Download doc - RefErat THT OMA Fin

Transcript

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Otitis media akut (OMA) merupakan infeksi telinga bagian tengah akut yang paling sering terjadi pada anak-anak. OMA terutama disebabkan oleh bakteri, seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, dan Moraxella catarrhalis. Virus yang menyerang respirasi juga berperan sebagai kopatogen1. Prevalensi puncak kasus OMA terjadi pada anak berusia 6-18 bulan2. OMA merupakan penyebab paling umum anak dibawa berobat dan diresepkan antibiotika di Amerika Serikat2,3. Selama tahun 1990, terdapat sekitar 25 juta kunjungan anak dengan OMA ke dokter, dengan 809 peresepan antibakterial per 1000 kunjungan, dengan total lebih dari 20 juta peresepan antibiotik terkait OMA3. Beban ekonomi dan kesehatan yang diakibatkan OMA berkisar 3 juta dolar pada tahun 1995 4. Keputusan klinik untuk menggunakan atau tidak antibiotik pada anak dengan OMA pada saat diagnosis ditegakkan belumlah jelas. Berdasarkan guideline US yang relevan, faktor-faktor yang mempengaruhi pertimbangan keputusan klinik tersebut meliputi usia, derajat kepastian diagnosis, dan derajat keparahan penyakit1. Bagi klinisi, pemilihan jenis obat antibiotik yang tepat menjadi aspek kunci penatalaksanaan3. Tujuan terapi pada OMA adalah memulihkan gejala dan menurunkan kekambuhan. Kebanyakan anak dengan OMA (70-90%) mengalami resolusi spontan dalam 7-14 hari; sehingga antibiotik pada awalnya tidak perlu diresepkan secara rutin pada semua anak. Penundaan terapi antibiotik pada pasien tertentu dapat menurunkan biaya terapi dan efek samping dan meminimalkan resistensi kuman4.1

B. TUJUAN PENULISAN Untuk mengetahui manajemen pemberian antibiotika pada anak dengan otitis media akut.

C. MANFAAT PENULISAN Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis maupun pembaca mengenai manajemen antibiotik pada anak dengan otitis media akut.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. BATASAN Otitis media akut (OMA) didefinisikan sebagai suatu proses inflamasi akut pada telinga bagian tengah yang berlangsung selama kurang dari atau sama dengan 3 minggu5.

B. EPIDEMIOLOGI OMA dapat terjadi pada semua usia, namun 80-90% kasus terjadi pada anak berusia kurang dari 4-5 tahun. Prevalensi puncak OMA terjadi pada anak berusia 6-18 bulan2. Mortalitas terkait OMA di era pengobatan modern saat ini jarang terjadi. Perbedaan ras terjadi pada insidensi OMA, dimana ras Amerika asli dan Inuit memiliki angka infeksi telinga akut dan kronik yang tinggi, sementara ras AfrikaAmerika memiliki angka yang sedikit lebih rendah dalam komunitas yang sama. Insidensi OMA sedikit lebih tinggi pada laki-laki dibanding pada perempuan5.

C. ETIOLOGI Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella

catarrhalis paling sering diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak dengan OMA. S. pneumoniae resisten terhadap penisilin adalah penyebab paling umum OMA rekuren dan persisten4.

3

Tabel 1. Organisme penyebab otitis media akut (Ramakrishnan K, Sparks RA, Berryhill W. 2007)

Tabel 2. Faktor resiko otitis media akut (Ramakrishnan K, Sparks RA, Berryhill W. 2007)

4

D. PATOFISIOLOGI Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring. Secara fisiologis, terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim, dan antibodi. OMA terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu6. Pada kebanyakan kasus, alergi atau infeksi traktus respirasi bagian atas menyebabkan kongesti dan pembengkakan mukosa nasal, nasofaring, dan tuba Eustachius5. Perluasan radang atau infeksi dari hidung atau nasofaring ke dalam kavum timpani dimungkinkan akibat adanya hubungan langsung antara hidung dengan kavum timpani melalui tuba Eustachius serta persamaan jenis mukosa antara kedua tempat tersebut7. Obstruksi pada ismus tuba Eustachius (yaitu bagian tersempit tuba) menyebabkan akumulasi sekresi telinga tengah; infeksi bakteri atau virus pada efusi menyebabkan supurasi dan menyebabkan OMA4. Pada bayi dan anak, semakin sering anak terkena infeksi saluran napas, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh tuba Eustachius yang lebih lebar, lebih lurus, lebih pendek dan letaknya agak horisontal6. Posisi tuba Eustachius ini mempermudah cairan yang diminum (susu) masuk ke dalam kavum timpani. Hal ini terjadi jika bayi tersebut menyusui dengan posisi berbaring atau jika bayi muntah. Keadaan ini digolongkan sebagai penyebab rhinogen7. Meskipun jarang, OMA dapat terjadi melalui robekan membran timpani yang terjadi akibat fraktur basis kranii, trauma akibat ledakan, pukulan, atau membran timpani tertusuk lidi. Selanjutnya, kuman dari meatus akustikus eksternus (MAE) masuk ke dalam kavum timpani melalui robekan tersebut. Hal ini tergolong sebagai penyebab eksogen. Penyakit ini juga dapat terjadi secara hematogen, yaitu pada penyakit yang berat atau jika daya tahan tubuh penderita sangat buruk (misalnya pada morbili, tuberkulosis paru, malnutrisi)7.

5

Progresi OMA dipengaruhi oleh disfungsi tuba auditiva karena edema, tumor, adenoid, atau tekanan negatif intratimpani yang memudahkan penyebaran infeksi ke talinga tengah. Pada anak, bentuk tuba Eustachius yang lebih pendek dan posisi yang lebih horisontal, sistem imun yang belum matang, dan infeksi berulang berperan dalam perkembangan OMA. OMA memiliki onset yang cepat dan berkaitan dengan salah satu gejala seperti otalgia, demam, otore, iritabilitas (terutama pada bayi), muntah, diare, anoreksia. Derajat keparahan penyakit tergantung dari gejalanya. OMA yang berat dikarakteristikkan sebagai otalgia berat dan atau temperatur tubuh 39C atau lebih2. Virus penyebab infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) merupakan faktor resiko perkembangan OMA, seperti respiratory syncytial virus, parainfluenza virus, adenovirus, rhinovirus. Selain faktor infeksi, faktor pejamu yang berpengaruh pada perkembangan OMA berupa sistem imun, predisposisi familier, abnormalitas anatomi, faktor terkait alergi, dan faktor lingkungan (pemberian makan, paparan asap rokok)2. Stadium OMA Dalam perjalanannya, OMA dibagi menjadi 5 stadium, yaitu: stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis, stadium supurasi, stadium perforasi, dan stadium resolusi. Stadium oklusi tuba Eustachius. Peradangan pada mukosa hidung dan nasofaring akibat ISPA berlanjut ke mukosa tuba Eustachius dan mukosa kavum timpani. Akibatnya, mukosa tuba Eustachius mengalami edema yang akan menyempitkan lumen tuba Eustachius. Keadaan ini mengakibatkan fungsi tuba Eustachius (fungsi drainase dan ventilasi) terganggu. Gangguan fungsi ini mengakibatkan berkurangnya pemberian O2 ke dalam kavum timpani, padahal zat tersebut selalu dibutuhkan untuk kehidupan mukosa kavum timpani. Akibatnya, tekanan udara di dalam kavum timpani berkurang (hipotensi), menjadi kurang dari 1 atmosfer dan disebut vakum7.6

Tanda adanya oklusi tuba Eustachius adalah adanya gambaran retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan negatif di telinga tengah, akibat absorbsi udara. Kadang membran timpani tampak normal atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang disebabkan virus atau alergi6. Stadium Hiperemis (Stadium Presupurasi). Pada stadium ini, tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat serosa sehingga sulit dilihat6. Stadium Supurasi. Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah, hancurnya sel epitel superfisial, dan terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan gambaran membran timpani menonjol (bulging) ke arah telinga luar6. Perubahan yang terjadi pada mukosa kavum timpani akibat adanya vakum pada stadium kataralis menyebabkan pertahanan mukosa lokal menurun. Kuman yang berasal dari hidung dan nasofaring mampu mengadakan penetrasi ke dalam jaringan mukosa kavum timpani. Pus dengan cepat terbentuk sehingga tekanan di dalam kavum timpani berubah menjadi lebih tinggi (hipertensi)7. Apabila tekanan pus di kavum timpani tidak berkurang, terjadi iskemia akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan berwarna kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur. Bila tidak dilakukan miringotomi, kemungkinan besar membran timpani akan ruptur6. Stadium Perforata. Apabila tidak dilakukan miringotomi pada stadium ini, dapat terjadi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama (jika hanya diberi antibiotik saja) yaitu mukopus yang tersisa dapat mengalami organisasi sehingga timbul jaringan ikat di dalam kavum timpani yang dapat mengganggu sistem konduksi. Kemungkinan lain adalah timbul perforasi spontan membran timpani akibat terkumpulnya mukopus

7

yang menyebabkan tekanan yang tinggi pada kavum timpani. Mukopus kemudian mengalir ke meatus akustikus eksternus (MAE), tekanan di dalam kavum timpani menurun7. Stadium Resolusi (Penyembuhan). Pada stadium ini, terjadi proses penyembuhan. Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan. OMA berubah menjadi otitis media supuratif kronis (OMSK) bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terusmenerus atau hilan gitmbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa adanya perforasi6.

Gambar 1. Otitis media akut (Donaldson JD, 2010)

E. MANIFESTASI KLINIS 1. Stadium Oklusi Tuba Gangguan pada telinga timbul terutama akibat adanya vakum dan hydrops ex vacuo. Keluhan pada telinga yang dirasakan berupa telinga terasa penuh seperti kemasukan air, pendengaran terganggu, kadang disertai otalgia, tinitus.

8

Penderita dapat mengalami ISPA sebelumnya yang ditandai dengan demam, batuk, dan pilek7. Pada pemeriksaan otoskopi, didapatkan gambaran membran timpani retraksi (tertarik ke medial) yang ditandai dengan membran timpani tampak lebih cekung, brevis lebih menonjol, manubrium malei lebih horisontal dan lebih pendek, tidak tampak plika anterior, refleks cahaya hilang atau berubah7. 2. Stadium Hiperemis (presupurasi) Pada pemeriksaan otoskopi, membran timpani tampak hiperemis dan edema 6. Kadang tampak adanya air fluid level (gambaran cairan yang berbatas jelas dengan udara dalam kavum timpani) dan air bubles (gelembung udara bercampur dengan cairan di dalam kavum timpani)7.3. Stadium Supurasi

Tekanan dalam kavum timapni yang menjadi lebih tinggi akibat pus memberikan gejala otalgia hebat. Penderita bayi atau anak menjadi rewel dan gelisah. Pada umumnya, penderita juga mengalami demam tinggi, nadi meningkat, dan pasien tampak sangat sakit6,7. Keluhan yang dialami pada stadium kataralis masih dirasakan, bahkan kualitasnya meningkat. Demikian juga ISPA yang diderita sebelumnya masih ada7. Pada MAE tidak didapatkan sekret. Membran timpani tampak sangat hiperemis, cembung ke lateral (bombans), terkadang tampak adanya pulsasi (keluarnya nanah dari lubang perforasi sesuai dengan denyutan nadi)6.4. Stadium Perforasi

Mukopus yang mengalir melalui perforasi ke MAE mengakibatkan tekanan dalam kavum timpani menurun, sehingga gejala otalgia juga berkurang.

9

Penderita mengeluh adanya otore. Selain itu, dirasakan adanya kurang pendengaran dan masih didapatkan keluhan infeksi saluran napas atas7.5. Stadium Resolusi

Pada stadium ini, kebanyakan penderita masih merasakan gangguan pendengaran. Keluhan yang dialami pada stadium sebelumnya sudah tidak dirasakan lagi7. Pada pemeriksaan otoskopi, didapatkan MAE yang bersih tanpa sekret, membran timpani tidak lagi hiperemis dan warnanya kembali seperti mutiara. Posisi membran timpani telah normal kembali. Lubang perforasi masih tampak, biasanya pada pars tensa6.

F. DIAGNOSIS Kriteria diagnosis OMA meliputi onset gejala yang akut, adanya efusi telinga tengah, dan gejala dan tanda inflamasi telinga tengah, seperti yang tercantum pada tabel 2. Gejala OMA non-spesifik (e.g., demam, sakit kepala, iritabilitas, batuk, rinitis, lesu, anoreksia, muntah, diare, menarik-narik telinga) biasa terjadi pada bayi dan anak. Otalgia jarang terjadi pada anak berusia kurang dari 2 tahun, dan lebih umum terjadi pada remaja dan dewasa. Namun, otalgia, gerakan menggosok atau menarik-narik telinga, dan kecurigaan orang tua mengenai adanya OMA dapat membantu menegakkan diagnosis4. Tabel 3. Kriteria Diagnosis OMA (American Academy of Pediatrics and American Academy of Family Physicians, 2004)

10

Deteksi efusi telinga tengah dengan otoskop pneumatik merupakan kunci untuk menegakkan diagnosis OMA. Membran timpani normal berbentuk konveks, mobil, translusen, dan intak; warna membran timpani yang normal serta mobilitas membran mengindikasikan bukan OMA. Membran yang mengalami bulging meningkatkan kemungkinan otitis media, seperti halnya gangguan mobilitas membran, dan membran yang kemerahan. Penggunaan otoskop pneumatik dengan timpanometri meningkatkan ketepatan diagnosis. Timpanometer menyediakan informasi kuantitatif mengenai fungsi struktural dan adanya efusi telinga tengah, adanya membran yang mengalami retraksi atau bulging4.

G. PENATALAKSANAAN Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pada stadium oklusi tuba Eustachius, pengobatan ditujukan untuk mengembalikan fungsi tuba Eustachius, sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Untuk itu diberikan tetes hidung vasokonstriktor yang dapat mengatasi penyempitan tuba Eustachius akibat edema. Obat yang digunakan adalah HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis untuk anak berusia 12 tahun dan dewasa. Obat-obatan lain diberikan dengan maksud untuk mengatasi

11

sumber infeksi, misalnya golongan aspirin untuk ISPA, antibiotik diberikan apabila penyebab penyakit adalah bakteri bukan oleh virus atau alergi6,7. Pada stadium presupurasi, diberikan antibiotika, obat tetes hidung, dan analgetika. Antibiotika yang dianjurkan adalah golongan penisilin atau ampisilin. Terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar didapatkan konsentrasi yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gejala sisa berupa gangguan pendengaran, dan kekambuhan. Pemberian antibiotika dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgBB per hari, dibagi dalam 4 dosis. Amoksisilin diberikan 40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Eritromisin diberikan dengan dosis 40 mg/kgBB/hari 6. Pada stadium supurasi, hipertensi dalam kavum timpani menyebabkan otalgia hebat dan febris tinggi, sehingga perlu dilakukan drainase mukopus dari kavum timpani. Dilakukan insisi membran timpani pada daerah postero-inferior7. Dengan miringotomi, gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari6. Antibiotik mutlak harus diberikan. Drainase juga tetap diusahakan melewati tuba Eustachius dengan menggunakan obat tetes hidung serta obat lain untuk mengatasi ISPA7. Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret dalam jumlah banyak dan kadang terlihat sekret keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 3% yang diberikan selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat6. Obat tetes hidung dan obat-obat lain untuk ISPA tetap diberikan. Jika membran timpani masih tampak bombans, masih perlu dilakukan parasentesis dengan melebarkan lubang perforasi atau tetap dilakukan di daerah poster-inferior7. Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal, tidak ada lagi sekret, dan perforasi membran timpani (jika tidak lebar) akan menutup6. Pada stadium ini penderita sudah tidak lagi memerlukan obat-obatan, karena kebanyakan ISPA

12

telah menyembuh. Penderita diberi saran agar menjaga kebersihan telinganya, telinga tidak boleh kemasukan air ataupun dikorek-korek untuk menghindari kekambuhan7. Masa penyembuhan OMA berkisar antara 10 hari sampai 2 minggu. Lubang perforasi, jika tidak lebar, masih ada kemungkinan untuk tertutup oleh jaringan sikatrik. Fungsi pendengaran, apabila tidak terjadi perlekatan tulang pendengaran oleh jaringan ikat, akan normal kembali setelah 1-2 bulan7. Bila tidak terjadi resolusi, biasanya akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan ini, antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila setelah 3 minggu sekret masih banyak, kemungkinan telah terjadi mastoiditis. Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari 3 minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu setengah atau dua bulan, keadaan ini disebut otitis media supuratif kronis (OMSK)6. Berdasarkan American Academy of Family Physicians (AAFP), dalam manajemen OMA, tujuan terapi pada OMA adalah memulihkan gejala dan menurunkan kekambuhan. Kebanyakan anak dengan OMA (70-90%) mengalami resolusi spontan dalam 7-14 hari; sehingga antibiotik pada awalnya tidak perlu diresepkan secara rutin pada semua anak. Penundaan terapi antibiotik pada pasien tertentu dapat menurunkan biaya terapi dan efek samping dan meminimalkan resistensi kuman4. Terapi Simtomatik Manajemen nyeri penting dalam dua hari pertama setelah diagnosis ditegakkan. Analgesik yang dapat dipilih antara lain asetaminofen (15 mg/kgBB setiap 4-6 jam) dan ibuprofen (10 mg/kgBB setiap 6 jam). Suspensi Antipyren/benzocaine otic (Auralgan) dapat digunakan sebagai analgesia lokal4.

13

Antihistamin dapat mengatasi alergi nasal, namun antihistamin dapat memperpanjang efusi telinga tengah. Sedangkan dekongestan oral dapat digunakan untuk mengurangi kongesti nasal. Namun, antihistamin maupun dekongestan tidak meningkatkan kesembuhan atau meminimalkan komplikasi OMA, sehingga tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin. Antihistamin dan dekongestan sebaiknya tidak diresepkan pada anak dengan OMA atau otitis media dengan efusi. Penggunaan kortikosteroid tidak bermanfaat pada OMA4.

Antibiotik Sebuah metaanalisis dari penelitian-penelitian uji random acak membuktikan bahwa antibiotik paling bermanfaat jika diberikan pada anak berusia 2 tahun dengan gejala ringan atau diagnosis belum pasti. Jika dokter memilih untuk menunda pemberian antibiotik, harus diinformasikan pada pengasuh anak untuk mengobservasi anak, mengenali tanda penyakit jika tambah berat, dan dapat dengan mudah mengakses pelayanan kesehatan4. Pilihan Antibiotik

14

Dosis tinggi amoksisilin (80-90 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari) direkomendasikan sebagai terapi pilihan pertama pada hampir semua anak dengan OMA. Pada anak yang berusia > 6 tahun dengan penyakit ringan sampai sedang, pemberian antibiotik selama 5 sampai 7 hari sudah adekuat. Amoksisilin merupakan obat yang efektif, aman, relatif tidak mahal, dan memiliki spektrum mikrobiologi sempit. Terapi pilihan pertama amoksisilin tidak direkomendasikan pada anak yang juga mengalami konjungtivitis purulenta, setelah terapi antibiotik dalam bulan sebelumnya, pada anak yang menggunakan amoksisilin sebagai kemoprofilaksis terhadap OMA berulang atau infeksi saluran kemih, dan pada anak yang alergi penisilin4. Sefalosporin dapat digunakan pada anak yang alergi terhadap penisilin jika tidak terdapat riwayat urtikari atau reaksi anafilaksis terhadap penisilin. Jika terdapat riwayat urtikari akibat penisilin atau reaksi anafilaksis, makrolide (e.g., azithromycin [Zithromax], clarithromycin [Biaxin]) or clindamycin [Cleocin]) dapat digunakan. Dosis tunggal seftriakson parenteral (Rocephin, 50 mg per kg) dapat bermanfaat pada anak dengan muntah. Dosis tunggal azithromycin cukup aman dan efektif pada OMA tanpa komplikasi4. OMA persisten Jika tidak terdapat perbaikan klinis dalam 48-72 jam, pasien harus diperiksa ulang untuk memastikan diagnosis, mengeksklusikan penyebab lain penyakit, dan memulai terapi antibiotik - pada kasus yang hanya diberikan obat simtomatik saja. Pasien yang sudah menerima terapi antibiotik sebaiknya terapi antibiotik diubah menjadi terapi antibiotik lini kedua4. Pilihan 3 hari antibiotiknya pada meliputi anak dosis tinggi atau amoksisilin/clavunate resisten terhadap

(Augmentin), cephalosporins, dan makrolide. Ceftriaxone parenteral diberikan selama bermanfaat dengan emesis amoksisilin/clavunate. Pada anak yang tidak berspon terhadap antibiotik lini kedua,15

clindamycin dan timpanosentesis menjadi pilihan yang tepat. Walaupun tidak terbukti penggunaannya pada anak-anak, levofloxacin (Levaquin) efektif pada anak yang mengalami OMA rekuren atau persisten4. Timpanosentesis yang diikuti aspirasi dan kultur cairan dari telinga tengah berguna pada anak yang sangat sakit, yang gagal dengan serangkaian antibiotik, atau dengan defisiensi imun. Walaupun kultur nasofaring berkorelasi baik dengan kultur cairan telinga tengah yang negatif, namun hal ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin. Computed tomography (CT) bermanfaat jika dicurigai adanya keterlibatan tulang. Magnetic resonance imaging lebih baik daripada CT dalam mengevaluasi komplikasi potensial intrakranial4. Pemeriksaan pendengaran dan bicara direkomendasikan pada anak dengan dugaan gangguan pendengaran atau efusi persisten paling tidak 3 bulan, dan pada anak dengan gangguan perkembangan4. OMA berulang (rekuren) Kebanyakan anak dengan OMA rekuren membaik dengan watchful waiting. Walaupun antibiotik profilaksis dapat menurunkan kekambuhan, namun tidak terdapat rekomendasi luas yang diterima untuk penggunaan antibiotik profilaksis baik jenis antibiotik maupun lama pemberiannya. Meminimalkan faktor resiko dapat menurunkan kekambuhan. Vaksin heptavalent pneumococcal (Prevnar) menurunkan insidensi OMA tapi tidak menurunkan kekambuhan4.

H. KOMPLIKASI Komplikasi OMA meliputi5: 1. Intratemporal

16

Perforasi membran timpani, mastoiditis akut, paralisis nervus fasialis, labirinitis akut, petrositis, otitis nekrotik akut, atau berkembangnya otitis media kronik. 2. Intrakranial Meningitis, encephalitis, abses otak, otitis hydrocephalus, abses subaraknoid, abses subdural, thrombosis sinus sigmoid. 3. Sistemik Bakteremia, artritis septik, atau endokarditis bakterial

I.

PROGNOSIS Dengan terapi antibiotik, tanda sistemik berupa demam dan letargi menjadi

berkurang bersamaan dengan nyeri lokal dalam waktu 48 jam. Efusi telinga tengah dan tuli konduksi dapat bertahan selama proses terapi, dengan 70% anak akan mengalami efusi telinga tengah setelah 14 hari, 50% pada 1 bulan, 20% pada 2 bulan, dan 10% setelah 3 bulan. Anak yang mengalami kurang dari 3 episode OMA, memiliki kecenderungan untuk sembuh dengan satu seri antibiotik5.

17

Tabel 4. Obat-obatan yang digunakan pada otitis media akut (Ramakrishnan K, Sparks RA, Berryhill W. 2007)

18

Gambar 2. Manajemen otitis media akut (Ramakrishnan K, Sparks RA, Berryhill W. 2007)

19

BAB III SIMPULAN

Otitis media akut (OMA) merupakan suatu proses inflamasi akut pada telinga bagian tengah yang berlangsung selama kurang dari atau sama dengan 3 minggu, yang disebabkan oleh bakteri (terutama Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, dan Moraxella catarrhalis) dan virus. OMA dapat terjadi pada semua umur dengan prevalensi puncak pada anak berusia 6-18 bulan. Insidensi pada laki-laki lebih tinggi sedikit daripada perempuan. Dalam perjalanan penyakitnya, OMA dibagi menjadi lima stadium, yaitu: stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis (presupurasi), stadium supuratif, stadium perforasi, dan stadium resolusi. Manifestasi klinis OMA tergantung pada stadium OMA. Kriteria diagnosis OMA meliputi onset gejala yang akut, adanya efusi telinga tengah, dan adanya gejala dan tanda inflamasi telinga tengah. Gejala non-spesifik OMA meliputi demam, sakit kepala, iritabilitas, batuk, rinitis, lesu, anoreksia, muntah, diare, dan gerakan menarik-narik telinga. OMA merupakan penyebab paling umum anak dibawa berobat dan diresepkan antibiotika di Amerika Serikat. Pemilihan jenis obat antibiotik yang tepat menjadi aspek kunci penatalaksanaan OMA. Kebanyakan anak dengan OMA (70-90%) mengalami resolusi spontan dalam 7-14 hari; sehingga antibiotik pada awalnya tidak perlu diresepkan secara rutin pada semua anak. Pemberian antibiotik direkomendasikan pada semua anak berusia kurang dari 6 bulan, usia 6 bulan sampai 24 bulan dengan diagnosis pasti, dan pada anak dengan infeksi berat. Dosis tinggi amoksisilin (80-90 mg/kgBB/hari) direkomendasikan sebagai terapi pilihan pertama. Antibiotik makrolid, clindamycin, sefalosporin

20

merupakan alternatif pada anak yang sensitif terhadap penisilin dan pada anak dengan infeksi resisten. Pasien yang tidak berespon terhadap terapi perlu diperiksa ulang. Tindakan observasi tanpa pemberian antibiotik merupakan salah satu pilihan pada anak tertentu dengan OMA, seperti pada kasus anak dengan gejala ringan. Penundaan terapi antibiotik pada pasien tertentu dapat menurunkan biaya terapi dan efek samping dan meminimalkan resistensi kuman. Pasien dengan OMA yang gagal dengan terapi awal dalam 48-72 jam harus diperiksa ulang untuk memastikan diagnosis. Jika diagnosis telah ditegakkan, pemberian antibiotik dapat dimulai pada pasien yang awalnya belum diberikan antibiotik, dan antibiotik yang berbeda sebaiknya diresepkan pada pasien yang sebelumnya sudah mendapat antibiotik. Antihistamin dan dekongestan sebaiknya tidak diresepkan secara rutin pada anak dengan OMA atau otitis media dengan efusi. Komplikasi yang dapat terjadi pada OMA meliputi komplikasi intratemporal, intrakranial, dan sistemik. Anak yang mengalami kurang dari 3 episode OMA, memiliki kecenderungan untuk sembuh dengan satu seri antibiotik.

21

BAB IV DAFTAR PUSTAKA

1. Vouloumanou EK, Karageorgopoulos DE, Kazantzi MS, Kapaskelis AM,

Falagas ME. 2009. Antibiotics versus Placebo or Watchful Waiting for Acute Otitis Media: A Meta-analysis of Randomized Controlled Trials. Journal of Antimicrobial Chemotherapy (2009) 64, 16-24. Diakses dari http://jac.oxfordjournals.org/content/64/1/16.full.pdf+html pada 31 Janari 2011

2. Pavlovcinova G, Jakubikova J, Hromadkova P, Mohammed E. 2006. Clinical

Study Severe Acute Otitis Media in Children. Diakses dari http://www.bmj.sk/2008/10905-04.pdf pada 2 Februari 2011.

3. American Academy of Pediatrics and American Academy of Family

Phisicians. 2004. Diagnosis and Management of Acute Otitis Media. Diakses darihttp://aappolicy.aappublications.org/cgi/reprint/pediatrics;113/5/14 51.pdf pada 2 Februari 2011.

4. Ramakrishnan K, Sparks RA, Berryhill W. 2007. Diagnosis and Treatment

Otitis Media. American Family Physicians. Diakses dari http://www.aafp.org/afp/2007/1201/p1650.html pada 2 Februari 2011.

5. Donaldson JD. 2010. Middle Ear, Acute Otitis Media, Medical Treatment. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/859316overview pada 2 Februari 2011.

22

6. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi keenam. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007:p.66-68

7. Herawati S, Rukmini S. Otitis Media Purulenta Akut. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Telinga Hidung Tenggorok untuk Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi. Jakarta. EGC, 2004:p. 25-29

23