Upload
reed-jones
View
128
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Proses pembuatan kitin dan kitosan dari limbah udang pada praktikum Teknologi Hasil Laut dilakukan untuk menghasilkan produk lanjut yang memiliki nilai ekonomis tinggi dengan berbagai perlakuan konsentrasi larutan asam basa
Citation preview
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kitin dan Kitosan
Kel PerlakuanRendemen Kitin I (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
A1Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
30 10 21,765
A2Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
34 28,571 24,875
A3Kulit udang + HCl 1 N +
NaOH 3,5% + NaOH 50%20 30 16,462
A4Kulit udang + HCl 1 N +
NaOH 3,5% + NaOH 50%4 90 45,455
A5Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
30 40 10,355
A6Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
30 20 10,4
Dari Tabel 1 diatas diketahui bahwa perlakuan yang diberikan pada masing-masing
kelompok berbeda. Pada kelompok A1 dan A2 yang diberi perlakuan sama, yaitu
penambahan HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% diperoleh rendemen kitin I
berurutan sebesar 30% dan 34%; rendemen kitin II sebesar 10% dan 28,571%;
sedangkan rendemen kitosan sebesar 21,765% dan 24,875%. Pada perlakuan dengan
penambahan HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50% pada kelompok A3 dan A4
diperoleh rendemen kitin I berurutan sebesar 20% dan 4%; rendemen kitin II sebesar
30% dan 90%; sedangkan rendemen kitosan sebesar 16,462% dan 45,455%. Pada
perlakuan dengan penambahan HCl 1,25 + N; NaOH 3,5% + NaOH 60% kelompok A5
dan A6 diperoleh rendemen kitin I yang sama, yaitu sebesar 30%, rendemen kitin II
berurutan sebesar 40% dan 20%; sedangkan rendemen kitosan sebesar 10,355% dan
10,4%. Sehingga rendemen kitin I terbesar yaitu pada kelompok A2, sedangkan
rendemen kitin II dan kitosan terbesar yaitu pada kelompok A4.
1
2. PEMBAHASAN
Bahan yang digunakan dalam proses pembuatan kitin dan kitosan praktikum ini adalah
limbah udang. Menurut Indra (1994), udang merupakan salah satu golongan Crustaceae
yang dapat menghasilkan kitin, dimana sekitar 75% dari total berat dari udang atau
kepiting merupakan bagian yang tidak dimakan dan 20-58% dari total kering bagian
yang tidak dimakan itu akan diperoleh kitin. Selain itu, kitin juga dapat diperoleh dari
kulit kerang, paruh burung, serta tulang rawan (bagian tengah) cumi-cumi. Pemanfaatan
limbah udang untuk dijadikan kitin dan kitosan juga berguna untuk mengurangi
cemaran limbah. Limbah udang dapat mencapai 30% sampai 40% dari berat udang.
Limbah udang, terutama bagian cangkangnya masih banyak mengandung protein,
karbohidrat, dan mineral dan jika dibuang begitu saja, maka akan mengalami denaturasi
protein dan hidrolisis secara alami, sehingga dapat menimbulkan bau busuk,
meningkatkan BOD air. Sedangkan kadar kitin dalam berat udang, berkisar antara 60-
70% dan bila diproses menjadi kitosan menghasilkan yield 15-20%. Manjang (1993)
menambahkan bahwa bahwa limbah yang dihasilkan dari sebuah industri akan
menimbulkan pencemaran lingkungan dan limbah yang tidak dikelola dengan baik juga
dapat menjadi sumber kerugian bagi industri. Salah satu limbah yang dihasilkan dalam
industri pengolahan udang adalah kulit udang. Kulit udang ternyata dapat dimanfaatkan
dan memberikan keuntungan atau nilai ekonomis bagi perusahaan.
Muzzarelli (1985) menyatakan bahwa kitin merupakan kristal amorphous yang
berwarna putih, tidak berasa, tidak berbau, dan tidak dapat larut dalam air maupun
pelarut organik, namun kitin larut dalam asam mineral pekat, seperti asam klorida, asam
sulfat, asam nitrat, dan asam pospat. Suhardi, et al. (1992) menambahkan bahwa pada
umumnya kitin yang ada di alam tidak berada dalam keadaan bebas (sendiri), akan
tetapi berikatan dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen. Ormun (1992)
menyatakan bahwa kitin bersifat mudah mengalami terdegradasi secara biologis dan
tidak beracun. Bastaman (1989) juga mengungkapkan bahwa karakteristik dari kitin
yaitu berbentuk serpihan dengan warna putih kekuningan, memiliki sifat tidak beracun,
dan mudah terurai secara hayati. Peter (1995) mengungkapkan bahwa kitin dapat
digunakan sebagai bahan pendukung dari beberapa enzim, seperti papain, laktase,
2
3
kimotripsin, asam pospatase, dan glukosa isomerase yang dimanfaatkan oleh industri
pangan dan komestik. Menurut Muzzarelli (1985), struktur kimia kitin mirip dengan
selulosa, namun berbeda pada gugus yang terikat pada atom C2. Pada kitin gugus yang
terikat pada atom C2 adalah gugus asetamida sedangkan pada selulosa adalah OH.
Shahidi, et al. (1999) mengatakan bahwa kitin merupakan polimer ikatan (1-4) 2-
acetamido-2-deoxy β-D glucan yang dapat diekstrak dari kulit atau eksoskeleton
Arthropoda, seperti crustacea dan insect. Berdasarkan teori Wang, et al. (2010),
kandungan kitin dalam crustacea adalah sebesar 20%-60%, tergantung dari spesiesnya.
Menurut Balley & Ollis (1977), kitosan merupakan turunan dari kitin. Muzzarelli
(1977) menyatakan bahwa kitosan merupakan kopolimer dari N-acetyl glucosamine dan
hadir dalam bentuk homopolimer. Kitosan merupakan polisakarida dasar dengan berat
molekular yang tinggi dan berada pada dinding sel dari beberapa jamur, dan serangga.
Proses pembuatan kitosan dari kitin diungkapkan oleh Muzzarelli, et al. (1986), dimana
proses pembuatan kitosan melalui N-diasetilasi dari kitin dengan 40-50% basa cair pada
suhu 120-160oC. Kitosan merupakan senyawa tidak larut dalam air, larutan basa kuat;
sedikit larut dalam HCl, HNO3, 0,5% H3PO4; dan tidak larut dalam H2SO4. Balley &
Ollis (1977) menambahkan bahwa kitosan merupakan senyawa dengan rumus kimia
poli (2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa) yang dapat dihasilkan dengan proses hidrolisis
kitin menggunakan basa kuat. Menurut Kofuji, et al. (2005) kitosan merupakan produk
awal dari proses deasetilasi kitin yang memiliki sifat unik, sehingga dapat digunakan
dalam berbagai keperluan. Seperti kitin yang tidak beracun, menurut Cahyaningrum, et
al. (2007), kitosan juga merupakan produk alami yang tidak beracun dan berupa
polisakarida yang tidak larut air, serta merupakan biopolimer kationik yang dapat
didegradasi. Kitosan sangat mudah larut dalam asam organik (asam formiat, asam
asetat, dan asam sitrat). Kitosan sendiri memiliki beberapa sifat spesifik, yaitu bioaktif,
hidrofilik, biokompatibel, pengkelat, antibakteri, dapat terbiodegradasi dan mempunyai
afinitas yang besar terhadap enzim. Derajat deasetilasi mempengaruhi kelarutan yang
dimiliki oleh kitosan. Hal ini terjadi dikarenakan tahap deasetilasi akan memotong
gugus asetil pada kitin dan menyisakan gugus amina. Adanya H pada amina akan
memudahkan interaksi dengan air melalui ikatan hidrogen (Dunn et al., 1997).
Prasetyaningrum, et al. (2006) menambahkan pula bahwa kitosan dapat dihasilkan
4
dengan cara menghilangkan gugus asetil pada kitin, sehingga molekul ini dapat larut
dalam larutan asam (deasetilasi). Menurut Suhartono (1989), pelepasan gugus asetil dari
kitosan ini akan menyebabkan kitosan bermuatan positif yang mampu mengikat
senyawa bermuatan negatif, seperti protein, anion polisakarida, dan membentuk ion
netral.
Menurut Isa, et al. (2012) dalam jurnalnya yang berjudul “Extraction and
Characterization of Chitin from Nigerian Sources”, dijelaskan bahwa pada penelitian
dilakukan ekstraksi kitin dari empat sumber yang berbeda (kepiting, udang, udang
karang, dan periwinkle) yang berasal dari Nigeria melalui tahap demineralisasi dan
deproteinisasi. Kemudian masing-masing ekstrak kitin dilakukan analisis proksimat
dengan 2 metode, yaitu XRD (X-Ray Diffraction) dan SEM (Scanning Electron
Micrograph). Hasil analisa mengungkapkan bahwa kitin dengan hasil tertinggi didapat
pada udang, yaitu 8,15%; sedangkan ekstrak kitin terendah didapatkan dari periwinkle.
Dari analisa proksimat juga terlihat bahwa kitin dari udang memiliki kelembaban dan
protein tertinggi, yaitu sebesar 8,70% dan 4,16%. Analisis SEM menunjukkan bahwa
struktur pada kitin dari udang sangat seragam dengan bentuk pipih dan struktur kurang
padat, sedangkan pada permukaan kitin dari udang karang terdiri dari serat yang
membentuk jaringan benang paralel. Sedangkan analisis XRD menunjukkan bahwa
kitin dari udang lebih kristal daripada yang lain.
2.1. Cara Kerja
Pada praktikum ini, proses pembuatan kitosan terdiri dari 3 tahap, yaitu demineralisasi,
deproteinasi, dan deasetilasi. Hal ini sesuai dengan jurnal berjudul “Extraction of Chitin
and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros) Shell by Chemical Method” yang
dibahas oleh Naznin (2005) yang menyatakan bahwa ekstrak kitin dan kitosan dapat
diperoleh melalui proses demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Dalam penelitian
jurnal tersebut dijelaskan bahwa ekstrak kitin dan kitosan berasal dari cangkang udang
yang merupakan salah satu limbah dalam industri pengolahan udang. 40-45% dari
udang biasanya merupakan limbah yang sudah tidak dapat digunakan kembali. Namun
setelah diteliti, ternyata limbah udang mengandung biopolimer, kitin, kitosan, dan
protein yang dapat dimanfaatkan dan dijadikan sebagai produk yang bernilai ekonomis
5
tinggi. Oleh karena itu, dilakukan ekstraksi kitin dan kitosan dari limbah cangkang
udang melalui ketiga tahap tersebut.
2.1.1. Demineralisasi
Pada tahap demineralisasi, mula-mula limbah udang (kulit udang) dipersiapkan dan
dicuci dengan air mengalir, kemudian dikeringkan. Setelah kering, sampel dicuci
kembali menggunakan air panas sebanyak dua kali. Pencucian dengan air panas
bertujuan untuk memastikan tidak adanya kotoran yang menempel di kulit udang
sekaligus mematikan mikroorganisme yang ada. Setelah itu dikeringkan kembali dan
dihancurkan hingga membentuk serbuk, lalu dilakukan pengayakan dengan ayakan 40-
60 mesh. Tujuan dilakukannya pengeringan kedua adalah untuk menghilangkan sisa air
panas yang masih menempel pada kulit udang, sehingga kadar air pada kulit udang
secara keseluruhan akan berkurang dan kulit udang akan menjadi kering, sedangkan
menurut Muzzarelli, et al. (1997), penumbukan atau penghancuran menjadi serbuk
berfungsi agar proses selanjutnya berlangsung lebih cepat dan sempurna karena semakin
luas permukaan sampel, maka akan semakin banyak dan cepat penyerapan larutan alkali
/ pelarut yang akan diberikan.
Pada praktikum kali ini, kulit udang yang digunakan sudah dalam bentuk serbuk,
sehingga dapat digunakan secara langsung. Serbuk kulit udang kemudian ditimbang
sebanyak 5 gram (berat basah I). Selanjutnya ditambah dengan larutan HCl 0,75 N
untuk kelompok A1 dan A2; HCl 1 N untuk kelompok A3 dan A4; sedangkan untuk
kelompok A5 dan A6 ditambahkan HCl 1,25 N sebanyak 50 ml (serbuk kulit
udang:HCl = 1:10). Lalu dipanaskan di atas hotplate sambil diaduk selama 1 jam
setelah suhu mencapai 90oC. Setelah itu disaring dan diambil filtratnya. Filtrat
kemudian dicuci dengan air mengalir hingga pH menjadi netral (pH 7). Setelah itu,
dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC selama 1 malam. Tahap demineralisasi ini
sesuai dengan teori Suhardi (1993) yang mengungkapkan bahwa tahap demineralisasi
adalah tahap penghilangan mineral. Salah satu mineral yang dihilangkan adalah kalsium
karbonat dengan penambahan larutan asam klorida (HCl) encer pada suhu kamar.
Proses penghilangan kalsium karbonat diperlukan karena kulit udang mengandung
sekitar 30-50% (berat kering) mineral dan komposisi utamanya adalah kalsium karbonat
6
dalam jumlah besar dan kalsium fosfat dalam jumlah kecil. Oleh karena kandungan
mineral ini terlalu tinggi pada limbah kulit udang, maka digunakan suatu metode untuk
mengurangi jumlah mineral yang terkandung pada kulit udang. Proses demineralisasi ini
bertujuan untuk menghilangkan kandungan mineral yang biasanya banyak terdapat pada
bagian kulit dari udang. Penggunaan HCl juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Hendri, et al. (2007), dimana di antara 3 larutan asam (HNO3, HCl dan H2SO4)
yang digunakan pada tahap demineralisasi, larutan HCl memiliki % recovery tertinggi.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Austin, et al. (1981) yang menyatakan bahwa
penggunaan asam klorida efektif untuk melarutkan kalsium dalam bentuk kalsium
klorida, namun asam klorida juga dapat menyebabkan kitin mengalami depolimerisasi.
Hendri, et al. (2007) menambahkan bahwa proses pemisahan mineral ditunjukkan
dengan terbentuknya gas CO2 berupa gelembung-gelembung udara pada saat larutan
HCl ditambahkan ke dalam sampel. Pada saat praktikum diketahui bahwa gelembung-
gelembung ini muncul di permukaan larutan ketika kedua bahan tersebut dicampurkan.
Hal ini terjadi karena saat penambahan HCl, terjadi pelepasan CO2 dan terbentuk ion
Ca2+, ion H2PO4- yang terlarut dalam larutan berair sehingga menjadi CaCl2 yang akan
hilang ketika penyaringan.
Pada saat pemanasan, perlu dilakukan pengadukan yang bertujuan untuk
menghomogenkan larutan, sehingga pemanasan terjadi secara merata dan optimal pada
seluruh bagian larutan yang dipanaskan. Sedangkan menurut Puspawati & Simpen
(2010), pengadukan dilakukan untuk menghindari terjadinya luapan gelembung udara
yang dihasilkan selama proses demineralisasi. Pemasanan selama 1 jam sendiri
bertujuan untuk mencapai keadaan yang optimum bagi HCl dalam melarutkan mineral-
mineral pada proses demineralisasi ini. Hal ini didukung dengan pendapat Hendry
(2008) yang mengatakan bahwa proses pemanasan dan pengadukan selama 1 jam
bertujuan untuk menghilangkan gas CO2 yang terbentuk akibat proses pemisahan
mineral (demineralisasi). Kemudian larutan disaring untuk mendapatkan filtratnya saja
dan dicuci dengan air mengalir. Tujuan pencucian dengan air yang mengalir hingga pH
netral adalah menghilangkan sifat asamnya. Berdasarkan teori Mudasir, et al. (2008),
pencucian pada tahap demineralisasi dilakukan untuk mencegah terjadinya degradasi
7
produk selama proses pengeringan dan menghilangkan HCl yang masih tersisa dalam
residu karena jika masih terdapat HCl, maka HCl bereaksi dengan kalsium dan
membentuk suatu kompleks kalsium klorida, sehingga didapatkan mineral kitin dengan
berat molekul lebih tinggi. Pada praktikum ini, pengujian pH dilakukan dengan
menggunakan kertas lakmus hingga berwarna hijau muda sesuai dengan indikator yang
telah disediakan. Kemudian dikeringkan dalam oven selama 1 malam. Proses
pengeringan ini bertujuan untuk mengurangi kadar air dari kitin yang dalam prosesnya
melibatkan banyak air. Dengan proses pengeringan ini, maka akan diperoleh kitin
kering yang tidak mengandung mineral.
2.1.2. Deproteinasi
Tahap deproteinasi dilakukan untuk menghilangkan kandungan protein yang ada.
Menurut Purwaningsih (1994), limbah udang mengandung protein yang cukup tinggi,
yaitu sekitar 30%, maka diperlukan proses deproteinasi dengan tujuan untuk
menghilangkan kandungan protein tersebut. Pada tahap ini, hasil dari tahap
demineralisasi yang telah dikeringkan ditimbang (berat kering I). Kemudian
dicampurkan dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan pelarut dan serbuk sebesar 6 :
1. Menurut Martinou, et al. (1995), tujuan dari proses perendaman dalam larutan NaOH
adalah untuk mengubah bentuk kristalin kitin yang rapat, sehingga enzim lebih mudah
berpenetrasi untuk mendeasetilasi polimer kitin. Selain itu, perendaman juga dapat
melarutkan protein yang melekat pada tepung kulit udang tersebut. Rochima (2005)
menambahkan bahwa NaOH perlu ditambahkan untuk memutuskan ikatan antara
protein dan kitin, sehingga akan diperoleh kitin yang dapat diolah lebih lanjut.
Kemudian larutan tersebut dipanaskan kembali di atas hotplate pada suhu 90oC sambil
diaduk lagi selama 1 jam. Pemanasan yang dilakukan telah sesuai dengan teori dari
Moeljanto (1992) yang menyatakan bahwa dengan pemanasan, maka protein akan
terdenaturasi. Larutan yang telah dipanaskan selama 1 jam, kemudian didinginkan.
Tujuan dari proses pendinginan ini adalah agar kitin pada larutan dapat mengendap di
bawah, sehingga tidak terbuang saat pencucian (Rogers, 1986). Setelah itu dilakukan
penyaringan dan diambil filtratnya. Kemudian filtrat dicuci kembali dengan air mengalir
hingga dicapai pH netral. Pencucian hingga pH netral ini berfungsi untuk mencegah
supaya kitin tidak ikut teruapkan pada proses pengeringan pada oven. Hal ini
8
dikarenakan setelah pH netral, maka dilakukan penimbangan kembali untuk mengetahui
berat basah II dan di keringkan kembali di oven dengan suhu 80oC dan selama 1 malam.
Pengeringan ini bertujuan menguapkan air yang masih tersisa selama proses pencucian,
sehingga produk kitin akhir adalah berbentuk kering.
2.1.3. Deasetilasi
Tahap selanjutnya yang merupakan tahapan akhir adalah tahap deasetilasi. Menurut
Rahayu & Purnavita (2007), tujuan dari proses deasetilasi, yaitu untuk menghilangkan
gugus asetil dari kitin melalui pemanasan dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi
tinggi. Penggunaan larutan alkali pada suhu tinggi dibutuhkan agar gugus asetil
(CH3CHO-) pada gugusan asetil amino kitin terlepas. Gugus amino pada kitin ini akan
berikatan dengan gugus hidrogen yang bermuatan positif, sehingga membentuk gugus
amina bebas (-NH2) kitosan. Dengan adanya gugus ini, kitosan dapat mengadsorpsi ion
logam dengan membentuk senyawa kompleks (khelat). Knoor (1984) menerangkan
bahwa di dalam tahap deasetilasi ini, ada faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu
derajat asetilasi karena derajat deasetilasi mengindikasikan jumlah gugus asetil yang
hilang. Derajat deasetilasi itu sendiri dipengaruhi oleh konsentrasi dari larutan basa,
perbandingan jumlah larutan terhadap padatan, suhu, waktu, kondisi reaksi selama
deasetilasi. Semakin tinggi derajat deasetilasinya, maka tingkat kemurnian dari kitosan
yang dihasilkan semakin tinggi (bebas dari pengotor) dan tingkat kelarutannya
sempurna dalam asam asetat 1%.
Azhar, et al. (2010) menambahkan bahwa proses penghilangan gugus asetil (-CH3COO)
dari gugus asetamida (-NHCOCH3) kitin akan membentuk gugus amina (-NH2) disebut
dengan deasetilasi kitin. Mekanisme deasetilasi kitin ini akan terjadi pada larutan basa,
dimana di dalam larutan basa, karbon karbonil suatu ester dapat diserang oleh suatu
nukleofil yang baik tanpa protonasi sebelumnya, sehingga terjadi reaksi adisi yang
membentuk zat antara. Zat antara ini selanjutnya mengalami reaksi elimininasi,
sehingga gugus asetil pada asetamida kitin lepas membentuk asetat. Proses pelepasan
gugus asetil dari gugus asetamida kitin ini berhubungan dengan konsentrasi ion OH -
pada larutan. Konsentrasi OH- akan lebih besar pada larutan basa kuat. Oleh karena itu,
kekuatan basa akan mempengaruhi proses deasetilasi gugus asetil dari gugus asetamida
9
kitin. Kitosan dan kitosan memiliki karakteristik derajat deasetilasi yang berbeda, maka
itu derajat deasetilasi berperan sebagai indikator yang membedakan hasil dari proses
demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Derajat deasetilasi (DD) sebesar 40-100%
disebut sebagai kitosan, namun jika kurang dari 40% maka disebut kitin.
Tahap deasetilasi dimulai dengan menimbang kitin yang telah dikeringkan pada tahap
deproteinasi (berat kering II), kemudian ditambahkan larutan NaOH 40% untuk
kelompok A1 dan A2, 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan 60% untuk kelompok A5
dan A6. Perbandingan jumlah kitin dan NaOH adalah 1:20. Kemudian diaduk selama 1
jam dan didiamkan selama 30 menit. Lalu dipanaskan kembali di atas hotplate pada
suhu 90oC selama ± 60 menit (hingga tidak terdapat kandungan air lagi). Proses
pengadukan akan meningkatkan penumbukan antar partikel kitin dan larutan NaOH,
sehingga proses deasetilasi akan berlangsung dengan lebih sempurna, sedangkan
penggunaan suhu tinggi diperlukan supaya reaksi yang terjadi semakin optimal dan
cepat, serta bertujuan untuk mengkonsentrasi larutan NaOH, sehingga menjadi lebih
pekat karena adanya evaporasi dari air. Puspawati & Simpen (2010) menambahkan
bahwa pemanasan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan derajat deasetilasi kitin
tersebut. Kemudian hasil pemanasan didinginkan sebentar. Menurut Rogers (1986),
proses pendinginan ini bertujuan supaya bubuk kitosan pada larutan dapat mengendap
secara maksimal pada bagian bawah dan tidak terbuang selama pencucian. Selanjutnya
dilakukan penyaringan dengan kain saring dan diambil filtratnya. Selanjutnya dicuci
dengan air mengalir hingga pH netral (pH 7). Proses pencucian bertujuan untuk
mencegah terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan dan menghilangkan
NaOH yang mungkin masih tersisa dalam residu. Kemudian ditimbang (berat kitin III)
dan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 70oC selama 24 jam. Setelah 24 jam,
kemudian kitosan ditimbang (berat kitosan).
Penggunaan larutan NaOH 40-60% pada praktikum sesuai dengan teori yang
disampaikan oleh Hirano (1989) bahwa penggunaan larutan NaOH 40-60% dan suhu
yang tinggi diperlukan untuk mendapatkan kitosan dari kitin. Hal ini perlu dilakukan
karena kitin mempunyai struktur kristal yang panjang dengan ikatan kuat antara ion
nitrogen dan gugus karboksil. Ramadhan, et al. (2010), menambahkan bahwa
10
penggunaan NaOH sebagai pelarut pada tahap deasetilasi dikarenakan NaOH
merupakan larutan alkali yang digunakan untuk menghidrolisa kitin sehingga terjadi
proses deasetilasi dari gugus asetamida menjadi gugus amina. Ia menambahkan faktor
yang mendorong terjadinya peningkatan derajat deasetilasi kitin adalah faktor morfologi
rantai kitin, dimana gugus asetamida dari kitin semakin berkurang pada waktu
deasetilasi meningkat. Pada setiap tahap perlakuan deasetilasi, kitin dengan gugus
asetamida yang berkurang mengalami perubahan morfologi, sehingga memungkinkan
proses hidrolisis oleh basa kuat. Proses pencucian secara bertahap juga dapat
mempengaruhi sifat penggembungan kitin dengan alkali, oleh karena itu efektivitas
proses hidrolisis basa terhadap gugus asetamida pada rantai kitin semakin baik.
2.2. Hasil Pengamatan
2.2.1. Rendemen Kitin I
Berdasarkan hasil pengamatan, rendemen kitin I yang dihasilkan dari kelompok A1-A6
secara berurutan adalah 30%, 34%, 20%, 4%, 30%, dan 30%. Hasil yang didapat pada
semua kelompok, kecuali kelompok A4 sesuai dengan teori dari Hargono, et al. (2008)
yang menyatakan bahwa limbah dari udang mengandung sekitar 20-30% senyawa kitin,
40-50% mineral dan 21% protein. Puspawati & Simpen (2010) dan Ramadhan, et al.
(2010) juga menyatakan bahwa kitin yang berasal dari udang akan menghasilkan
rendemen sebanyak lebih dari atau sama dengan 20% pada proses demineralisasi yang
sangat dipengaruhi oleh penambahan larutan HCl. Menurut teori dari Laila & Hendri
(2008), seharusnya semakin besar konsentrasi HCl yang diberikan, maka rendemen kitin
yang dihasilkan semakin besar karena senyawa-senyawa mineral dalam serbuk udang
semakin mudah dilepaskan dan menurut Bastaman (1989), asam klorida dapat
melarutkan komponen mineral seperti kalsium karbonat. Teori tersebut tidak sesuai
dengan hasil praktikum yang didapat, dimana seharusnya kelompok A5 dan A6
menghasilkan hasil rendemen paling tinggi. Johnson & Peterson (1974) menambahkan
bahwa penambahan asam atau basa dengan dosis atau konsentrasi yang semakin tinggi
dan waktu proses yang lebih lama dapat menyebabkan terjadinya pelepasan atau
peregangan ikatan protein dan mineral dalam kitin dan kitosan pada kulit udang serta
bahan organik lainnya yang terdapat didalamnya, sehingga rendemen kitin yang
dihasilkan semakin banyak. Hal ini didukung pula dengan pernyataan Lehninger (1975)
11
yang menyatakan bahwa tingginya nilai rendemen disebabkan karena penambahan HCl
yang diberikan perlakuan pemanasan dan pengadukan. Sedangkan menurut hasil
penelitian dari Hendri, et al. (2007), konsentrasi HCl dari 1 N hingga 2 N akan
menaikkan % recovery, namun pada konsentrasi lebih tinggi hingga 3 N justru tidak
terjadi peningkatan berat endapan yang berarti dan berat rendemen kitin semakin
berkurang, sehingga % recovery juga ikut berkurang. Pengurangan berat ini dapat
terjadi karena sisa asam yang tidak bereaksi dengan mineral dapat mendegradasi kitin
melalui reaksi deasetilasi atau depolimerasi molekul kitin.
Jika dilihat dari teori Ramadhan, et al. (2010) dan Prasetyo (2006) yang
mengungkapkan bahwa pelarut yang baik dalam proses demineralisasi adalah HCl 1 N.
Hasil dari praktikum ini juga tidak sesuai dengan teori tersebut karena hasil rendemen
kitin I yang tertinggi justru didapat oleh kelompok A2 yang menggunakan HCl 0,75 N,
yaitu dengan rendemen kitin 34%, sedangkan kelompok A3 dan A4 dihasilkan
rendemen yang lebih sedikit. Ketidaksesuaian ini dapat terjadi dikarenakan pada saat
melakukan pencucian sampai pH netral, terdapat rendemen yang terbuang, sehingga
menyebabkan jumlah rendemen yang terhitung menjadi berkurang. Selain itu,
ketidaksesuaian hasil dengan teori dapat disebabkan karena kain saring yang digunakan
memiliki pori-pori lubang yang relatif lebih besar dari ukuran filtrat yang disaring.
2.2.2. Rendemen Kitin II
Rendemen kitin II ini didapatkan setelah dihasilkan pada tahap deproteinasi. Rendemen
kitin II yang didapat oleh kelompok A1-A6 berturut-turut adalah 10%; 28,571%; 30%;
90%; 40%; dan 20%. Menurut Puspawati & Simpen (2010), kulit udang yang melalui
tahap deproteinasi akan menghasilkan kitin sebanyak minimal 20%. Hal ini
menunjukkan bahwa pada kelompok A1 tidak sesuai dengan teori, karena rendemen
kitin II yang didapat kurang dari 20%. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan karena
terdapat beberapa komponen yang ikut terbuang saat proses pencucian, sehingga massa
kitin menjadi berkurang. Sedangkan Fennema (1985) mengungkapkan bahwa pada
suasana basa, jumlah protein dan mineral akan dihasilkan lebih besar dibandingkan
dengan suasana asam. Hal ini disebabkan larutan basa, seperti NaOH memiliki aksi
hidrolisis yang lebih kuat daripada asam. Hal ini tidak sesuai dengan hasil dari
12
kelompok A3, A4, dan A5, dimana seharusnya hasil rendemen kedua yang didapat lebih
sedikit atau bahkan hampir setengah dari rendemen pertama. Selain karena adanya
komponen yang ikut terbuang saat proses pencucian, proses pengeringan yang tidak
sempurna akan menyebabkan masih adanya air yang terikut bersamaan dengan residu,
sehingga saat ditimbang berat basanya menjadi sangat besar. Hartati, et al. (2002) juga
menjelaskan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses
pembuatan kitin, antara lain adalah jenis bahan baku dan proses ekstraksi kitin
(deproteinasi dan demineralisasi).
Laila & Hendri (2008) menambahkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kualitas dari ekstraksi kitin adalah tahapan proses, yaitu tahapan deproteinasi-
demineralisasi serta kondisi proses dari setiap tahapan (lama proses pengolahan, suhu,
konsentrasi zat kimia dan pH), sedangkan Lehninger (1975) mengungkapkan bahwa
tahap deproteinasi dan demineralisasi yang dilakukan untuk mengekstrak kitin
dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya adalah konsentrasi larutan, suhu, dan waktu
reaksi terjadi. Menurut Alamsyah, et al. (2001), isolasi kitin yang dilakukan melalui
tahap demineralisasi-deproteinasi akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak
dibandingkan dengan tahap isolasi kitin yang melalui tahap deproteinasi-demineralisasi.
Hal ini disebabkan karena mineral akan membentuk pelindung yang keras pada kulit
udang, sehingga bila dilakukan tahap penghilangan mineral terlebih dahulu, maka tahap
deproteinasi basa dapat berjalan dengan lebih optimal dalam penghilangan protein. Hal
ini juga didukung oleh pernyataan Angka & Suhartono (2000) yang menyebutkan
bahwa urutan proses isolasi kitin dengan tahap demineralisasi-deproteinasi akan
menghasilkan rendemen kitin dan derajat deasetilasi yang lebih baik dibandingkan
dengan proses deproteinasi-demineralisasi.
2.2.3. Rendemen Kitosan
Berdasarkan data hasil pengamatan kelompok A1-A6 mendapatkan % rendemen kitosan
secara berturut-turut adalah 21,765%; 24,875%; 16,462%; 45,455%; 10,355%; dan
10,4%. Menurut teori dari Rochima (2005), penggunaan konsentrasi NaOH yang tinggi
pada proses deasetilasi akan menghasilkan rendemen kitosan yang memiliki derajat
deasetilasi tinggi. Hal ini disebabkan karena gugus fungsional amino (-NH3+) yang
13
menggantikan gugus asetil kitin semakin aktif, maka semakin sempurnalah proses
deasetilasi, sehingga semakin tinggi konsentrasi dari NaOH saat deasetilasi, maka
rendemen yang dihasilkan akan semakin meningkat.
Teori ini didukung pula oleh pernyataan dari Puspawati & Simpen (2010) yang
menyatakan bahwa penggunaan NaOH 60% pada tahap deasetilasi akan membuat
pemutusan ikatan antara karbon pada gugus asetil dengan nitrogen pada gugus amina
lebih banyak terjadi, sehingga gugus asetil lebih banyak dihilangkan jika dibandingkan
dengan konsentrasi yang lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin besar
konsentrasi zat yang bereaksi, maka reaksi yang berlangsung semakin cepat karena
semakin besar kemungkinan terjadinya tumbukan. Semakin banyak gugus asetil yang
dapat dihilangkan, maka semakin tinggi pula nilai derajat deasetilasinya, dimana
menurut Knoor (1984), derajat deasetilasi adalah suatu parameter mutu yang
menunjukkan gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitosan. Hal ini berarti
terjadi ketidaksesuaian antara hasil praktikum dengan teori tersebut, dimana seharusnya
kelompok A5 dan A6 yang menggunakan NaOH 60% mendapatkan % rendemen yang
paling tinggi, namun justru pada kelompok A4 dengan penggunaan NaOH 50%
mendapatkan hasil paling tinggi, yaitu 45,455% dan % rendemen kelompok A3 yang
menggunakan NaOH 50% justru lebih rendah daripada kelompok A1 dan A2 yang
menggunakan NaOH 40%. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan karena beberapa
faktor, seperti pengadukan yang berlebih, sehingga meningkatkan suhu larutan (karena
gaya gesek antar partikel akan lebih tinggi dan menyebabkan panas yang berlebih); pada
saat tahap pencucian ada beberapa komponen yang ikut terbuang, sehingga nilai
rendemen kitin menjadi berkurang; proses pendinginan dilakukan dalam waktu yang
singkat, sehingga pengendapan kitin belum terjadi dengan maksimal yang
mengakibatkan kitin mudah mudah terbuang saat pencucian; dan juga dapat disebabkan
karena proses pengeringan belum sempurna, sehingga tidak semua teruapkan, sehingga
akan mempengaruhi hasil rendemen kitosan.
Berdasarkan penelitian Patria (2013) dalam jurnal yang berjudul “Production and
Characterization of Chitosan from Shrimp Shells Waste”, kualitas kitosan yang
diproduksi dari limbah kulit udang dapat dilihat dari parameter rendemen yang
14
dihasilkan, kelarutan, viskositas intrinsik, berat molekul, dan derajat deasetilasi. Dari
hasil penelitian jurnal tersebut, diketahui perlakuan suhu pemanasan dan waktu
pemanasan dalam proses deasetilasi mempengaruhi hasil rendemen, kelarutan,
viskositas intrinsik, berat molekul, dan derajat deasetilasi dari kitosan yang dihasilka,
namun pada interaksi antara suhu pemanasan dan waktu pemanasan pada proses
deasetilasi justru tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap rendemen,
kelarutan, viskositas intrinsik, berat molekul, dan derajat deasetilasi kitosan. Hasil
terbaik dalam penelitian ini diperoleh pada pemanasan suhu 100oC selama 80 menit
tahap deasetilasi, sedangkan hasil tertinggi diperoleh pada suhu pemanasan 70oC selama
40 menit.
2.3. Aplikasi Bidang Pangan
Menurut Muzzarelli (1997) dan Shahidi, et al. (1999), kitosan banyak diaplikasikan
sebagai bahan untuk mengawetkan hasil perikanan dan penstabil warna produk pangan.
Selain itu juga dapat berperan sebagai flokulan, berperan dalam proses reverse osmosis
penjernihan air, aditif produk agrokimia, dan sebagai pengawet benih. Wardaniati &
Setyaningsih (2009) menambahkan bahwa kitosan berpotensi untuk dijadikan bahan
antimikroba karena mengandung enzim lisosim dan gugus aminopolysacharida yang
dapat menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga dapat digunakan sebagai pengawet
makanan bakso. Efisiensi daya hambat kitosan terhadap bakteri ini dipengaruhi oleh
konsentrasi pelarutan kitosan. Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri ini
disebabkan karena kitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu
menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. Mekanisme kitosan dalam pengawetan
makanan, yaitu mula-mula molekul kitosan akan berinteraksi dengan senyawa pada
permukaan sel bakteri, kemudian teradsorbsi dan membentuk suatu lapisan yang dapat
menghambat saluran transportasi sel, sehingga sel akan kekurangan nutrisi dan akhirnya
mati.
Hargono, et al. (2008) menyatakan bahwa manfaat lain dari kitosan berhubungan
dengan nilai gizi, dimana kitosan dapat berfungsi untuk menurunkan kadar kolesterol
dalam lemak. Hal ini disebabkan karena senyawa yang terkandung di dalam kitosan
dapat membawa muatan listrik positif, sehingga menyatu dengan zat asam empedu yang
15
bermuatan negatif dan mengakibatkan terhambatnya penyerapan kolesterol karena zat
lemak yang masuk bersama makanan harus dicerna dan diserap terlebih dahulu dengan
bantuan zat asam empedu yang disekresi liver. Kitin dan kitosan juga dapat berguna
dalam bidang farmasi. Prabu & Natarajan (2012) menambahkan bahwa kitosan
berfungsi sebagai antimikrobial, dimana kitosan memiliki spektrum yang luas dari
aktivitas dan tingkat pembunuhan yang tinggi terhadap bakteri baik gram positif
maupun negatif. Selain itu, kitosan juga berguna sebagai antioksidan karena kitosan
memiliki kemampuan pada radikal hidroksil dan kemampuan kelat pada ion besi.
Kitosan dengan sifat antioksidannya dapat digunakan sebagai suplemen makanan atau
bahan dalam industri farmasi, dan biosorpsi ion logam berat dalam larutan aquos. Hal
ini didukung pula dalam jurnal ”Extraction and Characterization of Chitin and
Chitosan from Crustacean by-Products: Biological and Physicochemical Properties”
yang ditulis oleh Limam, et al. (2011) yang menyatakan bahwa karakteristik antibakteri
alami dan antijamur kitosan serta turunannya telah mengakibatkan penggunaannya
dalam disinfektan komersial. Kitin dan kitosan telah terbukti dapat mengaktifkan sistem
pertahanan inang suatu mikroorganisme dan mencegah invasi patogen. Oleh karena itu,
kitin dan kitosan dapat dijadikan sumber alami yang dapat secara bebas digunakan
dalam industri makanan. Dalam hasil penelitian jurnal tersebut, kitosan memiliki
aktivitas antijamur dan antibakteri yang lebih tinggi daripada kitin.
Selain diaplikasikan dalam bidang pangan, kitin dan kitosan juga dapat diaplikasikan di
bidang farmasi. Hal ini disampaikan oleh Radhakumary, et al. (2005) dalam jurnalnya
yang berjudul ”Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for
Medical Applications”, dimana kitosan yang memiliki sifat baik sebagai biomaterial
yang biodegradable, biocompatible, tidak beracun, dan antithromboganic dapat
diaplikasikan secara luas di bidang farmasi dan biomedis untuk rilis obat,
penatalaksanaan luka, dan berhubungan dengan implan. Namun pemanfaatannya di
bidang medis perlu dilakukan transplatansi senyawa methyl methacrylate (MMA)
terlebih dahulu. Di dalam penelitian jurnal tersebut, methyl methacrylate (MMA)
berhasil ditransplantasikan ke dalam kitosan dengan menggunakan metode Ce (IV),
sehingga dihasilkan kopolimer yang dapat digunakan untuk persiapan dari lingkungan
yang mempunyai banyak pori-pori berukuran mikro untuk aplikasi pelepasan obat.
16
Kopolimerisasi transplantasi ini dilakukan dengan menggunakan berbagai spektral
fisiko-kimia dan metode analisis termal. Presentase maksimum dari transplantasi yang
diperoleh adalah sebesar 243% dengan presentasi hasil yang maksimum sebesar 92%.
3. KESIMPULAN
Kitin merupakan kristal amorphous yang berwarna putih, tidak berasa, tidak
berbau, dan tidak dapat larut dalam air maupun pelarut organik, namun larut
dalam asam mineral pekat.
Kitin bersifat mudah mengalami terdegradasi secara biologis dan tidak beracun.
Kitosan merupakan kopolimer dari N-acetyl glucosamine.
Proses pembuatan kitosan melalui N-diasetilasi dari kitin dengan 40-50% basa
cair pada suhu 120-160oC.
Sifat spesifik dari kitosan, yaitu adanya bioaktif, hidrofilik, biokompatibel,
pengkelat, antibakteri, dapat terbiodegradasi, dan memiliki afinitas yang besar
terhadap enzim.
Derajat deasetilasi mempengaruhi kelarutan kitosan.
3 tahap pembuatan kitin dan kitosan, yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan
deasetilasi.
Tahap demineralisasi adalah tahap penghilangan mineral, contohnya kalsium
karbonat dengan penambahan larutan asam klorida (HCl) encer.
Tahap deproteinasi dilakukan untuk menghilangkan kandungan protein.
Penambahan larutan NaOH bertujuan untuk mengubah bentuk kristalin kitin yang
rapat supaya enzim lebih mudah berpenetrasi untuk mendeasetilasi polimer kitin.
Tujuan dari proses deasetilasi adalah untuk menghilangkan gugus asetil dari kitin
melalui pemanasan dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi.
Derajat deasetilasi dipengaruhi oleh konsentrasi larutan basa, perbandingan
jumlah larutan dan padatan, suhu, waktu, serta kondisi reaksi selama deasetilasi.
Semakin tinggi derajat deasetilasi, maka tingkat kemurnian kitosan semakin tinggi
dan tingkat kelarutannya sempurna dalam asam asetat 1%.
Kitin yang berasal dari udang akan menghasilkan rendemen sebanyak lebih dari
atau sama dengan 20% pada proses demineralisasi
Semakin besar konsentrasi HCl yang diberikan, maka rendemen kitin I yang
dihasilkan semakin besar
17
18
Penambahan HCl 1 N hingga 2 N akan menaikkan % recovery, namun pada
konsentrasi lebih tinggi hingga 3 N justru berat rendemen kitin semakin
berkurang, sehingga % recovery juga ikut berkurang.
Hasil rendemen II lebih sedikit atau bahkan hampir setengah dari rendemen I.
Faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses pembuatan kitin adalah
jenis bahan baku dan proses ekstraksi kitin (deproteinasi dan demineralisasi).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas dari ekstraksi kitin adalah
tahapan proses dan kondisi proses dari setiap tahapan.
Isolasi kitin yang dilakukan melalui tahap demineralisasi-deproteinasi akan
menghasilkan rendemen lebih banyak jika dibandingkan dengan tahap isolasi kitin
yang melalui tahap deproteinasi-demineralisasi.
Semakin tinggi konsentrasi dari NaOH saat deasetilasi, maka rendemen yang
dihasilkan akan semakin meningkat
Kitosan dapat diaplikasikan sebagai pengawet hasil perikanan, penstabil warna
produk pangan, flokulan, berperan dalam proses reverse osmosis penjernihan air,
aditif produk agrokimia, antioksidan, antijamur, dan bahan antimikroba, serta
untuk menurunkan kadar kolesterol.
Semarang, 23 September 2014 Asisten Dosen :- Stella Gunawan
Melita Mulyani(12.70.0080)
4. DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, R.; Endah, D.; Eni, H. L & Mochamad N. N. K. (2001). Pengolahan Kitosan (Polimer Alami) Dari Kulit Udang untuk Bahan Additives. BBIHP. Bogor.
Angka, S. L. & M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.
Austin, P. R.; Brine, C. J.; Castle, J. E. & Zikakis, J. P. (1981). Chitin: New Facets of Research. Science, 212 (4496) : 749–753.
Azhar, M.; J. Efendi; Erda, S.; Rahma, M. L. & S. Novalina. (2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang. Eksakta, Vol. 1 Tahun XI.
Balley, J. E. & Ollis, D. F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw Hill Kogakusha, Ltd. Tokyo.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Dept Mechanical Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. Queen’s Univ. Belfast.
Cahyaningrum, S. E.; Agustini & Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 : 93-98.
Dunn, E. T.; E. W. Grandmaison & M. F. A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. In: MFA. Goosen (Ed). Applications of Chitin and Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Fennema, O. R. (1985). Food Chemistry 2nd Edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Hargono; Abdullah & Indro, S. (2008). Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang Udang serta Aplikasinya dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Jurnal Reaktor Vol. 12 No. 1. Universitas Diponegoro. Semarang.
Hartarti, F. K.; Susanto, T.; Rakhmadiono, S. & Lukito, A. S. (2002). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). Biosain, Vol. 2, No. 1 : 68-77
19
20
Hendri, J.; Wardana; Irwan, G. S. & Aspita, L. (2007). Penentuan Kadar Ca dan Mg pada Hasil Demineralisasi Optimum Kulit Udang Windu (Penaeus monodon) Secara Gravimetri dan Spektroskopi Serapan Atom. Jurnal Sains MIPA, Vol. 13, No. 2, Hal. 93-99. Lampung.
Hendry, J. (2008). Teknik Deproteinasi Kulit Rajungan (Portunus pelagious) secara Enzimatik dengan menggunakan Bakteri Pseudomonas aeruginosa untuk Pembuatan Polimer Kitin dan Deasetilasinya. Universitas Lampung. Lampung.
Hirano. (1989). Production and Application on Chitin and Chitosan in Japan. In: Chitin and Chitosan: Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties and Applications, Eds. G. Skjak-Braek; T. Anthonsen & P. Sandford. Elsevier Applied Science. New York. pp. 37-40.
Indra, A. S. (1994). Hidrolisis Khitin Menjadi Khitosan serta Aplikasinya Sebagai Pendukung Padat. Jurusan Kimia FMIPA ITS. Surabaya.
Isa, M. T.; Ameh, A. O.; Gabriel, J. O. & Adama, K. K. (2012). Extraction and Characterization of Chitin from Nigerian Sources. Leonardo Electronic Journal of Practices and Technologies, p. 73-81. Nigeria.
Johnson, A. H. & M. S. Peterson. (1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc. Connecticut.
Knoor, D. (1984). Use of Chitinous Polymer in Food. Journal of Food Technology, Vol. 39 (1) : 85.
Kofuji, K; Qian, C. J.; Murata, Y. & Kawashima, S. (2005). Preparation of Chitosan Microparticles by Water-in-Vegetable Oil Emulsion Coalescence Technique. Journal of Reactive and Functional Polymers, Vol. 65 : 77-83.
Laila, A. & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. Jurusan Kimia Fakultas MIPA. Lampung.
Lehninger, A. L. (1975). Biochemistry 2nd Ed. Worth Publisher Inc. New York.
Limam, Z.; S. Selmi; S. Sadok & A. E. Abed. (2011). Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from Crustacean by-Products: Biological and Physicochemical Properties. African Journal of Biotechnology, Vol. 10 (4), pp. 640-647. Tunisia.
21
Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Kitosan. Jurnal Penelitian Andalas, Vol. 12 (V) : 138-143.
Martinou, A.; D. Kafetzopoulos & V. Bouriotis. (1995). Chitin Deacetylation by Enzymatic Means: Monitoring of Deacetylation Processes. Carbohydr Res 273 : 235-242.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mudasir; G. Raharjo; I. Tahir & E. T. Wahyuni. (2008). Immobilization of Dithizone onto Chitin Isolated from Prawn Seawater Shells (P. merguensis) and its Preliminary Study for the Adsorption of Cd (II) Ion. Journal of Physical Science, Vol. 19 (1), 63-78. Yogyakarta.
Muzzarelli, R. A. A. (1977). Chitin. Faculty of Medicine, University of Ancona. Pergamon Press. Ancona, Italy.
Muzzarelli, R. A. A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press, Inc. Orlando, San Diego.
Muzzarelli, R. A. A.; C. Jeunoax & G. W. Goody. (1986). Chitin in Nature and Technology. Plenum Press. New York.
Naznin, R. (2005). Extraction of Chitin and Chitosan from Shrimp (Metapenaeus monoceros) Shell by Chemical Method. Pakistan Journal of Biological Sciences 8 (7) : 1051-1054. Bangladesh.
Ornum, J. V. (1992). Shrimp Waste Must it be Wasted? Info Fish (6) : 92.
Patria, A. (2013) Production and Characterization of Chitosan from Shrimp Shells Waste. AACL International Journal of the Bioflux Society, Vol. 6, Issue 4.
Peter, M. G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan. Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., p. 629-639. Germany.
Prabu & Natarajan. (2012). Bioprospecting of Shells of Crustaceans. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, Vol 4, Suppl 4.
Prasetyaningrum, A.; N. Rokhati & S. Purwintasari. (2006). Rekayasa Teknologi Produksi Chitosan dari Limbah Kulit Udang sebagai Pengawet Bahan Makanan
22
Pengganti Formalin: Upaya Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Kabupaten Pati. Semarang, Hal. 203 – 208.
Prasetyo, K. W. (2006). Pengolahan Limbah Cangkang Udang. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Purwaningsih. (1994). Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.
Puspawati, N. M. & I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia, Vol. 4. Halaman 70-90.
Radhakumary, C.; P. D. Nair; S. Mathew & C. P. R. Nair. (2005). Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. Trends Biomater. Artif. Organs, Vol. 18 (2). India.
Rahayu, L. H. & Purnavita, S. (2007). Optimasi Pembuatan Kitosan Dari Kitin Limbah Cangkang Rajungan (Portunus Pelagicus) untuk Adsorben Ion Logam Merkuri. Reaktor, Vol. 11, No.1, Hal. 45-49. Semarang.
Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad & S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia, Vol. 5 (1), Hal. 17-21.
Rochima, E. (2005). Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Limbah Rajungan Cirebon Jawa Barat. Buletin Teknologi hasil Perikanan. 10 (1) Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rogers, E. P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books / Cole Publishing Company. Science Published, Ltd. England.
Shahidi, F.; Arachchi, J. K. V. & Jeon Y. J. (1999). Food Applications of Chitin and Chitosans. Trends in Food Science and Technology, Vol. 10 : 37.
Suhardi, U; Santoso & Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin. BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Suhardi. (1993). Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas pangan dan Gizi, PAU UGM. Yogyakarta.
23
Suhartono, M. T. (1989). Enzim dan Bioteknologi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB. Bogor.
Wang, Z.; Qiaoling Hu; Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science, Vol. 2010 Article ID 369759, 7 pages.
Wardaniati, R. A. & S. Setyaningsih. (2009). Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso. Universitas Diponegoro. Semarang.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus:
Rendemen kitin I=berat kering Iberat basah I
×100 %
Rendemen kitin II=berat kering IIberat basah II
×100 %
Rendemen kitosan= berat kitosanberat kitin III
×100 %
Kelompok A1
Rendemen kitin I=1,55
×100 %=30 %
Rendemen kitin II=0,55
× 100 %=10 %
Rendemen kitosan=0,3701,7
× 100 %=21,765 %
Kelompok A2
Rendemen kitin I=1,75
×100 %=34 %
Rendemen kitin II=0,62,1
× 100 %=28,571 %
Rendemen kitosan=0,3981,6
× 100 %=24,875 %
Kelompok A3
Rendemen kitin I=15
×100 %=20 %
Rendemen kitin II=0,62
× 100 %=30 %
Rendemen kitosan=0,4022,442
× 100 %=16,462%
Kelompok A4
24
25
Rendemen kitin I=0,25
×100 %=4 %
Rendemen kitin II=0,0010,011
×100 %=90 %
Rendemen kitosan=0,0050,011
× 100 %=45,455 %
Kelompok A5
Rendemen kitin I=1,55
×100 %=30 %
Rendemen kitin II=0,82
× 100 %=40 %
Rendemen kitosan=0,3213,1
× 100 %=10,355 %
Kelompok A6
Rendemen kitin I=1,55
×100 %=30 %
Rendemen kitin II=0,73,5
× 100 %=20 %
Rendemen kitosan=0,2082
× 100 %=10,4 %
5.2. Diagram Alir
5.3. Laporan Sementara