28
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR FEMUR Dengan makin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia baik dari segi jumlah pemakai jalan, jumlah kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan dan bertambahnya jaringan jalan dan kecepatan kendaraan maka mayoritas kemungkinan terjadinya fraktur adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas sering mengakibatkan trauma kecepatan tinggi dan kita harus waspada terhadap kemungkinan polytrauma yang dapat mengakibatkan trauma organ – organ lain. Trauma – trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, cedera olah raga. Kita harus dapat membayangkan rekonstruksi terjadinya kecelakaan agar dapat menduga fraktur yang dapat terjadi. Setiap trauma yang dapat mengakibatkan fraktur juga dapat sekaligus merusak jaringan lunak disekitar fraktur mulai dari otot, fascia, kulit, tulang, sampai struktur neurovaskuler atau organ – organ penting lainnya. Trauma dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung, trauma secara langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu sedangkan trauma tidak langsung terjadi bilamana titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan. FRAKTUR FEMUR A. Definisi Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan tadi mungkin tak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau perimpilan korteks; biasanya patahan itu lengkap dan fragmen tulang bergeser. Bilamana tidak ada luka yang menghubungkan fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit atau kulit diatasnya masih utuh ini disebut fraktur tertutup (atau sederhana), sedangkan bila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit yang cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi ini disebut fraktur terbuka.

118391592 LP Fraktur Femur

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR FEMUR

Dengan makin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia baik dari segi

jumlah pemakai jalan, jumlah kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan dan

bertambahnya jaringan jalan dan kecepatan kendaraan maka mayoritas

kemungkinan terjadinya fraktur adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan

lalu lintas sering mengakibatkan trauma kecepatan tinggi dan kita harus waspada

terhadap kemungkinan polytrauma yang dapat mengakibatkan trauma organ – organ

lain.

Trauma – trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja,

cedera olah raga. Kita harus dapat membayangkan rekonstruksi terjadinya

kecelakaan agar dapat menduga fraktur yang dapat terjadi. Setiap trauma yang

dapat mengakibatkan fraktur juga dapat sekaligus merusak jaringan lunak disekitar

fraktur mulai dari otot, fascia, kulit, tulang, sampai struktur neurovaskuler atau

organ – organ penting lainnya.

Trauma dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung, trauma secara

langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu

sedangkan trauma tidak langsung terjadi bilamana titik tumpu benturan dengan

terjadinya fraktur berjauhan.

FRAKTUR FEMUR

A. Definisi

Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan

tadi mungkin tak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau perimpilan

korteks; biasanya patahan itu lengkap dan fragmen tulang bergeser. Bilamana

tidak ada luka yang menghubungkan fraktur dengan udara luar atau permukaan

kulit atau kulit diatasnya masih utuh ini disebut fraktur tertutup (atau

sederhana), sedangkan bila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang

fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit yang cenderung untuk

mengalami kontaminasi dan infeksi ini disebut fraktur terbuka.

B. Epidemiologi

Klasifikasi alfanumerik pada fraktur, yang dapat digunakan dalam

pengolahan komputer, telah dikembangkan oleh (Muller dkk., 1990). Angka

pertama menunjukkan tulang yaitu :

1. Humerus

2. Radius/Ulna

3. Femur

4. Tibia/Fibula

Sedangkan angka kedua menunjukkan segmen, yaitu :

1. Proksimal

2. Diafiseal

3. Distal

4. Maleolar

Untuk fraktur femur yang terbagi dalam beberapa klasifikasi misalnya

saja pada fraktur collum, fraktur subtrochanter femur ini banyak terjadi pada

wanita tua dengan usia lebih dari 60 tahun dimana tulang sudah mengalami

osteoporotik, trauma yang dialami oleh wanita tua ini biasanya ringan (jatuh

terpeleset di kamar mandi) sedangkan pada penderita muda ditemukan riwayat

mengalami kecelakaan. Sedangkan fraktur batang femur, fraktur supracondyler,

fraktur intercondyler, fraktur condyler femur banyak terjadi pada penderita laki

– laki dewasa karena kecelakaan ataupun jatuh dari ketinggian. Sedangkan

fraktur batang femur pada anak terjadi karena jatuh waktu bermain dirumah

atau disekolah.

C. Etiologi

Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai

kekuatan dan daya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat :

• Peristiwa trauma tunggal

Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba – tiba dan

berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran,

penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan.

Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang

terkena; jaringan lunak juga pasti rusak. Pemukulan (pukulan sementara)

biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya;

penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai

kerusakan jaringan lunak yang luas.

Bila terkena kekuatan tak langsung tulang dapat mengalami fraktur pada

tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu; kerusakan jaringan

lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada.

Kekuatan dapat berupa :

1. Pemuntiran (rotasi), yang menyebabkan fraktur spiral

2. Penekukan (trauma angulasi atau langsung) yang menyebabkan

fraktur melintang

3. Penekukan dan Penekanan, yang mengakibatkan fraktur sebagian

melintang tetapi disertai fragmen kupu – kupu berbentuk segitiga yang

terpisah

4. Kombinasi dari pemuntiran, penekukan dan penekanan yang

menyebabkan fraktur obliq pendek

5. Penatikan dimana tendon atau ligamen benar – benar menarik tulang

sampai terpisah

• Tekanan yang berulang – ulang

Retak dapat terjadi pada tulang, seperti halnya pada logam dan benda lain,

akibat tekanan berulang – ulang.

• Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik)

Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah

(misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada

penyakit paget )

D. Klasifikasi

Klasifikasi fraktur femur dapat dibagi dalam :

1. FRAKTUR COLLUM FEMUR

Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu

misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter

mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan

oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak

dari tungkai bawah, dibagi dalam :

• Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur)

• Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)

2. FRAKTUR SUBTROCHANTER FEMUR

Ialah fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter

minor, dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan

mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu :

tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor

tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter

minor

tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas trochanterminor

3. FRAKTUR BATANG FEMUR (dewasa)

Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat

kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah

pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,

mengakibatkan penderita jatuh dalam shock, salah satu klasifikasi fraktur

batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan

daerah yang patah. Dibagi menjadi :

− tertutup

− terbuka, ketentuan fraktur femur terbuka bila terdapat hubungan

antara tulang patah dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat, yaitu ;

• Derajat I : Bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul

luka kecil, biasanya diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam

menembus keluar.

• Derajat II : Lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan

karena benturan dari luar.

• Derajat III : Lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor,

jaringan lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh

darah)

4. FRAKTUR BATANG FEMUR (anak – anak)

5. FRAKTUR SUPRACONDYLER FEMUR

Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke

posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot – otot

gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh trauma

langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress

valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.

6. FRAKTUR INTERCONDYLAIR

Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur supracondular, sehingga

umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.

7. FRAKTUR CONDYLER FEMUR

Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan adduksi

disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.

E. Gambaran Klinik

1. Riwayat

Biasanya terdapat riwayat cedera, diikuti dengan ketidakmampuan

menggunakan tungkai yang mengalami cedera, fraktur tidak selalu dari

tempat yang cedera suatu pukulan dapat menyebebkan fraktur pada

kondilus femur, batang femur, pattela, ataupun acetabulum. Umur pasien

dan mekanisme cedera itu penting, kalau fraktur terjad

i akibat cedera yang ringan curigailah lesi patologik nyeri, memar dan

pembengkakan adalah gejala yang sering ditemukan, tetapi gejala itu

tidak membedakan fraktur dari cedera jaringan lunak, deformitas jauh

lebih mendukung.

Tanda – tanda umum :

Tulang yang patah merupakan bagian dari pasien penting untuk mencari

bukti ada tidaknya

a. Syok atau perdarahan

b. Kerusakan yang berhubungan dengan otak, medula spinalis

atau visera

c. Penyebab predisposisi (misalnya penyakit paget)

Tanda – tanda lokal

a. Look : Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan

yang abnormal, angulasi, rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas,

tetapi hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh; kalau kulit

robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera terbuka.

b. Feel : Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga

memeriksa bagian distal dari fraktur untuk merasakan nadi dan

untuk menguji sensasi. Cedera pembuluh darah adalah keadaan

darurat yang memerlukan pembedahan

c. Movement : Krepitus dan gerakan abnormal dapat

ditemukan, tetapi lebih penting untuk menanyakan apakah pasien

dapat menggerakan sendi – sendi dibagian distal cedera.

F. PATHWAYS

Terlampir

G. Diagnosis

1. Anamnesis : pada penderita didapatkan riwayat trauma ataupun

cedera dengan keluhan bagian dari tungkai tidak dapat digerakkan

2. Pemeriksaan fisik :

a. Look : Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang

abnormal, angulasi, rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas, tetapi

hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh; kalau kulit robek dan

luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera terbuka

b. Feel : Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa

bagian distal dari fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji

sensasi. Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang

memerlukan pembedahan

c. Movement : Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi

lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan

sendi – sendi dibagian distal cedera.

3. Pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan dengan sinar x harus dilakukan dengan 2 proyeksi yaitu

anterior posterior dan lateral, kekuatan yang hebat sering menyebabkan

cedera pada lebih dari satu tingkat karena itu bila ada fraktur pada kalkaneus

atau femur perlu juga diambil foto sinar – x pada pelvis dan tulang

belakang.

H. Komplikasi

1. Early :

a. Lokal :

− Vaskuler : compartement syndrome

Trauma vaskuler

− Neurologis : lesi medulla spinalis atau saraf perifer

b. sistemik : emboli lemak

− Crush syndrome

− Emboli paru dan emboli lemak

2. Late :

a. Malunion : Bila tulang sembuh dengan fungsi anatomis abnormal

(angulasi, perpendekan, atau rotasi) dalam waktu yang normal

b. Delayed union : Fraktur sembuh dalam jangka waktu yang lebih dari

normal

c. Nonunion : Fraktur yang tidak menyambung dalam 20 minggu

d. Kekakuan sendi/kontraktur

I. Penatalaksanaan

1. Terapi konservatif :

− Proteksi

− Immobilisasi saja tanpa reposisi

− Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips

− Traksi

2. Terapi operatif

− ORIF

Indikasi ORIF :

a. Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair necrosis

tinggi

b. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup

c. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan

d. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih

baik dengan operasi

− Excisional Arthroplasty

Membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi

− Excisi fragmen dan pemasangan endoprosthesis

Dilakukan excisi caput femur dan pemasangan endoprosthesis Moore

3. Tindakan debridement dan posisi terbuka

J. Penyembuhan fraktur :

1. Fase Peradangan :

Pada saat fraktur ada fase penjendalan dan nekrotik di ujung atau sekitar

fragmen fraktur, proses peradangan akut faktor eksudasi dan cairan yang

kaya protein ini merangsang lekosit PMN dan Makrofag yang fungsinya

fagositosis jendalan darah dan jaringan nekrotik

2. Fase Proliferasi :

Akibat jendalan darah 1 – 2 hari terbentuk fibrin yang menempel pada ujung

– ujung fragmen fraktur, dimana fibrin ini berfungsi sebagai anyaman untuk

perlekatan sel – sel yang baru tumbuh sehingga terjadi neovaskularisasi dan

terbentuk jaringan granulasi atau procallus yang semakin lama semakin

memadat sehingga terjadi fibrocartilago callus yabg bertambah banyak dan

terbentuklah permanen callus yang tergantung banyak atau sedikitnya celah

pada fraktur.

3. Fase Remodelling

Permanen callus diserap dan diganti dengan jaringan tulang sedangkan

sisanya direabsorbsi sesuai dengan bentuk dan anatomis semula.

K. ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses

keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-

masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan.

Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini

terbagi atas: ( Arif Muttaqin, 2008)

1. Pengumpulan Data

a. Anamnesa

1) Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang

dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,

golongan darah, no. register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa

medis.

2) Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.

Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya

serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa

nyeri klien digunakan:

a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi

faktor memperberat dan faktor yang memperingan/ mengurangi

nyeri

b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau

digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau

menusuk.

c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah

rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang

dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien

menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi

kemampuan fungsinya.

e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah

bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari

fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan

terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut

sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian

tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme

terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain

4) Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan

memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.

Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang yang menyebabkan

fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,

penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya

osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat

proses penyembuhan tulang

5) Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang

merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti

diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,

dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.

6) Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya

dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau

pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga

ataupun dalam masyarakat

b. Pola-Pola Fungsi Kesehatan

1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketidakadekuatan akan terjadinya

kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan

kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,

pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan

obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,

pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya

dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak

2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan

sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya

untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap

pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah

muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang

tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar

matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah

muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga

menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

3) Pola Eliminasi

Untuk kasus multiple fraktur, misalnya fraktur humerus dan fraktur

tibia tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu

perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada

pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji

frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola

ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.

4) Pola Tidur dan Istirahat

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga

hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu

juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana

lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan

obat tidur.

5) Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk

kegiatan klien, seperti memenuhi kebutuhan sehari hari menjadi

berkurang. Misalnya makan, mandi, berjalan sehingga kebutuhan

klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.

6) Pola Hubungan dan Peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.

Karena klien harus menjalani rawat inap, klien biasanya merasa

rendah diri terhadap perubahan dalam penampilan, klien mengalami

emosi yang tidak stabil.

7) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan

akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan

untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan citra diri.

8) Pola Sensori dan Kognitif

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian

distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.

begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu

juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.

9) Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan

hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan

keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien.

10) Pola Penanggulangan Stress

Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu

ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.

Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif

11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah

dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa

disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.

2. Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk

mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini

perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan

dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi

lebih mendalam.

a. Gambaran Umum

Perlu menyebutkan:

1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah

tanda-tanda, seperti:

2) Kesadaran penderita:

Composmentis: berorientasi segera dengan orientasi sempurna

Apatis : terlihat mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan

pemeriksaan penglihatan , pendengaran dan perabaan normal

Sopor: dapat dibangunkan bila dirangsang dengan kasar dan terus

menerus

Koma: tidak ada respon terhadap rangsangan

Somnolen: dapat dibangunkan bila dirangsang dapat disuruh dan

menjawab pertanyaan, bila rangsangan berhenti penderita tidur lagi.

b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan

pada kasus fraktur biasanya akut, spasme otot, dan hilang rasa.

c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi

maupun bentuk.

d. Neurosensori, seperti kesemutan, kelemahan, dan deformitas.

e. Sirkulasi, seperti hipertensi (kadang terlihat sebagai respon

nyeri/ansietas), hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah),

penurunan nadi pada bagian distal yang cidera, capilary refil melambat,

pucat pada bagian yang terkena, dan masa hematoma pada sisi cedera.

f. Keadaan Lokal

Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah sebagai berikut :

1) Look (inspeksi)

Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain sebagai berikut :

a) Sikatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan

seperti bekas operasi).

b) Fistula warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau

hyperpigmentasi.

c) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal

yang tidak biasa (abnormal)

d) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)

e) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

2) Feel (palpasi)

Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki

mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini

merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik

pemeriksa maupun klien.

Yang perlu dicatat adalah:

a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban

kulit. Capillary refill time Normal (3 – 5) detik

b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau

oedema terutama disekitar persendian

c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3

proksimal, tengah, atau distal)

d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan

yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu

juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka

sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,

konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya,

nyeri atau tidak, dan ukurannya.

Kekuatan otot : otot tidak dapat berkontraksi (1), kontraksi

sedikit dan ada tekanan waktu jatuh (2), mampu menahan

gravitasi tapi dengan sentuhan jatuh(3), kekuatan otot kurang

(4), kekuatan otot utuh (5). ( Carpenito, 1999)

3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)

Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan

menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri

pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat

mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi

dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari

titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini

menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.

Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. ( Arif

Muttaqin, 2008 )

3. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”

menggunakan sinar rontgen ( Sinar – X ). Untuk mendapatkan gambaran

3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2

proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu

diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk

memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu

disadari bahwa permintaan Sinar - X harus atas dasar indikasi kegunaan.

Pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.

Hal yang harus dibaca pada Sinar – X mungkin dapat di perlukan teknik

khusus, seperti hal – hal sebagai berikut. ( Arif Muttaqin, 2008 )

1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi

struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini

ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu

struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.

2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan

pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan

akibat trauma.

3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang

rusak karena ruda paksa.

4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan

secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang

yang rusak.

b. Pemeriksaan Laboratorium

1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap

penyembuhan tulang.

2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan

menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. Enzim

otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),

Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada

tahap penyembuhan tulang

3) Hematokrit dan leukosit akan meningkat

( Arif Muttaqin, 2008 )

c. Pemeriksaan lain-lain

1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:

didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.

2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama

dengan pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.

3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang

diakibatkan fraktur.

4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek

karena trauma yang berlebihan.

5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya

infeksi pada tulang.

6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

( Arif Muttaqin, 2008 )

FOKUS INTERVENSI dan RASIONAL

Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah

sebagai berikut:

1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera

jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas

2. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan

kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)

3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskular,

nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)

4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi

(pen, kawat, sekrup)

5. Defisit perawatan diri b/d kelemahan neuromuskular, penurunan

kekuatan dan kesadaran, serta kehilangan kontrol otot

6. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah

(cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)

7. Resiko kekurangan volume cairan b/d ketidakadekuatan intake dan

output cairan

8. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan b/d asupan nutrisi tidak

adekuat

(Carpenito, 2002)

INTERVENSI KEPERAWATAN dan RASIONAL

1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan

lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas

1.1. Tujuan : Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang

1.2. Kriteria Hasil : klien melaporkan nyeri berkurang, mengidentifikasi

aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri, tidak gelisah, skala

nyeri 0-1 atau teratasi

1.3. Intervensi dan rasional

a. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips,

bebat dan atau traksi

Rasional: Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi

b. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena

Rasional: Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri

c. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif

Rasional: Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi

vaskuler.

d. Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase,

perubahan posisi)

Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan

lokal dan kelelahan otot

e. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam,

imajinasi visual, aktivitas dipersional)

Rasional: Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol

terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama

f. Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama)

sesuai keperluan

Rasional: Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri

g. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi

Rasional: Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan

rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer

h. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval,

perubahan tanda-tanda vital)

Rasional: Menilai perkembangan masalah klien

(Doenges, 2000)

1.4. Nyeri adalah : keadaan dimana individu mengalami dan melaporkan

adanya ketidaknyamanan berat / sensasi tidak nyaman, berakhir dari 1

detik sampai kurang dari 6 bulan. Dengan batasan karakteristik data

subyektif komunikasi verbal atau kode dari pemberi gambaran nyeri, data

obyektif perilaku melindungi, memfokuskan pada diri sendiri, perilaku

distraksi (merintih, menangis, mondar – mandir, gelisah, mencari orang

lain), wajah nampak menahan nyeri (Carpenito, 1999). Diagnose ini bisa

di tegakkan bila ditemukan data klien mengatakan nyeri, wajah mengkerut,

otot tegang, perilaku distraksi (Doenges, 2000).

2. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,

taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang

2.1. Tujuan : infeksi tidak terjadi selama perawatan

2.2. Kriteria Hasil : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas

drainase purulen atau eritema dan demam

2.3. Intervensi dan rasional

a. Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protocol

Rasional: Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan

luka.

b. Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.

Rasional: Meminimalkan kontaminasi.

c. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi

Rasional: Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan

secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus

untuk mencegah infeksi tetanus

d. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap,

LED, Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)

Rasional: Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan

peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk

mengidentifikasi organisme penyebab infeksi

(Carpenito, 2002)

2.4. Resiko tinggi terhadap infeksi adalah suatu kondisi dimana individu

beresiko karena agen patogenesis (virus, jamur, bakteri, protozoa/ parasit

lain) dari berbagai sumber dari dalam atau dari luar tubuh. Untuk kriteria

pengkajian fokus pada resti infeksi data subyektif klien mengeluh demam

terus menerus, infeksi sebelumnya seperti saluran perkemihan, luka

operasi, kulit dan jaringan lunak, adanya nyeri umum dan terlokalisasi.

Data obyektif adanya luka (pembedahan, tindakan infasif, terluka sendiri)

(Carpenito, 1999). Diagnose ini bisa ditegakkan bila ditemukan data

inflamasi, eritema dan demam (Doenges, 2000). Data pendukung lainnya

adalah peningkatan suhu tubuh, frekuensi nadi, adanya luka dan

peningkatan jumlah leukosit (Smeltzer, 2002).

3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi

restriktif (imobilisasi)

3.1. Tujuan: klien mampu melakukan aktivitas fisik sesui dengan

kemampuannya

3.2. Kriteria Hasil : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada

tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi

fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi

bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan

aktivitas

3.3. Intervensi dan rasional

a. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran,

kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien

Rasional: Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol

diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial

b. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit

maupun yang sehat sesuai keadaan klien

Rasional: Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal,

mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah

kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi

c. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai

indikasi

Rasional: Mempertahankan posis fungsional ekstremitas

d. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai

keadaan klien

Rasional: Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai

kondisi keterbatasan klien

e. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien

Rasional: Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan

(dekubitus, atelektasis, penumonia)

f. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari

Rasional: Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi

urinarius dan konstipasi

g. Berikan diet TKTP

Rasonal: Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses

penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh

h. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi

Rasional: Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun

program aktivitas fisik secara individual

i. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi

Rasional: Menilai perkembangan masalah klien

(Carpenito, 2002)

3.4. Kerusakan mobilitas fisik adalah: suatu keadaan dimana individu

mengalami / beresiko untuk mengalami keterbatasan pergerakan fisik,

tetapi tidak pada keadaan imobilisasi dengan batasan karakteristik mayor

mampu untuk bergerak dengan maksud tertentu dalam lingkungannya

seperti mobilisasi ditempat tidur, keterbatasan menggerakkan sendi – sendi

(rentang gerak). Dan karakteristik minor adanya keterbatasan aktivitas,

malas untuk bergerak. Menurut teori gangguan mobilitas fisik

berhubungan dengan pembatasan gerak, nyeri, rasa tidak nyaman,

kerusakan musculoskeletal dan neuromuskuler dengan batasan

karakteristik keterbatasan ( Range Of Motion ) ROM, keterbatasan

kemampuan melakukan ketrampilan motorik kasar atau halus, perubahan

gaya berjalan, gerak lambat (NANDA, 2006). Berdasarkan miller,

mobilitas adalah : satu aspek terpenting pada fungsi fisiologis karena hal

itu esensial untuk mempertahankan kemandirian. Terdapat 3 kategori

rentang gerak : pasif, aktif, dan fungsional. Rentang gerak pasif adalah

menjaga kelenturan otot – otot dan persendian seseorang menggerakkan

otot – otot orang lain secara pasif. Rentang gerak aktif melatih kelenturan

dan kekuatan otot serta sendi. Rentang gerak fungsional memperkuat otot

– otot dan sendi sambil melakukan aktifitas yang di perlukan. Immobilisasi

yang lama dan gangguan fungsi neurosensori dapat menyebabkan

kontraktur permanen (Carpenito, 1999)

4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,

kawat, sekrup)

4.1. Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang

4.2. Kriteria Hasil : menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan

kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan

luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi

4.3. Intervensi dan rasional

a. Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih,

alat tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit)

Rasional: Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas 34

b. Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal

bebat/gips

Rasional: Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan

kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi

c. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal

Rasional: Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat

kontaminasi fekal

d. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit,

insersi pen/traksi

Rasional: Menilai perkembangan masalah klien

(Doenges, 2000)

4.4. Derajat dekubitus ada 4 yaitu

Derajat I: eritema yang tidak dapat memucat pda kulit yang utuh,

kemerahan pada kulit

Derajat II: ulserasi epidermis dan dermis

Derajat III: ulserasi sampai pada lapisan lemak subkutan

Derajat IV: ulserasi yang luas menembus otot, tulang atau strukur

penunjang (Carpenito, 2002)

Kerusakan integritas kulit adalah suatu kondisi dimana seseorang

mengalami atau berada pada resiko kerusakan jaringan epidermis dan

dermis dengan batasan karakteristik mayor terputusnya jaringan epidermal

dan dermal, sedangkan karakteristik minor yaitu kulit gundul, etitema, lesi

( primer, sekunder). (Carpenito, 1999). Sedangkan dari teori lain

menyebutkan resiko kerusakan integritas kulit dalah resiko kulit berubah

kearah yang lebih buruk dengan batasan karakteristik invasi struktur tubuh,

kerusakan lapisan kulit ( dermis ), disrupsi permukaan kulit ( epidermis),

dengan faktor resiko eksternal yaitu radiasi, mobilisasi fisik, faktor

mekanik ( alat yang dapat menyebabkan luka, penekanan, restrain),

hipotermi atau hipertermi, kelembapan udara, substansi kimia, eksresi atau

sekresi, kelembapan kulit. Sedangkan faktor resiko internalnya yaitu

medikasi, penonjolan tulang, faktor imunologis, faktor perkembangan,

perubahan sensasi, perubahan sirkulasi, perubahan turgor kulit, perubahan

status nutrisi, psikogenetik. ( NANDA, 2006).

5. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan asupan nutrisi

tidak adekuat

5.1. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 3x24 jam

kebutuhan nutrisi terpenuhi

5.2. Kriteria Hasil: klien mengatakan nafsu makan bertambah, makan habis

satu porsi, IMT normal

5.3. Intervensi dan rasional:

a. Kaji pola makan yang tidak disukai dan disukai

Rasional: sebagai tidakan awal untuk menntukan intervensi selanjutnya

b. Motivasi klien untuk makan dalam porsi sedikit tapi sering

Rasional: menghindari mual muntah

c. Motivasi klien untuk makan dalam keadaan hangat

Rasional: Keadaan hangat akan meningkatkan nafsu makan, makanan

akan terasa lebih hangat

d. Kolaborasi dengan ahli gizi

Rasional: sebagai tindakan kolaborasi dengan tim medis lain

(Carpenito, 2002)

5.4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhn tubuh adalah : kondisi yang

dialami individu yang tidak mengalami puasa atau beresiko mengalami

penurunan berat badan yang berhubungan dengan tidak cukupnya masukan

atau metabolisme nutrisi untuk kebutuhan metabolisme dengan batasan

karakteristik mayor seseorang yang mengalami puasa, puasa dilaporkan

atau mempunyai ketidakcukupan masukan makanan kurang dari yang

dianjurkan sehari – hari dengan atau tanpa terjadinya penurunan berat

badan atau kebutuhan metabolic actual atau potensial pada kelebihan

masukan terhadap penurunan berat badan. kriteria minor berat badan 10 –

20 % dibawah normal dan tinggi serta kerangka tubuh dibawah ideal,

lipatan kulit trisep, lingkar lengan tengah, dan lingkar otot pertengahan

lengan kurang 60 % dari ukuran standar, kelemahan dan nyeri tekan otot,

penurunan albumin serum.(Carpenito, 1999). Sedangkan dari teori lain

menyebutkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah intake

nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolic, dengan

batasan karakteristik berat badan dibawah ideal lebih dari 20 %,

melaporkan intake makanan yang kurang dari kebutuhan yang dianjurkan,

konjungtiva dan membrane mukusa pucat, kelemahan otot untuk menelan

dan mengunyah, melaporkan kurang makan, diare, rambut rontok, suara

usus hiperaktif.(NANDA, 2006)

6. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan neuromuskular

dan penurunan kekuatan otot

6.1. Tujuan : Perawatan diri klien dapat terpenuhi

6.2. Kriteria Hasil : Klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk

kebutuhan merawat diri, mampu melakukan aktivitas perwatan diri sesuai

dengan tingkat kemampuan

6.3. Intervensi dan rasional

a. Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu

Rasional: Hal tersebut dilakukan untuk mencegah frustasi dan menjag

harga diri klien karena klien dalam keadaan cemas, dan membutuhkan

bantuan orng lain

b. Ajak klien berfikir positif agar terhadap kelemahan yang

dimilikinya, dan berikan motivasi dan izinkan ia melakukan tugas,

kemudian berikan umpan balik positif atas usaha yang telah dilakukan

Rasional: Klien memerlukan empati, perawat perlu mengetahui

perawatan yang konsisten dalam menangani klien intervensi tersebut

dapat meningkatkan harga diri dan kemandirian klien

c. Kaji kemampuan komunikasi untuk buang air kecil, kemampuan

menggunakan urinal, pispot, antarkan klien kekamar mandi jika

memungkinkan

Rasional: Ketidakmampuan berkomunikasi dengan perawat dapat

menimbulkan masalah pengosongan kandung kemih karena masalah

neurogenik

d. Identifikasi kebiasaan buang air besar, anjurkan klien minumdan

meningkatkan latihan

Rasional: Meningkatkan latihan dapat mencegah konstipasi

e. Beri supositoria dan pelunak feses / pencahar

Rasional: Pertolongan pertama terhadapfungsi usus atu BAB

(Doenges, 2000)

7. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera

vaskuler, edema, pembentukan trombus)

7.1.Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik .

7.2.Kriteria Hasil : Klien akan menunjukkan akral hangat, tidak pucat dan

syanosis, bisa bergerak secara aktif.

7.3.Intervensi dan rasional

a. Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan

jari/sendi distal cedera.

Rasional: Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.

b. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu

ketat.

Rasional: Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya

penyesuaian keketatan bebat/spalk.

c. Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada

kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.

Rasional: Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali

pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan

penurunan perfusi.

d. Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan

Rasional: Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk

menurunkan trombus vena.

e. Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan

kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.

Rasional: Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya

intervensi sesuai keadaan klien. (Carpenito, 2002)

7.4. Tanda tanda disfungsi perifer yaitu terjadi gangguan pendengaran,

gangguan penglihatan, gangguan memori, perdarahan, edema ( Muttaqin

Arif,2008)

8. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan ketidakadekuatan

intake dan output cairan

8.1. Tujuan : mempertahankan keseimbangan cairan elektrolit

8.2. Kriteria Hasil : tidak terdapat tandatanda dehidrasi, turgor klien baik, bibir

tidak kering.

8.3. Intervensi dan rasional:

a. Monitor tanda – tanda vital

Rasional : tanda yang membantu mengidentifikasi fluktasi volume intra

vaskuler

b. Kemonitor intake dan output dan konsentrasi urine

Rasional : menurunnya output dan konsentrasi urine akan

meningkatkan kepekaan sebagai salah satu kesan adanya dehidrasi dan

membutuhkan peningkatan cairan

c. Anjurkan klien untuk membersihkan mulut secara teratur

Rasional : dehidrasi mengakibatkan mulut kering dan pecah – pecah

d. Kolaborasi pemberian cairan secara adekuat

Rasional : memenuhi volume cairan yang hilang

(Carpenito, 2002)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, fraktur femur. Dalam kumpulan Kuliah Ilmu bedah Khusus, Aksara

Medisina FK UI< Jakarta, 1987.

Anonim, Fraktur. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Editor : Sjamsihidajat, Wim de

Jong, EGC, Jakarta, 1997.

Apley, Dalam Buku Ajar Ortopedi dan fraktur Sistem Apley, Edisi 7, Editor : Edi

Nugroho 1999.

Harrelson J.M, Ortopedi Umum. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Sabiston. Editor :

dr. Devi H, Alih bahasa : De Petrus A, EGC, Jakarta, 1994.

Jergesen F. H., Ortopedi. Dalam Ilmu Bedah (Handbook of Surgery), Editor :

Theodore R. Schrock, Alih bahasa : Adji Dharma, Petrus, Gunawan, EGC,

Jakarta, 1995.

Rasjad C., Pengantar Ilmu Beadh Ortopedi, Bintang Lamumpatue, Ujung Pandang,

1992.