Upload
chizie
View
317
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sedikit info mengenai budaya dan antropologi suku toraja (mis. bahasa, kepercayaan, hirarki,dll.)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai
tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi
dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi,
namun akhirnya pindah ke dataran tinggi. Sejak abad ke-17, Belanda mulai
menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC).
Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah
(tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang
produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya
penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis.
Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial
untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai
dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama,
Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis
digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya
merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun
1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia
mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja
karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang
Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih
mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk
menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha
Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang
saat itu menjadi Kristen.
Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi
Kristen. Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an.
Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke
agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk
gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam.
Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan
mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang
bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi.
Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan
semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen. Pada tahun 1965, sebuah
dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu
dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha.
Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya
menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus
diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo
dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih
menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an,
misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka
kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang
pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan
dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami
transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi
masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata
yang terus meningkat.
BAB II
PEMBAHASAN
Identitas kepribadian diri suku Toraja Sulawesi selatan
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi
Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di
antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan
Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara
sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To
Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari
Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam
di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.
Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran
kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya
dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Letak Toraja (hijau) di antara Makassar (kuning) dan Bugis (merah).
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam
sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai
pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja)
sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar
utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: -
Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur,
agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena
memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang
toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai
Tau. Suku Toraja yang ada sekarang ini bukanlah suku asli, tapi merupakan suku
pendatang. Menurut kepercayaan atau mythos yang sampai saat ini masih dipegang
teguh, suku Toraja berasal dari khayangan yang turun pada sebuah pulau Lebukan.
Kemudian secara bergelombang dengan menggunakan perahu mereka datang
ke Sulawesi bagian Selatan. Di pulau ini mereka berdiam disekitar danau Tempe
dimana mereka mendirikan perkampungan. Perkampungan inilah yang makin lama
berkembang menjadi perkampungan Bugis. Diantara orang-orang yang mendiami
perkampungan ini ada seorang yang meninggalkan perkampungan dan pergi ke Utara
lalu menetap di gunung Kandora, dan di daerah Enrekang.Orang inilah yang dianggap
merupakan nenek moyang suku Toraja.Sistim pemerintahan yang dikenal di Toraja
waktu dulu adalah sistim federasi. Daerah Toraja dibagi menjadi 5(lima) daerah yang
terdiri atas M a k al e, Sangala,Rantepao,Mengkendek,Toraja Barat.Daerah-daerah
Sebuah perkampungan suku Toraja
Makale, Mengkendek, dan Sangala dipimpin masing-masing oleh seorang bangsawan
yang bernama PUANG.
Daerah Rantepao dipimpin bangsawan yang bernama PARENGI,
sedangkan .daerah Toraja Barat dipimpin bangsawan bernama MA'DIKA.Didalam
menentukan lapisan sosial yang terdapat didalarn masyarakat ada semacam
perbedaan yang sangat menyolok antara daerah yang dipimpin oleh PUANG dengan
daerah yg dipimpin oleh PARENGI dan MA'DIKA. Pada daerah yang dipimpin oleh
PUANG masyarakat biasa tidak akan dapat menjadi PUANG,. sedangkan pada daerah
Rantepao dan Toraja Barat masyarakat biasa bisa saja mencapai kedudukan PARENGI
atau MA'DIKA kalau dia pandai. Hal inilah mungkin yang menyebabkan daerah
Rantepao bisa berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan yang terjadi di
Makale.Kepercayaan.
Sejarah Suku Toraja
Sebelum kata Toraja, digunakan Tondok Lepongan Bulan, To Raja digunakan untuk
nama suatu negeri yang sekarang dinamakan Tana Toraja,Arti kata Toraja,itu sendiri
ada beberapa pendapat sebagai berikut:
1. A.Adriani mengartikan TO RAJA adalah orang yang berdiam diatas pegunungan.
Kata Toraja,itu berasal suku bugis sidenreng
2. Ada pendapat juga yang mengatakan To Raja ( bahasa bugis luwu ) karena tana
Toraja,terletak di sebelah barat luwu
3. Pendapat lain yang mengatakan bahwa Toraja,itu berasal dari seorang raja
Tondok Lepongan Bulan yang bernama laki padada yang ke gowa pada akhir
abad ke 13. Dalam sejarah Toraja, Laki padada adalah seorang cucu raja yang
pergi mengembara untuk mencari hidup yang abadi kemudian tiba dikerajaan
Gowa. Pada mulanya penduduk Toraja,beragama Aluk Todolo (Agama Leluhur)
tetapi pada awal abad 19 pengaruh agama Islam mulai masuk terutama pada
bagian selatan. Kemudian dengan adanya Pemerintah Kolonial Belanda
didaerah tersebut maka agama Kristen masuk kedaerah ini lalu mempengaruhi
kebudayaan asli daereh ini pada tahu 1906.
Kabupaten Tana Toraja, beribukota Makale, terletak sekitar 329 km disebelah
utara kota Makasar dengan batas-batas wilayah :
Sebelah Utara dengan Kabupaten Mamuju
Sebelah Timur dengan Kabupaten Luwu
Sebelah Selatan dengan Kabupaten Enrekang
Sebelah Barat dengan Kabupaten Polmas
Orang Toraja, adalah penduduk Sulawesi Tengah, untuk sebagian juga
mendiami propinsi Sulawesi Selatan yaitu wilayah dari kabupaten Tana Toraja, dan
Mamasa. Mereka biasanya disebut oran Toraja,Sa’dan
Tana Toraja, dikenal oleh dunia bukan saja karena kebudayaan-kebudayaannya
yang unik, orisinil dan sarat akan keindahan seni tetapi juga karena keaslian, keasrian
dan keindahan alamnya yang selalu dapat memukau hati para wisatawan yang
berkunjung
1. BAHASA
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa’dan
Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun
diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae’ , Talondo’ , Toala’ , dan
Toraja-Sa’dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa
Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk
banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di
Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui
proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah
penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita
kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat
mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan
yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banya Bahasa Toraja hanya diucapkan dan
tidak memiliki sistem tulisan.k istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi,
dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara
jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-
kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
Sebagai bagian dari Nusantara Indonesia, bahasa Indonesia merupakan salah satu
bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan. Namun demikian
bahasa daerah yakni bahasa toraja (sa’dan) tentunya menjadi bahasa yang paling
dominan dalam percakapan antara warga masyarakat, bahkan menjadi salah satu mata
pelajaran muatan local yang diajarkan di sekolah dasar.
Dalam hal kepercayaan penduduk Sulawesi selatan telah percaya kepada satu
Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Dewata SeuwaE
(dewa yang tunggal). Terkadang pula disebut orang Bugis dengan istilah PatotoE (dewa
yang menentukan nasib). Orang makasar sering menyebutnya dengan Turei A’rana
(kehendak yang tinggi). Orang Mandar Puang Mase (yang maha kehendak) dan orang
Toraja menyebutnya puang matua (Tuhan yang maha mulia).
Mereka juga mempercayai adanya dewa yang bertahta ditempat – tempat tertentu.
Seperti kepercayaan mereka tentang dewa yang berdiam di gunung latimojong. Dewa
tersebut mereka sebut dengan nama Dewata Mattanrue. Dihikayatkan bahwa dewa
tersebut kawin dengan Enyi’li’timo’ kemudian melahirkan PatotoE. Dewa Patotoe
kemudian kawin dengan Palingo dan melahirkan Batara Guru.
Batara Guru dipercaya oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan sebagai dewa
penjajah. Ia telah menjelajahi seluruh kawasan Asia dan bermarkas di puncak
Himalaya. Kira – kira satu abad sebelum Masehi, Batara Guru menuju ke cerekang
Malili dan membawa empat kasta. Keempat kasta tersebut adalah kasta Puang, kasta
Pampawa Opu, kasta Attana Lang, dan kasta orang kebanyakan.
Selain itu Batara Guru juga dipercaya membawa enam macam bahasa.
Keenam bahasa tersebut digunakan di daerah – daerah jajahannya. Keenam
bahasa itu adalah :
1. Bahasa TaE atau To’da. Bahasa ini dipergunakan masyarakat yang bermukim di
wilayah tanah toraja , Massenrengpulu dan sekitarnya. Mereka dibekali dengan
kesenian yang bernama Gellu’.
2. Bahasa Bare’E. Bahasa ini dipergunakan masyarakat yang bermukim diwilayah
Poso Sulawesi Tengah. Mereka dibekali dengan kesenian yang disebutnya
menari.
3. Bahasa Mengkokak, bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim
diwilayah Kolaka dan Kendari Sulawesi Tenggara. Mereka pula dibekali dengan
kesenian, yang namanya Lulo’.
4. Bahasa Bugisi. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di
Wajo seluruh daerah disekitarnya dan dibekali dengan kesenian Pajjaga.
5. Bahasa Mandar. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang berdiam di
wilayah Mandar dan sekitarnya. Mereka di bekali dengan kesenian Pattundu.
6. Bahasa Tona. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di
wilayah Makasar dan sekitarnya. Mereka di bekali dengan kesenian Pakkarena.
Keturunan Batara Guru tersebar kemana – mana. Keturunannya terbagi – bagi
pada seluruh wilayah jelajahnya yang meliputi wilayah bahasa tersebut diatas.
Mereka menduduki tempat – tempat yang strategis seperti puncak – puncak
gunung.
Keragaman dalam bahasa Toraja
DenominasiISO
639-3Populasi
(pada tahun)Dialek
Kalumpang kli 12,000 (1991) Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
Mamasa mqj100,000
(1991)
Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
Ta'e rob250,000
(1992)Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
Talondo' tln 500 (1986)
Toala' tlz 30,000 (1983) Toala', Palili'.
Torajan-Sa'dan
sda500,000
(1990)Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).
2. SISTEM ORGANISASI
Seperti yang telah disebutkan, bahwa suku Toraja yang mempunyai corak kebudayaan
sendiri yang dilatar belakangi oleh pandangan hidup, kepercayaan Aluk Todolo serta
asas hukum keseimbangan, maka demikian pula halnya hukum keseimbangan itu turut
mempengaruhi terbentuknya pelapisan sosial yang dikenal masing-masing :
1. Tanaq Bulaan, yaitu sebagai golongan bangsawan tinggi, umumnya memegang
Kepala atau Ketua Adat (Puang Ma’dika dan Simabe’).
2. Tanaq Bassi, yaitu golongan bangsawan menengah, umumnya sebagai
pemegang jabatan pemangku atau pemerintahan (To Parenge’ anak Patola).
3. Tanaq Karurung, yaitu sebagai golongan rakyat kebanyakan/ merdeka.
4. Tanaq Kua-kua, yaitu sebagai golongan hamba sahaya/ pengabdi.
Keempat susunan pelapisan sosial tersebut sangat
besar pengaruhnya dalam pertumbuhan masyarakat
orang Toraja karena hampir seluruh kegiatan dan masalah turut mendapat pengaturan
atau pembinaan dari Tanaq sebagai pengatur orde dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat, berarti turut sebagai stabilisator sosial.
Peranan daripada pelapisan sosial tersebut dipusatkan pada satu pusat
pembinaan untuk mengadakan kontrol, dinamisator dan monitoring sosial dan pusat
kegiatan itu adalah Tongkonan (rumah adat rumpun keluarga) dan Tongkonan ini
berdiri sebagai badan atau lembaga pembinaan sosial (keluarga seluruh masyarakat).
Itulah memperkuat sistem sosial orang Toraja sampai sekarang yang tanpa mengenal
raja atau penguasa tunggal dalam masyarakat, sehingga baik sistem kepercayaan
maupun sistem sosial tetap terbina dan terkontrol dari pusat pembinaan yaitu
Tongkonan.
Masyarakat Toraja terbagi atas keluarga inti, penanggung jawab keluarga adalah
ayah dan diganti anak laki-laki bila meninggal sedangkan ibu hanya mendidik anak dan
menjaga nama baik keluarga. Masyarakat Toraja mengikuti garis keturunan
Bilateral.Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap
desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan
sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan
sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang
memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu
dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah
penyebaran harta.
Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa
keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan
saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan
demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan
utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih
berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang
biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja,
masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika
satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa
desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu
melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah,
perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh
pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Contoh:
Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya
antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial:
siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan
persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus
digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk
masing-masing orang. Hukum waris Toraja.
Orang di Suku Toraja akan melakukan adopsi,walaupun mereka sudah
mempunyai anak. Hal itu dikarenakan di Suku Toraja mempunyai keyakinan bahwa
semakin banyak anak akan semakin banyak pula Toding (Kerbau) yang akan ikut di
kubur saat orang tua angkatnya meninggal dunia. Sistem Hukum waris adat yang
berlaku di Indonesia sangat beragam, antara daerah yang satu dengan daerah yang
lain, juga menganut sistem kewarisan yang berbeda. Hal itu mempengaruhi kedudukan
anak angkat dalam kekerabatan orang tua kandung dan orang tua angkat serta
bagaimana pewarisannya dan juga mengenai penyelesaian hukum bila hak anak
angkat tersebut tidak terpenuhi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mengenai hal
tersebut.
Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis-normatif, yaitu yang berusaha
untuk mengabstraksikan tingkah laku tetang kedudukan anak angkat dalam hokum
waris adat disamping untuk menemukan peraturan-peraturan yang telah ada sesuai
dengan kebutuhan masyarakat setempat. Metode penarikan sampel menggunakan
purposive random sampling, dimana anggota populasi tidak diberi kesempatan untuk
dipilih menjadi sampel, disamping itu untuk mendukung data-data tersebut dilakukan
wawancara secara bebas terpimpin terhadap para tokoh masyarakat. Hasil penelitian
menunjukkan pengangkatan anak dilakukan terhadap anak yang masih kecil (dianak
bitti), anak yang sudah besar dan terhadap orang dewasa, baik laki-laki maupun
perempuan, yang diambiil dari kalangan keluarga atau bukan dari kalangan keluarga.
Proses pengangkatan anak dilaksanakan secara terang dan tunai. Hubungan
kekerabatan anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya tidak terputus. Bila
terjadi sengketa warisan, maka sering diselesaikan melalui lembaga adat yang berupa
tongkonan. Kata Kunci : Kedudukan Anak Angkat, ahli waris,hokum waris adat suku
Toraja.
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas
sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak
(perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas
sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari
kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang
lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap
merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat
ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di
tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok
bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat
tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para
bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian
status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian.
Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa
gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau
perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang
dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-
kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan
cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum
dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap
mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas,
makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan
perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
3. ORGANISASI SOSIAL
Sistem Perkampungan/ Organisasi Sosial
Dalam kehidupan masyarakat Toraja, dikenal adanya pelapisan sosial yang disebut
dengan Tana’ (kasta) yang sangat mempengaruhi perkembangan masyarakat dan
kebudayaan Toraja . Menurut L.T. Tangdilintin (1974, 75) mengatakan bahwa pelapisan
sosial membedakan masyrakat atas empat golongan masyarakat, yaitu:
1. Tana’ Bulaan, adalah lapisan masyarakat atas atau bangsawan tinggi sebagai
pewaris sekurang aluk, yaitu dipercayakan untuk membuat aturan hidup dan
memimpin agama, dengan jabatan puang, maqdika, dan Sokkong bayu
(siambeq).
2. Tana’ bassi, adalah lapisan bangsawan menengah sebagai pewaris yang dapat
menerima maluangan batang(pembantu pemerintahan adat) yang ditugaskan
mengatur masalah kepemimpinan dan pendidikan.
3. Tana’ Karurunge adalah lapisan masyarakat kebanyakan yang merdeka, tidak
pernah diperintah langsung. Golongan ini sebagai pewaris yang menerima
Pande, yakni ketrampilan pertukangan, dan menjadi Pembina aluk todolo untuk
urusan aluk petuoan, aluk tanaman yang dinamakan Toindoq padang (pemimpin
upacara pemujaan kesuburan).
4. Tana’ Kua-kua adalah golongan yang berasal dari lapisan hamba sahaya,
sebagai pewaris tanggung jawab pengabdi kepada tana’ bulaan dan tana’ bassi.
Golongan ini disebut juga tana’ matuqtu inaa (pekerja), juga bertindak sebagai
petugas pemakan yang disebut tomebalun atau tomekayu (pembuat balun orang
mati). Lapisan tana’ kua-kua ini dihapuskan oleh pemerintah Indonesia setelah
proklamasi kemerdekaan karena tidak sesuai dengan harkat dan martabat
manusia. Namun kenyataannya dalam pelaksaaan upacara-upacara adat
golongan ini masih terlihat.
Keempat golongan lapisan sosial tersebut merupakan dasar atau pedoman yang
dijadikan sendi bagi kebudayaan kehidupan sosial masyarakat Toraja, terutama dalam
interaksi dan aktifitas masyarakat, seperti pada saat diselenggarakan upacara
perkawinan, pemakaman, pengangkatan ketua atau pemimpin adat dan sebagainya.
Misalnya dalam upacara pengangkatan seorang pemimpin, yang menjadi penilaian
utama adalah dari golongan apa orang yang bersangkutanberasal. Kedudukan dalam
sistem kepemimpinan tradisional berkaitan dengan sistem pelapisan sosial yang
berlaku dalam serta kepemilikan tongkonan (rumah adat).
Demikian pula Dalam sistem perkawinan, dan pembagian warisan juga berorientasi
pada lapisan sosial masyarakat. Seorang wanita dari golongan tana’ bulaan tidak
diperkenankan kawin dengan pria yang berasal dari golongan lebih rendah. Apabila
perkawinan itu tetap berlangsung, mereka akan dikenakan sanksi adat. Peristiwa
demikian disebut unteqaq palansian atau untekaq layuq (melangkahi turunan).
Sedangkan bagi seorang pria boleh saja beristeri seorang wanita yang golongannya
lebih rendah, akan tetapi mereka tidak bisa dinikahkan secara adat, dan keturunan
mereka tidak berhak mendapat warisan atau gelar sebagai tana’ bulaan.
Dalam pelasanaan upacara pemakaman (rambu solo’) banyaknya hewan yang akan
dipotong sebagai korban bergantung disesuaikan dengan golongan sosial yang
menyelenggarakan upacara. Misalnya golongan tana’ bulaan, sebagai lapisan sosial
tertinggi, harus mengorbankan lebih banyak hewan dibandingkan golonagan sosial
lainnya. Hewan yang akan dipotong harus dalam keadaan sehat, tubuhnya
besar/gemuk, dan tanduknya panjang.
4. SISTEM PERALATAN HIDUP DAN TEKNOLOGI
Pada masyarakat Toraja terdapat bermacam-macam teknologi yang digunakan seperti :
Alat Dapur
La’ka sebagai alat belanga
Pesangle yaitu sendok nasi dari kayu
Karakayu yaitu alat pembagi nasi
Dulang yaitu cangkir dari tempurung
Sona yaitu piring anyaman
Alat Perang / Senjata Kuno
Doke atau tombak untuk alat perang dan berburu
Penai yaitu parang
Bolulong yaitu perisai
Sumpi atau sumpit
Alat Perhiasan
Beke – ikat kepala
Manikkota – kalung
Komba – gelang tangan
Sissin Lebu – cincin besar
Alat Upacara Keagamaan
Pote – tanda berkabung untuk pria dan wanita
Tanduk Rongga – Perhiasan dikepala
Pokti – tempat sesajen
Sepui – tempat sirih
Alat Musik Tradisional
Geso – biola
Tomoron – terompet
Suling Toraja
Sistem ilmu pengetahuan suku Toraja
Masyarakat Toraja mempunyai Sistem pengetahuan waktu yang berhubungan
dengan hari yang baik atau bulan yang baik. Dalam kehidupan masyarakat Toraja
dikenal 3 waktu :
1. Pertanam ( Setahun Padi )
2. Sang Bulan ( 30 hari )
3. Sang Pasa ( Sepekan )
5. SISTEM MATA PENCAHARIAN HIDUP
Masyarakat Toraja banyak yang memiliki sawah sehingga sebagian besar
penduduk Toraja bermata pencaharian sebagai petani. Dalam rumah tangga bagi orang
Suku Toraja suami dan isteri sama-sama mencari nafkah, seperti dalam pertanian kalau
suami mencangkul disawah adalah kewajiban isteri menanaminya.
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan
adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah
singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk
berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara
seorang petani yang sedang merawat ladangnya, mayoritas masyarakat desa Sembungan bekerja sebagai petani ladang dengan komoditas utamanya kentang
pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah
pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai
berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan
pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja,
khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing.
Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan
ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun
1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan
dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata.
Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk
berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun
secara drastis.
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di
Tana Toraja.Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat.
Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972,
sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla,
bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah
murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di
beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan
pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara.
"Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah
menarik minat dunia luar.
6. RELIGI
Suku Toraja sejak dahulu menganut suatu kepercayaan atau keyakinan yang
dikenal dengan nama Aluk Todolo I, sebagai sumber dari berbagai aspirasi kebudayaan
dan kehidupan orang Toraja.
Aluk Todolo adalah satu kepercayaan atau keyakinan dengan falsafah dan asas
kepercayaannya disebut Aluk Tallu Oto’na 2, artinya mempunyai dasar tiga prinsip
dengan bercaya dan memuja kepada tiga oknum masing-masing :
1. Percaya dan memuja kepada Puang Matua, sebagai Sang Pencipta semesta
alam
2. Percaya dan memuja kepada Deata-Deata (dewa-dewa), yaitu sebagai sang
pemelihara alam semesta ciptaan Puang Matua.
Deata-deata tersebut masih terbagi pula atas tiga golongan deata-deata yaitu :
Deata Tangngana Langi’, yaitu dewa penguasa di langit (benua atas).
Deata Tangngana Padang atau Kapadanganna, yaitu dewa penguasa di atas
permukaan bumi (benua tengah).
Deata To Kengkok, yaitu dewa penguasa isi daripada perut bumi (benua bawah).
Menurut kepercayaan Aluk Todolo tersebut, bahwa ketiga dewa tersebut adalah
Deata Titanan Tallu artinya dewa tiga serangkai.
3. Percaya dan memuja kepada To Membali Puang yang disebut juga Todolo yaitu
arwah leluhur yang bertugas memperhatikan dan memberikan berkat kepada
manusia turunannya.
Ketiga oknum tersebut, dipuja dan disembah menurut ajaran tidak bersamaan
dan dengan cara yang tidak sama yang ditentukan oleh kurban persembahan karena
disesuaikan dengan tingkatan dan kedudukan daripada masing-masing ketiga oknum
tersebut.
Pemujaan dan persembahan dilakukan dengan mempersembahkan kerbau,
babi, dan atau ayam. Kerbau adalah binatang paling penting bagi orang Toraja, salah
satu etnis yang berada di Pulau Sulawesi, Indonesia. Bagi etnis Toraja, kerbau adalah
binatang yang paling penting dalam kehidupan sosial mereka. Kerbau atau dalam
bahasa setempat tedong tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Selain sebagai hewan untuk memenuhi kebutuhan hidup sosial, ritual maupun
kepercayaan tradisional, kerbau juga menjadi alat takaran status sosial, dan alat
transaksi. Dari sisi sosial, kerbau merupakan harta yang bernilai tinggi bagi pemiliknya.
Tidak mengherankan bila orang Toraja sangat dengan kerbau mereka. Hal ini dapat
dilihat dari percakapan sehari-hari, pada saat hendak bertransaksi, mengadakan pesta,
dalam praktek keagamaan.
Macam-macam kerbau persembahan di Toraja :
1. Tedong Saleko (kerbau belang)
2. Tedong bonga
3. Tedong Pudu’
4. Tedong Sokko
5. Tedong Lotong Boko
6. Tedong Bulan
7. Tedong Tekken Langi
8. Tedong Sambo Ra’tuk
9. Tedong Pudu’bara
10. Tedong Pangloli
11. Tedong Sambao
12. Tedong todi'
Oleh karena itu, perbedaan tingkatan dari ketiga oknum tersebut, maka tempat upacara
persembahan kepada masing-masing ketiga oknum tersebut adalah :
Upacara persembahan kepada Poang Matua dilakukan di depan rumah.
Upacara persembahan kepada deata-deata dilakukan di sebelah Timur rumah.
Upacara persembahan kepada Tomem Bali Puang dilakukan di sebelah Barat
rumah.
Dengan demikian rumah dalam kehidupan kepercayaan Aluk Todolo sebagai
pusat kegiatan turut memegang peranan dalam mengatur sistem upacara, sehingga
apabila salah penempatan zona serta penempatan upacara persembahan pada
masing-masing oknum tersebut, berarti salah pula seluruh pelaksanaan upacara
persembahan dan pemujaan.
Di samping upacara pemujaan dan persembahan kepada ketiga oknum yang
disebutkan di atas, juga sesuai dalam kehidupan dan kepercayaan bahwa seluruh
bentuk keberadaan serta kegiatan selalu di atur oleh asas hokum keseimbangan guna
menjadikan mudahny control dan monitoring seluruh kegiatan manusia, maka sebagai
pasangan atau imbangan dari kehidupan adalah mati sehingga upacara kematianpun
adalah sebagai pasangan dan imbangan dari upacara pemujaan dan persembahan
kepada ketiga oknum.
Oleh karena hokum keseimbangan tersebut, maka asas hukum mempengaruhi
segala bentuk dan kegiatan baik di bidang social maupun kebudayaan, sehingga
upacara persembahan disebut Aluk Rambu Tuka’ yang artinya upacara keselamatan,
dan upacara pemakaman kematian manusia disebut Aluk Rambu Solo artinya upacara
kematian dan keduanya sebagai Ritus Upacara yang berhadapan atau bertentangan.
Kedua upacara tersebut disebut Aluk Simuane Tallang Silau’ eran yaitu upacara yang
berpasangan yang berimbang bertingkat-tingkat atau bertangga-tangga.
Pengaruh nilai serta norma yang lahir dari Aluk Simuane Tallang Silau’ eran
tersebut yang teratur, terbina dengan asas hukum keseimbangan yang merupakan
pangkal dan mula terbinanya pola berfikir dari orang Toraja yang tetap mengikuti pola
hukum keseimbangan dalam seluruh pertumbuhan sosial budaya orang Toraja
Sudah sejak 1.700 tahun lalu masyarakat Toraja memiliki cara unik
memakamkan jenazah, yakni dengan meletakkan begitu saja di tebing atau gua
marmer. Lewat doa kepada Deata dalam kepercayaan Aluk Todolo, jenazah itu tidak
berbau meski tanpa pembalseman.
Meskipun dinaungi rimbun pepohonan dan hawa dingin pegunungan, tidak
membuat kompleks makam tua di Toraja ini angker, apalagi mistis. Padahal, tulang-
belulang manusia berserak di sanasini. Kete Kesu’ begitulah orang Toraja menyebut
situs pekuburan di Kecamatan Kesu’, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, ini.
Menurut sejarah kuno Toraja, situs ini sudah dijadikan pekuburan sejak ribuan
tahun lalu. Diprediksi demikian karena begitu sampai di tengah situs, kita akan
menemui tulang-belulang berserakan di tangga menuju gua. Menurut Arkeolog Toraja
Marla Tandirerung, fosil itu merupakan tulang bangsawan hingga budak yang hidup di
sejumlah tongkonan di Wilayah Adat Kesu’.
Dahulu, Suku Toraja tidak mengubur jenazah orang yang meninggal, tetapi
ditaruh saja di sekitar gua. Alasannya, selain peradaban manusia belum berkembang,
mereka senantiasa bisa tetap menjaga peninggalan leluhur yang turut dibawa ke
kuburan. Di Kete Kesu’, tidak hanya bangsawan yang menjadikan situs itu sebagai
kuburan, tetapi orang biasa yang bekerja pada bangsawan itu juga dimakamkan.
Ketua Adat Wilayah Kesu’ Layuk Sarongallo juga bercerita demikian. Seraya
mendongengkan kehidupan leluhur Toraja, Kete Kesu’ merupakan areal pemakaman
gunung batu yang terbentuk alami. Masyarakat primitif tidak lagi memerlukan peralatan
untuk menyimpan jenazah dan memanfaatkan gua-gua alam sebagai tempat
peristirahatan terakhir keluarga mereka.
Hal tersebut diperkirakan terjadi sejak 1.700 tahun yang lalu. Mayat ditempatkan
di gua-gua hanya ditutupi kulit kayu yang sudah diketam untuk sekujur badan. Namun,
anehnya, tidak sedikit pun bau bangkai menyengat hidung. Layuk menjelaskan, ajaran
Aluk Todolo yang dianut Suku Toraja memang berdoa kepada Deata agar bau-bau
tersebut dihilangkan dari tanah mereka tinggal. Alasan lain yang bisa terlihat dari
hilangnya bau busuk di pekuburan ini, yaitu gunung yang terbentuk dari marmer
tersebut mengalirkan hawa dingin sehingga mayat seperti dimasukkan ke dalam
pendingin. Karena itu, sekarang Toraja dikenal memiliki banyak mumi. Dalam areal
Kete Kesu’, ada tiga tipe kuburan atau liang dalam bahasa Toraja, antara lain
ditempatkan di gua dan tebing, lalu diukirlah kayu menjadi erong, dan yang paling baru
adalah patane.
iring-iringan para pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya, dari kejauhan tampak kain merah panjang bagaikan selendang raksasa membentang.
Tana Toraja di Sulawesi Selatan sudah lama terkenal dengan alam pegunungannya
yang permai serta ritual adatnya yang unik. Yang paling tersohor, tentu saja, pesta
Rambu Solo yang digelar menjelang pemakaman tokoh yang dihormati.
Tiap tahun pesta yang berlangsung di beberapa tempat di Toraja ini senantiasa
mengundang kedatangan ribuan wisatawan.Selain Rambu Solo, sebenarnya ada satu
ritual adat nan langka di Toraja, yakni Ma’ Nene’, yakni ritual membersihkan dan
mengganti busana jenazah leluhur.
Ritual ini memang hanya dikenal masyarakat Baruppu di pedalaman Toraja Utara.
Biasanya, Ma’ Nene’ digelar tiap bulan Agustus. Saat Ma’ Nene’ berlangsung, peti-peti
mati para leluhur, tokoh dan orang tua, dikeluarkan dari makam-makam dan liang batu
dan diletakkan di arena upacara.
Di sana, sanak keluarga dan para kerabat sudah berkumpul. Secara perlahan, mereka
mengeluarkan jenazah (baik yang masih utuh maupun yang tinggal tulang-belulang)
dan mengganti busana yang melekat di tubuh jenazah dengan yang baru.Mereka
memperlakukan sang mayat seolah-olah masih hidup dan tetap menjadi bagian
keluarga besar.
7. KESENIAN
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam
upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk
menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan
menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria
membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati
almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai
komponen terpenting dalam upacara pemakaman.Pada hari kedua pemakaman, tarian
prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya.
Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit
kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing
mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat
upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian
Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia
bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum.
Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan
bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.Seperti di masyarakat agraris
lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi
dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi
ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang,
misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian
Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja
menari.
Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali.
Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala
kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.Alat musik tradisional Toraja adalah suling
bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak
tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama
sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang.
Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat
dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan
rumah. Budaya adalah salah satu harta berharga yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Perlu pemeliharaan dan kepedulian agar warisan budaya tidak semakin tergerus oleh
budaya asing.Banyak cara yang dapat dilakukan untuk tetap mempertahankan budaya.
Alat Musik Tradisional
Geso – biola
Tomoron – terompet
Su Alat Perhiasan
Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.
Beke – ikat kepala
Manikkota – kalung
Komba – gelang tangan
Sissin Lebu – cincin besar
ling Toraja.
Seperti halnya kain tenun Toraja. Budaya tenun di Toraja telah menjadi warisan
secara turun temurun, dengan tetap mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang
kegiatan menenun. Sehingga, diharapkan tenun Toraja takkan hilang ditelan
jaman.Selain itu, karena tenun telah menjadi salah satu sumber mata pencaharian yang
berbasis budaya, maka aktivitas tersebut sangat membantu melestarikan budaya itu
Geso-Biola
Seni Bangunan Suku Toraja
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu
dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan"
berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang
berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku
Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena
Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita
rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur
suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang
besar.
Seni Ukir suku Toraja
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya
dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk
adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan".
Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang
tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di
tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang
seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di
daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu
membangun tongkonan yang besar. Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan
niat baik.Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk
menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan
menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan
perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan
tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan
hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri
memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi.
Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan
agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul
dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup
dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak
bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan
untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan
air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk
menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat
desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam
sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan
abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika
dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat
ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan
bambu untuk membuat oranamen geometris.Ornamen/hiasan bangunan.Ornamen
(hiasan bangunan) yang terdapat pada rumah-rumah adat sebagian besar mempunyai
arti. Arti ini biasanya berhubungan dengan adat istiadat yang masih diipertahankan.
Disamping itu ada pula yang hanya merupakan hiasan saja, misalnya :
Sumbang dan Katombe yang merupakan sirip-sirip kayu berukir pada tiap-tiap sudut
rumah adat.
Ornamen (hiasan) ini dibagi dalam beberapa macam ornamen, masing-masing ialah :
Ornamen binatang Kerbau, sebagai binatang yang sering disembelih dalam
upacara-upacara, bagian- bagian badannya banyak dipergunakan untuk
ornamen. Misalnya tanduk, kepala ( tiruannya). Selain itu motif kerbau juga ada
dalam ukiran di dinding papan rumah adat. Kepala kerbau ( tiruan dari kayu )
biasanya dipasang pada ujung-ujung balok lantai bagian depan (pata sere).
Tanduk kerbau disusun pada tiang yang utama (tulak- sonba) artinya
menyatakan jumlahgenerasi yang pernah tinggal di rumah adat itu.
Ayam jantan, sebagai lambang Kasta Tana’ Bulaan (kasatria) diukirkan pada
bagian depan/belakang rumah, juga dipintu-pintu.Babi, sebagai lambang
binatang sajian.b. Ornamen Senjata.Keris dan pedang, diukirkan sebagai
lambang Kasta Tana Bulaan (kasatria).
Ornamen Tumbuh-tumbuhan.Daun Sirih, bunga, diukirkan pada tiang utama
tulak somba, rinding (dinding), langit-langit lumbung sebagai ruang tamu, juga di
pintu-pintu.
Ornamen ukiran kayunya menggunakan kayu URU.
Ornamen lukisan diukir dulu baru dipasang di tempat. Penyelesaian Lukiran
biasanya dengan zat pewarna yang dibikin dari tanah +tuak atau arang + cuka +
air.
Ukiran kayu
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan
kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya
Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya
Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman
yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan
seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri
memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah
bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga
memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah
harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian,
seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan
kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat
dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga
menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang
baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain
tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering
digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi
dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan
tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini
hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk
membuat oranamen geometris.
Beberapa motif ukiran Toraja
Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.
pa'tedong(kerbau)
pa'barre allo(matahari)
pa're'po' sanguba(menari)
ne'limbongan(perancang legendaris)
sumber:[22]