View
133
Download
10
Category
Preview:
DESCRIPTION
Sel imun dan glia berinteraksi dengan neuron untuk mengubah sensitivitas rasa nyeri dan untuk memediasi transisi dari nyeri akut menjadi kronis. Pada respon cedera, sel-sel imun diaktifkan dan diedarkan melalui darah untuk kemudian didistribusikan ke tempat cedera. Sel-sel kekebalan tidak hanya memberi kontribusi bagi perlindungan kekebalan tetapi juga mensensitisasi nosiseptor perifer. Melalui sintesis dan pelepasan mediator inflamasi dan interaksi dengan neurotransmiter dan reseptornya, sel-sel imunitas, glia dan neuron membentuk jaringan terintegrasi yang mengkoordinasikan respon imun dan memoduasi jalur rangsangan nyeri. Sistem kekebalan tubuh juga mengurangi kepekaan untuk memproduksi imunitas turunan analgesik dan anti inflamasi atau agen proresolusi. Pemahaman yang lebih besar tentang peran sistem kekebalan tubuh dalam proses dan modulasi nyeri mengungkapkan target potensial bagi pengembangan obat analgesik dan peluang terapi baru dalam pengelolaan nyeri kronis.
Citation preview
Interaksi Antara Imunitas dan Sistem Saraf Pada Nyeri
Ke Ren and Ronald DubnerDepartment of Neural and Pain Sciences, Dental School & Program in Neuroscience, University of Maryland, Baltimore, Maryland, USA
Abstrak
Sel imun dan glia berinteraksi dengan neuron untuk mengubah sensitivitas
rasa nyeri dan untuk memediasi transisi dari nyeri akut menjadi kronis. Pada
respon cedera, sel-sel imun diaktifkan dan diedarkan melalui darah untuk
kemudian didistribusikan ke tempat cedera. Sel-sel kekebalan tidak hanya
memberi kontribusi bagi perlindungan kekebalan tetapi juga mensensitisasi
nosiseptor perifer. Melalui sintesis dan pelepasan mediator inflamasi dan interaksi
dengan neurotransmiter dan reseptornya, sel-sel imunitas, glia dan neuron
membentuk jaringan terintegrasi yang mengkoordinasikan respon imun dan
memoduasi jalur rangsangan nyeri. Sistem kekebalan tubuh juga mengurangi
kepekaan untuk memproduksi imunitas turunan analgesik dan anti inflamasi atau
agen proresolusi. Pemahaman yang lebih besar tentang peran sistem kekebalan
tubuh dalam proses dan modulasi nyeri mengungkapkan target potensial bagi
pengembangan obat analgesik dan peluang terapi baru dalam pengelolaan nyeri
kronis.
Pendahuluan
Cedera pada jaringan dan saraf menginisiasi respon inflamasi yang
bertujuan mengikat patogn, menghilangkan jaringan yang rusak dan melakukan
perbaikan. Sebagai salah satu dari lima tanda kardinal peradangan yaitu nyeri
(dolor) yang pada awalnya berfungsi sebagai pelindung dan bermanfat untuk
penyembuhan. Namun dalam kondisi tertentu, rasa sakit tetap ada dan menjadi
kronis bahkan setelah luka telah disembuhkan. Nyeri kronis mempengaruhi jutaan
orang dan sulit untuk dihilangkan. Mekanisme terjadinya nyeri kronis yang
muncul setelah cedera akut tetap tidak jelas.
1
Meskipun nyeri diproses dalam sistem saraf, sistem kekebalan tubuh,
astrosit dan mikroglia juga berkontribusi terhadap hipersensitivitas rasa nyeri
kronis1-6. Sebuah konsep yang muncul adalah bahwa sel-sel kekebalan, glia dan
neuron membentuk jarigan terpadu dimana aktivasi yang memodulasi respon
imun rangsangan jalur nyeri. Dalam cara yang analog dengan neuron, sel
kekebalan dan glia menunjukkan proses dinamis, aktivitas bergantung plastisitas
dan berkontribusi untuk terjadinya hipereksitabilitas saraf dalam jalur transmisi
nyeri. Setelah diaktifkan oleh cedera, kekebalan tubuh dan kekebalan sel-sel
seperti keratinosit dan sel endotel vaskuler juga mensintesis dan mensekresi
sitokin antiinflamasi, mediator proresolution lipid dan opioid peptida untuk
menekan nyeri7,8.
Inflamasi dan Sensitisasi nociceptor perifer
Setelah terjadi cedera, inflamasi dipicu oleh aktivasi imun bawaan dengan
pola pengenalan reseptor termasuk Toll-like receptors (TLRs) yang mengenali dan
mengikat patogen atau molekul endogen yang dilepaskan dari sel yang rusak,
seperti heat shock protein dan kelompok protein mobilitas tinggi9,10 (Gambar 1).
TLRs diekspresikan dalam sel-el kekebalan termasuk monosit atau makrofag dan
sel dendritik serta sel kekebalan terkait seperti keratinosit. Pengikatan TLRs
diikuti oleh aktivasi sinyal nuclear factor-kB (NF-kB) dan pelepasan sitokin
inflamasi. Sel kekebalan tubuh, sel mast dan makrofag juga aktif dalam beberapa
menit dari cedera dan mengeluarkan sitokin proinflamasi, kemokin, efektor dari
kaskade komplemen (C3A dan C5a) dan vasodilator, termasuk amina vasoaktif
dan bradikinin. Neutrofil, monosit dan limfosit T menempati dinding pembuluh
darah, ekstravasasi dan menumpuk di lokasi cedera. Sel-sel kekebalan
berkontribusi dalam sensitisasi nociceptif perifer dengan melepaskan faktor
terlarut dan berinteraksi langsung dengan nociceptor.
Interaksi antara sel imunitas dan nociceptor
Sel mast merupakan granula-granula sel kekebalan yang terdapat dalam
mukosa dan jaringan ikat dan ditemukan dekat dengan kapiler. Sel mast turut
2
berperan dalam pertahanan host dan reaksi alergi pada proses degranulasi dalam
beberapa menit reaksi inflamasi sehingga terjadi pelepasan mediator histamin,
bradikinin dan lain-lain yang berperan terhadap vasodilatasi11.
Penelitian terbaru oleh Folgueras dkk12 menunjukkan bahwa degranulasi
sel mast membutuhkan interaksi langsung antara sel mast dan ujung-ujung saraf
perifer yang dimediasi adhesi molekul N-cadherin tergantung kalsium (Gambar
1). N-cadherin diekspresikan ke dalam sel mast dan neuron sensorik primer dan
dibelah oleh metaloproteinase MT5-MMP (MMP-24) yang diekspresikan oleh
neurons13. Ekspresi dari N-cadherin meningkat pada MT5-MMP dan ini
menimbulkan peningkatan interaksi antara sel mast dan saraf terminal,
degranulasi sel mast serta meningkatkan sensitivitas nyeri thermal (hiperalgesia
termal). Menariknya, MT5-MMP pada penelitian tikus mutan tidak
mengembangkan inflamasi thermal hiperalgesia. Hal ini mungkin karena sebagian
dipakai untuk pencegahan degranulasi sel mast dalam tidak adanya penekanan
dari interaksi sel mast dan syaraf terminal oleh MT5-MMP12.
Sel mast yang ditemukan dekat neuron nociceptif primer dan berperan
dalam senitisasi nociceptor dalam sejumlah konteks. Injeksi senyawa 48/80
secretagogue memacu degranulasi sel mast di dura dan menyebabkan eksitasi
nociceptor meningeal14. Degranulasi sel mast juga memberikan kontribusi
terhadap onset cepat faktor pertumbuhan saraf-diinduksi hiperalgesia thermal15.
Nyeri panggul yang terkait dengan cystitis neurogenik dieliminasi pada tikus yang
kekurangan sel mast. Meskipun temuan ini meunjukkan bahwa terjadi senitisasi
sel mast nociceptor perifer, tidak jelas mediator kimia mana yang berasal dari sel
mast yang penting untuk efek ini. Histamin memiliki peran peting dalam
memediasi sel mast-diinduksi aktivasi nociceptor16, 17, namun yang mengejutkan
tumor necrosis alfa (TNF-α) tampaknya tidak diperlukan bagi sel mast-tergantung
nyeri panggul16.
Makrofag berasal dari monosit yang bersirkulasi dan dipertahankan oleh
proliferasi lokal dan maturasi terjadi setelah proses diapedesis. Migrasi monosit
yang direkrut ke tempat cedera dan matang dalam beberapa jam berfungsi
meningkatkan jumlah makrofag pada daerah radang dalam beberapa hari sampai
3
minggu. Produk makrofag menjadi bersifat fagositik beberapa saat setelah
terjadinya cedera.
Jumlah makrofag meningkat pada tempat cedera saraf (seperti ditunjukkan
oleh peingkatan pewarnaan untuk ED1 (pada tikus homolog dengan CD 68
mausia))18,19 dan menghubungkannya dengan perkembangan alodinia mekanik
(nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang tidak berbahaya) setelah cedera saraf18.
Perekrutan makrofag setelah cedera saraf dimediasi oleh beberapa sitokin
inflamasi. TNF-α yang dilepaskan dari sel schwann segera setelah cedera saraf
menginduksi MMP-9. Pada gilirannya, MMP-9 mempromosikan migrasi
makrofag ke tempat cedera melalui sawar darah-otak20,21 (Gambar 1). Interleukin
15 (IL-15) yang bertindak pada sel B dan mempromosikan proliferasi sel T
diregulasi di dalam persarafan beberapa jam setelah cedera. Injeksi intreneural IL-
15 ke dalam saraf menginduksi infiltrasi makrofag dan sel T ke saraf, efek yang
diblokir oleh antibodi IL-15 dan oleh ganglioside 9-O-Ac GD 1b (nerostatin),
sebuah modulator IL-15 yang mengikat IL-15 dengan afinitas tinggi22. TNF-α
seperti IL-15 dapat mengaktifkan MMP-9 (Gabar 1). Pada peran nociceptif
mereka, TNF-α menginduksi sensitisasi nociceptor perifer24 dan injeksi
intraplantarIL-15 menginduksi hiperalgesia mekanik25.
Setelah terjadi proses perekrutan dan aktivasi, makrofag berkontribusi
pada sensetisasi nociceptor dengan melepaskan beberapa mediator terlarut.
Ekspresi dari protein kemokin makrofag inflammatory protein-1α (MIP-1α) dan
reseptornya CCR1 dan CCR5 meningkat pada makrofag dan sel schwann setelah
ligasi parsial dari skiatik saraf dan berkontribusi teradap perkembangan nyeri
neuropatik26.
Deplesi sirkulasi monosit dan makrofag oleh liposom-encapsulated
clodronate mengurangi sebagian hiperalgesia suhu dan mekanik 19,27 tanpa
mengubah alodinia mekanik28 dalam model nyeri neuropatik. Meskipun hal ini
menunjukkan bahwa makrofag hanya memiliki peran kecil dalam nyeri
neuropatik, perlu diperhatikan dalam interpretasi hasil ini bahwa clodronate tidak
efektif mengurangi jumah makrofag29. Makrofag memiliki peran penting dalam
infiltrasi leukosit polimorfonuklear dan peradangan akut seperti yang ditunjukkan
4
dalam kondisi ablasi makrofag30. Strategi ini dapat digunakan untuk memperjelas
peranan makrofag pada nyeri kronis.
Neutrofil merupakan leukosit polimorfonuklear dengan jumlah melimpah.
Migrasi neutrofil terkait dengan nyeri inflamasi31,32. Dalam satu jam pertama dari
onset peradangan, neutrofil bermigrasi melalui endotel pembuluh darah dan
menumpuk di lokasi cedera. Saraf terminal mempengaruhi rekruitmen neutrofil
melalui inflamasi neurogenik yang juga disebut peradangan steril karena tidak ada
patogen yang terlibat. Selama terjadi peradangan neurogenik, neuron aferen
primer menghasilkan impuls-impuls yang menyebar melalui terminal saraf
sekitarnya, hal ini menyebabkan pelepasan substansi P neuropeptida vasoaktif dan
calsitonin gen-related protein (CGRP) di cabang-cabang erifer (Gambar 1). IL-1
juga dapat mengikat saraf terminal dan menyebabkan pelepasan substansi P dan
migrasi dari leukosit polimorfonuklear7,33. Khususnya degranulasi sel mast juga
difasilitasi oleh substansi P dan CGRP34. Interaksi sinergis neuroimun dimana
beberapa mediator terlarut dapat memperkuat tanggapan dan meningkatkan
perekrutan sel, memfasilitasi sensitisasi dan munculnya keadaan nyeri kronis.
Dengan pengeluaran endopeptidase netral, enzim yang mengontrol inflamasi
neurogenik baik inflamasi neurogenik dan nyeri neuropatik dapat ditingkatkan
pada tikus35 (Gambar 1).
Limfosit berkontribusi terhadap sensitisasi nociceptor perifer, tetapi data
mengenai kontribusi limfosit kurang meyakinkan dibandingkan sel-sel kekebalan
lainnya. Sel T melakukan infiltrasi skiatik saraf dan serabut ganglion dorsalis
(DRG) stelah cedera saraf18,36. Hiperalgesia dan alodinia disebabkan oleh cedera
saraf nyata dilemahkan atau dihilangkan pada hewan pengerat yang kekurangan
sel T37-39 dan imunosupresan rapamycin melemahkan nyeri neuropatik pada tikus,
sebagian karena efek pada sel T40. Diantara subset sel T, tipe 1 dan 2 sel T helper
(TH1 dan TH2) telah terbukti memiliki peran yang bebeda dalam nyeri
neuropatik. Sel-sel TH1 memfasilitasi periaku nyeri neuropatik dengan
melepaskan sitokin pro-inflamasi (IL-2 dan interferon-y (IFNy)), sedangkan sel-
sel TH2 menghambat dengan melepaskan sitokin anti inflamasi (IL-4, IL-10 dan
IL-13)37. Perlu dicatat bahwa konsentrasi IL-17 di sumsum tulang belakang tikus
5
meningkat setelah cedera saraf38. Meskipun sel Natural Killer (NK) direkrut ke
saraf siatik yang terluka pada tikus, NK cell tampakya tidak terlibat dalam nyeri
neuropatik karena tidak ada perbedaan jumlah sel NK antara alodinia dan
nonalodinia pada tikus18. Sel B juga tidak menunjukkan perubahan pada manusia
dengan nyeri kronis41,42 dan tampaknya tidak berkontribusi pada perkembangan
nyeri neuropatik pada tikus38,39.
Sistem komplemen merupakan bagian penting dari sistem pertahanan
bawaan43. Efektor kaskade komplemen menyerang mikroba, mengaktifkan sel
mast dan basofil serta mengaktifkan kemotaksis leukosit. Protein tersebut secara
normal hadir dalam pembuluh darah tetapi bisa bocor keluar untuk jaringan yang
meradang. Sistem komplemen juga memiliki peran dalam inflamasi hiperalgesia
dan nyeri neuropatik31,41-46. C5a, suatu anafilatoksin merupakan efektor penting
dari kaskade komplemen dan mengikat reseptor C5aR1 menjadi neutrofil atraktan
kuat. Injeksi C5a dan C3A ke dalam tikus atau tikus menginduksi perilaku
hiperalgesia31,46,47, sedangkan PMX53, suatu antagonis reseptor C5a menekan hal
tersebut31,48. Zymosan-hasil rekruitmen diinduksi neutrofil dihambat oleh PMX53
dan C5a-menginduksi hiperalgesia berkurang dalam neutrofil pada deplesi tikus31.
Komponen-komponen komplemen juga memiliki efek langsung pada
nociceptor. Penerapan C5a atau C3A untuk saraf perifer ex vivo sensitif C fiber
nociceptor46. Efek ini mungkin dimediasi oleh efek langsung dari ikatan reseptor
C5a, mRNA sebagai reseptor C5a diekspresikan dalam neuron sensori primer46.
Meskipun pengamatan ini menunjukkan bahwa protein komplemen memiliki efek
paralel pada sel imun dan nociceptor, satu skenario yang masuk akal adalah
bahwa aktivasi nociceptor C oleh fragmen komplemen menyebabkan inflamasi
neurogenik, yang memfasilitasi migrasi neutrofil dan hiperalgesia (Gambar 1).
C5a juga terlibat dalam nyeri neuropatik, seperti mengaktifkan mikroglia tulang
belakang pada nyeri neuropatik dan melengkapi blokade kaskade komplemen di
sumsum tulang belakang membalikkan hubungan nyeri neuropatik. Meskipun C5a
memiliki peran dalam hipersensitivitas nyeri, pembentukan membran kompleks,
produk akhir dari kaskade komplemen untuk lisis sel tampaknya tidak
berkontribusi pada nyeri neuropatik49.
6
Interaksi Ganglia Sensoris
Serabut saraf perifer dan badan sel pada DRG dan di-relay di ganglion
terminal terkait cedera input aferen primer ke funiculus dorsalis medula spinalis.
Badan sel DRG dan ganglion trigeminal neuron dikelilingi oeh sel satelit glia
kecil (SGC). Seperti halnya astrosit di CNS, SGC dihubungkan dengan gap
junction dan mendukung neuron DRG dengan memberi nutrisi dan buffer ion
ekstraseluler pada neurotransmiter. Diperkirakan 15000 Major Histocompabilitas
Complex II-sel positif kemungkinan makrofag ditemukan di tiap-tiap segmen
lumbar DRG dan memberikan perlindungan imun. Makrofag dan sel T menyerang
DRG setelah terjadinya cedera saraf. Makrofag kemudian secara bertahap
bergerak melalui sel satelit dan bermigrasi lebih dekat dengan neuronal soma
(Gambar 2). Makrofag ini akhirnya membentuk cincin perineuronal di bawah sel
satelit di sekitar neuron sedang sampai besar setelah konstriksi saraf skiatik36,51.
Hampir berlawanan dari sel satelit dan neuron interaksi melalui sinyal parakrin,
sebuah mekanisme penting pada DRG yang mendasari sensitisasi perifer6.
Bukti baru telah muncul tentang bagaimana interaksi ini mempromosikan
transisi menuju proses nyeri kronis. Sel satelit di dalam DRG menunjukkan
peningkatan pasangan gap junction setelah injeksi Complete Freund’s Adjuvant
(CFA) melalui telapak kaki, sebuah efek paralel pengurangan ambang rasa
nyeri52,53. Pada ganglion trigeminal, injeksi pelacak retrograde True Blue ke dalam
kapsula temporomandibular joint menyebabkan akumulasi zat pewarna dalam
SGC setelah injeksi capsaicin ke temporomandibular joint. Yang terpenting di
sini, tidak ada pasangan gap junction diantara neuron DRG maupun antara SGC
pada ketiadaan stimulasi yang berbahaya. Dengan demikian, peningkatan
komunikasi antara SGC dan antara neuron dan SGC setelah stimulasi saraf perifer
meningkatkan rangsangan neuron dan meningkatkan input aferen primer.
Peningkatan komunikasi juga dapat menyebar melaui neuron sekitar dan SGC.
Thalokoti dkk menunjukkan bahwa aktivasi saraf sensori yang menginervasi
daerah mandibula menyebabkan nyeri yang berhubungan dengan perubahan
seluler tidak hanya di dalam neuron dan SGC daerah mandibula tetapi juga daerah
maksila dan opthalmica dari ganglion trigeminal. Lintasan eksitasi di dalam
7
ganglion sensoris menyediakan mekanisme nyeri ekstrateritori yang terjadi di luar
dermatom letak cedera.
SGC juga dapat mempengaruhi rangsangan saraf melalui pengurangan
penyangga kalium (Gambar 2a). Homeostatasis kalium ekstraseluler
mempengaruhi rangsangan saraf. Saat kalium ekstraseluler meningkat, nilai
ambang aktivasi diturunkan dan rangsangan saraf meningkat. SGC, tetapi bukan
neuron pada ganglia terminalismengekspresikan kanal K+ ke dalam Kir4.1, yang
memiliki peran penting dalam penyangga konsentrasi K+ dalam ganglion56.
Sepuluh hari setelah cedera dari saraf infraorbital, waktu dimana nyeri neuropatik
berkembang, ekspresi Kir4.1 dikuranngi oleh 40% ganglion trgeminal. Penutupan
Kir4.1 pada ganglion rigeminal oleh small interfering RNA (siRNA) juga cukup
untuk menginduksi mekanisme hipersensitivitas pada korespendensi perifer yang
sesuai57.
Sebuah lengkung sinyal timbal balik parakrin antara neuron dan SGC pada
ganglion terminal pada ganglion trigeminal juga memberi kontribusi untuk
sensitisasi nociceptor (Gambar 2b). Pelepasan CGRP oleh neuron meginduksi
produksi IL-1β dalam SGC. IL-1β, tetapi tidak IFN-y atau TNF-α, meningkatkan
produksi prostaglandin E2 (PGE2) dengan mengaktifkan siklooksigenase-2
(COX2) jalur di SGC. Nitrat oksida (NO) yang dihasilkan dalam neuron ganglion
trigeminal juga menginduksi produksi PGE2, mungkin dengan aktivasi COX1.
PGE2 pada gilirannya merangsang produksi CGRP di neuron ganglion trigeminal,
melengkapi jalur feedback positif (Gambar 2). Meskipun feedback dapat
meningkatkan sensitisasi nociceptor, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
menjelaskan apakah peningkatan hipersensitivitas nyeri ini meningkat secara in
vivo.
Akumulasi sitokin pro dan anti inflamasi dan kemokin di DRG setelah
cedera juga memberikan kontribusi terhadap sensitisasi neuron sensorik. TNF-α,
IL-1β, IL-10 dan kemokin beberapa diregulasi dalam DRG setelah cedera. TNF-α
juga diangkut secara retrograd ke DRG60. Kemoatraktan Monosit Kemokin
Protein-1 (MCP-1, atau CCL2) dan CCR2 reseptor juga diregulasi di neuron DRG
dalam model nyeri neuropatik61,62. Sitokin dan kemokin ini bertindak pada
8
reseptor masing-masing pada neuron DRG dengan potensi kopling reseptor
transient (TRP) dan saluran natrium, menghasilkan pembuangan ektopik dan
meningkatkan masukan aferen primer ke cornu dorsalis spinalis (Gambar 2c).
Efek Inhibisi sel imun pada nyeri
Setelah cedera, sistem kekebalan tubuh juga melepaskan faktor-faktor
yang mendorong pemulihan jaringan, menekan peradangan dan mengurangi rasa
sakit. Leukosit dan keratinosit melepaskan opioid, terutama β-endorfin setelah
cedera7,63,64. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa endomorfin diekspresikan di
sel T, makrofag dan fibrobal dari jaringan sinovial penderita dengan osteoarthritis
dan rheumatoid arthritis65. Inflamasi meinmbulkan peepasan kemokin seperti
CXCL1 dan CXCL2 tidak hanya memfasilitasi perekrutan leukosit tetapi juga
menginduksi pelepasan opioid peptida dari migrasi leukosit7. Aktivasi dari
reseptor endotelin-B juga dapat memicu pelepasan β-endorfin dari keratinosit63.
Sistem purinergic negatif perifer mengatur respon imun dan nyeri.
Reseptor purinergic terdiri dari pasangan G protein P2Y dan reseptor P dan
gerbang ligan family P2X. Reseptor P1 diaktifkan oleh ATP, ADP dan UTP,
sedangkan reseptor P2X hanya diaktifkan ATP. Kerika mengikat reseptor P@Y,
ATPyS secara perlahan menghidroisis analog ATP, menghambat sekresi TNF-α
dan CCL2 dan meningkatkan pelepasan IL-10 setelah aktivasi TLR di monosit
manusia67. Dalam P2X7R, DRG dalam sel satelit secara tonis menghambat
ekspresi P2X3R di neuron oleh aktivasi neuronal P2Y1Rs melalui ATP asal SGC
yang mencegah perkembangan nyeri inflamai pada tikus (Gambar 2d).
Terdapat beberapa kelas mediator lipid, termasuk lipoxins, resolvins, dan
neuroprotectins69 yang diproduksi oleh neutrofil, sel endotel vaskuler dan sel imun
lain saat diaktivasi. Mediator lipid ini secara aktif mendorong resolusi inflamasi.
Lipoxins menekan nyeri inflamasi70. Resolvins diturunkan secara endogen dari
omega 3 essensial asam lemak tak jenuh ganda. Dua jenis resolvins, D dan E telah
teridentifikasi. Resolvins D1 (RvD1) menghambat produksi IL-1B di mikroglia
dan RvD2 mencegah migrasi neutrofil ke tempat inflamasi dengan menghambat
interaksi leukosit-endothelial in vivo69,71. Efek analgesik resolvins tidak terbatas
9
pada efek antiinflamasi. Baik RvE1 dan RvD1 mengurangi hiperalgesia pada
formalin, carragenan dan model CFA pada nyeri inflamasi. RvE1 juga
menghambat alodinia mekanik, potensiasi reseptor NMDA yang diinduksi TNF-
α8.
Respon SSP pada Cedera Perifer
Respon glia central pada cedera perifer
Glia menunjukkan peningkatan aktivitas pada proses jalur multiple sebagai
respon terhadap cedera perifer. Aktivasi sinyal diteruskan ke otak oleh aktivasi
imun perifer dan melalui input saraf aferen, sitokin sirkulasi dan aktivitas sel
imun. Pada beberapa model hewan, nyeri inflamasi, penyuntikan formalin,
zymosan atau carrageenan ke dalam tumit menginduksi glia spinalis (sebagai
pengaruh peningkatan ekspresi CD11b, ionisasi kalsium terikat molekul (Iba1),
glia fibrillary acid protein (GFAP) atan kalsium S100 terikat protein an efek
hiperalgesia. Terdapat hasil yang berbeda yang telah diteliti setelah injeksi CFA.
Beberapa kelompok dilaporkan mengaktivasi glia spinal, dan kelompok lain tidak.
Aktivasi glia dilakukan penelitian pada cedera jaringan dalam pada otot,
persendian, saraf perifer maupun viscera dengan tergantung waktu yang tetap dan
hiperaktivitas glia somatopic berhubungan dengan cedera inflamasi dan nyeri. Hal
ini menunjukkan bahwa aktivasi glia lebih sensitif daripada cedera jaringan
dalam. Insisi kulit, model nyeri post operatif diinduksi cedera jaringan kutaneus
memproduksi lebih banyak efek yang lebih lemah pada ekspresi marker glia
daripada cedera saraf spinal. Penemuan ini secara klinik berhubungan karena
kebanyakan kondisi nyeri inflamasi mempengaruhi jaringan dalam maupun organ.
Modulator glia yang didesain untuk menghambat aktivasi glia mencegah
hiperalgesia persisten dan yang penting nilai ambang dasar nyeri biasanya tidak
berpengaruh oleh inhibitor glia yang menunjukkan bahwa glia secara selektif
mendorong sensitisasi setelah cedera.
10
Peran input saraf afferent
Peningkatan input afferent primer tidak hanya mengaktivasi neuro
polisinaps pada cornu dorsalis spinalis dan nukleus trigeminal spinalis tetapi juga
dapat mengubah aktivitas glial centralis. Bloking koduksi saraf perifer
meniadakan inflamasi otot masseter diinduksi regulasi GFAP pada nukleus
trigeminal spinalis yang menunjukkan bahwa aktivasi glial centralis pada respon
inflamasi perifer tergantung input saraf77,78. Stimulasi elektrik pada saraf skiatik
tikus maupun radix dorsalis pada stimulasi mengeluarkan CX3CL1 (fractalkine),
meningkatkan aktivasi microglial (ditaksir imunoreaktivitas Iba1) pada cornu
dorsalis spinalis dan meningkatkan sensitivitas nyeri95,96. Namun tidak semua
bentuk input nociceptif meningkatkan fungsi glial. Cedera akut jaringan pada
iritasi minyak mustard tidak meningkatkan aktivasi glial (ditaksir
imunoreaktivitas OX-42 dan GFAP) pada medula spinalis yang menunjukkan
bahwa respon glial secara selektif memiliki bentuk yang berbeda pada input
afferent primer. Pada cedera inflamasi, input mendukung dari jaringan perifer,
secara khusus pada otot dalam, persendian dan viscera seperti mengaktivasi glia.
Sinyal imun perifer ke otak
Diantara prototipe sitokin proinflamasi, IL-6 berfungsi menyampaikan
pesan sinyal imun perifer ke SSP. Pada 3 jam setelah induksi inflamasi
carrageenan pada tikus, kadar IL-6 dalam darah meningkat, namun tidak bagi IL-
1β maupun TNF-α. Peningkatan IL-6 sirkulasi dihubungkan dengan aktivitas
induksi COX-2 dan pelepasan PGE2 pada sel endothelial vaskular pada otak
(yang mengekspresikan reseptor IL-6)98,99. Respons ini dilemahkan oleh antibodi
IL-6 dan netralisasi IL-6 melemahkan hiperalgesia inflamasi79.
Infitrasi sel imun ke dalam SSP memfasilitasi induksi nyeri kronik.
Migrasi sel imun ke SSP terjadi secara selektif. Sebuah subpopulasi neutrofil yang
mengekspresikan kalsium terikat protein S100A8 dan S100A9 bermigrasi ke
medula spinalis setelah inflamasi tumit dan akumulasi intraluminal serta
perivaskular100. Sel T CD4+ berinfiltrasi ke dalam medula spinalis setelah
transeksi saraf spinal L539. Makrofag tidak terdeteksi pada medula spinalis satelah
11
inflamasi tumit dan transeksi saraf spinal L5. Namun, setelah ligasi saraf skiatik
parsial, makrofag perifer maupun invasi monosit ke dalam medula spinalis dan
berdiferensiasi menjadi sel dengan fenotip mikroglial, menunjukkan bahwa
pengangkutan sel imun melalui darah membuat kontribusi langsung ke respon
glial di dalam SSP.
Masih belum jelas bahwa permeabilitas sawar darah-otak dan sawar darah-
medula spinalis diubah setelah cedera jaringan maupun cedera saraf memfasilitasi
migrasi sel mun dan mediator inflamasi ke dalam SSP. Infiltrasi sel imun ke
dalam SSP diinisiasi oleh sinyal kemotaksis. C5a diaktifkan pada mikroglia spinal
setelah cedera saraf dan induksi kecil A2 (SCYA2), CCL2 dan adhesi molekul-1
leukosit endotelial secara substasial diaktifkan ke plexus choroideus pada respon
inflamasi tumit. Netralisasi CCL2 pada medula spinalis meniadakan infiltrasi
monosit maupun makrofag setelah cedera saraf101.
Aktivasi Neuron dan Glia Pada Nyeri Kronik
Persinyalan Neuron ke Glia
Neurotransmiter, neuromdulator dan mediatro inflamasi dilepaskan dari
ujug saraf afferen primer ke dalam medulla spinalis61,106. CCL2 diperbesar, vesikel
inti tebal pada neuron DRG yang menunjukkan bahwa substansi tersebut dapat
dilepaskan dengan cara yang sama seperti neurotransmiter6. Saat impuls saraf
sampai, neural dan mediator imun seperti glutamat, ATP, substansi P< CGRP,
brain derived neurotropic factor (BDNP), IL-6 dan CCL2 dilepaskan. Hal ini
terjadi pada reseptor di ujung saraf post sinaps dan pada mikroglia dan astrosit,
mengatur aktivitas glial (Gambar 3). Hal ini menjadi topik pada beberapa
penelitian terkini1-6,107.
Neuron dapat meregulasi aktivitas mikroglia melalui jalur seluler multiple.
Penelitian terkini menjelaskan jalur sinyal spesifik mikroglia yang dihubungkan
melalui neuregulin-1 (NRG-1), faktor pertumbuhan dan diferensiasi yang
dilepaskan dari ujung saraf afferent primer dari mikroglia spinal dan berikatan
dengan reseptor tirosinase kinase crbB2 pada mikroglia. Hal ini memacu aktivasi
mikroglia spinalis, pelepasan sitokin proinflamasi (termasuk IL-1β), kemotaksis
12
dan perkembangan hipersensitivitas nyeri (gambar 3a). Yang menarik, mikroglia
TLR4 bertindak atipik yaitu pada reseptor opioid nonstereoselektif. Morfin terikat
dengan domain yang sama dengan TLR4 sebagai lipopolisakarida dan
menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dari glia. Hal ini memungkinkan
bahwa tambahan preparat analgesik, opioid endogen secara lagsung menstimulasi
aktivitas mikroglial. Aktivasi jalur transduser siyal Janus kinase dan aktivator
transkripsi-3 (JAK-STAT3) di mikroglia oleh IL-6 menunjukkan alodinia stelah
cedera saraf. Namun efek mikroglia mungkin dimediasi oleh neoron, karena
reseptor IL-6 diekspresikan berlimpah pada neuron98,99,100.
Hal ini menjadi bukti bahwa mikroglia terlibat dalam menekan nyeri.
Pasangan reseptor G protein kinase 2 (GRK 2) mengekspresikan regulator negatif
pada pasangan reseptor G protein. Tikus yang mengekspresikan GRK2 yang
mengalami penurunan 50% (Grk2+/-) menunjukkan peningkatan dan
perpanjangan hiperalgesia setelah induksi inflamasi careegenan pada tumit yang
menunjukkan bahwa GRK2 menekan hiperalgesia inflamasi. Penekanan selektif
GRK2 pada mikroglia dan makrofag meningkatkan durasi hieralgesia112. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa GRK2 pada mikroglia maupun makrofag mengatur
durasi hiperalgesia inflamasi (Gambar 3a).
Aktivasi astrosit dimodulasi oleh aktivitas neuronal setelah cedera
perifer76. Inhibisi aktivitas neuronal menurunkan ekspresi GFAP pada medula
spinalis setelah cedera saraf113. Garrison dkk menunjukkan bahwa cedera saraf
diinduksi regulasi GFAP tergantung oleh aktivitas reseptor NMDA, secara
langsung diatur oleh input sinapti glutamatergic115,116. Pada potongan preparat
medullary ex vivo, aplikasi substansi P maupun CGRP menginduksi peningkatan
GFAP pada kompleks trigeminal spinalis, walaupun hal tersebut masih belum
jelas apakah merupakan efek langsung dari pengikatan astrosit. Lebih jauh lagi,
pada peniadaan reseptor k-opioid atau ligan endorfin dynorphin, cedera saraf
diinduksi GFAP pada cornu dorsalis spinalis dihilangkan, yang menunjukkan
bahwa sinyal opioid juga dapat memodulasi aktivasi astrosit. Pada aktivasi,
beberapa sinyal pada astrosit dimediasi oleh NF-kB, c-un N-terminal kinase-1
13
(JNK-1) dan penghambat jaringan metalloproteinase (TIMPs) mempengaruhi
perkembangan hiperalgesia (Gambar 3c).
Interaksi Glia-Sitokin-Neuron
Baik mikroglia maupun astrosit melepaskan substansi yang mempengaruhi
aktivitas neuronal. Aktivasi mikroglia melepaskan beberapa mediator yang
bekerja pada neuron dan nociceptor sensitif4,123-123. Satu contoh interaksi timbal
baik antara mikroglia dan neuron melibatkan kemokin CXCL1 (Gambar 3a).
CX3CL1 diekspresikan pada neuron sensorik primer dan neuron cornu dorsalis.
CX3CL1 secara normal berlabuh pada membran sel dengan lapisan musin yang
dapat diikiat dengan aktivitas protease. Pada stimulasi afferent primer protease
lisosomal sistein cathepsin S dilepaskan dari mikroglia dan mengikat CX3CL1
yang berlokasi di permukaan neuron cornu dorsalis. CX3CL1 mengubah aktivasi
receptor CX3CR1 pada mikroglia yang mengatur fosforilasi p38 MAPK pada
mikroglia. Contoh lain melibatkan sinyal prurinergik. ATP yang dapat diturunkan
dari berbagai sumber termasuk ujung-ujung saraf, menginduksi pelepasan BDNF
dari mikroglia dengan mengaktivasi P2X4R. BDNF dari mikroglia mengikat
reseptor TrkB pada neuron dan menginduksi pertukaran gradien anion klorida
pada cornu dorsalis neuron nociceptif. Peningkatan eksitabilitas lamina I neuron
nociceptif melalui reseptor GABAA dimediasi depolarisasi.
Hubungan kedekatan dengan neuron, astrosit berada pada posisi yang unik
yang berinteraksi dengan neuron pada regulasi aktivitas sinaptik. Pelepasan
glutamat pada ujung ujung saraf perifer mengaktivasi reseptor glutamat
metabotropic pada astrosit yang menningkatkan mbilisasi Ca2+ pada astrosit. Hal
ini memicu pelepasan dari astrosit pada mediator, termasuk glutamat, p-serine dan
ATP yang memodulasi aktivitas neuronal. Reseptor NMDA memiliki peran
penting pada sinaptik plastisitas dan nyeri persisten. P-serine bekerja pada
reseptor sinaptik NMDA dimana astrosit glutamat berikatan dengan reseptor
ekstrasinaps NMDA. Transporter astrosit glutamat (GLT-1) menahan pelepasan
glutamat ke dalam inaps untuk mencegah aktivasi berlebihan pada reseptor
glutamat post sinaps. Namun, GLT-1 bekerja setelah cedera dan pertukaran
14
glutamat-glutamin antara astrosit dan neuron diubah. Perebahan pada sinaps
homeostasis glutamat memacu peningkatan eksitabilitas cornu dorsalis dan
berperan dalam perkembangan nyeri persisten4,132,133.
Dari begitu banyak sel imun maupun turunan mediator glia yang
dihubungkan dengan hipersensitivitas nyeri, IL-1β merupakan sitokin kunci yang
memdulasi mikroglia, astrosit dan neuron. ATP menginduksi pelepasan IL-1β dari
mikroglia pada potongan medula spinalis yang memerlukan reseptor P2X7.
Induksi ATP melepaskan IL-1β memerlukan TLR primer dari lipopolisakarida,
yang menunjukkan bahwa hal ini hanya terjadi saat cedera. Pelepasan IL-1β juga
dimediasi oleh sinya CX3CL1 dan mengaktivasi p38 MAPK di mikrogia. IL-1β
juga secara selektif bekerja pada astrosit di medula spinalis, nukleus trigeminal
spinalis dan medula ventromedial rostral pada model nyeri kanker, inflamasi dan
cedera saraf, yang menunjukkan bahwa astrosit dapat bekerja sebagai sumber
alternatif dari sitokin proinflamasi. Setelah cedera saraf spinal, pro- IL-1β
dipotong oleh MMP-9 di mikroglia dan MMP-2 di astrosit, namun tidak oleh
sistein protease caspase-1, sebuah enzim kunci yang bertanggungjawab untuk
produksi dan pemtangan IL-1β. IL-1β juga menjadi pesan penting antara glia dan
neuron. Reseptor IL-1 colocalizes dengan reseptor NMDA pada neuron. Aktivasi
reseptor IL-1 memfasilitasi fosforilasasi eseptor NMDA, induksi berubayeri
persisten juga h pada kekuatan sinapsis dan menghasilkan efek hiperalgesia.
Namun, peran IL-1β pada nyeri persisten juga melibatkan mekanisme reseptor
NMDA independent139.
TNF-α bekerja pada jalur nyeri setelah cedera dan disekresi oleh imunitas
an sel glial. TNF-α menginduksi fosforilasi JNK1 dan mengaktivasi NF-kB pada
astrosit, mempengaruhi pelepasan CCL2. CCL2 kemudian bekerja pada reseptor
CR2 pada neuron dan berinteraksi ositif dengan NMDA neuronal dan reseptor
AMPA. Pada medulla ventromedial rostral, yang bertanggungjawab terhadap
penurunan modulasi nyeri, TNF-α diinduksi setelah cedera saraf dan memfasilitasi
fosforilasi reseptor NMDA. TNF-α juga menstimulasi fosforilasi subunit GluA1
pada reseptor AMPA dan berada pada membran neuron cornu dorsalis140.
15
Penemuan ini menguatjan pandangan bahwa glia asal sitokin proinflamasi
berinteraksi dengan eksitasi reseptor asam amino.
IL-18, sebuah sitokin inflamasi dari family IL-1 bekerja sebagai pengantar
pesan antara mikroglia dan astrosit. Setelah cedera saraf spinal, IL-18 aktif pada
mikroglia dan reseptornya IL-18R bekerja secara selktif pada astrosit pada medula
spinalis. Sinyal IL-18 mempengaruhi aktivasi NF-kB di astrosit dan
mengembangkan nyeri neuropatik pada tikus. IL-18 juga berkontribusi
memfasilitasi penurunan nyeri di batang otak. Aktivasi reseptor 5-HT3 spinal
meningkatkan hipersensitivitas nyeri dengan mekanisme yang melibatkan IL-18,
mikroglia dan astrosit.
Peluang Terapi
Pengetahuan mendalam mengenai peran berbagai tipe sel dan mediator
terlarut pada nyeri membuka peluang perkembangan target analgesik potensial.
Penemuan penelitian preklinik belum dapat diterapkan ke dalam pengaturan
klinik. Di sini kita mendikusikan beberapa perkembangan terkini dalam target
sitokin, kemokin, resolvin dan modulator glial sebagai agen analgesik.
Sitoki anti inflamasi dan penghambat sitokin
Kineret (anakira, Amgen), sebuah reseptor antagonis IL-1 rekombinan
manusia, dan dua penghambat inhibitor, Enbrel (etanercept, Pfizer dan Amgen)
dan Remicade (infliximab, Centoco), menghambat nyeri dihubungkan dengan
rheumatoid arthritis dan kondisi inflamasi lainnya142. Arcalyst (rilonacept,
Regeneron) mengikat IL-1α dan IL-1β dengan afinitas tinggi dan menunjukkan
harapan pada perawatan inflamasi. Obat dengan fusi protein yang terdiri atas
domain ekstraseluler dan protein asesoris pada reseptor terlarut IL-1. Sebagai
penghambat I-1, rilonacept memiliki keuntungan lebih dari reseptor IL-1
monomer, dimana ikatan IL-1 dengan afinitas rendah dan pada beberapa kasus
dapat bekerja sebagai antagonis. Rilonacept mensupresi hiperalgesia dan inflamasi
pada model arthritis yang diinduksi dengan kristal monosodium urat ke dalam
sendi ankle tikus. Pada penelitian awal yang melibatkan 10 pasien dengan gout
16
arthritis kronik aktif, rilonacept secara signifikan mengurangi nyeri setelah
pemberian injeksi subkutaneus dan ditoleransi secara baik143.
IL-10 sebuah sitokin antiinflamasi yag disekresi oleh monosit dan sel
TH2, membalik nyeri neuropatik pada penelitian hewan145. Untuk meningkatkan
pengiriman dan meningkatkan efek durai, formulasi baru didesain yang terdiri
atas penyandian plasmid DNA IL-10 enkapsulated (pDNA-IL-10) dengan
mikropartikel PLGA (polylactic-co-glycolic-acid), sebuah polimer degradasi
sistesis. Formulasi ini memperbolehkan pelepasan lambat IL-10 dan
meningkatkan produksi IL-10 dibandingkan dengan unenkapsulated pDNA-IL-10.
Pada model yang melibatkan konstriksi kronik pada saraf skiatik, injeksi
intratekal dari mikropartikel tersebut menghilangkan mekanisme alodinia untuk
lebih dari 70 hari setelah pemberian tunggal. Mikropartikel PLGA juga dapat
menginduksi penarikan makrofag dan menstimulasi aktivitas fagositik, sehigga
penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk menjelaskan mekanisme ketepatan
aksi tersebut.
Resolvins Proresolusi
Keperluan terapi resolvins sebagai agen analgesik yang menguntungkan
menjadi topik yang menarik. Salah satu keuntungan dari mediator lipid ini ialah
bahwa resolvins bekerja dengan mensupresi proses inflamasi dan dengan
menghambat mekanisme plastisitas sinaptik yang melibatkan transisi nyeri kronik.
Fungsi lain manfaat yang diinginkan dari resolvins ialah resolvins tidak
mempengaruhi nilai ambang dasar nyeri namun menekan cedera yang
menginduksi nyeri pada penelitian preklinik. Sebaliknya, dengan agen
antiinfamasi luas, meditor lipid proresolusi tidak mengubah respon pertahanan
inflamasi dan tidak meningkatkan risiko infeksi.
Antagonis Reseptor Komplemen
PMX53, sebuah pencampuran hexapeptida siklik, ialah antagonis reseptor
komplemen C5a dan menghambat hiperalgesia inflamsi pada penelitian preklinik
tanpa mengubah nilai ambang dasar nyeri. Namun, pada penelitian double blind,
17
penelitian klinik dengan pacebo pada individu dengan rheumatoid arthritis,
PMX53 tidak mengurangi inflamasi sinovial. Kelemahan PMX53 pada pasien
tersebut terhadap nyeri tidak ditentukan.
Modulator Glial
Sebuah keterangan penelitian preklinik mendukung peran glia terhadap
perkembangan nyeri kronik. Yang paling umum pada penggunaan modulator glial
termasuk minosiklin (tetrasiklin semisintetik), fluorocitrate (sel toxin metabolik),
propentofylline (derivat xantin dan penghambat fosfodiesterase) methionine
sulfoximine (penghambat astroglial glutamin sintetase) dan Mac-1-saporin
(reseptor CD11b dan konjugasi saporine; sistem target advanced). Diantara agen-
agen tersebut, minosiklin digunakan secara klinik sebagai antibiotik dan
pentofylline biasa digunakan dalam percobaan klinik untuk penyakit Alzheimer.
Efek analgesik potensial dari modulator glial tersebut pada pasien belum
ditetapkan. AV411 (ibudilast, Avigen/Medicinova) sebuah penghambat lial dan
penghambat aktivitas fosfodiesterase, mempotensiai analgesik opioid pada tikus
dan pada fase 2 percobaan klinik (NCT00576277) menunjukkan harapan pada
perawatan nyeri neuropatik. Konsentrasi plasma AV411 dihubungkan dengan
penurunan nyeri dan obat-obatan ditoleransi secara baik.
Kesimpulan
Kini kita sepenuhnya meyadari pentingnya interaksi antara imunitas dan
sistem saraf pada nyeri. Sel imun tubuh bawaan berespon terhadap cedera dengan
respon inflamasi yang mengaktivasi jalur nyeri. Mediator terlarut dilepaskan oleh
imunitas dan sel glia bekerja pada nociceptor, meningkatkan kekuatan sinaps dan
mengubah sensitivitas nyeri. Setelah aktivasi sel imun perifer dan nociceptor,
respon nyeri akut awal, apabila dikurangi dapat berkembang ke dalam nyeri
kronik patologis.
Terdapat jarak krusial pada pengetahuan kita. Peran aktivasi imun bawaan
pada nyeri agak jelas, namun masih sedikit pengetahuan terhadap peran sitem
imun didapat pada kondisi inflamasi kronik dan kontribusinya terhadap nyeri
18
kronik. Lebih jauh lagi, kebanyakan penelitian dilakukan hanya terbatas pada fase
protektif nyeri dihubungkan dengan cedera awal. Model hewan terkini terbatas
pada respon inflamasi akut dan hiperalgesia singkat yang terbatas waktu. Model
yang lebih baik diperlukan untuk menjelaskan kontribusi sel imun pada nyeri
kronik dan peran mereka dalam menjaga keadaan nyeri kronik. Penelitian lebih
lanjut mengenai keterlibatan sel imun dan glia pada nyeri mungkin dapat
mengidentifikasi target ide dan penghambat yang lebih selektif.
19
Recommended