21
NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN EMPATI DAN KEMARAHAN PADA POLISI Oleh : SUKMA PRAWITASARI SUS BUDIHARTO FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2005

NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN EMPATI DAN KEMARAHAN …psychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · tugas Polri yang bersentuhan langsung dengan masyarakat

  • Upload
    doanthu

  • View
    232

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN EMPATI DAN KEMARAHAN

PADA POLISI

Oleh :

SUKMA PRAWITASARI

SUS BUDIHARTO

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2005

HUBUNGAN EMPATI DAN KEMARAHAN PADA POLISI

Sukma Prawitasari Sus Budiharto

Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta

ABSTRAKSI

Kemarahan adalah salah satu bagian dari emosi yang dimiliki oleh manusia,termasuk polisi. Tidak dapat dipungkiri bila fungsi positif dari kemarahan polisi adalah untuk melepaskan beban emosi yang berat. Akan tetapi bila tidak dikendalikan dengan tepat, kemarahan polisi bisa bersifat destruktif yang berpotensi menimbulkan masalah yaitu merusak sendi kehidupan di lingkungannya, serta dapat mengganggu hubungan interpersonal. Padahal, paradigma polisi sipil di Indonesia secara esensial mengarahkan untuk selalu tercipta atmosfer interaksi polisi dan masyarakat dalam hubungan yang beradab, santun, ramah dan menghargai satu sama lain. Fakta saat ini, atmosfer tersebut masih jauh dari idealitasnya. Reaksi emosi dan perilaku yang adaptif ditimbulkan oleh pemikiran yang tidak relistis, serta tidak mampu memandang dan berfikir secara positif. Kemampuan polisi untuk mengganti pikiran yang menyimpang dengan pikiran-pikiran yang objektif dan rasional akan membuat polisi mampu dalam mengendalikan dirinya. Satu dari beberapa hal yang memungkinkan bagi polisi untuk menghadirkan pikiran yang objektif, rasional serta mampu dalam mengendalikan dirinya adalah empati. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara empati dan kemarahan pada polisi. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara empati dan kemarahan pada polisi. Subjek dalam penelitian ini adalah 73 Polisi yang memiliki masa kerja minimal selama 3 tahun di Polres Purworejo, Polsek Purworejo dan Polsek Kutoarjo Polres Purworejo. Subjek adalah polisi yang ditempatkan pada bidang Opsnal yang dalam tugas kesehariannya berinteraksi langsung dengan masyarakat maupun massa, yaitu Samapta, Dalmas, Reskim, Lantas dan Binamitra. Adapun alat ukur yang digunakan adalah skala empati yang penulis susun sendiri berdasar konsep empati menurut Davis (1983) berjumlah 23 aitem. Sedangkan skala kemarahan yang penulis susun sendiri berdasar konsep kemarahan menurut Spielberger(dalam Mikulincer,1988) berjumlah 9 aitem.

Metode analisis data menggunakan korelasi product moment Pearson dari program SPSS 12.00 dan SPSS 10.00 for windows. Analisis menunjukkan menunjukkan -0.537 dengan p=0.000 atau p<0.05 yang artinya ada hubungan negatif yang signifikan antara empati dan kemarahan pada polisi Subjek yang memiliki empati tinggi tingkat kemarahannya rendah. Sebaliknya, subjek yang memiliki empati rendah tingkat kemarahanya tinggi. Kata kunci : kemarahan, empati

I. Pengantar

Dalam upacara Prasetya Perwira Tentara Nasional Indonesia dan

Pelantikan Anggota Polri di Akmil Angkatan Darat, Magelang, 16 Desember

2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan amanatnya, bahwa

tugas Polri yang bersentuhan langsung dengan masyarakat membutuhkan perilaku

anggota Polri yang santun, ramah, tetapi tetap tegas dan dapat dijadikan contoh

teladan oleh masyarakat. Amanat ini tentu saja sesuai dengan wacana ‘kepolisian

sipil’ yang mulai digulirkan sejak bergulirnya gerakan reformasi

(www.republika.co.id ,17 Februari 2005).

Secara harfiah,dalam kamus lengkap Inggris-Indonesia (Wojowasito,1980)

civil berarti sipil (bukan militer). Civil secara lebih mendasar berarti juga sopan,

santun, ramah, tidak kasar. Sebuah pengertian yang jika diinterprestasikan dalam

konteks birokrasi, amat berlawanan dengan kekuasaan. Civil yang dikaitkan

dengan civility, bermakna kesopanan. Sedangkan civil yang dikaitkan dengan

civilize berarti membudayakan dan membuat lebih sopan. Sedangkan Civilization

berarti lebih luas lagi, yaitu peradaban dan cara hidup.

Berangkat dari pemahaman tersebut, kepolisian sipil berarti terjalinnya

pola interaksi polisi dan masyarakat yang beradab, santun, ramah, menghargai

satu sama lain, serta mengedepankan kesopanan dan keramahan.

Kenyataan dilapangan hingga saat ini polisi masih berperilaku bertolak

belakang dengan ‘kesopanan dan keramahan’, sehingga membawa kondisi dalam

membangun hubungan yang sopan ataupun ramah antara masyarakat dan polisi

menjadi agenda yang sukar direalisasikan. Terlebih, dengan mendudukan polisi

pada subjek pelaku utama yang senantiasa diharapkan bertindak tanpa cela.

Namun, akhirnya itu juga tidak berlebihan mengingat kedudukan polisi sebagai

agen perubahan sosial, polisi dituntut untuk selalu bertingkah laku professional.

Juga mengingat pemaknaan akan peran Pelindung, Pengayom dan Pelayan

masyarakat (Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri di Lapangan, 2003).

Ditambah lagi, budaya paternalistik bangsa Indonesia yang ditandai oleh

kepatuhan terhadap individu yang menyandang status sosial lebih tinggi, termasuk

polisi. Itu tidak lain karena polisi dipandang sebagai ‘yang berwajib’ atau ‘yang

berwenang’ (Muhammad, 2005).

Dengan maksud lebih mempersempit pembahasan mengenai interaksi

polisi dan masyarakat, maka berikut akan dipaparkan mengenai beberapa

fenomena di lapangan. Berdasarkan beberapa informasi resmi, interaksi polisi dan

masyarakat belum dalam tahap yang ‘sehat’. Tindak kekerasan yang dilakukan

polisi, baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun kekerasan verbal, kerap

mewarnai lembar berita yang ada di media massa. Pengaturan penggunaan

kekerasan/ kekuatan oleh polisi sampai kini masih menjadi sorotan publik. Ini

dapat kita lihat dalam penanganan kasus : Makar Republik Maluku Selatan

(RMS) di Ambon (www.pikiran-rakyat.com), Penangkapan Kiai Abubakar

Ba'asyir yang sedang dalam perawatan di Rumah Sakit (www.pikiran-

rakyat.com), "Kebrutalan" polisi saat menghadapi demonstrasi mahasiswa

Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar 1 Mei 2004, serta kasus

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bojong ( www.suaramerdeka.com).

Tindakan kekerasan yang personil polisi lakukan merupakan kemarahan.

Marah atau sering disebut amarah, sebenarnya merupakan salah satu bentuk

emosi manusia yang sepenuhnya bersifat normal dan sehat, yang pernah dialami

oleh setiap orang. Akan tetapi bila tidak dikendalikan dengan tepat, marah bisa

bersifat destruktif yang berpotensi menimbulkan masalah yaitu

merusak sendi kehidupan di lingkungannya, misalnya di dalam keluarga, di

tempat kerja, serta dapat menggangu hubungan interpersonal.

Kemarahan personil polisi seringkali menjadi catatan penting bagi media

massa untuk membuat opini bagi masyarakat. Sebagai contoh kasus-kasus

kemarahan oleh polisi dapat dilihat dalam tabel berikut :

Kasus kemarahan polisi No Kasus Bentuk kemarahan

1 Makar Republik a. Polisi menembak masyarakat sipil. Maluku Selatan b. Polisi membela pihak tertentu, padahal (RMS) di seharusnya polisi mengayomi masyarakat. Ambon, c. Polisi terlibat kontak fisik dengan masyara 19 Januari 1999 dan kat sipil, seperti pemukulan

25 April 2004 2 Penangkapan Kiai a. Penjemputan paksa tanpa surat resmi Abu Bakar Ba’asyir, penangkapan di RS.PKU Muhammadiyah 29 April 2004 Solo saat beliau sedang diopname. b. Polisi mendobrak pintu ruang opname, berteriak sambil memukul-mukul kaca ruang opname. c. Penggunaan senjata laras panjang untuk membuka pintu dan penembakan terhadap santri Ponpes Ngruki 3 UMI Makasar, a. Polisi masuk tanpa izin ke kampus UMI 1 Mei 2004 sambil melepaskan tembakan kearah mahasiswa, bahkan tanpa memperdulikan pengguna jalan umum sekitar kampus. b. Polisi melakukan sweeping terhadap mahasiswa (yang terlibat demo ataupun

tidak terlibat demo) dengan memblokir tangga - tangga utama. Selanjutnya mahasiswa dikumpulkan di dalam

ruangan, dilucuti pakaiannya (mahasiswa pria) dipukuli, ditendang dan digulingkan di tangga.

4 TPA Bojong, a. Polisi menembaki warga sipil yang 23 Desember 2003 melakukan aksi penolakan masuknya kendaraan yang membawa peralatan proyek. b. Polisi terlibat kontak fisik dengan warga sipil seperti memukul, menendang dan mencekik. _________________________________________________________________

Dapat terlihat dari pemaparan tersebut jika kemarahan merupakan indikasi

bahwa individu tidak mampu memandang dan berfikir secara positif, serta

realistis. Reaksi emosi dan perilaku yang adaptif ditimbulkan oleh pemikiran

yang tidak relistis. Kemampuan individu untuk mengganti pikiran yang

menyimpang dengan pikiran-pikiran yang objektif dan rasional akan membuat

individu mampu dalam mengendalikan dirinya (Goldfield dan Davidson,1976).

Satu dari beberapa hal yang memungkinkan bagi individu untuk menghadirkan

pikiran yang objektif, rasional serta mampu dalam mengendalikan

dirinya adalah empati.

Faktor terjadinya tindak kekerasan atau bentrok (sebagai bentuk

kemarahan) antara polisi dan masyarakat berdasarkan pendapat dari mayoritas

media massa adalah dikarenakan kesalahan prosedur ‘Pengendalian Massa’ di

lapangan dari pihak polisi dan faktor selanjutnya adalah kelalaian dari faktor

individu polisi.

Kesalahan prosedur ini tentu saja melalaikan Surat Keputusan Kalemdiklat

Kapolri,No.Pol. : SKEP/65/III/2003 tanggal 24 Maret 2003 yang tertuang dalam

Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polri di lapangan. Sedangkan faktor

kelalaian dari individu polisi mengacu pada kode etik profesi Kepolisian Negara

RI, BAB II .Etika Kelembagaan, pasal 8 :

“ setiap anggota Kepolisian NRI menjunjung tinggi institusinya dengan menempatkan kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadi.”). Ini berarti posisi polisi dituntut untuk tidak terpengaruh dengan suasana emosi

massa dan tunduk pada instruksi pimpinan pasukan. Mengikuti prosedur standar

operasional adalah bagian dari kecerdasan emosi yang disebut sebagai self

regulation (Goleman, 2001).

Lebih jauh dijelaskan oleh Goleman (1996), pada manusia didapatkan

kemampuan untuk mengenali emosi dan perasaan orang lain (empati). Maka

jelaslah bahwa empati memiliki peran yang penting dalam mengendalikan

kemarahan. Personil polisi yang memiliki peluang lebih besar untuk berhadapan

dengan orang lain/massa dalam kondisi yang ‘tegang’, tentu membutuhkan

pengenalan dan pengendalian emosi yang luar biasa. Selain pendapat (Goldfield

dan Davidson,1976) tersebut, berfikir rasional dan positif adalah salah satu cara

yang dapat ditempuh seseorang untuk mengendalikan kemarahan yang sedang

dirasakannya (Rubin,1974).

Spielberger (Mikulincer,1988) menyatakan bahwa kemarahan terbagi

menjadi dua komponen, yaitu pengalaman marah dan ekspresi kemarahan.

Pengalaman marah terdiri dari keadaan marah dan sifat marah (state and trait

anger). Keadaan marah (state anger) didefinisikan sebagai suatu keadaan emosi

yang ditandai dengan perasaan-perasaan subjektif yang bervariasi dengan rasa

kecewa yang ringan atau jengkel sampai dengan kemarahan yang intens atau

meledak-ledak. State anger berbeda pada setiap individu, tergantung dari watak

individu tersebut. Sifat atau trait marah didefinisikan sebagai disposisi atau

bawaan untuk menerima suatu jarak yang luas dari situasi-situasi seperti rasa

kecewa dan kecenderungan untuk merespon situasi-situasi tersebut dengan lebih

seringnya terjadi peningkatan keadaan marah. Trait anger yang memiliki

intensitas beragam dalam kemarahan tersebut, sebenarnya tidak lain adalah

“proneness to experience” atau dapat diartikan sebagai kerentanan untuk marah

dimana individu senantiasa melihat sesuatu dengan sudut pandang kemarahan.

Ekspresi marah terdiri dari tiga macam, yaitu ekspresi marah yang ditujukan

kepada orang lain atau objek lingkungan (anger out), ekspresi kemarahan yang

ditujukan ke dalam atau perasaan marah yang ditekan atau disimpan (anger in),

dan usaha individu mengendalikan ekspresi marah (anger control).

Sejauh pemaparan ini, semakin tergambar bahwa salah satu pengendali

‘kemarahan’ itu adalah empati. Empati yang diartikan sebagai kemampuan

seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain, mengenal

dan memahami emosi pikiran serta sifat orang lain (Staub,1979 ; Watson

dkk,1984). Eisenberg dan Fabes (1989) memperjelas empati sebagai respon

individu terhadap keadaan emosional orang lain seolah individu yang

bersangkutan mengalami sendiri keadaan emosi serupa yang dialami oleh orang

tersebut, misalnya seorang individu ikut merasa sedih ketika melihat kesedihan

orang lain. Lipps (1900) melukiskan empati sebagai sebuah proses “merasakan”

emosi-emosi yang dinyatakan dalam gerak-gerak atau sikap-sikap dinamis orang-

orang, obyek-obyek keindahan atau pemandangan-pemandangan alam. Empati

memerlukan perangkat yang reseptif (Mead,G.H.1934), yaitu penghargaan akan

arti keadaan yang mendatangkan emosi bagi orang itu, dan penafsiran yang tepat

tentang tingkah laku verbal dan nonverbal.

Berdasarkan semua pemaparan diatas,disinilah letak konteks kemarahan

pada polisi dipandang secara berbeda, seperti memandang kemarahan yang

dilakukan para demonstan ataupun kemarahan para buruh, PNS, dan instansi lain.

Polisi sesuai dengan TRIBRATA , CATUR PRASETYA, yang lengkap dengan

seperangkat prosedur aturan dilapangan sebagai pengabdian kepada Negara dan

pelayan masyarakat. Baik untuk penjagaan, pengawalan, patroli, sampai kepada

pengendalian massa, memposisikan Polisi pada pihak ‘pemimpin masyarakat’.

Dalam arti, polisi adalah pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Polisilah

yang tampil sebagai pioner di garda depan dalam menangani ketidak stabilan

suasana massa. Dan itulah sebabnya mengapa polisi lebih banyak dituntut untuk

dapat mengendalikan amarahnya.

Mempertimbangkan semua hal yang telah dijabarkan, tergambar jelas

bahwa polisi sesungguhnya sudah dipersiapkan secara matang dalam pendidikan

dan senantiasa dilatih untuk terjun kemasyarakat secara ideal . Namun,

dikarenakan masih juga kerap terjadi bentuk hubungan yang tidak humanis dari

pihak kepolisian kepada masyarakat, maka peneliti tertarik untuk mengetahui

apakah empati polisi berhubungan dengan kemarahan

II. Metode Penelitian

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu :

Variabel Dependen : Kemarahan Polisi

Variabel Independen : Empati

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah : Polisi POLRES Purworejo yang beralamat

di Jl. Mayjen Sutoyo 12, Purworejo Jawa Tengah. Subjek penelitian difokuskan

pada Polisi Lalu-Lintas, Polisi BRIMOB dan Satuan Huru-Hara atau pengendali

masyarakat. Asumsi yang mendasari pemilihan subjek penelitian tersebut adalah

dikarenakan Polisi dalam satuan tersebut adalah pihak yang lebih banyak

berinteraksi dengan masyarakat atau massa dan setidaknya Polisi tersebut sudah

pernah menangani atau terlibat dengan aksi massa, serta telah mendapat beberapa

pembekalan tentang pengendalian massa dari struktur POLRI. Subjek penelitian

mayoritas pernah ditugaskan diluar Purworejo, baik itu di Pulau Sumatera,

kalimantan, maupun Sulawesi.

C. Metode Pengambilan Data

Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode skala.

Skala yang digunakan adalah :

1. Skala kemarahan

Disusun berdasarkan teori Spielberger (Mikulincer, 1988) dalam STAXI

yang terdiri atas 40 aitem. Adapun komponen-komponennya sebagai berikut :

a. State anger (S-anger) yaitu terdiri atas sebelas aitem yang

mengukur intensitas perasaan marah pada suatu waktu.

b. Trait anger (T-anger) yaitu terdiri atas sepuluh aitem yang mengukur

perbedaan individu dalam kecenderungan marah.

c. Anger Exspression (AX/Ex) yaitu terdiri atas sembilan belas aitem

yang mengukur anger dan anger-control.

2. Skala empati

Disusun berdasarkan teori Davis (1983) yang menggunakan empat aspek

yaitu: Perspective Taking (PT) , Fantasy (FS), Empathic Concern (EC), dan

Personal Distress (PD).

Selanjutnya, anger out dan anger in akan penulis jadikan satu kesatuan

aspek yang tidak terpisahkan. Sehingga aspek ekspresi kemarahan selanjutnya

akan terdiri dari anger dan anger control. Anger adalah penyatuan dari anger out

dan anger in. Penyatuan aspek ini penulis lakukan karena baik anger out maupun

anger in adalah sama-sama bentuk dari terekspresikannya kemarahan secara

langsung, walaupun ada yang ditujukan kepada objek lain seperti manusia dan

benda, maupun ditujukan kepada diri sendiri. Berbeda dengan anger, ekspresi

anger control adalah kondisi dimana polisi mampu untuk mengendalikan ekspresi

kemarahannya. Penulis berharap penyatuan kedua aspek tersebut dapat lebih

memperjelas perbedaan pada ekspresi kemarahan.

Untuk masing-masing aitem, subjek menilai dirinya sendri dengan tingkat

alternatif jawaban. Alternatif jawaban yang diberikan yaitu sangat sesuai, sesuai,

tidak sesuai, dan sangat tidak sesuai terhadap pernyataan yang diberikan.

Pemberian skor untuk masing-masing aitem ditentukan oleh pilihan jawaban

subjek. Pilihan jawaban aitem terdiri dari rentang empat sampi satu, dari sangat

sesuai (4) sampai sangat tidak sesuai (1) untuk pernyataan favorable dan dari

sangat sesuai (1) sampai sangat tidak sesuai (4) untuk pernyataan unfavorable

D. Alat Ukur

1. Skala kemarahan berdasarkan teori Spielberger (dalam Mikulincer, 1988).

2. Skala empati berdasarkan teori Davis (1983)

E. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan korelasi product moment dari Pearson dengan program komputer

SPSS 12.00. Alasan menggunakan product moment adalah karena penelitian ini

terdapat dua variabel yang akan diteliti dan dianalisis korelasinya dan jenis

variabel bebasnya rasio dengan variabel tergantungnya interval.

III. Hasil Penelitian

A. Deskripsi Data Penelitian

Seratus polisi yang diambil sebagai subjek adalah personil yang bekerja

dalam bidang operasional yang berinteraksi langsung dengan pelayanan

kepada masyarakat serta terlibat fisik dalam aksi massa. Adapun bidang

operasional tersebut telah dipaparkan pada penjelasan pelaksanaan penelitian.

Untuk memperoleh gambaran umum mengenai data penelitian dapat

dilihat pada tabel deskripsi data berisikan fungsi-fungsi statistik dasar yang

disajikan secara lengkap pada tabel berikut ini.

Deskripsi Data Penelitian N Minimum Maximum Mean Std.

Statistic Statistic Statistic Statistic std.

Error Statistic Jumlah X1 73 11 26 19.47 .357 3.046 Jumlah X2 73 57 79 67.14 .635 5.427 Valid N (listwise) 73

Keterangan x1 = menunjukkan data kemarahan x 2= menunjukkan data empati

Berdasarkan deskripsi data penelitian di atas dapat dilihat skor yang

diperoleh untuk variabel kemarahan skor hipotetik min adalah 11, dengan skor

maksimal 26 skor mean hipotetik 19.47 dan deviasi standar 3.046. Sementara

untuk variabel empati skor hipotetik minimal adalah 57,dengan skor maksimal

79, skor mean hipotetik 67.14 dan deviasi standar 5.427.

B. Uji Asumsi

Sebelum melakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi

yang mencakup uji normalitas dan linieritas.

a. Hasil Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah data dari masing-masing

variabel berdistribusikan normal atau tidak. Uji normalitas ini menggunakan one

sample kolmogorov-smirnov. Nilai asymp.sig variabel kemarahan adalah

p= 0.316 ; atau p>0.05. Sedangkan pada variabel empati taraf asymp.sig adalah

p=0.589 ; atau p>0.05. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran skor skala

kemarahan dan empati pada polisi adalah normal. Berikut akan penulis sajikan

secara lengkap dalam tabel.

Tabel 7 Uji normalitas kemarahan Empati N 73 73 Normal Parameters Mean 19.47 67.14 Std. Deviation 3.046 5.427 Most Extreme Absolute 0.112 0.090 Differences Positive 0.095 0.084 Negative -0.112 -0.090 Kolmogorov-Smirnov Z 0.960 0.773 Asymp. Sign. (2-tiled) 0.316 0.589

b. Hasil Uji Liniaritas

Uji liniaritas ini dilakukan untuk mengetahui liniaritas skor pada variabel

empati dan kemarahan pada polisi. Hasil uji linearity ini diketahui bahwa antara

empati dan kemarahan pada polisi, diperoleh nilai F sebesar 37.750, dengan

Sig.sebesar 0.000 atau p<0.05 . Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara

kedua variabel ini adalah linear.

C. Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik korelasi

product moment pearson dari program SPSS 12.00 for windows dan diperoleh

koefisien korelasi sebesar -0.537 dengan p=0.000 atau p<0.05 yang artinya ada

hubungan negatif antara empati dan kemarahan pada polisi. Berikut penyajian

lengkapnya dalam bentuk tabel.

Korelasi product moment Kemarahan Empati Kemarahan Pearson Correlation 1 -0.537 Sig. (1-tailed) 0.000 N 73 73 Empati Pearson Correlation -0.537 1 Sig. (1-tailed) 0.000 N 73 73

IV. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data menggunakan korelasi product

moment Pearson dari program SPSS 12.00 for windows dan diperoleh koefisien

korelasi sebesar -0.537 dengan p=0.000 atau p<0.05 yang artinya ada hubungan

negatif antara empati dan kemarahan pada polisi. Semakin tinggi empati maka

kemarahan pada polisi rendah. Sebaliknya semakin rendah empati maka

kemarahan pada polisi tinggi.

Dari hasil penelitian Ekman & Frieser (1975) disimpulkan bahwa kondisi

psikologis yang tidak nyaman adalah sebagai faktor penyebab kemarahan.

Tindakan orang lain yang dipandang immoral dapat menimbulkan rasa marah

pada seseorang walaupun orang tersebut tidak terkena efeknya secara langsung.

Adapun kemarahan moral seringkali terkait dengan konsep keadilan. Yaitu marah

yang disebabkan kesengsaraan orang lain atau karena nilai moral yang dianut

dilecehkan, merupakan motif penting terhadap timbulnya aksi sosial dan politik.

Dari kasus-kasus antara masyarakat dan personil polisi yang saya paparkan di Bab

I,akan terlihat bahwa tindakan yang dilakukan oleh masyarakat dan mahasiswa

adalah bentuk dari ketidak puasan, kecewa karena harapannya gagal, serta

dikarenakan kesengsaraan yang dialami oleh rekan mereka. Namun, bila segenap

perasaan serta pikiran yang masyarakat bawa tidak diterima pihak kepolisisn

dengan melibatkan Empathic Concern (EC), yaitu sebuah aspek yang dipenuhi

perasaan hangat, kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain, maka wajar bila

yang terbentuk adalah sebuah perasaan terancam. Bahkan, ketidak puasan yang

ditujukan kepada pihak pemerintah justru dibalas oleh personil polisi.

Dapat disimpulkan Empathic Concern (EC) yang tinggi mampu untuk mengatasi

kondisi psikologis yang tidak nyaman adalah sebagai faktor penyebab kemarahan.

Sebaliknya, Empathic Concern (EC) yang rendah akan menjadi penghambat

dalam mengatasi kondisi psikologis yang tidak nyaman sehingga makin

memperkuat faktor penyebab kemarahan.

Sedangkan pada aspek Perspective Taking (PT) yang dibuat oleh Davis

(1983) menitik beratkan pada fungsi sosial yang baik dan reaksi emosi orang lain.

Nampak bahwa terjadi sebuah penyimpangan peran dan terlibatnya reaksi emosi

negatif dalam interaksi antar individu manusia maupun kelompok, yang dalam

bahasan ini adalah antara masyarakat dan personil polisi. Dapat dikatakan

semakin tinggi Perspective Taking (PT) maka berbanding terbalik terhadap

kemarahan . Sebaliknya semakin rendah Perspective Taking (PT) maka

berbanding terbalik terhadap kemarahan.

Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah subjek polisi bertugas pada

daerah yang jarang sekali untuk terjadi konflik dengan masyarakat. Selain itu,

seharusnya peneliti mencantumkan masa bertugas subjek penelitian sebagai tolak

ukur apakah subjek penelitian telah memiliki banyak pengalaman dalam

menghadapi situasi yang beraneka ragam ketika bertugas melayani masyarakat.

Aitem pada skala kemarahan juga lebih cenderung mengungkap kemarahan polisi

dalam kesehariannya. Seharusnya, kemarahan yang diungkap adalah kemarahan

polisi pada saat bertugas. Terdapat pula kelemahan pada reliabilitas empati

sebesar 0.693 yang berarti, untuk selanjutnya aitem pada skala kemarahan harus

ditinjau kembali.

V. Kesimpulan

Tinggi atau rendahnya kemarahan pada polisi menyimpulkan bahwa

empati adalah hal yang sangat penting dan berpengaruh dalam tingkat kemarahan

polisi. ini berarti pula bahwa empati berpengaruh dalam keberhasilan polisi

mengendalikan kemarahannya. Jika personil Polisi memiliki empati yang rendah

maka akan memudahkan jalan bagi hadirnya kemarahan pada dirinya. Kemarahan

disini tentu saja kemarahan yang diluar kontrol. Artinya bahwa empati sangat

berpengaruh dalam menentukan tingkat kemarahan pada Polisi. Maka jika

personil Polisi memiliki empati yang tinggi maka personil Polisi tersebut akan

mampu mengatasi ataupun bahkan menghindari kemarahan.

Hubungan antara empati dan kemarahan pada Polisi telah terbukti.

Sehingga jika Polisi memiliki empati yang tinggi maka akan dapat mengatasi/

terhindarkan dari kemarahan.

VI. Saran

Penulis memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan penelitian

yaitu sebagai berikut :

1. Saran kepada subjek penelitian

Penelitian ini memperoleh hasil bahwa ada hubungan positif antara

empati dan tingkat kemarahan pada polisi. Dari penelitian ini perlu kiranya bagi

polisi atau instansi polisi untuk mengadakan kontrol terhadap kualitas empati

dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Saat ini tersedia beberapa

fasilitas untuk mengontrol ataupun meningkatkan empati seperti training, dan

yang utama adalah kemauan dari personil polisi untuk senantiasa menghadirkan

empati dalam melayani masyarakat. Kehadiran empati dalam interaksi akan

membuat polisi jernih dalam bertindak. Kelak, kemarahan polisi yang

diluar kontrol akan terhindar.

2. Saran kepada peneliti selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik dan ingin meneliti mengenai

empati dan kemarahan pada polisi, disarankan untuk memperhatikan faktor-

faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian antara lain :

a.Melakukan observasi personil polisi terlebih dahulu. Subjek yang baik

adalah yang memiliki banyak pengalaman dalam interaksi terhadap bentrokan

dengan massa. Semisalnya dalam penelitian saya ini, maka subjeknya adalah

polisi yang terlibat dalam peristiwa Tri Sakti, penangkapan Abu Bakar

Baasyir dan kasus TPA Bojong . Bilapun itu sulit untuk dilakukan, maka

pilihlah lokasi (Polres dan Polsek) yang banyak terjun dalam menghadapi

massa. Lebih diutamakan Polres dan Polsek di kota-kota besar yang

masyarakatnya suka bergejolak seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya

dan Makasar. Masa bertugas setiap subjek juga akan berpengaruh untuk

dijadikan sebuah perbandingan dalam tingkat empati dan kemarahan yang

dimiliki.

b.Melakukan penyempurnaan alat ukur yang telah digunakan oleh peneliti.

Ini semata agar diperoleh hasil penelitian yang lebih akurat .

c.Kemaslah angket dalam bentuk, font huruf, serta warna dan desain yang

lebih menarik agar subjek merasa senang dan tidak jenuh dalam pengisian

angket.

d.Selanjutnya peneliti dapat membandingkan antara subjek polisi laki-laki dan

perempuan.

e. Perbanyak metode pengumpulan lain seperti wawancara, observasi dan

survey baik kepada para polisi, instansi kepolisian, maupun masyarakat.

f. Penelitian kualitatif dalam bentuk pelatihan bagi polisi dari peneliti

selanjutnya akan lebih menyempurnakan penelitian ini.

Daftar Pustaka

Albin. Dkk.,1986. Emosi. Edisi Pertama (Terjemahan). Jogjakarta: Kansius

Astuti, L. E. 2001. Hubungan antara kesadaran emosi dengan empati. Skripsi (Tidak diterbitkan). Jogjakarta: Fakultas Psikologi UGM

Atkinson, R. L. Dkk.,2000. Pengantar Psikologi (Terjemahan), Edisi Kesebelas, Jilid I, Jakarta: Interaksara

Atkinson, R. L. Dkk.,2000. Pengantar Psikologi (Terjemahan), Edisi Kesebelas, Jilid II, Jakarta: Interaksara

Azwar, S. 2001. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Azwar, S. 2002. Penyusunan Skala Psikologi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Batson, C. D. Dkk., 1995. Information Function of Empathic Emotion: Learning That We Value the Other’s Welfare. Journal of Personality and Social Psychology. 68. 2. 300-313

Batson, C. D. Dkk., 1997. Empathy and Attitudes: Can Feeling for a member of a Stigmatized Group Improve Feelings Toward the Group?. Journal of Personality and Social Psychology. 72. 1. 105-118

Burnham, S,. 1990. Emosi Dalam Kehidupan, (Terjemahan). Jakarta: Gunung Mulia

Carlozzi, A. F. Dkk., 1983. Empathy and Ego Development. Journal of Counseling Psychology. 30. 1. 113-116

Carlson, J. G. Dkk.,1992. Psychologi Of Emotion. Florida: Holt, Rinehart and Winston,Inc

Chaplin, J. P. 1997. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : Rajawali Pers

Davis, M. H,. 1983. Measuring Individual Differences in Empathy : Evidence for A Multidimensional Approach. Journal of Personality and Social Psychology. 44. 1. 113-126

Dayakisni, T dan Hudaniah,. 2003. Psikologi Sosial. Malang : UMM Pers

Ford, C,. 1994. Emotion and Gender: Constructing meaning from memory,

Chapter 10: Anger. London: Sage Publication

Goleman, D,. 2000. Emotional Intelligence. Jakarta: PT Gramedia

Harmon, E. Dkk., 1998. Anger and Front l Brain Activity: EEG Asymmetry Consistent With Approach Motivation Despite Negative Affective Valence. Journal of Personality and Social Psychology. 74. 5. 1310-1316

Harre, R. Dkk., Ensiklopedi Psikologi. Edisi Kesatu (Terjemahan). Jakarta: Arcan

Hoffman, M,. 1996. Psychology : Mind Brain and Culture, Chapter 11. Canada: John Wiley & Sons,Inc

Hurlock, E. B. 1997. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi Kelima (Terjemahan). Jakarta: Erlangga

Jenny. 1998. Pengaruh Warna Kuisioner dan Gender Terhadap Respon Emosional Marah. Skripsi (diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi UBAYA

Mikulincer, M,. 1998. Adult Attachment Style and Individual Differences in Functional Versus Dysfunctional Experiences of Anger. Journal of Personality and Social Psychology. 74. 2. 513-524

Muhammad, F,.2005. Mewujudkan Kepolisian Sipil , Harian Republika

Paul, E,. 1975. Unmasking the Face. New Jersey: Prentice-Hall,Inc

Santoso, S. 2003. SPSS Versi 10 : Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Strayer, J. Dkk., 1997. Children’s Personal Distance and Their Empathy: Indices Of Interpersonal Closeness. Internasional Journal of Behavioral Development. 20. 3. 385-403

Tavris, C,. 1982. Anger : The Misunderstood Emotion. New York: Simon & Schuster, Inc