Upload
praktikumhasillaut
View
223
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
praktikum teknologi hasil laut tentang kitin kitosan
Citation preview
Acara II
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama: Catherine Maria Margareta
NIM: 13.70.0178
Kelompok: A1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, serta
peralatan gelas. Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah
udang, HCl 0,75N; 1N; dan 1,25N, NaOH 3,5%, serta NaOH 40%, 50%, dan 60%.
1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi2.
1
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Lalu dicuci sampai pH netral.
2
1.2.2. Deproteinasi
3.4.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
3
1.2.3. Deasetilasi
5.
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam
4
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan Chitin dan Chitosan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Chitin Chitosan
Kelompok PerlakuanRendemen
Chitin I (%)Rendemen
Chitin II (%)
Rendemen Chitosan
(%)
A1HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%30,00 20,00 10,40
A2HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%45,00 26,67 13,07
A3HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%35,00 22,22 12,32
A4HCl 0,75N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%20,00 28,57 14,95
A5HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5%30,00 25,00 12,40
Berdasarkan tabel hasil pengamatan di atas, dapat dilihat bahwa rendemen chitin I
tertinggi diperoleh kelompok A2 sebesar 45% dengan perlakuan penambahan HCl
0,75N dan NaOH 40%, sedangkan rendemen terendah diperoleh kelompok A4 sebesar
20% (HCl 0,75N dan NaOH 50%). Rendemen chitin II tertinggi diperoleh kelompok A4
sebesar 28,57% dengan perlakuan penambahan HCl 0,75N dan NaOH 50%, sedangkan
rendemen terendah diperoleh kelompok A1 sebesar 20,00%. Rendemen chitosan
tertinggi diperoleh kelompok A4 sebesar 14,95% dan yang terendah diperoleh
kelompok A1 sebesar 10,40%.
3. PEMBAHASAN
Menurut Marganov (2003), chitin dapat dihasilkan dari pengolahan kulit udang yang
memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka penting untuk mengolah kulit udang
menjadi chitin. Cangkang udang mengandung chitin sebesar 20% - 50% dari berat
keringnya (Suhardi, 1993). Chitin serta turunannya mempunyai sifat sebagai bahan
pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi dalam bidang pangan. Hal ini sama seperti
yang dikataan di dalam jurnal berjudul Functional Characterization of Chitin and
Chitosan dimana chitin merupakan makromolekul berwarna putih, berbentuk padatan
amorf atau kristal, dan dapat terurai melalui proses biologis (biodegradable) terutama
oleh mikroba penghasil enzim lisozim dan chitinase ataupun kimiawi (Peter, 1995).
Chitosan merupakan senyawa dengan rumus kimia poli (2-amino-2-dioksi-β-D-
Glukosa) yang dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis chitin menggunakan basa kuat
(Balley et al., 1977). Chitosan memiliki beberapa sifat spesifik diantaranya yaitu
bersifat anti bakteri, biokompatibel, pengkelat, bioaktif, dan dapat terbiodegrasi (Knorr,
1984). Efisiensi daya hambat chitosan terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi
pelarutan chitosan (Cahyaningrum et al., 2007). Derajat deasetilasi merupakan
parameter mutu chitosan yang menunjukkan banyaknya gugus asetil yang dapat
dihilangkan dari rendemen chitosan maupun chitin (Knoor, 1982).
Tahap pertama yang dilakukan dalam pembuatan chitin adalah tahap demineralisasi.
Demineralisasi merupakan suatu proses untuk menghilangkan garam - garam inorganik
atau kandungan mineral pada chitin, terutama kalsium karbonat (CaCO3) (Suhartono,
1989). Pada tahap ini limbah udang dicuci dengan menggunakan air mengalir dan
dikeringkan. Pencucian dengan air mengalir bertujuan untuk menghilangkan bahan
pengotor pada limbah kulit udang, sedangkan pengeringan dilakukan untuk
menguapkan sisa - sisa air pencucian. Setelah itu, dicuci menggunakan air panas
sebanyak 2 kali pencucian serta dikeringkan kembali.
Kulit udang kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk, diayak dengan
menggunakan ayakan 40-60 mesh, serta kemudian dicampur dengan HCl dengan
5
6
perbandingan 10:1. Tujuan penghancuran yaitu memperluas permukaan serbuk supaya
kontak antara senyawa pelarut dengan bahan berlangsung secara sempurna. Pada
kelompok A1, A2, dan A4 HCl yang ditambahkan adalah HCl dengan konsentrasi 0,75
N, pada kelompok A3 digunakan HCl dengan konsentrasi 1 N, serta pada kelompok A5
menggunakan HCl dengan konsentrasi 1,25 N. Penambahan asam encer seperti asam
sulfat, asam laktat atau asam klorida, dapat melarutkan komponen mineral (Bastaman,
1989). Lalu larutan dipanaskan selama 1 jam pada suhu 90oC sambil diaduk. Pemanasan
pada suhu 90oC dilakukan untuk mempercepat proses perusakan mineral seperti
kalsium fosfat dan kalsium karbonat yang terdapat dalam cangkang kulit udang yang
berjumblah sekitar 30-50% (Puspawati & Simpen, 2010). Larutan kemudian dicuci
sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam. Setelah itu dihitung
rendemennya. Pengadukan selama pemanasan dilakukan untuk meratakan pemanasan
dan menghindarkan terjadinya gelembung - gelembung udara yang dihasilkan dari
pemisahan mineral (Laila & Hendri, 2008).
Tahap setelah demineralisasi adalah tahap deproteinasi. Deproteinasi adalah proses
penghilangan protein semaksimal mungkin dari bahan menggunakan larutan kimia yang
bersifat basa (Lehninger, 1975). Setelah tepung yang dihasilkan dari proses
demineralisasi dikeringkan, kemudian dicampur dengan NaOH 3,5% dengan
perbandingan 6:1. Penambahan NaOH pada tahap deproteinasi ini bertujuan untuk
melarutkan protein yang terdapat pada chitin hasil tahap demineralisasi (Reece dan
Mitchell, 2003). Lalu diaduk selama 1 jam dan dipanaskan selama 1 jam pada suhu
90oC. Pengadukan yang dilakukan ketika pemanasan berlangsung berguna untuk
meratakan pemanasan supaya derajat deproteinasi meningkat serta tidak terjadi
kegosongan (Rogers,1986). Kemudian disaring dan didinginkan. Tujuan proses
pendinginan agar bubuk chitin yang dihasilkan mengendap sehingga tidak terbuang
ketika dicuci berulang kali. Residu kemudian dicuci sampai pH netral serta dikeringkan
pada suhu 80oC selama 24 jam, dari proses ini akan dihasilkan chitin. Pencucian hingga
pH netral berfungsi untuk menetralkan chitin yang bersifat basa, serta berperan dalam
pencegahan degradasi chitin selama pengeringan akibat adanya kandungan gugus amino
bebas (Rogers, 1986).
7
Tahap ketiga yaitu tahap deasetilasi yang merupakan merupakan proses pembentukan
chitosan dari chitin, gugus asetamida pada chitin digantikan dengan gugus amino
dengan menggunakan NaOH (Muzzarelli, 1997). Chitosan dibuat dengan cara
memasukkan chitin ke dalam larutan NaOH dengan perbandingan 20:1. NaOH yang
digunakan dalam praktikum ini berbeda-beda, untuk kelompok A1 dan A2
menggunakan NaOH 40%, untuk kelompok A3 dan A4 menggunakan NaOH 50%, serta
kelompok A5 menggunakan NaOH 60%. Larutan NaOH konsentrasi tinggi berfungsi
memutuskan ikatan antar gugus karboksil dengan atom nitrogen dari chitin yang
memiliki struktur kristal tebal dan panjang (Angka dan Suhartono, 2000). Kemudian
diaduk selama 1 jam dan didiamkan selama 30 menit. Lalu dipanaskan 90oC selama 60
menit. Menurut Reece dan Mitchell (2003), pengadukan bertujuan untuk meratakan
pemanasan dari derajat deasetalasi chitosan di mana pada suhu tinggi derajat deasetalasi
ini juga meningkat. Setelah itu disaring dan residu dicuci menggunakan air sampai pH
netral, lalu dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam. Pencucian hingga pH netral
dilakukan karena sebelumnya, dilakukan penambahan NaOH yang menyebabkan
kondisi bahan menjadi basa. Tujuan dari pengeringan yaitu supaya air yang masih
tertinggal dari proses pencucian dapat teruapkan serta dapat dihasilkan produk chitosan
yang berbentuk kering (Rogers, 1986).
Berdasarkan hasil pengamatan, kulit udang diberi perlakuan yang berbeda pada tiap
kelompok. Rendemen chitin I merupakan rendemen hasil proses demineralisasi.
Rendemen chitin I tertinggi diperoleh kelompok A2 sebesar 45% dengan perlakuan
penambahan HCl 0,75N dan NaOH 40%, sedangkan rendemen terendah diperoleh
kelompok A4 sebesar 20% (HCl 0,75N dan NaOH 50%). Semakin besar konsentrasi
HCl yang ditambahkan dalam proses demineralisasi, maka akan semakin kecil
rendemen chitin yang dihasilkan karena senyawa mineral dalam bahan semakin mudah
dilepaskan (Laila & Hendri, 2008). Ketidaksesuaian hasil dengan pustaka mungkin
disebabkan karena proses pengadukan dan pemanasan yang kurang benar atau tidak
sempurna. Hal tersebut didukung oleh teori Lehninger (1975) bahwa semakin rendah
nilai rendemen yang dihasilkan juga dapat disebabkan karena adanya perlakuan
pemanasan dan pengadukan. Pengadukan dan pemanasan menyebabkan proses
pelepasan mineral dalam chitin lebih cepat serta panas yang diterima larutan lebih
8
merata sehingga dapat menyebabkan jumlah rendemen menurun. Teori dari Lehninger
(1975) tersebut menunjukkan bahwa pemanasan dan pengadukan merupakan penentu
hasil rendemen chitin yang dihasilkan. Selain itu, ketidaksesuaian dapat terjadi karena
pada saat pencucian, ada sebagian chitin yang terbuang atau chitin terdegradasi akibat
konsentrasi asam yang terlalu tinggi dan waktu perendaman yang lama sehingga
rendemen chitin yang dihasilkan lebih rendah (Knorr, 1984).
Rendemen chitin II merupakan rendemen hasil proses deproteinasi. Rendemen chitin II
tertinggi diperoleh kelompok A4 sebesar 28,57% dengan perlakuan penambahan HCl
0,75N dan NaOH 50%, sedangkan rendemen terendah diperoleh kelompok A1 sebesar
20,00%. Dengan adanya proses deproteinasi, rendemen yang dihasilkan semakin
berkurang. Menurut Fennema (1985), bahwa kelarutan mineral dan protein pada
suasana basa lebih besar jika dibandingkan pada suasana asam, hal ini disebabkan
karena basa memiliki sifat hidrolisis yang lebih tinggi daripada asam. Ketidaksesuaian
ini mungkin disebabkan karena proses pengeringan yang tidak sempurna dan
menyebabkan air yang belum teruapkan ikut terhitung sebagai berat rendemen chitin.
Selain itu dapat disebabkan karena pengadukan secara manual yang tidak konstan
sehingga larutan NaOH tidak bereaksi sempurna dengan chitin (Kaunas, 1984).
Rendemen chitosan tertinggi diperoleh kelompok A4 sebesar 14,95% dan yang terendah
diperoleh kelompok A1 sebesar 10,40%. Dari semua kelompok menunjukkan adanya
penurunan rendemen pada chitosan. Hal ini menunjukkan bahwa pelarut NaOH yang
digunakkan efektif. Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan, maka akan
menghasilkan rendemen chitosan yang semakin rendah. Larutan NaOH dengan
konsentrasi tinggi dapat memicu terjadinya proses depolimerisasi pada rantai molekul
chitosan sehingga menyebabkan berat molekul chitosan mengalami penurunan (Hong
et al., 1989). Hal ini sesuai pula dengan apa yang disampaikan di dalam jurnal Chitosan
Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and Investigating the Effect of Time on
the Degree of Deacetylation dimana dikatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH
yang digunakan, maka akan meningkatkan derajat deasetilasi dan menghasilkan
rendemen chitosan yang semakin rendah.
9
Dalam Jurnal Physicochemical Properties and Antioxidant Activity of Chitin and
Chitosan Prepared from Pacific White Shrimp Waste, chitin dan chitosan merupakan
polisakarida hasil laut serta memiliki sumber daya biomassa yang melimpah, yang
menarik banyak perhatian karena mempunyai karakteristik biologis dan fisikokimia
yang khas. Sifat penting dari chitin dan chitosan yaitu non-toksik, sifat pembentukan
film dan fiber, adsorpsi ion logam, koagulasi larutan, dan aktivitas biologi yang khas.
Chitin dan chitosan dianggap sebagai polimer biofungsional memiliki banyak potensi
lebih tinggi dari selulosa. Beberapa jenis oligomer chitin dan chitosan memiliki fungsi
fisiologis termasuk induksi phytoalexin, aktivitas antimikroba, dan meningkatkan
aktivitas kekebalan tubuh.
Dalam Jurnal A Simple Colorimetric Method for the Evaluation of Chitosan,
Dilakukan penelitian pewarnaan chitosan dengan menggunakan metode
kolorimetri yang akan meningkatan penampilan fisik dari chitosan.
Dikatakan bahwa sifat fisikokimia darichitosan dipenaruhi oleh beberapa
hal, salh satunya adalah derajat deasetilasi. Penggunaan bahan baku yang
berbeda dalam memproduksi chitosan akan mempengaruhi kemurnian dan
berat molekul. Derajat deasetilasi berkisar antara 56% hingga 99%
tergantung dari metode preparasi dan spesies crustacean yang digunakan
untuk membuat chitosan. Beberapa uji telah dilakukan untuk menentukan
derajat asetilasi chitosan, seperti ninhydrin test, linear potentiometric
titration, infrared spectroscopy, nearinfrared spectroscopy, nuclear
magnetic resonance spectroscopy, hydrogen bromide titrimetry,
infrared spectroscopy, elemental analysis, colloidal titration, circular
dichroism, ultraviolet spectroscopy, pyrolysis-gas chromatography,
gel permeation chromatography and thermal analysis.
Dalam Jurnal “Chitosan, Chitin-Glucan and Chitin Evects on Minerals (Iron, Lead,
Cadmium) and Organic (Ochratoxin A) Contaminants in Wines”, chitosan telah
disetujui sebagai zat tambahan makanan di beberapa negara-negara Asia (misalnya
Jepang dan Korea) dan beberapa studi menunjukkan bahwa senyawa ini tidak beracun.
Dalam penelitian ini, polisakarida seperti chitosan, chitin, chitin-glukan dan chitin-
glukan-hidrolisat yang berasal dari jamur dapat mengurangi kadar zat besi, logam berat
10
(Pb, Cd) dan mikotoksin (ochratoxin A) serta dapat meningkatkan keamanan dan
kualitas wine. Derajat polimerisasi, deasetilasi, distribusi asetil dan amino kelompok
sepanjang rantai polimer serta pH sangat penting bagi karakteristik interaksi antara
chitosan dan kontaminan. Chitosan dapat digunakan sebagai bahan tambahan untuk
minuman selama proses produksi atau penyimpanan.
Dalam Jurnal “Extraction, Characterization, and Nematicidal Activity of Chitin and
Chitosan Derived from Shrimp Shell Wastes”, menunjukkan bahwa aplikasi chitin dan
chitosan tidak hanya ada dalam industri pangan tetapi berguna juga untuk kesuburan
tanah. Potensi penggunaan chitin dan chitosan yang berasal dari limbah kulit udang
sebagai penyubur tanah dapat memainkan peran penting dalam memperbaiki struktur
tanah, mempercepat pertumbuhan tanaman, dan dapat mengaktifkan organisme yang
mengendalikan target. Pemanfaatan limbah ini aman dan hanya butuh biaya rendah. Hal
ini, tidak hanya menyelesaikan masalah limbah tetapi juga mengurangi penggunaan
bahan kimia untuk mengendalikan nematoda patogen.
Dalam Jurnal “Extraction and Characterization of Chitin, Chitosan,and Protein
Hydrolysates Prepared from Shrimp Waste by Treatment with Crude Protease from
Bacillus cereus SV1”, persiapan chitin dari limbah laut melibatkan demineralisasi dan
deproteinisasi dengan menggunakan asam dan basa kuat. Namun, reagen tersebut dapat
menyebabkan deasetilasi parsial dari chitin dan hidrolisis polimer, sehingga
mengakibatkan sifat fisiologis akhir chitin tidak konsisten. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini proses deproteinisasi enzimatik diterapkan menggunakan protease mentah
dari B. cereus SV1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protease mentah dari B.
cereus SV1 bisa digunakan secara efektif dalam proses deproteinisasi limbah udang
untuk menghasilkan chitin dan protein hidrolisat dengan sifat antioksidan.
4. KESIMPULAN
Kulit udang merupakan sumber potensial penghasil chitin dan chitosan.
Chitosan dapat diperoleh dari proses deasetilasi chitin.
Semakin tinggi konsentrasi HCl dan NaOH yang digunakan selama proses ekstraksi,
kandungan protein dan mineral dalam limbah kulit udang akan semakin banyak
yang hilang.
Semakin tinggi konsentrasi HCl dan NaOH yang digunakan, maka rendemen yang
dihasilkan akan semakin kecil.
Tiga tahap pembuatan chitin dan chitosan yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan
deasetilasi.
Tujuan pencucian dengan air mengalir yaitu untuk menghilangkan pengotor yang
terdapat pada limbah kulit udang.
Pengeringan setelah pencucian dilakukan dengan tujuan untuk menguapkan sisa -
sisa air pencucian.
Tujuan penghancuran kulit udang yaitu memperluas permukaan serbuk agar kontak
antara senyawa - senyawa pelarut dengan serbuk berlangsung sempurna.
Penambahan HCl bertujuan untuk mengurangi kandungan mineral dalam limbah
kulit udang.
Pemanasan dilakukan untuk mempercepat proses perusakan mineral.
Tujuan pengadukan selama pemanasan yaitu untuk meratakan pemanasan dan
menghindarkan terbentuknya peluapan gelembung udara yang dihasilkan dari
pemisahan mineral.
Pencucian larutan secara berulang – ulang dengan air bertujuan untuk menetralkan.
Tujuan penambahan larutan NaOH adalah untuk mendeasetilasi polimer chitin.
Semarang, 25 September 2015
Praktikan, Asisten Dosen:
- Tjan, Ivana Chandra
Catherine Maria Margareta
(13.70.0178)
11
5. DAFTAR PUSTAKA
Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.
Balley, J.E., and Ollis, D.F. 1977. “Biochemical Engineering Fundamental”, Mc. Graw Hill Kogakusha, ltd., Tokyo.
Bastaman, S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn shell Nephropsnorregicus. Thesis. The Departement of Mechanical,Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University.Belfast. 143 p.
Bornet, A., and P. L. Teissedre. 2008. Chitosan, Chitin-Glucan and Chitin Evects on Minerals Iron, Lead, Cadmium and Organic Ochratoxin A Contaminants in Wines. Journal of Europe Food Res Technology 226:681–689.
Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. 2007. Pemakaian Chitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.
Hong, H., No K, Meyers SP, Lee KS. 1989. Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Kaunas. 1984. Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation, USA.
Knoor, D. 1982. Function properties of chitin and chitosan. J.Food.Sci. 4736.
Knorr, D. 1984. Use of Chitinous Polymer in Food. Food Technology 39 1 : 85.
Kurita, K. 2006. Chitin and Chitosan: Functional Biopolymers from Marine Crustaceans. Journal of Marine Biotechnology Volume 8: 203–226.
Laila, A & Hendri, J. 2008. Study Pemanfaatan Polimer Chitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase.http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf.
Diakses tanggal 30 September 2014.
Lehninger, A.L. 1975. Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.
12
13
Manni, L., O.G. Bellaaj, K. Jellouli, I. Younes, M. Nasri. 2010. Extraction and Characterization of Chitin, Chitosan,and Protein Hydrolysates Prepared from Shrimp Waste by Treatment with Crude Protease from Bacillus cereus SV1. Journal of Application Biochememistry Biotechnology 162:345–357.
Marganov. 2003. Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat Timbal, Kadmium, dan Tembaga di Perairan.
Muzzarelli, R. A. A. & M. G. Peter. 1997. Chitin Handbook. Eds., Atec, Grottammare, Italy. ISBN 88-86889-01-1.
Peter, Martin G. 1995. Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan. Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Puspawati, N. M dan I N. Simpen. 2010. Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90.
Radwan, M. A., S.A.A. Farrag, M.M.A. Elamayem, N.S. Ahmed. 2012. Extraction, Characterization, and Nematicidal Activity of Chitin and Chitosan Derived from Shrimp Shell Wastes. Journal of Biology Fertilization Soils 48:463–468.
Reece, C., dan Mitchell. 2003.Biologi, Edisi kelima-jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Rogers, E.P. 1986. Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.
Suhardi. 1993. Khitin dan Khitosan, Pusat Antar Universitas pangan dan Gizi, PAU UGM, Yogyakarta.
Suhartono MT. 1989. Enzim dan bioteknologi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi.IPB.
Xu, Y. C. Gallert, J. Winter. 2008. Chitin Purification from Shrimp Waste by Microbial Deproteination and Decalcification. Journal of Application Microbiology and Biotechnology 79: 687-697.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan Chitin dan Chitosan
Rumus :
Rendemen Chitin I = beratkering
beratbasa h I× 100 %
Rendemen Chitin II = berat kitin
berat basa h II×100 %
Rendemen Chitosan = berat kitosan
berat basah III×100 %
Kelompok A1
Rendemen Chitin I = 3,010
×100 %
= 30,00 %
Rendemen Chitin II = 1,05
×100 %
= 20,00 %
Rendemen Chitosan = 0,262,5
× 100 %
= 10,40 %
Kelompok A2
Rendemen Chitin I = 4,510
× 100 %
= 45,00 %
Rendemen Chitin II = 2
7,5×100 %
= 26,67 %
14
Rendemen Chitosan = 0,987,5
× 100 %
= 13,07 %
15
Kelompok A3
Rendemen Chitin I = 3,510
×100 %
= 35,00 %
Rendemen Chitin II = 1
4,5× 100 %
= 22,22 %
Rendemen Chitosan = 0,443,57
×100 %
= 12,32 %
Kelompok A4
Rendemen Chitin I = 2
10×100 %
=20,00 %
Rendemen Chitin II = 1
3,5×100 %
= 28,57 %
Rendemen Chitosan = 0,291,94
× 100 %
= 14,95 %
Kelompok A5
Rendemen Chitin I = 3
10×100 %
= 30,00 %
Rendemen Chitin II = 1,56
×100 %
= 25,00 %
Rendemen Chitosan = 0,62
5×100 %
= 12,40 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
17