LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR FEMUR
OLEH:
I DEWA AYU DENI MAHA DEWI1002105049PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2015LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR FEMUR
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. DEFINISI Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smletzer & Bare, 2002).
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian (Muttaqin, 2008).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer dkk, 2000).
Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer & Bare, 2002).2. EPIDEMIOLOGIInsiden fraktur terbuka sebesar 4% dari seluruh fraktur dengan perbandingan laki-laki dan perempuan sebesar 3,64 berbanding 1, dengan kejadian terbanyak pada kelompok umur dekade kedua dan ketiga yang relatif mempunyai aktivitas fisik dan mobilitas yang tinggi. Analisis epidemiologi menunjukkan bahwa 40% fraktur terbuka terjadi pada ekstremitas bawah, terutama daerah tibia dan femur tengah sedangkan suatu penelitian yang dilakukan oleh Kilbourne et al di Baltimore tahun 2008 mendapatkan pasien fraktur tertutup sebanyak 291 (56%) orang. Menurut Kahlon et al yang melakukan analisis terhadap penanganan emergensi pasien trauma di bagian ortopedi Rumah Sakit Umum Lahore terhadap 1289 pasien tahun 2004, didapatkan jumlah kasus fraktur tertutup sebanyak 915 (71%) pasien. Suatu penelitian yang dilakukan Armis di Indonesia tahun 2001 mendapatkan pasien fraktur tertutup sebesar 96 % dari seluruh fraktur. Tingginya insiden fraktur tertutup ini disebabkan karena tingginya angka kecelakaan lalu lintas. Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas mencapai 12.000 orang per tahun.Untuk fraktur femur yang terbagi dalam beberapa klasifikasi misalnya saja pada fraktur collum, fraktur subtrochanter femur ini banyak terjadi pada wanita tua dengan usia lebih dari 60 tahun dimana tulang sudah mengalami osteoporotik, trauma yang dialami oleh wanita tua ini biasanya ringan (jatuh terpeleset di kamar mandi) sedangkan pada penderita muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan. Sedangkan fraktur batang femur, fraktur supracondyler, fraktur intercondyler, fraktur condyler femur banyak terjadi pada penderita laki-laki dewasa karena kecelakaan ataupun jatuh dari ketinggian. Sedangkan fraktur batang femur pada anak terjadi karena jatuh waktu bermain di rumah atau di sekolah.
3. ETIOLOGI
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a) Cedera traumatik Dapat disebabkan oleh :
Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah secara spontan.
Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan misalnya jatuh dengan kaki berjulur sehingga menyebabkan fraktur
Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat
b) Fraktur patologikDalam hal ini, kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur yang dapat terjadi pada berbagai keadaan berikut :
Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali dan progresif
Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan nyeri
Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skeletal lain biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi vitamin D atau oleh karena asupan kalsium dan fosfat yang rendah. Osteoporosis c) Secara spontanDisebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.
4. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, 1993). Namun, apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpenito, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, 1995)
a) Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang (Donna, 1995).
b) Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang.
Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium I-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. Setelah 24 jam supalai darah disekitar fraktur meningkat
2) Stadium II-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung jenis frakturnya.
3) Stadium III-Pembentukan Kallus
Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4) Stadium IV-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya (Black, 1993 dan Apley,1993) 5. KLASIFIKASI
Berdasarkan hubungan dengan dunia luar:
a) Fraktur tertutup adalah fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak menonjol melalui kulitb) Fraktur terbuka adalah fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka potensial terjadi infeksi. Berdasarkan luas dan garis fraktur:a) Fraktur complete adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang luas sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis patahnya menyeberangkan dari satu sisi ke sisi lain serta mengenai seluruh korteks.b) Fraktur incomplete adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang dengan garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai korteks (masih ada korteks yang utuh) Berdasarkan garis patah tulang:
a) Green Stick yaitu pada sebelah sisi dari tulang
b) Transverse yaitu patah melintang
c) Longitudinal yaitu patah memanjang
d) Obligue yaitu garis patah miring
e) Spiral yaitu patah melingkar
Gambar 1. Klasifikasi fraktur berdasarkan garis patah tulang
Klasifikasi fraktur femur dapat dibagi dalam :
1) FRAKTUR COLLUM FEMUR
Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah, dibagi dalam :
Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur)
Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)
2) FRAKTUR SUBTROCHANTER FEMUR
Adalah fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter minor, dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu :
Tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor
Tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inchi di bawah dari batas atas trochanter minor
Tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inchi di distal dari batas atas trochanterminor
3) FRAKTUR BATANG FEMUR
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam shock, salah satu klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan daerah yang patah. Dibagi menjadi :
Tertutup
Terbuka, ketentuan fraktur femur terbuka bila terdapat hubungan antara tulang patah dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat, yaitu: Derajat I : bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul luka kecil, biasanya diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam menembus keluar.
Derajat II : lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan karena benturan dari luar.
Derajat III : lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah)4) FRAKTUR SUPRACONDYLER FEMUR
Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot-otot gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.
5) FRAKTUR INTERCONDYLAIR
Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur supracondular, sehingga umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.
6) FRAKTUR CONDYLER FEMUR
Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan adduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.
6. MANIFESTASI KLINIS
Lewis (2006) menyampaikan gejala klinis dari fraktur adalah sebagai berikut:
a) Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya. Nyeri dirasakan terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b) Bengkak/edamaEdema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c) Memar/ekimosisMerupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
d) Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e) Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f) Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme otot, paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g) Mobilitas abnormal
Mobilitas abnormal adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
h) KrepitasiKrepitasi merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
i) DeformitasAbnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j) Syok hipovolemik
Syok terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat. Ditandai dengan nadi cepat, kerja jantung meningkat, vasokontriksi.
k) Pemendekan tulang
Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci)
7. PEMERIKSAAN FISIK
a) Mengidentifikasi tipe fraktur
b) Inspeksi daerah mana yang terkena
Deformitas yang nampak jelas
Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
Laserasi
Perubahan warna kulit
Kehilangan fungsi daerah yang cidera
Penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi, pemendekan
Kulit robek atau utuh
Perhatikan adanya sindrom kompartemen pada bagian distal fraktur femur.
c) Palpasi
Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran
Krepitasi pada daerah paha
Nadi, dingin
Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur
Terdapat nyeri tekan setempatd) Movement
Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan sendi-sendi dibagian distal cedera. Gerakan yang dilihat adalah gerakan pasif dan aktif. Berdasarkan pemeriksaan didapatkan adanya gangguan/keterbatasan gerak tungkai, ketidakmampuan menggerakkan kaki, dan penurunan kekuatan otot ekstremitas bawah dalam melakukan pergerakan
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
Bayangan jaringan lunak.
Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu teknik khususnya seperti:
Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
9. DIAGNOSIS/KRITERIA DIAGNOSIS
a) Anamnesis : pada penderita didapatkan riwayat trauma ataupun cedera dengan keluhan bagian dari tungkai tidak dapat digerakkan
b) Pemeriksaan fisik :
Look: Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh; kalau kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera terbuka
Feel: Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa bagian distal dari fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji sensasi. Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan pembedahan
Movement: Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan sendi-sendi di bagian distal cedera.
10. TERAPI/TINDAKAN PENANGANAN
a) Reduksi
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit dilakukan bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan, mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dilakukan manipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain dipasang. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang.
Reduksi terbuka digunakan pada fraktur tertentu dengan memakai alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
b) Traksi
Traksi adalah cara penyembuhan fraktur yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin
Metode Pemasangan traksi:
Traksi Manual Tujuan : Perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, pada keadaan emergency.
Dilakukan dengan menarik bagian tubuh.
Traksi Mekanik Ada dua macam, yaitu :
Traksi Kulit
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya: otot. Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5 kg.
Traksi Skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal atau penjepit melalui tulang/jaringan metal.
Kegunaan Pemasangan Traksi Traksi yang dipasang pada leher, di tungkai, lengan atau panggul kegunaannya:
Mengurangi nyeri akibat spasme otot
Memperbaiki dan mencegah deformitas
Immobilisasi
Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi).
Mengencangkan pada perlekatannya.
Macam-Macam Traksi Traksi Panggul
Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas untuk mengikat puncak iliaka. Traksi Ekstension (Bucks Extention)
Lebih sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurus satu kaki ke dua kaki. Digunakan untuk immobilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkat atau untuk mengurangi spasme otot. Traksi Cervikal
Digunakan untuk menahan kepala ekstensi pada keseleo, kejang dan spasme. Traksi ini biasa dipasang dengan halter kepala.
Traksi Russells
Traksi ini digunakan untuk fraktur batang femur. Kadang-kadang juga digunakan untuk terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk skeletal yang biasa digunakan.Traksi ini dibuat sebuah bagian depan dan atas untuk menekan kaki dengan pemasangan vertikal pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.
(a) (b)
Gambar 2. Metode Pemasangan Traksi (a. Skletal traksi. b. Skin traksi)c) Imobilisasi fraktur
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu. Metode fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam.
Gambar 3. Area-area yang tertekan menggunakan GipsGambar 4. Fiksasi internal
Gambar 5. Teknik Fiksasi InternalKet: Teknik fiksasi interna. (A) Plat dan sekrup untuk fraktur transversal atau oblik pendek; (B) Sekrup untuk fraktur oblik dan spiral panjang; (C) sekrup untuk fragmen butterfly panjang; (D) Plat dan enam sekrup untuk fragmen butterfly pendek; (E) Nail moduler untuk fraktur segmentald) Pembedahan
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan paku.
Indikasi ORIF :
Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair necrosis tinggi
Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan
Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi
Excisional Arthroplasty
Membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi
Excisi fragmen dan pemasangan endoprosthesis
Dilakukan excisi caput femur dan pemasangan endoprosthesis Moore
Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain : Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada didekatnya
Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-kasus yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama penatalaksanaan dijalankan
e) Mempertahankan dan mengembalikan fungsi.
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan aliran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur yaitu:
a. Mempercepat penyembuhan fraktur
Imobilisasi fragmen tulang
Kontak fragmen tulang maksimal
Asupan darah yang memadai
Nutrisi yang baik
Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang
Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D
b. Menghambat penyembuhan tulang
Trauma lokal ekstensif
Kehilangan tulang
Imobilisasi tidak memadai
Rongga atau adanya jaringan diantara fragmen tulang
Infeksi
Keganasan lokal
Nekrosis avaskuler
Usia (pada lansia sembuh lebih lama)
11. KOMPLIKASI
Komplikasi awal
a) Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat perdarahan (baik kehilangan darah eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak.
b) Sindrom emboli lemak
Setelah terjadi fraktur femur dapat terjadi emboli lemak khususnya pada dewasa muda (20-30 tahun) pria. Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan gejalanya sangat cepat, dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cedera, namun paling sering terjadi dalam 24 sampai 72 jam. Gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia dan pireksia. Gangguan cerebral diperlihatkan dengan adanya perubahan status mental yang bervariasi dari agitasi ringan dan kebingungan sampai delirium dan koma yang terjadi sebagai respon terhadap hipoksia, akibat penyumbatan emboli lemak di otak.
c) Sindrom kompertemen
Sindrom kompartemen disebabkan karena penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang menjerat, atau peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah. Pasien mengeluh adanya nyeri dalam, berdenyut tak tertahankan. Palpasi pada otot akan terasa pembengkakan dan keras.
Komplikasi lambat
a) Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik atau distraksi fragmen tulang. Tidak ada penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujung patahan tulang.
Malunion : tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
Non union : tulang yang tidak menyambung kembali
b) Nekrosis avaskuler tulang
Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati, dapat terjadi setelah fraktur khususnya pada kolum femoris. Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorbsi dan diganti dengan tulang baru. Pasien mengalami nyeri dan keterbatasan gerak.
c) Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator utama telah terjadi masalah. Masalah tersebut meliputi pemasangan dan stabilisasi yang tidak memadai, alat yang cacat atau rusak, berkaratnya alat menyebabkan inflamasi lokal, respon alergi terhadap campuran logam yang digunakan dan remodeling osteoporotik di sekitar alat fiksasi.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIANa. Pola Pemeliharaan dan Persepsi Terhadap Kesehatan
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup pasien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah pasien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, 1995).
b. Pola Nutrisi dan Metabolik
Pada pasien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi pasien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas pasien.
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak (Doenges, 1999).d. Pola Tidur dan Istirahat
Semua pasien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur pasien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doenges, 1999).
e. Pola Aktivitas dan latihan
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan pasien menjadi berkurang dan kebutuhan pasien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas pasien terutama pekerjaan pasien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, 1995).f. Pola Hubungan dan Peran
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena pasien harus menjalani rawat inap(Ignatavicius, 1995).
g. Pola Persepsi Diri
Dampak yang timbul pada pasien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, 1995).
h. Pola Perseptual
Pada pasien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, 1995).
i. Pola Seksual & Reproduksi
Dampak pada pasien fraktur yaitu, pasien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami pasien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, 1995).
j. Pola Manajemen Koping Stress
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh pasien bisa tidak efektif (Ignatavicius, 1995).
k. Pola Nilai dan Keyakinan
Untuk pasien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak pasien (Ignatavicius, 1995)
2. DIAGNOSA KEPERAWATANPRE OPERASI
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (desakan fragmen cedera pada jaringan lunak) ditandai dengan pasien tampak meringis, laporan secara verbal terasa nyeri, perubahan posisi untuk menghindari nyeri.
2) Hipertermi berhubungan dengan respon inflamasi sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh > 37,5 C, akral teraba hangat.
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot ditandai dengan pasien tidak mampu menggerakkan bagian yang mengalami fraktur, pasien mengeluh nyeri saat menggeser bagian yang fraktur.
4) Defisit perawatan diri: mandi, berpakaian, makan, eliminasi berhubungan dengan kontraktur otot ditandai dengan pasien tidak mampu memegang alat mandi, pasien tidak mampu menggunakan pakaian sendiri, pasien minta dibantu untuk makan dan eliminasi.
5) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan vaskularisasi ditandai dengan oedema ekstremitas, sianosis, perubahan temperatur kulit.6) PK: Perdarahan
7) PK: Anemia
8) Ansietas berhubungan perubahan kondisi fisik (patah tulang) ditandali dengan pasien mengeluh merasa cemas dengan situasi fisiknya, pasien tampak gelisah.
POST OPERASI
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik (pemasangan ORIF/OREF) ditandai dengan pasien mengeluh nyeri, pasien mengatakan nyeri terasa tajam, nyeri terasa pada kaki ditempat operasi, pasien mengatakan skala nyeri 1-10, pasien mengatakan nyeri hilang timbul dan meningkat apabila kaki digerakkan, pasien tampak gelisah, pasien tampak meringis kesakitan, pasien tampak tidak nyaman (posisi melindungi bagian yang nyeri).2) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif akibat tindakan ORIF/OREF
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan terapi pembatasan gerak ditandai dengan pasien tidak mapu menggerakkan kakinya
4) Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik dan faktor mekanik yang menimbulkan penekanan
5) PK : perdarahan
6) Defisit perawatan diri mandi/kebersihan berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal dan terapi pembatasan gerak ditandai dengan pasien mengatakan tidak mampu untuk melakukan perawatan dirinya sendiri, pasien tampak kotor dan bau.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (desakan fragmen cedera pada jaringan lunak) ditandai dengan pasien tampak meringis, laporan secara verbal terasa nyeri, perubahan posisi untuk menghindari nyeri.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama..x . jam, diharapkan nyeri dapat berkurang dengan kriteria hasil:
NOC Label >> Pain Control
Pasien mengenali onset nyeri.
Pasien dapat mendeskripsikan faktor penyebab. Pasien menerapkan teknik manajemen nyeri non farmakologis.
Pasien menggunakan analgesik sesuai rekomendasi.NOC Label >> Pain Level Pasien tidak melaporkan adanya nyeri Ekspresi wajah terhadap nyeri Diaphoresis RR dalam batas normal (16-20 kali/menit) Nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit) Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg)Intervensi :
NIC Label >> Pain Management1. Kaji karakteristik nyeri meliputi lokasi, waktu, frekuensi, kualitas, faktor pencetus, dan intensitas nyeri
Rasional : Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat menentukan jenis tindakan selanjutnya.
2. Kaji faktor-faktor yang dapat memperburuk nyeri pasien
Rasional : Dengan mengetahui faktor-faktor yang dapat memperburuk nyeri, dapat mencegah terjadinya faktor pencetus dan menentukan intervensi apabila nyeri terjadi.
3. Monitor status TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik
Rasional : mencegah kontraindikasi dan efek samping pemberian analgetik
4. Memastikan pasien mendapat terapi analgesik yang tepat
Rasional : Analgesik yang dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan tidak mengakibatkan adanya reaksi alergi terhadap obat.
5. Eliminasi faktor-faktor pencetus nyeri
Rasional : Dengan mengeleminasi faktor-faktor pencetus nyeri, dapat mengurangi risiko munculnya nyeri (mengurangi awitan terjadinya nyeri)
6. Ajarkan teknik nonfarmakologi (misalnya teknik relaksasi, guided imagery, terapi musik, dan distraksi) yang dapat digunakan saat nyeri timbul.
Rasional : Dengan teknik manajemen nyeri, pasien bisa mengalihkan nyeri sehingga rasa nyeri yang dirasakan berkurang.
7. Berikan dukungan selama pengobatan nyeri berlangsung
Rasional : Dukungan yang diberikan dapat membantu meningkatkan rasa percaya terhadap perawat.
8. Kolaborasi pemberian analgetik
Rasional : Pemberian analgetik dapat memblok reseptor nyeri.
2) Hipertermi berhubungan dengan respon inflamasi sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh > 37,5 C, akral teraba hangat.Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x jam, diharapkan suhu pasien dalam batas normal dengan kriteria hasil :
NOC Label >> Thermoregulation Suhu tubuh pasien normal (36-370,5C)
Melaporkan rasa nyaman
Tidak menggigil
NOC Label >> Vital Signs Suhu : 36-370,5C
Nadi: 60-100x/menit
RR: 16-20 x/menit
TD: 120/80 mmHg
Intervensi :
NIC Label >> Fever Treatment1. Monitor suhu tubuh, tekanan darah, denyut nadi, dan respirasi rate secara berkala.
Rasional: peningkatan suhu menunjukkan proses adanya infeksius akut maupun dehidrasi. Menggigil sering mendahului puncak suhu.
2. Berikan kompres hangat.
Rasional: membuat vasodilatasi pembuluh darah sehingga dapat membantu mengurangi demam.
3. Anjurkan pasien untuk mempertahankan asupan cairan adekuat.
Rasional: untuk mencegah dehidrasi akibat penguapan cairan karena suhu tubuh yang tinggi.
4. Kolaborasi pemberian obat antipiretik sesuai indikasi.
Rasional: digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot ditandai dengan pasien tidak mampu menggerakkan daerah yang mengalami fraktur, pasien mengeluh nyeri saat menggeser bagian yang fraktur.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan ... x jam, diharapkan kekakuan otot tidak terjadi dengan kriteria hasil: Fleksbilitas sendi dapat dipertahankan
Otot tidak mengalami atropi
Otot tidak mengalami kontraktur
Intervensi:
NOC Label >> Bed Rest care
1. Jelaskan pada pasien tentang kemungkinan untuk bed rest selama beberapa waktu.
Rasional: Memberitahukan kemungkinan yang terjadi bila pasien tidak mampu bergerak dalam waktu lama sehingga tidak menimbulkan kecemasan bagi pasien dank lien dapat turut berperan dalam proses penyembuhannya.
2. Jaga agar linen tetap bersih dan kering.
Rasional: Untuk mencegah terjadinya infeksi dan dekubitus pada pasien.
3. Bantu pasien dalam melakukan ADL.
Rasional: Pasien yang mengalami imobilisasi/bed rest tidak dapat melakukan ADL, maka perawat harus membantu pasien.
4. Bersama pasien batasi gerak bagian tubuh tubuh yang mengalami fraktur.
Rasional: Mempercepat proses penyembuhan tulang belakang dan mencegah kerusakan yang berkepanjangan dari medulla spinalis.NOC Label >> Exercise promotion
1. Beritahukan pasien mengenai manfaat, prosedur dari latihan untuk kesembuhan ekstremitasnya.Rasional: Penjelasan yang diberikan dapat menjawab ketikdak tahuan pasien mengenai segala intervensi yang akan diberikan, dengan demikian pasien akan dapat mengikuti intervensi yang diberikan dengan baik dan mematuhi peraturan.
2. Kaji kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas dan fungsi persendian, otot dan kekuatan otot pasien.
Rasional: Pengkajian dapat memberikan informasi mengenai kemampuan motorik pasien dan hasilnya dapat disesuaikan antara intervensi yang akan diberikan dengan kondisi pasien.
3. Ajarkan pasien untuk melatih pesendian dan otot (misalnya: gerakan ekstensi dan fleksi, memutar kemudian relaks dan mengkontrasikan otot).
Rasional: Latihan pasif tersebut dapat membantu dalam mengurangi kekakuan otot dan sendi serta dapat memperlanjar peredaran darah sehingga mempercepat penyembuhan.
4. Observasi hasil dari latihan yang dilakukan (misalnya : pernafasan, nadi, nyeri)Rasional: Gejala seperti berkurangnya frekuensi nafas, nadi cepat, pucat, pusing, dan nyeri pada persendian dan otot saat latihan merupakan tanda-tanda yang harus diantisipasi yang dapat mengindikasikan ketidakstabilan kondisi pasien dan latihan harus dihentikan.
5. Ajarkan pada pasien cara-cara dalam melakukan perubahan posisi (misalnya: dengan menggeser keseluruhan ekstremitas secara bersamaan dan tidak mengangkat ekstremitas tanpa penopang).
Rasional: Pada pasien dengan gangguan pada komposisi tulang tidak boleh melakuakan melakuakan perubahan posisi tanpa arahan karena dapat memperburuk kondisi penyusunan kembali komponen tulang.
6. Dampingi pasien dalam melakukan pergerakan (misalnya : duduk, berdiri, berjalan pada jarak tertentu dan berbaring).
Rasional: Pasien akan merasa lebih aman dan nyaman saat didampingi sewaktu melakukan terapi mobilisasi, sehingga pasien dapat mengikuti terapi dengan baik.
7. Dampingi pasien saat melakukan latihan pasif/aktif pergerakan sendi
Rasional: Dapat membantu agar pasien dapat melakukan latihan secara optimal
8. Anjurkan pasien untuk melakukan latihan ROM
Rasional: ROM merupakan aktivitas yang dilakukan untuk melatih kemampuan otot dan persendian, sehingga dengan ROM dapat mengurangi kekakuan otot dan sendi serta dapat mempercepat pemulihan serta mencegah atropi otot.
9. Monitoring posisi kesejajaran tubuh
Rasional: Perubahan posisi pasien dapat mempengaruhi perubahan pada gaya tarik pada traksi dan mempengaruhi posisi tulang yang sudah direposisi, posisi pasien yang tidak sejajar dapat menimbulkan deformitas.
10. Monitoring posisi tempat tidur dan ketinggian tempat tidur pasien
Responsi: Tempat tidur pasien sudah diatur sesuai dengan jenis traksi yang digunakan pasien, sehingga perubahan posisi dan ketinggian tempat tidur dapat mempengaruhi komponen pada traksi.
11. Monitoring fiksasi eksternal pasien
Rasional: Fiksasi yang lama, terlalu ketat dan lain-lain dapat mempengaruhi keutuhan kulit dan kestabilan pada saraf dan pembuluh darah pada ekstremitas pasien, sehingga dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan mobilitas pasien.12. Konsultasikan pada physical therapy untuk merencanakan aktivitas ambulasi pasien.Rasional: Physical therapy akan dapat membantu tugas perawat dalam merencanakan intervensi untuk pemberian ambulasi yang tepat untuk pasien sesuai dengan kondisi pasien.
NIC Label >> Traction/Immobilization Care
1. Pertahankan traksi pada bagian tubuh yang fraktur agar tetap terpasang dengan baik.
Rasional: Membantu proses penyembuahan bagian tulang yang fraktur.4) Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan vaskularisasi ditandai dengan oedema ekstremitas, sianosis, perubahan temperatur kulit.Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama .x jam, diharapkan perfusi jaringan perifer kembali efektif dengan kriteria hasil:
NOC Label >> Tissue Perfussion: Peripheral
Tidak ada nekrosis pada jari-jari.
CRT dalam batas normal (kurang dari 3 detik). Akral hangat.
Tidak ada sianosis pada kuku kaki ataupun tangan.Intervensi:
NIC Label >> Haemodynamic Regulation1. Awasi tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/membran mukosa.
Rasional: Memberikan informasi tentang derajat/keadekuatan perfusi jaringan dan membantu menentukan kebutuhan intervensi2. Kaji untuk respon verbal melambat, mudah teransang agitasi, gangguan memori, bingung.
Rasional: Dapat mengindikasikan gangguan fungsi serebral karena hipoksia.3. Pantau pucat, sianosis, kulit dingin/lembab.
Rasional: Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung mungkin dibuktikan oleh penurunan perfusi4. Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh penurunan curah jantung mungkin dibuktikan oleh penurunan perfusi.Rasional: Penurunan pemasukan/mual terus menerus dapat mengakibatkan penurunan volume sirkulasi yang berdampak negatif pada perfusi dan fungsi organ.5. Pantau pemeriksaan diagnostik dan laboratorium mis EKG, elektrolit, GDA (Pa O2, Pa CO2 dan saturasi O2) dan pemberian oksigen.
Rasional: Indikator perfusi/fungsi organ5) PK: Perdarahan
Setelah di berikan asuhan keperawatan selama x jam, diharapakan komplikasi perdarahan dapat dicegah dengan kriteria hasil:
NOC label >> Blood Loss Severity
Tidak terjadi kehilangan darah yang nyata
Tidak terjadi penurunan tekanan darah sistolik
Tidak terjadi penurunan tekanan darah diastolic
Tidak terjadi peningkatan nadi apical
Tidak terjadi penurunan suhu tubuh
Tidak terjadi penurunan kognisi
Tidak terjadi penurunan hemoglobin
Tidak terjadi penurunan hematocrit
Intervensi
NIC Label >> Shock management
1. Monitor vital sign, tekanan darah orthostatic, mental status, dan haluaran urin.
2. Monitor pemeriksaan labolatorium yang terkain perfusi jaringan (peningkatan asam laktat , penurnan PH arteri)
3. Administrasikan crystalloid IV sesuai indikasi
4. Administrasikan medikasi vasoaktif sesuai indikasi
5. Beri terapi oksigen dan mekanikal ventilasi jika diperlukan
6. Monitor parameter hemodinamic ( central venous pressure. Pulmonary capilary)
7. Monitor nadi untuk bradikardi (160 kali/menit) hingga 10 menit terkahir sesuai indikasi
8. Pertahankan patensi akses IV
9. Catat takikardia/bradikardia, penurunan tekanan darah, tekanan nadi perifer, pucat, sianosis, dan diaphoresis
10. Pertahankan ekspektasi realistik pada pasien dan keluarga
NIC Label >> Bleeding reduction
1. Identifikasi penyebab perdarahan
2. Monitor pasien dengan teliti pada hemoragi
3. Monitor kehilangan darah
4. Catat hemoglobin dan hemotocrite setelah kehilangan darah sesuai indikasi
5. Monitor parameter hemodinamik PT, PTT, fibrinogen, dan platelet
6. Monitor hantaran oksigen pada jaringan PaO2, SaO2, hemoglobin, dan cardiac output.
7. Jelaskan pada pasien dan keluarga mengenai perdarahan yang terjadi dan tindakan yang akan dilakukan.
8. Lakukan transfusi darah jika diperlukan.
9. Pertahankan akses IV.
10. Administrasikan produk darah (platelets, frozen plasma, dan lain-lain).
11. Aplikasikan pressure dressing jika diperlukan.6) PK: Anemia
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x jam, perawat dapat meminimalkan komplikasi anemia yang terjadi, dengan kriteria hasil:
NOC Label >> Vital Signs
Tekanan darah dalam batas normal (110/70-130/90 mmHg) atau terkontrol
Nadi dalam batas normal (60-100x/mnt)
RR dalam batas normal (16-20 x/mnt)
Suhu tubuh dalam batas normal (36-37,5C)
NOC Label >> Tissue Perfussion: Peripheral
CRT < 3 detik
Akral hangat
Pasien tidak pucat
Konjungtiva berwarna merah muda
NOC Label >> Blood Loss Severity
Hb pasien dalam batas normal (12-16 g/dL)
HCT dalam batas normal (45-55%)
Mukosa bibir lembab
Pasien tidak mengalami lemas dan lesu
Intervensi:
1. Pantau tanda dan gejala anemia yang terjadi.
Rasional: memantau gejala anemia pasien penting dilakukan agar tidak terjadi komplikasi yang lebih lanjut. 2. Pantau tanda-tanda vital pasien.
Rasional: perubahan tanda vital menunujukkan perubahan pada kondisi pasien.3. Anjurkan pasien mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak zat besi dan vit B12.Rasional: Makanan yang mengandung vitamin B12 dan asam folat dapat menstimulasi pembentukan Hemoglobin. 4. Minimalkan prosedur yang bisa menyebabkan perdarahan.Rasional: Dapat memperparah kondisi pasien yang mengalami anemia.
5. Pantau nilai PT dan PTT
Rasional: Untuk mengkaji apakah terjadi perpanjangan waktu pembekuan darah
6. Pantau hasil lab Hb dan HCT
Rasional: Penurunan Hb dan perubahan nilai HCT menunjukkan terjadi anemia pada pasien
NIC Label >> Blood Products Administration
7. Kolaborasi pemberian tranfusi darah sesuai indikasi.Rasional: transfusi darah diperlukan jika kondisi anemia pasien buruk untuk menambah jumlah darah dalam tubuh.7) Ansietas berhubungan perubahan kondisi fisik (patah tulang) ditandali dengan pasien mengeluh merasa cemas dengan situasi fisiknya, pasien tampak gelisah.
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..x. jam, diharapkan kecemasan pasien terhadap penyakit pasien dapat berkurang dengan kriteria hasil :
NOC Label >> Anxiety Level
Mengatakan secara verbal tentang kecemasan
Mengatakan secara verbal tentang ketakutan
Kepanikan berkurang
NOC Label >> Anxiety Self-Control
Mampu mengurangi penyebab cemas
Mengontrol respon cemas
Intervensi
NIC Label >> Anxiety Reduction
1) Observasi adanya tanda tanda cemas/ansietas baik secara verbal maupun nonverbal.
Rasional: Pengungkapan kecemasan secara langsung tentang kecemasan dari pasien, dapat menandakan level cemas pasien.
2) Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang dapat menstimulus kecemasan.
Rasional: Agar pasien dapat mengatasi dan menanggulangi kecemasan pasien.
3) Jelaskan segala sesuatu mengenai penyakit yang pasien derita.
Rasional: Menambah wawasan pasien tentang penyakit pasien dapat meningkatkan pengertian pasien tentang penyakitnya, sehingga dapat mengurangi kecemasan pasien.
4) Ajarkan pasien teknik relaksasi, seperti menarik napas dalam.
Rasional: Dapat memberi efek ketenangan pada pasien
5) Kolaborasi pemberian medikasi berupa obat penenang.
Rasional: Menurunkan ansietas pasien yang terjadi secara berlebihan.
8) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif akibat tindakan ORIF/OREF
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama .....x jam diharapkan tidak terjadi infeksi, dengan kriteria hasil :
NOC Label >> Infection Severity Tidak ada kemerahan
Tidak terjadi hipertermia
Tidak ada nyeri
Tidak ada pembengkakan
Tidak ada drainase purulen
WBC dalam batas normalNOC Label >> Vital Signs
Suhu dalam batas normal (36,5o 37oC)
Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg)
Nadi dalam batas normal (60-100 x/mnt)
RR dalam batas normal (12-20 x/mnt)
NOC Label >> Risk Control
Pasien mampu menyebutkan faktor-faktor risiko penyebab infeksi
Pasien mampu memonitor lingkungan penyebab infeksi
Pasien mampu memonitor tingkah laku penyebab infeksi
Tidak terjadi paparan saat tindakan keperawatan Keluarga Pasien mampu memonitor efek pengobatan terapeutikIntervensi
NIC Label >> Infection Control1.Jaga agar barier kulit yang terbuka tidak terpapar lingkungan dengan cara menutup dengan kasa steril.
Rasional: Mengurangi paparan dari lingkungan.
2.Batasi jumlah pengunjung.
Rasional: Mengurangi organisme patogen masuk ke tubuh pasien.
3.Ajarkan pasien dan keluarga tekhnik mencuci tangan yang benar.
Rasional: Mencegah terjadinya infeksi dari mikroorganisme yang ada di tangan.
4.Gunakan sabun anti mikrobial untuk mencuci tangan.
Rasional: Mencuci tangan menggunakan sabun lebih efektif untuk membunuh bakteri.
5.Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan.
Rasional: Mencegah infeksi nosokomial.
6.Ajarkan pasien dan keluarga untuk menghindari infeksi.
Rasional: infeksi lebih lanjut dapat memperburuk risiko infeksi pada pasien.
7.Ajarkan pada pasien dan keluarga tanda-tanda infeksi.
Rasional: agar dapat melaporkan kepada petugas lebih cepat, sehingga penangan lebih efisien.
8.Kolaborasi pemberian antibiotik bila perlu.
Rasional: untuk mempercepat perbaikan kondisi pasien
NIC Label >> Infection Protection
1.Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik/lokal
Rasional: Memudahkan pengambilan intervensi
2.Monitor hitung granulosit, WBC
Rasional: sebagai monitor adanya reaksi infeksi.
3.Berikan perawatan kulit.
Rasional: kulit merupakan pertahanan pertama dari bakteri.
4.Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas dan drainase
Rasional: merupakan tanda-tanda terjadinya infeksi.
NIC Label >> Wound care
1.Monitor karakteristik luka, meliputi warna, ukuran, bau dan pengeluaran pada luka
Rasional : memonitor karakteristik luka dapat membantu perawat dalam menentukan perawatan luka dan penangan yang sesuai untuk pasien
2.Bersihkan luka dengan normal salin
Rasional : normal salin adalah cairan fisologis yang mirip dengan cairan tubuh sehingga aman digunakan untuk membersihkan dan merawat luka.
3.Lakukan pembalutan pada luka sesuai dengan kondisi luka
Rasional: permbalutan luka dilakukan untuk mempercepat proses penutupan luka. Pemilihan bahan dan cara balutan disesuaikan dengan jenis luka pasien.
4.Pertahankan teknik steril dalam perawatan luka pasien
Rasional: perawatan luka dengan tetap menjaga kesterilan dapat menghindarkan pasien dari infeksi.4. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan yang sudah dilakukan
5. EVALUASI
No. DxDiagnosa keperawatanEvaluasi
1Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (desakan fragmen cedera pada jaringan lunak) ditandai dengan pasien tampak meringis, laporan secara verbal terasa nyeri, perubahan posisi untuk menghindari nyeri.NOC Label >> Pain Control
Pasien mengenali onset nyeri.
Pasien dapat mendeskripsikan faktor penyebab.
Pasien menerapkan teknik manajemen nyeri non farmakologis.
Pasien menggunakan analgesik sesuai rekomendasi.
NOC Label >> Pain Level Pasien tidak melaporkan adanya nyeri
Ekspresi wajah terhadap nyeri
Diaphoresis
RR dalam batas normal (16-20 kali/menit) Nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit) Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg)
2Hipertermi berhubungan dengan respon inflamasi sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh > 37,5 C, akral teraba hangat.
NOC Label >> Thermoregulation Suhu tubuh pasien normal (36-370,5C)
Melaporkan rasa nyaman
Tidak menggigil
NOC Label >> Vital Signs Suhu : 36-370,5C
Nadi: 60-100x/menit
RR: 16-20 x/menit
TD: 120/80 mmHg
3Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kontraktur otot ditandai dengan pasien tidak mampu menggerakkan daerah yang mengalami fraktur, pasien mengeluh nyeri saat menggeser bagian yang fraktur. Fleksbilitas sendi dapat dipertahankan
Otot tidak mengalami atropi
Otot tidak mengalami kontraktur
4Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan vaskularisasi ditandai dengan oedema ekstremitas, sianosis, perubahan temperatur kulit.NOC Label >> Tissue Perfussion: Peripheral
Tidak ada nekrosis pada jari-jari.
CRT dalam batas normal (kurang dari 3 detik). Akral hangat.
Tidak ada sianosis pada kuku kaki ataupun tangan.
5PK: Perdarahan
Tidak terjadi kehilangan darah yang nyata
Tidak terjadi penurunan tekanan darah sistolik
Tidak terjadi penurunan tekanan darah diastolic
Tidak terjadi peningkatan nadi apical
Tidak terjadi penurunan suhu tubuh
Tidak terjadi penurunan kognisi
Tidak terjadi penurunan hemoglobin
Tidak terjadi penurunan hematocrit
6PK: Anemia
Tidak terjadi penurunan tekanan darah sistolik
Tidak terjadi penurunan tekanan darah diastolic
Tidak terjadi peningkatan nadi apical
Tidak terjadi penurunan suhu tubuh
Tidak terjadi penurunan kognisi
Hemoglobin dalam batas normal
Hematocrit dalam batas normal
Tidak terjadi peningkatan nadi apical
Tidak terjadi penurunan TD
Tidak terjadi demam
Tidak terjadi gatal dan kemerahan
Tidak terjadi kelemahan
Tidak terjadi mual
Tidak terjadi hemoglobinuria
Tidak terjadi nyeri dada
7
Ansietas berhubungan perubahan kondisi fisik (patah tulang) ditandali dengan pasien mengeluh merasa cemas dengan situasi fisiknya, pasien tampak gelisah.
NOC Label >> Anxiety Level
Mengatakan secara verbal tentang kecemasan
Mengatakan secara verbal tentang ketakutan
Kepanikan berkurang
NOC Label >> Anxiety Self-Control
Mampu mengurangi penyebab cemas
Mengontrol respon cemas
8Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif aibat tindakan ORIF/OREFNOC Label >> Infection Severity
Tidak ada kemerahan
Tidak terjadi hipertermia
Tidak ada nyeri
Tidak ada pembengkakan
Tidak ada drainase purulen
WBC dalam batas normal
NOC Label >> Vital Signs
Suhu dalam batas normal (36,5o 37oC)
Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg)
Nadi dalam batas normal (60-100 x/mnt)
RR dalam batas normal (12-20 x/mnt)
NOC Label >> Risk Control
Pasien mampu menyebutkan faktor-faktor risiko penyebab infeksi
Pasien mampu memonitor lingkungan penyebab infeksi
Pasien mampu memonitor tingkah laku penyebab infeksi
Tidak terjadi paparan saat tindakan keperawatan
Keluarga Pasien mampu memonitor efek pengobatan terapeutik
DAFTAR PUSTAKAApley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta : Widya Medika
Black, J.M, et al. 1995. Luckman and Sorensens Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company.
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta : EGC.
Doenges M.E. 2000. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2nd ed). Philadelpia, F.A. Davis Company
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1999. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta
Henderson, M.A. 1992. Ilmu Bedah untuk Perawat. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medika
Hudak and Gallo. 1994. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
Ignatavicius, Donna D. 1995. Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company.
Long, Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aesculapius.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Sistem Muskuloskletal. Jakarta : EGC
Oswari, E. 1993. Bedah dan Perawatannya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.Price, Evelyn .1997. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia.
Price Sylvia, A. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.Sylvia, A. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Jakarta: EGC
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Jakarta: EGCReksoprodjo, Soelarto. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa AksaraTucker, Susan Martin. 1998. Standar Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Recommended