Upload
syahrir-ramadhan
View
44
Download
3
Embed Size (px)
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR FEMUR
Dengan makin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia baik dari segi
jumlah pemakai jalan, jumlah kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan dan
bertambahnya jaringan jalan dan kecepatan kendaraan maka mayoritas
kemungkinan terjadinya fraktur adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan
lalu lintas sering mengakibatkan trauma kecepatan tinggi dan kita harus waspada
terhadap kemungkinan polytrauma yang dapat mengakibatkan trauma organ – organ
lain.
Trauma – trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja,
cedera olah raga. Kita harus dapat membayangkan rekonstruksi terjadinya
kecelakaan agar dapat menduga fraktur yang dapat terjadi. Setiap trauma yang
dapat mengakibatkan fraktur juga dapat sekaligus merusak jaringan lunak disekitar
fraktur mulai dari otot, fascia, kulit, tulang, sampai struktur neurovaskuler atau
organ – organ penting lainnya.
Trauma dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung, trauma secara
langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu
sedangkan trauma tidak langsung terjadi bilamana titik tumpu benturan dengan
terjadinya fraktur berjauhan.
FRAKTUR FEMUR
A. Definisi
Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan
tadi mungkin tak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau perimpilan
korteks; biasanya patahan itu lengkap dan fragmen tulang bergeser. Bilamana
tidak ada luka yang menghubungkan fraktur dengan udara luar atau permukaan
kulit atau kulit diatasnya masih utuh ini disebut fraktur tertutup (atau
sederhana), sedangkan bila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang
fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit yang cenderung untuk
mengalami kontaminasi dan infeksi ini disebut fraktur terbuka.
B. Epidemiologi
Klasifikasi alfanumerik pada fraktur, yang dapat digunakan dalam
pengolahan komputer, telah dikembangkan oleh (Muller dkk., 1990). Angka
pertama menunjukkan tulang yaitu :
1. Humerus
2. Radius/Ulna
3. Femur
4. Tibia/Fibula
Sedangkan angka kedua menunjukkan segmen, yaitu :
1. Proksimal
2. Diafiseal
3. Distal
4. Maleolar
Untuk fraktur femur yang terbagi dalam beberapa klasifikasi misalnya
saja pada fraktur collum, fraktur subtrochanter femur ini banyak terjadi pada
wanita tua dengan usia lebih dari 60 tahun dimana tulang sudah mengalami
osteoporotik, trauma yang dialami oleh wanita tua ini biasanya ringan (jatuh
terpeleset di kamar mandi) sedangkan pada penderita muda ditemukan riwayat
mengalami kecelakaan. Sedangkan fraktur batang femur, fraktur supracondyler,
fraktur intercondyler, fraktur condyler femur banyak terjadi pada penderita laki
– laki dewasa karena kecelakaan ataupun jatuh dari ketinggian. Sedangkan
fraktur batang femur pada anak terjadi karena jatuh waktu bermain dirumah
atau disekolah.
C. Etiologi
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai
kekuatan dan daya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat :
• Peristiwa trauma tunggal
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba – tiba dan
berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran,
penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan.
Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang
terkena; jaringan lunak juga pasti rusak. Pemukulan (pukulan sementara)
biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya;
penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai
kerusakan jaringan lunak yang luas.
Bila terkena kekuatan tak langsung tulang dapat mengalami fraktur pada
tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu; kerusakan jaringan
lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada.
Kekuatan dapat berupa :
1. Pemuntiran (rotasi), yang menyebabkan fraktur spiral
2. Penekukan (trauma angulasi atau langsung) yang menyebabkan
fraktur melintang
3. Penekukan dan Penekanan, yang mengakibatkan fraktur sebagian
melintang tetapi disertai fragmen kupu – kupu berbentuk segitiga yang
terpisah
4. Kombinasi dari pemuntiran, penekukan dan penekanan yang
menyebabkan fraktur obliq pendek
5. Penatikan dimana tendon atau ligamen benar – benar menarik tulang
sampai terpisah
• Tekanan yang berulang – ulang
Retak dapat terjadi pada tulang, seperti halnya pada logam dan benda lain,
akibat tekanan berulang – ulang.
• Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik)
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah
(misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada
penyakit paget )
D. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur femur dapat dibagi dalam :
1. FRAKTUR COLLUM FEMUR
Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu
misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter
mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan
oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak
dari tungkai bawah, dibagi dalam :
• Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur)
• Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)
2. FRAKTUR SUBTROCHANTER FEMUR
Ialah fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter
minor, dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan
mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu :
tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor
tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter
minor
tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas trochanterminor
3. FRAKTUR BATANG FEMUR (dewasa)
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah
pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,
mengakibatkan penderita jatuh dalam shock, salah satu klasifikasi fraktur
batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan
daerah yang patah. Dibagi menjadi :
− tertutup
− terbuka, ketentuan fraktur femur terbuka bila terdapat hubungan
antara tulang patah dengan dunia luar dibagi dalam tiga derajat, yaitu ;
• Derajat I : Bila terdapat hubungan dengan dunia luar timbul
luka kecil, biasanya diakibatkan tusukan fragmen tulang dari dalam
menembus keluar.
• Derajat II : Lukanya lebih besar (>1cm) luka ini disebabkan
karena benturan dari luar.
• Derajat III : Lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor,
jaringan lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh
darah)
4. FRAKTUR BATANG FEMUR (anak – anak)
5. FRAKTUR SUPRACONDYLER FEMUR
Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke
posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot – otot
gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh trauma
langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress
valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.
6. FRAKTUR INTERCONDYLAIR
Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur supracondular, sehingga
umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.
7. FRAKTUR CONDYLER FEMUR
Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan adduksi
disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.
E. Gambaran Klinik
1. Riwayat
Biasanya terdapat riwayat cedera, diikuti dengan ketidakmampuan
menggunakan tungkai yang mengalami cedera, fraktur tidak selalu dari
tempat yang cedera suatu pukulan dapat menyebebkan fraktur pada
kondilus femur, batang femur, pattela, ataupun acetabulum. Umur pasien
dan mekanisme cedera itu penting, kalau fraktur terjad
i akibat cedera yang ringan curigailah lesi patologik nyeri, memar dan
pembengkakan adalah gejala yang sering ditemukan, tetapi gejala itu
tidak membedakan fraktur dari cedera jaringan lunak, deformitas jauh
lebih mendukung.
Tanda – tanda umum :
Tulang yang patah merupakan bagian dari pasien penting untuk mencari
bukti ada tidaknya
a. Syok atau perdarahan
b. Kerusakan yang berhubungan dengan otak, medula spinalis
atau visera
c. Penyebab predisposisi (misalnya penyakit paget)
Tanda – tanda lokal
a. Look : Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan
yang abnormal, angulasi, rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas,
tetapi hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh; kalau kulit
robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera terbuka.
b. Feel : Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga
memeriksa bagian distal dari fraktur untuk merasakan nadi dan
untuk menguji sensasi. Cedera pembuluh darah adalah keadaan
darurat yang memerlukan pembedahan
c. Movement : Krepitus dan gerakan abnormal dapat
ditemukan, tetapi lebih penting untuk menanyakan apakah pasien
dapat menggerakan sendi – sendi dibagian distal cedera.
F. PATHWAYS
Terlampir
G. Diagnosis
1. Anamnesis : pada penderita didapatkan riwayat trauma ataupun
cedera dengan keluhan bagian dari tungkai tidak dapat digerakkan
2. Pemeriksaan fisik :
a. Look : Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang
abnormal, angulasi, rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas, tetapi
hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh; kalau kulit robek dan
luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera terbuka
b. Feel : Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa
bagian distal dari fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji
sensasi. Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang
memerlukan pembedahan
c. Movement : Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi
lebih penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan
sendi – sendi dibagian distal cedera.
3. Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan dengan sinar x harus dilakukan dengan 2 proyeksi yaitu
anterior posterior dan lateral, kekuatan yang hebat sering menyebabkan
cedera pada lebih dari satu tingkat karena itu bila ada fraktur pada kalkaneus
atau femur perlu juga diambil foto sinar – x pada pelvis dan tulang
belakang.
H. Komplikasi
1. Early :
a. Lokal :
− Vaskuler : compartement syndrome
Trauma vaskuler
− Neurologis : lesi medulla spinalis atau saraf perifer
b. sistemik : emboli lemak
− Crush syndrome
− Emboli paru dan emboli lemak
2. Late :
a. Malunion : Bila tulang sembuh dengan fungsi anatomis abnormal
(angulasi, perpendekan, atau rotasi) dalam waktu yang normal
b. Delayed union : Fraktur sembuh dalam jangka waktu yang lebih dari
normal
c. Nonunion : Fraktur yang tidak menyambung dalam 20 minggu
d. Kekakuan sendi/kontraktur
I. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif :
− Proteksi
− Immobilisasi saja tanpa reposisi
− Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips
− Traksi
2. Terapi operatif
− ORIF
Indikasi ORIF :
a. Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair necrosis
tinggi
b. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
c. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan
d. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih
baik dengan operasi
− Excisional Arthroplasty
Membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi
− Excisi fragmen dan pemasangan endoprosthesis
Dilakukan excisi caput femur dan pemasangan endoprosthesis Moore
3. Tindakan debridement dan posisi terbuka
J. Penyembuhan fraktur :
1. Fase Peradangan :
Pada saat fraktur ada fase penjendalan dan nekrotik di ujung atau sekitar
fragmen fraktur, proses peradangan akut faktor eksudasi dan cairan yang
kaya protein ini merangsang lekosit PMN dan Makrofag yang fungsinya
fagositosis jendalan darah dan jaringan nekrotik
2. Fase Proliferasi :
Akibat jendalan darah 1 – 2 hari terbentuk fibrin yang menempel pada ujung
– ujung fragmen fraktur, dimana fibrin ini berfungsi sebagai anyaman untuk
perlekatan sel – sel yang baru tumbuh sehingga terjadi neovaskularisasi dan
terbentuk jaringan granulasi atau procallus yang semakin lama semakin
memadat sehingga terjadi fibrocartilago callus yabg bertambah banyak dan
terbentuklah permanen callus yang tergantung banyak atau sedikitnya celah
pada fraktur.
3. Fase Remodelling
Permanen callus diserap dan diganti dengan jaringan tulang sedangkan
sisanya direabsorbsi sesuai dengan bentuk dan anatomis semula.
K. ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-
masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan.
Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini
terbagi atas: ( Arif Muttaqin, 2008)
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa
medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa
nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
faktor memperberat dan faktor yang memperingan/ mengurangi
nyeri
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang yang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,
penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat
proses penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat
b. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakadekuatan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap
pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang
tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus multiple fraktur, misalnya fraktur humerus dan fraktur
tibia tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada
pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola
ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien, seperti memenuhi kebutuhan sehari hari menjadi
berkurang. Misalnya makan, mandi, berjalan sehingga kebutuhan
klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap, klien biasanya merasa
rendah diri terhadap perubahan dalam penampilan, klien mengalami
emosi yang tidak stabil.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan citra diri.
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien.
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
2) Kesadaran penderita:
Composmentis: berorientasi segera dengan orientasi sempurna
Apatis : terlihat mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan
pemeriksaan penglihatan , pendengaran dan perabaan normal
Sopor: dapat dibangunkan bila dirangsang dengan kasar dan terus
menerus
Koma: tidak ada respon terhadap rangsangan
Somnolen: dapat dibangunkan bila dirangsang dapat disuruh dan
menjawab pertanyaan, bila rangsangan berhenti penderita tidur lagi.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut, spasme otot, dan hilang rasa.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
d. Neurosensori, seperti kesemutan, kelemahan, dan deformitas.
e. Sirkulasi, seperti hipertensi (kadang terlihat sebagai respon
nyeri/ansietas), hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah),
penurunan nadi pada bagian distal yang cidera, capilary refil melambat,
pucat pada bagian yang terkena, dan masa hematoma pada sisi cedera.
f. Keadaan Lokal
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah sebagai berikut :
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain sebagai berikut :
a) Sikatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
b) Fistula warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
c) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal)
d) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
e) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time Normal (3 – 5) detik
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal)
d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan
yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu
juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka
sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.
Kekuatan otot : otot tidak dapat berkontraksi (1), kontraksi
sedikit dan ada tekanan waktu jatuh (2), mampu menahan
gravitasi tapi dengan sentuhan jatuh(3), kekuatan otot kurang
(4), kekuatan otot utuh (5). ( Carpenito, 1999)
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi
dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari
titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. ( Arif
Muttaqin, 2008 )
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen ( Sinar – X ). Untuk mendapatkan gambaran
3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan Sinar - X harus atas dasar indikasi kegunaan.
Pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada Sinar – X mungkin dapat di perlukan teknik
khusus, seperti hal – hal sebagai berikut. ( Arif Muttaqin, 2008 )
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu
struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang
rusak karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang
yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. Enzim
otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang
3) Hematokrit dan leukosit akan meningkat
( Arif Muttaqin, 2008 )
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
( Arif Muttaqin, 2008 )
FOKUS INTERVENSI dan RASIONAL
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah
sebagai berikut:
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas
2. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskular,
nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi
(pen, kawat, sekrup)
5. Defisit perawatan diri b/d kelemahan neuromuskular, penurunan
kekuatan dan kesadaran, serta kehilangan kontrol otot
6. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah
(cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
7. Resiko kekurangan volume cairan b/d ketidakadekuatan intake dan
output cairan
8. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan b/d asupan nutrisi tidak
adekuat
(Carpenito, 2002)
INTERVENSI KEPERAWATAN dan RASIONAL
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas
1.1. Tujuan : Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang
1.2. Kriteria Hasil : klien melaporkan nyeri berkurang, mengidentifikasi
aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri, tidak gelisah, skala
nyeri 0-1 atau teratasi
1.3. Intervensi dan rasional
a. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips,
bebat dan atau traksi
Rasional: Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi
b. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena
Rasional: Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri
c. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif
Rasional: Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi
vaskuler.
d. Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase,
perubahan posisi)
Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan
lokal dan kelelahan otot
e. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam,
imajinasi visual, aktivitas dipersional)
Rasional: Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol
terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama
f. Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama)
sesuai keperluan
Rasional: Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri
g. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi
Rasional: Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan
rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer
h. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval,
perubahan tanda-tanda vital)
Rasional: Menilai perkembangan masalah klien
(Doenges, 2000)
1.4. Nyeri adalah : keadaan dimana individu mengalami dan melaporkan
adanya ketidaknyamanan berat / sensasi tidak nyaman, berakhir dari 1
detik sampai kurang dari 6 bulan. Dengan batasan karakteristik data
subyektif komunikasi verbal atau kode dari pemberi gambaran nyeri, data
obyektif perilaku melindungi, memfokuskan pada diri sendiri, perilaku
distraksi (merintih, menangis, mondar – mandir, gelisah, mencari orang
lain), wajah nampak menahan nyeri (Carpenito, 1999). Diagnose ini bisa
di tegakkan bila ditemukan data klien mengatakan nyeri, wajah mengkerut,
otot tegang, perilaku distraksi (Doenges, 2000).
2. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
2.1. Tujuan : infeksi tidak terjadi selama perawatan
2.2. Kriteria Hasil : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas
drainase purulen atau eritema dan demam
2.3. Intervensi dan rasional
a. Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protocol
Rasional: Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan
luka.
b. Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.
Rasional: Meminimalkan kontaminasi.
c. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi
Rasional: Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan
secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus
untuk mencegah infeksi tetanus
d. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap,
LED, Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)
Rasional: Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan
peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk
mengidentifikasi organisme penyebab infeksi
(Carpenito, 2002)
2.4. Resiko tinggi terhadap infeksi adalah suatu kondisi dimana individu
beresiko karena agen patogenesis (virus, jamur, bakteri, protozoa/ parasit
lain) dari berbagai sumber dari dalam atau dari luar tubuh. Untuk kriteria
pengkajian fokus pada resti infeksi data subyektif klien mengeluh demam
terus menerus, infeksi sebelumnya seperti saluran perkemihan, luka
operasi, kulit dan jaringan lunak, adanya nyeri umum dan terlokalisasi.
Data obyektif adanya luka (pembedahan, tindakan infasif, terluka sendiri)
(Carpenito, 1999). Diagnose ini bisa ditegakkan bila ditemukan data
inflamasi, eritema dan demam (Doenges, 2000). Data pendukung lainnya
adalah peningkatan suhu tubuh, frekuensi nadi, adanya luka dan
peningkatan jumlah leukosit (Smeltzer, 2002).
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
3.1. Tujuan: klien mampu melakukan aktivitas fisik sesui dengan
kemampuannya
3.2. Kriteria Hasil : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada
tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi
fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi
bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan
aktivitas
3.3. Intervensi dan rasional
a. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran,
kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien
Rasional: Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol
diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial
b. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit
maupun yang sehat sesuai keadaan klien
Rasional: Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal,
mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah
kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi
c. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai
indikasi
Rasional: Mempertahankan posis fungsional ekstremitas
d. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai
keadaan klien
Rasional: Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai
kondisi keterbatasan klien
e. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien
Rasional: Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan
(dekubitus, atelektasis, penumonia)
f. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari
Rasional: Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi
urinarius dan konstipasi
g. Berikan diet TKTP
Rasonal: Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses
penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh
h. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi
Rasional: Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun
program aktivitas fisik secara individual
i. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi
Rasional: Menilai perkembangan masalah klien
(Carpenito, 2002)
3.4. Kerusakan mobilitas fisik adalah: suatu keadaan dimana individu
mengalami / beresiko untuk mengalami keterbatasan pergerakan fisik,
tetapi tidak pada keadaan imobilisasi dengan batasan karakteristik mayor
mampu untuk bergerak dengan maksud tertentu dalam lingkungannya
seperti mobilisasi ditempat tidur, keterbatasan menggerakkan sendi – sendi
(rentang gerak). Dan karakteristik minor adanya keterbatasan aktivitas,
malas untuk bergerak. Menurut teori gangguan mobilitas fisik
berhubungan dengan pembatasan gerak, nyeri, rasa tidak nyaman,
kerusakan musculoskeletal dan neuromuskuler dengan batasan
karakteristik keterbatasan ( Range Of Motion ) ROM, keterbatasan
kemampuan melakukan ketrampilan motorik kasar atau halus, perubahan
gaya berjalan, gerak lambat (NANDA, 2006). Berdasarkan miller,
mobilitas adalah : satu aspek terpenting pada fungsi fisiologis karena hal
itu esensial untuk mempertahankan kemandirian. Terdapat 3 kategori
rentang gerak : pasif, aktif, dan fungsional. Rentang gerak pasif adalah
menjaga kelenturan otot – otot dan persendian seseorang menggerakkan
otot – otot orang lain secara pasif. Rentang gerak aktif melatih kelenturan
dan kekuatan otot serta sendi. Rentang gerak fungsional memperkuat otot
– otot dan sendi sambil melakukan aktifitas yang di perlukan. Immobilisasi
yang lama dan gangguan fungsi neurosensori dapat menyebabkan
kontraktur permanen (Carpenito, 1999)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
4.1. Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang
4.2. Kriteria Hasil : menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan
kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan
luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi
4.3. Intervensi dan rasional
a. Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih,
alat tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit)
Rasional: Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas 34
b. Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal
bebat/gips
Rasional: Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan
kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi
c. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal
Rasional: Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat
kontaminasi fekal
d. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit,
insersi pen/traksi
Rasional: Menilai perkembangan masalah klien
(Doenges, 2000)
4.4. Derajat dekubitus ada 4 yaitu
Derajat I: eritema yang tidak dapat memucat pda kulit yang utuh,
kemerahan pada kulit
Derajat II: ulserasi epidermis dan dermis
Derajat III: ulserasi sampai pada lapisan lemak subkutan
Derajat IV: ulserasi yang luas menembus otot, tulang atau strukur
penunjang (Carpenito, 2002)
Kerusakan integritas kulit adalah suatu kondisi dimana seseorang
mengalami atau berada pada resiko kerusakan jaringan epidermis dan
dermis dengan batasan karakteristik mayor terputusnya jaringan epidermal
dan dermal, sedangkan karakteristik minor yaitu kulit gundul, etitema, lesi
( primer, sekunder). (Carpenito, 1999). Sedangkan dari teori lain
menyebutkan resiko kerusakan integritas kulit dalah resiko kulit berubah
kearah yang lebih buruk dengan batasan karakteristik invasi struktur tubuh,
kerusakan lapisan kulit ( dermis ), disrupsi permukaan kulit ( epidermis),
dengan faktor resiko eksternal yaitu radiasi, mobilisasi fisik, faktor
mekanik ( alat yang dapat menyebabkan luka, penekanan, restrain),
hipotermi atau hipertermi, kelembapan udara, substansi kimia, eksresi atau
sekresi, kelembapan kulit. Sedangkan faktor resiko internalnya yaitu
medikasi, penonjolan tulang, faktor imunologis, faktor perkembangan,
perubahan sensasi, perubahan sirkulasi, perubahan turgor kulit, perubahan
status nutrisi, psikogenetik. ( NANDA, 2006).
5. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan asupan nutrisi
tidak adekuat
5.1. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 3x24 jam
kebutuhan nutrisi terpenuhi
5.2. Kriteria Hasil: klien mengatakan nafsu makan bertambah, makan habis
satu porsi, IMT normal
5.3. Intervensi dan rasional:
a. Kaji pola makan yang tidak disukai dan disukai
Rasional: sebagai tidakan awal untuk menntukan intervensi selanjutnya
b. Motivasi klien untuk makan dalam porsi sedikit tapi sering
Rasional: menghindari mual muntah
c. Motivasi klien untuk makan dalam keadaan hangat
Rasional: Keadaan hangat akan meningkatkan nafsu makan, makanan
akan terasa lebih hangat
d. Kolaborasi dengan ahli gizi
Rasional: sebagai tindakan kolaborasi dengan tim medis lain
(Carpenito, 2002)
5.4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhn tubuh adalah : kondisi yang
dialami individu yang tidak mengalami puasa atau beresiko mengalami
penurunan berat badan yang berhubungan dengan tidak cukupnya masukan
atau metabolisme nutrisi untuk kebutuhan metabolisme dengan batasan
karakteristik mayor seseorang yang mengalami puasa, puasa dilaporkan
atau mempunyai ketidakcukupan masukan makanan kurang dari yang
dianjurkan sehari – hari dengan atau tanpa terjadinya penurunan berat
badan atau kebutuhan metabolic actual atau potensial pada kelebihan
masukan terhadap penurunan berat badan. kriteria minor berat badan 10 –
20 % dibawah normal dan tinggi serta kerangka tubuh dibawah ideal,
lipatan kulit trisep, lingkar lengan tengah, dan lingkar otot pertengahan
lengan kurang 60 % dari ukuran standar, kelemahan dan nyeri tekan otot,
penurunan albumin serum.(Carpenito, 1999). Sedangkan dari teori lain
menyebutkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah intake
nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolic, dengan
batasan karakteristik berat badan dibawah ideal lebih dari 20 %,
melaporkan intake makanan yang kurang dari kebutuhan yang dianjurkan,
konjungtiva dan membrane mukusa pucat, kelemahan otot untuk menelan
dan mengunyah, melaporkan kurang makan, diare, rambut rontok, suara
usus hiperaktif.(NANDA, 2006)
6. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan neuromuskular
dan penurunan kekuatan otot
6.1. Tujuan : Perawatan diri klien dapat terpenuhi
6.2. Kriteria Hasil : Klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk
kebutuhan merawat diri, mampu melakukan aktivitas perwatan diri sesuai
dengan tingkat kemampuan
6.3. Intervensi dan rasional
a. Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu
Rasional: Hal tersebut dilakukan untuk mencegah frustasi dan menjag
harga diri klien karena klien dalam keadaan cemas, dan membutuhkan
bantuan orng lain
b. Ajak klien berfikir positif agar terhadap kelemahan yang
dimilikinya, dan berikan motivasi dan izinkan ia melakukan tugas,
kemudian berikan umpan balik positif atas usaha yang telah dilakukan
Rasional: Klien memerlukan empati, perawat perlu mengetahui
perawatan yang konsisten dalam menangani klien intervensi tersebut
dapat meningkatkan harga diri dan kemandirian klien
c. Kaji kemampuan komunikasi untuk buang air kecil, kemampuan
menggunakan urinal, pispot, antarkan klien kekamar mandi jika
memungkinkan
Rasional: Ketidakmampuan berkomunikasi dengan perawat dapat
menimbulkan masalah pengosongan kandung kemih karena masalah
neurogenik
d. Identifikasi kebiasaan buang air besar, anjurkan klien minumdan
meningkatkan latihan
Rasional: Meningkatkan latihan dapat mencegah konstipasi
e. Beri supositoria dan pelunak feses / pencahar
Rasional: Pertolongan pertama terhadapfungsi usus atu BAB
(Doenges, 2000)
7. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
7.1.Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik .
7.2.Kriteria Hasil : Klien akan menunjukkan akral hangat, tidak pucat dan
syanosis, bisa bergerak secara aktif.
7.3.Intervensi dan rasional
a. Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan
jari/sendi distal cedera.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.
b. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu
ketat.
Rasional: Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya
penyesuaian keketatan bebat/spalk.
c. Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada
kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.
Rasional: Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali
pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan
penurunan perfusi.
d. Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan
Rasional: Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk
menurunkan trombus vena.
e. Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan
kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.
Rasional: Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya
intervensi sesuai keadaan klien. (Carpenito, 2002)
7.4. Tanda tanda disfungsi perifer yaitu terjadi gangguan pendengaran,
gangguan penglihatan, gangguan memori, perdarahan, edema ( Muttaqin
Arif,2008)
8. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan ketidakadekuatan
intake dan output cairan
8.1. Tujuan : mempertahankan keseimbangan cairan elektrolit
8.2. Kriteria Hasil : tidak terdapat tandatanda dehidrasi, turgor klien baik, bibir
tidak kering.
8.3. Intervensi dan rasional:
a. Monitor tanda – tanda vital
Rasional : tanda yang membantu mengidentifikasi fluktasi volume intra
vaskuler
b. Kemonitor intake dan output dan konsentrasi urine
Rasional : menurunnya output dan konsentrasi urine akan
meningkatkan kepekaan sebagai salah satu kesan adanya dehidrasi dan
membutuhkan peningkatan cairan
c. Anjurkan klien untuk membersihkan mulut secara teratur
Rasional : dehidrasi mengakibatkan mulut kering dan pecah – pecah
d. Kolaborasi pemberian cairan secara adekuat
Rasional : memenuhi volume cairan yang hilang
(Carpenito, 2002)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, fraktur femur. Dalam kumpulan Kuliah Ilmu bedah Khusus, Aksara
Medisina FK UI< Jakarta, 1987.
Anonim, Fraktur. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Editor : Sjamsihidajat, Wim de
Jong, EGC, Jakarta, 1997.
Apley, Dalam Buku Ajar Ortopedi dan fraktur Sistem Apley, Edisi 7, Editor : Edi
Nugroho 1999.
Harrelson J.M, Ortopedi Umum. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Sabiston. Editor :
dr. Devi H, Alih bahasa : De Petrus A, EGC, Jakarta, 1994.
Jergesen F. H., Ortopedi. Dalam Ilmu Bedah (Handbook of Surgery), Editor :
Theodore R. Schrock, Alih bahasa : Adji Dharma, Petrus, Gunawan, EGC,
Jakarta, 1995.
Rasjad C., Pengantar Ilmu Beadh Ortopedi, Bintang Lamumpatue, Ujung Pandang,
1992.