CITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusunoleh:
KelompokA4
Nama : Raditya Arlan Iswara
NIM : 13.70.0197
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG
2015
1
1. MATERI METODE
1.1. MATERI
1.1.1. ALAT
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini antara lain oven, blender, ayakan,
perlatan gelas.
1.1.2. BAHAN
Bahan – bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah limbah udang,
HCl 0,75 N; 1 N; dan 1,25N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50% dan 60%.
Demineralisasi
2
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1.Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudiandikeringkanpadasuhu 80oC selama 24 jam
Deproteinasi
3
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Deasetilasi
4
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, danNaOH 60% untuk kelompok A5
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu70oC selama 24 jam
2. TABEL PENGAMATAN
Hasil pengamatan Kitin dan Kitosan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Rendemen Kitin dan Kitosan
Kelompok PerlakuanRendemenKitinI
(%)
RendemenKitin
II (%)
RendemenKitosan
(%)
A1
HCl 0,75N +
NaOH 40% +
NaOH 3,5%
30,00 20,00 10,40
A2
HCl 0,75N +
NaOH 40% +
NaOH 3,5%
45,00 26,67 13,07
A3
HCl 1N + NaOH
50% + NaOH
3,5%
35,00 22,22 12,32
A4
HCl 1N + NaOH
50% + NaOH
3,5%
20,00 28,57 14,95
A5
HCl 1,25N +
NaOH 60% +
NaOH 3,5%
30,00 25,00 12,40
Dari data tabel diatas dapat diketahui bahwa kelompok dengan nilai rendemen kitin I yang paling tinggi adalah kelompok A2 sebesar 45,00%, dengan perlakuan HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%. Untuk kelompok dengan nilai rendemen kitin II paling tinggi adalah kelompok A4 sebesar 28,57%, dengan perlakuan HCl 0,75N + NaOH 50% + NaOH 3,5%. Sedangkan untuk kelompok yang memiliki nilai rendemen kitin III paling tinggi adalah kelompok A4 sebesar 14,95%, dengan perlakuan HCl 0,75N + NaOH 50% + NaOH 3,5%.
5
3. PEMBAHASAN
Pada praktikum Citin & Chitosan kali ini dilakukan percobaan pembuatan kitin dan
kitosan dari limbah kulit udang. Menurut Trang T.S & Bao, H.N.D (2015), Chitin dan
chitosan merupakan biopolimer laut, diapatkan dari limbah udang, dari pabrik industri
pengolahan udang di Vietnam, dengan perkiraan 200.000 metrik ton per tahun. Menurut
Muzzarelli (1985), kitin (C8H13NO5)n merupakan biopolimer dari unit N-asetil-D-
glukosamin yang saling berikatan dengan ikatan β (1,4). Limbah udang mengandung
protein dan mineral yang cukup tinggi, serta astaxantin yang merupakan pro-vitamin A
untuk pembentukan warna. Dalam industri pengolahan crustaceae ada dua jenis limbah
yang dihasilkan.Pertama adalah limbah cair yang berupa suspensi air dan kotoran serta
yang kedua limbah padat yang berupa kulit, kepala, dan juga kaki (Yen, 2009). Kedua
limbah ini tentunya menimbulkan pencemaran lingkungan, sehingga diperlukan
penanganan limbah cair yang terbaik, yaitu dengan menggunakan waste water
treatment. Lain halnya dengan limbah padat, limbah ini masih dapat dimanfaatkan
menjadi produk lanjut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, misalnya kitin. Kitin
memiliki warna yang putih, keras, inelastis, dan merupakan polisakarida yang
mengandung nitrogen dan dapat ditemukan dalam eksoskleton sama seperti pada
struktur internal invertebrate (Dutta et al, 2004).
Kitin dan kitosan dapat diperoleh dari limbah kulit atau eksoskeleton hewan crustacea
seperti kulit udang, kulit kerang, tulang rawan cumi-cumi, dan paruh burung
(Marganov, 2003). Selain itu,menurut Peter (1995), kitin juga dapat ditemukan dalam
komponen struktural eksoskeleton dari serangga dan crustacea serta terdapat di dalam
dinding sel ragi dan jamur (30-60%). Misalnya saja, kitin yang terkandung dalam kulit
udang adalah sebesar 15-20%, sedangkan sisanya pada kulit udang juga terkandung
protein sebesar 25-40% dan kalsium karbonat sebesar 45-50%. Namun, besarnya
kandungan komponen tersebut tergantung dari jenis udang dan tempat hidupnya
(Marganov, 2003). Menurut Shoer, M.A. (2010), Chitosan merupakan polimer
biokompatibel alami yang berasal dengan cara alamiah berbasis polisakarida polimer
bio, kitin, oleh deasetilasi dengan alkali meninggalkan kelompok amino bebas (-NH2).
6
Karakteristik kitosan tersebut berbeda dengan karakteristik polisakarida lainnya yang
memiliki muatan netral. Kitosan dapat diperoleh dari kitin yang mengalami deasetilasi
dengan larutan basa 40-50% pada suhu 120-160oC. (Radhakumary et al., 2005).
Menurut Prabu dan Natarajan (2012), kitosan memiliki beberapa manfaat lainnya
misalnya adalah memiliki aktivitas antimikrobia, antioksidan, antikoagula, antitumor
dan hepatoprotektif, antidiabetes, penyembuh luka, dan penyerapan ion logam berat
dalam suatu larutan. Sifat dari kitosan lainnya adalah kitosan hanya dapat larut dalam
asam encer seperti misalnya asam asetat, asam format, asam sitrat. Akan tetapi bila
kitosan telah disubstitusikan, hal ini akan membuat kitosan dapat larut dengan air.
Kitosan dapat mudah larut dengan asam asetat karena asam asetat memiliki gugus
karboksil yang akanmempermudah pelarutan kitosan yang disebabkan karena terjadinya
interaksi hidrogen antara gugus karboksil dan gugus amina dari kitosan (Dunn et al.,
1997).
Namun, penggunaan kitin dapat menjadi terbatas karena salah satu sifat dari kitin yang
menyulitkan untuk dilakukannya pengolahan yakni sulit larut dalam air. Oleh karena
itu, kitin biasanya dimodifikasi secara kimiawi sehingga diperoleh turunan kitin yang
memiliki sifat kimia yang lebih baik. Viarsagh et al. (2010)) mengatakan chitin
merupakan polimer alami yang ditemukan pada hewan exoskeleton seperti udang.
Setelah proses ekstraksi di industri makanan, kerang ini biasanya tidak berguna. Ada
beberapa metode yang disarankan untuk ekstraksi dari polimer alami. Menurut Wang et
al. (2010), kitin merupakan suatu polimer alam yang berasal dari sumber laut yang
dapat ditemukan pada kulit atau cangkang crustaceans seperti kepiting dan udang,
serangga, dan dinding sel dari fungi. Kulit tersebut mengandung 15-40% kitin. Proses
pembuatan kitin dilakukan melalui 2 tahap yakni tahap demineralisasi yang
menggunakan larutan HCl dan deproteinasi yang menggunakan larutan NaOH.
Sedangkan kitosan sendiri merupakan produk turunan dari kitin yang mengalami proses
deasetilasi dengan menggunakan larutan alkali 40-45%, pada temperatur yang tinggi
dan waktu yang lama. Sedangkan menurut Robert (1992), kitosan dapat digunakan
sebagai bahan pengawet karena kitosan mengandung gugus amino yang memiliki
7
muatan positif yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Menurut Dunn et
al. (1997), kitosan hanya dapat larut dalam asam encer seperti asam asetat, asam format,
asam sitrat.
Produksi kitosan dari cangkang krustasea umumnya terdiri dari empat langkah dasar,
yaitu demineralisasi, deproteinisasi, penghilangan warna dan deasetilasi (Islam et al.,
2011).Pada praktikum ini, proses ekstraksi kitin menggunakan bahan baku limbah kulit
udang yang telah dipisahkan dari kepalanya.Untuk mengekstraksi kitin, limbah kulit
udang harus mengalami tahap demineralisasi dan deproteinasi. Sedangkan untuk
mendapatkan kitosan, kitin yang telah didapat sebelumnya harus diproses lebih lanjut,
yaitu proses desasetilasi.
Pada praktikum kali ini terdapat 3 metode, yaitu :
Demineralisasi
Dimana pada metode ini, yang dilakukan pertama adalah mencuci limbah udang
menggunakan air yang mengalir dan dikeringan, lalu dicuci dengan air panas
sebanyak 2 kali dan dikeringkan kembali. Pencucian tersebut bertujuan untuk
menghilangkan kotoran yang ada pada kulit udang yang akan digunakan dimana
kotoran tersebut dapat mencemari ekstrak kitin yang dihasilkan. Sedangkan proses
pengeringan bertujuan untuk membuat air panas yang masih berada pada kulit
udang dapat dihilangkan, sehingga kadar air yang terletak pada kulit udang tersebut
dapat dikurangi sehingga menghasilkan produk kulit udang yang kering (Robert,
1992). Setelah itu, dihancurkan hingga menjadi serbuk dimana serbuk tersebut
kemudian diayak dengan ayakn 40-60 mesh dan diambil sebanyak 10 gram pada
masing-masing kelompok.Menurut Prasetyo (2006), proses penghancuran bertujuan
untuk memperbesar luas permukaan bahan sehingga pelarut yang nantinya
digunakan dapat dengan maksimal melarutkan komponen-komponen dengan
maksimal.
Lalu dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40 – 60 mesh,
dan dicampur dengan HCl (10:1) untuk HCl 0,75 N; 1 N dan 1,25 N, diaduk selama
1 jam dan kemudian dipanaskan pada suhu 90⁰C selama 1 jam. Menurut Puspawati
8
et al. (2010), pemanasan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat
jalannya proses perusakan mineral. Sedangkan pengadukan dilakukan dengan tujuan
untuk menghindari meluapnya gelembung-gelembung udara yang dihasilkan karena
proses pemisahan mineral selama proses demineralisasi. Pada saat proses pemisahan
mineral berlangsung akan terbentuk gelembung udara yang merupakan gas CO2.
Langkah terakhir adalah dicuci sampai pH netral, lalu dikeringkan pada suhu 80⁰C
selama 24 jam. Menurut Bastaman (1989), proses demineralisasi tersebut akan
menyebabkan kalsium karbonat beraksi dengan asam klorida dan membentuk
kalsium klorida, asam karbonat, dan asam fosfat yang larut dalam air. Sehingga
mineral-mineral yang terdapat pada kitin akan ikut larut dengan air, sedangkan
residu yang tidak larut air merupakan senyawa kitin.
Pada percobaan ini didapatkan rendemen dari demineralisasi yang disebut dengan
kitin I. Kelompok A1 dengan perlakuan HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%
menghasilkan rendemen sebesar 30,00%. Kelompok A2 dengan perlakuan HCl
0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5% menghasilkan rendemen sebesar 45,00%.
Kelompok A3 dengan perlakuan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5%
menghasilkan rendemen sebesar 35,00%. Kelompok A4 dengan perlakuan HCl 1N
+ NaOH 50% + NaOH 3,5% menghasilkan rendemen sebesar 20,00%. Dan untuk
kelompok A5 dengan perlakuan HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5%
manghasilkan rendemen sebesar 30,00%. %. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori
dari Johnson dan Peterson (1974) yang mengatakan bahwa apabila semakin tinggi
konsentrasi HCl yang digunakan maka rendemen kitin yang dihasilkan juga akan
semakin banyak pula. Hal tersebut dikarenakan adanya senyawa-senyawa mineral
pada serbuk udang akan semakin mudah untuk dilepaskan.Penambahan asam atau
basa dengan konsentrasi yang lebih tinggi dengan disertai proses atau waktu yang
lebih panjangakan mengakibatkan lepasnya ikatan protein dan mineral dengan kitin
serta bahan organik lainnya yang ada pada kulit udang.
Deproteinasi
9
Tahap selanjutnya adalah deproteinasi, dimana menurut Alamsyah et al. (2007),
proses deproteinasi merupakan salah satu proses yang perlu dilakukan pada proses
pembuatan kitin dengan tujuan untuk menghilangkan protein yang masih melekat
pada kitin, sehingga dapat diperoleh kitin yang bebas dari protein. Proses
deproteinasi sebaiknya dilakukan setelah proses deminerlasasi, hal ini dikarenakan
proses pengisolasian kitin melalui tahap demineralisasi-deproteinasi akan
memberikan hasil rendemen yang lebih banyak dibandingkan dengan tahap isolasi
kitin dengan tahap deproteinasi-demineralisasi. Penyebabnya adalah apabila mineral
tidak dihilangkan terlebih dahulu maka proses deproteinasi tidak dapat berlangsung
optimal karena mineral memiliki struktur yang lebih keras dibandingkan dengan
protein, sehingga mineral akan membentuk pelindung yang keras pada kulit udang.
AKibatnya, apabila proses deproteinasi dilakukan terlebih dahulu maka protein tidak
dapat hilang dengan optimal karena proses penghilangan protein menjadi terhambat
oleh mineral yang membentuk pelindung yang keras. Oleh karena itulah pada
percobaan pembuatan kitin ini tahap deproteinasi dilakukan setelah tahap
demineralisasi.
Dalam metode ini, hasil dari proses demineralisasi yang berupa tepung dicapur
NaOH dengan perbandingan 6:1, Menurut Puspawati et al. (2010), larutan NaOH
ditambahkan dengan tujuan untuk menghilangkan protein yang masih melekat pada
kitin. Kemudian diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu 90⁰C selama 1 jam.
Tujuan dilakukannya proses pemanasan menurut Puspawati et al. (2010) adalah
untuk menguapkan air dan mengkonsentrasikan NaOH, sehingga kitin yang
dihasilkan akan lebih maksimal. Sedangkan pengadukan dilakukan dengan tujuan
untuk membantu pelarutan NaOH sehingga proses deproteinasi dapat berjalan
dengan baik. Inti dari dilakukannya proses netralisasi menggunakan air kuranglebih
sama dengan proses netralisasi pada tahap demineralisasi. Setelah itu disaring dan
didinginkan. Residu dicuci sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 80⁰C
selama 24 jam dan akan dihasilkan Chitin. Menurut Rogers (1986), proses
netralisasi akan berpengaruh terhadap sifat penggembungan kitin dengan alkali
sehingga proses hidrolisis basa terhadap gugus asetamida pada rantai kitin akan
semakin baik. Larutan NaOH akan terionisasi dalam air dan membentuk ion natrium
10
dan ion hidroksida dan jika larutan tersebut ditambahkan secara perlahan-lahan ke
dalam larutan asam, maka setiap ion hidroksida akan bereaksi dengan ion hidrogen
membentuk molekul air.
Pada esok harinya percobaan dilakukan penimbangan berat kering untuk dapat
mengetahui besar rendemen kitin II yang diperoleh. Kelompok A1 dengan
perlakuan HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5% menghasilkan rendemen sebesar
20,00%. Kelompok A2 dengan perlakuan HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%
menghasilkan rendemen sebesar 26,67%. Kelompok A3 dengan perlakuan HCl 1N
+ NaOH 50% + NaOH 3,5% menghasilkan rendemen sebesar 22,22%. Kelompok
A4 dengan perlakuan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5% menghasilkan rendemen
sebesar 28,57%. Dan untuk kelompok A5 dengan perlakuan HCl 1,25N + NaOH
60% + NaOH 3,5% manghasilkan rendemen sebesar 25,00%. Dari data tersebut
dapat dilihat bahwa seluruh kelompok mengalami penurunan rendemen, kecuali
untuk kelompok A4 yang mengalami kenaikan rendemen. Hasil yang menunjukkan
peningkatan rendemen tidak sesuai dengan teori Fennema (1985) bahwa proses
penghilangan protein dan mineral akan lebih efektif menggunakan larutan basa
dibandingkan asam. Hal ini dikarenakan kelarutan protein dan mineral lebih tinggi
pada kondisi basa dibandingkan pada kondisi asam, selain itu larutan basa seperti
NaOH memiliki aktivitas hidrolisis yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan jika proses deproteinasi menggunakan larutan alkali seperti NaOH akan
menyebabkan protein dan mineral yang hilang akan lebih banyak, sehingga
rendemen kitin yang diperoleh pun akan semakin rendah.
Ketidaksesuaian hasil percobaan dengan teori dapat disebabkan karena beberapa hal.
Menurut Hartati et al. (2002), hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan
kitin antara lain jenis bahan baku, proses ekstraksi kitin (deproteinasi dan
demineralisasi). Laila & Hendri (2008) menambahkan jika proses ekstraksi kitin
dipengaruh oleh beberapa hal misalnya adalah lama proses pengolahan, suhu yang
digunakan, konsentrasi zat kimia, dan pH. Semakin lama proses pemanasan yang
dilakukan akan menyebabkan denaturasi protein, sehingga protein yang terlarut
dapat berkurang. Namun, jika pemanasan dilakukan dalam waktu yang singkat maka
11
kandungan protein yang terlarut menjadi rendah karena protein tersebut belum larut
seluruhnya. Selain itu, penyebab lainnya yang dapat terjadi adalah karena proses
demineralisasi yang tidak optimal sehingga masih terdapat mineral yang dapat
mengambat jalannya proses deproteinasi.
Deasetilasi
Setelah dilakukan proses demineralisasi dan proses deproteinasi diperolehlah kitin.
Namun, untuk dapat memproduksi kitosan perlu dilanjutkan ke tahapan berikutnya
yaitu tahap deasetilasi. Menurut Robert (1992), untuk mendapatkan kitosan perlu
dilakukan tiga tahapan proses yakni tahap demineralisasi dan deproteinasi sehingga
diperoleh kitin, dan kemudian dilanjutkan dengan tahap deasetilasi untuk mengubah
senyawa kitin menjadi kitosan. Menurut Ramadhan et al. (2010), proses deasetilasi
merupakan suatu proses penghilangan gugus asetil pada kitin menjadi amina pada
kitosan. Azhar et al. (2010) menambahkan jika kitin dapat diubah menjadi kitosan
dengan cara mengbah gugus asetamida (–NHCOCH3) pada kitin menjadi gugus
amina (–NH2). Sehingga dengan kata lain, proses deasetilasi mampu memutuskan
ikatan kovalen antara gugus asetil dengan nitrogen pada gugus asetamida kitin
sehingga berubah menjadi gugus amina (–NH2) yang terdapat pada kitosan.
Langkah pertama pada metode ini adalah Chitin ditambahkan NaOH 40%, 50%,
60% dengan perbandingan (20:1) sambil diaduk 1 jam dan didiamkan selama 30
menit. Kemudian dipanaskan pada suhu 90⁰C selama 60 menit. Tujuan dari
pemanasan ini sendiri adalah untuk meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan
yang terbentuk. Sedangkan proses pengadukan yang dilakukan bersamaan dengan
proses pemanasan ini bertujuan untuk meratakan kitin yang digunakan sebagai
bahan dengan larutan NaOH yang ditambahkan sehingga proses deasetilasi berjalan
lebih optimal(Puspawati et al., 2010). Proses pendinginan pada tahap ini bertujuan
untuk membuat bubuk kitosan pada larutan dapat mengendap dengan sempurna di
bagian bawah dan tidak ikut terbuang selama proses pencucian.Dengan waktu reaksi
yang lama, nitrogen, karbon dan hidrogen yang ada pada kitosan disusun secara
konsisten dengan rasio N / C tetap sama. Untuk kemurnian produk kitosan
12
berdasarkan kandungan nitrogen, waktu reaksi 60 menit sudah dapat menghilangkan
senyawa nitrogen dalam kitosan (Yen, 2009).
Lalu disaring dan residu dicuci sampai pH netral. Kemudian dioven pada suhu 70⁰
selama 24 jam dan dihasilkan Chitosan. (Ramadhan et al., 2010) mengungkapkan,
bahwa setelah proses pengeringan tersebut, maka kitosan yang dihasilkan
akanberbentuk serbuk dengan warna putih kekuningan.
Keesokan harinya, serbuk kitosan yang diperoleh ditimbang berat keringnya dan
digunakan untuk menghitung besar rendemen kitosan. Hasilnya untuk kelompok A1
sebesar 10,40%, kelompok A2 sebesar 13,07%, kelompok A3 sebesar 12,32%,
kelompok A4 sebesar 14,95%, dan kelompok A5 sebesar 12,40%. Seharusnya,
menurut Hirano (1989) struktur kristal kitin panjang memiliki ikatan yang kuat
antara ion nitrogen dan gugus karboksil, sehingga di proses deasetilasi ini digunakan
larutan natrium hidroksida (NaOH) dengan konsentrasi 40-50% dan suhu yang
tinggi untuk mengubah struktur kitin menjadi struktur kitosan. Semakin tinggi
konsentrasi NaOH yang digunakan pada proses deasetilasi, hal ini akan
menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi pula. Hal tersebut
dikarenakan gugus fungsional amino yang mensubstitusi gugus asetil pada kitin
dalam larutan tersebut menjadi semakin aktif, sehingga proses deasetilasi yang
dilakukan akan lebih optimal.
Rata-rata rendemen kitosan yg dihasilkan dengan penggunaan NaOH sebesar 40%,
50%, dan 60% kurang sesuai dengan teori dari Hong et al. (1989) dan Naznin (2005)
yang mengatakan bahwa penggunaan NaOH dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan
menghasilkan kitosan dengan rendemen yang lebih rendah. Hal tersebut dikarenakan
penambahan NaOH akan mengakibatkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan
sehingga berat molekul dari kitosan akan menurun. Kualitas dari produk kitosan yang
dihasilkan sangat ditentukan oleh derajat deasetilasinya dimana derajat deasetilasi pada
proses pembuatan kitosan ini dipengaruhi oleh jenis dan kualitas bahan dasar yang
digunakan dan kondisi proses yang dilakukan (konsentrasi larutan alkali, suhu, dan
waktu)(Suhardi, 1992).
13
Chitin dan chitosan mempunyai beberapa kegunaan dalam industry, hal ini dapat
dubuktikan oleh Cheba B.A. (2011), yang mengatakan bahwa Senyawa kitin / chitosan
memiliki kegunaan potensial dan serbaguna di bidang biomedis, pertanian, lingkungan
dan Industri seperti pengawet makanan, antioksidan, pengemulsi, pengental, penstabil,
krioprotektan, clarifier, viscosifier, pembentuk gel, rasa extender, ternak. Hal ini
diperkuat oleh Aranaz I (2009), yang menyatakan kitin dan kitosan memiliki
karakteristik efek pada property. Bahkan, tidak setiap kitin atau sampel kitosan dapat
digunakan untuk aplikasi yang sama.
14
4. KESIMPULAN
Kulit udang merupakan limbah dari pengolahan udang yang dapat berfungsi
sebagai sumber potensial pembuatan kitin dan kitosan.
Kitin dan kitosan dapat diperoleh dari limbah kulit crustaceans dan arthoproda.
Proses demineralisasi dilakukan menggunakan larutan HCl dan deproteinasi
dilakukan menggunakan larutan NaOH.
Kitosan merupakan produk turunan dari kitin.
Kitosan dapat diperoleh melalui proses deasetliasi kitin yang telah diperoleh
pada tahap demineralisasi dan deproteinasi.
Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka semakin banyak gugus
asetilyang hilang sehingga kitosan mengalami penurunan berat molekul dan
rendemen kitosan yang diperoleh pun semakin rendah.
Proses penambahan HCl pada proses demineralisasi bertujuan untuk melarutkan
komponen mineral yang dikandung oleh kulit udang.
Untuk mendapatkan kitosan, kitin yang telah didapat sebelumnya harus melalui
proses desasetilasi.
Semarang, 25 September 2015
Praktikan, Asisten Dosen,
Raditya Arlan Iswara Tjan, Ivana Chandra
15
13.70.0197
16
5. DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri.
Aranaz, I., Mengibar. M., Harris. R., Panos, I., Miralles, B., Acosta, N., Galed, G., & Heras. A. (2009). Functionall Characterization of Chitin and Chitosan. Current Chemical Biology 3, 203-230. Spanyol
Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina.(2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang.EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.
Cheba, B.A. (2010). Chitin and Chitosan: Marine Biopolymers with Unique Proprties and Versatile Applications. Global Journal of Biotechnology & Biochemistry6 (3): 149-153. University of Science and Technology, Algeria.
Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen.(1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Dutta, Pradip Kumar., Joydeep Dutta.,& V.S.Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan : Chemistry, Properties and Applications. Journal of Scientific and Industrial Research.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.
Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
17
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Islam Md. Monarul, Shah Md. Masum, M. Mahbubur Rahman, Md. Ashraful Islam Molla, A. A. Shaikh, S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol. 11 No. 01: page 77-80. Bangladesh.
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf
Marganov.(2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan.http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.
Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3.Academic Press Inc. Orlando. San Diego.
Naznin, Rokshana. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros) Shell by Chemical Method. Pakistan Journal of Biological Sciences 8 (7) : 1051-1054, 2005.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Prabu, K. and Natarajan, E. (2012). Bioprospecting of Shells of Crustaceans. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences Vol 4, Suppl 4, 2012. India.
Prasetiyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan
18
Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90. Ramadhan, L.O.A.N., C.L.
Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.
Radhakumary, C., P.D. Nair, S. Mathew, C.P.R. Nair. (2005). Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications.Trends Biomater.Artif.Organs. Vol 18(2) : 117-124.
Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.
Shoer, M.A. (2010). A Simple Colorimetric Method for the Evaluation of Chitosan. American Journal of Analytical Chemistry. Vol 2: 91-94. Universitas Alexandria, Mesir.
Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto.(1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM.Yogyakarta.
Trung, T.S. & Bao, N.D. (2015). Physicochemical Properties and Antioxidant Activity of Chitin and Chitosan Prepared from Pacific White Shrimp Waste. International Journal of Carbohydrate Chemistry. Vietnam.
Viarsagh, M.S., Janmaleki, M., Falahatpisheh, H.R., Masoumi, J. (2010). Chitosan Preparation from Persian GULF Shrimp Shells and Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation. Journl of Paramedical Sciences. Vol. 1, No. 2. Univesitas of Medical Sciences, Iran.
Wang, Zhengke; Qiaoling H.; and Lei, C. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science Volume 2010. China.
Yen Ming-Tsung, Joan-Hwa Yang, Jeng-Leun Mau, (2009).Physicochemical characterization of chitin and chitosan from crab shells.Carbohydrate Polymers 75: page 15—21. Taiwan, ROC.
19
20
6. LAMPIRAN
6.1. PERHITUNGAN
Rumus :
Rendemen Chitin I =
Rendemen Chitin II =
Rendemen Chitosan =
KelompokA1
Rendemen Chitin I =
= 30,00 %
Rendemen Chitin II =
= 20,00 %
Rendemen Chitosan =
= 10,40 %
KelompokA2
21
Rendemen Chitin I =
= 45,00 %
Rendemen Chitin II =
= 26,67 %
Rendemen Chitosan =
= 13,07 %
KelompokA3
Rendemen Chitin I =
= 35,00 %
Rendemen Chitin II =
= 22,22 %
Rendemen Chitosan =
= 12,32 %
KelompokA4
Rendemen Chitin I =
=20,00 %
22
Rendemen Chitin II =
= 28,57 %
Rendemen Chitosan =
= 14,95 %
KelompokA5
Rendemen Chitin I =
= 30,00 %
Rendemen Chitin II =
= 25,00 %
Rendemen Chitosan =
= 12,40 %
23
6.2. LAPORAN SEMENTARA
6.3. DIAGRAM ALIR
6.4. ABSTRAK JURNAL
24
25
Recommended