KASUS 1
Seorang wanita berusia 20 tahun datang ke praktek dr.Lalu untuk meminta visum atas kejadian
penganiayaan yang dilakukan suaminya. Setelah melalui pemeriksaan yang teliti, Dr. Lalu yang
baru lulus dan belum mempunyai STR, berhasil menyimpulkan bahwa luka pukulan ke mata
kanan wanita tersebut menyebabkan perdarahan didalam bola mata. Keadaan yang demikian
dapat mengganggu fungsi penglihatan mata kanan sehingga dapat dikategorikan sebagai luka
berat sesuai Pasal 90 KUHP. Pertanyaan :
1. Apakah telah terpenuhi sarat formal?
2. Apakah telah terpenuhi sarat materiel?
3. Bagaimanakah prosedur permintaan visum et repertum korban KDRT berdasarkan
KUHAP dan UU Penghapusan KDRT?
4. Bagaimanakah sistematika visum et repertum pada korban hidup yang mengalami cedera
mata?
Jawaban :
1. Persaratan formal belum terpenuhi karena :
a. Pasien tidak berhak untuk meminta visum et repertum secara lisan kepada dokter (ahli)
sebagaimana bunyi pasal 133 ayat 1 & 2 KUHAP. Yang berwenang meminta keterangan
ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan
pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal
6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik
tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan
jiwa manusia. Oleh karena visum et repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana
yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil
tidak berwenang meminta visum et repertum, karena mereka hanya mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing
(Pasal 7(2) KUHAP).
b. Korban atau keluarganya hanya berhak melaporkan tindak kekerasan dalam rumah
tangga yang dialaminya itu secara langsung ataupun memberikan kuasa kepada keluarga
atau orang lain untuk melaporkan kepada pihak kepolisian (pasal 26 UU Penghapusan
KDRT). Berdasarkan Kode Etik Kedokteran pasal 2, Ijazah yang dimiliki seseorang
merupakan persyaratan untuk memperoleh ijin kerja sesuai profesinya (SID/Surat Ijin
Dokter). Untuk melakukan pekerjaan profesi kedokteran, wajib dituruti peraturan
perundang-undangan yang berlaku (SIP/Surat Ijin Penugasan).
2. Persaratan Materiel belum terpenuhi karena berdasarkan UU Praktik Kedokteran Indonesia
setiap dokter wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Dokter (pasal 29) sehingga tidak berhak
memiliki surat izin praktik (pasal 38) danm tidak berwenang melakukan praktik kedokteran
yang terdiri atas (pasal 35) :
a. mewawancarai pasien;
b. memeriksa fisik dan mental pasien;
c. menentukan pemeriksaan penunjang;
d. menegakkan diagnosis;
e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
g. menulis resep obat dan alat kesehatan;
h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;
i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang
tidak ada apotek.
3. Prosedur permintaan visum et repertum korban KDRT
a. Berdasarkan KUHAP
Pasal 133
(1).Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
(2).Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis,
yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan
mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Pasal 187
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah, adalah :
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
Pasal 11
Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali
mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.
Pasal 7
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya
mempunyai wewenang : h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan
lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan
pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Pasal 1
Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan :
(1) Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
(2) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi
wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang
ini.
Pasal 184
(1) Alat bukti yang sah ialah :
c. surat;
b. Berdasarkan UU KDRT
Dalam UU KDRT ada beberapa pasal yang mengatur tentang prosedur permintaan visum et
repertum :
Pasal 10
Korban berhak mendapatkan :
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani
Pasal 26
(1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada
kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara
(2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan
kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada
maupun di tempat kejadian perkara
Pasal 17
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk
mendampingi korban
Pasal 21
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus :
a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya
b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas
permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan
hukum yang sama sebagai alat bukti
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan
milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
4. Sistematika Visum et Repertum pada korban hidup yang mengalami cedera mata
1. Ketentuan standar dalam penyusunan visum et repertum korban hidup
a. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1)
adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah Pejabat Polisi Negara RI. Sedangkan
untuk kalangan militer maka Polisi Militer (POM) dikategorikan sebagai penyidik.
b. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1)
adalah dokter dan tidak dapat didelegasikan pada pihak lain.
c. Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa permintaan
oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah diatur dalam
KUHAP pasal 133 ayat (2).
d. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang memintanya
sesuai dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak lain tidak dapat
memintanya.
2. Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum pada korban hidup
a. Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik
Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter umum sampai dokter
spesialis yang pengaturannya mengacu pada S.O.P. Rumah Sakit tersebut. Yang
diutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan kesehatannya dulu, bila kondisi telah
memungkinkan barulah ditangani aspek medikolegalnya. Tidak tertutup kemungkinan
bahwa terhadap korban dalam penanganan medis melibatkan berbagai disiplin spesialis.
b. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/visum et repertum
Adanya surat permintaan keterangan ahli/visum et repertum merupakan hal yang penting
untuk dibuatnya visum et repertum tersebut. Dokter sebagai penanggung jawab
pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat permintaan tersebut sesuai
ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan aspek yuridis yang sering menimbulkan
masalah, yaitu pada saat korban akan diperiksa surat permintaan dari penyidik belum ada
atau korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan keterangan ahli/ visum et
repertum.
c. Pemeriksaan korban secara medis
Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu forensik yang telah
dipelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan dihadapi kesulitan yang
mengakibatkan beberapa data terlewat dari pemeriksaan. Ada kemungkinan didapati
benda bukti dari tubuh korban misalnya anak peluru, dan sebagainya. Benda bukti berupa
pakaian atau lainnya hanya diserahkan pada pihak penyidik. Dalam hal pihak penyidik
belum mengambilnya maka pihak petugas sarana kesehatan harus menyimpannya sebaik
mungkin agar tidak banyak terjadi perubahan. Status benda bukti itu adalah milik negara,
dan secara yuridis tidak boleh diserahkan pada pihak keluarga/ahli warisnya tanpa
melalui penyidik.
d. Pengetikan surat keterangan ahli/visum et repertum
Pengetikan berkas keterangan ahli/visum et repertum oleh petugas administrasi
memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya karena ditujukan untuk kepentingan
peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan garis, untuk mencegah
penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
e. Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum
Undang-undang menentukan bahwa yang berhak menandatanganinya adalah dokter.
Setiap lembar berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter.
f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa
Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada penyidik saja
dengan menggunakan berita acara.
g. Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum.
Surat keterangan ahli/visum et repertum juga hanya boleh diserahkan pada pihak
penyidik yang memintanya saja. Dapat terjadi dua instansi penyidikan sekaligus meminta
surat visum et repertum.
4. Sistematika Visum et repertum pada Korban Hidup yang Mengalami Cedera Mata
Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:
a) Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa
b) Bernomor dan bertanggal
c) Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah)
d) Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
e) Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan
Pemeriksaan
f) Tidak menggunakan istilah asing
g) Ditandatangani dan diberi nama jelas
h) Berstempel instansi pemeriksa tersebut
i) Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
j) Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada lebih dari satu
instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan keduanya
berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum
masing-masing asli
k) Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan disimpan
sebaiknya hingga 20 tahun
Pada umumnya visum et repertum dibuat mengikuti struktur sebagai berikut :
1. Pro Justitia
Kata ini harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian visum et repertum tidak perlu
bermaterai.
CONTOH :
Pekanbaru, 24 Agustus 2008
PRO JUSTITIA
VISUM ET REPERTUM
No. /TUM/VER/VIII/2008
2. Pendahuluan
Pendahuluan memuat : identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul diterimanya
permohonan visum et repertum, dentitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas objek
yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan
pemeriksaan, dimana dilakukan pemeriksaan, alasan dimintakannya visum et repertum, rumah
sakit tempat korban dirawat sebelumnya, pukul korban meninggal dunia, keterangan mengenai
orang yang mengantar korban ke rumah sakit.
CONTOH :
Yang bertandatangan di bawah ini, Dedi Afandi, dokter spesialis forensik pada RSUD Arifin
Achmad, atas permintaan dari kepolisian sektor.........dengan suratnya
nomor..........................tertanggal....................maka dengan ini menerangkan bahwa pada
tanggal..........pukul...........bertempat di RSUD Arifin Achmad, telah melakukan pemeriksaan
korban dengan nomor registrasi..................yang menurut surat tersebut adalah :
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Warga negara :
Pekerjaan :
Agama :
Alamat :
3.Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dan
ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari
atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari
letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan,
ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan II FK UR, September 2008 terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristiknya serta
ukurannya. Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada saat
persidangan tidak dapat dihadirkan kembali.
Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri dari :
a) Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan fisik
maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil
pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang
keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya
(status lokalis).
b) Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya, alasan tidak
dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua
temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal ini perlu diuraikan
untuk menghindari kesalahpahaman tentang-tepat tidaknya penanganan dokter dan tepat-
tidaknya kesimpulan yang diambil.
c) Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan hal
penting guna pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas.
Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh,
karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang
diberikan.
CONTOH :
HASIL PEMERIKSAAN :
1. Korban datang dalam keadaan sadar dengan keadaan umum sakit sedang. Korban
mengeluh sakit kepala dan sempat pingsan setelah kejadian pemukulan pada kepala --
2. Pada korban ditemukan --------------------------------------------------------------------------
a. Pada belakang kepala kiri, dua sentimeter dan garis pertengahan belakang, empat senti
meter diatas batas dasar tulang, dinding luka kotor, sudut luka tumpul, berukuran tiga
senti meter kali satu senti meter, disekitarnya dikelilingi benjolan berukuran empat
sentimeter kali empat senti meter ------------------------------------
b. Pada dagu, tepat pada garis pertengahan depan terdapat luka terbuka tepi tidak rata,
dasar jaringan bawah kulit,dinding kotor, sudut tumpul, berukuran dua senti meter kali
setengah sentimeter dasar otot.-------------------------------------------------
c. Lengan atas kiri terdapat gangguan fungsi, teraba patah pada pertengahan serta nyeri
pada penekanan. ----------------------------------------------------------------------
d. Korban dirujuk ke dokter syaraf dan pada pemeriksaan didapatkan adanya cedera
kepala ringan. ---------------------------------------------------------------------------------
3. Pemeriksaan foto Rontgen kepala posisi depan dan samping tidak menunjukkan adanya
patah tulang. Pemeriksaan foto rontgen lengan atas kiri menunjukkan adanya patah tulang
lengan atas pada pertengahan. -------------------------------------------------
4. Terhadap korban dilakukan penjahitan dan perawatan luka, dan pengobatan. ----------
5. Korban dipulangkan dengan anjuran kontrol seminggu lagi.--------------------------------
4. Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang
ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum et repertum, dikaitkan dengan maksud dan tujuan
dimintakannya visum et repertum tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu
jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka.
CONTOH :
KESIMPULAN : -------------------------------------------------------------------------------------------
Pada pemeriksaan korban laki-laki berusia tiga puluh empat tahun ini ditemukan cedera kepala
ringan, luka terbuka pada belakang kepala kiri dan dagu serta patah tulang tertutup. pada lengan
atas kiri akibat kekerasan tumpul. Cedera tersebut telah mengakibatkan penyakit
/halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pencaharian untuk sementara waktu.----------
5. Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat
sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah
atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan
Dibubuhi tanda tangan dokter pembuat visum et repertum
CONTOH :
Demikianlah visum et repetum ini dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan keilmuan
yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Dokter Pemeriksa
RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR
BAGIAN/SMF/INSTALASI KEDOKTERAN FORENSIK
Telp : 227912 – 227915 Ext. 111
PROJUSTITIA
VISUM ET REPERTUM
NO: KF .../VR/ V/2007
Berhubung dengan surat Saudara:I WAYAN KUNCI ATMAJA AIPTU, NRP : enam
satu nol tujuh nol lima dua empat, Nomor Polisi B garis miring tiga puluh lima garis miring lima
romawi garis miring dua ribu tujuh garis miring lantas, tertanggal delapan belas Mei dua ribu
tujuh, maka kami yang bertanda tangan dibawah ini dokter IDA BAGUS PUTU ALIT, DFM,
Sp.F, dokter pemerintah pada Bagian Instalasi Kedokteran Forensik Rumah Sakit Sanglah
Denpasar menerangkan bahwa kami pada tanggal tujuh belas Mei dua ribu tujuh pukul enam
lewat lima belas menit Waktu Indonesia Bagian Tengah telah melakukan pemeriksaan terhadap
korban dengan nomor rekam medis nol satu satu dua dua dua empat delapan yang berdasarkan
surat tersebut................................................................................................................................
Nama : Ni Luh Putu Srihartini
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : Tiga puluh lima tahun
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Hindu
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jalan Ks. Tubun Gang enam nomor dua Delod peken Tabanan
Pada pemeriksaan ditemukan:
a. Korban datang dalam keadaan sadar setelah mengalami penganiayaan oleh suaminya dengan
keadaan umum sakit sedang ..................................................................................................
b. Pada korban dilakukan pemeriksaan:
Pemeriksaan Fisik : Tekanan darah seratus sepuluh per enam puluh milimeter air raksa,
denyut nadi delapan puluh empat kali per menit, pernapasan dua puluh dua kali per menit
Ditemukan luka pada mata :
............................................................................................................................................
c. Pada korban dilakukan tindakan :
Pemeriksaan ....................................................................................................................
KESIMPULAN
Luka-luka tersebut diatas disebabkan oleh kekerasan benda tumpul. Luka tersebut diatas tidak
dapat mendatangkan bahaya maut...............................................................................................
Luka tersebut diatas tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam melakukan pekerjaan..
Demikian Visum et Repertum ini saya buat dengan sebenar-benarnya dengan mengingat sumpah
jabatan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.............................................
Denpasar, Dua puluh Juni Dua ribu enam
Dokter Pemeriksa,
dr. Ida Bagus Putu Alit, DFM, Sp.F.
NIP. 132 281 815
KASUS 2
Sekelompok pria dewasa sedang pesta buah durian. Salah satu diantara pria tersebut tersedak
oleh biji durian kemudian dibawa ke UGD RSU A. Dokter umum yang tugas jaga tidak mau
melakukan tindakan ekstraksi biji durian karena merasa tidak mampu dan tidak berwenang.
Pasien dirujuk ke RSU B, meskipun telah dilakukan ekstraksi oleh dr.THT, pasien mengalami
kondisi dimana pasien tidak bisa pulih seperti semula
A. Apakah dr. A melanggar Good Samaritan Law???
Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan
pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam
pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan
hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat. Pada keadaan gawat
darurat medik didapati beberapa masalah utama yaitu:
- Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat
- Perubahan klinis yang mendadak
- Mobilitas petugas yang tinggi
Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki risiko tinggi bagi
pasien berupa kecacatan bahkan kematian. Hubungan dokter-pasien dalam keadaan gawat
darurat sering merupakan hubungan yang spesifik. Dalam keadaan biasa (bukan keadan gawat
darurat) maka hubungan dokter – pasien didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, yaitu
pasien dengan bebas dapat menentukan dokter yang akan dimintai bantuannya (didapati azas
voluntarisme). Demikian pula dalam kunjungan berikutnya, kewajiban yang timbul pada dokter
berdasarkan pada hubungan yang telah terjadi sebelumnya (pre-existing relationship). Dalam
keadaan darurat hal di atas dapat tidak ada dan azas voluntarisme dari keduabelah pihak juga
tidak terpenuhi. Untuk itu perlu diperhatikan azas yang khusus berlaku dalam pelayanan gawat
darurat yang tidak didasari atas azas voluntarisme. Apabila seseorang bersedia menolong orang
lain dalam keadaan darurat, maka ia harus melakukannya hingga tuntas dalam arti ada pihak lain
yang melanjutkan pertolongan ituatau korban tidak memerlukan pertolongan lagi. Dalam hal
pertolongan tidak dilakukan dengan tuntas maka pihak penolong dapat digugat karena dianggap
mencampuri/ menghalangi kesempatan korban untuk memperoleh pertolongan lain (loss of
chance).
Teori Hukum Good Samaritan memiliki kesimpulan yang menyatakan Seseorang yang
dengan sukarela menolong orang lain yang dalam keadaan terluka terancam akan terluka, atau
memerlukan pertolongan dan tindakan kegawat daruratan medis akan dilindungi oleh hukum.
Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah :
1. Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau
keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila
pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak
berlaku.
2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang
dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan
trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan penolong.
Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan
karena diduga terdapatkekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak
pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab
kerugiannya/cacat (proximate cause).5 Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi
gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut
terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga
kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.
Tetapi pada kasus diatas dr. A tidak melakukan tindakan dan memilih merujuk pasien
kepada spesialis THT untuk melakukan ekstraksi, sehingga dr.A tidak dapat dikatakan
melanggar good samaritan doktrin karena tidak melakukan pertolongan. Para dokter terutama
dokter UGD dan dokter bedah, sering kali merasa takut untuk melakukan tindakan karena
kemungkinan untuk dituntut sangat besar. Namun apakah good samaritan law digunaka di
Indonesia? Mari kita tinjau dari beberapa hal berikut:
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam
pasal 51 UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992
tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat upaya
penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh
derajat kesehatan yang optimal (pasal 4). Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah
bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat”
termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut pula
pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat
(swasta). Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan
gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan
gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian
pelayanan.
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent).
Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2
dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam
keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak
sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan
Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk
tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik diatur dalam
pasal 50 UU No.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa “tenaga kesehatan
bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian
dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”. Pengaturan di atas menyangkut
pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter memiliki
kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam
keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan maka
yang bersangkutan harus menerapkan standar profesi sesuai dengan situasi (gawat darurat) saat
itu. Pada Kode Etik kedokteran indonesia pada pasal 13 menyebutkan bahwa “Setiap pdokter
wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya”.
Jadi Good Samaritan Law tidak digunakan di indonesia. Dan dokter A telah melanggar
beberapa pasal pada undang-undang kesehatan dan KODEKI. Dr. A seharusnya melakukan
bantuan medis, jika ia merasa tidak kompeten, ia dapat meminta saran atau berkonsultasi pada
dokter yang lebih kompeten (dalam hal ini Dokter THT) baik secara langsung ataupun Via
telepon untuk melakukan tindakan yang sesuai.
B. Apakah dr. B melakukan kelalaian??
Menurut World Medical Association (WMA) kelalaian, seorang dokter dikatakan melakukan
malpraktek medik jika dokter tersebut melakukan tindakan yang menyebabkan kerugian pada
pasien yang dikarenakan :
Melakukan terapi yang tidak sesuai dengan kondisi yang dialami pasien
Kurangnya kemampuan dokter tersebut
Melakukan kelalaian dalam menerapkan pelayanan kepada pasien.
Menurut WMA, kegagalan medik yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak dapat diduga
sebelumnya dan tidak disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan keterampilan dokter tersebut
tidak harus mempertanggung jawabkannya.
Seorang dokter bisa dikatakan melakukan suatu tindak kelalaian bila terpenuhi 4 syarat berikut :
1. Harus terjalin adanya hubungan dokter-pasien.
2. Dokter tidak melaksanakan kewajibannya.
3. Dokter tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar profesi yang ada.
4. Tindakan yang tidak sesuai standar profesi tersebut menyebabkan terjadi kerugian / cedera
yang sebetulnya dapat dicegah.
Setiap persyaratan diatas harus dapat dibuktikan terjadi oleh pihak penuntut agar dapat
memenangkan perkara. Kelalaian yang dimaksud diatas juga berlaku terhadap profesi lainnya.
Undang-undang kesehatan No. 36 tahun 2009 pada Pasal 29 “Dalam hal tenaga kesehatan diduga
melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi. Dan pada pasal 58 menyebutkan:
1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat.
3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-Undangan.
Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan
karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak
pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab
kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi
gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut
terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga
kesehatan yang berkulifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.
KASUS 3
Seorang anak berusia 5 tahun mengalami katarak. 2 tahun yang lalu, anak tersebut
dibawa kontrol ke dokter puskesmas. Oleh dokter disarankan untuk menunda operasi hingga usia
anak dewasa dan katarak sudah ‘matang’. Namun sebulan terakhir, anak tersebut sering kali
terjatuh karena tidak bisa melihat. Dokter mata yang melakukan pemeriksaan mengatakan bahwa
retina mata si anak telah mengalami atropi. Dengan demikian pasien telah mengalami kebutaan.
Pertanyaan :
a) Apakah dokter puskesmas telah melakukan kelalaian?
b) Apakah kesalahan dalam membuat diagnosa penyakit dapat dikategorikan sebagai bentuk
kelalaian?
A. Apakah dokter puskesmas telah melakukan kelalaian?
Jika berdasar pada informasi yang terdapat di kasus, kemungkinan besar ya.
Alasannya adalah karena tidak merujuk, padahal Katerak juvenil merupakan penyakit
kategori SKDI 3A yaitu “mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik
dan permintaan pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter boleh memberikan
tatalaksana awal serta dapat pula merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus
emergency)”.
Dokter umum lalai karena sepertinya ia tidak memberikan informed consent kepada pasien
untuk memeriksakan diri ke dokter speasialis mata. Padahal menurut Peraturan Menteri
Kesehatan RI No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 4
harusnya informed consent harus diberikan:
Walaupun dokter umum mungkin melakukan kelalaian, namun penentuan diagnosis yang
dilakukan oleh dokter tersebut tidak salah, karena:
PENENTUAN DIAGNOSIS
Untuk menentukan suatu diagnosis, kita harus tahu terlebih dahulu tata cara penentuan
diagnosis yang tepat.
1. Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja adalah diagnosis yang ditetapkan oleh dokter hanya didasarkan oleh
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari sini, selain menentukan diagnosis kerja akan
muncul diagnosis banding lainnya. Sudah wajar jika pada tahap ini bisa saja terjadi
kesalahan penentuan diagnosis, karena suatu gejala yang dikeluhkan oleh pasien bisa saja
merupakan gejala yang sebenarnya dapat ditemukan pada berbagai macam penyakit.
Pada kasus ini, dikatakan dokter di puskesmas mengatakan bahwa pasien didiagnosis
mengalami ‘Katarak Juvenil’. Mungkin diagnosis yang diberikan oleh dokter didapatkan
dari tanda yang terjadi pada anak yaitu adanya penutupan lapang pandang, yang
merupakan salah satu tanda dari penyakit katarak. Jadi menurut kami, dokter tidak
melakukan kesalahan atau kelalaian.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.585/Men.Kes/Per/IX/1989
Tentang Persetujuan Tindakan Medik
Pasal 4
1. Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien baik diminta maupun tidak diminta
2. Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien, atau pasien menolak diberikan informasi
3. Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat 2 dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi seorang perawat atau paramedik lainnya sebagai saksi
Pada kasus ini, dokter juga tidak menyarankan dilakukan tindakan pembedahan hingga
katarak pasien matur, hal ini pun benar karena:
Pembedahan harus dilakuan dengan segera jika kasusnya yang katarak infantil (<1
thn), sedangkan pada saat pasien datang ke dokter puskesmas usianya masih sekitar 3
tahun
Jika kataraknya belum terlalu tebal dan anak masih bisa melihat, pembedahan tidak
wajib dibutuhkan atau dapat ditunda hingga usia anak mencapai usia dimana
pembedahan katarak dengan implan dapat dilakukan dengan aman.
Pembedahan juga ditunda karena sistem penglihatan anak masih belum berkembang
sempurna dan dikawatirkan timbul resiko lain berupa ambliopia.
2. Diagnosis Tetap
Diagnosis tetap adalah diagnosis yang ditetapkan setelah dilakukan pemeriksaan
penunjang, yaitu dalam kasus ini menggunakan slit lamp. Pada puskesmas biasanya
jarang ditemukan slit lamp sehingga biasanya hanya dengan menggunakan iris shadow
test untuk menegakkan diagnosis kerja katarak (juvenil).
3. Diagnosis Operasi
Biasanya hanya pada kasus bedah.
B. Apakah kesalahan dalam membuat diagnosa penyakit dapat dikategorikan sebagai bentuk
kelalaian?
Bisa TIDAK dan bisa YA
TIDAK jika kesalahan diagnosis ditemukan pada tahapan awal yaitu pada tahapan
penentuan Diagnosis Kerja, dimana diagnosis hanya didasarkan atas anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
YA jika ternyata Diagnosis Tetap yang dinyatakan diderita oleh pasien ternyata tidak
sesuai dengan hasil pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan akibat kelalaian dari
dokter yang melakukan analisis kondisi pasien mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Kesalahan dalam pembuatan diagnosis tetap ini juga
melanggar Undang-undang Praktek Kedokteran Pasal 35 sehingga bisa mendapatkan
sanksi pidana.
Error of (in) judgment
Seorang profesi medis yang telah mengikuti standar profesi yang dipakai secara
umum tidak dapat dianggap lalai atau bertanggung jawab apabila keputusan yang diambil
ternyata telah keliru.
Doktrin error in judgment ini berkaitan dengan pemastian beberapa unsur yang
berkaitan dengan konsep malpraktik :
1. Doktrin menekankan syarat fundamental bahwa sebelum seorang dokter dapat dianggap
bertanggung jawab, maka penggugat harus membuktikan bahwa sikap/tindak dokter itu
lalai. Bahwa tindakannya tidak sesuai dengan standar profesi yang berlaku.
2. Doktrin ini menekankan kembali, bahwa tanpa terdapatnya bukti-bukti kelalaian seorang
dokter tidak dapat dianggap bertanggung jawab semata-mata karena suatu akibat yang
tidak menyenangkan timbul dari terapi yang diberikan itu.
3. Doktrin ini memastikan adanya ketentuan “ respectable, minority, rule ” yang memberi
hak dan melindungi seorang dokter untuk memilih antara beberapa terapi, walaupun
kemudian yang dipilih itu, ternyata kurang mengungtungkan. Ini bukanlah suatu “ error
in judgment”.
Karena itu, apabila tidak dapat dibuktikan bahwa sikap-tindak dokter itu lalai sesuai standar
profesi yang berlaku dan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang dokter, maka seorang
dokter tidak dapat dikatakan melakukan kelalaian.
Keterangan yang mungkin dibutuhkan :
Penyakit ini chorioretinal atrophy sangat jarang ditemukan pada anak-anak dan paling sering
ditemukan pada lansia atau mulai usia 40 tahuna ke atas
Pemeriksaan dengan oftalmoskop sekalipun sulit dilakukan oleh dokter umum dan hanya
bisa menentukan apakah refleks fundus positif atau negatif
Sepertinya dokter di puskesmas menegakkan diagnosis hanya didasarkan atas anamnesis dan
mungkin juga pemeriksaan fisik yang berupa inspeksi pada lensa mata, tes konfrontasi dan
funduskopi. Mungkin dokter puskesmas tersebut tidak melakukan pemeriksaan penunjang
karena keterbatasan alat.
Bisa saja sewaktu diperiksa dulu memang hanya menderita katarak, namun 2 tahun kemudian
mengalami atrofi retina yang penyebabnya pada anak biasanya adalah karena infeksi
(toksoplasma).
Terapi katarak pada anak
Pembedahan harus dilakuan dengan segera jika kasusnya yang katarak infantil (<1 thn)
Pilihan terapi katarak:
1. No surgery with periodic follow up
2. Cataract removal without intraocular lens implant
3. Cataract removal with intraocular lens implant
□ Jika kataraknya belum terlalu tebal dan anak masih bisa melihat, pembedahan tidak wajib
dibutuhkan atau dapat ditunda hingga usia anak mencapai usia dimana pembedahan katarak
dengan implan dapat dilakukan dgn aman
□ Biasanya implantasi lensa tidak disarankan pada katarak juvenil (acquired childhood
cataract) karena matanya masih dalam tahap perkembangan + ada resiko inflamasi berat
(uveitis) pada anak2 ini dan kemungkinan after-cataract juga hampir 100%
□ Katarak yang hanya ditemukan pada satu mata pada katarak infantil harus ditindak segera
untuk menghindari amblyopia.
KASUS 4
Seorang anak menderita penyakit batuk, pilek, panas. Setelah diberi obat yang berwarna
merah, kuning, hijau di puskesmas, sekujur tubuh anak tersebut melepuh. Kemudian pasien
dirujuk ke RSU.
Pertanyaan:
Apakah dokter puskesmas telah melakukan kelalaian?
PEMBAHASAN
Dari kasus diatas, terdapat beberapa dasar hukum yang terkait. Berikut adalah hukum yang
terkait dengan kasus tersebut.
1. Dokter tersebut dapat dikatakan lalai apabila dalam pemberian tindakan (dalam hal ini
pemberian obat kepada pasien) tidak menyampaikan secara lengkap informasi dari tindakan
yang akan dilakukan, baik mencakup diagnosis dan tata cara tindaka medis, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang terjadi seperti yang
tercantum pada UU Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat 3. Selain itu juga, dokter tersebut akan
dikatakan melanggar hak pasien apabila tidak menyampaikan informasi-informasi tersebut
kepada pasien seperti yang tercantum dalam UU Praktek Kedokteran Pasal 52 poin a. oleh
karena itu penyidik harus melakukan investigasi lebih lanjut untuk mengetahui informasi apa
saja yang telah disampaikan dokter tersebut kepada pasien.
2. Dokter tersebut akan dikatakan tidak lalai apabila telah menyampaikan semua informasi yang
seharusnya disampaikan kepada pasien seperti yang tercantum pada UU Praktek Kedokteran
Pasal 45 dan 52.
3. Dokter tersebut telah melakukan tindakan yang tepat pada pasien dengan merujuknya ke
RSU setelah mengalami kulit melepuh. Karena penyakit yang dialami pasien kemungkinan
adalah kelainan kulit yang memang harus mendapat tindakan dari dokter spesialis kulit dan
tindakan merujuk oleh dokter tersebut ke RSU dapat dikatakan benar. Hal tersebut sesuai
dengan KODEKI Pasal 10 dan UU Praktek Kedokteran Pasal 51 poin b.
KASUS 5
Seorang istri dokter mengalami kanker nasofaring. Setelah dilakukan operasi, kondisi pasien
semakin memburuk sehingga harus dirawat di ICU dengan ventilator. Sementara itu, dua buah
ventilator yang dimiliki oleh RSU sedang dipakai oleh pasien lainnya. Satu diantara pasien
adalah seorang penderita AIDS yang telah mengalami kondisi vegetative, sementara yang lain
adalah seorang wanita hamil G1P0A0 yang mengalami eklamsi.
Pertanyaan :
Siapakah diantara ketiga pasien yang patut menggunakan ventilator?jelaskan alasan Anda!
Jawaban :
Menurut Kelompok kami semua patut dan berhak menggunakan ventilator, dan Kita sebagai
tenaga medis harus berusaha semaksimal mungkin agar pasien mendapatkan perawatan dan
pengobatan yang sesuai. Untuk masalah ventilator kemungkinan sebaiknya proses perujukan
segera dilakukan karena selain pasien sudah dalam kondisi yang semakin buruk RS juga tidak
dapat memberikan layanan ventilator karena ventilator hanya berjumlah dua dan semuanya
sedang diapakai, tidak mungkin juga untuk mengorbankan salah satu pasien karena pasien
(manusia) mempunyai hak untuk hidup dan tidak ada orang walaupun tenaga medis yang dapat
menentukan hidup dan mati seseorang. Menurut hukum di Indonesia euthanasia tidak dilegalkan
karena:
Euthanasia Menurut Perspektif Medis
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan “seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Seorang dokter dalam
melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu
kedokteran , hukum dan agama.
KODEKI pasal 7d menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup insani”, artinya dalam setiap tindakan dokter, harus bertujuan untuk
memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Dalam pasal 9, BAB II KODEKI tentang
kewajiban dokter kepada pasien disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat
akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani menurut etik kedokteran, dokter tidak boleh
menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus) dan mengakhiri hidup orang yang sakit
meskipun menurut pengetahuan tidak mungkin sembuh (euthanasia).
Ditegaskan pula dalam Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan
sebagai berikut: “Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang
pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan
euthanasia aktif.”
Euthanasia Menurut Hukum di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia, euthanasia adalah suatu perbuatan yang melawan
hukum, seperti yang tercantum pada peraturan perundang-undangan yang berlaku pada Pasal 344
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa "Barang siapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun". Dengan
demikian, hukum di Indonesia melarang euthanasia ini, karena pembunuhan terhadap seseorang
walaupun itu atas permintaan orang tersebut tetap akan dikenakan tindak pidana. Demikian juga
yang disebutkan dalam pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP, yaitu : Pasal 338: “Barang siapa
dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.” Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja &
direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan
pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara
sementara selama-lamanya duapuluh tahun.” Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk
orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya
untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh
diri.” Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu
tahun”. Apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi
berkompeten melakukan perawatan medis dan dapat dijerat hukum sesuai
KUHP pasal 351 tentang penganiayaan yang berbunyi: (1) Penganiayaan diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. Hubungan
hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu pasal 1313, 1314, 1315, &
1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Pasal
1320 KUHPer menyebutkan bahwa untuk mengadakan perjanjian dituntut izin berdasarkan
kemauan bebas dari kedua belah pihak. Sehingga bila seorang dokter melakukan tindakan medis
tanpa persetujuan pasien, secara hukum dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
LAMPIRAN 1
UU Praktik Kedokteran
Pasal 29
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki
surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.
Pasal 35
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang
melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki,
yang terdiri atas :
a. mewawancarai pasien;
b. memeriksa fisik dan mental pasien;
c. menentukan pemeriksaan penunjang;
d. menegakkan diagnosis;
e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
g. menulis resep obat dan alat kesehatan;
h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;
i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang
tidak ada apotek.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan lainnya diatur dengan
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 38
(1) Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter atau
dokter gigi harus :
a. memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih
berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31 dan Pasal 32;
b. mempunyai tempat praktik; dan
c. memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
(2) Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang :
a. surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi masih berlaku; dan
b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin praktik.
Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien;
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan
yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien
itu meninggal dunia;
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran
gigi.
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.
LAMPIRAN 2
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan medis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi, atau melakukan penipuan atau penggelapan dalam menangani pasien.
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya
untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan pemeriksaan atau
pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.