Kitin Kitosan_Maria Margareta_13.70.0161_E4_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Salah satu pemanfaatan limbah kulit udang adalah dengan mengolahnya menjadi kitin dan kitosan. Terdapat 3 proses untuk membuat kitin dan kitosan yaitu demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi.

Citation preview

  • 0

    CHITIN & CHITOSAN

    LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

    TEKNOLOGI HASIL LAUT

    Disusun Oleh:

    Nama : Maria Margareta S

    NIM : 13.70.0161

    Kelompok : E4

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

    2015

  • 1

    1. MATERI METODE

    1.1. Alat dan Bahan 1.1.1. Alat Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan gelas.

    1.1.2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah ikan bawal, HCl 0,75

    N; 1 N dan 1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50% dan 60%.

    1.2. Metode 1.2.1. Demineralisasi

    Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan ditimbang

    Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan

    Limbah udang dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan

  • 2

    Bahan dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan 10:1

    Campuran dipanaskan hingga suhu 80oC dan diaduk selama 1 jam

    Campuran dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama 24 jam

  • 3

    1.2.2. Deproteinasi

    Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1

    Campuran dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

    Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama 24 jam dan dihasilkan chitin

  • 4

    1.2.3. Deasetilasi

    Campuran dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

    Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan

    Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60% dengan perbandingan 20:1

  • 5

    2. HASIL PENGAMATAN

    Hasil pengamatan kadar rendemen kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Pengukuran Kadar Rendemen Kitin dan Kitosan

    Kel Perlakuan Rendemen Kitin I (%) Rendemen Kitin II (%)

    Rendemen Kitosan (%)

    E1 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%

    26,35 28,57 32

    E2 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%

    37,93 27,78 17,23

    E3 HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%

    23,53 30,77 28,89

    E4 HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%

    35 18,18 15,33

    E5 HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%

    29,17 25 42,5

    Tabel 1. diatas menunjukkan persentase rendemen pertama dan kedua dari kitin serta

    perosentase rendemen kitosan. Presentase teringgi pada rendemen kitin I (37,93%)

    terdapat pada kelompok E2 yang mendapatkan perlakuan pemberian HCl 0,75 N, NaOH

    3,5% dan NaOH 40%, sedangkan persentase terendah rendemen kitin I (23,53 %)

    terdapat pada kelompok E3 yang mendapatkan perlakuan HCl 1 N, NaOH 3,5% dan

    NaOH 60%. Pada rendemen kitin II, persentase tertinggi terdapat pada kelompok E13

    yaitu sebesar 30,77 % yang mendapat perlakuan HCl 1 N, NaOH 3,5%, NaOH 50%,

    sedangkan persentase terendah terdapat pada kelompok E4 yaitu sebesar 18,18% yang

    mendapat perlakuan HCl 1 N, NaOH 3,5% dan NaOH 50%. Persentase tertinggi

    rendemen kitosan terdapat pada kelompok E5 yaitu sebesar 42,5% yang mendapat

    perlakuan HCl 1,25N, NaOH 3,5% dan NaOH 60%, sedangkan persentase terendah

    rendemen kitosan terdapat pada kelompok E4 yaitu sebesar 15,33% yang mendapat

    perlakuan HCl 1 N, NaOH 3,5% dan NaOH 50%.

  • 6

    3. PEMBAHASAN

    Limbah kulit udang merupakan salah satu limbah yang mencemari lingkungan oleh

    karena baunya yang amis, oleh karena itu diperlukan pengolahan limbah yang sesuai

    untuk mengatasi masalah tersebut. Menurut Manjang (1993), dalam kulit udang

    terkandung sumber kitin dimana pengolahan kitin lebih lanjut dapat menghasilkan

    senyawa kitosan. Selain itu kitin juga dapat ditemukan pada sayap dari kupu-kupu dan

    kumbang serta pada dinding sel dari jamur dan yeast (Tharanathan & Kittue, 2003

    dalam Islam et al., 2011). Salah satu aplikasi kitin di industri pangan adalah penelitian

    yang dilakukan oleh Abdou et al. (2012) yaitu mengenai penggunaan nanopartikel kitin

    dan kitosan sebagai edible coating yang dapat memperpanjang umur simpan produk

    pengolahan ikan (fish fingers) hingga 6 bulan. Penggunaan nanopartikel kitosan

    diketahui memiliki efek antimikroba yang lebih tinggi dibandingkan hanya dengan

    menggunakan kitosan saja. Hal ini didukung juga oleh teori dari Zhanf et al. (2007)

    dalam Abdou et al. (2012) yang melaporkan bahwa aktifitas antimikroba dari

    nanopartikel akan meningkat dengan semakin berkurangnya ukuran dari partikel.

    Kitin adalah polisakarida linier yang terdiri dari ikatan (1,4) 2-asetamida 2-deoksi b-D-

    glukopiranosa. (Tomohata & Ikada, 1997; Roberts, 1992 dalam Puvvada et al.,2012).

    Senyawa kitin memiliki beberapa karakteristik yaitu berbentuk kristal putih, tidak

    berasam, tidak berbau, tidak dapat larut dalam pelarut organik, air, asam anorganik dan

    basa encer (Muzzarelli, 1985). Oleh karena kitin sulit larut dalam air menyebabkan

    pemanfaatan dari kitin menjadi terbatas. Kitin dapat digunakan sebgai bahan pendukung

    beberapa enzim seperti papain, laktase, kimotripsin, asam fosfatase dan glikosa

    (Peter,1995). Untuk mengatasi kelemahan dari kitin tersebut, maka dibuat beberapa

    senyawa turunan dari kitin yang dapat dimanfaatkan Salah satu senyawa turunan kitin

    adalah kitosan. Kitosan merupakan polisakarida natural yang dibuat dari proses

    deasetilasi kitinyang termasuk dalam kelompok polisakarida tidak linier yang terdiri

    dari ikatan (1,4) 2-amino 2-deoksi n-D-glukopiranosa (Tomohata & Ikada, 1997;

    Roberts, 1992 dalam Puvvada et al.,2012). Menurut Dunn et al. (1997) kitosan dapat

    larut dalam asam encer (asam asetat, asam format, asam sitrat) dan air. Menurut Cho et

    al. (1998) dalam Puvvada et al. (2012), kitosan larut dalam larutan asam sampai dengan

  • 7

    larutan netral, hal ini disebabkan oleh karena gugus amino dari kitosan memiliki nilai

    pKa 6,5. Menurut Peter (1995) dalam Islam et al. (2011) kitin dan kitosan masih sulit

    untuk dibedakan, tidak semua kitin dapat diubah menjadi kitosan, hanya 50% dari kitin

    yang dapat diubah menjadi kitosan melalui proses deasetilasi. Selain itu kitosan dapat

    larut dalam 1% asam asetat akan tetapi kitin tidak dapat larut.

    Senyawa kitosan memiliki banyak kegunaan yaitu sebagai senyawa antimikroba

    (Benjakul et al., 2003 dalam Abdou et al., 2012); sebagai binding action (No et al.,

    2000 dalam Abdou et al., 2012); dan sebagai komponen antioksidan (Kamil et al., 2002

    dalam Abdou et al., 2012). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti

    Alishahi et al. (2011); Augustini & Sedjati (2007); Fan et al. (2009); Mohan et al.

    (2012) dalam Abdou et al. (2012) menunjukkan bahwa kitosan dapat digunakan sebagai

    material edible coating. Park et al. (2004) dalam Tarafdar & Biswas (2013) menjelaskan

    bahwa kitosan dapat menjadi senyawa antimikrobia untuk bakteri gram positif dan

    bakteri gram negatif, sedangkan kitin dapat berfungsi sebagai bahan antibakteri

    terhadap bakteri E.coli, B.subtilis dan B. cerevisea. Aktifitas antibakteri dari kitosan

    dipengaruhi oleh beberapa hal seperti berat molekul, derajat deasetilasi, konsentrasi

    larutan dan pH dari media. Chien & Chou (2006) dalam Tarafdar & Biswas (2013)

    menjelaskan bahwa fungsi lain dari kitosan adalah sebagai bahan anti jamur. Selain itu,

    kitosan juga memiliki fungsi sebagai antioksidan dimana kitosan bereaksi dengan

    radikal bebeas dan residu gugus amino bebeas membentuk molekul makro radikal atau

    ammonium dengan menyerap ion hidrogen dari larutan dan bereaksi dengan radikal

    secara terus menerus melalui reaksi penambahan (Kim & Thomas, 2007 dalam Tarafdar

    & Biswas, 2013). Struktur dari kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 1. dan

    Gambar 2. dibawah ini

    Gambar 1. Struktur Kimia Kitin Gambar 2. Struktur Kimia Kitosan

  • 8

    Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui proses pembuatan kitin dan kitosan

    dari limbah crustaseans. Menurut Suhardi (1992), senyawa kitin tidak dapat berdiri

    sendiri sehingga di alam senyawa kitin ditemukan berikatan dengan protein, garam

    organik dan pigmen. Oleh karena itu, proses pembuatan kitin harus melalui beberapa

    proses. Proses pembuatan kitin dan kitosan dari kulit crustaceans dapat dilakukan

    dengan melalui tahap demineralisasi, deproteinasi, decoloration dan deasetilasi (No &

    Lee, 1995 dalam Islam et al., 2011), akan tetapi proses decoloration tidak dilakukan

    pada praktikum ini sehingga dalam praktikum ini hanya terdapat tiga tahap yang

    dilakukan untuk memproduksi kitin dan kitosan yaitu demineralisasi, deproteinasi dan

    deasetilasi.

    Proses demineralisasi diawali dengan mencuci limbah udang dengan air mengalir,

    kemudian limbah tersebut dikeringkan dan dicuci kembali dengan menggunakan air

    panas sebanyak dua kali. Menurut teori dari Bastaman (1989), proses pencucian yang

    pertama bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang ada pada limbah udang sehingga

    tidak mengkontaminasi hasil ekstraksi kitin, sedangkan pencucian yang kedua

    menggunakan air panas bertujuan untuk mensterilisasi limbah udang dari

    mikroorganisme yang tidak diinginkan. Setelah selesai dicuci dan dikeringkan, limbah

    udang tersebut dihancurkan hingga berbentuk serbuk. Serbuk limbah udang tersebut

    kemudian dianyak dengan menggunakan ayakan yang berukuran 40-60 mesh. Bastaman

    (1989) kembali menjelaskan tujuan dari pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air

    dari kulit udang sehingga kulit udang dapat dihancurkan menjadi bentuk serbuk. Selain

    itu proses penghancuran dan pengayakan bertujuan untuk memperluas permukaan

    bahan, dimana semakin luasnya permukaan bahan maka kontak pelarut dengan serbuk

    limbah udang juga semakin tinggi yang diharapkan mendapatkan hasil produk kitin dan

    kitosan yang maksimal.

    Serbuk limbah udang yang telah diayak kemudian dicampurkan dengan larutan HCl

    dengan perbandingan antara serbuk limbah udang dan larutan HCl adalah 10:1 atau

    mencampur 10 gram serbuk dengan 100 ml larutan HCl. Pada proses ini diberikan

    perlakuan yang berbeda-beda pada setiap kelompok, dimana kelompok E1 dan E2

    ditambahkan larutan HCl dengan konsentrasi 0,75 N; pada kelompok E3 dan E4

  • 9

    ditambahakan larutan HCl dengan konsentrasi 1 N dan pada kelompok E5

    ditambahakan larutan HCl dengan konsentrasi 1,25 N. Menurut Trung et al. (2006)

    dalam Puvvada et al. (2012), perendaman dengan HCl bertujuan untuk menghilangkan

    mineral terutama kalsium kabonat. Setelah itu dilakukan proses pengadukan dan

    pemanasan pada suhu 80oC selama 1 jam. Menurut Johnson & Peterson (1974), proses

    pemanasan yang dilakukan digunakan untuk mempercepat proses perusakan mineral,

    sedangkan pengadukan ditujukan untuk menghindari meluapnya gelembung yang

    terbentuk dari proses pemisahan mineral. Langkah selanjutnya dilakukan pencucian

    dengan air hingga pH campuran netral yang ditandai dengan kertas pH yang menyentuh

    sampel bewarna hijau. Mekawati et al. (2000) menyebutkan kegunaan pencucian pada

    tahap ini bukan hanya untuk menetralkan pH tetapi juga berguna untuk menghindari

    resiko degradasi serta untuk melarutkan CaCl2 dan asam fofat. Setelah pencucian,

    campuran tersebut dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 90oC selama 24 jam.

    Dari proses tersebut dihasilkan rendemen kitin I yang dapat dihitung dengan

    membandingkan antara berat kering dengan berat basah yang kemudian dikalikan

    dengan 100%. Yong Hue et al. (2002) dalam Puvvada et al. (2012) menjelaskan bahwa

    masa air yang menjadi uap adalah selisih antara berat bahan basah dengan berat sampel

    kering setelah sampel dioven.

    Tahap kedua dalam pembuatan kitin adalah proses deproteinasi yang diawali dengan

    pencampuran bahan kering pada tahap pertama dengan larutan NaOH 3,5%.

    Perbandingan antara bahan kering dengan larutan NaOH adalah 1:6. Lertsutthiwong et

    al. (2002) dalam Puvvada et al. (2012) menjelaskan bahwa perendaman dengan NaOH

    ini bertujuan untuk menghilangkan senyawa protein dan gula dan mengisolasi kitin

    kasar. Hal ini juga didukung oleh teori dari Huang et al. (2004) dalam Puvvada et al.

    (2012) yang mengatakan bahwa penambahan larutan NaOH berguna untuk

    medekomposisi albumen menjadi senyawa asam amino larut air (Huang et al., 2004

    dalam Puvvada et al., 2012). Campuran tersebut kemudian diaduk dan dipanaskan pada

    suhu 70oC selama 1 jam. Menurut Patil et al. (2000), pemanasan pada tahap ini

    ditujukan agar protein dapat terdenaturasi sehingga lebih mudah untuk dipisahkan.

    Selain itu proses pengadukan yang dilakukan bertujuan untuk meratakan larutan NaOH

    untuk mendapatkan hasil kitin yang optimal. Setelah itu residu dicuci kembali

  • 10

    menggunakan air hingga pH residu menjadi netral. Kemudian residu tersebut kembali

    dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 90oC selama 24 jam. residu kering

    yang didapatkan pada proses pengeringan ini adalah residu kitin. Dari residu kering

    tersebut didapatkan persen kitin II yang dihitung dengan membandingkan antara berat

    kering dengan berat basah yang kemudian dikalikan dengan 100%.

    Untuk mendapatkan produk kitosan dari residu kitin dilakukan proses tahap ketiga yaitu

    proses deasetilasi. Pertama-tama residu kitin ditambahkan dengan larutan NaOH. Pada

    penambahan larutan NaOH ini diberikan perlakuan yang berbeda-beda kepada masing-

    masing kelompok, dimana kelompok E1 dan E2 diberikan larutan NaOH 40%; pada

    kelompok E3 dan E4 diberikan larutan NaOH 50% dan kepada kelompok E5 diberikan

    larutan NaOH 60%. Larutan NaOH ditambahkan sebanyak 20 kalo dari residu kitin

    yang terukur. Menurut Martinou (1995), tujuan penambahan larutan NaOH dengan

    konsentrasi yang tinggi adalah untuk memutus struktur dari kristal kitin yang terdiri dari

    ikatan antara gugus karboksil dan atom hidrogen yang kuat. Hirano (1989)

    menambahkan bahwa larutan NaOH dapat merenggangkan struktur dari kitin sehingga

    enzim dapat mendeasetilasi polimer kitin dengan lebih mudah. Campuran tersebut

    kemudian diaduk dan dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam. Setelah itu dilakukan

    proses pencucian dan proses pengovenan residu menggunakan oven pada suhu 90oC

    selama 24 jam. Residu kering yang didapatkan merupakan rendemen kitosan. Persen

    rendemen kitosan dihitung dengan membandingkan antara berat kering dengan berat

    basah yang kemudian dikalikan dengan 100%.

    Proses deasetilasi ini memiliki standar mutu yang disebut dengan derajat deasetilasi.

    Kualitas dari kitosan dapat ditentukan dari derajat deasetilasi yang dipengaruhi oleh

    bahan baku, kondisi proses seperti larutan alkali, suhu dan waktu (Suhardi, 1993 dalam

    Patria, 2013). Derajat destilasi yang semakin tinggi mengindikasikan semakin

    sedikitnya gugus asetil pada kitosan sehingga menyebabkan semakin kuatnya interaksi

    antar ion dan ikatan hidrogen (Knoor1984). Variasi penggunaan kitin dan kitosan

    ditentukan berdasarkan karakteristik kualitas yang meliputi derajat deasetilasi,

    kelarutan, kekentalan (viskositas) dan berat masa. (Suhardi, 1993 dalam Patria, 2013).

    Kitosan yang memiliki berat molekul yang rendah dapat digunakan sebagai bahan

  • 11

    antibakteri, antioksidan dan komponen anti tumor. Kitosan dengan berat molekul yang

    sedang dapat digunakan sebagai bahan antikolesterol (Brzezinski et al., 2004 dalam

    Patria, 2013).

    Pada hasil pengamatan dapat diketahui bahwa nilai terbesar rendemen kitin I terdapat

    pada kelompok E2 yaitu sebesar 37,93% dengan perlakuan penambahan HCl 0,75 N,

    NaOH 3,5% dan NaOH 40%, sedangkan nilai terkecil rendemen kitin I terdapat pada

    kelompok E3 yaitu sebesar 23,53% dengan perlakuan penambahan HCl 1 N, NaOH

    3,5% dan NaOH 50%. Johnson dan Peterson (1974) mengungkapkan bahwa konsentrasi

    HCl yang semakin tinggi menyebabkan semakin banyak rendemen kitin yang dihasilkan

    oleh karena dengan semakin tingginya konsentrasi HCl maka senyawa mineral semakin

    mudah untuk dilepaskan dari senyawa kitin. Teori tersebut tidak sesuai dengan hasil

    yang diperoleh dimana perlakuan pemeberian HCl tertinggi (1,25 N) pada kelompok E5

    tidak mampu menghasilkan hasil rendemen kitin tertinggi. Ketidaksesuaian ini dapat

    disebabkan oleh karena proses demineralisasi tidak berjalan dengan sempurna sehingga

    masih terdapat mineral yang tertinggal dan mempengaruhi hasil rendemen kitin

    Fennema (1985). Pengukuran kadar abu dapat digunakan untuk mendeteksi proses

    demineralisasi, dimana proses demineralisasi yang berjalan dengan baik akan

    diindikasikan dengan kadar abu yang rendah. Kadar abu kitosan secara komersial adalah

    sebesar 1,18% (Wang & Kinsella, 1976 dalam Islam et al., 2011).

    Hasil pengamatan pada rendemen kitin II didapatkan hasil sebagai berikut : nilai

    persentase rendemen kitin II tertinggi terdapat pada kelompok E3 yaitu sebesar 30,77%

    dengan perlakuan penambahan HCl 1 N, NaOH 3,5% dan NaOH 50%, sedangkan nilai

    persentase rendemen kitin II terendah terdapat pada kelompok E4 yaitu sebesar 18,18 %

    dengan perlakuan pemberian HCl 1 N, NaOH 3,5% dan NaOH 50%. Menurut Fennema

    (1985), penggunaan NaOH seharusnya mampu mengoptimalkan penghilangan protein

    yang berikatan dengan kitin. Ketidaksempurnaan proses deproteinasi dapat disebabkan

    oleh karena sebagian kitin dapat larut dengan air selama proses penetralan dan proses

    pengeringan kitin.

  • 12

    Persentase rendemen kitosan tertinggi terdapat pada kelompok E5 yaitu sebesar 42,5%

    dengan perlakuan pemberian HCl 1,25 N, NaOH 3,5% dan NaOH 60%, sedangkan

    persentase rendemen kitosan terendah terdapat pad kelompok E4 yaitu 15,33% dengan

    perlakuan HCl 1 N, NaOH 3,5% dan NaOH 50%. Martinou (1995) menjelaskan bahwa

    konsentrasi NaOH yang semakin tinggi akan meghasilkan derajat deasetilasi yang tinggi

    sehingga seharusnya dihasilkan produk kitosan dengan jumlah yang banyak. Teori

    tersebut sesuai dengan hasil dari praktikum ini dimana kelompok E5 yang mendapatkan

    perlakuan penambahan NaOH dengan konsentrasi tertinggi mampu menghasilkan nilai

    pesentase paling tinggi. Menurut Li et al. (1992); Oh et al. (2001) dalam Islam et al.

    (2011) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi berat molekul adalah temperatur

    yang tinggi, konsentrasi alkali, waktu reaksi, perlakuan pendahuluan kitin, ukuran

    partikel, konsentrasi kitin dan konsentrasi oksigen (Li et al., 1992; Oh et al., 2001

    dalam Islam et al., 2011).

    Hasil pada kelompok E4 didapatkan nilai persentase terendah yaitu sebesar 15,33%

    padahal kelompok ini mendapatkan perlakuan pemberian NaOH dengan konsentrasi

    yang lebih tinggi dari kelompok E1,E2 dan E3. Ketidaksesuaian hasil pengamatan

    tersebut dengan teori yang ada dapat disebabkan oleh karena penggunaan temperatur

    yang tidak stabil saat proses pemanasan. Patria (2013) menjelaskan bahwa hasil kitosan

    akan menurun dengan semakin meningkatnya temperatur, karena temperatur yang tinggi

    akan menyebabkan ikatan antar molekul kitosan mengalami proses depolimerisasi yang

    menyebabkan pengurangan berat molekul dari kitosan Dari teori yang dipaparkan

    tersebut, ketidaksesuaian yang terdapat pada kelompok E4 dapat disebabkan karena

    penggunaan suhu saat pemanasan terlalu tinggi sehingga hasil kitosan yang didapatkan

    kecil. Selain itu, Winarti et al. (2008) dalam Patria (2013) mengungkapkan bahwa

    kelarutan dari kitosan juga merupakan salah satu parameter yang penting untuk melihat

    kualitas dari kitosan dimana kelarutan yang tinggi akan menghasilkan produk kitosan

    yang lebih baik (Winarti et al., 2008 dalam Patria, 2013).

    Penelitian dari Patria (2013) mengenai pembuatan kitosan dari kulit udang

    menunjukkan total kitosan yang diperoleh sebanyak 67,42% dan hasil kitin sebanyak

    40%. Kitosan terbaik dihasilkan dari proses pemanasan pada suhu 100oC selama 80

  • 13

    menit pada proses deasetilasi, akan tetapi hasil kitosan terbanyak didapatkan dari

    perlakuan pemanasan pada suhu 70oC dengan waktu pemanasan 40 menit selama proses

    deasetilasi. Dari hasil penelitian Patria (2013) tersebut, suhu juga merupakan salah satu

    faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kitin dan kitosan, suhu yang digunakan

    pada praktikum kitin dan kitosan ini sudah sesuai dengan penelitian dari Patria (2013)

    dimana suhu yang digunakan berkisar antara 70oC sampai dengan 90oC. Hasil warna

    akhir ktin dan kitosan adalah bewarna putih hingga putih kekuningan. Menurut

    Rahmadhan et al. (2010), warna dari serbuk kitosan yang ddihasilkan bewarna putih

    kekuningan. Teori dari Krissetiana (2004) menjelaskan bahwa adanya kontak udara

    antara kitin dan kitosan akan menyebabkan terjadinya dekomposisi warna kitin menjadi

    kekuningan.

  • 14

    4. KESIMPULAN

    Limbah kulit udang dapat dimanfaatkan menjadi produk bernilai yaitu dengan

    mengolahnya menjadi produk kitin dan kitosan.

    Proses pembuatan kitin dari limbah kulit udang melalui 2 tahapan yaitu

    demineralisasi dan deproteinasi.

    Pada proses demineralisasi ditambahakan larutan HCl yang berfungsi untuk

    melarutkan mineral yang ada pada limbah kulit udang.

    Semakin tinggi konsentrasi larutan HCl yang diberikan akan menghasilkan hasil

    rendemen yang semakin banyak.

    Pada proses deproteinasi ditambahkan larutan NaOH encer dimana memiliki fungsi

    dalam penghilangan mineral dan protein dari limbah kulit udang.

    Produk kitosan merupakan produk turunan dari kitin yang dibuat melalui proses

    deasetilasi.

    Semakin tinggi konsentrasi larutan NaOH yang diberikan akan menghasilkan hasil

    tendemen yang semakin banyak.

    Warna kitin dan kitosan dari praktikum ini adalah bewarna putih hingga putih

    kekuningan.

    Hasil rendemen kitin terbanyak terdapat pada kelompok E3 yang mendapatkan

    perlakuan pemberian larutan HCl 1 N; NaOH 3,5% dan NaOH 50%.

    Hasil rendemen kitosan terbanyak terdapat pada kelompok E5 yang mendapatkan

    perlakuan pemberian larutan HCl 1,25 N; NaOH 3,5% dan NaOH 60%.

    Semarang, 04 November 2015

    Praktikan, Asisten Dosen

    -Tjan, Ivana Chandra

    Maria Margareta S

    13.70.0161

  • 15

    5. DAFTAR PUSTAKA

    Abdou, E.S., Osheba,A.S., Sorour,M.A. (2012). Effect of Chitosan and Chitosan Nanoparticles as Active Coating on Microbiological Characteristics of Fish Fingers. International Journal of Applied Science and Technology Vol. 2 No.7.

    Bastaman, S. (1989). Studies on Degradationb and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.

    Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

    Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.

    Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.

    Islam,Md.M., Masum,S.Md., Rahman,M.M., Molla,Md.A.I., Shaikh.A.A., Roy.S.K. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences

    Johnson, A.H., Peterson, M.S. (1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

    Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77

    Krissetiana, H.M. (2004). Khitin dan Khitosan dari Limbah Udang.

    Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Kitosan, Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 143.

    Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos., Bouriotis,V. (1995), Chitin deacetylation by enzymatic means.

    Mekawati, F.E., Sumardjo, D. (2000), Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal, Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.

  • 16

    Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.

    Patil,R.S.,Chormade,V., Desphande, M. V. 2000. Chitinolytic enzymes an exploration. Enz Microb Technol 26:473-483.

    Patria, A. (2013). Production and characterization of Chitosan from Shrimp Shells Waste. International Journal of the Bioflux Society Vol. 6 Issue 4.

    Peter,M.G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

    Puvvada,Y.S., Vankayalapati,S., Sukhavasi,S. (2012). Extraction of Chitin from Chitosan from exoskeleton of shrimp for application in the pharmaceutical industry. International Current Pharmaceutical Journal 1 (9) : 258 -263.

    Suhardi, U.S., Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

    Tarafdar,A., Biswas,G. (2013). Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes and Examination of its Viable Commercial Applications. International Journal on Theoretical and Applied Research in Mechanical Engineering Vol. 2 Issue 3.

  • 17

    6. LAMPIRAN

    6.1. Perhitungan

    Kelompok E1 Rendemen kitin I = berat keringberat basah I 100% = 519 100% = 26,32% Rendemen kitin II = berat keringberat basah I 100% = 27 100% = 28,57% Rendemen kitin III = berat keringberat basah I 100% = 1,765,5 100% = 32%

    Kelompok E2 Rendemen kitin I = berat keringberat basah I 100% = 5,514,5 100% = 37,93% Rendemen kitin II = berat keringberat basah I 100% = 2,59 100% = 27,78% Rendemen kitin III = berat keringberat basah I 100%

  • 18

    = 1,126,5 100% = 17,23%

    Kelompok E3 Rendemen kitin I = berat keringberat basah I 100% = 417 100% = 23,53 % Rendemen kitin II = berat keringberat basah I 100% = 26,5 100% = 30,77% Rendemen kitin III = berat keringberat basah I 100% = 1,34,5 100% = 28,89%

    Kelompok E4 Rendemen kitin I = berat keringberat basah I 100% = 3,510 100% = 35 % Rendemen kitin II = berat keringberat basah I 100% = 211 100% = 18,18% Rendemen kitin III = berat keringberat basah I 100% = 0,231,5 100% = 15,33%

  • 19

    Kelompok E5 Rendemen kitin I = berat keringberat basah I 100% = 3,512 100% = 29,17% Rendemen kitin II = berat keringberat basah I 100% = 28 100% = 25% Rendemen kitin III = berat keringberat basah I 100% = 0,852 100% = 42,5%

    6.1. Laporan Sementaea 6.2. Diagram Alir 6.3. Abstrak Jurnal