47
1. MATERI METODE 1.1. Materi 1.1.1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan gelas, pengaduk, pemanas elektrik, cawan porselin, label, timbangan analitik, dan pH meter. 1.1.2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah kulit udang, HCl 0,75 N, HCl 1 N, HCl 1,25 N, NaOH 3,5%, dan air. 1.2. Metode 1.2.1. Demineralisasi Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali. Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh. HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok B1 dan B2 menggunakan HCl 0,75N, B3 dan B4 HCl 1N, dan B5 HCl 1,25N 1

Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kitin adalah polisakarida paling banyak kedua di alam, setelah selulosa, dan sebagian besar ada di limbah dari pengolahan produk makanan laut (kepiting, udang dan krill kerang). Sedangkan kitosan adalah modifikasi dari senyawa kitin yang banyak terdapat dalam kulit luar hewan golongan Crustaceae seperti udang dan kepiting

Citation preview

Page 1: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

1. MATERI METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan

gelas, pengaduk, pemanas elektrik, cawan porselin, label, timbangan analitik, dan pH

meter.

1.1.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah kulit udang, HCl 0,75

N, HCl 1 N, HCl 1,25 N, NaOH 3,5%, dan air.

1.2. Metode

1.2.1. Demineralisasi

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok B1 dan B2 menggunakan HCl 0,75N, B3 dan B4 HCl 1N, dan B5 HCl 1,25N

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

1

Page 2: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

2

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Rumus penghitungan rendemen kitin (1):

Kitin (1) = berat kering x 100% berat basah

1.2.2. Deproteinase

Hasil tepung dari proses demineralisasi ditambah dengan NaOH 6:1 (pelarut:kitin)

Page 3: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

3

Diaduk selama 1 jam sambil dipanaskan selama 1 jam pada suhu 90C dengan pemanas

elektrik

Didinginkan dan Disaring

Diendapkan lalu dicuci dengan air hingga pH netral

Dikeringkan pada suhu 80C selama 24 jam

Dihasilkan kitin 2

Page 4: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

4

Rumus penghitungan rendemen kitin (2):

Kitin (2) = berat kitin x 100% berat basah

1.2.3. Deasetilasi

Kitin ditambah dengan NaOH 20:1 (pelarut:kitin) dengan perlakuan:

Kelompok B1 dan B2 ditambah NaOH 40%

Kelompok B3 dan B4 ditambah NaOH 50%

Kelompok B5 ditambah NaOH 60%

Diaduk selama 1 jam dan didiamkan 30 menit,lalu dipanaskan selama 60 menit pada

suhu 90C dengan pemanas elektrik

Dicuci dengan air hingga pH netral

Page 5: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

5

Dikeringkan dalam dehumidifier pada suhu 70C selama 24 jam

Dihasilkan kitosan

Rumus Penghitungan Kitosan:

Kitosan = berat kitosan x 100%

berat kitin

Page 6: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tabel Pengamatan Rendemen Kitin dan Kitosan

Kelompok PerlakuanRendemen KitinI (%)

Rendemen Kitin II (%)

Rendemen Kitosan (%)

B1HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%30,00 34,88 25,00

B2HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%36,00 29,40 -

B3HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%31,82 50,00 50,00

B4HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%28,00 22,22 19,23

B5HCl 1,25N + NaOH 60% +

NaOH 3,5%28,57 20,00 -

Pada tabel diatas,dapat dilihat bahwa tiap kelompok memiliki perlakuan yang berbeda-

beda untuk menentukan rendemen kitin dan kitosan. Pada kelompok B1 dan B2, HCl

yang digunakan ialah HCl 0,75N. Pada kelompok B3 dan B4 menggunakan HCl 1N dan

pada kelompok B5 menggunakan HCl 1,25N. Pada semua kelompok penambahan

NaOH yang kedua ialah dalam jumlah yang sama yaitu 3,5%, sedangkan yang pertama

ialah 40% untuk kelompok B1 dan B2, 50% untuk kelompok B3 dan B4, serta 60%

untuk kelompok B5. Nilai yang didapatkan untuk R. Kitin I berkisar 28,00% hingga

36,00%, maka pada perlakuan HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5% mendapatkan

reedmen terbesar dan padaa perlakuan HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5%

mendapatkan rendemen yang terkecil, sedangkan untuk R. Kitin II berkisar 20% hingga

34,88%. Maka pada kelompok B3 mendapat rendemen terbesar yaitu 50,00%,

sedangkan kelompok B5 mendapatkan rendemen paling sedikit yaitu 20,00%. Nilai

yang didapatkan untuk perhitungan rendemen kitosan ialah berkisar 19,23% hingga

50,00%, pada kelompok B3 mendapatkan reedmen paling banyak sebesar 50,00% dan

6

Page 7: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

7

pada kelompok B4 hanya mendapatkan 19,23%. Pada kelompok B2 dan B5 sampel

rusak jadi tidak mendapatkan rendemen kitosan.

Page 8: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, praktikan akan membahas mengenai kitin dan kitosan. Menurut

Saules et al. (2005) bahwa kitin adalah polisakarida paling banyak kedua di alam,

setelah selulosa, dan sebagian besar ada di limbah dari pengolahan produk makanan

laut (kepiting, udang dan krill kerang). Kitin diproduksi setiap tahun dalam biosfer air

sendiri. Limbah yang dihasilkan dari produksi seluruh dunia dan pengolahan kerang

adalah masalah serius yang makin tumbuh besar. Limbah ini dapat menimbulkan

bahaya yang tinggi bagi lingkungan karena mudah rusak. Banyak bakteri dan jamur

menghasilkan enzim ekstraseluler chitinolytic, dikenal sebagai chitinases yang dapat

mengkonversi kitin menjadi senyawa yang dapat menarik industri, terutama N-asetil-

D-glukosamin. Kitin berikatan dengan protein, garam anorganik (CaCO3), pigmen dan

kandungan tertinggi dihasilkan dari kulit udang windu yang mengandung kitin sebesar

99,1% (Prasetiyo, 2006). Menurut Muzzarelli (1985) kitin (C8H13NO5)n saling berikatan

dengan ikatan β (1,4) yang tersusun atas unit N-asetil-D-glukosamin. Kitin hanya

memiliki 2-amino-2-deoksi-D glucose dalam jumlah sedikit, oleh karena itu, polimer

kitin tidak dapat larut dalam media air asam (Aranaz et al., 2009). Berdasarkan Abun et

al.,(2007) kitin dapat dibedakan atas susunan rantai molekul yang menyusun kristalnya

yaitu α-kitin (rantai antipararel), β-kitin (rantai pararel), dan γ-kitin (rantai campuran).

Kitin dapat digunakan sebagai bahan pendukung enzim seperti papain, laktase,

kimotripsin, asam fosfatase, glukosa isomerase, industri pangan, dan industri kosmetik

(Peter, 1995). Karaterisitik dari kitin yaitu berwarna putih, keras, tidak elastis, tidak

larut air (Purwaningsih, 1994). Laila & Hendri (2008) mengatakan bahwa ada beberapa

faktor yang mempengaruhi pembuatan kitin antara lain jenis bahan baku yang

digunakan, serta proses ekstraksi kitin yang dibagi menjadi dua metode yakni proses

demineralisasi dan proses deproteinasi, lamanya proses pengolahan, suhu pengeringan

yang digunakan, konsentrasi zat kimia yang ditambahkan, dan pH.

Menurut Supitjah, (2004) bahwa kitosan adalah modifikasi dari senyawa kitin yang

banyak terdapat dalam kulit luar hewan golongan Crustaceae seperti udang dan

kepiting. Khasiat kitosan sebagai bahan antibakteri dan kemampuannya untuk

mengimobilisasi bakteri tampaknya menjadikan kitosan dapat digunakan sebagai

8

Page 9: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

9

pengawet makanan. Daya hambat khitosan terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi

pelarutan khitosan. Kitosan merupakan produk alamiah yang merupakan turunan dari

polisakarida kitin. Kitosan mempunyai nama kimia Poly D-glucosamine ( beta (1-4) 2-

amino-2-deoxy-D-glucose), bentuk kitosan padatan amorf bewarna putih dengan

struktur kristal tetap dari bentuk awal kitin murni. Kitosan mempunyai rantai yang lebih

pendek daripada rantai kitin. Kelarutan kitosan dalam larutan asam serta viskositas

larutannya tergantung dari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer. Dunn et al.,

(1997) mengatakan kitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Apabila disimpan dalam

suhu 100oF dan keadaan terbuka maka akan mengakibatkan terjadinya dekomposisi,

perubahan warna menjadi kekuningan dan menurunnya viskositas dari kitosan tersebut.

Kitosan memiliki sifat antara lain hanya dapat larut dalam asam encer misalnya asam

asetat karena adanya gugus karboksil yang menyebabkan interaksi hidrogen antara

gugus karboksil dan gugus amina dari kitosan (Linawati, 2006). Kitosan dapat dibuat

dari proses pemecahan N-asetil yang berdasarkan rantai N-asetil-2 amino-2-deoksi-D-

glukosa (Aranaz et al., 2009). Czechowska-Biskup et al., (2012) menambahkan bahwa

kitosan merupakan biopolimer yang dapat diperoleh dengan cara deasetilasi dari kitin

menggunakan larutan alkali atau basa 40-50% pada suhu sekitar 120o hingga 160oC.

Menurut Zakaria,et all (2012) Chitosan berbeda bentuk kitin dengan kehadiran lebih

tinggi propotionof kelompok amino, dan itu secara luas dalam aplikasi yang berbeda

karena sifat seperti non tosik, biocompability yang baik, dan sifat antibakteri. Chitosan

adalah pseudo-alami kationik polimer, dan karena karakternya yang unik, kitosan

menemukan aplikasi sebagai flokulan untuk treatment protein dan karena itu dapat

digunakan untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Menurut kumirska (2010) Kitin

dapat diubah menjadi lebih mudah diterapkan oleh kitosan deasetilasi parsial atau

lengkap dari kitin baik dalam padat (proses heterogen) dan dilarutkan (proses homogen)

menyatakan dalam kondisi basa atau dengan hidrolisis enzimatik (menggunakan

deacetylase kitin). Sumber kitin alami yang digunakan untuk menghasilkan kitosan

mempengaruhi parameter produksi dan persiapan chitosan.

Kitosan memiliki sifat polikationik yang akan menyebabkan kitosan sebagai agen

penggumpal dalam penanganan limbah, terutama pada limbah yang mengandung

protein (Hartati et al., 2002). Selain itu, kitosan juga berfungsi sebagai pengawet karena

Page 10: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

10

adanya gugus amino yang memiliki muatan positif yang akan mengikat muatan negatif

dari senyawa lain sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang.

Penggunaan kitosan dalam industri dapat sebagai edible  film, zat additive

(stabilitator warna, emulsifier, antioksidan, pembentuk gel), serat makanan (sebagai

penyerap lemak, dialisis glukosa), dan astrigensi (pengendap protein air liur)

(Robert, 1992). Fungsi kitosan juga sebagai bahan antimikroba disebabkan karena

adanya kandungan enzim lisozim dan gugus aminopolisakarida yang dapat dilakukan

dengan cara dilarutkan dengan asam asetat encer 1% sehingga membentuk larutan

kitosan yang homogen (Ratna & Sugiyani, 2006). Fungsinya sebagai supplemen

makanan, water treatment, bahan pengawet makanan, pertanian, kosmetik, bahan

pembuat kertas dan medical application yang tergantung dari berat molekular atau

viskositasnya (Islam et al., 2011).

Menurut Marganov (2003) kitin dan kitosan adalah biopolimer yang secara komersil

berpotensi pada berbagai bidang industri. Aranaz et al., (2009) menambahkan bahwa

kitin dan kitosan terdiri dari β (14) yang berikatan dengan N-asetil-2 amino-2-deoksi-

D-glukosa dan 2-amino-2-deoksi-D-glukosa yang mengandung kitosan pada kitosan

cukup tinggi sehingga polimer kitosan larut dalam asam. Dalam aplikasinya, dapat

digunakan dalam industri pangan meliputi bioteknologi, pemrosesan makanan

(suplemen dan sumber serat), pertanian (penjernih air, menyimpan benih, fertilizer dan

fungisida), farmasi, kesehatan, dan lingkungan (Balley et al., 1977). Kitin dan kitosan

berguna sebagai bahan antimicrobial, emulsifying, thickening dan stabilizing agent

dalam industri makanan (Shahidi et al., 1999). Proses ekstraksi kitosan terbagi menjadi

tiga tahap, yaitu tahap demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi (Robert, 1992).

Suhardi et al., (1992) menambahkan bahwa kualitas kitosan yang dihasilkan sangat

ditentukan oleh derajat deasetilasi yang dipengaruhi oleh faktor jenis dan kualitas

bahan dasar yang digunakan dan kondisi proses yang dilakukan (konsentrasi larutan

alkali, suhu, dan waktu).

Kitosan yang dihasilkan dari deasetilasi kitin ini mempunyai sifat polikationik yang

menyebabkan kitosan dapat berfungsi sebagai agen penggumpal dalam penanganan

limbah, terutama pada limbah yang mengandung protein (Hartati et al., 2002). Kitosan

Page 11: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

11

mampu berikatan secara crosslink apabila ditambahkan crosslinked agent seperti

misalnya glutaraldehid, glioksial, atau kation Cu2+ pada kitosan tersebut (Cahyaningrum

et al., 2007). Kitosan kering tidak mempunyai titik lebur dan apabila disimpan dalam

jangka waktu yang lama dengan suhu sekitar 100oF, sifat kelarutan dan viskositas dari

kitosan iniakan berubah. Apabila kitosan disimpan lama dengan keadaan terbuka

(mengalami kontak dengan udara),hal ini akan mengakibatkan terjadinya dekomposisi,

perubahan warna menjadi kekuningan, dan menurunnya viskositas dari kitosan tersebut.

Sifat dari kitosan lainnya adalah kitosan hanya dapat larut dalam asam encer seperti

misalnya asam asetat, asam format, asam sitrat. Namun apabila kitosan telah

disubstitusikan, hal ini akan membuat kitosan dapat larut dengan air. Kitosan dapat

mudah larut dengan asam asetat karena asam asetat memiliki gugus karboksil yang

akanmempermudah pelarutan kitosan yang disebabkan karena terjadinya interaksi

hidrogen antara gugus karboksil dan gugus amina dari kitosan (Dunn et al.,1997).

Hingga saat ini terdapat lebih dari 200 pemanfaatan dari kitin dan kitosan serta

turunannya terutama di industri pangan, pemrosesan makanan, bioteknologi, pertanian,

farmasi, kesehatan, serta lingkungan (Balley, et al, 1977). Sruktur kimia kitosan dapat

dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Struktur Kimia Kitosan (Muzzarelli, 1995).

Struktur kitin dan kitosan dapat dilihat pada gambar 3.

Page 12: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

12

Gambar 1. Struktur Kitin dan Kitosan (Pillai et al., 2009)

Proses ekstraksi kitin yang dilakukan pada praktikum kali ini dilakukan dengan bahan

baku limbah kulit udang yang telah dipisahkan dari kepalanya. Limbah kulit udang yang

digunakan memiliki keseragaman dari segi jenis, warna, dan ukuran karena berasal dari

tempat pembelian yang sama. Untuk mengekstraksi kitin, limbah kulit udang harus

mengalami tahap demineralisasi dan deproteinasi. Sedangkan untuk mendapatkan

kitosan, kitin yang telah didapat sebelumnya harus diproses lebih lanjut yakni proses

desasetilasi. Menurut Kaya (2014) kitosan dapat digunakan dalam kromatografi lapis

tipis untuk pemisahan asam nukleat ulkus diabetes juga menunjukkan respons langsung

terhadap kitosan. Menurut Jothi, (2013) kitosan dapat berguna untuk menghapus tanin

dan deacidify ekstrak kopi yang digunakan dalam industri kopi dan klarifikasi dari

minuman seperti anggur, bir dan jus buah dan ditekan atau diekstrak sayuran

difermentasi atau tidak difermentasi. Menurut Wieczorek (2014) kitin lebih banyak

daripada chitosan di alam. Misalnya, dengan beberapa pengecualian kitin terdapat di

dalam setiap jamur, sedangkan kitosan hanya ditemukan di Zygomycetes, menunjukkan

bahwa komunitas mikroba yang lebih rentan untuk menurunkan kitin dari chitosan

dalam tanah.

Bahan baku yang digunakan dalam praktikum ini adalah cangkang/kulit udang yang

dikeringkan. Dijelaskan oleh Robert, (1992) bahwa cangkang atau karapas udang

merupakan limbah yang dapat mencemari lingkungan jika tidak dimanfaatkan atau

diolah. Pengolahan cangkang udang yang dapat memberi nilai tambah dapat dilakukan

dengan menjadikannya sebagai serbuk yang kemudian diolah lebih lanjut menjadi kitin

Page 13: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

13

dan kitosan yang merupakan bahan industry bernilai ekonomis tinggi. Menurut

Mangranov (2003) bahwa kulit udang yang merupakan sumber kitin yang mengandung

15-20% kitin, 25-40% protein, dan 45-50% kalsium karbonat. Jumlah kandungan

tersebut berdasarkan dari jenis udang dan habitatnya. Purwaningsih (1994)

menambahkan bahwa limbah udang bisa dimanfaatkan menjadi produk lanjut yang

mempunyai nilai ekonomis tinggi, misalnya tepung ikan untuk pakan ternak dan flavor

udang. Produk-produk tersebut dapat digunakan untuk keperluan kosmetika, industry

pangan, pertanian, dan pengelolaan lungkungan. Teknologi proses produksi untuk

memperoleh kitin dilakukan melalui proses deproteinase, delipidasi, dan demineralisasi

(penghilangan protein, lemak, dan mineral dari kulit atau cangkang udang), sehingga

diperoleh kitin.

Produksi kitin dan kitosan dapat dilakukan dalam tiga tahapan seperti : (1) tahap

deproteinasi, penghilangan protein; (2) tahap demineralisasi, penghilangan mineral; dan

(3) tahap depigmentasi, pemutihan. Deproteinasi menggunakan natrium hidroksida lebih

sering digunakan, karena lebih mudah dan efektif (Austin, 1981). Pada pemisahan

protein menggunakan natrium hidroksida (NaOH), protein di ambil ekstraknya sebagai

natrium proteinat yang larut. Biasanya larutan NaOH 2-3% dengan suhu 63-65C

dengan waktu ekstraksi 1-2 jam sehingga bisa mengurangi kadar protein didalam kulit

udang secara efektif dan efisien (Knorr, 1984). Mineral kalsium karbonat pada kulit

udang mudah dipisahkan daripada protein, karena garam anorganik ini terikat secara

fisika. Menurut Knorr (1984) asam klorida (HCl) dengan konsentrasi lebih dari 10%

dapat secara efektif melarutkan kalsium sebagai kalsium klorida. Proses demineralisasi

dengan menggunakan asam klorida sampai CO2 yang terbentuk hilang kemudian

didiamkan 24 jam pada suhu kamar. Penggunaan asal klorida (HCl) sebesar 0,75 N, 1

N, dan 1,25 N sudah sesuai dengan pustaka diatas dimana fungsinya sebagai pelarut

kalsium sebagai kalsium klorida.

1.1. Pembuatan Kitin

Menurut Knorr (1984) untuk mengisolasi kitin dan kitosan dari sampel meliputi 3 tahap,

yaitu tahap deproteinasi, tahap demineralisasi, dan tahap deasetilasi

Page 14: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

14

1.1.1. Demineralisasi

Sebelum dilakukannya proses demineralisasi, proses yang harus dilakukan sebelumnya

adalah proses persiapan sampel. Proses persiapan sampel ini dilakukan dengan mencuci

limbah kulit udang yang akan digunakan untuk pembuatan kitin dan kitosan ini

menggunakan air mengalir. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang

ada pada kulit udang yang akan digunakan dimana kotoran tersebut dapat mencemari

ekstrak kitin yang dihasilkan. Setelah proses pencucian dengan air mengalir, kulit udang

tersebut kemudian dicuci dengan menggunakan air panas sebanyak dua kali pencucian.

Pencucian kulit udang dengan air panas ini bertujuan untuk proses sterilisasi yang

mengakibatkan mikroorganisme-mikroorganisme kontaminan yang berada pada kulit

udang bisa dihilangkan. Setelah pencucian dengan air panas sebanyak 2 kali, lalu kulit

udang tersebut dikeringkan selama beberapa jam. Proses pengeringan dengan ini

bertujuan untuk membuat air panas yang masih berada pada kulit udang dapat

dihilangkan, sehingga kadar air yang terletak pada kulit udang tersebut dapat dikurangi

sehingga menghasilkan produk kulit udang yang kering (Prasetyo, 2006).

Pencucian kulit udang dengan air panas ini bertujuan untuk proses sterilisasi dari

mikroorganisme. Proses pengeringan dengan ini bertujuan untuk membuat air panas

yang masih berada pada kulit udang dapat dihilangkan, sehingga kadar air yang terletak

pada kulit udang tersebut dapat dikurangi sehingga menghasilkan produk kulit udang

yang kering (Prasetiyo, 2006). Cha & Chinnan (2004) menambahkan bahwa

pengeringan dapat bertujuan untuk mengurangi kadar air pada kulit udang dan agar

mempermudah proses pengecilan ukuran. Setelah itu, dikeringkan kembali dan kulit

udang dihancurkan menjadi serbuk kemudian diayak dengan ayakan 40-60 mesh hingga

didapatkan serbuk sebanyak 10 gram per kelompok. Penghancuran ini bertujuan untuk

memperluas permukaan bahan sehingga pelarut yang digunakan dapat melakukan

kontak dengan serbuk secara maksimal (Bastaman, 1989). Penggunaan ayakan dengan

ukuran tersebut sesuai dengan teori Prasetiyo (2006) bahwa bahan yang sudah kering

kemudian digiling sehingga menghasilkan serbuk ukuran 40-60 mesh.

Bastaman (1989) mengatakan bahwa kulit udang mengandung mineral sebanyak 30

hingga 50% dari berat keringnya dimana mineral utama yang ada pada kulit udang

Page 15: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

15

adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Mineral yang ada pada kulit udang harus

dipisahkan terlebih dahulu sebelum dilakukannya proses ekstraksi kitin dimana

komponen mineral tersebut dapat dilarutkan dengan penambahan asam encer seperti

misalnya HCl, H2SO4, atau asam laktat. Ca3(PO4)2 danCaCO3 merupakan mineral yang

paling banyak ditemukan dalam kitin yang masih kasar (impurities chitin) dimana

dengan penambahan HCl akan mengakibatkan kerusakan pada permukaan biopolimer

kitin. Reaksi kerusakan kitin akibat penambahan HCl adalah sebagai berikut:

HCl (aq) H+(aq) + Cl-(aq)

H+(aq) + H2O H3O+(aq)

Ca3(PO4)2(s) + 2 H3O+(aq) 3 Ca2+(aq) + 2 H3PO4(aq) + O2(g)

CaCO3(s) + 2 H3O+(aq) Ca2+(aq) + CO2(g) + 3 H2O(l)

(Robert, 1992).

Setelah proses penambahan HCl, selanjutnya kitin tersebut dipanaskan pada suhu 90oC

dengan diaduk secara terus menerus selama 1 jam. Proses pemanasan selama 1 jam ini

berfungsi untuk mempercepat proses perusakan mineral. Sedangkan proses pengadukan

yang dilakukan bersamaan dengan proses pemanasan ini bertujuan untuk menghindari

timbulnya gelembung-gelembung udara yang akibat proses pemisahan mineral selama

terjadinya proses demineralisasi (Puspawati et al., 2010). Gelembung-gelembung udara

merupakan dampak dari terbentuknya gas CO2 pada saat larutan HCl ditambahkan ke

dalam sampel pada proses perusakan mineral (demineralisasi). Reaksi yang terjadi pada

proses terbentuknya gelembung dari gas CO2ini adalah sebagai berikut:

CaCO3(s) + 2HCl(l) CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g).

(Robert, 1992)

Setelah proses pemanasan, selanjutnya kitin tersebut kemudian dicuci dengan air hingga

pH air tersebut menjadi netral dimana pH tersebut diuji dengan menggunakan kertas

lakmus. Setelah kitin tersebut mencapai pH netral (berwarna hijau), lalu kitin tersebut

dikeringkan dengan oven selama 24 jam. Adanya proses demineralisasi ini harus

dilakukan untuk menghilangkan garam-garam anorganik serta kandungan mineral yang

dikandung oleh kitin, terutama kandungan kalsium karbonat (CaCO3) (Hargono &

Haryani, 2004). Proses demineralisasi ini akan mengakibatkan kalsium karbonat beraksi

Page 16: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

16

dengan asam klorida sehingga membentuk kalsium klorida, asam karbonat, dan asam

fosfat yang merupakan senyawa yang larut dengan pelarut polar seperti air sedangkan

residu yang tidak larut dengan pelarut polar (air) merupakan senyawa kitin yang telah

terekstrak. Karena mineral yang ada pada kitin terlarut dengan air, maka diperlukannya

proses penyaringan dalam proses penetralan pH ini sehingga hanya residu kitin saja

yang tersisa (Bastaman, 1989). Adanya proses pengeringan menggunakan oven berguna

untuk menghilangkan kadar air pada bahan sehingga bahan yang diperoleh menjadi

kering Bastaman, 1989). Setelah proses pengeringan tersebut, maka kitin yang

dihasilkan akan berbentuk serbuk dengan warna putih (Ramadhan et al., 2010). Hal ini

sesuai dengan praktikum yang dilakukan bahwa hasil yang didapatkan berwarna putih.

Setelah proses selesai dilakukan, bahan ditimbang berat keringnya, dan dihitung %

rendemen dengan rumus :

Rendemen Kitin I = berat keringberat basah I

x 100%

Rendemen kitin I yang dihasilkan setelah proses demineralisasi ini dapat dilihat pada

hasil pengamatan. Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa rendemen kitin I tertinggi

didapatkan oleh kelompok B2 dengan penambahan HCl 0,75 N. Sedangkan rendemen

kitin I terendah didapatkan oleh kelompok B4 dengan penambahan HCl 1 N. Hasil yang

didapatkan pada praktikum kali ini tidak sesuai dengan teori yang ada. Pada dasar teori

menurut Johnson dan Peterson (1974) dikatakan bahwa penambahan asam atau basa

dengan konsentrasi yang lebih tinggi dengan disertai proses atau waktu yang lebih

panjang,hal ini akan mengakibatkan lepasnya atau regannya ikatan protein dan mineral

dengan kitin serta bahan organik lainnya yang ada pada kulit udang. Dan apabila

konsentrasi HCl yang ditambahkan juga semakin tinggi maka rendemen kitin yang

dihasilkan juga akan semakin banyak pula. Hal ini dikarenakan adanya senyawa-

senyawa mineral pada serbuk udang akan semakin mudah untuk dilepaskan. Dari teori

tersebut dapat ditarik pernyataan bahwa penambahan HCl dengan konsentrasi yang

lebih besar akanmenghasilkan rendemen kitin I (setelah proses demineralisasi) yang

lebih banyak pula.

Page 17: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

17

Ketidaksesuaian teori dengan hasil pengamatan dapat juga disebabkan karena pada

proses penetralan, ada kitin yang terbawa dengan air sehingga nilai rendemennya bisa

menurun. Menurut Ramadhan et al. (2010), pelarut yang paling baik digunakan untuk

proses demineralisasi adalah HCl 1 N. Selain itu pada kelompok C2 juga dihasilkan

rendemen yang sangat tinggi dengan selisih yang jauh bila dibandingkan dengan

kelompok lain. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perlakuan pemanasan setelah

penambahan HCl dan ditambah dengan proses pengadukan. Menurut Bastaman (1989),

nilai rendemen tinggi disebabkan karena adanya perlakuan pemanasan setelah

penambahan HCl disertai proses pengadukan. Proses ini akan membantu pelepasan

mineral dalam kitin dan meningkatkan jumlah rendemen yang dihasilkan.

1.1.2. Deproteinasi

Setelah dilakukan proses demineralisasi, selanjutnya kitin tersebut diberikan perlakuan

deproteinasi. Pertama-tama, tepung yang sudah mengalami proses demineralisasi

dicampur dengan NaOH 3,5% dengan 6 : 1. Pengunaan NaOH, berdasarkan teori

Bastaman (1989) ekstraksi kitin melalui proses deproteinasi dapat menggunakan basa

kuat. Larutan tersebut selanjutnya diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu 90oC

selama 1 jam. Menurut Puspawati et al. (2010), penambahan basa NaOH pada proses ini

bertujuan untuk menghilangkan protein. Menurut Rogers (1986), penambahan basa

NaOH pada proses deproteinasi ini bertujuan untuk memisahkan kandungan protein

yang ada pada kitin. Menurut Reece & Mitchell (2003) dan Puspawati & Simpen

(2010), penambahan NaOH berfungsi untuk menghilangkan protein. Adanya tahapan

pemanasan untuk menguapkan air dan mengkonsentrasikan NaOH sedangkan

pengadukan dapat membantu pelarutan NaOH (Rogers, 1986). Setelah itu dilakukan

proses pendinginan lalu kitin dicuci dengan air hingga pHnya netral. Rogers (1986)

mengatakan bahwa netralisasi akan berpengaruh terhadap sifat penggembungan kitin

dengan alkali yang akan menyebabkan proses efektivitas ikatan hidrolisis basa terhadap

gugus asetamida pada rantai kitin akan semakin baik. Pada tahap pencucian ini

digunakan kain saring yang bertujuan untuk memperoleh residu yang tidak tersaring

yang telah memiliki pH netral (Puspawati & Simpen, 2010).

Page 18: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

18

Proses pemanasan pada deproteinasi memiliki fungsi yang sama dengan pemanasan dan

pengadukan yang ada pada tahap demineralisasi yaitu untuk menguapkan air dan

mengkonsentrasikan NaOH, sehingga kitin yang dihasilkan lebih maksimal. Proses

pengadukan akan membantu pelarutan NaOH sehingga proses deproteinasi dapat

berjalan dengan baik. Setelah itu dilakukan proses pendinginan lalu kitin dicuci dengan

air hingga pHnya netral. Proses penetralan ini dilakukan seperti pada proses

demineralisasi. Proses netralisasi akan berpengaruh terhadap sifat penggembungan kitin

dengan alkali. Hal ini akan menyebabkan efektivitas proses hidrolisis basa terhadap

gugus asetamida pada rantai kitin akan semakin baik (Rogers, 1986).

Kitin yang sudah netral selanjutnya dikeringkan dengan oven dengan suhu 80oC selama

24 jam. Dalam deproteinasi, larutan NaOH akan terionisasi dalam air dan membentuk

ion natrium dan ion hidroksida. Jika larutan tersebut ditambahkan secara perlahan-lahan

ke dalam larutan asam, maka setiap ion hidroksida akan bereaksi dengan ion hidrogen

membentuk molekul air. Saat ion hidrogen tetap ada di dalam larutan maka larutan akan

bersifat asam. Namun, jika ion hidroksida yang ditambahkan sama dengan jumlah ion

hidrogen maka larutan menjadi netral (Rogers, 1986). Setelah proses pengeringan

tersebut, maka kitin yang dihasilkan akan berbentuk serbuk dengan warna putih

(Ramadhan et al., 2010). Hal ini sesuai dengan praktikum yang dilakukan bahwa hasil

yang didapatkan berwarna putih. Tujuan pengeringan di oven yaitu sama dengan proses

demineralisasi yaitu untuk menghilangkan kadar air pada bahan sehingga bahan yang

kering (Bastaman, 1989). Setelah proses pengeringan selesai dilakukan, bahan

ditimbang berat keringnya. Dan didapatkan produk kitin, kemudian dihitung %

rendemen denga rumus :

Rendemen Kitin II = berat kitin

berat basah II x 100%

Proses deproteinasi bertujuan untuk memisahkan protein dari kitin. Pada praktikum ini,

proses deproteinasi dilakukan setelah demineralisasi. Langkah ini sesuai seperti teori

Alamsyah et al. (2007) yang mengatakan jika isolasi kitin melalui tahap demineralisasi-

deproteinasi akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak dibandingkan dengan

tahap isolasi kitin dengan tahap deproteinasi-demineralisasi. Hal ini disebabkan karena

mineral akan membentuk pelindung yang keras pada kulit udang. Pada umumnya

Page 19: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

19

mineral memiliki struktur yang lebih keras dibandingkan protein, sehingga jika mineral

sudah dihilangkan terlebih dahulu maka proses deproteinasi dapat berlangsung lebih

optimal karena pelindung dari mineral sudah dihilangkan.

Berdasarkan tabel 1 pada hasil pengamatan dapat dilihat rendemen kitin II hasil

deproteinasi. Rendemen kitin tertinggi didapatkan oleh kelompok B3 yaitu sebesari

50,00% sedangkan rendemen kitin terendah didapatkan oleh kelompok B4 yaitu sebesar

22,22%. Pada umumnya rendemen kitin yang berasal dari kulit udang akan

menghasilkan rendemen kitin lebih dari 20% (Puspawati et al., 2010). Hal ini sesuai

dengan hasil praktikum bahwa semua hasil yang didapatkan lebih dari 20% dapat dilihat

pada table 1. Berdasarkan teori Fennema (1985) dapat dinyatakan bahwa proses

deproteinasi dengan NaOH yang bersifat basa akan mengoptimalkan proses

penghilangan mineral dan khususnya komponen protein yang berada pada kitin tersebut.

Hal ini bisa saja mengakibatka massa rendemen kitin mengalami penurunan. Jika dilihat

pada hasil pengamatan, semua kelompok sudah sesuai dengan teori tersebut. Hasil

rendemen kitin II dari semua kelompok memiliki nilai yang lebih kecil apabila

dibandingkan dengan rendemen kitin I.

Faktor-faktor yang menyebabkan berhasil atau tidaknya pembuatan kitin antara lain

jenis bahan baku yang digunakan, serta proses ekstraksi kitin yang dibagi menjadi dua

metode yakni proses demineralisasi dan proses deproteinasi. Kitin dapat diekstrak baik

dengan secara kimiawi maupun secara enzimatis. Faktor lain yang mempengaruhi

kualitas kitin dipengaruhi oleh tahapan dan kondisi proses yang di dalamnya termasuk

lamanya proses pengolahan, suhu pengeringan yang digunakan, konsentrasi zat kimia

yang ditambahkan, dan pH saat proses pengekstrakan kitin (Laila & Hendri, 2008).

Dengan semakin lama proses pemanasan (pengeringan), maka hal ini Semakin lama

proses pemanasan yang dilakukan akan menyebabkan denaturasi protein, sehingga

protein yang terlarut berkurang banyak. Namun, apabila pemanasan dilakukan dalam

waktu yang lebih singkat, hal ini mengakibatkan kandungan protein yang terlarut

menjadi lebih rendah karena protein yang ada di dalam kitin tersebut belum larut

sepenuhnya (Winarno, 1997).

Page 20: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

20

1.1.3. Deasetilasi

Proses deasetilasi merupakan proses pengubahan kitin menjadi kitosan. Setelah kulit

udang melalui proses pembuatan kitin (demineralisasi dan deproteinasi), maka kitin

yang telah dihasilkan tersebut diberikan perlakuan lanjutan sehingga terbentuk senyawa

turunannya, yakni kitosan. Proses ekstraksi kitosan dari kulit udang sendiri terbagi

menjadi tiga tahap, yakni tahap demineralisasi dan deproteinasi yang merupakan tahap

pembuatan kitin, serta deasetilasi yang akan mengubah senyawa kitin yang telah

terbentuk sebelumnya menjadi senyawa kitosan (Robert, 1992).

Transformasi senyawa kitin menjadi senyawa kitosan pada tahap deastilasi ini sendri

dilakukan dengan langkah penghilangan gugus asetil yang ada pada kitin menjadi gugus

amina yang ada pada kitosan (Ramadhan et al., 2010). Mutu kitosan yang dihasilkan

digambarkan dengan persentase gugus asetil yang bisa dihilangkan dari rendemen kitin

sebelumnya maupun kitosan tersebut. Standar mutu kitosan yang menilai berdasarkan

persentase gugus asetil yang bisa dihilangkan ini bernama dengan derajat deasetilasi.

Dengan semakin tingginya derajat deasetilasi dari kitosan yang dihasilkan, hal ini

menandakan bahwa gugus asetil yang dimiliki kitosan tersebut semakin rendah sehingga

mengakibatkan interaksi antar ion-ion dan ikatan hidrogennya bertambah kuat (Knoor,

1984).

Azhar et al. (2010) menambahkan bahwa, Tujuan dari proses deasetilasi ini adalah

untuk memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil dengan gugus nitrogen yang

terletak pada gugus asetamida kitin untuk diubah menjadi gugus amina (–NH2) yang

merupakan bagian dari senyawa kitosan yang akan dihasilkan. Kitin dapat diubah

menjadi kitosan dengan cara mengubah gugus asetamida (–NHCOCH3) yang dimiliki

oleh kitin menjadi gugus amina (–NH2) yang nantinya dimiliki oleh kitosan. Berikut ini

merupakan gambar dari proses pelepasan gugus asetil pada asetamida kitin

menghasilkan gugus amina terdeasetilasi yang dimiliki oleh kitosan.

Page 21: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

21

Gambar 4. Pengubahan gugus asetil pada gugus asetamida kitin (Azhar et al., 2010)

Kitosan adalah senyawa yang memiliki banyak kegunaan pada bidang pangan, yang

salah satunya dapat digunakan sebagai bahan antimikroba. Kemampuan antimikroba

yang dimiliki oleh kitosan ini dikarenakan kitosan mengandung enzim lysosim dan

gugus aminopolisakarida yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba tertentu.

Kemampuan antimikroba kitosan dipengaruhi oleh konsentrasi pelarut kitosan dimana

antimikroba yang menggunakankitosan ini efektif untuk menghambat pertumbuhan dari

berbagai macam bakteri dan kapang (Cahyaningrum, 2007).

Proses deasetilasi dimulai dengan penambahan NaOH kepada kitin yang telah melalui

proses demineralisasi dan deproteinasi. Perbandingan kitin dengan NaOH yang

ditambahkan adalah 20:1 dimana konsentrasi NaOH yang ditambahkan untuk setiap

kelompok berbeda-beda.Untuk kelompok B1 dan B2 NaOH yang digunakan adalah

NaOH dengan konsentrasi 40%, sedangkan untuk kelompok B3, B4, dan B5

menggunakan NaOH dengan konsentrasi 50%. Konsentrasi NaOH yang digunakan

sesuai dengan teori Johnson & Peniston (1982) bahwa dengan penggunaan senyawa

alkali yang konsentrasi tinggi (¿ 40%) maka berguna untuk memutuskan ikatan antara

rantai gugus karboksil dengan atom nitrogen. Selain itu bertujuan untuk membantu

proses enzim mendeasetilasi dengan memecah susunan kristalin kitin yang rapat

(Martinou et al., 1995). Menurut teori Mekawati et al., (2000) Semakin tinggi

konsentrasi NaOH maka akan menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang

tinggi pula karena gugus fungsional amino yang mensubstitusi gugus asetil pada kitin

dalam larutan akan semakin aktif, sehingga proses deasetilasi yang dilakukan akan lebih

optimal. Penambahan NaOH dengan konsentrasi sekitar 50% ini sudah sesuai dengan

teori dari Hirano (1989) yang menyatakan bahwa struktur kristal kitin panjang memiliki

Page 22: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

22

ikatan yang kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil, sehingga di proses deasetilasi

ini digunakan larutan natrium hidroksida (NaOH) dengan konsentrasi 40-50% dan suhu

yang tinggi untuk mengubah struktur kitin menjadi struktur kitosan.

Penambahan NaOH ini bertujuan untuk merubah konformasi kitin yang sangat rapat

menjadi renggang, sehingga enzim yang akan menguraikan lebih mudah masuk untuk

mendeasetilasi polimer dari kitin. Alkali (NaOH) dengan konsetrasi yang tinggi ini akan

memutuskan ikatan antara gugus karboksil dengan gugus nitrogen pada kitin (Martinou,

1995). Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan pada proses deasetilasi, hal

ini akan menhasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi pula. Hal ini

dikarenakan gugus fungsional amino yang mensubstitusi gugus asetil pada kitin dalam

larutan tersebut menjadi semakin aktif, sehingga proses deasetilasi yang dilakukanakan

lebih optimal. Sedangkan penggunaan suhu tinggi pada poses deasetilasi

iniakanmengakibatkan gugus asetil terlepas dari struktur kitin dan gugus amina pada

struktur kitin akan berikatan dengan gugus hidrogen yang memiliki muatan positif

sehingga membentuk gugus amina bebas (Mekawati et al., 2000).

Setelah proses penambahan larutan alkali (NaOH) tersebut, tahap yang termasuk di

dalam proses diasetilasi selanjutnya adalah dilakukan pengadukan selama 1 jam dan

didiamkan selama 30 menit yang bertujuan agar bubuk kitosan dapat mengendap secara

maksimal pada bagian bawah (Rogers, 1986). Kemudian dipanaskan selama 1 jam pada

suhu 90oC. Suhu yang digunakan pada proses pemanasan dan pengadukan ini juga akan

berpengaruh terhadap derajat deasetilasi kitosan yang terbentuk. Dimana semakin tinggi

suhu yang diaplikasikan maka derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk akan

meningkat. Tujuan dari pemanasan ini sendiri adalah untuk meningkatkan derajat

deasetilasi dari kitosan yang terbentuk. Sedangkan proses pengadukan yang dilakukan

bersamaan dengan proses pemanasan ini berfungsi untuk meratakan kitin yang

digunakan sebagai bahan dengan larutan NaOH yang ditambahkan sehingga proses

deasetilasi berjalan lebih optimal (Puspawati et al., 2010).

Setelah melalui proses pemanasan dan pengadukan, kitin tersebut kemudian disaring

dan dicuci dengan air mengalir hingga pH netral. Hal ini bertujuan untuk memisahkan

Page 23: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

23

rendemen kitosan yang terbentuk dengan komponen-komponen lainnya. Proses

pencucian dengan air mengalir ini bertujuan untuk menetralkan larutan kitosan yang

terbentuk. Setelah melalui proses tersebut, kitosan yang telah didapatkan kemudian

dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 70oC selama 24 jam. Penggunaan

suhu dalm praktikum ini didukung oleh Puspawati & Simpen (2010) bahwa semakin

tinggi suhu maka derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk akan meningkat.

Setelah proses pengeringan tersebut, maka kitosan yang dihasilkan akan berbentuk

serbuk dengan warna putih kekuningan (Ramadhan et al., 2010). Hal ini sesuai dengan

praktikum yang dilakukan bahwa hasil yang didapatkan berwarna putih kekuningan.

Hasil kitosan dapat dihitung dengan rumus : Rendemen Kitosan = berat kitosan

berat basah III x

100%

Berdasarkan tabel 1 pada hasil pengamatan dapat dilihat mengenai rendemen kitosan

setelah proses deasetilasi. Rendemen kitosan tertinggi didapatkan oleh kelompok B3

yaitu sebesar 50,00% dengan penambahan NaOH 50%, sedangkan rendemen kitosan

terendah didapatkan oleh kelompok B2 dan B5 yaitu sebesar 0% dengan penambahan

NaOH 40% dan 50%. Hal ini kurang sesuai dengan teori dari Hong et al. (1989) yang

menyatakan bahwa, penggunaan NaOH dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan

menghasilkan kitosan dengan rendemen yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan

penambahan NaOH akan mengakibatkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan

sehingga berat molekul dari kitosan akan menurun. Kualitas dari produk kitosan yang

dihasilkan sangat ditentukan oleh derajat deasetilasinya dimana derajat deasetilasi pada

proses pembuatan kitosan ini dipengaruhi oleh jenis dan kualitas bahan dasar yang

digunakan dan kondisi proses yang dilakukan (konsentrasi larutan alkali, suhu, dan

waktu) (Suhardi, 1992). Kesalahan yang terjadi dalam praktikum dapat disebabkan

karena proses penetralan menggunakan air secara berulang-ulang menyebabkan

sebagian kitin maupun kitosan ikut terbuang bersama air sehingga mempengaruhi nilai

rendemen.

Page 24: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

24

Page 25: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

4. KESIMPULAN

Limbah udang merupakan sumber yang kaya akan kitin, yaitu kurang lebih 30% dari

berat kering.

Kitosan adalah hasil proses deasetilasi dari senyawa kitin yang banyak terdapat

dalam kulit luar hewan golongan Crustaceae seperti udang dan kepiting.

Kitin berbentuk serpihan dengan warna putih kekuningan, memiliki sifat tidak

beracun dan mudah terurai secara hayati (biodegradable), tidak larut dalam air,

larutan basa encer dan pekat, larutan asam encer dan pelarut organic tetapi larut

dalam asam mineral pekat, seperti asam klorida, asam sulfat, asam nitrat dan asam

pospat.

Proses pembuatan kitin meliputi beberapa tahapan utama, yaitu demineralisasi dan

deproteinasi.

Kitin (C8H13NO5)nadalah biopolimer yang dirangkai dari monomer N-asetil-D-

glukosamin yang saling berikatan satu sama lain dengan ikatan β (1,4).

Kitosan adalah produk turunan dari kitin yang merupakan senyawa dengan rumus

kimia (2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa).

Proses pembuatan kitin meliputi tahap demineralisasi dan tahap deproteinasi.

Kitosan dibuat dari kitin yang telah melalui tahap deasetilasi.

Perubahan kitin menjadi kitosan dilakukan dengan cara menghilangkan gugus asetil

yang dimiliki oleh kitin menjadi gugus amina yang ada pada kitosan.

Kitosan mempunyai sifat larut dalam asam dan viskositas yang dimilikinya

tergantung dari derajat diasetilasi dan derajat degradasi polimer.

Penambahan larutan HCl pada proses demineralisasi bertujuan untuk melarutkan

kandungan mineral yang dimiliki oleh kulit udang.

Semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan maka rendemen kitin yang

dihasilkan akan semakin tinggi pula.

Semarang, 2 Oktober 2015

Praktikan, Asisten Dosen

Robby Chaniago Tjan, Ivana Chandra

25

Page 26: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

26

(13.70.0179)

Page 27: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

5. DAFTAR PUSTAKA

Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_ekstraksi_kitin1.pdf.Diakses tanggal 29 September 2015.

Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri. http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf. Diakses tanggal 29 September 2015.

Aranaz, Inmaculada, Marian M., Ruth H., Ines P., Beatriz M., Niuris A., Gemma G. & Angeles H. (2009). Functional Characterization of Chitin and Chitosan. http://benthamscience.com/ccb/openacsesarticle/ccb3-2/0009CCB.pdf. Diakses tanggal 9 September 2014.

Austin, P.R, C.J. Brine, J.E. Castle and J.P. Zikakis. (1981). Chitin New Facets of Research. Science 212 : 749

Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina.(2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang.EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.

Balley, J.E., & Ollis, D.F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw Hill Kogakusha. Tokyo.

Bastaman, S., 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shell. The Queen’s University of Befast. England.

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98. Diakses tanggal 29 September 2015.

Cha D.S. and M.S. Chinnan. (2004). BiopolymerBased Antimikrobial Packaging: A Review. Critical Rev. Food Sci.Nutr. 44:223-237.

Czechowska-Biskup R., Diana J., Bozena R., Piotr U., Janusz M. R.. (2012). Determination of Degree of Deacetylation of Kitosan-Comparision of Methods. Progress On Chemistry And Application Of Kitin And Its...,Volume XVII.

Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

27

Page 28: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

28

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.

Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas Indonesia, Jakarta.

Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Islam Md.M , Shah Md. M., M. M.Rahmana, Md. Ashraful I.M, A. A. Shaikh, S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01.

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Jothi N., et all. (2013). Identification and Isolation of Chitin and Chitosan from Cuttle Bone of Sepia prashadi Winckworth, 1936. Global Journal of Biotechnology & Biochemistry. India

Kaya M., et all. (2014). Bat guano as new and attractive chitin and chitosan source. Frontiers of Zoology. Turkey

Knorr, D. 1973. Use of Chitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85

Kumirska J., et all. (2010). Application of Spectroscopic Methods for Structural Analysis of Chitin and Chitosan. University of Gdansk. Poland

Linawati, H. 2006. ”Chitosan Bahan Alami Pengganti Formalin”. Departemen Teknologi Perairan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FKIK-IPB). http://www.kompas.com/kesehatan/news/0601/07/085109.htm. Diakses tanggal 9 September 2014.

Page 29: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

29

Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf . Diakses pada tanggal 29 September 2015.

Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.Diakses tanggal 29 September 2015 .

Martinou, A., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. 1995. Chitin deacetylation by enzymatic means: monitoring of deacetylation processes. Carbohydrate Res 273:235-242.

Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000).Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.

Muzzarelli, RA.A., (1977). Chitin. Faculty of Medicine. University of Ancona. Ancona, Italy.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. (2009). Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince.

Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 29 September 2013.

Purwaningsih. (1994). Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.

Ramadhan L.O.A.N., C. L. Radiman, D.Wahyuningrum, V. Suendo,1 L. O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan.

Page 30: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

30

Ratna, A.W. & Sugiyani S. (2006). Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso. http://eprints.undip.ac.id/1718/1/makalah_penelitian_fix.pdf. Diakses tanggal 2 9 September 2015.

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Ed. kelima-jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.

Saules. J. E., Krzysztof N. Waliszewski, Miguel A. Garcia, &Ramon Cruz-Camarillo1. (2005). The Use of Crude Shrimp Shell Powder for Chitinase Production by Serratia marcescens WF. www.ftb.com.hr/44-95.pdf

Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56Vol VII Nomor 1.

Wieczore A. S., et all. (2014). Microbial responses to chitin and chitosan in oxic and anoxic agricultural soil slurries. Published in Biogeosciences. Germany

Winarno,F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Zakaria. Z, et all. (2012). Effect of Degree of Deacetylation of Chitosan on Thermal

Stability and Compability of Chitosan Polyamide Blend. Universitas Teknologi

Malaysia. Malaysia

Page 31: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

31

Page 32: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus Perhitungan Rendemen

Rendemen Kitin I = berat keringberat basah

×100%

Rendemen Kitin II = berat keringberat basah

×100 %

Rendemen Kitosan =

beratkitosanberatkitin

×100 %

Perhitungan rendemen

Kelompok B1

Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah

× 100 %

Rendemen Kitin I= 3 gram10 gram

× 100 %

Rendemen Kitin I=30,00 %

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah

×100%

Rendemen Kitin II=1,5 gram4,3 gram

×100 %

Rendemen Kitin II=34,88 %

Rendemen Kitosan

Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah

×100 %

Rendemen Kitosan=0,5 gram2,0 gram

×100 %

32

Page 33: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

33

Rendemen Kitosan=25,00 %

Kelompok B2

Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah

× 100 %

Rendemen Kitin I= 4,5 gram12,5 gram

× 100 %

Rendemen Kitin I=36,00 %

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah

×100%

Rendemen Kitin II=0,5 gram1,7 gram

×100 %

Rendemen Kitin II=29,4 %

Rendemen Kitosan

Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah

×100 %

Rendemen Kitosan=0 gram0 gram

×100 %

Rendemen Kitosan=0 %

Kelompok B3

Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah

× 100 %

Page 34: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

34

Rendemen Kitin I=3,5 gram11 gram

× 100 %

Rendemen Kitin I=31,82 %

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah

×100%

Rendemen Kitin II=1,5 gram3 gram

×100 %

Rendemen Kitin II=50,00 %

Rendemen Kitosan

Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah

×100 %

Rendemen Kitosan=0,1 gram1 gram

×100 %

Rendemen Kitosan=50,00 %

Kelompok B4

Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah

× 100 %

Rendemen Kitin I= 3,5 gram12,5 gram

× 100 %

Rendemen Kitin I=28 %

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah

×100 %

Page 35: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

35

Rendemen Kitin II= 1 gram4,3 gram

×100 %

Rendemen Kitin II=22,22 %

Rendemen Kitosan

Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah

×100 %

Rendemen Kitosan=0,5 gram2,6 gram

×100 %

Rendemen Kitosan=19,23 %

Kelompok B5

Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin I=Berat keringBerat basah

× 100 %

Rendemen Kitin I= 3gram10,5 gram

× 100 %

Rendemen Kitin I=28,57 %

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitin II= Berat keringBerat basah

×100%

Rendemen Kitin II=0,5 gram2,5 gram

×100 %

Rendemen Kitin II=20 %

Rendemen Kitosan

Rendemen Kitosan= Berat keringBerat basah

×100 %

Rendemen Kitosan= 0 gram0,5 gram

×100 %

Rendemen Kitosan=0 %

6.2. Laporan Sementara

Page 36: Kitin & Kitosan_Robby Chaniago_13.70.0179_B4_UNIKA Soegijapranata

36

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal