Transcript

Pikiran Rakyato Senin 0 Setasa 0 Rabu • Kamis 0 Jumat 0 Sabfu

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1317 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28--------~----~----~-------------------- .----~~--~~----:~----~----o Jan 0 Peb 0 Mar 0 Apr 0Me; 0Jun 0 Jut 0 Ags 0 Sep 0 Okt

Demokrasi Ala YogyakartOleh SUWANDI SUMARTIAS

M ENCERMATI prodan kontra tentangRancangan Un-

dang- Undang KeistimewaanYogyakarta ala pemerintah pu-sat yang mendapat reaksi kerasdari para elite dan masyarakatDaerah Istimewa Yogyakarta(DIY), tentunya memberi pem-belajaran luar biasa tentangpraksis demokrasi di bumi per-tiwi ini. Di lain pihak, pema-haman konsep-konsep demo-krasi dan atau politik ke-kuasaan yang berkembangdalam teks yang dianut negarapenganut demokrasi tidak se-lalu mulus dan sesuai dengankonteks di mana demokrasi ituditerapkan. Demokrasi bukanlagijaminan tunggal dan mu-tlak untuk dilakoni tanpa mua-tan dan isyarat sejarah ke-kuasaan dengan nilai-nilaiunik dan khas yang berkem-bang sedemikian rupa dimasyarakat.

Yogyakarta adalah salah satubagian Negara Kesatuan Re-publik Indonesia (NKRI) yangsang at penting yang telahmengawinkan praksis demo-krasi dengan monarki yang re-latif berhasil karena tak adagugatan dan atau keluhan darimasyarakat yang signifikan ba-gi keberlangsungan NKRI. Ke-khawatiran adanya "negara da-lam negara" versi orang pusatsungguh berlebihan dan terlalucepat, bahkan dianggap satupengingkaran dan penghinaansejarah sehingga dikha-watirkan memunculkan kon-flik dan perpecahan lebih luas.Mungkin saja wacana inimuncul akibat persaingan po-litik dan atau sepak terjang SriSultan Hamengkubuwono Xdalam kancah politik praktisyang tampak intensif dan me-lahirkan satu pandangan yangberbeda di pusat kekuasaan.Masyarakat Yogyakarta mung-kin belum tahu dan sulitmembedakan antara kegiatanpolitik Gubernur DIY di luarkeraton, baik sebagai salah se-orang pembina Golkar mau-pun ormas Nasional Demo-krat, dengan fungsinya sebagaisultan yang benar-benar dihor-mati dan menjadi panutanwarganya. Dalam konteks ini,idealnya seorang raja dituntutnetral kepada partai politikatau ormas, kecuali sebagai gu-bernur.

Demokrasi ala IndonesiaPraksis demokrasi dalam sis-

tern pemerintahan di Indonesiabarn diuji coba melalui pemili-han presiden dan pemilihanumum kepala daerah (perni-lukada) langsung sejak 2004dan dianggap para penga-nutnya sebagai cara pemilihanyang telah berhasil. Namun,keberhasilan ini baru sekadar"pestanya" elite politik dalammengerahkan suara para calonpemilih semata, belum menye-ntuh substansi demokrasi itusendiri. Bahkan demokrasi kinicenderung mengalami distorsipemaknaan luar biasa olehpara elite politik dan rakyatsendiri.Demokrasihanyaiden-tik dengan penyelenggaraanpemilu bagi eksekutif dan legis-latif semata. Di luar itu, rakyatkembali sebagai penonton yangdisuguhi berbagai berita burukdari realitas politik yang dikelo-la dan diperankan para elitepascapemilu.

Selebihnya, praksis demo-krasi merupakan sarana dan a-rena perebutan kekuasaan danjabatan para elite politik yangsangat instan serta sebagai ko-moditas bisnis para politisiyang bermodal tanpa menghi-raukan moralitas dan substan-si demokrasi itu sendiri. Situasiini diperparah oleh minimnyapemahaman dan pendidikanpolitik rakyat. Hal itu ditandaidengan maraknya politik uangdan iming-iming materi sertajabatan yang empuk di dualembaga (eksekutif dan legis-latif).

Meminjam pemikiran Don-ny Gahral (2010) dalam salahsatu karyanya "DemokrasiSubstansial Sebagai RisalahKebangkrutan Liberalisme",idealnya demokrasi merupa-----------------------~~

Kliping Humas Unpad 2010

kan resistensi elitisme politikyang bertujuan perluasan ak-ses kaum marginal, miskin,dan minoritas. Demokrasi ha-rus mengatasi bentuknya seka-rang yang masih berupa me-kanisme dan prosedur legiti-masi kekuasaan semata. Prak-sis demokrasi baru sekadarterjebak mekanisme perolehankekuasaan dan jabatan yangmengandung dua ancamanyang sama latennya.

Pertama, demokrasi dibajakoleh mereka yang sejatinyaantidemokrasi. Kelompok inipiawai mengambil hati konsti-tuen secara demokratis, tetapisetelah berkuasa mereka mem-bakar akses atau jembatanyang mereka pakai.

Kedua, demokrasi dibajakoleh orang-orang bermodal,menjadi kompetisi untuk men-dulang suara dengan mengu-sung popularitas dan iklanpolitik sebagai kunci utama.Kualitas demokrasi pun diper-ta-ruhkan ketika relasi politikberubah menjadi transaksiekonomi dan adu tawar posisidalam birokrasi. Dalam kon-teks ini, posisi Gubernur DIYtentunya dipandang masihberada dalam koridor legiti-masi hukum demokrasi dansosial budaya dengan UU Keis-timewaannya, apalagi me-rangkap sultan sebagai panu-tan moral. Sementara praksisdemokrasi dalam mayoritastelah keluar dari fitrahnya,terutama demokrasi yang telahdikonstruksi oleh segelintirelite yang mengusung kebe-basan individu sebagai produkkaum Iibe-ralis dan kapitalis.

Hasil riset Lingkaran SurveiIndonesia (LSI) 1-5 Mei 2010menunjukkan, hanya 16,9 per-sen responden dari masyarakatIndonesia yang merasa kondisidi era reformasi lebih baik,sedangkan 44,5 persen respon-den menyatakan justru kondisidi era Orde Baru lebih baik.Setelalr dua belas tahuh refor-masi bergulir, dan jatuhnyaPresiden Soeharto, publik ter-nyata "merindukan kembali"Orde Baru. Mereka mengang-gap ekonomi di era Orde Barubahkan lebih baik. Hanya 31,3persen responden yang meny-atakan reformasi sudah ber-jalan di arah yang benar (onthe track). Jauh lebih banyak,46,2 persen responden,menyatakan reformasi berjalandi arah yang salah atau mer-agukan arah reformasi. Refor-

l

masi lebih baik hanya untukisu penegakan hukum dan ke-bebasan politik. Akan tetapi,untuk isu stabilitas poIitik, kea-manan, sosial, apalagi ekono-mi, era Orde Baru dianggaplebih baik. (Pikiran Rakyat, 20Mei 2010).

Praksis demokrasi yang di-jalankan satu rezim penguasabenar-benar dipahami sesuaidengan selera dan pengalamanpara aktor politik pada za-mannya. Reformasi telah me-lahirkan suasana dan prosesdemokrasi yang benar-benarbebas sesuai dengan kepenting-an para elite penguasa dan atauelite politisi yang berkolaborasidengan pengusaha. Praktik ko-rupsi, kolusi, dan nepotisme(KKN), makelar kasus, hukum,pajak, dan sebagainya, semakinhari semakin telanjang adanya.Ternyata bangunan demokrasitelah dipelintir sebagian elitenegeri yang nihil komitmendan kepastian penegakan hu-kum. Reformasi menjadi arenapertarungan dan pertaruhankepentingan elite penguasa..politisi, dan pengusaha yangdisaksikan jutaan rakyat me-lalui berbagai media massa danjejaring sosial serta rumor-ru-mor di jalanan.

Praksis politik demokrasiyang ditampilkan benar-benarmenjadi tontonan dan aku-mulasi kekecewaan yang luarbiasa di ruang-ruang publik.Ruang-ruang publik yang se-harusnya menyajikan programbagaimana intensitas kepedu-lian dan tanggung jawab sosialnegara atas rakyatnya dari ke-

. bodohan, kemiskinan, KKN(korupsi, kolusi, dan nepo-tisme), kini berubah menjadiruang caci maki dan ketidak-berdayaan. Lagi-lagi para eliteyang dikritisinya berjalan tanpamerasa dikritik, apalagi ber-salah dan malu, bahkan sibukbagaimana menyelamatkandiri.

Ranah birokrasi dan politikpraktis menjadi domain per-tunjukan sentralistik yangpragmatif dan sekaligus greyarea yang sulit diprediksi akaldan nurani yang sehat. Seyo-gianya, ingar bingar pesta po-litik demokrasi, pernyataan,argumentasi, persuasi, de-monstrasi, performance, bah-kan cercaan dan makian yangdisampaikan dalam aneka dis-kursus di gedung parlemen,media massa, dan ruang publikbeberapa tahun terakhir ini

menunjukkan adanya nuansaterbangunnya spirit "kebeba-san individu" iindioidual free-dom) sebagai satu ruh utamademokrasi. Namun, kebebasanindividu yang 'diperoleh itubelum dibarengi dengan tang-gung jawab politik para elitedalam mengelola negara danrakyatnya, sehingga kebebasanberdemokrasi harus dibayardengan tergerusnya aneka pi-lar dan perekat sosial (socialcohesion) yang selama ini jadipengikat nation state yang di-tunjukkan oleh semangat ke-satuan, kebersamaan, persau-daraan, dan kebangsaan.

Kebebasan itujuga merong-rong landasan etika sosial danmoral politik yang melandasidunia kehidupan politik, sosial,dan ekonomi, seperti tata kra-ma, kesantunan, kejujuran, in-tegritas, tenggang rasa, danrasa hormat. Celakanya, inimewabah di lembaga tinggi ne-gara (eksekutif, legislatif, danyudikatif). Praksis demokrasikini sedang bergerak ke arahperayaan kebebasan individuyang cenderung menumbuh-kan watak individualisme, yak-ni egoisme, selfishness, narsi-sisme, dan hedonisme. Elite-elite politik cenderung me-ngembangkan etika individu-alis. Pandangan individu jadiukuran segala kebenaran, ke-baikan, dan keutamaan (vir-tue). Akibatnya, ukuran nilai,"kebenaran, moral, dan keuta-maan kolektif yang berasal dariadat, mitos, tradisi, bahkanagama semakin terpinggirkan.

Dalam situasi seperti ini,tentunya eksistensi DIY yangmengawinkan demokrasi danmonarki masih dianggap lebihbaik. Oleh karena itu, sebagaipenutup, perlu kiranya meng-kaji apa yang dipikirkan olehJoseph V. Femia ("Against theMasses" dalam Yasraf AmirPiliang, 2010) bahwa "demo-kratisasi" sebagai suatu prosesharus mendapatkan kritikmemadai sebelum diputuskanapakah akan diterapkan seba-gai landasan ideologis atau ti-dak karena ada beberapa wa-tak demokrasi yang mungkinbertentangan dengan ''karakterbangsa" sehingga ia dapatmenjadi suatu ancaman ke-tiinbang harapan. Semoga!***

Penulis, pengajar Komu-nikasi Politik dan Ketua Ju-rut:an Humas Fikom Universi-tas Padjadjaran Bandung.


Recommended