BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL ... II.pdf · KAJIAN PUSTAKA, KONSEP,...

Preview:

Citation preview

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

DAN MODEL PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai kajian pustaka yang merupakan

penelitian sejenis berupa tesis ataupun jurnal penelitian terkait dengan penelitian

yang akan dilakukan. Konsep penelitian dijabarkan agar terjadi kesamaan persepsi

antara peneliti dan pembaca. Selain daripada itu, dalam bab ini dibahas juga

mengenai landasan teori yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan

penelitian serta model penelitian.

2.1 Kajian Pustaka

Dalam kajian pustaka dijelaskan mengenai kumpulan hasil penelitian sejenis

yang terdahulu. Kajian pustaka digunakan untuk menghindari terjadinya plagiasi

yang kerap terjadi pada beberapa kasus penelitian. Kajian pustaka juga dijadikan

sebagai dasar atau pedoman untuk melakukan penelitian selajutnya, guna

memperoleh temuan-temuan baru yang berguna dalam menambah pengetahuan.

Adapun hasil-hasil penelitian sejenis yang dapat dijadikan sebagai acuan

penelitian ini adalah penelitian yang terkait dengan pembentukan teritori di area

perumahan. Penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya akan dipaparkan

secara terpisah, sesuai dengan tema penelitian. Penelitian-penelitan tersebut

menjelaskan mengenai elemen penanda teritori, invasi ruang dan teritorialitas.

6

2.1.1 Penelitian Mengenai Elemen Penanda Teritori

Penelitian berjudul “Pagar Hunian, sebagai Citra, Estetika ataukah Simbol

Permusuhan terhadap Lingkungan sekitar” oleh AB. Mappaturi. Penelitian ini

membahas mengenai pagar pembatas rumah sebagai pembatas teritori,

identitas/penanda, elemen pendukung estetika, melambangkan karakter dan

“pride” penghuni dan sebagai pengaman. Penelitian ini menekankan desain pagar

sebagai elemen pembatas teritori untuk memberi kesan keterbukaan terhadap

individu dan berpegang pada prinsip keagamaan.

Berdasarkan studi yang dilakukan dalam penelitian ini, bentuk pagar

didasarkan pada kerakter pemilik hunian. Pemilik dengan sifat terbuka dan

bersahabat cenderung membuat pagar dengan dimensi yang lebih rendah dari

120cm. Hunian yang berada di pinggir jalan besar, pagar rumah dibuat dengan

dimensi yang lebih tinggi dengan material besi untuk menunjukkan fungsi pagar

sebagai pengaman rumah tinggal. Hunian yang berada di lokasi yang dirasa aman,

dimensi pagar dibuat lebih rendah dari 120cm, bahkan ada beberapa rumah yang

tidak menggunakan pagar. Selain keadaan lokasi, faktor budaya juga

mempengaruhi penghuni untuk tidak melengkapi hunian dengan pagar pembatas

rumah. Budaya setempat “sayan”, dimana ketika salah satu penghuni membangun

rumah, penghuni lainnya ikut bergotong royong menyelesaikan pembangunan. Di

daerah pedesaan, material pagar hunian berupa dinding masif dan vegetasi dengan

tinggi tidak lebih dari 75cm. Bentuk pagar yang masif dan keras mencerminkan

sikap dan profesi penghuni sebagai buruh bangunan.

7

Penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki kesamaan

dalam membahas pagar sebagai pembatas wilayah. Penelitian ini membahas pagar

sebagai pembatas hunian dengan lingkungan luar dan dikaitkan dengan prinsip

keagamaan. Penelitian yang akan dilakukan akan membahas mengenai varian

elemen pembatas wilayah disesuaikan dengan profesi penghuni.

Penelitian berjudul “Konsep Alun-Alun Utara Surakarta berdasarkan

Persepsi Masyarakat” oleh Eliza Ruwaidah membahas mengenai konsep alun-alun

utara Surakarta berdasarkan persepsi masyarakat tentang elemen setting yang

dianalisis dan diintepretasikan dalam simbol arsitektur. Tujuan penelitian ini

adalah untuk Menjabarkan persepsi masyarakat tentang elemen setting alun-alun

utara Surakarta dan merumuskan konsep alun-alun utara Surakarta berdasarkan

persepsi masyarakat yang dituangkan dalam bentuk simbol arsitektur. Sebagai

ruang milik Keraton Surakarta, batasan alun-alun sangat jelas terutama dengan

adanya elemen pagar keliling alun-alun dan beberapa elemen fisik lain yang

mempertegas teritori ruang milik keraton. Sedangkan alun-alun utara sebagai

ruang milik Kota Solo, didasari oleh anggapan bahwa alun-alun merupakan salah

satu ruang terbuka kota yang boleh diakses oleh masyarakat dan dimanfaatkan

untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat umum. Elemen penanda teritori kawasan

yang memperkuat anggapan bahwa alun-alun merupakan ruang terbuka milik kota

adalah Pasar Klewer, Patung Slamet Riyadi, Beteng Trade Center (BTC)/ Pusat

Grosir Solo (PGS), Kios Kacamata, Kantor Polisi dan Pedagang Kaki Lima.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah

membahas mengenai elemen penanda teritori, sedangkan perbedaannya adalah

8

penelitian ini menekankan pada konsep yang terbangun atas dasar persepsi

masyarakat tentang alun-alun utara Surakarta.

2.1.2 Penelitian Mengenai Invasi Ruang

Kata perilaku sering dikaitkan dengan aktifitas manusia secara fisik, seperti

interaksi manusia dengan sesamanya maupun dengan lingkungan tempat

tinggalnya. Penelitian berjudul “Konsep Perilaku Teritorialitas di Kawasan Pasar

Sudirman Pontianak” oleh Fery Kurniadi, Diananta Pramitasari, Dan Djoko

Wijono menjelaskan mengenai konfik penggunaan ruang. Pemerintah Kota

Pontianak telah mengeluarkan kebijakan untuk menanggulangi permasalahan

pedagang kaki lima dengan melakukan tendanisasi di Kawasan Pasar Sudirman

pada tahun 2002. Permasalahan yang muncul setelah tendanisasi berjalan adalah

adanya konflik teritorialitas penggunaan ruang. Metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Peneliti melakukan

observasi awal dengan mengambil foto-foto dan melakukan pemetaan lokasi

sebelum memetakan pola sirkulasi pejalan kaki dan pengendara kendaraan.

Dalam penelitian ini, peneliti mengkelompokkan teritori dalam tiga jenis,

antara lain; teritorialitas user group invator, teritorialitas user group agresor, dan

teritorialitas user group penderita. Teritorialitas user group invator terdiri dari

pedagang kaki lima, pemilik toko dan tukang parkir. Teritorialitas user group

agresor terdiri dari pemilik toko, sedangkan teritorialitas user group penderita

adalah pejalan kaki dan pengendara kendaraan. Konflik penggunaan ruang dalam

9

penelitian ini disebabkan oleh adanya upaya pengguna ruang untuk

mempertahankan atau memperjelas batas area kekuasaannya.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian mengenai teritorialitas di lokasi

penelitian adalah membahas mengenai batas wilayah penggunaan ruang.

Persamaan lainnya adalah penggunaan metode penelitian kualitatif, teknik

pengumpulan dengan wawancara dan observasi. Perbedaan antara penelitian yang

telah dilakukan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada objek dan

lokus penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian sebelumnya, dapat

menjadi acuan dalam penelitian selanjutnya.

2.1.3 Penelitian Mengenai Teritori

Penelitian berjudul “Karakteristik Teritorialitas Ruang Pada Perumahan

Padat Di Perkotaan” oleh Burhanuddin mengulas mengenai terbentuknya

teritorialitas akibat dari adanya aktifitas. Tidak tersedianya ruang bersama di

kawasan perumahan, cenderung menciptakan „ruang‟ sebagai tempat untuk

beraktifitas. Penggunaan ruang-ruang bersama pada perumahan padat kerap

menimbulkan permasalahan ruang pada perumahan padat di perkotaan. Penghuni

rumah secara tidak sadar telah membentuk ruang luar sebagai area yang

dimilikinya. Peneliti cenderung melihat hubungan yang terjadi antar unsur yang

ada di dalam teritorialitas. Tolak ukur yang digunakan berupa kualitas dan

hubungan pengguna ruang dengan lingkungannya.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kualitatif dengan pendekatan rasionalistik. Penelitian ini mengeksplorasi

10

karakteristik „teritorialitas ruang‟ di masyarakat pada perumahan padat di

perkotaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan karakteristik

teritorialitas ruang yang terbentuk secara langsung maupun tidak langsung dari

aktifitas pengguna ruang sehari-hari.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah

terkait dengan teritorialitas yang terbentuk dari aktifitas pengguna ruang dan

kriteria pemilihan kasus. Kriteria pemilihan kasus dalam penelitian sebelumnya

adalah sebagai berikut; (1) Penggunaan ruang dilakukan secara bersama-sama dan

sering digunakan oleh warga untuk berkumpul dan berinteraksi; (2) Aktivitas

yang terjadi di dalam ruang terdiri dari beberapa kegiatan, serta berlangsung

secara berulang-ulang; (3) Digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat.

Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah

peneliti melakukan grand tour untuk melihat kondisi di lokasi penelitian. Peneliti

tidak mengkelompokkan teritori berdasarkan karakteristik lokasi, melainkan

melihat dan memetakan pergerakan pengguna ruang sesuai dengan aktifitas.

Tujuan penelitian yang akan dilakukan adalah untuk melihat penyebab terjadinya

penggunaan ruang, baik digunakan sebagi ruang pribadi maupun ruang bersama.

Penelitian selanjutnya berjudul “Teritori Pedagang Informal” oleh Alin

Pradita Agustin, Gagoek Hardiman, R. Siti Rukayah. Penelitian ini membahas

mengenai pertumbuhan pedagang informal tidak diimbangi dengan luasan

kawasan Pasar Johar. Hal ini mengakibatkan pedagang informal melakukan klaim

ruang terhadap ruang publik. Klaim merupakan usaha peningkatan kontrol

terhadap ruang publik untuk memenuhi kebutuhan yang merupakan permasalahan

11

antara perilaku dan teritori manusia. Ruang publik yang merupakan sirkulasi jalan

dklaim oleh pedagang informal secara permanen, sehingga fungsi ruang sebagai

sirkulasi manusia dan kendaraan menjadi tidak optimal. Keleluasaan bergerak di

ruang sirkulasi menjadi berkurang. Pedagang di ruang ini membentuk teritori

dangan menggunakan benda-benda fisik. Hasil penelitian menunjukkan teritori

primer pedagang informal dalam penelitian ini merupakan satu unit los permanen

yang terbuat dari kayu. Teritori sekunder merupakan ruang-ruang yang berbatasan

langsung dengan teritori primer (los permanen) dan teritori umum. Dalam

penelitian ini, teritori umum merupakan ruang terjauh dari teritori primer

pedagang informal. Teritori umum ini digunakan pedagang bersama-sama dengan

pembeli maupun pengunjung pasar.

Penelitian ini merupakan penelitian mengenai perilaku manusia terhadap

klaim ruang publik. Persamaan penelitian ini adalah adanya penggunaan ruang

publik yang diprivatisasikan. Penelitian ini juga meninjau teritori primer,

sekunder dan teritori umum di kawasan penelitian. Perbedaan penelitian ini

dengan penelitian yang akan dilakukan adalah perbedaan tujuan penelitian.

Tujuan penelitian ini adalah menemukan pola pembentukan teritori pedagang

informal secara fisik dan menghasilkan faktor-faktor yang mempengaruhi teritori

ruang dagangnya, sedangkan tujuan penelitian yang akan dilakukan adalah

Mengidentifikasi proses perluasan area teritori dan mengetahui gambaran teritori

komunal yang terbentuk hingga saat ini di lokasi penelitian, ditinjau dari tingkat

privasi ruang.

12

Penelitian selanjutnya merupakan penelitian yang membahas mengenai

“Setting Dan Atribut Ruang Komunal Mahasiswa Kampus Universitas Negeri

Semarang” oleh Didik Nopianto A Nugradi. Penelitian ini membahas mengenai

ruang komunal yang digunakan mahasiswa untuk berinteraksi sosial. Penelitian

ini membatasi objek penelitian, sehingga objek yang diteliti hanya ruang komunal

untuk kegiatan interaksi sosial yang bersifat informal. Penelitian ini menggunakan

metode kualitatif dengan pendekatan rasionalistik. Temuan dari penelitian ini

adalah pembagian ruang komunal dalam beberapa kategori sesuai dengan perilaku

mahasiswa. Ruang-ruang komunal tersebut antara lain; ruang komunal yang

memang direncanakan dan sudah digunakan sebagaimana mestinya, ruang

komunal yang direncanakan tetapi tidak dimanfaatkan, dan ruang komunal yang

tidak direncanakan tetapi timbul karena perilaku mahasiswa.

Persamaan pemikirian dalam penelitian ini adalah membahas mengenai

perilaku manusia yang menyebabkan terbentuknya ruang. Perbedaan penelitian ini

dengan penelitian yang akan dilaksanakan adalah penelitian ini mengkaitkan pula

antara setting, perilaku, dan atribut ruang komunal, sedangkan penelitian

mengenai teritorialitas yang akan dilaksanaan membahas mengenai penyesuaian

perilaku manusia dalam setting baru yang mengakibatkan terbentuknya batasan

wilayah dan dominasi ruang publik untuk kepentingan pribadi.

Penelitian selanjutnya berjudul “Jelajah Pembentukan Tempat pada Rumah

Jawa” oleh Ir. Dwi Lindarto Hadinugroho. Penelitian ini membahas mengenai apa

dan bagaimana pembentukan tempat privat–publik oleh perilaku keseharian dan

perayaan ritual yang terjadi pada setting rumah Jawa. Dengan kajian terhadap

13

pembentukan tempat publik-privat ini dapat diketahui pentingnya peran teritori

privat penghuni rumah sebagai simbolis keberadaan dan kepemilikan serta

kewenangannya atas rumah. Disisi lain, peran publik ruang dalam rumah juga

diakomodir sebagai perwujudan sikap sosial kemasyarakatan. Perbedaan

penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian ini menitik

beratkan pada pembahasan mengenai privacy dan teritorial sebagai sesuatu yang

mendasari interaksi manusia dengan tempatnya berperilaku, sedangkan penelitian

yang akan dilakukan menitik beratkan pada pembahasan mengenai teritori

komunal yang membentuk teritori primer, sekunder dan teritori umum

berdasarkan tingkat privasi.

14

NO. JUDUL PENELITI TAHUN JENIS PENELITIAN TEMUAN

1. “Pagar Hunian, sebagai Citra,

Estetika ataukah Simbol Permusuhan

terhadap Lingkungan sekitar”

AB. Mappaturi 2011 Elemen Penanda Teritori Sebaiknya mendesain pagar yang lebih bersifat semi transparan. Tujuannya adalah membuka

hubungan dengan tetangga untuk meningkatkan hablumninannas dan memudahkan

pengawasan satu dengan lainnya.

2. “Konsep Alun-Alun Utara Surakarta

berdasarkan Persepsi Masyarakat”

Eliza Ruwaidah 2012 Elemen Penanda Teritori Simbol arsitektur dari persepsi masyarakat pengguna tentang elemen setting kawasan

meliputi elemen fixed dan non fixed diklasifikasikan dalam beberapa kategori simbol

arsitektur.

3. “Konsep Perilaku Teritorialitas di

Kawasan Pasar Sudirman Pontianak”

Fery Kurniadi, Diananta

Pramitasari, Dan Djoko

Wijono.

2012 Invasi Ruang Konflik penggunaan ruang dalam penelitian ini disebabkan oleh adanya upaya pengguna

ruang untuk mempertahankan atau memperjelas batas area kekuasaan.

4. “Karakteristik Teritorialitas Ruang

Pada Perumahan Padat Di Perkotaan”

Burhanuddin

2010 Teritorialitas Ruang Keterbatasan ruang dan tekanan lingkungan (environment press) akibat dari adanya

kepadatan manusia dan bangunan, kecenderungan “menguasai” ruang-ruang yang

direncanakan ataupun tidak direncanakan baik secara publik maupun privat sebagai ruang

untuk berinteraksi.

5. “Teritori Pedagang Informal” Alin Pradita Agustin,

Gagoek Hardiman, R.

Siti Rukayah

2014 Teritorialitas Ruang Upaya klaim atas ruang publik yang dilakukan oleh pedagang dipengaruhi oleh pertambahan

jumlah komoditas, jumlah pengunjung maupun pembeli.

6. “Setting Dan Atribut Ruang Komunal

Mahasiswa Kampus Universitas

Negeri Semarang”

Didik Nopianto A

Nugradi

2002 Teritorialitas Ruang Pembagian ruang komunal dalam beberapa kategori sesuai dengan perilaku mahasiswa.

Ruang-ruang komunal tersebut antara lain; ruang komunal yang memang direncanakan dan

sudah digunakan sebagaimana mestinya, ruang komunal yang direncanakan tetapi tidak

dimanfaatkan, dan ruang komunal yang tidak direncanakan tetapi timbul karena perilaku

mahasiswa.

7. “Jelajah Pembentukan Tempat pada

Rumah Jawa”

Ir. Dwi Lindarto

Hadinugroho

2002 Teritorialitas Ruang Perilaku dan tatanan rumah Jawa mempunyai keterkaitan sehubungan dengan penandaan

yang ditujukan untuk pembentukan teritorial privat dan publik.

8. “Perilaku Teritorialitas Nelayan Di

Perumahan Relokasi Nelayan Kota

Mataram”

Tjok Istri Widyani

Utami Dewi

2015 Teritorialitas Ruang Hasil temuan penelitian diharapakan dapat menjawab rumusan masalah dan sesuai

dengan tujuan penelitian.

Tabel 2.1 Tinjauan PustakaPenelitian Sejenis

15

2.2 Kerangka Pikir

Kerangka pikir merupakan gambaran tahap awal hingga akhir penelitian.

Tahapan-tahapan yang terjadi, dimulai dari ide dasar yang bertujuan untuk

menemukan fokus/masalah penelitian, merumuskan tujan dan sasaran penelitian,

menentukan teori-teori yang akan digunakan sebagai dasar terkait dengan

penelitian yang akan dilakukan, tahap mengumpulkan data, kemudian

menganalisis data, hingga memperoleh suatu hasil penelitian, dan terakhir

merumuskan kesimpulan, rekomendasi studi dan saran. Ide awal beranjak dari

studi pustaka dan grand tour. Studi pustaka berupa hasil literature study oleh

beberapa peneliti terkait perilaku manusia yang menyebabkan terbentuknya

teritorialitas, serta landasan teori dari beberapa sumber mengenai teritorialitas dan

perilaku manusia. Grand tour dilakukan di dua kecamatan yang berbeda, antara

lain perumahan relokasi di kecamatan Ampenan dan kecamatan Sekarbela. Dari

analisis hasil studi pustaka dan grand tour, maka dapat ditentukan tiga rumusan

masalah. Hasil temuan dalam diagram kerangka pikir, diharapkan dapat menjawab

rumusan masalah terkait teritori di lokasi penelitian.

16

Diagram 2.1 Kerangka Berpikir

Penelitian Perumahan Relokasi Nelayan Pesisir

Studi

Pustaka

Grand Tour

&

Wawancara

Awal

ISU:

Relokasi Perumahan

Nelayan di Ampenan

SIMPULAN

AKHIR

Isu Gelombang

Pasang

Kebijakan

Pemerintah Kota

Rancangan Lokasi

Relokasi Tahap 1

Rancangan Lokasi

Relokasi Tahap 2

Teritori ruang

makro & mikro

Lokasi Tahap 1

Teritori ruang

makro & mikro

Lokasi Tahap 2

Observasi dan

Wawancara

Mendalam

Studi

Pustaka

Lanjutan

Fokus/Ide

melakukan

Penelitian

Ketidakteraturan

batas wilayah di

area relokasi

Latar Belakang

Perilaku manusia

menyebabkan

terbentuknya

teritori

Observasi Makro

Observasi Mikro

Wawancara

Konsep Dasar

Rancangan Lokasi Relokasi Tahap 1:

Lokasi

Teritori Ruang Makro

Teritori Ruang Mikro

Rancangan Lokasi Relokasi Tahap 2:

Lokasi

Teritori Ruang Makro

Teritori Ruang Mikro

Teori

TEMA

TEMUAN

Dialog

Antar

Tema

Temuan

Pemahaman

Teori dan

Konsep

Dialog Antar

Temuan, Teori

& Konsep

Dialog Antar

Temuan,

Lapangan &

Studi Pustaka

Kriteria

Pemilihan

Kasus

Kriteria

Pemilihan

Informan

K1

K2

Kn

Kasus

I1

I2

In

Informan

17

2.3 Konsep

Konsep merupakan dasar pemikiran yang dijadikan acuan dalam melakukan

suatu penelitian, sehingga nantinya tidak keluar dari lingkup penelitian yang

dilakukan. Pengertian konsep yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai

berikut :

2.3.1 Perilaku Teritorialitas

Sesuai dengan teori dan studi literatur terkait dengan teritorialitas, batasan

perilaku teritorialitas yang dimaksud adalah kecenderungan untuk menguasai

daerah yang lebih luas bagi penggunaan oleh seseorang atau sekelompok pemakai

atau bagi fungsi tertentu. Menurut Lang (1987), terdapat 4 karakter dari teritorial

tersebut yaitu meliputi kepemilikan atau hak dari suatu tempat, personalisasi atau

penandaan dari suatu area tertentu, hak untuk mempertahankan diri dari gangguan

luar, pengatur dari berbagai fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar

psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan – kebutuhan estetika.

Sesuai dengan fenomena yang terjadi di lapangan dan kajian pustaka yang

ada, maka pendekatan penelitan mengenai perilaku teritorialitas ruang yang

dimaksud adalah kecenderungan masyarakat pesisir dalam menentukan batas

wilayah hunian pascarelokasi. English (1972) menyatakan bahwa ruang

membutuhkan batas dan identifikasi oleh individu agar dapat dikenali.

Keterbatasan fasilitas ruang yang disediakan pemerintah di lokasi relokasi

perumahan nelayan, menyebabkan masyarakat pesisir melakukan perluasan

terhadap batas wilayah tempat tinggal dengan menggunakan ruang bersama

18

sebagai ruang pribadi. Perilaku lainnya terkait teritorialitas adalah membuat pagar

pembatas rumah yang bervariasi sesuai dengan profesi terbaru penghuni.

2.3.2 Perumahan Relokasi

Relokasi atau resettlement merupakan proses pemindahan penduduk dari

lokasi perumahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya ke lokasi baru yang

disiapkan sesuai dengan rencana pembangunan kota (Ridlo, 2001:95). Menurut

World Bank (OD 4.30, June 1990) perumahan kembali atau resettlement pada

umumnya terjadi atau dilakukan pada kondisi terpaksa atau tidak memiliki pilihan

lain kecuali menyerahkan kekayaannya untuk dipindahkan ke perumahan yang

baru. Asian Development Bank (November 1995) menyampaikan laporan hasil

studinya yang menunjukkan bahwa banyak kebijakan dan peristiwa yang

seringkali menjadi penyebab program relokasi atau resettlement, antara lain : (1)

proyek pemerintah yang memerlukan pembebasan tanah untuk keperluan

pembangunan sarana prasarana kota, pembuatan waduk, pembuatan rel kereta api

atau jalan bebas hambatan, untuk keperluan jaringan listrik dan telepon; (2)

bencana alam, kebakaran, perang, kerusuhan dan kondisi force majour lainnya.

Prosedur yang ditempuh dalam pelaksanaan relokasi menurut Ridlo

(2001:96) adalah :

1. Pendekatan kepada masyarakat yang terkena relokasi dalam rangka

menginformasikan rencana proyek relokasi tersebut.

19

2. Mengadakan forum diskusi yang dilaksanakan mulai dari perencanaan

hingga terlaksananya proyek. Forum ini sebagai wadah untuk menggali

respon, aspirasi warga dan peran serta warga dalam proyek peremajaan.

3. Pekerjaan fisik berupa pengukuran yang bermanfaat bagi penentuan

besarnya kompensasi bagi masing-masing warga, penyiapan sarana dan

prasarana lingkungan di lokasi yang baru.

4. Penyusunan rencana penempatan lokasi rumah tempat tinggal baru dengan

memperhatikan aspirasi warga.

5. Setelah pemindahan warga ke lokasi baru dilaksanakan, perlu diadakan

bimbingan dan pembinaan kepada warga agar dapat segera menyesuaikan

diri dengan lingkungan yang baru.

Relokasi yang dipilih jauh dari perkampungan asli dapat menyebabkan

tekanan, khususnya jika lokasi itu berbeda dengan keadaan lingkungannya, pola

kehidupan ekonomi dan mata pencaharian. Relokasi ke kawasan yang jauh harus

dapat dihindari. (Davidson, 1993).

World Bank (2001) melihat dampak yang mungkin terjadi kepada penduduk

yang terkena dampak relokasi, antara lain :

1. Mata pencaharian dan kekayaan yang hilang, pemeliharaan kesehatan

cenderung menurun, mata rantai antara produsen dan konsumen seringkali

terputus dan pasar tenaga lokal menjadi terpecah.

2. Jaringan-jaringan sosial informal yang merupakan bagian dari sistem

pemeliharaan kehidupan sehari-hari (seperti kebiasaan saling tolong

menolong dan sumber dukungan sosial ekonomi) menjadi rusak.

20

3. Organisasi-organisasi setempat dan perkumpulan-perkumpulan formal dan

informal lenyap karena bubarnya anggota mereka. Masyarakat dan otoritas

tradisional dapat kehilangan pemimpin-pemimpin mereka.

4. Rusaknya sistem sosial dan ekonomi setempat yang secara mendasar

menimbulkan dampak negatif bagi sejumlah besar penduduk.

Bank Dunia juga mencemaskan dampak yang mungkin dapat terjadi pada

lokasi pemindahan, terutama berkaitan dengan kemungkinkan merosotnya

kesejahteraan penduduk. Kemungkinan tersebut diakibatkan oleh penyesuaian

terhadap mata pencaharian mereka sebagai sumber penghidupan di tempat yang

baru, ancaman terhadap kelestarian lingkungan, putusnya hubungan ekonomi

antara pelanggan dan pemasok yang telah terbina di perumahan yang lama dan

akses terhadap sumber daya yang dapat diterima secara kultural dan membuka

peluang terhadap penambahan penghasilan.

2.3.3 Perilaku Masyarakat Pesisir Pascarelokasi

Potensi konflik dalam masyarakat pesisir terkait dengan pola kepemilikan

dan penguasaan terhadap sumberdaya alam. Kondisi sosial ekonomi wilayah

pesisir umumnya sangat memprihatinkan, hal ini ditandai dengan rendahnya

tingkat pendidikan, produktivitas dan pendapatan. Sifat dan karakteristik

masyarakat pesisir juga sangat dipengaruhi oleh jenis kegiatan usaha yang pada

umumnya adalah perikanan. Karena usaha perikanan sangat bergantung kepada

musim, harga dan pasar, maka sebagian besar karakter masyarakat pesisir

21

tergantung kepada faktor-faktor tersebut. Hal ini menyebabkan masyarakat pesisir

sangat rentan terhadap perubahan iklim.

Masyarakat pesisir secara sosio-kultural merupakan suatu kelompok

masyarakat dimana akar budayanya pada mulanya dibangun atas perpaduan antara

budaya maritim laut, pantai dan berorientasi pasar. Tradisi ini berkembang

menjadi budaya dan sikap hidup yang kosmopolitan, dan dinamis. Hal ini

dibuktikan dengan adanya kegiatan bersama yang dilakukan oleh masyarakat

pesisir, khususnya kaum wanita. Budaya yang terbentuk pada saat menghuni

wilayah pesisir tidak serta merta tertinggalkan. Kaum wanita memperoleh

keuntungan dalam hal sosial-ekonomi. Selain berkumpul bersama untuk sekedar

bercengkrama di pinggir pantai, kegiatan bersama yang dilakukan para kaum

wanita adalah berjualan hasil tangkapan, mengolah hasil tangkapan dan ikut

membantu para nelayan membongkar hasil tangkapan. Dengan melihat

kemandirian kaum wanita pesisir pantai, terbentuklah Lembaga Keuangan

Mandiri yang dinamakan “Wanita Mandiri”. Kegiatan ini berlokasi di kawasan

perumahan. Salah satu unit rumah kemudian difungsikan sebagai ruang bersama.

Kegiatan bersama tidak hanya terhenti sebatas kaum pria dan wanita pesisir.

Demi mensukseskan program pemerintah dalam hal meningkatkan mutu

pendidikan dan kesehatan di lokasi relokasi juga terbentuk PAUD bagi para anak,

puskesdes dan posyandu sebagai fasilitas kesehatan. Semakin banyak aktifitas dan

beragamnya perilaku masyarakat yang terlihat di lokasi penelitian, maka semakin

beragam teritori yang terbentuk.

22

2.3.4 Penanda Teritori

Edney (1974) mendefinisikan teritorialitas sebagai sesuatu yang berkaitan

dengan pertahanan, tanda, kepemilikan. Fisher mengatakan bahwa kepemilikan

dalam teritorialitas ditentukan oleh persepsi orang yang bersangkutan. Penanda

teritori ditujukan untuk mempertahankan hak seseorang dalam teritori publik dan

meminimalisir berbagai bentuk pelanggaran teritori. Penandaan bisa terjadi tanpa

kesadaran akan batas wilayah. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan

penanda teritori dalam rumusan masalah satu adalah pagar pembatas rumah. Pagar

pembatas rumah dibangun masyarakat setempat sebagai penanda batas wilayah

tempat tinggal dan meningkatkan rasa aman serta mengurangi kriminalitas dalam

lingkungan perumahan tersebut.

2.3.5 Tingkat Privasi Teritori

Privasi adalah kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu

kesendiriannya. Untuk mendapatkan privasi, seseorang harus terampil membuat

keseimbangan antara keinginan pribadi dengan keinginan orang lain dan

lingkungan fisik di sekitarnya. Pengertian privasi menunjukkan adanya kontrol

selektif, tidak serba otomatis, tidak berarti menutup semua jalur tetapi mampu

mengontrol terbuka dan tertutupnya jalur komunikasi. Dalam penelitian ini, yang

dimaksud dengan tingkat privasi teritori dalam rumusan masalah ketiga adalah

tingkat kecenderungan seseorang dalam mengontrol wilayah yang telah ditetapkan

sebagai wilayah pribadinya. Tingkat privasi dalam penelitian ini terbagi menjadi

tiga bagian, antara lain: publik, semi-publik dan privat.

23

2.4 Tinjauan Teori

Landasan Teori merupakan penerapan teori yang digunakan sebagai batasan

dalam melakukan suatu penelitian. Adapun landasan teori yang digunakan dalam

penelitian ini adalah mengenai teritori yang terbentuk di lokasi relokasi.

2.4.1 Invasi Ruang

Invasi ruang merupakan bentuk pelanggaran teritori yang dapat

diindikasikan. Seseorang secara fisik memasuki teritori orang lain, biasanya

dengan maksud mengambil kendali atas teritori tersebut dari pemiliknya. Bentuk

kedua adalah kekerasan, biasanya tujuannya bukan untuk menguasai

kepemilikannya, melainkan suatu bentuk gangguan. Bentuk ketiga adalah

kontaminasi, seseorang mengganggu teritori orang lain dengan meninggalkan

sesuatu yang tidak menyenangkan seperti sampah, coretan atau bahkan

merusaknya (Laurens, 2004).

Pemilik teritori dapat melakukan suatu bentuk pertahanan atas invasi yang

dilakukan orang atau kelompok lain, diantaranya dengan usaha pencegahan, usaha

reaksi atau respon secara langsung, ataupun dengan membuat kesepakatan (Halim,

2005).

2.4.2 Teritorialitas

Teritori adalah satu area yang dimiliki dan dipertahankan, baik secara fisik

maupun non-fisik. Teritori biasanya dipertahankan oleh sekelompok penduduk

yang memiliki kepentingan yang sama dan bersepakat untuk mengontrol areanya

(Haryadi, 1995). Teritorialitas merupakan perwujudan sikap “ego” seseorang

24

karena orang tidak ingin diganggu, atau dengan kata lain merupakan perwujudan

dari privasi seseorang. Julian Edney (1976) mendefinisikan teritorialitas sebagai

sesuatu yang berkaitan dengan ruang fisik, tanda, kepemilikan, pertahanan,

penggunaan yang eksklusif, personalisasi, dan identitas. Teritorialitas terkadang

diartikan sebagai wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang. Fisher

mengatakan bahwa kepemilikan atau hak dalam teritorialitas ditentukan oleh

persepsi manusia. Persepsi manusia tersebut bisa bersifat aktual, seperti memang

pada kenyataannya dimiliki oleh pribadi, seperti kamar tidur. Persepsi tersebut

dapat pula merupakan kehendak untuk menguasai atau mengontrol suatu tempat,

seperti meja makan di kantin.

Teritorialitas dan Perilaku

Teritorialitas berfungsi sebagai proses sentral dalam personalisasi, agresi,

dominasi, menenangkan, koordinasi dan kontrol.

1. Personalisasi dan Penandaan

Personalisasi dan penandaan seperti memberi nama, tanda, atau

menempatkan sesuatu di lokasi strategis, bisa terjadi tanpa kesadaran akan

teritorialitas. Pada umumnya, penandan lebih ditujukan untuk

mempertahankan haknya di teritori publik, seperti nomor kursi di kereta api,

pesawat terbang, atau bioskop. Personalisasi dan penandaan kadang juga

dibuat dengan sengaja dengan maksud tertentu, seperti tulisan “tidak

menerima sumbangan” dan “dilarang parkir di depan pintu”.

25

2. Agresi

Pertahanan dengan kekerasan yang dilakukan seseorang akan semakin keras

apabila terjadi pelanggaran di teritori primernya, misalnya pencurian di

rumahnya, dibandingkan dengan pelanggaran yang terjadi di tempat umum.

Agresi biasanya terjadi apabila batas teritori tidak jelas.

3. Dominasi dan Kontrol

Dominasi dan kontrol pada umumnya terjadi pada teritori primer.

Mahasiswa lebih menganggap laboratorium sebagai teritori sekunder atau

teritori publik sehingga tidak terlalu didominasi. Kemampuan suatu tatanan

ruang untuk menawarkan privasi melalui kontrol teritori menjadi penting.

Hal ini berarti tatanan tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia,

yaitu identitas yang berkaitan dengan kebutuhan akan harga diri dan

aktualisasi diri. Maslow (1943) mengemukakan bahwa kebutuhan untuk

mengetahui siapa dan bagaimana peran seseorang dalam masyarakat.

Teritorialitas dalam Desain Arsitektur

Penerapan teritorialitas dalam desain mengacu pada pola tingkah laku

manusia yang berkaitan dengan teritorialitas sehingga dapat mengurangi agresi,

meningkatkan kontrol, dan membangkitkan rasa tertib dan aman. Semakin banyak

sebuah desain mampu menyediakan teritori primer bagi penghuninya, maka

desain itu akan semakin baik dalam memenuhi kebutuhan penggunanya.

1. Publik dan Privat

Ruang publik adalah area yang terbuka. Ruang ini dapat dicapai oleh siapa

saja pada waktu kapan saja dan tanggung jawab pemeliharaannya bersifat

26

kolektif. Ruang privat adalah area yang aksesibilitasnya ditentukan oleh

seseorang atau sekelompok orang dengan tanggung jawab pemeliharaannya

ditanggung bersama.

Apabila seseorang atau sekelompok orang mendapat peluang untuk

memakai sebagian area publik untuk kepentingannya dan hanya secara tidak

langsung berguna bagi orang lain, akan terbentuk semacam kesepakatan

umum bahwa penggunaan itu dibenarkan secara temporer maupun

permanen. Contohnya adalah nelayan yang menjemur jala dan atau ikan

hasil tangkapannya di jalan umum, bahkan sampai di halaman desa. Contoh

lainnya adalah penduduk menjemur pakaian di tangga-tangga umum, atau

menggunakan pagar sebagai tempat jemurannya yang merupakan ruang

publik. Penandaan teritori juga bisa dilakukan dengan menempatkan logo

tertentu. Namun, penggunaan tanda simbolis yang tidak dikenal secara

umum menjadi tidak efektif.

2. Ruang Peralihan

Daerah peralihan dibuat sebagi penghubung berbagai teritori yang memiliki

perbedaan sifat. Area pintu masuk sekolah merupakan daerah transisi. Pada

aera transisi, gugatan teritori individual dan kolektif dapat saling tumpang

tindih. Untuk menghindari terjadinya konflik, maka diperlukan kesepakatan.

Keberhasilan ruang peralihan dalam membentuk ruang komunal yang baik

adalah dengan memberi kontribusi demi kenyamanan lingkungan.

Teori teritorialitas digunakan sebagai acuan dalam pengamatan di lokasi

penelitian tahap satu dan dua. Hasil pengamatan grand tour sementara bahwa

27

teritorialitas yang terbentuk diakibatkan oleh perilaku keseharian penghuni.

Penghuni melakukan berbagai cara untuk memperluas teritorinya, baik dengan

membangun ruang-ruang tambahan di dalam rumah maupun menjemur pakaian,

memasak, melakukan interaksi sosial lainnya di wilayah ruang bersama.

2.4.3 Hubungan Perilaku Manusia - Lingkungan

Dalam perilaku-lingkungan, hubungan perilaku manusia dan lingkungan

adalah hubungan timbali balik, keterkaitan dan saling mempengaruhi. Berikut

merupakan skema hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungan.

Karakteristik individu (M), kualitas setting (S), dan norma sosial budaya

(SB) secara bersama-sama mempengaruhi rencana seseorang ketika memasuki

setting dan juga apa yang akan terjadi di dalamnya.

Dalam setting, seseorang berperilaku, berpikir dan merasa dalam berbagai

keadaan. Kadang kala tidak hanya manusia yang terpengaruh, setting pun ikut

Skema 2.1 Hubungan Perilaku Manusia dengan Lingkungan

Sumber : Arsitektur dan Perilaku Manusia (Laurens,2004).

Realitas Ukuran

Realitas

Rencana sebelum

memasuki setting

Hasil dalam setting Hasil (setelah

memasuki setting)

Setting S1-n

M1-n

SB1-n Sosio-Budaya

Sasaran,

Keputusan dan

Maksud

Perilaku

Kognisi dan

Emosi

Tubuh

Manusia

Perilaku

Kognisi dan

Emosi

Tubuh

Manusia

Manusia

28

terpengaruh oleh kehadiran manusia. Misalnya dengan teritori yang dibuat

manusia.

Skema diatas menjelaskan mengenai keterkaitan antara setting, manusia dan

sosial-budaya. Pada penerapan di lapangan sesuai dengan grand tour yang telah

dilakukan, kenyataan yang terjadi adalah pemerintah Kota Mataram memiliki

gagasan berupa program relokasi perumahan nelayan (manusia). Dalam skema,

lokasi relokasi merupakan setting. Keberadaan manusia tidak akan dapat lepas

dari sosial-budaya. Program pemerintah untuk merelokasi perumahan nelayan

membawa serta sosial-budaya masyarakat pesisir. Nilai sosial-budaya masyarakat

pesisir berubah sesuai dengan setting. Teritorialitas merupakan usaha masyarakat

pesisir dalam menyesuaikan diri dengan setting baru.

Behavior setting terjadi pada pertemuan antara individu dan lingkungannya.

Melalui pengamatan behavior setting, sistem sosial dalam setting atau pola

perilaku penghuni dalam lingkungan dapat diamati. Contohnya adalah ketika

dosen menyiapkan perkuliahan. Pada kasus tersebut, direncanakannya adanya

serangkaian aktifitas bersama orang lain ketika terdapat sejumlah pola perilaku

tertentu yang dikombinasikan dengan objek tertentu dalam batasan ruang dan

waktu tertentu. Behavior setting didefinisikan sebagai suatu kombinasi yang stabil

antara aktifitas, tempat, dan kriteria sebagai berikut;

1. Terdapat suatu aktifitas yang berulang berupa suatu pola perilaku (standing

pattern od behaviour). Dapat terdiri atas satu atau lebih pola perilaku.

2. Dengan tata lingkungan tertentu (circumjacent milieu), milieu ini berkaitan

dengan pola perilaku ekstraindividual. Istilah ekstraindividual menunjukkan

29

fakta operasional bahwa setting tidak bergantung hanya pada seorang

manusia atau objek. Istilah circumjacent milieu merujuk pada batas fisik dan

temporal sebuah setting.

3. Membentuk suatu hubungan yang sama antar keduanya (synomorphy).

4. Dilakukan pada periode waktu tertentu.

Suatu behavior setting mempunyai struktur internal sendiri. Contohnya adalah di

dalam sebuah ruang perkuliahan, dosen mempunyai peran sebagai pengajar yang

menempati posisi tertentu di depan, misalnya berupa perbedaan level lantai yang

memungkinkan untuk melihat seluruh mahasiswa dan mengendalikan pola

perilaku yang terjadi. Hal yang dapat mewakili data pengematan behavior setting

meliputi: (a) manusia; (b) karakteristik ukuran; (c) objek; dan (d) pola aksi.

Behavior Setting dalam Desain Arsitektur

Behavior setting yang baik adalah yang sesuai atau pas dengan struktur

perilaku penggunanya. Behavior setting memberi dasar yang lebih luas dalam

mepertimbangkan lingkungan daripada hanya semata-mata tata guna lahan, tipe

bangunan, dan tipe ruang secara fisik. Edward T. Hall mengidentifikasi tiga tipe

dasar pola ruang, antara lain;

1. Ruang Berbatas Tetap (fixed-feature space)

Ruang berbatas tetap dilingkupi oleh pembatas yang relatif tetap dan tidak

mudah digeser, seperti dinding masif, jendela, pintu, atau lantai.

30

2. Ruang Berbatas Semitetap (semifixed-feature space)

Ruang berbatas semi tetap adalah ruang yang pembatasnya bisa berpindah.

Contohnya adalah ruang-ruang pameran yang dibatasi partisi yang dapat

dipidahkan sesuai dengan kebutuhan setting.

3. Ruang Informal

Ruang informal adalah ruang yang terbentuk dalam waktu yang singkat,

seperti ruang yang terbentuk ketika dua atau lebih orang berkumpul. Ruang

ini bersifat tidak tetap dan terjadi diluar kesadaran orang yang bersangkutan.

Penggunaan teori behavior setting dalam penelitian ini adalah untuk

mengidentifikasi setting dan pola perilaku yang terjadi di lokasi penelitian. Dari

grand tour sementara yang telah dilakukan, dapat didentifikasikan ruang berbatas

tetap, semitetap, dan informal yang terbentuk merupakan akibat dari adanya

interaksi sosial dalam lokasi penelitian. Unit rumah tinggal merupakan

perwujudan fisik dari ruang berbatas tetap. Adanya penambahan ruang yang

dilakukan didalam rumah merupakan upaya penghuni untuk memperluas teritori.

Perluasan teritori dilakukan penghuni atas ijin pemerintah dengan memanfaatkan

lahan sisa yang disediakan pemerintah dalam unit-unit rumah, sedangkan biaya

perluasan ruang ditanggung oleh masing-masing penghuni. Perwujudan ruang

semitetap adalah sekat-sekat dalam unit rumah yang dibentuk penghuni guna

memenuhi kebutuhan ruang untuk menampung aktifitas. Akses jalan yang

digunakan masyarakat nelayan untuk sekedar bercengkrama atau melakukan

serangkaian upacara kematian menjadi perwujudan dari terbentuknya ruang

sementara atau informal di dalam lokasi penelitian.

31

2.4.4 Teori Perilaku

Perilaku spasial atau bagaimana orang menggunakan tatanan dalam

lingkungan adalah sesuatu yang dapat diamati secara langsung. Arsitek dan

perencanaan kota umumnya lebih menaruh perhatian pada perilaku secara mikro,

mulai dari ruangan hingga lingkungan atau distrik dalam kota. Pendekatan

perilaku-lingkungan mengenai perilaku manusia menunjukkan bahwa perilaku

seseorang adalah fungsi dari motivasinya, kemanfaatan lingkungan (affordances)

dan image-nya tentang dunia di luar persepsi langsung dan makna citra tersebut

bagi orang yang bersangkutan.

Manusia bersosialisasi secara berbeda, dibesarkan di lingkungan geografis

dan sosial yang berbeda, mempunyai motivasi yang berbeda, melihat dan

menggunakan lingkungannya secara berbeda pula. Dari waktu ke waktu peran

seseorang dalam masyarakat berubah. Budaya memiliki posisi tertinggi dalam

hierarki kontrol, diikuti oleh kelompok sosial, kepribadian dan terakhir subsistem

organismik lingkungan. Artinya karakter fisik seseorang lebih mudah

dikendalikan dibandingkan dengan yang lain. Berdasarkan model ini, budaya

yang merupakan sistem kepercayaan, tata nilai, simbol dan gaya yang menjadi

karakteristik sekelompok orang, mengendalikan banyak perilaku manusia. Banyak

kualitas yang menentukan kemampuan seseorang yang sukar diukur, terutama

yang berkaitan dengan budaya dan perilaku budaya.

Perubahan dapat terjadi diberbagai unsur kehidupan. Dalam teori yang

dikemukakan oleh Koentjaraningrat, menyebutkan bahwa perubahan yang paling

mudah terjadi pada unsur sistem peralatan hidup dan teknologi. Sedangkan unsur

32

yang paling sulit berubah adalah unsur religi. Berikut merupakan 7 unsur budaya

menurut Koentjaraningrat, antara lain :

1. Sistem religi yang meliputi kepercayaan, nilai dan pandangan hidup,

komunikasi keagamaan, serta upacara keagamaan.

2. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi kekerabatan,

asosiasi dan perkumpulan, sistem kenegaraan, serta sistem kesatuan hidup.

3. Sistem pengetahuan yang meliputi flora dan fauna, waktu, ruang dan

bilangan, tubuh manusia, serta perilaku antar sesama manusia.

4. Bahasa meliputi bahasa lisan dan tulisan.

5. Kesenian yaitu seni patung/pahat, relief, lukisan dan gambar, ragam hias,

vokal, musik, bangunan, kesusastraan dan drama.

6. Sistem mata pencaharian atau sistem ekonomi yang meliputi berburu dan

mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan dan

perdagangan.

7. Sistem peralatan hidup dan teknologi meliputi produksi, distribusi,

transportasi, peralatan komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk

wadah, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan serta

senjata.

Manusia memiliki kepribadian individual, tetapi manusia juga makhluk

sosial, hidup dalam masyarakat dalam suatu kolektivitas. Dalam memenuhi

kebutuhan sosial, manusia berperilaku sosial dalam lingkungannya yang dapat

diamati dari fenomena perilaku-lingkungan, kelompok pemakai dan tempat

terjadinya perilaku.

33

Menurut Teori Konvergensi oleh Stern menyatakan bahwa lingkungan dan

budaya berpengaruh dalam perkembangan manusia. Dalam hal ini dapat

dikemukakan dua hal yaitu:

1. Manusia mengalami perubahan sebagai akibat dari perkembangan manusia

tersebut.

2. Dalam perkembangan manusia itu faktor pembawaan dan faktor lingkungan

secara bersama-sama mempunyai peranan.

Dapat disimpulkan disini bahwa perilaku manusia berubah dan berkembang

sesuai dengan perubahan dan perkembangan manusia dan lingkungan. Faktor

lingkungan yang mempengaruhi manusia dapat dibagi dua yaitu lingkungan fisik

dan lingkungan sosial.

Bentuk Perubahan Perilaku

Menurut WHO, perubahan perilaku dikelompokkan menjadi tiga

(Notoatmojo, 2007) :

a. Perubahan Alamiah (Natural Change)

Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan disebabkan oleh

kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan

lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota

masyarakatnya pun akan mengalami perubahan.

b. Perubahan Terencana (Planned Change)

Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh

subjek.

34

c. Kesediaan untuk berubah (Readiness to Change)

Apabila terjadi inovasi, maka yang sering terjadi adalah sebagian

masyarakat dapat dengan cepat menerima perubahan dan sebagian lagi

dapat dengan sangat lambat menerima perubahan. Penyebabnya adalah

setiap orang memiliki kapasitas yang berbeda-beda dalam menerima

perubahan.

Proses Terjadinya Perubahan Perilaku

Menurut teori Rogers dan Schoemaker, proses terjadinya perubahan

perilaku terjadi secara berurutan, antara lain :

a. Awareness (kesadaran), yaitu pelaku yang mengalami perubahan menyadari

stimulus (objek) terlebih dahulu.

b. Interest, yaitu pelaku tersebut mulai tertarik terhadap stimulus.

c. Evaluation, yaitu pelaku tersebut mulai menimbang-nimbang, baik atau

tidaknya stimulus bagi pelaku.

d. Trial, pelaku mencoba melakukan perilaku baru.

e. Adoption, pelaku telah menjalani perubahan perilaku, sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus (objek).

Teori perubahan perilaku sangat berperan sebagai tolak ukur dalam melihat

bentuk perubahan perilaku yang terjadi terhadap masyarakat pesisir di lokasi

relokasi. Perubahan perilaku masyarakat menyebabkan perubahan dari

teritorialitas asal dengan teritorial di lokasi penelitian. Dari grand tour yang telah

dilakukan, kondisi yang terlihat adalah terbentuknya teritori akibat dari perubahan

perilaku masyarakat pesisir.

35

2.4.5 Teritori Komunal

Teritori komunal yaitu pengontrolan batas wilayah yang terbentuk dari

kebiasaan suatu kelompok masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan

lingkungan, peraturan dan tradisi yang berlaku di dalam suatu wilayah tempat

tinggal yang dalam kasus ini adalah lingkungan perumahan relokasi.

Klasifikasi teritori merupakan salah satu cara untuk dapat mengerti

mengenai terbentuknya teritorialitas. Teritorialitas manusia tidak hanya berfungsi

sebagai perwujudan privasi, tetapi juga memiliki fungsi sosial dan fungsi

komunikasi. Altman (1975) membagi teritori menjadi tiga kategori yang telah

dikaitkan dengan keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan kehidupan

sehari-hari individu atau kelompok dan frekuensi penggunaan. Tiga kategori

tersebut, antara lain:

1. Teritori Primer

Teritori utama (primary) adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara

eksklusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanan, dan

menjadi bagian utama dalam kehidupan sehari-hari penghuninya (Haryadi,

1995). Teritori primer bersifat sangat pribadi, hanya dapat dimasuki oleh

orang-orang yang sudah sangat akrab atau yang sudah mendapat izin

khusus. Contoh teritori primer adalah ruang tidur atau ruang kantor.

2. Teritori Sekunder

Teritori sekunder (secondary) adalah suatu area yang tidak terlalu

digunakan secara eksklusif oleh seseorang atau sekelompok orang,

mempunyai cakupan area yang relatif luas, dikendalikan secara berkala oleh

36

kelompok yang menuntutnya (Haryadi, 1995). Pengertian lain teritori

sekunder adalah tempat-tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang

yang sudah cukup saling mengenal. Contoh teritori sekunder adalah ruang

kelas, kantin, kampus, dan ruang olahraga.

3. Teritori Publik

Teritori publik adalah suatu area yang dapat digunakan atau dimasuki oleh

siapa pun, akan tetapi tetap mematuhi norma-norma serta aturan yang

berlaku di area tersebut (Haryadi, 1995). Teritori publik adalah tempat-

tempat terbuka untuk umum. Pada prinsipnya, setiap orang diperkenankan

untuk berada di tempat tersebut. Contohnya adalah pusat perbelanjaan,

tempat rekreasi, lobi hotel, dan ruang sidang pengadilan yang dinyatakan

terbuka untuk umum. Pada beberapa kasus, kerap terjadi pengusaan teritori

publik oleh kelompok tertentu dan tertutup bagi kelompok yang lain, seperti

bar yang hanya diperuntukkan bagi orang dewasa.

Selain pengklasifikasian tersebut, Altman (1975) juga mengemukakan dua tipe

teritori lainnya, yaitu objek dan ide. Objek dan ide bukan berwujud tempat,

namun diyakini dapat memenuhi kriteria teritori. Seperti halnya dengan tempat,

manusia biasanya juga menandai, menguasai barang-barang pribadi yang

dianggap sebagai hak milik.

Lyman dan Scott (1967) juga membuat klasifikasi terhadap tipe

teritorialitas, klasifikasi tersebut antara lain :

37

1. Teritori Interaksi (Interactional Territories)

Teritori interaksi ditujukan pada suatu daerah secara temporer dan

dikendalikan oleh adanya interaksi sosial dari sekelompok orang. Contoh

teritori interaksi adalah ruang kuliah yang dipakai oleh sejumlah peserta

mata kuliah, lapangan sepak bola yang dipakai untuk pertandingan oleh

sekelompok klub sepak bola.

2. Teritori Badan (Body Territories)

Teritori badan dibatasi oleh badan manusia, sedangkan batasannya adalah

kulit manusia.

Ruang komunal atau public space merupakan ruang yang digunakan untuk umum.

Menurut Didik Nopianto A Nugradi dalam penelitiannya yang berjudul “Setting

Dan Atribut Ruang Komunal Mahasiswa Kampus Universitas Negeri Semarang”

yang dimaksud dengan ruang komunal adalah ruang yang mudah diakses dan

dipergunakan oleh masyarakat luas untuk berinteraksi sosial. Menurut Roger

Scrupton, ruang komunal merujuk pada lokasi yang dapat diakses oleh setiap

orang, kurang sesuai untuk digunakan untuk keperluan pribadi, dan perilaku

pengguna ruang terikat oleh norma sosial yang berlaku.

Menurut Laurens (2004), terdapat aspek sosial yang terkandung dalam

ruang, yaitu bagaimana manusia dapat berbagi dan membagi ruang dengan

sesamanya. Perilaku sosial manusia menjadi alasan utama terbentuknya ruang,

perilaku tersebut meliputi :

1. Ruang personal (personal space) berupa domain kecil sejauh jangkauan

manusia yang dimiliki setiap orang. Ruang pribadi dipengaruhi oleh posisi

38

seseorang dalam masyarakat dengan individu-individu lebih makmur

menuntut ruang pribadi yang lebih besar. Orang membuat pengecualian

terhadap, dan memodifikasi persyaratan ruang mereka. Misalnya dalam

pertemuan romantis tegangan dari jarak dekat yang memungkinkan ruang

pribadi dapat ditafsirkan kembali ke semangat emosional. Selain itu,

sejumlah hubungan memungkinkan untuk ruang pribadi untuk dimodifikasi

dan ini termasuk hubungan keluarga, mitra romantis, persahabatan dan

kenalan dekat di mana tingkat yang lebih besar dari kepercayaan dan

pengetahuan seseorang memungkinkan ruang pribadi harus dimodifikasi.

2. Teritorialitas (territoriality) yaitu kecenderungan untuk menguasai daerah

yang lebih luas bagi penggunaan oleh seseorang atau sekelompok pemakai

atau bagi fungsi tertentu. Menurut Lang (1987), terdapat 4 karakter dari

territorial tersebut yaitu meliputi kepemilikan atau hak dari suatu tempat,

personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu, hak untuk

mempertahankan diri dari gangguan luar, pengatur dari berbagai fungsi,

mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan

kognitif dan kebutuhan – kebutuhan estetika.

3. Kesesakan atau kepadatan (crowding dan density) yaitu keadaan apabila

ruang fisik yang tersedia sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah

penggunanya.

4. Privasi (privacy) sebagai usaha untuk mengoptimalkan pemenuhan

kebutuhan sosial.

39

Teori mengenai aspek sosial dalam ruang mampu menjadi masukan penting dalam

penelitian karena teori ini menunjukkan bahwa perilaku manusia mampu

membentuk ruang. Dalam penelitian mengenai relokasi perumahan nelayan,

perilaku manusia di lokasi yang baru mempengaruhi teritorialitas. Teritori

komunal masyarakat nelayan berubah setelah direlokasi. Teitori komunal yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah wilayah bersama yang dapat digunakan oleh

setiap orang untuk berinteraksi sosial seperti jalan lingkungan, musholla, masjid,

lahan kosong, dan ruang lainnya yang dapat dimanfaatkan bersama di lingkungan

perumahan relokasi.

2.4.6 Rumah Tinggal

Manusia kian menuntut adanya kenyamanan dan keselamatan dalam rumah.

Semakin tinggi tuntutan manusia terhadap sebuah rumah, maka semakin

meningkat pula kreativitas manusia dalam mewujudkan sebuah tempat tinggal.

Pada umumnya, sebuah rumah tinggal harus dapat mewadahi aktifitas

harian penghuni. Tapi bukan berarti bahwa semua ruang yang telah disebutkan

diatas harus terpenuhi. Dalam beberapa kasus, satu jenis ruangan dapat

menampung beberapa fungsi. Penyediaan ruang dipengaruhi oleh kondisi

ekonomi pemilik rumah. Secara arsitektural, dimensi ruang harus disesuaikan

dengan standar kebutuhan ruang gerak, sehingga penghuni merasa nyaman dalam

melakukan aktivitas. Selain itu, dimensi ruang juga harus memperhitungkan

kapasitas atau daya tampung ruang yang direncanakan. Terdapat beberapa faktor

dalam merencanakan sebuah rumah, antara lain :

40

1. Keamanan

Agar bangunan dapat digunakan sesuai dengan fungsi yang direncanakan,

maka bangunan harus dapat berdiri kokoh, kuat, mampu menahan beban-

beban yang diterima.

2. Kesehatan

Untuk memenuhi persyaratan ini, sebuah rumah tinggal harus dilengkapi

dengan sarana-sarana yang diperlukan untuk pemeliharaan kebersihan dan

kesehatan, antara lain : (a) kamar mandi dan WC lengkap dengan saluran

pembuangan, (b) saluran pembuangan air hujan dan (c) tempat penimbunan

atau penampungan sampah sementara.

3. Kenyamanan

Dalam masalah kenyamanan, perlu dipertimbangkan beberapa aspek yang

mempengaruhi kenyamanan, antara lain : (a) kenyamanan thermal, yaitu

kenyamanan yang terkait dengan suhu udara, (b) kenyamanan audio, yaitu

kenyamanan yang terkait dengan tingkat kebisingan, (c) kenyamanan visual,

yaitu kenyamanan yang terkait dengan wujud keindahan fisik bangunan.

4. Keindahan

Aspek keindahan merupakan aspek terakhir yang harus dipertimbangkan.

Biasanya aspek ini dipertimbangkan oleh masyarakat golongan ekonomi

menengah ke atas, dimana kebutuhan pokok jasmani bukan merupakan masalah

yang terpenting.

41

Dalam usaha mewujudkan keamanan, kesehatan, kenyamanan, dan

keindahan dalam rumah, masyarakat kerap melakukan penyesuaian maupun

perubahan terhadap ruang. Turner (1976) mengemukakan, antara lain:

a. Housing Adaptation. Usaha penghuni dalam menyesuaikan perilakunya

terhadap ruang, sebagai tanggapan atas kebutuhan ruang untuk melakukan

aktifitas pada rumahnya, hal ini disebut “ bersifat pasif.”

b. Housing Adjusment. Usaha memenuhi kebutuhan ruang, ketika penghuni

merasakan kekurangan ruang untuk beraktifitas pada rumahnya. Bentuk

tindakannya dapat berupa : pindah rumah, pengubahan atau melakukan

penambahan ruang terhadap rumahnya, agar tingkat privasi lebih dapat

tercapai.

Menurut Sinai (2001: 97-114), langkah-langkah yang dapat diambil untuk

mengelola perubahan, yaitu: (1) Unfreezing, merupakan suatu proses perencanaan

atau penentuan perubahan yang telah disesuaikan dengan kebutuhan,

(2) Changing, merupakan langkah tindakan, baik memperkuat driving forces

maupun memperlemah resistences dan (3) Refreesing, membawa kembali

kelompok kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium).

Penghuni melakukan perubahan rumah sesuai dengan harapan dan kebutuhan

ruang. Selain daripada itu, terdapat 4 bentuk penyesuaian diri terhadap perubahan

ruang di dalam rumah, antara lain : (1) adaptasi peraturan keluarga, (2) struktur

adaptasi keluarga, (3) mobilitas tempat tinggal dan (4) merubah tepat tinggal agar

menjadi lebih baik.

42

Menurut Ching (2000) dalam bukunya yang berjudul Arsitektur Bentuk,

Ruang dan Tatanan menyatakan bahwa perubahan bentuk terdiri atas 3 bagian,

antara lain :

1. Perubahan Dimensi

Perubahan dimensi, yaitu suatu bentuk yang dapat diubah dengan mengganti

salah satu atau beberapa dimensinya dan tetap mempertahankan identitas

sebagai suatu bentuk.

2. Perubahan dengan Pengurangan

Suatu bentuk dapat diubah dengan mengurangi sebagian dari volumenya.

Tergantung dari banyaknya pengurangan, suatu bentuk mampu

mempertahankan identitas aslinya atau diubah menjadi suatu bentuk baru.

Pada kasus sebuah rumah tinggal, volume ruang dapat dikurangi dalam

upaya merencanakan entrance bangunan.

3. Perubahan dengan Penambahan

Suatu bentuk dapat diubah dengan menambah unsur-unsur tertentu kepada

volume bendanya. Penambahan unsur-unsur baru nantinya akan

menentukan identitas suatu bentuk baru. Suatu bentuk dengan penambahan

dihasilkan dengan menghubungkan satu atau beberapa bentuk tambahan

lain, namun denga volume yang telah ditetapkan.

Saat ini rumah tidak hanya sebagai tempat berlindung, namun juga memiliki

beragam fungsi yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan penghuni. Tingkat

kebutuhan manusia terhadap hunian dapat dikategorisasikan sebagi berikut

(Maslow, 1943) :

43

1. Survival Needs

Dalam tingkatan ini, rumah sebagai sarana untuk menunjang keselamatan

hidup manusia. Rumah diharapkan dapat menjadi pelindung bagi manusia

dari ancaman makhluk hidup lain atau dari gangguan iklim.

2. Safety and Security Needs

Dalam tingkatan ini, hunian berfungsi sebagai pelengkap kebutuhan

terhadap keselamatan dan keamanan.

3. Affiliation Needs

Hunian dalan tingkatan ini berperan sebagai identitas seseorang agar diakui

dalam suatu golongan masyarakat.

4. Esteem Needs

Kebutuhan dalam tingkatan ini berkaitan dengan aspek psikologis. Hunian

berperan sebagai sarana untuk mendapatkan pengakuan atas jati dirinya

dalam masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Rumah yang mewah dan

bagus dapat memberikan kebanggaan dan kepuasan kepada pemilik rumah.

5. Cognitive and Aesthetic Needs

Pada tingkatan ini, hunian tidak saja merupakan sarana peningkatan

kebanggaan dan harga diri, tetapi juga agar dapat dinikmati keindahannya

secara visual.

Ditinjau dari sisi arsitektur, rumah merupakan wadah bagi kegiatan manusia yang

dilakukan selama 24 jam, antara lain : (1) beristirahat, (2) makan, (3) berinteraksi

sosial, (4) buang air besar/kecil, (5) beribadah dan (6) bekerja/berkarya.

44

Berdasarkan aktivitas tersebut, maka ruang-ruang di dalam rumah dikelompokkan

menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Area Perumahan (Living Area) yang terdiri dari ruang tamu, ruang makan,

ruang keluarga dan ruang keluarga/kerja.

2. Area Peristirahatan (Sleeping Area) yang terdiri dari ruang tidar dan kamar

mandi.

3. Area Pelayanan (Service Area) yang terdiri dari dapur, ruang penyimpanan

(gudang), dan garasi.

Dalam penelitian ini, perilaku masyarakat nelayan di lokasi relokasi sangat

mempengaruhi teritorialitas. Teritori rumah tinggal masyarakat nelayan berubah

setelah direlokasi. Keterbatasan ruang yang disediakan oleh pemerintah,

kurangnya tingkat kenyamanan dari rumah tinggal memaksa masyarakat

memperluas teritori rumah tinggal. Perluasan teritori rumah tinggal cenderung

menggunakan ruang bersama. Akses jalan dimanfaatkan untuk menjemur pakaian,

menjemur beras, parkir kendaraan, hingga digunakan sebagai areal bermain anak.

2.5 Model Penelitian

Model penelitian merupakan suatu tahapan yang harus dilakukan dalam

suatu penelitian. Hal tersebut dikarenakan, model penelitian dapat digunakan

sebagai acuan kerja dalam penelitian. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh relokasi

perumahan nelayan akibat abrasi dan gelombang pasang pesisir pantai di

kecamatan ampenan dan sekarbela. Relokasi perumahan nelayan ini kemudian

berdampak terhadap teritorialitas.

45

Kemudian dilanjutkan pada tahapan kajian pustaka yang terkait dengan

perilaku manusia yang menyebabkan terbentuknya teritorialitas. Rumusan

masalah dalam penelitian ini merupakan acuan dalam penentuan teori yang

nantinya digunakan dalam menganalisis data lapangan. Dalam kajian pustaka,

diuraikan mengenai persamaan dan perbedaan penelitian terdahulu dengan

penelitian yang akan dilakukan. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini

terkait dengan judul penelitian, yaitu mengenai teritorialitas.

46

Diagram 2.2 Model Penelitian

Penelitian Perumahan Relokasi Nelayan Pesisir

Gambaran Teritori

Komunal

Proses Perluasan Area

Teritori Varian Elemen Penanda

Teritori

PERILAKU TERITORIALITAS NELAYAN

DI RELOKASI PERUMAHAN NELAYAN

KOTA MATARAM

Invasi Ruang

Teori Teritorialitas

Teritori Primer, Sekunder, Tersier

Penandaan Wilayah

Recommended