindakan keras yang meningkat terhadap pers

dengan sendirinya tidak dapat dihindarkan. Pada bulan September 1957, tidak kurang dari 13

pnerbitan pers di Jakarta terkena pembredelan sekaligus. Mereka adalah Harian Rakyat,

Pedoman, Indonesia Raya, Bintang Timur, Keng Po, Djiwa Baru, Merdeka, Pemuda, Jawa Bode,

Abadi, dan Kantor Berita Antara INPS serta Aneta9.

Pada bulan April 1958, Pemerintah melarang semua Koran-koran berbahasa China. Di

Medan, Koran-koran yang ditutup adalah The Sumatra Times, New China Times, Sumatra Bin

Poh, Hwa Choa Jit Poh, dan Democratic Daily News. Di Ujung Pandang, terdapat empat surat

kabar : Kuo Min-Tang, Chiao Seng Phao, Daily Chronicle dan Daily Telegraph. Puncaknya ialah

keluarnya Dekrit Presiden oleh Presiden Soekarno.

Pada masa Demokrasi Liberal Pers memiliki beberapa fungsi,

2.1.1 Pers sebagai Organ Partai

Setelah pengakuan kedaulatan, sruktur pers di Indonesia merupakan kelanjutan masa

sebelumnya, terdiri dari pers nasional, surat-surat kabar Belanda dan China10. Koran-koran

Belanda yang hadir sebelum masa kemerderkaan dibolehkan hadir oleh pemerintah dan dianggap

sebagai Koran Tamu. Koran-koran tamu itu mempunyai percetakan sendiri, lengkap dengan

peralatannya yang serba modern. Dan merekapun mendapat privilege yang sama dengan Koran-

koran Belanda ini dibenarkan menulis apa saja yang mereka kehendaki, dan kantor beritanya pun

masih tetap pula dibenarkan menyiarkan berita yang sesuai dengan selara mereka sendiri11.

Namun secara ekonomi organ pers pribumi mengalami kelesuan dalam keuangan

terutama dibandingkan dengan organ pers Belanda atau China yang didukung oleh capital besar12,

sebaliknya Pers pribumi tidak mengalami kapital yang besar. Pers Pribumi yang dapat bertahan

9 I.N.H Soebagio Op.Cit. hlm 9810 Ibid. hlm. 9911 Ibid. hlm. 9912 Tribuana Said. Loc. Cit. hlm. 95

6

ialah pers yang tercatat sebagai organ Partai seperti harian pedoman, abadi, yang nota bene

adalah harian milik partai politik13.

Menurut catatan tahun 1954, di Jakarta tercatat sebanyak 27 surat kabar dengan jumlah

oplah hampir 50% dari jumlah oplah untuk seluruh Indonesia. Koran-koran yang mencatat oplah

besar umumnya merupakan organ atau pendukung partai, Harian Rakyat (PKI) 55.000 eksemplar,

Pedoman (PSI) 48.000 eksemplar, Suluh Indonesia 40.000 eksemplar, dan Abadi (Masyumi)

34.000 Eksemplar14. Selain surat-surat kabar di atas di Jakarta terbit harian Pemandangan,

Merdeka, Bintang Timur (organ Partindo), Duta Masyarakat (organ Nahdatul Ulama), Sin Po

(China, Komunis), Keng Po (Cina nonkomunis)15.

Pada masa ini Pers digunakan oleh Partai Politik terutama sebagai sebuah alat propaganda

politik terutama menjelang Pemilu 1955, oplah dan penerbitan surat kabar mengalami

peningkatan yang demikian pesat, dibandingkan periode sebelumnya. hal ini disebabkan para

politikus menggunakan Pers sebagai sarana untuk menarik perhatian umum dan dukungan

Umum.

Menurut Hatta, surat kabar yang telah menjadi suara golongan politik tertentu tidak

mengurangi kedudukannya sebagai bagian dari masyarakat. Sebagai suatu kesatuan, pers adalah

suara dari rakyat yang merdeka, yang bebas mengeluarkan pendapat yang berlainan tentang

masalah-masalah negara dan masyarakat. Tetapi tambahnya, dalam proses pembangunan,

kedudukan dan peranan pers nasional tidak semata-mata menjadi “anggota perasaan umum” atau

terompet perasaan umum, melainkan mendorong perasaan umum itu untuk menginsafi dasar-

dasar perekonomian negara dan masyarakat16.

Namun-namun kemudian hasil-hasil yang terjadi ketika partai menjadi organ politik partai

politik ialah, praktek-praktek dimana pemerintah memberikan dukungan kepada pers yang

menyokonngnya di satu pihak, dan menghambat mereka yang menentangnya. Surat-surat kabar

yang mendukung suatu kabinet biasanya akan memperoleh pesanan besar dari kantor-kantor

pemerintah, mendapat kredit untuk membeli perangkat keras, dan lebih disukai bila ada undangan

13 Ibid. hlm. 9814 Ibid. hlm. 9915 Taufik. Loc. Cit. hlm. 9616 Ibid. 101

7

untuk ikut delegasi-delegasi ke luar negeri, sebaliknya wartawan-wartawan Koran lawan akan

mendapat larangan terbit17.

Kebijaksanaan pemerintah terhadap pers di zaman Indonesia merdeka mengalami

beberapa kali perubahan. Hal itu disebabkan beberapa kali pula terjadi perubahan dalam corak

pemerintahan.

Kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda terhadap pers yang tertuang dalam Pers

breidel Ordonnantie, secara formal belum diganti pada awal pemerintahan Republik Indonesia.

Baru pada tahun 1954, tanggal 2 Agustus, berlakulah pencabutan Pers breidel Ordonnantie itu.

(UU No.23 tahun 1954, Lembaran Negara 54-77)18.

Penghapusan Pers breidel Ordonnantie itu antara lain diperjuangkan oleh Persatuan

Wartawan Indonesia yang didirikan di Sala 9 Februari 1953. Dalam kongresnya ke-7 di Denpasar

bulan Agustus 1953 misalnya, PWI mengeluarkan keputusan: Menurut kepada pemerintah

supaya segera mengeluarkan Undang-Undang Pers yang bersumber pada hak kemerdekaan

berfikir dan kebebasan mempunyai serta mengeluarkan pendapat, sesuai dengan pasal 18 dan 19

Undang-Undang Dasar Sementara. Dalam kaitan ini kongres memutuskan pula untuk membentuk

panitia, yang sama-sama dengan Pengurus Pusat PWI memperjuangkan segera dikeluarkannya

UU Pers yang mencakup hak ingkar, larangan terhadap persasing dan penghapusan Pers breidel

Ordonnantie19.

Sebelum UU Pokok Pers akhirnya disahkan pada tanggal 12 Desember 1966, pers

Indonesia masih menghadapi peraturan-peraturan yang dirasa menekan oleh para wartawan.

Perkembagan politik besar peranannya dalam melahirkan peraturan-peraturan itu20.

Diantara peraturan-peraturan tersebut, dapat dikemukakan antara lain peraturan yang

dikeluarkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer pada 14 September 1956

(Peraturan KSAD selaku Penguasa Militer No.PKM/001/0/1956)21.

17 Tim LSPP. Media Sadar Publik. (Jakarta : Lembaga Studi dan Pembangunan, 2005). Hlm. 17618 Ibid. hlm. 17819 Ibid. hlm 17820 Ibid. hlm.17921 Taufik. Loc. Cit. hlm. 179

8

Pasal 1 peraturan itu menegaskan larangan untuk cetak, menerbitkan dan menyebarkan

serta memiliki tulisan-tulisan, gambar-gambar, klise atau lukisan-lukisan yang memuat atau

mengandung kecaman, persangkaan atau penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden,

sesuatu kekuasaan atau majelis umum atau “seorang pegawai negeri pada waktu itu atau sebab

menjalankan pekerjaan dengan sah”22.

Larangan itu berlaku juga bagi tulisan-tulisan, yang dinilai “memuat atau mengandung

pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antaranya atau terhadap golongan-

golongan penduduk”. Dilarang pula “tulisam-tulisan yang memuat berita-berita atau

pemberitahuan-pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat”23.

Ketentuan tersebut, yang sangat mirip dengan isi Haatzaai Artikelen, mendapat protes

keras dari surat-surat kabar dan PWI mulai dari Pusat sampai ke cabang-cabang.Serikat

Perusahaan Surat kabar (SPS) Pusat menolak dan mengecam peraturan ini. PWI cabang Besuki

bahkan menganjurkan rekan-rekannya mem-blok out semua berita tentang ketentaraan kalau

peraturan Kasad tetap berlaku. (178)

Peraturan yang ditandatangani oleh KSAD Mayor Jenderal A.H. Nasution itu akhirnya

dicabut pada 28 November 1956. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pembredelan, sensor

dan tindakan-tindakan terhadap para wartawan tidak terjadi lagi. Faktanya akan dikemukakan

dalam bagian berikut.

Pembatasan-pembatasan terhadap pers justru semakin terasa, setelah diumumkan Keadaan

Perang pada 14 Maret 1957. Perlu dicatat adanya usaha-usaha, baik dari pihak para wartawan,

Kementrian Penerangan maupun Penguasa Militer untuk menyelesaikan masalah-masalah pers

yang timbul, sebaik mungkin24.

Sebagai hasil pertemuan-pertemuan antara berbagai pihak itu, disepakati antara lain

membentuk “Badan Kontak”, baik di Pusat maupun di daerah-daerah. Badan kontak antara

pemerintah-penguasa militer di satu pihak itu dimaksudkan untuk menampung persoalan-

persoalan yang timbul di antara pers dan pemerintah umumnya juga terhadap tindakan-tindakan

yang diambil.

22 Ibid. 18023 Ibid. 19024 Tim LSPP. Loc. Cit. hlm. 180

9

Sebelum Badan Kontak itu dibentuk, Sekjen Departemen Penerangan di kala itu (1957),

R.M. Harjoto, diterima sebagai perantara antara penguasa militer dengan pers.Bandan Kontak itu,

tidak saja diusahakan terbentuk di Pusat, tetapi juga di daerah-daerah.Di kala itu penguasa militer

di daerah masing-masing sering membuat peraturan-peraturan sendiri dan melakukan tindakan-

tindakan sendiri terhadap persatuan pun wartawan.

Itulah sebabnya Kepala Staf Angkatan Darat yang juga menjadi Penguasa Militer Pusat,

Mayor Jenderal A.H Nasution, mengeluarkan instruksi kepada para penguasa militer di daerah

tertanggal 4 Desember 1957, yang isinya sebagai berikut: Semua peraturan mengenai pembatasan

pemasukan surat-surat kabar dan sensor preventif yang dibuat oleh masing-masing Penguasa

Militer Daerah25, supaya dicabut.

Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya akhirnya mengeluarkan juga ketenuan menegnai

permintaan izin terbit bagi harian-harian dan majalah-majalah di Jakarta. Ini terjadi tanggal 1

oktober 195826. Pemerintah Hindia Belanda dalam ketentuan-ketentuan yang mengenai pers tidak

mengadakan izin terbit, meskipun masalah lisensi atau izin terbit ini pernah menjadi masalah

hangat dikalangan penguasa colonial. Ketentuan mengenai izin terbit bagi per situ baru kemudian

diadakan oleh Pemerintah Balatentara Jepang dan di zaman Republik Indonesia, dimulai sewaktu

berlakunya SOB tersebut sampai sekarang27.

Suatu ketentuan yang menarikdanbarupertama kali terjadi dalam sejarah pers di

Indonesia, ialah berlakunya ketentuan mengenai jumlah iklan yang maksimal boleh dimuat oleh

sebuah surat kabar. Para pemimpin surat kabar diminta untuk membuatiklan tidak lebih dari

sepertiga ruangan atau halaman-halaman yang tersedia.

Setelah pengakuan kedaulatan, sruktur pers di Indonesia merupakan kelanjutan masa

sebelumnya, terdiri dari pers nasional, surat-surat kabar Belanda dan China28. Koran-koran

Belanda yang hadir sebelum masa kemerderkaan dibolehkan hadir oleh pemerintah dan dianggap

sebagai Koran Tamu. Koran-koran tamu itu mempunyai percetakan sendiri, lengkap dengan

peralatannya yang serba modern. Dan merekapun mendapat privilege yang sama dengan Koran-

25 Ibid. 17926 Ibid. 18027 Ibid. 19028 Said Tribuana. Loc. Cit. hlm 112

10

koran Belanda ini dibenarkan menulis apa saja yang mereka kehendaki, dan kantor beritanya pun

masih tetap pula dibenarkan menyiarkan berita yang sesuai dengan selara mereka sendiri29.

Namun secara ekonomi organ pers pribumi mengalami kelesuan dalam keuangan

terutama dibandingkan dengan organ pers Belanda atau China yang didukung oleh capital besar30,

sebaliknya Pers pribumi tidak mengalami kapital yang besar. Pers Pribumi yang dapat bertahan

ialah pers yang tercatat sebagai organ Partai seperti harian pedoman, abadi, yang nota bene

adalah harian milik partai politik31.

Menurut catatan tahun 1954, di Jakarta tercatat sebanyak 27 surat kabar dengan jumlah

oplah hampir 50% dari jumlah oplah untuk seluruh Indonesia. Koran-koran yang mencatat oplah

besar umumnya merupakan organ atau pendukung partai, Harian Rakyat (PKI) 55.000

eksemplar, Pedoman (PSI) 48.000 eksemplar, Suluh Indonesia 40.000 eksemplar, dan Abadi

(Masyumi) 34.000 Eksemplar32. Selain surat-surat kabar di atas di Jakarta terbit harian

Pemandangan, Merdeka, Bintang Timur (organ Partindo), Duta Masyarakat (organ Nahdatul

Ulama), Sin Po (China, Komunis), Keng Po (Cina nonkomunis)33.

Pada masa ini Pers digunakan oleh Partai Politik terutama sebagai sebuah alat propaganda

politik terutama menjelang Pemilu 1955, oplah dan penerbitan surat kabar mengalami

peningkatan yang demikian pesat, dibandingkan periode sebelumnya. hal ini disebabkan para

politikus menggunakan Pers sebagai sarana untuk menarik perhatian umum dan dukungan

Umum.

Menurut Hatta, surat kabar yang telah menjadi suara golongan politik tertentu tidak

mengurangi kedudukannya sebagai bagian dari masyarakat. Sebagai suatu kesatuan, pers adalah

suara dari rakyat yang merdeka, yang bebas mengeluarkan pendapat yang berlainan tentang

masalah-masalah negara dan masyarakat. Tetapi tambahnya, dalam proses pembangunan,

kedudukan dan peranan pers nasional tidak semata-mata menjadi “anggota perasaan umum” atau

29 Ibid. hlm. 11330 Ibid. hlm. 11331 Taufik. Loc. Cit. hlm. 13032 Ibid. hlm. 19033 Ibid. 179

11

terompet perasaan umum, melainkan mendorong perasaan umum itu untuk menginsafi dasar-

dasar perekonomian negara dan masyarakat34.

Namun-namun kemudian hasil-hasil yang terjadi ketika partai menjadi organ politik partai

politik ialah, praktek-praktek dimana pemerintah memberikan dukungan kepada pers yang

menyokonngnya di satu pihak, dan menghambat mereka yang menentangnya. Surat-surat kabar

yang mendukung suatu kabinet biasanya akan memperoleh pesanan besar dari kantor-kantor

pemerintah, mendapat kredit untuk membeli perangkat keras, dan lebih disukai bila ada undangan

untuk ikut delegasi-delegasi ke luar negeri, sebaliknya wartawan-wartawan Koran lawan akan

mendapat larangan terbit35.

2.2 Pers Masa Demokrasi Terpimpin

Akibat kegagalan Konstituante menyusun Undang-undang dasar baru, maka kemudian

Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959, maka kemudian Indonesia memasuki

era-baru yaitu era Demokrasi Terpimpin. Media Massa harus diarahkan untuk mendorong aksi

massa revolusioner di seluruh Indonesia. Rakyat harus didorong untuk memiliki keyakinan yang

teguh tentang sosialisme agar dukungan bagi kelangsung Revolusi dan peranannya dalam

pembangunan nasional dapat terwujud.

Pers di era orde lama dan orde baru dapat dikategorikan ke dalam periode kedua di mana

kontrol Negara terhadap pers – meski di masa-masa awal berkuasanya rezim, hubungan harmoni

masih dapat terlihat – sangat besar sehingga mematikan dinamika pers. Setelah penyerahan

kedaulatan Jepang pada 15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil alih semua fasilitas

percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan berupaya menerbitkan surat kabar sendiri. Surat

kabar pertama yang terbit di masa republik itu bernama Berita Indonesia yang terbit di Jakarta

sejak 6 September 1945.

Kondisi perpolitikan di Indonesia dalam tahun-tahun 1945-1958 dapat dikatakan masih

sangat panas. Pertikaian dengan Belanda ataupun Jepang belum lagi tuntas, dan pergolakan di

beberapa tempat dengan pihak Belanda ataupun Jepang yang belum menarik diri masih terjadi.

Sebagai upaya serangan balik terhadap propaganda anti Belanda yang dilancarkan oleh surat

kabar-surat kabar republik, maka Belanda juga menerbitkan surat kabar berbahasa Indonesia,

34 Ibid. 17035 Ibid. 170

12

diantaranya Fadjar (Jakarta), Soeloeh Rakyat (Semarang), Pelita Rakyat (Surabaya), serta

Padjajaran dan Persatoean (Bandung). Pada masa itu, sebagian besar surat kabar terbit dalam

empat halaman, dikarenakan kurangnya pendanaan dan percetakan yang masih minim. Pada

Desember 1948 di Indonesia telah terbit 124 surat kabar dengan total tiras 405.000 eksemplar.

Tetapi pada April 1949, jumlah surat kabar berkurang menjadi hanya 81 dengan tiras 283.000

eksemplar. Ini diakibatkan oleh Agresi Militer Belanda Kedua yang terjadi pada Desember 1948.

Sementara, jangkauan tiras berubah dari 500 menjadi 5.000 eksemplar. Sepanjang periode ini,

pers Indonesia semakin memperkuat semangat kebangsaan, mempertajam teknik berpolemik, dan

mulai memperlihatkan peningkatan semangat partisan36.

Akhirnya, pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959

yang mengakhiri masa Demokrasi Liberal dan kembali menjadikan UUD 1945 sebagai dasar

negara. Masa ini dikatakan sebagai masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa ini, pers nasional

menganut sistem otoriter. Pers dijadikan sebagai corong penguasa yang harus mendukung

kedudukan presiden dan mendoktrin manipol. Pers berfungsi sebagai alat penggerak aksi massa

dalam memberikan informasi dan mendorong masyarakat agar mau mendukung pelaksanaan

manipol dan setiap kebijakan pemerintah37.

Penguasa melakukan rekayasa terhadap pers melalui sistem regulasi represif. Dalam upaya

mengkonsolidasi kekuasaannya, Soekarno dengan ketat mengontrol pers dan berusaha membuat

pers menjadi jinak dan penurut. Pada tanggal 12 Oktober 1960, dalam kapasitasnya sebagai

Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Soekarno mengeluarkan dekrit bahwa setiap penerbitan pers

harus mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk mendapatkan SIT (Surat Ijin Terbit)38. Agar ijin

tersebut diperoleh, pers harus memenuhi persyaratan tertentu seperti, loyal kepada manifesto

politik Soekarno, serta turut berjuang menentang imperialisme, kolonialisme, liberalisme,

federalisme, dan separatisme. Para penerbit dan pemimpin redaksi diharuskan menandatangani

dokumen berisi 19 pasal tentang janji-janji pemenuhan kewajiban untuk setia pada program

manipol, pemerintah dan Soekarno sendiri. Tujuannya ialah menjadikan pers sebagai alat

pendukung, pembela, dan penyebar manifesto politik Soekarno39.

Akibatnya, pers Indonesia merasa berada dalam pengepungan manipol Soekarno. Wartawan

Indonesia kala itu menamakan sistem pers demokrasi terpimpin sebagai pers manipol. Setelah 36 Semma, Pers di Indonesia. (Jakarta:LP3ES, 2008). Hlm. 11337 Ibid. hlm. 11438 Ibid. hlm. 10539 Ibid. hlm. 106

13

harian Indonesia Raya dilarang terbit pada tahun 1961, Mochtar Lubis, sang editor dipenjara di

Madiun bersama PM Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid,

dan Soebadio Sastrosatomo. Semua tahanan tersebut dinilai sebagai oposan oleh Presiden

Soekarno

Soekarno kemudian menempatkan percetakan swasta di bawah pengawasan pemerintah

berdasarkan Peraturan Administrasi Militer Tertinggi no.2/1961. Pada tanggal 15 Mei 1963,

Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tentang pemberian wewenang kepada Menteri

Penerangan untuk menangani pedoman pers. Lalu, pada tanggal 12 September 1962, kantor berita

Antara dinasionalisasikan dengan Dekrit Presiden no.307/196240.

Kantor berita Antara selanjutnya berada dalam pengaruh kaum komunis,  seiring dengan

semakin meningkatnya pengaruh PKI di pemerintahan. Kondisi ini kemudian sampai pada taraf

kritis karena lebih dari separuh berita yang diterbitkan bersifat pro-komunis. Surat kabar milik

PKI, yaitu harian Rakyat, tirasnya meningkat menjadi 75.000 eksemplar pada tahun 1964 dan

terus meningkat menjadi 85.000 eksemplar pada tahun 1965. Hal ini kemudian mendorong para

wartawan dari 10 surat kabar yang tergabung dalam BPS (Barisan Pendukung Soekarno) gigih

menentang PKI. Pertentangan ini terlihat jelas pada isi berita harian Rakyat milik PKI melawan

harian Merdeka milik B.M.  Diah. Namun, Soekarno ternyata lebih memihak PKI karena

menganggap PKI lebih dapat diandalkan sebagai landasan kekuasaan daripada kaum nasionalis.

Sehingga pada bulan Februari dan Maret tahun 1965, 17 surat kabar yang tergabung dalam BPS

dilarang terbit.

Tak menyerah, pada tahun 1965, Angkatan Bersenjata menerbitkan surat kabar Berita

Yudha. Pada bulan Maret 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan Peraturan Nomor 29 yang

menegaskan bahwa surat kabar harus berasal dari 9 partai politik yang ada. Aturan tersebut

merupakan upaya Soekarno untuk mengintegrasikan surat kabar agar partai-partai politiklah yang

pertama mengontrol surat kabar. Karena itulah, Frans Seda dari Partai Katholik ingin

menerbitkan surat kabar Katholik. PK Ojong dan rekannya Jakob Oetama kemudian ditunjuk

sebagai pemimpin redaksi dan editor. Pada tanggal 28 Juli 1965, harian Kompas terbit pertama

kali. Surat kabar Indonesia mengalami peningkatan oplah, dari yang awalnya hanya berjumlah

692.500 eksemplar pada tahun 1961, empat tahun kemudian, pada tahun 1965, surat kabar di

Indonesia berjumlah 114 dengan oplah 1.469.350 eksemplar41.

40 Ibid. hlm. 10641 Ibid. hlm. 107

14

Pada masa ini pula, muncul saluran televisi Indonesia yang pertama, yaitu TVRI yang

awalnya digunakan untuk menyiarkan tayangan Asian Games IV. Namun, setelah menayangkan

acara tersebut, TVRI belum dapat meneruskan siarannya, karena tidak adanya studio khusus dan

keterlambatan persediaan film. Lalu, atas desakan Yayasan Gelora Bung Karno, pemerintah

membangun studio darurat sebagai studio operasional TVRI yang memungkinkan siaran TVRI

selama satu jam setiap harinya, hingga akhirnya jam siaran TVRI terus bertambah dan pada

tanggal 12 November 1962, TVRI mulai mengudara secara reguler setiap hari. TVRI berperan

sentral dalam proses komunikasi politik pemerintah. TVRI adalah medium untuk

mempromosikan program-program pemerintah, memperteguh konsensus nasional tentang budaya

nasional, pentingnya pembangunan, tertib hukum, dan menjaga kemurnian identitas bangsa.

TVRI lebih banyak diperlakukan sebagai alat propaganda pemerintah untuk propaganda politik

ke dalam dan ke luar negeri, serta medium konsolidasi kekuasaan dan monopoli informasi oleh

pemegang kekuasaan42.

Maka kemudian Pers, Radio, dan Film harus digerakkan sebagai satu kesatuan terpadu secara

terpimpinm berencana dan terus menerus kea rah kesadaran mengenai sosialisme Indonesia dan

Pancasila. Maka kemudian ditentukan langkah-langkah untuk menciptakan pers Manipol menuju

tercapainya pers sosialis ialah,

a) Mendirikan kantor berita nasional yang kuat dan lengkap

b) Membantu organisasi penerbitan pers menyelenggarakan seminar-seminar pers

c) Mengadakan pendidikan dan latihan bagi para pelaksana pers

d) Mengadakan pendidikan wartawan

e) Mendirikan pusat pers

f) Membantu penyedian kertas Koran

g) Menyelenggarakan kunjungan kerja oleh wartawan ke proyek-proyek pembangunan

h) Menyiapkan undang-undang pers yang mencangkup antara lain : penjabaran fungsi-fungsi

pers dalam rangka melaksanakan Manipol demi kelangsungan revolusi dan pembanguan

semesta berencana ; penjabaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban pers; serta penjabaran

kebebasan pers, terutama peredaranya di kalangan pekerja

i) Membangun pabrik-pabrik kertas agar impor kertas Koran tidak diperlukan lagi

42 Sudibyo. Loc. Cit. hlm. 279

15

j) Meningkatkan kesejahtraan pekerja-pekerja pers43

Pada masa ini juga pemerintah melarang penerbitan surat-surat kabar yang tidak

menggunakan huruf latin. Hal ini berarti melarang penerbitan pers yang menggunakan aksara

Cina. Antara Tahun 1960 hingga 1965, peredaran pers di Indonesia tidak menunjukkan

perkembangan yang stabil sebagai pencerminan keadaan secara umum. Jumlah surat kabar dan

oplah pada tahun 1960 hampir tidak berbeda dengan tahun sebelumnya. pada tahun 1959, oplah

94 surat kabar harian mencapai 1.036.500 lembar sedang oplah 273 jenis penerbitan lainnya

berjumlah sedikir di atas tiga juta lembar. Pada tahun 1960, jumah surat kabar harian mencapai

97 dengan oplah sebanyak 1.0905000, sedang jumlah berbagai jenis penerbitan lainnya adalah

230 penerbitan dengan oplah sebanyak 3.350.000 lembar per terbit44.

Masalah utama dalam masa Demokrasi Terpimpin ini ialah keterbelakangan dalam sektor

pembanguan percetakan pers, dimana sejak tahun 1952 hingga 1964 Pemerintah hanya

mendirikan beberapa perusahaan percetakan. Karena kebanyakan mesin cetak yang ada ialah

peninggalan Belanda dan juga Jepang45.

masa Demokrasi Terpimpin ini Pemerintah Soekarno mulai cenderung condog untuk

bersahabat dengan negara-negara Komunis atau negara-negara blok Timur. Maka akibatnya

Partai Komunis Indonesia (PKI) mengalami masa kedigdayaan karena senantiasa disokong oleh

Pemerintah. Organ-organ Pers PKI dan pendukungnya seperti Harian Rakyat, Bintang Timur,

Warta Bhakti di Jakarta, kemudian ditambah dengan Gelora Indonesia dan Kebudayaan Baru

yang juga terbit di Ibukota, belum terhitung sejumlah mingguan Trompet Masyarakat di

Surabaya; Harian Harapan dan Gotong Royong di Medan; dan di berbagai kota lainnya, dengan

sendirinya ikut memanaskan dan mematangkan sistuasi revolusioner46.

Taktik ofensif PKI yang radikan semakin membuatnya dekat dengan Presiden Soekarno

seperti dalam Masalah Irian Barat serta Konfrontasi dengan Federasi Malaysia, ketegangan

dengan Amerika Serikat telah dimanfaatkan benar oleh PKI untuk mendapatkan dukungan

umum47. selain itu di desa-desa , anggota PKI melancarkan aksi agitasi dan propaganda

43 I.N.S Soebagiyo. Loc. Cit. hlm. 7844 Ibid. hlm. 7845Ibid. hlm 7846 Tribuana Said. Loc. Cit. hlm. 8947 Taufik. Loc. Cit. hlm 105

16

memerangi tujuh setan desa, akibatnya dibeberapa tempat sering terjadi kerusuhan diantara

rakyat dan ABRI serta orang-orang yang terhasut oleh PKI48.

Taktik PKI ofensif PKI juga mendapat perlawanan dari kalangan Pers Anti PKI.

Perlawanan terhadap PKI tersebut berkisar pada lahirnya Manifesto Kebudayaan, aksi boikot

film-film barat, dan masalah penyederhanaan Partai. Pada waktu itu juga terjadi pula polemic

sengit antara Berita Indonesia dan Merdeka serta Koran-kora anti-PKI lainnya dengan Harian

Rakyat dan penyokongnya bermula dari pandangan Presiden yang menyatakan tidak puas dengan

sistem kepartaiaan yang ada dan menginginkan rektruiasasi. Khwatir dengan hal itu PKI

menyerang pihak-pihak yang enyatakan setuju dengan usulan itu.

Pertentangan dalam jajaran pers Indonesia meluaskan sorotann dan kesadaran masyarakat

terhadap ofensif PKI di berbagai bidang, termasuk pers. Penyusupan PKI dan penyokongnya di

organisas-organisasi pers seperti PWI, SPS, Antara dan lain-lain menimbulkan kecemasan di

kalangan luas. Setelah Pemerintah menutup sejumlah Koran anti-PKI, PKI justru memperbesar

jaringan penerangan dan propagandannya dengan menerbitkan Koran-kora baru49.

Sementara itu membendung taktif ofensif PKI maka pada 1 September 1964 didirikan

Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS) di lingkungan surat kabar, radio dan televisi, angota-

anggota BPS adalah Hismawara Darmawati, Joenoes Lubis, Asnawi idris dll. Koran-koran yang

merupakan simpatisan PKI terdiri dari Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Tempo, Waspada,

Mimbar Umum, dll.

Pemerintah di waktu itu, telah mendapat tekanan dari orang-orang Komunis yang duduk

dalam pemerintahan, sehingga memutuskan untuk dalam bulan Februari 1965, melarang semua

aktifitas dan mencabut izin terbit Koran-koran penyokong BPS, namun demikian golongan-

golongan anti BPS tetap belum puas mereka menuntut diadilinya gembong-gembong BPS karena

merupakan gembong-gembong CIA.

Adapun lawan politik BPS adalah Koran-koran PKI/PNI seperti Harian Rakyat, Bintang

Timur, Suluh Indonesia, dll. Sepanjang tahun 1964, saling menyerang di dalam pers nasional

terjadi antara Merdeka yang mengecam front Nasional dan Suluh Indonesia yang mendukung

48 Ibid. hlm. 10649 Semma. Loc. Cit. hlm. 109

17

Front Nasional50. Selain itu muncul juga fitnahan bahwa anggota BPS adalah agen CIA akibatnya

BPS kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 17 Desember 1964, akibatnya para

wartawan yang masuk ke dalam BPS dipecat dari keanggotan mereka dalam Persatuan Wartawan

Indonesia (PWI), kemudian surat-surat kabar yang bergabung ke dalam BPS dibekukan51.

Wartawan-wartawan Anggota BPS diproses di kejaksaan seperti Sumantoro, Joenoes

Lubis, Sajuti Melik, Asnawi Idris, Zein Effendi. Namun demikian keadaan berubah drastis

setelah terjadi peristiwa G30/S PKI, hal yang terjadi justru mulai sebaliknya. Orang-orang PKI

mulai banyak yang kemudian dibunuh atau dipenjara. Sejak saat itu mulai masuk kepada masa

baru yaitu, masa orde baru.

Mengenai izin terbit, pada tahun 1960 lebih terperinci lagi syarat-syaratnya. Pada

permintaan izin terbit harus menyetujui dan menandatangani kesanggupan 19 pasal. Kesembilan

belas pasal itu mencerminkan kebijaksanaan pemerintah waktu itu. Peraturan Peperti No. 10/1960

ini bersama dengan Penpers No.6/1963 bisa disebut tulang punggung kebijaksanaan pemerintah

di bidang pers sesudah tahun 1959 sampai dengan lahirnya Orde Baru 1965. Khususnya sampai

dengan lahir UU No. 11/1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers52.

Di samping Surat Izin Terbit (SIT), sejak pecahnya Gerakan 30 September 1965 berlaku

pula Surat Izin Cetak (SIC), yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Komanda Operasi

Penulisan Keamanan dan ketertiban Derah (Kopkamtibda)53.

Dengan adanya SIC itu, Laksusda berhak penuh melakukan pemanggilan kepala

wartawan yang dinilai melakukan kesalahan atau yang dianggap perlu dimintai keterangan.

Nomor Izin Cetak harus dicantumkan pada setiap penerbitan pers, seperti halnya Nomor Izin

Terbit yang dikeluarkan oleh Menteri Penerangan54.

Ketentuan mengenai SIT dalam UU Pokok Per situ diatur lebih lanjut dalam Peraturan

Menteri Penerangan No.03/Per/Menpen/1969, tanggal 27 Mei 1969. Di dalam peraturan ini

dikemukakan secara terperinci syarat-syarat untuk mendapatkan SIT beserta acara-caranya.

50 Tribuana Said. Ibid. hlm 7951 Ibid. hlm 8052 Tim LSPP. Loc. Cit. hlm 18353 Ibid. 18954 Ibid. 190

18

Di samping SIT danSIC, sebenarnya masih ada yang disebut Surat Izin Pembagian Kertas

(SIPK). Izin ini dia akan sejak soal kertas Koran merupakan masalah. Persoalan kertas Koran ini

memang rumit, dan diatur secara khusus oleh Departemen Keuangan.

Masalah kertas koran yang masih impor ini bisa dijadikan “senjata” untuk menghambat

perkembangan pers. Meskipun sekarang sejumlah surat kabar bisa melakukan impor kertas

sendiri, tetapi itu tidak berarti mereka terbatas dari ketentuan-ketentuan yang bisa “dipukulkan”

terhadap mereka55.

Dari kebijaksanaan pemerintah terhadap pers, baik di zaman Belanda, Jepang maupun RI,

nyatalah betapa wewenang untuk membredel pers merupakan salah satu ciri yang menonjol. Dan

dasar dari wewenang itu selalu: “untuk menjaga ketertiban umum”56.

Meskipun Pers breidel Ordonnantie dari tahun 1931 sudah dicabut pada tahun 1954 di

zaman pemerintahan RI, tetapi masih adanya lembaga SIT praktis berarti kuatnya wewenang

penguasa untuk melakukan pembredelan atau untuk menentukan boleh-tidaknya seorang warga

negara mengusahakan penerbitan pers57.

Dalam praktik, jika salah satu dari ketentuan itu masih berlaku, efeknya terhadap pers

masih tetap sama saja. Dengan meniadakan Persbredel Ordonnantie pada tahun 1954, penegasan

tiadanya sensor serta pembredelan dalam UU Pokok Pers 1966 (pasal 4) dan tidak perlunya SIT

(pasal 8), pada hakikatnya Pemerintah RI pun mengakui bahwa pembredelan pers dan izin

penertiban surat kabar tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kita bernegara58.

Selain pembredelan pers sekarang masih berlaku, ketentuan UU zaman Belanda yang

sampai kini juga belum dihapus adalah HaatzaaiArtikelen. Itu sebabnya dalam sidang parlemen

23 Juni 1954 yang membicarakan RUU Pencabutan Persbreidel Ordonnantie, banyak anggota

yang menyetujui usulan mandemen Tan PoGoan. Dalam usul ini dikemukakan, agar pencabuan

Pers breide lOrdonnantie dibarengi juga dengan pencabutan pula pasal 11 SOB (Peraturan dalam

Keadaan Perang dan Darurat Perang)59.

55 Taufik. Loc. Cit. hlm. 19056 Ibid. 19057 Tim LSPP. Loc. Cit. hlm 19058 Ibid. hlm. 19159 Ibid. hlm 190

19

Meskipun gagasan pencabutan pasal 207 dan 208 KUHP serta pasal 11 SOB pada

prinsipnya disetujui oleh sidang untuk memisahkan gagasan itu menjadi usul inisiatif tersendiri

yang akan dibicarakan dalam rapat-rapat bagian. Dalam sidang tanggal 23 Juni 1954 itu akhirnya

hanya disetujui RUU tentang Pencabutan PersbredelOrdonnantie60.

2.3 Etika Pers masa Orde Lama

Jika dilihat dari sejarah perkembangan pers masa orde lama dari awal tahun 1945 hingga

tahun 1966, terjadi pergeseran dari pers perjuangan yang awalnya berperan besar dalam

membentuk nasionalisme rakyat Indonesia dan mampu menggerakkan rakyat dalam merebut

kemerdekaan, menjadi pers simpatisan yang hanya menjadi corong partai politik tertentu. Sejak

masa demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin, pers Indonesia semakin terkekang dan

mengalami hubungan yang tidak harmonis dengan pemerintah Indonesia. Pemerintah berusaha

mengontrol dan membatasi pers dengan mengeluarkan SIT (Surat Ijin Terbit) yang wajib dimiliki

setiap usaha penerbitan pers dan setiap pemimpin redaksi yang masih ingin menerbitkan surat

kabarnya diwajibkan menandatangani dokumen kontroversial berisi 19 pasal kewajiban pers

untuk patuh dan mendukung manipol Soekarno61.

Disinilah, etika jurnalistik para pekerja pers dipertanyakan. Apakah mereka lebih memilih

untuk mempertahankan ideologi mereka sendiri dan menolak menandatangani dokumen itu, yang

artinya mereka harus siap untuk diasingkan, surat kabar mereka diberangus dan dibreidel?

Ataukah mereka memilih untuk menandatangani dokumen tersebut demi kelangsungan surat

kabar dan hidup mereka? Sebagian wartawan dan editor, seperti Mochtar Lubis memilih menolak

menyetujui dokumen tersebut hingga akhirnya dipenjara selama 9 tahun dari tahun 1957 hingga

tahun 1966. Namun, kisah lain ditorehkan Rosihan Anwar, pemimpin redaksi harian Pedoman,

salah satu surat kabar terkemuka pada masa itu. Rosihan Anwar terpaksa menandatangani

dokumen yg kontroversial ini agar surat kabarnya bisa tetap hidup. Namun ironisnya, tak berapa

lama kemudian, pada bulan Januari tahun 1961, harian Pedoman dilarang terbit karena dianggap

lebih memihak partai lain selain PKI yang berkuasa pada masa itu. Mochtar Lubis yang saat itu

sedang menjalani masa penahanan dan merupakan orang yang paling menentang keberadaan

dokumen tersebut kemudian memberikan informasi kepada International Press Institute (IPI)

bahwa Rosihan Anwar telah menandatangani dokumen tersebut. Akibatnya, Rosihan Anwar

60 I.G.N Soebagio. Loc. Cit. hlm. 7661 Semma. Loc. Cit. hlm. 105

20

untuk sementara waktu dikeluarkan dari keanggotaaan IPI. Dalam surat penjelasan kepada IPI,

Rosihan berkilah bahwa itulah cara terbaik untuk tetap menjadi wartawan, mendobrak

penghalang dan tetap menjaga agar kepercayaan rakyat terhadap demokrasi tetap hidup62.

Jika ditinjau dari pendekatan etika komunikasi, sanksi yang diberikan IPI kepada Rosihan

Anwar termasuk harian yang dipimpinnya, yaitu harian Pedoman, merupakan hal yang dipelajari

dalam pendekatan makro etika komunikasi. Hal itu karena etika yang dikenakan merupakan etika

komunikasi antar institusi jurnalistik. Kebebasan pers era orde lama dapat dibedah dari empat

bahan pembentuk etika komunikasi63.

Pertama, berdasarkan standar moral,  pada era orde lama, dapat dilihat bahwa standar moral

atau code of conduct yang berlaku spesifik untuk profesi jurnalis belum terbentuk. Pada masa itu,

kode etik jurnalistik maupun undang-undang pers memang belum dirumuskan. Sehingga, para

jurnalis di masa orde lama mengalami pergolakan batin yang cukup hebat. Di satu sisi mereka

ingin karya jurnalistiknya diterbitkan sesuai idealisme mereka masing-masing dan kebebasan

pers yang terjamin. Namun, di sisi lain, dengan adanya SIT yang mengontrol isi materi

jurnalistik, jurnalis tidak lagi leluasa menjalankan kebebasan berpendapat mereka atau

mengungkapkan kebenaran sesungguhnya kepada publik.

Kedua, melalui teori normatif sebagai perangkat yang menganalisis pola hubungan antar

institusi, kita dapat melihat bahwa pola hubungan negara dengan media massa di Indonesia pada

masa orde lama bersifat otoriter, dimana etika komunikasi ditentukan dan tunduk pada

pemerintah. Ketiga, nilai sosial yang terinternalisasi dalam diri jurnalis sebagai bagian dari etika

komunikasi muncul dari nilai-nilai dalam komunitasnya. Nilai-nilai sosial yang muncul pada

masa itu bisa jadi merupakan rasa takut pada pemerintah. Terutama karena adanya ancaman

kehilangan pekerjaan dan dipenjara bagi para jurnalis. Namun, nilai-nilai sosial itu juga bisa

berupa sikap kritis dengan mental kuat dimana para jurnalis berusaha sekuat tenaga untuk

mempertahankan ideologinya walaupun itu bertentangan dengan pemerintah. Terakhir,

berdasarkan nilai filsafat, yang muncul dari kesadaran intelektual dan pendidikan karakter,

jurnalis dapat memilih prinsip hidupnya untuk patuh pada kekangan pemerintah atau menolak

otoritas pemerintah tersebut64.

62 Ibid. hlm. 10663 Ibid. hlm. 10664 Ibid.hlm. 106

21

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pers merupakan suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan

kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan

menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai jenis media dan saluran yang tersedia.

Sejarah pers bangsa Indonesia pada masa orde lama sangatlah panjang dan banyak sekali

peristiwa-peristiwayang terjadi didalamnya. Setelah penyerahan kedaulatan Jepang pada tanggal

15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil alih semua fasilitas percetakan surat kabar dari

tangan Jepang dan berusaha menerbitkan surat kabar sendiri. Surat kabar pertama Indonesia pada

masa itu adalah surat kabar Berita Indonesia yang diterbitkan di Jakarta pada tanggal 6

September 1945. Selanjutnya berturut-turut muncul surat kabar Merdeka pada tanggal 1 Oktober

1945, harian Indonesia Merdeka pada tanggal 4 Oktober 1945, harian Pedoman oleh Rosihan

Anwar pada tanggal 29 November 1948 dan harian Indonesia Raya pada tanggal 29 Desember

1949 di Jakarta.

Setelah berhasil mempertahankan kemerdekaannya, pada tahun 1950 hingga tahun 1959,

Indonesia menetapkan menganut paham demokrasi liberal. Sesuai namanya, pada masa ini, pers

nasional sangat menikmati kebebasan pers yang dimilikinya, terutama bagi wartawan politik.

Pada masa ini pers nasional mengalami perubahan fungsi dari pers perjuangan menjadi pers

partisan yang menjadi corong partai politik.

22

Daftar Pustaka

I.N.H, Seobagio. 1977. Sejarah Pers Indonesia. Jakarta: Dewan Pers

Said, Tribuana. 1998. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers dan Pancasila. Jakarta: CV Haji Masagung

Semma. 2008. Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta:LP3ES

Sudibyo. 2004. Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta

Taufik. 1977. Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: PT TRIYINCO.

Tim LSPP.2005. Media Sadar Publik. Jakarta:Lembaga Studi dan Pembangunan

Internet

Hassan. Pengertian dan Sejarah Pers. http://hasangunawan23-pers.blogspot.co.id/. Diunduh 24-09-2015