Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970)Jilid 2 1
REVIEW
SEJARAH DAN PERTUMBUHAN TEORI
ANTROPOLOGI BUDAYA (Hingga Dekade 1970)
Jilid II
KARYA J. VAN BAAL
Sebagai Tugas Mata Kuliah Antropologi Seni II
oleh :
DHEVI ENLIVENA
NIM. 492/S2/KS/11
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT SENI INDONESIA
SURAKARTA
2012
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970)Jilid 2 2
I. Rangkuman
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade
1970) Jilid II merupakan kelanjutan dari buku jilid pertama, berisi tujuh bab yang
terdiri dari bab XI hingga bab XVII – setelah sepuluh bab yang awal sudah
dimuat dalam buku jilid pertama. Ketujuh bab tersebut membahas, antara lain :
1. Bentuk-bentuk pengelompokan dalam masyarakat, ritual peralihan
2. Freud, Jung, Cassirer, lambang sebagai bentuk pernyataan
3. Malinowski, Fungsionalisme
4. Aliran Leiden dan Radcliffe-Brown tentang Relasi Kebudayaan
Permasalahan Kekerabatan
5. Strukturalisme, Claude Levi-Strauss
6. Etnologi Amerika sesudah 1930
7. Religi, manusia dan masyarakat dalam antropologi budaya sesudah
perang. Permasalahan subyek manusia
Seperti yang termuat dalam pendahuluannya, karya Baal merupakan teks
kuliah teori antropologi budaya yang sudah dikoreksi selama tahun 1976 yang
diberikan pada sejumlah kecil ahli antropologi Indonesia yang datang ke negeri
Belanda untuk studi paska-akademial. Menurut Baal sendiri, buku ini tidaklah
dibuat sebagai suatu sejarah teori yang bulat.
Pada bab ketujuh, Baal mengangkat kembali mengenai bentuk-bentuk
pengelompokan dalam masyarakat, serta menyinggung seputar ritual peralihan.
Pembahasan kembali hal tersebut karena mengingat bahwa pengelompokan
kekerabatan memberikan kepada masyarakat primitif bentuk-bentuk organisasi
yang sangat penting. Namun agar lebih komprehensif, pada bab dibatasi empat
bentuk pengelompokan lain–selain pengelompokan kekerabatan yang sudah
dibahas sebelumnya–yakni : (1) pengelompokan lokal; (2) pengelompokan
politik; (3) pengelompokan jenis kelamin; dan (4) pengelompokan umur.
Mengenai pengelompokan lokal, Baal mendefinisikannya sebagai
―kesatuan teritorial yang paling kecil yang meliputi lebih dari satu keluarga atau
dapat disebut sebagai keluarga yang diperluas, dan yang bertempat tinggal
bersama secara demikian, sehingga dimungkinkan setiap hari terjadi kontak
secara teratur (Inggris : face-to-face contact). Perkataan yang paling kecil
mempunyai arti bahwa kelompok lokal itu selalu merupakan bagian dari suatu
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970)Jilid 2 3
kesatuan teritorial yang lebih luas, seperti desa, anak-suku atau suku, distrik,
rakyat atau apa pun juga.‖ (Baal, 1988:2)
Selanjutnya Baal banyak membahas mengenai nomadenisme, seperti
yang terdapat pada tiga kelompok orang Indian Amerika Utara. Selain
pembahasan mengenai bangsa pengembara, juga dimasukkan mengenai
bangsa yang tinggal menetap. Dalam akhir tulisannya mengenai hal ini, Baal
menarik kesimpulan bahwa prinsip teritorial mempunyai peranan penting–
bahkan sedemikian pentingnya, sehingga dalam masyarakat yang sangat
sederhana pun kadang-kadang keterikatan tersebut ternyata lebih penting
daripada prinsip keturunan.
―Prinsip teritorial juga dapat memainkan peranan dengan cara lain dalam
mengatur perkawinan. Pemilihan seorang istri tidak selalu harus digantungkan
pada hubungan dengan kelompok-kelompok genealogis; itu bisa juga didasarkan
atas hubungan dengan kelompok-kelompok teritorial. Kadang-kadang hubungan
kelompok sendiri lebih suka diperluas dengan sebanyak mungkin kelompok lain
dan hal itu mungkin sekali adalah kelompok-kelompok teritorial (tetapi bisa juga
kedua-duanya sekaligus)‖ (Baal, 1988:8)
Sementara pada sub-bab Pengelompokan Politik, Baal menyatakan
bahwa studi tentang pengelompokan politik selama dua puluh tahun terakhir ini
telah tumbuh menjadi suatu spesialisasi tersendiri, antropologi politik. Dalam
tulisannya kali ini, Baal lebih banyak membahas mengenai kekuasaan dan
kepemimpinan. Beberapa pemikiran Baal yang menarik antara lain mengenai
kekuasaan pemimpin politik yang merupakan fungsi dari tiga faktor, yaitu :
1. Kekuasaan kelompok;
2. Mandat yang diberikan kepadanya (pemimpin) oleh kelompok, artinya
sesuai dengan wewenang untuk bertindak yang diberikan oleh
kelompok; dan
3. Kekuasaannya sendiri, kekuasaan perorangan.
Pada sub-bab selanjutnya, Baal membahas mengenai pengelompokan
seks dimana hal tersebut didasarkan pada perbedaan jenis kelamin yang dengan
berbagai cara dinyatakan secara kultural – seperti pembagian fungsi-fungsi
masyarakat, pembagian pekerjaan antara kedua jenis kelamin. Karena lazimnya
wanita mencurahkan perhatian pada pemeliharaan, primer pada pemeliharaan
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970)Jilid 2 4
anak dan sekunder pada pengurusan suami. Ini membuat pembagian tugas
menjadi suatu keharusan, dan dengan sendirinya pembagian itu ada sangkut-
pautnya dengan kenyataan, bahwa pria lebih besar dan lebih kuat daripada
wanita.
Pada sub-bab selanjutnya, Baal membahas mengenai pengorganisasian
berdasarkan umur, dengan berbagai contoh yang diulas di sepanjang tulisan.
Menarik dalam tulisan Baal kali ini adalah bahwa perbedaan umur berperan
dalam setiap masyarakat. Dengan pengelompokan umur dibatasi dan diatur
secara cermat, maka pembahasan akan mengalir terkait kelas-kelas umur dan
tingkat-tingkat umur.
Menurut Baal, kelompok umur di seluruh dunia terbagi menjadi:
1. Bayi, anak yang belum dapat berjalan;
2. Anak kecil, anak yang masih sangat muda yang sudah bisa berjalan
dan umum juga sudah bisa bicara;
3. Anak, yaitu anak lelaki dan perempuan; sudah mulai menguasai
bahasa secara penuh sampai puber;
4. Remaja (pemuda dan pemudi – dalam bahasa Belanda ada istilah
jongelingan dan meisjes, sedangkan perkataan jongerdochter sudah
tidak digunakan dalam bahasa Belanda), kadang-kadang dimasukkan
dalam kelompok yang sama dengan pria dan wanita yang tidak kawin;
5. Yang sudah bersuami/beristri;
6. Orang yang lanjut usia.
Terakhir dalam bab ini, Baal menuliskan mengenai beberapa teori tentang
kelompok, jenis kelamin, dan kelompok usia dari beberapa ahli seperti
Eisenstadt, Schurtz, dan Van Gennep. Banyak pemikiran-pemikiran penting dari
ketiga tokoh tersebut yang dibahas oleh Baal. Seperti tulisan Eisenstadt yang
dianggap membuka kembali studi mengenai usia; ulasan Schurtz terkait
perbedaan kelamin yang memiliki peran penting dalam dasar organisasi; hingga
pemikiran Van Gennep yang membahas kenyataan fundamental dari fungsi
totemisme yang berkaitan dengan kelompok.
Pada bab kedua belas dalam buku ini, Baal memaparkan mengenai
pemikiran beberapa tokoh, antara lain Freud, Jung, dan Cassirer. Pada bagian
awal, Baal membahas mengenai Sigmund Freud, dimana tokoh ini adalah yang
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970)Jilid 2 5
mengawali studi yang sistematis tentang pernyataan kehidupan jiwa yang tidak
disadari atau tidak jelas disadari. Penemuan besarnya adalah bahwa impian
manusia tidak hanya merupakan sisa-sisa isi kesadarannya, yang pada siang
harinya dilakukan secara intensif (apa pun persoalannya), tetapi sering juga
pernyataan dari angan-angan dan pikiran-pikiran yang pada siang harinya telah
dicoba untuk dilupakan.
Selain itu, Baal juga turut menyertakan pemikiran-pemikiran Freud yang
lain, terangkum dalam empat tulisan Freud yang terbit pada tahun 1912 dan
1913. Empat tulisan tersebut antara lain :
1. Tulisan yang membahas mengenai tabu insest. Kebencian emosional
yang kuat terhadap insest menunjukkan, bahwa yang menjadi
persoalan bukan kebencian yang besar terhadap insest tetapi
terhadap nafsu yang terdesak.
2. Tulisan mengenai tabu dan perasaan ambivalensi. Disitu Freud
menggambarkan tabu sebagai perbuatan terlarang yang cenderung
kuat untuk melaksanakannya, tetapi dibawah sadar.
3. Tulisan berjudul Animisme, Magie en Almacht der Gedachten.
Pemikiran Freud yang menarik dalam tulisan ini adalah bahwa orang-
orang berpikir secara magis. Mereka memaksakan kejadian.
Berkuasanya pemikiran merupakan gejalanya. Berpikir magis adalah
bentuk pemikiran umat manusia yang paling tua. Ia lebih tua dari
animisme, yang tumbul kalau kontradiksi magi itu muncul ke luar dan
orang mulai memproyeksikan sebagian dari aspirasi dan
kesewenangan mereka pada orang mati.
4. Tulisan berjudul De infantiele terugkeer van het totemisme, yang
mana merupakan penutup dari teori-teori Freud. Dalam tulisannya,
Freud berpendapat bahwa asal mula dari tabu totemisme bersumber
pada kebiasaan gerombolan purba, yang mengusir keluar anak lelaki
mereka, segera setelah anak itu dewasa.
Meski demikian, banyak pula para ahli yang keberatan dengan pemikiran-
pemikiran Freud. Salah satunya yang paling banyak dibahas, datang dari B.
Malinowski. Dari paparan panjang keberatan Malinowski atas pandangan Freud,
Baal merangkumnya sebagai berikut :
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970)Jilid 2 6
1. Keterangan tentang religi, eksogami, dan moralitas dari situasi zaman
purba tidak terbukti dan bahkan tidak mungkin benar.
2. Penempatan situasi (terkait pengusiran anak laki-laki) dikemukakan
dengan tepat oleh Malinowski dalam tulisannya Sex and Repression,
hal itu membuat seluruh perilaku para anak lelaki sebelum dan
sesudah patrophagie menjadi tidak dapat dimengerti.
3. Secara biologis tidak diperbolehkan untuk menyatakan Oedipus-
complex yang ditimbulkan oleh patrophagie pada para pelaku sebagai
penyebab dari suatu perubahan dalam pola keturunan, sehingga
membuat Oedipus-complex ini menjadi turun-temurun.
4. Oedipus-complex yang bersifat turun-temurun ini menimbulkan
permasalahan baru yang semakin sulit dipecahkan. Karena sekarang
harus dijelaskan mengapa terdapat begitu banyak orang, yang tidak
mengalami gangguan Oedipus-complex.
5. Teori itu adalah teori pria murni, di mana wanita tidak ambil bagian
dalam perubahan yang diperkirakan terjadi dalam pola keturunan.
6. Penegasan terhadap totemisme dalam sejarah umat manusia adalah
pernyataan yang tidak ada dasarnya.
7. Ada keterangan lain yang lebih sederhana untuk menerangkan
kompleks ayah dan eksogami, tanpa memerlukan pelengkap genetika
yang bersifat hipotesa dan dapat disanggah. (Baal, 1988:40)
Selain Freud, Baal juga memasukkan pemikiran-pemikiran C.G. Jung
dalam bab ini. Meski sejaman dengan Freud, Jung lebih terkendali dalam
gayanya dan kadang lebih luas – meski tidak menutup kemungkinan keduanya
memiliki sejumlah persamaan. Pemikiran Jung yang menarik adalah bahwa
dalam jiwa manusia dapat dibedakan lagi lapisan penting : yang disadari, yang
tidak disadari secara pribadi (dapat pula disebut bawah sadar), dan yang ditidak
disadari secara kolektif.
Selanjutnya, Baal juga membahas mengenai pemikiran Ernst Cassirer
tentang lambang. Uraian Baal tentang Cassirer berangkat dari latar belakang
pemikiran mengenai persoalan hubungan antara tanggapan pancaindera dan
pengetahuan. Pernyataan tersohor dari Kant, bahwa pengetahuan tanpa
persepsi oleh pancaindera adalah kosong, persepsi oleh pancaindera tanpa
pengetahuan adalah buta, menandai arah awal dari penyelidikan Cassirer, yang
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970)Jilid 2 7
merupakan suatu penyelidikan ke arah cara dipersatukannya kedua hal itu
menjadi pengetahuan. Jawabannya Cassirer dapatkan dalam lambang, yang
merupakan tindakan yang benar-benar mencipta dari semua pengetahuan,
karena lambang-lambang bukanlah penggambaran yang diberikan secara pasif,
tetapi dilihat oleh kecerdasan intelek.
Uraian tentang Cassirer diakhiri dengan pemikirannya belakangan,
dimana Cassirer membuat sketsa tentang mitos sebagai pernyataan dari
kesatuan hidup, di mana kenyataan dialami sebagai kenyataan yang hidup, yang
baik atau yang jahat, yang menolong atau yang mengancam, di mana manusia
adalah satu; suatu tema yang hanya digambarkan secara skematis dan yang
untuk saat sekarang kurang penting dibandingkan dengan kenyataan, bahwa
manusia menyatakan dirinya dalam lambang-lambang: dalam perkataan, dalam
mitos, dan juga dalam seni, di mana Cassirer menemukan pernyataan yang
murni dari dorongan hatinya sendiri untuk bebas menciptakan. (Baal, 1988:46)
Untuk menutup bab ini, Baal menulis tentang lambang sebagai bentuk
pernyataan, yang berangkat dari pemikiran Cassirer. Dimana Cassirer
meletakkan tiitk tolak baru : manusia menyatakan diri dalam lambang-lambang.
Cara menyatakan diri ini mempunyai arti yang fundamental. Dalam hal ini
manusia tidak berdiri sendiri. Pendekatan semacam itu menjadi penting karena
menjadikan mitos yang dipandang sebagai ungkapan kebudayaan menjadi
dimungkinkan. Artinya sebagai ekspresi yang dikenyam atau dialami, yang cocok
dalam kerangka kebudayaan yang bersangkutan dan karenanya ekspresi yang
disebabkan oleh kebudayaan itu harus dapat ditetapkan dalam rangka dari
bahan-bahan kebudayaan itu sendiri.
Selanjutnya di bab ketiga belas, Baal membahas mengenai tokoh
Malinowski dan pemikirannya yang paling terkenal, yakni fungsionalisme.
Beberapa sumbangan Malinowski banyak dipaparkan disini, seperti pekerjaan
lapangannya yang berkualitas dan belum pernah dikenal sebelumnya. Serta
bakatnya dalam mengatur bahan di sejumlah tema sentral–yang belakangan
membuat sebuah buku menjadi jauh lebih baik untuk dibaca, daripada hanya
membuat ikhtisar pengamatan yang sistematis. Dengan demikian, Malinowski
disebut bapak dari facet-etnografis, penggambaran etnografis yang diabadikan
pada segi (aspek) tertentu dari kebudayaan.
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970)Jilid 2 8
Meski menuai sejumlah apresiasi atas terobosan-terobosannya, namun
Malinowski tidak lantas lepas dari kritik. Beberapa diantaranya, Malinowski tidak
begitu metodis dalam membahas mengenai fungsi. Kadang-kadang hanya
menunjukkan kepada beberapa hubungan yang bermanfaat dengan
mengabaikan yang lain. Pengertian Malinowski tersebut bermula dari Durkheim
yang menyatakan: fungsi sesuatu kenyataan sosial harus dicari dalam
hubungannya dengan tujuan sosialnya.
Pada akhir tulisan, Baal juga memasukkan pemikiran Merton yang
menyusun suatu paradigma (pola) analisa fungsional, suatu pola yang harus
membuat orang yang melakukan penyelidikan mampu bertanya kepada diri
sendiri, apakah sebenarnya yang menjadi persoalan dalam pengertian fungsi:
mengenai fungsi (artinya berfungsi dalam suatu keseluruhan yang lebih besar,
memberikan sumbangan sesuatu atau menghalangi sesuatu) ataukah mengenai
motif dari individu tersebut. (Baal, 1988:54)
Selanjutnya, Baal juga memaparkan pemikiran Malinowski tentang
beberapa hal, antara lain :
1. Tentang keluarga dan hubungan keluarga
Beberapa hal yang dibahas antara lain penyelidikannya mengenai
suami-istri. Seperti bagaimana cara orang mendapatkan istri,
pembahasan segi-segi seksual dalam perkawinan, hingga pemikiran
Malinowski terhadap larangan insest.
2. Tentang hukum dan undang-undang
Dalam pemikirannya, Malinowski mengadakan pembedaan antara
undang-undang dengan adat. Turut dibahas disini, mengenai undang-
undang, hukum, atau sanksi-sanksi–tidak hanya dari Malinowski–
melainkan juga dari ahli lain seperti Hoebel dan Pospisil.
3. Tentang religi
Disini menurut Malinowski, magi dan religi, keduanya termasuk dalam
bidang sacral, suatu kategori yang tidak diberi definisi lebih lanjut,
tetapi menurut pemikiran Malinowski mungkin paling baik dapat
diterangkan dengan istilah supernatural. Magi harus dibedakan dari
religi, karena magi diarahkan pada tujuan-tujuan yang kongkret dan
jelas uraiannya. Sedangkan religi–dalam hal ini uraiannya menjadi
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970)Jilid 2 9
tidak memuaskan–mengejar tujuan-tujuan yang samar-samar–
sehingga religi bersifat lebih abstrak.
Pada bab selanjutnya, hal-hal yang menjadi topik bahasan Baal antara
lain: (1) seputar aliran Leiden; (2) tokoh Radcliffe-Brown beserta pemikirannya;
(3) uraian mengenai sistem kekerabatan Australia; (4) sistem Kariera dan sistem
empat seksi; dan (5) sistem Aranda dan sistem delapan (sub) sesi.
Terkait dengan tulisan yang ada dalam bab ini, dijelaskan oleh Baal
dalam tulisannya (Baal, 1988:76), ―Strukturalisme yang sejak 1949 giat
menyelidiki gejala-gejala ini berdasarkan dugaan bahwa gejala-gejala dalam
keanekaragamannya adalah tidak lain pernyataan dari struktur fundamental yang
sama, yaitu struktur jiwa manusia. Hal itu tidak begitu saja timbul. Para
pendahulu dari strukturalisme adalah orang-orang yang menganggap dirinya
belum mampu merumuskan formulasi problema secara lebih tepat (suatu
perumusan yang juga telah digeluti oleh Levi-Strauss selama bertahun-tahun),
namun yang memiliki pengertian, bahwa soalnya adalah soal gejala-gejala yang
perlu diperiksa lebih lanjut. Pemikiran ini menjadi dasar dari karya Mauss tentang
hadiah yang telah dibahas tetapi juga menjadi dasar studi aliran Leiden di bawah
pimpinan De Josselin de Jong, sedangkan dalam hubungan ini juga karya
Radcliffe-Brown patut mendapat perhatian besar. Radcliffe-Brown—lah yang
telah memperkenalkan perkataan struktur dalam antropologi.‖
Yang menarik dalam uraian tentang Radcliffe-Brown adalah perbedaan
pengertian struktur antara Radcliffe-Brown dengan Levi-Strauss. Perbedaan
tersebut antara lain :
1. Radcliffe-Brown mencari struktur itu dalam kenyataan yang dapat
diamati; sedang Levi-Strauss mencari dibalik kenyataan yang diamati
itu, yaitu inti keteraturan hakiki yang memberikan bentuk kepada
kenyataan yang terlihat dalam (susunan) konfigurasi gejala-gejala
tertentu sebagai keteraturan yang khas.
2. Levi-Strauss melihat struktur sebagai sesuatu yang menerangkan
mengapa konfigurasi menjadi demikian, sedangkan Radcliffe-Brown
melihat struktur adalah apa yang terlihat dari luar pada keterkaitan
dalam konfigurasi tersebut.
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970)Jilid 2 10
Seperti yang disebutkan sebelumnya, dalam bab ini, Baal juga
menyertakan tulisannya tentang sistem kekerabatan Australia, sistem Kariera,
dan sistem empat seksi; dan sistem Aranda dan sistem delapan (sub) sesi–yang
dijelaskan secara mendalam dengan gambar sistem masing-masing.
Pada bab kelima, Baal membahas mengenai pemikiran strukturalisme
dari Claude Levi-Strauss. Pada bagian-bagian awal tulisannya, Baal lebih banyak
mengupas mengenai alur pikir dari Levi-Strauss yang bagi kebanyakan orang
memang sulit untuk diikuti. Kupasan Baal akan Levi-Strauss mencakup latar
belakang pendidikan, berbagai hal yang memberikan pengaruh, termasuk
pemikiran-pemikiran para tokoh seperti Marxis dan de Saussure.
Pembahasan Baal berlanjut dengan pemikiran Levi-Strauss terkait
kekerabatan dan tentang struktur pemikiran manusia. Dalam pandangan Levi-
Strauss, pemikiran itu tidak bisa menjurus dengan semau-maunya ke semua
arah. Ia terikat pada struktur atau model yang melalui keteraturan tertentu
muncul dalam perilaku manusia. Reprocitas dan pengakuan akan ketentuan
sebagai ketentuan adalah contoh dari struktur seperti itu.
Selanjutnya, tinjauan Levi-Strauss mengenai totemisme juga ikut dikupas.
Dimana dalam totemisme–menurut Levi-Strauss–persoalannya ialah
sistematisasi relasi antara alam dan manusia, suatu relasi yang ia rumuskan
lebih lanjut sebagai suatu relasi yang disistematisasikan antara alam dan
kebudayaan (manusia). Setelah uraian yang panjang, Levi-Strauss sampai pada
pendapat bahwa dalam totemisme setiap kali ada kemiripan dari perbedaan
antara satu kategori (jenis) dari alam dan satu kelompok dari kebudayaan
(manusia).
Terakhir, menutup bab tentang Levi-Strauss, Baal memasukkan
pemikirannya terkait dengan mitologi. Dimana Baal menulis bahwa tujuan Levi-
Strauss ialah membuktikan secara meyakinkan, bahwa pemikiran manusia
dikuasai oleh struktur, yakni struktur yang memang memberikan kemungkinan
untuk memilih (seperti halnya dalam bahasa juga leksikon diberikan
kemungkinan untuk memilih), tetapi kemungkinan itu sekaligus dibatasi oleh
ketentuan, yang sama tidak disadari oleh manusia seperti ketentuan bahasa
yang digunakannya.
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970)Jilid 2 11
Pada bab selanjutnya, Baal mengupas mengenai etnologi di Amerika
sesudah 1930. Dalam tulisan awalnya, Baal lebih banyak berbicara tentang
perkembangan antropologi budaya dilihat dari pengaruh dan pemikiran beberapa
tokoh seperti Boas dan Merton. Juga asosiasi yang kuat antropologi budaya di
Amerika dengan sosiologi.
Beberapa hal yang dibahas dalam bab ini antara lain terkait hubungan
kebudayaan dan kepribadian–dimana kebudayaan berubah kalau syarat-syarat
hidup yang berpengaruh terhadap sikap hidup juga berubah. Selain itu, turut
disertakan beberapa tokoh antropolog Amerika beserta pemikirannya, yakni
Ralph Linton, G.P. Murdock dengan Fungsionalisme Statistik, W.H. Goodenough
hingga pemikiran strukturalisme dan ethnoscience Amerika.
Pada bab kedua belas atau sebagai penutup buku ini, Baal memaparkan
tulisannya yang membahas tentang :
1. Religi
Dimana religi bersama dengan studi mengenai kekerabatan termasuk
dalam pokok inti yang lama dari bidang ilmu antropologi.
2. Manusia dan masyarakat dalam antropologi budaya
Pembahasannya terkait pemikiran akan manusia primitive, hingga
‗wujud‘ manusia modern dalam antropologi budaya.
3. Permasalahan subyek manusia.
Mengenai pertanyaan lama yakni tentang kebebasan manusia dan
pembatasan-pembatasan yang dihadapinya.
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970)Jilid 2 12
II. Komentar Kritis
Kelebihan
Hal yang paling penulis rasakan ketika membaca buku Sejarah dan
Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970)Jilid II ini adalah,
bahwa terjemahannya lebih mudah dimengerti dibandingkan buku jilid pertama.
Hal ini terlihat dari penyusunan kalimatnya yang lebih mengalir, juga dalam hal
pemilihan kata.
Dari isi tulisannya, Baal menyediakan informasi yang sangat luas dalam
buku ini. Tidak hanya dari sisi materi pokoknya, melainkan dalam beberapa
bagian, Baal turut menyertakan beberapa catatannya yang memperjelas materi
yang disampaikan. Terkait beberapa tulisannya yang dirasa sulit untuk
dimengerti atau perlu referensi lebih lanjut, Baal menyarankan beberapa judul
buku untuk dibaca. Hal ini sangat membantu sekali bagi pembaca yang ingin
mendalami materi atau teori dalam buku ini untuk studi lanjutan.
Terkait penyampaiannya, Baal seringkali mengawali bahasan dengan hal-
hal yang bersifat umum, kemudian materi pokok, tokoh-tokoh yang berpengaruh,
dan tulisan tambahan yang sekiranya berkaitan dengan materi bahasan pada
bab tersebut. Tak jarang di awal tulisannya, Baal turut menyertakan review
singkat tentang hal-hal apa saja yang akan dibahas dalam bab.
Pemaparan berbagai teori dalam buku ini juga terasa sedapat mungkin
berimbang. Artinya tidak hanya mengupas penjelasan dan apresiasi semata,
melainkan buku ini juga mencantumkan kritikan atas teori atau pemikiran
berbagai tokoh di dalamnya. Adanya hal tersebut, memudahkan pembaca dalam
memahami pemikiran para tokoh, kontradiksi di dalamnya juga membuat
pembaca dapat memilah secara cermat atau berinovasi dengan pemikiran-
pemikiran tersebut bagi studinya.
Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970)Jilid 2 13
Kekurangan
Sebagai sebuah buku jilid kedua, tentu buku ini tidak bisa berdiri sendiri
dan selalu terikat pada buku pertamanya sebagai suatu kesatuan yang utuh dan
berkelanjutan. Hal ini terlihat dari beberapa pernyataan dalam buku ini yang
mengacu pada pembahasan di bab sebelumnya–yang kadang bab tersebut
berada pada buku pertamanya.
Sehingga ada kalanya tanpa buku pertamanya, pembaca akan kesulitan
untuk memahami arah bahasan. Saran saya untuk kedepannya, buku jilid kedua
ini dengan jilid pertamanya dapat disatukan dan dicetak kembali menjadi sebuah
buku yang utuh.
Sama dengan buku pertamanya, buku jilid kedua ini juga masih
mempertahankan ukuran huruf yang relatif kecil – yang masih kurang nyaman
untuk dibaca.
III. Daftar Rujukan
Van Baal, J. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga
1988 Dekade 1970) Jilid II. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia