NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN EMPATI DAN KEMARAHAN
PADA POLISI
Oleh :
SUKMA PRAWITASARI
SUS BUDIHARTO
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2005
HUBUNGAN EMPATI DAN KEMARAHAN PADA POLISI
Sukma Prawitasari Sus Budiharto
Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta
ABSTRAKSI
Kemarahan adalah salah satu bagian dari emosi yang dimiliki oleh manusia,termasuk polisi. Tidak dapat dipungkiri bila fungsi positif dari kemarahan polisi adalah untuk melepaskan beban emosi yang berat. Akan tetapi bila tidak dikendalikan dengan tepat, kemarahan polisi bisa bersifat destruktif yang berpotensi menimbulkan masalah yaitu merusak sendi kehidupan di lingkungannya, serta dapat mengganggu hubungan interpersonal. Padahal, paradigma polisi sipil di Indonesia secara esensial mengarahkan untuk selalu tercipta atmosfer interaksi polisi dan masyarakat dalam hubungan yang beradab, santun, ramah dan menghargai satu sama lain. Fakta saat ini, atmosfer tersebut masih jauh dari idealitasnya. Reaksi emosi dan perilaku yang adaptif ditimbulkan oleh pemikiran yang tidak relistis, serta tidak mampu memandang dan berfikir secara positif. Kemampuan polisi untuk mengganti pikiran yang menyimpang dengan pikiran-pikiran yang objektif dan rasional akan membuat polisi mampu dalam mengendalikan dirinya. Satu dari beberapa hal yang memungkinkan bagi polisi untuk menghadirkan pikiran yang objektif, rasional serta mampu dalam mengendalikan dirinya adalah empati. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara empati dan kemarahan pada polisi. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara empati dan kemarahan pada polisi. Subjek dalam penelitian ini adalah 73 Polisi yang memiliki masa kerja minimal selama 3 tahun di Polres Purworejo, Polsek Purworejo dan Polsek Kutoarjo Polres Purworejo. Subjek adalah polisi yang ditempatkan pada bidang Opsnal yang dalam tugas kesehariannya berinteraksi langsung dengan masyarakat maupun massa, yaitu Samapta, Dalmas, Reskim, Lantas dan Binamitra. Adapun alat ukur yang digunakan adalah skala empati yang penulis susun sendiri berdasar konsep empati menurut Davis (1983) berjumlah 23 aitem. Sedangkan skala kemarahan yang penulis susun sendiri berdasar konsep kemarahan menurut Spielberger(dalam Mikulincer,1988) berjumlah 9 aitem.
Metode analisis data menggunakan korelasi product moment Pearson dari program SPSS 12.00 dan SPSS 10.00 for windows. Analisis menunjukkan menunjukkan -0.537 dengan p=0.000 atau p<0.05 yang artinya ada hubungan negatif yang signifikan antara empati dan kemarahan pada polisi Subjek yang memiliki empati tinggi tingkat kemarahannya rendah. Sebaliknya, subjek yang memiliki empati rendah tingkat kemarahanya tinggi. Kata kunci : kemarahan, empati
I. Pengantar
Dalam upacara Prasetya Perwira Tentara Nasional Indonesia dan
Pelantikan Anggota Polri di Akmil Angkatan Darat, Magelang, 16 Desember
2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan amanatnya, bahwa
tugas Polri yang bersentuhan langsung dengan masyarakat membutuhkan perilaku
anggota Polri yang santun, ramah, tetapi tetap tegas dan dapat dijadikan contoh
teladan oleh masyarakat. Amanat ini tentu saja sesuai dengan wacana ‘kepolisian
sipil’ yang mulai digulirkan sejak bergulirnya gerakan reformasi
(www.republika.co.id ,17 Februari 2005).
Secara harfiah,dalam kamus lengkap Inggris-Indonesia (Wojowasito,1980)
civil berarti sipil (bukan militer). Civil secara lebih mendasar berarti juga sopan,
santun, ramah, tidak kasar. Sebuah pengertian yang jika diinterprestasikan dalam
konteks birokrasi, amat berlawanan dengan kekuasaan. Civil yang dikaitkan
dengan civility, bermakna kesopanan. Sedangkan civil yang dikaitkan dengan
civilize berarti membudayakan dan membuat lebih sopan. Sedangkan Civilization
berarti lebih luas lagi, yaitu peradaban dan cara hidup.
Berangkat dari pemahaman tersebut, kepolisian sipil berarti terjalinnya
pola interaksi polisi dan masyarakat yang beradab, santun, ramah, menghargai
satu sama lain, serta mengedepankan kesopanan dan keramahan.
Kenyataan dilapangan hingga saat ini polisi masih berperilaku bertolak
belakang dengan ‘kesopanan dan keramahan’, sehingga membawa kondisi dalam
membangun hubungan yang sopan ataupun ramah antara masyarakat dan polisi
menjadi agenda yang sukar direalisasikan. Terlebih, dengan mendudukan polisi
pada subjek pelaku utama yang senantiasa diharapkan bertindak tanpa cela.
Namun, akhirnya itu juga tidak berlebihan mengingat kedudukan polisi sebagai
agen perubahan sosial, polisi dituntut untuk selalu bertingkah laku professional.
Juga mengingat pemaknaan akan peran Pelindung, Pengayom dan Pelayan
masyarakat (Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri di Lapangan, 2003).
Ditambah lagi, budaya paternalistik bangsa Indonesia yang ditandai oleh
kepatuhan terhadap individu yang menyandang status sosial lebih tinggi, termasuk
polisi. Itu tidak lain karena polisi dipandang sebagai ‘yang berwajib’ atau ‘yang
berwenang’ (Muhammad, 2005).
Dengan maksud lebih mempersempit pembahasan mengenai interaksi
polisi dan masyarakat, maka berikut akan dipaparkan mengenai beberapa
fenomena di lapangan. Berdasarkan beberapa informasi resmi, interaksi polisi dan
masyarakat belum dalam tahap yang ‘sehat’. Tindak kekerasan yang dilakukan
polisi, baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun kekerasan verbal, kerap
mewarnai lembar berita yang ada di media massa. Pengaturan penggunaan
kekerasan/ kekuatan oleh polisi sampai kini masih menjadi sorotan publik. Ini
dapat kita lihat dalam penanganan kasus : Makar Republik Maluku Selatan
(RMS) di Ambon (www.pikiran-rakyat.com), Penangkapan Kiai Abubakar
Ba'asyir yang sedang dalam perawatan di Rumah Sakit (www.pikiran-
rakyat.com), "Kebrutalan" polisi saat menghadapi demonstrasi mahasiswa
Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar 1 Mei 2004, serta kasus
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bojong ( www.suaramerdeka.com).
Tindakan kekerasan yang personil polisi lakukan merupakan kemarahan.
Marah atau sering disebut amarah, sebenarnya merupakan salah satu bentuk
emosi manusia yang sepenuhnya bersifat normal dan sehat, yang pernah dialami
oleh setiap orang. Akan tetapi bila tidak dikendalikan dengan tepat, marah bisa
bersifat destruktif yang berpotensi menimbulkan masalah yaitu
merusak sendi kehidupan di lingkungannya, misalnya di dalam keluarga, di
tempat kerja, serta dapat menggangu hubungan interpersonal.
Kemarahan personil polisi seringkali menjadi catatan penting bagi media
massa untuk membuat opini bagi masyarakat. Sebagai contoh kasus-kasus
kemarahan oleh polisi dapat dilihat dalam tabel berikut :
Kasus kemarahan polisi No Kasus Bentuk kemarahan
1 Makar Republik a. Polisi menembak masyarakat sipil. Maluku Selatan b. Polisi membela pihak tertentu, padahal (RMS) di seharusnya polisi mengayomi masyarakat. Ambon, c. Polisi terlibat kontak fisik dengan masyara 19 Januari 1999 dan kat sipil, seperti pemukulan
25 April 2004 2 Penangkapan Kiai a. Penjemputan paksa tanpa surat resmi Abu Bakar Ba’asyir, penangkapan di RS.PKU Muhammadiyah 29 April 2004 Solo saat beliau sedang diopname. b. Polisi mendobrak pintu ruang opname, berteriak sambil memukul-mukul kaca ruang opname. c. Penggunaan senjata laras panjang untuk membuka pintu dan penembakan terhadap santri Ponpes Ngruki 3 UMI Makasar, a. Polisi masuk tanpa izin ke kampus UMI 1 Mei 2004 sambil melepaskan tembakan kearah mahasiswa, bahkan tanpa memperdulikan pengguna jalan umum sekitar kampus. b. Polisi melakukan sweeping terhadap mahasiswa (yang terlibat demo ataupun
tidak terlibat demo) dengan memblokir tangga - tangga utama. Selanjutnya mahasiswa dikumpulkan di dalam
ruangan, dilucuti pakaiannya (mahasiswa pria) dipukuli, ditendang dan digulingkan di tangga.
4 TPA Bojong, a. Polisi menembaki warga sipil yang 23 Desember 2003 melakukan aksi penolakan masuknya kendaraan yang membawa peralatan proyek. b. Polisi terlibat kontak fisik dengan warga sipil seperti memukul, menendang dan mencekik. _________________________________________________________________
Dapat terlihat dari pemaparan tersebut jika kemarahan merupakan indikasi
bahwa individu tidak mampu memandang dan berfikir secara positif, serta
realistis. Reaksi emosi dan perilaku yang adaptif ditimbulkan oleh pemikiran
yang tidak relistis. Kemampuan individu untuk mengganti pikiran yang
menyimpang dengan pikiran-pikiran yang objektif dan rasional akan membuat
individu mampu dalam mengendalikan dirinya (Goldfield dan Davidson,1976).
Satu dari beberapa hal yang memungkinkan bagi individu untuk menghadirkan
pikiran yang objektif, rasional serta mampu dalam mengendalikan
dirinya adalah empati.
Faktor terjadinya tindak kekerasan atau bentrok (sebagai bentuk
kemarahan) antara polisi dan masyarakat berdasarkan pendapat dari mayoritas
media massa adalah dikarenakan kesalahan prosedur ‘Pengendalian Massa’ di
lapangan dari pihak polisi dan faktor selanjutnya adalah kelalaian dari faktor
individu polisi.
Kesalahan prosedur ini tentu saja melalaikan Surat Keputusan Kalemdiklat
Kapolri,No.Pol. : SKEP/65/III/2003 tanggal 24 Maret 2003 yang tertuang dalam
Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri di lapangan. Sedangkan faktor
kelalaian dari individu polisi mengacu pada kode etik profesi Kepolisian Negara
RI, BAB II .Etika Kelembagaan, pasal 8 :
“ setiap anggota Kepolisian NRI menjunjung tinggi institusinya dengan menempatkan kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadi.”). Ini berarti posisi polisi dituntut untuk tidak terpengaruh dengan suasana emosi
massa dan tunduk pada instruksi pimpinan pasukan. Mengikuti prosedur standar
operasional adalah bagian dari kecerdasan emosi yang disebut sebagai self
regulation (Goleman, 2001).
Lebih jauh dijelaskan oleh Goleman (1996), pada manusia didapatkan
kemampuan untuk mengenali emosi dan perasaan orang lain (empati). Maka
jelaslah bahwa empati memiliki peran yang penting dalam mengendalikan
kemarahan. Personil polisi yang memiliki peluang lebih besar untuk berhadapan
dengan orang lain/massa dalam kondisi yang ‘tegang’, tentu membutuhkan
pengenalan dan pengendalian emosi yang luar biasa. Selain pendapat (Goldfield
dan Davidson,1976) tersebut, berfikir rasional dan positif adalah salah satu cara
yang dapat ditempuh seseorang untuk mengendalikan kemarahan yang sedang
dirasakannya (Rubin,1974).
Spielberger (Mikulincer,1988) menyatakan bahwa kemarahan terbagi
menjadi dua komponen, yaitu pengalaman marah dan ekspresi kemarahan.
Pengalaman marah terdiri dari keadaan marah dan sifat marah (state and trait
anger). Keadaan marah (state anger) didefinisikan sebagai suatu keadaan emosi
yang ditandai dengan perasaan-perasaan subjektif yang bervariasi dengan rasa
kecewa yang ringan atau jengkel sampai dengan kemarahan yang intens atau
meledak-ledak. State anger berbeda pada setiap individu, tergantung dari watak
individu tersebut. Sifat atau trait marah didefinisikan sebagai disposisi atau
bawaan untuk menerima suatu jarak yang luas dari situasi-situasi seperti rasa
kecewa dan kecenderungan untuk merespon situasi-situasi tersebut dengan lebih
seringnya terjadi peningkatan keadaan marah. Trait anger yang memiliki
intensitas beragam dalam kemarahan tersebut, sebenarnya tidak lain adalah
“proneness to experience” atau dapat diartikan sebagai kerentanan untuk marah
dimana individu senantiasa melihat sesuatu dengan sudut pandang kemarahan.
Ekspresi marah terdiri dari tiga macam, yaitu ekspresi marah yang ditujukan
kepada orang lain atau objek lingkungan (anger out), ekspresi kemarahan yang
ditujukan ke dalam atau perasaan marah yang ditekan atau disimpan (anger in),
dan usaha individu mengendalikan ekspresi marah (anger control).
Sejauh pemaparan ini, semakin tergambar bahwa salah satu pengendali
‘kemarahan’ itu adalah empati. Empati yang diartikan sebagai kemampuan
seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain, mengenal
dan memahami emosi pikiran serta sifat orang lain (Staub,1979 ; Watson
dkk,1984). Eisenberg dan Fabes (1989) memperjelas empati sebagai respon
individu terhadap keadaan emosional orang lain seolah individu yang
bersangkutan mengalami sendiri keadaan emosi serupa yang dialami oleh orang
tersebut, misalnya seorang individu ikut merasa sedih ketika melihat kesedihan
orang lain. Lipps (1900) melukiskan empati sebagai sebuah proses “merasakan”
emosi-emosi yang dinyatakan dalam gerak-gerak atau sikap-sikap dinamis orang-
orang, obyek-obyek keindahan atau pemandangan-pemandangan alam. Empati
memerlukan perangkat yang reseptif (Mead,G.H.1934), yaitu penghargaan akan
arti keadaan yang mendatangkan emosi bagi orang itu, dan penafsiran yang tepat
tentang tingkah laku verbal dan nonverbal.
Berdasarkan semua pemaparan diatas,disinilah letak konteks kemarahan
pada polisi dipandang secara berbeda, seperti memandang kemarahan yang
dilakukan para demonstan ataupun kemarahan para buruh, PNS, dan instansi lain.
Polisi sesuai dengan TRIBRATA , CATUR PRASETYA, yang lengkap dengan
seperangkat prosedur aturan dilapangan sebagai pengabdian kepada Negara dan
pelayan masyarakat. Baik untuk penjagaan, pengawalan, patroli, sampai kepada
pengendalian massa, memposisikan Polisi pada pihak ‘pemimpin masyarakat’.
Dalam arti, polisi adalah pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Polisilah
yang tampil sebagai pioner di garda depan dalam menangani ketidak stabilan
suasana massa. Dan itulah sebabnya mengapa polisi lebih banyak dituntut untuk
dapat mengendalikan amarahnya.
Mempertimbangkan semua hal yang telah dijabarkan, tergambar jelas
bahwa polisi sesungguhnya sudah dipersiapkan secara matang dalam pendidikan
dan senantiasa dilatih untuk terjun kemasyarakat secara ideal . Namun,
dikarenakan masih juga kerap terjadi bentuk hubungan yang tidak humanis dari
pihak kepolisian kepada masyarakat, maka peneliti tertarik untuk mengetahui
apakah empati polisi berhubungan dengan kemarahan
II. Metode Penelitian
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu :
Variabel Dependen : Kemarahan Polisi
Variabel Independen : Empati
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah : Polisi POLRES Purworejo yang beralamat
di Jl. Mayjen Sutoyo 12, Purworejo Jawa Tengah. Subjek penelitian difokuskan
pada Polisi Lalu-Lintas, Polisi BRIMOB dan Satuan Huru-Hara atau pengendali
masyarakat. Asumsi yang mendasari pemilihan subjek penelitian tersebut adalah
dikarenakan Polisi dalam satuan tersebut adalah pihak yang lebih banyak
berinteraksi dengan masyarakat atau massa dan setidaknya Polisi tersebut sudah
pernah menangani atau terlibat dengan aksi massa, serta telah mendapat beberapa
pembekalan tentang pengendalian massa dari struktur POLRI. Subjek penelitian
mayoritas pernah ditugaskan diluar Purworejo, baik itu di Pulau Sumatera,
kalimantan, maupun Sulawesi.
C. Metode Pengambilan Data
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode skala.
Skala yang digunakan adalah :
1. Skala kemarahan
Disusun berdasarkan teori Spielberger (Mikulincer, 1988) dalam STAXI
yang terdiri atas 40 aitem. Adapun komponen-komponennya sebagai berikut :
a. State anger (S-anger) yaitu terdiri atas sebelas aitem yang
mengukur intensitas perasaan marah pada suatu waktu.
b. Trait anger (T-anger) yaitu terdiri atas sepuluh aitem yang mengukur
perbedaan individu dalam kecenderungan marah.
c. Anger Exspression (AX/Ex) yaitu terdiri atas sembilan belas aitem
yang mengukur anger dan anger-control.
2. Skala empati
Disusun berdasarkan teori Davis (1983) yang menggunakan empat aspek
yaitu: Perspective Taking (PT) , Fantasy (FS), Empathic Concern (EC), dan
Personal Distress (PD).
Selanjutnya, anger out dan anger in akan penulis jadikan satu kesatuan
aspek yang tidak terpisahkan. Sehingga aspek ekspresi kemarahan selanjutnya
akan terdiri dari anger dan anger control. Anger adalah penyatuan dari anger out
dan anger in. Penyatuan aspek ini penulis lakukan karena baik anger out maupun
anger in adalah sama-sama bentuk dari terekspresikannya kemarahan secara
langsung, walaupun ada yang ditujukan kepada objek lain seperti manusia dan
benda, maupun ditujukan kepada diri sendiri. Berbeda dengan anger, ekspresi
anger control adalah kondisi dimana polisi mampu untuk mengendalikan ekspresi
kemarahannya. Penulis berharap penyatuan kedua aspek tersebut dapat lebih
memperjelas perbedaan pada ekspresi kemarahan.
Untuk masing-masing aitem, subjek menilai dirinya sendri dengan tingkat
alternatif jawaban. Alternatif jawaban yang diberikan yaitu sangat sesuai, sesuai,
tidak sesuai, dan sangat tidak sesuai terhadap pernyataan yang diberikan.
Pemberian skor untuk masing-masing aitem ditentukan oleh pilihan jawaban
subjek. Pilihan jawaban aitem terdiri dari rentang empat sampi satu, dari sangat
sesuai (4) sampai sangat tidak sesuai (1) untuk pernyataan favorable dan dari
sangat sesuai (1) sampai sangat tidak sesuai (4) untuk pernyataan unfavorable
D. Alat Ukur
1. Skala kemarahan berdasarkan teori Spielberger (dalam Mikulincer, 1988).
2. Skala empati berdasarkan teori Davis (1983)
E. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan korelasi product moment dari Pearson dengan program komputer
SPSS 12.00. Alasan menggunakan product moment adalah karena penelitian ini
terdapat dua variabel yang akan diteliti dan dianalisis korelasinya dan jenis
variabel bebasnya rasio dengan variabel tergantungnya interval.
III. Hasil Penelitian
A. Deskripsi Data Penelitian
Seratus polisi yang diambil sebagai subjek adalah personil yang bekerja
dalam bidang operasional yang berinteraksi langsung dengan pelayanan
kepada masyarakat serta terlibat fisik dalam aksi massa. Adapun bidang
operasional tersebut telah dipaparkan pada penjelasan pelaksanaan penelitian.
Untuk memperoleh gambaran umum mengenai data penelitian dapat
dilihat pada tabel deskripsi data berisikan fungsi-fungsi statistik dasar yang
disajikan secara lengkap pada tabel berikut ini.
Deskripsi Data Penelitian N Minimum Maximum Mean Std.
Statistic Statistic Statistic Statistic std.
Error Statistic Jumlah X1 73 11 26 19.47 .357 3.046 Jumlah X2 73 57 79 67.14 .635 5.427 Valid N (listwise) 73
Keterangan x1 = menunjukkan data kemarahan x 2= menunjukkan data empati
Berdasarkan deskripsi data penelitian di atas dapat dilihat skor yang
diperoleh untuk variabel kemarahan skor hipotetik min adalah 11, dengan skor
maksimal 26 skor mean hipotetik 19.47 dan deviasi standar 3.046. Sementara
untuk variabel empati skor hipotetik minimal adalah 57,dengan skor maksimal
79, skor mean hipotetik 67.14 dan deviasi standar 5.427.
B. Uji Asumsi
Sebelum melakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi
yang mencakup uji normalitas dan linieritas.
a. Hasil Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah data dari masing-masing
variabel berdistribusikan normal atau tidak. Uji normalitas ini menggunakan one
sample kolmogorov-smirnov. Nilai asymp.sig variabel kemarahan adalah
p= 0.316 ; atau p>0.05. Sedangkan pada variabel empati taraf asymp.sig adalah
p=0.589 ; atau p>0.05. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran skor skala
kemarahan dan empati pada polisi adalah normal. Berikut akan penulis sajikan
secara lengkap dalam tabel.
Tabel 7 Uji normalitas kemarahan Empati N 73 73 Normal Parameters Mean 19.47 67.14 Std. Deviation 3.046 5.427 Most Extreme Absolute 0.112 0.090 Differences Positive 0.095 0.084 Negative -0.112 -0.090 Kolmogorov-Smirnov Z 0.960 0.773 Asymp. Sign. (2-tiled) 0.316 0.589
b. Hasil Uji Liniaritas
Uji liniaritas ini dilakukan untuk mengetahui liniaritas skor pada variabel
empati dan kemarahan pada polisi. Hasil uji linearity ini diketahui bahwa antara
empati dan kemarahan pada polisi, diperoleh nilai F sebesar 37.750, dengan
Sig.sebesar 0.000 atau p<0.05 . Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara
kedua variabel ini adalah linear.
C. Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik korelasi
product moment pearson dari program SPSS 12.00 for windows dan diperoleh
koefisien korelasi sebesar -0.537 dengan p=0.000 atau p<0.05 yang artinya ada
hubungan negatif antara empati dan kemarahan pada polisi. Berikut penyajian
lengkapnya dalam bentuk tabel.
Korelasi product moment Kemarahan Empati Kemarahan Pearson Correlation 1 -0.537 Sig. (1-tailed) 0.000 N 73 73 Empati Pearson Correlation -0.537 1 Sig. (1-tailed) 0.000 N 73 73
IV. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data menggunakan korelasi product
moment Pearson dari program SPSS 12.00 for windows dan diperoleh koefisien
korelasi sebesar -0.537 dengan p=0.000 atau p<0.05 yang artinya ada hubungan
negatif antara empati dan kemarahan pada polisi. Semakin tinggi empati maka
kemarahan pada polisi rendah. Sebaliknya semakin rendah empati maka
kemarahan pada polisi tinggi.
Dari hasil penelitian Ekman & Frieser (1975) disimpulkan bahwa kondisi
psikologis yang tidak nyaman adalah sebagai faktor penyebab kemarahan.
Tindakan orang lain yang dipandang immoral dapat menimbulkan rasa marah
pada seseorang walaupun orang tersebut tidak terkena efeknya secara langsung.
Adapun kemarahan moral seringkali terkait dengan konsep keadilan. Yaitu marah
yang disebabkan kesengsaraan orang lain atau karena nilai moral yang dianut
dilecehkan, merupakan motif penting terhadap timbulnya aksi sosial dan politik.
Dari kasus-kasus antara masyarakat dan personil polisi yang saya paparkan di Bab
I,akan terlihat bahwa tindakan yang dilakukan oleh masyarakat dan mahasiswa
adalah bentuk dari ketidak puasan, kecewa karena harapannya gagal, serta
dikarenakan kesengsaraan yang dialami oleh rekan mereka. Namun, bila segenap
perasaan serta pikiran yang masyarakat bawa tidak diterima pihak kepolisisn
dengan melibatkan Empathic Concern (EC), yaitu sebuah aspek yang dipenuhi
perasaan hangat, kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain, maka wajar bila
yang terbentuk adalah sebuah perasaan terancam. Bahkan, ketidak puasan yang
ditujukan kepada pihak pemerintah justru dibalas oleh personil polisi.
Dapat disimpulkan Empathic Concern (EC) yang tinggi mampu untuk mengatasi
kondisi psikologis yang tidak nyaman adalah sebagai faktor penyebab kemarahan.
Sebaliknya, Empathic Concern (EC) yang rendah akan menjadi penghambat
dalam mengatasi kondisi psikologis yang tidak nyaman sehingga makin
memperkuat faktor penyebab kemarahan.
Sedangkan pada aspek Perspective Taking (PT) yang dibuat oleh Davis
(1983) menitik beratkan pada fungsi sosial yang baik dan reaksi emosi orang lain.
Nampak bahwa terjadi sebuah penyimpangan peran dan terlibatnya reaksi emosi
negatif dalam interaksi antar individu manusia maupun kelompok, yang dalam
bahasan ini adalah antara masyarakat dan personil polisi. Dapat dikatakan
semakin tinggi Perspective Taking (PT) maka berbanding terbalik terhadap
kemarahan . Sebaliknya semakin rendah Perspective Taking (PT) maka
berbanding terbalik terhadap kemarahan.
Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah subjek polisi bertugas pada
daerah yang jarang sekali untuk terjadi konflik dengan masyarakat. Selain itu,
seharusnya peneliti mencantumkan masa bertugas subjek penelitian sebagai tolak
ukur apakah subjek penelitian telah memiliki banyak pengalaman dalam
menghadapi situasi yang beraneka ragam ketika bertugas melayani masyarakat.
Aitem pada skala kemarahan juga lebih cenderung mengungkap kemarahan polisi
dalam kesehariannya. Seharusnya, kemarahan yang diungkap adalah kemarahan
polisi pada saat bertugas. Terdapat pula kelemahan pada reliabilitas empati
sebesar 0.693 yang berarti, untuk selanjutnya aitem pada skala kemarahan harus
ditinjau kembali.
V. Kesimpulan
Tinggi atau rendahnya kemarahan pada polisi menyimpulkan bahwa
empati adalah hal yang sangat penting dan berpengaruh dalam tingkat kemarahan
polisi. ini berarti pula bahwa empati berpengaruh dalam keberhasilan polisi
mengendalikan kemarahannya. Jika personil Polisi memiliki empati yang rendah
maka akan memudahkan jalan bagi hadirnya kemarahan pada dirinya. Kemarahan
disini tentu saja kemarahan yang diluar kontrol. Artinya bahwa empati sangat
berpengaruh dalam menentukan tingkat kemarahan pada Polisi. Maka jika
personil Polisi memiliki empati yang tinggi maka personil Polisi tersebut akan
mampu mengatasi ataupun bahkan menghindari kemarahan.
Hubungan antara empati dan kemarahan pada Polisi telah terbukti.
Sehingga jika Polisi memiliki empati yang tinggi maka akan dapat mengatasi/
terhindarkan dari kemarahan.
VI. Saran
Penulis memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan penelitian
yaitu sebagai berikut :
1. Saran kepada subjek penelitian
Penelitian ini memperoleh hasil bahwa ada hubungan positif antara
empati dan tingkat kemarahan pada polisi. Dari penelitian ini perlu kiranya bagi
polisi atau instansi polisi untuk mengadakan kontrol terhadap kualitas empati
dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Saat ini tersedia beberapa
fasilitas untuk mengontrol ataupun meningkatkan empati seperti training, dan
yang utama adalah kemauan dari personil polisi untuk senantiasa menghadirkan
empati dalam melayani masyarakat. Kehadiran empati dalam interaksi akan
membuat polisi jernih dalam bertindak. Kelak, kemarahan polisi yang
diluar kontrol akan terhindar.
2. Saran kepada peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dan ingin meneliti mengenai
empati dan kemarahan pada polisi, disarankan untuk memperhatikan faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian antara lain :
a.Melakukan observasi personil polisi terlebih dahulu. Subjek yang baik
adalah yang memiliki banyak pengalaman dalam interaksi terhadap bentrokan
dengan massa. Semisalnya dalam penelitian saya ini, maka subjeknya adalah
polisi yang terlibat dalam peristiwa Tri Sakti, penangkapan Abu Bakar
Baasyir dan kasus TPA Bojong . Bilapun itu sulit untuk dilakukan, maka
pilihlah lokasi (Polres dan Polsek) yang banyak terjun dalam menghadapi
massa. Lebih diutamakan Polres dan Polsek di kota-kota besar yang
masyarakatnya suka bergejolak seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya
dan Makasar. Masa bertugas setiap subjek juga akan berpengaruh untuk
dijadikan sebuah perbandingan dalam tingkat empati dan kemarahan yang
dimiliki.
b.Melakukan penyempurnaan alat ukur yang telah digunakan oleh peneliti.
Ini semata agar diperoleh hasil penelitian yang lebih akurat .
c.Kemaslah angket dalam bentuk, font huruf, serta warna dan desain yang
lebih menarik agar subjek merasa senang dan tidak jenuh dalam pengisian
angket.
d.Selanjutnya peneliti dapat membandingkan antara subjek polisi laki-laki dan
perempuan.
e. Perbanyak metode pengumpulan lain seperti wawancara, observasi dan
survey baik kepada para polisi, instansi kepolisian, maupun masyarakat.
f. Penelitian kualitatif dalam bentuk pelatihan bagi polisi dari peneliti
selanjutnya akan lebih menyempurnakan penelitian ini.
Daftar Pustaka
Albin. Dkk.,1986. Emosi. Edisi Pertama (Terjemahan). Jogjakarta: Kansius
Astuti, L. E. 2001. Hubungan antara kesadaran emosi dengan empati. Skripsi (Tidak diterbitkan). Jogjakarta: Fakultas Psikologi UGM
Atkinson, R. L. Dkk.,2000. Pengantar Psikologi (Terjemahan), Edisi Kesebelas, Jilid I, Jakarta: Interaksara
Atkinson, R. L. Dkk.,2000. Pengantar Psikologi (Terjemahan), Edisi Kesebelas, Jilid II, Jakarta: Interaksara
Azwar, S. 2001. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Azwar, S. 2002. Penyusunan Skala Psikologi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Batson, C. D. Dkk., 1995. Information Function of Empathic Emotion: Learning That We Value the Other’s Welfare. Journal of Personality and Social Psychology. 68. 2. 300-313
Batson, C. D. Dkk., 1997. Empathy and Attitudes: Can Feeling for a member of a Stigmatized Group Improve Feelings Toward the Group?. Journal of Personality and Social Psychology. 72. 1. 105-118
Burnham, S,. 1990. Emosi Dalam Kehidupan, (Terjemahan). Jakarta: Gunung Mulia
Carlozzi, A. F. Dkk., 1983. Empathy and Ego Development. Journal of Counseling Psychology. 30. 1. 113-116
Carlson, J. G. Dkk.,1992. Psychologi Of Emotion. Florida: Holt, Rinehart and Winston,Inc
Chaplin, J. P. 1997. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : Rajawali Pers
Davis, M. H,. 1983. Measuring Individual Differences in Empathy : Evidence for A Multidimensional Approach. Journal of Personality and Social Psychology. 44. 1. 113-126
Dayakisni, T dan Hudaniah,. 2003. Psikologi Sosial. Malang : UMM Pers
Ford, C,. 1994. Emotion and Gender: Constructing meaning from memory,
Chapter 10: Anger. London: Sage Publication
Goleman, D,. 2000. Emotional Intelligence. Jakarta: PT Gramedia
Harmon, E. Dkk., 1998. Anger and Front l Brain Activity: EEG Asymmetry Consistent With Approach Motivation Despite Negative Affective Valence. Journal of Personality and Social Psychology. 74. 5. 1310-1316
Harre, R. Dkk., Ensiklopedi Psikologi. Edisi Kesatu (Terjemahan). Jakarta: Arcan
Hoffman, M,. 1996. Psychology : Mind Brain and Culture, Chapter 11. Canada: John Wiley & Sons,Inc
Hurlock, E. B. 1997. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima (Terjemahan). Jakarta: Erlangga
Jenny. 1998. Pengaruh Warna Kuisioner dan Gender Terhadap Respon Emosional Marah. Skripsi (diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi UBAYA
Mikulincer, M,. 1998. Adult Attachment Style and Individual Differences in Functional Versus Dysfunctional Experiences of Anger. Journal of Personality and Social Psychology. 74. 2. 513-524
Muhammad, F,.2005. Mewujudkan Kepolisian Sipil , Harian Republika
Paul, E,. 1975. Unmasking the Face. New Jersey: Prentice-Hall,Inc
Santoso, S. 2003. SPSS Versi 10 : Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Strayer, J. Dkk., 1997. Children’s Personal Distance and Their Empathy: Indices Of Interpersonal Closeness. Internasional Journal of Behavioral Development. 20. 3. 385-403
Tavris, C,. 1982. Anger : The Misunderstood Emotion. New York: Simon & Schuster, Inc