78
MAKALAH NEUROENDOKRINOLOGI PENYAKIT-PENYAKIT IMUN Disusun oleh : Aprilia Dyah 140410120002 Aya Sofa N. 140410120022 Fauziah Nurhusnayain 140410120026 Adela Hani Faiza 140410120052 Astrid Windisari 140410120068 Cynthia Rizka Riani 140410120078 PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PADJADJARAN

Penyakit Imunitas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Imunologi

Citation preview

Page 1: Penyakit Imunitas

MAKALAH NEUROENDOKRINOLOGI

PENYAKIT-PENYAKIT IMUN

Disusun oleh :

Aprilia Dyah 140410120002

Aya Sofa N. 140410120022

Fauziah Nurhusnayain 140410120026

Adela Hani Faiza 140410120052

Astrid Windisari 140410120068

Cynthia Rizka Riani 140410120078

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2015

Page 2: Penyakit Imunitas

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sistem imunitas tubuh memiliki fungsi yaitu membantu perbaikan DNA

manusia; mencegah infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan

organisme lain; serta menghasilkan antibodi (sejenis protein yang disebut

imunoglobulin) untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing ke dalam

tubuh. Tugas sistem imun adalah mencari dan merusak invader (penyerbu) yang

membahayakan tubuh manusia.

Untuk tetap terlindungi, beberapa mekanisme telah berevolusi yang

menetralisir patogen. Bahkan organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan

oleh sistem enzim yang melindungi terhadap infeksi virus. Mekanisme imun

lainnya yang berevolusi pada eukariota dan tetap pada keturunan modern, seperti

tanaman, ikan, reptil dan serangga. Mekanisme tersebut termasuk peptida

antimikrobial yang disebut defensin, fagositosis, dan sistem komplemen.

Mekanisme yang lebih berpengalaman berkembang secara relatif baru-baru ini,

dengan adanya evolusi vertebrata. Imunitas vertebrata seperti manusia berisi

banyak jenis protein, sel, organ tubuh dan jaringan yang berinteraksi pada

jaringan yang rumit dan dinamin. Sebagai bagian dari respon imun yang lebih

kompleks ini, sistem vertebrata mengadaptasi untuk mengakui patogen khusus

secara lebih efektif. Proses adaptasi membuat memori imunologis dan membuat

perlindungan yang lebih efektif selama pertemuan pada masa depan dengan

patogen tersebut. Proses imunitas yang diterima adalah basis dari vaksinasi.

Salah satu komponen utama sistem kekebalan tubuh adalah sel T, suatu

bentuk sel darah putih (limfosit) yang berfungsi mencari jenis penyakit pathogen

lalu merusaknya. Limfosit dihasilkan oleh kelenjar limfe yang penting bagi tubuh

untuk menghasilkan antibodi melawan infeksi. Secara umum, limfosit tidak

berubah banyak pada usia tua, tetapi konfigurasi limfosit dan reaksinya melawan

infeksi berkurang. Manusia memiliki jumlah T sel yang banyak dalam tubuhnya,

Page 3: Penyakit Imunitas

namun seiring peningkatan usia maka jumlahnya akan berkurang yang

ditunjukkan dengan rentannya tubuh terhadap serangan penyakit.

Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun sesuai umur.

Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi menurun termasuk kecepatan

respons imun dengan peningkatan usia. Hal ini bukan berarti manusia lebih sering

terserang penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan

meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit

kronik. Hal ini disebabkan oleh perjalanan alamiah penyakit yang berkembang

secara lambat dan gejala-gejalanya tidak terlihat sampai beberapa tahun

kemudian. Di samping itu, produksi imunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh

orang tua juga berkurang jumlahnya sehingga vaksinasi yang diberikan pada

kelompok lansia kurang efektif melawan penyakit. Masalah lain yang muncul

adalah tubuh orang tua kehilangan kemampuan untuk membedakan benda asing

yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda itu bagian dari dalam tubuhnya

sendiri.

Salah satu sistem yang bekerja secara terus menerus dan tidak pernah

berhenti adalah sistem kekebalan tubuh atau disebut juga sistem imun. Sistem ini

melindungi tubuh sepanjang waktu dari semua jenis penyerang yang berpotensi

menimbulkan penyakit pada tubuh kita. Setiap sistem, organ, atau kelompok sel di

dalam tubuh mewakili keseluruhan di dalam suatu pembagian kerja yang

sempurna. Setiap kegagalan dalam sistem akan menghancurkan tatanan ini.

Sistem imun sangat diperlukan bagi tubuh kita sebagai pertahanan tubuh terhadap

infeksi. Berbagai komponen system imun bekerja sama dalam sebuah respon

imun. Apabila seseorang secara imunologis terpapar pertama kali dengan antigen

kemudian terpapar lagi dengan antigen yang sama, maka akan timbul respon imun

sekunder yang lebih efektif. Reaksi tersebut dapat berlebihan dan menjurus ke

kerusakan individu mempunyai respon imun yang menyimpang. Kelainan yang

disebabkan oleh respon imun tersebut disebut hipersensitivitas. Oleh karena itu

untuk lebih memahami mengenai jenis penyakit yang menyerang sistem imun,

maka dibuatlah makalah ini untung menambah pengetahuan tentang peranan

sistem imun dalam tubuh manusia yang mempunyai peranan penting dalam sistem

mempertahankan kesehatan dan daya tahan tubuh seseorang.

Page 4: Penyakit Imunitas

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat diidentifikasikan

masalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan sistem imun.

2. Apa saja jenis penyakit dan penyebab yang menyerang sistem imun.

1.3. Tujuan Makalah

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian dari sistem

imun, Jenis-jenis penyakit yang menyerang sistem imun dan mekanisme faktor

apa yang menyebabkan sistem imun dapat terserang penyakit.

Page 5: Penyakit Imunitas

BAB II

ISI

Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang

melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasikan

dan membunuh patogen serta sel tumor. sistem ini mendeteksi berbagai macam

pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi,

bakteri, virus, dan parasit lainya, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan

memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dari jaringan agar tetap dapat

berfungsi seperti biasa.

2.1 Defisiensi Sistem Imun

Defisiensi imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem imun

tidak aktif, atau fungsi sistem imun yang menurun atau tidak berfungsi dengan

baik dan akibatnya akan menyebabkan kerentanan terhadap infeksi semakin

meningkat. Defisiensi imun secara garis besar dibagi menjadi 2, yaitu defisiensi

imun primer dan sekunder.  Defisiensi imun primer tidak berhubungan dengan

penyakit lain yang mengganggu sistem imun, dan banyak yang merupakan akibat

kelainan genetik dengan pola bawaan khusus. Defisiensi imun sekunder terjadi

sebagai akibat dari penyakit lain, umur, trauma, atau pengobatan.

Penyebab defisiensi imun sangat beragam dan penelitian berbasis genetik

berhasil mengidentifikasi lebih dari 100 jenis defisiensi imun primer dan pola

menurunnya terkait  pada X-linked resesif, resesif autosomal, atau dominan

autosomal.

Penyakit defisiensi imun karena fungsi yang abnormal dari satu atau lebih

elemen sistem imun, terbagi atas:

Defisiensi imun spesifik, adanya disfungsi dari sel T dan sel B

Defisiensi imun non spesifik, adanya disfungsi sel fagosit.

Defisiensi imun dapat meningkatkan daya infeksi terhadap penderita. Efek

infeksi dapat dikategorikan menjadi 2, yaitu :

Page 6: Penyakit Imunitas

Infeksi pirogenik, yaitu infeksi yang terjadi saat pasien mengalami

kerusakan pada imunoglobulin, protein komplemen atau fagosit dan dapat

langsung terinfeksi oleh bakteri kapsul

Infeksi oputunistis, yaitu infeksi yang terjadi saat pasien mengalami

kerusakan pada sel mediasi (sel T)

1. Klasifikasi Defisiensi Imun Primer

a. Defisiensi imun humoral (sel B)

Pasien yang mengalami kerusakan fungsi sel B, memiliki efek infeksi

pirogenik, seperti Pneumonia, Media otitis, dan Sinusitis. Pada defisiensi imun sel

B terdapat beberapa penyakit, yaitu:

Agammaglobulinemia X-linked (X-LA), Penyakit ini menyerang anak

laki-laki karena adanya penurunan jumlah bahkan tidak adanya limfosit B,

rendahnya kadar antibodi, dan kelainan pada kromosom X. pada bayi akan

menderita infeksi paru-paru, sinus dan infeksi tulang. Infeksi ini akan

terjadi ketika berusia 6 bulan.

Gambar 2.1 Penyakit Agammaglobulinemia X-linked yang menyerang

bayi

Defisiensi IgA selektif merupakan penyakit turunan, namun penyebab

penyakit sering terjadi dengan penyebab yang tidak jelas. Penyakit ini

dapat timbul akibat pemakaian fenitoin (obat anti kejang). Penderita

kekurangan IgA tidak mengalami gangguan atau hanya megalami

Page 7: Penyakit Imunitas

gangguan ringan, namun sebagian juga mengalami infeksi pernafasan

menahun dan alergi. Jika penderita diberi transfusi darah, plasma atau

immunoglobulin IgA, beberapa penderita menghasilkan antibodi anti-IgA

yang dapat menyebabkan reaksi alergi yang hebat kerika menerima plasma

atau imunoglobulin berikutnya.

Defisiensi imun dengan hiper IgM. Penderita penyakit ini mempunyai

kadar IgM serum yang normal atau meningkat khususnya pada pendeita

anak-anak. Anak-anak penderita penykit ini mempunyai risiko tambahan

terhadap infeksi Pneumocystis carinii, yang secara normal terjadi pada

defek sel T.  Efek pada defisiensi antibodi ini tidak hanya terbatas pada

defek sel B. Penyakit terkait kromosom X ini disebabkan oleh kegagalan

molekul aksesori ligan CD40 pada sel T, yang bereaksi dengan CD40 pada

sel B untuk merangsang perubahan IgM menjadi IgG atau IgA pada sel B

yang terstimulasi antigen.

Defisiensi sel B sekunder yang berhubungan dengan obat sehingga

kehilangan protein 

Penyakit limfoproliferatif x-linked 

b. Defesiensi Sel T

Defesiensi sel T ini lebih rentan menginfeksi pada individu yang memiliki

sel T yang sedikit atau tidak memiliki sel T. Pada manusia sel B lebih memiliki

fungsi yang besar dibandingkan sel T, sehingga defisiensi sel T akan

menghasilkan imunodefisiensi umoral, yaitu mengkoordinasi kombinasi

defisiensi antara sel humoran dan sel mediasi-imunitas. Beberapa penyakit yang

disebabkan oleh defesiensi sel T yaitu:

Kandidiasi mukokotaneus kronis, terjadi akibat fungsi sel darah putih yang

buruk dan menyebabkan infeksi jamur Candida yang dapat menetap pada

bayi dan remaja khususnya pada perempuan. Jamur ini menyebabkan

infeksi mulut, kulit kepala, kulit tubuh dan kuku. Beberapa penderita juga

mengalami hepatitis dan penyakit paru-paru serta kelainan endokrin.

Pengobatan dilakukan dengan mengggunakan obat anti jamur dan

terkadang dilakukan pencangkokan sumsung tulang.

Page 8: Penyakit Imunitas

Anomali DiGeorge, diakibatkan karena adanya kelainan pada

perkembangan janin. Kelainan ini tidak diturunkan dan bisa menyerang

anak laki-laki maupun perempuan. Anak-anak tidak memiliki kelenjar

thymus yang penting untuk perkembangan limfosit T yang normal.

Kelainan ini kadang bersifat parsial dan akan membaik dengan sendirinya.

Anak-anak memiliki kelainan jantung dan gambaran wajah yang tidak

biasa (telinganya lebih rendah, tulang rahangnya kecil dan menonjol serta

jrak antara kedua matanya lebih lebar). Penderita juga tidak memiliki

kelenjar paratiroid, sehingga kadar kalium darahnya rendah dan setelah

lahir mengalami kejang. Jika keadannya sangat berat, maka perlu

dilakukan pencangkokan sumsum tulang dan pencangkokan kelenjar

thymus dari janin atau bayi baru lahir (janin yang mengalami keguguran).

Kadang kelainan jantungnya lebih berat daripada kelainan kekebalan

sehingga perlu dilakukan pembedahan jantung untuk mencegah gagal

jantung yang berat dan kematian.

Gambar 2.2 Penderita penyakit Anomali DiGeorge

Defisiensi sel T hasil defisiensi MHC Class II

Molekul MHC klass II diekspresikan karena adanya sel makrofag dan sel

B yang merupakan karakteristik autosomal resesif. Karena pengembangan

CD4+ sel T helper mengalami seleksi positif dengan molekul MHC class

II pada kelenjar timus. Defisiensi molekul MHC class II menyebabkan

defisiensi terhadap sel CD 4+.

Page 9: Penyakit Imunitas

c. Defesiensi Sel T dan Sel B

Ataksia-telangiektasia, suatu penyakit keturunan yang menyerang sistem

kekebalan dan sistem saraf. Kelainan pada cerebelum menyebabkan

pergerakan yang tidak terkoordinasi (ataksia). Kelainan pergerakan

biasanya timbul ketika anak sudah mulai berjalan, tetapi bisa juga baru

muncul pada usia 4 tahun. Anak tidak dapat berbicara dengan jelas, otot-

ototnya lemah dan kadang terjadi keterbelakangan mental. Telangiektasi

adalah suatu keadaan dimana terjadi pelebaran kapiler di kulit dan mata.

Kelainan pada sistem endokrin bisa menyebabkan ukuran buah zakar yang

kecil, kemandulan dan diabetes. Ataksia-telangiektasia biasanya

berkembang menjadi otot yang melemah dan semakin memburuk,

kelumpuhan, demensia dan kematian.

Gambar 2.3 Penyakit Ataksia-teleangiektaskia

Imunodefisiensi komplemen kronis, terjadi karena kekurangan limfosit B

dan antibodi, disertai kekurangan atau tidak berfungsinya limfosit T,

sehingga penderita tidak mampu melawan infeksi dengan kuat. Sebagian

besar penderita akan mengalami pneumonia dan thrush (infeksi jamur di

mulut). Pengobatan terbaik adalah pencangkokan sumsum tulang atau

darah dari tali pusar.

Sindrom Wiskott-Aldrich, merupakan kelainan pada proses ekspresi

antigen oleh makrofag. Ditandai dengan trombositopenia dan eksim serta

kadar IgM yang sangat rendah.

Gambar 2.4 Penyakit Sindrom Wiskott-Aldrich

Berikut adalah daftar tabel SCID (Severe Combined Immunodeficiency

Disease) berdasarkan ada atau tidaknya sel T dan sel B:

Page 10: Penyakit Imunitas

Kondisi Defek

fungsi

Patogenesis Keturunan Keterangan

T- B+ SCIDX

linked Resesif

autosom

- Kegagala

n CMI

dan

antibodi

- Sel NK

abnormal

- Kegagala

n CMI

dan

antibodi

- Defisiensi

reseptor IL

(rantai γ)

- Defisiensi

sitokin

kinase

X linked

Resesif

autosom

 40% kasus

SCID5%

kasus SCID

T- B- SCID

Resesif

autosom

Kegagalan

CMI dan

antibodi

Tidak ada

diferensiasi

karena defek

RAG1/2

 Resesif

autosom

 20% kasus

SCID20%

kasus SCID,

Kemungkina

n hidup tidak

ada

Defisiensi

MHC kelas

I (“bare

lymphocyte

syndrome”)

Sel T dan B

normal,

namun CMI

dan antibodi

rusak 

Kegagalan

ekspresi

antigen

MHC kelas I

karena defek

transkripsi

TAP-2

Resesif

autosom

Jarang

Defisiensi

MHC kelas II

Kegagalan

presentasi

antigen ke

sel T CD4+

Defek

transkripsi

protein

MHC kelas

Resesif

autosom

< 5% kasus

SCID

Page 11: Penyakit Imunitas

II

Defisiensi

CD3 Kegagala

n aktivasi CD3

Defisiensi IL-2

Kegagalan

aktivasi sel

T CD4+

- Defek

transkrips

i

-  Defek

transduks

i signal,

seperti

defisiensi

ZAP-70

- Gagal

produksi

sitokin

Resesif

autosom Resesi

f autosomTidak

diketahui

Jarang

d. Defek primer pada imunitas non-spesifik

Imunitas humoral spesifik membutuhkan mekanisme efektor non-spesifik

untuk kerjanya. Mikroorganisme yang telah diopsonisasi oleh antibodi IgG siap

untuk terikat dan difagosit oleh sel fagosit. Lisis bakteri yang tergantung

komplemen juga membutuhkan jalur komplemen yang berfungsi dengan baik,

demikian pula pada kompleks antibodi-komplemen.

e. Defek fungsi neutrofil

Peran utama neutrofil adalah memfagosit, menghancurkan dan mengolah

mikroorganisme yang menginvasi, terutama bakteri dan jamur. Defek pada

neutrofil dapat bersifat kuantitatif (neutropenia) atau kualitatif (disfungsi

neutrofil), namun manifestasi klinisnya sama. Jumlah neutrofil yang bersirkulasi

normalnya melebihi 1,5×109/liter. Neutropenia ringan biasanya asimtomatik,

namun derajat sedang sampai berat dihubungkan dengan peningkatan risiko dan

Page 12: Penyakit Imunitas

keparahan infeksi (infeksi akan mengancam nyawa bila jumlah neutrofil di

bawah 0,5×109/l). Neutropenia lebih umum ditemukan dibandingkan disfungsi

neutrofil, dan penyebab sekunder neutropenia lebih umum dibandingkan

penyebab primernya. Bentuk primer (kongenital) ini bersifat fatal dan penyakit

ini sering terjadi akibat efek samping dari kemoterapi.

Fungsi neutrofil dapat dibagi dalam beberapa stadium dan defek kualitatif

dapat diklasifikasikan sesuai tahapan fungsi yang terganggu. Pergerakan neutrofil

yang menurun dapat timbul tanpa dikaitkan dengan defek fagositosis dan

mekanisme penghancuran. Fungsi opsonisasi yang kurang karena defisiensi

antibodi berat atau kadar C3 yang rendah dapat meningkatkan kerawanan

terhadap infeksi, hal ini diperberat bila neutrofil mempunyai fungsi fagosit yang

buruk, baik primer atau sekunder. Apabila mekanisme penghancuran intraseluler

gagal, bakteri yang difagosit dapat bertahan dan berproliferasi di dalam

lingkungan intraseluler, bebas dari efek antibodi dan antibiotik. Contohnya

adalah sindrom penyakit granulomatosa kronik(chronic granulomatous disease,

CGD), yang timbul akibat kegagalan produksi radikal oksigen bakterisidal

selama proses respiratory burst dalam aktivasi fagositosis. Tipe klasik CGD

diturunkan sebagai kelainan X-linked recessive, dan biasanya muncul dalam 2

bulan pertama, meskipun diagnosis mungkin baru ditegakkan saat dewasa muda.

Komplikasi yang muncul dapat berupa limfadenopati regional,

hepatosplenomegali, abses hepar dan osteomielitis. Tatalaksana CGD meliputi

antibiotik profilaksis (biasanya kotrimoksazol) dan antifungal bila diperlukan.

f. Defisiensi komplemen

Aktivitas komplemen yang rusak biasanya terjadi sekunder terhadap

penyakit yang menggunakan komplemen melalui jalur klasik atau alternatif.

Contohnya adalah penyakit lupus eritematosus sistemik yang mengkonsumsi

jalur klasik kompenen komplemen C1, C4 dan C2 dan mengakibatkan rusaknya

kemampuan komplemen untuk melarutkan kompleks imun. Pada manusia,

defisiensi komponen komplemen yang diturunkan dikaitkan dengan sindrom

klinik. Banyak pasien dengan defisiensi C1, C4 atau C2 mempunyailupus-like

syndrome, seperti ruam malar, artralgia, glomerulonefritis, demam atau vaskulitis

Page 13: Penyakit Imunitas

kronik dan infeksi piogenik rekuren. Antinuklear dan antibodi anti-dsDNA dapat

tidak ditemukan. Adanya defisiensi komponen komplenen jalur klasik ini

menurunkan kemampuan individu untuk eliminasi kompleks imun.

Pasien dengan defisiensi C3 dapat terjadi secara primer atau sekunder,

contohnya defisiensi inhibitor C3b, seperti faktor I atau H akan meningkatkan

risiko untuk terkena infeksi bakteri rekuren. Individu biasanya terkena infeksi

yang mengancam nyawa, seperti pneumonia, septikemia dan meningitis. Terdapat

hubungan kuat antara defisiensi C5, C6, C7, C8 atau properdin dengan infeksi

neiseria rekuren. Biasanya pasien mempunyai infeksi gonokokus rekuren,

terutama septikemia dan artritis, atau meningitis meningokukos rekuren.

Defisiensi inhibitor C1 merupakan defisiensi sistem komplemen diturunkan yang

paling sering dan penyebab angioedema herediter.

2. Penanganan Defisiensi Imun Primer

a. Terapi Defisiensi Sel B, Terapi pengganti dengan suntikan gamma

globulin IV (untuk penderita CVID), terapi antimikroba (mencegah infeksi

respiratoris, komplikasi seperti pneumonia, sinusitis atau otitis media),

metronidazol, dan jika penderita anemia pernisiosa disuntikkan vitamin

B12 selama sebulan sekali.

b. Terapi Defisiensi Sel T, terapi topical dengan mikronazol, suntikan

amfoterisin B IV dan terapi oral dengan klotrimazol dan ketokonazol.

c. Terapi Defisiensi Sel T dan sel B, transplantasi sumsum tulang,

penyuntikkan dengan immunoglobulin IV dan transplantasi kelenjar

thymus.

2.2 Defisiensi Imun Sekuder

a. Penyakit Defisiensi Imun Sekunder

Penyebab sekunder defisiensi imun lebih umum dibandingkan penyebab

primer. Kadar komponen imun yang rendah menunjukkan produksi yang

menurun atau katabolisme (“hilangnya” komponen imun) yang dipercepat.

Hilangnya protein yang sampai menyebabkan hipogamaglobulinemia dan

Page 14: Penyakit Imunitas

hipoproteinemia terjadi terutama melalui ginjal (sindrom nefrotik) atau melalui

saluran cerna (protein-losing enteropathy).

Defisiensi imun sekunder terjadi sebagai akibat dari penyakit lain, umur,

trauma, atau pengobatan. Beberapa jenis penyakit yang dapat menyebabkan

defisiensi imun:

Jenis penyakit Sel target

Acquired immine deficiencies

syndrome (AIDS)

Sel T (sel merusak sel Th )

Immunodeficiencies sIgA Sel B dan sel t (rentan terhadap

infeksi pada mukosa)

Reticular disgenesis Sel B, sel T, dan sel induk

(defisiensi sel induk, sel B dan

sel T tidak berkembang)

Severe Combined

immunodeficiency

Sel B, sel t, dan sel induk

(defisiensi pada sel B dan selT)

Di Geeorge Syndrome

Sel T (kelainan pada timus

menyebabkan difesiensi sel T)

Sindroma Wiskott-Aldrich Sel B dan sel T(ksedikit platelet

dalam darah dan sel T abnormal)

Penyakit defisiensi imun sekunder dapat disebabkan:

1. Penyakit keturunan dan kelainan metabolism yaitu, diabetes, sindroma

down,gagal ginjal, malnutrisi, dan penyakit sel sabit.

2. bahan kimia dan pengobatan yang menekan system kekebalan yaitu,

kemoterapi kanker, kortikosteroid, obat immun supresan dan terapi

penyinaran.

3. infeksi yaitu, cacar air, infeksi sitomegalovirus, campak jerman

(rubella congenital, infeksi hiv (aids), campak, infeksi bakteri yang

berat, infeksi jamur yang berat, dan tuberkulosis yang berat.

4. penyakit darah dan kanker yaitu, agranulositosis, semua jenis kanker,

anemia aplastik, histiositosis, leukemia, limfoma, mielofibrosis, dan

mieloma.

Page 15: Penyakit Imunitas

Hilangnya imunoglobulin melalui renal setidaknya bersifat selektif parsial,

sehingga kadar IgM masih dapat normal meskipun kadar IgG serum dan albumin

menurun. Protein juga dapat hilang dari saluran cerna melalui penyakit

inflamatorius aktif seperti penyakit Crohn, kolitis ulseratif dan penyakit seliak.

Kerusakan sintesis paling nampak pada malnutrisi. Defisiensi protein

menyebabkan perubahan yang mendalam pada banyak organ, termasuk sistem

imun. Kerusakan produksi antibodi spesifik setelah imunisasi, dan defek pada

imunitas seluler, fungsi fagosit dan aktivitas komplemen dihubungkan dengan

nutrisi yang buruk, dan membaik setelah suplementasi diet protein dan kalori

yang cukup.

Pasien dengan penyakit limfoproliferatif sangat rentan terhadap infeksi.

Leukemia limfositik kronik yang tidak diobati umumnya berhubungan dengan

hipogamaglobulinemia dan infeksi rekuren yang cenderung bertambah berat

dengan progresifitas penyakit. Limfoma Non-Hodgkin mungkin berhubungan

dengan defek pada imunitas humoral dan seluler. Penyakit Hodgkin biasanya

berhubungan dengan kerusakan yang nyata dari imunitas seluler, namun

imunoglobulin serum masih normal sampai fase akhir penyakit.

Risiko infeksi pasien dengan mieloma multipel 5-10 kali lebih tinggi

dibandingkan kelompok kontrol. Frekuensi infeksi oportunistik pada pasien

dengan keganasan diseminata menandakan adanya defek imun, meskipun sulit

membedakan efek imunosupresif dari penyakit ataupun efek pengobatan. Obat

imunosupresif mempengaruhi beberapa aspek fungsi sel, terutama limfosit dan

polimorf, namun hipogamaglobulinemia berat jarang terjadi. Pasien dengan obat

untuk mencegah penolakan organ transplan juga dapat timbul infeksi

oportunsistik meskipun tidak biasa.

Salah satu penyakit defisiensi imun sekunder adalah HIV. HIV adalah

retrovirus yang ditularkan secara seksual dalam darah atau produk darah dan

perinatal. ada dua varian utama virus ini yaitu HIV-1 dan HIV-2. Virus HIV

terbungkus mengandung dua salinan dari ssRNA genom tunggal. Setelah masuk

ke ceil genom ini cadangan akan ditranskripsi menjadi pelengkap cDNA yang

Page 16: Penyakit Imunitas

terintegrasi ke dalam genom sel inang. genom 10 kilobase mengkodekan sembilan

gen diapit di setiap akhir oleh urutan panjang terminal yaitu:

Integrasi DNA virus ke dalam DNA sel inang

Berisi situs yang mengikat bagi protein regulator yang terlibat dalam

replikasi virus

Antigen CD4 adalah reseptor utama untuk virus dapat hadir pada limfosit

CD4+T, monosit, sel dendrit dan mikroglia otak. meskipun HIV-1 tidak

menggunakan DC-SIGN untuk menginfeksi DC interaksi ini memungkinkan DC

untuk menginternalisasi HIV-1 di situs mukosa dan kemudian bermigrasi ke

kelenjar getah bening di mana mereka memberikan HIV-1 pada sel-sel CD4 sel T.

Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi

sempurna oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan

limfoid perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti

dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah.

Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun

imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas

dapat diikuti pada orang dewasa.

Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan

tubuh lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang

diperantarai oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya

virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan

mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat

masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah

bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam

pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran

HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV

ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.

Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam

jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini

menyebabkan viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda

nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan

menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan

Page 17: Penyakit Imunitas

limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik

humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol

sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya

viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.

Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening

dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem

imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul

manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis

(clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel

T perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T

CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+yang

bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah

1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x

109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T

CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun, siklus

infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya

menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.

Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons

imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi

jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang

mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang

diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat

efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha

menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh

HIV.

Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS

dimana terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T

CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis.

Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting

syndrome),  gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat

(ensefalopati HIV).

Page 18: Penyakit Imunitas

HIV merupakan penyakit yang belum ada obat atau vaksin yang tersedia

saat ini, senjata utama adalah mencegah melalui pendidikan kesehatan dan

pengendalian infeksi. Pengobatan HIV dapat dilakukan dengan terapi antiretrovial

yang mengontrol infeksi HIV biasanya:

Menurunkan Plasma Viral load ke tingkat bawah deteksi oleh tes yang

paling sensitif (<50 kopi RNA / ml plasma)

Penurunan risiko infeksi oportunistik seperti CD4 dan kenaikan

jumlahnya.

Kemudian dapat dilakukan terapi siRNA, prinsip dari terapi ini adalah

menggunakan small RNA yang dapat menghambat ekspresi beberapa gen spesifik

virus HIV/AIDS, sehingga dapat menghentikan sintesis protein yang digunakan

virus untuk bertahan hidup, diantaranya adalah protein yang terlibat dalam

replikasi. Selain itu, terapi dengan siRNA juga dapat menghambat ekspresi gen

spesifik pada sintesis protein yang mendukung infeksi virus HIV/AIDS ke dalam

sel host.

siRNA adalah RNA double stranded yang terdiri dari 21 -23 pasangan

basa yang mampu membentuk komplement dengan target sekuen spesifik mRNA.

SiRNA berasosiasi dengan molekul helikase dan nuclease membentuk kompleks

Page 19: Penyakit Imunitas

dengan RISC (RNA-inducing silencing compleks) yang akan melepaskan

komplemen siRNA membentuk ss-siRNA dan kemudian kompleks ini akan dapat

berkomplement dengan mRNA target, sehingga akan memotong mRNA target.

Selanjutnya potongan-potongan mRNA akan didegradasi oleh enzim RNase.

Penghancuran mRNA virus HIV/AIDS yang dimediasi oleh siRNA

selanjutnya akan menghentikan sintesis protein yang essensial bagi virus untuk

melakukan replikasi di dalam sel host dan atau tidak dapat keluar dari sel host,

sehingga akan membatasi infeksi pada sel-sel sehat lainnya. Terapi pasien yang

terinfeksi virus HIV/AIDS saat ini didasari pada ekspresi beberapa protein penting

dalam virus HIV/AIDS yang mendukung infeksi virus ke dalam sel host, replikasi

dan pembentukan lapisan kapsid, serta protein-protein yang terlibat pada tahap

akhir replikasi dan protein yang dibutuhkan untuk proses lisis (keluar dari sel).

Beberapa protein yang mendukung proses infeksi ke dalam host (disebut juga

sebagai protein kofaktor selular) diantaranya adalah NF-B, CD4 reseptor HIV, co-

reseptor CXCR4 dan CCR5. Berbagai protein ini bisa dijadikan sebagai target

dalam terapi HIV/AIDS dengan menggunakan siRNA.

Beberapa hasil penelitian yang direview oleh Reddy, et.al. (2006) menyimpulkan

bahwa semua ekspresi gen dalam sintesis protein NFB, CD4 reseptor HIV, co-

reseptor CXCR4 dan CCR5 telah berhasil dihambat oleh siRNA dan

mengakibatkan penghambatan dalam replikasi virus HIV dalam beberapa cell line

manusia, sel limposit T dan hematopoetics stem cells yang berasal dari

magropagh.

Selain itu, siRNA juga telah terbukti menghambat ekspresi gen pada

sintesis protein CD4, protein gag dan nef (protein yang terlibat dalam regulasi

mRNA virus di dalam sel host). CD4-siRNA mampu mengurangi ekspresi gen

protein CD4 pada sel Magi CCR5 yang terinfeksi virus HIV-1 sebesar 75%.

Poliprotein gag (diekspresikan oleh gag gen virus HIV/AIDS) akan dipecah secara

proteolitik menjadi polipeptida p24, p17 dan p15 dan akan membentuk struktur

inti kapsul virus. Polipeptida p24 berfungsi sebagai pelapis atau kemasan materi

genetik virus.

Page 20: Penyakit Imunitas

p24-siRNA telah terbukti mengakibatkan degradasi pada region gag

mRNA virus, mengakibatkan penghambatan akumulasi genomik virus dan p24.

Akibatnya adalah terjadinya penghambatan replikasi virus HIV-1 dalam sel host.

Dua hari setelah pemberian p24-siRNA terjadi penurunan protein virus HIV-1

sebesar empat kali lipat dibanding kontrol. Protein nef adalah salah satu protein

regulasi (non-struktural protein) yang diekspresikan oleh virus HIV-1 sebelum

terintegrasi dengan genom host. Penghambatan ekspresi gen p24 dan nef akan

menghambat perbanyakan virus pada tahap awal selama infeksi berlangsung.

b. Pengobatan

Sesuai dengan keragaman penyebab, mekanisme dasar, dan kelainan

klinisnya maka pengobatan penyakit defisiensi imun sangat bervariasi. Pada

dasarnya pengobatan tersebut bersifat suportif, substitusi, imunomodulasi, atau

kausal.

Pengobatan suportif meliputi perbaikan keadaan umum dengan memenuhi

kebutuhan gizi dan kalori, menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam-

basa, kebutuhan oksigen, serta melakukan usaha pencegahan infeksi. Substitusi

dilakukan terhadap defisiensi komponen imun, misalnya dengan memberikan

eritrosit, leukosit, plasma beku, enzim, serum hipergamaglobulin, gamaglobulin,

imunoglobulin spesifik. Kebutuhan tersebut diberikan untuk kurun waktu tertentu

atau selamanya, sesuai dengan kondisi klinis.

Pengobatan imun masih diperdebatkan manfaatnya, beberapa memang

bermanfaat dan ada yang hasilnya kontroversial. Obat yang diberikan antara lain

adalah faktor tertentu (interferon), antibodi monoklonal, produk mikroba (BCG),

produk biologik (timosin), komponen darah atau produk darah, serta bahan

sintetik seperti inosipleks dan levamisol.

Terapi kausal adalah upaya mengatasi dan mengobati penyebab defisiensi

imun, terutama pada defisiensi imun sekunder (pengobatan infeksi, suplemen

gizi, pengobatan keganasan, dan lain-lain).

2.3 Hipersensitivitas

Page 21: Penyakit Imunitas

Respon imun adaptif memberikan perlindungan spesifik melawan infeksi

bakteri, virus, parasit, dan fungi. Sistem imun dapat memberikan perlindungan

cepat dari patogen atau toksin yang sama secara berulang-ulang. Namun, sebagian

respon imun menimbulkan reaksi yang berlebihan atau tidak sesuai. Reaksi inilah

yang disebut dengan hipersensitivitas. Hipersensitivitas imunologis adalah respon

imunyangmenyebabkankerusakan jaringan. Istilah ini pertama kalidigunakan

untuk mendeskripsikan anafilaksis. Anafilaksis masih digunakan untuk

menggambarkan hipersensitif sistemik.

Pada tahun 1963, Gell dan Coombs membagi reaksi hipersensitivitas yang

telah dikenal menjadi empat jenis berdasarkan mekanisme kerusakan jaringan,

yaitu:

Hipersensitivitas Tipe I, disebut juga sebagai hipersensitivitas cepat

(immediate hipersensitivity). Kondisi ini dicirikan dengan produksi

antibodi IgE untuk melawan protein asing yang umum terdapat di

lingkungan (misalnya polen dan debu).

Hipersensitivitas Tipe II, disebut juga reaksi yang dimediasi oleh

antibodi. Hipersensitivitas ini terjadi ketika antibodi IgG atau IgM

diproduksi untuk melawan antigen pada permukaan sel tubuh.

Hipersensitivitas Tipe III, melibatkan pembentukan kompleks imun

dalam sirkulasi yang tidak dihilangkan secara cukup oleh makrofag atau

sel lain dalam sistem retikuloendotelial.

Hipersensitivitas Tipe IV, disebut juga reaksi yang dimediasi oleh sel.

Reaksi ini melibatkan sel T spesifik sebagai sel efektor utama. Contoh dari

respon yang tidak diinginkan dari sel T adalah sebagai berikut:

o Sensitivitas terhadap kontak

o Penolakan organ transplantasi

o Respon hipersensitivitsas kulit terhadap lepra atau TBC

o Respon berlebihan terhadap infeksi virus

o Gejala alergi yang berkelanjutan

Page 22: Penyakit Imunitas

Gambar 2.5 Klasifikasi Hipersensitivitas Menurut Coombs dan Gell (1963),

dalam tipe I, sel mast mengikat IgE melalui reseptor F. Alergen IgE untuk

menghalangi alergi berikatan silang, merangsang degranulasi dan pelepasa

nmediatoryang menghasilkan reaksi alergi.

2.3.1 Hipersensitivitas Tipe I

a. Alergen

Alergen adalah antigen yang menimbulkan hipersensitivitas kerja dan

substansi asing yang dapat meninmbulkan respon imun. Jenis alergen dibagi atas:

- Alergen di Udara, merupakan penyebab utama alergi serbuk bunga,

rhinitis kronis, dan asma di antara anak-anak dan orang dewasa. Alergen

ini juga berperan penting dalam dermatitis atopik. Jika terbawa dalam

suatu partikel, alergen harus terdapat di udara dalam jumlah cukup untuk

dapat menimbulkan respon imun atau gejala alergi. Serbuk polen, partikel

feses kutu, partikel hifa atau spora fungi, dan serpihan kulit hewan adalah

contoh-contoh partikel yang umum membawa antigen. Jika partikel-

partikel tersebut terhirup saat bernafas, alergen dalam partikel akan masuk

ke epitelium nasal. Alergen di udara dalam jumlah kecil dapat

menimbulkan hipersensitivitas cepat. Estimasi jumlah protein dari feses

serangga dan polen yang terhirup bervariasi antara 5-50 ng/hari. Maka,

paparan terhadap beberapa alergen hanya sebesar 1 µg/tahun.

- Alergen dalam makanan. Walaupun banyak protein makanan yang dapat

menimbulkan respon IgE, hanya ada sejumlah kecil yang secara umum

diketahui sebagai penyebab respon alergi. Contohnya adalah susu, telur,

Page 23: Penyakit Imunitas

gandum, kedelai, kacang-kacangan, ikan, dan kerang. Berbeda dengan

alergen di udara, alergen makanan dikonsumsi dalam jumlah banyak (10-

100 g/hari). Secara umum, hanya sebagian kecil dari protein makanan

yang diabsorpsi oleh tubuh. Namun, peptida kecil dapat diabsorpsi secara

bebas, serta dapat dikenali oleh sel T dan bahkan pada sebagian orang,

oleh antibodi IgE. Terlepas dari itu, respon alergi dan anafilatik terhadap

makanan diperkirakan berkaitan dengan protein makanan yang belum

dicerna, dan kemudian memicu sel mast di usus atau masuk ke dalam

sirkulasi darah.

b. Antibodi IgE

IgE berbeda dari immunoglobulin dimer lainnya karena memiliki daerah

domain tambahan, struktur daerah engsel yang berbeda, dan situs untuk berikatan

dengan reseptor IgE berafinitas tinggi (FcɛRI) maupun rendah (FcɛRII).

Gambar 2.6 Molekul IgE

Sel utama yang memiliki FcɛRI adalah sel mast dan basophil, yang

merupakan sel-sel yang mengandung histamine dalam jumlah banyak.FcɛRII

terdapat pada sel B dan diduga berperan dalam deteksi antigen. Konsentrasi IgE

dalam serum individu normal sangat rendah dibandingkan dengan isotipe

immunoglobulin lainnya. Nilai konsentrasinya berkisar antara <100 hingga 10.000

IU/ml, dan international unit (IU) setara dengan 2,4 ng. kebanyakan serum

Page 24: Penyakit Imunitas

mengandung <400 IU/ml (< 1 µg/ml). rendahnya konsentrasi IgE disebabkan

oleh:

1. Pendeknya waktu paruh IgE dibandingkan isotipe lainnya (IgE hanya 2

hari, sedangkan IgG 21-23 hari).

2. IgE diproduksi dalam jumlah kecil dan hanya diproduksi sebagai respon

terhadap kelompok antigen tertentu.

3. Antibodi IgE terisolasi di reseptor berafinitas tinggi pada sel mast dan

basofil.

Produksi IgE juga tergantung pada sel-sel TH2 dan dapat dihambat oleh

sel TH1. Sitokin utama yang secara khusus relevan dengan respon TH1 meliputi:

- interleukin-12 (IL-12) yang diproduksi oleh makrofag.

- IFNγ yang diproduksi oleh sel T.

Sebaliknya, sitokin utama yang relevan dengan TH2 adalah:

- IL-4 (IL13)

- IL-5

- IL-10

Maka jelas bahwa ekspresi gen untuk IgE tergantung pada IL-4. Dengan

demikian, jika sel-sel B manusia yang belum dewasa dibudidayakan dengan anti

CD40 dan IL-4, mereka akan memproduksi antibodi IgE.

c. Sel Mast dan Basofil

Sel mast dan basofil sama-sama memiliki granula basofilik besar dan

dipicu oleh penyilangan (cross-linking) dari reseptor IgE berafinitas tinggi, tetapi

merupakan jenis sel yang berbeda. Basofil adalah sel myeloid polimorfonuklear

yang ditemukan dalam darah dan bertahan hanya beberapa hari. Mereka tidak

hadir di jaringan normal, tetapi dapat ditemukan di beberapa reaksi inflamasi.

Kedua sel tersebut dapat melepaskan histamin, tetapi sel mast mengeluarkan

banyak sitokin, sedangkan basofil hanya menghasilkan IL-4.

Page 25: Penyakit Imunitas

Ada dua jenis berbeda dari sel mast. Sel mast mukosa ditemukan di epitel

dan subepithelium dari paru-paru, usus, dan jaringan mukosa lainnya. Sel mast

jaringan tersebar luas di daerah seperti dermis, rongga peritoneum, dan

submukosa. Sel mast jaringan mengandung enzim kimase dan triptase, sedangkan

sel mast mukosa hanya mengandung tryptase.

Perbedaan yang paling penting antara sel-sel mast adalah tidak seperti sel

mast jaringan, sel mast mukosa diaktifkan untuk berproliferasi dan matang oleh

sitokin yang diproduksi oleh sel T yang telah diaktifkan oleh antigen. Akibatnya,

sel tersebut terakumulasi pada bagian yang terekspos antigen. Dalam kondisi

normal, kedua jenis sel mast tumbuh dan matang di bawah kendali pengatur

pertumbuhan haematopoietik yang disebut faktor sel induk. Meskipun sel mast

hadir dalam jaringan normal yangh tidak mengalami inflamasi, jumlah mereka

meningkat sebagai respons terhadap peradangan. Diasumsikan bahwa akumulasi

ini tergantung sel T karena pada tikus yang terinfeksi dengan akumulasi. Pada

individu alergi perekrutan sel mast telah dibuktikan baik:

- di kulit dalam menanggapi paparan alergen berulang

- di hidung selama musim serbuk sari.

Sel-sel mast bergerak dari subepithelium ke epitel sementara basofil

muncul di ingus. Proses ini, yang membawa sel histamin yang mengandung lebih

dekat ke tempat masuknya alergen, adalah salah satu cara di mana individu alergi

menjadi lebih sensitif.

Proses degranulasi sel mast dalam manusia dan basofil melibatkan fusi

dari membran granul yang mengandung histamin dengan membran sel eksterior.

Granula menjadi bagian dari membran sel. Isi granul cepat terlarut dan

disekresikan, meninggalkan sel yang terdegranulasi total atau sebagian. Proses ini

dimulai dalam kebanyakan kasus dengan penyilangan dua molekul IgE spesifik

oleh alergen yang relevan. Ketika dua reseptor IgE (FcεRI) mengalami cross-link,

transduksi sinyal melalui rantai γ dari reseptor menyebabkan masuknya kalsium,

yang memulai degranulasi dan sintesis mediator yang baru terbentuk.

Page 26: Penyakit Imunitas

Gambar 2.7 Basofila dalah sel mononuclear yang memiliki intiberlobus

banyak dan butiran khas (1). Basofil dapat direkrut ke dalam jaringanlokal

sepertikulit, hidung, paru-paru, atau usus oleh alergi

dan respon imun lainnya. (2) Basofil yang berdegranulasi 4menit setelah

penambahan alergen. Degranulasi yang melepaskan histamine terjadi akibat

fusi membrane granul dengan membrane eksternal sel. Panah menunjukkan

hubungan antara granul dan eksterior sel. (Keterangan: C=sentriol;

er=retikulum endoplasma; np=porinukleus; G=aparatus Golgi; lv=vesikel;

m=mitokondria; ng=granuln ukleus; rg= bahan sisa dari granul; sg=granul

kecil)

Page 27: Penyakit Imunitas

Gambar 2.8 Mikrograf SEM dari sel mast peritoneum tikus(1). Sebuah

sel mast utuh dengan membran sel yang menyusut kegranul (2).Sel mast

peritoneal tikus yang berdegranulasise telah inkubasi dengan anti-IgE selama

30detik. SEM. ×1500.

2.3.2 Hipersensitivitas Tipe II

Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk

melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya.

prinsip dari reaksi hipersensitivitas tipe II adalah adanya mediasi dari antibodi

untuk menyebabkan sitolitik pada sel terinfeksi melalui opsonisasi antigen yang

menempel pada permukaan membran sel. Menurut Kumar et al. (2005) respon

hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yang diikuti salah satu dari

tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:

1. Respon yang bergantung komplemen

Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua

mekanisme: lisis langsung dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai

komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan

fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui

kompleks penyerangan membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan

fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel

darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini,

meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat

Page 28: Penyakit Imunitas

menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Secara klinis, reaksi yang

diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:

Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai

dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk

melawan antigen darah donor.

Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen

materal yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah

tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel

darah merahnya sendiri.

Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang

disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang

menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri.

Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau

metabolitnya)byang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel

(contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian

penisilin).

Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosom

yang menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.

2. Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi

Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan melalui jenis

sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG; sasaran yang diselubungi

Page 29: Penyakit Imunitas

oleh antibodi dilisis tanpa

difagositosis ataupun fiksasi

komplemen. ADCC dapat

diperantarai oleh berbagai

macam leukosit, termasuk

neutrofil, eosinofil, makrofag,

dan sel NK. Meskipn secara

khusus ADCC diperantarai oleh

antibodi IgG, dalm kasus

tertentu (misalnya, pembunuhan

parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah IgE.

3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan

untuk melawan reseptor permukaan sel

merusak atau mengacaukan fungsi tanpa

menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh

karena itu, pada miastenia gravis, antibodi

terhadap reseptor asetilkolin dalm motor end-

plate otot-otot rangka mengganggu transmisi

neuromuskular disertai kelemahan otot.

Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves,

antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang epitel

tiroid dan menyebabkan hipertiroidisme.

2.3.3 Hipersensitivitas Tipe III

Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-

antibodi (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit

polimorfonuklear. Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti

bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen

Page 30: Penyakit Imunitas

terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun

terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks

imun in situ).

Menurut Silbernagl (2007) mekanisme hipersensitivitas tipe III adalah sebagai

berikut:

1. Terjadi akibat pembentukan & pengendapan kompleks imun (kompleks

antigen-antibodi)

2. Sering kali antigen dihubungkan satu sama lain melalui imunoglobulin

yang terlibat (IgG)

3. Penumpukan kompleks imun terjadi bila antigen dalam jumlah besar yang

masuk ke dalam sirkulasi darah. Bila antigen jauh berlebihan dibanding

antibodi, kompleks yang terbentuk kecil yang tidak mudah untuk

dibersihkan oleh fagosit.

4. Kompleks imun terutama mengendap dikapiler glomerulus (granular),

tetapi dapat ditemukan ditempat lain seperti pada sendi dan kulit

5. Kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen juga makrofag,

granulosit, dan trombosit

6. Komplemen yang diaktifkan melepaskan anafilatoksin (C3a, C5a) yang

memacu sel mast dan basofil melepaskan histamin yang mengakibatkan

peningkatan permeabilitas vaskular, serta menarik lebih banyak neutrofil

untuk datang dan memfagosit kompleks imun yang ada

7. Dinding kapiler akan diserang oleh sistem komplemen dan fagosit serta

neutrofil yang tertarik secara kemotaksis. Saat neutofil bekerja

dilepaskanlah intergranular enzim (toksin) yang dapat menimbulkan

kerusakan jaringan setempat

Page 31: Penyakit Imunitas

Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut

terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi

pada organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut

terbentuk dan mengendap pada tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola

distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan adalah sama; namun, urutan

kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda

(Sinaga, 2009).

Penyakit Komplek Imun Sistemik

Menurut Sinaga (2009)

patogenesis penyakit kompleks

imun sistemik dapat dibagi

menjadi tiga tahapan: (1)

pembentukan kompleks antigen-

antibodi dalam sirkulasi dan (2)

pengendapan kompleks imun di

berbagai jaringan, sehingga

mengawali (3) reaksi radang di

berbagai tempat di seluruh

tubuh.

Patofisiologi:

Kira-kira 5 menit setelah

protein asing (misalnya, serum

antitetanus kuda) diinjeksikan,

antibodi spesifik akan

dihasilkan; antibodi ini bereaksi

dengan antigen yang masih ada

dalam sirkulasi untuk

membentuk kompleks antigen-

antibodi (tahap pertama). Pada

tahap kedua, kompleks antigen-

Page 32: Penyakit Imunitas

antibodi yang terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai jaringan. Dua

faktor penting yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun

menyebabkan penyakit dan pengendapan jaringan:

Ukuran kompleks imun. Kompleks

yang sangat besar yang terbentuk

pada keadaan jumlah antibodi yang

berlebihan segera disingkirkan dari

sirkulasi oleh sel fagosit

mononuklear sehingga relatif tidak

membahayakan. Kompleks paling

patogen yang terbentuk selama

antigen berlebih dan berukuran

kecil atau sedang, disingkirkan

secara lebih lambat oleh sel fagosit

sehingga lebih lama berada dalam

sirkulasi.

Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar

kompleks imun, makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan

bertahannya kompleks imun dalam sisrkulasi dan meningkatkan

kemungkinan pengendapan jaringan.

Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan

kompleks (anionic vs kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen

terhadap berbagai jaringan, arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut, dan

hemodinamika pembuluh darah yang ada.tempat pengendapan kompleks imun

yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan serosa, dan pembulah

darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui fungsi filtrasi

glomerulus, yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus.

Belum ada penjelasan yang sama memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun

pada tempat predileksi lainnya.

Page 33: Penyakit Imunitas

Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam

atau di luar dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas

pembuluh darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun berkaitan

dengan sel radang melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu pelepasan mediator

vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks

tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu reaksi radang.

Selama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul gambaran

klinis, seperti demam, utikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan

proteinuria.

Page 34: Penyakit Imunitas

Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa.

Aktivitas komplemen oleh kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas,

melepaskan fragmen yang aktif secara biologis seperti anafilatoksin (C3a dan

C5a), yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan bersifat kemotaksis

untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang

terakumulasi menimbulkan pelepasan atau produksi sejumlah substansi

proinflamasi tambahan, termasuk proataglandin, peptida vasodilator, dan

substansi kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran

basalis, kolagen, elastin, dan kartilago. Kerusakan jaringan juga diperantarai oleh

radikal bebas oksigen yang dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks imun

dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi faktor Hageman;

kedua reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali pembentukan

mikrotrombus yang berperan pada jejas jaringan melalui iskemia lokal. Lesi

patologis yang dihasilkan disebut dengan vasokulitis jika terjadi pada pembuluh

darah, glomerulonefritis jika terjadi di glomerulus ginjal, arthritis jika terjadi di

sendi, dan seterusnya.

Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang

dapat menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi

komplemen melalui jalur alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula

menginduksi jejas jaringan. Peran penting komplemen dalam patogenesis jejas

jaringan didukung oleh adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar

komplemen serum secara eksperimental akan sangat menurunkan keparahan lesi,

demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit, konsumsi

komplemen menurunkan kadar serum.

Page 35: Penyakit Imunitas

Penyakit oleh kompleks imun

PenyakitSpesifitas

antibodiMekanisme

Manifesta

si

klinopatol

ogi

Lupus

eritematosus

sistemik

DNA, nukleoprotein

Inflamasi

diperantarai

komplemen

dan reseptor

Fc

Nefritis,

vaskulitis,

artritis

Poliarteritis

nodosa

Antigen permukaan

virus hepatitis B

Inflamasi

diperantarai

komplemen

dan reseptor

Fc

Vaskulitis

Glomreulonefirtis

post-streptokokus

Antigen dinding sel

streptokokus

Inflamasi

diperantarai

komplemen

dan reseptor

Nefritis

Page 36: Penyakit Imunitas

Fc

Sumber: (Abbas & Lichtman, 1991)

2.3.4 Hipersensitivitas Tipe IV / Hipersensitivitas Tipe Lambat (DTH-

Delayed-Type Hypersensitivity)

Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam

setelah injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi

setempat, dan mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam

waktu 24 hingga 72 jam (sehingga digunakan kata sifat delayed [lambat/

tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara perlahan.secara histologis , reaksi

DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (“seperti

manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin

oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas

mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin;

penyebab utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin.

Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang

pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi.

Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+ (misalnya,

akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin yang negatif, bahkan bila

terdapat suatu infeksi yang berat (Sinaga, 2009).

Page 37: Penyakit Imunitas

Patofisiologi :

Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga

antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses

antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1

tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih

belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk

menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T

naïf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya

pada orang tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah

diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi

yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang

akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons DHT.

Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut adalah

sebagai berikut(Sinaga, 2009):

IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah

interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi

DTH karena merupakan sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel

TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin lain yang tercantum

di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ oleh sel T dan

sel NK yang poten.

Page 38: Penyakit Imunitas

IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH

yang paling penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat

poten, yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi

mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga

meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga

mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian

pula dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi

menyekresi beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor

pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang

merangsang proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen.

Secara ringkas, aktivitas IFN-γ meningkatkan kemampuan makrofag untuk

membasmi agen penyerangan; jika aktivasi makrofag terus berlangsung,

akan terjadi fibrosis.

IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat

DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+

yang antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton”

yang tidak spesifik untuk agen penyerang asal.

TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya

pada sel endotel: (1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin,

yang membantu peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local; (2)

meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang

meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi dan sekresi

faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama

memudahkan keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon

DHT.

a. Inflamasi Granulomatosa

Granulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen

bersifat persisten dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+

perivaskular secara progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3

minggu; makrofag yang terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti

Page 39: Penyakit Imunitas

morfologis adanya aktivitas, yaitu semakin membesar , memipih, dan eosinofilik

(disebut sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah

pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk membentuk suatu sel raksasa

(giant cells) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara khusus

dikelilingi oleh lingkaran limfosit, yang disebut granuloma, dan polanya disebut

sebagai inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama dengan

proses yang digambarkan untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang lebih

dahulu terbentuk membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat.

Pengenalan terhadap suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena

hanya ada sejumlah kecil kondisi yang dapat menyebabkannya (Sinaga, 2009).

DHT merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan

berbagai patogen intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit

tertentu, dan dapat pula terlibat dalam penolakan serta imunitas tumor. Peran

utama sel T CD4+ dalam hipersensitivitas tipe lambat tampak jelas pada penderita

AIDS. Karena kehilangan sel CD4+, respons penjamu terhadap patogen ekstrasel,

seperti Mycobacterium tuberculosis, akan sangat terganggu. Bakteri akan

dimangsa oleh makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti

pembentukan granuloma, terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang

sulit untuk mengatasi mikroba yang menginvasi (Sinaga, 2009).

Selain bermanfaat karena peran protektifnya, DHT dapat pula

menyebabkan suatu penyakit. Dermatitis kontak adalah salah satu contoh jejas

jaringan yang diakibatkan oleh hipersensitivitas lambat. Penyakit ini dibangkitkan

melalui kontak dengan pentadesilkatekol (juga dikenal sebagai urushiol,

komponen aktif poison ivy atao poisin oak) pada penjamu yang tersensitisasi dan

muncul sebagai suatu dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya sama dengan

mekanisme pada sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut,

sel CD4+ TH1 tersensitisasi akan berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi

menuju antigen yag berada di dalam epidermis. Di tempat ini sel tersebut

melepaskan sitokin yang merusak keratinosit, menyebabkan terpisahnya sel ini

dan terjadi pembentukan suatu vesikel intradermal (Sinaga, 2009).

Page 40: Penyakit Imunitas

b. Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T

Pada pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ tersensitisasi

membunuh sel target yang membawa antigen. Seperti yang telah dibahas

sebelumnya, molekul MHC tipe I berikatan dengan peptida virus intrasel dan

menyajikannya pada limfosit T CD8+. Sel efektor CD8+, yang disebut limfosit T

sitotoksik (CTL, cytotoxic T-lymphocytes), yang berperan penting dalam resistensi

terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya terjadi replikasi virus

yang lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi. Diyakini bahwa

banyak peptida yang berhubungan dengan tumor muncul pula pada permukaan sel

tumor sehingga CTL dapat pula terlibat dalam imunitas tumor (Sinaga, 2009).

Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1)

pembunuhan yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang

bergantung pada ligan Fas-Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut

yang terkandung dalam granula CTL, yang menyerupai lisosom. Sesuai dengan

namanya, perforin melubangi membran plasma pada sel target; hal tersebut

dilakukan dengan insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk membentuk

suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya

Page 41: Penyakit Imunitas

menyebabkan lisi osmotik. Granula limfosit juga mengandung berbagai protease

yang disebut dengan granzim, yang dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-

pori perforin. Begitu sampai ke dalam sel, granzim mengaktifkan apoptosis sel

target. CTL teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatu molekul yang

homolog dengan TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi ini

menyebabkan apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkann

untuk melawan antigen histokompatibilitas permukaan sel juga berperan penting

dalam penolakan graf (Sinaga, 2009).

2.4 Autoimun

Penyakit autoimmun merupakan kondisi dimana tubuh memicu sistem

imun menyerang molekul tubuh yang disebabkan oleh memburuknya imunitas

menjadi sel yang autoreaktif. Organ seperti limpa, thymus, kulit dan usu

merupakan bagian tubuh yang memonitoring masuknya senyawa asing yang

menginfeksi tubuh. Kemampuan tubuh membedakan molekul tubuh dengan agen

infeksius dipengaruhi oleh pengenalan molekul yang hadir pada permukaan sel

imun yang kompeten yaitu sel limfosit T dan B. Selain itu juga sel pertahanan

lainnya yang terinduksi adalah makrofag, sel natural killer dan leukosit

polymorponuklear. Hal tersebut juga merupakan mediator pengenalan seperti

cytokin yang berperan dalam pertahanan tubuh (Male, 2006).

Terdapat berbagai macam gejala dan gangguan yang termasuk pada

penyakit autoimun. Gejalanya bervariasi mulai dari organ spesifik hingga

sistemik. Bagian yang sering menjadi target penyakit autoimun antaralain kelenjar

tiroid, pencernaan, kelenjar adrenal dan pankreas. Penyakit autoimun yang

spesifik umumnya menyerang kulit, persendian dan jaringan otot (Fairweather,

2007).

Page 42: Penyakit Imunitas

Pada beberapa penyakit autoimmun dianalsisis dengan metode pathogenik,

seperti inflamasi pada jaringan otot skeletal manusia menghasilkan namun

didapatkan jawaban yang tidak jelas. Namun dari analisis keturunan dan

pendekatan genetika menjelaskan bahwa genetic merupakan faktor utama dari

penyakit ini(Fairweather, 2007).

Perkembangan penyakit autoimun tergantung pada kombinasi faktor

genetik dan lingkungan. Sebagian besar penyakit autoimun dianggap poligenik,

yang melibatkan lebih dari satu gen (Fairweather, 2007).

Antigen limfosit manusia, atau HLA haplotype adalah prediksi terbaik

yang terdapat pada pengembangan penyakit autoimun. Kemungkinan

pengembangan autoantibodi yang sama terkai dengan sharing HLA halotipe

dengan anggota keluarga dan kemungkinan tersebut lebih besar jika terdapat dua

halotype daripada sharing satu halotype. HLA halotype atau MHC pada tikus

bertujuan untuk meningkatkan penyakit autoimun dengan meningkatkan

kehadiran antigen di perifer sehingga menghasilkan peningkatan aktivasi sel T.

Page 43: Penyakit Imunitas

Gen diluar dari MHC juga berkontribusi pada peningkatan resiko penyakit

autoimmun. Sejumlah gen non-MHC yang berkontribusi terhadap kerentanan

(Fairweather, 2007).

Faktor yang mempengaruhi penyakit autoimun yaitu faktor lingkungan

mungkin memiliki berbagai peran dalam mempromosikan, menyebabkan atau

memodifikasi penyakit autoimun. Jika ketika faktor lingkungan yang spesifik

berkontribusi terhadap penyakit autoimun, mereka mungkin menentukan

timbulnya penyakit, sifat manifestasi awal, atau menjadi faktor penentu apakah

suatu penyakit autoimun yang terkandung dalam individu mungkin terjadi sama

sekali (Page, 2010).

c. Penyakit Autoimun

Kebanyakan penyakit autoimun lebih banyak terjadi pada wanita daripada

pria. Perkiraan konservatif menunjukkan bahwa hampir 80% dari individu

dengan penyakit autoimun adalah perempuan. Pengecualian termasuk diabetes

mellitus, ankylosing spondylitis dan penyakit jantung inflamasi, yang lebih sering

terjadi pada pria. Hormon diperoleh dari sumber eksternal seperti diet (yaitu

kedelai), obat (pil KB yaitu) atau produk kulit di samping produksi steroid oleh

tubuh. Hormon seks (alami dan sintetis) langsung berinteraksi dengan sel-sel dari

sistem kekebalan tubuh melalui reseptor di permukaan atau di dalam sel-sel

kekebalan tubuh. Hormon steroid, termasuk estrogen dan androgen, diketahui

memengaruhi dalam produksi antibodi dan proliferasi sel kekebalan. Dengan

demikian, hormon dapat memperkuat atau menghambat respon imun. Wanita

menghasilkan respon antibodi yang tinggi dibandingkan dengan laki-laki,

sedangkan pria sering mengembangkan peradangan lebih parah (Fairweather,

2007).

SLE (Sistemik Lupus Erythematosus) adalah penyakit autoinflamasi

kronis dengan etiologi yang tidak umum. Penyakit ini mendominasi pada

perempuan. Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit autoimun

dengan pembentukan antibodi antinukleus (ANA), terutama terhadap

double-stranded DNA (anti dsDNA). Pada LES terjadi proses inflamasi,

Page 44: Penyakit Imunitas

vaskulitis, deposisi kompleks imun, serta vaskulopati yang luas, dengan

manifestasi klinis yang bersifat episodik dan multisistem. Insidens LES

pada anak sebesar 10-20 kasus/100.000 anak dan sangat jarang terjadi

sebelum usia 5 sedangkan pada perempuan umumnya terjadi pada usia

sesudah pubertas dan sebelum menopause. Perbandingan jumlah pasien

perempuan dan lakilaki antara 5-10:1 tampaknya hormon estrogen yang

berlebih dan aktivitas androgen yang kuat mengganggu respons imun.

Penyakit LES lebih sering terjadi pada keluarga dengan riwayat LES atau

penyakit autoimun lainnya. Peran faktor genetik pada LES terletak pada

gen dalam major histocompatibility complex, haplotipe yang rentan adalah

DRB1*08 dan DRB1*03 (Sudewi, et al., 2009).

Etiopatogenesis: masih belum jelas dimana terdapat banyak bukti bahwa

patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik,faktor

lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik

memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang

meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.

Jenis lupus: Diskoid Lupus (DL) jenis ini menyerang organ bagian kulit

berupa ruam yang muncul di wajah, leher, kulit kepala dan ruam di sekujur

tubuh yang umumnya berwarna kemerahan, bersisik dan kadang gatal.

Jenis Lupus yang kedua ialah Drug Incuded Lupus (DIL), Lupus ini timbul

akibat efek samping penggunaan obat. Sistemik Lupus Erythematosus

(SLE), jenis ini merupakan jenjang yang paling berat dalam tingkatan

penyakit Lupus karena menyerang banyak organ atau sistem tubuh pasien

serta dapat menimbulkan kematian. Pada sebagian orang mungkin hanya

kulit atau sendinya yang terkena, namun pada sebagian pasien Lupus juga

menyerang organ vital seperti jantung, paru, ginjal, saraf atau otak. Selain

faktor genetik, faktor lingkungan seperti efek buruk dari sinar matahari

akibat global warming, obat, dan intervensi virus dapat menjadi penyebab

timbulnya lupus, disamping pengaruh stress serta faktor hormonal (Utomo,

2012).

Page 45: Penyakit Imunitas

Pengobatan: Operasi bisa dipertimbangkan pada penderita lupus

permanent, yang mengalami kerusakan ginjal mengancam kehidupannya.

Transplantasi ginjal dapat dilakukan sebagai pengganti pengobatan jangka

panjang dengan dosis yang tinggi, yang mampu menghasilkan efek akut.

Hal ini dapat dilakukan jika kerusakan ginjal yang terjadi dikarenakan

lupus tidak dapat merespon obat dengan kadar tinggi sehingga harus

dilakukan implantasi (Page, 2010).

d. Tiroiditis Hashimoto

Etiologi penyakit ini adalah autoimun. Pada Tiroiditis Hashimoto

didapatkan infiltrasi limfosit ke seluruh kelenjar tiroid yang menyebabkan

dekstrusi progresif folikel kelenjar. Dalam beberapa tahun akan terjadi atrofi

kelenjar dengan fibrosis. Insidens kejadian Tiroiditis Hashimoto ini biasanya

banyak didapatkan pada umur kurang dari 50 tahun dan biasanya lebih banyak

Page 46: Penyakit Imunitas

didaptkan pada perempuan. Wanita 20-30 kali lebih sering terkena berbanding

dengan lelaki (Hafiz, 2012).

Mekanisme kompleks imunologi mungkin berperan pada kematian sel

tiroid (tirosit). Sensitasi dari autoreaktif CD4 + T-helper cell ke antigen tiroid

memberikan gambaran awal kejadian. Kematian tirosit adalah dampak

mekanisme sebagai berikut (Hafiz, 2012):

CD8 + cytotoxic T cell-mediated cell-death T cell-mediated cell death : CD8 +

cytotoxic T cell-mediated mungkin menyebabkan dekstruksi tirosit oleh satu dari

dua jalur, eksositosis dari granula perforin atau granzymeataureaksi death receptor,

CD95 pada sel target.

Cytokine-mediated cell-death: CD4 + T cells menghasilkan sitokin inflamasi seperti

IFN-ƴ dalam waktu cepat dalam tirosit, dengan akibat pengerahan dan pengaktifan

makrofag dan merusak folikel.

Ikatan antitiroid - antibodi (anti-TSH receptor antibodies, antithyroglobulin dan

antithyroid peroxidase antibodies) diikuti oleh antibody-dependent cell-mediated

cytotoxicity (ADCC).

Pada penyakit tiroid autoimun, respons seluler dan humoral bekerja

bersamaan dengan sasaran kelenjar tiroid. Kerusakan seluler terjadi karena

limfosit T tersensitasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibody antitiroid

berikatan dengan membrane sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi

inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi

antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membrane sel

tiroid yang bertindak sebagai autoantigen (Hafiz, 2012). Manifestasi klinis

tiroiditis hashimoto biasanya ditemukan goiter pada pasien yang dengan eutiroid

atau yang menderita hipotiroidisme ringan(Hafiz, 2012).

Pengobatan Tiroiditis Hashimoto ditujukan terhadap hipotiroid dan

pembesaran tiroid. Pilihan pengobatan untuk Tiroiditis Hashimoto atau hipotiroid

dengan sebab lainnya adalah terapi substitusi dengan hormone tiroid. Obat

pilihan yang dianjurkan yaitu levothyroxine sodium. Levotiroksin diberikan

sampai kadar TSH normal. Pada pasien dengan struma baik hipotiroid maupun

eutiroid, pemberian levotiroksin selama enam bulan dapat mengecilkan struma.

Page 47: Penyakit Imunitas

Dosis standard penggunaan levotiroksin yaitu 1,6-1,8 mcg/kgBB/hari. Namun

dapat berbeda-beda pada setiap individu, yaitu (Hafiz, 2012):

Pasien dengan usia dibawah 50 tahun tanpa riwayat penyakit jantung, dapat

diberikan dosis awal penuh.

Pasien diatas 50 tahun atau pasien muda dengan penyakit jantung, diberikan

dosis rendah 25mcg (0,025mg) per hari, dengan evaluasi pengobatan setiap 6-

8 minggu.

Pada pasien usia lanjut, dosis yang diberikan lebih rendah, kadang bisa

mencapai 1 mcg/kgBB/hari.

Intervensi bedah dapat dilakukan atas beberapa indikasi, diantaranya

(Hafiz, 2012). :

Pembesaran kelenjar dengan gejala obstruksi seperti disfagia, suara serak,

dan stridor karena adanya obstruksi pada jalan napas.

Terdapatnya nodul maligna yang bisa ditemukan pada pemeriksaan

sitologi dengan FNA

Terdapatnya limfoma pada FNA: limfoma tiroid memberi respon yang

baik terhadap radioterapi dan merupakan modalitas terapi pilihan.

Alasan kosmetik untuks truma yang cukup besar.

e. Artritis Reumatoid

Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit

autoimun sistemik. Penyakit ini merupakan peradangan sistemik yang paling

umum ditandai dengan keterlibatan sendi yang simetris. Penyakit RA ini

merupakan kelainan autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang

berlangsung kronik dan mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis). Reaksi

autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi dari

proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah

perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel kemudian terjadi

neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh

bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat terjadinya

Page 48: Penyakit Imunitas

pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi.

Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang Respon

imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor

pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik

(Surjana, 2009).

RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling

sering di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan

lutut. Sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti

oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010).

Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya

dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan

lingkungan (Suarjana, 2009)

Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini

memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana,

2009).

Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental

Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron

(DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen

plasenta. Stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun humoral

(TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1

lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang

berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).

Insidensi rheumatoid arthritis lebihbanyakdialamiolehwanitadaripadalaki-

lakidenganrasio 2:1 hingga 3:1. Perbedaan ini diasumsikan karena

pengaruh dari hormone.

Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk

semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul

timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009).

Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai

respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam

amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana

antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host.

Page 49: Penyakit Imunitas

Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel

Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis (Suarjana, 2009).

Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012).

Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis kelamin

perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita RA, umur lebih tua, paparan

salisilat dan merokok. Resiko juga mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih

dari tiga cangkir sehari, khusunya kopi decaffeinated (suarjana, 2009). Obesitas

juga merupakan faktor resiko (Symmons, 2006).P

Mekanisme pernyakit RA yaitu paparan antigen akan memicu

pembentukan antibodi oleh sel B. Pada pasien rheumatoid arthritis ditemukan

antibodi yang dikenal dengan Rheumatoid Factor (RF). Rheumatoid Factor

mengaktifkan komplemen kemudian memicu kemotaksis, fagositosis dan

pelepasan sitokin oleh sel mononuklear sehingga dapat mempresentasikan antigen

kepada sel T CD4+. Sitokin yang dilepaskan merupakan sitokin proinflamasi dan

kunci terjadinya inflamasi pada rheumatoid arthritis seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6.

Aktivasi sel T CD4+ akan memicu sel-sel inflamasi datang ke area yang

mengalami inflamasi. Makrofag akan melepaskan prostaglandin dan sitotoksin

yang akan memperparah inflamasi. Protein vasoaktif seperti histamin dan kinin

juga dilepaskan yang menyebabkan edema, eritema, nyeri dan terasa panas. Selain

itu, aktivasi makrofag, limfosit dan fibroblas juga dapat menstimulasi 11

angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru) sehingga terjadi peningkatan

vaskularisasi yang ditemukan pada sinovial penderita RA. Inflamasi kronis yang

dialami pasien rheumatoid arthritis menyebabkan membran sinovial mengalami

proliferasi berlebih yang dikenal dengan pannus. Pannus akan menginvasi

kartilago dan permukaan tulang yang menyebabkan erosi tulang dan akhirnya

kerusakan sendi (Schuna, 2005). Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma

atau virus) menginfeksi sendi akibatnya terjadi kerusakan lapisan sendi yaitu pada

membran sinovial dan terjadi peradangan yang berlangsung terusmenerus.

Peradangan ini akan menyebar ke tulang rawan, kapsul fibroma sendi, ligamen

dan tendon. Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih dan pembentukan pada

jaringan parut sehingga membran sinovium menjadi hipertrofi dan menebal.

Terjadinya hipertrofi dan penebalan ini menyebabkan aliran darah yang masuk ke

Page 50: Penyakit Imunitas

dalam sendi menjadi terhambat. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan

terjadinya nekrosis (rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas (Schuna,

2005).

Page 51: Penyakit Imunitas

BAB III

KESIMPULAN

1. Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang

melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan

mengidentifikasikan dan membunuh patogen serta sel tumor. sistem ini

mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme

akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus, dan parasit lainya, serta

menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel

organisme yang sehat dari jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa

2. Jenis penyakit sistem imun dan penyebabnya sangat beragam berupa

defesiensi imun primer, defisiensi imun sekunder, hipersensitivitas, dan

autoimmun. Penyebab penyakit-penyakit imun dapat berasal dari sel imun

itu sendiri, virus, bakteri yang menginfeksi sel imun serta kekebalan tubuh

yang dimiliki individu.

Page 52: Penyakit Imunitas

DAFTAR PUSTAKA

Amarila Malik, Departemen Farmasi FMIPA-UI, Universitas Indonesia, Depok:Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.2, Agustus 2005, 51 – 61.

Abbas AK, Lichtman AH,Pober JS. Disease caused by humoral and cell-mediatedimmune reactions. Dalam: Cellular and molecular immunology. Philadelphia:WB Saunders, 1991;353-76.

Bratawidjaja, K.G., 2004.  Imunologi Dasar .edisi ke-6. Fakultas Kedokteran UI.Jakarta.

Chinen J and Shearer WT. 2010. Secondary immunodeficiencies, including HIV infection.diakses melalui http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20042227 pada tanggal 16 Desember 2015

Fatmah.2006.Respon Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia Lanjut. Makara Kesehatan Vol.10 No.1.p.47-53

Fairweather, D. 2007. Autoimmune Disease: Mechanisms. Johns Hopkins University. Maryland

Hafiz, F. 2012. Tioriditis. Universitas Hasanuddin. MakasarKumar, V., Abbas, A.K., and Fausto, N. 2005. Robbins and Cotran: Pathologic

basis of disease. 7th ed. Elsevier Saunders. China.Longo, Dan L. MD., Kasper, Dennis L. MD., et al. 2012. Harrison’s Principle of

Internal Medicine ed.18 Chapter 231: Rheumatoid Arthritis. McGrawHill Companies, Inc. USA.

Male, D. J. Brostoff, D. B. Roth, and I. Roitt. 2006. Immunology. Seventh Edition. Canada: Elsevier Limited.

Martakusumah, A. H. 2009. Terapi Induksi Pada Lupus Nephritis. Universitas Padjadjaran. Bandung.

Page, L. M., Du Toit, D. F., Page, B. J. 2010. Understanding Autoimmune Disease. a review article for the layman.

Schuna, A.A., in Rheumatoid Arthritis, Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C. Matzke, G.R., Wells, B.G. & Posey, L.M., (Eds), 2005, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition, 1671-1683, McGraw Hill, Medical Publishing Division, New York.

Silbernagl, S. 2007. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Sinaga, B. A, Sari, P. A., Sari, D. A., Merry. Astrid. 2009. Hypersensitivity Dieseases. Universitas Sumatera Utara. Medan

Sjamsuhidajat, R, et al. 2010. Buku Ajar ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong Edisi 3. EGC. Jakarta

Suarjana, I Nyoman.2009. Artritis Reumatoid Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, Idrus, et al. Interna Publishing. Jakarta.

Page 53: Penyakit Imunitas

Sudewi, N. P., Kurniati, N., Suyoko, E. M. D., Munasir, Z., Akib, A. A. P. 2009. Karakteristik Klinis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2

Stiehm,E. Richard.. Stiehm’s Immune Deficiencies. Elsevier. 2005.

Stiehm, E. Richard. Immunologic disorders in infants and children. WB Saunders Co, 1989.

Stiehm, E. Richard, and Richard B. Johnston. "A history of pediatric immunology." Pediatric research 57.3 (2005): 458-467.

Symmons, Deborah., Mathers, Colin., Pfleger Bruce. 2006. The Global Burden of Rheumatoid Arthritis In The Year 2000. Diakses melalui : www.who.int/healthinfo/statistics/bod_rheumatoidarthritis

Thomas, W. R. 2001. Hypersensitivity: Immunological.Encyclopedia Of Life Sciences. John Wiley & Sons, Ltd.

Utomo, W. N. 2012. Hubungan Antara Aktivitas Penyakit Dengan Status Kesehatan Pada Pasien Les ( Lupus Eritematosus Sistemik ) Di Rsup Dr. Kariadi, Semarang. Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah. Universitas Diponegoro. Semarang

Yance Anas, S.Farm, Apt. 2010 Bioteknologi Farmasi : Pengobatan AIDS dengan terapi antisense Rna. Program Studi Ilmu Farmasi Fakultas Pasca-Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta