22
tUGAS INDIVIDU ANROPOLOGI PEMBANGUNAN TEORI-TEORI KEBUDAYAAN OLEH : NURFINA WAHYU 1168040077 ANTROPOLOGI B UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR TAHUN 2012

Antropologi Pembangunan Teori Budaya Sems II

  • Upload
    nurfina

  • View
    101

  • Download
    6

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Antropologi Pembangunan Teori Budaya Sems II

tUGAS INDIVIDU

ANROPOLOGI PEMBANGUNAN

TEORI-TEORI KEBUDAYAAN

OLEH :

NURFINA WAHYU

1168040077

ANTROPOLOGI B

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

TAHUN 2012

Page 2: Antropologi Pembangunan Teori Budaya Sems II

A. TEORI-TEORI KEBUDAYAAN

1. TEORI EVOLUSI KEBUDAYAAN

Pada abad ke sembilan belas, dalam masyarakat Eropa mengemuka sebuah paradigma (cara pandang) yang memandang bahwa gejala-gejala yang timbul dari alam, masyarakat dan kebudayaan yang ada dalam komunitas manusia dapat dilihat dan dipikirkan secara rasional. Cara pandang yang secara tidak langsung mengkritik perilaku masyarakat Eropa Barat yang mengembalikan segala sesuatunya ke kitab suci ini kemudian dikenal dengan teori evolusi kebudayaan. Paradigma ini dipahami sebagai pandangan yang menyatakan bahwa ada kepastian dalam tata tertib perkembangan yang melintasi sejarah kebudayaan dengan kecepatan yang pelan tetapi pasti. Selanjutnya, dimulailah pergumulan dogma-dogma agama yang telah sekian lama mengakar di tengah-tengah masyarakat dengan cara pandang baru yang sepenuhnya berbeda dan asing bagi masyarakat Eropa Barat saat itu.

Paradigma evolusi kebudayaan yang ingin mengganti model dogmatis agama yang telah mendarahdaging di Eropa Barat dalam memandang kebudayaan manusia ini dikemukakan pertama kali oleh Edward Burnett Tylor (1832-1917), seorang ahli antropologi yang berasal dari Inggris. Persinggungan Tylor dengan hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan dimulai ketika ia menempuh pendidikan kesusastraan dan peradaban Yunani dan Romawi klasik. Ketertarikan seputar kebudayaan ini membuatnya sangat menyukai ilmu arkeologi yang memang mengambil objek kajian terhadap benda-benda peninggalan masa lampau. Ketertarikan ini terus tumbuh subur seiring didapatnya kesempatan untuk melakukan suatu perjalanan menyusuri Afrika dan Asia hingga membuatnya tertarik untuk membaca naskah-naskah etnografi yang mengisahkan tentang masyarakat yang ada di kedua benua tersebut. Setelah mendapat pengakuan sebagai seorang pakar arkeologi, Tylor diajak serta mengikuti ekspedisi Inggris untuk mengungkap benda-benda arkeologis peninggalan beragam suku yang ada di Meksiko.

Kepiawaian Tylor dalam kajian kebudayaan membuatnya diangkat sebagai guru besar di Harvard University. Menurut Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Ada banyak tulisan yang berhasil ia sumbangkan bagi kajian kebudayaan, utamanya untuk semakin menguatkan dan menyebarkan pandangannya mengenai teori evolusi kebudayaan. Salah satu bukunya berjudul Researches into the Early History of Mankind, semakin menguatkan keteguhannya mengenai teori evolusi kebudayaan yang memang telah sekian lama ia perjuangkan. Dalam buku yang ditulis pada tahun 1871 ini, Tylor mengungkapkan tujuan sesungguhnya dari kajian kebudayaan yang dilakukan oleh seorang ahli antropologi. Menurutnya, kajian antropologi adalah untuk mempelajari aneka ragam kebudayaan sebanyak-banyaknya, kemudian dicarikan unsur-unsur persamaannya, selanjutnya dilakukan proses klasifikasi. Dengan cara dan tahapan seperti ini, menurut Tylor, maka akan tampak kemudian adanya evolusi kebudayaan manusia yang terdiri dari beragam tingkatan perkembangan yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.

Apa yang dipaparkan oleh Tylor dalam buku di atas, sepertinya diimplementasikannnya dalam bukunya yang lain berjudul Primitive Culture: Researches

Page 3: Antropologi Pembangunan Teori Budaya Sems II

into the Development og Mythology, Phylosophy, Religion, Language Art and Custom. Dalam buku yang ditulis tahun 1874 ini, Tylor memaparkan bahwa kebudayaan manusia dalam sejarah evolusinya berjalan melalui tiga tahap perkembangan yang masing-masing tahapan dibedakan berdasarkan unsur ekonomi dan teknologi yang mereka gunakan. Ketiga tahapan perkembangan kebudayaan manusia tersebut adalah savagery, barbarian dan civilization.

Pada tahap pertama (savagery), manusia hanya bertahan hidup dengan cara berburu dan meramu dengan menggunakan peralatan yang mereka ciptakan dari benda-benda yang ada di sekitar mereka, seperti kayu, tulang dan batu. Berkembang kemudian menuju tahap kedua (barbarian) yang ditandai dengan mulainya manusia mengenal cocok tanam. Karena mulai memahami cara menanam, maka mereka berpikir untuk menjaga agar tanaman tersebut dapat dipelihara dan dimanfaatkan hasil sehingga mereka mulai hidup menetap di sekitar tanaman tersebut. Tahapan kedua ini juga ditandai dengan perkembangan peralatan mereka dari yang sebelumnya hanya terbuat dari kayu, batu dan tulang menjadi terbuat dari logam. Berkembang kemudian menjadi tahap ketiga (civilization) atau peradaban yang ditandai dengan pengenalan manusia dengan tulisan, kehidupan perkotaan dan kemampuan mereka membangun bangunan-bangunan besar yang sebelumnya belum pernah ada. Untuk dapat mencapai semua itu, tentunya manusia memerlukan ilmu pengetahuan dan peralatan-peralatan yang canggih serta yang tidak boleh terlupakan adalah memiliki kompleksitas sistem organisasi sosial.

Setelah cukup lama berinteraksi dengan paparan evolusi kebudayaan Tylor, maka dunia kajian kebudayaan kemudian berjumpa dengan paradigma yang sama tetapi dikemukakan oleh orang yang berbeda. Paparan-paparan teori evolusi kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Tylor sebelumnya kemudian dilanjutkan oleh Lewis Henry Morgan, seorang antropolog Amerika. Pada awalnya Morgan dikenal sebagai seorang ahli hukum, akan tetapi karena cukup lama berinteraksi dan tinggal dengan suku-suku Indian Iroquois di New York, ia kemudian banyak mengenal kebudayaan suku asli benua Amerika ini. Hasil kajian etnografinya mengenai suku Indian tempat ia lama tinggal kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berjudul League of the Ho-de-no-Sau-nie or Iroquois. Dalam buku ini, Morgan memaparkan susunan kemasyarakatan dan kekerabatan yang ada dalam masyarakat suku Indian ini yang dilakukan berdasarkan pada gejala kesejajaran yang seringkali ada dalam sistem istilah kekerabatan dan sistem kekerabatan.

Sebagai seorang yang melakukan kajian kebudayaan sekaligus juga hidup dalam era perkembangan pesat teori evolusi kebudayaan, Morgan mengambil peranannya dalam sustainibitas pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Tylor. Bahkan, lebih dari itu ia juga sangat dikenal sebagai  orang mengembangkan apa yang sudah dirintis oleh Tylor sebelumnya seiring dengan banyaknya kajiannya terhadap kebudayaan Indian. Sebagai aplikasi dari dukungan dan upaya pengembangannya terhadap teori evolusi kebudayaan, Morgan kemudian menghasilkan sebuah buku berjudul Ancient Society yang menggambarkan proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia.

Menurut Morgan, sebagaimana yang dikemukakannya dalam buku yang ditulis tahun 1877 tersebut di atas, semua bangsa di dunia telah atau sedang menyelesaikan proses evolusinya yang melalui delapan tingkatan, yaitu:

Page 4: Antropologi Pembangunan Teori Budaya Sems II

1. Era liar tua atau zaman paling awal sampai manusia menemukan api,2. Era liar madya atau sejak menemukan api sampai manusia menemukan senjata,3. Era liar muda atau sejak menemukan senjata sampai pandai membuat tembikar dan

masih berprofesi sebagai pemburu,4. Era barbar tua atau zaman sampai manusia mulai beternak dan bercocok tanam,5. Era barbar madya atau zaman sampai manusia pandai membuat peralatan dari logam,

era barbar muda atau zaman sampai manusia mengenal tulisan, era peradaban purba, dan era masa kini.

Seiring dengan perjalanan waktu, persinggungan teori evolusi dengan beragam realitas dalam perkembangannya terus mendapatkan tanggapan dari beragam pihak. Setidaknya tanggapan-tanggapan yang mengemuka terhadap pandangan-pandangan kebudayaan teori evolusi dapat dibedakan menjadi dua macam. Pandangan pertama menganggap bahwa pandangan-pandangan yang diajukan teori evolusi melalui dua tokoh utamanya, Tylor dan Morgan, memiliki beragam kelemahan yang harus diperbaiki. Pandangan ini tidak menolak sepenuhnya apa yang dikemukakan dua tokoh utama generasi awal teori evolusi tersebut, tetapi tetap menerima beberapa bagian yang mereka anggap dapat diterima dan mengganti beberapa hal yang mereka anggap keliru serta menggantinya dengan model lain. Sedangkan kelompok kedua adalah menolak sepenuhnya segala pandangan yang diajukan oleh teori evolusi dalam melihat kebudayaan manusia. Kelompok kedua ini di kemudian hari dikenal dengan ‘difusi kebudayaan’ sebagai jawaban atas beragam ketidaksetujuan mereka terhadap pandangan-pandangan kebudayaan evolusi.

Setelah melakukan beragam penelaahan terhadap pandangan-pandangan kebudayaan Tylor dan Morgan dalam memandang kebudayaan manusia, generasi selanjutnya teori evolusi memunculkan dua teori evolusi baru. Pertama, teori evolusi kebudayaan universal yang dikemukakan oleh Leslie White dan teori evolusi kebudayaan multilinier yang diajukan oleh Julian Steward.

Teori pertama disebut demikian karena paparan teori yang dikemukakan White tersebut mencakup seluruh budaya yang ada di dunia dan tidak diperuntukkan untuk budaya tertentu saja. Untuk menjawab beragam keritikannya terhadap paparan-paparan evolusi kebudayaan yang diajukan oleh Tylor dan Morgan sebelumnya, White mengemukakan teori evolusinya sendiri berdasarkan sebuah kriteria yang sama sekali baru dan belum pernah dikemukakan oleh dua pendahulunya tersebut. Kriteria ini baginya merupakan satu hal yang memungkinkan sebuah teori evolusi menjadi bersifat objektif dan tidak seperti model yang dikemukakan oleh Tylor dan Morgan yang menurutnya sangat subjektif. Kriteria yang diajukan oleh White tersebut adalah berupa energi, karena menurutnya pada dasarnya setiap kebudayaan adalah sistem yang melakukan transformasi energi. Dengan menggunakan energi sebagai standar atau tolok ukur dalam melakukan kajian terhadap fase perkembangan suatu kebudayaan manusia, dimana hal ini tidak ada dalam teori Morgan, maka akan dapat diukur sampai sejauh mana tingkat evolusi yang ada dalam sebuah masyarakat dapat ditentukan secara kuantitatif.

Lebih lanjut, untuk lebih mensistematiskan model evolusi kebudayaannya yang baru ini, White mengemukakan sebuah rumusan yang dapat memudahkan dalam melakukan kajian. White menyebutnya sebagai sebuah ‘hukum’ evolusi kebudayaan, yaitu C = E x T. Penjelasannya adalah C  merupakan kebudayaan (culture), E adalah

Page 5: Antropologi Pembangunan Teori Budaya Sems II

energi (energy) sedangkan T adalah teknologi (technology). Sebuah kebudayaan yang ada dalam sebuah komunitas masyarakat manusia adalah dampak atau hasil hasil dari pemakaian atau penggunaan energi dan teknologi yang mereka gunakan dalam kehidupan mereka pada fase-fase perkembangannya. Dengan rumusan yang disebutnya sebagai ‘hukum’ evolusi kebudayaan ini, White sampai pada sebuah kesimpulan bahwa terjadinya sebuah evolusi kebudayaan dalam sebuah komunitas merupakan hasil dari mengemukanya perubahan dalam sistem yang melakukan transformasi energi dengan bantuan teknologi yang ada saat itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori mengenai evolusi kebudayaan ini terdapat beberapa konsep baru yang diketengahkan White, yaitu thermodinamika (sistem yang melakukan transformasi energi), energi dan transformasi.

Teori kedua diartikan Steward sebagai suatu metodologi yang digunakan untuk mengkaji perbedaan dan kesamaan suatu budaya dengan cara memperbandingkan antara tuntunan-tuntunan perkembangan kebudayaan yang sejalan yang biasanya terdapat di tempat-tempat yang terpisah. Seperti White yang menganggap bahwa pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh dua pendahulunya mengenai kebudayaan yang memiliki kelemahan pada ketiadaan standar dalam menentukan setiap fase perkembangan kebudayaan manusia, Steward pun melakukan hal yang sama. Meskipun demikian, titik fokus kritikan Steward terhadap model teori evolusi terdahulu bukan pada standar yang digunakan, tetapi pada data yang digunakan oleh Tylor dan Morgan sehingga keduanya sampai pada kesimpulan yang memunculkan pandangan-pandangannya mengenai evolusi kebudayaan yang telah sekian lama bercokol dalam khazanah ilmu antropologi.

Setelah melalui kajian yang memakan waktu cukup lama, Steward sampai pada suatu kesimpulan bahwa data yang digunakan oleh kedua tokoh yang merupakan generasi awal teori evolusi tersebut tidak berasal dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan secara benar. Untuk membuktikan fokus kritikannya ini, Steward melakukan suatu penelitian terhadap salah satu suku Indian yang mendiami suatu kawasan di Amerika Serikat. Dari penelitiannya ini, Steward mendapatkan sebuah kesimpulan yang berbeda dari paparan dua pendahulunya tersebut sekaligus juga semakin menguatkan kritikannya sebagaimana di atas, dimana ternyata suku Indian tersebut tidak lagi mengalami evolusi sebagaimana yang diungkapkan oleh Morgan di atas.

Terdapat satu faktor, menurut Steward berdasarkan penelitian kebudayaannya, yang membuat suatu suku Indian tidak lagi mengalami evolusi dan dapat pula terjadi pada suku-suku lainnya. Dari kajian yang dilakukannya, Steward menyimpulkan bahwa tidak lagi berjalannya perkembangan kebudayaan dalam sebuah komunitas, dalam konteks penelitiannya adalah suku Indian, disebabkan karena suku tersebut telah mengalami penyesuaian atau beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka tinggal dan menetap dalam keseharian mereka.  Berdasarkan kesimpulan ini, maka Steward mengajukan sebuah teori baru dalam khazanah kajian budaya, khususnya dalam rangkaian teori evolusi budaya, yaitu teori evolusi multilinier.

Menurut teori multilinier, terjadinya evolusi kebudayaan berhubungan erat dengan kondisi lingkungan, dimana setiap kebudayaan memiliki culture core, berupa teknologi dan organisasi kerja. Dengan demikian, terjadinya evolusi dalam sebuah kebudayaan ditentukan oleh adanya interaksi yang terjalin antara kebudayaan tersebut dengan lingkungan yang ada di dalamnya. Seperti halnya teori yang dikemukakan oleh

Page 6: Antropologi Pembangunan Teori Budaya Sems II

White di atas, teori multilinier juga memunculkan konsep-konsep baru yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu lingkungan, culture core, adaptasi dan organisasi kerja.

Tokoh lainnya yang tidak kalah juga perlu mendapat perhatian dalam perbincangan mengenai teori evolusi, khususnya setelah dua tokoh utama pada generasi awal, adalah V. Gordon Childe yang merupakan arkeologis Inggris. Berbeda dengan White dan Steward yang begitu kokoh dengan pendirian evolusi mereka, para pengamat menilai Childe seringkali goyah dengan pendirian evolusinya. Untuk memaparkan pandangannya mengenai evolusi budaya, Childe menggunakan rekaman arkeologis untuk menunjukkan bahwa apa yang dikemukakan dalam teori evolusi menunjukkan kenyataan yang sebenarnya dalam komunitas manusia. Dari benda-benda yang dihasilkan dari penggalian arkeologis yang dilakukannya selama beberapa waktu menunjukkan sesuatu yang semakin menguatkan pandangan evolusi, bahwa kemajuan teknis yang dramatis dalam sejarah manusia berupa budidaya tumbuh-tumbuhan dan hewan, irigasi, penemuan logam dan lain sebagainya terbukti telah membawa perubahan revolusioner dalam keseluruhan jalinan kehidupan kultural yang dilakoni oleh manusia.

Benda-benda arkeologis yang ditemukan Childe makin menguatkan teori evolusi bahwa keseluruhan pola perubahan yang terjadi dalam setiap fase perkembangan kebudayaan manusia menunjukkan perubahan yang bersifat evolutif dan progresif. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perubahan atau perkembangan dari satu fase ke fase selanjutnya, seperti dari pemburu-peramu yang berpindah-pindah (nomadik) yang berada pada masa Paleolitik menjadi seorang manusia yang bercocok tanam (holtikulturalis) yang tidak lagi nomadik atau sudah menetap di satu tempat sebagai komunitas kempal dalam masa Neolitik.

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa pada akhir abad ke sembilan belas masehi, para ahli antropologi yang berkecimpung dalam kajian kebudayaan manusia telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.

2. TEORI DIFUSI KEBUDAYAANTeori difusi kebudayaan dimaknai sebagai persebaran kebudayaan yang

disebabkan adanya migrasi manusia. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan menularkan budaya tertentu. Hal ini akan semakian tampak dan jelas kalau perpindahan manusia itu secara kelompok dan atau besar-besaran, di kemudian hari akan menimbulkan difusi budaya yang luar biasa. Setiap ada persebaran kebudayaan, di situlah terjadi penggabungan dua kebudayaan atau lebih. Akibat pengaruh kemajuan teknologi-komunikasi, juga akan mempengaruhi terjadinya difusi budaya. Keadaan ini memungkinkan kebudayaan semakin kompleks dan bersifat multikultural. Dengan adanya penelitian difusi, maka akan terungkap segala bentuk kontak dan persebaran budaya sampai ke wilayah yang kecil-kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kontribusi pengkajian difusi terhadap kebudayaan manusia bukan pada aspek historis budaya tersebut, melainkan pada letak geografi budaya dalam kewilayahan dunia.

Seperti telah disebutkan pada paparan mengenai lanjutan teori evolusi sepeninggal Tylor dan Morgan bahwa teori evolusi mendapat dua jenis kritikan yang salah satunya menentang keras pandangan teori tersebut. Ide awal adanya teori difusi kebudayaan ini dilontarkan pertama kali oleh G. Elliot Smith (1871-1937) dan WJ. Perry

Page 7: Antropologi Pembangunan Teori Budaya Sems II

(1887-1949), dua orang ahli antropologi asal Inggris. Setelah membaca dan mempelajari banyak catatan sejarah serta benda-benda arkeologis mengenai kebudayaan-kebudayaan besar yang pernah ada di muka bumi, kedua tokoh ini sampai pada suatu tekad untuk mengajukan sebuah teori yang mereka namakan Heliolithic Theory. Menurut keduanya, berdasarkan teori yang mereka ajukan ini, peradaban-peradaban besar yang pernah ada di masa lampau merupakan hasil persebaran yang berasal dari Mesir. Hal ini karena berdasarkan kajian keduanya, pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang sangat besar di masa lampau yang berpusat di Mesir. Persebaran dari titik utama di Mesir ini kemudian bergerak ke arah timur yang meliputi daerah-daerah terjauh seperti India, Indonesia dan Polinesia hingga mencapai Amerika. Orang-orang Mesir yang disebut dengan ‘putra-putra dewa matahari’ ini melakukan perpindahan dengan cara menyebar ke berbagai tempat tersebut dalam usaha mereka untuk mencari logam mulia dan batu mulia seperti emas, perak dan permata.

Sebagai pendekatan yang datang setelah teori evolusi dikemukakan oleh para penganjurnya, pada awalnya teori difusi tidak dipertentangkan dengan teori yang munculnya sebelumnya tersebut. Hal ini karena tokoh-tokoh teori evolusi, Tylor dan Morgan, pada dasarnya tidak menafikan adanya kenyataan bahwa kebudayaan manusia tersebut dapat menyebar dan dapat menyebabkan beragam perubahan akibat penyebaran tersebut. Akan tetapi, keberadaan teori difusi kebudayaan sebagai penentangan terhadap teori evolusi yang muncul sebelumnya baru mengemuka dan mencuat ke permukaan setelah kedatangan Franz Boas bersama para muridnya. Setelah masuknya tokoh antropolog asal Amerika ini barulah terjadi perselisihan dan mencuatnya beragam kritikan yang dialamatkan oleh para pengusung teori difusi terhadap teori evolusi.

Franz Boas pada dasarnya adalah seorang ahli geografi yang  hidup antara tahun 1858-1942 dan berasal dari Jerman. Tokoh yang dianggap pendekar ilmu antropologi Amerika ini banyak melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah pedalaman Amerika dan mengumpulkan bahan-bahan etnografi yang digunakannya untuk menyusun beragam karangannya mengenai kebudayaan. Untuk menguatkan pandangan-pandangannya mengenai kebudayaan, Boas menyatakan bahwa penelitian difusi kebudayaan harus diarahkan hanya pada daerah-daerah tertentu saja dan apa yang mengemuka dalam komunitas kebudayaan tertentu tersebut harus diperhatikan secara seksama dan seteliti mungkin. Model Boas ini kemudian dikenal dengan nama ‘partikularisme historis’ dimana di dalamnya telah melahirkan konsep-konsep baru mengenai kajian kebudayaan, seperti kulturkreis atau daerah atau lingkungan dan kulturschichten atau lapisan kebudayaan. Dalam kajian kebudayaan ala difusi Boas ini, unsur-unsur persamaan yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan sangat diperhatikan secara cermat untuk kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kategori yang disebutkan dengan dua istilah yang dikemukakan di atas. Dengan cara seperti ini maka akan diketahui unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam beragam kebudayaan dunia.

Para penerus gagasan difusi kebudayaan yang dikemukakan oleh Boas kemudian dilanjutkan oleh para muridnya yang banyak berada di Amerika. Salah satu muridnya yang terkenal dan terus menyebarkan gagasan Boas adalah Clark Wissler (1870-1947) yang berpendidikan formal sebagai seorang ahli psikologi dan bekerja di Museum of Natural History. Sepeninggal Boas, Wissler mengajukan suatu konsep baru sebagai lanjutan atau pengembangan dari pemikiran gurunya mengenai difusi kebudayaan. Konsep tersebut adalah culture area yang merupakan pembagian dari kebudayaan-

Page 8: Antropologi Pembangunan Teori Budaya Sems II

kebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah yang merupakan kesatuan mengenai corak kebudayaan-kebudayaan di dalamnya. Hal ini dilakukannya karena Wissler ingin mengklasifikasikan beragam peninggalan budaya dari aneka ragam suku yang ada di pedalaman Amerika hasil dari perjalanan antropologis yang dilakukannya. Dengan menerapkan konsepnya yang baru tersebut, maka beragam peninggalan antropologis dari suku-suku Indian tersebut dapat dikelompokkan dalam tempat-tempatnya yang sesuai. Dari implementasi konsep ini terhadap beragam peninggalan budaya tersebut, Wissler berhasil menggolongkan puluhan kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam satu golongan berdasarkan pada persamaan sejumlah ciri yang sangat mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut.

Penerus selenjutnya dari gagasan difusi kebudayaan Boas adalah AL Kroeber (1876-1960) yang merupakan doktor hasil bimbingan tokoh penentang utama teori evolusi ini. Seperti halnya Boas, Kroeber juga sangat mementingkan penelitian lapangan secara komprehensif yang berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Apa yang ia dapatkan selama dalam bimbingan Boas, Kroeber menerapkannya pula kepada para muridnya dengan mewajibkan mereka untuk melakukan penelitian lapangan paling tidak selama setahun. Dalam melakukan penelitiannya, para muridnya diharuskan mengetahui dan memahami apa yang ada dalam masyarakat tempat mereka melakukan penelitian, seperti mampu menggunakan bahasa yang masyarakat tersebut gunakan dan mengumpulkan beragam bahan yang berhubungan dengan masyarakat tersebut.

3. TEORI HISTORIAL PARTICULARISEN

Partikularisme historis (diciptakan oleh Marvin Harris di 1968)  secara luas dianggap pertama Amerika antropologi aliran pemikiran.

Didirikan oleh Franz Boas , partikularisme historis menolak model evolusi kebudayaan yang telah mendominasi antropologi sampai Boas. Ini berpendapat bahwa setiap masyarakat adalah representasi kolektif dari masa lalu yang unik historisnya. Boas menolak evolusionisme paralel, gagasan bahwa semua masyarakat berada di jalan yang sama dan telah mencapai tingkat tertentu perkembangan mereka dengan cara yang sama semua masyarakat lainnya memiliki. Sebaliknya, partikularisme historis menunjukkan bahwa masyarakat bisa mencapai tingkat yang sama pengembangan budayamelalui jalan yang berbedaBoas menyatakan bahwa difusi, perdagangan, lingkungan yang sesuai, dan kecelakaan sejarah bisa membuat ciri budaya yang sama.  Tiga sifat, seperti yang disarankan oleh Boas, digunakan untuk menjelaskan adat budaya: kondisi lingkungan, faktor psikologis, dan koneksi sejarah, sejarah menjadi yang paling penting (maka nama sekolah). 

Kritik terhadap partikularisme sejarah berpendapat bahwa adalah antitheoretical karena tidak berusaha untuk membuat teori universal, berlaku untuk semua budaya di dunia. Boas percaya bahwa teori-teori akan muncul secara spontan sekali cukup data dikumpulkan. Aliran pemikiran antropologi adalah orang pertama yang secara unik Amerika dan Boas (sekolahnya pemikiran termasuk) adalah, tentu saja, yang paling berpengaruh antropologi pemikir dalam sejarah Amerika .

Page 9: Antropologi Pembangunan Teori Budaya Sems II

B. TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL

Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuahstruktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai "organ" yang bekerja demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar. Dalam arti paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran

Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut denganrequisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah

Visi substantif mengenai tindakan sosial dan Strateginya dalam menganalisis struktur sosial.

Page 10: Antropologi Pembangunan Teori Budaya Sems II

Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.

Hingga pertengahan abad, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh tokoh – tokoh yang telah dibahas diatas. Sebagai ahli teori yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang ia gulirkan. Parson berhasil mempertahankan fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah abad sejak ia mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melalui “analytical realism”, maksudnya adalah teori sosiologi harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen di dallamnya yang secara analitis dapat dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh karenanya, teori harus melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya. Dengan cara ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat erat pada hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak pada penekanan tentang bagaimana konsep abstrak ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di dapat adalah organisasi konsep dalam bentuk sistem analisis yang mencakup persoalan dunia tanpa terganggu oleh detail empiris.

Sistem tindakan diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem tindakan hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini. Dalam karya berikutnya , The Sociasl System, Parson melihat aktor sebagai orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa macam motivasi, antara lain kognitif, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem sosoial ini, antara lain nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri menyebutnya sebagai modes of orientation. Unit tindakan olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum sebagai konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.

Karya Parson dengan alat konseptual seperti empat sistem tindakan mengarah pada tuduhan tentang teori strukturalnya yang tidak dapat menjelaskan perubahan sosial. Pada tahun 1960, studi tentang evolusi sosial menjadi jawaban atas kebuntuan Parson akan perubahan sosial dalam bangunan teori strukturalnya. Akhir dari analisis ini adalah visi metafisis yang besar oleh dunia yang telah menimpa eksistensi manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha untuk mengkategorisasikan dunia kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis ini pada akhirnya lebih filosofis daripada sosiologis, yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa pada awalnya Merton mengkritik beberapa aspek ekstrem dan keteguhan dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sebagai pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini berbeda dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang besar dan mencakup seluruhnya sedangkan parson lebih terbatas dan menengah.

Page 11: Antropologi Pembangunan Teori Budaya Sems II

Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang dilihatnya sebagai tiga postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut antara lain:

Kesatuan fungsi masyarakat , seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standard bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat, hal ini berarti sistem sosial yang ada pasti menunjukan tingginya level integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlaku pada masyarakat kecil tetapi generalisasi pada masyarakat yang lebih besar.

Fungsionalisme universal , seluruh bentuk dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh struktur , adat istiadat, gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur sosial dengan adat istiadat yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang membuat individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi bertentangan.

Indispensability, aspek standard masyarakat tidak hany amemiliki fungsi positif namun juga merespresentasikan bagian bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini berarti fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Dalam hal ini pertentangn Merton pun sama dengan parson bahwaada berbagai alternative structural dan fungsional yang ada di dalam masyarakat yang tidak dapat dihindari.

Argumentasi Merton dijelaskan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap bahwa seharusnya postulat yang ada didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kelompok, masyarakat dan kebudayaan, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan berlang, merespresentasikan unsure standard.

Awalnya aliran fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi dan kelompok. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range theory. Merton mengemukakan bahwa para ahli sosiologi harus lebih maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-teori besar. Teori taraf menengah itu didefinisikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak di antara hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang semakin besar selama penelitian dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup semuanya mengembangkan uato teori terpadu yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati dalam perilaku social. Teori taraf menengah pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi untuk membimbing penelitian empiris. Dia merupakan jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan untuk mempertanggungjawabkan apa yang diamati, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi merupakan kerangka proposisi yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa diperoleh.

The middle range theory adalah teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan

Page 12: Antropologi Pembangunan Teori Budaya Sems II

upaya sistematis yang inklusif untuk mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki berbagai pemahaman bahwa secara prinsip digunakan untuk panduan temuan-temuan empiris, merupakan lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku social, organisasi, dan perubahan untuk mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan, meliputi abstraksi, tetapi ia cukup jelas dengan data yang terobservasi untuk digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana. Dalam hal ini Merton seakan melakukan tarik dan menyambung, artinya apa yang dia kritik terhadap fungsionalis merupakan jalan yang dia tempuh untuk menyambung apa yang dia pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil bangunan teori kemudian di benturkan setelah itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.

Para stuktural fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi dalam amsyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu , para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri mendefinisikan fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuian, karena selalu ada konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta sosial yang ada tidaklah positif tetapi ada negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika struktur dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi dapat mengandung konsekuensi negative pada bagian lain.Hal ini dapat dicontohkan, struktur masyarakat patriarki c memberkan kontribusi positif bagi kaum laki-laki untuk memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung konsekuensi negative bagi kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sebagai konsekuensi tidak relevan bagi sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak dimasa sekarang.Tidaklah dapat ditentukan manakah yang lebih penting fungsi-fungsi positif atau disfungsi. Untuk itu Merton menambahkan gagasan melalui keseimbangan mapan dan level analisis fungsional.

Dalam penjelasan lebih lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten.Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, laten adalah yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang ada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan selalu ada. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang dilakukan Merton dalam fungsi manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori tindakan dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan antara intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang struktur dan dengan beraninya dia mengemukakan dia beraliran fungsionalis, tapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, lebih jauh dari itu konsepnya mengenai fungsi manifest dan laten telah membuka kekauan bahwa fungsi selalu berada dalam daftar menu struktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua struktur sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial dapat dihapuskan. Dengan mengakui bahwa struktur sosia dapat membuka jalan bagi perubahan sosial.

Page 13: Antropologi Pembangunan Teori Budaya Sems II

Analisi Merton tentang hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Budaya didefinisikan sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendalikan perilaku yang sama untuk seluruh anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan memeprnagaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan cara lain. Anomi terjadi jika ketika terdapat disjungsi ketat antara norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan tersebut. Posisi mereka dalam struktur makamirakat beberapa orang tidak mampu bertindakm menurut norma-norma normative . kebudayaan menghendaki adanya beberapa jenis perilaku yang dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian disjungsi antara kebudayan dnegan struktur akan melahirkan konsekuensi disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat. Anomi Merton memang sikap kirits tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini aharus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, menurut dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, dimana ada keteraturan maka harus siap deng ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak pada status di dalamnya tapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung hadir dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan akibat berbagai factor. Apapun alasannya anomi dalam struktur apalagi yang kaku akan cenderung lebih besar. Dari sini, Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang struktur , akan tetapi terus membawa kepribadian sebagai produk organisasi struktur tersebut. Pengaruh lembaga atau struktur terhadap perilaku seseorang adalah merupakan tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga mereka lebih , menunjukkan kelakuan non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.

Dari berbagai penajabaran yang ada Pemahaman Merton membawa pada tantangan untuk mengkonfirmasi segala pemikiran yang telah ada. Hal ini terbukti dengan munculnya fungsionalisme gaya baru yang lebih jauh berbeda dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah bukti kedinamisan ilmu pengetahuan, tak pelak dalam struktural fungsionalisme.

Page 14: Antropologi Pembangunan Teori Budaya Sems II

C. TEORI TABULARASA

Tabula rasa (dari bahasa Latin kertas kosong) merujuk pada pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan, dengan kata lain "kosong", dan seluruh sumberpengetahuan diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat inderanya terhadap dunia di luar dirinya.

Umumnya para pendukung pandangan tabula rasa akan melihat bahwa pengalamanlah yang berpengaruh terhadap kepribadian, perilaku sosial dan emosional, serta kecerdasan.

Gagasan mengenai teori ini banyak dipengaruhi oleh pendapat John Locke di abad 17. Dalam filosofi Locke, tabula rasa adalah teori bahwa pikiran (manusia) ketika lahir berupa "kertas kosong" tanpa aturan untuk memroses data, dan data yang ditambahkan serta aturan untuk memrosesnya dibentuk hanya oleh pengalaman alat inderanya. Pendapat ini merupakan inti dari empirisme Lockean. Anggapan Locke, tabula rasa berarti bahwa pikiran individu "kosong" saat lahir, dan juga ditekankan tentang kebebasan individu untuk mengisi jiwanya sendiri. Setiap individu bebas mendefinisikan isi dari karakternya - namun identitas dasarnya sebagai umat manusia tidak bisa ditukar. Dari asumsi tentang jiwa yang bebas dan ditentukan sendiri serta dikombinasikan dengan kodrat manusia inilah lahir doktrin Lockean tentang apa yang disebut alami.