i
SKRIPSI
KEDUDUKAN DAN FUNGSI DEWAN PERS DALAM
MELINDUNGI KEMERDEKAAN PERS
OLEH:
RAMLI
B 111 11 371
DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
i
KEDUDUKAN DAN FUNGSI DEWAN PERS DALAM
MELINDUNGI KEMERDEKAAN PERS
OLEH:
RAMLI
B 111 11 371
SKRIPSI
Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam rangka penyelesaian studiSarjana pada Departemen Hukum Tata Negara
Program Studi Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
v
ABSTRAK
Ramli, B111 11 371, Kedudukan dan Fungsi Dewan Pers dalam MelindungiKemerdekaan Pers. (Dibimbing oleh Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, S.H.,M.Hum., selaku Pembimbing I dan Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H., selakuPembimbing II)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan dan fungsi DewanPers dalam melindungi kemerdekaan pers, juga untuk mengetahui upaya-upayayang patut dilakukan demi memperkuat kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalammelindungi kemerdekaan pers.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitianhukum normatif, yaitu menitikberatkan pengkajian masalah hukum padapersoalan norma. Objek kajian berupa bahan hukum primer yang mencakupperaturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder seperti hasil penelitiandan hasil karya kalangan hukum yang berbentuk buku, juga bahan hukum tersierseperti kamus. Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan.Bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, sejalan dengankaidah penelitian normatif. Analisis ini mengkaji persoalan secara deduktif, yaitumenelaah kenyataan hukum menggunakan konsep hukum yang ideal.
Adapun hasil dari penelitian ini, yaitu: (1). Kedudukan Dewan Perssebagai lembaga independen, masih memiliki fungsi yang kurang memadai dalammelaksanakan peranannya untuk melindungi kemerdekaan pers. Dalam UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, Dewan Pers sekadar jadi pengawal kehidupan pers.Fungsinya cuma sebagai mediator sengketa pers, pendata organisasi pers, danpenjaga nilai etika jurnalistik. Dewan Pers tidak dapat bertindak lebih jauh dalammenanggulangi pelanggaran prinsip kemerdekaan pers, khususnya yang dilakukanpihak perusahaan pers; (2). Untuk mendudukkan kembali Dewan Pers padaposisinya sebagai lembaga negara independen yang berfungsi melindungikemerdekaan pers, maka restrukturisasi kelembagaan perlu dilakukan.Keanggotaan Dewan Pers yang selama ini didominasi organisasi pers, perludiimbangi dengan menambah keterwakilan unsur masyarakat dan ahli. Pengusulanatau pemilihan unsur tersebut, juga harus menjadi urusan masyarakat sendiri,misalnya melalui organisasi pemantau media. Format tersebut bertujuan untukmenjamin bahwa prinsip kemerdekaan pers, senantiasa diimbangi dengan prinsipperlindungan kepentingan publik. Selain pembenahan kelembgaaan, Dewan Persjuga perlu diberi kewenangan quasi yudisial, berupa kewenangan menerimalaporan, memeriksa, memutuskan, serta memberikan sanksi atas pelanggaranjurnalistik. Hal itu, kemudian harus didukung dengan pemberian kewenanganmembentuk peraturan secara mandiri sesuai tugas dan tanggung jawabnya, yangmengikat bagi organisasi dan insan pers.
Kata Kunci: Dewan Pers, Lembaga Negara Independen, Kemerdekaan Pers.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb.
Alhamdulillah, segala puji ke hadirat Allah SWT, karena atas segala
rahmat dan hidayah-Nya, Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
berjudul: Kedudukan dan Fungsi Dewan Pers dalam Melindungi
Kemerdekaan Pers. Selawat serta salam, juga Penulis haturkan kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW, sebab atas perjuangannyalah, sedikit ilmu dari sumber
yang hakiki, sampai juga kepada Penulis.
Atas penyelesaian skripsi ini, untuk yang pertama dan utama, Penulis
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada dua sosok tangguh:
Ayahanda Lahaping dan Ibunda Saharia Rubang. Atas doa dan dukungan
merekalah, Penulis mampu memantapkan hati untuk memulai dan mengakhiri
penyusunan skripsi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga kepada kakak-
kakak Penulis yang penuh pengertian: Hatipa, Abdul Latif, Naslan, Anwar,
Darwis. Dari merekalah, kesadaran Penulis terus hidup, bahwa banyak mimpi-
mimpi indah di luar sana yang sebaiknya digapai daripada menunda-nunda
pengetikan skripsi sepanjang waktu.
Selain itu, tentu banyak lagi pihak-pihak yang membantu Penulis atas
penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka pada
kesempatan ini, Penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada:
vii
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., selaku Rektor Universitas
Hasanuddin, beserta jajarannya.
2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, beserta jajarannya.
3. Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., M.Si. dan M. Zulfan Hakim, S.H., M.H.,
selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Hukum Tata Negara, beserta
jajarannya.
4. Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing I dan Dr.
Anshori Ilyas, S.H., M.H., selaku Pembimbing II. Terima kasih atas segala
bentuk bimbingan yang diberikan kepada Penulis, sehingga skripsi ini
menjadi layak untuk dipertanggungjawabkan.
5. Prof. Dr. A. Pangerang Moenta, S.H., M.H., selaku Penguji I, Dr. Zulkifli
Aspan, S.H., M.H., selaku Penguji II, dan Ariani Arifin, S.H., M.H.,
selaku Penguji III. Terima kasih atas segala kritik dan sarannya kepada
Penulis, sehingga skripsi ini dapat diterima sebagai karya ilmiah yang
telah dipertanggungjawabkan.
6. Segenap dosen Fakultas Hukum Unhas yang telah membagikan ilmunya
kepada Penulis.
7. Segenap staf akademik dan pegawai Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin yang banyak melayani Penulis.
8. Seluruh anggota keluarga Penulis di Lembaga Pers Mahasiswa Hukum
Universitas Hasanuddin (LPMH-UH), “rumah kecil” tempat Penulis
mengais ilmu, merangkai pengalaman, dan membentuk mental untuk
viii
waktu yang lama. Terima kasih kepada para senior yang telah banyak
membimbing, kepada kawan-kawan seperjuangan atas semua cerita
kebersamaan yang indah, juga kepada adik-adik yang tetap bertahan
menyalakan lilin kecil di rumah kita. Jangan berhenti menulis!
9. Teman-teman seposko Penulis saat menjalani KKN (Kuliah Kerja Nyata)
Unhas Gelombang 87 di Desa Curio, Kecamatan Curio, Kabupaten
Enrekang. Terima kasih untuk hari-hari yang penuh rasa persaudaraaan.
Akhir kata, Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Akan banyak ditemui kekurangan di sana-sini disebabkan oleh keterbatasan
Penulis sebagai manusia biasa. Tapi semoga kekurangan itu tidak menjadi
penghalang atas niat baik Penulis untuk berbagi pengetahuan kepada siapapun
yang berkenan membaca.
Semoga penelitian ini bermanfaat, khususnya bagi Penulis sendiri.
Wassalamualaikum wr. wb.
Makassar, Oktober 2017
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ........................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI....................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan........................................................... 8
1. Tujuan Penulisan ............................................................................. 8
2. Kegunaan Penulisan ........................................................................ 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Lembaga Negara ................................................................................... 9
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Lembaga Negara........................... 9
2. Konsep dan Kedudukan Lembaga Negara Independen .................. 12
3. Fungsi dan Kewenangan Lembaga Negara Independen ................. 15
4. Peraturan Lembaga Negara Independen ......................................... 18
B. Pers........................................................................................................ 20
1. Pengertian dan Fungsi Pers ............................................................. 20
2. Sejarah Hukum Pers ........................................................................ 22
3. Teori dan Sistem Pers...................................................................... 25
4. Struktur Kelembagaan Pers ............................................................. 28
5. Kemerdekaan Pers........................................................................... 30
C. Dewan Pers ........................................................................................... 33
1. Sejarah Dewan Pers......................................................................... 33
2. Kedudukan Dewan Pers .................................................................. 35
x
3. Fungsi dan Kewenangan Dewan Pers ............................................. 36
D. Perusahaan Pers ................................................................................... 39
1. Pendirian Perusahaan Pers ............................................................. 39
2. Kewajiban dan Tanggung Jawab Perusahaan Pers ........................ 41
3. Organisasi Perusahaan Pers............................................................ 42
E. Wartawan ............................................................................................. 44
1. Pengertian Wartawan ..................................................................... 44
2. Independensi Wartawan ................................................................. 46
3. Perlindungan Hukum terhadap Wartawan ..................................... 47
4. Organisasi Wartawan ..................................................................... 49
5. Kode Etik Wartawan ...................................................................... 50
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian ..................................................................................... 52
B. Sumber Bahan Hukum......................................................................... 53
C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................................... 53
D. Analisis Bahan Hukum ........................................................................ 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan dan Fungsi Dewan Pers dalam Melindungi
Kemerdekaan Pers ............................................................................... 55
1. Konstruksi Kelembagaan Dewan Pers ........................................... 55
a. Dewan Pers dalam UU No. 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers............................................... 55
b. Dewan Pers dalam UU No. 21 Tahun 1982 tentang
Perubahan atas UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan
Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 4 Tahun 1967 ....................................................................... 58
c. Dewan Pers dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers........... 62
d. Perbandingan Kelembagaan Dewan Pers dalam Peraturan
Perundang-undangan Sebelum Reformasi dan Sesudah
Reformasi ................................................................................... 65
xi
2. Dewan Pers dan Kemerdekaan Pers............................................... 67
a. Kondisi Kemerdekaan Pers ........................................................ 67
i. Kehidupan Pers Sebelum Reformasi .................................... 67
ii. Kehidupan Pers Setelah Reformasi ...................................... 73
b. Kapabelitas Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan
Pers ............................................................................................. 81
c. Kelemahan Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan
Pers ............................................................................................. 85
B. Penguatan Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan Pers .......... 89
1. Kedudukan Dewan Pers dalam Struktur Ketatanegaraan .............. 89
a. Status Dewan Pers sebagai Lembaga Negara Independen ........ 89
b. Perbandingan Kelembagaan Dewan Pers dengan Beberapa
Lembaga Negara yang Dibentuk berdasarkan Undang-
undang ........................................................................................ 95
c. Persinggungan Fungsi dan Kewenangan Dewan Pers dengan
Lembaga Negara di Bidang Komunikasi dan Informasi ........... 101
2. Revitalisasi Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan Pers 106
a. Usul-usul Penguatan Dewan Pers............................................. 106
b. Reformulasi Kelembagaan Dewan Pers dalam Melindungi
Kemerdekaan Pers .................................................................... 111
c. Penguatan Fungsi dan Kewenangan Dewan Pers dalam
Melindungi Kemerdekaan Pers ................................................ 114
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 118
B. Saran ................................................................................................... 120
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 122
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hak atas informasi, sedari awal, telah diakui dalam tata hukum nasional
Indonesia. Dalam UUD Tahun 1945 sebelum amandemen, Pasal 28 UUD Tahun
1945 dengan tegas menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
Undang-Undang”. Amanah konstitusi inilah yang kemudian menjadi dasar dalam
perumusan peraturan perundang-undangan terkait pers.
Adanya jaminan konstitusional hak atas informasi dalam UUD Tahun
1945, termasuk di dalamnya hak atas kemerdekaan dan kebebasan pers, ternyata
tidak diimplementasikan dengan baik oleh pemerintah Indonesia dalam sejarah
yang panjang. Pada zaman Orde Lama, hingga zaman Orde baru, kehidupan pers
masih dikekang. Lahirnya UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers yang disahkan Presiden Soekarno pada tanggal 12 Desember 1966,
belum memberikan kemerdekaan kepada pers. Bahkan pers dijaikan sarana
propaganda pemerintah. Di masa Presiden Soeharto, lahirnya UU No. 21 Tahun
1982 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967,
juga masih mendudukkan pers di bawah kekuasaan pemerintah. Undang-undang
itu bahkan memuat ketentuan soal perizinan pers dalam bentuk Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP) yang ampuh menjadi instrumen pembredelan media pers.
2
Rezim pemerintahan Orde Baru yang dinilai otoriter dan mengekang
demokrasi, akhirnya runtuh pada tanggal 28 Mei 1998. Momentum itu menandai
dimulainya era Reformasi. Di era ini, kemerdekaan dan kebebasan pers, tidak lagi
dikekang atas dasar kekuasaan yang dilegitimasi oleh aturan hukum sesuai tafsir
dan selera penguasa. Disahkannya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers oleh
Presiden B.J. Habibie pada tanggal 23 September 1999, yang menggantikan UU
No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers beserta
perubahannya, menjadi tonggak bersejarah bagi kehidupan pers yang lebih baik.
Kehadiran UU No. 40 Tahun 1999, pada dasarnya ditujukan untuk
mewujudkan kemerdekaan pers, terutama memberikan jaminan perlindungan bagi
pers dari intervensi apapun dalam melaksanakan perannya.1 Salah satu upaya
untuk mencapai hal tersebut adalah penguatan terhadap kelembagaan Dewan Pers.
Jika peraturan perundang-undangan sebelumnya menempatkan Dewan Pers di
bawah kendali pemerintah, maka dalam UU No. 40 Tahun 1999, Dewan Pers
didudukkan sebagai lembaga independen. Dewan Pers, tidak lagi didikte oleh
pemerintah dengan cara mendudukan Menteri Penerangan sebagai ketuanya.
Pemerintah pun tak bisa lagi mencampuri soal keanggotaan Dewan pers.
Dewan Pers yang bebas dari campur tangan pemerintah, memiliki peranan
yang strategis dalam mengatur pola hubungan negara dan pers. Pers diharapkan
tidak lagi menjadi alat propaganda yang digunakan untuk mengelola tatanan
sosial-politik agar selalu seperti yang diharapkan penguasa.2 Hal itulah yang
1 Lihat Konsideran Menimbang huruf c UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers2 Zainal Arifin Mochtar, 2016, Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembangan
dan Urgensi Penataannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, Cetakan I, Rajawali Pers,Jakarta, hlm. 111.
3
menjadi tujuan utama penguatan Dewan Pers, yaitu terwujudnya pers yang
merdeka dan bebas dalam melaksanakan fungsinya sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Desain itu tergambar dalam Pasal 15 ayat
(1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa keberadaan
Dewan Pers yang independen adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers
dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Secara lebih jelas, Pasal 15 ayat (2)
huruf a undang-undang tersebut menyatakan bahwa Dewan Pers berfungsi untuk
“melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain”.
Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan
pembentuk opini, harus dapat melaksanakan fungsi dan peranannya dengan
sebaik-baiknya, berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional. Untuk itulah,
pers harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur
tangan dan paksaan dari manapun.3 Pasal 4 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999
tentang Pers menyatakan bahwa "Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi
warga negara", yang pada bagian penjelasan pasalnya dimaknai sebagai “…pers
bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak
masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.
Amanat undang-undang yang mendudukkan Dewan Pers sebagai
pelindung kemerdekaan pers, diejawantahkan Dewan Pers dalam berberapa aturan
yang bertujuan untuk melindungi insan pers dalam menjalankan tugas profesinya.
Salah satunya melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006
tentang Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang telah disahkan sebagai peraturan Dewan
3 Lihat bagain Konsideran Menimbang huruf c UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
4
Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008. Pasal 1 KEJ
tersebut menegaskan bahwa wartawan Indonesia harus bersikap independen.
Tafsir otentik “independen” dalam KEJ tersebut adalah memberitakan peristiwa
atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan
intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Perlindungan terhadap independensi wartawan, jelas menjadi titik fokus
yang penting dalam upaya mewujudkan kemerdekaan pers. Wartawan sebagai
orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik, memiliki kedudukan
yang vital, sebab merekalah yang bersentuhan langsung dengan peramuan berita.
Namun seiring waktu, Dewan Pers ternyata belum mampu mewujudkan hal
tersebut. Masih terdapat sejumlah intervensi pihak luar yang bertujuan
mengganggu independensi dan objektivitas insan pers dalam pemberitaan. Jika
dahulu, intervensi yang terjadi secara struktural dilakukan oleh pemerintah, maka
perkembangan kekinian menunjukkan arus intervensi lebih besar berasal dari
pemilik modal atau pemilik perusahaaan pers. Pihak-pihak yang notabene berada
di luar struktur ruang redaksi itu, sengaja memberikan tekanan kepada para
wartawan demi kepentingan ekonomi dan politik praktis.
Intervensi pihak perusahaan pers yang melanggar prinsip kemerdekaan
pers, dapat dilihat pada pesta demokrasi. Pada pemilu presiden/wakil presiden
tahun 2014 misalnya, masyarakat membaca jelas kalau muatan berita TV One
lebih condong pada kepentingan politik pasangan Prabowo-Hatta, sedangkan
5
Metro TV lebih condong ke pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.4 Kondisi yang tak
lepas dari campur tangan pemilik media itu, akhirnya disikapi Dewan Pers dengan
mengeluarkan Surat Edaran Dewan Pers Nomor: 02/SE-DP/II/2014 tentang
Independensi Wartawan dan Pemuatan Iklan Politik di Media Massa. Poin 2 Surat
Edaran itu meminta kepada wartawan dan perusahaan pers untuk bersikap adil dan
independen dalam memberitakan peserta Pemilu 2014. Wujudnya adalah
memberikan kesempatan yang sama dalam pemberitaan atau pemuatan iklan
kepada kedua calon presiden/wakil presiden.5
Rongrongan atas independensi wartawan, turut dikomentari Ketua Umum
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Margiono pada perayaan Hari Pers
Nasional (HPN) di Manado, 8-12 Februari 2013. Ia secara gamblang
mengungkapkan kesangsiannya atas independesi wartawan pada media yang
bersentuhan dengan ranah politik, apalagi media yang dikuasai oleh politisi,
seperti media MNC Group milik Hary Tanoesudibyo, Viva News (ANTV, TV
One) milik Aburizal Bakrie, dan Metro TV milik Surya Paloh. 6
Rentannya ruang redaksi dari intervensi pemilik media, juga dapat dilihat
dari hasil penelitian Anett Keller yang meneliti otonomi redaksi di empat media
cetak nasional, yaitu Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Republika.
4 Komisi Penyiaran Indonesia, 10 Juni 2014, Pemberitaan Tidak Netral, KPI Pusat TegurMetro TV dan TV One, https://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32106-pemberitaan-tidak-netral-kpi-pusat-tegur-metro-tv-dan-tv-one, diakses pada tanggal 19 Februari2017, pukul 14.22 Wita
5 Dewan Pers, 28 Februari 2014, Surat Edaran Dewan Pers tentang IndependensiWartawan dan Pemuatan Iklan Politik di Media Massa,http://www.dewanpers.or.id/pernyataan/detail/151/surat-edaran-dewan-pers-tentang-independensi-wartawan-dan-pemuatan-iklan-politik-di-media-massa, diakses pada tanggal 20 Februari 2017,pukul 15.15 Wita.
6 Dewan Pers, 7 Mei 2013. Muhammad Ridlo Eisy (opini). Jurnalisme Partisan,http://dewanpers.or.id/opini/detail/74/jurnalisme-partisan, diakses pada tanggal 16 Maret 2017,pukul 15.45 Wita.
6
Pada tiga dari empat harian yang diteliti (Kompas, Media Indonesia, Republika),
pemilik saham mayoritas, juga merangkap sebagai direktur perusahaan, sehingga
mempunyai hak untuk menetapkan garis haluan surat kabarnya. Tidak ada apapun
yang menghalanginya untuk melakukan tekanan kepada pihak redaksi. Pihak
tersebut juga dapat menentukan atau memaksakan pemilihan dan pengerjaan tema
tertentu kepada pihak redaksi sesuai kepentingannya, sehingga mekanisme yang
memberi prioritas kepada kepentingan umum, tidak berlaku lagi.7
Uraian di atas menunjukkan bahwa persoalan ekonomi-politik media
menjadi isu yang serius. Konglomerasi media dilakukan segelintir orang, bahkan
menggurita hingga ke media lokal. Demokrasi pun terancam. Sejumlah kasus jelas
membuktikan bahwa kepentingan dan ideologi pemilik media, sedikit banyak
berpengaruh pada cara media mengupas fenomena dan realitas sosial-politik.8
Wartawan sebagai pekerja pers, diintervensi oleh pemilik perusahaan pers agar
substansi berita mengarah pada sudut pandang tertentu. Aktivitas jurnalistik
disetir untuk melancarkan propaganda, demi kepentingan ekonomi dan politiknya.
Intervensi terhadap independensi wartawan yang kian meresahakan,
akhirnya memunculkan pertanyaan terkait fungsi Dewan Pers. Itu sulit dihindari
sebab Dewan Pers menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan bisa menjaga
independensi wartawan sebagai esensi kemerdekaan pers. Tak pelak, muncul
banyak tuntutan agar keberadaan Dewan Pers kembali ditinjau. Yang diharapkan,
tentu hadirnya Dewan Pers yang tangguh sebagai pelindung kemerdekaan pers.
7 Anett Keller, 2009, Tantangan Dari Dalam: Otonomi Redaksi di 4 Media CetakNasional: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Cetakan I, Friedrich EbertStiftung (FES) Indonesia Office, Jakarta, hlm. 104.
8 Henry Subiakto dan Rachmah Ida, 2015, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi.Cetakan III, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 179.
7
Perlunya pembenahan terhadap kedudukan, fungsi, dan kewenangan
Dewan Pers, juga menjadi perhatian Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Secara
umum, status dan kedudukan dewan pers dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers, dinilai tidaklah begitu jelas, apakah sebagai sebuah komisi khusus, atau semi
komisi yang bersifat regulatory body, atau lembaga internal masyarakat pers, atau
sebuah paguyuban yang terakreditasi oleh negara.9 Selain itu, kewenangan Dewan
Pers dalam UU, juga sangat minimalis. Fungsi dan kewenangan Dewan Pers lebih
ditekankan sebagai humas dan lembaga fasilitasi pers, termasuk penjaga etika,
ketimbang menjadi pembela dan pengawas kemerdekaan pers, yang memiliki
kewenangan penegakan hukum pers atau semi yudisial.10
Atas dasar permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, Penulis merasa
terdorong untuk melakukan penelitian berjudul: Kedudukan dan Fungsi Dewan
Pers dalam Melindungi Kemerdekaan Pers.
B. Rumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik dua
rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalam melindungi
kemerdekaan pers?
2. Bagaimana memperkuat kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalam
melindungi kemerdekaan pers?
9 Jajang Jamaludin (Ed.), 2009, Menguji Ide Revisi UU Pers; Hasil Kajian & Usulan AJISoal Undang Undang Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Jakarta Pusat, hlm. 29
10 Ibid., hlm. 31.
8
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalam menjaga
melindungi kemerdekaan pers;
b. Untuk mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan untuk
memperkuat kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalam melindungi
kemerdekaan pers.
2. Kegunaan Penulisan
Tulisan ini merupakan wujud pemikiran terkait persoalan Hukum Tata
Negara, khususnya tentang kelembagaan negara dan hak asasi warga negara. Pers
sebagai pilar demokrasi dan mengandung segi kepentingan publik, diharapkan
mampu berperan baik. Kuncinya tentu dengan mewujudkan kemerdekaan pers,
terutama menjaga independensi wartawan dari intervensi pihak manapun.
Kehadiran Dewan Pers independen sebagai lembaga pelindung
kemerdekaan pers, jelas memiliki kedudukan yang strategis. Keberadaan Dewan
Pers dan pentingnya kemerdekaan pers, menjadi elemen kajian dalam penulisan
ini. Tujuannya akhirnya adalah mencari formulasi yang jitu, agar Dewan Pers
mampu menegakkan kemerdekaan pers.
Akhirnya, tulisan ini diharapkan memberikan kegunaan bagi para insan
hukum, khususnya Hukum Tata Negara. Bagi pengambil kebijakan, tulisan ini
ditujukan sebagai referensi dalam upaya penataan kehidupan pers ke depan.
Tulisan ini juga diharapkan menjadi referensi atau bagian dari penelitian serupa
selanjutnya, guna membenahi kehidupan pers di negara ini.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lembaga Negara
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Lembaga Negara
Pada dasarnya, “lembaga negara” tidak memiliki peristilahan tunggal.
Apalagi, istilah itu adalah konstruksi para pemikir hukum dan politik, sehingga
biasanya tidak didefinisikan dalam konstitusi negara. Dalam kepustakaan Inggris,
“lembaga negara” diistilahkan political institution, sedangkan dalam terminologi
bahasa Belanda disebut staat organen. Sementara itu, dalam bahasa Indonesia
dikenal istilah lembaga negara, badan negara, dan organ negara.11
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sebelum amandemen UUD
Tahun 1945, istilah “lembaga negara” pertama kali digunakan secara resmi dalam
Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara.12
Sementara setelah perubahan UUD Tahun 1945, sama sekali tidak terdapat
ketentuan hukum perihal definisi “lembaga negara”, sehingga para pemikir hukum
membuat definisi dan melakukan klasifikasi terhadap konsep lembaga negara.13
Pada perkembangan selanjutnya, kajian kelembagaan negara senantiasa
dikaitkan dengan konsep trias politica. Doktrin Montesquie ini membagi
kekuasaan negara dalam tiga macam cabang, yaitu kekuasaan legislatif yang
berfungsi membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif yang berfungsi
11 Firmansyah Arifin, dkk., 2005, Lembaga Negara dan Sengketa KewenanganAntarlembaga Negara, cetakan I, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Jakarta, hlm. 29.
12 Zainal Arifin Mochtar, Op.cit., hlm. 28-29.13 Ibid.
10
melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudikatif sebagai kekuasaan yang
mengadili pelanggar atas undang-undang.14 Lembaga negara yang mengemban
fungsi eksekutif bisa jadi presiden, perdana menteri, atau raja. Di sisi lain,
kekuasaan legislatif diemban oleh parlemen, sedangkan kekuasaan yudikatif
berada di ranah lembaga kehakiman, semisal supreme court.15
Selain itu, lembaga negara juga dapat dikaji dari unsur organ dan fungsi.
Organ adalah status dan bentuknya, sedangkan fungsi adalah isi sesuai maksud
pembentukannya. Dalam UUD Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada
yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan secara
eksplisit hanya fungsinya. Di sisi lain, ada pula lembaga atau organ yang nama,
fungsi, dan kewenangannya, akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.16
UUD Tahun 1945 pascaamandemen menyebutkan lembaga negara, baik
dengan nama atau nomenklatur yang eksplisit maupun implisit. Lembaga dengan
nomenklatur eksplisit adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Presiden, Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri,
Menteri Pertahanan, Gubernur, Walikota, Bupati, Tentara Nasional Indonesia
(TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia; Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Badan Pemeriksa Keuangan.17 Di samping itu,
ada juga lembaga atau institusi yang diatur kewenangannya dalam UUD, di
14 Firmansyah Arifin, dkk., Op.cit., hlm. 14-15.15 Ibid., hlm. 31.16 Evy Trisulo, 2012, Konfigurasi State Auxiliary Bodies dalam Sistem Pemerintahan
Indonesia, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 48.17 Ernawati Munir, 2005, Laporan Akhir Pengkajian Hukum tentang Hubungan Lembaga
Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia-BadanPembinaan Hukum Nasional, Jakarta, hlm. 16-17.
11
antaranya TNI, Kepolisian, pemerintah daerah, dan partai Politik. Selain itu, ada
pula lembaga yang tidak disebut namanya dalam UUD, tetapi disebut fungsinya,
namun kewenangannya dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu
Bank Indonesia sebagai bank sentral yang tidak disebut namanya dengan “Bank
Indonesia”, dan Komisi Pemilihan Umum yang namanya tidak definitif dalam
UUD sebab ditulis dengan huruf kecil.18
Di luar daripada lembaga negara yang kelahirannya didasarkan pada UUD
Tahun 1945, teori ketatanegaraan memperluas ruang lingkup lembaga negara.
Salah satu teori menyatakan bahwa selain lembaga negara utama (state main
organ) yang berdasar pada konstitusi, terdapat juga lembaga negara bantu (state
auxiliary organ) yang berdasar pada undang-undang atau keputusan presiden. Jika
lembaga negara utama menjadi unsur bangunan dasar kelembagaan negara,
lembaga negara bantu hanyalah penunjang dari fungsi kenegaraan tertentu.
Di negara demokrasi mapan, seperti Amarika Serikat dan Prancis, juga
banyak bertumbuhan lembaga negara baru. Lembaga itu biasanya disebut state
auxiliary organs, atau auxiliary institutions, yaitu lembaga yang bersifat
menunjang. Di antara lembaga itu, ada juga yang diidentifikasi sebagai self
regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau lembaga dengan fungsi
campuran antara fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman.19
Lembaga negara yang tidak berdasar pada konstitusi, tidak dapat
diperlakukan sebagai organisasi swasta atau lembaga non-pemerintah. Namun,
18 Ni’matul Huda, 2014, Hukum Tata Negara Indonesia (Edisi Revisi), Cetakan IX,Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 159.
19 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata negara Jilid II, SekretariatJenderal dan Kepeniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 79.
12
keberadaannya juga tidak berada dalam ranah kekuasaan legislatif, eksekutif,
ataupun kehakiman. Ada yang bersifat independen, namun ada pula yang semi
atau quasi independen, sehingga biasa juga disebut independent agencies, quasi
independent agencies, corporations, committees, atau commissions.20
2. Konsep dan Kedudukan Lembaga Negara Independen
Kompleksitas problem ketatanegaraan yang dihadapi negara, melahirkan
banyak konsep baru dalam praktik ketatanegaraan, sehingga berimplikasi pada
makin bervariasinya cabang kelembagaan negara. Perkembangan ini salah satunya
diwarnai dengan munculnya lembaga negara independen.21 Dalam konteks
Indonesia, penyebab lahirnya lembaga independen tersebut adalah:22
1. Tiadanya kredibiltas lembaga-lembaga negara yang telah ada akibat tindak
korupsi yang sistemik dan mengakar serta sulit untuk diberantas;
2. Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang ada, sehingga tunduk
di bawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lain;
3. Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang ada untuk melakukan
tugas pada di masa transisi demokrasi karena masalah birokrasi dan KKN;
4. Respons perkembangan global, yaitu sebagai alternatif bagi lembaga yang
ada, yang mungkin menjadi bagian dari sistem yang harus direformasi;
5. Tekanan lembaga internasional sebagai prasyarat memasuki pasar global,
juga untuk membuat demokrasi sebagai satu-satunya jalan dan tujuan bagi
negara yang asalnya berada di bawah kekuasaan otoriter.
20 Ibid., hlm. 79-80.21 Zainal Arifin Mochtar, Op.cit., hlm 1.22 Firmansyah Arifin, dkk., Op.cit., hlm. 59-60.
13
Kelahiran lembaga-lembaga independen, juga sering dianggap
perkembangan atau penyimpangan konsep trias politica, sebagai jawaban atas
makin bertambahnya kebutuhan negara untuk melayani kepentingan warganya.23
Lembaga independen tersebut, terpisah atau berbeda dari cabang kekuasaan lain.
Independensinya kemudian dapat dikelompokkan menjadi: independen atas
lembaga negara lain dan menjalankan fungsi tertentu secara permanen (state
independent agencies); hanya bersifat menunjang (state auxiliary agencies),
disematkan kewenangan untuk membentuk aturan sendiri (self regulatory
agencies); dimaksudkan untuk melaksanakan fungsi pengawasan tertentu
(independent supervisory agencies); maupun lembaga yang memiliki fungsi
campuran antara regulatif, administratif, pengawasan, dan penegakan hukum.24
Pendekatan dalam menilai status independen sebuah lembaga negara, juga
dapat dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar pembentukannya, meski bisa jadi ada lembaga negara independen yang
pembentukannya menggunakan beleid pemerintah, yakni peraturan pemerintah
atau peraturan presiden.25 Lembaga negara yang dasar hukumnya bebas dari
penguasaan salah satu cabang kekuasaan, seperti undang-undang, dapat dipastikan
sebagai lembaga independen. Sebaliknya, lembaga yang didasarkan pada beleid
pemerintah, dapat digolongkan sebagai lembaga negara eksekutif. Selain itu,
kadar independensi lembaga negara, juga dapat ditelaah secara komprehensif, baik
dari dasar hukum pembentukannya, maupun ciri-ciri keindependenannya.26
23 Ibid., hlm 1-2.24 Zainal Arifin Mochtar, Op.cit., hlm 2.25 Ibid., hlm. 62.26 Ibid., hlm 62.
14
Secara umum, ciri teoritik yang melekat pada lembaga negara independen,
dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu sebagai berikut:27
1. Tdak menjadi bagian dari cabang kekuasaan yang ada, meskipun
mengerjakan tugas yang dulunya dipegang oleh pemerintah;
2. Proses pemilihan anggotanya melalui seleksi, atau tidak melalui monopoli
satu cabang kekuasaan tertentu dalam kerangka check and balances. Bisa
juga diserahkan sepenuhnya kepada segmentasi tertentu di publik untuk
memilih perwakilannya, tanpa melibatkan kekuatan politik;
3. Proses pemilihan dan pemberhentian anggotanya, hanya bisa dilakukan
berdasarkan mekanisme yang ditentukan oleh aturan yang mendasarinya;
4. Pelaporan kinerjanya didekatkan kepada rakyat selaku pemegang
kedaulatan negara, baik secara langsung maupun melalui parlemen;
5. Kepemimpinan yang bersifat kolegial dan kolektif dalam pengambilan
keputusan kelembagaan;
6. Bukan merupakan lembaga negara utama yang tanpa keberadaannya,
negara mustahil berjalan, tetapi keberadaannya tetap penting karena
tuntutan masa transisi maupun karena kebutuhan ketatanegaraan;
7. Memiliki kewenangan yang bersifat self regulated, dalam artian bisa
mengeluarkan aturan sendiri yang berlaku secara umum;
8. Memiliki legitimasi hukum, meski kemudian dibentuk dengan undang-
undang saja untuk lembaga yang ada dalam konstitusi, dan dengan
peraturan pemerintah saja untuk lembaga yang ada dalam undang-undang.
27 Ibid., hlm 64.
15
3. Fungsi dan Kewenangan Lembaga Negara Independen
Kata “fungsi” dapat dimaknai serupa dengan kata “kegunaan” ataupun
“faedah”. “Fungsi” secara kebahasaan berarti, “kegunaan suatu hal, daya guna;
jabatan (pekerjaan) yang dilakukan.”28 Oleh karena itu, “fungsi” merupakan
potensi peran yang dapat diaktualisasikan dalam mencapai tujuan tertentu.
Menurut Dr. Hardjono, “fungsi” mempunyai makna yang lebih luas dari “tugas”.
Kata “tugas” lebih tepat untuk menyebut aktivitas-aktivitas yang diperlukan agar
fungsi dapat terlaksana. Oleh karena itu, gabungan dari tugas-tugas adalah
operasionalisasi dari sebuah fungsi.29
Sebagai penyimpangan dari teori pemisahan kekuasaan secara murni,
lembaga negara independen akhirnya memiliki fungsi kelembagaan yang unik.
Oleh sebab itu, lembaga independen sering diistilahkan sesuai dengan fungsi yang
dijalankannya. Selain disebut auxiliary state organ, lembaga-lembaga itu juga ada
yang disebut self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau
lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function).30
Fungsi campuran lembaga independen, kemudian memunculkan sejumlah
varian. Ada lembaga independen yang memiliki fungsi legislatif atau regulatif,
ada juga yang lebih dekat ke fungsi administratif-eksekutif, bahkan ada yang lebih
condong fungsi yudikatif. Sebagai contoh, Komnas HAM yang fungsinya lebih
dekat dengan perjuangan aspirasi seperti DPR, tetapi sekaligus dekat dengan
fungsi peradilan. Ada juga KPK yang lebih dekat ke fungsi kekuasaan kehakiman.
28 Aditya Bagus Pratama, 2015, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Cetakan V, PustakaMedia, Surabaya, hlm. 136.
29 Firmansyah Arifin, dkk., Op.cit., hlm. 19.30 Evy Trisulo, Op.cit., hlm. 26-27.
16
Demikian pula KPI, KPU, PPATK, dan KPPU yang mempunyai fungsi campuran
antara legislatif, eksekutif, dan/atau sekaligus yudikatif..31
Pelaksanaan fungsi oleh lembaga negara, selanjutnya membutuhkan
serangkaian kekuasaan. Dalam terminologi hukum, kekuasaan tersebut berupa
kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “kewenangan” yang berasal dari kata dasar
“wenang”, diartikan sebagai (1) hal berwenang; (2) hak dan kekuasaan yang
dipunyai untuk melakukan sesuatu.32 Di sisi lain, istilah “wewenang” yang juga
sering kali ditemukan dalam kajian ilmu hukum dan pemerintahan, diartikan
dalam KBBI sebagai: (1) hak dan kekuasaan untuk bertindak; (2) kekuasaan
membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada
orang lain; (3) Fungsi yang boleh tidak dilaksanakan.33
Dari definisi di atas, pengertian kewenangan dan wewenang, sepintas
memiliki makna yang sama. Keduanya terkait dengan hak dan kekuasaan lembaga
negara. Namun dalam terminologi ilmu hukum dan pemerintahan, kedua istilah
tersebut memiliki arti yang berbeda. Hal ini dapat dirujuk pada UU No. 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 5 UU tersebut
mengartikan wewenang sebagai “Hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan
dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan.” Sedangkan pada Pasal 1
31 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara PascaReformasi, Cetakan II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta,hlm. 23-24.
32 Kamus Bahasa Indonesia Online, http:/kamusbahasaindonesia.org/kewenangan, diaksespada tanggal 5 April 2017, pukul 21.03 Wita.
33 Ibid., http:/kamusbahasaindonesia.org/wewenang, diakses pada tanggal 5 April 2017,pukul 21.10 Wita.
17
angka 6, kewenangan diartikan sebagai “Kekuasaan Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah
hukum publik.” Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wewenang hanya
mencakup hak untuk bertindak dalam ranah internal kelembagaan, sedangkan
kewenangan juga berkaitan dengan kekuasaan untuk mengambil tindakan yang
memiliki implikasi eksternal kelembagaan.
Sejalan dengan kedudukan lembaga negara yang memiliki fungsi publik
tertentu, maka fungsi lembaga negara dalam aturan pembentukannya, senantiasa
dibarengi dengan instrumen kewenangan. Kewenangan itu, dapat berasal dari tiga
cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Definisinya, dapat dirujuk pada Pasal 1
angka 22, 23, dan 24, UU No. 30 Tahun 2014, sebagai berikut:
22. Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atauPejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.
23. Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau PejabatPemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau PejabatPemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggunggugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.
24. Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau PejabatPemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau PejabatPemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggunggugat tetap berada pada pemberi mandat.
Berangkat dari penjelasan di atas, maka tampak bahwa kewenangan yang
diperoleh secara atribusi, bersifat asli, sebab berasal dari peraturan perundang-
undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara
langsung dari redaksi pasal dalam peraturan perundang-undangan, sehingga pihak
pemegang kewenangan ini pun dapat menciptakan kewenangan baru untuk
18
dialihkan kepada organ pemerintahan tertentu.34 Di sisi lain, kewenangan delegatif
adalah kewenangan yang diberikan oleh pemegang kewenangan atributif kepada
lembaga tertentu dibawahnya untuk mengatur lebih lanjut peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh pemegang kewenangan atributif.35 Dengan demikian,
cara perolehan kewenangan, dapat menjadi tolok ukur untuk menilai seberapa
kuat kedudukan dan kewenangan sebuah lembaga negara.
4. Peraturan Lembaga Negara Independen
Pada setiap lembaga negara independen pada hakikatnya melekat
kewenangan untuk mengeluarkan aturan, khususnya bagi lembaga yang
dikategorikan self regulated bodies. Sifat kelembagaan ini berarti lembaga
memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peraturan dengan bungkus baju
peraturan kelembagaan yang mengikat ke luar.36 Kewenangan tersebut pada
umumnya ditegaskan dalam undang-undang atau berdasarkan pendelegasian
kewenangan mengatur yang diberikan oleh pembentuk undang-undang (legislative
delegation of rule-making).37
Sejauh menyangkut kewenangan regulatif, lembaga negara independen
dapat saja menetapkan peraturan internal yang bersifat khusus dalam rangka
menjalankan undang-undang. Peraturan tersebut bersifat khusus terhadap
peraturan perundang-undang lain, sehingga tunduk pada prinsip lex specialis
34 Ibid., hlm. 105-106.35 Noor M. Aziz, dkk., 2010, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Eksistensi
Peraturan Perundang-Undangan di Luar Hierarki Berdasarkan UU No.10 Tahun 2004 tentangPembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Penelitian dan Pengembangan SistemHukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, hlm.12.
36 Zainal Arifin Mochtar, Op.cit., hlm. 147-148.37 Noor M. Aziz, dkk Ibid., hlm. 85-86.
19
derogat lex generalis. Dengan demikian, lembaga independen dapat menjalankan
tugasnya tanpa harus terbatas kepada pengaturan regulatif pemerintah.38
Kedudukan peraturan lembaga negara independen, memang tidak
termasuk dalam jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang hanya mencakup UUD NRI Tahun 1945, Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Namun demikian, peraturan perundang-undangan, tidaklah
terbatas pada tujuh jenis saja. UU No. 12 Tahun 2011, juga mengakui peraturan
badan atau lembaga negara lain sebagai peraturan perundang-undangan. Pasal
Pasal 8 ayat (1) UU tersebut menyatakan:
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalamPasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MajelisPermusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan PerwakilanDaerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan PemeriksaKeuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atauPemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan RakyatDaerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat DaerahKabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Selanjutnya, pada Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan:
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikatsepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebihtinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
38 Jimly Asshiddiqie, 2003, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah PerubahanKeempat UUD Tahun 1945, Makalah, disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum nasionalVIII dengan tema Penegakan Hukum Era Pembangunan Berkelanjutan, yang diselengarakan olehBadan Pembinaan Hukum Nasional, Departeman kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, hlm. 54.
20
Merujuk pada ketentuan di atas, maka peraturan lembaga negara
independen dapat digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan jika
dikeluarkan berdasarkan dua atau satu alasan, yaitu adanya delegasi kewenangan
dari peraturan yang lebih tinggi, atau berdasarkan kewenangan lembaga negara
bersangkutan. Maksud klausul “berdasarkan kewenangan” dapat dirujuk pada
bagian Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU tersebut, yang menyatakan bahwa, “Yang
dimaksud dengan ‘berdasarkan kewenangan’ adalah penyelenggaraan urusan
tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”
B. Pers
1. Pengertian dan Fungsi Pers
Istilah pers yang dikenal saat ini, berasal dari bahasa Belanda, yaitu pers
yang artinya menekan atau mengepres. Kata pers itu sendiri merupakan padanan
kata press dalam bahasa Inggris yang juga berarti menekan. Jadi secara harfiah,
kata pers atau press mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan
perantara barang cetakan.39
Di dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid 13, pengertian pers itu
dibedakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan sempit. Pers dalam arti luas
adalah media cetak dan elektronik yang memuat laporan dalam bentuk fakta,
pendapat, usulan, dan gambar kepada masyarakat luas secara regular. Laporan
yang dimaksud melalui beberapa proses, mulai dari pengumpulan bahan, sampai
39 Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, 2012, Jurnalistik: Teori danPraktik, Cetakan Kelima, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 17.
21
penyiaran. Di dalam pengertian sempit atau terbatas, pers adalah media tercetak
seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, majalah dan buletin.40
Pada sisi lain, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers memberikan
pengertian tersendiri tentang pers. Pasal 1 angka 1 UU tersebut menyatakan:
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yangmelaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baikdalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dangrafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.41
Berangkat dari serangkaian definisi pers di atas, maka cakupan pers tidak
hanya sebatas pada media cetak, tetapi juga meliputi media elektronik, yaitu radio
dan televisi. Ruang lingkup pengertian pers tidak berdasarkan bentuk media,
tetapi pada berlangsungnya aktivitas jurnalistik. Selama insan pers melaksanakan
kerja-kerja jurnalistik secara menyeluruh, maka baik media cetak maupun
elektronik, dapat digolongkan sebagai pers.
Aktivitas jurnalistik di sebuah media, pada dasarnya ditujukan untuk
mengaktualisasikan fungsi pers yang tidak sekadar sebagai media komunikasi,
tetapi juga melaksanakan serangkaian fungsi lain, yaitu:42
1. Fungsi informatif untuk menyalurkan informasi kepada khalayak;
2. Fungsi kontrol untuk mengoreksi kebijakan para penguasa;
3. Fungsi interpretatif dan direktif untuk menyajikan interpretasi dan
bimbingan kepada masyarakat atas sebuah peristiwa;
4. Fungsi menghibur, semisal meyajikan tayangan humor dan musik;
40 Samsul Wahidin, 2011, Hukum Pers, Cetakan II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 35.41 Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers42 Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Op.cit., hlm. 27-29.
22
5. Fungsi regeneratif untuk menyajikan sejarah sebagai pedoman hidup
masyarakat di masa mendatang;
6. Fungsi pengawalan hak-hak warga negara untuk menjaga kepentingan
individu dan sosial terpenuhi secara seimbang;
7. Fungsi ekonomi untuk menyediakan wadah bagi aktivitas perdagangan,
semisal melaui penyediaan ruang iklan; dan
8. Fungsi swadaya untuk mengupayakan kemandirian dalam soal permodalan
yang akan menyokong aktivitas jurnalistik.
Fungsi pers di atas, pada dasarnya mencakup fungi pers yang tercantum
dalam Pasal 3 UU No. Tahun 1999 tantang Pers, yaitu sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan, kontrol sosial, serta lembaga ekonomi. Fungsi ekonomi di
sini, ditujukan agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan
karyawannya, semakin meningkat, tanpa meninggalkan kewajiban sosialnya.43
2. Sejarah Hukum Pers
Sejak awal kemerdekaan, pada tiga macam konstitusi yang berlaku di
Indonesia, telah terdapat dasar konstitusional bagi kehidupan pers. UUD Tahun
1945 sebelum amandemen memuat ketentuan yang menyiratkan penghormatan
terhadap kebebasan pers, yaitu pada Pasal 28 yang menyatakan “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Setelah konstitusi berganti, dasar
konstitusional bagi hak berpendapat, tetap ada. Pada Pasal 19 Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (RIS) 1949 dirumuskan bahwa “Setiap orang berhak atas
43 Lihat penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
23
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Rumusan itu tetap
dipertahankan dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS),44 hingga UUD
Tahun 1945 kembali diberlakukan melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Lebih rinci, undang-undang yang pertama kali mengatur terkait pers
adalah UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang
disahkan Presiden Soekarno tanggal 12 Desember 1966. Falsafah UU itu adalah
“Pers Sosialis Pancasila” untuk mewujudkan agenda revolusi, sesuai dengan
kepentingan pemerintahan masa itu. Cirinya adalah bebas dan bertanggung jawab.
Bebas berarti tidak ada pembatasan, sedangkan bertanggung jawab berarti
memperhatikan kepentingan yang lebih besar, seperti kepentingan umum dan
kepentingan bangsa. Tanggung jawab pers ini ditandai dengan pengendalian,
pengawasan, dan pembinaan oleh pemerintah.45 Namun atas kendali pemerintah
yang terlalu kuat, pers tak ubahnya sebagai alat propaganda pemerintah.
Disahkannya UU No. 4 Tahun 1967 oleh Presiden Soeharto pada tanggal 6
Mei 1967, sebagai perubahan atas UU No. 11 Tahun 1966, tidak mengubah
kerangka pengaturan pers. UU perubahan tersebut hanya menambahkan satu ayat
pada Pasal 21 UU No. 11 Tahun 1966, yang menyatakan tidak berlakunya
Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-
Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum, khusus
mengenai buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-
44 J.C.T. Simorangkir, 1986, Pers, SIUPP, dan Wartawan, Cetakan I, Gunung Agung,Jakarta, hlm. 224.
45 Sudirman Tebba, 2007, Hukum Media Massa Nasional, Cetakan I, Pustaka IrVan,Banten, hlm. 155.
24
penerbitan berkala. Alasannya karena barang cetakan yang berupa produk pers,
telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 1966.46
UU No. 11 Tahun 1966 kembali diubah dengan UU No. 21 Tahun 1982
untuk menyesuaikan undang-undang pers dengan kebijakan pembangunan atas
nama Pancasila dengan segala konsekuensinya. Perubahan ini lebih menekankan
tanggung jawab dan membatasi kebebasan pers.47 Yang dirasakan paling
mengerikan oleh kalangan pers saat itu adalah lahirnya Peraturan Menteri
Penerangan (Menpen) No: 01/Per/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP), yang berdasar pada UU No. 21 Tahun 1982.48 Peraturan
Menpen itu dirasa mengerikan karena memungkinkan pemerintah untuk mencabut
SIUPP, yang berarti mematikan hak hidup suatu penerbitan pers. Ironis, sebab UU
No. 11 Tahun 1966 sebenarnya masih menganut larangan sensor dan pembredelan
bagi pers nasional, yang ketentuannya tak diubah dalam UU No. 21 Tahun 1982.49
Kini, di era reformasi, pengaturan hukum terkait pers mengalami
perubahan drastis. Pasal 28 UUD Tahun 1945 sebelum amandemen, mampu
diejawantahkan secara lebih baik dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU
ini dengan tegas menjadikan kemerdekaan pers sebagai titik fokus. Pers
diharapkan terbebas dari paksaan dan campur tangan pihak manapun.
Tak sampai di situ, semangat reformasi juga memberi landasan
konstitusional yang lebih baik bagi kehidupan pers. Pascaamandeman UUD
Tahun 1945, khususnya pada amandemen kedua pada 7-18 Agustus tahun 2000,
46 Ibid., hlm. 156.47 Ibid., hlm. 16848 Ibid., hlm. 174.49 Ibid.
25
lahir Pasal 28F UUD Tahun 1945 menyatakan, “Setiap orang… berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
3. Teori dan Sistem Pers
Membicarakan mengenai kedudukan pers dalam sebuah negara, maka
dalam literatur terkait pers, dijumpai ada empat teori. Teori tersebut dikemukakan
oleh Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm dalam bukunya
Four Theories of the Press. Keempat teori itu adalah:50
1. Teori Pers Authoritarian
Teori ini muncul pada masa renaissance, dengan beranjak pada premis
bahwa kebenaran bukanlah hasil dari masyarakat, tetapi dari sekelompok
orang yang dianggap bijak. Kontrol pers bergerak dari atas ke bawah.
Penguasa memfungsikan pers sebagai sarana pemberi informasi tentang
apa yang dianggapnya perlu diketahui dan didukung oleh rakyat.
2. Teori Pers Libertarian
Teori ini muncul pada abad 17 sampai abad 19 sebagai akibat
pertumbuhan kesadaran terhadap demokrasi politik, kebebasan beragama,
dan mobilitas ekonomi. Terori ini beranjak dari premis bahwa manusia
bukanlah makhluk yang harus dituntun, sebab manusia mampu menilai
dan memilih dari sekian banyak alternatif secara tepat. Pencarian
kebenaran pun dianggap sebagai hak asasi manusia. Fungsi pers adalah
50 Irman Syahriar, 2015. Hukum Pers: Telaah Teoritis atas Kepastian Hukum dankemerdekaan Pers di Indonesia, Cetakan I, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hlm. 32-33.
26
sebagai mitra pencarian kebenaran. Pers bukanlah instrumen pemerintah,
tetapi alat untuk mengawasi kebijakan pemerintah.
3. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial
Teori ini merupakan perkembangan dari teori libertarian sehingga disebut
libertarianisme baru. Umumnya tumbuh di negara-negara nonkomunis
yang berkembang pada abad XX. Premis teori ini menyatakan bahwa
aktivitas pers harus diiringi dengan tanggung jawab sosial kepada
masyarakat, utamanya dalam menyajikan informasi yang objektif.
4. Teori Pers Soviet Komunis
Teori ini merupakan perkembangan dari teori pers otoritarian. Teori ini
berkembang di Uni Soviet sebagai konsekuensi terhadap ajaran marxis
yang memusatkan kehidupan sosial pada negara. Teori ini beranjak pada
premis bahwa pers adalah milik negara. Masyarakat dianggap
membutuhkan tutunan para pelaksana negara, khususnya mengenai
kebenaran apa yang perlu diyakini guna menjaga persatuan bangsa.
Selain keempat teori tersebut, terdapat juga dua teori yang dicetuskan oleh
McQuail dalam tulisannya Uncertainty about the Auidience and the Organization
of Mass Communications. Kedua teori tersebut yaitu:51
1. Teori Pers Pembangunan
Teori ini diterapkan di negara-negara berkembang. Pers diposisikan oleh
negara sebagai sarana pembangunan. Negara dapat melakukan pembatasan
kepada pers demi prioritas ekonomi dan pembangunan. Atas nama
51 Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Op.cit., hlm. 25-27.
27
kelancaran proses pembangunan, negara berhak mencampuri kegiatan
media pers, hingga melakukan kontrol dan sensor secara langsung.
2. Teori Pers Partisipan-Demokratik
Teori ini lahir berlaku dalam masyarakat liberal yang sudah maju.
Penganut teori ini menentang komersialisasi dan monopoli media oleh
pihak swasta, juga menentang sentralisasi dan birokratisasi institusi siaran
publik. Teori ini ini mengharapkan pers yang mengutamakan kepentingan
public, serta menjunjung tinggi keberagaman, minoritas, lokalitas,
deinstitusionalisasi, serta kesederajatan dalam berinteraksi.
Dalam konteks pers di Indonesia, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
telah menggariskan titik tengah antara kebebasan pers dan tanggung jawab sosial
pers. Pasal 2 UU tersebut menyatakan bahwa “kemerdekaan pers adalah salah satu
wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan
supremasi hukum”. Selain itu, meski menegaskan kemerdekaan pers sebagai hak
asasi manusia, UU No. 40 Tahun 1999 juga menggariskan bahwa kemerdekaan
pers harus disertai kesadaran penegakan supremasi hukum, pelaksanaan tanggung
jawab profesi dalam kode etik, serta sesuai dengan hati nurani insan pers.52
Keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab sosial sebuah pers,
merupakan hal yang penting. Jika dikaitkan dengan teori-teori sistem pers,
keseimbangan itu dapat tercapai dengan mengombinasikan segi positif dari setiap
teori pers. Kalau hal itu dilakukan, setidaknya, terdapat enam asas yang dapat
menjadi panduan bagi pers, yaitu: (a). asas kebebasan media; (b). asas antisensor;
52 Lihat bagian Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
28
(c). asas pertanggungjawaban sosial; (d). asas pembatasan kepemilikan; (e). asas
perlindungan profesi; (f). asas perlindungan hak perseorangan.53
4. Struktur Kelembagaan Pers
Pers yang menyelenggarakan aktivitas jurnalistik melalui media tertentu,
memiliki struktur keorganisasian yang berbeda di banding lembaga lain. Keunikan
pers terletak pada adanya pembagian bidang kerja antara bidang perusahaan dan
bidang keredaksiaan. Bidang perusahaan mengelola persoalan operasional
perusahaan, sedangkan bidang keredaksian mengurusi soal pemberitaan.
Secara umum, struktur keorganisasian sebuah media pers terdiri dari:54
1. Pemimpin Umum, yaitu pemilik media atau orang yang ditunjuk mewakili
pemilik media. Pemimpin Umum duduk di puncak organisasi dan
membawahi bidang perusahaan dan keredaksian sekaligus;
2. Pemimpin Perusahaan, yaitu orang yang bertanggung jawab kepada
Pemimpin Umum terkait urusan administrasi, keuangan perusahaan, dan
pemasaran. Di bawah Pemimpin Perusahaan terdapat kepala bagian atau
manajer sirkulasi, iklan, promosi, produksi, serta bagian lain yang
berkaitan dengan masalah bisnis, teknik, dan operasi-operasi distribusi;
3. Pemimpin Redaksi, yaitu orang yang mengurus dan bertanggung jawab
atas operasi redaksional secara keseluruhan. Secara umum, Pemimpin
Redaksi hanya mengawasi dan mengarahkan, atau melakukan supervisi
53 Armansyah, 2015, Pengantar Hukum Pers, Cetakan I, Gramata Publishing, Bekasi,hlm. 58.
54 a dan Purnama Kusumaningrat, Op.cit., hlm. 72-74.
29
atas operasionalisasi keredaksian. Untuk itu, di bawahnya erdapat unit
kerja berupa:
a. Redaktur Pelaksana, yaitu orang yang mengurusi secara teknis soal-soal
keredaksian. Tugasnya adalah mengawasi pelaksanaan peliputan berita,
atau diistilahkan sebagai kepten regu pemberitaan. Ia bertanggung
jawab atas disajikannya berita yang berimbang dan lengkap, khususnya
berita utama yang dinanti khalayak, baik berita lokal maupun nonlokal;
b. Redaktur, yaitu orang yang posisinya berada di bawah Redaktur
Pelaksana. Tugasnya adalah melakukan penugasan peliputan dan
penyuntingan berita sesuai rubrik yang menjadi kewenangannya.
Karena itulah, pada sebuah media pers, terdapat beberapa redaktur yang
menangani rubrik tertentu, misalnya redaktur bidang olahraga, redaktur
bidang politik, dan redaktur bidang ekonomi.
c. Reporter, yaitu orang yang diturunkan ke lapangan untuk meliput secara
langsung sebuah peristiwa setelah mendengar arahan dari redaktur
terkait apa-apa yang perlu diliput.
Selain reporter, media massa biasanya juga memiliki koresponden, setter
atau juru ketik naskah, juga korektor yang bertugas mengoreksi kesalahan
pengetikan. Bagian tak talah penting lainnya adalah Perpustakaan dan
Dokumentasi, serta bagian Penelitian dan Pengembangan (Litbang).55
Secara umum, berikut ini bagan struktur keorganisasian pers:56
55 Asep Syamsul M. Ramli, 2009, Jurnalisme Praktis: Untuk Pemula, Cetakan VIII, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 109.
56 Ibid., hlm. 110.
30
Bagan 1: Struktur Keorganisasi Pers
Sumber: Diperoleh dari bahan hukum tersier
5. Kemerdekaan Pers
Kata “kemerdekaan” dalam KBBI didefinisikan sebagai “keadaan atau hal
berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dsb.); kebebasan.”57 Hal ini
sejalan dengan tafsir kata “merdeka” sebagai kata dasarnya, yaitu bebas, berdiri
sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, atau tidak terikat atau tidak
bergantung kepada orang atau pihak lain.58 Jika dikaitkan dengan kata “pers”,
maka kemerdekaan mengindikasikan bahwa pers terbebas dari intervensi pihak
manapun dalam melaksanakan fungsinya.
57 Kamus Bahasa Indonesia Online, http:/kamusbahasaindonesia.org/kemerdekaan,diakses pada tanggal 10 April 2017, pukul 19.40 Wita.
58 Ibid., http:/kamusbahasaindonesia.org/merdeka, diakses pada tanggal 10 April 2017,pukul 19.45 Wita.
Pemimpin Umum
Pemimpin Redaksi Pemimpin Perusahaan
Redaktur Pelaksana
Redaktur Bahasa Para Redaktur Desk Redaktur Pracetak
Reporter
Koresponden
Fotografer
Setting
Layout
Korektor
Sirkulasi, Iklan,Promosi, Umum TataUsaha, Keuangan, dll.
Perpustakaan, Dokumentasi, Litbang
31
Soal kemerdekaan pers, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, memang
tidak memberikan pengertian tersendiri. Namun semangat kemerdekaan pers,
tetap melandasi kelahiran dan perumusannya. Bagian konsideran Menimbang
huruf a UU tersebut menyatakan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu
wujud kedaulatan rakyat sehingga harus mendapatkan jaminan perlindungan,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD Tahun 1945. Bahkan pada Bagian
konsideran Menimbang huruf c UU itu, juga dinyatakan bahwa pers nasional
harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya
berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus perlindungan
hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun.
Penghormatan terhadap kemerdekaan pers, kemudian ditegaskan dalam
Pasal 4 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa
“Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.” Tafsir klausul ini
dalam bagian penjelasan pasalnya adalah bahwa pers bebas dari tindakan
pencegahan, pelarangan, atau penekanan, agar hak masyarakat untuk memperoleh
informasi, terjamin. Hal itu ditunjang dengan ketentuan pada ayat (2), (3) dan (4)
pasal yang sama. Ditegaskan di situ bahwa pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Pers nasional juga
mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan
informasi. Bahkan secara rinci, wartawan diberikan hak tolak, yaitu hak untuk
melindungi sumber informasi dengan tidak menyebutkan indentitasnya, termasuk
jika dimintai keterangan oleh penyidik atau bersaksi di pengadilan.
32
Pentingnya melindungi kemerdekaan pers, tidak lain daripada upaya
menjamin agar pers mampu menjadi pengontrol kekuasaan negara secara
keseluruhan. Sejak tahun 1841, Thomas Carlylle telah membuat pernyataan
bahwa pers adalah the fourth estate atau cabang kekuasaan keempat, di samping
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pernyataan itu bermakna pers harus merdeka
dari kekuasaan lain.59 Kemerdekaan pers jelas merupakan kebutuhan media dan
insan pers guna menjalankan peran dan fungsinya sebagai pengawal jalannya
pemerintahan yang dilakukan oleh pemangku kekuasaan negara. Jaminan
kemerdekaan pers akan menjamin objektivitas pers dalam menyampaikan
informasi, tanpa perlu takut pada tekanan apapun.60
Paling tidak, ada tiga alasan pentingnya menjamin dan melindungi
kemerdekaan pers. Pertama, bertalian dengan fungsi alamiah pers. Kemerdekaan
merupakan hakikat dan kebutuhan pers dalam melaksanakan fungsinya. Dengan
kemerdekaan pers, informasi yang disampaikan kepada publik layak dipercaya,
akurat, dan tidak bias. Kedua, bertalian dengan fungsi pers sebagai instrumen hak
asasi manusia. Hak setiap orang untuk berkomunikasi, menyatakan pikiran dan
pendapat, sangat memerlukan pers yang merdeka. Ketiga, pers sebagai sarana
demokrasi. Demokrasi tidak sekadar soal pemilihan pejabat publik, tetapi juga
soal pertanggungjawaban publik. Dalam hal itu, pers merdeka, independen, dan
imparsial, menjadi sarana efektif dalam mengawal demokrasi.61
59 Bagir Manan, Kemerdekaan Pers dalam Perspektif Pertanggungjawaban Hukum,Jurnal Dewan Pers (Ancaman Perundang-undangan terhadap Kemerdekaan Pers), Edisi No. 8,Desember 2013, Dewan Pers, Jakarta, hlm. v.
60 Irman Syahriar, Op.cit., hlm 119.61 Bagir Manan, 2012, Politik Publik Pers, Cetakan I, Dewan Pers, Jakarta, hlm. 214-215.
33
Sebagaimana dalam tatanan yang teratur seperti demokrasi, tidak ada
kemerdekaan atau kebebasan yang tak berbatas. Demikian pula kemerdekaan pers.
Pembatasan kemerdekaan pers dapat bersumber dari internal lingkungan pers
sendiri (self sensorship), atau dari luar lingkungan pers berupa kekuasaan publik
(public authority). Pembatasan internal, bersifat self restraint atau self censorship,
baik atas dasar kode etik atau UU Pers. Di sisi lain, pembatasan eksternal dari
kekuasaan publik mencakup pembatasan atas dasar ketertiban umum, keamanan
nasional, harmoni politik dan sosial, penghormatan terhadap privasi, serta
pembatasan atas dasar ketentuan pidana, ketentuan perdata, atau hukum lainnya.62
C. Dewan Pers
1. Sejarah Dewan Pers
Dewan Pers pertama kali dibentuk tahun 1968. Pembentukannya
berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers.
Dewan Pers kala itu, sesuai Pasal 6 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1966, berfungsi
mendampingi pemerintah untuk bersama-sama membina pertumbuhan dan
perkembangan pers nasional. Karena itu, ketua Dewan Pers dijabat oleh Menteri
Penerangan sebagaimana ditetapkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1966.63
Konstruksi hukum yang menempatkan Dewan Pers sebagai domain
pemerintah, ditujukan untuk menghindari dualisme kepentingan dalam
pengelolaan pers, sebagaimana diinginkan pemerintah. Segala kebijakan terkait
62 Bagir Manan, 2016, Pers, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Cetakan I, Dewan Pers,Jakarta, hlm. 75-76
63 Edy Susanto, dkk., 2014, Hukum Pers di Indonesia, Cetakan I, PT. Rineka Cipta,Jakarta, hlm. 136.
34
pers akan diambil setelah mufakat yang dicapai sebagai hasil musyawarah di
dalam tubuh Dewan Pers.64 Kesatuan suara itu, akan mudah dicapai karena sedari
awal, Dewan Pers memang hanya sebagai pendamping atau pembantu pemerintah
dalam membina pers nasional.
Pemerintah Orde Baru melalui UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan
atas UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967, tidak banyak mengubah
status Dewan Pers. Kedudukan dan fungsinya tetap sama, yaitu menjadi penasehat
pemerintah. Sedangkan Menteri Penerangan tetap merangkap sebagai Ketua
Dewan Pers.65 Bahkan perubahan tersebut membuat kewenangan Dewan Pers
semakin menciut. Indikasi itu dapat dilihat dari diubahnya semua klausul
"Pemerintah bersama-sama Dewan Pers" dalam UU No. 11 Tahun 1999 menjadi
“Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers".66
Perubahan fundamental hukum pers terjadi setelah peralihan kekuasaan
negara dari Orde Baru ke Reformasi. Melalui UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
yang disahkan Presiden B.J. Habibie tanggal 23 September 1999, Dewan Pers
menjadi lembaga independen. Pasal 15 ayat (1) UU tersebut menyatakan, “Dalam
upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers
nasional, dibentuk Dewan Pers yang Independen.” 67
Fungsi Dewan Pers yang independen, membuatnya tidak lagi menjadi
penasihat pemerintah, tetapi pelindung kemerdekaan pers. Hubungan struktural
64 Lihat Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-KetentuanPokok Pers.
65 Edy Susanto, Op.cit., hlm. 136.66 Lihat Pasal I angka 1 huruf b UU No. 21 Tahun 1982.67 Edy Susanto, Loc.cit.
35
antara Dewan Pers dan Pemerintah diputus, apalagi setalah dibubarkannya
Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Tidak ada lagi unsur
pemerintah dalam keangggotaan Dewan Pers, meski formalitas pengangkatan
anggotanya tetap dengan Keputusan Presiden. Soal jabatan ketua Dewan Pers,
juga tidak lagi direcoki pemerintah, namun diputuskan sendiri oleh seluruh
anggota Dewan Pers dalam rapat pleno.68
2. Kedudukan Dewan Pers
Menurut Asimov, lembaga negara ataupun diistilahkan komisi negara
dapat dibedakan dalam dua kategori: pertama, komisi negara independen, yaitu
organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan kerenanya berada di
luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudisial. Organ negara itu,
lazimnya memiliki fungsi campuran dari cabang kekuasaan yang ada; Kedua,
komisi negara biasa (state commissions), yaitu komisi negara yang merupakan
bagian kekuasaan eksekutif, dan tidak mempunyai peran yang terlalu penting.69
Dewan Pers sebagai lembaga negara yang berfungsi untuk melindungi
kemerdekaan pers, didesain agar bebas dari cabang kekuasaan manapun.
Kedudukan Dewan Pers semakin kokoh sebagai lembaga negara independen,
mengingat dasar pembentukannya adalah undang-undang, yaitu UU No. 40 Tahun
1999 tentang Pers. Independensi Dewan Pers, kemudian ditopang oleh desain
kelembagaan yang unik. Salah satunya adalah keanggotaanya yang dipilih secara
68 Ibid.69 Titik Triwulan Tutik, 2011, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, Kencana, Jakarta, hlm. 180.
36
mandiri oleh organisasi pers, yaitu organisasi wartawan dan organisasi perusahaan
pers. Pasal 15 ayat (3) UU No. 40 Tahun 1999 menggariskan bahwa:
Anggota Dewan Pers terdiri dari :a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang
lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasiperusahaan pers;
Dalam upaya menjaga independensinya, sumber dana untuk pembiayaan
lembaga Dewan Pers, juga tidak ditumpukan sepenuhnya pada anggaran negara.
Pasal 15 ayat (7) UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers menyatakan bahwa sumber
pembiayaan Dewan Pers berasal dari organisasi pers, perusahaan pers, serta
bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.
3. Fungsi dan Kewenangan Dewan Pers
Pada saat UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pers masih berlaku, Dewan Pers hanya bertugas mendampingi pemerintah dalam
membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. Tugas Dewan Pers itu di
antaranya: memberikan pertimbangan terkait boleh tidaknya sebuah perusahaan
pers menerima atau memberi bantuan kepada pihak asing; bersama pemerintah
merumuskan syarat-syarat lebih lanjut untuk menjadi Pemimpin Umum,
pemimpin Redaksi dan Pemimpin Perusahaan di sebuah lembaga pers; bersama
pemerintah merumuskan ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai wartawan;
dan bersama pemerintah merumuskan ketentuan mengenai Surat Izin Terbit dalam
masa peralihan, serta mendaftar perusahaan pers.
37
Fungsi dan kewenangan Dewan Pers dalam UU No. 11 Tahun 1966, jelas
tak bisa dilaksanakan secara mandiri dan otonom. Dewan pers hanya didudukkan
sebagai partner pemerintah dalam merumuskan kebijakan pers, juga
melaksanakan fungsi lain yang bersifat administratif. Dengan demikian, fungsi itu
bisa dikatakan tak berarti, sebab Dewan Pers tak ubahnya lembaga perpanjangan
tangan dan pembantu pemerintah.
Setelah disahkannya UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas UU
No. 11 Tahun 1966 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967,
fungsi dan kedudukan Dewan Pers tak banyak berubah, kecuali bahwa Dewan
Pers juga turut dalam perumusan aturan terkait SIUPP, hak tolak, dan hak jawab.
Pengaturan lebih rinci terkait kedudukan, tugas, fungsi, dan wewenang Dewan
Pers dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1984 tentang Dewan Pers, juga
tetap dalam kerangka kelembagaan Dewan Pers sebagai subordinasi pemerintah.
Memasuki era Reformasi, persoalan kebebasan pers menjadi salah satu
tuntutan masyarakat. Hal itu seiring dengan harapan akan terwujudnya
pemerintahan yang akuntabel, penyelenggaraan negara yang transparan, serta
terwujudnya keadilan. Dalam hal itu, pers yang merdeka dan bertanggung jawab,
jelas dibutuhkan. Hingga akhirnya, pada tanggal 23 September 1999, Presiden
B.J. Habibie pun mengesahkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang
menggantikan UU No. 11 Tahun 1966 beserta perubahannya.
Revitalisasi fungsi Dewan Pers, menjadi salah hal yang menggembirakan
dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Paling tidak, Dewan Pers telah
diberikan fungsi lebih memadai, sesuai dengan semangat kemerdekaan pers yang
38
menghendaki pers terbebas dari campur tangan pihak manapun, termasuk dari
pemerintah. Serangkain fungsi itu, terurai di Pasal 15 ayat (2) UU tersebut, yaitu:
a. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;b. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaanpers;
e. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;f. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-
peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesikewartawanan;
g. mendata perusahaan pers;
Demi menunjang pelaksanaan fungsinya, Dewan Pers pun dapat
membentuk organ penunjang. Statuta Dewan Pers menyatakan bahwa anggota
Dewan Pers dapat membentuk Badan Pertimbangan yang beranggotakan lima
orang. Tugas dan fungsinya adalah memberikan pertimbangan kepada Dewan
Pers atau melaksanakan tugas khusus yang diberikan Dewan Pers. Dewan Pers
juga dapat membentuk satuan kerja, misalnya dalam bentuk Komisi. Komisi
Dewan Pers saat ini, terdiri atas Komisi Pengaduan Masyarakat, Komisi Hukum,
Komisi Hubungan Antarlembaga dan Luar Negeri, serta Komisi Pengembangan
Profesi Wartawan, Penelitian dan Pendataan Perusahaan Pers. Setiap komisi
tersebut, fokus menunjang pelaksanaan fungsi tertentu dari Dewan Pers.
Penguatan terhadap fungsi Dewan Pers dalam UU No. 40 Tahun 1999
tentang Pers, pada sisi lain, nyatanya tidak dibarengi dengan serangkaian
kewenangan. Dalam Keterangan Umum RUU Pers, memang tampak keinginan
untuk menghindari sejauh mungkin campur tangan pemerintah terhadap pers,
yaitu dengan memberikan fungsi yang luas kepada Dewan Pers. Salah satunya
39
adalah memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk mengeluarkan aturan-
aturan di bidang pers.70 Namun dalam UU No. 40 Tahun 1999, tidak ditemukan
wujud nyata dari rencana tersebut. Hal itu akhirnya menimbulkan kegamangan,
termasuk soal status peraturan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers.
D. Perusahaan Pers
1. Pendirian Perusahaan Pers
Soal perusahaan pers, Pasal 1 angka 2 UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers
menyatakan bahwa, “Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang
menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik,
dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus
menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.” Pasal 1 angka 6
UU tersebut kemudian menyatakan bahwa, “Pers nasional adalah pers yang
diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.” Lebih lanjut, pada Pasal 9 ayat
(1) UU itu, juga dinyatakan bahwa, “Setiap warga negara Indonesia dan negara,
berhak mendirikan perusahaan pers.” Pada ayat (2) pasal yang sama, dinyatakan,
“Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.”
Status badan hukum yang dipersyaratkan dalam pendirian perusahaan pers,
tidak diuraian lebih lanjut dalam UU No. 40 Tahun 1999, termasuk soal jenis
badan hukumnya. Namun pada angka 2 Peraturan Dewan Pers Nomor:
4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar Perusahaan Pers, dinyatakan bahwa,
“Perusahaan pers berbadan hukum perseroan terbatas dan badan-badan hukum
70 Zainal Arifin Mochtar, Op.cit., hlm. 112.
40
yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Perusahaan pers juga dipersyaratkan untuk mendapat pengesahan dari
Departemen Hukum dan HAM atau instansi lain yang berwenang.
Dari uraian di atas, tampak ada dua unsur penting pelaksanaan pengelolaan
pers, yaitu usaha pers harus dijalankan oleh perusahaan, dan perusahaan pers
harus badan usaha yang berbentuk berbadan hukum. Dua aspek itu mengandung
beberapa konsekuensi. Pertama, perusahaan yang dimaksud harus sebagai
perkumpulan modal atau perkumpulan orang, sehingga tidak dapat dilakukan
secara perorangan. Kedua, dalam makna hukum, perusahaan adalah aktivitas
ekonomi yang dijalankan secara teratur dan terbuka, serta memiliki fungsi
ekonomi. Ketiga, perusahaan pers harus berbentuk badan hukum, yaitu berbentuk
PT dan bentuk badan hukum lain, misalnya berupa koperasi dan yayasan.71
Lebih lanjut, Peraturan Dewan Pers Nomor: 4/Peraturan-DP/III/2008, juga
menetapkan bahwa untuk mendirikan perusahaan pers, harus dengan modal dasar
sekurang-kurangnya sebesar Rp.50.000.000 atau ditentukan oleh Peraturan Dewan
Pers. Penambahan modal asing pada perusahaan pers media cetak dilakukan
melalui pasar modal dan tidak boleh mencapai mayoritas, untuk media penyiaran
tidak boleh lebih dari 20% dari seluruh modal.
Saat ini, berdasarkan data dari situs resmi Dewan Pers, dewanpers.or.id,
terdapat sebanyak 1765 perusahaan pers. Dari jumlah itu, sebanyak 78
terverifikasi administrasi dan faktual, sebanyak 899 terverifikasi administrasi, dan
sebanyak 788 belum terverifikasi.
71 Bagir Manan, 2016, Pers, Hukum, dan Hak Asasi Manusia, Op.cit., hlm. 26.
41
2. Kewajiban dan Tanggung Jawab Perusahaan Pers
Perusahaan pers wajib menjamin netralitas ruang keredaksian dari
intervensi pihak manapun. Hal itu dapat disimak dalam ketentuan pidana pers,
sebagaimana tercantum di Pasal 18 UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers. Pada
ketentuan itu, terdapat larangan beserta sanksi bagi setiap orang yang melanggar
larangan sensor, bredel, dan pelarangan penyairan, juga bagi setiap orang yang
menganggu aktivitas jurnalistik sebagai bentuk kemerdekaan pers. Bahkan khusus
bagi perusahaan pers, dapat juga dikenai pidana denda jika medianya
memberitakan sesuatu yang melanggar norma dan asas praduga tak bersalah, tidak
melayani hak jawab, melanggar larangan muatan iklan tertentu, tidak memenuhi
persyaratan sebagai badan hukum, serta tidak mengumumkan idenditas
perusahaan dan penanggung jawab.
Motif ekonomi yang mendasari pendiriannya, tidak boleh menghilangkan
karakteristik perusahaan pers yang harus senantiasa dijaga. Karakteristik tersebut
antara lain: Pertama; perusahaan pers harus tunduk pada asas dan kaidah pers,
seperti menjaga kemerdekaan pers, menghormati kode etik pers, menjaga
profesionalisme pers. Kedua; menjunjung tinggi prinsip fire wall yang
memisahkan antara kegiatan perusahaan dan kegiatan jurnalistik. Pengelolaan
perusahaan, pemilik perusahaan, atau para pemegang saham, tidak mengintervensi
aktivitas jurnalistik awak redaksi. Namun, redaksi juga harus memperhatikan
kepentingan perusahaan, selama tidak melanggar kemerdekaan pers. Ketiga; harus
42
ada pemisahan tegas antara manajemen perusahaan sebagai satuan kegiatan
ekonomi dengan manajemen pers sebagai pengelola kegiatan jurnalistik.72
Perusahaan pers selayaknya melaksanakan fungsi pers secara utuh. Pada
Pasal 3 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dinyatakan bahwa pers nasional
memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Di sisi lain, pers nasional juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi, yaitu dengan
memberikan kesejahteraan kepada para wartawan dan karyawannya tanapa
meninggalkan kewajiban sosialnya.73 Dengan demikian, kepentingan ekonomi
perusahaan dan tanggung jawab publiknya, harus berjalan seiringan.
Dalam soal pertanggung jawabannya, perusahaan pers sebagaimana
tercantum dalam Pasal 12 UU No. 40 Tahun 1999, diharuskan mengumumkan
identitas perusahaan dan penanggung jawab secara terbuka, melalui media yang
bersangkutan. Yang dimaksud "penanggung jawab" adalah penanggung jawab
perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Pengumuman itu
dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang
diterbitkan atau disiarkan. Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana,
menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.74
3. Organisasi Perusahaan Pers
Ketentuan lebih rinci tentang organisasi perusahaan pers, tidak terdapat
dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU tersebut, hanya menyebutkan
peran organisasi perusahaan pers, yaitu memilih anggota Dewan Pers dari unsur
72 Ibid., hlm. 28.73 Lihat bagian Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.74 Lihat bagian Penjelasan Pasal 12 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
43
pimpinan perusahaan pers. Selain itu, organisasi perusahaan pers bersama
organisasi wartawan, juga berwenang memilih anggota Dewan Pers dari tokoh
masyarakat yang ahli di bidang tertentu.
Soal organisasi perusahaan pers, kemudian diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Dewan Pers Nomor: 3/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar
Organisasi Perusahaan Pers. Dalam peraturan tersebut, dinyatakan bahwa
organisasi perusahaan pers berbentuk Badan Hukum Perkumpulan Indonesia yang
telah mendapat pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM. Organisasi
perusahaan pers dapat didirikan pada tingkat nasional maupun provinsi.
Soal Stuktur kepengurusan, peraturan tersebut mengatur bahwa organisasi
perusahaan pers memiliki pengurus pusat, sekurang-kurangnya terdiri atas seorang
ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara dan dua orang pengurus lainnya.
Mekanisme pergantian pengurus harus melalui sistem yang demokratis, paling
lama dilakukan dalam lima tahun. Hasil pergantian kepengurusan, kemudian
dilaporkan ke Dewan Pers.
Lebih lanjut, peraturan Dewan Pers tersebut juga mengatur bahwa anggota
organisasi perusahaan pers disesuaikan dengan bentuk medianya, baik organisasi
perusahaan pers media cetak, penyiaran radio, maupun penyiaran televisi. Jumlah
anggota organisasi perusahaan pers kemudian ditentukan sebagai berikut:
a. Untuk media cetak sekurang-kurangnya berjumlah 100 perusahaan pers
media cetak yang ada di Indonesia dan minimal berdomisili di 15 provinsi.
44
b. Untuk media radio sekurang-kurangnya berjumlah 200 perusahaan
penyelenggara jasa penyiaran radio yang ada di Indonesia dan minimal
berdomisili di 15 provinsi.
c. Untuk media televisi sekurang-kurangnya berjumlah 8 perusahaan
penyelenggara jasa penyiaran televisi.
Organisasi perusahaan pers yang memenuhi syarat kemudian ditetapkan
berdasarkan Keputusan/Peraturan Dewan Pers. Selain itu, organisasi perusahaan
pers juga diverifikasi dan terdaftar di Dewan Pers.
Setidaknya, ada empat organisasi perusahaan pers yang diputuskan oleh
Dewan Pers telah memenuhi Standar Organisasi Perusahaan Pers. Empat
organisasi tersebut adalah Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), Persatuan Radio
Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia
(ATVSI), dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI). Keputusan ini termuat
dalam Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 1/SK-DP/IX/2009 tentang Hasil
Verifikasi Organisasi Perusahaan Pers Tahun 2009.75
E. Wartawan
1. Pengertian Wartawan
Lazimnya dalam dunia pers, dikenal beberapa istilah untuk orang yang
pekerjaannya berhubungan dengan pemberitaan. Di antara istilah itu adalah
jurnalis, reporter, dan wartawan. Istilah jurnalis baru muncul di Indonesia setelah
75 Dewan Pers, 23 November 2009, Empat Organisasi Perusahaan Pers Penuhi Standar,http://dewanpers.or.id/berita/detail/341/empat-organisasi-perusahaan-pers-penuhi-standar, diaksespada tanggal 2 Juni 2017, pukul 10.09 Wita.
45
masuknya pengaruh ilmu komunikasi yang cenderung berkiblat ke Amerika
Serikat. Istilah ini kemudian berimbas pada penamaan seputar posisi-posisi
kewartawanan. Misalnya, "redaktur" menjadi "editor." Pada saat Aliansi Jurnalis
Independen berdiri, terjadi pembaruan istilah. Menurut AJI, jurnalis adalah profesi
atau penamaan seseorang yang pekerjaannya berhubungan dengan isi media.
Akhirnya, banyak orang mempersamakan istilah jurnalis dengan reporter, yaitu
seseorang yang mengumpulkan informasi dan menciptakan laporan, atau cerita.
Tetapi, hal ini tidak sepenuhnya benar karena reporter tidak meliputi tipe jurnalis
lainnya, seperti kolumnis, penulis utama, fotografer, dan desain editorial.76
Sementara itu, istilah wartawan juga menimbulkan tafsir yang bebeda-
beda. Dalam pendefinisian Persatuan Wartawan Indonesia, wartawan diartikan
sebagai pekerjaan yang hubungannya dengan kegiatan tulis-menulis, di antaranya
seperti mencari data (riset, liputan, verifikasi) untuk membuat dan melengkapi
laporan. Wartawan pun dituntut untuk objektif, sehingga berbeda dengan penulis
kolom yang bisa mengemukakan subjektivitasnya lewat media.77
Di sisi lain, pengertian wartawan dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 40 Tahun
1999 tentang Pers adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan
jurnalistik. Kegiatan jurnalistik yang dimaksud, dapat dirujuk dalam Pasal 1 angka
1 UU No. 40 Tahun 1999, yaitu mencakup kegiatan mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam
bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun
76 Wikipedia, Wartawan. https://id.wikipedia.org/wiki/Wartawan, diakses pada 14 Juni2016 pukul 15.00 Wita.
77 Ibid.
46
dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan
segala jenis saluran yang tersedia.
2. Independensi Wartawan
Kata independensi dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari
independence dalam bahasa Inggris yang berarti “kemerdekaan”. Independen
sendiri berarti keadaan tidak tergantung pada hal yang lain. Pada dasarnya, kata
independen itu merupakan negasi dari kata dependen yang berarti “tergantung
(terikat pada); tidak berdiri sendiri”.78 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
independensi adalah perihal mandiri atau tidak tergantung pada sesuatu yang lain.
Pengertian independen juga dapat dirujuk pada Surat Keputusan Dewan
Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagaimana
telah disahkan sebagai Peraturan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers
Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008. Pada Pasal 1 KEJ tersebut ditegaskan bahwa
wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk. Selanjutnya, pada bagian penjelasan pasal,
ditafsirkan bahwa, “Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai
dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak
lain termasuk pemilik perusahaan pers”.
Prinsip independensi wartawan, jelas merupakan salah satu hal yang harus
ditegakkan. Hal itu sejalan dengan roh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang
berupaya melindungi kemerdekaan pers. Pasal 4 ayat (3) UU tersebut menyatakan
78 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dependen, http://kbbi.web.id/dependen,diakses pada 30 Juni 2017 pukul 10.11 Wita.
47
bahwa “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak
mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Oleh sebab
itu, perlindungan terhadap independensi wartawan sebagai pihak yang
bersentuhan langsung dengan kerja-kerja jurnalistik, harus menjadi fokus utama
dalam mewujudkan kemerdekaan pers. Hal ini juga sejalan dengan maksud
dijaminnya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara, yaitu agar pers
bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak
masyarakat untuk memperoleh informasi, terjamin.79
Arti penting independensi bagi wartawan, tidak terlepas dari urgensi
peranan yang harus mereka wujudkan melalui media pers. Keberadaan pers
seiring dengan pertumbuhan demokrasi di Indonesia, haruslah mampu
mempergunakan ruang kemerdekaan dan kebebasan yang dijamin oleh hukum
dengan mengimplementasikan peranannya dengan baik. Pers harus dapat menjadi
watch dog atau pemberi peringatan dini terhadap proses penyelengggaraan negara,
serta mengungkap tindak ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.80
3. Perlindungan Hukum terhadap Wartawan
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, jelas mengakomodir pentingnya
perlindungan terhadap wartawan dalam melaksanakan aktivitas jurnalistik. Pada
Pasal 8 UU tersebut, ditegaskan bahwa, “Dalam melaksanakan profesinya
wartawan mendapat perlindungan hukum”. Maksud dari perlindungan hukum itu,
sebagaimana diuraikan di bagian penjelasan pasal tersebut adalah jaminan
79 Lihat bagaian Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.80 Irman Syahriar, Op.cit., hlm. 101.
48
perlindungan pemerintah atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan
fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Demi menjamin perlindungan hukum terhadap wartawan dalam
melaksanakan aktivitas jurnalistik, diadakan pula ancaman pidana bagi setiap
orang yang mengganggu hak kemerdekaan pers para wartawan. Pasal 18 ayat (1)
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan:
Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukantindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaanketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjarapaling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00(Lima ratus juta rupiah).
Pasal 4 ayat (2) dan (3) yang dirujuk ketentuan di atas menyatakan:
(2). Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelanatau pelarangan penyiaran.
(3). Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hakmencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Perlindungan hukum terhadap profesi kewartawanan, juga tercermin dengan
diberikannya hak eksklusif kepada para wartawan berupa hak tolak, yaitu hak
untuk menutupi identitas sumber berita. Dengan adanya hak tolak ini, maka
wartawan bisa merasa tenang dalam mengungkap suatu fakta, tanpa perlu takut
terhadap intimidasi pihak luar karena mempersoalkan proses pemberitaan yang
menjadi rahasia keredaksian.
Di sisi lain, untuk menjamin validitas informasi, masyarakat juga
diberikan hak untuk turut mengawasi profesionalitas kerja wartawan, yaitu dengan
adanya Hak Jawab dan Hak Koreksi. Hak Jawab adalah hak seseorang atau
49
sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap
pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan Hak Koreksi
adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi
yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.81
Dengan demikian, segala kekeliruan pemberitaan yang merugikan masyarakat,
tidak serta-merta diselesaikan melalui jalur litigasi, tetapi dapat diselesaikan
melalui jalur nonlitigasi, baik dengan melalui hak jawab atau hak koreksi, maupun
dengan mediasi melalui Dewan Pers.
4. Organisasi Wartawan
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tidak menguraikan terkait organisasi
wartawan. UU itu hanya menyatakan bahwa organisasi wartawan berwenang
memilih anggota Dewan Pers dari unsur wartawan. Bersama dengan organsasi
perusahaan pers, organisasi wartawan juga berwenang memilih anggota Dewan
Pers dari unsur tokoh masyarakat. Selain itu, disebutkan pula kewenangan lain
organisasi wartawan, yaitu menyepakati Kode Etik Jurnalistik untuk kemudian
ditetapkan oleh Dewan Pers sebagai panduan umum para wartawan.
Penguraian terkait organisasi wartawan, kemudian dapat dilihat dalam
Peraturan Dewan Pers Nomor: 7/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat
Keputusan Dewan Pers Nomor 04/SK-DP/III/2006 tentang Standar Organisasi
Wartawan sebagai Peraturan Dewan Pers. Peraturan tersebut menerangkan bahwa
organisasi wartawan berbentuk badan hukum, serta memiliki Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga sebagai organisasi profesi. Setiap organisasi wartawan
81 Pasal 1 angka 11 dan 12 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
50
juga memiliki kode etik jurnalistik yang secara prinsip tidak bertentangan dengan
Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Untuk itu, organisasi
wartawan juga memiliki dewan kehormatan atau majelis kode etik jurnalistik yang
bertugas mengawasi, memutuskan, dan menetapkan sanksi atas pelanggaran etik.
Peraturan Dewan Pers tersebut, juga menentukan bahwa organisasi
wartawan memiliki kantor pusat yang berkedudukan di ibu kota negara atau di ibu
kota provinsi. Soal kepengurusan, organisasi wartawan memiliki pengurus pusat
yang sedikitnya terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara, dan tiga orang pengurus
lainnya. Organisasi wartawan juga memiliki pengurus cabang sekurang-
kurangnya di sepuluh jumlah provinsi di Indonesia. Mekanisme pergantian
pengurus dilakukan melalui kongres, musyawarah nasional, atau muktamar dalam
kurun waktu tertentu. Hasilnya lalu diregistrasi ke Dewan Pers. Selain itu,
organisasi wartawan juga harus memiliki anggota sedikitnya 500 wartawan dari
seluruh cabang. Jika sudah memenuhi persyaratan, organisasi wartawan harus
terdaftar dan bersedia diverifikasi Dewan.
Sampai saat ini, organisasi wartawan yang memenuhi syarat dan diakui
keberadaannya oleh Dewan Pers hanya ada tiga, sebagaimana terpampang di situs
resmi Dewan Pers, yaitu Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
4. Kode Etik Wartawan
Fungsi sentral wartawan sebagai subjek yang bersentuhan langsung
dengan objek pemberitaan, sangat menentukan terhadap kualitas berita.
Wartawanlah yang melakukan perencanaan, pancarian, dan peramuan berita. Pada
51
posisi inilah, diperlukan sebuah panduan bagi wartawan dalam melaksanakan
aktivitas jurnalistik, yaitu sebuah kode etik.
Di lingkup dunia kewartawanan Indonesia, terdapat sebuah kode etik
jurnalistik sebagai pedoman umum. Kode etik itu disahkan Dewan Pers pada 24
Maret 2006 melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006
tentang Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Secara keseluruhan, KEJ terdiri dari 11
pasal. Khusus terkait etik independensi wartawan, Pasal 1 KEJ menyatakan,
“Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Tafsir tekstual dalam KEJ tersebut
menyatakan bahwa, “Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai
dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak
lain termasuk pemilik perusahaan pers.”
Lebih lanjut, sebagaimana dinyatakan dalam KEJ tersebut, penilaian akhir
atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers, sedangkan sanksi
atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan atau
organisasi perusahaan pers
KEJ yang ditetapkan oleh Dewan Pers di atas, bukanlah kode etik tunggal
untuk wartawan. Kedudukan KEJ itu adalah sebagai pedoman umum bagi
organisasi wartawan dalam menyusun kode etik. Hal tersebut jelas dinyatakan
dalam Surat Keputusan Dewan Pers No. 04/SK-DP/III/2006 tentang Standar
Organisasi Wartawan. Angka 9 surat keputusan itu menyatakan bahwa
“Organisasi wartawan memiliki kode etik jurnalistik, yang secara prinsip tidak
bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers”.
52
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Penulisan ini menggunakan jenis penelitian ilmu hukum normatif, yaitu
menitikberatkan pengkajian masalah hukum pada persoalan norma. Pendekatan
ini akan fokus menelaah kenyataan hukum dari kacamata substansi hukum yang
mengatur. Artinya, akar permasalahan hukum terkait penelitian ini, akan
dititikberatkan pada segi sistem norma, bukan pada efektivitas implementasinya.
Penelitian ilmu hukum normatif meliputi pengkajian mengenai (a) Asas-
asas hukum; (b) Sistematika hukum; (c) Taraf sinkronisasi hukum; (d)
Perbandingan hukum, (e) Sejarah hukum. Salah satu contohnya adalah seperti
yang dikemukakan Sumitro, yaitu penelitian berupa inventarisasi perundang-
undangan yang berlaku, berupaya mencari asas-asas atau dasar falsafah dari
perundang-undangan tersebut, atau penelitian yang berupa usaha penemuan
hukum yang sesuai dengan suatu kasus tertentu.82
Tujuan dari penelitian hukum normatif ini adalah menemukan masalah
terkait norma hukum yang diterapkan dalam suatu persoalan hukum. Masalah
tersebut kemudian dikaji, dan berujung pada kesimpulan dan saran perbaikan
terkait perlu tidaknya dilakukan perubahan terhadap norma hukum yang sedang
diberlakukan.
82 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Cetakan I, CV. MandarMaju, Bandung, hlm. 86
53
B. Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian, pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh
secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Data yang
diperoleh langsung dari masyarakat disebut data primer, sedangkan yang
diperoleh dari bahan-bahan pustaka disebut data sekunder.83
Penelitian hukum normatif, pada dasarnya dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder belaka. Di dalam penelitian ini, data sekunder
yang diteliti mencakup:84
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terdiri atas
peraturan dasar berupa Batang Tubuh UUD Tahun 1945, serta peraturan
perundang-undangan di bawahnya.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang bertujuan memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, misalnya rancangan undang-undang, hasil-
hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan hukum.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus,
dan ensiklopedia.
C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini akan dilakukan melalui
studi kepustakaan. Dengan studi kepustakaan, akan dikumpulkan beragam bahan
hukum, baik yang sifatnya primer, sekunder, maupun tersier. Bahan-bahan hukum
83 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif; Suatu TinjauanSingkat, Cetakan XIII, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 12.
84 Ibid., hlm. 13-14.
54
tersebut dapat berupa dokumen-dokumen resmi, laporan-laporan, maupun
publikasi dalam bentuk cetak maupun elektronik.
D. Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari berbagai sumber, akan dianalisis
secara kualitatif, sejalan dengan kaidah penelitian normatif. Analisis semacam ini
berusaha mengkaji persoalan secara deduktif, yaitu menelaah kenyataan hukum,
dengan menggunakan konsep hukum yang ideal. Dengan demikian, fakta
permasalahan hukum akan dilihat dengan kacamata teori dan peraturan hukum
yang normatif.
Analisis kualitatif akan menghasilkan uraian yang bersifat deskriptif.
Objek penelitian akan diulas secara gamblang, sehingga jelas bahwa akar
permasalahan hukum yang diteliti tidak terletak pada kesalahan implementasi,
melainkan adanya kerancuan dalam norma hukum. Untuk itulah, analisis kualitatif
dalam penelitian hukum normatif ini, akan berusaha menelaah permasalahan
untuk menemukan saran-saran perbaikan yang layak dipertimbangkan ataupun
diimplementasikan untuk perbaikan perumusan norma hukum di masa mendatang.
55
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Fungsi Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan Pers
1. Konstruksi Kelembagaan Dewan Pers
a. Dewan Pers dalam UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers
Kehidupan pers di Indonesia setelah kemerdekaan, awalnya diatur secara
lebih memadai dengan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers. Pengaturan dalam bentuk undang-undang tersebut, lebih jelas dan
rinci dibanding dengan dasar hukum bagi pers yang ada sebelumnya, yaitu
Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1963 tentang Pembinaan Pers, juga Ketetapan
MPRS No. XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers. Pada kedua dasar hukum
yang terakhir itu, perihal pers hanya diulas secara ringkas dan bersifat umum.
Pemantapan dasar hukum bagi kehidupan pers dalam bentuk undang-
undang, memang menunjukkan adanya perhatian yang serius dari pemerintah bagi
pertumbuhan pers. Setidaknya, UU No. 11 Tahun 1966 telah mengatur secara
komprehensif tentang pers, di antaranya soal hak dan kewajiban pers, Dewan
Pers, perusahaan pers, wartawan, hingga ketentuan pidana pers. Meski begitu, roh
undang-undang tersebut, tidak lepas dari situasi dan kondisi pemerintahan saat itu.
Hal ini tersurat di bagian konsideran menimbangnya, yang menyatakan bahwa
pers harus berdasarkan asas demokrasi Pancasila, serta harus menjadi alat dan
pengawal revolusi. Bentuk nyata dari kerangka itu adalah penitikberatan
pembinaan pers di tangan pemerintah, yang secara teknis dilakukan oleh Menteri
56
Penerangan. Sampai akhirnya, kenyataan menunjukkan bahwa demi kepentingan
menjaga stabilitas negara menurut tafsir pemerintah, pers pun diposisikan sebagai
alat untuk menyampaikan slogan pemerintah.
Pembentukan Dewan Pers berdasarkan UU No. 11 Tahun 1966, juga tidak
bisa dilepaskan dari konsep dan agenda pemerintah tentang pers. Bab III UU No.
11 Tahun 1966 yang mengatur secara khusus tentang Dewan Pers, menunjukkan
bahwa lembaga tersebut tidak punya kuasa berarti. Dewan Pers hanya didudukkan
sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam mengurusi persoalan pers. Pasal 6
ayat (1) sampai (5) UU No. 11 Tahun 1966 menyatakan:
(1). Untuk mendampingi Pemerintah dalam bersama-sama membinapertumbuhan dan perkembangan pers nasional, dibentuk Dewan Pers.
(2). Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil-wakil organisasi pers dan ahli-ahli dalam bidang pers.
(3). Syarat-syarat organisasi pers yang dapat mengirimkan wakil-wakilnyadalam dewan Pers, jumlah anggota dan syarat-syarat keanggotaannyaditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4). Penetapan anggota-anggota ahli dalam bidang pers dan tambahankeanggotaan diputuskan oleh Pemerintah bersama-sama dengananggota yang mewakili organisasi pers.
(5). Keanggotaan dalam Dewan Pers disahkan dengan PeraturanPemerintah.
Selanjutnya, Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 11 Tahun 1966,
menyatakan:
(1). Ketua Dewan Pers adalah Menteri Penerangan.(2). Pimpinan Harian Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota-anggota
Dewan Pers.(3). Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai tugas Dewan Pers, cara-
cara bekerjanya, cara-cara penggantian lowongan dalam Dewan Persdan sebagainya ditetapkan oleh Pemerintah bersama-sama denganDewan Pers.
57
Penempatan Menteri Penerangan sebagai ketua Dewan Pers, menunjukkan
kuatnya kepentingan dan kendali pemerintah terhadap pers. Ada ketakutan
pemerintah atas gangguang stabilitas pemerintahan jika pers tumbuh dan
berkembang bebas. Karena itu, pemerintah menghendaki adanya kesatuan kata
melalui saluran pers. Hal itu terbaca pada bagian Penjelasan Pasal 7 UU No. 11
Tahun 1966 yang menyatakan, “Karena Dewan Pers diketuai oleh Menteri
Penerangan sebagai ditentukan dalam ayat (1) pasal 7, maka dualisme di dalam
pembinaan pers dapat dicegah, dan sebagai gantinya adalah kata mufakat yang
dicapai sebagai hasil musyawarah di dalam Dewan Pers tersebut.”
Menindaklanjuti ketentuan di atas, khususnya amanah Pasal 6 ayat (3) UU
No. 11 Tahun 1966, maka dibentuklah Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1967
tentang Dewan Pers. Namun untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman,
akhirnya PP tersebut digantikan oleh PP No. 19 Tahun 1970 tentang Dewan Pers.
Tapi sebagaimana pengaturan teknis pada umumnya, PP itu tak lebih dari
penguraian ketentuan dalam UU No. 11 Tahun 1966, bahwa Dewan Pers
subordinasi terhadap pemerintah. Pasal 1 PP No. 19 Tahun 1970 pun kembali
menegaskan posisi Dewan Pers sebagai pendamping Pemerintah dalam membina
pertumbuhan dan perkembangan pers. Kedudukan Dewan Pers itu, lalu
berimplikasi pada pola pembiayaannya yang dibebankan kepada anggaran belanja
Departemen Penerangan, sebagaimana dinyatakan Pasal 6 PP No. 19 Tahun 1970.
Keberadaan Dewan Pers di bawah kekuasaan pemerintah, berdampak pada
struktur keanggotaannya. Pasal 4 ayat (1) PP No. 19 Tahun 1970 menyatakan
bahwa anggota Dewan Pers sebanyak-banyaknya 17 orang, yang tersusun atas:
58
a. Menteri Penerangan sebagai ketua merangkap anggota;
b. Anggota, terdiri dari 5 orang wakil organisasi wartawan, 4 orang wakil
organisasi perusahaan pers, 5 orang ahli di bidang pers, Direktur Jenderal
Pembinaan Pers dan Grafika, dan 1 orang pejabat Departemen Penerangan.
c. Wakil Ketua dan Sekretaris dipilih Dewan Pers dari anggota-anggotanya.
Dari komposisi di atas, tampak bahwa selain dari unsur pemerintah,
keanggotaan Dewan Pes juga berasal dari unsur organisasi pers dan masyarakat.
Meski begitu, unsur dari organisasi pers maupun ahli bidang pers, masih tetap
dalam kontrol pemerintah. Pasal 5 ayat (1) PP No. 19 Tahun 1970 jelas
menyatakan bahwa anggota Dewan Pers, harus berasal dari unsur organisasi pers
yang disahkan Pemerintah. Sedangkan anggota dari unsur ahli di bidang pers, baik
dari kalangan masyarakat maupun pemerintah, harus mempunyai hubungan
fungsionil dalam pembinaan pers dan memenuhi syarat tertentu. Dominasi
pemerintah itu, diperkuat oleh Pasal 5 ayat (1) PP No. 19 Tahun 1970, yang
menetapkan bahwa anggota Dewan Pers diangkat oleh Presiden atas usul Menteri
Penerangan untuk masa dua tahun, dan sesudah itu dapat diangkat kembali.
b. Dewan Pers dalam UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas UUNo. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perssebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967
Berselang lima bulan setelah disahkannya UU No. 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, terjadi perubahan melalui UU No. 4 Tahun
1967 tentang Penambahan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers. Namun lahirnya undang-undang tersebut, tidak menimbulkan
perubahan yang substansial. Undang-undang yang hanya terdiri atas dua pasal itu,
59
sekadar untuk menghindari tabrakan norma terkait produk pers, yaitu antara UU
No. 11 Tahun 1966 dan Penetapan Presiden No. 4 tahun 1963 tentang
Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu
Ketertiban Umum. Pasal 1 UU No. 4 Tahun 1967 menyatakan:
Dengan berlakunya Undang-undang ini maka tidak berlaku ketentuan-ketentuan dalam Penetapan Presiden No. 4 tahun 1963 tentangPengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya DapatMengganggu Ketertiban Umum, khususnya mengenai buletin-buletin,surat-surat kabar harian, majalah-majalah dan penerbitan-penerbitanberkala.
Barulah setelah UU No. 21 Tahun 1982 disahkan pada tanggal 20
September 1982 oleh Presiden Soeharto, sebagai perubahan kedua atas UU No. 11
Tahun 1966, terjadi perubahan berarti, yang disesuaikan dengan kepentingan
pemerintahan Orde Baru masa itu. Konsideran Menimbang undang-undang
tersebut juga menyatakan bahwa perubahan dilakukan untuk menindaklanjuti
amanah ketentuan-ketentuan dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara, khususnya bidang Penerangan dan Pers.
Untuk menjamin pertumbuhan pers yang sehat, pers yang bebas danbertanggung jawab maka Undang-Undang tentang Ketentuan-ketentuanPokok Pers perlu ditinjau kembali. Sejalan dengan hal itu maka perludipersiapkan perangkat peraturan di bidang pers yang dapat lebihmenjamin pertumbuhan pers yang sehat dalam rangka pelaksanaanDemokrasi Pancasila.1
Sebagai bentuk perubahan untuk menyesuaian dengan spirit pemerintahan
Orde Baru, maka rumusan UU No. 21 Tahun 1982 tidak terlalu menyentuh aspek
kelembagaan pers, melainkan lebih pada penegasan ideologi pemerintah dalam
1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-GarisBesar Haluan Negara, hlm. 47.
60
ranah kehidupan pers. Hal itu tampak dari Pasal I Angka 1 Huruf a UU No. 21
Tahun 1982 yang mengubah peristilahan secara menyeluruh, misalnya "alat
revolusi" diubah menjadi "alat Perjuangan Nasional", "alat penggerak massa"
diubah menjadi "alat penggerak pembangunan bangsa", “pengawal revolusi"
diubah menjadi "pengawal ideologi Pancasila", dan lain sebagainya.
Ketentuan soal Dewan Pers, juga mengalami perubahan. Pasal I angka 1
huruf b UU No. 21 Tahun 1982 menyatakan bahwa “Rumusan dalam UU No. 11
Tahun 1966 yang berbunyi ‘Pemerintah bersama-sama Dewan Pers’ diubah
menjadi Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers.” Meski pada
bagian penjelasan pasal diterangkan bahwa pengertian "Pemerintah setelah
mendengar pertimbangan Dewan Pers" tidak mengubah jiwa dan semangat Pasal
6 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1966, namun secara tersurat, perubahan tersebut
semakin menegaskan kedudukan Dewan Pers sebagai subordinasi pemerintah.
Di samping itu, ketentuan terkait Dewan Pers dalam Pasal 6 UU No. 11
Tahun 1966, juga mengalami perubahan. Pasal I angka 8 UU No. 21 Tahun 1982:
Pada Pasal 6 diadakan perubahan sebagai berikut:
a. Ayat (2) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut Anggota DewanPers terdiri dari wakil organisasi pers, wakil Pemerintah dan wakilmasyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers serta ahli-ahli dibidang lain;
b. Ayat (3) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Kedudukan, tugas,fungsi dan wewenang, jumlah dari susunan anggota, syarat-syaratkeanggotaan serta pengangkatan anggota Dewan Pers akan diaturdengan Peraturan Pemerintah;
c. Ayat (4) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Penunjukan ahli-ahli di bidang pers dan ahli-ahli di bidang dilakukan oleh Pemerintahsetelah mendengar organisasi-organisasi pers;
d. Ayat (5) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Ketentuan-ketentuan lain tentang Dewan Pers yang belum diatur dalam Peraturan
61
Pemerintah ditetapkan oleh Menteri Penerangan setelah mendengarpertimbangan Dewan Pers.
Lebih lanjut, perubahan yang terjadi, juga menghapuskan ketentuan Pasal
7 ayat (3) UU No. 11 Tahun 1966.
Perubahan di atas, tampak tidak mengubah status dan kedudukan Dewan
Pers secara mendasar. Pasal 6 ayat (1) UU No. 11 Tahun 1966 yang menyatakan
bahwa Dewan Pers hanya mendampingi pemerintah, tidak diubah. Selain itu,
Pasal 7 ayat (1) yang mendudukkan Menteri Penerangan sebagai ketua Dewan
Pers, juga tidak diubah. Bahkan sebaliknya, perubahan yang tampak jelas adalah
penegasan keterwakilan unsur pemerintah dalam tubuh Dewan Pers. Hal itu
dinilai pemerintah sebagai upaya mencerminkan interaksi positif antara pers,
pemerintah, dan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam GBHN.2
Sebagai pengaturan lebih rinci atas UU No. 21 Tahun 1982, diterbitkanlah
PP No. 1 Tahun 1984 tentang Dewan Pers yang menggantikan PP No. 19 Tahun
1970 tentang Dewan Pers. Dalam Pasal 5 PP tersebut, susunan keanggotaan
Dewan Pers diubah menjadi sebagai berikut:
a. Ketua merangkap anggota: Menteri Penerangan;
b. Wakil Ketua merangkap anggota: Salah seorang anggota Dewan yang
dipilih oleh Dewan;
c. Sekretaris merangkap anggota: Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika;
d. Anggota sebanyak-banyaknya 25 orang, yaitu: 8 orang wakil organisasi
wartawan; 6 orang wakil organisasi perusahaan pers; 1 orang wakil
2 Lihat bagian Penjelasan Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.
62
organisasi grafika pers; 1 orang wakil organisasi media periklanan; 5 orang
wakil Pemerintah; 4 orang wakil masyarakat yang ahli di bidang tertentu.
Susunan keanggotaan Dewan Pers yang terdiri atas berbagai unsur, tidak
secara otomatis menghadirkan keberimbangan kuasa. Hal itu karena anggota
Dewan Pers dipersyaratkan berasal dari organisasi pers yang disetujui pemerintah.
Selain itu, penetapan anggota dari unsur organisasi pers dan unsur masyarakat,
tetap melalui tahap pemilihan oleh Menteri Penerangan untuk kemudian diusulkan
pengangkatannya kepada presiden. Organisasi pers hanya berwenang untuk
mengusulkan calon anggota.3 Dominasi dan kontrol pemerintah terhadap Dewan
Pers semakin memungkinkan, sebab menurut Pasal 10 ayat (1) PP No. 1 Tahun
1984, anggota Dewan Pers diangkat dan diberhentikan oleh Presiden untuk masa
tiga tahun, dan sesudah itu dapat diangkat kembali. Sebagai domain pemerintah,
pembiayaan Dewan Pers pun dibebankan pada anggaran belanja Departemen
Penerangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13 PP No. 1 Tahun 1984.
c. Dewan Pers dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
Setelah memasuki era Reformasi, tuntutan masyarakat atas hak atas
informasi, khususnya hak bagi pers untuk berkembang secara baik, akhirnya
disikapi dengan lahirnya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Spirit kemerdekaan
pers yang melandasi lahirnya undang-undang tersebut, terbaca dalam bagian
konsideran Menimbang huruf c UU No. 40 Tahun 1999, yang menyatakan:
bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebarinformasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi,
3 Lihat Pasal 10 PP No. 1 Tahun 1984 tentang Dewan Pers
63
hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkankemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan danperlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan darimanapun.
Semangat perlindungan kemerdekaan pers, selanjutnya tercermin Pasal 4
ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa terhadap pers nasional
tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Selain itu,
pada ayat (3) pasal yang sama, ditekankan bahwa pers nasional berhak untuk
mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Ketentuan itu
mempertegas bahwa campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers, hingga
berujung pembredelan, tidak dibolehkan lagi. Bahkan perizinan terkait
penyelenggaraan usaha pers, baik dalam bentuk Surat Izin Terbit (SIT) yang
masih diakui keberadaannya dalam UU No. 11 Tahun 1966, maupun Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang menggantikan SIT pasca disahkannya UU
No. 21 Tahun 1982, tidak diadopsi dalam UU No. 40 Tahun 1999.
Penghormatan terhadap kemerdekaan pers dalam UU No. 40 Tahun 1999,
juga berimbas pada desain kelembagaan Dewan Pers. Jika aturan perundang-
undangan sebelum Reformasi mendudukkan Dewan Pers sebagai pendamping
pemerintah, maka UU No. 40 Tahun 1999 secara tegas menyatakan bahwa Dewan
Pers adalah lembaga yang independen. Pasal 15 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999
menyatakan bahwa, “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan
meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.”
Sebagai perumusan lebih lanjut atas klausul “Dewan Pers yang
independen”, maka struktur keorganisasian dan kepengurusan Dewan Pers, juga
terbebas dari campur tangan pemerintah. Dewan Pers tidak lagi diketuai secara
64
otomatis oleh Menteri Penerangan, bahkan wakil pemerintah tidak diakomodasi
lagi dalam tubuh Dewan Pers. Desain kelembagaan itu, dapat dilihat dalam Pasal
15 ayat (3) dan (4) UU No. 40 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut:
(3). Anggota Dewan Pers terdiri dari :a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan
pers;c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan
bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan danorganisasi perusahaan pers;
(4). Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.(5). Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal
ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden.(6). Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah
itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.(7). Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari :
a. organisasi pers;b. perusahaan pers;c. bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.
Penguraian lebih lanjut terkait kelembagaan Dewan Pers, hanya dapat
dirujuk pada Statuta Dewan Pers yang bersifat internal, sebab UU No. 40 Tahun
1999, tidak mengandung satu pun klausul untuk mengadakan pengaturan lebih
lanjut dalam peraturan perundang-undangan lain. Secara rinci, anggota Dewan
Pers berdasarkan Pasal 6 ayat (1) statuta tersebut, ditentukan sebanyak 9 orang,
yang terdiri dari: 3 orang unsur wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan, 3
orang unsur pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan
pers, serta 3 orang unsur tokoh masyarakat dengan keahlian tertentu yang dipilih
oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Untuk proses
pemilihannya, Dewan Pers yang sedang menjabat membentuk Badan Pekerja
Pemilihan Anggota (BPPA) yang beranggotakan wakil-wakil organisasi wartawan
65
dan organisasi perusahaan pers yang lolos verifikasi Dewan Pers. BPPA terdiri
dari Ketua merangkap anggota, Sekretaris merangkap anggota, dan anggota.
Selanjutnya, anggota BPPA dari unsur organisasi wartawan kemudian
mengusulkan 6 orang wartawan, anggota BPPA dari unsur organisasi perusahaan
pers mengusulkan 6 orang pemimpin perusahaan pers, sedangkan 6 calon anggota
dari unsur masyarakat dipilih oleh BPPA. Dari calon-calon itu, kemudian dipilih 9
orang untuk menjadi anggota baru oleh BPPA bersama Dewan Pers.
Sebagai bekal mengaktualisasikan kedudukannya yang strategis, Dewan
Pers pun diberikan fungsi yang lebih memadai. Serangkain fungsi yang berakar
dari semangat kemerdekaan pers itu, terurai dalam Pasal 15 ayat (2) UU No. 40
Tahun 1999, yang menyatakan bahwa Dewan Pers melaksanakan fungsi berupa:
a. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;b. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaanpers;
e. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;f. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-
peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesikewartawanan;
g. mendata perusahaan pers;
d. Perbandingan Kelembagaan Dewan Pers dalam Peraturan Perundang-undangan Sebelum Reformasi dan Sesudah Reformasi
Status dan kedudukan Dewan Pers menunjukkan perubahan signifikan jika
ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, sebelum dan
sesudah era Reformasi. Tampak jelas bahwa lahirnya UU No. 40 Tahun 1999
tentang Pers, telah mengokohkan posisi Dewan Pers sebagai pelindung
66
kemerdekaan pers. Hal itu tampak dari desain kelembagaan Dewan Pers yang
independen, yang lepas dari campur tangan pihak manapun, termasuk pemerintah.
Untuk lebih jelasnya, berikut tabel perbandingan kelembagaan Dewan Pers
di antara peraturan perundang-undangan pers:
Tabel 1: Perbandingan Kelembagaan Dewan Pers dalam Peraturan Perundang-undangan Sebelum dan Sesudah Reformasi
DasarHukum
Kedudukan Lembaga
KomposisiAnggota
PemilihanAnggota
UU No.11/1966jo. PP No.19/1970
Subordinasipemerintah
Berjumlah 17 orang yangmeliputi unsur organisasipers dan ahli bidang pers(dari kalangan masyarakatdan pemerintah)
Ketua: menteri penerangan
Diangkat olehpresiden atas usulmenteri penerangan
UU No.21/1982jo. PP No.1/1984
Subordinasi
Pemerintah
Berjumlah 25 orang yangmeliputi unsur organisasipers, pemerintah, sertamasyarakat yang ahli dibidang pers dan ahli-ahlibidang lain
Ketua: menteri penerangan
Menteri peneranganmemilih dari calonyang diajukan pihakorganisasi pers,pemerintah, dan ahliuntuk diusulkanpengangkatannyakepada presiden.
UU No.40/1999jo.StatutaDewanPers
Independen Jumlahnya tidak ditentukan,namun lazimnya 9 orangyang berasal unsurorganisasi wartawan,organisasi perusahaan pers,serta tokoh masyarakat, ahlidi bidang pers ataukomunikasi, dan bidanglain.
Ketua: Dipilih dari dan olehanggota
Dipilih olehorganisasi wartawandan organisasiperusahaan pers
Sumber: Hasil olah bahan hukum primer, 2017.
67
2. Dewan Pers dan Kemerdekaan Pers
a. Kondisi Kemerdekaan Pers
Dalam rentang sejarah kehidupan pers, persolan sejauh mana pers dapat
merdeka dan bebas dalam menyebarluaskan informasi, menjadi sebuah hal yang
sensitif dan selalu disikapi rezim pemerintahan dengan cara yang berbeda-beda.
Paling tidak, persolan tersebut dapat ditelusuri pada bagaimana format hukum di
setiap rezim mengatur terkait pers. Lebih dari itu, persoalan kemerdekaan pers,
juga terkait dengan kepentingan pemerintah yang mempengaruhi tafsir aturan
hukum, hingga terwujud dalam kehidupan pers secara nyata. Alasannya karena
bisa saja aturan hukum secara normatif telah memadai bagi kemerdekaan pers,
tetapi kekuasaan rezim memang sengaja mengenyampingkannya.
Membedah sejauah mana kemerdekaan pers di setiap rezim pemerintahan,
dapat didasarkan pada kajian aturan hukum, karekteristik pemerintahan, dan
kondisi kebangsaan masing-masing. Untuk itu, pembedahan dapat dibagi dalam
dua masa yang berbeda citra nuansa, yaitu sebelum dan setelah Reformasi.
i. Kehidupan Pers Sebelum Reformasi
Sebelum kemerdekaan, Persbreidel Ordonantie bertanggal 7 September
1931, merupakan perangkat hukum pers yang digunakan pemerintah kolonial
Hindia Belanda. Dengan aturan tersebut, surat kabar yang dianggap mengganggu
ketertiban umum sejak tahun 80’an, dibungkam. Kelahiran ordonantie itu
menyusul kasus diadilinya Ir. Soekarno yang terkenal dengan pidato pembelaan
dirinya bertajuk Indonesia Menggugat (Indonesia Klaagt Aan) di Mahkamah
68
Pengadilan, Bandung, Agustus-Desember 1930.4 Ordonansi itu baru dicabut
setelah kemerdekaan dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1954 tentang
Pencabutan Persbreidel Ordonnanantie. Walau begitu, pembredelan surat kabar
masih terus terjadi hingga tahun 1967, ketika berakhirnya era Orde Lama.5
Berlakunya UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pers yang disahkan Presiden Soekarno pada 12 Desember 1966, tidak juga
mampu menjadi landasan kemerdekaan pers yang memadai. Pers diwarnai
berbagai bentuk intervensi dari pemerintah. Atas alasan kepentingan nasional,
pers diwajibkan untuk turut pada garis kebijakan pemerintah yang tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan. Pemerintah sebagai pemegang kuasa
atas tafsir aturan hukum, pun dengan mudah merecoki kehidupan pers atas alasan
demi kepentingan dan kebijakan nasional.
Kehadiran UU No. 11 Tahun 1966, pada dasarnya mendudukkan pers di
posisi yang gamang. Pada satu sisi, kebebasan pers diakui, namun di sisi lain,
harus dalam kerangka kebijakan dan tafsir pemerintah. Pasal 5 ayat (1) UU No. 11
Tahun 1966 menyatakan bahwa “Kebebasan Pers sesuai dengan hak azasi warga
negara dijamin”. Namun pada ayat (2) pasal tersebut, dinyatakan bahwa
kebebasan pers sebagai hak pers, didasarkan atas tanggung jawab nasional dan
pelaksanaan fungsi dan kewajiban yang digariskan dalam undang-undang. Pada
posisi inilah kehidupan pers rentan diintervensi oleh pemerintah atas tafsir bahwa
pers tidak lagi melaksanakan fungsi dan kewajibannya untuk kepentingan
4 Winarta Adisubrata, Dari Persbreidel Ordonantie Tahun 1931 Hingga KemerdekaanPers dalam Era Reformasi, Jurnal Dewan Pers (Ancaman Perundang-undangan terhadapKemerdekaan Pers), Edisi No. 8, Desember 2013, Dewan Pers, Jakarta, hlm. 11.
5 Ibid., hlm. 12.
69
nasional. Buktinya, Pasal 4 UU No. 11 Tahun 1966 yang menyatakan bahwa,
“Terhadap Pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pemberedelan”, sering kali
diabaikan pemerintah atas nama kepentingan negara.
Kontrol pemerintah terhadap kebebasan pers dalam UU No. 11 Tahun
1966, bahkan menyentuh pada kelembagaan pers. Organisasi pers, baik organisasi
wartawan maupun organisasi perusahaan pers, diakui bila telah disetujui atau
disahkan oleh pemerintah. Campur tangan pemerintah juga masuk sampai ke
stuktur organisasi perusahaan pers. Ditegaskan bahwa untuk duduk sebagai
pimpinan sesuatu penerbitan pers, baik pimpinan umum, pimpinan redaksi
ataupun pimpinan perusahaan, seseorang harus tidak pernah terlibat aksi yang
bertentangan dengan kebijakan pemerintah, serta harus memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan oleh pemerintah bersama Dewan Pers. Demikian juga untuk
menjadi seorang wartawan, seseorang harus sepaham dan sejalan dengan ideologi
pemerintah, serta memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan pemerintah bersama
Dewan Pers. Kerangka ini, tetap dipertahankan pascalahirnya UU No. 21 Tahun
1982 sebagai perubahan kedua atas UU No. 11 Tahun 1966.
Penggunaan frasa “kebebasan pers” untuk menyiratkan hak pers dalam
UU No. 11 Tahun 1966, kembali digunakan dalam UU No. 21 Tahun 1982.
Bahkan pengejawantahan kebebasan pers dalam undang-undang perubahan ini,
semakin menekankan kedudukan pers sebagai penyokong kepentingan
pemerintahan. Klausul “kebebasan pers yang bertanggung jawab” menjadi garis
pokok penguraian pasal-pasalnya. Pasal 2 ayat (2) huruf c UU No. 11 Tahun 1966
yang menyatakan bahwa pers nasional berkewajiban “memperjuangkan kebenaran
70
dan keadilan atas dasar kebebasan pers”, melalui UU No. 21 Tahun 1982, diubah
menjadi pers nasional bertugas dan berkewajiban “memperjuangkan kebenaran
dan keadilan atas dasar kebebasan pers yang bertanggung jawab.”
Salah satu tindak lanjut klausul “kebebasan pers yang bertanggung jawab”
dalam UU No. 21 Tahun 1982 adalah keharusan memiliki Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP), sebagai pengganti Surat Izin Terbit (SIT) yang masih
diakui dalam UU No. 11 Tahun 1966. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal II
Angka 13 UU No. 21 Tahun 1982 yang menambahkan ayat (5) dan ayat (6) pada
Pasal 13 UU No. 11 Tahun 1966. Tambahan ayat (5) tersebut menyatakan, “Setiap
penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers selanjutnya disingkat SIUPP yang dikeluarkan oleh
Pemerintah. Ketentuan-ketentuan tentang SIUPP akan diatur oleh Pemerintah
setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers.” Pada bagian penjelasan ayat
tersebut, dinyatakan bahwa, “Adanya izin bagi usaha penerbitan pers merupakan
hal yang wajar. SIUPP adalah sarana pembinaan dan pengembangan pers menuju
kehidupan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab…”
Ketentuan SIUPP yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri
Penerangan No. 01/PER/MENPEN/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers, menimbulkan kerentanan bagi keberlangsungan kehidupan pers pada masa
Orde Baru. Hal itu karena Permenpen tersebut memuat ketentuan sanksi yang
memungkinkan SIUPP dibatalkan kembali. Pasal 33 Permenpen itu menyatakan
bahwa SIUPP yang telah diberikan kepada perusahaan/penerbit pers dapat
dibatalkan oleh Menteri Penerangan setelah mendengar Dewan Pers, jika
71
melanggar ketentuan terkait larangan permodalan asing dalam tubuh pers
nasional, tidak melaksanakan penerbitan secara berkala, ataukah atas penilaian
Dewan Pers dianggap tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers
yang bebas, dan bertanggung jawab.
Instrumen SIUPP beserta sejumlah aturan perundang-undangan yang
dilaksanakan dengan selera kekuasaan pada masa Orde Baru, membuat sebagian
besar media massa hanya sebagai bagian dari ideological state apparatus, yaitu
berperan dalam proses mereproduksi dan menjaga stabilitas legitimasi rezim.
Pemerintahan Presiden Soeharto jelas menerapkan kontrol yang ketat terhadap
pers, termasuk penyiaran, dengan berbagai regulasi dan perundang-undangan.6
Indikasi masih adanya otonomi relatif adalah adanya bermacam peringatandari pemerintah terhadap pers. Jika dicermati, berbagi peringatanpemerintah Orde Baru tersebut justru muncul karena kepedulian pers padakepentingan masyarakat. Ini artinya, pers yang mendapat peringatanpemerintah sama saja dia mempunyai otonomi, sebab ia beranimenentukan pilihannya untuk berpihak pada masyarakat. Pembatalan tigapenerbitan sekaligus (Tempo, Editor, DeTIK), salah satunya dipicu olehsemangat pers untuk memelihara otonominya meski pada akhirnyaterbentur keperkasaan negara. Tidak bisa dipungkiri dominasi pemerintahpernah sangat kuat dalam kehidupan pers pada era kekuasaan rezim OrdeBaru.7
Tindakan represif pemerintahan Orde Baru terhadap pers, juga dapat
dilihat dari hasil polling atas 131 responden yang dilakukan oleh majalah Editor
pada 13 Oktober 1990. Hasilnya menunjukkan bahwa 19,1% menyatakan pers
berani memberikan fakta secara objektif di lapangan, 30,5% menyatakan pers
6 Henry Subiakto, hlm. 86.7 Nurudin, 2014, Sistem Komunikasi Indonesia, Cetakan II, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.
81.
72
banyak menyembunyikan fakta, 22,1 menyatakan pers mendukung pemerintah,
dan 25,59% menyatakan pers “banci”.8
Dari perjalanan kehidupan pers sejak Proklamasi hingga tumbangnya Orde
Lama, kemerdekaan pers mengalami pasang-surut. Di antara tahun 1945-1949,
walaupun sedang revolusi dan perang melawan Belanda, kemerdekaan pers
berjalan sebagaimana mestinya. Media pers bebas menyatakan pendapat dan
memuat berita oposisi atau perbedaan pendapat dengan pemerintah. Demikian
pula antara tahun 1950-1959 yang disebut masa liberal, tidak ada hambatan
terhadap kemerdekaan pers. Terpuruknya kemerdekaan pers, kemudian terjadi di
masa Orde Lama, yaitu antara tahun 1959-1966. Sejumlah media, seperti harian
Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, dilarang terbit karena dianggap tidak sesuai
kemauan penguasa. Di masa awal Orde Baru, tahun 1966 -1971, memang didapati
adanya kemerdekaan pers. Namun sejak era tujuh puluhan sampai tumbangnya
Orde Baru tahun 1998, kemerdekaan pers surut kembali. Masa-masa suram
kemerdekaan pers (1959-1966 dan 1970-1998) itu, seiring dengan sistem
kekuasaan otoriter yang tidak mendukung kemerdekaan pers, kecuali yang
mendukung dan membenarkan sistem otoritarian atau kediktatorannya.9
Pada fase tertentu di zaman Orde Lama dan Orde Baru, tekanan terhadap
kemerdekaan atau kebebasan pers, memang merupakan suatu kenyataan yang
tidak mungkin dibantah. Sistem SIUPP sebagai instrumen pemberian dan
pencabutan izin, bredel, pengendalian terhadap isi berita dengan perintah langsung
8 Ibid., hlm. 82.9 Bagir Manan, 2012, Politik Publik Pers, Op.cit., hlm. 215-216.
73
dari penguasa, penahanan wartawan atau redaksi tanpa diadili, merupakan bukti
nyata ketiadaan kemerdekaan pers.10
Dari gambaran besar di atas, tampak bahwa sebelum era Reformasi,
kehidupan pers jauh dari kata merdeka. Atas nama kepentingan negara,
pemerintah dengan mudah mengintervensi bahkan mematikan hidup dan
kehidupan pers, baik karena aturan hukum memungkinkannya melalui instrumen
semacam SIUPP, juga karena pemerintah yang kuasa atas tafsir aturan hukum
bertindak sewenang-wenang.
ii. Kehidupan Pers Setelah Reformasi
Lahirnya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers di era Reformasi, menjadi
momentum diputusnya rantai belenggu terhadap pers, seperti peniadaan SIUPP,
peniadaan sistem kendali preventif, dan peniadaan pembereidelan. Pemerintah
dilarang mencampuri urusan rumah tangga pers.11 Atas prinsip “kemerdekaan
pers” dalam undang-undang tersebut, pemerintah tidak lagi diberikan kewenangan
untuk mengatur secara teknis soal pers dalam jenis peraturan apapun, termasuk
soal kelembagaan pers. Selain itu, usaha pers juga tidak lagi mempersyaratkan
izin tertentu. Dengan demikian, pemerintah tidak lagi bisa menjadikan kekuasaan
dan soal administrasif sebagai jalan mengekang kehidupan pers, sebagaimana
terjadi di rezim sebelumnya. Kemerdekaan pers sebagai roh UU No. 40 Tahun
1999, ditetapkan sebagai prasyarat utama kebebasan pers yang harus diwujudkan.
Karena itu, sedari awal, ada keinginan kuat dari para perumus undang-undang,
berdasarkan tuntutan Reformasi, agar kehidupan pers terbebas dari segala macam
10 Ibid., hlm. 36-37.11 Ibid., hlm. 37.
74
bentuk intervensi, terutama dari pemerintah. Ini berarti bahwa secara struktur-
kelembagaan dan administratif, celah bagi pemerintah untuk mendikte pers, harus
ditutup sama sekali.
Kemerdekaan pers sebagai spirit UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers,
tampak jelas dalam konsideran Menimbang huruf c UU tersebut yang menyatakan
bahwa pers harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari
campur tangan dan paksaan dari mana pun. Semangat tersebut kemudian terurai
dalam rumusan pasal-pasalnya, salah satunya adalah Pasal 4 ayat (1) yang
menegaskan bahwa, “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”.
Tafsir atas diktum tersebut pada bagian penjelasannya adalah, “bahwa pers bebas
dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan, agar hak masyarakat
untuk memperoleh informasi, terjamin.”
Secara umum, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mengandung beberapa
prinsip kemerdekaan pers. Pertama, kemerdekaan pers sekaligus sebagai pranata
demokrasi dan hak asasi manusia. Kedua, kemerdekaan pers melarang segala
bentuk pembelengguan, baik yang bersifat preventif atau prior restraint
(sensorship, licencing, larangan siaran), maupun yang bersifat represif seperti
pemberedelan atau tindakan lain atas suatu berita, kecuali kalau bertentangan
dengan hukum. Ketiga, kemerdekaan pers mengandung muatan kebebasan
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
(menyebarkan) informasi, dengan memperhatikan kepentingan nasional,
75
kepentingan publik, nilai-nilai keagamaan, dan kesusilaan, serta kewajiban
menghormati hak asasi.12
Penegasan kemerdekaan pers dalam UU No. 40 Tahun 1999, memang
telah berhasil membebaskan pers dari intervensi ekternal, khususnya penguasa
pemerintahan. Format undang-undang tersebut, jelas menghindarkan pers dari
campur tangan pemerintah. Namun seiring itu, tantangan baru kemerdekaan pers
dari internal tubuh pers sendiri, menjadi persoalan yang patut disikapi secara
serius, yaitu distorsi bilik redaksi oleh pihak internal pers. Fenomena ini dapat
dilihat pada hasil riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang yang
menunjukkan kerasnya campur tangan pihak internal dalam kerja-kerja jurnalistik
para wartawan. Pihak-pihak dalam wilayah internal adalah pemilik perusahaan,
pemimpin perusahaan, pemimpin redaksi, redaktur, jurnalis sekantor, bagian iklan
dan sirkulasi.13
Pemilik media atau pemimpin perusahaan meminta agar berita negatif darikenalannya tidak ditulis. Pemimpin redaksi dan redaktur meminta agarberita-berita yang menyerang kenalan, pemasang iklan, diperhalus atautidak usah ditulis. Selain itu pemimpin redaksi dan redaktur juga bisamenghilangkan beberapa fakta dalam berita ketika mengedit. Intervensijuga bisa datang dari rekan sekantor yang meminta agar berita-berita yangmenyerang kenalan mereka diperhalus atau tidak usah ditulis.14
Dalam fenomena kehidupan pers kekinian, di saat pers masuk dalam
lingkaran industri, pemilik perusahaan perslah yang memiliki andil sangat besar
dalam mengintervensi kerja-kerja jurnalistik secara umum, baik karena alasan
kepentingan ekonomi, politik, maupun yang lain. Ketika pemilik perusahaan pers
12 Ibid., hlm. 159-160.13 Pratono, dkk., 2014, Potret Intervensi di Bilik Redaksi, Aliansi Jurnalis Independen
(AJI), Semarang, hlm. 166-167.14 Ibid., hlm. 117-118.
76
mencampuri urusan bilik redaksi, para wartawan yang terhimpun dalam ruang
redaksi, sulit untuk tidak turut. Alasannya karena para wartawan terikat dengan
kepentingan ekonomi, yaitu berkedudukan sebagai pekerja di perusahaan pers.
Kondisi semacam ini, jelas rentan menimbulkan distorsi pada isi media pers,
misalnya pengaburan fakta, atau pemberitaan atas sesuatu yang subjektif dan tidak
memiliki dimensi kepentingan publik.
Potret distorsi isi media demi kepentingan internal pihak perusahaan pers,
juga dapat disimak dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Anett Keller terhadap
empat media besar nasional, yaitu Kompas, Media Indonesia, Republika, dan
Tempo. Dari hasil penerlitiannya dengan mewawancarai pihak di bidang redaksi
dan perusahaan dari media tersebut, Annet menemukan besarnya pengaruh
kepemilikan media terhadap independensi ruang pemberitaan.
Di tiga dari empat harian yang diteliti (Kompas, Media Indonesia,Republika) pemilik saham mayoritas juga merangkap sebagai direkturperusahaan. Ia mempunyai hak untuk menetapkan garis haluan suratkabarnya. Tidak ada apapun yang menghalanginya untuk melakukantekanan yang tidak relevan kepada pihak redaksi. Ia juga dapatmenentukan atau bahkan memaksakan pemilihan dan pengerjaan tema-tema kepada pihak redaksi menurut kepentingannya dan dengan demikianmengubah mekanisme pengambilan keputusan redaksional sehinggamekanisme yang memberi prioritas kepada kepentingan umum tidakberlaku lagi.15
Dalam penelitian yang sama, keadaan jauh berbeda terdapat di media
Tempo. Berbeda dengan tiga media lain yang diteliti, Tempo tidak memiliki
pemilik saham terbesar. Lebih dari 50% kepemilikan perusahaan dipunyai oleh
yayasan-yayasan. Dengan demikian, di Koran Tempo tidak ada pemilik media
15 Anett Keller, Op.cit., hlm. 104.
77
dalam arti yang biasanya.16 Tidak adanya kepemilikan saham mayoritas, membuat
ruang redaksi media ini lebih otonom dalam menentukan garis-garis pemberitaan
demi kepentingan publik.
Bentuk kepemilikan yang tidak membiarkan adanya pemilik sahammayoritas tampaknya merupakan hal yang positif bagi otonomi redaksi.Kekhawatiran akan adanya veto dari pemilik perusahaan dalam prosesredaksional tidak terdapat di Koran Tempo. Para wartawan yangdiwawancarai mengungkapkan banyak segi positif tentang kebebasanjurnalistik yang mereka nikmati di surat kabar mereka. Hal itu lagi-lagisesuai dengan prinsip watchdog dan persepsi dari masyarakat tentang(Koran) Tempo sebagai media massa yang kritis dan demokratis.17
Independensi media, di Indonesia, jelas dipengaruhi oleh kepentingan
politik. Terlebih, memang banyak pemilik media yang bergabung dengan partai
politik. Mereka adalah Surya Paloh, pemilik Grup Media Indonesia (Metro TV,
Media Indonesia, Lampung Post, Tabloid Prioritas); Abu Rizal Bakrie, pemilik
Grup Vivanews (TV One, ANTV, Vivanews. com); dan Hari Tanoesoedibjo,
pemilik MNC Group (RCTI, Global TV, MNC TV, Sindo Network). Persentuhan
antara media dan politik praktis itu, akhirnya berpengaruh pada independensi dan
netralitas media dalam pemberitaan dan iklan politik.18
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Masduki, dkk., dapat
disimpulkan bahwa konten berita di tiga stasiun televisi (Trans TV, Metro TV,
dan TV One), menunjukkan perbedaan yang signifikan. Berita tentang Pemilu
2014 di TV One lebih banyak menyebut Partai Golkar serta Calon Presiden
Aburizal Bakrie. Demikian pula Metro TV, lebih banyak menampilkan
16 Ibid., 58.17 Ibid., hlm. 106.18 Masduki, dkk., (Tim Peneliti dari Masyarakat Peduli Media), Analisis terhadap
Kecenderungan Pemberitaan 4 Grup Media Nasional di Indonesia, Jurnal Dewan Pers(Mengungkap Independensi Media), Edisi No. 9, Juni 2014, Dewan Pers, Jakarta, hlm. 43.
78
narasumber dari kalangan Partai Nasdem dan Calon Presiden Surya Paloh. Narasi
pemberitaan TV One selalu memberikan nuansa positif kepada Aburizal. Hal yang
sama juga dilakukan Metro TV terhadap Surya Paloh. Sedangkan siaran Trans TV
yang pemiliknya bukan politisi, secara umum tidak menunjukkan keberpihakan
pada partai politik maupun calon presiden tertentu.19
Tak jauh berbeda dengan hasil penelitian Effendi, dkk. Secara kualitatif,
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa media digunakan untuk membela
kepentingan pemilik. Pada media online dan televisi, berita mengenai pemilik dan
kelompok afiliasinya cenderung lebih sering muncul jika pemiliknya mempunyai
kepentingan politik pragmatis. Di okezone.com dan juga RCTI (MNC Group),
berita mengenai pemilik media jauh lebih tinggi dibandingkan dengan berita di
Kompas Group (Kompas TV dan kompas.com). Ini semakin menegaskan bahwa
media yang dimiliki elit politik, cenderung digunakan pemiliknya untuk
kepentingan pribadi dibandingkan melayani kepentingan publik.20
Dari gambaran di atas, tampak bahwa selalu terjadi tarik ulur antara
kemerdekaan pers dan kepentingan publik di satu sisi, dengan kepentingan
pemilik dan pemodal perusahaan pers di sisi lain. Dalam situasi demikian, mau
tidak mau, pers harus didudukkan pada posisi yang semestinya.
Untuk mempertemukan kepentingan yang mungkin berbeda tersebut, adasatu pertanyaan, “Apakah perusahaan pers, betapapun besar maknaekonomi atau sebagai industri memiliki keunikan yang membedakannyadari usaha ekonomi lainnya?” Mestinya, ya. Apakah itu? Perusahaan persharus tetap menyadari: Pertama, pers sebagai institusi publik mengemban
19 Ibid., hlm. 80.20 Amir Effendi Siregar, dkk., Menakar Independensi dan Netralitas Jurnalisme dan
Media di Indonesia, Jurnal Dewan Pers (Mengungkap Independensi Media), Edisi No. 9, Juni2014, Dewan Pers, Jakarta, hlm. 34.
79
kepentingan publik. Kedua, pers sebagai subsistem demokrasi harusterpelihara tetap merdeka (bebas) dalam menjalankan tugas-tugasjurnalistik. Ketiga, perusahaan pers seyogianya menjadi sarana yang turutserta mewujudkan kesejahteraan umum atas dasar keadilan sosial bagiseluruh rakyat.21
Demi menangahi dua kepentingan yang berbeda di atas, dicetuskanlah
Piagam Palembang tentang Kesepakatan Perusahaan Pers Nasional. Piagam itu
ditandatangani di Palembang oleh 18 orang pemimpin perusahaan pers, pada 9
Februari 2010. Di antara penanda tangan adalah Hary Tanoesudiby (MNC
Group), Agung Adiprasetyo (Kompas Gramedia Group), Dahlan Iskan (Jawa Pos
Group), dan Chairul Tanjung (Transmedia Group), serta masih membuka
kesempatan kepada perusahaan pers lain untuk menerapkannya. Salah satu poin
dari piagam tersebut ialah kesediaan para pemilik perusahaan pers untuk
melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers,
Standar Perlindungan Wartawan, Standar Kompetensi Wartawan, serta akan
menerapkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan-ketentuan
yang berlaku di perusahaan mereka. Namun seiring waktu, kenyataan
menunjukkan bahwa kesepakatan itu, khususnya yang berhubungan dengan
kemerdekaan pers di ruang redaksi, sering diabaikan.
Goyahnya kemerdekaan pers di internal perusahaan pers, akhirnya
berpengaruh pada citra pers Indonesia. Dalam buku Indeks Kemerdekaan Pers
(IKP) 2016 yang diluncurkan Dewan Pers, kemerdekaan media pers Indonesia
masuk dalam kategori agak bebas (fairly free) dengan nilai 62,81. Kemerdekaan
pers dinyatakan tidak bebas pada skor 0-30, kurang bebas pada skor 31-55, agak
21 Bagir Manan, 2012, Politik Publik Pers, Op.cit., hlm. 255-256.
80
bebas pada skor 56-69, cukup bebas pada nilai 70-89, dan bebas pada skor 90-
100. Kondisi mengkhawatirkan tersebut, sangat dipengaruhi oleh intervensi
pemilik perusahaan pers. Alih-alih menjadikan pers bebas demi kepentingan
publik, pers kadangkala digunakan untuk kepentingan politik dan ekonomi.
Karena itu, dalam IKP 2016, independensi dari kelompok kepentingan meraih
poin tiga terbawah yaitu 56,18 dari 20 indikator utama yang dinilai.22
Penilaian yang mengkhawatirkan atas kemerdekaan pers Indonesia, juga
diberikan lembaga internasional Freedom House yang menempatkan Indonesia
untuk rentang tahun 2012-2017, pada kategori bebas sebagian (partly free) dengan
skor 49/100. Skor 0-30 untuk bebas, 31-60 bebas sebagian, dan 61-100 tidak
bebas. Selain itu, Lembaga internasional Reporters Sans Frontiers (RSF) pada
2017 menempatkan kemerdekaan pers Indonesia di urutan 124 dari 180 negara,
dengan skor 39.93. Posisi Indonesia lebih buruk dibandingkan Afganistan (120)
dan Uganda (112).23 Indeks Kebebasan Pers Sedunia yang dirilis Reporters
Without Borders (RWB)24 pada Rabu, 26 April 2017, juga masih menunjukkan
keadaan yang mengkhawatirkan. Indonesia hanya naik enam peringkat ke 124,
dari posisi 130 tahun lalu. Dengan begitu, Indonesia berada tepat di bawah Qatar
dan di atas Angola. Meski mengalami peningkatan, kenaikan peringkat Indonesia
bukan murni karena perbaikan kualitas kemerdekaan pers, tapi juga dikarenakan
22 Tirto.id, 12 Agustus, 2017, Independensi dan Kemerdekaan Pers di HUT RI Ke-72,https://tirto.id/independensi-dan-kemerdekaan-pers-di-hut-ri-ke-72-cupR, diakses pada tanggal 22September 2017, pukul 20.29 Wita.
23 Ibid.24 RWB adalah organisasi non-pemerintah internasional yang mempromosikan dan
membela kebebasan informasi dan kebebasan pers. Indikator yang digunakan RWB dalammengukur Indeks Kebebasan Pers adalah pluralisme isi media, independensi media, lingkungandan penyensoran, kebijakan pemerintahan, keterbukaan informasi, infrastruktur media, sertaperlindungan terhadap wartawan (disarikan dari website RWB: https://rsf.org/en/).
81
negara-negara lain mengalami situasi yang lebih buruk, seperti konflik
berkepanjangan.25
b. Kapabelitas Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan Pers
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjunjung tinggi kemerdekaan
pers, membuat campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers, hilang sama
sekali, termasuk di dalam kelembagaan Dewan Pers. Tak ada lagi keterwakilan
pemerintah dalam tubuh Dewan Pers seperti dalam undang-undang sebelumnya.
Hingga akhirnya, Dewan Pers menjadi satu-satunya lembaga negara yang
mempunyai akses terhadap kehidupan pers. Karena itu, Dewan Pers menjadi
penanggungjawab utama dalam menjaga kemerdekaan pers. Pasal 15 ayat (1) UU
No. 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa, “Dalam upaya mengembangkan
kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan
Pers yang independen.” Pada bagian penjelasan ayat tersebut, diuraikan bahwa,
“Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan
pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional.”
Kehadiran Dewan Pers yang independen sebagai lembaga pelindung
kemerdekaan pers, akhirnya menjadi harapan utama insan pers. Perlindungan
yang dihadapkan, mencakup perlindungan dari intervensi pihak eksternal maupun
internal pers. Hal ini sejalan dengan salah satu fungsi Dewan Pers dalam Pasal 15
ayat (2) huruf a UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa
Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi, salah satunya ialah, “Melindungi
25 Rappler, 27 April 2017, Indeks Kebebasan Pers Sedunia: Kerisauan Indonesia dalamPeringkat yang Lebih Baik, https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/168134-indeks-kebebasan-pers-sedunia-indonesia-2017, diakses pada tanggal 22 September 2017, pukul 16.05Wita.
82
kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.” Amanah tersebut sejalan
dengan spirit pembentukan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang tercantum
dalam konsideran Menimbang huruf c undang-undang tersebut, yang menyatakan:
bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebarinformasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi,hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkankemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan danperlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan darimanapun;
Persoalan sejauh mana ruang lingkup kemerdekaan pers, harus senantiasa
dikaitkan dengan aktivitas jurnalistik. Hal itu sejalan dengan pengertian pers
dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yaitu:
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yangmelaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh,memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baikdalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dangrafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Jika pengertian “kemerdekaan” dilekatkan dengan pengertian “pers”
sebagaimana dimaksud di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sepanjang
menyangkut pelaksanaan aktivitas jurnalistik, pers harus bebas dari campur
tangan pihak manapun. Hal ini sejalan dengan penegasan Pasal 4 ayat (1) UU No.
40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa, “Kemerdekaan pers dijamin
sebagai hak asasi warga negara.” Tafsir klausul tersebut dalam bagian
penjelasanya adalah, “…bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan,
dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.”
Oleh karena itulah, insan pers sebagai pengembang tugas jurnalistik, harus
83
terlepas dari intervensi apapun yang dapat merecoki independensinya dalam
menyampaikan informasi.
Di sisi lain, soal ruang lingkup tafsir “campur tangan pihak lain” yang
dimaksud dalam ketentuan di atas, memang tidak ditemukan uraiannnya dalam
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tapi setidaknya dapat ditarik gambaran
umum bahwa pihak lain yang dimaksud adalah pihak yang berada di luar tubuh
pers, yaitu orang yang tidak bersentuhan langsung dengan aktivitas jurnalistik.
Jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 4 yang menyatakan bahwa, “Wartawan
adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”, maka selain
wartawan, pada dasarnya dapat digolongkan sebagai pihak di luar pers yang tidak
boleh mengintervensi apalagi mengganggu kemerdekaan pers. Karangka ini
sejalan dengan maksud Pasal 1 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-
DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-
DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers, yang
menyatakan bahwa, ”Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan
berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Tafsir kata
“independen” dalam Peraturan Dewan Pers tersebut adalah “…memberitakan
peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani, tanpa campur tangan,
paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik perusahaan pers.”
Dalam upaya melindungi kemerdekaan pers secara menyeluruh
sebagaimana dimaksud di atas, maka fungsi Dewan Pers sebagaimana terurai
dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pun, pada umumnya ditujukan untuk
menghindarkan pers dari campur tangan pihak luar. Secara utuh, Pasal 15 ayat (2)
84
UU No. 40 Tahun 1999 menyatakan bahwa Dewan Pers melaksanakan fungsi-
fungsi sebagai berikut:
a. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;b. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaanpers;
e. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;f. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-
peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesikewartawanan;
g. mendata perusahaan pers.
Jika diperhatikan secara seksama, maka serangkaian fungsi Dewan Pers di
atas menghendaki adanya kehidupan pers yang tidak lagi mendapat intervensi dari
pihak mana pun, serta dalam bentuk apapun. Untuk itu, UU No. 40 Tahun 1999
tentang Pers, telah mendudukan Dewan Pers sebagai mediator yang berwenang
menjembatani permasalahan yang timbul antara pers dengan masyarakat. Salah
satu wujud nyatanya adalah diberikannya fungsi kepada Dewan Pers untuk
memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Dengan
begitu, tindakan represif dari pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan, bisa
dihindari dengan upaya mediasi melalui Dewan Pers. Instumen mediasi ini
semakin kokoh dengan sokongan fungsi Dewan Pers untuk menetapkan dan
mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Dengan begitu, segala persoalan
terkait insan pers, akan diselesaikan terlebih dahulu melalui penilaian etik oleh
Dewan Pers, sehingga tidak serta merta mendahulukan jalur litigasi yang dapat
berujung pada pemidanaan terhadap wartawan.
85
c. Kelemahan Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan Pers
Kemerdekaan pers yang menjadi spirit UU No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers, terurai dalam beberapa kerangka kelembagaan, salah satu adalah sterilisasi
Dewan Pers dari campur tangan pemerintah. Dewan Pers menjadi satu-satunya
lembaga yang memegang tanggung jawab besar untuk mengawal kehidupan pers.
Hanya melalui Dewan Pers, pendekatan secara langsung terhadap pers, dapat
dilakukan, itu pun dalam batas-batas tertentu sebagaimana digariskan dalam UU
No. 40 Tahun 1999. Dengan demikian, campur tangan pemerintah terhadap
kehidupan pers, baik secara langsung maupun melalui tubuh Dewan Pers, seperti
yang terjadi sebelum era Reformasi, sirna sama sekali.
Keinginan agar pers benar-benar merdeka dari dikte pemerintah sebagai
salah satu tuntutan Reformasi, akhirnya berpengaruh pada desain UU No. 40
Tahun 1999 tentang Pers. Tak ingin ada lagi intervensi pemerintah dalam
kehidupan pers, membuat perumus undang-undang, menutup celah yang
memungkinan hal itu terjadi. Salah satunya dengan menutup jalan bagi
pemerintah untuk mengatur kehidupan pers dengan segala macam bentuk
peraturan hukum. Karena itu pula, UU No. 40 Tahun 1999, jadi sangat minimalis.
Tidak ada satu pun klausul di dalamnya yang memerintahkan untuk diadakan
pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang terkait pers
yang berlaku sebelumnya.
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang minimalis, akhirnya turut
berdampak pada kelembagaan Dewan Pers, termasuk fungsi dan kewenangannya.
86
Jika ditilik dalam UU No. 40 Tahun 1999, memang tampak bahwa Dewan Pers
memiliki fungsi yang lebih luas dan terinci dibanding dalam undang-undang
sebelumnya. Namun kenyataan itu tidak berarti kelembagaan Dewan Pers tak
patut dipertanyakan lagi. Alasannya karena UU No. 40 Tahun 1999 hanya
mengatur terkait Dewan Pers secara umum, tanpa mengamanahkan pengaturan
lebih lanjut dalam bentuk peraturan perundang-undangan lainnya, seperti pada
undang-undang terkait pers sebelumnya. Akibatnya, desain kelembagaan Dewan
Pers masih mengandung sejumlah pertanyaan yang tentu berpengaruh pada
eksistensi dan kinerjanya selama ini.
Salah satu dampak dari pengaturan terkait Dewan Pers yang simpel adalah
tidak terurainya kewenangan Dewan Pers secara jelas. Bahkan UU No. 40 Tahun
1999 sama sekali tidak menyebutkan satu pun kewenangan Dewan Pers.
Imbasnya, fungsi Dewan Pers yang tidak dibarengi penguraian kewenangan itu,
tidak dapat dilaksanakan secara maksimal, utamanya dalam upaya menjaga
kemerdekaan pers. Hal ini tentu berbeda dengan desain Dewan Pers yang terdapat
dalam undang-undang yang berlaku sebelumnya, yaitu UU No. 21 Tahun 1982
tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967. Undang-
undang tersebut jelas mengamanahkan penguraikan terkait kedudukan, tugas,
fungsi, dan wewenang Dewan Pers dalam Peraturan Pemerintah.
Dewan Pers tanpa kewenangan yang jelas, akhirnya menjadi tak berdaya
dalam membendung intervensi terhadap kehidupan pers. Pada satu sisi, intervensi
dari pemerintah memang telah mampu diredam secara struktural. Namun pada sisi
87
lain, seiring dengan arus industrialisasi yang semakin kapitalistik, intervensi pihak
internal terhadap kerja-kerja pers, menjadi sebuah tantangan baru. Atas nama
kepentingan ekonomi, pemilik perusahaan pers, dengan mudah mengintervensi
ruang keredaksian pers, sehingga mengubah alur politik keredaksian yang
sejatinya untuk kepentingan publik, menjadi untuk kepentingan pribadi atau
golongan. Pada kondisi ini, Dewan Pers tak memiliki daya apa-apa untuk
melindungi kemerdekaan pers. Dewan Pers tak bisa mengambil tindakan tegas,
meski intervensi pihak internal jelas-jelas bertentangan dengan semangat
kemerdekaan pers. Sebisanya, Dewan Pers hanya melaksanakan upaya-upaya
sosialisasi, himbauan, ataupun seruan kepada para pihak pemilik perusahaan
untuk menghormati kebebasan ruang redaksi sebagai inti dari kemerdekaan pers.
Dewan Pers memang telah mengeluarkan sejumlah peraturan. Salah satu
adalah Peraturan Dewan Pers Nomor: 4/Peraturan-DP/III/2008 tentang Standar
Perusahaan Pers. Meski mengatur mekanisme dan persyaratan pendirian
perusahaan pers serta pemenuhan hak wartawan sebagai pekerja perusahaan pers,
namun peraturan tersebut sama sekali tidak mempersyaratkan atau sekadar
merekomendasikan bagaimana tangung jawab perusahaan pers dalam menjaga
kemerdekaan pers, khususnya dalam menjamin independensi para wartawan di
ruang redaksi dalam melaksanakan aktivitas jurnalistik. Penegasan perlindungan
kemerdekaan pers secara lebih memadai, malah terdapat dalam Peraturan Dewan
Pers Nomor: 5/Peraturan-DP/IV/2008 tentang Standar Perlindungan Profesi
Wartawan. Pada angka 3 peraturan itu, menyatakan bahwa dalam menjalankan
tugas jurnalistik, wartawan dilindungi dari tindak kekerasan, pengambilan,
88
penyitaan dan atau perampasan alat-alat kerja, serta tidak boleh dihambat atau
diintimidasi oleh pihak manapun. Bahkan pada angka 9 peraturan itu, dinyatakan
bahwa pemilik atau manajemen perusahaan pers dilarang memaksa wartawan
untuk membuat berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik atau hukum yang
berlaku. Meski begitu, penegakan peraturan Dewan Pers selanjutnya, sangat
tergantung pada kesadaran dan ketundukan pribadi para insan pers. Hal itu karena
pada dasarnya, peraturan Dewan Pers hanyalah kesepakatan antara organisasi
pers, praktisi pers, dan Dewan Pers sendiri. Dewan Pers hanya berfungsi sebagai
fasilitator organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) f UU No. 40 Tahun 1999.
Produk peraturan Dewan Pers memang hanya berkedudukan sebagai
seruan moril bagi pihak pers, sebab UU No. 40 Tahun 1999, tidak menyebutkan
secara tegas bahwa Dewan Pers berwenang mengeluarkan peraturan terkait pers
secara mandiri. Karena itu, tegaknya aturan Dewan Pers, tergantung pada
penerimaan para pihak. Terlebih lagi, Dewan Pers tidak memiliki kewenangan
untuk menjatuhkan sanksi kepada perusahaan pers maupun insan pers.
Akhirnya, keberhasilan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam
melahirkan Dewan Pers yang independen, masih meninggalkan sejumlah
persoalan yang patut ditelaah. Pada satu sisi, keterlibatan pemerintah dalam tubuh
Dewan Pers, memang telah ditangkal. Tapi pada sisi lain, kehadiran Dewan Pers
yang berfungsi sebagai pelindung kemerdekaan pers, jadi tak mampu berbuat apa-
apa dalam menghadapi intervensi pihak perusahaan pers, sebab Dewan Pers tak
diberi kewenangan yang berarti.
89
B. Penguatan Dewan Pers dalam Melindungi Kemerdekaan Pers
1. Kedudukan Dewan Pers dalam Struktur Ketatanegaraan
a. Status Dewan Pers sebagai Lembaga Negara Independen
Pasal 15 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan bahwa,
“Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan
pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.” Lebih lanjut, tafsir
“Dewan Pers yang independen” tidak ditemukan uraiannya dalam undang-undang
tersebut. Pada bagian Penjelasan Pasal 15 ayat (1) itu, hanya sekadar menyatakan
bahwa, “Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan
kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional.”
Terkait apa maksud dari klausul “Dewan Pers yang independen”,
setidaknya bisa dirujuk pada desain kelembagaan Dewan Pers dalam UU No. 40
Tahun 1999 tentang Pers. Langkah itu dapat dibarengi dengan studi komparasi
antara kedudukan Dewan Pers dalam peraturan perundang-undangan terdahulu
dengan kedudukan Dewan Pers dalam UU No. 40 Tahun 1999. Dari pendekatan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada perubahan signifikan terkait status dan
kedudukan Dewan Pers. Jika pada masa berlakunya UU No. 21 Tahun 1982
tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 1967, Dewan Pers
memiliki kedudukan yang subordinasi terhadap pemerintah, maka setelah
berlakunya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Dewan Pers telah terbebas dari
campur tangan pemerintah.
90
Dari uraian umum di atas, dapat diperoleh sedikit gambaran bahwa tafsir
“Dewan Pers yang independen” merujuk pada status dan kedudukan Dewan Pers
yang tidak lagi menjadi lembaga perpanjangan tangan pemerintah, dalam hal ini
kekuasaan eksekutif. Dewan Pers telah menjadi salah satu lembaga independen
yang memiliki kedudukan, tugas pokok, dan fungsi yang terpisah dari tiga cabang
kekuasaan besar, yaitu legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif. Paling tidak, hal itu
dapat dilihat dari proses pemilihan anggota Dewan Pers yang tidak lagi menjadi
domain mutlak cabang kekuasaan eksekutif. Susunan kepengurusan pun, menjadi
kuasa internal Dewan Pers, yaitu bahwa ketua dan wakil ketua Dewan Pers dipilih
dari dan oleh anggota Dewan Pers sendiri.
Fungsi Dewan Pers yang Independen tidak lagi menjadi penasehatpemerintah, tapi pelindung kemerdekaan pers. Hubungan struktural antaraDewan Pers dengan pemerintah diputus, terutama sekali dipertegas denganpembubaran Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid.Dengan demikian, pemerintah tidak lagi mempunyai wakil dalamkeanggotaan Dewan Pers seperti yang berlangsung selama masa OrdeBaru. Meskipun pengangkatan anggota Dewan Pers tetap melaluiKeputusan Presiden, tapi tidak ada lagi campur tangan pemerintahterhadap institusi maupun keanggotaan Dewan Pers yang independen.Jabatan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers tidak lagi dicantumkan dalamKeputusan Presiden, tapi diputuskan oleh seluruh anggota Dewan Persdalam Rapat Pleno.26
Independensi Dewan Pers semakin kukuh dengan sumber pendanaannya
yang tidak lagi tergantung sepenuhnya dari anggaran negara, yaitu mengikut pada
anggaran belanja Departemen Penerangan seperti dahulu, tetapi berasal dari
organisasi pers maupun perusahaan pers. Pembiayaan Dewan Pers jadi lebih
26 S. Bayu Wahyono, dkk., 2011, Ironi Eksistensi Regulator Media di Era Demokrasi,Cetakan I, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) bekerja sama dengan YayasanTifa, Yogyakarta, hlm. 32.
91
fleksibel. Dalam pasal 15 ayat (7), disebutkan bahwa pembiayaan Dewan Pers
berasal dari organisasi pers, perusahaan pers, serta dari bantuan negara dan
bantuan lain yang tidak mengikat.27
Status independen selanjutnya menimbulkan pertanyaan lebih lanjut
mengenai format kelembagaan Dewan Pers jika ditinjau dari teori kelembagaan
negara. Secara sepintas, bahwa Dewan Pers tidak lagi menjadi domain
pemerintah, jelas tak bisa dibantahkan. Namun format kelembagaan Dewan Pers,
membutuhkan telaah yang lebih mendalam, terutama ditinjau dari fungsi apa yang
dilaksanakannya. Pada posisi ini, secara umum, sejumlah pihak menilai Dewan
Pers melaksanakan fungsi yang bertujuan untuk melindungi kepentingan publik
dalam kaitannya dengan aktivitas pers.
Dewan Pers bukan suatu badan pemerintahan. Dewan Pers tidakmenjalankan fungsi kekuasaan dan pemerintahan, melainkan sebuah fungsipublik. Dewan Pers lebih tepat disebut sebagai suatu badankemasyarakatan (public agency) yang dijamin undang-undang. Dalammenjalankan fungsi dan tugasnya, Dewan Pers secara langsungbertanggungjawab kepada publik.28
Makna fungsi publik yang dijalankan oleh Dewan Pers, selanjutnya
menimbulkan pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab. Hal ini karena pada
satu sisi Dewan Pers bertindak sebagai penjaga kemerdekaan pers, sedangkan
pada sisi lain, ia dihadapkan pada tuntutan masyarakat atas produk media pers
yang berkualitas, serta terjaganya hak masyarakat di hadapan media.29 Atas
kegamangan terkait kedudukan fungsional Dewan Pers, akhirnya sering timbul
27 Ibid., hlm. 34.28 Bagir Manan, 2012, Politik Publik Pers, Op.cit., hlm. 27729 S. Bayu Wahyono, dkk., Op.cit., hlm. 30.
92
keluhan-keluhan masyarakat yang menilai bahwa Dewan Pers hanya menjadi
tameng sejumlah perusahaan pers yang nakal untuk berlindung dari tuntutan
masyarakat.
Sesuai perundangan, Dewan Pers adalah Independen, dan tugasnyamenjaga kebebasan pers. Keluhan yang datang kepada Dewan Pers adalahDewan Pers dianggap cenderung memenangkan kepentingan pers lebihdari kepentingan masyarakat/narasumber. Oleh karena itu, muncul usulanoleh sementara kalangan agar keanggotaan Dewan Pers dari unsurmasyarakat, ditambah. Namun, usulan ini masih belum diterima olehkalangan jurnalis. Selain itu, cara pemilihan anggota Dewan Pers yangdiserahkan hanya kepada kelompok jurnalis, pemilik media, maupun wakilmasyarakat sering dianggap kurang terbuka.30
Di luar daripada kekaburan posisi Dewan Pers di antara kepentingan
pelaku usaha pers dan masyarakat, paling tidak, dapat dipahami bahwa UU No. 40
Tahun 1999 tentang Pers memang sengaja menempatkan Dewan Pers untuk
melaksanakan fungsi publik yang strategis, yaitu menjauhkan pers dari intervensi
dan intimidasi dari pihak eksternal, sekaligus juga menjadi mediator jika pihak
masyarakat merasa haknya tidak terpenuhi atau dinodai oleh pemberitaan media
pers. Wujud dari upaya tersebut adalah masuknya unsur tokoh masyarakat yang
ahli di bidang pers atau komunikasi dan bidang lainnya dalam keanggotaan
Dewan Pers. Tujuan utama dari kerangka itu adalah menjamin bahwa pers
nasional tetap menjalankan fungsinya untuk kepentingan publik, sedangkan pihak-
pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan dapat mempersoalkannya melalui
Dewan Pers.
Lebih lanjut, terkait desain kelembagaan Dewan Pers, juga memiliki
karakteritik yang unik dibandingkan dengan lembaga negara independen lainnya.
30 Ibid., hlm. 56.
93
Salah satu yang paling mencolok adalah pemilihan anggota Dewan Pers yang
sama sekali tidak melalui campur tangan cabang kekuasaan legislatif maupun
eksekutif, baik dalam bentuk fit and proper test oleh DPR, ataupun pemilihan oleh
presiden. Persoalan susunan keanggotaan Dewan Pers menjadi urusan mutlak
organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Mekanisme ini kemudian
menimbulkan sejumlah asumsi terkait status dan kedudukan Dewan Pers.
Secara hukum status dan kedudukan dewan pers dalam UU tidaklah begitujelas. Apakah lembaga ini sebagai sebuah komisi khusus atau semi komisiyang bersifat regulatory body atau lembaga internal masyarakat pers atausebuah paguyuban yang terakreditasi oleh negara. UU hanya menyatakanDewan Pers dibentuk untuk tujuan mengembangkan kemerdekaan pers danmeningkatkan kehidupan pers nasional. Dengan tujuan itulah, maka kitabisa menyatakan bahwa Dewan Pers bersifat Independen atau mandiri.31
Merujuk pada desain kelembagaan dan pola kerja Dewan Pers selama ini,
maka bisa disimpulkan bahwa Dewan Pers diposisikan untuk melindungi
kemerdekaan pers, juga menjamin kepentingan publik atas informasi. Kesimpulan
ini dapat didasarkan pada kenyataan bahwa struktur dan keanggotaan Dewan Pers,
murni berasal dari dan oleh organisasi pers, yaitu organisasi wartawan dan
organisasi perusahaan pers, ditambah perwakilan masyarakat ahli yang dipilih
oleh organisasi pers tersebut. Oleh karena itu, Dewan Pers dapat dianggap sebagai
sebuah lembaga bentukan organisasi pers untuk mengawal persoalan pers secara
umum, sehingga pers terhindar dari campur tangan pihak mana pun dalam
menjalankan fungsi publiknya
Dewan Pers yang dibentuk oleh otoritas organisasi pers, menguatkan
asumsi bahwa format lembaga ini diperuntukkan untuk mewujudkan skema
31 Jajang Jamaludin (Ed), Op.cit., hlm. 29.
94
pengaturan internal oleh insan pers. Secara filosofis dan praktis, UU No. 40 Tahun
1999 tentang Pers telah menjamin kemerdekaan pers, sehingga menutup keran
pemerintah untuk melakukan sensor dan pembredelan. Sebaliknya, peranan self
regulatory, yaitu format pengaturan diri sendiri seperti yang berlangsung dalam
tubuh Dewan Pers, diposisikan lebih utama dibanding dengan pengaturan oleh
negara.32 Pemilihan anggota Dewan oleh organisasi pers dan wartawan,
merupakan wujud dari prinsip pengaturan sendiri yang luar biasa. Karena itu,
sebagian pihak menilai implementasi UU No. 40 Tahun 1999 dengan memperkuat
prinsip pengaturan diri sendiri melalui peraturan yang dikeluarkan oleh Dewan
Pers, jauh lebih penting daripada berupaya merevisi undang-undang tersebut.33
Menyikapi kedudukannya sebagai wadah self regulatory, Dewan Pers pun
mengesahkan sejumlah aturan berkenaan dengan pers. Kebijakan Dewan Pers
tersebut berdasar pada Pasal 15 ayat (2) huruf f UU No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers yang menyatakan bahwa salah satu fungsi Dewan Pers adalah “memfasilitasi
organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers
dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan”. Dengan demikian, produk-
produk peraturan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers selama ini, merupakan
kesimpulan atau hasil kesepakatan antara Dewan Pers dan organisasi pers.
Peraturan itu, tak lain daripada aspirasi organisasi pers sebagai wujud dari prinsip
pengaturan diri sendiri.
Kedudukan Dewan Pers sebagai lembaga yang dijalankan dengan kuasa
organisasi pers, akhirnya turut berpengaruh pada produk peraturan yang
32 S. Bayu Wahyono, Op.cit., hlm. xvii.33 Ibid.
95
dikeluarkannya. Peraturan Dewan Pers yang lahir dari, oleh, dan untuk
kepentingan organisasi pers, membuat Dewan Pers tak punya otoritas untuk
mengonsepkan dan menekankan keberlakukan peraturan tersebut secara mandiri.
Dewan pers independen, yang lahir dalam semangat reformasi, bersifatmandiri dan tidak ada lagi unsur pemerintah dalam keanggotaannya.Dengan dukungan masyarakat pers Indonesia, otoritas Dewan Pers semata-mata terletak pada kemauan perusahaan dan redaksi media pers untukmenghargai pandangan Dewan Pers dengan secara sukarela mematuhikode etik jurnalistik dan mengakui kesalahan, sengaja atau tidak, secaraterbuka.34
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa muruah Dewan Pers sebagai
lembaga independen yang dibentuk dengan undang-undang, sangat bergantung
pada bagaimana organisasi pers menginsafi kedudukan Dewan Pers sebagai
lembaga yang patut dihormati, terutama dengan mematuhi segala bentuk
peraturan yang dikeluarkannya, atas kesadaran bahwa peraturan Dewan Pers
merupakan hasil kesepakatan antarorganisasi pers yang membutuhkan kepatuhan
secara bersama-sama.
b. Perbandingan Kelembagaan Dewan Pers dengan Beberapa LembagaNegara yang Dibentuk berdasarkan Undang-undang
Di Indonesia, terdapat sejumlah lembaga negara yang dibentuk atas dasar
undang-undang. Beberapa di antaranya dipaparkan sebagai perbandingan bagi
status kelembagaan Dewan Pers.
1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Lembaga ini
dibentuk berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 1 angka 7 UU tersebut menyatakan bahwa Komnas HAM adalah
34 Ibid., hlm. 33.
96
lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara
lainnya, yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan,
pemantauan, dan mediasi HAM. Anggota Komnas HAM dipilih DPR
berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden. Sebagai
pertanggungjawaban kinerja, Komnas HAM wajib menyampaikan laporan
tahunan kepada DPR dan Presiden dengan tembusan Mahkamah Agung.
2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini didasarkan pada UU
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Pasal 3 UU tersebut menyatakan bahwa KPK adalah lembaga
negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Secara
struktural, KPK dipimpin oleh lima orang yang dipilih oleh DPR
berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden, setelah melalui
tahapan di panitia seleksi. Soal pertanggungjawaban, KPK bertanggung
jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan
laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.
3. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga ini dibentuk berdasarkan UU
No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal 7 ayat (2) UU itu menyatakan
bahwa KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur
hal-hal mengenai penyiaran. Selain KPI Pusat, dapat juga dibentuk KPI
tingkat provinsi yang kelembagaannya terkait dengan gubernur dan DPRD
provinsi. Khusus anggota KPI Pusat, dipilih oleh DPR atas usul
masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka. Secara
97
administratif, anggota KPI Pusat ditetapkan oleh Presiden atas usul DPR.
Soal akuntabilitas kinerja, KPI Pusat bertanggung jawab kepada Presiden
dan menyampaikan laporan kepada DPR.
4. Komisi Informasi. Lembaga ini lahir berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pasal 23 UU tersebut menyatakan
bahwa Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi
menetapkan petunjuk standar layanan informasi publik, dan menyelesaikan
sengkata informasi publik melalui mediasi atau ajudikasi nonlitigasi.
Penjelasan Pasal itu menguraikan bahwa yang dimaksud dengan ‘mandiri’
adalah independen menjalankan wewenang, tugas, dan fungsinya. Selain
Komisi Informasi Pusat (KIP), dapat juga dibentuk Komisi Informasi
daerah yang menjadi urusan pemerintah daerah. Khusus pengangkatan
anggota KIP, diawali rekrutmen terbuka oleh Pemerintah. Sejumlah calon
anggota yang diterima, lalu diajukan presiden ke DPR untuk dipilih.
Hasilnya kemudian ditetapkan presiden. Soal kinerja, KIP bertanggung
jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporan kepada DPR.
5. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga ini dibentuk
berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal 30 ayat (2) UU tersebut
menyatakan bahwa KPPU adalah lembaga independen yang terlepas dari
pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. Di antara tugas
KPPU adalah melakukan penilaian terhadap perjanjian, penguasaan, dan
kegiatan usaha yang dapat mengakibatkan tindak pelanggaran persaingan
98
usaha. Anggota KPPU diangkat dan diberhentikan Presiden atas
persetujuan DPR. KPPU pun bertanggung jawab kepada presiden, serta
bertugas untuk memberikan laporan berkala kepada Presiden dan DPR.
6. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Keberadaan lembaga ini
didasarkan pada UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 74 ayat (1) UU tersebut
menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan
penyelenggaraan pemenuhan hak anak, dibentuk KPAI yang bersifat
independen. Soal personel, anggota KPAI yang berasal dari unsur
pemerintah dan masyarakat, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
setelah mendapat pertimbangan DPR. Soal kinerja, dalam Pasal 2 ayat (2)
Perpres No. 61 Tahun 2016 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia,
ditetapkan bahwa KPAI bertanggung jawab kepada presiden.
7. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Lembaga ini lahir berdasarkan
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Pasal 37 ayat (1) UU
tersebut menyatakan bahwa Kompolnas berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden. Ayat (2) kemudian menyatakan,
bahwa Kompolnas dibentuk dengan Keputusan Presiden. Tugas
Kompolnas adalah membantu presiden dalam menetapkan arah kebijakan
kepolisian, juga memberikan pertimbangan dalam pengangkatan dan
pemberhentian kapolri. Anggota Kompolnas diangkat dan diberhentikan
oleh presiden, juga bertanggung jawab kepada presiden.
99
Sebagai gambaran ringkas, berikut perbandingan pokok kelembagaan
beberapa lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undangan:
Tabel 2: Perbandingan Lembaga Negara yang Dibentuk dengan Undang-undang
LembagaNegara Status Keanggotaan Pertanggungjawaban
KomnasHAM
Mandiri Dipilih oleh DPRberdasarkan usulanKomnas HAM dandiresmikan olehPresiden
Menyampaikan laporantahunan kepada DPRdan Presiden dengantembusan MahkamahAgung.
KPK Independen Dipilih oleh DPR diantara calon anggotayang diusulkan olehPresiden. Calon yangterpilih kemudiandisahkan oleh Presiden.
Bertanggung jawabkepada publik danmenyampaikan laporanterbuka dan berkalakepada Presiden, DPR,dan BPK
KPI Pusat Independen Dipilih dan diusulkanoleh DPR untukditetapkan olehPresiden
Bertanggung jawabkepada Presiden danmenyampaikan laporankepada DPR
KomisiInformasiPusat
Mandiri/Independen
Dipilih oleh DPR daricalon yang diajukanoleh Presiden untukkemudian ditetapkanoleh Presiden
Bertanggung jawabkepada Presiden danmenyampaikan laporankepada DPR
KPPU Independen Diangkat dandiberhentikan olehPresiden ataspersetujuan DPR.
Bertanggung jawabkepada presiden, jugamemberikanlaporan berkala kepadaPresiden dan DPR
KPAI Independen Diangkat dandiberhentikan Presidenatas pertimbangan DPR
Bertanggung jawabkepada presiden
Kompolnas Berkedudukan di bawahpresiden
Diangkat dandiberhentikan olehpresiden
Bertanggung jawabkepada presiden
Sumber: Hasil olah bahan hukum primer, 2017.
100
Perbandingan di atas, menunjukkan bahwa lembaga negara yang dibentuk
berdasarkan undang-undang, memiliki kadar independensi yang berbeda-beda.
Hal itu dipengaruhi oleh desain kelembagaan, misalnya soal mekanisme
pengangkatan anggota dan pertanggungjawabannya. Lembaga negara yang
anggotanya diangkat oleh presiden, secara otomatis tunduk dan bertanggung
jawab kepada presiden, misalnya Kompolnas. Sama halnya dengan KPAI. Meski
disebut “bersifat independen” dalam undang-undang pembentuknya, tapi
anggotanya diangkat oleh presiden, sedang DPR hanya memberi pertimbangan.
Keanggotaannya bahkan melibatkan unsur pemerintah. Implikasinya, KPAI pun
bertanggung jawab kepada presiden. Independensi Kompolnas dan KPAI semakin
lemah mengingat presiden berwenang melakukan pengaturan lebih lanjut.
Kondisi kelembagaan yang lebih baik, tampak pada KPI, KIP, dan KPPU.
Penyebabnya karena sistem pengangkatan anggota di ketiga lembaga tersebut,
melibatkan kekuasaan presiden dan DPR secara seimbang. Karena itu, meski
pertanggungjawaban secara kelembagaan tetap dititipberatkan kepada presiden
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, lembaga itu juga diharuskan
menyampaikan laporan kepada DPR. Sedikit berbeda, KPK yang penetapan
anggotanya juga dengan perimbangan kekuatan DPR dan presiden dengan
mekanisme yang lebih selektif, memiliki pertanggungjawaban langsung kepada
publik, meski tetap menyampaikan laporan kepada Presiden, DPR, dan BPK.
Komnas HAM dengan pemilihan anggota yang unik, yaitu dipilih oleh DPR atas
usulan Komnas HAM, juga tidak dibebankan pertanggung jawaban secara
101
struktural-kelembagaan, meski wajib menyampaikan laporan tahunan kepada
DPR dan Presiden dengan tembusan MA.
Format kelembagaan di atas, berbeda dengan Dewan Pers, sebagaimana
digariskan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di antaranya adalah anggota
Dewan Pers yang dipilih oleh organisasi pers dari kalangan organisasi pers sendiri
serta masyarakat yang ahli di bidang tertentu. Konsekuensinya, Dewan Pers tidak
dibebankan bertanggung jawab kepada lembaga mana pun, bahkan dalam bentuk
laporan sekali pun. Ini menunjukkan tingginya derajat independensi Dewan Pers.
Apalagi, UU No. 40 Tahun 1999 tidak membuka ruang bagi kekuasaan eksekutif
untuk mengadakan pengaturan kelembagaan Dewan Pers secara lebih lanjut.
c. Persinggungan Fungsi dan Kewenangan Dewan Pers denganLembaga Negara di Bidang Komunikasi dan Informasi
Kompetensi Dewan Pers dalam mengurusi persoalan pers, tidak bisa
dilepaskan dari sistem komunikasi dan informasi secara keseluruhan. Apalagi pers
memang merupakan salah satu bagian terkecil dari sistem pengelolaan informasi.
Pers berkutat pada aktivitas penyampaian informasi secara faktual kepada
masyarakat. Aktivitas jurnalistik pers, jelas menjadi domain Dewan Pers. Namun
saat informasi pers memasuki tahap penyebarluasan, kompetensi Dewan Pers pun
bersinggungan dengan lembaga negara lain, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI). KPI merupakan pengawas dan penegak regulasi media penyiaran yang
menggunakan instrumen publik yang terbatas dan berada dalam penguasaan
negara, yaitu spektrum frekuensi radio.
102
Soal KPI, Pasal 7 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,
menyatakan bahwa, “KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen,
mengatur hal-hal mengenai penyiaran.” Itu berarti bahwa KPI hadir untuk
mengontrol aktivitas penyiaran. Fungsi regulasi yang dijalankan KPI diperkuat
dengan sokong masyarakat yang turut melakukan kontrol terhadap penyiaran.35
Format itu dipertegas dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2002 yang
memosisikan KPI sebagai mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan
masyarakat akan penyiaran.
Fungsi KPI sebagai pelindung kepentingan masyarakat akan penyiaran,
sedangkan Dewan Pers sebagai pelindung kemerdekaan pers, tak pelak membuka
ruang persinggungan yang tak bisa dihindari. Persinggungan terjadi pada media
penyiaran yang menjadi domain KPI, yaitu media pers berbasis elektronik yang
menggunakan frekuensi, baik radio atau televisi. Pada kedua media itulah, dapat
terjadi saling klaim kompetensi. Pada satu sisi, Dewan Pers dapat mengklaim satu
kegiatan penyebarluasan informasi sebagai kompetensinya, sebab merupakan
bagain dari aktivitas jurnalistik. Namun di sisi lain, KPI pun merasa punya
kompetensi jika informasi tersebut disebarluaskan melalui radio atau televisi.
Pada akhirnya, dua persepsi itu memicu perdebatan sampai saat ini. Dewan Pers
menilai semua program siaran berita harus berdasarkan UU No. 40 tahun 1999
tentang Pers, sedangkan KPI beranggapan bahwa karya jurnalistik yang disiarkan
melalui lembaga penyiaran harus merujuk pada UU Penyiaran 2002.36
35 Lihat Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran36 S. Bayu Wahyono, Op.cit., hlm. 116.
103
Potensi persinggungan Dewan Pers dengan KPI menjadi semakin besar
jika ditinjau dari aspek kekuasaannya masing-masing. Kewenangan Dewan Pers
yang tak jelas dalam menjaga kemerdekaan pers, berbanding terbalik dengan
kewenangan KPI yang jelas dalam melindungi kepentingan masyarakat di bidang
penyiaran. Jika Dewan Pers tidak berwenang melakukan pengaturan secara
otonom dan menjatuhkan sanksi pada media pers, maka KPI dapat melakukan
sebaliknya. Pasal 8 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
menyatakan bahwa KPI memiliki wewenang untuk menetapkan Standar Program
Siaran (SPS); menyusun peraturan dan menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran
(P3); mengawasi pelaksanaan peraturan dan P3-SPS; serta memberikan sanksi
terhadap pelanggaran peraturan dan P3-SPS. Lebih jelasnya, dalam Pasal 75 ayat
(1) dan (2) Peraturan KPI No. 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran
(SPS) dinyatakan bahwa program siaran yang terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar SPS, dapat dijatuhi sanksi administratif oleh KPI, di antaranya berupa:
teguran tertulis; penghentian sementara mata acara yang bermasalah; pembatasan
durasi dan waktu siaran; denda administratif; atau pembekuan kegiatan siaran
untuk waktu tertentu. Kekuasaan KPI yang kuat itu, jelas dapat berimbas pada
tindakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran yang bertentangan
dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Salah satu wujud pesinggungan kompetensi antara Dewan Pers dan KPI
adalah keputusan KPI untuk melakukan penghentian sementara penyiaran
Headline News Metro TV pukul 05.00 WIB selama tujuh hari berturut-turut, serta
mengharuskan Metro TV menyampaikan permohonan maaf tiga kali sehari
104
selama tujuh hari berturut-turut. Sanksi itu lantaran pada 14 Juni 2010, Metro TV
menayangkan video adegan berbau pornografi tanpa di-blur selama 5 detik, ketika
menyampaikan pemberitaan razia di sebuah warung internet di Trenggalek, Jawa
Timur. Keputusan KPI tersebut dinilai Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip kemerdekaan pers karena dinilai
sebagai bentuk pelarangan penyiaran yang melanggar Pasal 4 ayat (2) UU No. 40
Tahun 1999 tentang Pers.37 Menanggapi keadaan itu, KPI pun mengeluarkan
Siaran Pers No 05/KPI/07/2010 yang menegaskan bahwa sanksi terhadap Metro
TV, sudah sejalan dengan kewenangannya KPI dalam menegakkan P3-SPS. KPI
pun beralasan bahwa sanksi terhadap Metro TV bukan pelanggaran terhadap
kemerdekaan pers, dengan alasan: pertama, KPI tidak mencabut Izin
Penyelenggaraan Siaran MetroTV. Kedua, KPI tidak menghentikan keseluruhan
program Headline News Metro TV. Headline News adalah program yang
ditayangkan setiap jam, sehingga 23/24 program acara tersebut, tetap berjalan.38
Untuk menggulangi persinggungan yang dapat menjurus pada konflik
kelembagaan, KPI dan Dewan Pers akhirnya membuat Nota Kesepahaman
tentang Penanganan Pelanggaran Isi Siaran Jurnalistik. Tujuannya untuk
mengharmoniskan koordinasi dan kerja sama kedua lembaga dalam
menyelesaikan permasalahan atas dugaan pelanggaran isi siaran jurnalistik
terhadap KEJ, P3-SPS, dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
37 Antara News, 19 Juli 2010, PWI Prihatin Keputusan KPI Atas Metro TV,http://www.antaranews.com/berita/212450/pwi-prihatin-keputusan-kpi-atas-metro-tv, diakses padatanggal 10 September 2017, pukul 20.05 Wita.
38 KPI, 23 Juli 2010, KPI Bukan Ancaman Bagi Kemerdekaan Pers,http://www.kpi.go.id/index.php/id/siaran-pers/2525-kpi-bukan-ancaman-bagi-kemerdekaan-pers?start=9&detail3=1100&detail5=990, diakses pada tanggal 10 September 2017, pukul 20.20Wita.
105
Salah satu kebijakan teknis nota tersbebut adalah pembentukan gugus tugas yang
terdiri dari perwakilan Dewan Pers dan KPI masing-masing tiga orang, yang
tugasnya adalah mengkaji dan menilai pelanggaran isi siaran jurnalistik.
Selain dengan KPI, fungsi Dewan Pers juga bersinggungan dengan
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Titik singgung
antara lembaga ini terletak pada soal perizinan media pers penyiaran. Sebagai
bagian pemerintah yang bertindak selaku regulator, kementerian ini memegang
kuasa atas izin penyelenggaraan usaha di bidang komunikasi dan informasi, yang
mencakup media pers berbasis penyiaran. Fungsi yang dijalankan Kemenkominfo
lebih pada penerbitan izin penyiaran, sedangkan pengawasan aktivitas penyiaran
dilakukan oleh KPI. Pencabutan izin penyiaran, juga menjadi kewenangan
Kemenkominfo, sedangkan KPI sekadar sebagai pemberi rekomendasi kepada
Kemenkominfo atas pencabutan izin. Pasal 8 ayat (3) dan (4) PP 50 Tahun 2005
tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta dengan jelas
menyatakan sanksi pencabutan izin penyiaran karena alasan tidak melakukan
kegiatan siaran lebih tiga bulan berturut-turut, memindahtangankan izin
penyelenggaraan penyiaran, atau melanggar Standar Program Siaran KPI (setelah
adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap),
dilaksanakan atas dasar rekomendasi KPI.
Persinggungan kompetensi juga terjadi antara Dewan Pers dan Komisi
Informasi. Di satu sisi, Dewan Pers adalah pelindung kemerdekaaan pers,
sedangkan di sisi lain, Komisi Informasi adalah fasilitator keterbukaan informasi
dan pengadil atas sengketa informasi publik. Karena itu, bisa terjadi silang
106
pendapat antara kedua lembaga tersebut terkait kualifikasi sebuah informasi,
apakah termasuk informasi publik yang patut diberitakan, atau masuk kategori
informasi yang dikeculikan untuk menyebar di ranah publik. Meski begitu, selama
ini, persinggungan kedua lembaga tersebut lebih bersifat sinergis. Terlebih, secara
kelembagaan, KIP punya kepentingan agar iklim keterbukaan informasi publik,
berlangsung dengan baik, sehingga Dewan Pers menjadi partner yang tepat.
Bahkan, pada 14 Juli 2011, Dewan Pers dan KIP telah menandatangani kerja
sama tentang pelaksanaan keterbukaan informasi publik untuk mendukung
kemerdekaan pers. Keduanya sepakat merumuskan kebijakan yang memudahkan
para jurnalis dalam memperoleh informasi publik untuk kebutuhan berita.39
2. Revitalisasi Dewan Pers dalam Menjaga Kemerdekaan Pers
a. Usul-usul Penguatan Dewan Pers
Dalam rentang waktu sekitar 18 tahun berlakunya UU No. 40 Tahun 1999
tentang Pers, muncul keinginan beberapa pihak untuk melakukan revisi. Salah
satunya adalah wartawan senior Djaffar Assegaf. Ia menilai penyusunan UU No.
40 Tahun 1999 dahulu, dilakukan secara tergesa-gesa saat bangsa dilanda euforia
reformasi. Akibatnya, substansinya mengandung banyak kelemahan dan tidak
mampu lagi menyesuaikan dengan perkembangan pers kekinian yang berbasis
media teknologi, khususnya internet.40 Namun di sisi lain, terdapat juga sejumlah
pihak yang merasa UU No. 40 Tahun 1999 dengan segala muatannya, telah cukup
39 Tempo.co, 14 Juli 2011, Dewan Pers dan KIP Perjuangkan Pers Punya Hak KhususPeroleh Dokumen, https://nasional.tempo.co/read/346618/dewan-pers-dan-kip-perjuangkan-pers-punya-hak-khusus-peroleh-dokumen, diakses pada tanggal 11 September 2017, pukul 17.13 Wita.
40 Hukum Online, 25 September 2012. Menkumham Dukung Revisi UU Pers,http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt506140314dd92/menkumham-dukung-revisi-uu-pers,diakses pada tanggal 14 September 2017, pukul 13.07 Wita.
107
memadai sebagai dasar menegakkan kemerdekaan pers, sehingga tak perlu
diadakan perubahan.
Pemerintah berada di posisi yang menilai perlunya diadakan perubahan.
Dalam rapat pada 20 Februari 2004, Menkominfo Syamsul Muarif dan Komisi I
DPR, sepakat untuk melakukan revisi. Alasan antara lain, soal otoritas Dewan
Pers yang dinilai kurang memadai untuk menjaga kebebasan pers; problem
anggaran karena anggota Dewan Pers tak dipilih DPR; serta adanya penilaian
bahwa Dewan Pers kurang memihak kepada publik.41
Di waktu selanjutnya, saat Sofyan Djalil menjabat Menteri Komunikasi
dan Informasi (Menkominfo), malah sempat tersebar draf RUU revisi UU Pers
usulan pemerintah. Rencana itu, bahkan sudah masuk dalam program legislasi
nasional 2005-2009. Namun draf usul pemerintah, mendapat penolakan dari insan
pers karena dinilai memuat klausul yang rentan mengerangkeng kemerdekaan
pers. Draf RUU itu ditengarai bukan untuk memperkuat peran Dewan Pers dan
organisasi pers, tapi memperkuat peran pengawasan pemerintah terhadap pers.
Indikasinya tampak dengan adanya kewenangan pemerintah untuk menerbitkan
Peraturan Pemerintah terkait pers. Misalnya, Pasal 9 ayat (3) RUU tersebut yang
menyatakan bahwa, “Setiap perusahaan pers wajib memenuhi standar persyaratan
perusahaan pers”. Pada ayat (4) pasal yang sama kemudian dinyatakan bahwa,
“Ketentuan lebih lanjut tentang standar persyaratan perusahaan pers sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.42
41 Jajang Jamaludin, Op.cit., hlm. 15.42 Dunia Anggara, 22 Juni 2007, Menyoal RUU Perubahan UU No 40 Tahun 1999
tentang Pers, https://anggara.org/2007/06/22/menyoal-ruu-perubahan-uu-no-40-tahun-1999-tentang-pers/, diakses pada tanggal 17 September 2017, pukul 13.20 Wita.
108
Dari hasil kajian Dewan Pers sendiri, RUU perubahan UU No. 40 Tahun
1999 yang diusulkan pemerintah, paling tidak mengandung enam ancaman bagi
kemerdekaan pers, yaitu: (a). Memperbolehkan sensor, beredel, atau pelarangan
penyiaran atas berita dan media yang membahayakan sistem penyelenggaraan
pertahanan dan keamanan nasional; (b). Adanya amanat pengaturan pers dalam
bentuk Peraturan Pemerintah; (c). Menganut politik hukum yang dapat
mengkriminalkan pers dalam pekerjaan jurnalistik; (f). Paradigma konsep revisi
tersebut menempatkan kemerdekaan pers hanya untuk mendukung pembangunan;
(e). Dewan Pers menentukan sendiri sejumlah regulasi pers tanpa menyertakan
komunitas pers; (d). Membolehkan gugatan hukum kepada pers, tanpa perlu
mediasi melalui Dewan Pers.43
Dalam setiap usul perubahan terhadap UU No. 40 Tahun 1999, persoalan
Dewan Pers, memang selalu menjadi bahan perbincangan. Salah satunya adalah
soal tata cara pemilihan anggotanya. Sejumlah pemikiran baru menghendaki
seperti KPI dan KIP, yaitu anggota Dewan Pers dipilih oleh DPR. Namun
komunitas pers berpendapat sistem keanggotaan yang diatur UU No. 4 Tahun
1999 sudah tepat sebagai cara menjaga independensi Dewan Pers. Pemilihan
melalui DPR akan membuka peluang masuknya unsur-unsur pertimbangan dan
kepentingan politik dalam tubuh Dewan Pers.44
Menanggapi usul-usul yang berkembang, terutama usul dari pemerintah,
pada tahun 2009, AJI pun melansir hasil kajian berisi usul perubahan atas UU No.
43 Naungan Harahap, Melindungi Kemerdekaan Pers, Jurnal Dewan Pers (AncamanPerundang-undangan terhadap Kemerdekaan Pers), Edisi No. 8, Desember 2013, Dewan Pers,Jakarta, hlm. 42-43.
44 Bagir Manan, 2012, Politik Publik Pers, Op.cit., hlm. 12.
109
40 Tahun 1999. Berkas usulan yang terdiri dari Ide Revisi UU Pers, Naskah
Akademik RUU Pers, dan Draf RUU Pers itu, termuat dalam seberkas buku
berjudul Hasil Kajian & Usulan AJI Soal Undang-Undang Pers. Dalam usulannya,
AJI menilai keanggotaan Dewan Pers, sudah tepat jika menjadi urusan organisasi
pers, tanpa campur tangan lembaga negara lain. Meski begitu, AJI melihat perlu
keseimbangan unsur organisasi pers dan unsur masyarakat, sejalan dengan
fungsinya sebagai pelindung kemerdekaan pers dan penjaga kepentingan publik.
Untuk itu, AJI mengusulkan agar anggota Dewan Pers ditetapkan sebanyak 11
orang, yang terdiri dari 3 orang yang mewakili organisasi jurnalis, 3 orang yang
mewakili organisasi korporasi pers, dan 5 orang dari unsur masyarakat ahli yang
diusulkan oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Terkait
dengan tata cara pemilihannya, AJI mengusulkan agar Dewan Pers membentuk
panitia seleksi yang terdiri atas 7 orang, yaitu 2 orang berasal dari unsur
masyarakat, 2 orang berasal dari unsur organisasi wartawan, 3 orang berasal dari
unsur organisasi perusahaan pers. Panitia seleksilah yang kemudian memilih calon
anggota yang diusulkan oleh organisasi pers. Calon anggota yang lolos seleksi
kemudian ditetapkan dan diangkat oleh presiden sebagai anggota Dewan Pers.45
Soal kedudukan, AJI menilai Dewan Pers masih kurang jelas, apakah
sebagai lembaga internal masyarakat pers yang menetapkan dan mengawasi kode
etik (self regulatory body) atau lembaga yang memiliki kuasa untuk melakukan
pengaturan secara mandiri (regulatory body).46 Selain itu, fungsi dan kewenangan
Dewan Pers, juga dinilai sangat minimalis. Dewan Pers lebih ditekankan sebagai
45 Jajang Jamaludin (Ed.), Op.cit., hlm. 80 & 82.46 Ibid., hlm. 29-30.
110
humas dan lembaga fasilitasi pers, termasuk penjaga etika, ketimbang lembaga
yang menjadi pembela dan pengawas kemerdekaan pers yang memiliki
kewenangan penegakan hukum pers atau semi yudisial. Kondisi tersebut memicu
berbagai persoalan mendasar dalam penegakan hukum pers.47
Berangkat dari masalah di atas, AJI mengusulkan agar Dewan Pers
dijadikan institusi tunggal untuk melakukan pelaksanaan dan penegakan hukum
pers. Untuk sekarang, memang undang-undang telah memberikan fungsi kepada
Dewan Pers untuk menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik,
serta memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian sengketa pers
melalui mediasi. Namun karena minimnya kewenangan Dewan Pers di bidang
eksekusi pengaduan dan lemahnya kekuasaan memaksa terhadap pers maupun
terhadap nonpers, mengakibatkan peran tersebut tidak maksimal.48 Atas kondisi
tersebut, AJI mengusulkan agar Dewan Pers independen, diberi kuasa semi
yudisial, termasuk menjatuhkan sanksi. Selain itu, AJI juga mengusulkan agar
Dewan Pers diberikan kewenangan untuk membuat peraturan terkait tugas dan
tanggung jawabnya.
Secara lengkap, pada Pasal 24 draf RUU Pers usulan AJI, dinyatakan:”49
Dalam mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupanpers nasional Dewan Pers berwenang:
a. Menerima laporan, memeriksa dan memutuskan pelanggaranjurnalistik;
b. Memberikan sanksi dalam hal terjadi pelanggaran jurnalistik;c. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;d. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;e. Memfasilitasi pembuatan Kode Perilaku Jurnalistik
47 Ibid., hlm. 31.48 Ibid., hlm. 36.49 Ibid., hlm. 79.
111
f. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;g. Menetapkan standar kompetensi jurnalis dan standar kompetensi
organisasi jurnalis;h. Menetapkan standar produk jurnalistik;i. Memantau adanya indikasi penyeragaman informasi produk jurnalistik;j. Menetapkan standar pendirian korporasi pers;k. Memfasilitasi organisasi-organisasi jurnalistik dalam menyusun
peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesijurnalistik;
l. mendata korporasi pers;m. Membuat laporan secara berkala kepada publik paling sedikit sekali
dalam 1 (satu) tahun;n. Melakukan upaya perdamaian bagi pihak-pihak yang bersengketa
dalam hal terjadinya sengketa pemberitaan;o. Melakukan penyelesaian sengketa pemberitaan melalui mediasi, cara
penilaian ahli, dan konsiliasi;p. Memberikan rekomendasi kepada para pihak untuk menyelesaikan
pelanggaran jurnalistik ke pengadilan, dalam hal terjadi pelangaranjurnalistik yang bersifat melawan hukum;
q. Membuat peraturan-peraturan terkait dengan tugas dantanggungjawabnya.
Dalam RUU usulan AJI tersebut, memang terdapat perubahan
nomenklatur dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. AJI tidak
menggunakan kata “fungsi”, “tugas”, atau “peran” untuk mewakili makna
kekuasaan Dewan Pers, tapi lebih memilih kata “berwenang”. Namun secara
konsep, bisa dipahami bahwa AJI memang menghendaki penguatan Dewan Pers
agar mampu proaktif untuk menyelesaikan persoalan di bidang pers.
b. Reformulasi Kelembagaan Dewan Pers dalam MelindungiKemerdekaan Pers
Kelembagaan Dewan Pers yang bebas dari campur tangan pemerintah,
menjadi keunikan tersendiri dibanding dengan lembaga negara lainnya. Jika
lazimnya lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang mendapat
pengaruh dari Presiden dan DPR, khususnya soal pemilihan anggota, hal itu tidak
112
berlaku bagi Dewan Pers. Persoalan keanggotaan Dewan Pers menjadi urusan
organisasi pers. Format ini mengindikasikan kokohnya independensi Dewan Pers.
Kedudukan Dewan Pers yang independen, menimbulkan harapan besar
dari para insan pers akan kemerdekaan pers yang benar-benar terlindungi. Di sisi
lain, kehadiran Dewan Pers, juga manjadi harapan masyarakat, khususnya dalam
pemenuhan hak atas informasi melalui media pers. Dengan demikian, Dewan Pers
mengamban tugas dari kepentingan yang berbeda, yaitu melindungi kemerdekaan
pers, sekaligus menjamin terlaksananya fungsi pers untuk kepentingan publik.
Demi menjamin pemenuhan kemerdekaan pers dan kepentingan publik
atas pers secara adil, maka kedua pemangku kepentingan tersebut, seharusnya
dilibatkan secara seimbang dalam tubuh Dewan Pers. Pada titik ini, saran agar
keterwakilan unsur masyarakat ditambah dalam keanggotaan Dewan Pers,
menjadi sangat relevan. Paling tidak, keterwakilan masyarakat tidak terlalu
senjang dengan unsur organisasi pers yang berasal dari organisasi wartawan dan
organisasi perusahaan pers. Hal itu penting agar aspirasi masyarakat terkait pers,
terakomodasi secara baik. Masyarakat punya rasa memiliki terhadap Dewan Pers
atas keterwakilannya, sehingga menjadi lebih proaktif dalam melakukan kritik
yang membangun bagi kehidupan pers. Format semacam ini akan lebih jitu untuk
mewujudkan Dewan Pers yang tidak sekadar melindungi kemerdekaan pers, tapi
sekaligus menjamin hak publik atas informasi. Jika demikian, stigma negatif
bahwa Dewan Pers hanya menjadi tameng perusahaan pers untuk
menyembunyikan kebobrokannya dari pantauan masyarakat, dapat dilenyapkan.
113
Sebagai jaminan bahwa anggota Dewan Pers yang terpilih benar-benar
mewakili kepentingan kemerdekaan pers dan kepentingan masyarakat, maka
desain pemilihan anggotanya, juga harus diformulasi ulang. Mekanisme pemilihan
sebisa mungkin tidak mengesankan dominasi kepentingan organisasi pers. Dalam
hal ini, pelibatan unsur masyarakat dalam pemilihan anggota, perlu dilakukan.
Formatnya bisa dilakukan sebagaimana usul AJI, yaitu Dewan Pers membentuk
panitia seleksi yang terdiri atas unsur masyarakat, unsur organisasi wartawan, dan
unsur organisasi perusahaan pers. Panitia seleksi tersebut, kemudian memilih
calon yang diusulkan untuk kemudian ditetapkan sebagai anggota Dewan Pers
oleh presiden.
Soal pengusul calon anggota dari unsur masyarakat, juga perlu ditinjau
ulang untuk menjamin keterwakilan masyarakat. Terkait itu, AJI menawarkan
konsep bahwa calon anggota diusulkan oleh organisasi wartawan dan organisasi
perusahaan pers, termasuk calon anggota dari unsur masyarakat. Namun dengan
konsep tersebut, kesan bahwa anggota dari unsur masyarakat hanya titipan
organisasi pers, sulit dilenyapkan. Untuk itu, alternatif lain berupa pengusulan
langsung oleh pihak masyarakat, patut layak dipertimbangkan. Salah satu cara
yang patut menjadi pilihan adalah memberikan kuasa pengusulan unsur
masyarakat kepada organisasi pemantau media (media watch)50 yang selama ini
memang sengaja dibentuk untuk menjembatani peran serta masyarakat dalam
50 Organisasi pemantau media, diakui dalam UU No. 40 Tahun 1999. Ketetuan besertapenjelasan Pasal 17 UU tersebut menyatakan bahwa peran masyarakat dalam memantau kinerjapers, bisa melalui organisasi pemantau media. Setidaknya, ada 5 organisasi pemantau yang terdatadi situs resmi Dewan Pers, yaitu Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), KajianInformasi Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS), Lembaga Studi Pers dan Informasi(LeSPI), Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), dan Media Watch The Habibie Center.
114
mengawal kehidupan pers. Pihak organisasi pemantau medialah yang kemudian
mengusulkan unsur masyarakat kepada panitia seleksi bentukan Dewan Pers
Akhirnya, dengan keterwakilan unsur masyarakat secara baik, maka
potensi penyalahgunaan kemerdekaan pers yang dilakukan oleh pihak perusahaan
pers atas nama kepentingan ekonomi dan politik, dapat ditangkal. Masyarakat
dengan keterwakilannya, akan berperan aktif dalam memantau dan mengkritisi
kinerja pers. Dengan demikian, keterwakilan masyarakat dalam tubuh Dewan
Pers, tidak saja untuk menjamin terjaganya kepentingan publik atas pers, tetapi
juga menjamin bahwa kemerdekaan pers tidak disalahgunakan para pemilik
perusahaan pers, sembari berlindung di belakang Dewan Pers.
c. Penguatan Fungsi dan Kewenangan Dewan Pers dalam MelindungiKemerdekaan Pers
Status independen memperkokoh kedudukan Dewan Pers sebagai satu-
satunya lembaga yang diberikan kekuasaan untuk mengawal kehidupan pers
secara langsung. Demi menangkal intevensi pihak luar terhadap pers, maka
segenap fungsi Dewan Pers, telah menyediakan mekanisme sehingga
permasalahan pers hanya perlu diselesaikan melalui Dewan Pers. Fungsi Dewan
Pers untuk menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik,
memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian sengketa pers, serta
memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers, jelas
bertujuan agar persoalan pers tidak keluar dari ranah Dewan Pers.
Dalam perkembangan pers kekinian, sejumlah kasus menunjukkan bahwa
serangkaian fungsi Dewan Pers, tidak mampu lagi menjadi instrumen untuk
115
melindungi kemerdekaan pers dan kepentingan publik atas pers. Salah satu
tantangan bagi pers saat ini adalah kapitalisasi dan politisasi media pers, yang
rentan bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers. Pada kondisi itu, Dewan
Pers seakan tidak memiliki daya apa-apa. Pasalnya, kapitalisasi dan politisasi
media pers sering kali merupakan kebijakan perusahaan pers. Pemimpin, pemilik,
maupun para penyokong modal perusahaan pers, menjadikan media pers sekadar
sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan politik.
Tantangan dari perusahaan pers, akhirnya membuat Dewan Pers berada
pada posisi yang dilematis. Ia memikul tanggung jawab untuk melindungi
kemerdekaan pers, tetapi pelanggarnya adalah pihak dari internal kelembagaan
pers sendiri. Mereka mengintevensi aktivitas jurnalistik di ruang redaksi yang
seharusnya steril dari campur tangan pihak mana pun, termasuk pemilik
perusahaan pers. Posisi Dewan Pers pun semakin dilematis mengingat
kelembagaannya selama ini, terutama persoalan keanggotaannya, melibatkan
unsur perusahaan pers, baik dalam proses pemilihan, maupun unsur anggota yang
duduk sebagai anggota Dewan Pers. Keadaan tersebut membuat Dewan Pers
menjadi semakin tak berdaya di hadapan pemilik perusahaan pers yang terus
memperalat media.
Kenyataan kekinian sebagaimana digambarkan di atas, jelas membutuhkan
langkah-langkah jitu. Selain restrukturisasi kelembagaan Dewan Pers, juga
diperlukan penguatan terhadap fungsi dan kewenangan Dewan Pers. Salah satu
yang patut dipertimbangkan dalam upaya menguatkan Dewan Pers adalah usul
perubahan yang ditawarkan oleh AJI. Dalam usul tersebut, Dewan Pers tidak lagi
116
sekadar didudukkan sebagai administrator atau pendata organisasi pers dan
wartawan, fasilitator organisasi pers dalam perumusan aturan, penjaga etik, dan
juga mediator sengketa pers. Di luar itu, AJI mengusulkan penguatan kewenangan
Dewan, yaitu menjadi sebuah lembaga quasi yudisial. Bentuk nyatanya adalah
memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk menerima laporan,
memeriksa dan memutuskan pelanggaran jurnalistik, juga memberikan sanksi
dalam hal terjadi pelanggaran jurnalistik.51 Usul ini jelas patut dipertimbangkan
demi mewujudkan kemerdekaan pers di ranah perusahaan pers. Terlebih lagi,
selama ini Dewan Pers memang tidak memiliki kekuasaan menyelesaikan
pelanggaran jurnalistik secara mandiri. Di antaranya bahwa Dewan Pers hanya
melakukan menilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik oleh wartawan,
sedangkan penjatuhan sanksinya, diberikan oleh perusahaan pers atau organisasi
wartawan. Bahkan pelanggaran prinsip jurnalistik dan kemerdekaan pers oleh
pihak perusahaan pers sendiri, sama sekali tidak memiliki mekanisme penindakan,
apalagi pengenaan sanksi.
Usul lain dari AJI yang patut dipertimbangkan adalah penegasan bahwa
Dewan Pers berwenang untuk membuat peraturan terkait dengan tugas dan
tanggungjawabnya. Penegasan semacam ini akan semakin menguatkan posisi
peraturan Dewan Pers di kalangan insan pers. Dewan Pers diharapkan bisa
mengeluarkan peraturan secara mendiri perihal pers yang memiliki daya mengikat
dan memaksa, termasuk kepada pihak perusahaan pers. Kewenangan membuat
peraturan itu akan semakin berdampak jika dikaitkan dengan kewenangan untuk
51 Jajang Jamaludin (Ed.), Op.cit., hlm. 79.
117
memutus dan memberi sanksi atas pelanggaran jurnalistik. Jika demikian, maka
penegakan peraturan Dewan Pers, tidak lagi ditumpukan pada kesadaran dan
kemauan dari para insan pers. Secara mandiri, Dewan Pers dapat membuat
peraturan terkait sistem kerja di dalam satu perusahaan pers secara menyeluruh,
juga menerapkan sanksi tertentu atas setiap pelanggar kemerdekaan pers,
termasuk kepada pemilik perusahaan pers.
Di luar dari usul penguatan fungsi dan kewenangan Dewan Pers, memang
terdapat ketakutan sejumlah pihak bahwa Dewan Pers dengan kekuasaan yang
mumpuni, akan jadi serupa Departeman Penerangan di zaman Orde Baru. Bahkan
Dewan Pers dikhawatirkan akan menjadi saluran pemerintah untuk kembali
mengekang kemerdekaan pers. Namun ketakutan tersebut, seharusnya tidak
menutup kenyataan akan pentingnya penguatan Dewan Pers. Hal itu mengingat
tantangan pers masa kini, sudah berbeda. Realitasnya, pers yang terlepas dari
belenggu eksternal, terutama dari pemerintah, malah tak bisa melepaskan diri dari
belenggu internal, yaitu dari pihak pemilik dan pemodal perusahaan pers. Pada
kondisi inilah, dibutuhkan Dewan Pers yang lebih bertaji. Untuk menjamin bahwa
Dewan Pers tidak akan berubah jadi tirani baru, maka penangkalannya harus
dengan penguatan kelembagaan. Artinya, selama kelembagaan Dewan Pers
dimantapkan, dalam hal ini soal pemilihan anggota dan pembentukan struktur
Dewan Pers menjadi wilayah organisasi pers beserta masyarakat, maka
seharusnya tidak perlu ada ketakutan berlebih bahwa Dewan Pers akan
menyalahgunakan fungsi dan kewenangannya, hingga mengingkari prinsip
kemerdekaan pers dan mengabaikan fungsi publik pers.
118
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Merujuk pada persoalan yang diuraikan pada bagian pembahasan, dapat
disimpulan beberapa hal sebagai hasil pokok dari penelitian ini, yaitu:
1. Saat berlakunya UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Ketentuan
Pokok Pers beserta perubahannya, Dewan Pers hanya didudukkan sebagai
lembaga pendamping pemerintah dalam mengurusi persoalan pers. Namun
setelah undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku dan diganti
dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Dewan Pers menjadi sebuah
lembaga yang independen. Kedudukannya yang independen, membuat
lembaga ini lepas dari campur tangan pemerintah secara struktural. Dewan
Pers menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai legalitas untuk
bersentuhan langsung dengan aktivitas pers dalam batas-batas tertentu.
Tugas utamanya adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan
pihak mana pun.
2. Perkembangan kekinian menunjukkan bahwa Dewan Pers tidak mampu
lagi menangkal pelanggaran atas prinsip kemerdekaan pers, utamanya
yang berasal dari internal kelembagaan pers sendiri, yaitu tindak
kapitalisasi dan politisasi media pers yang dilakukan oleh pemilik
perusahaan pers. Hal itu karena fungsi Dewan Pers dalam UU No. 40
Tahun 1999 tentang Pers tak lebih dari sebatas fasilitator serta
119
administrator organisasi pers dan wartawan, penjaga nilai etik, juga
mediator sengketa pers. Kondisi ini diperburuk oleh kenyataan bahwa
Dewan Pers tidak diberi kewenangan, terutama kewenangan untuk
membuat peraturan secara mandiri yang sifatnya mengikat organisasi dan
insan pers, serta memberikan sanksi kepada pihak yang melanggar prinsip
kemerdekaan pers. Keberadaan Dewan Pers semakin tak berdaya
mengingat organisasi pers, khususnya organisasi perusahaan pers,
merupakan unsur yang sangat berpengaruh terhadap kelembagaan Dewan
Pers, terutama dalam soal keanggotaannya. Akhirnya, Dewan Pers
diposisinya sekadar sebagai pelindung organisasi pers, bukan untuk
menjamin terwujudnya fungsi publik pers.
3. Dalam melindungi kemerdekaan pers, utamanya dari pihak internal
perusahaan pers sendiri, maka penguatan kedudukan Dewan Pers perlu
dilakukan, di antaranya melalui reformulasi kelembagaan, khususnya soal
keanggotaan. Perihal keanggotaan Dewan Pers yang unik dibanding
lembaga negara lain, yaitu dengan tidak melibatkan campur tangan DPR
maupun presiden, memang patut dipertahankan. Namun di sisi lain,
perbaikan tetap perlu dilakukan. Jika jumlah anggota Dewan Pers saat ini
didominasi unsur organisasi pers, maka ke depan, hal itu perlu diimbangi
dengan penambahan jumlah unsur masyarakat. Pemilihan anggota dari
unsur masyarakat, juga sebaiknya diserahkan langsung kepada komponen
masyarakat, misalnya melalui organisasi pemantau media yang terdaftar di
Dewan Pers.
120
4. Desain kelembagaan Dewan Pers yang menjadi domain organisasi pers
dan masyarakat ke depan, akan menjamin posisi Dewan Pers dalam
melaksanakan fungsi sebagai perlindungan kemerdekaan pers, sekaligus
perlindungan kepentingan publik atas pers. Perbaikan format kelembagaan
Dewan Pers, selanjutnya perlu dibarengi dengan memberikan fungsi dan
kewenangan yang memadai. Dewan Pers perlu diberikan kewenangan
quasi yudisial, yaitu untuk memeriksa, memutuskan, dan memberikan
sanksi atas pelanggaran di ranah pers. Kewenangan itu kemudian harus
disokong dengan kewenangan membentuk peraturan terkait tugas dan
tanggung jawabnya secara mandiri, yang mengikat bagi organisasi dan
insan pers. Dengan begitu, Dewan Pers akan bisa membuat peraturan,
misalnya soal struktur dan tata kerja sebuah perusahaan pers pers, demi
menjamin terwujudnya kemerdekaan pers untuk kepentingan publik.
B. Saran
Dari kesimpulan yang ada, dapat direkomendasikan beberapa saran atau
rekomendasi untuk perbaikan Dewan Pers ke depan, yaitu sebagai berikut:
1. Atas maraknya aksi kapitalisasi dan politisasi media pers oleh pemilik
perusahaan pers sebagai bentuk pelanggaran atas kemerdekaan pers, maka
kajian terkait penataan kehidupan pers, perlu dilakukan. Semua pihak
harus berperan dalam upaya mendudukkan pers pada posisinya yang sejati,
yaitu sebagai sarana bagi kultur demokrasi. Pers harus dihadirkan untuk
121
kepentingan masyarakat secara umum, bukan untuk kepentingan kelompok
tertentu.
2. Pada posisi ini, kajian akademik yang berangkat pada masalah
independensi pers, perlu dilakukan. Fokus kajian harus ditujukan untuk
menemukan solusi jitu bagi upaya menegakkan kemerdekaan pers. Yang
diharapkan adalah munculnya kesadaran, keresahan, dan kepedulian
bersama akan urgensi pembenahan kelembagaan pers, salah satu melalui
penguatan Dewan Pers. Kedudukan, fungsi, dan kewenagan lembaga ini,
perlu dikuatkan agar lebih berdaya dalam melindungi kemerdekaan pers.
3. Pembenahan kehidupan pers secara menyeluruh, hanya bisa diwujudkan
dengan merevisi UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Langkah ini perlu
dilakukan seiring dengan tantangan baru dunia pers, juga untuk
menyelaraskan semangat baru perlindungan pers pascaamandemen
konstitusi, yaitu lahirnya Pasal 28F UUD Tahun 1945 pada amandemen
kedua tahun 2000, yang lebih akomodatif bagi pers. Salah satu poin
perbaikan yang penting adalah merevitalisasi kedudukan serta memperkuat
fungsi dan kewenangan Dewan Pers.
4. Dewan Pers harus diformat ulang dan diberdayakan agar mampu
melindungi kemerdekaan pers demi kepentingan masyarakat, terutama
menangkal penyalahgunaan media pers untuk kepentingan pemilik
perusahaan pers semata. Penguatan Dewan Pers tersebut, tidak hanya
untuk mengokohkan kemerdekaan pers, tetapi juga demi menjamin
terwujudnya fungsi publik pers.
122
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anett Keller. 2009. Tantangan Dari Dalam: Otonomi Redaksi di 4 Media CetakNasional: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika. Cetakan I.Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia Office: Jakarta.
Armansyah. 2015. Pengantar Hukum Pers. Cetakan I. Gramata Publishing:Bekasi.
Asep Syamsul M. Ramli. 2009. Jurnalisme Praktis: Untuk Pemula. Cetakan VIII.PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Bagir Manan. 2012. Politik Publik Pers. Cetakan I. Dewan Pers: Jakarta.
______2016. Pers, Hukum dan Hak Asasi Manusia. Cetakan I. Dewan Pers:Jakarta.
Bahder Johan Nasution. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Cetakan I. CV.Mandar Maju: Bandung
Edy Susanto, dkk. 2014. Hukum Pers di Indonesia. Cetakan I. PT. Rineka Cipta:Jakarta.
Firmansyah Arifin, dkk. 2005. Lembaga Negara dan Sengketa KewenanganAntarlembaga Negara. Cetakan I. Konsorsium Reformasi HukumNasional (KRHN): Jakarta.
Henry Subiakto dan Rachmah Ida. 2015. Komunikasi Politik, Media, danDemokrasi. Cetakan III. Kencana Prenadamedia Group: Jakarta.
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat. 2012. Jurnalistik: Teoridan Praktik, Cetakan Kelima. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Irman Syahriar. 2015. Hukum Pers: Telaah Teoritis atas Kepastian Hukum dankemerdekaan Pers di Indonesia. Cetakan I. LaksBang PRESSindo:Yogyakarta.
Jajang Jamaludin (Ed.), 2009, Menguji Ide Revisi UU Pers; Hasil Kajian &Usulan AJI Soal Undang Undang Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI)Indonesia: Jakarta Pusat.
J.C.T. Simorangkir. 1986. Pers, SIUPP, dan Wartawan. Cetakan I. GunungAgung: Jakarta.
Jimly Asshiddiqie. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata negara Jilid II. SekretariatJenderal dan Kepeniteraan Mahkamah Konstitusi RI: Jakarta.
______2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,Cetakan II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah KonstitusiRI: Jakarta.
123
Moh. Mahfud MD. 2010. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. CetakanII. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Ni’matul Huda. 2014. Hukum Tata Negara Indonesia (Edisi Revisi). Cetakan IX.Rajawali Pers: Jakarta.
Nurudin. 2014. Sistem Komunikasi Indonesia. Cetakan II. Rajawali Pers: Jakarta.
Pratono, dkk.. 2014. Potret Intervensi di Bilik Redaksi. Aliansi JurnalisIndependen (AJI): Semarang.
Samsul Wahidin. 2011. Hukum Pers. Cetakan II. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif; SuatuTinjauan Singkat. Cetakan XIII. Rajawali Pers: Jakarta.
Sudirman Tebba. 2007. Hukum Media Massa Nasional. Cetakan I. Pustaka IrVan:Banten.
S. Bayu Wahyono, dkk.. 2011. Ironi Eksistensi Regulator Media di EraDemokrasi, Cetakan I, Pemantau Regulasi dan Regulator Media(PR2Media) bekerja sama dengan Yayasan Tifa: Yogyakarta.
Titik Triwulan Tutik. 2011. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia PascaAmandemen UUD 1945. Kencana: Jakarta.
Zainal Arifin Mochtar. 2016. Lembaga Negara Independen: DinamikaPerkembangan dan urgensi Penataannya Kembali Pasca-AmandemenKonstitusi. Cetakan I. Rajawali Pers: Jakarta.
Jurnal, Laporan Penelitian, Tesis, dan Makalah
Amir Effendi Siregar, dkk.. Menakar Independensi dan Netralitas Jurnalisme danMedia di Indonesia, Jurnal Dewan Pers (Mengungkap IndependensiMedia), Edisi No. 9, Juni 2014, Dewan Pers, Jakarta.
Bagir Manan. Kemerdekaan Pers dalam Perspektif Pertanggungjawaban Hukum,Jurnal Dewan Pers (Ancaman Perundang-undangan terhadapKemerdekaan Pers), Edisi No. 8, Desember 2013, Dewan Pers, Jakarta.
Ernawati Munir. 2005. Laporan Akhir Pengkajian Hukum tentang HubunganLembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945. Departemen Hukum danHak Asasi Manusia-Badan Pembinaan Hukum Nasional: Jakarta.
Evy Trisulo. 2012. Konfigurasi State Auxiliary Bodies dalam SistemPemerintahan Indonesia. Tesis. Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Jimly Asshiddiqie. 2003. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah PerubahanKeempat UUD Tahun 1945. Makalah. Disampaikan pada SeminarPembangunan Hukum nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum EraPembangunan Berkelanjutan, yang diselengarakan oleh Badan PembinaanHukum Nasional, Departeman kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.
124
Masduki, dkk. (Tim Peneliti dari Masyarakat Peduli Media). Analisis terhadapKecenderungan Pemberitaan 4 Grup Media Nasional di Indonesia, JurnalDewan Pers (Mengungkap Independensi Media), Edisi No. 9, Juni 2014,Jakarta, Dewan Pers.
Naungan Harahap, Melindungi Kemerdekaan Pers, Jurnal Dewan Pers (AncamanPerundang-undangan terhadap Kemerdekaan Pers), Edisi No. 8, Desember2013, Dewan Pers, Jakarta.
Noor M. Aziz, dkk. 2010. Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang EksistensiPeraturan Perundang-Undangan di Luar Hierarki Berdasarkan UUNo.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum NasionalBadan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI.
Winarta Adisubrata. Dari Persbreidel Ordonantie Tahun 1931 HinggaKemerdekaan Pers dalam Era Reformasi, Jurnal Dewan Pers (AncamanPerundang-undangan terhadap Kemerdekaan Pers), Edisi No. 8, Desember2013, Dewan Pers, Jakarta.
Media Daring
Antara News. 19 Juli 2010. PWI Prihatin Keputusan KPI Atas Metro TV,http://www.antaranews.com/berita/212450/pwi-prihatin-keputusan-kpi-atas-metro-tv, diakses pada tanggal 10 September 2017, pukul 20.05 Wita.
Dunia Anggara. 22 Juni 2017. Menyoal RUU Perubahan UU No 40 Tahun 1999tentang Pers, https://anggara.org/2007/06/22/menyoal-ruu-perubahan-uu-no-40-tahun-1999-tentang-pers/, diakses pada tanggal 17 September 2017,pukul 13.20 Wita.
Komisi Penyiaran Indonesia. 10 Juni 2014. Pemberitaan Tidak Netral, KPI PusatTegur Metro TV dan TV One, https://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32106-pemberitaan-tidak-netral-kpi-pusat-tegur-metro-tv-dan-tv-one, diakses pada 19 Januari 2017 pukul 14.22 Wita.
______23 Juli 2010. KPI Bukan Ancaman Bagi Kemerdekaan Pers,http://www.kpi.go.id/index.php/id/siaran-pers/2525-kpi-bukan-ancaman-bagi-kemerdekaan-pers?start=9&detail3=1100&detail5=990, diakses padatanggal 10 September 2017, pukul 20.20 Wita.
Dewan Pers. 7 Mei 2013. Muhammad Ridlo Eisy (opini). Jurnalisme Partisan,http://dewanpers.or.id/opini/detail/74/jurnalisme-partisan, diakses padatanggal 16 November 2016 pukul 15.45 Wita.
______28 Februari 2014. Surat Edaran Dewan Pers tentang IndependensiWartawan dan Pemuatan Iklan Politik di Media Massa,http://www.dewanpers.or.id/pernyataan/detail/151/surat-edaran-dewan-pers-tentang-independensi-wartawan-dan-pemuatan-iklan-politik-di-media-massa, diakses pada 20 Januari 2017 pukul 15.15 Wita.
125
______Pers. 23 November 2009. Empat Organisasi Perusahaan Pers PenuhiStandar, http://dewanpers.or.id/berita/detail/341/empat-organisasi-perusahaan-pers-penuhi-standar, diakses pada tanggal 2 Juni 2017, pukul10.09 Wita.
Hukum Online. 25 September 2012. Menkumham Dukung Revisi UU Pers,http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt506140314dd92/menkumham-dukung-revisi-uu-pers, diakses pada tanggal 14 September 2017, pukul13.07 Wita.
Rappler. 27 April 2017. Indeks Kebebasan Pers Sedunia: Kerisauan Indonesiadalam Peringkat yang Lebih Baik,https://www.rappler.com/indonesia/ayo-indonesia/168134-indeks-kebebasan-pers-sedunia-indonesia-2017, diakses pada tanggal 22September 2017, pukul 16.05 Wita.
Tempo.co. 14 Juli 2011. Dewan Pers dan KIP Perjuangkan Pers Punya HakKhusus Peroleh Dokumen, https://nasional.tempo.co/read/346618/dewan-pers-dan-kip-perjuangkan-pers-punya-hak-khusus-peroleh-dokumen,diakses pada tanggal 11 September 2017, pukul 17.13 Wita.
Tirto.id. 12 Agustus, 2017. Independensi dan Kemerdekaan Pers di HUT RI Ke-72, https://tirto.id/independensi-dan-kemerdekaan-pers-di-hut-ri-ke-72-cupR, diakses pada tanggal 22 September 2017, pukul 20.29 Wita.
Wikipedia. Wartawan. https://id.wikipedia.org/wiki/Wartawan, diakses pada 14Oktober 2016 pukul 15.00 Wita.
Recommended