Transcript
Page 1: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Pemberdayaan Komunita S

D A F T A R I S I

PK (JIKS)

Vol. 5

No. 3

Hal. 232 – 347

Medan, September 2006

ISSN 1412-6133

JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL ISSN 1412-6133

Volume 5, Nomor 3, September 2006Hal. 232 – 347

Vivi Tresnawati & Hayaruddin Siagian Aprilyani & Agus Suriadi Dewi Hartika Nasution Almaidafiani & Sudirman Edward & Husni Thamrin Sichmen Pandiangan Matias Siagian Sukarman Purba

Program Pertanian Polikultur dan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa.……………………................ Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Implementasi Program Beras untuk Keluarga Miskin (RASKIN)…………………………..………..................... Adaptasi Masyarakat Miskin terhadap Inflasi Akibat Kenaikan Harga BBM.……................................................ Pengaruh Program Penyuluhan Pertanian Organik terhadap Sosial Ekonomi Petani........................................................... Peranan Organisasi Lokal dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial Masyarakat.......................................... Bentuk-Bentuk Perlawanan Petani terhadap Dominasi Negara................................................................................. Kemiskinan dan Kebijakan Setengah Hati Negara dalam Mengatasinya.……............................................................. Menuju Perguruan Tinggi Masa Depan..……….…….......

232 – 248

249 – 270

271 – 286

287 – 303

304 – 323

324 – 336

337 – 340

341 – 347

Page 2: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

232

Vivi Tresnawati adalah Staf di Centra Mitra Remaja Medan, Hayaruddin Siagian adalah Peneliti LIPI Jakarta

PROGRAM PERTANIAN POLIKULTUR DAN KONDISI

SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA

Vivi Tresnawati & Hayaruddin Siagian

Abstract Agriculture modernization is identical with the using of chemical fertilizer producted by modern factory, pesticide, and mechanization. All of them said as green revolution. Was it result improvement of social welfare for famers? This research knowing was the natural agriculture gived positive or negative result for farmers social welfare in Tanjung Selamat village, Namorambe, Deli Serdang wich followed the Polyculture Agriculture Program. Data analysis showed that Polyculture Agriculture Program carry out by Bitra Foundation (NGO) resulted the positive impact for the famers social welfare. The raising of social welfare is seen in some indicators of life condition. Keywords: polyculture agriculture, agriculture sector, social welfare

Pendahuluan

Negara Indonesia adalah salah satu negara agraris potensial di dunia. Oleh karena itu sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai sumber bahan makanan, sumber bahan mentah untuk industri, lapangan kerja, sumber devisa serta sebagai pasar barang dan jasa bagi hasil produksi sektor-sektor lainnya. Data BPS menunjukkan bahwa sektor pertanian masih tetap dominan dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia, mencapai 40 juta orang lebih atau sekitar 45,3% dari jumlah pekerja yang hampir 90 juta orang.

Tabel 1 Distribusi Pekerja Menurut Sektor Ekonomi

Tahun 2000

No. Sektor Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8

Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Perdagangan, Hotel/ Restoran Angkutan, Komunikasi Keuangan, Asuransi, Persewaan Jasa Kemasyarakatan Lainnya

40.676.713 11.641.756 3.497.232

18.498.005 4.553.855

882.600 9.574.009

522.560 Jumlah 89.837.730

Sumber: BPS, Sakernas 2000

Dari data di atas dapat diketahui bahwa jumlah pekerja paling banyak berada di sektor pertanian. Namun kenyataannya sebagian besar petani Indonesia berpenghasilan rendah. Untuk meningkatkan sektor pertanian, berbagai usahapun dilakukan agar pertanian menghasilkan dengan cepat, tanpa pertimbangan, yakni melalui pola pertanian yang dilakukan secara parsial atau atas dasar komoditas yang umumnya lebih menguntungkan produktivitas sumberdaya lahan dengan masukan sarana produksi (pupuk dan pestisida) anorganik ke dalam agroekosistem pertanian yang cukup tinggi (www. bumikita. com).

Sistem Usahatani ini hanya berorientasi pada maksimalisasi produktivitas, yang mengakibatkan kemunduran kualitas lingkungan dan pengurangan stabilitas produksi oleh timbulnya biotipe dan strain hama dan penyakit, terbentuknya senyawa beracun bagi tanaman dan menurunnya kesuburan tanah, serta terjadinya kerusakan lingkungan oleh penggunaan pestisida yang berlebihan (www. bumikita. com). Praktik Pertanian yang menggunakan bibit unggul yang dihasilkan oleh perusahaan benih, bahan-bahan kimia buatan pabrik (agrokimia) seperti untuk pemupukan lahan dan pengendalian

Page 3: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 232 – 248

233

hama awalnya dirasakan meningkatkan hasil produksi pertanian. Namun, setelah beberapa dekade, praktik tersebut menimbulkan permasalahan khususnya terhadap kerusakan ekosistem lahan pertanian dan kesehatan petani itu sendiri (info organis, Biocert).

Penurunan hasil pertanian yang dibarengi dengan meningkatnya daya tahan hama dan penyakit tanaman, disebabkan karena fauna tanah yang bermanfaat bagi tanaman semakin berkurang dan mikroorganisme yang berguna bagi kesuburan tanah pun nyaris hilang akibat pemakaian input agrokimia yang berlebihan. Bahkan hama dan penyakit tanaman bukannya menurun, tapi justru semakin kebal terhadap bahan-bahan kimia tersebut sehingga petani memerlukan dosis yang lebih tinggi lagi untuk membasminya. Ini artinya, petani tidak saja menebar racun untuk membasmi hama dan penyakit, tetapi juga meracuni dirinya sendiri (info organis, BIOCert).

Demikianlah yang dialami oleh banyak petani Indonesia, karena tergiur akan pertanian yang menghasilkan dengan cepat, mereka pun mengikuti usahatani konvensional yang identik dengan pupuk dan pestisida (berbasis kimia) tanpa memperhatikan efeknya ke berbagai hal, baik terhadap kualitas produksi maupun pengaruhnya terhadap lingkungan seperti kesuburan tanah. Demikian pula yang terjadi di Sumatera Utara, khususnya Deli Serdang, di mana pada tahun 1970-an bagi kalangan para petani boleh dikatakan tengah menuai berkah tapi sekaligus bencana. Pada masa itu mulai dikenal apa yang dimaksud Revolusi Hijau. Secara sederhana, Revolusi Hijau adalah modernisasi pertanian yang mengandalkan asupan kimia dan biologi (J. Anto, 2003; 16).

Menurut Tandon (seperti dikutip Sutanto, 2002; 72) bahwa ‘akibat pemupukan yang tidak berimbang dan penggunaan bahan organik yang sangat terbatas maka apabila situasi ini terus berlanjut, Revolusi Hijau bukan membawa keberhasilan pembangunan pertanian tetapi akan membawa malapetaka yang besar’. Pada kondisi semacam ini, praktik pertanian organik membantu dalam memperbaiki tanah yang terdegradasi dan mendorong tercapainya sistem pertanian yang berkelanjutan. Lebih jelasnya lagi, perbedaan yang cukup lebar antar kebutuhan dan pasokan hara dari pupuk kimia dapat diperkecil melalui daur ulang bahan organik yang efektif di samping pemanfaatan pupuk hayati.

Akibatnya, penggunaan bahan-bahan kimia pada sektor pertanian menjadi sumber pencemaran utama karena produk yang membahayakan kesehatan.

Pada tahun 1968 pemerintah Orde Baru mencanangkan Program Bimas (Bimbingan Massal) yang mempromosikan penggunaan meluas bibit unggul, pupuk buatan, pestisida, insektisida, kredit dan tentunya tenaga kerja murah serta lahan sawah beririgasi, revolusi Hijau secara radikal telah mengubah wajah pertanian di banyak daerah, termasuk di wilayah Deli Serdang, Sumatera Utara. Melalui Revolusi Hijau yang dikenal dengan Panca Usaha Tani, para petani di Deli Serdang, yang pada tahun 1982 luas areal sawahnya mencapai 22,93% dari total luas areal 139.054,62% hektar, memang mulai mengenal berbagai hal baru dalam bidang pertanian seperti benih unggul, pupuk anorganik, sistem tanam, pestisida, dan lain-lain. Padahal, sebelumnya petani hanya menanam bibit lokal dan memupuk tanamannya dengan pupuk kandang (kompos) yang diambil dari pekarangan sendiri (J. Anto, 2003; 16).

Seiring dengan dikenalkannya jenis varietas unggul, petani pun tidak terpisahkan lagi dengan adanya pestisida. Awalnya, pertanian konvensional ini memang membawa berkah bagi petani, karena produksi pertanian meningkat. Namun, ini tidak berlangsung lama karena dibalik meningkatnya produktivitas petani, justru muncul wereng atau serangga-serangga yang merusak tanaman di manasemua itu dikarenakan pemakaian pestisida yang tidak terkendali, sehingga mengakibatkan fisik hama menjadi toleran dan resistan terhadap racun kimia.

Hal ini mengakibatkan kerugian bagi petani baik ekonomi, maupun sosial juga kerusakan bagi kesuburan tanah (J. Anto, 2003; 16). Bahan-bahan agrokimia yang digunakan tersebut juga dapat mempengaruhi kesehatan. Bahan-bahan tersebut masuk ke tubuh kita melalui pernafasan, pori-pori kulit atau terbawa ke dalam tubuh kita dalam bentuk residu dari hasil-hasil pertanian yang kita konsumsi. Beberapa zat kimia hasil industri, seperti pestisida, dapat bekerja sebagai pengganggu sistem hormon (hormone disruptors/kankyo hormone) dalam tubuh manusia (Info Organis, BIOCert). Seperti yang dikutip oleh BIOCert dari Alternative therapies (volume 4, 1998), bahwa berdasarkan penelitian dr Virginia Worhington, ahli gizi

Page 4: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Tresnawati & Siagian, Program Pertanian...

234

dari Amerika Serikat, disebutkan bahwa bahan makanan-makanan yang mengandung residu pestisida, hormon atau antibiotik dapat merangsang timbulnya alergi bagi individu-individu tertentu. Dari studinya dengan membandingkan kandungan nutrisi lebih dari 300 produk-produk yang dihasilkan secara organik dengan yang produk konvensional, diperoleh rata-rata kandungan vitamin C, besi (Fe), magnesium (Mg) dan Pospat (P) produk-produk organik lebih tinggi dibandingkan dengan produk-produk konvensional. Pendapat tersebut diperkuat oleh Pither & Hall (1999), bahwa bobot kering produk-produk organik mengandung lebih tinggi vitamin C, kalium dan beta karoten dibandingkan dengan produk-produk konvensional.

Pertanian organik sebagai bagian pertanian yang akrab lingkungan perlu segera dimasyarakatkan seiring dengan makin banyaknya dampak negatif terhadap lingkungan yang terjadi akibat dari penerapan teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan kimia pertanian. Di samping itu, makin meningkatnya jumlah konsumen produksi bersih dan menyehatkan serta meluasnya gerakan “green consumer” merupakan pendorong segera disosialisasikan gerakan pertanian organik (Sutanto, 2002; 5).

Beranjak dengan keadaan di atas dan dalam rangka membantu masyarakat petani untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat petani tersebut serta ingin menerapkan model pertanian berkelanjutan yang ekonomis, ekologis dan berbudaya dibarengi dengan perhatian masyarakat dunia terhadap persoalan pertanian, kesehatan dan lingkungan global dalam dasawarsa terakhir ini semakin meningkat, maka banyak LSM yang mengembangkan Pertanian Organik yang akrab lingkungan dan menghasilkan hasil pertanian yang sehat, bebas dari residu obat-obatan dan zat-zat kimia yang mematikan. Pertanian organik lebih dihargai dibandingkan dengan pertanian non-organik.

Hal ini disebabkan karena adanya nilai lebih dari pertanian organik tersebut. Nilai lebih tersebut berupa: 1. Pertanian organik menawarkan hasil

pertanian yang sehat dan alami 2. Mengindahkan dan menjaga kelestarian

ekosistem pertanian

3. Menghargai jerih payah petani dalam proses budidaya Pertanian Organik (seperti pengolahan dan pemeliharaan lahan sebagai salah satu komponen biaya produksi) dan usaha pelestarian lingkungan (Info Organis, BIOCert)

Banyak LSM yang mengangkat

Pertanian Organik ini untuk coba diterapkan dan dikembangkan seperti Jaringan Aksi Pestisida (PAN) Indonesia, STPN – HPS, ELSPPAT (Bogor) dan Sintesa dan salah satunya adalah Bitra Indonesia, di manalewat Pertanian Organik ini, Bitra Indonesia menerapkan Pertanian Polikultur pada kelompok-kelompok tani di daerah-daerah dampingannya. Dimana, program pertanian ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan atau penghasilan para petani yang pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan para petani untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi petani dengan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari seperti sandang, pangan dan papan serta untuk memelihara ekosistem pertanian.

Salah satu daerah tempat penerapan Program Pertanian Polikultur ini yaitu di Desa Tanjung Selamat di manadesa tersebut merupakan salah satu kelompok tani dampingan Bitra Indonesia ini tempat penerapan Program Pertanian Polikultur yang pada akhirnya bisa meningkatkan pendapatan mereka yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan petani untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melihat kebenaran dari pelaksanaan Program Pertanian Polikultur ini secara ilmiah apakah ada peningkatan pendapatan petani yang akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi pada petani Desa Tanjung Selamat dengan adanya Program Pertanian Polikultur yang dikenalkan dan diterapkan oleh Yayasan Bitra Indonesia ini, untuk itu penulis ingin mengadakan penelitian di Desa tersebut dengan judul “ Pengaruh Program Pertanian Polikultur terhadap Tingkat Pendapatan Petani Desa Tanjung Selamat. “

Metode Penelitian

Tipe penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen yaitu suatu metode penelitian evaluatif yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas suatu program pelayanan,

Page 5: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 232 – 248

235

pengembangan masyarakat atau sejenisnya. Disain penelitian yang digunakan adalah dengan disain uji perbedaan antara kelompok yang terkena program (kelompok eksperimen) dengan kelompok yang tidak terkena program (kelompok kontrol). Perbedaan karakteristik yang terjadi antara kelompok (eksperimen dan kontrol) dijadikan sebagai pembuktian terhadap ada atau tidaknya pengaruh suatu program pelayanan. Jika kelompok eksperimen menunjukkan perbedaan yang diharapkan atau sesuai dengan tujuan program yang lebih baik dibandingkan dengan karakteristik kelompok kontrol dan dibuktikan signifikansinya melalui uji statistik, maka dapat dikatakan program berpengaruh dan sebaliknya jika karakteristik kelompok eksperimen sama atau lebih rendah dari karakteristik kelompok kontrol, maka program dikatakan tidak berpengaruh.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanjung Selamat Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli Serdang. Alasan penulis memilih lokasi yaitu: Karena Desa Tanjung Selamat ini adalah salah satu Desa dampingan Yayasan Bitra Indonesia yang mendapat Program Pertanian Polikultur. Selain itu, petani Desa Tanjung Selamat ini ada yang masuk dalam kelompok tani dampingan Bitra Indonesia (Program Pertanian Polikultur) dan ada pula yang tidak masuk dalam kelompok tani dampingan Bitra Indonesia (tidak mengikuti Program Pertanian Polikultur).

Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari benda-benda, hewan atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber daya yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu pemelitian (Nawawi, 1991; 141). Berdasarkan uraian tersebut, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani di Desa Tanjung Selamat yaitu berjumlah 27 KK. Teknik penarikan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah Teknik Random Sampling (pengambilan sampel secara acak) yaitu dengan melakukan eksperimen terhadap dua jenis sampel untuk dibedakan antara keduanya yaitu mencari tentang petani yang mengikuti Program Pertanian Polikultur dengan yang tidak mengikutinya (disebut juga Petani Konvensional). Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah petani yang mengikuti Program Pertanian Polikultur sebanyak = 13 KK. Karena penelitian ini akan membuat perbandingan maka diambil pasangan dari petani yang tidak mengikuti Program Pertanian

Polikultur sebanyak = 13 KK juga. Sehingga dijumlahkan menjadi = 26 KK.

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara yang dipadu dengan penggunaan kuesioner. Teknik analisa data mencakup tabel tunggal yang dilakukan dengan cara menginterpretasikannya terhadap distribusi frekuensi dan kecenderungan data untuk mendapatkan ciri-ciri atau karakteristik variabel yang diteliti. Untuk tujuan menyatukan persepsi mengenai teknik analisis yang digunakan pada tabel silang. Uji hipotesa penelitian ini menggunakan teknik uji phi-Cramers dengan batas 95% (0.05). Dalam hal ini apabila x hitung >x =0.05 maka hipotesis penelitian ditolak dan sebaliknya apabila x hitung <x =0.05, maka hipotesis penelitian diterima. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Program Pertanian Polikultur adalah salah satu program dari Divisi Pertanian Yayasan Bitra Indonesia sebagai sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang sangat memperhatikan masyarakat termarginal dengan memberikan berbagai pengetahuan bagi masyarakat dalam hal ini masyarakat Petani. BITRA Indonesia ini memperkenalkan Program Pertanian Polikultur ini ke berbagai daerah di Sumatera Utara yang salah satunya adalah Daerah Karo. Dalam hal ini tempat penelitian berada di Kabupaten Deli Serdang Kecamatan Namorambe tepatnya di salah satu Desa yaitu Desa Tanjung Selamat. Program ini telah ada dan diterapkan di Desa ini sejak tahun 2002 berarti telah berjalan selama 4 tahun. Sasaran Program ini adalah Petani Desa Tanjung Selamat dengan tujuan untuk menciptakan pertanian yang ekonomis,, ekologis dan berbudaya serta untuk meningkatkan kesejahteraan hidup petani dengan meningkatnya pendapatan. Keberadaan Program Pertanian Polikultur ini disambut baik sehingga petani membentuk kelompok-kelompok tani yang dibina atau didampingi oleh Staf dari Bitra Indonesia.

Program Pertanian Polikultur ini yang adalah salah satu Program dari Divisi Pertanian Bitra Indonesia yang menerapkan dan memperkenalkan pola pertanian dengan banyak jenis tanaman pada satu lahan yang sama yang memanfaatkan aspek lingkungan yang ada (flora dan fauna) dalam artian

Page 6: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Tresnawati & Siagian, Program Pertanian...

236

menggunakan pupuk organik dan pestisida alami yang disimpulkan bertujuan untuk menciptakan pertanian yang ekonomis, ekologis dan berbudaya, mampu diadaptasi dan manusiwai yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani melalui tingkat pendapatan (penghasilan).

Kegiatan yang dilakukan oleh Bitra Indonesia adalah mengadakan Sekolah Lapang Polikultur. Sekolah Lapang Polikultur adalah proses belajar yang dilaksanakan di lahan Polikultur dan Monokultur di lingkungan masyarakat setempat. Lahan usahatani digunakan sebagai tempat dan alat bantu serta sumber informasi utama yang langsung digunakan selama proses belajar yang paling efektif untuk mempelajari budidaya tanaman yang dipengaruhi oleh ekosistem setempat dan berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya. Proses belajar dilaksanakan melalui tahap-tahap mengalami, mengungkapkan, menganalisis dan menyimpulkan.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam Sekolah Lapang Polikultur ini adalah: 1. Diskusi-diskusi di dalam ruangan (secara

teori) 2. Turun langsung ke lapangan mulai dari

perancangan kebun Polikultur, pemilihan bibit, pengaturan jarak tanam dsb.

3. Petani juga diberi keterampilan dalam budidaya tanaman, seperti pemangkasan tanaman, pembuatan pupuk organik dan pestisida alami di manabahan-bahannya ada di lingkungan sekitar.

4. Petani juga diajari cara memanen yang baik.

5. Diajari juga kegiatan pasca panen hingga pemasaran.

6. Bahkan diajari juga cara menganalisa usahatani kebun Polikultur (cara menghitung pengeluaran (modal), penjualan, juga keuntungan).

Bitra juga membentuk kelompok tani di

daerah-daerah dampingannya, yang salah satunya adalah di Desa Tanjung Selamat ini yang diberi nama Kelompok Tani Dalan Rukur di mana di dalam kelompok ini terdiri dari tiga desa yaitu Desa Tanjung Selamat, Namo Batang dan Rimo Mungkur. Kelompok tani ini didampingi langsung oleh staf-staf divisi pertanian Bitra Indonesia. Kelompok Dalan Rukur ini diketuai oleh Bapak Kelengi Sembiring, dan pendamping dari Bitra yaitu Albana dan Delianto. Pertemuan kelompok diadakan pada tanggal 8 setiap bulannya.

Dalam kelompok-kelompok tani dampingan Bitra Indonesia ada banyak kegiatan yang dilakukan yaitu diskusi-diskusi dengan pendamping mengenai permasalahan yang dihadapi untuk boleh dipecahkan bersama. Pendekatan dalam pembinaan kelompok pada dasarnya dilakukan dengan cara berdiskusi baik secara individual maupun kelompok secara persuasif dan demokratis. Biasanya perencanaan penyusunan program berdasarkan kebutuhan bersama (bottom up planning). Selain itu, pendekatan lain juga dengan cara mengadakan pelatihan sebagai pendidikan non–formal yang tidak merubah perilaku masyarakat atau petani. dalam kelompok tani dampingan Bitra ini, anggota kelompok juga diajari cara menabung lewat Credit Union (CU) bahkan dalam membantu kegiatan pertanian mereka Bitra juga memberikan bantuna pinjaman dengan bunga yang sedikit di samping mereka juga boleh meminjam dari CU mereka sendiri.

Berikut ini penulis akan menyajikan tabel yang berisikan tentang data-data responden secara umum berupa umur, suku bangsa, agama, pekerjaan dan tingkat pendidikan.

Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Polikultur Konvensional No.

Umur F % F %

1 2 3

20 – 40 41 – 60 > 60

5 4 4

38,4 30,8 30,8

7 6 -

53,8 46,2

-

Jumlah 13 100,0 13 100,0

Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa responden yang menerapkan Pertanian Polikultur mayoritas berusia antara 20–40 tahun yaitu sebanyak 38,4%. Untuk yang berusia antara 41–60 tahun dan yang berusia > 60 tahun memiliki jumlah yang sama yaitu sebanyak 30,8%. Berdasarkan data tersebut maka dapat dikelompokkan bahwa untuk responden yang menerapkan Pertanian Polikultur terdiri dari usia produktif dan usia tidak produktif, di manauntuk usia yang produktif yaitu yang berusia antara 20–60 tahun sebanyak 69,2%, sedangkan untuk usia yang tidak produktif yaitu yang berusia > 60 tahun yaitu sebanyak 30,8%.

Page 7: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 232 – 248

237

Sedangkan untuk responden yang menerapkan Pertanian Konvensional mayoritas berusia antara 20–40 tahun yaitu sebanyak 53,8%, untuk yang berusia antara 41–60 tahun yaitu sebanyak 46,2%. Kalau pada responden yang menerapkan Pertanian Polikultur terdiri dari usia produktif dan tidak produktif, maka lain halnya dengan responden yang menerapkan Pertanian Konvensional di manahanya ada satu kelompok usia saja yaitu kelompok usia produktif yang berumur antara 20–60 tahun yaitu sebanyak 100%.

Tabel 3

Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Polikultur Konvensional No.

Pekerjaan F % F %

1 2 3 4 5

Petani Wiraswasta Supir Pedagang Guru

12 - - - 1

92,3 - - -

7,7

10 1 1 1 -

76,9 7,7 7,7 7,7 -

Jumlah 13 100,0 13 100,0

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data yang dapat kita lihat pada tabel di atas maka dapat diketahui bahwa responden yang mengikuti Program Pertanian Polikultur mayoritas petani yaitu sebanyak 92,3% dan Guru sebanyak 7,7% atau satu orang saja. Dalam hal ini, selain sebagai guru, mereka juga mengutamakan usaha pertanian yang yang umumnya giat dilakukan oleh sang Istri.

Dan untuk responden yang mengikuti Program Pertanian Polikultur adalah mayoritas petani yaitu sebanyak 76,9%, wiraswasta, supir dan pedagang sebanyak 7,7%. Sama halnya dengan petani polikultur, demikian juga dengan petani konvensional ini di manadi samping memiliki pekerjaan lain, mereka tetap mengutamakan usahatani yang umumnya dilakukan oleh sang Istri. Penduduk Desa Tanjung Selamat mayoritas petani karena didukung oleh faktor alam, di manalahan di Desa ini sangat subur sehingga cocok untuk lahan pertanian, dan kalaupun mereka melakukan usaha yang lain seperti berdagang, hal ini dikarenakan ingin menambah penghasilan keluarga.

Tabel 4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

Polikultur Konvensional No. Pendidikan F % F %

1 2 3 4

SD SLTP SLTA Sarjana/D3

7 2 3 1

53,8 15,4 23,1 7,7

8 - 4 1

61,5 -

30,8 7,7

Jumlah 13 100 13 100

Sumber: Data Primer

Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa untuk responden yang menerapkan Pertanian Polikultur mayoritas tamatan SD yaitu sebanyak 53,8%, kenudian tamatan SLTA sebanyak 23,1%, tamatan SLTP sebanyak 15,4% dan tamatan Sarjana/D3 yaitu sebanyak 7,7%. Untuk responden yang tidak menerapkan Pertanian Polikultur atau disebut juga Petani Konvensional juga mayoritas tamatan SD yaitu sebanyak 61,5%, tamatan SLTA sebanyak 30,8%, tamatan Sarjana/D3 sebanyak 7,7% juga dan tidak ada yang tamatan SLTP. Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan petani Desa Tanjung Selamat tergolong rendah karena sangat dominan tamatan Sekolah Dasar (SD) saja.

Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan

tentang Program Pertanian Polikultur

Polikultur Konvensional No. Jawaban F % F %

1 Tahu 13 100 10 76,9 2 Tidak Tahu - - 3 23,1

Jumlah 13 100 13 100,0

Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa semua responden yang mengikuti Program Pertanian Polikultur yaitu sebanyak 100%mengaku tahu tentang Program Pertanian Polikultur.Sedangkan untuk responden yang tidak mengikuti Program Pertanian Polikultur ada yang mengaku tahu tentang Program Pertanian Polikultur yaitu sekitar 76,9% dan sebagian mengatakan tidak tahu tentang Program Pertanian Polikultur ini sekitar 23,1%. Hal ini dikarenakan

Page 8: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Tresnawati & Siagian, Program Pertanian...

238

kekurangaktifan mereka dan mengingat umumnya tingkat pemikiran mereka yang rendah karena tingkat pendidikan yang rendah.

Tabel 6

Sumber Informasi Program Pertanian Bagi Responden

Polikultur Konvensional No.

Jawaban F % F %

1 2 3

Televisi Bitra, Tidak tahu

- 13

-

- 100

-

1 2

10

7,7 15,4 76,9

Jumlah 13 100 13 100,0

Sumber: Data Primer

Dari data pada tabel di atas dapat kita ketahui bahwa semua responden yang menerapkan Pertanian Polikultur mengaku tahu tentang program tersebut dari LSM Bitra Indonesia. Untuk responden yang tidak menerapkan Pertanian Polikultur ini ada yang mengaku tahu tentang program ini dan mengetahuinya dari berbagai sumber yaitu dari Televisi yaitu pengakuan dari satu orang atau sebanyak 7,7%, dari LSM Bitra Indonesia dan dari orang lain ada dua orang yaitu sebanyak 15,4%. Dan kebanyakan dari mereka tidak memberikan jawaban karena pada dasarnya mereka tidak tahu tentang Program Pertanian Polikultur tersebut yaitu sebanyak 76,9%.

Tabel 7 Persepsi Responden tentang Program Pertanian

Polikultur

Polilkultur Konvensional No.

Jawaban F % F %

1 2 3

Sangat Setuju Setuju Ragu

10 3 -

76,9 23,1

-

1 2

10

7,7 15,4 76,9

Jumlah 13 100,0 13 100,0

Sumber: Data Primer

Dari tabel data di atas dapat dilihat bahwa responden yang menerapkan Pertanian Polikultur setuju dengan keberadaan Program Pertanian Polikultur untuk diterapkan di Desa Tanjung Selamat ini, ada yang sangat setuju yaitu sebanyak 76,9% dan ada pula yang setuju sebanyak 23,1%. Mereka setuju akan keberadaan Program Pertanian Polikultur ini

karena mereka telah menikmati hasil dari pertanian mereka dengan menerapkan cara-cara dalam program pertanian ini.

Sedangkan untuk penilaian responden yang menerapkan pertanian konvensional terhadap keberadaan Program Pertanian Polikultur ini ada yang setuju sebanyak 7,7%. Namun, kebanyakan yang tidak menjawab yaitu sebanyak 76,9%. Hal ini dikarenakan mereka sama sekali tidak pernah tahu tentang program ini maka mereka tidak tahu apakah program ini baik untuk diterapkan atau tidak karena mereka belum pernah menikmati hasilnya.

Tabel 8

Keanggotaan Responden dalam Kelompok Tani Dampingan Bitra Indonesia

Polikultur Konvensional No.

Jawaban F % F %

1 2

Ya Tidak

13 -

100 -

- 13

- 100

Jumlah 13 100 13 100

Sumber: Data Primer

Jika kita melihat tabel di atas, maka dapat kita ketahui bahwa semua responden yang menerapkan Pertanian Polikultur adalah anggota kelompok tani dampingan LSM Bitra Indonesia yaitu 100%. Mereka menerapkan Pola Pertanian ini karena di dalam kegiatan kelompok mereka diajari banyak hal dalam pemeliharaan tanaman bahkan hingga pembuatan pupuk buatan, pestisida alami yang awalnya diperoleh dari kegiatan Sekolah Lapang Polikultur.

Untuk responden yang menerapkan Pertanian Konvensional semuanya bukan merupakan anggota kelompok tani dampingan Bitra yaitu 100%, walaupun dari mereka ada yang tahu tentang program tersebut namun mereka tidak menerapkannya dan mereka tidak masuk anggota dampingan Bitra karena kekurangaktifan mereka dan kekurangpedulian mereka ditambah pula menurut mereka, mereka tidak ingin repot-repot untuk mengikuti kegiatan-kegiatan kelompok atau sama saja mengurangi waktu mereka untuk mengerjakan lahan pertanian mereka.

Page 9: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 232 – 248

239

Tabel 9 Persepsi Responden tentang Manfaat Kegiatan-

Kegiatan Program Polikultur

Polikultur Konvensional No.

Jawaban F % F %

1 2

Bermanfaat Tidak Menjawab

13 -

100 -

3 10

23,1 76,9

Jumlah 13 100 13 100,0

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa semua responden atau 100% petani yang menerapkan Pertanian Polikultur mengakui bahwa Program Pertanian Polikultur sangat bermanfaat bagi kegiatan pertanian yagn dapat dilihat dari berbagai aspek seperti pengakuan responden dalam wawancara bahwa program ini bermanfaat dilihat dari segi ekologi yang memperhatikan lingkungan alam, seperti: kesuburan tanah; kemudian dari segi ekonomi, di manabiaya murah namun hasil lumayan banyak sehingga dapat meningkatkan pendapatan mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan segi lain yaitu membuat tanaman yang berbudaya atau teratur.

Sedangkan untuk responden yang menerapkan Pertanian Konvensional, ada sekitar 23,1% yang mengetahui Program Pertanian Polikultur mengakui bahwa program ini bermanfaat bagi kegiatan pertanian; hanya saja mereka tidak menerapkannya, karena menurut mereka seperti yang dinyatakan dalam wawancara bahwa mereka tidak ingin susah-susah atau repot untuk membuat pupuk sendiri dan juga pestisida alami melainkan ingin memperolehnya dengan cepat dan cepat pula dalam menghasilkan. Ditambah pula, mereka tidak masuk sebagai anggota kelompok tani dampingan Bitra Indonesia ataupun mengikuti Sekolah Lapang Polikultur yang dilaksanakan oleh Bitra Indonesia sehingga mereka tidak memperoleh ilmu dalam pembuatannya dan cara perawatan tanaman yang baik. Dan sebagian besar yaitu sebanyak 76,9% petani Konvensional tidak memberikan jawaban karena dari awalnya mereka sama sekali tidak mengetahui program ini sehingga mereka tidak memberikan jawaban.

Tabel 10 Luas Lahan yang Diusahai Responden

Polikultur Konvensional

No. Jawaban

F % F % 1 2 3

> 1 Ha 1 Ha < 1 Ha

11 2 -

84,6 15,4

-

4 4 5

30,8 30,8 38,4

Jumlah 13 100,0 13 100,0

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel di atas dapat kita lihat bahwa pada responden yang menerapkan Pertanian Polikultur lebih banyak yang memiliki lahan pertanian yang luasnya > 1 Ha yaitu sebanyak 84,6% , kemudian ada pula yang memiliki lahan pertanian yang luasnya 1 Ha yaitu sebanyak 15,4%, dapat disimpulkan cukup luas lahan yang dimiliki oleh Petani Polikultur ini.

Sedangkan untuk responden yang menerapkan Pertanian Konvensional lebih banyak yang memiliki lahan pertanian yang luasnya < 1 Ha yaitu sebanyak 38,4%, kemudian dominan yang memiliki lahan pertanian yang luasnya 1 Ha dan > 1 Ha yaitu masing-masing sebanyak 30,8%, dapat disimpulkan tidak begitu luas lahan pertanian yang dimiliki oleh Petani Polikultur ini. Walaupun luas lahan pertanian responden Polikultur lebih luas, namun biaya produksi (uang keluar) untuk lahan pertaniannya lebih murah dibandingkan dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh Petani Konvensional. Hal ini dapat dilihat dari biaya pupuk, pestisida dan bibit. Di mana, pupuk dan pestisida yang digunakan oleh petani polikultur adalah pupuk dan pestisida buatan yang diperoleh dari lingkungan sekitar yang diolah sendiri sehingga harganya sangat murah dibanding dengan pupuk dan pestisida yang digunakan oleh petani konvensional yang harus dibeli dengan harga mahal tentunya.

Tabel 11

Kepemilikan Lahan yang Diusahai Responden

Polikultur Konvensional No. Jawaban F % F %

1 2

Milik sendiri Disewa

13 -

100 -

10 3

76,9 23,1

Jumlah 13 100 13 100,0

Sumber: Data Primer

Page 10: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Tresnawati & Siagian, Program Pertanian...

240

Dari data pada tabel di atas dapat kita lihat dan kita ketahui bahwa lahan pertanian yang diusahai oleh Petani Polikultur seluruhnya adalah lahan milik sendiri. Sedangkan untuk responden Petani Konvensional, lahan pertanian yang mereka usahai, sebagian adalah milik sendiri yaitu sebanyak 76,9% dan sebagian kecil lagi yaitu sebanyak 23,1% adalah lahan pertanian yang disewa dari orang lain. Petani yang memiliki lahan pertanian dengan menyewa ini adalah suami/istri yang baru berkeluarga. Dan menurut responden yang menyewa lahan pertanian ini mengatakan dalam wawancara bahwa dari ketiga responden, dua orang responden yaitu Bapak Eben Ezer Tarigan dan Bapak Maju Sembiring menyatakan menyewa lahan seluas 1Ha dengan harga Rp 500.000/tahun dan satu orang responden yaitu Bapak Alpian Sembiring mengatakan menyewa lahan seluas > 1Ha dengan harga Rp 1.000.000/tahun. Menurut mereka, harga sewa lahan pertanian di Desa Tanjung Selamat ini tidak begitu mahal karena lahan yang disewa adalah lahan pertanian milik keluarga sehingga harganya pun harga keluarga.

Tabel 12

Jenis Tanaman yang Dibudidaya

Polikultur Konvensional No. Jawaban F % F %

1 2 3 4 5

Sayur-sayuran Buah-buahan Padi Palawija Lain-lain

- 1 1 1

10

- 7,7 7,7 7,76,9

1 2 2 1 7

7,7 15,4 15,4 7,7

53,8 Jumlah 13 100 13 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel di atas dapat kita lihat bahwa pada responden Petani Polikultur dan juga Petani Konvensional sebagian menanam tanam-tanaman coklat, kemiri, durian, pinang karena tanaman ini sangat cocok untuk lahan pertanian di desa ini dengan lahannya yang agak miring walaupun ada juga yang rata, karena untuk lahan yang miring seperti pada desa ini, tanam-tanaman tersebut sangat cocok untuk mencegah erosi (pengikisan tanah oleh air).

Selain itu sebagian kecil dari kedua responden ini ada juga yang menanami lahan pertanian mereka dengan sayur-sayuran, buah-buahan, padi dan palawija. Namun demikian,

perbedaan diantara kedua responden ini sangat jelas pada cara mereka dalam memperlakukan tanam-tanaman pada lahan pertanian mereka tersebut yakni dilihat dari segi pupuk, pestisida yang digunakan, pemilihan tanaman yang cocok dan saling menguntungkan dan juga dalam hal pemeliharaan tanaman mereka yang keduanya sangat jelas berbeda yaitu Petani Polikultur dengan pupuk dan pestisida alaminya dan cara pemeliharaan tanaman yang baik dan teratur, juga pemilihan tanaman yang saling menguntungkan dalam satu lahan dan Petani Konvensional dengan pupuk dan pestisida kimianya dan cara pemeliharaan tanaman yang kurang baik dan kurang memperhatikan dalam memilih tanaman yang sesuai dan saling menguntungkan dalam satu lahan.

Tabel 13

Frekuensi Panen dalam Setahun

Polikultur Konvensional No. Jawaban F % F %

1 2 3 4

Satu kali Dua kali Tiga kali > tiga kali

3 7 1 2

23,1 53,8 7,7

15,4

7 6 - -

53,8 46,2

- -

Jumlah 13 100,0 13 100,0

Sumber: Data Primer

Sesuai dengan data pada tabel di atas dapat kita lihat bahwa responden Petani Polikultur sebagian besar panen dalam setahun sebanyak dua kali panen yaitu 53,8%, kemudian satu kali panen sebanyak 23,1%, ada pula yang panen > tiga kali sebanyak 15,4% dan tiga kali panen yaitu sebanyak 7,7%. Umumnya, panen yang dialami oleh Petani Polikultur tidak menentu dikarenakan jenis tanaman yang mereka tanam dalam satu lahan pertanian berragam jenis.

Sedangkan untuk responden petani konvensional dalam setahun umumnya panen satu kali dalam setahun yaitu sebanyak 53,8% dan ada yang panen dua kali setahun sebanyak 46,2%.

Pada umumnya panen yang dialami oleh Petani Konvensional juga tidak menentu hanya saja tidak begitu berragam seperti pada petani polikultur, hal ini dikarenakan Petani Konvensional tidak mendapat pengetahuan tentang tanaman apa saja yang cocok untuk satu lahan yang pastinya saling menguntungkan di manapengetahuan ini

Page 11: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 232 – 248

241

banyak didapat dari penyuluhan pertanian polikultur (pertanian organik) yang diberikan oleh Bitra Indonesia pada Kelompok Tani dan juga pada Sekolah Lapang Polikultur. Bisa disimpulkan bahwa pengetahuan yang didapat oleh Petani Polikultur sangat berpengaruh terhadap panennya di manamereka juga diajari dalam hal pengaturan jarak antar tanam yang sangat baik untuk tanaman dan hal tersebut tidak didapat oleh Petani Konvensional.

Prinsip dalam panen Pertanian Polikultur atau Pertanian Organik adalah menjaga standar mutu dengan memanen tepat waktu sesuai dengan kematangan dari hasil pertaniannya, cara pemanenan yang baik juga perlu berhati-hati sehingga tidak menimbulkan kerusakan atau kehilangan hasil yang lebih besar dan hal ini diperoleh oleh Petani Polikultur dari Sekolah Lapang Pertanian Polikultur.

Dalam Pertanian Konvensional kadang tidak memperhatikan hal ini, yang penting mereka memanennya ketika dirasa sudah waktunya dan kadang tidak berhati-hati dan mereka tidak tahu karena umumnya mereka tidak ikut Sekolah Lapang Pertanian Polikultur yang dilaksanakan oleh Bitra.

Tabel 14

Biaya Produksi yang Dikeluarkan untuk Pertanian

Polikultur Konvensional No. Jawaban F % F %

1 2 3

< 1 juta 1 – 1,5 juta > 1,5 juta

4 9 -

30,8 69,2

-

5 6 2

38,5 46,1 15,4

Jumlah 13 100,0 13 100,0

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data di atas diketahui bahwa pada petani polikultur, biaya produksi yang dikeluarkan sebagian besar 1 juta – 1,5 juta yaitu sebanyak 69,2% dan yang mengeluarkan biaya produksi < 1 juta sebanyak 30,8%. Sedangkan untuk petani konvensional, biaya produksi yang dikeluarkan antara 1 juta – 1,5 juta yaitu sebanyak 46,1%, kemudian yang mengeluarkan < 1 juta sebanyak 46,1% bahkan ada pula yang mengeluarkan biaya produksi > 1,5 juta yaitu sebanyak 15,4%.

Dapat disimpulkan bahwa, biaya produksi yang dikeluarkan oleh Petani Polikultur lebih sedikit atau lebih murah

dibanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh Petani Konvensional untuk lahan pertaniannya yang mencakup pupuk, pestisida, bibit dan tenaga kerja. Hal ini dikarenakan Petani Polikultur menggunakan pupuk organik dann pestisida alami (buatan sendiri) yang diperoleh dari Sekolah Lapang Polikultur oleh Bitra Indonesia sehingga tidak mengeluarkan biaya yang banyak, sedangkan Petani Konvensional mengeluarkan biaya yang lebih banyak karena harus membeli pupuk dan pestisida kimia yang harganya cukup mahal.

Untuk lebih jelasnya dan lebih akuratnya, berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dapat dipaparkan rata-rata biaya produksi yang dikeluarkan oleh Petani Polikultur dan Petani Konvensional yaitu sebagai berikut: Untuk rata-rata biaya produksi dari 13 Petani Polikultur = Rp 11.950.000/13 = Rp 919.231 Untuk rata-rata biaya produksi dari 13 Petani Konvensional = Rp 15.600.000/13 = Rp 1.200.000

Sangat tampak jelas bahwa biaya produksi yang dikeluarkan oleh Petani Polikultur dan Petani Konvensional berbeda , di mana sekitar Rp 280.769 lebih murah atau lebih hemat biaya yang dikeluarkan oleh Petani Polikultur dibanding dengan Petani Konvensional, padahal lebih luas lahan yang diusahai oleh Petani Polikultur dibanding Petani Konvensional, namun realitanya biaya produksinya lebih murah. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Kelengi Sembiring bahwa mereka merasakan bahwa pertanian polikultur (pertanian organik) itu lebih murah, tidak perlu mengeluarkan biaya yang banyak (efektif dan efisien) karena semua bahan ada disekitar mereka, untuk pupuk, pestisida maupun bibit lokal, sehingga tidak keluar biaya yang banyak.

Seperti yang dinyatakan oleh Sutanto dalam bukunya Penerapan Pertanian Organik, bahwa produk pertanian organik justru ongkos produksinya jauh lebih murah atau lebih rendah sehingga biaya yang dikeluarkan tidak harus mahal dibandingkan dengan pertanian konvensional yang harus mengeluarkan banyak biaya dalam produksi pertaniannya. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Akibat

Page 12: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Tresnawati & Siagian, Program Pertanian...

242

Ginting bahwa mereka merasa sangat kesulitan dalam pertaniannya karena semua keperluan sangat mahal dan harus dibeli sehingga biaya produksi sangat mahal.

Berdasarkan data yang diperoleh dan juga sesuai dengan isi penelitian ini yang ingin membandingkan Petani Polikultur dengan keorganikan atau kealamiannya dengan Petani Konvensional dengan kekimiaannya. Maka jelas terlihat bahwa 100% responden Petani Polkultur menggunakan pupuk organik dan pestisida alami untuk lahan pertaniannya (dibuat sendiri dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di lingkungan sekitar). Untuk pupuk misalnya digunakan seperti sekam, sampah, daun-daun juga kotoran ternak di manamereka umumnya memelihara ternak babi, ayam, kambing sedangkan untuk bahan membuat pestisida mereka menggunakan bahan seperti wortel, kentang, jagung giling, nira dan bahan-bahan lainnya yang dibuat melalui proses yang diperoleh dari Sekolah Lapang Pertanian Polikultur yang diadakan oleh Bitra Indonesia untuk petani di kelompok, di manahal ini sangat menguntungkan dari segi ekonomi, yaitu dengan biaya yang murah karena bahannya murah didapat, baik untuk tanaman, kesuburan tanah (segi ekologi) dan dalam hal ini diperlukan keuletan dan kesabaran dalam mengolahnya. Petani yang menjalankan pertanian polikultur atau organik tidak lagi perlu membeli pupuk kimia, pestisida karena pupuk organik diperoleh tidak harus dengan membeli, namun justru dengan memanfaatkan limbah hasil pertanian sementara penanggulangan hama dilakukan dengan sistem polikultur, rotasi tanaman dan ramuan pestisida alamai.

Dan dari 100% responden Petani Konvensional menggunakan pupuk anorganik dan pestisida kimi yang diperoleh dari toko-toko industri pupuk yang pastinya diperoleh dengan harga yang cukup mahal, hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan mereka seperti pada Petani Polikultur, sehingga mereka tidak menerapkannya, mereka merasa direpotkan dengan proses pembuatannya dan ingin yang praktis saja yaitu langsung membelinya. Tanpa mereka peduli bahwa mereka telah mengeluarkan biaya yang banyak dan tidak mengetahui efeknya terhadap ekologi atau lingkungan.

Tabel 15 Jenis Bibit yang Digunakan

Polikultur Konvensional No. Jawaban

F % F %

1 2

Lokal Unggul

7 6

53,8 46,2

3 10

23,1 76,9

Jumlah 13 100,0 13 100,0

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 13 responden Petani Polikultur, ada sekitar 53,8% yang menggunakan bibit lokal dalam kegiatan pertaniannya yaitu yang diperoleh dari kebun pertanian sendiri sehingga tidak perlu membeli lagi atau tidak perlu mengeluarkan biaya lagi untuk dijadikan bibit dalam kegiatan pertaniannya. Dan sekitar 46,2% menggunakan bibit dari luar yang sebenarnya adalah bibit lokal yaitu yang diperoleh dari Bitra Indonesia di manabibit ini adalah dari Kebun Polikultur Bitra Indonesia sendiri hanya saja harganya sangat terjangkau atau cukup murah dibanding dengan harga beli di toko-toko industri bibit.

Sedangkan dari 13 responden Petani Konvensional, ada sekitar 23,1% memperoleh bibit dari hasil pertanian sendiri atau dikenal dengan bibit lokal, dan jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah respoden yang menggunakan bibit unggul atau dengan membeli dari luar atau toko-toko industri bibit, di manaharga belinya lumayan tinggi atau cukup mahal, sehingga pada umumnya petani konvensional banyak mengeluarkan biaya dalam kegiatan produksi pertaniannya.

Konsep Pertanian Polikultur atau Pertanian Organik dalam hal pemilihan bibit, yang digunakan adalah bibit lokal (bukannya bibit hasil rekayasa genetika) atau dari hasil pertanian sendiri tanpa harus mengeluarkan biaya yang banyak dengan membelinya. Berbeda dengan Petani Konvensional yang umumnya menggunakan bibit unggul yang diperoleh dari toko-toko industri bibit karena mereka merasa bibit tersebut baik padahal sudah merupakan hasil rekayasa genetika yang sangat tidak baik untuk kesuburan tanah atau merusak ekologi.

Page 13: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 232 – 248

243

Tabel 16 Kesulitan Memperoleh Pupuk, Pestisida, dan Bibit

Polikultur Konvensional No. Jawaban F % F %

1 2

Ya Tidak

- 13

- 100

4 9

30,8 69,2

Jumlah 13 100 13 100,0

Sumber: Data Primer

Dari data pada tabel yang tersaji di atas dapat kita lihat bahwa seluruh responden Petani Polikultur atau sebanayk 100% manyatakan bahwa mereka tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan-bahan untuk kegiatan pertanian mereka yaitu dalam memperoleh pupuk, pestisida, bibit karena pupuk dan pestisida dibuat sendiri dari bahan-bahan yang ada di lingkungan sekitarnya dan bibit diperoleh dari hasil panen sendiri atau dibeli dari Bitra dengan harga yang cukup murah dibandingkan dengan harga di industri bibit.

Sedangkan untuk responden Petani Konvensional, ada sekitar 30,8% atau sebanyak empat orang menyatakan sulit untuk memeproleh pupuk, pestisida dan bibit. Mereka menyatakan demikian dengan alasan karena mereka harus mengeluarkan biaya yang banyak untuk memperolehnya yaitu dengan membeli dari industri pupuk, pestisida dan bibit. Namun, ada juga yang menyatakan tidak mengalami kesulitan dalam memperolehnya karena mereka hanya perlu mengeluarkan biaya dan dapat diperoleh dari toko-toko industri hanya saja yang menjadi kendala adalah biaya yang banyak yang harus dikeluarkannya untuk itu semua.

Tabel 17

Jumlah Tenaga Kerja yang Diupah

Polikultur Konvensional No. Jawaban F % F %

1 2 3 4

2 orang 3 orang 4 orang Tidak ada

7 3 1 2

53,8 23,1 7,7

15,4

3 4 4 2

23,1 30,8 30,8 15,4

Jumlah 13 100,0 13 100,0

Sumber: Data Primer Dari data di atas dapat kita lihat bahwa

dalam hal mengerjakan lahan pertanian (kegiatan pertanian), petani polikultur ada sekitar 53,8% yang membutuhkan dua orang

tenaga kerja untuk mengerjakan lahan pertaniannya, ada sekitar 23,1% yang membutuhkan tiga orang pekerja untuk mengerjakan kegiatan pertaniannya, sekitar 7,7% yang hanya memerlukan empat orang tenaga kerja untuk mengerjakan lahannya bahkan ada sekitar 15,4% responden yang tidak perlu menggaji tenaga kerja untuk mengerjakan lahan pertaniannya di manamereka hanya menggunakan tenaga dari anggota keluarga saja untuk mengerjakannya. Bisa disimpulkan tidak begitu banyak tenaga kerja yang diperlukan untuk kegiatan pertaniannya. Paling mereka banyak bekerja pada saat membuat pupuk organik dan pestisida alami, ditambah pula karena keuletan mereka untuk bekerja sehingga mereka tidak butuh tenaga kerja.

Sedangkan untuk responden Petani Konvensional, ada sekitar 23,1% responden yang membutuhkan dua orang tenaga kerja untuk mengerjakan lahan pertaniannya, sekitar 30,8% membutuhkan tiga orang tenaga kerja dan sekitar 30,8% pula yang membutuhkan empat orang tenaga kerja dan ada 7,7% yang tidak memerlukan tenaga kerja di manahal ini sama dengan Petani Polikultur yang hanya menggunakan tenaga anggota keluarga. Mereka lebih banyak menggunakan tenaga kerja karena kekuranguletan mereka untuk mengerjakan lahan pertaniannya.

Berdasarkan jawaban yang diebrikan oleh responden di dalam angket dan dalam wawancara yaitu bahwa umumnya kegiatan pertanian yang dilakukan oleh Petani Polikultur dan Petani Konvensional mengalami keuntungan hanya saja berbeda dalam jumlah keuntungannya. Seperti yang diungkapkan oleh bapak Junaedi Ginting sebagai petani polikultur bahwa ia merasa lumayan dengan keuntungan yang diperolehnya lewat kegiatan pertaniannya untuk bisa membiayai kebutuhan hidup keluarganya. Berbeda dengan yang diungkapkan oleh Bapak Makmur Barus sebagai petani konvensional menyatakan bahwa ia memang memperoleh untung hanya saja sangat minim dan sedikit kemungkinan untuk memperoleh untung, sehingga untuk itu ia perlu mencari kerja sampingan untuk bisa membiayai hidup sehari-hari. Berdasarkan data yang diungkapkan oleh responden dalam kuesioner juga dalam wawancara dapat kita jabarkan jumlah keuntungan yang mereka peroleh dalam panen Petani Polikultur dan

Page 14: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Tresnawati & Siagian, Program Pertanian...

244

Petani Konvensional dari hasil-hasil pertanian mereka yaitu sebagai berikut: Rata-rata keuntungan dari 13 responden Petani Polikultur: Rp 23.500.000/13 = Rp 1.807.692 Rata-rata keuntungan dari 13 responden Petani Konvensional: Rp 8.900.000/13 = Rp 684.615

Dapat kita lihat bahwa sangat jelas

perbedaan keuntungan yang diperoleh oleh Petani Polikultur lebih banyak dibanding dengan keuntungan yang diperoleh oleh Petani Konvensional yaitu ada sekitar Rp 1.123.077 selisih keuntungannya yaitu lebih banyak keuntungan Petani Polikultur. Hasil ini diperoleh dari hasil pengurangan antara biaya produksi dengan keuntungan yang diperoleh dari setiap panennya.

Berdasarkan data yang dinyatakan oleh responden didalam angket dan wawancara bahwa dari seluruh responden baik Petani Polikultur maupun Petani Konvensional menyatakan tidak mengalami kesulitan di dalam memasarkan hasil pertaniannya dengan kata lain selalu mengalami kelancaran dalam memasarkan hasil pertaniannya. Di manabiasanya seperti yang dituturkan oleh responden dalam wawancara, banyak agen-agen yang datang untuk mengambil hasil pertanian mereka, oleh karena itulah mereka menyatakan lancar dalam pemasaran hasil pertanian mereka. Namun, kadang kebanyakan orang lebih suka melihat hasil pertanian yang cantik seperti hasil pertanian konvensional padahal dibalik semua itu ada banyak racun didalamnya, sebaliknya pula dengan pertanian organik yang alami, tapi sebenarnya ini lah yang baik kondisinya yaitu bebas dari bahan-bahan kimia yang bisa meracuni tubuh.

Seperti yang dinyatakan oleh IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movements) bahwa pemasaran produk polikultur (organik) di dalam negeri sampai saat ini hanyalah berdasarkan kepercayaan kedua belah pihak, konsumen dan produsen. Sedangkan untuk pemasaran ke luar negeri, produk organik Indonesia masih sulit menembus pasar internasional meskipun sudah ada beberapa pengusaha yang pernah menembus pasar internasional tersebut. Kendala utama adalah sertifikasi produk oleh suatu badan sertifikasi yang sesuai standar suatu negara yang akan dituju. Akibat

keterbatasan sarana dan prasarana terutama terkait dengan standar mutu produk, sebagian besar produk pertanian organik tersebut berbalik memenuhi pasar dalam negeri yang masih memiliki pangsa pasar cukup luas. Yang banyak terjadi adalah masing-masing melabel produknya sebagai produk organik, namun kenyataannya banyak yang masih mencampur pupuk organik dengan pupuk kimia serta menggunakan sedikit pestisida.petani yang benar-benar melaksanakan pertanian polikultur atau pertanian organik tentu saja akan rugi dalam hal ini.

Standar ini menetapkan prinsip-prinsip produksi organik di lahan pertanian, penyiapan, pengangkutan, pelabelan dan pemasaran, serta menyediakan ketetapan tentang bahan-bahan masukan yang diperbolehkan untuk penyuburan dan pemeliharaan tanah, pengendalian OPT, serta bahan aditif dan bahan pembantu pengolahan pangan. Dengan demikian, akan lancarlah pemasaran produk pertanian organik ini dan akan semakin diketahui oleh masyarakatlah bahwa produk organik lebih bagus dan bebas dari bahan kimia dan diakui oleh dunia.

Sesuai dengan data yang dinyatakan oleh responden didalam angket dan lewat wawancara baik petani Polikultur maupun petani Konvensional, tingkat harga daripada hasil pertanian mereka tidak menentu atau berubah-ubah, ada kalanya tinggi namun juga kalanya rendah. Awalnya konsumen lebih suka produk konvensional namun setelah diadakan sertifikasi terhadap produk organik maka hargan produk organik pun cukup tinggi di pasaran dan kadang konsumen tidak ingin tertipu lagi dengan produk konvensional yang tampak cantik dari luar tetapi justru meracuni. Intinya, konsumen telah bisa untuk memilah mana produk yang baik dan yang tidak apalagi dengan maraknya pemberitaan tentang produk pertanian organik ini.

Tabel 18 Rata-Rata Penghasilan Usaha Tani per Bulan

Polikultur Konvensional No. Kategori F % F %

1 2

< 1juta > 1juta

3 9

23,1 69,2

10 4

76.9 30,8

Jumlah 13 100,0 13 100,0

Sumber: Data Primer

Page 15: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 232 – 248

245

Berdasarkan data pada tabel diatas, dapat kita lihat bahwa pada responden petani polikultur ada sekitar 23,1% yang memiliki rata-rata penghasilan <1juta/bulan dan sekitar 76,9% yang memiliki rata-rata penghasilan >1juta/bulan. Dapat kita lihat bahwa cukup tinggi penghasilan yang dimiliki oleh petani polikultur. Hal ini berkaitan dengan biaya produksi yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh di manadi dalam pertanian polikultur yang digunakan adalah pupuk organik, pestisida alami dan bibit lokal dari hasil pertanian polikultur sendiri, yang pada akhirnya meminimalkan biaya produksi untuk usaha pertanian dan sebaliknya meningkatkan keuntungan dan menambah penghasilan petani sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sedangkan pada responden petani konvensional, ada sekitar 69,2% yang memiliki rata-rata penghasilan <1juta/bulan dan sekitar 30,8% yang memiliki penghasilan >1juta/bulan. Dapat kita lihat dan kita simpulkan bahwa pengahsilan dari petani konvensional tidak begitu tinggi karena kebanyakan dari petani konvensional yang berpenghasilan <1juta/bulan. Hal ini berkaitan dengan biaya produksi yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh per panennya di manadalam pertanian konvensional yang digunakan adalah pupuk anorganik, pestisida kimia dan juga kebanyakan menggunakan bibit unggul di manasemua ini hanya diperoleh dari toko-toko industri yang akan mengeluarkan biaya yang besar. Biaya produksinya cukup besar sehingga keuntungan yang diperoleh pun lumayan sedikit sehingga mereka kurang dapat membiayai kebutuhan hidup sehari-hari dibanding dengan petani polikultur.

Tingkat penghasilan petani dengan sendirinya akan membawa pengaruh terhadap kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari baik sandang, pangan, papan dan kebutuhan lainnya atau terwujudnya kesejahteraan sosial ekonomi petani. Peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi petani adalah suatu proses peningkatan mutu dan taraf kehidupan keluarga yang dapat dilihat dengan adanya perbandingan pada kehidupan sekarang dengan kehidupan sebelumnya yang meliputi peningkatan kebutuhan pokok dari segi kualitas dan kuantitas kebutuhan pangan, papan seperti kondisi dan fasilitas rumah (tempat tinggal) keluarga yang lebih baik, kepemilikan akan

barang-barang perlengkapan rumah, kehidupan keseharian, intinya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, di manahal ini didasarkan sebagai adanya peningkatan pendapatan yang lebih baik dibandingkan sebelumnya, sehingga mampu dalam membayar untuk tingkat ekonomi yang lebih baik.

Secara internasional IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movements) sejak tahun 1996 sudah mulai memasukkan prinsip keadilan sosial dalam standar yang dikembangkannya. Prinsip keadilan sosial merupakan aspek non-teknis dan ekologi dalam pengembangan Pertanian Polikultur, tetapi merupakan bagian integral dari usaha pertanian polikultur yang bertujuan menjamin kelangsungan hidup petani. Prinsip keadilan sosial tersebut mencakup aspek kesejahteraan pekerja (petani), ketersediaan pemenuhan kehidupan petani (air, makanan, tempat tinggal, pendidikan, pelayanan transportasi dan kesehatan), perlindungan jaminan sosial bagi petani. Jadi, setiap pertanian polikultur yang dipasarkan selain membawa nilai-nilai sosial dan ekologis tetapi juga membawa nilai ekonomis yang diharapkan dapat memperbaiki kehidupan petani.

Seperti yang dikatakan oleh Coen Reijntjes dkk dalam buku mereka ‘Pertanian Masa Depan’, bahwa lewat pertanian polikultur (pertanian organik) bisa berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dengan pendapatan sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Bahwa dengan pertanian yang berkelanjutan, dengan otomatis petani dapat meningkatkan kesejahteraannya lewat meningkatnya pendapatannya dalam hal inilah yang dialami oleh petani polikultur, karena dengan pelestarian alam lewat cara pertanian mereka, maka otomatis penghasilannya berlanjut terus, dibanding petani konvensional yang tidak memperhatikan kesuburan tanah lewat pemakaian bahan-bahan kimia yang tidak menjaga kesuburan tanah yang pastinya tidak akan menghasilkan secara berkelanjutan dan inilah yang mengakibatkan kesejahteraan mereka tidak kontiniu.

Tes statistik membuktikan bahwa perbedaan tingkat penghasilan Petani Polikultur dengan Petani Konvensional

Page 16: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Tresnawati & Siagian, Program Pertanian...

246

signifikan (phi=0.463, α =0.018). Hal ini berarti bahwa hipotesis yang diajukan, yakni “Ada pengaruh program pertanian polikultur terhadap tingkat pendapatan petani Desa Tanjung Selamat” terbukti atau dapat diterima secara signifikan.

Dari Tabel 27 telah dijelaskan bahwa perbedaan tersebut adalah proporsi responden yang berasal dari Petani Polikultur cenderung telah mampu memiliki penghasilan >1 juta/bulan. Berbeda dengan kelompok responden yang berasal dari Petani Konvensional yang hanya mampu memiliki penghasilan <1 juta/bulan.

Hal ini berarti bahwa Program Pertanian Polikultur yang dilaksanakan oleh LSM Bitra Indonesia mampu meningkatkan pendapatan Petani. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendapatan petani meningkat dengan adanya Program Pertanian Polikultur sehingga pendapatan petani polikultur berbeda dengan pendapatan petani konvensional adalah signifikan dari berbagai aspek yakni pola pertanian polikultur mampu memberi peluang adanya: 1. Menurunnya biaya produksi sehingga

otomatis memberikan margin keuntungan yang lebih besar lewat Pertanian Polikultur (Pertanian Organik) dibanding pertanian konvensional yang mengeluarkan biaya banyak. Hal ini juga didukung oleh pendapat BIOCert dan Sutanto yang menyatakan bahwa sistem pertanian polikultur (pertanian organik) yang menggunakan bahan-bahan alami tanpa membeli bahan-bahan kimia sangat mengurangi biaya produksi pertanian sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya yang banyak untuk kegiatan pertanian dan sebaliknya pada pertanian konvensional

2. Dengan Pertanian Polikultur menjaga ekologi (kesehatan lingkungan) dibandingkan dengan pertanian konvensional Seperti yang dinyatakan oleh Coen Reijntjs yang menyatakan bahwa pertanian polikultur (pertanian organik) sangat menguntungkan dari berbagai aspek yang salahsatunya adalah dari aspek ekologi yaitu memperhatikan kesehatan lingkungan yaitu kesuburan tanah demi pertanian yang berlanjut ke depan dan sebaliknya pada pertanian konvensional.

3. Pemasaran produk Pertanian Polikultur yang mungkin lebih tinggi dari pertanian konvensional karena adanya sertifikasi sehingga cukup diakui dan dikenal dengan cara berkeadilan sosial, seperti yang dinyatakan BIOCert bahwa produk polikultur (organik) dipasarkan dengan sistem Fair Trade. Prinsip Fair Trade ini dinilai identik dengan “nilai lebih” Pertanian Organik (Pertanian Polikultur). Di manadalam mekanisme ini, produsen (petani) dan konsumen diposisikan secara wajar dan mengedepankan asas transparansi. Dalam menentukan harga jual, petani dan pedagang menghitung seluruh komponen biaya produksi, termasuk aspek konservasi, edukasi dan sosial. Faktor pembentuk harga itu diinformasikan secara terbuka kepada konsumen, begitu juga mengenai proses produksinya. Fair Trade adalah sebuah alternatif pemasaran menawarkan kondisi perdagangan yang lebih baik bagi petani kecil dan melindungi hak mereka yang selama ini terpinggirkan, karena petanilah yang menentukan harga jualnya sendiri (price maker). Petani seyogyanya menghargai kepedulian dan kepercayaan konsumen dengan memberikan informasi sebenarnya mengenai produk mereka (kondisi, waktu panen, varietas) dan menjaga kualitas serta kuantitas pangan organik. Fair trade membantu produsen kecil untuk memperoleh kehidupan yang layak melalui tingkat pendapatan, melindungi hak produsen kecil atas akses ke pasar. Dengan mekanisme fair trade, konsumen bersedia menghargai jerih payah produsen yang selama ini tidak pernah diperhitungkan, sehingga konsumen tidak keberatan membeli harga premium (yang meliputi biaya produksi ditambah biaya untuk reinvestasi) yang ditawarkan oleh produsen.

Kesimpulan 1. Berdasarkan analisa data maka dalam

penelitian ini dapat dibuat kesimpulan bahwa Program Pertanian Polikultur merupakan salahsatu program Divisi Pertanian LSM Bitra Indonesia yang ditujukan dalam upaya meningkatkan pendapatan petani yang pada akhirnya akan memperngaruhi kesejahteraan sosial

Page 17: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 232 – 248

247

ekonomi petani dalam hal memenuhi kebutuhan petani untuk hidup sehari-hari. Berdasarkan data-data yang ada tentang Program Pertanian Polikultur, bahwa program ini melakukan penyuluhan yang benar-benar dapat merubah tingkat kehidupan petani di Desa Tanjung Selamat yakni dengan peningkatan pendapatan petani sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

2. Dengan upaya-upaya yang diterapkan oleh Program Pertanian Polikultur dalam kegiatan pertanian sehingga biaya produksi yang dikuarkan oleh petani polikultur yang mengikuti Program Pertanian Polikultur berbeda dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani yang tidak mengikuti Program Pertanian Polikultur (petani konvensional). Rata-rata jumlah biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani polikultur dari 13 orang sampel yaitu sebesar Rp 919.231 setiap tahunnya, dan rata-rata biaya produksi dari 13 sampel petani konvensional yaitu sebesar Rp 1.200.000 setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut dapat kita lihat bahwa jumlah rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh petani polikultur lebih sedikit dibanding biaya yang dikeluarkan oleh petani konvensional.

Demikian juga halnya jumlah keuntungan yang diperoleh dalam kegiatan pertanian mereka. Keuntungan yang diperoleh petani polikultur adalah sebesar Rp1.807.692 dalam tiap panennya dan keuntungan petani konvensional sebesar Rp 684.615 dalam tiap panennya. Dari jumlah tersebut dapat dilihat bahwa lebih tinggi keuntungan yang diperoleh oleh petani polikultur dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh oleh petani konvensional.

3. Berdasarkan analisa data dari tabel silang dapat diperoleh kesimpulan bahwa keikutsertaan petani dalam Program Pertanian Polikultur mempengaruhi peningkatan pendapatannya sehingga terlihat perbedaan tingkat pendapatan petani polikultur dan petani konvensional. Dari uji phi-Cramers terbuki bahwa meningkatnya pendapatan petani dengan mengikuti Program Pertanian Polikultur dibanding dengan yang tidak mengikuti Program Pertanian Polikultur adalah signifikan (phi=0.463, α=0.018).

Saran 1. Tim Pendamping (LSM Bitra Indonesia):

perlu lebih optimal melakukan pendekatan kepada seluruh masyarakat agar menerima suatu program untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat.

2. Bagi Kepala Desa Tanjung Selamat: agar di masa yang akan datang kiranya lebih aktif dan mau bekerjasama dengan pihak-pihak yang berupaya membuat perubahan bagi taraf hidup warga masyarakatnya. Sehingga akan lebih mudah melakukan pendekatan bagi masyarakat agar mau menerima program-program pembangunan di Desanya.

3. Bagi Petani di Desa Tanjung Selamat: agar kiranya selalu melaksanakan anjuran/penyuluhan yang diberikan Bitra Indonesia lewat Program Pertanian Polikultur demi perbaikan hasil produksi dan majunya usahatani, dan lebih menerapkan pola pertanian yang memperhatikan aspek ekonomi, ekologi dan berbudaya. Demikian juga petani yang tidak mengikuti Program Pertanian Polikultur untuk waktu kedepan mau menerima anjuran tentang Program Pertanian Polikultur oleh Bitra Indonesia, demi perbaikan usahatani dan peningkatan pendapatan.

Daftar Pustaka Anto, J, Membangun Peradaban Bersama

Masyarakat Marginal, Bitra Indonesia, Medan, 2003.

BPS, Statistik Indonesia, 1998. Divisi Pertanian Bitra, Laporan Proses

Polikultur, Bitra Indonesia, Medan, 2002.

Faisal, Sanafiah, Format-format penelitian

Sosial; Dasar-dasar dan Aplikasi, Rajawali, Jakarta. 2003.

Jayadinata, Usaha-Usaha Produksi Pertanian

Padi, Media Presindo, Jakarta, 1990. Koentjaraningrat, Metode Penelitian Sosial,

Gajah Mada University, Press, Yogyakarta, 1990.

Page 18: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Tresnawati & Siagian, Program Pertanian...

248

Muhidin, Syarif, Pengantar Kesejahteraan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung, 1981.

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Sosial,

Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.

Purba, Komintasari, dkk, Modul Sekolah

Lapang Polikultur, Bitra Indonesia, Medan, 2002.

Reijntjs, Coen, dkk, Pertanian Masa Depan,

Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah, Kainisius, Yogyakarta, 1992.

Sadono, Sukirno, Pengantar Teori Makro

Ekonomi, Grafika, Jakarta. Salim, Peter, Drs. Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Modern English Press, Jakarta, 2002.

Singarimbun, Masri, Metode Penelitian

Survey, LP3ES, 1989. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu

Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, 1987.

Suharsimi, Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktis, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1997.

Suroto, Strategi Pembangunan dan

Perencanaan Kesempatan Kerja, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.

Sutanto, Penerapan Pertanian Organik

(Menuju Alternatif dan Berkelanjutan), Kainisius, Jakarta, 2002.

Wahyuni, Wawasan Ilmu Sosial Dasar, Usaha

Nasional, Surabaya, 1986. Sumber-sumber lain: www.bumikita.com

www.pikiran rakyat.com

www.IFOAM.com

Info Organis, BIOCert

Kompas, 9 Mei 2005

Page 19: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

249

Aprilyani adalah Staf di Yayasan Setara Indonesia Medan, Agus Suriadi adalah Dosen di Sekolah Pascasarjana USU Medan

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

MELALUI IMPLEMENTASI PROGRAM BERAS UNTUK KELUARGA MISKIN (RASKIN)

Aprilyani & Agus Suriadi

Abstract

One of problems againsted by the government in development is poverty. Many people pounded poverty problem. They can not fulfill life needs, especially the food (rice). Many of people can not capable buy the rice in market. Againing this problem the government try to hold or influence the market, decided the rice highest price to protect the people, but it resulted the problem for the farmers. Since reformation period, the government implemented The Rice for the Poor Program. In this program, the government supply the rice for poor people in special price. This research studied how implementation of The Rice For Poor Program. Is it resulted positive impact for the poor people social welfare? The result of this research showed that The Rice for the Poor Program gived positive influence for the poor. The government officials took this program in right process. Keywords: poverty, rice, life need

Pendahuluan

Tidak ada satu pun negara di muka bumi ini yang melewatkan pembangunan. Pembangunan sudah menjadi bagian dari proses terbentuknya peradaban manusia. Bahkan dalam setengah abad ini, pembangunan merupakan satu dari antara hal-hal paling mendesak bagi setiap negara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Sejak awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Upaya tersebut ditegaskan dalam tujuan negara pada alinea keempat Pembukaan Undang-undang 1945, yang menyatakan bahwa pemerintah negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan berkeadilan sosial.

Dalam mewujudkan tujuan tersebut, pemerintah secara terus menerus telah

melakukan pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tujuan nasional. Dalam rangka mencapai tujuan nasional Indonesia, GBHN 1999-2004 memberikan visi yang merupakan tujuan yang akan dicapai pembangunan nasional yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera, dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisiplin. (Sinar Grafika, 2001: 8)

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam pembangunan yaitu masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan terus menerus menjadi masalah yang berkepanjangan, bahkan sampai sekarang dapat dikatakan semakin memprihatinkan.

Page 20: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Aprilyani & Suriadi, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat...

250

Kemiskinan tercermin dari belum terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin seperti hak atas pangan, kesehatan, perumahan, pendidikan, pekerjaan, tanah, sumber daya alam, air bersih dan sanitasi, rasa aman serta hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan publik dan proses pembangunan. Sedangkan dampak dari kemiskinan yaitu jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses terhadap pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya tabungan dan tidak adanya perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Hal ini membuktikan bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan kronis dalam proses pembangunan.

Masalah kemiskinan merupakan isu sektoral di Tanah Air, terutama setelah Indonesia dilanda krisis multidimensional yang berpuncak pada periode 1997 – 1999, setelah dalam kurun waktu 1976 – 1996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler dari 40,1% menjadi 11,3%. Jumlah orang miskin meningkat kembali terutama dengan tajam terutama selama krisis ekonomi. Studi yang dilakukan BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk pada periode 1996-1998, meningkat dengan tajam dari 22,5 juta jiwa (11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa. Sementara itu, ILO memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 12,6 juta atau sekitar 66,3% dari jumlah keseluruhan penduduk.

Berdasarkan defenisi kemiskinan dan fakir miskin dari BPS dan Depsos, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2002 mencapai 35,7 juta jiwa dan 15,6 juta jiwa (43%) diantaranya masuk kategori fakir miskin. Secara keseluruhan, persentase penduduk miskin dan fakir miskin terhadap total penduduk di Indonesia adalah sekitar 17,6% dan 7,7%. Ini berarti bahwa secara rata-rata jika ada 100 orang Indonesia berkumpul, sebanyak 18 orang diantaranya adalah orang miskin, yang terdiri dari 10 orang bukan fakir miskin dan 8 orang fakir msikin. (Suharto, 2005:136).

Di Sumatera Utara, jumlah penduduk dalam lima tahun terakhir dan terhitung dari Desember 2002 mencapai tiga juta jiwa (2.992.510 orang). Data dari Dinas Kesehatan Sumatera Utara mencantumkan dari 19 kabupaten dan kota di Sumatera Utara, yang jumlah penduduk miskin terbanyak terdapat di Kota Medan yaitu 624.755 jiwa. (www.indonesia-house.org).

Sedangkan untuk tahun 2005, BPS memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 62 juta jiwa atau sekitar 28,44% dari total jumlah penduduk yang mencapai 218 juta jiwa. (www.media-indonesia.co.id)

Meningkatnya jumlah penduduk miskin terjadi karena tidak adanya kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan pokoknya menurut standar yang dibuat oleh Bank Dunia, yang dikenal dengan garis kemiskinan yang menunjukkan batas terendah seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia secara layak. Tidak terpenuhinya kebutuhan pokok merupakan bentuk tidak adanya kesejahteraan manusia dan akan mengarah pada timbulnya berbagai masalah baru pada kehidupan manusia. Dalam model kebutuhan pokok telah diidentifikasikan kebutuhan dasar yaitu makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, kebersihan, transportasi dan partisipasi masyarakat. Sementara menurut Abraham Maslow, kebutuhan yang ada pada manusia adalah bawaan, dan tersusun menurut tingkatan atau bertingkat. Kebutuhan manusia yang tersusun secara bertingkat tersebut yaitu kebutuhan dasar fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta kasih dan memiliki, kebutuhan akan harga diri dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Menurut Maslow, kebutuhan yang ada di tingkat paling dasar, merupakan kebutuhan yang pemuasannya lebih mendesak dari pada yang ada di atasnya. Artinya kebutuhan pokok manusia terutama pangan merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk dipenuhi karena kebutuhan ini berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia.

Akibat krisis ekonomi yang paling dirasakan masyarakat adalah naiknya harga barang-barang sedangkan pendapatan mereka tetap. Hal ini mengakibatkan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhaannya menurun, terutama bagai penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tidak terpenuhinya kebutuhan pokok yaitu pangan

Page 21: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 249 – 270

251

sebagai kebutuhan dasar manusia yang membuat manusia akan memasuki bencana kemanusiaan. Kebutuhan akan pangan menyangkut pemenuhan gizi bagi masyarakat. Kekurangan gizi memungkinkan sebuah generasi lahir tanpa dilengkapi asupan gizi yang resikonya berkait dengan pertumbuhan dan perkembangan, maka mereka terancam menjadi generasi yang hilang dan pada saatnya akan menjadi awal kehancuran suatu bangsa.

Ketidakmampuan penduduk miskin untuk memenuhi kebutuhan pangan terlihat dari resiko rawan pangan di tanah air yang masih tinggi. Persoalan rawan pangan ini terjadi karena penduduk miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan terutama beras yang pada harga pasar pada Juli 1998 mencapai sekitar Rp.2.200/kg atau 2,2 kali lipat dari pertengahan 1997, kemudian pada akhir-akhir ini sudah mencapai 4000/kg. Pemenuhan kebutuhan pokok merupakan hal yang sangat sulit bagi penduduk miskin karena masyarakat miskin umumnya menggunakan proporsi besar kebutuhannya hanya untuk makan. Penelitian LP3ES dan FEUI menunjukkan bahwa golongan miskin membelanjakan 85% pendapatannya untuk keperluan makan dan rokok.(Sumardi dan Hans, 1985: 10).

BPS menyatakan pada tahun 2005 tidak kurang dari 20% - 30% penduduk mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses terhadap pangan karena daya beli. Secara total BPS menyebutkan terdapat 32 juta penduduk yang terancam atau hampir rawan pangan. (www.republika.co.id).

Melihat tingginya jumlah penduduk miskin dan diperparah oleh sulitnya penduduk miskin akan akses terhadap pangan karena rendahnya daya beli sebagai akibat krisis maka pemerintah meluncurkan Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin). Program ini dibentuk agar keluarga miskin mempunyai akses yang baik terhadap pangan (beras) dalam hal harga dan ketersediaan. Program Raskin dimulai sejak Juli 1998 dengan nama Operasi Pasar Khusus (OPK) beras. Program ini merupakan salah satu usaha pemerintah untuk mentransfer pendapatan kepada keluarga miskin sebagai akibat krisis, sehingga dapat mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin yang pengeluaran mereka untuk pangan mencapai 70% total pendapatan sekitar 25% diantaranya untuk beras. Salah satu bentuk transfer pendapatan adalah melalui komoditas

beras yang dijual dengan harga bersubsidi kepada keluarga miskin yang telah ditentukan sasarannya pada tingkat subsidi harga beras Rp 1000,00/kg. Alokasi beras yang disalurkan melalui Operasi Pasar Khusus (OPK) sebanyak 10 kg/bulan, kemudian sejak Desember 1998 dinaikkan menjadi 20kg/bulan.

Pada tahun 2002 Operasi Pasar Khusus (OPK) Beras diubah menjadi Program Beras Untuk Keluarga Miskin (Raskin). Dengan maksud untuk mempertajam sasaran program. Dengan nama Raskin masyarakat akan lebih memahami bahwa bantuan beras ini hanya untuk keluarga miskin, selain itu juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, sehingga yang tidak tergolong miskin akan merasa malu apabila menerima program ini.

Program Raskin merupakan salah satu program penaggulangan kemiskinan yang didasarkan pada prinsip penghormatan, penghargaan dan pemenuhan hak-hak dasar bagi masyarakat miskin. Namun dalam praktiknya di kehidupan sehari-hari ternyata masih banyak masalah yang menghadang program ini. Pertama, pagu alokasi beras yang disediakan pemerintah selalu tidak mencukupi kebutuhan seluruh keluarga miskin yang tercatat di seluruh wilayah. Kedua, terbatasnya pagu alokasi menyebabkan belum tercapainya jumlah beras yang direkomendasikan sebanyak 20kg/KK/bulan. Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2003 baru tercapai 13,3 kg/KK/bulan. Ketiga, akurasi dan kontiniunitas data keluarga (KK) miskin di setiap daerah masih perlu diperbaiki. Keempat, belum terbentuknya kelembagaan di tingkat paling bawah yang akan menjamin ketepatan sasaran program. Kelima, harga beras yang di bayar keluarga penerima manfaat di lokasi yang jauh dari titik distribusi masih lebih besar dari Rp.1000/kg. (www.pikiran-rakyat.com.)

Selain itu, berdasarkan penelitian Bank Dunia mengungkapkan hanya 18% dana Raskin mencapai sasaran, dalam pelaksanannya program beras untuk keluarga miskin pada tahun 2003 telah salah sasaran, karena 74% tersebut ternyata jatuh ke kelompok non miskin. Bahkan dilihat dari alokasi dananya dari anggaran Rp.4,83 triliun yang dialokasikan ke Perum Bulog pada tahun 2003, hanya 18% yang benar-benar dinikmati kelompok miskin. Sementara 52% lainnya menjadi subsidi untuk kelompok non miskin

Page 22: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Aprilyani & Suriadi, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat...

252

dan 30% lainnya untuk biaya opersional Perum Bulog.(www.kompas.com).

Banyak lagi penyelewengan dalam implementasi program ini, seperti yang diberitakan di berbagai media massa. Hal ini terlihat dari judul berita: Raskin Diselewengkan (Suara Pembaharuan 13/01/2003), Raskin Dijual Ke Penadah (Suara Pembaharuan, 16/01/2003), Penyaluran Raskin Di Gresik Salah Sasaran (Kompas, 24/01/2003), Warga Keluhkan Raskin Yang Tak layak. (Kompas, 27/02/2003). (www.kompas.com).

Berdasarkan berita-berita tersebut maka terdapat fakta adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Program Raskin. Padahal program ini sangat berarti bagi masyarakat miskin dalam mewujudkan hak asasi manusia atas pangan yang pada saat krisis saat ini harga beras melonjak tinggi sedangkan pendapatan mereka tetap.

Program Raskin dilaksanakan di Kelurahan Sidorame Barat II sejak Mei 2002 dan pada saat ini program tersebut masih berjalan. Program ini merupakan hak bagi masyarakat miskin yang merupakan bantuan kesejahteraan sosial bagi masyarakat miskin dalam mendukung berbagai program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Masyarakat miskin pada kelurahan ini sama seperti manusia lainnya yang juga berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak terutama dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya yaitu pangan (beras). Untuk itu diperlukan terimplementasinya program Raskin dengan baik sehingga masyarakat miskin di Kelurahan Sidorame Barat II dapat terpenuhi haknya atas pangan dan dapat terhindar dari kelaparan ditengah semakin naiknya harga beras. Metode Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe deskriptif, yaitu sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau bagaimana adanya (Nawawi, 1991: 63).

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sidorame Barat II, Kecamatan Medan Perjuangan. Alasan memilih lokasi tersebut karena Kelurahan Sidorame Barat II Kecamatan Medan Perjuangan merupakan

salah satu kelurahan yang melaksanakan program Raskin dan merupakan tempat peneliti berdomisili sehingga peneliti tertarik untuk meneliti secara langsung bagaimana implementasi program Raskin tersebut secara langsung dan bagaimana kesejahteraan keluarga miskin sebagai akibat implementasi program Raskin di daerah tersebut.

Populasi penelitian ini adalah petugas pelaksanan program yaitu 11 orang dan 90 kepala keluarga kepala keluarga yang menjadi sasaran manfaat program Raskin di Sidorame Barat II Kecamatan Medan Perjuangan.

Sampel merupakan bagian dari populasi. Menurut Suharsimi Arikunto, jika jumlah sampel kurang dari 100, maka populasi dapat langsung dijadikan sampel (n=N). Maka sampel dalam penelitian ini adalah Total Sampling (n=N) yaitu 90 KK dan 11 orang petugas pelaksana program.

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan adalah penyebaran angket, wawancara, dan observasi.

Penelitian ini menggunakan teknik analisa dalam bentuk deskriptif, yaitu dengan cara memeriksa data dari penelitian, kemudian dicari frekuensi dan presentasenya untuk disusun dalam bentuk tabel tunggal serta selanjutnya dijelaskan secara kualitatif. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Program Beras Untuk Keluarga Miskin (Raskin) di Kelurahan Sidorame Barat II sudah berjalan sejak tahun 2002 hingga sekarang. Program ini merupakan penyempurnaan dari program Operasi Pasar Khusus (OPK) Beras yang dimulai pada tahun 1998. Sejak tahun 2002, seiring dengan berubahnya status Bulog dari Lembaga pemerintahan Non-Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) Bulog, program OPK Beras mengalami penyempurnaan dan berubah menjadi Program Beras Untuk Keluarga Mskin (Raskin).

Program ini berjalan di Kelurahan Sidorame Barat II tepatnya pada bulan Mei 2002 dengan ketentuan mendistribusikan pangan pokok beras atau lebih tepatnya menjual beras murah dengan harga Rp. 1000/kg kepada keluarga miskin. Keluarga miskin ini adalah keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I menurut data dasar Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN)

Page 23: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 249 – 270

253

pada tahun 2002, kemudian dipilih lagi berdasarkan jumlah Kepala Keluarga yang telah ditetapkan SK Walikota. Data yang telah dipilih ditandangani oleh Kepala Lurah dan disahkan oleh Kepala Kecamatan setempat, yakni Kepala Kecamatan Medan Perjuangan dan data ini setiap tahunnya ditinjau kembali.

Setiap bulannya, keluarga miskin yang namanya tercantum sebagai penerima manfaat program Raskin di Kelurahan Sidorame Barat II memperoleh subsidi beras atau dapat membeli beras berjumlah 20 kg/KK di tempat penyaluran (titik distribusi) yaitu kantor Kelurahan Sidorame Barat II. Dalam pelaksanaannya pendistribusian beras Raskin dalam setahun terjadi 6 s.d. 8 kali pendistribusian.

Informasi tentang adanya penyaluran beras diperoleh penerima manfat dari kepala lingkungan daerah mereka masing-masing. Kepala lingkungan menyampaikan informasi kepada penerima manfaat sekaligus memberi kartu tanda penerima beras Raskin sebagai bukti yang ditunjukkan di kantor kelurahan bahwa pemegang kartu berhak membeli beras Raskin.

Di bawah ini merupakan data pendistribusian Program Raskin tahun 2002- 2005 di Kelurahan Sidorame Barat II.

Tabel 1

Realisasi Pendistribusian Raskin Tahun 2002 – 2005 di Kelurahan Sidorame Barat II

No. Bulan 2002 2003 2004 2005 1 Januari 2 Pebruari * 3 Maret * * 4 April * * 5 Mei * * * 6 Juni * * * * 7 Juli * * * 8 Agustus * * * 9 September * * * *

10 Oktober * * 11 Nopember * * 12 Desember *

Sumber: Kantor Kelurahan

Pada bulan April 2006 terdapat penyempurnaan ketentuan-ketentuan program ini, untuk itu peneliti membatasi penelitian ini.

Penelitian implementasi program ini dilakukan dari tahun 2002 – 2005.

Tabel 2

Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Umur

No. Umur F % 1 2 3

24-32 38-51 52-65

2 3 6

18,18 27,27 54,55

Total 11 100,00

Sumber: Data Primer

Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa usia responden berkisar antara 24 – 65 tahun. Tingkat umur tersebut mempengaruhi pola pikir dari seseorang, semakin bertambah usianya maka semakin matang dalam berpikir untuk membuat keputusan. Mayoritas responden berusia 32 – 65 tahun (54,55%), artinya bahwa responden sudah memiliki pola pikir yang matang sehingga responden pun lebih bijak dalam setiap keputusan yang diambil.

Tabel 3

Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin F % 1 2

Laki-laki Perempuan

11 -

100 -

Total 11 100

Sumber: Data Primer

Dari data Tabel 3 menunjukkan bahwa semua responden adalah laki-laki (100%). Pada kenyataanya bahwa para pegawai di kantor Kelurahan Sidorame Barat II didominasi oleh laki-laki.

Tabel 4 Karakteristik Responden Berdasarkan Jabatan

No. Ketegori F % 1 2 3

Penanggung jawab Pegawai kelurahan Kepala

1 1 9

9,09 9,09 81,82

Total 11 100,00

Sumber: Data Primer

Perlu diketahui bahwa 1 responden sebagai penanggung jawab program yaitu Kepala Kelurahan Sidorame Barat II,

Page 24: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Aprilyani & Suriadi, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat...

254

kemudian responden (9,09%) pegawai kelurahan yang ditunjuk sebagai petugas pelaksana pendistribusian program dan administrasi dan 9 responden (81,12%) sebagai kepala lingkungan yang memimpin di tiap lingkungan kelurahan yang membantu pelaksanaan program Raskin.

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui berapa lama seorang responden bekerja di Kelurahan Sidorame Barat II. Responden yang mempunyai masa bekerja dalam kurun waktu 3 tahun ada 1 orang (9,09%) dengan posisi sebagai kepala lingkungan VIII. Pada masa kerja 4 tahun terdapat 2 orang (18,18%) yaitu posisi sebagai staf kelurahan yang menangani administrasi program dan seorang lagi berposisi sebagai kepala lingkungan V. Untuk masa kerja 5 tahun ada 1 orang (9,09%) yang posisinya sebagai penanggung jawab program Raskin yaitu Kepala Kelurahan Sidorame Barat II, sedangkan yang mempunyai masa kerja lebih dari 5 tahun sebanyak 7 orang (63,64%) di mana ketujuh responden tersebut posisinya sebagai kepala lingkungan.

Apabila dilihat dari masa bekerja, maka responden dapat dianggap sudah berpengalaman atau memahami tentang pelaksanaan program ini karena program Raskin dimulai sejak tahun 2002, dan pada saat ini program baru berjalan 4 tahun artinya bahwa program dapat dikatakan akan berjalan secara baik sebab pada umumnya sebagian besar pelaksana program telah bekerja di kantor kelurahan cukup lama, lebih dari 4 (empat) tahun masa kerja.

Tabel 5

Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Umur

No. Umur F % 1 2 3

29-39 tahun 40-49 tahun > 49 tahun

17 36 37

18,89 40,00 41,11

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data pada Tabel 5 diketahui bahwa responden seluruhnya berjumlah 90 orang. Responden didominasi yang berusia lebih dari 49 tahun yaitu sebanyak 37 orang (41,11%), jumlah ini hampir berimbang dengan responden yang berusia 40-49 tahun yaitu sebanyak 35 orang (40,00%) dan

responden yang berusia 29-39 tahun sebanyak 17 orang (18,89%).

Tingkat umur tersebut, apabila dikaitkan dengan program Raskin maka tingkat umur ini menggambarkan status responden sebagai kepala keluarga dalam suatu keluarga. Selain itu tingkat umur juga akan mempengaruhi pada jenis pekerjaan yang mungkin dilakukan oleh seseorang dan juga lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada penghasilan seseorang.

Tabel 6 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin F % 1 2

Laki-laki Perempuan

55 35

61,11 38,89

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer Tabel 6 menunjukkan bahwa responden

pria sebanyak 55 orang (61,11%) dan responden wanita sebanyak 35 orang (38,89%). Berdasarkan jumlah keseluruhan responden terdaftar sebagai kepala keluarga yang berhak menerima program Raskin di Kelurahan Sidorame Barat II adalah 90 Kepala Keluarga yang terdiri dari 63 orang laki-laki (70%) dan 27 orang perempuan (30%). Perempuan sebanyak 27 orang ini merupakan mereka yang tidak memiliki laki-laki dalam rumah tangga, misalnya janda atau mereka yang sudah bercerai, jadi tidak memiliki kepala keluarga.

Tabel 7

Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan.

No. Pendidikan F % 1 2 3 4 5

Tidak sekolah Tidak Tamat SD SD SLTP SLTA

6 9 34 29 12

6,67 10,00 37,78 32,22 13,33

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Dari Tabel 7 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan responden didominasi oleh tingkat pendidikan SD yaitu sebanyak 34 orang (37,78%), kemudian diikuti tingkat

Page 25: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 249 – 270

255

pendidikan SLTP sebanyak 29 orang (32,22%), tingkat pendidikan SLTA sebanyak 12 orang (13,33%), responden yang pendidikannya tidak tamat pada tingkat SD sebanyak 9 orang (10,00%) dan responden yang tidak sekolah sebanyak 6 orang (6,67%).

Responden pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan responden rendahnya tingkat pendidikan disebabkan orang tua mereka tidak mampu untuk menyekolahkan mereka lagi sehingga mereka harus berhenti sekolah, selain itu ada juga yang disebabkan karena terjadi pernikahan dini. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh responden sangatlah mempengaruhi jenis pekerjaan yang akan mereka pilih, yang pada akhirnya mempengaruhi kesejahteraan keluarga responden karena besarnya penghasilan yang diperoleh. Dari Tabel 8 dapat diketahui karakteristik responden berdasarkan pekerjaannya, sebagai berikut:

Tabel 8

Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

No. Pekerjaan F % 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Tk. Becak Tk. Bangunan Supir Pekerja lepas Pedagang Buruh Tk.Cuci PRT Tidak ada

29 10 5 3 17 3 7 2 14

32,22 11,11 5,56 3,33 18,89 3,33 7,78 2,22 15,56

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Tabel 8 memperlihatkan pekerjaan responden didominasi sebagai tukang becak yaitu sebanyak 29 orang (32,22%), kemudian sebagai pedagang 17 orang (18,89%), sebagai tukang bangunan sebanyak 10 orang (11,11%), yang tidak mempunyai pekerjaan 14 orang (15,56%), dan sebagian kecil pekerjaan lainnya sebagai tukang cuci (7,78%), supir (5,56%), pekerja lepas (3,33%), buruh (3,33%) dan pembantu rumah tangga (2,22%).

Berdasarkan jenis pekerjaan yang dipilih oleh responden dapat diketahui bahwa pada umumnya responden merupakan keluarga yang tergolong miskin karena jenis-jenis pekerjaan

tersebut merupakan pekerjaan yang memiliki penghasilah rendah, berdasarkan hasil wawancara peneliti penghasilan yang mereka peroleh berkisar Rp.200.000-Rp.600.000,- per bulan. Ini merupakan jumlah yang sangat kecil bila dihubungkan dengan jumlah anggota keluarga responden. Penghasilan ini sangat tidak mencukupi untuk memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari seperti pangan, sandang, papan dan juga untuk biaya lainnya seperti pendidikan sekolah anak-anak mereka. Dari hasil wawancara peneliti diketahui bahwa hampir seluruh responden mempunyai istri yang tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga sehingga untuk memenuhi kebutuhan keluarga hanya mengharapkan dari penghasilan suami. Berdasarkan tabel tersebut diketahui terdapat 14 orang (15,6%) yang tidak mempunyai pekerjaan, mereka adalah ibu-ibu rumah tangga serta janda-janda yang telah berusia lanjut yang tidak mampu lagi untuk bekerja.

Tabel 9 Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah

Penghasilan per Bulan

No. Penghasilan per Bulan (Rp)

F %

1 2 3

200.000 200.000 – 400.000 401.000 – 600.000

25 37 28

27,78 41,11 31,11

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Berdasarkan Tabel 9 penghasilan responden terbanyak yaitu Rp.200.000-Rp 400.000 sebulan dengan jumlah 37 orang (41,11%), responden yang berpenghasilan Rp.401.000-Rp.600.000 sebulan berjumlah 28 orang (31,11%), dan yang penghasilan perbulannya kurang dari Rp.200.000 ada 25 orang (27,78%).

Penghasilan responden ini juga merupakan salah satu kriteria pemilihan penerima program Raskin. Berdasarkan wawancara dengan pelaksana program, kriteria penerima program yaitu berpenghasilan perbulan maksimum Rp 600.000,00. Apabila dikaitkan dengan penghasilan yang diterima maka responden merupakan keluarga yang tergolong miskin.

Page 26: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Aprilyani & Suriadi, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat...

256

Tabel 10 Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah

Anggota Keluarga

No. Jumlah F % 1 2 3

2-4 orang 5-7 orang > 7 orang

28 50 12

31,11 55,56 13,33

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Tabel 10 menjelaskan jumlah anggota keluarga responden, dapat diketahui bahwa responden yang mempunyai anggota keluarga 5-7 orang merupakan jumlah terbanyak yaitu 50 orang (55,56%), kemudian responden yang mempunyai anggota keluarga 2-4 orang sebanyak 28 orang (31,11%) dan untuk responden yang anggota keluarganya lebih dari 7 orang yaitu sebanyak 12 orang (13,33%).

Jumlah anggota keluarga merupakan tanggungan dalam keluarga yang artinya, jumlah anggota keluarga mempengaruhi biaya pengeluaran keluarga baik untuk kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan maupun pendidikan. Semakin banyak tanggungan dalam suatu keluarga maka akan semakin besar jumlah pengeluaran keluarga tersebut.

Tabel 11 Karakteristik Responden Berdasarkan Agama

No. Agama F % 1 2

Islam Kristen Protestan

67 23

74,44 25,56

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Tabel 11 menunjukkan bahwa responden beragama Islam merupakan responden terbanyak yaitu berjumlah 67 orang (74,44%) dan yang beragama Kristen Protestan yaitu sebanyak 23 orang (25,56%).

Hal ini dipahami karena kedua agama ini merupakan agama yang penganutnya banyak di Kelurahan Sidorame Barat II. Pemeluk agama Islam di Kelurahan Sidorame Barat II sebesar 46,6% dan agama Kristen Protestan 24,2%. Sedangkan agama lainnya yaitu Kristen Khatolik dan Budha pada umumnya memiliki atau dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga mereka tidak termasuk penerima program .Walaupun

demikian menurut responden perbedaan agama ini tidak menjadi suatu permasalahan dalam berinteraksi di masyarakat, kerukunan hidup antar umat beragama di kelurahan ini sudah baik.

Tabel 12

Karakteristik Responden Berdasarkan Suku

No. Suku F % 1 2 3 4 5 6

Batak toba Batak karo Mandailing Aceh Nias Jawa

8 2 12 7 1 42

8,89 2,22 13,33 7,78 1,11 46,67

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Dari data yang disajikan di atas dapat diketahui bahwa suku terbanyak pada responden adalah Suku Jawa yaitu berjumlah 42 orang (46,67%), kemudian Suku Mandailing berjumlah 12 orang (13,33), dan suku-suku lainnya adalah Suku Batak Toba sebanyak 8 orang (8,89), Suku Aceh sebanyak 7 orang (7,78%), Batak Karo sebanyak 2 orang (2,22%) dan Suku Nias berjumlah 1 orang (1,11%).

Adanya variasi suku, disebabkan karena pada dasarnya di Kelurahan Sidorame Barat II, sejak dahulu sudah terdapat berbagai macam suku-suku yang berbeda, walaupun demikian di kelurahan ini tidak pernah terjadi perselisihan antar suku.

Tabel 13 Pengetahuan Program Raskin Responden

No. Jawaban Responden F % 1 2

Ya Tidak

90 _

100,00 _

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 13, dapat diketahui bahwa semua responden (100%) mengetahui tentang program Raskin. Dari Tabel 14 akan diketahui dari mana informasi program Raskin pertama kali diperoleh oleh responden.

Page 27: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 249 – 270

257

Tabel 14 Sumber Informasi Program Raskin Bagi Respoden

No. Kategori F %

1 2 3 4

Televisi Radio Koran Kepala Lingkungan

48 5 3 34

53,33 5,56 3,33 37,78

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Dapat dilihat bahwa pertama kali responden memperoleh pengetahuan adanya tentang adanya program Raskin dari televisi yaitu sebanyak 48 orang (53,33%), yang memperoleh informasi program ini dari kepala lingkungan sebanyak 34 orang (37,78%), perolehan informasi dari radio terdapat 5 orang (5,56%) dan yang memperoleh informasi dari koran berjumlah 3 orang (3,33%).

Hal ini berarti bahwa pemerintah telah mensosialisasikan program Raskin kepada masyarakat dengan baik. Sosialisasi program ini telah berjalan baik, terlihat dari informasi program dapat diperoleh masyarakat dengan mudah dari media elektronika dan media cetak. Sedangkan informasi yang didapat responden dari kepala lingkungan dipahami karena kepala lingkunganlah yang bertugas untuk menyampaikan kepada penerima program tentang adanya penjualan beras Raskin di kantor kelurahan. Berikut adalah hasil wawancara dengan pelaksana program, Bapak Edy Yuskasim Siregar:

“Ketika ada penjualan beras Raskin di kelurahan, Pak Lurah menugaskan kepala lingkungan untuk memberikan informasi kepada keluarga miskin, yaitu keluarga yang nama-namanya tercantum pada daftar penerima Raskin untuk membeli beras murah di kelurahan, keluarga miskin itu ada yang sudah tahu, ada yang belum tahu tentang program Raskin ini dek, jadi saya jelaskanlah, kalau beras raskin itu adalah beras yang dijual murah dengan harga Rp 1000/kg, dan Bapak dapat membeli 20 kg…”

Peran serta kepala lingkungan sebagai pelaksana program sangatlah penting dalam penjualan beras Raskin, sebab dari merekalah penerima manfaat mengetahui adanya pejualan beras Raskin.

Tabel 15 Tahun Menerima Program Raskin

No. Kategori F % 1 2 3 4 5 6

2000 2001 2002 2003 2004 2005

3 9 9 18 25 26

3,33 10,00 10,00 20,00 27,78 28,89

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Data di atas menunjukkan bahwa responden yang menerima program Raskin sejak tahun 2005 sebanyak 26 orang (28,89%), jumlah ini hampir berimbang dengan responden yang menerima program ini sejak tahun 2004 yaitu sebanyak 25 orang (27,78%), untuk reseponden yang menerima program sejak tahun 2003 terdapat 18 orang (20,00%), kemudian yang menerima sejak tahun 2002 sebanyak 9 orang (10,00%), sejak tahun 2001sebanyak 9 (10,00%), orang dan sejak tahun 2000 yaitu sebanyak 3 orang (3,33%).

Program Raskin dijalankan di Kelurahan Sidorame Barat II sejak Bulan Mei 2002, yang pada tahun tersebut terjadi 8 kali penjualan beras Raskin. Program ini merupakan kelanjutan program Operasi Pasar Khusus Beras yang dimulai sejak tahun 1998 sehingga keluarga miskin yang menerima beras Raskin dari tahun 2000 merupakan keluarga miskin yang dulunya mendapatkan program Operasi Pasar Khusus Beras tersebut.

Nama-nama keluarga miskin yang menerima program Raskin setiap tahun direvisi kembali sesuai dengan kriteria kondisi terbaru keluarga miskin terserbut. Berikut hasil wawancara dengan pelaksana program, Bapak Limin Amnas Nasution:

“…setiap tahun kepala keluarga yang berhak menerima raskin, saya cek ulang, pengecekan ini saya lakukan dengan melihat warga saya satu per satu, saya lihat kalo si anu sudah agak maju sedikit, ya saya coret namanya, ganti sama warga lain yang lebih miskin, selain itu juga kalo ada yang meninggal atau pindah tapi tidak jelas, ini juga saya coret saya ganti …”

Tugas merevisi kembali nama-nama yang berhak menerima program Raskin dibebankan pada kepala lingkungan masing-masing lingkungan karena merekalah yang

Page 28: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Aprilyani & Suriadi, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat...

258

mengenal warga masyarakatnya secara jelas. Setelah direvisi ulang, data ini dirembukkan dengan Kepala Kelurahan kemudian data usulan penerima Raskin ini dikirim ke kecamatan untuk disahkan oleh Kepala Kecamatan. Berdasarkan keterangan dari salah satu pelaksana program, bahwa kepala lingkungan merupakan orang yang paling berperan dalam menentukan nama-nama penerima program ini, dan tidak ada campur tangan dari orang lagi, hal ini didasarkan bahwa kepala lingkunganlah yang dianggap paling mengetahui kondisi warganya.

Tabel 16 Sumber Informasi Penjualan Beras Raskin Bagi

Responden

No. Kategori F % 1 2

Kepala Lingkungan Lain-lain

90 -

100,00 -

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Tabel 16 menunjukkan bahwa 90 responden (100%) memperoleh informasi adanya penjualan beras Raskin dari kepala lingkungan mereka. Kepala lingkungan merupakan pelaksana program yang bertugas memberikan informasi kepada warga miskin yang namanya tertera dalam daftar penerima beras Raskin.

Menurut hasil wawancara peneliti dengan salah satu responden penerima beras Raskin, mereka hanya memperoleh informasi tentang adanya penjualan beras Raskin dari kepala lingkungan mereka, seperti hasil wawancara dengan Bapak Herman L Tobing, sebagai berikut:

“Saya mendapat informasi tentang adanya pembelian beras di kantor kelurahan dari kepala lingkungan, kepala lingkungan sekalian juga memberikan kupon atau nomor sebagai tanda pembelian, kalau tidak diberi tahu sama kepala kepala lingkungan, ya berarti tidak ada penjualan beras.”

Selain pernyataan Bapak Herman L Tobing, pernyataan lain diungkapkan oleh ibu Salwati:

“Saya adalah keluarga miskin, seharusnya setiap bulannya mendapat beras tersebut, tetapi berhubung saya tidak ada yang memberi kabar atau kalau saya bertanya,

mereka dari kelurahan mengatakan sudah habis.”

Sedangkan menurut jawaban dari semua kepala lingkungan, mereka selalu memberitahu warga miskin yang berhak untuk membeli beras tersebut. Dalam hal pembelian beras Raskin dalam setiap bulannya, peneliti sulit untuk mengetahuinya karena rata-rata responden tidak ingat berapa kali membeli beras Raskin dalam setahun, hal ini disebabkan bahwa pada kenyataannya penyaluran tidak terjadi setiap bulan.

Tabel 17

Tentang Tempat Membeli Raskin

No. Kategori F % 1 2

Kantor kelurahan Lain-lain

90 -

100,00 -

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Dari Tabel 17 diketahui bahwa seluruh responden (100%) menjawab bahwa tempat untuk membeli Raskin yaitu di kantor kelurahan. Hal ini sesuai dengan dengan ketentuan yang tercantum dalam buku petunjuk teknis Program Raskin, bahwa kantor kelurahan merupakan titik distribusi penyaluran Raskin kepada keluarga miskin.

Tabel 18 Jumlah Raskin yang Dibeli/Diperoleh

No. Kategori F %

1 2

20 kilogram Lain-lain

90 -

100,00 -

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Tabel 18 menunjukkan bahwa jumlah beras Raskin yang dibeli oleh keluarga miskin berjumlah 20 kilogram, hal ini sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan staf kelurahan sebagai pelaksana program, Bapak Rusmin El Husein, sebagai berikut:

“Program Raskin merupakan penjualan beras kepada keluarga miskin sebanyak 20 kg per Kepala Keluarga dengan harga Rp. 1000,00 per kilogram…”

Page 29: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 249 – 270

259

Tabel 19 Harga Raskin yang Dibeli

No. Jawaban Responden F %

1 2

1000 Lain-lain

90 -

100,00 -

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 19 dapat diketahui bahwa semua responden (100%) membeli beras Raskin dengan harga Rp. 1000,00/kg.

Tabel 20

Biaya Tambahan Pembelian Raskin

No. Kategori F %

1 2

Ya Tidak

- 90

- 100,00

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Dari data di atas dapat diketahui bahwa tidak ada biaya tambahan dalam penjualan beras Raskin di Kelurahan Sidorame Barat II. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada buku petunjuk teknis program.

Tabel 21

Jangkauan Harga Beras Raskin

No. Kategori F % 1 2 3

Terjangkau Kurang terjangkau Tidak terjangkau

85 5 -

94,44 5,56

-

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Berdasarkan data yang disajikan pada table 21 dapat diketahui bahwa terdapat 85 responden (94,44%) menjawab bahwa harga beras Raskin terjangkau, 5 responden (5,56%) menjawab bahwa harga beras tersebut kurang terjangkau dan tidak ada responden yang menjawab bahwa harga tersebut tidak terjangkau. Hal ini didukung oleh peryataan Ibu Sinaga ketika diwawancarai oleh peneliti, sebagai berikut:

“ …harga beras Raskin Rp 1000,00 perkilo terjangkaulah dek , sekarang saja harga beras di kedai Rp. 4500,00 perkilo, itu pun

beras yang biasa-biasa saja, tidak terlalu bagus…”

Walaupun demikian berdasarkan hasil wawancara peneliti harga beras tersebut masih juga memberatkan keluarga apabila di beli langsung 20 kg sesuai dengan ketentuan pembelian beras Raskin. Berikut hasil wawancara dengan Bapak HM Siregar, salah satu pelaksana program Raskin:

“...untuk warga miskin dek uang Rp 20.000,00 itu sulit, namanya orang miskin, mereka tidak punya uang, warga saya yang menerima Raskin ini rata-rata nyari pinjaman dulu untuk membeli beras tersebut, jadi saya sering bilang sama mereka, supaya mereka menabung agar bisa membeli beras bulan berikutnya, saya juga pernah sekali kasih pinjaman sama mereka tetapi mereka tidak mengembalikan, sehinggga saya tidak memberikan pinjaman uang kepada mereka lagi…”

Tabel 22 Apakah Membeli Beras Raskin Setiap Ada

Penyaluran

No. Kategori F % 1 2

Ya Tidak

90 -

100,00 -

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer Diketahui bahwa seluruh seluruh

responden (100%) menjawab selalu membeli beras Raskin setiap ada penjualan. Warga miskin yang berhak membeli beras dapat membeli beras miskin dalam jangka waktu 1 (satu) minggu setelah kepala lingkungan memberitahukan adanya penjualan beras Raskin di kantor kelurahan. Mereka juga harus membawa kartu Raskin sebagai tanda bukti bahwa warga miskin tersebut merupakan warga yang berhak membeli Raskin. Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaksana program, beras Raskin ini akan habis terjual maksimal 5 (lima) hari, dan apabila ada warga miskin penerima manfaat yang belum membeli beras tersebut, biasanya kepala lingkungan akan mendatangi warga tersebut. Seperti yang dikatakan Bapak H.M.Siregar, sebagai berikut:

Dalam pembelian beras warga miskin yang berhak membeli beras Raskin tidak diperkenankan untuk mengutang kepada kelurahan, maka mereka harus membawa uang

Page 30: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Aprilyani & Suriadi, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat...

260

Rp. 20.000,00 untuk membeli beras tersebut, oleh sebab itu menurut wawancara penulis dengan beberapa responden, mereka terpaksa membagi dua jumlah beras tersebut dengan orang yang mau meminjami mereka uang untuk membeli beras Raskin sehingga mereka hanya akan mendapat 10 kilogram.

Tabel 23 Membayar Pembelian Beras Raskin Tepat Waktu

No. Kategori F % 1 2

Ya Tidak

90 -

100,00 -

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Dari tabel di atas diketahui bahwa seluruh responden (100%) membayar beras Raskin tepat waktu artinya berdasarkan ketentuan di kelurahan ini, menurut hasil wawancara dengan pelaksana program penerima program tidak diperbolehkan untuk menangguhkan pembayaran beras tersebut walaupun menurut mereka berdasarkan buku petunjuk diperbolehkan untuk membayar belakangan beras tersebut. Menurut Kepala Kelurahan, hal ini dilakukan untuk memperkecil permasalahan administrasi.

Tabel 24 Persepsi tentang Kualitas Beras Raskin

No. Kategori F % 1 2 3

Baik Kurang baik Tidak baik

70 20 -

77,78 22,22

- Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Dari data diketahui sebanyak 70 orang (77,78%) menjawab kualitas beras Raskin baik, dan sisanya sebanyak 20 orang (22,22%) menjawab beras tersebut kurang baik. Pada umumnya responden menjawab beras Raskin tersebut baik walaupun ada juga yang mengatakan bahwa kualitasnya kurang baik, dari sisi pelaksana program tentang kualitas beras berikut dipaparkan oleh Bapak Yahdan Girsang, sebagai berikut:

“Bagi kami beras Raskin tersebut sudah baik, dek kami tidak membutuhkan kualitas, yang penting ada beras yang bisa kami makan…”

Tabel 25 Jumlah Beras Raskin dalam Memenuhi Kebutuhan

Beras Keluarga

No. Kategori F % 1 2 3

Memenuhi Kurang memenuhi Tidak memenuhi

11 52 27

12,22 57,78 30,00

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Data pada Tabel 25 menunjukkan bahwa 52 responden (57,78%) mengatakan bahwa jumlah beras Raskin kurang mampu memenuhi kebutuhan beras warga miskin, 27 responden (30,00%) mengatakan bahwa jumlah tersebut tidak memenuhi kebutuhan beras mereka dan 11 responden (12,22%) mengatakan bahwa jumlah tersebut memenuhi kebutuhan beras mereka.

Jawaban responden ini dipengaruhi oleh banyak atau sedikitnya jumlah anggota keluarga responden tersebut, seperti hasil wawancara peneliti dengan ibu Sawalti sebagai berikut:

“Kalau jumlah beras Raskin ini, ya kurang memenuhi kebutuhan beras untuk keluarga. Sebulan ibu biasa membeli beras 60 kilogram sedangkan orang di rumah semuanya, termasuk ibu ada 4 orang, Raskin ini cuma 20 kilogram, tetapi memang ibu terbantulah dek dengan adanya Raskin ini.”

Berdasarkan data jumlah anggota responden penerima program bahwa sebanyak 55,6%, responden memiliki jumlah anggota keluarga 5-7 orang, artinya bahwa jumlah beras ini belum mencukupi kebutuhan keluarga miskin tersebut sehingga peran serta Raskin ini sangat sedikit dalam membantu keluarga miskin baik untuk memenuhi kebutuhan pangan terutama beras apalagi untuk kesejahteraannya.

Tabel 26

Kesulitan yang Dialami Responden dalam Memenuhi Kebutuhan Beras Keluarga

No. Kategori F %

1 2 3

Ya Kadang-kadang Tidak

73 17 -

81,11 18,89

-

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Page 31: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 249 – 270

261

Dari Tabel 26 diketahui bahwa 73 orang (81,11%) menjawab bahwa mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan beras. Rendahnya penghasilan keluarga miskin dan banyaknya jumlah anggota keluarga menyebabkan mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan beras keluarga.

Tabel 27 Frekuensi Katergantungan Responden terhadap

Beras Tergantung Beras Raskin

No. Kategori F % 1 2 3

Ya Kadang-kadang Tidak

61 23 6

67,78 25,55 6,67

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Walaupun penerima Raskin 81,1% menjawab kesulitan memenuhi kebutuhan beras, tetapi berdasarkan data Tabel 27 responden yang pemenuhan kebutuhan berasnya tergantung pada program Raskin sebanyak 61 orang (67,78%), yang menjawab kadang-kadang 23 orang (25,56%) dan yang menjawab tidak 6 orang (6,67%). Sebagian besar responden berkata bahwa program Raskin ini sangat ditunggu-tunggu oleh mereka tetapi karena penjualan beras ini tidak terjadi setiap bulan sehingga mereka merasa pesimis tentang program ini. Berikut hasil pernyataan salah satu responden, Ibu Srigianti:

“Raskin tidak berjalan lancar, kadang-kadang ada tiap bulan, kadang-kadang tidak ada, jadi ya kita terpaksa membeli beras juga…”

Pendistribusian Program Raskin ditetapkan berdasarkan alokasi perencanaan penyaluran pemerintah pemerintah kota medan di manapendistribusian Raskin dari tahun 2002 s.d 2005 di Kelurahan Sidorame Barat II terjadi 6-8 kali penyaluran.

Tabel 28 Kesanggupan Pendapatan Responden Memenuhi

kebutuhan Pokok

No. Kategori F % 1 2 3

Memenuhi Kurang memenuhi Tidak memenuhi

- 3 87

- 3,33 96,67

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Tabel 28 di atas menerangkan bahwa sebanyak 87 orang (96,67%) menjawab bahwa pendapatan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok, 3 orang (3,33%) menjawab pendapatan kurang memenuhi kebutuhan pokok, dan tidak ada yang menjawab bahwa pendapatannya dapat memenuhi kebutuhan pokok.

Kebutuhan pokok manusia terdiri sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan. Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok ini akan berakibat buruk kepada kehidupan mereka, melalui observasi peneliti, ketidakmampuan warga miskin ini dalam memenuhi kebutuhan pokok terlihat dari anak-anak mereka yang tampak kurus, tidak terawat, sering sakit, terutama yang masih balita serta banyaknya anak-anak yang putus sekolah. Ketidakmampuan keluarga miskin dalam menuhi kebutuhan pokok dapat dilihat dari jumlah penghasilan yang diperoleh, di manapada umumnya warga miskin penerima program Raskin mempunyai penghasilan yang rendah yaitu antara Rp.200.000,00- Rp.600.000,00 perbulan.

Tabel 29

Persepsi Responden tentang Adanya Program Raskin

No. Kategori F % 1 2 3

Sangat setuju Kurang Setuju Tidak Setuju

90 - -

100,00 - -

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Tabel 29 menunjukkan bahwa semua (100,00%) responden sangat setuju dengan adanya program Raskin. Hal ini disebabkan harga beras di pasaran yang sangat tinggi, sehingga program ini selalu ditunggu-tunggu oleh keluarga miskin. Sedangkan menurut pelaksana program, program ini sudah baik dan tepat dijalankan pada saat krisis sekarang, di manaharga-harga naik.

Kecemburuan ini terjadi karena jumlah penerima manfaat program terlalu sedikit jika dibandingkan warga masyarakat yang miskin di Kelurahan Sidorame Barat II. Dari hasil wawancara, diketahui bahwa biasanya untuk setiap tahun nama-nama penerima program akan tetap kecuali bila terjadi kematian dan pindah. Sehingga masyarakat sering kecewa karena tidak digilir. Hal ini terjadi karena pihak pelaksanan merasa mereka masih berhak untuk menerima program karena masih memenuhi kategori penentuan sasaran.

Page 32: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Aprilyani & Suriadi, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat...

262

Dampak lain yang dirasakan dari program ini adalah adanya ketergantungan dari penerima program, hal ini dapat dilihat pada tabel 5.29. Padahal dari suatu program pemerintah yang dijalankan diharapkan masyarakat tidak tergantung, tetapi tetap mandiri. Hal ini tidak sesuai dengan bentuk pendekatan baru dalam menangani masyarakat, yaitu dengan melibatkan masyarakat, sehingga mereka ikut berusaha keluar dari kemiskinan. Tetapi hal ini mungkin terjadi karena adanya bentuk tanggung jawab pemerintah akan hak warga negaranya sehingga pemerintah menjalankan program berbentuk perlindungan sosial.

Pada analisa ini akan digambarkan mengenai kesejahteraan keluarga miskin dan bagaimana kemampuan keluarga miskin penerima program Raskin dalam memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Tabel-tabel berikut ini akan menggambarkan kondisi keluarga responden dalam memenuhi hal-hal tersebut di atas.

Tabel 30 Frekuensi Makan dalam Sehari Responden

No. Responden F % 1 2 3

3 kali 2 kali 1 kali

56 34 -

62,22 37,78

- Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Berdasarkan Tabel 30 dapat dikatakan bahwa pemenuhan kebutuhan pangan keluarga responden cukup memadai, hal ini terlihat dari 62,22% menjawab 3 (tiga) kali makan dalam sehari, 37,78% responden menjawab makan 2 (dua) kali dalam sehari, dan tidak ada responden yang menjawab hanya 1 (satu) kali makan dalam sehari. Walaupun demikian, sebagian besar responden yang menjawab makan 3 (tiga) kali sehari, untuk sarapan pagi mereka hanya makan indomie, nasi goreng, ataupun roti.

Tabel 31 Tingkat Pengetahuan Makanan Bergizi Seimbang

Responden

No. Kategori F % 1 2

Ya Tidak

73 17

81,11 18,89

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Dari jawaban responden dapat dilihat bahwa 81,11% responden mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan makanan bergizi seimbang atau biasa disebut 4 sehat 5 sempurna, tetapi mereka tidak menerapkannya dalam menu makanan sehari-hari karena penghasilan mereka tidak mencukupi. Tabel 32 berikut menjelaskan jawaban responden tentang menu makanan bergizi seimbang dalam susunan makanan keluarga.

Tabel 32 Penerapan Makanan Bergizi Seimbang dalam

Keluarga Responden

No. Kategori F % 1 2

Ya Tidak

2 88

2,22 97,78

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Dari data Tabel 32 dapat dilihat bahwa 97,78% responden menjawab tidak menerapkan makanan bergizi seimbang dalam susunan makanan sehari-hari. Hal ini dipahami karena penghasilan yang rendah sedangkan harga-harga makanan kebutuhan pokok saat ini sangat mahal, sehingga mereka lebih mementingkan jumlah makanan dari pada kualitasnya. Tabel 33 akan menjelaskan susunan makanan yang biasanya menjadi menu makanan keluarga responden, yakni sebagai berikut:

Tabel 33

Menu Makanan Keluarga Responden yang Biasa Tersedia

No. Kategori F % Nasi,daging, ikan, sayur, buah, susu

2 2,22

Nasi, ikan, sayur, buah, air putih

3 3,33

Nasi, ikan, sayur, air putih 21 23,33

1 2 3

4 Nasi, tempe, ikan teri, air putih

64 71,12

Total 90 100,0

Sumber: Data Primer

Dari tabel dapat di atas dapat diketahui bahwa menu makanan keluarga responden kurang baik. Hal ini terlihat dari jawaban responden sebanyak 71,12% menu makanan yang biasa dikonsumsi adalah nasi, tempe, ikan teri dan air putih. Harga-harga kebutuhan

Page 33: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 249 – 270

263

pokok yang mahal tidak sesuai dengan jumlah pendapatan mereka, bahkan untuk susunan makanan sehari-hari dengan lauk ikan hanya 23,33% saja dari keseluruhan responden. Berdasarkan hasil wawancara peneliti diketahui bahwa untuk lauk ikan dan telur mereka konsumsi dalam seminggu hanya satu kali, sedangkan untuk konsumsi daging biasanya mereka konsumsi hanya pada hari besar keagamaan, yaitu satu tahun sekali. Berikut hasil wawancara dengan salah satu responden, Ibu Jamiah:

“Ikan sekarang harganya mahal dek, apalagi jumlah kami sekeluarga 5 (lima) orang, lebih untung kalau membeli lauk tempe, bisa dipotong kecil-kecil, jadi cukup untuk satu keluarga…”

Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa susunan makanan sehari-hari responden kurang memenuhi kebutuhan akan gizi yang baik karena penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan pangan anggota keluarga, meskipun mereka telah mendapatkan program Raskin.

Tabel 34 Perolehan Bahan Makanan untuk Keluarga

Responden

No. Kategori F % 1 2 3

Semua dibeli Sebagian ditanam Semua ditanam

90 - -

100,00 - -

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer Berdasarkan Tabel 34 dapat diketahui

bahwa seluruh responden memperoleh makanan untuk makanan keluarga dari membeli di pasar. Dari observasi peneliti, tidak ada responden yang menanam tanaman untuk membantu memenuhi sebagian kebutuhan pangan sehari-hari, hal mungkin disebabkan karena rumah responden umumnya mempunyai pekarangan yang sangat kecil ataupun karena status kepemilikan rumah yang menyewa.

Tabel 35 Kondisi Fisik Bangunan Rumah yang Ditempati

No. Kategori F % 1 2 3

Permanen/beton Semi Permanen Papan

26 19 45

28,89 21,11 50,00

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Keadaan bangunan rumah responden pada umumnya berbeda-beda. Keadaan ini diwakilkan oleh bangunan rumah terbuat dari papan, setengah beton, dan beton. Dari data Tabel 35 diketahui bahwa keadaan bangunan rumah responden kurang memadai dari ukuran keberadaannya. Responden yang tinggal di rumah yang terbuat dari papan merupakan yang terbanyak yaitu 45 orang (50,00%), yang rumahnya permanen atau beton sebanyak 26 orang (28,89%), dan semi permanen ada 19 orang (21,11%). Menurut kategori penentuan sasaran penerima manfaat program Raskin seharusnya responden adalah kelurga miskin yang bangunan rumahnya dari papan, tetapi menurut keterangan pelaksana program terdapat responden yang bangunan rumahnya permanen (28,89%) dan semi permanen (21,11%) karena beberapa alasan seperti berstatus janda, atau warga miskin yang menyewa atau menumpang di rumah orang tua. Seperti yang dikatakan oleh oleh pelaksana program Bapak Hutabarat sebagai berikut:

“...saya lebih mengutamakan keluarga miskin yang menetap di kelurahan Sidorame Barat II, kalau kondisi bangunan rumahnya permanen ya bisa saja karena menumpang sama orang tua, tetapi dia merupakan keluarga miskin yang mempunyai anak sekolah, jadi perlu dibantu, apalagi dalam satu rumah tersebut biasanya terdiri dari beberapa kepala keluarga…”

Tabel 36

Jumlah Kamar dalam Rumah yang Ditempati Responden

No. Kategori F % 1 2 3

1 kamar 2-3 kamar 4-5 kamar

40 48 2

44,45 53,33 2,22

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Dari data yang disajikan dalam table di atas dapat diketahui bahwa jumlah kamar terbanyak yang terdapat di rumah responden adalah 2-3 yaitu 48 orang (53,33%), yang mempunyai 1 kamar ada 40 orang (44,45%) dan sisanya 2 orang (2,22%) mempunyai 4-5 kamar.

Page 34: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Aprilyani & Suriadi, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat...

264

Tabel 37 Jumlah Penghuni Tiap Kamar

No. Kategori F % 1 2 3 4

1 orang/kamar 2-3 orang/kamar 4-5 orang/kamar > 5 orang/kamar

5 57 25 3

5,56 63,33 27,78 3,33

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Diketahui dari data bahwa rata-rata di setiap kamar pada rumah responden dihuni 2 – 3 orang perkamar (63,33%), yang tiap kamar dihuni 4 – 5 orang sebanyak 25 orang (27,78%). Dari kondisi ini berarti keluarga miskin belum dapat memenuhi kebutuhan papannya. Jumlah penghuni tiap kamar ini dipengaruhi oleh jumlah anak keluarga responden. Selanjutnya akan kita lihat mengenai tersedianya unsur penting dalam suatu rumah yang sehat dan sejahtera, yaitu ketersediaan MCK (mandi, cuci, kakus).

Tabel 38 Ketersediaan Fasilitas MCK di Rumah yang

Ditempati Responden

No. Kategori F % 1 2 3

Tersedia Hanya kamar mandi Tidak tersedia

68 20 2

75,56 22,22 2,22

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Berdasarkan Tabel 38 dapat dilihat bahwa pada umumnya responden sudah mempunyai rumah sehat, dan berdasarkan penelitian diketahui bahwa seluruh responden telah menggunakan listrik.

Tabel 39 Frekuensi Anggota Keluarga Responden Membeli

Pakaian Anggota Keluarga

No. Kategori F % 1 2 3

Sering Jarang Sangat jarang

- 19 71

- 21,11 78,89

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Data yang disajikan pada Tabel 39 di atas menunjukkan bahwa kemampuan responden untuk membeli pakaian anggota

keluarga kurang baik, 78,89% responden menjawab sangat jarang membelikan pakaian untuk keluarga dan 21,11% menjawab jarang untuk membeli pakaian anggota keluarga, ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan sandang ini disebabkan rendahnya penghasilan responden., berikut wawancara dengan bapak Chairil Anwar, berikut ini:

“…kalau untuk membeli pakaian baru, saat sekarang ini sulit sekali, bisa dibilang tidak pernah karena saya membelikan pakaian untuk keluarga biasanya dalam setahun satu kali, yaitu pada hari raya, itupun saya beli dengan mencicil…”

Berikut dipaparkan tabel-tabel hasil jawaban responden tentang kondisi kesehatan dan kemampuan responden dalam memenuhi kesehatan keluarga.

Tabel 40

Frekuensi Anggota Keluarga Responden Mengalami Sakit

No. Kategori F % 1 2 3

Sering Jarang Sangat Jarang

34 48 8

37,78 53,33 8,89

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Dari Tabel 40 terlihat bahwa 48 orang (53,33%) keluarganya sering mengalami sakit, 34 orang (37,78%) jarang terserang sakit dan 8 orang (8,89%) menjawab sangat jarang mengalami sakit.

Data tersebut memaparkan bahwa pada umumnya keluarga miskin di Kelurahan Sidorame Barat II jarang terganggu kesehatannya. Menurut observasi peneliti, hal mungkin karena mereka bekerja dengan menggerakan seluruh tubuh seperti menarik becak, tukang bangunan. Mereka bekerja dengan giat dan tidak malas-malasan. Selain itu kesehatan ini juga didukung oleh lingkungan tempat tinggal mereka yang cukup baik. Mereka tinggal di lingkungan yang bersih, tidak banyak polusi udara, pada umumnya mereka mengkonsumsi air minum dari sumur yang terbebas dari pencemaran limbah dan keluarga miskin ini 75% telah mempunyai fasilitas MCK.

Page 35: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 249 – 270

265

Tabel 41 Fasilitas Pengobatan yang Digunakan Keluarga

Responden Bila Sakit

No. Kategori F % 1 2 3

Puskesmas Rumah Sakit Prakter Dokter

86 2 2

95,56 2,22 2,22

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Data pada Tabel 41 di atas memperlihatkan bahwa 95,56% responden berobat ke puskesmas apabila mereka sakit. Menurut responden, mereka pergi berobat ke puskesmas karena biaya pengobatan di puskesmas lebih murah di bandingkan rumah sakit maupun praktik dokter.

Tabel 42 Proses Pengobatan terhadap Keluarga Responden

yang Sakit

No. Kategori F % 1 2 3

Segera Menunggu Lama menunggu

38 13 39

42,22 14,45 43,33

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Tabel 42 di atas menunjukkan cepat atau lambatnya pengobatan yang dilakukan apabila anggota keluarga sakit. Paling banyak responden, yaitu 39 orang (43,33%) menjawab bahwa dalam mengobati anggota keluarga yang sakit lama tergantung penyakitnya, jumlah ini hampir berimbang dengan responden yang segera pergi berobat bila anggota keluarganya sakit yaitu sebanyak 38 orang (42,22%), dan yang menjawab pengobatan menunggu ada 13 orang (14,45%). Alasan responden lama atau menunggu dahulu untuk segera pergi berobat karena mahalnya biaya pengobatan. padahal puskesmas telah menyediakan program bantuan kesehatan yaitu berupa pengobatan gratis. Berikut data tentang penerima program bantuan kesehatan:

Tabel 43 Perolehan Program Bantuan Kesehatan Bagi

Responden

No. Kategori F % 1 2

Ya Tidak

71 19

78,89 21,11

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Dari Tabel 43 dapat dilihat bahwa responden yang mendapatkan bantuan kesehatan sebanyak 71 orang (78,89%) dan yang tidak mendapatkan bantuan kesehatan hanya 19 orang (21,11%). Hampir seluruh keluarga miskin mendapatkan bantuan kesehatan, bantuan kesehatan ini adalah pengobatan gratis di puskesmas.

Tabel 44

Kesulitan Membiayai Pengobatan yang Dialami Responden

No. Kategori F % 1 2 3

Ya Kadang-kadang Tidak

65 16 9

72,22 17,78 10,00

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa responden merasa kesulitan dalam membiayai kesehatan sebanyak 72,22%. Responden yang menjawab kadang-kadang sebanyak 17,78% dan yang mengatakan tidak sulit sebanyak 10,00%. Responden masih merasa kesulitan dalam membiayai pengobatan, padahal mereka telah mendapatkan pengobatan gratis di puskesmas, ternyata berdasarkan wawancara peneliti kesulitan ini disebabkan mahalnya ongkos transport untuk pergi ke puskesmas yang jaraknya jauh dari rumah responden.

Berikut tabel-tabel yang menjelaskan kondisi kemampuan keluarga miskin dalam memperoleh pendidikan.

Tabel 45

Jumlah Anak Responden yang Bersekolah

No. Kategori F % 1 2 3 4

1 orang 2-3 orang 4-5 orang Tidak ada

24 43 10 13

26,67 47,78 11,11 14,45

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Data yang disajikan pada Tabel 45 menunjukkan bahwa terdapat 43 orang (47,78%) responden yang mempunyai 2 – 3 anak yang bersekolah, kemudian 24 orang (26,67) responden yang memiliki 1 anak yang sekolah, yang tidak memiliki anak bersekolah 13 orang (14,45%), dan terakhir terdapat 10 orang (11,11%) yang memiliki anak 4 – 5

Page 36: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Aprilyani & Suriadi, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat...

266

orang anak yang bersekolah. Bardasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa responden sudah memahami pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka, namun karena terbentur masalah biaya maka terdapat anak-anak yang putus sekolah.

Tabel 46

Adanya Pengalaman Anak Putus Sekolah

No. Kategori F % 1 2

Ya Tidak

38 52

42,22 57,78

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Berdasarkan Tabel 46 diketahui bahwa 57,78% keluarga responden tidak memiliki anak yang putus sekolah sedangkan 42,22% keluarga responden memiliki anak yang putus sekolah. Hal ini sungguh mengkwatirkan karena jumlah keluarga yang memiliki anak putus sekolah dan jumlah keluarga yang tidak memiliki anak putus sekolah hampir berimbang. Biaya pendidikan yang mahal membuat anak-anak keluarga miskin ini mengalami putus sekolah ataupun tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi sehingga mengharuskan mereka membantu orang tua untuk mencari nafkah. Untuk melihat berapa banyak anak yang putus sekolah dalam suatu keluarga dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 47

Jumlah Anak Putus Sekolah Responden

No. Kategori F % 1 2 3 4 5 6

Tidak putus 1 orang 2 orang 3 orang 4 orang 5 orang

52 16 12 6 _ 2

58,79 17,79 13,33 7,67

_ 2,22

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Dari tabel di atas dapat diketahui terdapat 16 responden (17,79%) yang mempunyai 1 (satu) orang anak yang putus sekolah, 12 responden (13,33%) yang mempunyai 2 (dua) orang anak yang putus sekolah, 3 responden (7,79%) yang mempunyai 3 (tiga) orang anak yang putus

sekolah dan 2 responden (2,22%) yang memiliki 5 (lima) orang anak putus sekolah. Banyaknya anak yang putus sekolah dalam satu keluarga disebabkan ketidakmampuan keluarga untuk membiayai pendidikan anak mereka. Besarnya jumlah anak putus sekolah ini, membuat peneliti tertarik untuk menanyakan bagaimana peran pemerintah terhadap pendidikan keluarga miskin ini.

Tabel 48

Distribusi Responden tentang Mendapatkan Program Bantuan Pendidikan

No. Kategori F % 1 2

Ya Tidak

26 64

28,89 71,11

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Responden yang mendapatkan program bantuan pendidikan 26 orang (28,89%) dan yang tidak mendapatkan program bantuan pendidikan 64 orang (71,11%). Rendahnya angka responden yang menerima program bantuan pendidikan dipahami menjadi salah satu faktor yang menyebabkan besarnya jumlah responden yang mempunyai anak putus sekolah (42,22%). Program bantuan pendidikan yang diterima responden berupa gratis biaya pendidikan.

Walaupun jumlah anak responden yang memiliki anak putus sekolah hampir setengah jumlah keseluruhan responden, tetapi ketika mereka ditanya apakah mereka setuju tentang kondisi yang mengharuskan anak mereka berhenti sekolah sebanyak 85,56% responden menjawab tidak setuju. Berikut tabel penjelasannya:

Tabel 49

Distribusi Responden tentang Setuju Apabila Anak Putus Sekolah

No. Kategori F % 1 2

Setuju Tidak setuju

13 77

14,44% 85,56%

Total 90 100,00

Sumber: Data Primer

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa 86,56% responden menjawab tidak setuju bila anak mereka berhenti sekolah dan ikut membantu orang tua mencari nafkah

Page 37: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 249 – 270

267

sedangkan sisanya 14,44% mengatakan setuju. Alasan yang membuat anak mereka gagal untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi (putus sekolah) adalah alasan ekonomi yaitu ketidakmampuan untuk membiayai pendidikan karena terdesak oleh pemenuhan kebutuhan pangan, sandang dan papan. Tetapi berdasarkan Tabel 49 ini pada umumnya responden telah menyadari pentingnya pendidikan bagi masa depan anak-anak mereka. Seperti yang dikatakan oleh salah satu responden, Bapak Pranto sebagai berikut:

“saya tidak setuju kalau anak-anak sampai berhenti sekolah, karena pendidikan itu perlu bagi si anak tersebut, soal mencari nafkah orang tua bisa mencarinya.”

Pelaksanaan suatu program merupakan suatu hal yang penting, karena suatu program hanya sekedar impian, rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.

Setelah melakukan penelitian yang dilakukan dengan observasi, penyebaran kuesioner, dan wawancara maka dapat disimpulkan bahwa impelmentasi program Raskin di kelurahan Sidorame Barat II telah berjalan dengan baik. Hal ini sependapat dengan pernyataan dari pelaksana program bahwa mereka telah melaksanakan implementasi program ini dengan sebaik mungkin karena beras Raskin ini merupakan hak masyarakat miskin. Implementasi program Raskin terealisasi baik dengan bukti sebagai berikut: 1. Tepat sasaran penerima manfaat

Pelaksana program Raskin telah melakukan penjualan beras ini sesuai dengan nama-nama yang terdaftar sebagai penerima manfaat. Penerima program Raskin mempunyai kriteria sebagai berikut: a. Keluarga prasejahtera (KPS) las an

ekonomi yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi indikator KPS yang ditetapkan oleh BKKBN, dengan bobot pengkategorian lebih ditekankan pada alasan ekonomi. Indikator keluarga prasejahtera alasan ekonomi yaitu: pada umumnya anggota keluarga belum mampu makan dua kali sehari, anggota keluarga belum memiliki pakaian yang berbeda untuk dipakai di rumah, sekolah dan

berpergian, bagian lantai yang terluas dari tanah.

b. Keluarga sejahtera I (KS I) alasan ekonomi yaitu keluarga yang belum memenuhi indikator KS I yang ditetapkan BKKBN, dengan bobot pengkategorian lebih ditekankan pada alasan ekonomi, indikatornya adalah: paling kurang seminggu sekali keluarga makan daging/ikan/telur, setahun terakhir anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru, luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni/jiwa.

Selain kriteria tersebut, dari hasil wawancara dengan pelaksana program kriteria penerima program ini adalah: a. Atap rumbiah b. Lantai tanah c. Dinding papan d. Penghasilan maksimal Rp. 600.000,00 e. Janda tidak pensiunan f. Mempunyai anak yang bersekolah Dalam pelaksanaannya pemilihan sasaran ini berdasarkan data kriteria BKKBN, kemudian berdasarkan jumlah yang ditetapkan untuk setiap kelurahan, keluarga miskin ini dipilih kembali berdasarkan musyawarah kepala lingkungan dengan kepala kelurahan. Biasanya kepala kelurahan menyerahkan penentuan ini kepala kepala lingkungan sebab dianggap merekalah yang paling mengenal warganya. Disini dapat dikatakan bahwa kebijakan kepala lingkungan untuk menentukan siapa yang berhak untuk menerima program sangat besar, untuk itu seharusnya ada pihak lain yang mengecek kebenaran penentuan penerima program ini.

2. Tepat jumlah

Berdasarkan informasi dari pelaksana program, jumlah beras yang dijual adalah berjumlah 20 kilogram untuk setiap kepala keluarga, ketepatan jumlah ini dapat dilihat dari jawaban responden yang menjawab bahwa mereka membeli beras ini sebanyak 20 kg. Konsumsi beras untuk setiap anggota keluarga dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga. Jumlah beras Raskin sebanyak 20 kg/bulan dianggap tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga penerima program, tetapi jumlah ini dianggap

Page 38: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Aprilyani & Suriadi, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat...

268

membantu sebagian pengeluaran keluarga miskin sehinga dapat dikatakan bahwa program ini berhasil mencapai tujuannya.

3. Tepat harga

Harga beras Raskin ini adalah Rp.1000,00 untuk setiap kilogram beras, harga yang dijual oleh beras Raskin ini telah sesuai dengan jumlah yang dibayarkan oleh penerima program Raskin. Berdasarkan wawancara peneliti, diketahui bahwa tidak ada pungutan tambahan yang dikenakan kepada penerima program. Artinya mereka dapat membeli beras Raskin ini di titik distribusi yaitu kantor kelurahan tanpa adanya pungutan biaya tambahan lainnya. Tetapi walaupun harga beras ini Rp.1000,00/kg keluarga miskin masih ada yang merasa keberatan untuk mengeluarkan Rp.20.000,00 untuk pembelian 20 kg.

4. Tepat waktu

Yang dimaksud dengan ketepatan waktu ini adalah terjadi penjualan beras Raskin sesuai dengan datangnya beras dari Bulog ke Kelurahan Sidorame Barat II. Berdasarkan informasi dari pelaksana program, mereka selalu tepat waktu dalam melaksanakan penjualan beras Raskin. Pada saat beras Raskin diantarkan oleh petugas Bulog sesuai dengan jumlah penerima manfaat. Maka pihak kelurahan akan memberitahukan kepada penerima manfaat sekaligus memberikan kartu bukti pembelian Raskin. Keluarga miskin tersebut dapat membeli beras ini dengan jangka waktu satu minggu dari pemberitahuan tersebut. Dalam pejualan beras ini, diketahui tidak ada penerima program yang tidak membeli beras, hal ini dipahami karena beras ini sangat murah dibandingkan dengan harga-harga beras dipasaran.

5. Tepat administrasi

Dalam implementasi program, penerima program harus membayar beras tersebut pada saat membeli beras, mereka tidak diperbolehkan untuk panangguhan pembayaran. Menurut pelaksanan program hal ini sudah tepat dilakukan, agar penyaluran beras dari Bulog ke kantor kelurahan berjalan lancar. Maksudnya apabila penerima program membayar tepat

waktu maka pihak kelurahan akan membayarkan pembelian beras ini dengan tepat waktu ke kecamatan sehingga untuk bulan berkutnya tidak ada permasalahan dengan pengiriman beras.

Ketidakmampuan responden dalam

memenuhi kebutuhan dasar yaitu pangan akan mempengaruhi kepada pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi lagi, karena kebutuhan akan pangan merupakan kebutuhan dasar yang menyangkut kelangsungan hidup manusia maka pemenuhan kebutuhan lainnya akan terabaikan apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi. Hal ini dapat terlihat dari gambaran aspek kualitas menu makanan, kondisi dan fasilitas rumah tangga, kondisi kesehatan dan fasilitas rumah tangga penerima program ini. Dengan kenyataan ini dapat dikatakan bahwa keluarga miskin sebagai penerima program ini jauh dari kehidupan sejahtera. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai implementasi program Raskin dan kesejahteraan keluarga miskin di Kelurahan Sidorame Barat II, maka dapat ditarik kesimpulan: 1. Program Raskin merupakan program

bantuan kesejahteraan sosial atau bantuan perlindungan sosial bagi keluarga miskin sebagai upaya pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan yang berdasarkan pada pendekatan mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin dengan memberikan berbagai subsidi. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari program Raskin adalah memberikan bantuan pangan pokok melalui beras bersubsidi.

2. Implementasi program Raskin di Kelurahan Sidorame Barat II telah berjalan dengan baik, yang terbukti dari jawaban responden terhadap ketepatan sasaran penerima manfaat, tepat jumlah, tepat waktu dan tepat administrasi. Akan tetapi Program ini hanya memberi kontribusi sedikit terhadap kesejahteran keluarga miskin penerima program ini.

3. Program Raskin sangat tepat dilaksanakan pada saat sekarang, di manaharga-harga melambung tinggi terutama untuk harga beras sehingga yang menjadi tujuan

Page 39: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 249 – 270

269

program yaitu memenuhi sebagian pangan pokok keluarga miskin telah tercapai.

4. Keluarga miskin penerima program Raskin ini merupakan keluarga yang jauh dari kondisi kehidupan yang sejahtera, hal ini dapat dilihat dari hasil analisa data terhadap aspek kualitas menu makanan, kondisi dan fasilitas rumah tangga, kondisi kesehatan dan kondisi pendidikan keluarga miskin tersebut.

5. Dari segi pemenuhan kebutuhan beras, ternyata program ini dapat mengakibatkan adanya ketergantungan terus menerus terhadap program ini. (Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.29).

Saran 1. Program Raskin yang merupakan program

pemerintah dalam rangka mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin, sebaiknya tetap dilaksanakan, akan tetapi sasaran penerima program harus jelas dan tepat. Adapun yang menjadi alasan saran ini karena menurunnya daya beli keluarga miskin saat ini, padahal kebutuhan akan pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar karena menyangkut kelangsungan kehidupan manusia.

2. Adanya pengawasan yang ketat dan tegas kepada pelaksana program sehingga dapat memperkecil terjadinya penyelewengan pelaksanaan program ini.

3. Program Raskin perlu disosialisasikan secara baik dan lebih luas lagi sehingga penerima program mengetahui hak mereka dan masyarakat luas dapat ikut mengawasi implementasi program ini.

4. Sebaiknya program Raskin dijalankan bersama program-program bantuan kesejahteraan sosial lainnya seperti program yang mengarah pada akses berusaha, pendidikan dan kesehatan sehingga masyarakat miskin dapat merasakan perubahan kearah yang lebih baik.

5. Diharapkan bagi penerima program agar tidak tergantung kepada program Raskin, tetapi dapat menggunakan program ini sebagai kesempatan untuk dapat membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan yang lainnya. Misalnya dengan adanya program Raskin mereka dapat memberikan anak-anak mereka makanan yang lebih bergizi.

Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi, Prof. 2002. Prosedur

Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Barclay, George. 1984. Teknik Analisa

Kependudukan 2. Jakarta: PT Bina Aksara

Jones, Charles O. 1994. Pengantar Kebijakan

Publik. Jakarta: PT Raja Grafindo. Khairudin. 1977. Sosiologi Keluarga.

Yogyakarta: Liberty. Nawawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian

Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Nurdin, Fadhil. 1990. Pengantar Studi

Kesejahteraan Sosial. Bandung: PT Angkasa.

Pulungan, H.S. 1994. Pengentasan

Kemiskinan. Medan: Pustaka Widya Sarana.

Remi, Sutyastie Soemitro dan Prijono

Tjiptohemijanto. 2002. Kemiskinan Dan Ketidakmerataan Di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Salim, Emil. 1984. Perencanaan

Pembangunan Dan Pemerataan Pembangunan. Jakarta: Inti Idayu Press.

Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian

Survai. Jakarta: LP3ES. Suharto, Edi.2005. Membangun Masyarakat

Memberdayakan Rakyat, Kajian Stategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial Dan Pekerja Sosial. Jakarta: PT Rafika Aditama.

Sumardi, Mulyanto dan Hans-Dieter Everst,

ed. 1985. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Jakarta: CV Rajawali.

Sumarnonugroho. 1984. Sistem Intervensi

Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta: PT Hanindita.

Page 40: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Aprilyani & Suriadi, Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat...

270

Suparlan, Parsudi. 1993. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Supriatna, Tjahya. 2000. Strategi

Pembangunan dan kemiskinan. Jakarta: Rineka Cipta.

Suyatno, Bagong. 1995 Perangkap

Kemiskinan-Problem dan Srategi Pengentasannya. Surabaya: Airlangga University Press.

Sumber-sumber lain: Badan Logistik. Petunjuk Pelaksanaan

Program Beras Untuk Keluarga Miskin Dan Program Konpensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (Pkps-Bbm) Bidang Pangan Tahun 2003. 2003. Jakarta: Badan Logistik.

Jumlah Penduduk Miskin 62 Juta Jiwa.2005.<http://www.media-indonesia. co.id>. (4 Juni 2006).

Program Pembangunan Nasional 2000-2004.

2001. Jakarta: Sinar Grafika. Sastraatmadja Entang. “Transfer Energi”

Yang Mendukung Perbaikan Gizi Keluarga: Revitalisasi Penyaluran Raskin. <http:/www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0905/06/0606.htm>.(16 Mei 2006).

Suntoro Eddy. 2003. Delapan Kesalahan

Dalam Penyaluran Raskin.<http://www. kompas.com/kompascetak/0303/12/opini/176818.htm.(16Mei 2006).

Page 41: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

271

Dewi Hartika Nasution adalah Staf di YAKMI Medan

ADAPTASI MASYARAKAT MISKIN TERHADAP INFLASI

AKIBAT KENAIKAN HARGA BBM

Dewi Hartika Nasution

Abstract

The raise in oil price caused raise in basic need price, and then caused wide life for people, especially to the poor people. They must implemented special strategy to adapt their style life to bad condition. This research studied how the poor people adapted their style life to inflation since and caused by raise oil price. Beside decreased the number of basic needs, they also must decreased the quality of them. If they did not do it, they wiould be worse condition.

Keywords: adaptation, poor people

Pendahuluan

Dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat kemiskinan adalah sesuatu yang nyata adanya, kemiskinan tersebut dirasakan oleh mereka yang termasuk masyarakat golongan miskin. Golongan miskin tersebut menjalani kehidupan dalam keadaan yang tidak berkecukupan. Secara jujur dapat dikatakan bahwa tak ada seorangpun yang sejak lahir ingin hidup miskin atau menjadi miskin. Kalau kebetulan seseorang itu lahir dari keluarga miskin, apakah selamanya akan menjadi miskin. Tentu tak seorangpun menginginkan hal tersebut terjadi pada dirinya. Kemiskinan itu akan lebih terasa apabila mereka telah membandingkannya dengan kehidupan orang lain yang lebih tingggi tingkat sosial ekonominya. Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok seperti, sandang, pangan, dan papan.

Indonesia adalah sebuah negara yang subur akan kekayaan alamnya yang melimpah, namun sebagian besar rakyatnya masih tergolong miskin. Disaat krisis ekonomi dan keuangan pada tahun 1998 ternyata merupakan awal dari krisis multidemensi yang gelombangnya sangat panjang dan berdampak luas serta mendalam, sehingga mengakibatkan harga-harga kebutuhan pokok masyarakat terus

melambung. Maka wajarlah jika saat itu terjadi pertambahan jumlah orang miskin yang sangat signifikan di Indonesia. (Sismudjito, 2004: 134-135).

Menurut pendataan jumlah masyarakat miskin saat ini yang telah dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2005 mencapai 62 juta jiwa atau sekitar 28,44 persen dari total jumlah penduduk yang mencapai 218 juta jiwa. Jumlah 62 juta penduduk miskin tersebut didapatkan berdasarkan hasil pendataan sementara BPS yang memperkirakan jumlah rumah tangga miskin di Indonesia mencapai 15,5 juta kepala keluarga. Satu rumah tangga miskin diasumsikan dengan empat anggota keluarga, sehingga diperkirakan kalau dihitung secara total maka penduduk miskin Indonesia sekitar 62 juta jiwa. (http://www.bkkbn.go.id).

Sedangkan Menurut data dari (Bapemmas) Sumut Sedikitnya 1.867.089 jiwa (15,49 persen) dari 12.061.632 jiwa warga Sumatera Utara (Sumut), hingga pertengahan tahun 2005, masih hidup dalam kemiskinan. Sebagai ibukota provinsi berada di peringkat 10 dalam daftar daerah berpenduduk miskin di 25 kabupaten/kota Sumut. (http://www.Tempo interaktif.go.id).

Page 42: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...

272

Adapun indikator ekonomi Agustus 2005 mencatat adanya inflasi sebesar 0, 55 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi Agustus 2004 sebesar 0,09 persen. (BPS, 2005: 11). Tahun 2005 yang seharusnya menjadi tahun kebangkitan ekonomi nasional ternyata harus dilewati bangsa Indonesia dengan berbagai cobaan. Seperti kenaikan harga BBM yang sangat tinggi, akan mengakibatkan kenaikan biaya transportasi dan kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok rakyat, serta depresiasi rupiah dan inflasi tinggi telah berdampak buruk pada menurunnya kesejahteraan rakyat dan meningkatnya kemiskinan. Pemerintah rupanya sangat yakin bahwa kebijakan menaikan harga BBM ini sudah benar dan tidak dapat dihindari serta merupakan satu-satunya jalan “menyehatkan” perekonomian Indonesia dalam jangka panjang. Jika ukuran ketepatan kebijakan adalah efisiensi maka keputusan pemerintah menaikan harga BBM memang sudah tepat. Namun, jika dilihat dari sudut pandang keadilan bagi seluruh rakyat dijadikan ukuran, maka dengan penilaian ilmu sosial atau dengan mengacu pada Pancasila sebagai dasar negara, tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa kenaikan harga BBM yang akan mendorong naiknya harga-harga kebutuhan pokok sangat tidak adil bagi rakyat.

Berdasarkan kajian Institute for Development of Economics and Finance (1NDEF) 2005 tentang dampak kenaikan harga BBM terhadap masyarakat miskin dan Indeks Harga Konsumen (IHK) menggunakan metode Vector Auto Regressive (VAR) mernbuktikan kenaikan harga BBM (semua jenis BBM) misalnya sebesar 5 persen, meningkatkan IHK sebesar 3,6 persen dan jumlah masyarakat miskin di desa meningkat 1,30 persen, sedangkan jumlah penduduk miskin kota akan meningkat sebesar 2,76 persen. Semakin tinggi persentase kenaikan harga BBM semakin tinggi pula IHK dan jumlah penduduk miskin. (www.urbanpoor.or.id).

Kenaikan harga BBM berdampak luas pada kehidupan masyarakat disemua lapisan masyarakat, terutama masyarakat yang tergolong tingkat ekonomi lemah. Hal yang paling nyata dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, contohnya dalam sebuah rumah tangga di manaibu-ibu sangat merasakan dampak dari kenaikan harga BBM di manasemua harga kebutuhan pokok menjadi melambung di atas harga yang biasanya ada

dipasaran. Hal ini tentu sangat memberatkan kehidupan perekonomian dalam rumah tangga mereka, selain harga-harga kebutuhan pokok ini menjadi naik, kenaikan harga BBM yang tinggi juga menyebabkan biaya untuk transportasi menjadi meningkat sehingga mempengaruhi mobilitas masyarakat untuk bisa pergi atau sampai kesuatu tempat karena biaya transportasi atau ongkos menjadi lebih tinggi. Efek lain dari naiknya harga BBM adalah tingginya biaya pendidikan dan kesehatan, ini tentunya semakin memperberat kehidupan masyarakat yang sudah dipersulit oleh masalah pemenuhan kebutuhan pokok.

Maka untuk menghadapi keadaan tersebut perlu adaya suatu strategi adaptasi yang dilakukan keluarga khususnya bagi keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Di dalam penelitian ini peneliti mengambil objek penelitian yaitu Kelurahan Tegal Rejo Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan di manalokasi tersebut peduduknya rata-rata berpenghasilan rendah dan tergolong miskin ini bisa dilihat pada saat peneliti melakukan pra penelitian dan penelitian di daerah tersebut di manarata-rata penduduk berpenghasilan di bawah Rp. 500.000,- per bulan. Hal ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan meningkatnya harga kenaikan BBM, di manasemua harga kebutuhan pokok meningkat yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM. Ini tentu saja sangat mempersulit kehidupan warga Tegal Rejo yang pada umumnya berpenghasilan rendah.

Banyak kepala keluarga yang hanya bekerja sebagai buruh, pedagang kaki lima (PKL), tukang becak, tukang batu, dan pekerjaan tidak tetap lainnya. Dengan perkerjaan yang seperti itu dapat terlihat dari tempat mereka bermukim rata-rata mereka tinggal dirumah kontrakan yang kondisi fisiknya kurang layak untuk ditempati. Rumah mereka umumnya hanya berukuran 8x5 meter per segi, yang terbuat dari bahan semi permanent di manajarak antara rumah yang satu dengan yang lain berdekatan atau rapat. Di manasatu rumah dihuni oleh lebih dari 5 orang.

Pengertian strategi secara harfiah menurut kamus besar bahasa Indonesia (1987: 859) adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Selain itu pengertian dari strategi adalah pola rencana jangka panjang, yang dipersiapkan

Page 43: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 271 – 286

273

berdasarkan perhitungan secara matang. (Yusuf, et. al, 1957: 452 ).

Strategi hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan manajeman (management) untuk mencapai suatu tujuan. (Effendy, 1993: 309). Selain itu strategi juga dapat diartikan sebagai suatu “cara/siasat perang” (Kamisa, 1997: 500). Dengan demikian dapat dipahami bahwa strategi merupakan siasat, teknik cara maupun metode dalam melaksanakan sesuatu demi tercapainya suatu tujuan yang telah disusun sebelumnya.

Selanjutnya J.Piaget menyebutkan beberapa tipe proses adaptasi: 1. Dalam rangka adaptasi individu mengubah

atau menahan implus-implus dalam dirinya. Misalnya dalam keadaan lapar seseorang harus bisa menahan lapar tersebut apabila tidak dapat memenuhinya.

2. Dalam rangka adaptasi individu mengubah tuntutan atau kondisi-kondisi lingkungan. Misalnya mencari makanan di Tong sampah atau berharap ada penderma yang memberikan makan.

Keluarga miskin adalah suatu unit

masyarakat yang terkecil yang mempunyai hubungan biologis yang hidup atau tinggal dalam satu rumah seperti suami, istri, anak yang tingkat kehidupan ekonomi keluarganya rendah atau kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok atau standar. (Khairuddin, 1997: 3 – 4)

Secara singkat kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan ini langsung tampak penguruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang orang miskin. (Suparlan, 1993: 11).

Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Mereka dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh dan lain-lain.

Dalam kaitannya dengan kebutuhan pokok, Sumardi dan Evers mengelompokkan kebutuhan pokok ke dalam 7 jenis meliputi:

makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, kebersihan dan transportasi serta partisipasi masyarkat. (Sumardi & Evers, 1982: 6)

Selama ini terdapat dua pengertian yang menyangkut kemiskinan, yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. 1. Kemiskinan relatif: dinyatakan dengan

beberapa persen dari pendapatan nasional yang diterima oleh kelompok penduduk tertentu.

2. Kemiskinan absolut: menunjukkan sampai berapa jauh terpenuhi tidaknya kebutuhan pokok atau konsumsi nyata yang meliputi pangan, sandang, pemukiman, pendidikan dan kesehatan. Konsumsi nyata tersebut dinyatakan secara kuantitatif atau uang berdasarkan pada tahun pangkal tertentu.

Selanjutnya Agus Pakpahan membagi kemiskinan dalam tiga kategori yaitu: 1. Kemiskinan struktural adalah merajuk

pada situasi di manafenomena kemiskinan oleh struktur yang membelenggu masyarakat untuk maju secara keseluruhan.

2. Kemiskinan natural adalah menggambarkan fenomena kemiskinan sebagai akibat dari miskinnya suatu daerah, maka penduduknya ikut miskin.

3. Kemiskinan relatif adalah merajuk pada situasi komparatif suatu individu, kelompok atau masyarakat.

Harga juga merupakan satu-satunya

elemen pemasaran yang menghasilkan pendapatan, elemen-elemen lainnya menimbulkan biaya. Harga merupakan salah satu elemen bauran pemasaran yang paling faksibel, harga dapat berubah cepat tidak seperti produk dan perjanjian distribusi karena itu harga menrupakan faktor yang penting untuk ditetapkan karena selain berpengaruh terhadap volume penjualan juga berpengaruh terhadap pendapatan. (Mulyadi, 2002: 346).

Samir Radwan dan Torkel Alfthan (1978: 198), menulis bahwa tanpa mengurangi konsep kebutuhan dasar (basic needs), keperluan minimum dari seorang individu atau rumah tangga adalah sebagai berikut: makan, minum, perumahan, kesehatan, pendidikan, air dan sanitasi, transportasi, partisipasi. (Sumardi & Evers, 1985: 2)

Dr.Thee Kian Wie mendefinisikan kebutuhan pokok sebagai suatu paket barang

Page 44: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...

274

dan jasa oleh masyarakat dianggap perlu tersedia bagi setiap orang. Kebutuhan ini merupakan tingkat minimum yang dapat dinikmati seseorang. Hal ini berarti bahwa kebutuhan pokok itu berbeda dari satu daerah ke daerah lain, dari satu negeri ke negeri lain jadi kebutuhan pokok itu adalah spesifik (Sumardi & Evers, 1982: 2-3).

Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena Kebutuhan pokok antara satu daerah dengan daerah lain memang berbeda. Hal ini terjadi karena perbedaan daerah geografis yang mempengaruhi jenis kebutuhan ini terjadi karena perbedaan geografi yang mempengaruhi jenis kebutuhan penduduk.

Strategi kebutuhan dasar (basic needs) memang memberi tekanan pada pendekatan langsung dan cara tidak langsung seperti melalui efek menetes kebawah (trickle down effect) dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi Kesulitan umum dalam penentuan indikator kebutuhan dasar adalah standar atau kriteria yang subyektif karena dipengaruhi oleh adat, budaya, daerah dan kelompok sosial.

Biro Pusat Statistik melalui Survei sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menyusun komposisi kebutuhan dasar yang terdiri dari pangan dan bukan pangan dan adapun indikator untuk mengukur kebutuhan dasar adalah pengeluaran per kapita di daerah kota maupun pedesaan yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pangan, meliputi:

a. Padi-padian dan hasil hasilnya. b. Ikan dan hasil-hasil ikan lainnya c. Danging. d. Telur, susu dan hasil hasil dari susu. e. Sayur-sayuran. f. Ubi-ubian, kacang-kacangan dan hasil-

hasilnya. g. Buah-buahan. h. Konsumsi lainnya.

2. Bukan pangan a. Perumahan, sewa rumah, bahan bakar,

penerangan (listrik), minyak tanah, kayu bakar arang dan air.

b. Sandang yaitu pakaian. c. Pendidikan untuk biaya sekolah seperti

uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, buku.

d. Kesehatan yaitu penyediaan obat-obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan kesehatan.

e. Barang-barang keperluan sehari-hari . (Widodo, 1990: 128-132).

Metode Penelitian

Penelitian ini tergolong penelitian

deskriptif. Metode deskriptif yaitu sebagai suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek penelitian lembaga seseorang dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau bagaimana adanya. (Nawawi, 1990: 63)

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kelurahan Tegal Rejo Kecamatan Medan Perjuangan kota Medan Sumatera Utara. Pemilihan lokasi ini berdasarkan survey awal bahwa terdapat banyak keluarga miskin di kelurahan tersebut sehingga memungkinkan tempat tersebut cocok dijadikan sebagai lokasi penelitian yang sesuai dengan judul peneliti mengenai strategi adaptasi keluarga miskin terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok.

Populasi dari penelitian ini adalah penduduk miskin kelurahan Tegal Rejo kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan yang berjumlah 1110 Kepala Keluarga (KK) dari keseluruhan Kepala Keluarga yang berjumlah 4095 dan total penduduknya berjumlah 21.741 jiwa hingga januari 2006, yang terdiri dari XV lingkungan. Namun populasi ini sampel hanya menjadi lingkungan II, IV, X, XIV, XV. Alasannya karena di lingkungan-lingkungan tersebut terdapat banyak keluarga miskinnya. Pengclasteran populasi ini adalah menyempitkan populasi, penelitian menjadi unit populasi agar penelitian dapat dilakukan lebih mendalam serta memperoleh data yang lebih valid.

Dari observasi pra survei sebelumnya telah diperoleh jumlah populasi keluarga miskin sebanyak 1110 KK sebagai unit sampel, yang ditarik dengan menggunakan metode claster random sampling. Oleh karena itu ditetapkan lima lingkungan sebagai sampel wilayah, yakni: Lingkungan II dengan sampel 9 KK, Lingkungan IV 11 KK, Lingkungan IX 10 KK, Lingkungan XIV 9 KK, dan Lingkungan XV 11 KK.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dan penyebaran angket.

Data yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan (library research) yaitu teknik

Page 45: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 271 – 286

275

pengumpulan data-data dengan mengacu pada buku-buku, laporan-laporan penelitian jurnal-jurnal, majalah, koran, pendapat-pendapat para ahli yang dianggap mempunyai hubungan dengan penelitian ini, yang dapat dijadikan sumber data bagi peneliti sehingga dapat mendukung terlaksananya penelitian dengan baik.

Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif – kualitatif. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Data primer dalam penelitian ini

diperoleh dari melalui penyebaran kuesioner untuk 50 orang kepala keluarga yang menjadi responden dan melalui wawancara yang peneliti lakukan kepada beberapa kepala keluarga dan juga berdasarkan studi kepustakaan serta observasi. Wawancara tersebut bertujuan untuk memperoleh data pendukung dalam penelitian dan observasi digunakan dalam mengamati kehidupan sehari-hari keluarga miskin di Kelurahan Tegal Rejo. Sedangkan studi kepustakaan digunakan untuk mengumpulkan data-data yang hubungan dengan penelitian ini, yang dapat dijadikan sumber data bagi peneliti sehingga dapat mendukung terlaksananya penelitian dengan baik. Melalui penyebaran kuesioner responden memberikan jawaban sesuai dengan keadaan mereka yang sebenarnya. Dengan pola ini diharapkan didapatkan jawaban yang objektif. Adapun kegunaan data dan pengumpulan data melalui kuesioner ini adalah untuk mengetahui strategi adaptasi keluarga miskin terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok di Kelurahan Tegal Rejo Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan. Dalam pengumpulan kembali kuesioner yang disebarkan, ternyata 50 kuesioner yang disebarkan terkumpul kembali dan semua pertanyaan dalam kuesioner terjawab dengan baik.

Sebelum analisa data dilakukan, terlebih dahulu digambarkan secara umum identitas dari keseluruhan responden yang disajikan dalam bentuk tabel.

Tabel 1

Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin F % 1 2

Laki-laki Perempuan

21 29

54 46

Jumlah 50 100

Sumber: Data Primer

Data pada Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa keseluruhan responden berjumlah 50 orang. Responden yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 21 orang (42%), dan responden yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 29 (58%). Dalam melakukan penyebaran kuesioner yang mengisi data adalah kepala keluarga seperti suami tetapi apabila kepala keluarga tidak ada dapat diwakili dengan anggota keluarga yang lain seperti istrinya.

Tabel 2

Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan

No. Pendidikan F % 1 2 3 4

SD SLTP / Sederajat SLTA / Sederajat Diploma

12 21 15 2

24 42 30 4

Jumlah 50 100

Sumber: Data Primer

Data di atas menunjukkan bahwa dari keseluruhan responden yang berjumlah 50 orang mayoritas responden berpendidikan SLTP yaitu berjumlah 21 orang (42%) kemudian SLTA berjumlah 15 orang (30%), SD berjumlah 12 orang (24%), DIPLOMA berjumlah 2 orang (4%). Di sini jelaslah bahwa pendidikan yang dimiliki responden belum memadai karena kebanyakan responden dari suami istri hanya mempunyai pendidikan yang rendah. Untuk mengetahui distribusi responden berdasarkan suku dapat dikita lihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 3

Distribusi Responden Berdasarkan Suku

No. Suku F % 1 2 3 4

Jawa Batak Mandailing Padang

27 11 7 5

54 22 14 10

Jumlah 50 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan jawaban responden pada Tabel 9 di atas dapat diketahui bahwa keseluruhan responden yang berjumlah 50 orang yang paling banyak adalah suku Jawa 27 orang (54%), kemudian suku Batak 11 orang (22%), suku Mandailing 7 orang (14%), dan suku Padang 5 orang (10%). Dari Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa kebanyakan suku

Page 46: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...

276

yang berasal dari Jawa. Di antara responden sudah ada yang menetap di Kelurahan Tegal Rejo berpuluh tahun dan ada juga pendatang yang baru beberapa tahun tinggal di Kelurahan Tegal Rejo, begitu juga dengan responden-responden dari suku lain seperti Batak, Mandailing, dan Padang.

Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan

No Pekerjaan F % 1 2 3 4

Buruh Tukang Becak PRT Pedagang

22 10 9 9

44 20 18 18

Jumlah 50 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan dari jawaban responden pada tabel di atas dapat diketahui bahwa dari keseluruhan responden yang berjumlah 50 orang yang paling banyak berkerja sebagai buruh 22 orang (44%), kemudian tukang becak 10 orang (20%), pedagang kaki lima 9 orang (18%), pembantu rumah tangga 9 orang (18%). Data dari Tabel 11 menunjukkan bahwa kebanyakan responden bekerja sebagai buruh baik itu sebagai buruh pabrik, maupun buruh bangunan. Kemudian responden kedua terbesar adalah yang bekerja sebagai tukang becak, becak yang dimiliki responden merupakan becak dayung yang rata-rata milik mereka sendiri, ada juga yang mempunyai becak mesin ada milik mereka sendiri juga yang mereka sewa dari orang lain atau becak orang lain yang sebagian setoran uangnya harus diberikan kepada pemiliknya. Sedangkan responden yang mempunyai pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di rumah-rumah keluarga yang lebih mampu dilingkungan sekitar mareka ada yang bekerja mulai dari pukul 7 pagi sampai pukul 5 sore kerjaannya mulai dari memasak sampai membereskan atau membersihkan rumah dan ada juga yang hanya bekerja sebagai tukang cuci pakaian. Dan terakhir yang bekerja sebagai pedagang. Mereka berdagang ada yang dipasar-pasar seperti berjualan sayur-sayuran, es campur dan juga berdagang keliling kota seperti berdagang es krim, bakso. Selanjutnya distribusi responden berdasarkan penghasilan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Penghasilan per

Bulan

No Penghasilan (Rp) F % 1 2 3 4

100.000 - 200.000 210.000 - 300.000 310.000 - 400.000 410.000 - 5.00.000

5 9 11 18

10 18 22 36

Jumlah 50 100

Sumber: Data Primer

Data di atas menunjukkan bahwa dari keseluruhan responden yang berjumlah 50 orang yang paling banyak berpenghasilan diantara Rp.410.000,- s.d. Rp.500.000,- berjumlah 18 orang (36%), kemudian Rp.310.000,- s.d. Rp. 400.000,- berjumlah 10 orang (22%), Lebih dari Rp.500.000,- berjumlah 7 orang (14%), Rp.210.000,- s.d. Rp. 300.000,- berjumlah 9 orang (18%), Rp.110.000,- s.d. Rp. 200.000,- dan berjumlah 5 orang (10%).untuk menanbah penghasilan keluar agar dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari ada beberapa keluarga yang melakukan usaha kecil-kecilan seperti menjual makanan(membuat kue-kue kecil), menjadi buruh di toko, jualan di kaki lima dan ada bebrapa dari ibu rumah tangga yang menjadi pembantu rumah tangga.

Tabel 6 Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Anak

No Jumlah Anak F % 1 2 3 4

1-2 3-4 5-6 7 dan seterusnya

8 18 21 3

16 36 42 6

Jumlah 50 100

Sumber: Data Primer

Berdasarkan dari jawaban responden pada Tabel 13 di atas dapat diketahui bahwa dari keseluruhan responden yang berjumlah 50 orang yang mempunyai anak 5-6 orang berjumlah 21 orang (42%), yang mempunyai anak 3-4 orang berjumlah 18 orang (36%), yang mempunyai 1-2 orang anak berjumlah 8 orang (16%) serta yang mempunyai anak 7 orang dan seterusnya hanya 3 orang saja (6%). Rata- rata setiap keluarga mempunyai anak lebih dari 2 (dua) orang. Mereka percaya dengan banyak anak rejeki akan selalu ada.

Page 47: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 271 – 286

277

Berikut ini disajikan data dan analisis tentang adaptasi masyarakat miskin terhadap inflasi setelah terjadinya kenaikan harga BBM: 1. Perbandingan banyaknya beras yang

dikonsumsi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui sebelum kenaikan BBM mayoritas responden membutuhkan beras 20-30 kg setiap bulan sebanyak 28 orang (56%), kemudian 31-35 kg sebanyak 17 orang (34%) sedangkan yang menghabiskan 36-40 kg hanya sebanyak 5 orang atau 10%. Setelah BBM naik mayoritas responden menghabiskan 20-30 kg/ perbulan sebanyak 32 orang atau 64% kemudian 31- 35 kg sebanyak 15 orang (30%) dan 36-40 kg sebanyak 3 orang atau 6%. Sedangkan 41 – 50 kg sebelum dan sesudah BBM naik tidak dipilih oleh responden. Dari jawaban responden dapat di lihat setelah kenaikan harga BBM terdapat kenaikan kebutuhan bahan makanan pokok hal ini disebabkan banyaknya keluarga yang mengurangi membeli makanan-makanan selain kebutuhan pokok karena harganya semakin mahal. Strategi adaptasi yang dilakukan keluarga miskin dalam hal konsumsi beras perbulannya yaitu menguragi pola konsumsi keluarga dengan mengurangi tingkat konsumsi beras keluarga mereka.

2. Perbandingan harga beras yang

dikonsumsi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Data primer menunjukkan bahwa harga per kg beras yang dibeli sebelum BBM naik diketahui bahwa mayoritas responden membeli beras kategori harga Rp. 4.000,- s.d. Rp. 4.500,- yang berjumlah 50 orang (100%). Sedangkan setelah harga BBM naik semua responden yang berjumlah 50 orang (100%) membeli beras kategori Rp. 4.600,- s.d. Rp. 5.000,-. Kenaikan harga ini dipicu atau dipengaruhi oleh naiknya harga BBM yang mengakibatkan naiknya harga sembako termasuk beras sehingga para responden harus membeli beras dengan harga yang lebih tinggi dan mahal dari biasa, yang mereka beli guna memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga meraka. Oleh sebab itu menurut mereka mereka lebih memilih harga beras yang

paling murah yang ada di pasaran sehinnga mereka dapat membeli bahan makanan lain untuk pelengkap konsumsi mereka. Ada beberapa keluarga yang mengganti beras mereka dengan mengkonsumsi beras bulog yang harganya relatif lebih murah dan menfaatkan bantuan pemerintah dimasa krisis yaitu dengan menerima raskin.

3. Perbandingan frekuensi makan perhari

sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Data primer yang diperoleh menunjukkan bahwa frekuensi tertinggi yaitu 3 kali sehari dengan jumlah responden yang menjawab sebanyak 39 orang (78%) kemudian 2 kali sehari berjumlah 7 orang (14%) dan yang menjawab dan lain-lain bisa lebih dari 3 kali sebanyak 4 orang (8%). Setelah kenaikan BBM terjadi perubahan tentang berapa kali keluarga makan dalam sehari yaitu yang menjawab 3 kali sebanyak 38 orang (76%) yang menjawab 2 kali 10 orang (20%) dan yang menjawab dan lain-lain sebanyak 2 orang (4%). Dari data tersebut menunjukkan bahwa responden mengurangi frekuensi makan keluarga dalam sehari disebabkan oleh naiknya harga-harga bahan makanan yang dipicu oleh naiknya harga BBM sehingga mempengaruhi pola makan keluarga.Untuk menyesuaikan dengan kenaikan harga BBM maka keluarga miskin melakukan Strategi yaitu mengurangi pola makam dengan membiasakan makan yang tidak berlebih-lebihan misalnya yang biasanya makan lebih dari 3 kali menjadi 2 atau 3 kali sehari.

4. Perbandingan frekuensi konsumsi ikan

sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden pada dapat diketahui bahwa jawaban terbanyak adalah kategori kadang-kadang sebanyak 38 orang (76%) dan kategori sering 12 orang (24%) tidak ada responden yang menjawab sangat sering atau tidak pernah. Setelah kenaikan BBM terdapat perubahan pada jawaban responden yaitu kategori kadang-kadang berjumlah 41 orang (82%) dan yang menjawab sering berjumlah 9 orang (18%) tidak ada yang menjawab

Page 48: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...

278

sangat sering dan tidak pernah. Maka dari data di atas dapat diketahui bahwa frekuensi keluarga dalam mengkonsumsi ikan menurun karena mahalnya harga ikan yang dipasar sehingga responden tidak mampu membeli ikan tersebut untuk konsumsi keluarga mereka. Startegi adapatasi yang dilakukan keluarga miskin adalah dengan cara mengurani konsumsi ikan dan menggantinya dengan telur, tempe, tahu atau ikan asin.

5. Perbandingan frekuensi konsumsi daging

sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden tentang frekuensi keluarga dalam mengkonsumsi daging sebelum BBM naik diperoleh jawaban seluruh responden adalah kadang-kadang yaitu sebanyak 50 orang (100%). Jadi tidak ada responden yang menjawab sangat sering, sering dan tidak pernah. Setelah harga BBM naik seluruh responden pun menjawab hal yang sama tentang frekuensi keluarga dalam mengkonsumsi daging yaitu dengan menjawab kadang-kadang sebanyak 50 orang (100%). Disini dapat dilihat bahwa kebutuhan responden terhadap konsumsi daging hanya kadang-kadang saja. Seperti keterangan dari salah seorang responden yang mengatakan bahwa keluarga mereka hanya dapat memakan atau mengkonsumsi daging pada saat ada famili atau tetangga yang mengadakan pesta seperti pernikahan selain itu keluarga mereka juga dapat memakan daging mana kala disaat Lebaran Haji yaitu mereka mendapatkan daging kurban yang dibagi-bagikan oleh panitia kurban di yang ada lingkungannya.

6. Perbandingan frekuensi konsumsi telur

sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden tentang frekuensi keluarga dalam mengkonsumsi telur sebelum dan sesudah BBM naik diperoleh jawaban terbanyak adalah kategori sangat sering yaitu 42 orang (84%) kemudian kategori sering sebanyak 8 orang (16%), tidak ada responden yang menjawab kadang-kadang atau tidak pernah. Setelah BBM naik terjadi perubahan tentang frekuensi keluarga mengkonsumsi telur, yang menjawab

sangat sering bertambah menjadi 45 orang (90%), yang menjawab sering 5 orang (10%) peningkatan jumlah konsumsi telur setelah kenaikan BBM disebabkan naiknya harga ikan dan daging sehingga untuk mensiasatinya mereka mengganti dengan mengkonsumsi telur yang nilai gizinya (protein) juga baik untuk kesehatan keluarga.

7. Perbandingan frekuensi konsumsi susu

sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden tentang frekuensi keluarga dalam mengkonsumsi susu dalam sebulan. Sebelum BBM naik kebanyakan responden menjawab kadang-kadang yaitu sebanyak 38 orang (76%), kemudian yang menjawab sering 10 orang (20%) dan tidak pernah 2 orang (4%), tidak ada responden yang menjawab sangat sering. Sedangkan sesudah BBM naik frekuensi keluarga dalam mengkonsumsi susu dalam sebulan menjadi menurun. Responden yang menjawab kadang-kadang berjumlah 30 orang (60%), responden yang menjawab tidak pernah berjumlah 15 (30%), responden yang menjawab sering berjumlah 5 orang (10%) dan tidak ada responden yang menjawab sering sekali. Perubahan ini terjadi karena setelah naiknya harga BBM harga susu menjadi semakin mahal, harga susu kaleng untuk bayi dan balita saja dipasaran sudah mencapai puluhan bahkan ratusan ribu hal tersebut membuat para kepala rumah tangga terutama keluarga miskin menjadi sangat sulit dalam membelinya bahkan tidak terjangkau dengan penghasilan keluarga mereka. Strategi adapatasi yang dilakukan keluarga miskin untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan harga BBM yaitu dengan mengurangi konsumsi susu, memilih susu dengan harga yang murah yang sesuai dengan kemampuan kelurga. Dampak dari penggantian ini terlihat dari gizi yang diperoleh anak menjadi kutang namun hal ini dapat diantisipasi dengan banyak mengkonsunsi telur, tempe dan tahu yang kaya nilai gizinya.

Page 49: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 271 – 286

279

8. Perbandingan frekuensi konsumsi sayuran sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Dari jawaban responden tentang kebutuhan keluarga dalam mengkonsumsi sayur-sayuran per hari sebelum BBM naik diperoleh jawaban yang paling banyak adalah kategori sering yaitu berjumlah 25 orang (50%), kemudian kategori kadang-kadang 20 orang (40%) dan kategori sangat sering 5 orang (10%). Tidak ada responden yang menjawab tidak pernah, sedangkan setelah BBM naik jumlah responden yang mengkonsumsi sayur-sayuran per hari berubah menjadi kategori terbanyak yaitu yang menjawab kadang-kadang sebanyak 26 orang (52%), kemudian yang menjawab sering 19 orang (38%) dan kategori sangat sering 5 orang (10%), tidak ada responden yang menjawab tidak pernah. Perubahan ini dipengaruhi oleh naiknya ongkos transpor untuk pengangkutan sayur-sayuran tersebut dari tempatnya ditanam ke tempat sayur akan dijual dan dipasarkan, hal ini juga dipengaruhi oleh biaya tanam yang semakin tinggi sehingga harga jual sayur-sayuran tersebut menjadi tinggi yang akhirnya mempengaruhi daya beli konsumen terhadap sayur-sayuran. Adapun dari jawaban responden yang menjawab sangat sering karena mereka mempunyai lahan atau perkarangan untuk menanam sayur-sayuran yang mereka konsumsi itupun hanya terbatas yang bisa mereka tanam yaitu tanaman yang mudah tumbuh seperti daun ubi, gambas, daun papaya, terong dan lain-lain.

9. Perbandingan frekuensi konsumsi kacang-

kacangan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Jawaban respoden tentang kebutuhan keluarga dalam mengkonsumsi kacang-kacangan seperti kacang hijau dan kacang merah sebelum BBM naik diperoleh jawaban yang mayoritas yang dipilih para responden adalah adalah kategori kadang-kadang berjumlah 50 orang (100%), sedangkan setelah BBM naik responden yang mengkonsumsi kacang-kacangan seperti kacang hijau dan kacang merah jumlah responden yang menjawab juga sama dengan sebelum BBM naik. Hal ini menunjukkan bahwa responden dalam

mengkonsumsi kacang-kacangan seperti kacang hijau dan kacang merah terkadang saja apabila mereka mempunyai uang belanja di sisihkan sedikit untuk membeli kacang hijau dan kacang merah untuk dikonsumsi keluarga mereka sebagai tambahan protein bagi keluarga terutama manfaatnya sangat bagi bagi pertumbuhan anak tetapi karena keterbatasan biaya mereka tidak bisa sering mengkonsumsi kacang hijau dan kacang merah tersebut.

10. Perbandingan frekuensi konsumsi tahu dan

tempe sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden tentang kebutuhan keluarga dalam mengkonsumsi tahu dan tempe sebelum dan sesudah BBM naik diperoleh jawaban yang terbanyak memilih kategori sering sebanyak 31 orang (62%), kemudian yang memilih kategori kadang-kadang sebanyak 12 orang (46%) dan sangat sering sebanyak 7 orang (14%) tidak ada responden yang memilih kategori tidak pernah sedangkan setelah BBM naik jawaban dari responden sedikit menurun yang memilih kategori sering sebanyak 29 orang (58%), kemudian yang memilih kadang-kadang 17 orang (34%) dan yang memilih kategori sangat sering sebanyak 4 orang (8%) tidak ada responden yang memilih kategori tidak pernah. Dari data ini menunjukkan bahwa dengan adanya kenaikan harga BBM hanya sedikit saja berpengaruh terhadap tingkat konsumsi tahu dan tempe. Tahu dan tempe yang dikonsumsi responden dijadikan sebagai makanan alternatif bagi keluarga apabila tidak ada menu makanan lain yang dapat dibeli karena harganya mahal mereka terkadang cuma dapat mengkonsumsi tahu dan tempe sebagai lauk makan mereka.

11. Perbandingan frekuensi konsumsi buah-

buahan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Dari jawaban respoden tentang kebutuhan keluarga dalam mengkonsumsi buah-buahan sebelum BBM naik diperoleh jawaban yang paling banyak adalah kategori kadang-kadang berjumlah 39 orang (78%), kemudian kategori sangat sering berjumlah 6 orang (12%), dan yang menjawab kategori sering hanya 5 orang (10%), tidak ada jawaban dari responsden

Page 50: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...

280

yang memilih kategori tidak pernah sedangkan setelah BBM naik jumlah responden yang mengkonsumsi buah-buahan jawaban dari mereka juga sama dengan sebelum BBM naik. Hal ini menunjukkan responden dalam mengkonsumsi buahan-buahan terkadang saja apabila mereka mempunyai uang belanja di sisihkan sedikit untuk membeli buah-buahan itupun hanya buah yang harganya terjangkau oleh mereka seperti jeruk, pepaya, pisang dan lain-lain.

12. Perbandingan frekuensi konsumsi snack

sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden tentang kebutuhan keluarga dalam mengkonsumsi selain makanan pokok seperti roti, mie, kue dan lain-lain sebelum BBM naik diperoleh jawaban yang terbanyak memilih kategori kadang-kadang sebanyak 31 orang (62%), kemudian yang memilih kategori sering sebanyak 19 orang (38%) dan tidak ada yang memilih kategori sangat sering dan kategori tidak pernah sedangkan setelah BBM naik jawaban dari responden menurun yang memilih kategori sering sebanyak 14 orang (28%), kemudian yang memilih kadang-kadang 36 orang (72%) dan tidak ada yang memilih kategori sangat sering dan kategori tidak pernah. Perubahan ini terjadi karena kenaikan harga makanan seperti roti, mie, dan kue yang dijual akibatnya responden menguragi konsumsi terhadap makanan-makan tersebut.

13. Perbandingan frekuensi konsumsi pakaian

sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban dari responden tentang kebutuhan membeli pakaian sebelum BBM naik diperoleh jawaban mayoritas yang dipilih para responden adalah adalah kategori kadang-kadang berjumlah 50 orang (100%), sedangkan frekuensi membeli pakaian setelah BBM naik jumlah responden yang menjawab juga sama dengan sebelum BBM naik. Hal ini menunjukkan bahwa responden dalam membeli pakaian hanya terkadang saja mereka membeli pakaian sewaktu hari-hari besar saja seperti Lebaran dan Natal itu pun terkadang hanya dapat membeli

baju atau celana saja dan tidak seluruh anggota keluarga yang dapat membeli pakaian seperti adiknya saja yang dapat membeli pakaian tetapi kakaknya atau abangnya tidak. Ketiadaan biaya untuk membelikan seluruh pakaian tersebut terkadang membuat para responden selaku kepala keluarga merasa sedih dan kewalahan apalagi disaat hari raya anak-anak mereka meminta mereka membelikan pakaian baru untuk merayakannya.

14. Perbandingan jenis pakaian yang dibeli

sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban dari responden tentang cara membeli keluarga pakaian sebelum BBM naik diperoleh jawaban yang kebanyakan membeli pakaian bekas berjumlah 27 orang (54%) dan yang membeli pakaian baru 23 orang (46%) sedangkan cara membeli pakaian setelah BBM naik jumlahnya meningkat yaitu responden yang memilih menjadi 33 orang (66%) dan yang membeli pakaian baru berjumlah 17 orang (34%) Hal ini menunjukkan bahwa responden dalam cara membeli pakaian lebih memilih membeli pakaian bekas biarpun tidak baru mereka mempunyai alasan lebih terjangkau dari segi harganya dan di samping itu mutunya lebih baik itulah solusi mereka untuk memenuhi kebutuhan sandang bagi keluarganya.

15. Perbandingan tipe rumah yang ditempati

sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban dari responden tentang keadaan rumah yang ditempati sebelum BBM naik diperoleh jawaban terbanyak yang dipilih para responden adalah kategori setengah beton/ semi permanen 25 orang (50%) kemudian yang memilih kategori papan/ kayu 15 orang (30%) dan yang memilih kategori beton/permanen 10 orang (20%) sedangkan keadaan rumah yang ditempati setelah BBM naik jumlah responden yang menjawab juga sama dengan sebelum BBM naik. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya perubahan terhadap kondisi rumah yang mereka tempati selama kenaikan harga setelah BBM naik. Dalam melakukan srtategi adaptasi terhadap

Page 51: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 271 – 286

281

kenaikan harga BBM mereka lebih memilih memperbaiki rumah mereka sendiri apabila ada kerusakan pada rumah yang mereka tempati. Seperti apabila ada atap rumah yang bocor mereka hanya menempel kebocoran tersebut seadanya bukan dan dampaknya tidak begitu baik sering kebocoran itu terulang lagi.

16. Perbandingan status rumah yang ditempati

sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui bahwa dalam status kepemilikan rumah sebelum BBM naik responden terbesar adalah dengan cara mengontrak / menyewa rumah yang mereka tempati, responden yang mengontrak / menyewa tersebut berjumlah 24 orang (48%), selanjutnya responden yang sudah memiliki rumah tempat tinggal atas nama mereka sendiri berjumlah 15 orang (30%), responden yang rumah tempat tinggalnya dimiliki secara bersama dengan anggota famili atau keluarga dekat yang lain berjumlah 11 orang (22%). Dari Tabel 29 menunjukkan tidak adanya perubahan status kepemilikan rumah baik sebelum dan sesudah BBM naik. Responden yang status rumahnya merupakan rumah kontrak atau menyewa mereka menyewanya dari warga yang merupakan penduduk asli daerah ini. Besar biaya untuk mengontrak atau menyewa rumah, yang dikeluarkan oleh masing-masing pengontrak umumnya sekitar Rp. 1.200.00,- per tahun. Rumah tersebut sudah memiliki dua buah kamar tidur dan ruang tamu juga kamar mandi. Sementara itu responden yang mempunyai rumah atas nama sendiri adalah mereka yang sudah cukup lama tinggal di lingkungan tersebut dan responden yang status kepemilikan rumahnya milik bersama famili adalah suatu keluarga yang saling mempunyai ikatan darah seperti kakak dan adik yang telah menikah dan tinggal bersama dalam satu rumah.

17. Perbandingan jenis sumber air yang

dikonsumsi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui bahwa cara dalam memperoleh air sebelum dan sesudah BBM naik tetap

sama atau tidak berubah. Responden yang memilik kategori air sumur 34 orang (68%) lebih banyak dari pada air leding 16 orang (32%). Hal ini menunjukkan bahwa mereka lebih memilh menggunakan air sumur dibanding dengan air leding karena mereka beralasan dengan memakai air sumur meraka tidak perlu mengeluarkan biaya dan apa bila menggunakan air air leding mereka harus membayarnya tiap bulannya. Sedangkan dampak pada penggunaan air sumur tersebut yaitu air tersebut dari segi kesehatan tidak baik karena lokasi pemukiman mereka sangat rapat dan sedangkan tempat WC ataupun seksiteng mereka sangat berdekatan satu rumah kerumah yang lain otomatis sumur yang mereka pakai untuk kebutuhan konsumsi dan keperluan sehari-hari tercemar atau tidak memenuhi standar kesehatan.

18. Perbandingan jenis penerangan yang

digunakan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa semua responden yang berjumlah 50 orang (100%) sebelum dan sesudah BBM naik menggunakan listrik sebagai alat penerangan di rumah mereka. Alasan mereka dengan menggunakan sumber fasilitas penerangan listrik yang berasal dari jaringan PLN lebih praktis dan mudah selain itu lampu dan juga barang-barang elektronik mereka dapat digunakan seperti radio dan televisi. Jadi kenaikan BBM tidak mempengaruhi cara keluarga memperoleh penerangan dirumah. Tetapi karena biaya tarif listrik naik maka strategi mereka dalam menggunakan fasilitas listrik yaitu dengan menghemat listrik dengan mengurangi penggunaan listrik seperti tidak menonton televisi terlalu lama, mematikan lampu pada malam hari.

19. Perbandingan jenis fasilitas kesehatan

yang digunakan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban dari responden dapat diketahui bahwa sebelum BBM naik tempat yang paling banyak dipilih oleh responden untuk berobat jika ada anggota keluarga yang sakit adalah di puskesmas 29 orang (58%), selisihnya meningkat

Page 52: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...

282

sebesar 6% sesudah BBM naik menjadi 32 orang (64%) Menurut responden bahwa ditempat tersebut merupakan tempat tersebut merupakan tempat berobat yang murah, selain tempat pengobatan ini mudah dijangkau karena jaraknya tidak terlalu jauh dari lingkungan tempat tinggal mereka. berobat dipuskesmas menurut mereka sudah dapat menyembuhkan penyakit yang diderita oleh anggota keluarga mereka yang sakit, jenis penyakit yang mereka deritapun biasanya hanya berupa penyakit ringan antara lain batuk, flu, sakit perut atau diare, dan demam. Sementara itu jenis pengobatan alternatif menjadi pilihan responden untuk berobat apabila salah satu dari anggota keluarganya ada yang sakit sebelum BBM naik 10 orang (20%) dan sesudah BBM naik 12 orang (24%) selisihnya juga tidak berapa besar hanya 4%. Pengobatan alternatif disini merupakan orang yang pintar mengobati bukan secara medis. Tetapi berupa pengobatan tradisional disini antara lain tukang urut, tukang rajah, dan lain-lain. Penyakit yang diobatinya seperti patah tulang, mengusuk badan atau urut alasan mereka memilih pengobatan alternatif adalah karena tidak mematok harga atau tarif tertentu. Selain itu responden juga memilih klinik sebagai tempat berobat sebelum BBM naik 9 orang (18%) dan sesudah BBM naik 6 orang (12%) selisihnya 6%. Alasan meraka memilih klinik yaitu saat memeriksakan kesehatan bayi dan istri disaat hamil serta sakit-sakit yang harus segera diobati segera. Dan yang terakhir responden yang menjawab berobat kerumah sakit sebelum BBM naik hanya 2 orang (4%) dan sesudah tidak ada.mereka berobat ke rumah sakit karena penyakitnya sudah berat yang harus dirawat di rumah sakit.dampak dari peralihan tempat perobatan dari rumah sakit kePuskesmas atau ketempat pengobatan alternatif adalah menurunnya mutu pelayanan kesehatan yang diberikan ada juga beberapa pasien yang tidak sesui dengan bebera jenis obat yang diberikan karena rendahnya tingkat diagnosa yanmg diberikan dan ada juga yang salah tidak serasi dengan pengobatan alternatif karean tidak diperiksa secara teliti dan menggunanakan obat yang tidak sesuai dengan sakit yang diderita misalnya

tidak ada dosis atau takaran yang pas untuk tiap penyakit yang diderita.

20. Perbandingan perolehan fasilitas berobat

gratis dari Pemko Medan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa semua responden yang berjumlah 50 orang dalam menjawab tentang memperoleh pelayanan kesehatan gratis sebelum BBM naik yaitu yang menjawab kategori ada berjumlah 15 orang (30%) dan tidak 35 orang (70%), jawaban responden sama pada saat BBM naik. Alasan mereka dengan menjawab tidak karena ketidaktahuan dan tidak ada penjelasan yang diberikan pada mereka. responden mendapatkan informasi bawa ada pelayanan gratis yang diberikan oleh pemerintah berupa kartu sehat. Maka strategi adaptasi yang mereka lakukan yaitu mengurus kartu tersebut sehingga menguragi beban mereka disaat meraka sedang menderita sakit karena biaya perawatannya gratis atau ditanggung oleh pemerintah.

21. Perbandingan penyediaan dana untuk

sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden dapat di ketahui sbelum BBM naik mayoritas responden tidak menyediakan biaya perobatan perbulannya sebanyak 46 orang (92%) sedangkan yang menjawab telah menyediakan biaya perobatan hanya sebanyak 4 orang (8%). Setelah BBM naik ternyata jumlah responden yang menjawab tidak mengalami kenaikan yakni sebanyak 47 orang (94%) dan yang menjawab menyediakan biaya perobatan pun semakin sedikit yakni hanya 3 orang (6%). Dari data tersebut responden memberikan alasan biaya hidup semakin tinggi dan biaya berobat pun semakin mahal jelaslah mereka tidak memikirkan biaya untuk perobatan bagi kesehatan keluarga mereka perbulan. Dalam hal ini responden mengaku hanya membeli obat yang tersedia di kedai- kedai sekitar rumah bila sakit. Strategi adaptasi yang dilakukan keluarga miskin dalam penyediaan biaya perobatan per bulannya bagi keluarga mereka untuk menyesuaikan dengan harga kenaikan BBM adalah dengan cara

Page 53: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 271 – 286

283

menjaga kesehatan dengan rajin berolah raga, makan yang sehat, istirahat yang cukup dan hanya mengkonsumsi obat jika sakit yang diderita serius dan perlu ditangain secara medis.obat-obatan yang dipilih adalah yang harganya terjangkau namun tetap memperhatikan mutunya seperti obat Generik.

22. Perbandingan jumlah anak yang

bersekolah sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui bahwa jumlah anak yang bersekolah sebelum BBM naik paling besar ada 3 orang sebanyak 24 orang atau (48%) kemudian 2 orang sebanyak 14 orang (28%) dan selanjutnya 1 orang sebanyak 8 orang (16%) dan terakhir responden yang menjawab lebih dari 3 orang sebanyak 4 orang (8%) sedang setelah kenaikan harga BBM jumlah anak yang bersekolah mengalami penurunan yang paling besar tampak apa kategori 3 orang sebanyak 21 orang (42%) kemudian kategori 2 orang sebanyak 17 orang (34%) kategori 1 orang sebanyak 10 orang (20%). Dan terakhir kategori lebih dari 3 orang sebanyak 2 orang (4%) penurunan ini disebabkan tingginya biaya hidup karena naiknya harga BBM sehingga dana yang disediakan untuk biaya sekolah menjadi berkurang dan ditambah lagi naiknya harga transportasi untuk ke sekolah seperti biaya transportasi dan biaya kebutuhan sekolah lainnya dan juga naiknya biaya pendidikan.

23. Perbandingan kebutuhan sekolah sebelum

dan sesudah kenaikan harga BBM: Dari jawaban resonden tentang besarnya biaya yang dikeluarkan perbulan untuk kebutuhan sekolah sebelum BBM naik diperoleh jawaban terbanyak adalah berkisar antara Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 200.000,- yaitu sebanyak 36 orang (72%) kemudian biaya berkisar Rp. 300.000,- s.d. Rp. 400.000,- sebanyak 6 orang (12%) lebih dari Rp. 400.000,- sebanyak 6 orang (10%) dan kurang dari Rp. 100.000,- sebanyak 3 orang atau (6%). Setelah BBM naik besar biaya yang dikeluarkan keluarga perbulan untuk kebutuhan sekolah mengalami perubahan paling banyak responden menjawab

berkisar antara Rp. 100.000,- s.d. Rp. 200.000,- sebanyak 20 orang (40%), berkisar Rp. 300.000,- s.d. Rp. 400.000 sebanyak 12 orang (24%) kurang dari Rp. 100.000,- sebanyak 10 orang (20%) dan lebih dari Rp. 400.000,- sebanyak 8 orang (16%). perubahan ini terjadi akibat naiknya harga kebutuhan pokok yang harus dipenuhi sehingga biaya yang disediakan untuk pemenuhan harga kebutuhan sebulan semakin menurun. Strategi adaptasi yang dilakukan keluarga miskin untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan harga BBM dalam kenaikan biaya kebutuhan sekolah per bulan adalah dengan cara memanfaatkan bantuan yang mereka terima dalam bidang pendidikan seperti beasiswa-beasiswa yang diberikan oleh pemerintah kepada anak-anak kurang mampu atau miskin selain itu strategi adaptasi lain yang dilakukan keluarga miskin yaitu memasukkan anak-anak mereka kesekolah Inpres yang biaya sekolahnya relatif murah tapi dampaknya mutu pendidikan yang diterima anak menjadi rendah sehingga tidak kompetitif dengan sekolah negeri atau swasta terkenal, untuk menguragi biaya transportasi dipilih sekolah yang dekat dengan lokasi rumah atau mengantar anak kesekolah dengan sepeda atau sepeda motor, untuk mengurani biaya jajan para orang tua membekali anaknya dengan makanan dan minuman yang di bawa dari rumah.

24. Perbandingan mengikuti kursus bagi anak

sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Dari jawaban responden tentang kebutuhan dalam mengikuti kursus anak di luar sekolah sebelum BBM naik pada umumnya responden menjawab tidak yaitu sebanyak 44 orang (88%) dan yang menjawab “Ya” sebanyak 6 orang (12%) setelah BBM naik terdapat perubahan jawaban responden terhadap pemenuhan kebutuhan anak dalam mengikuti kursus dan di luar sekolah. Pada umumnya menjawab “Tidak” sebanyak 46 orang (96%) dan yang menjawab “Ya’ sebanyak 2 orang (40%) perubahan itu disebabkan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya kursus di luar sekolah seperti kursus bahasa Inggris, Mandarin,

Page 54: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...

284

Komputer, dan lain sebagainya. Apalagi setelah kenaikan BBM untuk biaya sekolah dan ongkos saja sudah tinggi apalagi kalau ditambah dengan mengikuti kursus di luar sekolah maka pada umumnya responden menjawab tidak mengikuti kursus di luar sekolah. Strategi adaptasi yang dilakukan keluarga miskin untuk menyesuaikan diri dengan harga kenaikan BBM dalam hal mengikuti kursus diluar sekolah adalah dengan membiasakan anak belajar dirumah baik secara pribadi atau berkelompok dengan teman-temanya namun dampaknya anak-anak menjadi kurang bimbinagn dari pihak-pihak yang berkompeten pada bidangnya.

25. Perbandingan penggunaan alat transportasi

keluarga sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban dari responden dapat diketahui sebelum dan sesudah BBM naik transportasi yang digunakan responden tidak mengalami perubahan. Sebanyak 100% responden menjawab ada. Transportasi yang mereka gunakan antara lain sepeda yang rata-rata dimiliki oleh seluruh responden dan becak selain itu responden juga menggunakan angkot sebagai transportasi mereka untuk berpergian jauh.dampak dari penggunaan jenis transportasi tersebut adalah waktu yang ditempuh untuk sampai ketempat tujuan menjadi relatif lama. Namun keuntungan dari penggunan jenis transportasi sepeda adalah mengurangi jumlah polusi dan kemacetan.

26. Perbandingan biaya transportasi keluarga

sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui biaya perbulan yang dikeluarkan oleh setiap responden sebelum BBM naik yang terbanyak adalah kurang dari Rp. 100.000 yakni 43 orang (86%) dan 7 responden menjawab Rp. 100.000,- S.D. 150.000,- atau (14%). Setelah BBM naik jumlah responden yang menghabiskan kurang dari Rp. 100.000,- sebanyak 41 orang (82%) dan yang mneghabiskan biaya Rp. 100.000,- sampai dengan 150.000,- sebanyak 9 orang atau 18%. Hal ini dimungkinkan banyaknya responden

yang menggunakan sepeda milik mereka sebagai sarana tranportasi. Dan responden yang menghabiskan biaya pada kategori 2 dan 3 pada tabel di atas adalah responden yang menggunakan jasa angkutan umum karena jika menggunakan jenis angkutan umum menambah biaya yang dikeluarkan per harinya.

27 Perbandingan frekuensi menghadiri pesta

sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Berdasarkan jawaban dari responden dapat diketahui bahwa sebelum dan sesudah BBM naik semua responden yang berjumlah 50 orang (100%) menjawab kadang-kadang. Dalam hal menghadiri undangan pesta mereka melakukan strategi adaptasi dengan cara mengurangi frekuensi dalam menghadiri pesta Hal ini dikarenakan untuk menghadiri undangan mereka pasti mengeluarkan dana untuk pemberian cenderamata / kado karena inilah tidak semua undangan pesta dapat mereka hadiri .

28 Perbandingan frekuensi biaya menghadiri

pesta sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM: Dari data yang diperoleh dapat diketahui sebelum BBM naik bahwa responden mayoritas menjawab mengeluarkan biaya kurang dari Rp. 25.000 sebanyak 50 orang (100%). Sedangkan sesudah BBM naik jumlahnya menurun menjadi 36 orang (72%) responden yang menjawab kurang dari Rp. 25.000,- dan 14 orang atau 28% responden manjawab mengeluarkan biaya untuk menghadiri undangan perbulannya sebesar Rp. 25.000,- s.d. Rp. 30.000,-. Mereka beralasan biaya bahan makanan yang tinggi tentunya mempengaruhi jumlah uang dalam amplop yang diberikan saat menghadiri undangan.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dapat

disimpulkan: 1. Strategi Adaptasi yang dilakukan

masyarakat miskin yang ada di Kelurahan Tegal Rejo adalah pengontrolan konsumsi dan pengeluaran seperti mengurangi jenis dan pola makan, penggantian makanan yang dikonsumsi dengan makanan yang

Page 55: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 271 – 286

285

lebih murah atau terjangkau, memperbaiki rumah sendiri, menanam tanaman yang bisa dikonsumsi diperkarangan rumah mereka, membeli barang-barang yang murah dan tidak membeli barang- barang yang tidak penting, mengurangi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan, pemanfaatan bantuan pemerintah dimasa krisis seperti raskin dan beasiswa-beasiswa bagi anak-anak keluarga kurang mampu atau miskin dan mengurangi berpergian ke pesta.

2. Strategi adaptasi terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok di Kelurahan Tegal Rejo secara umum berjalan baik karena mereka berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan harga kebutuhan pokok tersebut dengan cara menyesuaikan penghasilan yang mereka peroleh dengan pengeluaran konsumsi rumah tangga mereka.

Saran 1. Agar strategi adaptasi di Kelurahan Tegal

Rejo bisa berjalan dengan baik, seluruh anggota keluarga turut berperan serta dengan cara lebih giat bekerja, mencari pekerjaan sampingan mengontrol pola konsumsi makanan dan hidup sederhana.

2. Agar keluarga miskin melakukan pengendalian pengeluaran dari segi keuangan.

3. Agar adanya sistem gotong royong diantara anggota keluarga dalam mengelola makanan dan sumber daya alam yang ada di lingkungan.

4. Hendaknya keluarga miskin melakukan peningkatan asset seperti melibatkan lebih banyak anggota keluarga dalam bekerja.

Daftar Pustaka Bappenas, Panduan Program IDT, Bappenas

dan Depagri, Jakarta, 1993. Coleman, James, Cressey, Donald, Social

Prablem, Third Edition, Harper& Row Publishers, New York, 1987.

Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Teori dan

Filsafat Komunikasi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

Gerungan.W.A, Psikologi Sosial, PT. Eresco, Bandung, 1986.

Guiltinan dan Paul, Manajemen Pemasaran,

Rineka Cipta Cetakan I, Jakarta, 1997. Husken, Frans, dkk, Pembangunan

Kesejahteraan Sosial, Indonesia di bawah Orde Baru, Gramedia, Jakarta 1997.

Kartasapoetra, G, Sosiologi Umum, Bima

Aksara, Jakarta, 1987. Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,

Kartika, Surabaya, 1997. Khairuddin, H, SS, H, Drs, Sosiologi

Keluarga, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1997

Mulyadi, Sistem Akutansi, edisi ke-3 Bagian

Penerbit Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta, 2002.

Nawawi, H. Hadari, Metode Penelitian Bidang

Sosial, Gajah Mada Universitiy Press, Yogyakarta, 1991.

Nurdin, Fadhil, Drs, Pengantar Studi Ilmu

Kesejahteraan Sosial, Angkasa, Bandung, 1990.

Salvatore, Dominick dan Diulio Eugene A,

Pengantar Ilmu Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1987.

Singarimbun, Masri, Metode Penelitian

Survay, LP3ES, Jakarta, 1989. Sismudjito, Kemiskinan di Sumatera Utara,

Jurnal Pemberdayaan, Komunitas.USU Volume 3, Nomor 3, September 2004.

Sumardi. M dan Evers Dieters. H, Kemiskinan

Dan Kebutuhan Pokok, Rajawali, Jakarta, 1985.

Suparlan, Parsudi, Kemiskinan di Perkotaan,

Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,1993. Suparlan, Y.B, Drs, Widjopianoto Rachmanto,

Drs, Pardiman, S, Kamus Istilah Kesejahteraan Sosial, Pustaka Pengarang, Yogyakara, 1983.

Page 56: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Nasution, Adaptasi Masyarakat Miskin...

286

Suyanto, Bagong, Perangkap Kemiskinan: Problem & Strategi Pengentasannya, Airlangga University Press, 1994.

Swastha DH, Bayu dan Irawan, Manajemen

Pemasaran Modern, Penerbit Liberty cetakan Ke IV, Yogyakarta.

Vembriarto, Psikologi Sosial, PT.Eresco

Bandung 1993. Widodo, Suseno Triyanto, Hg, Drs, Indikator

Ekonomi, Kanisius, Yogyakarta, 1990 Wie, Thee Kian, Dr, Pemerataan Kemiskinan

Dan Ketimpangan, Sinar Harapan, Jakarta. 1981.

Yusuf, S dan Suryadi, Syamsuri Effendi, R

Sumadjaja, Kamus Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1975.

Sumber-sumber lain: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai

Pustaka, Jakarta, 1989 Indikator Ekonomi Buletin Bulanan Statistik

BPS, Jakarta, Agustus 2005 BPS Propinsi Sumatera Utara, 2005 Web Site: http://www.bkkbn.go.id http://www.Tempointeraktif.go.id www.urbanpoor.or.id

Page 57: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

287

Almaidafiani adalah Staf di Yayasan Lentera Indonesia, Sudirman adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU

PENGARUH PROGRAM PENYULUHAN PERTANIAN ORGANIK TERHADAP SOSIAL EKONOMI PETANI

Almaidafiani & Sudirman

Abstract

The information is very important for development, such in industry, marketing, and agriculture. By information, the farmers can change their life, especially agriculture technology and process culture. The natural agriculture is not same with the traditional way. This research studied about the influence of organic agriculture extension program to the the farmers economic life. This program is very special, because through the green revolution the farmer had information about agriculture modernization. For the farmers agriculture modernization is the best way to change their life to make better. But, this research showed that tha information abot organic agriculture caused their life better. Keywords: organic agriculture, illumination, economy

Pendahuluan

Negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia memasuki abad ke-21 terjadilah suatu perubahan paradigma pembangunan yang drastis. Seperti kita ketahui bersama ketika negara-negara yang sedang berkembang memulai upaya pembangunan negara mereka masing-masing sesudah mereka memperoleh kemerdekaan mereka, maka paradigma pembangunan yang dominan di negara-negara itu adalah industrialisasi. Industrialisasi diharapkan selain dapat mengangkat harkat hidup penduduk negara-negara yang sedang berkembang, juga secara politis akan mensejajarkan kedudukan negara-negara tersebut dengan negara-negara Barat, yang kebanyakan semua adalah negara-negara yang pernah menjajah mereka. Alangkah bangganya seorang kepala negara dari sebuah negara yang sedang berkembang apabila mereka dapat bertemu dengan seorang kepala negara dari negara Barat dan membicarakan industri pesawat terbang yang sama-sama mereka miliki (Soetrisno, 1999: 1)

Akibat dominasi dari paradigma industrialisasi dalam proses pembangunan negara-negara yang sedang berkembang,

pembangunan dari sektor pertanian relatif ditelantarkan. Bahkan ada anggapan bahwa indikator keberhasilan suatu pembangunan adalah mengecilkan sumbangan sektor pertanian pada total pendapatan negara, dan sebaliknya apabila jumlah kontribusi sektor pertanian pada pendapatan nasional tetap tinggi, maka negara tersebut tetap dianggap sebagai negara yang terbelakang (Hidayat, 1999: 2).

Kondisi negara-negara yang sedang berkembang di atas berubah saat memasuki abad ke-21. Negara-negara yang sedang berkembang tersebut seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan yang semula dibanggakan dan telah menjadi negara-negara industri baru, runtuh perekonomian mereka disebabkan karena dilanda krisis moneter yang dasyat. Industri-industri yang telah dibangun dengan investasi yang besar, runtuh bersama dengan timbulnya krisis ekonomi.

Di Indonesia misalnya, ratusan industri dari berbagai jenis terpaksa menghentikan produksi mereka karena meningkatnya ongkos produksi dikarenakan menurunnya harga mata uang rupiah. Akibatnya jutaan buruh industri harus kehilangan pekerjaan mereka. Hal yang

Page 58: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...

288

sama juga terjadi pada sektor bangunan dan perbankan mereka pun mengalami kehancuran. Apabila sektor industri dan perbankan mengalami kehancuran maka tidak demikian halnya dengan sektor pertanian, khususnya sub-sektor perkebunan. Bila banyak buruh Industri yang menganggur, maka di Sulawesi para petani coklat mengalami kehidupan yang berlimpah karena naiknya harga coklat di pasar internasional (Kompas, 28 Juli 2001).

Ketahanan sektor pertanian dalam menghadapi krisis menyebabkan perubahan pola pikir para perencana pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang. Semua industrialisasi yang diandalkan sebagai suatu model pembangunan yang akan mampu memecahkan masalah keterbelakangan negara-negara yang sedang berkembang, maka ketika krisis menimpa negara-negara tersebut, pembangunan sektor pertanian kemudian menjadi harapan baru bagi para perencana pembangunan dunia ketiga (Hidayat, 1999: 4)

Meskipun telah terbukti bahwa sektor pertanian telah mampu menjadi tumpuan kehidupan masyarakat yang sedang menghadapi krisis ekonomi, tetapi untuk menjadikan sektor pertanian menjadi “Leading Sector” dalam proses pembangunan bukanlah suatu hal yang mudah. Dibutuhkan investasi yang mahal untuk membangun sebuah agroindustri yang mampu menjadi mesin pendorong pembangunan ekonomi yang handal.

Apabila kita berbicara perihal fungsi sektor pertanian dalam pembangunan nasional Indonesia dan kemampuan sektor tersebut untuk bersaing pada abad yang akan datang, maka kondisi sosial-budaya dari para petani Indonesia merupakan masalah yang utama. Persoalan petani merupakan persoalan bangsa yang selalu diperdebatkan, tidak hanya terbatas bagi negara agraris dan negara berkembang. Persoalan petani ini pun telah sekian lama menjadi konsentrasi kebijakan nasional pada banyak negara. Berdasarkan data statistik yang ada, sekitar 75% penduduk Indonesia pada saat ini tinggal di wilayah pedesaan. Dari jumlah tersebut lebih dari 54% menggantungkan hidup mereka dari sektor pertanian dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah, apabila dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah perkotaan (Soetrisno, 1999: 15).

Perbedaan pendapatan tersebut berkaitan erat dengan produktivitas para petani Indonesia sementara hal itu tidak dapat

dilepaskan dari berbagai faktor antara lain luas lahan yang dimiliki, kebijakan pemerintah dalam pemberian insentif pada petani dan sebagainya. Dari segi pendidikan sebagian besar petani di Indonesia berpendidikan sekolah dasar 40,73% dan hanya 0,39% yang berpendidikan akademi/universitas, sementara yang berpendidikan SLTA sebesar 4,62%. Sedangkan kelompok yang termasuk dalam pendidikan tidak sekolah dan tidak tamat SD sebesar 47,33% (Jayadinata, 1999: 22)

Data di atas menunjukkan kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki oleh sektor pertanian Indonesia di manasumberdaya petani yang rendah itu merupakan salah satu sebab utama dari rendahnya produktivitas para petani di Indonesia. Kondisi rendahnya mutu sumberdaya manusia itu, menjadi lebih memprihatinkan apabila kita melihat usia dari para petani kita. Sebagian besar para petani kita yakni sebesar 15,1 juta orang (76,2%) berusia sekitar 25 sampai dengan 54 tahun, dengan penyebaran yaitu 7.7 juta orang (50,9%) berada di pulau Jawa dan 7,3 juta orang (49,1%) berada diluar Jawa. Sementara petani yang berusia di atas 55 tahun mencapai 4,2 juta atau 21,46% dari jumlah rumah tangga pertanian di Indonesia (Soetrisno, 1999: 24).

Berbeda dengan petani yang berusia muda maka petani yang berusia tua biasanya cenderung sangat konservatif dalam menyikapi terhadap perubahan atau inovasi teknologi. Petani di Indonesia umumnya adalah petani gurem, dan harus mengusahakan usaha tani di dalam lingkungan tropika yang penuh resiko seperti banyaknya hama, tidak menentunya curah hujan dan sebagainya. Dalam kondisi yang telah penuh resiko ini para petani harus lebih berekstra hati-hati dalam menerima inovasi. Karena apabila mereka gagal memanfaatkan inovasi berarti seluruh keluarga mereka akan menderita. Sementara di Indonesia belum ada perlindungan asuransi yang dapat melindungi kegagalan para petani dalam mengembangkan usaha tani mereka (Soetrisno, 1999: 26).

Hal-hal tersebut akan menempatkan para petani Indonesia dalam kondisi yang dilematis. Untuk bisa “survive” pada abad yang akan datang para petani Indonesia harus berani mengambil resiko untuk berinovasi, karena berinovasi akan menjamin peningkatan produktivitas mereka yang akan mempengaruhi tingkat “survival” mereka

Page 59: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303

289

dalam bersaing dengan petani-petani dari negara-negara lain.

Sebelum Indonesia memasuki krisis ekonomi dan moneter, Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yakni antara 5% sampai dengan 7% per tahunnya. Dari segi teori pertumbuhan ekonomi makro yang relatif tinggi tersebut diharapkan pula akan memperbaiki kinerja sektor pertanian Indonesia, serta tingkat kesejahteraan masyarakat pertanian Indonesia. Tetapi kenyataan empiriknya tidaklah demikian. Dimana, pertumbuhan ekonomi tersebut tidak banyak berpengaruh pada pembangunan sektor pertanian. Kurangnya insentif pada petani, dan banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi menyebabkan Indonesia tidak mampu mempertahankan program swasembada pangan. Pertumbuhan ekonomi juga belum mampu menaikkan kesejahteraan sosial ekonomi para petani (Raharjo, 2000: 117)

Melihat kondisi pertanian yang memprihatinkan maka pemerintah Indonesia meluncurkan suatu program pembangunan pertanian yang dikenal secara luas dengan program Revolusi Hijau yang di masyarakat petani dikenal dengan program BIMAS. Tujuan utama dari program tersebut adalah menaikkan produktivitas sektor pertanian, khususnya sub - sektor pertanian pangan, melalui penetapan paket teknologi pertanian modern. Paket tersebut terdiri dari pupuk non organik, obat-obatan pelindung tanaman, dan bibit padi unggul dan juga pemerintah menyediakan prasarana kredit dan prasarana penunjang lain seperti rehabilitasi pembangunan prasarana irigasi (Jayadinata, 1999: 28)

Revolusi hijau telah berhasil mengubah sikap para petani, khususnya para petani sub sektor pangan, dari “anti” teknologi ke sikap yang mau memanfaatkan teknologi pertanian modern seperti pupuk kimia, obat-obatan perlindungan, dan bibit padi unggul. Akan tetapi meskipun Revolusi Hijau mampu mencapai tujuan makronya yakni meningkatkan produktivitas sub sektor pertanian pangan, namun pada tingkat mikro Revolusi Hijau tersebut telah menimbulkan berbagai masalah tersendiri.Revolusi Hijau menyebabkan para petani harus membeli teknologi-teknologi pertanian baru dengan harga yang mahal sehingga hal ini menimbulkan ketergantungan bagi petani dan

akan mempengarungi kondisi ketahanan pangan.

Salah satu masalah yang sangat penting adalah terjadinya uniformitas bibit padi di Indonesia. Semua bibit padi yang boleh ditanam adalah bibit padi unggul yang disediakan pemerintah, sementara pemerintah melarang petani menanam bibit padi local yang semula banyak ditanam petani. Uniformitas bibit padi itu berakibat timbulnya kerentaan dalam tubuh sub sektor pertanian pangan. Kerentaan itu muncul dalam dua bentuk. Pertama, Sub sektor pertanian pangan kita rentan akan berbagai hama, meskipun padi bibit unggul itu memiliki produktivitas yang tinggi mereka tidak memiliki ketahanan hidup lama. Sehingga sub sektor pangan Indonesia terserang penyakit hama wereng coklat yang mampu memusnahkan tanaman padi dan mengancam Indonesia menghadapi bahaya kelaparan. Kedua, Revolusi Hijau membuat petani Indonesia bodoh. Banyak pengetahuan lokal yang menyangkut pertanianan telah banyak dilupakan oleh petani. Para petani lebih menggantungkan pada paket-paket teknologi pertanian produk industri. Ketergantungan itu menimbulkan suatu kerentaan baru yakni petani Indonesia menjadi obyek dari permainan harga produk-produk itu. Maka hal ini dapat menganggu proses produksi pangan karena apabila harga pupuk naik maka petani mengurangi pemakaian pupuk yang berakibat menurunnya produksi (Soetrisno, 1999: 125 )

Bahaya penggunaan pestisida lambat laun menjadi jelas misalnya; Tahun 1990 sekitar 2 juta manusia menderita keracunan pestisida, dan 40.000 diantaranya berakibat fatal (ILEIA, 1999: 15), Pestisida juga dianggap sebagai pencetus timbulnya kanker, tingkat kesuburan dan kesehatan reproduksi menurun dan gangguan dari terhadap system kekebalan tubuh terutama bagi kaum perempuan. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pangan Dunia di perserikatan bangsa-bangsa (FAO), jumlah perempuan dalam sektor pertanian mengalami peningkatan hampir empat kali dari tahun 1960 sebanyak 7,43 juta menjadi 20,82 juta orang pada tahun 2000 yang sangat beresiko terpapar pestisida karena sehari-hari sebagai penyemprot pestisida di perkebunan (FSPI, 2004: 5).

Di India, pestisida menjadi penyebab utama yang telah membinasakan hidup

Page 60: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...

290

penduduk desa Kasargod, Kerala. Ditemukan bahwa selama dua setengah dekade, pestisida yang disemprotkan ke perkebunan kacang dan pohon jambu monyet dibeberapa desa yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan di Kerala mengakibatkan penduduk sekitar perkebunan menderita gangguan kesehatan terhadap system reproduksi perempuan seperti kanker rahim dan kanker payudara.Ditemukan fakta anak-anak yang dilahirkan mengalami cacat fisik, keterlambatan mental, serta kekebalan tubuh rendah (FSPI, 2004: 30).

Studi lain yang dilakukan di Amerika, bahwa perempuan yang tinggal didaerah yang penggunaan pestisidanya tinggi mempunyai resiko 1,9 sampai 2 kali lebih tinggi beresiko melahirkan bayi dalam keadaan cacat, dibandingkan perempuan yang bertempat tinggal di daerah yang tidak menggunakan pestisida,di Indonesia salah satu contoh kasus keguguran kehamilan yang dialami seorang petani dari Sumatera Barat akibat penggunaan pestisida yang dapat meracuni embrio bayi dalam kandungan ibunya. Kasus lain hasil penelitian PAN Indonesia terhadap petani perempuan di desa Bukit dan desa Sampun, Berastagi Sumatera Utara mengenai tingkat keracunan pestisida berdasarkan Indikator kelaziman aktivitas enzim Acetylcholinesterase (ACHE) dalam plasma darah, ditemukan bahwa tingkat pencemaran yang terjadi pada petani perempuan sudah melampui batas yang ditetapkan oleh World Health Organization (FSPI, 2004: 32).

Menurut IFOAM (Internasional Federation of Organic Agriculture Movements), salah satu tujuannya adalah untuk memberikan jaminan yang semakin baik bagi para produsen pertanian (terutama petani) dengan kehidupan yang lebih sesuai dengan hak asasi manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan pentingnya hak-hak petani, kerja, termasuk lingkungan kerja yang aman dan sehat (FSPI, 2004: 20). Gencarnya kampanye pertanian organik yang didengungkan pecinta-pecinta lingkungan hidup diberbagai negara, menjamurnya LSM-LSM yang memasukkan “issue” pertanian organik pada program kerjanya, dan aktifnya pemerintah Indonesia menjalankan program PHT (Pengendalian Hama Terpadu) menunjukkan bahwa “issue” pertanian organik telah menjadi suatu gerakan nasional dan internasional yang penting

Pertanian organik sebagai bagian pertanian akrab lingkungan perlu segera dimasyarakatkan sejalan makin banyaknya dampak negatif terhadap lingkungan yang terjadi akibat dari penerapan teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan kimia pertanian. Di samping itu, makin meningkatnya jumlah konsumen produksi bersih dan menyehatkan serta meluasnya gerakan “green consumer” merupakan pendorong segera disosialisasikan gerakan pertanian organik (Sutanto, 2002: 5).

Kesadaran petani terhadap pentingnya mengembangkan pertanian organik nampaknya telah muncul dinegara-negara Asia Tenggara khususnya Thailand, dan Filipina. Jaringan antar Lembaga Swadaya Masyarakat di Asia yang memiliki program pengembangan pertanian organic telah terjalin melalui sebuah organisasi yang bernama ANGOC (Asian NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development). Salah satu program dari organisasi ini selain mensosialisasikan pertanian organik dikalangan masyarakat petani di Asia, organisasi ini juga melakukan advokasi terhadap pentingnya hak-hak petani pada air dan bibit bagi ketahanan pangan dan masyarakat (FSPI, 2004: 21)

Menurut Langerbein (seperti dikutip Sutanto, 2002: 180) meningkatkan perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan telah mendorong permintaan bahan pangan yang akrab lingkungan dan diklasifikasikan sebagai alami atau tanpa diolah. Pandangan masyarakat tentang issu lingkungan dan kualitas makanan yang menyebabkan meningkatnya ketidakpercayaan masyarkat terhadap pangan produk pertanian konvensional, meningkatnya kekecewaan terhadap kualitas pangan yang tersedia dan meningkatkan bahan nutrisi alam.

Di Amerika industri makanan organik merupakan sektor yang berkembang dengan cepat. Tahun 1995 perdagangan makanan organik meningkat lebih dari 20%. Hasil survei menunjukkan bahwa ketertarikan konsumen untuk membeli produk organik adalah kesegaran produk. Hasil survei yang dilakukan pada tahun 1996 menyimpulkan bahwa kenampakan dan kesegaran adalah dua alasan utama konsumen membeli produk organik. Selanjutnya dari survei tersebut alasan yang lain membeli produk organik adalah menyehatkan, tidak mempunyai residu pestisida dan pupuk kimia. Rasa ternyata juga

Page 61: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303

291

merupakan faktor yang mempengaruhi konsumen membeli produk organik. Seperti halnya di Eropa, harga makanan organik lebih tinggi daripada makanan konvensional, bahkan mencapaia 50% lebih tinggi (Sutanto, 2002: 184).

Konsumen dan permintaan sayuran organik dari tahun ke tahun semakin meningkat. Meskipun pada saat ini konsumen hasil pertanian organik di Indonesia masih kalangan terbatas, tetapi prospeknya di masa mendatang cukup baik. Pada saat ini produsen pertanian organik dari Indonesia masih sangat terbatas. Belum banyak produk dari Indonesia yang dapat bersaing di pasar global dan ketersediaan produk organik yang masih terbatas sehingga Indonesia belum masuk perhitungan. Dengan pertimbangan ini maka diperlukan usaha yang cukup intensif untuk menghasilkan dan menggunakan pupuk organik (Suryadi, 2005).

Di Indonesia, salah satu organisasi petani yang menerapkan pertanian organik pada kelompok-kelompok tani adalah Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). SPSU sebagai organisassi yang berbasiskan massa dari kalangan petani melihat pemasaran produk pertanian organik merupakan peluang pasar yang jarang tersentuh oleh kalangan praktisi bisnis di Indonesia. Berangkat dari keyakinan di atas dan berpengalaman uji coba yang dimulai dari kampanye dan penyuluhan tentang pentingnya pertanian organik sampai dengan pemasaran produk organik bersama kepada kelompok-kelompok tani SPSU.

Menurut Leagan (1961:365) menunjukkan bahwa ‘kesuksesan pekerja-pekerja penyuluhan akan tergantung pada kemampuannya untuk dapat mengkomunikasi-kan ide-ide cemerlang kepada petan’. Seorang penyuluh harus berkompeten dan berpengetahuan luas akan teknologi, proses penyuluhan dan informasi. Menurut Waterson (1965:447) menyebutkan bahwa ‘suksesnya berbagai rencana, khususnya program pembangunan bergantung pada pengertian dan partisipasi dan dukungan dari pihak-pihak yang menjalankan program’ (dikutip dalam Sudrajat, 1994: 44).

Menurut Umali (1962:397) juga mengatakan bahwa: “Kegagalan untuk memecahkan masalah pertanian yang sedang terjadi di negara tersebut pada dasarnya merupakan kegagalan untuk menyampaikan informasi penting kepada para petani

mengenai adanya fasilitas-fasilitas kredit dan kerjasama, tekhnik-tekhnik produksi yang efisien dan efektif dan praktik pertanian yang telah direkomendasikan” (dikutip dalam Sudrajat, 1994: 45).

Di Filipina dilaporkan bahwa salah satu penyebab rendahnya produksi padi adalah kurangnya pegawai-pegawai terlatih untuk mengimplementasikan program padi pada level propinsi, kotamadya dan pedesaan (Saiful, 1990: 13). Hasil penelitian yang dilakukan Situmorang menyebutkan di desa Siparmahan Tapanuli Utara dari 65 responden sebanyak 38.47% menyatakan persepsinya kurang baik terhadap penyuluh, juga ada kesan bagi petani mereka terlalu menggurui dengan sistem pertanian. Sekitar 46.51% petani yang apatis, mereka tidak mau ikut dalam proses penyluhan karana mendengar banyak kesan negatif tentang penyuluh dari sesama petani lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semuanya penyuluhan dapat diterima baik oleh masyarakat petani.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti pengaruh penyuluhan pertanian organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara dalam peningkatan kesejahteraan petani. Masalah ini layak untuk diteliti karena dengan adanya penyuluhan pertanian organik maka pengetahuan petani tentang pertanian organik semakin bertambah sehingga dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan otomatis dapat meningkatkan pendapatan petani sehingga akhirnya diharapkan kesejahteraan petani akan terwujud. Alasan penulis memilih lokasi di desa Pematang Jering adalah karena Desa Pematang Jering merupakan salah satu kelompok tani yang menjadi anggota Serikat Petani Sumatera Utara yang masih berpartisipasi aktif.

Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit analisis yang diteliti. Dalam penelitian ini dilakukan pendekatan design eksperimen yaitu untuk mengetahui efek atau akibat yang ditimbulkan dari variabel yang dimanipulasi.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pematang Jering Kecamatan Sei Suka Kabupaten Asahan. Adapun alasan pemilihan lokasi penelitian adalah: Penulis mendapatkan

Page 62: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...

292

informasi dari Serikat Petani Sumatera Utara bahwa kelompok tani yang ada di Desa Pematang Jering telah mengikuti penyuluhan pertanian organik yang telah dilakukan oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). Kelompok tani yang ada di Desa Pematang Jering merupakan kelompok tani yang masih aktif dalam kegiatan peningkatan pertanian organik di mana desa Pematang Jering merupakan salah satu desa penghasil beras di Kabupaten Asahan. Desa ini merupakan salah satu desa yang berada dalam kawasan jaringan Proyek Irigasi Bah Bolon dan desa ini merupakan salah satu pemasok beras organik ke pasar.

Populasi adalah keseluruhan objek yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala, nilai-nilai atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakter tertentu dalam suatu penelitian (Nawawi, 1991: 141).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk yang memiliki aktivitas utama bercocok tanam secara organik dan sebagai sumber penghasilan utama dan yang menjadi angota kelompok tani yang ada di Serikat Petani Sumatera Utara yang berada di Desa Pematang Jering Kec.Sei Suka Kab.Asahan yang berjumlah 200 orang kepala keluarga.

Menurut Arikunto, sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Dalam penelitian ini peneliti mengambil 15% dari 200 KK yang mengikuti penyuluhan pertanian organik oleh SPSU. Dengan demikian sampel yang diambil berjumlah 30 KK. Sedangkan tekhnik pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel kuota, yaitu tekhnik sampling yang tidak mendasarkan diri pada strata atau daerah, tetapi mendasarkan diri pada jumlah yang sudah ditentukan. Biasanya yang dihubungi adalah subjek yang mudah ditemui (Arikunto, 1997: 119).

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Wawancara yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan penyebaran angket yang ditujukan kepada responden sekaligus wawancara dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang ada, dan etode Observasi yaitu mengumpulkan data tentang pengaruh penyuluhan pertanian organik terhadap peningkatan pendapatan petani yang dilakukan

dengan mengamati dan memperhatikan kehidupan petani.

Teknik analisa data mencakup analisa tabel tunggal yang dilakukan dengan cara interpretasi terhadap distribusi frekuensi dan kecendrungan data untuk mendapatkan ciri-ciri atau karakteristik variabel yang diteliti. Untuk tujuan menyatukan persepsi mengenai tekhnik analisis yang digunakan pada tabel silang, Uji hipotesa penelitian menggunakan tekhnik uji phi-cramer dengan batas signifikansi 95 persen (0.05). Dalam hal ini apabila × hitung > ×=0,05, maka hipotesisi penelitian ditolak dan sebaliknya apabila × hitung <×=0.05, maka hipotesis penelitian diterima.

Hipotesis adalah dugaan logis sebagai kemungkinan pemecahan masalah yang dapat diterima sebagai kebenaran di manadiuji ternyata fakta-fakta atau kenyataan sesuai dengan dugaan tersebut dalam hipotesis ini adalah: Ho : Tidak ada pengaruh program pertanian

organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara terhadap pendapatan petani sehingga pendapatan petani yang sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik tidak berbeda dengan pendapatan petani yang sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik.

Hi : Ada pengaruh program pertanian organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara yang meningkatkan pendapatan petani sesudah penyuluhan pertanian organik berbeda dengan pendapatan petani sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik.

SPSU adalah organisasi berbentuk

federasi yang terdiri dari organisasi-organisasi tani tingkat lokal yang berada di wilayah hukum Sumatera Utara dan organisasi yang bersifat perjuangan massa kader petani Sumatera Utara dan kader petani Sumatera Utara yang berdaulat dan mandiri yang berwatakan gerakan sosial. Tujuan berdirinya SPSU adalah: 1. Terwujudnya struktur agraria yang adil

dan berpihak pada rakyat miskin dan tertindas, khususnya bagi petani dan keluarga.

2. Terwujudnya kedaulatan rakyat demi tercapainya kedaulatan politik rakyat khususnya kedaulatan petani dalam proses

Page 63: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303

293

pengambilan keputusan baik dalam hal kebijakan negara, maupun dalam hal penataan produksi, distribusi dan penentu harga hasil-hasil pertanian. Program Kerja SPSU berupa pendidikan

dan pelatihan, yaitu: 1. Pendidikan CO bagi pengurus dan anggota

badan khusus CO SPSU, bekerjasama dengan Yayasan Sintesa, Yayasan Alam Tani, dan Baileo Maluku.

2. Pelaksanaan Latihan CO bagi pimpinan serikat tani di Pulau Sumatera. Diikuti oleh petani dari Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dll.

3. Pembuatan dan pengembangan Modul dan bahan pendukung pendidikan a. Modul Pendidikan CO khusus bagi

konsulat daerah dari kalangan petani. b. Modul pendidikan CO khusus bagi

konsulat SPSU dari kalangan nonpetani.

c. Pengadaan bahan-bahan pendukung pendidikan.

4. Latihan Kader Khusus Non – CO a. Lanjutan pendidikan Organik di

Pematang Jering dan desa sekitarnya. b. Pendidikan Pendidikan Organik dan

bekerjasama dengan SINTESA di desa Lobburapa

c. Pelaksanaan Aksi Strategis bersama berbentuk demonstrasi

d. Pelaksanaan pertemuan silang antar anggota SPSU, khususnya petani perempuan.

5. Program Perempuan Petani, Budaya Tani dan Anak-anak Petani. a. Mendorong lahirnya organisasi petani

perempuan local pada setiap desa anggota SPSU

b. Pengadaan diskusi informal antar sesama anggota petani perempuan.

c. Pengangkatan Relawan Perempuan Khusus untuk CO petani perempuan di Tapanuli Selatan.

6. Latihan Kader Khusus Non – CO a. Lanjutan pendidikan PHT di Pematang

Jering dan desa sekitarnya. b. Pendidikan PHT dan bekerjasama

dengan SINTESA di desa Lobburapa c. Pelaksanaan Aksi Strategis bersama

berbentuk demonstrasi d. Pelaksanaan pertemuan silang antar

anggota SPSU, khususnya petani perempuan.

7. Program Perempuan Petani, Budaya Tani dan Anak-anak Petani. a. Identifikasi calon kader petani

perempuan yang pada periode yang akan datang akan dididik melalui pendidikan khusus.

b. Pengadaan diskusi informal antar sesama anggota petani perempuan.

8. Latihan Kader CO a. Kader CO b. Kader Co dan Petani Perempuan

9. Latihan Kader Khusus a. Budidaya Pertanian Organik b. Lembaga Keuangan petani c. Pemasaran d. Politik multi partai dan latihan

konsulat e. Pertanahan, investigasi pertanahan dan

hokum pertanahan f. Teknologi Komunikasi

Berangkat dari program kerja maka

SPSU melakukan pendampingan terhadap petani di desa pematang jering, kecamatan Sei Suka, kabupaten Asahan mendorong petani untuk beralih dari pertanian konvensional menuju pertanian organik. Masalah utama saat itu adalah mahalnya pupuk dan pestisida kimia, mewabahnya hama keong mas, merebaknya pupuk dan pestisida palsu serta lilitan hutang pada KUT. Sangat kompleks permasalahan petani, khususnya di desa pematang jering sehingga menjadi perhatian khusus bagi pemerhati petani terutama Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) dan Pensosialisasian pertanian organik dilakukan SPSU untuk menghindari petani dari ketergantungan akan pupuk kimia agar petani dapat mencapai perbaikan kehidupan sosial ekonominya.

Tidak sedikit pula hambatan yang dihadapi yaitu menurunnya produksi hingga 50%, pengeluaran tenaga semakin besar, belum lagi rongrongan dari pemerintah dengan tidak membelinya petani akan pupuk dan pestisida kimia tersebut. Keuntungan yang diperoleh dari pertanian organik, tidaklah mudah untuk meyakinkan petani agar beralih ke pertanian organik, karena sudah puluhan tahun mereka terdoktrin bahwa pestisida adalah dewa penyelamat bagi petani keluar dari kegagalan panen.

Dalam pendampingan ini diperlukan orang yang berkompeten dengan pertanian organik dan kehidupan petani.Karena disini dibutuhkan pendekatan emosional yang dalam,

Page 64: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...

294

agar petani mau maka sistem pendampingan yang dilakukan adalah partisipatif yaitu semua orang adalah guru, semua orang adalah murid, semua tempat adalah sekolah, semua orang tidak tahu sesuatu tetapi setiap orang tahu sesuatu. Jadi dalam pendampingan ini semua orang adalah sahabat maka semua orang akan ikut berperan. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Tabel 1 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

No. Pekerjaan F % 1 2

Petani Wiraswasta

29 1

96.7 3.3

Total 30 100.0

Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa responden yang mengikuti penyuluhan pertanian organik mayoritas pekerjaan responden yaitu petani yaitu sebesar 96,7 persen dan wiraswasta 3,3 persen. Dalam hal ini wiraswasta yang dimaksud yang memiliki usaha lain selain dari usaha tani.

Tabel 2 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

No. Pendidikan F % 1 2 3

SD SLTP SLTA

10 14 6

33.3 46.7 20.0

Jumlah 30 100,0

Sumber: Data Primer

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa untuk responden yang mengikuti penyuluhan pertanian organik mayoritas tamatan SLTP yaitu sebesar 46,7 persen, kemudian tamat SD yaitu sebesar 33,3 persen, tamatan SLTA yaitu sebesar 20 persen. Hal ini menunjukkan walaupun responden yang mengikuti penyuluhan mayoritas hanya tamatan SLTP tetapi responden mempunyai kemauan untuk memajukan usaha tani dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara dan mempunyai keinginan untuk mengikuti pembelajaran yang diberikan oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU).

Tabel 3 Karaktersitik Responden Berdasarkan Jenis

Komoditi Pertanian

No. Pendidikan F % 1 2

Padi Buah-buahan

27 3

90,0 10,0

Jumlah 30 100,0

Sumber: Data Primer

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa untuk jenis komoditi pertanian mayoritas responden yang mengikuti penyuluhan pertanian organik yaitu sebesar 90 persen komoditi pertanian mereka adalah padi, jenis komoditi pertanian buah-buahan yaitu sebesar 10 persen. Dari hasil wawancara dengan responden, palawija tidak cocok di desa ini karena apabila musim kemarau tanahnya sangat kering dan bila musim hujan tanahnya sangat lembek sehingga palawija tidak dapat berkembang di desa ini dan desa Pematang Jering merupakan salah satu pemasok beras di Asahan.

Tabel 4

Distribusi Jawaban Responden Apakah Tahu tentang Pertanian Organik

No. Jawaban F % 1. 2.

Tidak tahu Tahu

2 28

6.7 93.3

Total 30 100,0

Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas responden yaitu sebesar 93,3 persen mengetahui tentang pertanian organik, dan hanya 6,7 persen responden yang tidak mengetahui pertanian organik. Menurut responden sebelumnya mereka tidak mengetahui tentang adanya pertanian organik tetapi setelah mendapat informasi dari Serikat Petani Sumatera Utara barulah mereka mengetahui tentang pertanian organik

Tabel 5

Distribusi Responden tentang Darimana Diperoleh Informasi Mengenai Pertanian Organik

No. Kategori F % 1 2 3

Televisi Koran SPSU

1 2

27

3.3% 6.7% 90%

Jumlah 30 100%

Sumber: Data Primer

Page 65: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303

295

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas responden yaitu sebesar 90 persen memperoleh informasi mengenai pertanian organik dari sumber lain. Mereka memperolah informasi melalui Serikat Petani Sumatera Utara yang memberikan penyuluhan tentang pertanian organik kepada para petani di Desa Pematang Jering. Sedangkan 6,7 persen responden mengetahui informasi mengenai pertanian organik dari surat kabar (koran), dan responden yang memperoleh informasi mengenai pertanian organik dari televisi hanya sebesar 3,3 persen. Dari hasil wawancara, responden mengetahui dan mengenal profil SPSU sebagai lembaga yang membela petani dan memperjuangkan hak-hak petani dan hal ini terbukti ketika petani desa Pematang Jering terlibat perebutan lahan dengan pengusaha perkebunan tetapi dengan ketulusan hati pihak SPSU membela petani dan akhirnya petani mendapat apa yang menjadi hak petani.

Tabel 6 Pernah Tidaknya Mengikuti Penyuluhan Pertanian

Organik yang Dilakukan SPSU

No. Jawaban F % 1. Pernah 30 100

Jumlah 30 100

Sumber: Data Primer

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa seluruh responden yaitu sebesar 100% memberikan jawaban pernah mengikuti penyuluhan pertanian organik yang dilakukan oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU).

Tabel 7 Frekuensi Mengikuti Penyuluhan Pertanian Organik

No. Jawaban F % 1. 2.

Satu kali > Dua Kali

2 28

6.7% 93.3%

Jumlah 30 100.0%

Sumber: Data Primer

Dari data di atas dapat diketahui bahwa frekuensi responden mengikuti penyuluhan pertanian organik lebih dari dua kali sebesar 93.3 persen, responden yang mengikuti satu kali penyuluhan pertanian organik sebesar 6.7 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering responden mengikuti penyuluhan

pertanian organik maka semakin luas wawasan dan pengetahuan responden tentang pertanian organik.

Tabel 8

Pernah Tidaknya mengikuti Penyuluhan Pertanian Selain SPSU

No. Jawaban F % 1. 2.

Tidak pernah Pernah

3 27

10% 90%

Jumlah 30 100%

Sumber: Data Primer

Dari data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas responden yaitu sebesar 90 persen yang mengikuti penyuluhan pertanian organik di Desa pematang Jering memberikan jawaban pernah mengikuti penyuluhan pertanian organik selain dari Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU), selain dari SPSU mereka mengikuti penyuluhan dari Pemerintah melalui Dinas Pertanian. Kemudian yang menjawab tidak pernah mengikuti penyuluhan selain dari SPSU hanya sebesar 10 persen.

Tabel 9 Pemahaman Materi Mengenai Pertanian Organik

yang Dilakukan oleh SPSU

No. Jawaban F % 1. 2. 3.

Kurang dimengerti Mudah dimengerti Sangat mudah dimengerti

2 6

22

6.7 20.0 73.3

Jumlah 30 100.0

Sumber: Data Primer

Dari data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa 73,3 persen responden mengakui bahwa materi yang disampaikan SPSU mengenai pertanian organik sangat mudah dimengerti, 20 persen memberikan jawaban mudah mengerti dan hanya 6,7 persen yang memberikan jawaban kurang mengerti mengenai materi penyuluhan pertanian organik yang dilakukan oleh serikat Petani Sumatera Utara (SPSU). Materi yang diberikan oleh Serikat Petani Sumatera utara misalnya mengenai bagaimana memanfaatkan racun tradisional dalam mengatasi penyakit tanaman, bagaimana cara meningkatkan jumlah hasil produksi dan cara meningkatkan kandungan nutrisi tanaman padi.

Page 66: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...

296

Tabel 10 Cara Penyampaian Materi Penyuluhan Pertanian

Organik yang Dilakukan SPSU

No. Jawaban F % 1. 2.

Baik Sangat baik

4 26

13.3% 86.7%

Jumlah 30 100.0%

Sumber: Data Primer

Dari data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa kebanyakan responden menilai bahwa cara penyampaian materi penyampaian yang dilakukan Oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) sangat baik sebesar 97,5 persen, dan hanya 13 persen saja yang menilai baik. Penyampaian materi yang baik dapat memudahkan petani untuk lebih memahami bagaimana langkah-langkah yang harus mereka lakukan dan gunakan di dalam proses penanaman dengan saatnya panen sehingga tidak mengalami kesulitan-kesulitan yang dapat menyebabkan kerugian akibat gagalnya panen.

Tabel 11 Mudah Tidaknya Penyuluhan Pertanian Organik

Diterapkan dalam Kegiatan Pertanian

No. Jawaban F % 1. 2. 3.

Tidak mudah Mudah Sangat mudah

1 6

23

3.3% 20.0% 76.7%

Jumlah 30 100.0%

Sumber: Data Primer

Dari data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa responden merasa sangat mudah untuk menerapkan materi yang diberikan oleh SPSU (Serikat Petani Sumatera Utara) yaitu sebesar 76.7 persen dan 20 persen yang menilai mudah untuk diterapkan dan hanya 3,3 persen saja yang menilai tidak mudah untuk diterapkan. Menurut responden materi yang diberikan dapat dengan mudah diterapkan karena cara-cara dalam pertanian organik yang sederhana dan butuh kesabaran dan ketelitian agar hasil pertanian yang diharapkan dapat maksimal. Menurut responden juga materi yang diberikan oleh Serikat Petani Sumatera Utara sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan responden di manadalam materi pertanian organik diberikan teknik pertanian organik yang memerlukan

bahan dasar yang organik yang banyak tersedia di desa ini.

Tabel 12 Keterlibatan dalam Kelompok Tani yang Diterapkan

SPSU

No. Jawaban F % 1. 2. 3.

Kurang aktif Aktif Sangat aktif

1 22 7

3.3% 73.3% 23.3%

Jumlah 30 100.0%

Sumber: Data Primer

Dari data di atas dapat diketahui bahwa responden aktif terlibat dalam kelompok tani yang dibuat oleh SPSU (Serikat Petani Sumatera Utara) yaitu sebesar 73.3 persen, responden yang terlibat sangat aktif sebesar 23.3 persen, kurang aktif sebesar 3.3 persen saja. Ini membuktikan bahwa semua responden yang mengikuti penyuluhan pertanian organik merupakan anggota kelompok tani yang masih berperan dan mengikuti semua kegiatan yang dibuat oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU seperti diskusi kelompok yang membahas tentang kemajuan usaha tani dan permasalahan yang dihadapi petani dalam melakukan proses produksi sampai dengan pemasaran produk organik yang langsung ditangani SPSU.

Tabel 13 Penting Tidaknya Petani Melakukan Pertanian

Organik

No. Jawaban F % 1. 2. 3.

Kurang penting Penting Sangat penting

2 6

22

6.7% 20.0% 73.3%

Jumlah 30 100.0%

Sumber: Data Primer

Dari data di atas dapat diketahui bahwa responden merasa sangat penting untuk melakukan pertanian organik yakni sebesar 73.3 persen dan yang merasa penting sebesar 20 persen dan yang merasa kurang penting sebasar 6.7 persen. Ini membuktikan bahwa kesadaran responden tentang bahaya pertanian non organik semakin tinggi dan kesadaran akan kesehatan juga semakin tinggi. Menurut responden juga pertanian organik merupakan

Page 67: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303

297

pertanian masa depan yang harus dari sejak dini diterapkan karena sangat bermanfaat untuk generasi di masa yang akan datang. Responden yang merasa kurang penting melakukan pertanian organik mengaku bahwa pertanian konvensional juga merupakan model pertanian yang harus dilestarikan dan dapat memberi keuntungan di masa yang akan datang tetapi responden tidak mengerti lebih mendalam bahwa pestisida dan pupuk kimia sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.

Tabel 14 Cocok Tidaknya Pertanian Organik Diterapkan di

Desa Pematang Jering

No. Jawaban F % 1. 2. 3.

Kurang cocok Cocok Sangat cocok

2 16 12

6.7% 53.3% 40.0%

Jumlah 30 100.0%

Sumber: Data Primer

Dari data di atas dapat diketahui bahwa responden merasa cocok pertanian organik dapat diterapkan di desa ini yakni sebesar 53.3 persen, sangat cocok sebesar 40 persen dan kurang cocok hanya sebesar 6.7 persen. Responden merasa cocok karena materi yang diberikan Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) tentang cara pencegahan hama dan pembuatan pupuk organik bisa dimengerti dan juga kebutuhan bahan dasar untuk pembuatan pupuk organik banyak tersedia di desa ini seperti untuk mengatasi hama putih (ulat gulung) responden hanya memerlukan bunga sakura yang ditumbuk dan airnya disemprotkan. Dengan begitu responden sangat merespon setiap pembelajaran yang diberikan karena potensi desa juga bisa digali.

Tabel 15

Apakah Penyuluhan Pertanian Organik Membantu Petani

No. Jawaban F % 1. 2.

Membantu Sangat Membantu

4 26

13.3% 86.7%

Jumlah 30 100.0%

Sumber: Data Primer

Dari data di atas dapat diketahui bahwa responden yang mengikuti penyuluhan pertanian organik mayoritas mengatakan bahwa penyuluhan pertanian organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara sangat membantu yakni sebesar 86.7 persen dan membantu sebesar 13.3 persen. Menurut responden dengan adanya penyuluhan pertanian organik yang diberikan Serikat Petani Sumatera Utara dapat membuka wawasan dan kesadaran responden tentang bahaya pertanian non organik begitu juga dengan keuntungan dari pertanian organik. Dalam hal ini salah satu tujuan Serikat Petani Sumatera Utara memberikan penyuluhan yaitu untuk menghindari ketergantungan petani terhadap pupuk kimia dan pestisida dan juga dalam pemasaran produk organik Serikat Petani Sumatera Utara menghindari panjangnya jalur distribusi yang merugikan petani sehingga hal ini juga membuat petani percaya dan sadar bahwa dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik bisa membantu petani mengatasi masalah.

Tabel 16 Pengetahuan tentang Bahaya Pertanian Non-Organik

Sebelum Mengikuti Penyuluhan

No. Jawaban F % 1. 2.

Tidak tahu Tahu

17 13

56.7 43.3

Jumlah 30 100,0

Sumber: Data Primer

Dari data di atas dapat diketahui bahwa responden yang tidak mengetahui bahaya pertanian organik sebelum mengikuti penyuluhan sebesar 56.7 persen dan responden yang tahu tentang bahaya pertanian non organik sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) hanya sebesar 43.3 persen. Responden yang mengetahui bahaya dari pertanian non organik sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik dari Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) mendapat informasi dan pernah mengikuti pembelajaran tentang pertanian organik dari pemerintah yaitu melalui Dinas Pertanian Sumatera Utara tetapi Dinas Pertanian hanya menjelaskan pentingnya mengembangkan pertanian organik tetapi tidak sampai kepada pemecahan masalah yang dihadapi responden.

Page 68: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...

298

Tabel 17 Pengetahuan tentang Kelebihan Pertanian Organik Setelah Mengikuti Penyuluhan Pertanian Organik

No. Jawaban F % 1. 2.

Tidak tahu Tahu

5 25

16.7% 83.3%

Jumlah 30 100.0%

Sumber: Data Primer

Dari data di atas dapat diketahui bahwa responden mengetahui tentang kelebihan dari pertanian organik setelah mengikuti penyuluhan pertanian organik yakni sebesar 83.3 persen dan tidak tahu sebesar 16.7 persen. Hal ini terbukti setelah mengikuti penyuluhan pertanian organik responden langsung menerapkan sistem pertanian organik dalam kegiatan pertanian responden karena responden merasa bahwa materi tentang pertanian organik dapat mudah diterapkan yang cocok dengan kondisi dan potensi yang ada di desa ini dan juga kesadaran responden tentang hidup sehat yang tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam kegiatan produksi pertanian juga tumbuh. Responden yang tidak tahu tentang pentingnya pertanian organik mengaku bahwa mereka tidak sering ikut berdiskusi dan mengikuti proses pembelajaran pertanian organik dan juga sewaktu materi diberikan responden yang tidak tahu tentang pentingnya pertanian tidak menguasai dan menerima pembelajaran dengan baik.

Tabel 18 Keinginan untuk Kembali ke Pertanian Non-Organik

No. Jawaban F % 1. 2.

Tidak ingin Ingin

25 5

83.3% 16.7%

Jumlah 30 100.0%

Sumber: Data Primer

Dari data di atas menunjukkan bahwa responden yang tidak ingin kembali melakukan kegiatan produksi pertanian non organik setelah mengikuti penyuluhan pertanian oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) yakni sebesar 83.3 persen dan responden yang ingin tetap melakukan pertanian non organik hanya sebesar 16.7 persen. Responden yang tidak ingin kembali melakukan kegiatan produksi pertanian non

organik karena responden mengerti tentang bahaya dan kerugian pertanian non organik sedangkan responden yang masih ingin melakukan pertanian non organik menganggap bahwa materi tentang pertanian organik yang diberikan oleh Serikat Petani Sumatera Utara tidak mudah diterapkan karena cara proses produksi yang tidak praktis yang membuat responden merasa bahwa pertanian yang menggunakan pupuk kimia dan pestisida merupakan cara yang praktis dan hasil pertanian yang optimal.

Untuk lebih mengetahui pengaruh penyuluhan pertanian organik terhadap sosial ekonomi masyarakat petani, berikut ini dilakukan perbandingan kondisi sosial ekonomi masyarakat petani sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: 1. Perbandingan luas lahan petani sebelum

dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: Berdasarkan jawaban responden dapat diketahui bahwa setelah mengikuti penyuluhan pertanian organik adanya kenaikan sebesar 20 persen dari luas lahan satu hektar yang diusahai responden dan penurunan jumlah luas lahan < 1 ha sebesar 20 persen. Maka hal ini setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik yang diberikan oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) kemudian adanya keinginan dari responden untuk memperluas usaha tani dalam memproduksi pertanian organik di manadengan biaya produksi rendah sehingga ada kesempatan untuk membuka lahan yang lebih luas dan produktivitas lebih banyak didukung oleh pengelolaan yang terkoordinir dengan baik di manadi samping memberikan penyuluhan pertanian organik, SPSU juga memberikan fasilitas pemasaran produk organik seperti kilang padi dan pemasaran langsung ke konsumen (Direct Market) yang berusaha untuk memperpendek jalur distribusi agar responden dapat menerima keuntungan sehingga dapat memperluas lahan yang diusahai responden.Seperti hasil penelitian Helgar Willer dalam “ The World Of Agriculture,Statistic and Emerging Trends 2004” yang dipublikasikan oleh IFOAM disebutkan bahwa luas lahan yang ditanami secara organik di Indonesia sekitar 40.000 ha atau 0,09 persen dari

Page 69: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303

299

total lahan pertanian dan Indonesia berada di peringkat ke 37 dunia (Surono, 2004).

2. Perbandingan status kepemilikan lahan

yang diusahakan petani sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik adanya kenaikan sebesar 20 persen dari status lahan milik sendiri sebesar 20 persen dan adanya penurunan untuk status lahan yang disewa sebesar 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik maka pengetahuan dan wawasan responden terbuka dan berusaha bagaimana meningkatkan hasil produksi pertanian organik karena setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik maka responden mengetahui kualitas hasil produksi pertanian organik yang jauh lebih baik dan harga yang berbeda antara hasil produksi pertanian non organik dengan pertanian organik, sehingga hal ini yang mendorong responden untuk mengembangkan pertanian organik, dengan keuntungan yang diperoleh bisa dimanfaatkan untuk memperluas lahan sehingga status kepemilikan lahan sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik berbeda.

3. Perbandingan frekuensi panen petani

sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik adanya kenaikan sebesar 16.7 persen responden panen dua kali dalam satu tahun dan hanya 3.3 persen saja responden yang panen satu kali dalam satu tahun. Hal ini dapat terjadi karena dalam penyuluhan pertanian organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU) materi pertanian organik yang diberikan salah satunya mengajarkan tentang cara tanam padi yang menggunakan cara alamiah untuk meningkatkan hasil produksi yang sebelum responden mengikuti penyuluhan pertanian organik cara ini tidak dipakai seperti, seminggu sebelum tanam diadakan penyincangan lahan dengan menggunakan

jetor, setelah itu penyerakan pupuk organik yang terbuat dari sekam padi, ampas teri, kotoran ternak yang diolah menjadi satu dan dibiarkan selama tiga hari. Kemudian selama delapan hari lahan dibolak balik dan diserak pupuk organik tersebut. Setelah diserak tinggal memilih tanam dengan cara memakai garis atau tanam acak. Kalau tanam garis akan mengurangi serangan hama sedangkan tanam acak akan meningkatkan hasil produksi dan mempersingkat masa tanam. Materi seperti inilah yang diberikan SPSU dalam mengembangkan pertanian organik di desa ini sehingga frekuensi panen sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik dan berbeda setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik. Hal ini didukung dengan penelitian Pimenteel, Paul Hepperly dan Rita Sidel ahli agronomi dari Rodale Institute dan Davis Douds ahli mikrobiologi dari Agrcultural Research Service (Departemen Pertanian AS), mereka memabndingkan aktivitas tanah, hasil panen, effisiensi energi dan biaya , perubahan bahan organik sejalan dengan perubahan waktu, akumulasi nitrogen dan penyebaran nitrat dari lahan pertanian system organik maupun system konvensional dan menemukan bahwa panenan pertanian organik meningkat setelah empat tahun penelitiannya karena dalam proses menuju lahan pertanian organik, erosi tanah dan air semakin membaik bahan organiknya, kelembabannya, aktivitas mikrobiologinya, sistem pertanian organik juga menyerap dan menahan cukup banyak karbon penyebab pemanasan global didalam tanah sehingga mempercepat degradasi tanah pulih kembali.

4. Perbandingan besarnya modal petani

sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: Berdasarkan perolehan data dapat diketahui bahwa setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik modal yang dikelurkan kurang dari Rp 500.000 mengalami kenaikan dari 56.7 persen menjadi 90 persen yakni sebesar 3.3 persen. Sedangkan modal yang dikeluarkan lebih dari Rp 500.000 mengalami penurunan dari 43.3 persen

Page 70: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...

300

menjadi 10 persen yakni sebesar 33.3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik maka responden mengikuti pola pertanian organik yang tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida melainkan hanya menggunakan pupuk yang berasal dari kotoran hewan ternak dan racun racun tradisional yang banyak tersedia di desa ini sehingga modal yang dikeluarkan tidak terlalu besar dibandingkan sebelum mengikuti pola pertanian organik. Maka dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik dapat mengubah pola pertanian responden sehingga mempengaruhi modal yang dikeluarkan responden dalam memproduksi pertaniannya dan otomatis dengan adanya penyuluhan ini modal yang dikeluarkan setelah mengikuti penyuluhan pertanian organik berbeda dengan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik. Hal ini juga didukung oleh pendapat Fukuoka (dikutip dalam Sutanto, 2002: 20). Yang menyatakan bahwa ‘Untuk menuju pertanian organik sama sekali tidak tergantung pada bahan kimia dan pestisida tetapi hanya dengan sinar matahari, hujan dan tanah merupakan kekuatan alam secara langsung akan mengatur keseimbangan hidup yang alami’. Sehingga dengan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa biaya produksi pertanian organik lebih rendah dibandingkan pertanian konvensional.

5. Perbandingan besarnya pendapatan petani

sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik:

Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik adanya kenaikan jumlah penghasilan yang diterima lebih dari Rp.1.500.000 yaitu dari 23.3 persen menjadi 46.7 persen dan penurunan jumlah pendapatan yang kurang dari Rp.1.000.000 yaitu dari 60 persen menjadi 16.7 persen. Hal ini menunjukkan dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik dan mengikuti pola pertanian organik yang tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam proses produksi sehingga biaya produksi rendah dan responden dapat membuka lahan yang lebih luas dan akan mendorong

produktivitas yang lebih banyak dan didukung pemasaran yang lebih terjamin dan kompetitif dengan harga penjualan yang lebih tinggi sehingga keuntungan akan diperoleh responden dan hal ini yang mendorong penghasilan responden meningkat setelah mengikuti penyuluhan pertanian dan menerapkan pertanian orgnaik dari Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU).

6. Perbandingan kemampuan memenuhi

kebutuhan petani sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: Berdasarkan perolehan data dapat diketahui bahwa setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik, mayoritas cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari hari yakni sebanyak 90 persen dan hanya 10 persen saja yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Sedangkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik sebanyak 66.7 persen sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan hanya 6.7 persen saja yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Hal ini menunjukkan dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik dan mengikuti pola pertanian organik yang tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam proses produksi sehingga bisa memperkecil modal yang dikeluarkan responden dan juga hasil pertanian organik yang masih langka sehingga harga jual produk organik lebih mahal dibandingkan produk non organik dan hal ini mempengaruhi penghasilan yang diterima responden sehingga jumlah penghasilan yang diterima lebih besar dibandingkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik. Maka dengan penghasilan yang lebih responden dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, sehingga dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik kebutuhan pokok sehari-hari dapat tercukupi.

7. Perbandingan kemampuan memenuhi

biaya pendidikan anak petani sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik:

Berdasarkan perolehan data dapat diketahui bahwa setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik,

Page 71: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303

301

mayoritas cukup untuk memenuhi biaya pendidikan anak yakni sebanyak 86.7 persen dan hanya 6.7 persen saja yang tidak cukup untuk memenuhi biaya pendidikan anak. Sedangkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik sebanyak 63,4 persen dan 23.3 persen sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan hanya 13.3 persen saja yang cukup untuk memenuhi biaya pendidikan anak. Hal ini menunjukkan dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik dan mengikuti pola pertanian organik yang tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam proses produksi sehingga bisa memperkecil modal yang dikeluarkan responden dan juga hasil pertanian organik yang masih langka sehingga harga jual produk organik lebih mahal dibandingkan produk non organik dan hal ini mempengaruhi penghasilan yang diterima responden sehingga jumlah penghasilan yang diterima lebih besar dibandingkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik. Maka dengan penghasilan yang lebih maka responden dapat memenuhi biaya pendidikan dibandingkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik modal yang dikeluarkan sangat besar karena harus membeli pupuk kimia dan pestisida dengan harga yang mahal sehingga tidak mempunyai keuntungan, ditambah lagi biaya pendidikan yang mahal sehingga tidak dapat mencukupi biaya pendidikan anak.

8. Perbandingan kemampuan menabung

petani sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik: Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa setelah responden mengikuti penyuluhan pertanian organik, mayoritas cukup untuk menyisihkan tabungan keluarga yakni sebanyak 90 persen dan hanya 10 persen saja yang tidak cukup untuk menyisihkan tabungan keluarga. Sedangkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik sebanyak 20 persen kurang dan 70 persen sangat kurang untuk menyisihkan tabungan keluarga dan hanya 10 persen saja yang cukup untuk menyisihkan tabungan keluarga. Hal ini menunjukkan dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik dan

mengikuti pola pertanian organik yang tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam proses produksi sehingga bisa memperkecil modal yang dikeluarkan responden dan juga hasil pertanian organik yang masih langka sehingga harga jual produk organik lebih mahal dibandingkan produk non organik dan hal ini mempengaruhi penghasilan yang diterima responden sehingga jumlah penghasilan yang diterima lebih besar dibandingkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik. Maka dengan penghasilan yang lebih maka responden dapat menyisihkan tabungan keluarga dibandingkan sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik modal yang dikeluarkan sangat besar karena harus membeli pupuk kimia dan pestisida dengan harga yang mahal sehingga tidak mempunyai keuntungan, apalagi menyisihkan tabungan keluarga untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari saja belum cukup. Maka dengan hal ini sudah jelas dengan mengikuti penyuluhan pertanian organik dapat memenuhi menyisihkan tabungan bagi keluarga responden.

Kesimpulan

Untuk lebih akurasi pengaruh penyuluhan pertanian organik terhadap sosial ekonomi petani dapat dilakukan uji statistik sebagai berikut: Untuk melihat apakah ada pengaruh tingkat pendapatan responden sebelum dan sesudah mengikuti penyuluhan pertanian organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara dapat diketahui dari tabel sebelumnya yaitu:

Data yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan proporsi tingkat pendapatan petani sebelum dan sesudah mengikuti aktivitas penyuluhan pertanian organik oleh SPSU, yakni kecendrungan penghasilan petani semakin meningkat setelah ikut aktivitas penyuluhan pertanian organik oleh SPSU.

Lebih jelasnya adalah sebagian besar penghasilan responden sebelum ikut aktivitas penyuluhan pertanian organik oleh SPSU berada pada kategori < 1 juta sedangkan setelah mengikuti penyuluhan justru mayoritas responden memiliki penghasilan > 1.5 juta.

Dari uji statistik Phi Cramer terbukti bahwa meningkatnya pendapatan responden setelah mengikuti penyuluhan pertanian

Page 72: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Almaidafiani & Sudirman, Pengaruh Program Penyuluhan...

302

organik (menerapkan program pertanian organik) signifikan.

(Phi = 0,614, œ = 0,023)

Hasil ini membuktikan bahwa hipotesis

penelitian yang menyatakan bahwa: ‘Ada Pengaruh Program Penyuluhan Pertanian Organik oleh Serikat Petani Sumatera Utara terhadap Peningkatan Pendapatan Petani di Desa Pematang Jering Kec.Sei Suka Kab.Asahan’.

Dari uraian 5.2, 5.3 dan 5.4 di atas dapat disimpulkan bahwa adanya peningkatan penghasilan petani setelah mengikuti penyuluhan pertanian organik oleh SPSU dan menerapkan pola pertanian organik adalah dimungkinkan dari bebrapa aspek, yakni pola pertanian organik telah mampu memeberikan peluang adanya: 1. Menurunnya harga produksi sehingga

otomatis memberikan margin keuntungan yang lebih besar dari sebelum mengikuti penyuluhan pertanian organik dari SPSU dan menerapkan pola pertanian organik (lihat tabel 5.25). Hal ini juga di dukung oleh pendapat Fukuoka (dikutip dalam Sutanto, 2002: 19) yang menyatakan bahwa ‘pertanian organik dapat menghemat biaya produksi karena dengan pertanian organik yang tidak menggunakan asupan kimia dan pestisida tetapi menggunakan pupuk alami dan hanya tergantung kepada faktor alam seperti sinar matahari, hujan dan tanah merupakan kekuatan alam secara langsung akan mengatur keseimbangan alam.

2. Akibat semakin rendahnya biaya produksi beberapa responden memiliki peluang atau kesempatan untuk memperluas lahan pertanian (lihat tabel 5.26). Hal ini juga didukung hasil penelitian Helgar Willer dalam “The World Of Agriculture, Statistic And Emerging Trends 2004” yang dipublikasikan oleh IFOAM (International Federation For Organic Agriculture Movements) disebutkan bahwa luas lahan yang ditanami secara organik di Indonesia sekitar 40.000 ha atau 0,09 persen dari total lahan pertanian dan Indonesia berada di peringkat ke 37 dunia ( Surono, 2004).

3. Akibat meningkatnya luas lahan berpeluang untuk meningkatkan jumlah produksi. Hal ini didukung oleh Penemuan System Rice Of Intenfication (SRI) oleh

Henri de Lauline, seorang Jesuit di Madagaskar, ternyata pertanian organik mampu meningkatkan produktivitas tanaman padi hingga mencapai 8 ton per ha dengan total luas lahan kurang lebih dari 320.000 hektar dikelola secara organik (dikutip Widiastuti, 2004).

Saran 1. Pemasaran produk organik yang lebih luas

dan terjamin yang memberikan peluang adanya jaminan produksi laku dengan harga yang kompetitif.

2. Distribusi yang lebih pendek, pemberian harga premium kepada petani/produsen kecil di manaharga dihitung bukan saja didasarkan pada biaya produksi tetapi juga biaya lain seperti asuransi gagal panen, biaya penguatan dan pengembangan kelompok tani dan produsen, juga terjalinnya hubungan yang personal antara produsen dan konsumen melalui pertemuan rutin antara produsen dan konsumen (Pranasari, 2004). Hal seperti ini juga sedang dilakukan SPSU dalam pemasaran produk organik di Desa Pematang Jering dengan prinsip ‘Gerakan sosial’ dan ‘Direct Market’ di manaresponden melakukan pengorganisasian kepada konsumen, buruh, nelayan, atau bahkan pemuda supaya gerakan pertanian organik menjadi gerakan yang lebih meluas.

Daftar Pustaka Koentjaraningrat, Metode Penelitian Sosial,

Gajah Mada University, Press, Yogyakarta, 1990.

Muhidin, Syarif, Pengantar Kesejahteraan

Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung, 1981.

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Sosial,

Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.

Purba, Komintasari, dkk, Modul Sekolah

Lapang Polikultur, Bitra Indonesia, Medan, 2002.

Page 73: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 287 – 303

303

Reijntjs, Coen, dkk, Pertanian Masa Depan, Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah, Kainisius, Yogyakarta, 1992.

Sadono, Sukirno, Pengantar Teori Makro

Ekonomi, Grafika, Jakarta. Salim, Peter, Drs. Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Modern English Press, Jakarta, 2002.

Singarimbun, Masri, Metode Penelitian

Survey, LP3ES, 1989. Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu

Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, 1987.

Suharsimi, Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktis, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1997.

Suroto, Strategi Pembangunan dan

Perencanaan Kesempatan Kerja, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.

Sutanto, Penerapan Pertanian Organik

(Menuju Alternatif dan Berkelanjutan), Kainisius, Jakarta, 2002.

Wahyuni, Wawasan Ilmu Sosial Dasar, Usaha

Nasional, Surabaya, 1986.

Page 74: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

304

Edward dan Husni Thamrin adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU

PERANAN ORGANISASI LOKAL DALAM

PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL MASYARAKAT

Edward & Husni Thamrin

Abstract

This research intended to description the role of local organnization in social welfare development. It is very important knew, because Indonesia society has many local organizations such in rural and urban society. The result of research showed that in people grew and increased the number of local organization. It can be used as a fulfill needs mechanism and solved social problem, espscially in local level. In Indonesia the local organization is very important, because government do not have the ability enough to help their people. So, the local organization must developed and then they can do anything to the people. Keywords: local organization, village, social welfare

Pendahuluan

Pendekatan pembangunan secara teoritis sebenarnya menempatkan masyarakat dalam posisi sentral. Tetapi pengalaman pendekatan pembangunan pada masa lalu yang dilaksanakan secara top down dan sentralistis memberikan dampak yang negatif terhadap perkembangan masyarakat. Masyarakat menjadi tidak kreatif, inovatif dan terkungkung pada inisiatif pemerintah. Implementasi pendekatan tersebut mengakibatkan partisipasi masyarakat menjadi lemah dan bentuk partisipasi yang terjadi lebih pada partisipasi semu (mobilisasi).

Secara politik, dengan pendekatan top-down dan sitem sentralistis tersebut hak-hak masyarakat terserap ke dalam kepentingan pemerintah, sehingga tidak muncul pemikiran kritis dari masyarakat sebagai kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan memudar diakibatkan oleh memudarnya sejumlah lembaga tradisional yang dulu hidup di perdesaan, sebagai akibat intervensi pemerintah yang terlalu jauh terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Respons terhadap pendekatan pembangunan tersebut, berkembang diskusi tentang civil society di kalangan perguruan tinggi maupun organisasi non pemerintah. Wacana civil society ini tampaknya menyadarkan para penyelenggara negara, untuk menemukan pendekatan baru dalam kebijakan pembangunan yang benar-benar berpihak pada kebutuhan rakyat, dengan mengedepankan demokratisasi dan hak asasi manusia. Terkait dengan wacana civil society ini berkembang pemikiran, bahwa untuk mewujudkan bangsa yang demokratis, harus dimulai dari bawah. Karena berdasarkan pengalaman, masyakat bawah tersebut selama berabad-abad telah terjadi praktik-praktik demokrasi yang benar. Dengan demikian, apabila bangsa Indonesia menghendaki terwujudnya pembangunan demokrasi, perlu belajar kembali tentang kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat bawah. Apalagi dalam era otonomi daerah proses pembangunan kembali berpusat pada partisipasi masyarakat.

Era otonomi memberikan peluang yang sangat besar untuk munculnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Secara eksplisit ditegaskan bahwa penerapan otonomi

Page 75: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 304 – 323

305

daerah secara mendasar adalah untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas serta meningkatkan peran masyarakat. Dalam kajiannya mengenai partisipasi masyarakat dalam otonomi daerah mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan hal yang krusial dan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah.

Otonomi harus dipandang sebagai peluang untuk keberdayaan masyarakat. Pemerintah daerah sebaiknya menjadikan momen ini sebagai peluang untuk dapat memperkuat jaringan dan dapat mengintegrasikan seluruh jaringan dan kelompok sosial yang ada dalam masyarakat kedalam suatu wujud kerja sama yang saling menguntungkan (simbiosis mutualism). Idealnya pemerintah dan kelompok sosial dalam masyarakat secara teratur berinteraksi untuk mendapatkan kesesuaian dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai proses yang memungkinkan anggota masyarakat meningkatkan kapasitas personal dan institusional dalam memobilisasi dan mengelola sumber daya untuk menghasilkan perbaikan kualitas yang sesuai dengan aspirasi mereka sendiri, berkelanjutan, adil dan merata

Dalam perspektif pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan prinsip utama yang harus tetap dijaga. Seperti yang kita ketahui aspek pembangunan yang dilakukan sangatlah banyak dan tidak semua masyarakat dapat berpartisipasi di tiap aspek tersebut. Partisipasi yang ditunjukkan biasanya akan terfokus pada aspek-aspek tertentu atau isu-isu tertentu dari pembangunan tersebut. (Surjadi, 2003)

Pendekatan yang dilakukan dalam pengembangan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan sekarang terus dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakat yang telah menerapkannya sejak lama. Otonomi daerah telah memutar balik pandangan pemerintah dalam memandang masyarakat yang selama ini hanya dilibatkan secara pasif namun sejalan dengan bergulirnya roda reformasi dan penerpan otonomi daerah maka masyarakat dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan.

Dalam melaksanakan pemberdayaan yang bermutu terdapat banyak kendala kelembagaan. Misalnya saja, kata partisipasi yang banyak tersebar di sebagian besar dokumen kebijakan dan proyek ternyata masih

sedikit aparat pemerintah yang memahaminya. Masih banyak yang berpendapat bahwa partisipasi adalah terlibat dalam suatu program pemerintah, di manapun posisinya.

Masyarakat merasa dirinya telah berpartisipasi, walaupun mereka tidak terlibat dalam pengembangan, perencanaan, ataupun pelaksanaan proyek tersebut. Aparat bawahan yang melaksanakan program berdasarkan instruksi dari Jakarta telah merasa berpartisipasi dalam proyek, walaupun mereka hanya melaksanakan apa yang diperintahkan. Kebanyakan pegawai negeri berpendapat bahwa program-program yang ada telah bersifat 'partisipatif' dan “memberdayakan masyarakat” dan tidak merasa perlu untuk mengadakan perubahan.

Penelitian mengenai pemberdayaan dari sudut pandang provider pembangunan telah banyak diteliti dan dijadikan landasan berfikir dalam membahas masalah pemberdayaan. Program pemberdayaan masyarakat sering sekali ambruk bila dilakukan hanya sebatas pelaksanaan proyek. Contoh program pelaksanaan pemberdayaan seperti IDT, Takesra, Kukesra yang berorientasi proyek dan target dianggap gagal. Pemerintah kemudian megeluarkan program kelanjutannya yaitu Program Pemberdayaan Kecamatan (PPK) (Mubyarto, 2002).

Dalam kehidupan sehari-hari kegiatan pemberdayaan masyarakat ini secara nyata banyak dilakukan oleh pelaksana pembangunan dan masyarakat itu sendiri. Kegiatan-kegiatan kelompok masyarakat, pemerintah dan LSM pada dasarnya adalah bentuk program pemberdayaan. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa program-program tersebut mempunyai bentuk, tujuan dan metode yang berlainan.

Pendekatan dalam pemberdayaan yang dilakukan dapat berupa pendekatan individual dan kelompok. Pendekatan kelompok menjadi alternatif utama yang digunakan dalam proses pembangunan karena dianggap lebih mampu memberikan dampak yang luas pada kehidupan masyarakat. Pelaksana pembangunan seperti pemerintah telah banyak meluncurkan program pemberdayaan melalui pemberdayaan kelompok.

Sementara itu masyarakat juga secara mandiri mampu melakukan kegiatan pemberdayaan secara disadari atau tidak. Kelompok Serikat Tolong Menolong (STM), Pengajian, Perwiridan, Kelompok semarga dan lain sebagainya merupakan sinyal yang kuat bahwa program pemberdayaan mampu dan

Page 76: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Edward & Thamrin, Peranan Organisasi Lokal...

306

bisa dilakukan oleh siapa saja. Organisasi lokal masyarakat ini diyakini mempunyai kemampuan untuk melakukan kegiatan pemberdayaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Dari hal tersebut peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan pembangunan masyarakat dalam perspektif pemberdayaan dan mencoba menelusuri kemampuan kegiatan pemberdayaan melalui kelompok-kelompok masyarakat yang terbentuk.

Masyarakat Indonesia betapapun mereka hidup sederhana, telah mengembangkan mekanisme dalam upaya memenuhi kebutuhan, menjangkau sumber dan pelayanan serta berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Mekanisme tersebut dilembagakan dalam sebuah wahana yang berupa organisasi, baik yang dilandasi oleh keagamaan, kesukuan maupun etnis. Di berbagai wilayah di Indonesia, selama ini ditelah istilah “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Banjar” di Bali, “Todung Natolu” di Sumatera Utara, dan “Rereyongan Sarupi” di Jawa Barat. Nilai sosial budaya lokal atau kearifan lokal tersebut telah terlembaga dengan baik dalam masyarakat lokal, dan menjiwai semua aktivitas masyarakat lokal tersebut. masyarakat lokal.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa keberadaan organisasi yang telah tumbuh dan berkembang pada masyarakat lokal, telah menjadi alternatif mekanisme pemecahan masalah. Organisasi yang ada di masyarakat memperlihatkan ciri-ciri, seperti egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, keterbukaan partisipasi bagi seluruh anggota, penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme serta mengembangkan musyawarah. Ciri-ciri organisasi lokal ini telah mengakomodasi unsur hak asasi manusia dan demokratisiasi pada tingkat lokal. Karena itu, apabila berbagai ciri yang melekat pada organisasi lokal ini dapat dipertahankan, akan semakin memperkuat ketahanan sosial masyarakat dalam nuansa pluralisme.

Sehubungan dengan itu, organisasi dan kearifan lokal, yang tumbuh dan berkembang di masyarakat lokal, perlu diberikan ruang gerak yang luas agar dapat mengekspresikan dan mengartikulasikan berbagai kebutuhan masyarakat lokal. Lebih jauh dari itu, berkembangnya keswadayaan masyarakat dan peran aktifnya dalam pembangunan,

khususnya pembangunan kesejahteraan sosial. Sebagaimana dikemukakan oleh Korten (1985), bahwa pembangunan akan mampu mengembangkan keswadayaan masyarakat apabila pembangunan itu berorientasi pada kebutuhan masyarakat (people centered development). Dan pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu dapat direalisasikan apabila memanfaatkan organisasi lokal yang ada di masyarakat. Dalam kaitannya dengan pembangunan pedesaan, Sediono Tjandronegoro (Kompas, 1982) mengemukakan, bahwa bentuk kelompok informal yang tumbuh dari bawah dan berciri demokratik, merupakan wadah bagi masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Pembinaan kelompok informal ini menyebabkan komunikasi antara pemerintah dan masyarkat desa bisa efektif. Pemikiran ini sesuai dengan Agenda 21 yang menekankan tanggung jawab khusus dari otoritas lokal dengan konsep “berpikir global, bertindak lokal”, dan deklarasi IULA (International Union of Lokal Authorities) dan EU (European Union) tahun 1985, di manaadanya keharusan bagi otoritas lokal di seluruh dunia memberikan prioritas untuk partisipasi bagi organisasi lokal, perusahaan swasta, perempuan dan pemuda, dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan implementasi proyek-proyek lokal dan perencanaan “Agenda 21” atau semua hal yang bersifat lokal (Izzedin Bakhit, 2001).

Dalam perspektif pekerjaan sosial, nilai sosial budaya dan organisasi lokal tersebut merupakan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) atau modal sosial (social capital) dalam rangka pembangunan masyarakat. Dengan demikian, keberadaan organisasi dan kearifan lokal tersebut memiliki posisi yang sangat strategis dalam pembangunan masyarakat.

Proses pembangunan saat ini perlu memahami dan memperhatikan prinsip pembangunan yang berakar dari bawah (grassroots), memelihara keberagaman budaya, serta menjunjung tinggi martabat serta kebebasan bagi manusia. Pembangunan yang dilakukan harus memuat proses pemberdayaan masyarakat yang mengandung makna dinamis untuk mengembangkan diri dalam mencapai kemajuan.

Konsep yang sering dimunculkan dalam proses pemberdayaan adalah konsep kemandirian di mana program-program

Page 77: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 304 – 323

307

pembangunan dirancang secara sistematis agar individu maupun masyarakat menjadi subyek dari pembangunan. Walaupun kemandirian, sebagai filosofi pembangunan, juga dianut oleh negara-negara yang telah maju secara ekonomi, tetapi konsep ini lebih banyak dihubungkan dengan pembangunan yang dilaksanakan oleh negara-negara sedang berkembang.

Pembangunan masyarakat merupakan usaha-usaha yang terorganisasi yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, dan memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan diri sendiri. Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari organisasi-organisasi swadaya dan usaha-usaha bersama dari individu-individu di dalam masyarakat, akan tetapi biasanya dengan bantuan teknis baik dari pemerintah maupun organisasi-organisasi sukarela.

Konsep pemberdayaan dapat dikatakan merupakan jawaban atas realitas ketidakberdayaan (disempowerment). Prinsip memperlakukan masyarakat sebagai subyek dan obyek pembangunan harus menjadi komitmen bagi pelaksana pembangunan. Idealnya pemerintah dapat menjadi fasilitator yang bertugas memberi pelayanan, sedangkan dari pihak masyarakat berperan sebagai pelaku utama dalam proses pembangunan yang saat ini harus dilayani dan ditumbuhkan prakarsa serta partisipasinya.

Ketidakberdayaan masyarakat yang disebabkan oleh ketiadaan daya (powerless) perlu diperhatikan. Untuk itu masyarakat perlu memiliki beberapa jenis daya yang dapat digunakan untuk memberdayakan mereka sendiri, antara lain: 1. Power terhadap pilihan pribadi, yaitu

memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menentukan pilihan pribadi atau kesempatan untuk hidup lebih baik.

2. Power terhadap pendefinisian kebutuhan, yaitu mendampingi masyarakat untuk merumuskan kebutuhannya sendiri.

3. Power terhadap kebebasan berekspresi, yaitu mengembangkan kapasitas masyarakat untuk bebas berekspresi dalam bentuk budaya publik.

4. Power terhadap institusi, yaitu meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap kelembagaan pendidikan, kesehatan, keluarga, keagamaan, sistem

kesejahteraan sosial, struktur pemerintahan, media dan sebagainya.

5. Power terhadap sumberdaya, yaitu meningkatkan aksesibilitas dan kontrol terhadap aktivitas ekonomi.

6. Power terhadap kebebasan reproduksi, yaitu memberikan kebebasan kepada masyarakat dalam menentukan proses reproduksi. (Ife, 2002)

Ketidakberdayaan masyarakat selain disebabkan oleh faktor ketidak-adaan daya (powerless), juga disebabkan oleh faktor ketimpangan, antara lain: 1. Ketimpangan struktural antar kelompok

primer, seperti: perbedaan kelas; antara orang kaya-orang miskin; the haves-the haves not; buruh-majikan; ketidaksetaraan gender; perbedaan ras, atau etnis antara masyarakat lokal-pendatang, antara kaum minoritas–mayoritas, dan sebagainya.

2. Ketimpangan kelompok lain, seperti: masalah perbedaan usia, tua-muda, ketidakmampuan fisik, mental, dan intelektual, masalah gay-lesbi, isolasi geografis dan sosial (ketertinggalan dan keterbelakangan).

3. Ketimpangan personal, seperti: masalah dukacita, kehilangan orang-orang yang dicintai, persoalan pribadi dan keluarga.

Membicarakan konsep pemberdayaan, tidak dapat dipisahkan dengan konsep sentral, yaitu konsep power (daya). Pengertian pemberdayaan yang terkait dengan konsep power dapat ditelusuri dari empat sudut pandang/perspektif, yaitu perspektif pluralis, elitis, strukturalis dan post-strukturalis.

Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif pluralis, adalah suatu proses untuk menolong kelompok-kelompok masyarakat dan individu yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif dengan kepentingan-kepentingan lain dengan jalan menolong mereka untuk belajar, dan menggunakan keahlian dalam melobi, menggunakan media yang berhubungan dengan tindakan politik, memahami bagaimana bekerjanya sistem (aturan main), dan sebagainya. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk bersaing sehingga tidak ada yang menang atau kalah. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk mengajarkan kelompok atau individu

Page 78: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Edward & Thamrin, Peranan Organisasi Lokal...

308

bagaimana bersaing di dalam peraturan (how to compete within the rules).

Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif elitis adalah suatu upaya untuk bergabung dan mempengaruhi para elitis, membentuk aliansi dengan elitis, melakukan konfrontasi dan mencari perubahan pada elitis. Masyarakat menjadi tak berdaya karena adanya power dan kontrol yang besar sekali dari para elitis terhadap media, pendidikan, partai politik, kebijakan publik, birokrasi, parlemen, dan sebagainya.

Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif strukturalis adalah suatu agenda yang lebih menantang dan dapat dicapai apabila bentuk-bentuk ketimpangan struktural dieliminir. Masyarakat tak berdaya suatu bentuk struktur dominan yang menindas masyarakat, seperti: masalah kelas, gender, ras atau etnik. Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pembebasan, perubahan struktural secara fundamental, menentang penindasan struktural.

Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif post-strukturalis adalah suatu proses yang menantang dan mengubah diskursus. Pemberdayaan lebih ditekankan pertama-tama pada aspek intelektualitas ketimbang aktivitas aksi; atau pemberdayaan masyarakat adalah upaya pengembangan pengertian terhadap pengembangan pemikiran baru, analitis, dan pendidikan dari pada suatu usaha aksi (Ife, 2002).

Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan demikian memberdayakan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat untuk bertahan, dan mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan (Kartasasmita, 1996).

Menurut Chambers (1995) pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni bersifat “people-centered”, participatory, empowering, and sustainable. Konsep pemberdayaan lebih luas dari hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan dasar atau mekanisme untuk mencegah proses

pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini lebih banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan dimasa lalu. Konsep ini berkembang dari upaya para ahli dan praktisi untuk mencari pembangunan alternatif yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate growth, gender equity, and intergenerational equity (Friedmen, 1992). Konsep pemberdayaan tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, tetapi konsep ini berpandangan bahwa dengan pemerataan, tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan yang akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan.

Upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui tiga hal: Pertama, menciptakan suasana (iklim) yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi-potensi, kemudian diberikan motivasi dan penyadaran bahwa potensi itu dapat dikembangkan. Kedua, memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat di manaperlu langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat mampu dan memanfaatkan peluang. Pemberdayaan pada jalur ini dapat berupa pemberian berbagai bantuan produktif, pelatihan, pembangunanan sarana dan prasarana baik fisik maupun sosial, dan pengembangan kelembagaan ditingkat masyarakat. Ketiga, pemberdayaan mengandung arti pemihakan kepada pihak yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang dan menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan (Bapenas, 2003).

Isu pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan pada era globalisasi dan transparansi semakin banyak dibicarakan dalam forum-forum diskusi yang dilakukan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, nasional dan international, dan melalui artikel-artikel dalam media massa. Kesimpulannya mempersoalkan sikap apatis masyarakat terhadap proyek pembangunan, partisipasi masyarakat yang rendah dalam pembangunan, penolakan masyarakat terhadap beberapa proyek pembangunan, ketidakberdayaan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan serta pemecahan masalahnya, tingkat adopsi

Page 79: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 304 – 323

309

masyarakat yang rendah terhadap inovasi, dan masyarakat cenderung menggantungkan hidup terhadap bantuan pemerintah, serta kritik-kritik lainnya yang umumnya meragukan bahwa masyarakat memiliki potensi untuk dilibatkan sebagai pelaksana pembangunan. Meskipun kritik-kritik di atas ada benarnya, tetapi dengan hanya menyalahkan masyarakat tanpa mencari faktor-faktor penyebabnya maka permasalahannya tidak dapat dipecahkan.

Pemberdayaan Masyarakat harus dipandang sebagai suatu proses di manamasyarakat, terutama mereka yang miskin sumber daya, kaum perempuan dan kelompok yang terabaikan lainnya, didukung agar mampu meningkatkan kesejahteraannya secara mandiri. Dalam proses ini, pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat sebagai sebuah lembaga berperan sebagai fasilitator yang mendampingi proses pemberdayaan masyarakat. Pada prinsipnya masyarakatlah yang menjadi aktor dan penentu pembangunan. Usulan-usulan masyarakat merupakan dasar bagi program pembangunan lokal, regional, bahkan menjadi titik pijak bagi program nasional.

Tipikal program pemberdayaan tampak dari acuan utama akan proses sosial selama program berlangsung, bukan lagi berorientasi pada hasil seperti program berciri top down. Proses sosial sebagai variabel-antara mengambil bentuk pengambilan keputusan suatu kegiatan secara partisipatif dilangsungkan dalam debat terbuka, yang mengundang peran serta anggota masyarakat dari lapisan atas hingga lapisan bawah. Perangkat evaluasi program yang tetap menekankan hasil penciptaan kelompok usaha, jumlah dana yang tersalur atau digulirkan, dan peningkatan pendapatan pemanfaat, sudah saatnya disesuaikan, misalnya menjadi pelaksanaan proses partisipatif dalam penciptaan kelompok, dan partisipasi dalam memutuskan pemanfaatan dana.

Apabila kegiatan pemberdayaan masyarakat lapisan bawah belum berhasil meningkatkan pendapatan dan membuka lapangan kerja baru seperti yang diharapkan, maka yang paling penting dikaji adalah menemukan apa dan di mana akar permasalahannya. Pengetahuan tentang akar permasalahan ini, membantu untuk merumuskan suatu strategi pemecahan masalah yang lebih tepat dan efektif. Merumuskan suatu pola pemberdayaan

masyarakat lapisan bawah yang tergolong miskin adalah pekerjaan rumit. Rumit, karena karakteristik yang mereka miliki berbeda. Dan setiap perbedaan menuntut pola pemberdayaan yang berbeda. Semua kekuatan, kelemahan, dan permasalahan yang ada perlu diidentifikasi dengan cermat, terutama yang berhubungan dengan pola pikir mereka yang sangat, terbelakang, statis tradisional, sulit berubah, lambat mengadopsi inovasi, serta tidak berdaya untuk hidup mandiri.

Saat pemerintahan Orde Baru, Indonesia mencapai kemajuan ekonomi dan sosial yang cukup berarti. Walaupun demikian, kesuksesan ini dicapai dengan menggunakan sistem yang tersentralisasi dan top-down mulai dari perencanaan, pelaksanaan serta sistem keuangan. Pendekatan atas bawah ini memberikan arti bahwa masyarakat sangat sedikit sekali memiliki kemampuan untuk megendalikan ataupun memberikan masukan pada proses pembangunan, padahal merekalah yang menerima dampak langsung terhadap kehidupannya sehari-hari dan berakibat terhadap tingkat kesejahteraannya. Sehingga hal ini menyebabkan ketergantungan terhadap berbagai petunjuk dan bantuan pemerintah dalam pelaksanaannya.

Pendekatan top–down tidak mengembangkan masyarakat untuk mempunyai tanggung jawab dalam mengembangkan ide-ide baru yang lebih sesuai dengan kondisi setempat dan mengakibatkan ketergantungan. Pendekatan yang berbeda dari pendekatan yang disebutkan di atas telah berkembang di Indonesia dan negara-negara lainnya, di manahasil yang lebih berkelanjutan akan dicapai jika masyarakat diberikan kepecayaan agar dapat menentukan proses pembangunan yang dibutuhkan mereka sendiri, sementara pemerintah dan lembaga lain mempunyai peran sebatas mendukung dan memfasilitasi. Pendekatan 'Pemberdayaan Masyarakat' ini akan mengantar masyarakat dalam berproses untuk mampu menganalisa masalah dan peluang yang ada serta mencari jalan ke luar sesuai sumberdaya yang mereka miliki. Mereka sendiri yang membuat keputusan-keputusan dan rencana-rencana, mengimplementasikan serta mengevaluasi keefektifan kegiatan yang dilakukan. Input utama adalah pengembangan sumber daya manusia, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dan mengurangi harapan akan

Page 80: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Edward & Thamrin, Peranan Organisasi Lokal...

310

sumberdaya dari pihak luar, baik pemerintah ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat.

Aspek penting dalam suatu program Perberdayaan Masyarakat adalah: program yang disusun sendiri oleh masyarakat, menjawab kebutuhan dasar masyarakat, mendukung keterlibatan kaum miskin, perempuan, buta huruf dan kelompok terabaikan lainnya, dibangun dari sumberdaya lokal, sensitif terhadap nilai-nilai budaya setempat, memperhatikan dampak lingkungan, tidak menciptakan ketergantungan, berbagai pihak terkait terlibat, serta berkelanjutan.

Proses partisipasi merupakan suatu proses yang berulang-ulang, ada umpan-balik, perencanaan (ulang) dan pelaksanaan tahap lanjutan, dan ada penilaiannya, di manadigunakan sejumlah indikator dalam rangka berupaya mencapai sasaran-sasaran tertentu. Proses ini dapat digambarkan sebagai suatu alur (siklus) berputar. Proses partisipasi itu punya orientasi, punya sasaran-sasaran. Hasil akhirnya adalah pemberdayaan diri, masing-masing (misal: perorangan) maupun pemberdayaan bersama (keluarga, kelompok keluarga, ikatan lebih luas).

Dari keseluruhan itu semua, sebenarnya gagasan atau ide mengenai pemberdayaan dan pelibatan peran warga dalam pembangunan sudah tumbuh lama, tetapi mulai menjadi wacana semenjak tumbuh kesadaran bahwa perspektif atau paradigma pertumbuhan ekonomi (economic growth) meninggalkan perrmasalahan disparitas, ketidak merataan dalam pembagian manfaat. Sebagaimana yang tercatat dalam berbagai ulasan literatur bahwa teori pembangunan yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi merupakan ciri khas teori modernisasi. Konteks yang jelas terlihat adalah penggunaan teori lima tahap perkembangan masyarakat Rostow, teori tabungan dan investasi yang beorientasi kapitalis Harold Domar dan lainnya digunakan sebagai kerangka berfikir pembangunan nasional.

Dari hal tersebut muncullah berbagai pandangan yang memberikan gagasan, ide untuk merubah kondisi yang dihasilkan oleh kelompok teori modernisasi tersebut. Gagasan-gagasan tersebut muncul dalam bentuk-bentuk pemikiran, paradigma dan teori diantaranya teori redistribution with growth , human development dan people centered development. Gagasan tersebut merupakan

jawaban atas pertimbangan ketidakadilan pada masyarakat yang terhisap sumber dayanya.

Kajian-kajian ini dapat dilihat pada pemikiran Cheney yang melihat dalam konteks penanggulangan kemiskinan ada kemungkinan untuk memperluas penggunaan sumber daya produktif. Sementara itu kajian Korten (1985) melihat bahwa kajian mengenai isu redistribusi dengan tema pertumbuhan ini lebih pada penekanan bagaimana penduduk miskin menjadi lebih produktif.

Dua aliran pemikiran yang menekankan pada pentingnya pertumbuhan ekonomi dan pentingnya pemerataan cukup lama berada dalam diskursus. Pada akhirnya Pemerintah mulai memberikan ruang pada proses pelibatan masyarakat dan organisasi lokal untuk mengambil peran dalam pembangunan. Pada awal Pelita VI pemerintah mengeluarkan program-program penanggulangan kemiskinan dengan menggunakan prinsip pemberdayaan. Program Inpres Desa Tertingal merupakan contoh dari pnrrapan program pemberdayaan tersebut.

Program pembangunan pada masyarakat sebelumnya top down atau bila meminjam istilah Ponna Wignaraja yaitu delivered development (pembangunan yang dirancang sepenuhnya dari atas untuk masyarakat) mulai mengadopsi prinsip-prinsip partispasi dan pemberdayaan. Menurut Moeljarto (1999) isu pelibatan warga dalam program sudah muncul pada program-program pembangunan, tetapi hanya menjadi tempelan dari strategi pembangunan itu sendiri. Hal ini terjadi karena masyarakat dianggap tidak mampu untuk memberdayakan dirinya. Dari hal tersebut muncullah kritik-kritik untuk mengetengahkan isu yang diangap terabaikan dalam pembangunan yaitu pengembangan lembaga/kelompok (institutional development) dan pembinaan kapasitas (capacity building).

Metode Penelitian

Penelitian ini tergolong penelitian

deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipergunakan karena lebih sesuai bila berhadapan lamgsung dengan kenyataan dilapangan. Selain itu metode kualitatif lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan penajaman pengaruh dan pola-pola nilai yang dihadapi di lapangan.

Page 81: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 304 – 323

311

Penelitian dilakukan di Desa Marindal II Kecamatan Patumbak. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas survei awal di mana Desa Marindal II mempunyai kelompok-kelompok masyarakat yang cukup aktif.

Sampel organisasi diambil secara purposif, dengan kriteria organisasi lokal, masih aktif melakukan kegiatan, tercatat dikelurahan, mempunyai struktur pengurus dan kenaggotaanya hanya pada batas desa Marindal II. Setelah dilakukan survey awal peneliti mengambil 5 organisasi lokal sebagai sampel yaitu: 1. STM Muslimin 2. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) 3. Persatuan Sepak Bola Bintang Dua Belas 4. Remaja Mesjid Syakban 5. Pengajian Mardi Luhur

Informan dalam penelitian ini adalah

lurah dan sekretaris lurah tokoh organisasi lokal, dan anggota masyarakat yang mempunyai pengetahuan tentang permasalahan yang diteliti.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: Penelitian lapangan (Field Research), yakni dengan kegiatan-kegiatan: Observasi, dengan melakukan pengamatan langsung mengenai gejala-gejala yang terjadi di lapangan yang berhubungan dengan objek penelitian. Wawancara mendalam (depth-interview), dengan mengadakan tanya jawab secara terbuka dengan key informan tentang objek permasalahan yang diteliti. Di sini, materi wawancara dipandu oleh instrumen penelitian (interview guide). enelitian Dokumen yakni melakukan penelaahan terhadap dokumen-dokumen, laporan dan data statistik yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

Data-data yang diperoleh akan disusun secara sistematis pada tiap item kelompok masyarakat sehingga akan terlihat profil masing-masing organisasi likal. Data dan informasi yang dijaring dalam penelitian ini seluruhnya adalah data kualitatif. Sehubungan dengan itu data yang sudah dikumpulkan diolah dalam bentuk mengakategorisasi, tidak ada tabulasi. Kemudian dilakukan analisis secara kualitatif dengan memusatkan pada aspek organisasi, kegiatan dan jaringan kerja

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berikut ini disajikan karakteristik Organisasi Lokal, yang meliputi: 1. STM Muslimin

STM Muslimin adalah salah satu organisasi lokal yang ada di Desa Marindal II Kecamatan Patumbak yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. STM Muslimin berdiri pada tahunsembilan puluhan melalui inisiatif beberapa tokoh warga desa Marindal II. Dari beberapa orang yang mempunyai inisiatif untuk mendirikan STM mengundang dari masyarakat dan mengadakan diskusi akan pentingnya STM di desa tersebut sampai mencapai mufakat hingga terbentuknya STM. Tokoh masyarakat yang berinisiatif melakukan pertean tersebut adalah Bapak Ramli dan Bapak Sugiran. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan Bapak Sugiran. ”STM ini (Muslimin) dulu didirikan hasil musyawarah dengan warga lain, saya (Sugiran), pak Ramli dan beberapa orang lainnya sepakat untuk membuat STM untuk kepentingan warga sini”. Kegatan-kegiatan yang dilakukan oleh STM Muslimin berkisar pada kegiatan keagamaan, seperti pengajian dan ceramah agama. Hal yang terpenting adalah mengurus warga yang kemalangan. Fungsi sosial menjadi sangat dominan dalam kegiatan STM Muslimin. Pengajian untuk anggota STM dilakukan pada setiap malam Rabu pukul 20.00 WIB dan tempat pelaksanaan secara bergilir dari rumah ke rumah. ”Biasanya pengajian dibuat di rumah warga , ganti-gantian supaya semua kena giliran dan suasananya enak” Tujuan dilakukan kegiatan organisasi adalah untuk melaksanakan ajaran syariat Islam dan sebagai salah satu alternatif pendidikan Keagamaan. Selain itu STM Muslimin berharap bahwa kegiatan yang dilakukan akan memberikan kontribusi pada pembentukan masyarakat yang berakhlak sesuai dengan ajaran Islam dan dapat mempererat tali persaudaraan sesama umat Islam di Dusun II. Keanggotaan STM Muslimin hanya terbatas pada warga Dusun II Desa Marindal II Kecamatan Patumbak.

Page 82: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Edward & Thamrin, Peranan Organisasi Lokal...

312

Keanggotaan tidak bersifat pribadi tetapi menggunakan basis Kepala Keluarga. Artinya seluruh anggota keluarga akan masuk menjadi bagian keanggotaan bila kepala keluarga ikut dalam keanggotaan STM tersebut. Perekrutan anggota melalui lisan dan tulisan, tetapi lebih dominan dengan lisan (dari mulut ke mulut). Karena berhubungan dengan kepentingan keluarga maka biasanya kepala keluarga tidak ada yang keberatan untuk menjadi anggota STM. Sumber dana organisasi masih sebatas pada pengumpulan uang pangkal bagi anggota baru dan iuran bulanan bagi anggota lama. STM Muslimin tidak mempunyai unit usaha lain yang dapat mengahasilkan sumber keuangan bagi organisasi. Dana tambahan didapat dari donasi amal warga yang mempunyai rezeki lebih. ”Dana kas cuma dari uang iuran saja dan kalau ada yang baru masuk pakai uang pangkal, semuanya dikumpul sama bendahara” Mengenai pertanggungjawaban keuangan kelompok, key informan menyatakan selalu dipaparkan dalam pertemuan setiap minggunya supaya anggota juga mengetahui berapa jumlah dana yang ada dan digunakan untuk apa saja. ”Tiap minggu uang kas pasti diumumkan waktu pengajian, supaya jelas dan anggota boleh tanya digunakan untuk apa saja” Dari hal tersebut terlihat bahwa kelompok STM Muslimin telah mempraktikkan tranparansi keuangan dalam kelompok, sehingga anggota menjadi lebih percaya dan yakin bahwa uang kas kelompok digunakan untuk kemajuan dan kesejahteraan anggotanya. Struktur organisasi yang digunakan oleh STM Muslimin yaitu Pelindung, Pembina, Penasehat, Ketua ,Sekretaris, Humas Bendahara, Anggota. Struktur tersebut tidak dilengkapi dengan seksi-seksi kegiatan lain. Hal ini disebabkan STM Muslimin paham bahwa lingkup kegiatannya hanya pada tataran dusun dan desa dan tidak mempunyai anggota serta kegiatan yang kompleks. STM Muslimin biasanya melakukan kerjasama dengan organisasi lokal lainnya (STM, Pengajian, Badan Kenaziran) yang

ada di Desa Marindal II. Kerja sama yang dilakukan adalah mengadakan pengajian yang bersifat lebih besar (Pengajian Akbar), mengumpulkan bantuan-bantuan untuk kemalangan, pelaksanaan hari besar Islam dan lain sebagainya. Sinergi yang dilakukan dilakukan dalam bentuk yang sederhana seperti mengumpulkan dana bersama, peralatan, kepanitiaan bersama. STM Muslimin merasa sinergi yang dilakukan sudah berhasil dan perlu dilanjutkan terus pada masa-masa selanjutnya. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa ada faktor yang dapat memperlancar kegiatan dan keutuhan kelompok diantaranya: 1. Adanya rasa tanggung jawab bersama. 2. Adanya rasa gotong royong. 3. Adanya rasa kekeluargaan antar

organisasi

Kelompok STM Muslimin pernah memberi kontribusi bantuan informasi tentang kasus tanah dengan memberikan data dan keterangan kepada aparat desa, kecamatan dan kabupaten Deli Serdang berkaitan dengan sejarah dan bukti-bukti kepemilikan tanah masyarakat yang pernah diambil tanpa ganti rugi oleh PTPN II dizaman Soeharto. Selanjutnya STM Muslimin juga pernah melakukan kontrol sosial dengan memberikan data dan keterangan berkaitan dengan keterlibatan kepala desa dalam menjual tanah wakaf desa. Selanjutnya fungsi sosial juga dilakukan kelompok STM Muslimin dengan menjadi penengah dalam urusan mendamaikan bila ada warga yang berselisih terutama sesama anggota STM atau Membantu menjembatani mayarakat dengan aparat desa dan aparat kemanan berkaitan dengan soal tanah PTPN II dan tanah wakaf di desa Marindal II. Pada tahun 1999-2003 kelompok STM Muslimin bersama masyarakat lainnya ikut berjuang mengambil hak atas tanah yang diambil PTPN II dan Tahun 2004 bersama masyarakat lainnya melengserkan kepala desa yang terlibat dalam penjualan tanah wakaf desa. Proses pengorganisasian masyarakat yang dilakukan pada kelompok menghasilkan

Page 83: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 304 – 323

313

manfaat yang cukup membantu anggota-anggotanya. Diantaranya adalah: 1. Mengurangi beban ketika ada

kemalangan dan pesta dengan tersedianya peralatan seperti: kursi, tenda, soundsystem.

2. Membentuk insan yang berjiwa sosial. 3. Meningkatkan rasa kegotong royongan

jika tidak dipertahankan akan hilang. 4. Membantu pemerintah dalam

pelaksanaan program desa. 5. Mitra pemerintah

Di samping itu juga dilakukan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu organisasi lokal yang ada di Desa Marindal II Kecamatan Patumbak yang bergerak di bidang pendidikan. PAUD tergolong masih muda karena baru berdiri pada tangal 3 April 2006 atas prakarsa Ibu Siti Rahmah. PAUD pada dasarnya terbentuk karena adanya himbauan dari pemerintah mengenai anak-anak usia dini yang tak terjangkau mengecap pendidikan TK yang formal . ”Mula-mula kami diberikan surat berbentuk memerintahkan agar kami dapat mendirikan PAUD di desa Marindal II ini. Dengan adanya surat perintah itu kami mengadakan musyawarah bagaimana kita dapat mendatangkan anak-anak usia 1 – 6 tahun. Dengan izin Allah SWT kami dari ibu-ibu dapat mengumpulkan anak-anak sebanyak 60 anak.” Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh PAUD adalah pendidikan non formal bagi anak-anak usia dini. Pendidikan ini dijalankan untuk memberikan rangsangan bai anak-anak agar senang belajar dan bersekolah. Selain itu progran PAUD juga untuk membantu masyarakat yang kurang mampu, yang tidak dapat menyekolahkan anaknya (terutama TK). PAUD menjadi alternatif pendidikan bagi anak-anak di lingkungan Desa Marendal II. Kegiatan belajar dan bermain dengan anak-anak asuh dilakukan di emperan rumah dan lapangan. Ruang kelas untuk belajar belum ada, sehingga PAUD menggunakan sumber-sumber yang ada disekitar desa saja. Kegiatan belajar dilakukan sambil bermain, bernyanyi mulai dari pukul 08.00-10.30 WIB setiap hari Senin sampai dengan Jumat tiap

minggunya. Dalam wawancara Informan kunci Siti Rahmah menjelaskan. ”Anak-nak belajar di manasaja, bisa di emperan rumah, lapangan, pokonya di manasaja yang dapt digunakan. Belajarnya sambil main-main dan nyanyi supaya anak-anak senang” Tujuan dilakukan kegiatan kelompok adalah untuk membantu pemerintah menggalakkan pendidikan pada usia dini dan menggerakkan potensi masyarakat dalam membangun sumber daya manusia. Kelompok ini digerakkan oleh ibu-ibu PKK yang ada di Desa Marindal II. Struktur organisasi yang digunakan oleh PAUD yaitu, Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Tenaga Pengajar. Struktur tersebut tidak dilengkapi dengan seksi-seksi kegiatan lain. Hal ini disebabkan PAUD merupakan organisasi yang bergerak dibidang pendidikan dengan ruang lingkup kerja di hanya di desa Marindal II. Untuk menarik peserta didik dilakukan dengan cara menyebarkan brosur dan memberikan informasi pada perwiritan yang ada. Penyampaian informasi organisasi pada perwiritan ibu-ibu merupak hal yang efektif, karena informasi akan langsung diterima oleh ibu-ibu yang mempunyai anak-anak usia dini. Selain itu informasi mengenai PAUD juga disebarkan pada saat Posyandu digelar. Hal inisangatlah wajar karena kader-kader Posyandu merupakan anggota-anggota PKK di Desa Marindal II yang juga merupakan penggerak PAUD. Sampai saat ini PAUD masih mengandalkan sumbangan dari orang tua peserta didik . Sumbangan tersebut tidak pernah ditentukan jumlahnya. Pada awalnya PAUD meminjam dana untuk pendirian pada Kas Desa dan sampai saat ini pinjaman tersebut belum dapat dikembalikan. ”Sumber pemasukan hanya dari sumbangan sukarela dari orang tua atau dari warga. Kami tidak pernah menentukan besarnya, namanya saja kegiatan sosial.” Mengenai pertanggungjawaban keuangan kelompok, key informan menyatakan belum pernah dilakukan karena PAUD masih baru terbentuk, lagi pula kas kelompok tidak banyak dan masih berhutang.

Page 84: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Edward & Thamrin, Peranan Organisasi Lokal...

314

”Kelompok belum pernah buat pertanggungjawaban keuangan, wong kita saja masih ngutang dan baru saja terbentuk.” PAUD saat ini baru bekerja sama dengan pemerintah Desa saja, jaringan sosial yang lain adalah dengan pengajian-ibu. Jaringan kelompok ini masih sangat minim karena baru terbentuk. Selanjutnya PAUD akan merencanakan bekerjasama dengan organisasi pendidikan lain untuk kemajuan anak asuh. Faktor kesabaran ibu-ibu pengelola PAUD dan pengajar menjadi faktor yang dianggap dapat mempertahankan kelangsungan hidup PAUD. Apalagi setelah 3 bulan melakukan kegiatan pendidikan perkembangan anak asuh memperlihatkan perkembangan yang menjanjikan. Sementara faktor penghambat utama adalah dana dan fasilitas pendidikan yang sangat minim sekali. Keterbatasan sumber dana dan fasilitas ini masih diusahakan untuk dipecahkan. Proses pendidkan yang dilakukan oleh PAUD menghasilkan manfaat yang cukup membantu masyarakat kurang mampu untuk dapat menyekolahkan anaknya. Juga ada Persatuan Sepak Bola Bintang Dua Belas. Persatuan Sepak Bola Bintang Dua Belas adalah merupakan salah satu organisasi lokal yang ada di Desa Marindal II Kecamatan Patumbak yang bergerak di bidang kepemudaan dan olahraga. Persatuan Sepak Bola Bintang Dua Belas berdiri sejak tahun 1990 melalui pertemuan yang dibuat oleh pemuda-pemuda setempat. Prakarsa pendirian Persatuan Sepak Bola Bintang Dua Belas diprakarsai oleh Bapak Husein dan Bapak Sunardi. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan Bapak Husein. ”Berawal dari berkumpulnya para pemuda yang ada di Pasar 12, dari obrol-obrolan biasa hingga serius untuk mendirikan suatu klub sepakbola yang ada di desa Marindal II.” Kegatan-kegiatan yang dilakukan oleh Persatuan Sepak Bola Bintang Dua Belas berkisar pada kegiatan pembinaan kepemudaan dan olahraga. Anggota klub Persatuan Sepak Bola Bintang Dua Belas adalah pemuda-pemuda yang menyenangi

olahraga sepak bola. Cara Persatuan Sepak Bola Bintang Dua Belas merekrut pemuda-pemuda untuk menjadi anggota klub adalah dengan melakukan kegiatan pertandingan-pertandingan serta latihan di lapangan sepak bola. Latihan rutin dilakukan 3 kali seminggu di lapangan sepak bola Marindal II pada hari Senin, Jumat dan Sabtu setiap pukul 15.00-17.30 WIB. Kegiatan latihan biasanya diisi dengan mengasah teknik permainan sepak bola dan latihan fisik untuk meninggkatkan stamina. Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan alternatif kegiatan yang positif bagi pemuda di Desa Marindal II. Keterangan yang diberikan Bapak Husein: ”Latihan bolanya tiap hari Senin, Jumat dan Sabtu di lapangan Marindal II jam tiga siang sampai jam setengah enam ” Tujuan dilakukan kegiatan olahraga sepak bola adalah untuk mempersatukan pemuda-pemuda dari selurun dusun yang ada di Desa Marindal II. Olahraga juga akan memberikan pelajaran sportivitas dan mencegah perselisihan yang terjadi antara sesama pemuda di Desa Marindal II. Keanggotaan Persatuan Sepak Bola Bintang Dua Belas hanya terbatas untuk pemuda warga Desa Marindal II. Sumber dana Persatuan Sepak Bola Bintang Dua Belas masih sebatas pada pengumpulan uang pangkal bagi anggota baru dan iuran bulanan bagi anggota lama. Sumber keuangan yang lain adalah sumbangan dari pemerintah desa dan donatur dari warga yang bersimpati pada kegiatan kepemudaan. Keuangan dicatat oleh bendahara dan dilaporkan tiap 3 bulan sekali sebagai bentuk pertanggung-jawaban. ”Kegiatan kami lakukan pakai dana tek-tekan (urunan) dari iuran dan uang pangkal. Kalau ada pertandingan cari donatur dari desa” Struktur organisasi yang digunakan oleh Persatuan Sepak Bola Bintang Dua Belas adalah Ketua Umum, Ketua Harian, Sekretaris, Bendahara, Humas, Seksi Pengembangan Bakat dan Seksi Lapangan. Struktur tersebut tidak dilengkapi dengan seksi-seksi kegiatan lain. Hal ini disebabkan STM Muslimin paham bahwa lingkup kegiatannya hanya pada tataran

Page 85: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 304 – 323

315

dusun dan desa dan tidan mempunyai angota serta kegiatan yang kompleks. Persatuan Sepak Bola Bintang Dua Belas biasanya melakukan kerjasama dengan organisasi lokal lainnya yang sejalan (olahraga) dari luar desa., biasanya untuk latihan bersama dan latih tanding. Selain itu hubungan baik juga dilakukan pada pemerintah desa. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa ada faktor yang dapat memperlancar kegiatan dan keutuhan kelompok diantaranya: 1. Kegigihan dan kesabaran pengurus 2. Kerjasama tim 3. Adanya dukungan dari masyarakat dan

pemerintah desa

Kelompok STM Muslimin memberi kontribusi bantuan informasi tentang kondisi kepemudaan yang ada di Desa Marindal II pada aparan desa dan menjalankan fungsi kontrol pada anggota-anggotanya agar tidak terlibat kegiatan yang negatif. Selanjutnya fungsi sosial juga dilakukan kelompok Persatuan Sepak Bola Bintang Dua Belas dengan menjadi penengah dalam urusan bila ada pemuda yang berselisih. Secara garis besar pengurus Persatuan Sepak Bola Bintang Dua Belas merasa telah memberikan manfaat bagi pembangunan desa pada: 1. Peningkatan bakat/ketrampilan bagi

anak-anak/remaja yang ada di desa Marindal II.

2. Membantu pemerintahan desa untuk mengurangi tingkat kenakalan anak-anak, remaja dan pemuda.

2. Remaja Mesjid Syakban

Remaja Mesjid Syakban merupakan salah satu organisasi lokal yang ada di Desa Marindal II Kecamatan yang berdiri secara pada tahun 1986 melalui musyawarah tiga pengajian remaja/pemuda yang ada di desa Marindal II. Prakarsa pembentukan Remaja Mesjid Syakban ini dilakukan oleh Lilik Sumono. Pembentukan Remaja Mesjid Syakban dilakukan dilatar belakangi oleh kekhawatiran terpecahnya kaum muda Islam karena berbeda pandangan (Muhammadiyah, Alwasliyah). Hal tersebut diungkapkan oleh Sumiran

salah satu pengurus Remaja Mesjid Syakban. ”Kuatir meruncingnya perbedaan dalam ajaran Islam (Muhammadiyah, Alwasliyah) maka diadakanlah pertemuan untuk menyatukan para remaja pengajian ke dalam satu kelompok maka lahirlah Remaja Mesjid Syakban.” Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Remaja Mesjid Syakban berkisar pada kegiatan keagaman dan kegiatan kepemudaan seperti pengajian, ceramah agama (majelis takhlim), olahraga, pemberantasan buta aksara Al-Quran dan lain-lain. Pengajian dilakukan setiap malam kamis di Mesjid yang ada di Desa Marindal II. Kegiatan Pemberantasan buta aksara Al-Quran dilakukan pada setiap hari Rabu pukul 20.00 WIB, sedangkan kegiatan olahraga bola voli dilakukan setiap hari Kamis dan Sabtu sore. ”Kegiatan kami termasuk padat, pengajian malam kamis, main voli tiap Kamis sama Sabtu dan belajar Al-uran untuk yang belum bisa baca Quran tiap malam Kamis jam delapan malam”” Tujuan dilakukan kegiatan organisasi adalah untuk melaksanakan ajaran syariat Islam dan mempersatukan pandangan pemuda-pemuda dari berbagai ajaran Islam. Selain itu kegiatan Remaja Mesjid Syakban juga diharapkan untu mencegah kegiatan negatif yang dilakukan remaja/pemuda dilingkungan Desa Marindal II. Remaja Mesjid Syakban berharap bahwa kegiatan yang dilakukan akan memberikan kontribusi pada pembentukan remaja/pemuda Islam yang berakhlak sesuai dengan ajaran Islam dan dapat mempererat tali persaudaraan sesama umat Islam di Dusun II. Keanggotaan Remaja Mesjid Syakban hanya terbatas pada Desa Marindal II Kecamatan Patumbak. Perekrutan anggota melalui lisan (dari mulut ke mulut). Sumber dana organisasi masih sebatas pada pengumpulan uang iuran bulanan yang telah ditetapkan yaitu Rp. 1.000,- setiap bulannya. Sumber dana yang lain adalah dari sumbangan orang tua atau donatur. Remaja Mesjid Syakban tidak mempunyai unit usaha lain yang dapat memberikan kontribusi keuangan. ”Uang kas didapat dari iuran anggota tambahannya ya.. dari donatur. Maunya

Page 86: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Edward & Thamrin, Peranan Organisasi Lokal...

316

memang ada unit usaha yang bisa jadi sumber pemasukan tetapi sampai sekarang tidak ada” Mengenai pertanggungjawaban keuangan organisasi, Sumiran menyatakan selalu dilaporkan bila terjadi pergantian kepengurusan, kecuali ada pertanyaan dari anggota maka bendahara akan menjelaskannya dalam pertemuan pengajian. Struktur organisasi yang digunakan oleh Remaja Mesjid Syakban adalah Ketua, Sekretaris, Bendahara, Seksi Pemberantasan buta aksara Al-Quran, Seksi Seni-Budaya dan Seksi Humas. Remaja Mesjid Syakban biasanya melakukan kerjasama dengan organisasi lokal lainnya (STM, Pengajian, Badan Kenaziran) yang ada di Desa Marindal II serta pemerintahan desa. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa ada faktor yang dapat memperlancar kegiatan dan keutuhan kelompok diantaranya: 1. Kerja sama sesama pengurus. 2. Kepercayaan Masyarakat. 3. Dukungan dari orang tua dan

pemerintah desa

Fungsi sosial dilakukan Remaja Mesjid Syakban pada kasus pemberantasan judi dan minuman keras. Remaja Mesjid Syakban membantu meredam kemarahan masyarakat dan bersama aparat desa menemui pemilik warung minuman untu menutup warungnya. “Kami pernah bersama aparat desa menemui pemilik warung minuman untuk menutup warungnya dengan cara baik-baik. Masyarakat sudah resah karena minuman dan judi bebas seenaknya” Proses pengorganisasian yang dilakukan pada kelompok menghasilkan manfaat yang cukup membantu anggota-anggotanya. Diantaranya adalah: 1. Mengurangi tingkat kenakalan remaja

di desa Marindal II. 2. Membantu program desa seperti

gotong royong, pembagian beras miskin.

3. Meningkatkan kesadaran beragama dan mengurangi perbedaan ajaran yang dijalankan.

3. Perwiritan Mardi Luhur Perwiritan Mardi Luhur adalah merupakan salah satu organisasi lokal yang ada di Desa Marindal II Kecamatan Patumbak yang bergerak di bidang keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Perwiritan Mardi Luhur berdiri sekitar tahun delapan puhunan melalui musyawarah masyarakat setempat. Tokoh masyarakat yang memprakarsai terbentuknya Perwiritan Mardi Luhur adalah Bapak Ngatino dan Bapak Samana. Keterangan dari key informan Bapak Ridho mengatakan: ” Mula-mulanya berkumpulah para bapak-bapak yang ada dipasar XII dengan para ustad-ustad yang ada untuk membicarakan masalah perwiritan hingga mencapai suatu mufakat untuk membentuknya” Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Perwiritan Mardi Luhur berkisar pada kegiatan keagaman seperti wirit yasin dan pengajian. Perwiritan dilakukan pada setiap hari Kamis setelah shalat Isya dan tempat pelaksanaan secara bergilir dari rumah ke rumah. ”Wirit Yasin setiap malam jumat habis shalat Isya, bergiliran dari rumah ke rumah.” Kegiatan pengajian dilakukan pada hari Jumat jam 21.30 -23.00 WIB setian akhir bulan dengan mendengarkan seramah agama dari ustad yang diundang. Tujuan dilakukan kegiatan organisasi adalah untuk melaksanakan ajaran syariat Islam dan mempererat hubungan persaudaraan di masyarakat. . Keanggotaan Perwiritan Mardi Luhur hanya terbatas pada warga pasar XII Desa Marindal II Kecamatan Patumbak. Perekrutan anggota tidak dilakukan dengan intensif, karena warga akan masuk menjadi anggota dengan kesadaran sendiri. Hal ini berhubungan dengan sanksi sosial yang akan didapatkan bila tidak masuk menjadi anggota perwiritan. Sumber dana organisasi masih sebatas pada pengumpulan uang pangkal bagi anggota baru sebesar Rp. 50.000 dan iuran bulanan Rp. 4.000 bagi anggota lama. Untuk kegiatan perwiritan setiap minggu, biaya ditanggung oleh yang mendapatkan giliran di rumahnya. Pertanggungjawaban keuangan dilakukan dengan cara mengumumkan jumlah kas dan

Page 87: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 304 – 323

317

penggunaannya pada saat setelah wirit selesai. Dari hal tersebut terlihat bahwa kelompok STM Muslimin telah mempraktikkan tranparansi keuangan dalam kelompok, sehingga anggota menjadi lebih percaya dan yakin bahwa uang kas kelompok digunakan untuk kemajuan dan kesejahteraan anggotanya. Struktur organisasi yang Perwiritan Mardi Luhur yaitu Ketua, Bendahara, Sekretaris, dan ditambah beberapa pamong (pemantau). Perwiritan Mardi Luhur biasanya melakukan kerjasama dengan organisasi lokal lainnya (STM, Pengajian, Badan Kenaziran) yang ada di Desa Marindal II. Kerja sama yang dilakukan adalah mengadakan pengajian yang bersifat lebih besar (Pengajian Akbar), pelaksanaan hari besar Islam dan lain sebagainya. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa ada faktor yang dapat memperlancar kegiatan dan keutuhan kelompok adalah adanya rasa tanggung jawabbersama.dan budaya gotong royong. Kelompok Perwiridan Mardi Luhur pernah memberi kontribusi bantuan informasi tentang kasus tanah wakaf dan memberikan saran mengenai pembangunan yang ada di Desa Marindal II. Selanjutnya fungsi sosial juga dilakukan kelompok Perwiritan Mardi Luhur dengan menjadi media interaksi sosial dan menjaga kerukunan di masyarakat. Secara langsung Perwiritan Mardi Luhur telah menjadi mitra pemerintah dalam menjaga kerukunan dan sosialisasi pembangunan.

Dari hasil penelitian diketahui, bahwa

organisasi lokal di daerah mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1. Bentuk Organisasi Lokal Bentuk organisasi lokal yang ditemukan dalam penelitian ini bervariasi dari Perwiritan, Pengajian, STM, Remaja Mesjid/Gereja, Kedaerahan, dan Olahraga. Tercatat sebanyak 30 organisasi lokal yang ada di lokasi penelitian (lihat Tabel 4.11). Adapun cara pembentukan organisasi ada dua, yaitu pertama, berdiri secara alamiah berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, seperti perkumpulan

pengajian, STM, dan olah raga. Organisasi ini cenderung adaptif dengan kemampuan lokal, dengan mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya lokal, tradisi dan kebiasaan, serta sumber daya lokal. Kedua, perkumpulan yang pembentukannya diprakarsai oleh pemerintah. Organisasi ini merupakan kepanjangan tangan program pemerintah pada masyarakat, seperti PKK, Posyandu dan sebagainya.

2. Keanggotaan Organisasi Lokal

Keanggotaan organisasi lokal didasari pada ketentuan lingkup daerah yaitu desa atau dusun dan sesuai dengan unsur-unsur pembentuk organisasi lokal tersebut. Misalnya saja persyaratan menjadi anggota STM harus beragama Islam, menjadi anggota kelompok olahraga sepak bola harus berjenis kelamin laki-laki dan sebagainya. Tentunya persyaratan menjadi anggota kelompok ada di atur dalam organisasi tersebut, hanya saja apakah peraturan itu tertulis atau tidak tergantung dari kemampuan Administrasi organisasinya. Dalam penelitian ini hanya satu organisasi lokal yang mempunyai peraturan tertulis yang tercantum dalam AD/ART. Menjadi anggota sebuah perkumpulan tidak sulit, biasanya melalui informasi dari keluarga, teman atau orang lain. Cara menjadi anggota biasanya langsung bergabung saja, ada yang mendaftar secara lisan dan ada pula yang harus mendaftarkan diri secara tertulis melalui formulir yang disediakan. Hak dan kewajiban anggota biasanya sudah dirumuskan dalam suatu organisasi dalam bentuk kesepakatan lisan maupun tertulis. Kesepakatan tertulis ini biasanya diwujudkan dalam bentuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Hak dan kewajiban anggota diantara perkumpulan memiliki banyak persamaan antara lain hak untuk memperoleh pendidikan, mengikuti pengajian, memperoleh bantuan sosial dan mengikuti setiap kegiatan perkumpulan. Sedangkan kewajiban anggota antara lain menghadiri pertemuan rutin, iuran wajib, iuran sukarela, dan keharusan mengikuti kegiatan perkumpulan secara aktif.

Page 88: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Edward & Thamrin, Peranan Organisasi Lokal...

318

3. Jangkauan Wilayah Organisasi Lokal Kegiatan organisasi pada tingkat dusun/kampung dan desa/kelurahan. Hal ini sesuai dengan karakteristik dari organisasi, yang awal pendiriannya didasarkan pada tujuan memberikan palayanan sosial dengan prinsip dari, untuk dan oleh masyarakat lokal.

4. Sumber dana Organisasi Lokal

Aktivitas organisasi lokal tentunya harus didukung oleh dana untuk melakukan kegiatan-kegiatanya. Seluruh organisasi lokal menggunakan cara yang hampir bersamaan di antaranya: 1. Iuran anggota

Pada umumnya, anggota organisasi lokal menyumbangkan dana ke kas perkumpulan yang besarnya berkisar Rp. 1000 – Rp 2500 per bulan. Dana ini ditangani oleh seseorang, dan dilaporkan menurut kebiasaan dalam organisasi. Sumber dari iuran anggota ini, merupakan dana utama pada semua organisasi lokal, yang dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan rutin organisasi. Hal ini menggambarkan, bahwa organisasi lokal telah mampu secara swadaya membiayai program dan kegiatannya, tanpa harus bergantung pada pihak luar.

2. Sumbangan masyarakat Secara insidental, organisasi lokal menerima bantuan dana dari masyarakat, baik diminta maupun tidak. Dana dari sumbangan masyarakat tersebut untuk membiayai program dan kegiatan yang sifatnya insidental, seperti peringatan hari besar nasional maupun hari besar keagamaan. Untuk mendapatkan dana tersebut, pengurus mengajukan proposal kepada masyarakat dengan menyebutkan kegiatan yang akan dilaksakan dan jumlah dana yang diperlukan.

3. Subsidi pemerintah Sebagian kecil organisasi lokal menerima bantuan dana dari subsidi pemerintah. Perkumpulan yang menerima subsidi pemerintah ini.

Pada organisasi lokal yang menjadi objek penelitian terlihat bahwa tidak ada satu pun yang mempunyai unit usah/bisnis

yang dapat membantu kegiatan organisasi. Dengan demikian perlu dibangun kesadaran berwira usaha bagi organisasi-organisasi lokal, agar sumber dana yang dipunyai bertambah.

5. Kegiatan

Kegiatan yang dilakukan organisasi lokal dicermati untuk melihat bidang-bidang apa sajakan yang berkaitan dengan aktivitas kesejahteraan sosial. Adapun kegiatan yang dapat diserap dari hasil penelitian ini adalah: Kegiatan dalam upaya memperkuat lembaga adat/kebudayaan, yang meliputi: mengurus tata cara pernikahan sesuai adat, pelaksanaan kegiatan sunatan, mengurus upacara kematian sesuai adat dan pelestarian kebudayaan. Jenis-jenis kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi lokal tersebut di atas menggambarkan, bahwa kegiatan organisasi lokal telah menjangkau permasalahan yang terjadi di dalam siklus kehidupan manusia dalam lingkup kebudayaan lokal. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk memberikan bantuan ekonomis bagi anggota atau warga organisasi, di samping bertujuan untuk memelihara nilai sosial budaya sebagai potensi lokal. Kegiatan pelestarian kebudayaan, perlu memperoleh apresiasi karena ketahanan sosial suatu masyarakat dapat diwujudkan melalui pemeliharaan kebudayaan ini. Pengembangan kegiatan olah raga seperti jenis olah raga: sepak bola, voli, dan lain-lain. Kesenian dan olah raga perlu dipahami sebagai bagian dari kebudayaan bangsa. Oleh karena itu, komitmen terhadap pembangunan masyarakat tidak dapat mengabaikan kesenian dan olah raga yang dikembangkan oleh masyarakat lokal. Kegiatan keagamaan, seperti STM, pengajian/yasinan, peringatan Hari Besar Agama, pemberantasan buta Al Qur’an dan pengurusan kematian/jenazah. Kegiatan keagamaan terkait dengan persoalan mental atau moral. Dari sejumlah kegiatan yang dilakukan oleh organisasi di bidang keagamaan tersebut, menunjukkan bahwa aspek moral menjadi perhatian sebagian besar organisasi lokal. Dewasa ini masyarakat berada di tengah

Page 89: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 304 – 323

319

arus kehidupan materialisme dan sekuler bersamaan dengan gelombang globalisasi. Meskipun demikian, ternyata pada masyarakat akar rumput persoalan moral masih menjadi perhatian yang sangat besar. Organisasi lokal tersebut memiliki kegiatan keagamaan yang menjangkau berbagai kebutuhan masyarakat, baik sebagai individu maupun kolektivitas. Hal ini menggambarkan, bahwa pada masyarakat akar rumput masih ada filter terhadap gelombang globalisasi dalam bentuk pembinaan keagamaan. Kegiatan Usaha Kesejahteraan Sosial yang dilakukan seperti pendidikan alternatif bagi anak yang kurang mampu dan pengumpulan dana untuk kegiatan sosial Informasi kegiatan organisasi di bidang usaha kesejahteraan sosial (UKS) tersebut di atas merupakan informasi yang menggambarkan, bahwa kegiatan UKS menjadi perhatian masyarakat akar rumput. Dari jenis sasaran pelayanan sosial tersebut, pada umumnya organisasi lokal menjangkau penyandang masalah konvensional. Jenis-jenis penyandang masalah kesejahteraan sosial tersebut, yaitu (1) anak terlantar dan yatim piatu, (2) lanjut usia, (3) keluarga miskin, dan (4) penyandang cacat. Sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, dasar dari pemberian pelayanan sosial tersebut masih terbatas pada rasa belas kasihan (motif karitas) dan keagamaan (motif pilantropis). Meskipun demikian, apa yang telah dilakukan oleh organisasi lokal tersebut perlu mendapatkan apresiasi dari pemerintah, karena mereka telah memberikan sumbangan yang nyata dan bermakna dalam pembangunan masyarakat lokal.

6. Sistem Jaringan Kerja

Organisasi lokal pada umumnya terbuka dalam mengembangkan kerjasama dengan organisasi lokal lainnya maupun dengan pemerintah. Jaringan kerja dengan organisasi lokal lain dan pemerintah daerah setempat pada umumnya telah terjalin dengan baik. Namun demikian di organisasi lokal juga memberikan kontrol pada kegiatan pem,erintah, contohnya pada kasus penjualan tanah wakaf yang ada di Desa Marindal II. Organisasi lokal seperti STM dan Pengajian ikut berperan dalam penyelesaian masalah.

Jaringan kerja yang dikembangkan oleh organisasi lokal, pada masyarakat akar rumput terdapat nilai-nilai solidaritas yang tumbuh dan berkembang secara dinamis. Nilai solidaritas tersebut dapat dibedakan, pertama, solidaritas berdasakan kekeluargaan dan kelembagaan masyarakat. Nilai solidaritas ini terlembaga dalam perkumpulan keluarga atau silsilah, ikatan keluarga, kerukunan dan marga. Bentuk kegiatan yang dilaksanakan seperti gotong royong dalam perhelatan, kesenian tradisional, dakwah dan simpan pijam. Kedua, solidaritas kelompok swadaya masyarakat. Nilai solidaritas ini terlembaga pada perkumpulan keagamaan (majelis ta’lim), kelompok arisan ibu-ibu dan jimpitan. Keempat, solidaritas berdasarkan lembaga sosial yang ada di masyarakat. Nilai-nilai solidaritas ini terlembaga dalam lembaga desa (termasuk RT/RW, dusun, kampung), dewan kelurahan dan koperasi desa.

7. Peranan Organisasi Lokal

Berbagai peranan telah dilaksanakan oleh organisasi pada kehidupan masyarakat yaitu: 1. Informasi

Organisasi lokal menyajikan dan menyampaikan informasi mengenai sejumlah permasalahan yang ada di masyarakat, kebijakan pemerintah, program pembangunan dan lain sebagainya. Informasi ini disampaikan tidak secara formal, biasanya melalui pertemuan rutin organiasi.

2. Mediasi Kadangkala terjadi ketidak sesuaian antara kebijakan pemerintah lokal dengan pemahaman masyarakat terhadap kebijakan tersebut. Adanya kesenjangan ini akan menyebabkan “terjadinya konflik” antara kepentingan pemerintah lokal dengan kebutuhan masyarakat. Pada batas-batas tertentu, masyarakat tidak akan mendukung kegiatan pembangunan yang berasal dari pemeritah. Hal situasi ini, organisasi menjadi penghubung antara kebutuhan masyarakat dengan kepentingan pemerintah lokal.

Page 90: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Edward & Thamrin, Peranan Organisasi Lokal...

320

3. Advokasi Organisasi mewakili kepentingan masyarakat untuk memperoleh hak-haknya dari pihak-pihak tertentu. Ketika ada pihak lain yang menawarkan program kepada masyarakat, namun program tersebut akan merugikan kepentingan masyarkat, maka organisasi lokal atas nama masyarakat lokal akan melakukan upaya pembelaannya. Seperti misalnya dalam penjualan tanah wakaf oleh pemerintah desa.

4. Pemberdayaan Organisasi lokal melaksanakan peningkatan kemampuan dan keterampilan bagi masyarakat. Dengan adanya upaya pemberdayaan oleh organisasi lokal, maka masyarakat secara swadaya dapat meningkatkan sumber daya yang dimilikinya.

Berdasarkan berbagai peranan tersebut, manfaat organisasi lokal bagi anggota meliputi manfaat ekonomi, yakni organisasi lokal didirikan dalam upaya bantuan sosial atau materi bagi anggota/masyarakat. Dalam kerangka ini, organisasi lokal berupaya untuk meminimalisir kekurangan yang terjadi pada anggota/masyarakat. Dengan demikian, ada peranan dan kontribusi organisasi lokal terhadap pembangunan, khususnya dalam peningkatan kemakmuran masyarakat lokal.

Juga ada manfaat mental spiritual, yakni dengan adanya kapasitas mental-spiritual ini, maka pembangunan masyarakat dapat dilaksanakan dengan percaya diri dan jiwa keswadayaan. Adanya kesadaran kolektif bahwa melaksanakan pembangunan itu sebagai investasi jangka panjang bagi generasi penerus. Dengan adanya kesadaran kolektif ini, maka muncul dorongan kolektif untuk melaksakan pembangunan tanpa menunggu input-input dari pemerintah. Untuk itu, dilaksanakan program dan kegiatan yang antara lain STM, pengajian (majelis ta’lim) dan bimbingan kerohanian.

Selanjutnya adalah manfaat sosial budaya. Ketahanan sosial masyarakat dapat dicermati antara lain dari pola interaksi sosial yang dikembangkan antar warga masyarakat. Pola interaksi ini selanjutnya akan menggambarkan kualitas interaksi antar warga masyarakat tersebut. Keberadaan organisasi akan melaksanakan fungsi mediasi dan

informasi bagi masyarakat dalam pengembangan pola interaksi dalam masyarakat multi kultur tersebut. Dengan demikian, perbedaan persepsi masyarakat dapat diminimalisir sehingga tidak sampai terjadi konflik sosial.

Organisasi yang tumbuh dan dibentuk oleh masyarakat lokal pada kenyataannya memiliki kontribusi bagi pembangunan desa/kelurahan di wilayahnya., yaitu: menyediakan informasi permasalahan dan kebutuhan masyarakat, membantu pemerintah dalam sosialisasi pembangunan desa, sebagai mitra pemerintah, peningkatan keterampilan masyarakat, dan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat.

Informasi mengenai kontribusi organisasi lokal terhadap pembangunan desa tersebut menunjukkan, bahwa keberadaan organisasi memiliki manfaat yang menjangkau di luar anggotanya.

Dari sudut pandangan pekerjaan sosial dapat dilihat bahwa organisasi lokal telah menjalankan kegiatan yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial. Hal ini disebabkan organisasi lokal telah menjalankan beberapa tugas praktik pekerjaan sosial walaupun dalam tataran yang tidak sistematis dan professional. Organisasi lokal secara sadar atau tidak sadar telah memberikan pelayanan bagi anggota-anggotanya.

Dari beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh organisasi lokal dapat dilihat bahwa ada kesesuaian/kesamaan dengan tugas praktik pekerjaan sosial diantaranya: 1. Organisasi loka mengadakan hubungan

dengan orang-orang yang membutuhkan bantuan guna penyelesaian tugas-tugas kehidupannya.

2. Organisasi lokal dapat memberikan pengertian, dukungan dan dorongan kepada orang-orang yang mengalami krisis, misalnya seseorang bagi keluarga yang barumendapat kemalangan atau tercekam oleh perasaan kesedihan dan ketidak mampuan untuk merencanakan masa depannya.

3. Organisasi lokal dapat memberikan kesempatan kepada orang untuk mengutarakan kesulitan-kesulian mereka dan berusaha memberikan bantuan susuai dengan sumber yang dimiliki.

4. Organisasi lokal dapat membantu anggotanya untuk memahami berbagai pilihan tentang cara-cara menanggulangi

Page 91: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 304 – 323

321

masalah serta memberikan keterangan-keterangan mengenai pilihan-pilihan itu untuk membantunya mengambil keputusan-keputusan.

5. Organisasi lokal dapat mengajarkan keterampilan-keterampilan kepada orang untuk mewujudkan aspirasi-aspirasi mereka seperti mendidik pemuda-pemuda pada keterampilan tertentu atau bidang olahraga.

6. Organisasi lokal dapat menjadi penghubung atau perantara bagi anggota-anggotanya untuk mendapatkan pelayanan dari system sumber yang lain (organisasi lain ataui pemerintah).

7. Organisasi lokal dapat bertindak sebagai wakil dari anggota-anggota yang menemui kesulitan untuk menggunakan sumber-sumber tertentu.

8. Organisasi lokal dapat membantu anggota-anggotanya agar memperoleh pelayanan-pelayanan baru atau yang lebih baik dari sistim-sistim sumber kemasyarakatan. Misalnya, pekerja sosial membantu suatu keluarga yang anaknya memperoleh kesulitan-kesulitan di sekolah dan memberikan penjelasan mengenai kebijaksanaan sekolah, berbagai pelayanan yang tersedia di sekolah, membantu keluarga memahami kebijakan yang dibuat pemerintah dan merumuskan kegiatan yang dilakukan oleh kelompok.

9. Organisasi lokal dapat menjadi penengah netral bagi masalah-masalah kemasyarakatan yang timbul di masyarakat.

10. Organisasi lokal dapat melibatkan anggota-anggota suatu sistim untuk mengadakan pengungkapan dan pemahaman masalah-masalah interaksi antar mereka dengan jalan mendorong diadakannya diskusi-diskusi mengenai kesulitan-kesulitan mereka atau menciptakan suatu mekanisme balikan (feedback) di dalam sistim itu.

11. Organisasi lokal mengumpulkan dan menganalisa informasi mengenai masalah-masalah dan kondisi-kondisi yang dapat menunjukkan perlu diadakannya perubahan dalam kebijakan yang dilakukan pemerintah lokal.

12. Organisasi lokal dapat memberikan informasi kepada penyusun kebijakan atau pelaksana kebijakan lokal serta

mengadakan pendekatan-pendekatan bagi diadakannya perubahan.

13. Organisasi lokal dapat membantu pemerintah lokal menyusun pelayanan-pelayan dan progran-program pembangunan dimasyarakat.

14. Organisasi lokal dapat membantu pemerintah dan masyarakat dalam meratakan sumber-sumber materil dan mempersempit tingkat kesenjangan sosial.

15. Bertindak sebagai organisasi yang melakukan kontrol sosial.

Dalam praktik pekerjaan sosial

organisasi lokal dapat menjadi sistem sumber bagi para anggota-anggotanya. Organisasi lokal merupakan sistem sumber formal di manapelayanan yang diberikan biasanya terbatas untuk anggotanya saja. Sistem sumber ini dapat bermanfaat untuk membantu anggota masyarakat menjalankan fungsinya secara lebih efektif.

Walaupun organiasi lokal sebagai sistem sumber formal dapat membantu anggota masyarakat menjalankan fungsinya, tetap saja mempunyai kelemahan diantaranya: a. Organisasi-organisasi formil tidak terdapat

di suatu lingkungan masyarakat tertentu. Dalam lingkungan tertentu kadang kala organisasi lokal yang dibutuhkan tidak terbentuk. Misalnya saja bila di suatu daerah banyak penyandang cacat, tetapi organisasi lokal yang bergerak dibidang anak cacat tersebut tidak ada di daerah tersebut.

b. Keenganan orang untuk memasuki organisasi-organisasi yang ada oleh karena: mereka tidak mengetahui seberapa

jauh organisasi tersebut dapat membantu mereka,

tidak setuju dengan tujuan organisasi, menganggap tidak akan diterima

menjadi anggota organisasi, merasa tidak mempunyai pengetahuan

dan ketrampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kegiatan organisasi.

c. Orang mungkin tidak mengetahui bahwa di lingkungan mereka terdapat organisasi yang dapat mereka masuki dalam rangka pemenuhan kebutuhan mereka

Page 92: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Edward & Thamrin, Peranan Organisasi Lokal...

322

Dari pemaparan di atas terlihat jelas bagaimana peran organiasi lokal dalam melaksanakan proses kesejahteraan sosial walau dalam tataran yang sangat seerhana. Kekuatan organisasi lokal ini tentunya dapat menjadi bagian penting dari pembangunan kesejahteraan sosial yang dilakukan oleh pemerintah. Organiasi lokal dapat dijadikan ujung tombak dalam membantu anggota-anggota masyarakat menjalankan fungsinya secara lebih baik. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan hasil

penelitian pada bab sebelumnya, disimpulkan sebagai berikut: 1. Pada masyarakat telah tumbuh dan

berkembang organisasi yang dapat dimanfaatkan sebagai mekanisme pemenuhan kebutuhan dan pemecahan masyarakat pada tingkat lokal.

2. Organisasi lokal telah mengembangkan organisasi dan program/ kegiatannya yang mengakomodasi berbagai perbedaan dan kebutuhan masyarakat lokal. Sasaran bidang kesejahteraan sosial (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial maupun Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial) sudah menjadi perhatian sebagian organisasi lokal.

3. Berbagai peranan telah dilaksanakan oleh organisasi sosial lokal, dan manfaatnya telah dirasakan oleh anggota dan masyarakat.

4. Antar organisasi lokal telah mengembangkan jaringan dan telah walau dengan bentuk yang sangat sederhana berbasis masyarakat. Di samping itu telah mengembangkan kerja sama dengan pemerintah lokal dalam pembangunan masyarakat.

Saran

Berdasarkan temuan penelitian tersebut

di atas, diajukan saran berikut: 1. Dilakukannya pemetaan sosial terhadap

organisasi lokal untuk tingkat yang lebih besar (kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi.) dalam upaya menemukenali profil dan potensi organisasi lokal tersebut.

2. Mengembangkan potensi organisasi lokal menjadi baik terutama dari segi pengembangan sumber keuangan. Perlu

difikirkan bentuk unit usaha kegiatan ekonomi yang dapat lebih membantu kesejahteraan anggota-anggotanya.

3. Lebih meningkatkan kegiatan sinergis antara organisasi lokal sehingga jaringan kerjasama dapat menjadi lebih baik

4. Isu tentang organisasi lokal perlu dikaitkan dengan wacana civil society, pembangunan demokrasi dan hak asasi manusia. Sehubungan dengan itu, maka organisasi lokal perlu dipertimbangkan sebagai strategi dan titik masuk dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat.

Daftar Pustaka

Abu Hanifah (et.al), Penelitian Peningkatan

Peran Serta Masyarakat dalam Pembangunan melalui Nilai Kesetiakawanan Sosial, Balitbang Kesos, Jakarta, 1995.

Bakhit, Izzedin, et.all, Menggempur Akar-

Akar Kemiskinan (Attaking Root Poverty), Yayasan Komunikasi Masyarakat Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Jakarta, 2001.

Bapenas, Studi Perlindungan Sosial Dalam

Pemberdayaan Masyarakat, 2003. Chambers, Rrobert, Poverty and Livelihoods:

Whose Reality Counts? Dalam Kartasasmita, G., Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides. Jakarta, 1995.

Ife, Jimm, Community Development, 2nd

Edition: Cath Godfrey. Australia/ Malaysia, 2002.

Kartasasmita, Ginandjar, Pembaharuan, dan

Pemberdayaan, Permasalahan, Kritik, dan Gagasan Menuju Indonesia Masa Depan, Ikatan Alumni, Jakarta, 1996.

Korten, David C., Pembangunan Berpusat

pada Rakyat, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985.

Moeljarto Tjokrowinoto, Pembangunan:

Dilema dan Tantangan, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 1999.

Page 93: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 304 – 323

323

Mubyarto, LSM Sebagai Elit Desa Harus Membela Kaum Miskin, Jurnal Ekonomi Rakyat, Tahun ke I Nomor 8, Oktober 2002.

Mu’man Nuryana, “Peranan Lembaga Sosial

Komunitas dalam Usaha Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat di Indonesia”, Cipayung 26 September 2002

Singarimbun, Masri, Metode Penelitian

Survey, LP3 ES, Jakarta, 1995.

Sudibyo Markus, “Infrastruktur Sosial Masyakat Tingkat Lokal sebagai Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat”, makalah disampaikan pada diskusi pembahasan konsep Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat, Cipayung 26 September 2002.

Surjadi, Paradigma Pembangunan dan

Kapabilitas Aparatur, Badan Diklat Propinsi Jawa Timur, www.bandiklatjatim.go.id/art_sur.htm, 23 November 2003.

Page 94: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

324

Sichmen Pandiangan adalah Staf Yayasan Handal Mahardika Medan

BENTUK-BENTUK PERLAWANAN PETANI TERHADAP

DOMINASI NEGARA

Sichmen Pandiangan

Abstract

The land dispute was a difficult social problem in Indonesia. Conflict between people and the others, entrepreneur and state or government, especially to get land for each job and business always present and very difficult to solved. The farmers need the land for their agriculture and their life. But the others also need land in wide for the wide economy business. It is not said that Indonesia has not the wide land, but entrepreneur need the wide land and wide for their economy expantion. The farmer means they must war and struggle to get their land, because it is their life, and not their rich. So they do anything for the land. Keywords: land, social problem, social conflict

Pendahuluan

Tanah dan sumber daya agraria lainnya di samping sebagai faktor produksi juga memiliki multifungsi yang meliputi aspek politik dan sosial budaya dalam masyarakat agraris. Aspek politik tanah menyangkut posisi seseorang dalam pengambilan keputusan di tengah-tengah masyarakat. Aspek sosial tanah, akan menentukan status sosial pemiliknya. Tanah juga berkaitan dengan masalah-masalah transendental yang dimaknai secara sakral (Nugroho, 2001: 245)

Dari keseluruhan aspek yang melekat dalam tanah, menunjukkan betapa penting arti dan maknanya bagi kehidupan masyarakat. Tanah merupakan aset penting bagi aktifitas manusia. Perubahan perlakuan terhadap tanah sebagai faktor produksi dan petani sebagai komunitas yang menggantungkan hidupnya pada tanah, dalam perkembangannya telah menimbulkan konflik.

Konflik agraria dalam dinamika bangsa dan negara Indonesia merupakan suatu kontinum yang tidak terputus. Konflik-konflik tersebut berkaitan dengan dimensi politik dan ekonomi dalam konteks hubungan agraris dan kebijakan agraria yang muncul pada suatu periode tertentu.

Fenomena konflik jika dilihat secara periodik pada hakekatnya tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Senantiasa ada pergeseran baik menyangkut karakter maupun kelompok yang berkonflik. Demikian juga dengan konflik pertanahan secara historis mengalami perubahan karakter. Konflik agraria pada zaman kolonial, Orde Lama dan Orde Baru memiliki perbedaan karakter.

Pada masa Orde Baru masyarakat petani berhadapan dengan kekuatan pemilik modal, birokrat dan kroni-kroni kekuasaan yang saling berkolaborasi. Negara tidak lagi sebagai mediator rakyat yang netral tetapi memihak kepada kepentingan kapitalis, baik lokal maupun multi nasional (Nugroho, 2001: 248). Kondisi ini menciptakan konflik secara langsung antara rakyat dengan negara yang berlangsung dalam enam corak yaitu, pertama, sengketa tanah akibat penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam tanaman/hasil di atasnya sebagai sumber-sumber yang akan dieksploitasi secara massif seperti kasus PT.Freeport di Irian Jaya. Kedua, sengketa tanah akibat program swasembada beras. Ketiga, sengketa tanah karena Hak Guna Usaha (HGU) maupun pembangunan Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Keempat sengketa tanah akibat penggusuran untuk industri pariwisata, real estate, kawasan

Page 95: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 324 – 336

325

industri. Kelima, sengketa tanah akibat pengambil alihan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan sarana-sarana yang dinyatakan untuk kepentingan umum, seperti kasus waduk Kedung Ombo. Keenam, sengketa tanah akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunan taman nasional atau hutan lindung yang mengatasnamakan kelestarian lingkungan, seperti kasus taman nasional Kerinci Seblat di Jambi.

Menurut Soetrisno (dalam Fauzi, 1999: 197) strategi politik otoritarian dan strategi pembangunan kapitalis Orde Baru, dalam sektor agraria menimbulkan konflik agraria yang berbeda dengan konflik agraria di masa Orde Lama. Pengamatan secara terbuka terhadap konflik agraria yang terjadi sepanjang masa Orde Baru, bukan dilatar belakangi oleh hubungan-hubungan sosial internal desa. Melainkan karena hubungan-hubungan sosial yang bersumber dari eksternal, yakni konflik berhadapan dengan pihak luar desa, baik modal besar maupun pemerintah.

Dari keseluruhan konflik agraria pada masa orde baru , ada beberapa jenis konflik yang terjadi dan isu yang mengemuka pada saat konflik tersebut berlangsung, yaitu pertama, pemerintah mewajibkan petani untuk mempergunakan unsur-unsur revolusi hijau, demi tercapainya swasembada beras. Unsur-unsur revolusi hijau meliputi bibit unggul, pestisida, irigasi, mesin traktor dan organisasi produksi KUD yang memonopoli pemasaran. Isu yang mengemuka dalam konflik ini adalah pihak petani ingin mempertahankan penggunaan bibit dan pengelolaan padi secara tradisional, kesempatan kerja yang menyempit karena penggunaan traktor dan harga pestisida dan pupuk yang tidak sebanding dengan kenaikan harga gabah. Kedua, perkebunan-perkebunan mengambil alih tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Dalam hal ini isu yang sering mengemuka adalah penolakan petani atas pencerabutan hubungannya dengan tanah, ganti rugi yang tidak memadai, proletarisasi petani, karena hilangnya hubungan dengan tanah dan pemukiman kembali petani yang tergusur sama sekali dari tanahnya. Ketiga, terdapat sejumlah kasus di manapemerintah melakukan pengambilalihan (penggusuran) untuk apa yang disebut dengan program pembangunan, baik oleh pemerintah sendiri maupun swasta. Isu yang muncul dalam hal ini adalah, penolakan petani untuk menyerahkan lahan garapannya, ganti rugi yang tidak layak, dengan harga tanah di pasar umum,

pemukiman kembali penduduk yang tidak memadai. Keempat, konflik akibat eksploitasi hutan. Melalui Hak Penguasaan Hutan, pemerintah memberikan keleluasaan pada swasta untuk mengeksploitasi hasil hutan. Hak-hak adat atas tanah tidak diperdulikan oleh pemegang HPH. Isu yang muncul dalam hal ini adalah, penolakan petani untuk keluar dari tanah yang diklaim, kehancuran sumber daya subsistensi masyarakat adat, penyediaan sumber ekonomi dan pemukiman alternatif yang memadai dan kemunduran kualitas ekologis ditingkat lokal hingga global (Fauzi, 1999: 197-202).

Menurut Marx (dalam Suseno, 1977: 38), adalah suatu realitas yang telanjang, bahwa di dalam masyarakat terdapat dua kelompok yang saling berhadapan (secara diametral) yang tidak pernah terdamaikan, kelas-kelas atas (penindas) dan kelas-kelas bawah (tertindas). Pertentangan ini tidak akan pernah terdamaikan karena bersifat objektif. Masalahnya bukan disebabkan oleh kehendak buruk individu-individu kelas atas sehingga tak akan bisa ditiadakan hanya melalui perbaikan kesadaran sosial saja.

Pertentangan tersebut disebabkan oleh kedudukan masing-masing kelas tersebut dalam proses produksi. Kelas-kelas atas berkepentingan langsung untuk melanjutkan penghisapan mereka dengan menindas kelas-kelas bawah, karena eksistensi mereka amat tergantung dari penghisapan tersebut. Sementara itu, kelas-kelas tertindas berkepentingan untuk menghancurkan kelas-kelas atas sebagai satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar dapat membebaskan diri dari penindasan.

Scot (1993: 61) menulis, bahwa akibat dari pertanian komersial dan pertumbuhan negara, kepercayaan petani akan jaminan subsistensi mulai menurun dan petani tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan. Perlawanan petani banyak ditemukan pada daerah-daerah yang kemajuan komersialnya paling menonjol. Hal ini disebabkan di daerah-daerah pusat komersialisasi tersebut, sumbangan kepada kesejahteraan petani semakin kecil akibat meningkatnya posisi tawar pemilik tanah, keadaan ini memicu timbulnya protes dan kekerasan sebagai manifestasi dari ketidakpuasan petani akibat hubungan eksploitatif yang dirasakan tidak adil.

Dari dokumen yang penulis dapatkan, di desa Sugapa, Kecamatan Silaen Kabupaten

Page 96: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Pandiangan, Bentuk-Bentuk Perlawanan...

326

Tapanuli Utara yang saat ini menjadi Desa Maju Kecamatan Sigumpar Kabupaten Toba Samosir, terjadi perlawanan petani terhadap negara yang berkolaborasi dengan pihak pemodal dari luar diri petani yakni PT. Inti Indorayon Utama (IIU) yang saat ini menjadi PT.Toba Pulp Lestari (TPL) dalam mempertahankan tanah mereka. Tanah milik masyarakat petani seluas 52 Ha, pernah diambil-alih oleh pemerintah di manaaparat desa melakukan manipulasi untuk pengalihan tanah petani kepada Pemerintah Tingkat II Tapanuli Utara. Kemudian oleh pemerintahan Kabupaten Taput diberikan kepada PT.IIU untuk dijadikan sebagai lahan penanaman tanaman bahan baku industri.

Sengketa tanah berawal pada tahun 1987, di manapihak PT. Inti Indorayon Utama menanami tanah petani dengan tanaman eucalyptus. Petani Sugapa yang tidak mengetahui bahwa pihak aparat desa telah melakukan manipulasi dan menyerahkan tanah petani kepada Pemda TK II Taput dan diberi izin kepada PT. Inti Indorayon Utama untuk mengelolanya, melakukan perlawanan. Para petani Sugapa khususnya ibu-ibu melakukan perlawanan dengan cara mencabuti eucalyptus milik PT.Inti Indorayon Utama, membuat pengaduan ke pihak Kepolisian, berdemonstrasi ke Kantor DPRD Taput dan Bupati dan bentuk-bentuk perlawanan lainnya.

Berdasarkan gambaran secara teoritis dan empiris yang ada pada latar belakang menunjukkan bahwa permasalahan agraria merupakan masalah yang pelik dan melekat didalam masyarakat agraris seperti Indonesia. Oleh karena itu pengkajian terhadap konflik agraria, khususnya mengenai bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh petani di dalam memperjuangkan dan merebut kembali hak-haknya merupakan hal yang menarik dan penting untuk dilakukan.

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian

deskriptif, yang menggambarkan bentuk-bentuk perlawanan petani terhadap perampasan tanah mereka, dengan pendekatan studi kasus.

Penelitian ini dilakukan di Desa Maju, Kecamatan Sigumpar, Kabupaten Toba Samosir yang dulunya adalah Desa Sugapa Kecamatan Silaen Kabupaten Tapanuli Utara. Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan

beberapa pertimbangan. Pertama, petani Sugapa pernah melakukan perlawanan terhadap negara (aparatur) dan juga pihak pemodal (PT.IIU) yang merampas tanah mereka sejak tahun 1987. Kedua, Masyarakat yang melakukan perlawanan dalam hal ini orang-orang yang berjuang untuk merebut tanahnya, masih hidup sehingga memungkinkan untuk melakukan penelitian terhadap perlawanan yang dilakukan oleh petani terhadap negara dan pemodal.

Penelitian menggunakan subjek penelitian sebagai sumber informasi dan data. Kriteria pementuan informan dalam penelitian ini adalah: pemilik hak atas tanah adat dan berdiam di daerah tersebut pada proses terjadi perlawanan oleh petani

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu studi kepustakan dan studi lapangan.

Wawancara mendalam dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada informan secara sistematis dan mendalam. Sifat pertanyaan adalah pertanyaan terbuka dan penulis dibantu dengan pertanyaan yang disiapkan sebagai panduan untuk mengadakan wawancara (interview guide).

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif. Data hasil wawancara mendalam kemudian diolah, karena data yang didapat dari lapangan sifatnya sangat luas dan tidak semua data tersebut dibutuhkan untuk memperkuat analisa data dan mendukung tujuan penelitian.

Informasi yang didapat dari lapangan dikelompokkan dan disederhanakan dengan sistematis untuk membuat deskripsi yang jelas dalam menggambarkan bentuk-bentuk perlawanan petani sehingga jawaban yang relevan pada saat wawancara dapat dipakai dalam analisa data. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Dalam menggambarkan keseluruhan objek yang diteliti yaitu mengenai bentuk-bentuk perlawanan petani terhadap dominasi negara, penulis mewawancarai informan yang dipilih berdasarkan kriteria yang telah dibahas pada bagian terdahulu.

Data yang penulis dapatkan dari wawancara mendalam dengan informan tersebut kemudian dianalisis. Hasil analisa disajikan dalam bentuk deskripsi secara

Page 97: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 324 – 336

327

sistematis yang meliputi sejarah perlawanan petani Sugapa, pola hidup yang berkembang ditengah-tengah komunitas petani tersebut, bentuk-bentuk perlawanan petani terhadap perampasan lahan mereka, faktor-faktor penyebab petani melakukan perlawanan, pola hubungan sosial yang tercipta dalam perjuangan, pandangan petani sendiri atas perjuangan mempertahankan haknya dan reaksi dari pihak pemerintah dan PT.Inti Indorayon Utama.

Pembahasan mengenai agraria khususnya konflik yang terjadi di dalamnya yang berkaitan dengan perlawanan petani, senantiasa membutuhkan pemahaman tentang awal mula penguasaan tanah. Konflik yang terjadi antara petani Sugapa dengan Pemerintahan di tingkat Kabupaten, Kecamatan dan Desa sebagai instrument negara, juga memerlukan pemahaman tentang asal-usul penguasaan tanah seluas 52 ha yang menjadi sumber mata pencaharian dalam menopang kelangsungan hidup mereka.

Sebagaimana yang terjadi pada umumnya, awal mula penguasaan tanah pada masyarakat agraris berawal dari adanya pembukaan lahan oleh sekelompok komunitas atas tanah-tanah kosong yang ditumbuhi semak-belukar. Proses awal pembukaan lahan diawali dengan pendirian pemukiman temporer dan disekitarnya diadakan usaha untuk bercocok-tanam..

Petani Sugapa yang terdiri dari masyarakat etnis Batak, keturunan Raja Ompu Sidomdom Barimbing dan Naipospos sebagai, pada awalnya mendiami kampung yang letaknya tidak terlalu jauh dengan kampung mereka saat ini. Kampung tempat awal mereka ini bernama Barimbing Toruan. Faktor jumlah penduduk yang tidak sebanding lagi dengan luas lahan menyebabkan munculnya usaha untuk melakukan perpindahan guna mencari areal untuk membuka kampung dan bercocok tanam yang baru. Sebahagian dari anggota masyarakat keturun Raja Op. Sidomdom Barimbing dan Naipospos berpindah dari kampung Barimbing Toruan dan membuka kampung serta lahan bercocok tanam di daerah Sugapa.

Tokoh adat marga Barimbing yang penulis wawancarai menyatakan: “Najolo, hutani Barimbing, di huta Barimbing Toruannan do, alana nungga torop hami di huta i, ro ma natua-tua nami tu luatan mambukka parhutaan dohot martani di huta

on. (Dulu, marga Barimbing tinggal di kampung Barimbing Toruan, karena penduduknya sudah padat, maka para orang tua kami dulu membuka kampung dan bercocok tanam di kampung ini”.

Dalam proses perkembangannya, penguasaan tanah oleh petani Sugapa terbagi kedalam beberapa bentuk. Pertama, tanah milik pribadi yang penguasaan dan pengelolaannya dilakukan oleh rumah tangga petani untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Kedua, tanah milik komunal yang kepemilikannya secara bersama. Lahan milik bersama masyarakat diperuntukkan sebagai areal pengembalaan ternak kerbau, di manaternak tersebut dijadikan sebagai tenaga untuk mengerjakan sawah. Di samping sebagai areal penggembalaan ternak, sebahagian dari tanah milik bersama dijadikan untuk areal perladangan yang pengerjaannya diberikan kepada rumah tangga petani secara bergilir melalui hasil musyawarah. Tanah komunal milik petani Sugapa keturun Raja Ompu Sidomdom Barimbing yang diperuntukkan untuk areal peternakan dan perladangan tersebut seluas 52 ha.

Penguasaan tanah komunal seluas 52 ha oleh komunitas petani Sugapa yang terdiri dari marga Barimgbing dan Naipospos tersebut kemudian diwariskan secara turun-temurun, kepada keturunan mereka. Garis keturunan pada masyarakat Batak menganut patrilineal yang mengikuti garis keturunan laki-laki, maka penguasaan tanah tersebut diwariskan kepada marga Barimbing walaupun dalam proses perkembangannya ada marga lain yang tinggal dikampung tersebut akibat dari proses percampuran melalui pernikahan anak puterinya dengan marga lain dan akhirnya tinggal di kampung tersebut.

Keberadaan tanah komunal petani Sugapa dari periode kolonial sampai pada Orde Lama tidak mendapat gangguan dari pihak-pihak luar dan tidak menimbulkan permasalahan didalam diri petani. Status kepemilikan tanah yang berlangsung secara bersama, memberi kewajiban bagi masyarakat petani untuk menjaga tanah tersebut sebagai warisan yang memiliki nilai sakral. Seseorang tidak berhak untuk melakukan pengalihan atau menjual tanah tersebut. Segala sesuatunya harus melalui musyawarah bersama.

Pada tahun 1987 pada periode Orde Baru, keberadaan tanah komunal petani menimbulkan konflik oleh adanya upaya dari

Page 98: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Pandiangan, Bentuk-Bentuk Perlawanan...

328

negara dan pemilik modal untuk mengambil tanah rakyat. Pemerintah di tingkat desa melakukan pengalihan lahan seluas 52 ha tersebut kepada Pemerintah Tingkat II Tapanuli Utara atas nama Bupati yang dijabat oleh Lundu Panjaitan. Oleh Pemerintah Tingkat II Tapanuli Utara diberi hak pengelolaan kepada PT.Inti Indorayon Utama (IIU) atas izin pinjam pakai. Proses pengalihan ini dilakukan lewat musyawarah yang diadakan oleh kepala desa tapi tidak melibatkan keseluruhan petani Sugapa sebagai penggarap lahan tersebut. Situasi dan tempat pelaksanaan musyawarahpun tidak seperti lazimnya.

Unsur adat lokal dijadikan sebagai dasar legitimasi pengalihan lahan petani. Adat piso-piso yang dikenal dalam masyarakat etnis Batak sebagai bentuk tanda penghargaan atas pemberian lahan oleh pihak petani penggarap terhadap sesamanya untuk dijadikan sebagai sumber penghidupan, dimanipulasi menjadi proses pengalihan penguasaan lahan oleh petani kepada pemerintah dan pemilik modal. Pada tanggal 28 Oktober 1987 Kepala Desa memberikan lahan petani dan menerima piso-piso sebesar Rp. 12.500 per hektar. Keseluruhannya diterima oleh Kepala Desa sebesar Rp. 12.500 x 52 = Rp. 650.000. Kepala Desa yang merupakan bagian dari pemerintah dan sebagai alat negara telah merampas tanah rakyat.

Situasi dan proses musyawarah sarat dengan tindak penipuan, di luar peserta yang hadir, pihak kepala desa juga mengikutkan beberapa nama dari masyarakat yag tidak hadir dan tanda tangannya dipalsukan. Wawancara penulis dengan salah seorang korban menyatakan:

“Tikki namarrapoti dang dohot au disi, Alana dang lao au tu kode borngini. Alai dipudian niari, adong goarhu dohot tekkenanhu di absenni rapoti. (Waktu musyawarah itu diadakan, saya tidak ikut karena pada malam itu saya tidak pergi ke kedai tuak seperti biasanya. Tapi, kemudian nama dan tanda-tangan saya ada dalam daftar hadir)”

Petani Sugapa khususnya dari kalangan ibu-ibu setelah mengetahui kejadian tersebut, tidak membiarkannya begitu saja. Kebohongan dan penipuan yang dilakukan atas kenyataan sebenarnya, mereka sikapi dengan mempertanyakan mengenai pengalihan lahan tersebut kepada Kepala Desa. Secara bersama-

sama mereka mendatangi rumah Kepala Desa. Kepala desa tidak memberikan jawaban yang jelas dan menyuruh masyarakat untuk mempertanyakannya kepada pihak Kecamatan.

Jawaban yang tidak memberi kepastian serta sikap kepala desa yang terkesan menghindar membuat masyarakat melanjutkan tuntutan mereka ke tingkat kecamatan. Secara bersama-sama masyarakat kemudian mendatangi Camat Silaen. Jawaban dari pihak Kecamatan, pada intinya tetap sama dengan jawaban yang diberikan oleh Kepala Desa sebelumnya.

Pihak PT.Inti Indorayon Utama yang telah mendapat izin dari Pemerintah Tingkat II Tapanuli Utara, pada tahun 1988 mengelola lahan petani. Lahan untuk areal penanaman bahan baku industri pulp tersebut mulai dikerjakan pekerja dari luar daerah didatangkan untuk membersihkan lahan dan menanam pohon eucalyptus.

Hal ini kembali dipertanyakan oleh petani Sugapa. Mereka mendatangi Kantor Kepolisian Sektor Silaen, membuat pengaduan dan meminta pihak kepolisian untuk menghentikan pengerjaan lahan mereka oleh PT.Inti Indorayon Utama karena itu adalah milik rakyat. Di Kantor Kepolisian, para petani yang hadir disuruh menandatangani daftar hadir sebagai bukti Berita Acara Pengaduan. Masyarakat kemudian pulang setelah pihak kepolisian menyatakan akan melakukan tindak lanjut dan memroses pengaduan masyarakat.

Di samping upaya melakukan pengaduan kepada pihak kepolisian masyarakat juga melayangkan surat kepada Camat Silaen tertanggal 20 Februari 1988. Pihak kecamatan kemudian berjanji akan melakukan peninjauan ke lapangan untuk mengecek kebenaran perihal pengerjaan lahan mereka oleh PT.Inti Indorayon Utama. Janji dari Camat tersebut ternyata tidak direalisasikan.

Proses selanjutnya ditempuh masyarakat, mereka mengirim surat pengaduan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tapanuli Utara dan DPRD TK II pada tanggal 16 September 1989. Surat pertama masyarakat tidak mendapat respon hingga pada tanggal 15 Oktober 1989, masyarakat mengirimkan surat yang kedua. Hasil dari pengaduan ini, Bupati bersama dengan anggota DPRD melakukan peninjauan ke lapangan. Akan tetapi sesuatu hal yang jauh dari dugaan masyarakat terjadi pada saat kunjungan lapangan tersebut. Di

Page 99: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 324 – 336

329

hadapan para petani, mereka justeru membacakan dan memperlihatkan surat penyerahan tanah mereka kepada Pemerintah Tingkat II Taput oleh masyarakat.

Masyarakat yang sudah mengetahui proses musyawarah penyerahan tanah tersebut sarat dengan penipuan dan kebohongan memprotes hal tersebut. Hasil akhir dari peninjauan lapangan oleh Bupati dan anggota DPRD TK II tidak memberi kepastian tentang status tanah petani yang sedang dikerjakan oleh pihak PT.Inti Indorayon Utama.

Hasil dari pengaduan kepada pemerintah dan legislatif di tingkat dua, tidak memberi kepastian kepada petani. Mereka kemudian menyampaikan pengaduan kepada Gubernur Sumatera Utara dan DPRD TK I. Namun hasil yang mereka dapatkan sama saja dengan yang sebelumnya.

Upaya-upaya yang ditempuh oleh petani melalui jalur-jalur kelembagaan yang ada telah menguras tenaga, pikiran dan biaya masyarakat. Akan tetapi hasilnya juga tidak memuaskan. Sementara tuntutan hidup mereka terus dan harus dipenuhi. Pertanian mereka yang hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pangan dan adapun hasil perladangan, itu biasanya habis terjual untuk membeli kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya sehingga petani tidak memiliki simpanan modal.

Proses lewat jalur kelembagaan yang tidak memberikan hasil yang diharapkan dan desakan situasi petani, menyebabkan mereka memilih melakukan perlawanan di luar jalur kelembagaan yang ada. Para petani secara bersama-sama mencabuti bibit eucalyptus yang ditanami oleh PT.IIU. Ternak-ternak mereka, digembalakan di areal lahan tersebut.

Tindakan para petani ini kemudian oleh PT.IIU diadukan kepada pihak kepolisian. Sepuluh orang petani dari kaum ibu-ibu ditangkap oleh polisi dan kemudian diadili di Pengadilan Negeri Tarutung yang bersidang di Balige. Mereka didakwa dengan tuntutan melakukan dengan sengaja dan melawan hukum merusak segala benda yang seluruhnya milik orang lain. Mereka dijatuhi hukuman percobaan selama 6 bulan.

Para petani yang merasa putusan ini tidak adil kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi di Medan. Kembali Pengadilan Tinggi di Medan menjatuhkan vonis hukuman penjara selama tiga bulan dengan masa percobaan selama 6 bulan.

Masyarakat tetap tidak terima dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sampai saat ini putusan dari MA tidak jelas.

Pada bulan Mei tahun 1990, petani Sugapa, melakukan delegasi ke Mendagri, Presiden dan DPR RI. Dengan bimbingan dan advokasi dari LSM rakyat petani menyampaikan tuntutannya dan permohonan agar pemerintah menuntaskan permasalahan tanah mereka.

Kerugian material dan non material yang dialami oleh petani akibat perampasan tanah mereka, mendorong mereka melakukan gugatan dengan menempuh jalur hukum.. Pada bulan November 1990 petani Sugapa menggugat Bupati Taput, Camat Silaen, Kepala Desa dan PT.IIU. Namun hasilnya, mulai dari Pengadilan Negeri Tarutung dan Pengadilan Tinggi di Medan menolak gugatan tersebut. Upaya kasasi ke Mahkamah Agung juga ditempuh oleh petani Sugapa. Akan tetapi putusan dari Mahkamah Agung tidak jelas hingga saat ini. Bahkan suatu kejanggalan terjadi dalam proses persidangan gugatan petani, yaitu Bupati dan PT.IIU menyatakan bahwa tanah rakyat Sugapa telah dikembalikan.

Kebenaran akan proses pengembalian tanah tersebut, kemudian ditelusuri oleh petani Sugapa. Pihak PT.IIU dihadapan Bupati TK II Tapanuli Utara, Camat Kecamatan Silaen dan Kepala Desa Sugapa menyerahkan kembali tanah milik rakyat kepada beberapa orang dari masyarakat yang diklaim sebagai pemilik lahan tersebut. Dalam surat pengembalian yang tertanggal 11 April 1990, status lahan milik rakyat dinyatakan sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR).

Perlawanan petani Sugapa atas pengalihan lahan mereka, dilakukan sejak adanya upaya dari pemerintah untuk mengambil lahan tersebut. Dari tahun 1987 sampai tahun 1990 rakyat tidak henti-hentinya menyampaikan protes baik melalui jalur kelembagaan yang ada dan perlawanan di areal lahan. Sikap dari pemerintah adalah melakukan represi. Akan tetapi rakyat justeru semakin teguh pada perjuangan mereka. Langkah represi tidak mampu melemahkan perjuangan rakyat. Langkah selanjutnya dilakukan dengan mengembalikan lahan petani dan PT. Inti Indorayon Utama menghentikan pengerjaan lahan. Walaupun pada hakikatnya pengembalian tersebut tidak seperti yang

Page 100: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Pandiangan, Bentuk-Bentuk Perlawanan...

330

diharapkan oleh rakyat dan prosesnyapun tidak melibatkan petani Sugapa secara keseluruhan.

Semenjak tahun 1990, lahan seluas 52 ha yang sempat diambil dari rakyat, kembali dikuasai. Petani mulai mengusahai lahan tersebut seperti sebelumnya, sebagai areal penggembalaan ternak dan perladangan. Perhatian masyarakat terfokus pada upaya untuk bercocok-tanam dan mengusahai lahan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Selama 4 tahun, rakyat petani menguras tenaga dan dana untuk memperjuangkan tanah mereka.

Status tanah dengan HTI pola PIR tidak begitu dipermasalahkan untuk sementara waktu. Walaupun pada intinya mereka tidak menerima hal tersebut. Karena yang menjadi harapan mereka adalah kembalinya tanah tersebut dengan status penuh sebagai milik rakyat dan untuk diusahai demi mempertahankan hidup.

Pada tahun 1993, kembali petani Sugapa melakukan perlawanan. Pada tanggal 24 September, perwakilan dari petani, sebanyak 10 orang melakukan delegasi ke Kantor Gubernur Sumatera Utara dengan menyampaikan tuntutan agar Gubernur membantu pengalihan lahan mereka dan mendesak MA untuk memutuskan perkara perdata dan pidana mereka yang masih belum ada kejelasannya.

Pada tanggal 1 Oktober 1990, petani melakukan delegasi kembali ke Kantor Gubernur Sumatera Utara. Pada delegasi ini, Gubernur melalui Kabag Pemerintahan Umum mengambil kebijakan untuk menyurati Bupati Taput, agar segera menyelesaikan pengembalian tanah rakyat. Petani Sugapa diberikan poto kopian surat tersebut.

Untuk menindak lanjuti delegasi petani dan sekaligus mempertanyakan realisasi pemerintah TK II Taput atas surat yang disampaikan oleh Gubernur Sumatera Utara maka pada tanggal 7 Oktober petani Sugapa melakukan delegasi ke Kantor Bupati TK II Taput.

Hasil dari delegasi yang dilakukan oleh petani adalah dilaksanakannya musyawarah di Kantor camat Silaen pada tanggal 13 Oktober 1993. Pada pertemuan ini, Bupati tidak dating dan hanya memerintahkan utusannya. Dalam pertemuan, utusan Bupati kembali membacakan dan menyampaikan Berita Acara Pengembalian tanah tertanggal 11 April 1990. Petani kembali menyatakan keberatannya

karena mereka tidak setuju tanahnya dijadikan sebagai HTI pola PIR. Mereka menuntut tanah mereka dikembalikan agar mereka bebas menentukan usaha yang akan mereka lakukan di atas tanah tersebut.

Pada tanggal 16 Oktober 1993, petani Sugapa mengadakan pertemuan dengan Kepala Desa, untuk membicarakan pengembalian tanah yang dialihkan jadi HTI pola PIR kepada PT.Inti Indorayon Utama. Dalam pertemuan tersebut disepakati, petani Sugapa akan mengajukan surat keberatan kepada PT. IIU, Bupati Taput, Camat Silaen dan pihak yang melakukan penyerahan tanah. Surat keberatan disampaikan oleh petani Sugapa pada tanggal 25 Oktober 1993.

Secara de facto, petani Sugapa sudah menguasai dan mengusahai kembali tanah mereka. Walaupun sampai saat ini penyelesaian dari lembaga-lembaga yang telah menerima keberatan petani Sugapa jika lahan mereka dijadikan sebagai HTI pola PIR, tidak memiliki kejelasan.

Menurut Marx (dalam Doyle, 1996: 151), masyarakat yang teralienasi akan terkumpul dengan sendirinya dan di dalamnya akan terbentuk suatu kesadaran yang akhirnya akan menuntut perubahan. Kesadaran ini akan melahirkan perjuangan yang dilandasi oleh kondisi objektif yang saling bertentangan. Karena kepentingan ini berdasarkan atas perbedaan posisi.

Pada masyarakat petani Sugapa, melakukan perlawanan adalah satu-satunya tindakan atas ketidak-adilan yang mereka alami. Keunikan dalam perlawanan petani dalam konteks penelitian ini adalah pada pelaku yang melakukan perlawanan. Petani yang melakukan perlawanan adalah kelompok ibu-ibu. Kenyataan ini sungguh merupakan suatu realitas yang terbalik, jika mengacu pada budaya masyarakat Batak dengan sistem patriarki dan memposisikan perempuan pada status yang tersubordinasi oleh peranan kaum laki-laki atau kaum bapak.

Menurut tokoh perjuangan petani Sugapa yang diwawancarai oleh penulis menyatakan: “Angka ina-ina do hami namarjuangi. Alana molo ama-ama pittor didokkondo PKI (Yang berjuang dalam mempertahankan tanah ini adalah ibu-ibu. Bapak-bapak tidak ikut karena, kalau mereka ikut akan dibilang antek-antek PKI)”.

Dari hasil wawancara tersebut dapat dilihat bahwa pilihan petani mengedepankan

Page 101: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 324 – 336

331

kaum ibu-ibu adalah sebagai salah satu cara dalam melakukan perjuangan untuk menghindari resiko yang tidak perlu dalam pencapaian tujuan mereka.

Perlawanan dilakukan oleh petani Sugapa sejak adanya proses pengalihan lahan mereka. Bentuk perlawanan yang dipilih oleh petani untuk pertama sekali adalah mendatangi Kepala Desa untuk mempertanyakan perihal pengalihan tanah mereka. Kemudian membuat pengaduan kepada Camat, Polsek, Bupati dan DPRD TK II Taput, Gubernur dan DPRD TK I Sumut, Mendagri, Presiden dan DPR RI. Perlawan petani dalam jalur-jalur formal ini ditempuh dengan mengadakan delegasi dan aksi demonstrasi. Dalam proses peradilan terhadap sepuluh orang petani Sugapa juga senantiasi disertai dengan aksi demonstrasi dalam rangka memberikan dukungan moral terhadap teman mereka yang diadili sebagai dampak dari perlawanan yang mereka lakukan.

Upaya melalui jalur kelembagaan lainnya di samping membuat pengaduan, petani juga melakukan perlawanan dalam bentuk gugatan terhadap Bupati TK II Taput dan PT.Inti Indorayon Utama (PT.IIU). Walaupun pada akhirnya gugatan ini tidak dimenangkan oleh PN Tarutung, PT Medan dan Mahkamah Agung RI.

Hal ini terlihat dari hasil wawancara penulis dengan tokoh perjuangan petani Sugapa yang menyatakan: “Dukkon diboto hami naung dibuat tano nami i, lao utusan nami jala mambaen demon (Waktu kami tahu bahwa tanah kami diambil, kami terus-menerus melakukan delegasi dan demonstrasi, mulai dari kepala desa sampai ke Presiden dan DPR).

Pada awalnya petani Sugapa memilih perlawanan dengan menempuh jalur-jalur kelembagaan yang ada. Tenaga dan dana petani banyak tersita dalam melakukan perlawanan yang menempuh jalur-jalur kelembagaan yang ada. Akan tetapi hasil yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan harapan. Tujuan perjuangan mereka untuk memperoleh kembali tanah mereka, berhadapan dengan sikap dan tindakan dari institusi pemerintah yang cenderung memihak kepada pemilik modal.

Situasi inilah yang membuat masyarakat petani dalam melakukan perlawanannya tidak hanya berpatokan pada perlawanan lewat jalur-jalur kelembagaan yang ada. Di samping itu mereka juga melakukan perlawanan dalam

bentuk pendudukan lahan, mematikan bibit tanaman eucalyptus yang ditanami dilahan rakya dan mengusir pekerja PT. Inti Indorayon Utama dari arel tanah rakyat. Tokoh perjuangan petani Sugapa yang diwawancarai penulis menyatakan: “Loja hami berjuang dohot manuntut tu pamarenta. Habis gogo dohot hepeng tu angka naporlu molo demon. Hape dang namarna dipaulak tano nami. Nunggo bosan hami, alani di ingani hami ma tanoi. Hubutbuti hami ma eucalyptus nai, jala parkarejo na pe diusir hami. (Kami lelah dalam berjuang lewat prosedur pemerintah. Tenaga dan uang kami terkuras untuk biaya-biaya kalau pergi delegasi dan demonstrasi. Tapi tanah kami tidak dikembalikan. Karena kami sudah bosan dengan prosedur-prosedur yang membuat kami pusing dan banyak kehabisan uang, maka kami ibu-ibu melakukan pendudukan lahan. Eucalyptus yang ditanam Indorayon kami cabuti dan pekerjanyapun kami usir).

Perlakuan tidak adil dan manipulasi yang dilakukan oleh institusi pemerintah atas petani sehingga mereka kehilangan lahan sangat menyakiti perasaan masyarakat. Arti dan fungsi tanah yang sangat vital bagi petani membawa dampak yang besar berupa ancaman atas kelangsungan hidup mereka, ketika tanah sebagai sumber mata pencaharian guna pemenuhan kebutuhan pokok dirampas oleh negara dan pemilik modal. Dua hal ini merupakan situasi yang mendorong masyarakat melakukan berbagai bentuk perlawanan, baik dengan cara menempuh jalur-jalur kelembagaan seperti delegasi, dan melakukan gugatan balik serta cara terselubung seperti melakukan pendudukan lahan, mematikan tanaman dan mengusir pekerja PT. Inti Indorayon Utama dari lahan mereka.

Komersialisasi menjadikan tanah sebagai aset ekonomi untuk dieksploitasi demi mengambil untung sebesar-besarnya oleh pemilik modal dan negara. Posisi pihak pemilik modal yang berkolaborasi dengan negara menjadi kelas yang mendominasi kelas petani. Petani tergusur dari tanah mereka, subsistensi merekapun akhirnya terganggu. Tanah sebagai sumber mata pencaharian bagi petani untuk memenuhi kebutuhan pangan dan bertahan hidup dirampas oleh negara dan pemodal.

Pada hakikatnya persoalan keuntungan yang diperoleh dari investasi lahan maupun

Page 102: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Pandiangan, Bentuk-Bentuk Perlawanan...

332

produktifitas tenaga-kerja, bagi petani bukan merupakan prioritas karena kegiatan mencari keuntungan itu justeru dianggap mengacaukan rutinitas subsistensi yang terbukti memadai dalam menjamin kesejahteraan petani. Hal ini terlihat dari hasil wawancara penulis dengan tokoh adat marga Barimbing yang menyatakan: “Tano ondo dalan ni ngolu nami. Dung dibuat pamarenta tano on jala dilehon tu Indorayon, gabe susa ma ngolu nami. Horbo nalaho mangula haumape dang adong be jampalanna. Gogo ni ladangpe gabe hurang. (Tanah ini merupakan sumber peghidupan kami. Ketika tanah ini diambil oleh pemerintah dan diberikan ke Indorayon hidup kami mulai terancam. Ternak kerbau sebagai tenaga pembajak sawah tidak memiliki tempat untuk digembalakan. Hasil ladang yang kami jual untuk membeli kebutuhan pokok lainnya makin berkurang)”

Pemilik modal dan pemerintah bekerjasama melakukan manipulasi prosedural dan unsur adat lokal untuk merampas tanah yang dimiliki oleh komunitas petani. Negara melakukan pengambilan lahan atas nama pembangunan dan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Proses dalam pengalihan dilakukan tanpa melibatkan keseluruhan masyarakat petani. Pemerintah cenderung memecah-belah masyarakat dan memanipulasi unsur adat lokal sebagai dasar untuk legitimasi perampasan tanah petani. Masyarakat petani sangat tidak setuju dengan adanya proses pengalihan tersebut. Pengambilan lahan tersebut bagi mereka adalah penipuan. Hal ini terlihat dari hasil wawancara penulis dengan tokoh perjuangan petani Sugapa yang menyatakan: “Pamarenta dohot pengusaha, satahi mangoto-otoi hami. Marmusyawarah ninna, alai dang dohot hami dijou. Nasodohot di rapot i pe adongdo do nadipalsuhon tekkenanna. Lomo-lomo ni pamaretta ma mangoto-otoi jala membuat tano nami atas nama hasil ni rapot dohot adat. (Pemerintah dan Pengusaha kerjasama melakukan penipuan kepada kami. Katanya musyawarah desa di adakan, tapi kami tidak diikutkan. Bahkan ada yang tidak ikut dalam musyawarah itu, tandan-tangannya dipalsukan. Aparat pemerintah bisa sesuka hati membohongi dan mengalihkan lahan atas nama hasil musyawarah dan adapt)”

Petani Sugapa yang merupakan komunitas petani dengan etnis Batak yakni marga Baringbing dan Naipospos, secara turun

temurun menguasai tanah adat mereka. Arti dan fungsi tanah bagi mereka di samping mengandung aspek ekonomis juga menyangkut aspek budaya. Pemaknaan komunitas petani Sugapa atas penguasaan tanah tersebut selain untuk memenuhi tuntutan hidup mereka juga merupakan sebagai symbol dari keberadaan marga mereka dan secara sakral sebagai warisan dari leluhur mereka. Tokoh adat marga Baringbing yang diwawancarai menyatakan: “Tano na ditadinghon oppung nami do on. Na jolo loja do nasida memopar on. Sian harangan na ditubui duri-duri gabe tano partanian dohot jampalan. Jadi tano on songon tanda do dihami jala si torussonon nami tu angka pahompu nami muse. (Tanah ini adalah warisan para pendahulu kami, di manadulu mereka bersusah payah membukanya. Dari harangan yang hanya ditumbuhi semak-belukar mereka menjadikannya sebaga lahan pertanian dan peternakan. Tanah ini merupakan bagian dari keberadaan marga kami dan menjadi warisan bagi keturunan kami selanjutnya)”

Kenyataan yang tersebut menjadi pemicu perlawanan petani terhadap negara yang memfasilitasi PT.Inti Indorayon Utama untuk menjadikan lahan rakyat sebagai areal tanam bahan baku industri. Ketika semua proses perampasan tanah telah menjadikan masyarakat menderita secara moral maupun material maka seperti yang diungkapkan oleh Scott (1993: 6) bahwa akibat dari komersialisasi pertanian, ketika kepercayaan petani akan jaminan subsistensi mulai menurun dan petani tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan.

Perjuangan secara berkelompok cenderung lebih berhasil daripada perjuangan yang hanya dilakukan secara sendiri-sendiri. Hal ini merupakan fakta bahwa manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian. Manusia dituntut harus bersosialisasi dengan orang lain. Salah satu faktor penyebabnya adalah karena manusia itu memiliki keterbatasan dalam pemenuhan segala kebutuhannya. Setiap manusia harus melakukan interaksi untuk mendukung proses pemenuhan kebutuhan tersebut. Begitu juga dengan masyarakat petani yang berkonflik.

Menurut Coser (1956: 108), situsi konflik secara potensial positif untuk membentuk serta mempertahankan struktur. Selain itu konflik juga dapat menetapkan garis

Page 103: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 324 – 336

333

batas dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya.

Hubungan yang tercipta antara sesama masyarakat petani Sugapa adalah kuat. Masing-masing terikat oleh kesamaan pandangan dan kebutuhan yaitu, mempertahankan tanah sebagai sumber mata pencaharian serta untuk kelangsungan komunitas adat mereka. Ditambah oleh faktor kekerabatan mereka yang merupakan komunitas dengan ikatan kekerabatan yang masih kuat. Perjuangan dalam mempertahankan haknya dilakukan oleh masyarakat petani secara bersama-sama. Wawancara dengan tokoh perjuangan petani, ia menyatakan: “Napinerjuanghonon nami on, hak nami do. Jala tujuannape tu hami sude do, mamperjuanghonsape rap do hami (Apa yang kami perjuangkan adalah hak kami dan yang menjadi tujuan perjuangan kami adalah untuk kepentingan bersama, dalam memperjuangkan-nya pun kami lakukan secara bersama-sama)”

Dalam proses perjuangnya petani juga membangun hubungan kerjasama dengan pihak di luar petani. Keterlibatan LSM banyak memberi bantuan bagi masyarakat petani. Bentuk-bentuk bantuan LSM terhadap perjuangan mereka adalah dukungan moral dan pemberdayaan pemikiran. Peran advokasi LSM sangat membantu masyarakat dalam menempuh perjuangan dalam jalur hukum. Tokoh perjuangan yang penulis wawancarai menyatakan: “Tung godang do pangurupion sian LSM tu hami, tarlumobi taringot tu hukum. Hami on angka partani do, hurang huattusi hami do taringot hukum, LSM ma namangajar-ajari hami. Dung huattusi hami saotik-saotik lam barani ma hami. (LSM sangat membantu dalam perjuangan kami terutama mengenai proses hukum. Kami ini adalah petani yang kurang paham soal hokum, LSM-lah yang banyak memberi pengetahuan tentang hukum. Karena sudah memahaminya sedikit-banyak kamipun semakin yakin dan berani).

Dari semua bentuk-bentuk perjuangan yang telah dilakukan oleh petani Sugapa yang dibantu oleh pihak LSM, dalam mempertahankan tanah adat mereka berakhir dengan dikembalikannya tanah tersebut oleh pihak PT.Inti Indorayon Utama. Walaupun ancaman bisa saja datang setiap saat. Hal ini terlihat dari wawancara dengan tokoh perjuangan petani Sugapa, di manaia

menyatakan: “Tano nabinuat ni pamarenta dohot Indorayon, mulak tu hami ala diperjuangkon hami jala dang mabiar hami age aha pe naro. (Tanah kami yang sempat dirampas oleh pemerintah dan Indorayon kembali kami kuasai dengan perjuangan bersama yang gigih dan siap menghadapi segala resiko bahkan sampai mati)”

Tanah sebagai sumber mata pencaharian bagi mereka saat ini telah diusahai kembali. Petani menjadikan sebagai areal perladangan dan peternakan seperti kondisi sebelum dirampas oleh pemerintah dan pihak PT.Inti Indorayon Utama.

Ancaman terhadap tanah mereka seperti yang pernah dialami mereka, dapat terjadi kapan saja. Hal inipun disadari oleh masyarakat petani Sugapa. Status tanah adat dengan posisi di depan hukum yang bisa dikatakan lemah merupakan pintu masuk bagi setiap kelompok yang ingin mengusik ketenteraman hidup mereka.

Kesadaran akan ancaman yang bisa datang kapan saja memunculkan motivasi pada petani Sugapa untuk senantiasa menjaga perjuangan mereka agar tidak terdistorsi oleh perubahan yang terjadi dengan membentuk organisasi sebagai wadah dan alat bagi mereka.

Pada tahun 1999, petani Sugapa secara bersama-sama mensahkan berdirinya organisasi mereka dalam bentuk Credit Union (CU) yang diberi nama CU Sugapa. Kerjasam yang dibangun oleh petani dengan kelompok di luar dirinya yaitu LSM memiliki keterlibatan yang positif dalam memberikan pendampingan dan bimbingan tentang pemahaman organisasi bagi petani.

Tokoh perjuangan petani Sugapa yang juga merupakan Ketua CU Sugapa pada periode 1999 s.d. 2005 menyatakan: “Dung mulak tano nami i,, sonang ma roham nami. Alai husadari hami dang boi hami marlemba-lemba alana boi sajo do masa sisongonon muse. Dibahen hami ma organisasi asa tamba pistar hami. LSM ma namandongan-dongani jala mangajar-ajari hami (Setelah tanah kami dikembalikan, kami merasa lega. Tapi kami sadar kalau kami tidak bisa lengah dan harus waspada karena kejadian seperti ini bisa saja terjadi lagi. Untuk itu kami berorganisai agar kami tetap kompak, bisa bertukar pikiran dan mengembangkan pertanian kami. Pengetahuan tentang organisasi dan pertanian banyak kami dapatkan dari LSM yang mendampingi kami)”

Page 104: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Pandiangan, Bentuk-Bentuk Perlawanan...

334

Perlawanan demi perlawanan yang terus dilakukan oleh petani terhadap pemerintah dan pihak pemilik modal baik melalui aksi dilahan sengketa maupun lewat jalur birokrasi pemerintahan sangatlah meresahkan masyarakat. Berbagai bentuk intimidasi yang melibatkan aparat kepolisian dilakukan dengan gencar. Aparat polisi mendatangi petani ke rumah-rumah mereka dan menakut-nakutinya.

Petani mencabuti bibit tanaman eucalyptus sebagai bentuk perlawanan secara tersembunyi dalam mempertahankan tanah mereka, disikapi oleh PT.Inti Indorayon Utama dengan mengadukan rakyat petani sebanyak 10 orang. Pengadilan Negeri memutuskan hukuman percobaan selama enam bulan. Putusan yang tidak memberi rasa adil bagi masyarakat petani membuat mereka melakukan banding ke Pengadilan Tinggi. Pengadilan memberi putusan yang jauh dari rasa adil. Sepuluh orang petani yang dihukum masa percobaan selama enam bulan oleh Pengadilan Negeri dihukum pejara selama 3 bulan dengan masa percobaan selama enam bulan. Hal ini dinyatakan oleh tokoh perjuanan petani saat diwawancari oleh penulis yang menyatakan: “Ditangkup ma hami jala diadili di Balige dohot di Medan. Alai hu gugat hami ma muse tu Mahkamah Agung, jala sahat tu saonnari dang adong putusanna.(Kami ditangkap, diadili di Balige dan di Medan. Tetapi kami tidak berhenti dan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusannya sampai saat ini tidak jelas).”

Petani yang merasa diperlakukan dengan tidak adil tidak menerima putusan tersebut dan mengajukan Kasasi. Akhir dari proses tersebut sampai saat ini tidak jelas Kesimpulan

Masyarakat Sugapa dari dulu adalah

petani yang menggarap tanah adat, telah kehilangan tanah mereka seluas 52 hektar karena diambil alih oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Tapanuli Utara yang kemudian diberikan kepada PT.Inti Indorayon Utama (IIU) sebagai areal penanaman pohon bahan baku industri pulp dan rayon.

Perampasan tanah petani melalui proses manipulasi oleh aparat pemerintah pada tahun 1987 telah menumbuhkan rasa ketidakadilan dan kesewenang-wenangan negara terhadap masyarakat petani Sugapa yang menguasai tanah mereka secara turun-temurun. Marga

Barimbing beserta Naipospos merupakan kelompok yang membuka lahan seluas 52 hektar dan secara turun-temurun dijadikan sebagai areal perladangan dan peternakan, merasa hak mereka telah dirampas oleh negara.

Dampak dari perampasan lahan bagi kehidupan petani terutama dalam hal perekonomian sangatlah dirasakan oleh masyarakat. Kelangsungan subsistensi petani terganggu oleh adanya perampasan tanah tersebut. Kehidupan petani yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan minimal dengan memprioritaskan keselamatan daripada menempuh usaha yang beresiko terancam keberadaannya.

Hal ini menjadi faktor yang mendorong timbulnya perlawanan petani terhadap dominasi dari negara. Negara berperan sebagai alat bagi penguasa untuk mengeksploitasi rakyat. Perlawanan petani Sugapa, berdasarkan data yang didapat dari lapangan, dapat disimpulkan, bahwa bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh petani, dapat dikategorikan ke dalam dua cara yaitu: 1. Perlawanan secara terbuka

Perlawanan secara terbuka sudah dimulai oleh petani pada saat terjadinya perampasan lahan tahun 1987, masyarakat mempertanyakan proses dan hasil musyawarah yang memutuskan adanya pengalihan tanah adat petani kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Tapanuli Utara kepada kepala desa. Kemudian membuat pengaduan kepada Camat Kecamatan Silaen dan Kepolisian Sektor Silaen dan selanjutnya menyurati Bupati Taput dan DPRD TK II, Gubernur Sumut dan DPRD TK I, Depdagri serta Presiden. Upaya yang ditempuh oleh masyarakat pada akhirnya membuahkan hasil dan tanah adat mereka yang sempat dirampas dan saat ini telah dikuasai kembali. Dalam proses pengembalian ada kejanggalan di manapihak yang mengembalikan adalah PT.Inti Indorayon Utama dan dengan status lahan sebagai areal plasma Hutan Tanaman Industri. Pengembalian tanah oleh pihak PT.IIU terkesan setengah hati dan hal ini membuat masyarakat petani tetap waspada dengan upaya-upaya yang akan dilakukan oleh PT.IIU dimasa mendatang untuk merampas tanah rakyat. Secara praktik di lapangan petani Sugapa telah mengusahai

Page 105: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 324 – 336

335

tanah tersebut dan menjadikannya sebagai areal perladangan dan peternakan. Walaupun status hukum tanah tersebut masih rentan dengan upaya-upaya perampasan oleh pihak yang berkeinginan untuk merampasnya. Kekuatan hukumnya sangat lemah oleh karena tidak adanya pengakuan dan jaminan dari negara. Ditambah lagi dengan adanya tindakan memanipulasi unsur adat lokal oleh negara untuk melegitimasi proses dominasi yang dilakukan terhadap masyarakat petani. Pada tahun 1990 tanah yang sempat dirampas oleh pemerintah dan diberikan kepada PT.Inti Indorayon Utama (IIU) kembali dikuasai oleh petani. Empat Tahun perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat berakhir dengan dikembalikannya tanah mereka. Pada tahun 1999, petani menyadari akan perlunya organisasi dalam menjaga kebersamaan mereka dan juga untuk mempertahankan eksistensi mereka serta sebagai alat untuk mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi mereka. Maka petani membentuk organisasi dalam bentuk Credit Union (CU) yang diberi nama CU Sugapa

2. Perlawanan secara tertutup

Perlawanan secara tertutup ataupun perlawanan yag dilakukan secara diam-diam dilakukan dengan dua cara yaitu, mematikan bibit tanaman dan mengusir para pekerja PT.IIU yang bekerja di atas lahan rakyat. Perlawanan secara diam-diam dengan mematikan bibit tanaman dilakukan oleh kaum ibu-ibu secara sendiri-sendiri dan bersama. Tanaman yang dicabuti kemudian dibiarkan saja di atas tanah tersebut. Seluruh bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh petani di Desa Sugapa merupakan ekses langsung dari kekecewaan atas hilangnya hak-hak mereka yang sanngat hakiki. Kehilangan tanah berdampak pada terganggunya kelangsungan hidup mereka dan mengancam keberadaan mereka. Keberpihakan negara terhadap pemilik modal dan dimanipulasinya unsur adat lokal sebagai dasar legitimasi merupakan tindakan yang sangat memilukan hati rakyat petani. Tanah adat yang mereka

kuasai secara turun-temurun dan menjadi sumber mata pencaharian mereka juga dipandang tidak semata-mata untuk dieksploitasi. Akan tetapi ada unsur yang menciptakan keterikatan batin mereka dengan tanah yang mereka kuasai.

Daftar Pustaka Bachriadi, Dianto, Ketergantungan Petani dan

Penetrasi Kapital, Akatiga, Bandung, 1995

Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2000 Faisal, Sanafiah, Format-format Penelitian

Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999

Fauzi, Noer, Petani dan Penguasa, Dinamika

Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Insist, KPA bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999

Jhonson, Doyle, P, Teori Sosiologi Klasik,

Gramedia, Jakarta, 1990 Landsberger, A, Henry dan Y.U.G.

ALexandrov, Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, CV Rajawali, Jakarta, 1984

Nugroho, Heru, Negara, Pasar dan Keadilan

Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001

Reading, F, Hugo, Kamus Ilmu-Ilmu Sosial,

CV Rajawali, Jakarta, 1986 Singarimbun, Masri dan Sofyan Efendi,

Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1998

Suseno, Magnis, F, Pemikiran Karl Marx, Dari

Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 1990

____ , Ringkasan Sejarah Marxisme dan

Komunisme Sebuah Diktat Filsafat Sosial Abad XIX dan XX, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, 1977

Page 106: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Pandiangan, Bentuk-Bentuk Perlawanan...

336

Sayogyo, Sosiologi Pedesaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1983

Scott, C, James, Perlawanan Kaum Tani,

Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993 ____, Moral Ekonomi Petani, LP3ES,

Jakarta, 1981

Soekanto, Soerjono, Kamus Istilah Sosiologi, Grafindo Persada, Jakarta, 1993

Soetomo, Greg, Kekalahan Manusia Petani,

Kanisius, Yogyakarta, 1997 Suhendar, Endang dan Yohan Budi Winarni,

Petani dan Konflik Agraria, Akatiga, Bandung, 1998.

Page 107: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

337

Matias Siagian adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU

KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN SETENGAH HATI

NEGARA DALAM MENGATASINYA

Matias Siagian

Abstract

The cash direct aid is a new in social policy by govenrment. The poor people get one hundred rupias for a month. Is this program can change their life? Is this program showed the government solved poverty problem seriuosly? Theorically, development can caused economy situation if planned in economy macro. It is need the new program and policy. Giving one hundred for one mont for a poor family can not change their life, but give them the job, especially good job will be change thier life. So, we can say, that government have not the goog policy for poor people. Keywords: poverty, development policy, macro economy

Pendahuluan

Pemerintah boleh saja mengemukakan telah melakukan ini dan itu, telah mengambil kebijakan untuk tujuan ini dan itu, namun semua itu oleh banyak pengamat tidak lebih dari ”lipstik politik” ketika pada bulan Maret 2006 Badan Pusat Statistik mengumumkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 39,05 juta orang. (Dahuri, dalam Kompas, Jumat, 22 September 2006)

Pengumuman Badan Pusat Statistik ini mengakhiri polemik tentang angka kemiskinan sejak Presiden dalam pidato kenegaraannya sebagai pengantar pada pengajuan RAPBN 2007 di hadapan Sidang Paripurna DPR Agustus 2006 mengkalaim adanya peningkatan kesejahteraan rakyat dan penurunan angka dan tingkat kemiskinan.

Pidato itu dianggap kontras dengan kondisi yang ada. Masalahnya, kesengsaraan rakyat merupakan pandangan umum yang ada di mana-mana. Ketidakseimbangan antara permintaan dengan penawaran tenaga kerja sangat menonjol, saat penerimaan SPNS. Di manaada kalanya dibutuhkan hanya dua – tiga orang untuk lulusan tertentu ternyata diperebutkan ratusanorang. Bukankah pengangguran itu juga merupakan cermin sekaligus kontributor bagi kemiskinan?

Perlu diketahui, jumlah orang miskin yang mencapai 39,05 juta orang merupakan masalah besar. Angka ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah orang miskin di Indonesia, di manapada bulan Pebruari 2005 jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 35,10 juta orang. Jumlah 39,05 juta orang miskin berarti bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia telah mencapai 17,75 persen. Secara persentase berarti telah terjadi peningkatan tingkat kemiskinan, di manapada bulan Pebruari 2005 tingkat kemiskinan mencapai 15,97 persen. (Tingkat kemiskinan adalah jumlah orang miskin dibagi jumlah keseluruhan penduduk dikali 100).

Menariknya lagi angka 39,05 juta dengan 17,75 persen tingkat kemiskinan juga masih dikutak katik atau distel. Oleh banyak pakar angka ini masih versi Pemerintah. Dalam arti, resminya jumlah orang miskin di Indonesia itu berapa? Hal ini masih merupakan pertanyaan berkepanjangan dan selalu menjadi polemik. Dinyatakan sebagai polemik, bukan berarti bahwa angka itu tidak akurat atau bukan berarti telah terjadi manipulasi angka maupun distribusi pendapatan di Indonesia. Masalah sentral di sini adalah seputar penetapan indikator kemiskinan, di manahal ini diambil dari indikator ”hidup layak”.

Page 108: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Siagian, Kemiskinan dan Kebijakan...

338

Hal ini antara lain terlihat dari protes yang berkepanjangan terhadap Upah Minimum Provinsi (UMP) yang selalu mewarnai berita di media massa. Perlu ditambahkan bahwa penetapan angka UMP didasarkan pada penetapan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM). Misalnya, jika angka UMP di suatu Provinsi Rp. 600.000,-, dengan asumsi ini merupakan angka kotor dari gaji atau upah yang diterima oleh seorang karyawan yang memiliki seorang ister dan dua orang anak. Lalu, apakah orang bisa hidup layak dengan modal Rp. 150.000 per bulan, di manauang sejumlah itu sudah harus didistribusikan untuk berbagai kebutuhan seperti kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, sosial budaya, transportasi, dan lain-lain?

Artinya, jika kebutuhan minimum itu dikoreksi dalam arti kita ingin menempatkan manusia Indonesia hidup secara manusiawi boleh jadi jumlah orang miskin di Indonesia bukan 39,05 juta, tetapi akan mencapai 78,1 juta atau terjadi kelipatannya. Dengan demikian tingkat kemiskinan bukan lagi 17,75%, melainkan sudah mencapai 35,5%. Jika kondisi yang layak ini kita dudukkan secara proporsional bukankah ini sudah merupakan lonceng kematian? Kebijakan Setengah Hati

Secara jujur dan wajar angka dan tingkat kemiskinan di Indonesia itu sudah sangat mengkhawatirkan. Orang sudah resah di mana-mana. Namun masih ada lagi yang lebih mengkhawatirkan dari sekedar angka dan tingkat kemiskinan, yakni hingga detik ini belum ada gejala-gejala ke arah perbaikan, baik dari sudut fakta di lapangan maupun kebijakan ekonomi dan sosial. Artinya, Pemerintah sepertinya mengejutkan, masih bisa bernafas lega, pejabat eksekutif dan terutama legislatif masih bisa anjang sana anjang sini, angkat koper ke mana-mana untuk menghabiskan dana dengan alasan studi banding di dan ke dalam maupun luar negeri. Lalu rakyat miskin kita ini mau diapakan?

Lebih dari itu, Pemerintah bahkan merasa dirinya telah berperan sebagai pahlawan alias sinterklas ketika diluncurkannya kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Apakah dengan implementasi program BLT dapat menjadi solusi terhadap masalah kemiskinan? Apakah dengan memberikan Rp. 100.000 perbulan untuk satu

keluarga dapat mengangkat harkat dan derajat keluarga itu sehingga terangkat dari jurang kemiskinan? Apakah kebijakan sock terapi bisa mengakhiri satu fenomena dan fakta yang terjadi secara sistematis dan merupakan dampak dari kebijakan dan program berkepanjangan?

Secara jujur dapat dikemukakan, bahwa program BLT mengindikasikan bahwa Pemerintah telah kehilangan akal dan hingga saat ini belum menemukan kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah kemiskinan. Lalu, jika Pemerintah kehilangan akal secara berkepanjangan dan selalu belum menemukan kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah kemiskinan, kapan lagi Pemerintah akan menetapkan kebijakan tersebut, sementara periode kepemimpinan nasional sudah memasuki tahun ketiga dari lima tahun periode kepemimpinan nasional itu? Orang jadinya tidak sabar, kapan lagi kebijakan itu ditetapkan? Kapan lagi kebijakan yang tepat diimplementasikan? Lalu kapan lagi output dan outcome dari kebijakan itu sampai ke tangan massyarakat sebagai stokeholder dari Pemerintah cq partai-partai politik?

Atau... apakah pemerintah sebagai representasi partai politik lebih cenderung dan merasa lebih enak dan asyik mengarang cerita baru sebagai bahan kampanye pemilu 2009 dari pada pusing putar otak mencari alternatif terbaik dalam rangka mencari solusi terhadap masalah besar negara ini? Boleh jadi mencari cerita baru itu memang merupakan alternatif terbaik, masalahnya perilaku politik rakyat bawah pun belum sampai pada tingkat evaluatif dan obyektif. Sentimen kesukuan maupun ideologi masih sangat kental pada sebagian besar rakyat Indonesia sebagai pemangku pemerintah yang merupakan representasi partai politik.

Hal ini berarti bahwa perhatian dan kebijakan Pemerintah terhadap masalah besar negara ini, kemiskinan masih setengah hati. Kecenderungan ini memang dapat dibuktikan dalam berbagai kebijakan Pemerintah hampir sepanjang masa. Misalnya, BLT, apakah dengan memberikan Rp. 100.000 perbulan untuk satu keluarga yang mungkin mempunyai 3 – 5 orang signifikan terhadap perubahan tingkat kesejahteraan mereka? Apakah dengan memberikan subsidi sebesar Rp. 400.000 melalui JPS lantas nasib sebuah keluarga sebagai kontributor angka dan tingkat kemiskinan itu dapat membaik. Sekali lagi,

Page 109: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 337 – 340

339

Pemerintah memang masih setengah hati dalam memperbaiki nasib rakyat bawah. Belajar dari Faktor Penyebab

Penyelesaian sebuah masalah hanya akan dapat dilakukan jika mencapai dan menyentuh akar permasalahan itu. Oleh karena itu, kita tidak cukup hanya menyentuh masalahnya, melainkan harus menyentuh akar permasalahannya. Menyentuh masalah identik dengan memberikan penghilang rasa sakit tanpa mengobatinya, bukankah hal seperti ini merupakan tindakan manipulatif?

Jika ditinjau dari segi penyebabnya, kemiskinan itu dapat digolongkan ke dalam beberapa jenis, seperti kemiskinan alamiah, kemiskinan budaya, maupun kemiskinan struktural. Lagu ”Kolam Susu” dari KoesPlus menyimpulkan bahwa rakyat Indonesia tidak mungkin mengalami kemiskinan alamiah. Tanah kita terbentang luas dan subur. Kita juga tidak kurang dalam hal barang mineral ataupun tambang, terlebih dibandingkan dengan banyak negara maju sebagai pendatang baru, seperti Taiwan dan Israel. Yang menjadi masalah adalah siapa yang menikmati kondisi lahan yang terbentang luas dan subur itu? Siapa yang kenyang dari barang tambang yang melimpah ruah itu?

Dengan demikian kemiskinan yang menonjol di Indonesia adalah kemiskinan struktural dan kemiskinan budaya. Dengan demikian upaya menyentuh akar permasalahan itu sangat mudah jika dilakukan dengan kebijakan yang tepat! Di samping itu, kebijakan itu harus diamankan hingga dapat diimplementasi secara baik, melalui evaluasi yang jujur pula. Sebagai contoh, protes banyak masyarakat tentang distribusi BLT menunjukkan bahwa kebijakan yang tepat juga dilaksanakan secara tidak tepat pula, alias salah alamat. Kondisi ini menunjukkan, bahwa kita sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Sebagai contoh, kebijakan Perbankan yang katanya mengalokasikan dana bagi UKM masih merupakan lipstik politik. Hingga saat ini belum ada bukti, bahwa kredit bagi UKM itu mudah meluncur, tanpa syarat-syarat yang mustahil dapat dipenuhi. Belum lagi, uang pelicin harus jalan, bunga yang dianggap masih tergolong tinggi. Lalu kapan ada perbaikan? Sekali lagi, masalah akses terhadap Perbankan masih merupakan lautan masalah. Pengusaha kaya dengan mudah memperoleh

kredit, namun orang miskin, siapa yang mempercayainya? Padahal kredit macet selalu lebih menumpuk pada pengusaha skala besar? Apakah kondisi seperti ini tidak melahirkan adanya faktor ”x” yang berperan di dalamnya, sehingga aktor Perbankan merasa lebih menguntungkan dan mengenakkan mengurusi pengusaha kaya dari pada orang miskin?

Saat ini masalah kemiskinan sudah terdistribusi, baik di pedesaan maupun perkotaan. Kondisi seperti ini terjadi pada dua dekade terakhir sebagai akibat dari sikap Pemerintah yang sudah cenderung menelantarkan desa dan lebih memperhatikan kota. Tidak seperti kebijakan pembangunan yang terjadi sepanjang Pelita I s.d. IV, di manasaat itu Pemerintah kaya dengan kebijakan pembangunan desa yang sangat populer, seperti insus, inmas, bimas, dan lain-lain. Kebijakan ini, terutama pelaksanaannya memang berdampak luas dan benar-benar mampu mengangkat harkat dan derajat masyarakat desa.

Miskinnya kreasi kebijakan pembangunan desa pada dua dekade terakhir mengakibatkan meningkatnya arus urbanisasi. Masalaahnya orang desa merasa gerah di desa. Oleh karena itu mereka mencari alternatif lain, migrasi intern pedesaan (menuju pusat-pusat pertumbuhan di daerah pedesaan, seperti menjadi buruh di Perkebunan) atau memburu sektor informal di perkotaan, seperti menjadi pemulung, bekerja serabutan, pedagang asongan, pedagang kaki lima, atau berdagang di badan-badan jalan yang lagi ngetrend saat ini. Alternatif kedua ini menimbulkan banyak masalah di kota-kota. Masalahnya, modernisasi menetapkan bahwa hidup di kota jelas-jelas tidak lagi ramah bagi tenaga kerja minus keterampilan.

Oleh karena itu kebijakan pembangunan industri pedesaan, khususnya kerajinan rumah tangga harus dijadikan salah satu alternatif. Demi pemerataan dan keadilan, membangun satu pabrik industri dengan modal dua trillyun tidak lebih baik dari membangun industri kerajinan sebanyak 10.000 unit dengan modal dalam jumlah yang sama. Artinya, dengan jumlah modal yang sama dapat dibuka lapangan kerja sebanyak 100 kali lipat. Dengan demikian keberpihakan Pemerintah pada pengusaha berskala besar harus dihentikan.

Di kota-kota, misalnya Pemerintah sudah harus mengalihkan perhatiannya dari

Page 110: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Siagian, Kemiskinan dan Kebijakan...

340

Pusat Perbelanjaan modern ke padagang tradisional. Oleh karena itu, penataan pasar tradisional harus dilakukan. Membiarkan pedagang kecil melakukan usahanya di badan-badan jalan dan di atas parit jalan tidak perlu diteruskan.

Penataan pasar tradisional sangat mendesak, karena merupakan pengangga usaha tani pedesaan. Di sanalah pusat lalu lintas perdagangan desa – kota. Mendidik orang menjadi pedagang kecil itu jauh lebih baik dan manusiawi daripada menumpuk mereka menjai sales di Plaza-plaza yang akan mengalami PHK setiap saat kapan pengusaha mau. Di samping itu, menjadi sales di Plaza-plaza ternyata juga tidak mampu mensejahterakan masyarakat. Masalahnya, dengan gaji yang sangat minim, mereka harus berpenampilan menarik. Akibatnya terjadi masalah: Lebih besar pasak dari pada tiang. Akibat lebih lanjut, mereka ini sangat rentan terhadap masalah sosial lainnya, misalnya menjadi pelacur intelektual atau profesional khusus konsumen kelas atas.

Kemiskinan sering identik dengan wanita, demikian kata Michael P. Todaro. Misalnya, budaya mayoritas masyarakat Indonesia yang masih menomorduakan perempuan masih sangat nyata. Seorang ibu rumah tangga yang karena suatu hal terpaksa kehilangan suami dan berperan sebagai orang tua tunggal. Mereka umumnya gamang dalam menjalankan roda rumah tangga karena sejak kecil memang dididik hanya sekedar orang nomor dua dalam rumah tangga.

Demikian halnya dengan suami yang terpaksa melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan, biasanya mengalami biaya produksi dan biaya hidup yang besar. Akibatnya, hanya sebagian kecil dari pendapatan yang diperoleh dikirim kepada keluarganya.

Hal ini berarti bahwa pemberdayaan perempuan merupakan kebijakan yang sangat mendesak. Melalui kebijakan yang tepat kemiskinan kultural dapat dihapuskan atau setidaknya diminimalkan. Kenyataan membuktikan, kaum perempuan dapat menjadi tenaga terampil dan sabar jika dididik dan dilatih. Dengan demikian, pemberdayaan

perempuan sangat efektif dalam rangka mengurangi angka dan tingkat kemiskinan.

Kebijakan lain adalah pemekaran pendidikan keterampilan spesifik lokal. Kita tidak bijak untuk mempertahankan suatu kebijakan yang menguniversalkan jenis pendidikan keterampilan, seperti SMK. Program studi di tingkat dan jenis pendidikan ini harus ditata dan disesuaikan dengan potensi lokal. Misalnya, SMK Perkebunan, SMK Tanaman Palawija, SMK Kerajinan Tangan, SMK Industri Pedesaan, SMK Perikanan Darat, SMK Perdagangan Kecil, dan lain-lain. Mempertahankan penggolongan pendidikan yang konvensional sama saja dengan membuka lebar-lebar pintu pengangguran. Kesimpulan 1. Kemiskinan bukan sekedar masalah,

melainkan merupakan akar masalah sosial lain, seperti pelacuran, pencurian, perampokan, dan lain-lain.

2. Menciptakan lapangan kerja jauh lebih tepat dari pada mempertahankan kebijakan BLT.

3. Menggairahkan kembali ekonomi pedesaan harus dilakukan. Pengembangan potensi daerah dapat dilakukan melalui kebijakan baru dalam pengembangan jenis dan tingkat pendidikan SMK.

4. Pemberdayaan perempuan sangat penting dilakukan, karena perempuan merupakan potensi pembangunan.

Daftar Pustaka Penny, D, H, 1990, Kemiskinan Peranan

Sistem Pasar, UI Press, Jakarta Scarlett & Espstein, 1978, Oppotunity and

Response, Case Studies in Economic Develompemnt, C.Hurst Co, London.

Todaro, Michael, P, 1995, Ekonomi Untuk

Negara Berkembang, Bumi Aksara, Jakarta.

Page 111: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

341

Sukarman Purba adalah Staf Pengajar Universitas Negeri Medan

MENUJU PERGURUAN TINGGI MASA DEPAN

Sukarman Purba

Abstract

The future strike for quality, so the university as a runner instutution high education service must has academic capability to product graduate who has academic capability and profession in his field. To reach it, the future university mast to do anything new and carry out modern and proffesional management. The university must has capability to manage and empower all of it’s resourcess who has quality oriented, upgrading it’s capability and always focus to customer (people as the sourcess student). The university must implement production oriented management, market oriented, and society oriented. Especially to carry out the Law Institution University, as a good institution to get autonomy in financial management, educational activity, research activity, and service to the people and carry out social mission as a institution which organizer high education for the people. So the university leaders and all of his officials must always already changes his working culture. Keywords: university, educational management

Pendahuluan

Perguruan Tinggi (PT) sebagai suatu wadah formal yang diharapkan dapat menghasilkan kader-kader calon pemimpin bangsa, haruslah melakukan reformasi manajemen pendidikan dengan mengedepankan peningkatan mutu pendidikan. Perguruan Tinggi yang bermutu haruslah selalu berupaya memenuhi keinginan

atau kebutuhan pelanggannya, yang meliputi mahasiswa, orangtua mahasiswa, staf perguruan tinggi, masyarakat dan pemerintah. Namun, salah satu masalah pendidikan tinggi yang dihadapi dewasa ini adalah merosotnya mutu pendidikan. Seperti dikemukakan Tilaar (2003) bahwa Pendidikan Tinggi perlu mengadakan pembenahan manajemen, karena manajemen yang sentralistik telah mengakibat-kan merosotnya mutu pendidikan. Lebih lanjut, Arief Rahman (2004) menyatakan permasalahan pendidikan tinggi saat ini adalah kemampuan menguasai pengetahuan tidak disertai dengan pembinaan kegemaran belajar, titel dan gelar yang menjadi target pendidikan tidak disertai dengan tanggung jawab ilmiah

yang mumpuni serta manajemen pendidikan yang sentralistik. Sedangkan Efendi (2001) menyatakan pendidikan tinggi kita saat ini sedang menghadapi tiga tantangan berat, yakni (a) peningkatan mutu, (b) akses yang merata dan adil bagi semua golongan masyarakat, serta (c) efisiensi internal yang masih rendah. Berdasarkan pengamatan dan analisis yang dilakukan, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata, yaitu a) kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function yang tidak dilaksanakan secara konsekuen; b) penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga Sekolah maupun Perguruan Tinggi sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi atau tempat dan c) peran serta masyarakat, khususnya peran orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim (Purba, 2005:3). Kondisi krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak 1997 mengakibatkan subsidi (bantuan) biaya

Page 112: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Purba, Menuju Perguruan Tinggi...

342

pendidikan yang diberikan pemerintah dalam pengelolan pendidikan tinggi sangat kecil sehingga Perguruan Tinggi tidak dapat berbuat banyak dalam peningkatan mutu pendidikan. Anggaran biaya pendidikan yang telah disepakati 20% hanya terealisasi sekitas 9,5% dari APBN.

Rendahnya biaya pendidikan yang dialokasi mengakibatkan Perguruan Tinggi besar melakukan terobosan dengan melakukan perubahan status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN). Dengan keluarnya PP No. 61 Tahun 1999 telah memberi kesempatan kepada empat perguruan tinggi yang telah dianggap memenuhi kriteria melakukan transformasi PTN menjadi PT-BHMN, yaitu UI, UGM, ITB dan IPB, dan beberapa PT lainnya menyusul seperti USU dan UPI. Perubahan ini merupakan momen untuk melakukan perubahan mendasar pada sistem kelembagaan guna menciptakan agility pada sistem organisasi sehingga mampu berperan secara nyata dalam menjawab tantangan pada era global. Seperti yang dikemukakan Cole, et al. (1994) bahwa universitas-universitas terkenal di dunia mengharuskan menyusun visi dan misi baru untuk menyongsong kehidupan era global yang semakin kompetitif.

Perubahan ini haruslah dilihat dari perspekrtif semangat menuju yang lebih baik, selaras dengan kebutuhan masyarakat dan komunitas akademik. Hal ini juga terjadi pada Perguruan Tinggi luar negeri, karena subsidi pemerintah dalam bentuk block grant yang sangat kecil mengakibatkan Perguruan Tinggi yang ada di Amerika, Inggris, Kanada dan Australia telah melakukan terobosan pencarian dana dalam pengelolaan PT dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, sehingga PT telah berubah menjadi Kapitalisme Akademik (Academic Capitalism) (Slaughter dan Leslei, 1999).

Kesiapan Menuju Perguruan Tinggi Masa Depan

Dalam memasuki gelombang ketiga, secara makro Perguruan Tinggi (PT) akan menghadapi tantangan yang berat. Akibat percepatan arus perubahan sosial yang drastis, akhirnya secara sadar atau tidak, telah memaksa berbagai penjual jasa, termasuk perguruan tinggi untuk lebih adaptif terhadap

perubahan tersebut. Inisiatif untuk menata pendidikan tinggi dalam satu sistem nasional telah muncul sejak Tahun 1975. Sedangkan lahirnya UU Rebuplik Indonesia (RI) tentang BHMN merupakan salah satu bentuk reformasi pendidikan dan kelanjutan dari pengembangan Pendidikan Tinggi. Untuk itu, keberadaan PT-BHMN harus menjadi inovator dalam mengatasi segala permasalahan yang terjadi. PT haruslah melakukan perubahan strategi, baik visi dan misinya yang tadinya berorientasi nasional menjadi strategi yang berorientasi global. Seperti yang dikemukakan Dahlan (2003), dengan perubahan status tersebut merupakan salah satu alternatif untuk menjawab meningkatnya persaingan global yang menuntut Perguruan Tinggi Masa Depan yang otonom.

Menurut PP No 61 Thn 1999 bahwa Perguruan Tinggi (PT) harus dikelola secara professional seperti layaknya sebuah badan usaha. Namun, perubahan status tersebut hendaknya bukan menjadikan PT sebagai badan usaha yang hanya berorientasi untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, dan tidak dimanfaatkan secara serta merta membebani mahasiswa untuk menanggung biaya penyelenggaraan atau pengelolaan Perguruan Tinggi. Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang independen hendaknya tidak menjadikan perguruan tinggi tersebut sebagai sebuah badan usaha swastanisasi PTN, dan mengabaikan tanggung jawab sosialnya sebagai lembaga nirlaba penyelenggaraan pendidikan tinggi. Tantangan utama yang dihadapi dalam suatu proses perubahan adalah dinamika perubahan itu sendiri yang memerlukan penyelarasan dan konsistensi untuk menuju sasaran yang telah ditetapkan. Perbedaan antara sistem dan nilai-nilai lama dengan sistem dan nilai-nilai baru berpotensi menimbulkan konflik yang menuntut kepemimpinan dengan visi transformasi yang kuat untuk memandu arah perubahan yang akan dilakukan. Harus disadari bahwa dalam setiap melakukan suatu perubahan tidak terlepas dari berbagai kendala, baik dari Internal maupun Eksternal. Kendala yang dihadapi dari internal adalah adanya konflik kepentingan, sikap apriori atau curiga terhadap perubahan, pengaruh budaya dan sistem kerja lama, dan keterbatasan sumber daya. Sedangkan kendala eksternal yang dihadapi adalah belum adanya model yang baku yang tepat dan adanya kesalahan persepsi

Page 113: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 341 – 347

343

“komersialisasi berlebihan” bila terjadi perubahan.

Untuk itu, dalam menuju Perguruan Tinggi Masa Depan diperlukan tekad yang kuat dari pimpinan dan seluruh civitas akademika untuk berorientasi pada peningkatan mutu, memperbaiki proses, melakukan perbaikan secara bertahap dan berkelanjutan, memberdayakan semua unsur yang ada dengan peningkatan kemampuan agar meraih mutu yang diharapkan.

Manajemen Pendidikan Tinggi Menuju Perguruan Tinggi Masa Depan

Untuk mengantisipasi perubahan yang

dinamis itu, maka perguruan tinggi masa depan harus menyiapkan manajemen yang adaptif dan berorientasi pada kebutuhan customer. Perguruan Tinggi (PT) dituntut memiliki misi, visi dan orientasi yang jelas, terbuka dan mempunyai tujuan jangka panjang yang dapat menciptakan produktivitas lulusan yang dapat berdaya saing ditingkat nasional, serta bersaing dengan lulusan dari pendidikan luar negeri. Reformasi manajemen merupakan salah satu tuntutan karena manajemen PT merupakan jantung dari dunia pendidikan tinggi yang akan memberikan atmosfir bagi pemenuhan kebutuhan pasar, serta mampu menciptakan lapangan kerja.

Peningkatan kemampuan untuk mengelola dan mengembangkan PT sudah sangat mendesak, termasuk dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen modern yang berorientasi pada mutu/ kualitas. Bagi pengelola PT, sistem manajemen mutu pada hakekatnya berinti pada perbaikan yang terus menerus untuk memperkuat dan mengembangkan mutu. Di era Global, perubahan yang sangat cepat akan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia mengakibatkan terjadinya globalisasi pendidikan. Hal ini akan mendorong terjadinya pergeseran paradigma pendidikan dari yang bersifar tradisional ke sistem pengelolaan industri. Untuk menjawab tantangan tersebut, salah satu alternatif yang dapat dilakukan dengan pemberian otonomi seluas-luasnya bagi Perguruan Tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan maupun pengelolaan sumber daya yang dimiliki. Seperti yang disampaikan Tilaar (2000) otonomi kelembagaan pendidikan tinggi tidak hanya otonomi dalam bentuk kebebasan

akademik dan mimbar akademik, tetapi juga otonomi lembaga dalam bidang manajemen, penyusunan program, dan budget, sehingga pendidikan tinggi sebagai lembaga akan kreatif dan menjadi pelopor perubahan dalam masyarakat maupun dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Untuk itu, konsep PT perlu menerapkan manajemen modern dengan melakukan berbagai kegiatan yang dapat menambah pemasukan dana untuk operasionalisi PT. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaat dan memberdayakan seluruh sumber daya yang dimiliki demi kepentingan kemajuan perguruan tinggi. Selain itu, dapat dilakukan dengan cara transformasi PTN menjadi PT-BHMN. Namun, perubahan status ini akan menjadi sia-sia bila hanya digunakan sebagai suatu ‘label’ sebuah Perguruan Tinggi tanpa perbaikan pada kinerjanya. Otonomi dalam sistem pengelolaan PT yang ditawarkan melalui status BHMN bukanlah suatu kondisi yang tercipta seketika, melainkan suatu kondisi yang harus dibangun melalui pengembangan kemampuan dalam pengelolaan suatu organisasi pendidikan tinggi secara mandiri, baik dalam penyelenggaraan kegiatan, pengelolaan dan peningkatan sumber daya yang dimilikinya. Untuk itu, diperlukan motivasi yang sangat kuat, visi yang jelas dan konsisten dalam melakukan perubahan menuju sasaran yang telah ditetapkan. Seperti yang dikemukakan Arief Rahman (2004), keberhasilan pengelolan suatu perguruan tinggi tidak lepas dari kualitas manusianya yang akan menjalankan visinya, sistem yang dibangun harus benar-benar bisa melaksanakan visinya dengan baik, serta didukung sarana dan prasarana yang memadai. Dengan demikian, perubahan yang dilakukan diharapkan dapat membangun PT Masa Depan yang sehat dan berkualitas. Harus disadari bahwa "Pendidikan bukan merupakan lahan tempat mencari keuntungan”.

Untuk mewujudkan Perguruan Tinggi Masa Depan sebagai world class university maka PT haruslah melakukan pola manajemen yang bertahap dan berkelanjutan yang dalam kebijakan operasionalnya dengan, a) Melakukan kegiatan yang berorientasi kepada kebutuhan; b) Melakukan pendekatan perubahan 3M (Mudah, Murah dan Menghasilkan) dan 4B (Bertahap, Berjenjang, Bersepakat dan Berkelanjutan);c) Performance-based and fairness, yaitu melakukan perbaikan kinerja dengan alokasi

Page 114: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Purba, Menuju Perguruan Tinggi...

344

sumber daya berdasarkan kinerja dan keadilan termasuk insentif untuk kesejahteraan pegawai; d) Completing the Loop, yaitu perencanaan yang dilakukan mempertimbangkan perbaikan dan pengembangan yang diikuti dengan implementasi, operasi, analisis dan evaluasi; e) Resource leveraging and Institutionalized, yaitu dalam melakukan kemitraan dengan mendayagunakan kompetensi yang dimiliki secara maksimal (resouce leveraging) dan melembaga (institutionalized) guna proses penciptaan nilai (Kardiman, 2003).

Konsep ini tidak akan dapat berjalan dengan baik bila tidak disosialisasikan kepada seluruh civitas akademika. Untuk itu, harus dilakukan sosialisasi secara komprehensif agar keterlibatan semua penyelenggara pendidikan dapat berfungsi secara optimal karena kemajuan PT sangat ditentukan oleh kerja sama dari seluruh civitas akademikanya. Untuk mendapatkan akuntabilitas yang baik, maka perlu adanya open management baik dalam pengelolaan keuangan, pengambilan kebijakan dan penentuan unsur-unsur pengelola (seperti Dewan Audit, Senat Akademik, Dosen, Tenaga Administrasi, Pustakawan, Teknisi, Unsur Pelaksana Akademik, Unsur Pelaksana Administrasi dan Unsur Penunjang) hendaknya dilakukan berdasarkan pemilihan bukan berdasarkan penghunjukan untuk mencegah adanya unsur Nepotisme.

Manajemen pendidikan yang dilakukan mengacu pada tiga model, yakni model: 1) Production Oriented, 2) Market Oriented dan 3) Society Oriented Model (Mujtahid, 2002). Dalam hal ini PT harus mampu menawarkan jasanya dengan penuh keyakinan bahwa PT tersebut mempunyai kapabilitas intelektual, sistem nilai yang cukup mapan, maupun pengalaman, bagi pembeli jasa. Jadi, sesuatu yang ditawarkan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Upaya inovasi terhadap Production Oriented harus dilakukan secara terus menerus dengan melirik pada pasar dan lapangan kerja yang hendak menjadi sasaran Production Oriented tersebut. Selain itu, perguruan tinggi harus sesuai dengan harapan masyarakat, mengingat iklim kompetisi semakin dituntut di era globalisasi. Perguruan Tinggi Masa Depan haruslah memfokuskan manajerial organisasinya pada kepuasan pelanggan, yang terdiri dari masyarakat pengguna (user), masyarakat intelektual, dan masyarakat peminat pendidikan (calon

mahasiswa). Oleh sebab itu, keluwesan dan keleluasaan sistem kerja, budaya dan struktur perguruan tinggi perlu dievaluasi dan diperbaiki. Sebagai konsekwensinya perlu ada koreksi terhadap dimensi aturan-aturan yang mengikat perguruan tinggi, kecuali menyangkut standar mutu minimal yang perlu dirumuskan secara bersama-sama. Dengan demikian, PT haruslah mampu menerapkan pola menejemen adaptif terhadap perubahan, menejemen partisipatif sesuai dengan budaya lokal dan desentralisasi, dan membentuk organisasi yang flat tanpa hirarkhi yang berlebihan serta manejemen mengambil peranan moral dan etika dalam mengelola PT. Langkah-langkah yang harus dilakukan PT adalah melakukan proses internalisasi yang dikemas dalam pembentukan budaya organisasi yang sesuai dengan misi, visi dan tujuan jangka panjang PT tersebut. Menurut Schein (1992) bahwa budaya organisasi adalah pola keyakinan dan nilai-nilai yang dipahami dan dijiwai oleh anggota organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi setidaknya dapat membentuk karakteristik yang dapat membedakan satu PT dengan PT yang lain. Jika sebuah PT menginginkan hasil didik yang berwawasan pencipta kerja, maka budaya organisasi mendorong peserta didik yang inovatif, visioner dan mau peduli terhadap resiko dan punya self confidence yang tinggi yang harus diciptakan.

Model Pelayanan Perguruan Tinggi Masa Depan

Perguruan Tinggi telah mentasdikan diri

sebagai usaha jasa pendidikan. Sebagai usaha jasa, pendidikan tinggi mempunyai kelompok pelanggan yang harus dilayani dengan pelayanan jasa yang bermutu. Seperti yang dikemukakan Tampubolon (2001) bahwa PT pada dasarnya adalah ‘industri jasa’, seperti rumah sakit, hotel dan biro perjalanan yang berusaha memberikan pelayanan jasa yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Untuk itu, sebagai industri jasa PT harus dapat memberikan model pelayanan yang bermutu kepada pelanggannya agar lulusan yang dihasilkan bermutu sehingga mampu menghadapi persaingan pada era global. Era Global merupakan era persaingan mutu atau kualitas sehingga perguruan tinggi di era globalisasi harus berbasis pada mutu, baik dalam kegiatan jasa pendidikan maupun

Page 115: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 341 – 347

345

pengembangan Sumber Daya Manusia agar memiliki keunggulan-keunggulan yang dapat mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan pada era global.

Model Total Quality Management yang mengedepankan aspek kualitas dan aspek pelayanan perlu diintrodusir bagi setiap Perguruan Tinggi melalui upaya optimasi kualitas manajemen proses dan sumber daya manusia serta dana. Perhatian terhadap mutu harus mencakup dalam tiga wilayah utama (three main areas) pendidikan, yaitu: pengajaran (teaching), penelitian (research), dan pendidikan berkelanjutan (continuing education). Seperti yang dikemukan Creech (1996) bahwa untuk menghasilkan produk Perguruan Tinggi yang bermutu haruslah memenuhi prinsip-prinsip Lima Pilar Total Quality Management, yaitu (a) Organisasi sebagai pusat pengembangan mutu, (b) Produk yang relevan dengan kebutuhan konsumen, (c) Proses diarahkan kepada produk yang bermutu sebagaimana yang diharapkan, (d) Adanya kepemimpinan yang kuat, dan (e) Adanya komitmen dari seluruh Civitas Akademika dan seluruh Stakeholders untuk mewujudkan visi dan misi Perguruan Tinggi. Selain itu, Tilaar (2003) menambahkan bahwa kerjasama intra dan inter Universitas PTN dan PTS dan seluruh lembaga PT yang saling menguntungkan perlu dijalankan, tanpa adanya diskriminasi. Dengan demikian, pimpinan Perguruan Tinggi sebagai penanggung jawab utama pada PT berdasarkan PP No. 60 Thn 1999, pasal 29 dituntut melakukan model pelayanan demi peningkatan mutu lulusan dengan membekali mahasiswa memiliki jiwa kewirausahaan, pembukaan program diarahkan pada kebutuhan masyarakat, menjalin kerja sama antar perguruan tinggi, memberikan kesempatan kepada mahasiswa yang tidak mampu yang memiliki keunggulan prestasi serta mendorong manajemen internal yang lebih kondusif.

Perguruan Tinggi sebagai wahana kumpulan tenaga ahli diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberi sumbangan kepada pembangunan. Untuk itu, Perguruan Tinggi Masa Depan haruslah selalu melakukan pembaharuan, baik kurikulum maupun model pembelajaran dan pengajarannya agar relevansi pendidikan dengan pembangunan atau kebutuhan masyarakat memiliki keterkaitan dan kesepadanan (link and match). Menurut

UNESCO pada “The International Commission on Education for the Twenty-First Century” bahwa model pembelajaran yang bermutu mengacu pada empat pilar proses belajar yaitu Learning to know, Learning to do, Learning to be dan Learning to live together (Learning to live with others).

Learning to know, pada hakikat sejalan dengan penerapan pradigma ilmu pengetahuan, yaitu proses pembelajaran dilakukan agar peserta didik dapat memahami dan menghayati bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh dari fenomena yang terdapat dalam lingkungannya. Melalui proses pembelajaran semacam ini menunjukkan bahwa pendidikan sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi diharapkan akan melahirkan generasi yang dipercaya mampu mengelola dan mendayagunakan alam untuk kemajuan taraf hidupnya. Bila semua dilakukan melalui pendekatan ini, pendidikan tidak akan bermakna karena bahan yang dapat dipelajari akan sangat terbatas. Untuk itu, dalam proses pembelajaran perlu mempelajari hal-hal lainnya (transfer of learning). Learning to do, yaitu proses pembelajaran dilakukan agar peserta didik menghayati proses belajar dengan melakukan sesuatu yang bermakna melalui suatu proses pembelajaran “active learning”. Dalam proses ini peserta didik diharapkan lebih aktif dengan cara memberi penugasan secara individu atau kelompok atau membuat ringkasan terhadap buku atau materi pelajaran yang akan dipelajari. Pada pembelajaran ini memungkinkan peserta didik lebih aktif, baik secara intelektual, motorik maupun emosional. Learning to be, yaitu model pembelajaran ini dirancang terjadinya proses pembelajaran yang memungkinkan lahirnya manusia terdidik yang mandiri. Rasa kemandirian akan tumbuh dari sikap percaya diri. Atas dasar tersebut, maka proses pembelajaran dilakukan peserta didik mengenal dirinya dengan penuh kebahagiaan. Ini sukar diperoleh pada proses pembelajaran tradisional yang lebih menekankan pada hafalan. Pendekatan melalui penerapan menemukan dan menyelidiki memungkinkan peserta didik menemukan kebahagiaan dalam belajar (joy of learning). Bila ia telah mengenal dirinya maka akan terbentuk kemandirian, sehingga mendorong anak tidak tergantung kepada orang lain. Ini merupakan bentuk belajar yang menunjang terbentuknya pribadi yang mandiri. Learning to live

Page 116: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Purba, Menuju Perguruan Tinggi...

346

together, model proses pembelajaran ini memungkinkan peserta didik menghayati hubungan antara manusia secara intensif dan terus menerus. Dengan demikian, perbedaan antar ras, suku, agama, keyakinan politik dan kepentingan ekonomi yang masih sering terjadi dapat dihindari. Untuk itu, proses belajar ini perlu diberikan pendidikan nilai kemanusiaan, moral dan agama yang melandasi hubungan antar manusia dapat diintensifkan.

Penerapan keempat pilar proses belajar tersebut sangat relevan dilakukan pada setiap jenjang, jenis dan jalur pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi untuk terlaksananya fungsi dan tercapainya tujuan pendidikan nasional dan mampu bersaing pada era global.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut yaitu: 1. Perguruan Tinggi sebagai suatu lembaga

mengemban tanggung jawab yang harus mampu merespons tantangan jaman (external adaptation) untuk memenuhi amanah publik dan sekaligus memajukan komunitas akademik untuk mencapai academic excellence. Untuk itu, perlu diciptakan iklim akademik yang bersih, teratur baik dari segi lingkungan fisik (eksternal dan internal) maupun segi manajemen birokrasi. Adanya perubahan PTN yang berubah menjadi BHMN haruslah dipandang sebagai peluang yang sangat penting untuk mengawali perubahan fundamental untuk mewujudkan Perguruan Tinggi Masa Depan sebagai world class university yang berorientasi pada mutu sehingga kualitas lulusannya diharapkan mampu menghadapi tantangan pada era global maupun bersaing dengan lulusan perguruan tinggi luar negeri

2. Dalam melakukan proses menuju Perguruan Tinggi Masa Depan sebagai world class university tidak terlepas dari berbagai hambatan-hamban. Namun, upaya yang harus dilakukan adalah dengan menghilangkan atau mengurangi inertia terhadap perubahan yang bersumber dari kepentingan individu atau kelompok, sikap apriori atau curiga terhadap perubahan dan pengaruh budaya dan sistem kerja lama pada sikap kerja individu atau kelompok.

Untuk itu, diperlukan kepemimpinan dengan visi transformasi yang kuat untuk memandu perubahan agar mampu menyelaraskan perubahan dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Untuk menjamin akuntabilitas, maka perlu adanya transparansi yang sifatnya terbuka untuk setiap kegiatan dalam pengelolaan Perguruan Tinggi yang mandiri.

3. Dalam menuju Perguruan Tinggi Masa Depan hendaknya dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan secara sistematis kualitas produk dan proses pendidikan tinggi agar mampu berperan secara nyata demi kemajuan bangsa dan Ilmu Pengetahuan secara Global sehingga dituntut adanya kerja sama dari seluruh kalangan civitas akademika maupun pemerintah daerah sehingga sangat diharapkan dukungannya untuk membangun infrastruktur institusional bagi Perguruan Tinggi.

Daftar Pustaka

Arief Rahman. 2003. “Badan Hukum

Pendidikan Jangan Jadi Alat Mencari Keuntungan”. Webmaster, 12 Maret 2004.

Cole, Jonathan R. et al. (Editors). 1994. The

Research University in A Time of Discontent. Baltimore: John Hopkins University Press.

Creech, Bill. 1996. Lima Pilar TQM.

Terjemahan. Jakarta: Binarupa Aksara. Dahlan, Djawad. 2003. “Perpektif Badan

Hukum Pendidikan”. Media Indonesia. 29 September 2003.

Efendi, Sofyan. 2001. “Meningkatkan Akses

Pendidikan Tinggi: Resep Profesor Nicholas Barr”. Makalah. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Yogyakarta

Jacques Delors. et al. 1998. Learning The Treasure Within. Paris: UNESCO

Kardiman, Kusmayanto. 2003. “ITB: Menapak

Menuju Keberhasilan Transformasi”. Policy Paper. Disampaikan sebagai Laporan Penyelenggara-an dan Pengembangan ITB Tahun 2002. Bandung: ITB.

Page 117: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

Jurnal Pemberdayaan Komunitas, September 2006, Volume 5, Nomor 3, Halaman 341 – 347

347

Mujtahid. 2002. “Menata Kembali Manajemen Pendidikan Tinggi”. Makalah. Malang: Universitas Muhamaddyah Malang.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 60 Tahun 1999, tentang Pendidikan Tinggi. Dirjen Dikti.

Purba, Sukarman. 2005. “Pendidikan dalam

Sistem Desentralisasi menghadapi Kompetisi Global: Suatu Tinjauan Pendidikan Berorientasi Masa Depan”. Makalah. Jakarta: Pasca Sarajana UNJ

Schein, Edgar H. 1992. Organizational Culture

And Leadership. Second Edition, San Francisco: Jossey-Bass Publisher.

Slaughter, Sheila dan Leslei, Larry L. 1999. Academic Capitalism: Politics, Policies, and the Entrepreneurial University. London: The Johns Hopkins University Press

Tampubolon, Daulat P. 2001. Perguruan

Tinggi Bermutu. Jakarta: PT. Gramedia Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru

Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta

____ . 2003. Kekuasaan dan Pendidikan.

Megelang: Indonesiatera.

Page 118: Pemberdayaan Komunitas Vol_ 5 No_ 3 September-Desember 2006.pdf

LEMBAR PEMESANAN LANGGANAN

Nama : _______________________________________________ Alamat : _______________________________________________ Kota : ________________________ Kode Pos ____________ Telepon : ______________ Fax _____________ e-mail_________ Instansi : _______________________________________________ _______________________________________________ Pemesanan Tahun Terbitan: _________________________________ Pembayaran Tunai Transfer Transfer melalui: Bank Mandiri Cabang USU Medan A.n. Matias Siagian No. Rekening: 106-00-9302992-7

Informasi lebih jelas dan lengkap dapat diperoleh pada: Redaksi Pemberdayaan Komunitas (Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial)

Kantor Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU Jalan Dr. Sofyan No. 1 Medan, 20155

Telepon (061) 8211965, Fax (061) 8211633 HP. 08153136263

Pemberdayaan Komunita S

INFORMASI BERLANGGANAN

Biaya Berlangganan: (Termasuk Biaya Pengiriman) dengan pos udara

Pulau Sumatera Rp 60.000 (enam puluh ribu rupiah) per tahun Luar Pulau Sumatera Rp 90.000 (sembilan puluh ribu rupiah) per tahun

JURNAL ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL