Download docx - Implikatur shintia

Transcript
Page 1: Implikatur shintia

http://ali-sahdi.blogspot.com/2013/02/makalah-kerjasama-implikatur-dalam.html

Senin, 18 Februari 2013

MAKALAH KERJASAMA IMPLIKATUR DALAM PRAGMATIK

MAKALAH KERJASAMA IMPLIKATUR DALAM PRAGMATIK 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Komunikasi adalah hal mendasar yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.

Hal tersebut muncul dan berkembang seiring dengan besarnya manfaat komunikasi yang

didapatkan manusia. Manfaat tersebut berupa dukungan identitas diri, untuk membangun kontak

sosial dengan orang di sekitar kita, baik itu lingkungan rumah, sekolah, kampus maupun

lingkungan kerja (Mulyana, 2001: 4).

Selain itu, komunikasi digunakan untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan

orang lain. Jadi, komunikasi dapat berkembang dengan bertukarnya informasi yang dimiliki oleh

setiap manusia. Tindakan komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Ada yang

dilakukan secara langsung seperti percakapan tatap muka dan yang dilakukan secara tidak

langsung seperti komunikasi lewat medium atau alat perantara seperti surat kabar, majalah,

radio, film, dan televisi. Media televisi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

peradaban kehidupan manusia, hampir dalam keseharian manusia selalu berhubungan dengan

media komunikasi massa yang paling berpengaruh ini.

Page 2: Implikatur shintia

Ketika menginginkan informasi, manusia dapat menonton siaran berita di televisi, juga

ketika orang ingin memperoleh hiburan, maka televisi selalu dapat menyajikan tayangan-

tayangan hiburan yang menarik. Dengan menonton televisi maka akan banyak hal baru yang

dapat diketahui manusia. Singkat kata, kini manusia hidupnya sudah sangat bergantung dengan

media televisi. Siaran televisi telah memungkinkan masyarakat luas dapat dengan cepat dan

mudah mengetahui berbagai perkembangan mutakhir yang terjadi di berbagai penjuru dunia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pragmatik

Istilah pragmatik sebagaimana kita kenal saat ini diperkenalkan oleh seorang filosof yang

bernama Charless Morris tahun 1938. Ketika ia membicarakan bentuk umum ilmu tanda

(semiotic). Ia menjelaskan dalam (Levinson, 1983:1) bahwa semiotik memiliki tiga bidang

kajian, yaitu sintaksis (syintax), semantik (semantics), dan pragmatik (pagmatics). Sintaksis

merupakan kajian lingustik yang mengkaji hubungan formal antar tanda. Semantik adalah kajian

linguistik tentang hubungan tanda dengan orang yang menginterpretasikan tanda tersebut.

Sejak itulah, pragmatik mengalami dua perkembangan makna yang berbeda. Di satu sisi

pragmatik dengan konsep sebagaimana yang dimaksudkan oleh Morris di atas tetap

dipertahankan. Di sini istilah pragmatik digunakan dalam berbagai judul buku yang membahas

masalah-masalah yang beragam seperti psikopatologi komunikasi dan evolusi sistem simbol. Di

sisi lain, istilah pragmatik mengalami penyempitan makna. Dalam hal ini seorang Filosof

sekaligus ahli logika yang bernama Carnap mengatakan bahwa apabila di dalam suatu penelitian

terdapat rujukan yang konkret terhadap pembicara atau dalam istilah yang lebih umum, terhadap

pengguna bahasa, maka dia menetapkan bahwa penelitian tersebut berada dalam bidang kajian

pragmatik. Kemudian dalam perkembangan berikutnya, oleh Levinson (1983) pengertian

tersebut dianggap terlalu sempit dan ekslusif; dan oleh karenanya pengertian tersebut

dimodifikasi menjadi kajian bahasa yang bereferensi atau berhubungan dengan faktor dan aspek-

aspek kontekstual.

Page 3: Implikatur shintia

Pembahasan pragmatik menurut Joko Nurkamto, pragmatik yang sekarang berkembang pada

umumnya mengacu pada pengertian yang kedua dari di atas. Dalam hal ini Levinson (1983:21-

24) menjelaskan kurang lebih tujuh pengertian pragmatik. Dan diantaranya adalah sebagai

berikut:

Pertama, “Pragmatics is the study of the relation between language and context that are basic to

an account of language understanding”. Pengertian inimenunjukkan bahwa untuk memahami

makna bahasa orang seorang penutur dituntuk untuk tidak saja mengetahui makna kata dan

hubungan gramatikal antar kata tersebut tetapi juga menarik kesimpilan yang akan

menghubungkan apa yang dikatakan dengan apa yang diasumsikan, atau apa yang telah

dikatakan sebelumnya.

Kedua, “Pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with the

contexts in which they would be appropriate”. Pengertian kedua ini lebih menekankan pada

pentingnya kesesuaian antara kalimat-kalimat yang diujarkan oleh pengguna bahasa dengan

konteks tuturannya.

Ada dua hal penting yang perlu di cermati dari pengertian pragmatik di atas, yaitu penggunaan

bahasa dan konteks tuturan. Penggunaan bahasa di sini menyangkut fungsi bahasa (language

functions). Untuk apa orang menggunakan bahasa? Beberapa ahli menjelaskan fungsi bahasa

tersebut. Di antaranya adalah Van Ek dan Trim (1991), yang mengkategorikan fungsi bahasa

menjadi 6 (enam) macam yaitu: 1) menyampaikan dan mencari informasi faktual, 2)

Mengekspresikan dan mengubah sikap, 3) Meminta orang lain berbuat sesuatu, 4) Sosialisasi, 5)

Membangun wacana, dan 6) Meningkatkan keefektifan komonikasi.

Masing-masing kategori tersebut di atas, dijabarkan kedalam beberapa subkategori yang lebih

rinci dan praktis. Fungsi pertama, misalnya, dijabarkan menjadi 5 (lima) sub-kategori, yaitu: 1)

mengidentifikasi/mendefinisis, 2) melaporkan, mendeskripsikan atau menceritakan, 3)

mengoreksi, 4) bertanya.

Adapun masalah konteks, menurut Dell Hymes (dalam James, 1980), meliputi 6 (enam)

dimensi, yaitu: 1) tempat dan waktu (setting), seperti ruang kelas, di masjid, di ma’had, di

perpustakaan, dan di warung makan, 2) pengguna bahasa (participants), seperti dokter dengan

pasien, ustadz dan santri, penjual dengan pembeli, 3) topik pembicaraan (content) seperti politik,

Page 4: Implikatur shintia

seks, pendidikan, kebudayaan, 4) tujuan (purpose) seperti bertanya, menjawab, memuji,

menjelaskan, mengejek, dan menyuruh, 5) nada (key) seperti humor, marah, ironi, sarkasme, dan

lemah lembut, dan 6) media/saluran (channel) seperti tatap muka, melalui SMS, melalui telepon,

melalui surat, E-mail, dan, melalui tangan.

Dimasukkannya konteks dalam memahami dan atau menghasilkan ujaran dimaksudkan

untuk membangun prinsip-prinsip kerjasama dan sopan santun dalam proses komunikasi,

sehingga tujuan komunikasi dapat dicapai secara efektif. Konteks itu sendiri terkait erat dengan

budaya, yang berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Apa yang dianggap sebagai topik

pembicaraan yang wajar oleh masyarakat Arab misalnya, mungkin dianggap sebagai topik

pembicaraan yang absurd oleh masyarakat Indonesia, atau sebaliknya. Oleh karena itu,

pengertian pragmatik yang diberikan oleh Levinson di atas, menurut hemat penulis, pada

prinsipnya memberikan kerangka umum tentang bagaimana berkomunikasi secara tepat dan

efektif dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Kenyataan bahwa konteks itu bisa

berbeda-beda dari masyarakat satu ke masyarakat lain, dan hal ini tidak menjadi fokus bahasa

Levinson.

Itulah sebabnya, Leech (1983) lebih suka menggunakan istilah Pragmatik umum (general

pragmatics) untuk mengacu pada kajian tentang kondisi umum penggunaan bahasa untuk

komunikasi. Ia mendasarkan gagasannya pada kenyataan bahwa prinsip kerjasama dan sopan

santun dalam berkomunikasi berlaku secara berbeda–beda dalam setiap masyarakat.

Dalam pragmatik umum sama sekali tidak mengatur masalah itu. Bahkan menurut Leech, hal-hal

yang bersifat lokal dan situasional dapat diatur dalam sosiopragmatik (sociopragmatics) dan

pragmalinguistik (pragmalinguistics), karena kedua bidang ini merupakan cabang dari pragmatik

umum. Sosio-pragmatik yang telah dikelaskan Leech (1983) memiliki kesamaan dengan istilah

yang oleh Michael Canale (1983) di sebut dengan ketepatan isi (appropriateness in meaning),

yaitu sejauh mana fungsi komunikasi tertentu, sikap dan gagasan dianggap tepat sesuai dengan

situasi yang berlaku. Hal ini berhubungan erat dengan aspek sosiologi.

Sebagai ilustrasi, membicarakan pesta ulang tahun yang penuh dengan kegembiraan dengan

teman-temannya pada saat menjenguk orang sakit keras di rumah sakit, hal ini secara konteks

tuturan jelas tidak tepat. Sementara itu, pragmalinguistik menurut Leech kurang lebih sama

Page 5: Implikatur shintia

dengan ketepatan bentuk (appropriateness in form) menurut Canale. Hal ini mengacu pada

sejauh mana makna bahasa direpresentasikan ke dalam bentul verbal atau non verbal yang sesuai

dengan konteks pembicaraan. Ini terkait erat dengan dengan tata bahasa yang sesuai dengan

konteks pembicaraan. Sebagai contoh, seorang mahasiswa UIN yang berterima kasih kepada

dosennya dengan hanya mengucapkan trims, atau memanggil Dosen /Ustadz hanya dengan

menggunakan kata sapaan ”Boss” biasanya di lingkungan UIN hal itu dianggap tidak sopan.

Seyogyanya ia mengatakan, sekurang-kurangnya terima kasih Pak/Bu (Sykron Ustadz...) atau

”Jam berapa Ustadz?” dan lain-lain. Dengan kata lain, sosio-pragmatik ini sangat berkaitan

dengan apa yang harus dikatakan dalam situasi tertentu, sedangkan pragmalinguistik berkenaan

dengan bagaimana seorang penutur dapat mengatakan secara tepat.

Menurut Leech (1983:11) pragmatik umum, sosio-pragmatik, dan pragmalinguistik memiliki

hubungan yang sinergis, hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Seorang pemerhati linguistik, Jenny Thomas (1983) dalam artikelnya yang berjudul

Cross cultural failure, mencoba membahas kegagalan pragmalinguistik dan kegagalan

sosiopragmatik. Menurutnya, kegagalan pragmalinguistik pada dasarnya berkaitan dengan

masalah bahasa, yang disebabkan oleh berbagai macam perbedaan penyandian fungsi bahasa;

sedangkan kegagalan sosiopragmatik berkenaan dengan prilaku bahasa yang disebabkan oleh

kurangnya pengertian lintas budaya (cross Culture). Oleh karena itu, apabila ada orang Indonesia

yang mengajukan pertanyaan kepada orang Arab yang baru pertama kali ditemuinya dengan

pertanyaan “Hal ‘indak al fulus?” (Apakah anda punya uang?) misalnya, maka orang itu

dianggap telah gagal berkomunikasi dalam kaitannya dengan aspek sosio-pragmatik, bukan pada

aspek pragmalinguistik, karena secara tata bahasa kalimat di atas tidak salah. Dalam contoh di

atas, bukan bahasanya yang salah tetapi pertanyaannya yang kurang tepat karena kurang sesuai

dengan konteks dan situasi tutuannya.

B. Sejarah Perkembangan Pragmatik

Sampai saat ini, kajian pragmatik sangat dikenal dalam dunia linguistik. Meskipun

sebelumnya, di era 70-an banyak para linguis yang memperlakukan diskriminatif terhadap kajian

pragmatik ini bahkan hampir tidak pernah membahasnya. Namun pada saat ini, banyak para

Page 6: Implikatur shintia

linguis yang berpandangan bahwa mustahil bagi pemakai bahasa dapat mengerti secara baik

sifat-sifat bahasa yang mereka gunakan dalam berkomunikasi tanpa mengerti hakekat pragmatik,

yaitu bagaimana bahasa sebagai alat komunikasi dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Senada dengan hal di atas, Joko Nurkamto (2000) menjelaskan bahwa kajian di bidang

pragmatik mulai berkembang pada tahun 1971, yang ditandai dengan diterbitkannya Journal of

Pragmatics yang memuat persoalan-persoalan pragmatik. Sebuah organisasi bernama IPRA

(International Pragmatics Association) didirikan, dan beberapa konferensi tentang masalah

pragmatik diselenggarakan (Soemarmo, 1988). Munculnya minat di bidang pragmatik tersebut

dipicu oleh beberapa alasan, salah satu di antaranya bersifat historis. Dalam hal ini Levinson

(1983:35) mengatakan bahwa “the interest developed in part as a reaction or antidote to

Chomsky’s treatment of language as abstract devise, or mental ability, dissociable from the

users, user and function of language..” sebagaimana diketahui, Chomsky (1965: 1) mengatakan

bahwa teori linguistik berkenaan terutama dengan “an ideal speaker-listener, in a completely

homogeneous speech-community, who knows its language perfectly and is unaffected by such

grammatically irrelevant conditions as memory limitations, distructions, shifts of attention and

interest, and error in applying his knowledge of the language in actual perfomance.”

Disamping itu, terdapat sejumlah motivasi yang menyebabkan berkembangnya teori

pragmatik. Salah satu yang paling penting adalah kemungkinan bahwa pragmatik dapat

menyebabkan penyederhanaan semantik. Harapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa prinsip-

prinsip pragmatik penggunaan bahasa dapat lebih memahami makna ujaran yang tidak dapat

secara tuntas dapat dipahami dari makna harfiahnya (semantics) saja. Faktor lain yang bersifat

substansial adalah adanya kesenjangan antara teori bahasa yang berkenaan dengan pembentukan

sejumlah rumus/pola tertentu untuk dapat menghasilkan kalimat-kalimat yang jumlahnya tidak

terbatas, orang mungkin berkesimpulan bahwa teori tersebut dapat memberikan pencerahan

tentang bagaimana berkomunikasi dengan menggunakan bahasa.

Namun, ketika Ia menemukan kenyataan bahwa makna bahasa hanya dibatasi pada aspek

semantik, bukan kepuasan yang ditemuinya melainkan kekecewaan. Diakui bahwa semantik

sangat penting dalam komunikasi, tetapi sumbangannya dapat dikatakan kecil dalam pemahaman

Page 7: Implikatur shintia

makna bahasa secara umum. Akhirnya, kemunculan kajian pragmatik juga disebabkan oleh

adanya kemungkinan bahwa penjelasan fungsional yang signifikan dapat diberikan kepada fakta-

fakta linguistik. Lazimnya penjelasan-penjelasan linguistik hanya bersifat internal. Artinya, fitur-

fitur linguistik dijelaskan dengan merujuk pada fitur-fitur linguistik yang lain atau pada aspek-

aspek teori linguistik itu sendiri. Dalam kenyataannya, terdapat kemungkinan penjelasan lain

yang datang dari luar aspek linguistik (Levinson, 1983).

C. Antara Pragmatik dan Semantik

Pragmatik dan semantik keduanya membicarakan makna. Perbedaan keduanya terletak

pada penggunaan kata kerja to mean sebagaimana dalam pertanyaan berikut ini (Leech, 1983).

1. What does X mean? (Apa arti X?)

2. What do you mean by X? (Apa maksudmu dengan X?)

Pada umumnya semantik menganggap makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi

(dyadic), seperti pada kalimat (1) sedangkan pragmatik menganggap makna sebagai suatu

hubungan yang melibatkan tiga segi (triadic), sebagaimana tercermin pada kalimat (2) di atas.

Dengan demikian, dalam pragmatik makna diberi definisi dalam kaitannya dengan penutur,

sedangkan dalam semantik makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan dalam

bahasa tertentu yang terpisah dari penuturnya (Leech, 1983).

Pendapat lain mengatakan bahwa perbedaan antara semantik dan pragmatik terletak pada

konteks. Meskipun antara pragmatik dan semantik memiliki perbedaan namun disisi lain kedua

bagian linguistik ini justru memiliki hubungan yang sinergis dan saling melengkapi walaupun

agak sulit untuk dibuktikan secara obyektif. Namun dalam hal ini menurut Leech (1993:8) dapat

dilakukan suatu pembenaran dengan cara negatif, yaitu dengan menunjukkan kegagalan-

kegagalan atau kelemahan pandangan ini. Pandangan yang lain adalah pertama, penggunaan

makna seperti pada kalimat (1) dan contoh kalimat (2) di atas termasuk bidang semantik. Kedua,

penggunaan makna pada contoh tersebut di atas termasuk bidang pragmatik. Lebih jelasnya

ketiga pandangan tersebut di atas dapat dilihat pada bagan berikut ini:

Page 8: Implikatur shintia

Berdasarkan bagan di atas, menunjukkan bahwa betapa sulitnya untuk merumuskan

semantisme dan pragmatisme serta meberikan contoh-contonya. Karena itu, menurut Leech

(1993:9) lebih mengacu kepada mereka yang lebih banyak memasukkan kajian makna kedalam

posisi semantisme, dan pragmatisis mengacu kepada mereka yang lebih banyak memasukkan

kajian makna kedalam posisi pragmatisme.

Berdasarkan hal di atas, Joko Nurkamto (2000) menyimpulkan bahwa kajian semantik

cenderung mengkaji makna yang terlepas dari konteks ujaran. Sedangkan pragmatik

membicarakan makna dengan mempertimbangkan konteks ujaran tersebut. Oleh karena itu,

dalam memahami ujaran semisal: “Gadis itu cantik,” semantik hanya mempertimbangkan faktor-

faktor internal bahasa dalan ujaran itu, yaitu kosa kata dan hubungan antar kosa kata itu;

sedangkan pragmatik mempertimbangkan siapa yang mengatakan kalimat itu, di mana, kapan,

dan dalam situasi apa, di samping faktor-faktor internal bahasanya. Bagi semantik, ujaran di atas

hanya berarti pemberitahuan bahwa gadis itu berwajah cantik; namun bagi kajian pragmatik

ujaran di atas dapat berarti ganda, yaitu: pemberitahuan bahwa gadis itu berwajah cantik, anjuran

atau keingnan bagi seorang pemuda untuk mengenali dan mendekatinya, atau yang lebih dari

sekedar itu tergantung pada konteksnya.

Meskipun berbeda, dalam memahami makna suatu ujaran keduanya bekerjasama secara

komplementer. Artinya, makna suatu ujaran tidak dapat hanya didekati dari salah satu satu sisi,

baik semantik maupun pragmatik, melainkan harus dilihat dari keduanya. Dalam contoh di atas,

misalnya, orang tidak akan dapat memahami bahwa ujaran “Gadis itu cantik” berarti anjuran

atau keingnan bagi seorang pemuda untuk mengenali dan mendekatinya (Pragmatics). Apabila ia

tidak memahami makna dasarnya maka hal itu masuk bidang semantik (semantics).

D. Sumber Kajian Pragmatik

Pragmatik sebagai ilmu bersumber pada beberapa ilmu lain yang juga mengkaji bahasa

dan faktor-faktor yang berkaitan dengan penggunaan bahasa ilmu-ilmu itu ialah filsafat bahasa,

sosiolinguistik antropologi, dan linguistik – terutama analisa wacana (discourse analysis)dan

Page 9: Implikatur shintia

toeri deiksis (Nababan, 1987). Dari filsafat bahasa pragmatik mempelajari tindak tutur (speech

act) dan conversational implicature. Dari sosiolinguistik, pragmatik membicarakan variasi

bahasa, kemampuan komunikatif, dan fungsi bahasa. Dari antropologi pragmatik mempelajari

etika berbahasa, konteks berbahasa, dan faktor non verbal. Dari linguistik dan analisa wacana

dibicarakan lebih dalam pada bagian-bagian selanjutnya.

E. Obyek Kajian Pragmatik

Pada uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa pragmatik mengacu pada kajian

penggunaan bahasa yang berdasarkan pada konteks. Bidang kajian yang berkenaan dengan hal

itu – yang kemudian lazim disebut bidang kajian pragmatic adalah deiksis (dexis), praanggapan

(presupposition), tindak tutur (speech act), dan implikatur percakapan (conversational

inplicature). Masing bidang kajian di atas dibahas secara singkat di bawah ini:

Deiksis (Dexis)

Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat

ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan konteks pembicaraan (Hasan Alwi, dkk.,

1998). Kata saya, sini, sekarang, misalnya, tidak memiliki acuan yang tetap melainkan bervariasi

tergantung pada berbagai hal. Acuan dari kata saya menjadi jelas setelah diketahui siapa yang

mengucapkan kata itu. Kata sini memiliki rujukan yang nyata setelah di ketahui di mana kata itu

di ucapkan. Demikian pula, kata sekarang ketika diketahui pula kapan kata itu diujarkan.

Dengan demikian kata-kata di atas termasuk kata-kata yang deiktis. Berbeda halnya dengan kata-

kata seperti meja, kursi, mobil, dan komputer. Siapapun yang mengatakan, di manapun, dan

kapanpun, kata-kata tersebut memiliki acuan yang jelas dan tetap.

Bayangkan, ketika seorang mahasiswa UIN mendapati tulisan di sebuah mikrolet jurusan

GL/LG, yang bertuliskan hari ini bayar, besok gratis. Demikian pula di dalam sebuah warung

makan di sekitar tempat kos mahasiswa, dijumpai sticker yang bertuliskan Hari ini bayar, besok

boleh ngutang. Ungkapan-ungkapan di atas memiliki arti hanya apabila diujarkan oleh sopir

Page 10: Implikatur shintia

mikrolet di hadapan para penumpangnya atau oleh pemilik warung makan di depan para

pengunjung warung makannya.

Deiksis dapat di bagi menjadi lima kategori, yaitu deiksis orang (persona), waktu (time),

tempat (place), wacana (discourse), dan sosial (social) (Levinson, 1983). Deiksis orang

berkenaan dengan penggunaan kata ganti persona, seperti saya (kata ganti persona pertama),

kamu (kata ganti persona kedua). Contoh Bolehkah saya datang kerumahmu? Kata saya dan -mu

dapat dipahami acuannya hanya apabila diketahui siapa yang mengucapkan kalimat itu, dan

kepada siapa ujaran itu ditujukan.

Deiksis waktu berkenaan dengan penggunaan keterangan waktu, seperti kemarin, hari ini,

dan besok. Contoh, Bukankah besok hari libur? Kata besok memiliki rujukan yang jelas hanya

apabila diketahui kapan kalimat itu diucapkan.

Deiksis tempat berkenaan dengan penggunaan keterangan tempat, seperti di sini, di sana, dan di

depan. Contoh duduklah di sini!. Kata di sini memiliki acuan yang jelas hanya apabila diketahui

dimana kalimat itu diujarkan.

Deiksis wacana berkaitan dengan penggunaan ungkapan dalam suatu ujaran untuk

mengacu pada bagian dari ujaran yang mengandung ungkapan itu (termasuk ungkapan itu

sendiri), seperti berikut ini, pada bagian lalu, dan ini. Contoh, kata that pada kalimat that was

the funniest story ever heard. Penanda wacana yang menghubungkan kalimat yang satu dengan

kalimat lain. Seperti any way, by the way, dan di samping itu juga termasuk dalam deiksis

wacana. Deiksis sosial berkenaan dengan aspek ujaran yang mencerrminkan realitas sosial

tertentu pada saat ujaran itu dihasilkan. Penggunaan kata Bapak pada kalimat “Bapak dapat

memberi kuliah hari ini?” Yang diucapkan oleh seorang mahasiswa kepada dosennya

mencerminkan deiksis sosial. Dalam contoh di atas dapat diketahui tingkat sosial pembicara dan

lawan bicara. Lawan bicara memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi dari pada pembicara.

F. Praanggapan (Presupposition)

Page 11: Implikatur shintia

Praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta

percakapan (Brown dan yule, 1996); atau “What a speaker or writer assumes that the receiver of

the missage alredy knows”(Richards, Platt, dan platt, 1993). Asumsi tersebut ditentukan batas-

batasannya berdasarkan anggapan-anggapan pembicara mengenai apa yang kemungkinan akan

diterima oleh lawan bicara tanpa tantangan. Sebagai ilustrasi perhatikan percakapan di bawah

ini:

A: What about inviting John tonight?

B: What a good idea; then he can give Monica a lift

Praanggapan yang terdapat dalam percakapan di atas antara lain adalah (1) Bahwa A dan B kenal

dengan John dan Monica, (2) bahwa John memiliki kendaraan – kemungkinan besar mobil, dan

(3) bahwa Monica tidak memiliki kendaraan saat ini (Richard, Platt, dan Platt, 1993).

Dari contoh di atas dipahami bahwa apabila suatu kalimat diucapkan, selain dari makna yang

dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu, turut tersertakan pula tambahan makna, yang tidak

dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu (Bambang Kaswanti Purwo, 1990).

G. Tindak Tutur (Speech Act)

Tindak tutur adalah adalah suatu tuturan /ujaran yang merupakan satuan fungsional

dalam komunikasi (Richard, Platt, dan Platt, 1993). Teori tindak tutur di kemukakan oleh dua

orang ahli filsafat bahasa yang bernama John Austin dan John Searle pada tahun 1960-an.

Menurut teori tersebut, setiap kali pembicara mengucapkan suatu kalimat, Ia sedang berupaya

mengerjakan sesuatu dengan kata-kata (dalam kalimat) itu. Menurut istilah Austin (1965: 94), “

By saying something we do something”. Seorang hakim yang mengatakan “dengan ini saya

menghukum kamu dengan hukuman penjara selama lima tahun” sedang melakukan tindakan

menghukum terdakwa. Kata-kata yang diucapkan oleh hakim tersebut menandai dihukumnya

terdakwa. Terdakwa tidak akan masuk penjara tanpa adanya kata-kata dari hakim (Clark dan

Clark, 1977:26).

Kata-kata yang diungkapkan oleh pembicara memiliki dua jenis makna sekaligus, yaitu

makna proposisional atau makna lokusioner (locutionary meaning) dan makna ilokusioner

Page 12: Implikatur shintia

(illocutionary meaning). Makna proposisional adalah makna harfiah kata-kata yang terucap itu.

Untuk memahami makna ini pendengar cukup melakukan decoding terhadap kata-kata tersebut

dengan bekal pengetahuan gramatikal dan kosa kata. Makna ilokusioner merupakan efek yang

ditimbulkan oleh kata-kata yang diucapkan oleh pembicara kepada pendengar. Sebagai ilustrasi,

dalam ungkapan “saya haus” makna proposisionalnya adalah pernyataan yang menggambarkan

kondisi fisik pembicara bahwa Ia haus. Makna ilokusionernya adalah efek yang diharapkan

muncul dari pernyataan tersebut terhadap pendengar. Pernyataan tersebut barangkali

dimaksudkan sebagai permintaan kepada pendengar untuk menyediakan minuman bagi

pembicara.

Searle (1986) dalam Joko Nurkamto (2000) membagi tindak tutur menjadi lima.

Pertama, komisif (commisive), yaitu tindak tutur yang menyatakan bahwa pembicara akan

melakukan sesuatu di masa akan datang, seperti janji atau ancaman. Contoh: Saya akan

melamarmu bulan depan. Kedua, deklaratif (declarative), yaitu tindak tutur yang dapat

mengubah keadaan. Contoh: Dengan ini Anda saya nyatakan lulus. Kata-kata tersebut mengubah

status seseorang dari keadaan belum lulus ke keadaan lulus. Ketiga, direktif (directive), yaitu

tindak tutur yang berfungsi meminta pendengar untuk melakukan sesuatu seperti saran,

permintaan, dan perintah. Contoh: Silahkan duduk!. Keempat, ekspresif (expressive), yaitu tindak

tutur yang digunakan oleh pembicara untuk mengungkapkan perasaan dan sikap terhadap

sesuatu. Contoh: Mahasiswi itu cantik sekali. Kelima, representatif (representative), yaitu tindak

tutur yang menggambarkan keadaan atau kejadian, seperti laporan, tuntutan, dan pernyataan.

Contoh: Ujian Akhir Semester dimulai pukul tujuh.

Dari uraian di atas tampak bahwa tindak tutur (speech act) merupakan fungsi bahasa

(language function), yaitu tujuan digunakan bahasa, seperti untuk memuji, meminta maaf,

memberi saran, dan mengundang. Fungsi-fungsi tersebut tidak dapat ditentukan hanya dari

bentuk gramatikalnya, tetapi juga dari konteks digunakannya bahasa tersebut. Sebagai contoh,

Kalimat deklaratif yang secara tradisional digunakan untuk membuat pernyataan (statement)

dapat digunakan untuk menyatakan permintaan atau perintah (Sinclair dan Coulthard, 1975).

Page 13: Implikatur shintia

Oleh karena itu, dalam teori tindak tutur (speech act) dikenal istilah tindak tutur tidak langsung

(indirect speech act), yaitu tindak tutur yang dikemukakan secara tidak langsung. Bandingkan

kedua ujaran berikut ini, yang diucapkan seorang tamu kepada tuan rumahnya:

A: Maaf lho Bu, Gelasnya bocor

B: Bu, saya haus

Kalimat (1) adalah contoh tindak tutur tidak langsung, dan kalimat (2) adalah kalimat contoh

tindak tutur langsung. Dalam komunikasi sehari-hari, tindak tutur langsung sering dianggap lebih

sopan dari pada tindak tutur langsung, terutama apabila berkaitan dengan permintaan (requests)

dan penolakan (refusals).

Implikatur Percakapan (Conversational Inplicature)

Istilah implikatur dipakai oleh Grice (1975) untuk menerangkan apa yang mungkin di artikan,

disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dengan apa yang sebenarnya

dikatakan oleh penutur itu (Brown dan Yule, 1996). Menurut Levinson (1983), implikatur

percakapan merupakan penyimpangan dari muatan semantik suatu kalimat. Dikatakan bahwa:

“they grenerate inferences beyond the semantic content of the sentences uttered. Such inferences

are, by definition, conversational implicatures, where the term implicature is intended to

contrast with the term like logical implication, entaiment and logical consequences which are

generally used to refer to inferences that are derived solely from logical and semantic content.

Sejarah Perkembangan Pragmatik

Pragmatik telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika sejak tahun

1970-an. Morris (1938) dianggap sebagai peletak tonggaknya lewat pandangannya tentang

semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang: sintaksis, semantik, dan pragmatik.

Kemudian Halliday (1960) yang berusaha mengembangkan teori sosial mengenai bahasa yang

memandang bahasa sebagai fenomena sosial.

Di Amerika, karya filsuf Austin (1962) dan muridnya Searle (1969, 1975), banyak mengilhami

perkembangan pragmatik. Karya Austin yang dianggap sebagai perintis pragmatik berjudul How

Page 14: Implikatur shintia

to Do Things with Words (1962). Dalam karya tersebut, Austin mengemukakan gagasannya

mengenai tuturan performatif dan konstatif.

H. Perkembangan Pragmatik di Indonesia

Istilah pragmatik secara nyata di Indonesia muncul pada 1984 ketika diberlakukannya

Kurikulum Sekulah Menengah Atas tahun 1984. Dalam kurikulum ini pragmatik merupakan

salah satu pokok bahasan bidang studi bahasa Indonesia (Depdikbud, 1984).

Beberapa karya mengenai pragmatik mulai bermunculan. Diawali oleh Tarigan (1986) yang

membahas tentang pragmatik secra umum. Nababan (1987) dan Suyono (1990) juga masih

terkesan „memperkenalkan pragmatik“, sebab belum membahas pragmatik secara rinci dan luas.

Pada karya Tallei (1988), Lubis (1993), dan Ibrahim (1993) tampak deskripsi yang agak

mendalam, tetapi orisinalitas gagasanya agak diragukan karena, terutama pada karya Tallei,

hampir sepenuhnya mengacu pada buku Discourse Analyses karya Stubbs (1983). Buku

pragmatik pertama yang tergolong kritis adalah karya Bambang Kaswanti Purwo (1990) dengan

judul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Karya Wijana (1996) yang berjudul Dasar-dasar

Pragmatik sudah menuju ke arah pragmatik yang lebih lengkap dan mendalam

C. Aspek-aspek Pragmatik

Beberapa aspek Pragmatik seperti di bawah ini:

• Penutur dan lawan tutur

Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan yang

bersangkutan dikomunikasikan dalam bentuk tulisan. Aspek-aspek tersebut adalah usia, latar

belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.

• Konteks tuturan

Konteks di sini meliputi semua latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan

disetujui bersama oleh penutur dan lawan tutur, serta yang menunjang interpretasi lawan tutur

terhadap apa yang dimaksud penutur dengan suatu ucapan tertentu.

Page 15: Implikatur shintia

• Tujuan tuturan

Setiap situasi tuturan atau ucapan tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu pula. Kedua

belah pihak yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada

tujuan tertentu.

• Tuturan sebagai bentuk tindakan dan kegiatan tindak tutur

Dalam pragmatik ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan yaitu kegiatan tindak ujar.

Pragmatik menggarap tindak-tindak verbal atau performansi-performansi yang berlangsung di

dalam situasi-situasi khusus dalam waktu tertentu.

• Tuturan sebagai produk tindak verbal

Dalam pragmatik tuturan mengacu kepada produk suatu tindak verbal, dan bukan hanya pada

tindak verbalnya itu sendiri. Jadi yang dikaji oleh pragmatik bukan hanya tindak ilokusi, tetapi

juga makna atau kekuatan ilokusinya.(Leech, 1993:19)

Pertimbangan aspek-aspek situasi tutur seperti di atas dapat menjelaskan keberkaitan antara

konteks tuturan dengan maksud yang ingin dikomunikasikan.

I. Pragmatik dalam Linguistik

Seperti telah saya uraikan sedikit dalam sub 3 di atas, salah satu kecenderungan yang

melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross. Dalam

sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk

linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam kalimat, dan bagaimana rangkaian

tersebut dapat dinyatakan well-formed secara gramatikal. Secara umum, sintaksis tidak

mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk

seperti kucing menyapu halaman, meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat

dinyatakan apik secara sintaksis.

Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas

prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap

dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa

digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang

Page 16: Implikatur shintia

mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan,

bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara

sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan

memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat

diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama

antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam

linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.

Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu tataran

linguistik yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic forms) dan entitas

yang terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth conditional semantics,

untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau

harus bersifat analitis. Dengan demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang

tidak berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan

termasuk pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan makna dalam semantik belum

memadai, karena masih mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti

seandainya saya dapat berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok

pagi, meskipun bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena

yang pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata

lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan

semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang yang

mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan

maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik,

dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi

penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi

felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.

Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan

mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara

semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat

abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya

Page 17: Implikatur shintia

(force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan

pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun

makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan,

sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang

dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau

dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah

bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah

lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat

bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip lain.

Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22),

terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh

pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut

situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk

membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya,

karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing,

pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi

kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan

bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif

yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical

competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan

dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence)

yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi

strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan

melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.

J. PENGERTIAN DEIKSIS

1. Pengertian Deiksisi

Deiksis berasal dari kata Yunani kuno yang berarti “menunjukkan atau menunjuk”. Dengan kata

lain informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu

baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis, misalnya he, here, now.

Page 18: Implikatur shintia

Ketiga ungkapan itu memberi perintah untuk menunjuk konteks tertentu agar makna ujaran dapat

di pahami dengan tegas.Tenses atau kala juga merupakan jenis deiksis. Misalnya then hanya

dapat di rujuk dari situasinya.

Deiksis didefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya. Contohnya

dalam kalimat “Saya mencintai dia”, informasi dari kata ganti “saya” dan “dia” hanya dapat di

telusuri dari konteks ujaranPraanggapan

Jenis-jenis praanggapan. Hanya mungkin terdapat perbedaan istilah saja. Penulis dapat

mengambil simpulan bahwa jenis praanggapan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu praanggapan

yang ditinjau dari segi semantik dan praanggapan yang ditinjau dari segi pragmatik. Perbedaan

ini disebabkan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Marmaridou (dalam Louise Cummings,

1999: 52) di atas. Pada awalnya, praanggapan dikaji berdasarkan ilmu semantik, jadi hanya

berkutat pada makna leksikal dan gramatikal saja. Namun, praanggapan semantik kurang dapat

menjelaskan pada aspek tertentu sehingga muncul pendapat baru ahli bahasa yaitu praanggapan

pragmatik yang telah mengaitkan aspek konteks bahasa di dalam ujaran atau kalimat tersebut

raangapan merupakan suatu pengalaman manusia sehari-hari sehingga praanggapan juga

merupakan gejala yang mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Namun, sering kita tidak

sadar akan hal itu. Dalam makalah ini akan dijelaskan secara singkat mengenai apa itu

praanggapan? Apa saja ciri praanggapan? Dan apa saja jenis praanggapan?

1. Pengertian Praanggapan

Praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to

suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis

mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang kawan bicara atau hal yang

dibicarakan .

Selain definisi tersebut, beberapa definisi lain tentang praanggapan di antaranya adalah :

Levinson (dalam Nababan, 1987: 48) memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan

maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam anggapan atau pengetahuan latar

belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna.

Page 19: Implikatur shintia

George Yule (2006 : 43) menyatakan bahwa praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang

diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki

presuposisi adalah penutur bukan kalimat. Louise Cummings (1999: 42) menyatakan bahwa

praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-

ungkapan linguistik tertentu.

Nababan (1987: 46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar

mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa

(kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan

sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya

untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.

Dari beberapa definisi praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah

kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan

disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan contoh

berikut :

A : “Aku sudah membeli bukunya Pak Pranowo kemarin”

B : “Dapat potongan 30 persen kan?

Contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur A memiliki praanggapan

bahwa B mengetahui maksudnya yaitu terdapat sebuah buku yang ditulis oleh Pak Pranowo.

2. Ciri Praanggapan

Ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat keajegan di bawah penyangkalan (Yule;2006:45).

Hal ini memiliki maksud bahwa praanggapan (presuposisi) suatu pernyataan akan tetap ajeg

(tetap benar) walaupun kalimat itu dijadikan kalimat negatif atau dinegasikan. Sebagai contoh

perhatikan beberapa kalimat berikut :

(2) a. Gitar Budi itu baru

b. Gitar Budi tidak baru

Kalimat (2b) merupakan bentuk negatif dari kaliamt (2a). Praanggapan dalam kalimat (2a)

adalah Budi mempunyai gitar. Dalam kalimat (2b), ternyata praanggapan itu tidak berubah meski

kalimat (2b) mengandung penyangkalan tehadap kalimat (2a), yaitu memiliki praanggapan yang

Page 20: Implikatur shintia

sama bahwa Budi mempunyai gitar.

Wijana dalam Nadar (2009 : 64) menyatakan bahwa sebuah kalimat dinyatakan

mempresuposisikan kalimat yang lain jika ketidakbenaran kalimat yang kedua (kalimat yang

diprosuposisikan) mengakibatkan kalimat pertama (kalimat yang memprosuposisikan) tidak

dapat dikatakan benar atau salah. Untuk memperjelas pernyataan tersebut perhatikan contoh

berikut.

(3) a. Istri pejabat itu cantik sekali

b. Pejabat itu mempunyai istri

Kalimat (3b) merupakan praanggapan (presuposisi) dari kalimat (3a). Kalimat tersebut dapat

dinyatakan benar atau salahnya bila pejabat tersebut mempunyai istri. Namun, bila berkebalikan

dengan kenyataan yang ada (pejabat tersebut tidak mempunyai istri), kalimat tersebut tidak dapat

ditentukan kebenarannya.

3. Jenis-jenis Praanggapan

Praanggapan (presuposisi) sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan

struktur (Yule; 2006 : 46). Selanjutnya Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6

jenis praanggapan, yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif,

presuposisi leksikal, presuposisi struktural,dan presuposisi konterfaktual.

3.1. Presuposisi Esistensial

Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah preaanggapan yang menunjukkan eksistensi/

keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit.

(4). a. Orang itu berjalan

b. Ada orang berjalan

3.2. Presuposisi Faktif

Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan

mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.

(5) a. Dia tidak menyadari bahwa ia sakit

b. Dia sakit

(6) a. Kami menyesal mengatakan kepadanya

b. Kami mengatakan kepadanya

3.3. Presuposisi Leksikal

Page 21: Implikatur shintia

Presuposisi (praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang

dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang

tidak dinyatakan) dipahami.

(7) a. Dia berhenti merokok

b. Dulu dia biasa merokok

(8) a. Mereka mulai mengeluh

b. Sebelumnya mereka tidak mengeluh

3.4. Presuposisi Non-faktif

Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.

(9) a. Saya membayangkan bahwa saya kaya

b. Saya tidak kaya

(10) a. Saya membayangkan berada di Hawai

b. Saya tidak berada di Hawai

3.5. Presuposisi Struktural

Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah

dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah

diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional

diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah diketahui sebagai masalah.

(11) a. Di mana Anda membeli sepeda itu?

b. Anda membeli sepeda

(12) a. Kapan dia pergi?

b. Dia pergi

3.6. Presuposisi konterfaktual

Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya tidak

benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan

kenyataan.

(11) a. Seandainya

TINDAK TUTUR

1. Pengertian

Page 22: Implikatur shintia

Tindak tutur (istilah Kridalaksana ‘pertuturan’ / speech act, speech event): pengujaran

kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar

(Kridalaksana, 1984: 154)

Speech act: an utterance as a functional unit in communication (Richards et al, 1989: 265). Di

dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan

pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan kalimat ia juga “menindakkan” sesuatu. Dengan

pengucapan kalimat Arep ngombe apa? si pembicara tidak semata-mata menanyakan atau

meminta jawaban tertentu; ia juga menindakkan sesuatu, yakni menawarkan minuman. Seorang

ibu rumah pondokan putri, mengatakan Sampun jam sanga ia tidak semata-mata memberi tahu

keadaan jam pada waktu itu; ia juga menindakkan sesuatu, yaitu memerintahkan si mitratutur

supaya pergi meninggalkan rumah pondokannya.

Hal-hal apa sajakah yang dapat ditindakkan di dalam berbicara? Ada cukup banyak; antara lain,

permintaan (requests), pemberian izin (permissons), tawaran (offers), ajakan (invitation),

penerimaan akan tawaran (acceptation of offers)

2. Tindak Tutur dan Jenis-jenisnya

Tindak tutur (selanjutnya TT) atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat

penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan analisisnya. Uraian berikut memaparkan

klasifikasi dari berbagai jenis TT.

2.1 Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi

Austin (1962) dalam How to do Things with Words mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah

kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act), di samping memang

mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran,

yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.

Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan

kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai

dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi,

apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku ngelak” dalam tindak

Page 23: Implikatur shintia

lokusi kita akan mengartikan “aku” sebagai ‘pronomina persona tunggal’ (yaitu si P) dan

“ngelak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’, tanpa bermaksud untuk minta

minum.

Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang maksud dan

fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan. Jadi, “Aku ngelak”

yang diujarkan oleh P dengan maksud ‘minta minum’ adalah sebuah tindak ilokusi.

Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara singkat,

perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika MT melakukan

tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di sini dapat

dikatakan terjadi tindak perlokusi.

2.2 TT Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklaratif

Searle (1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis TT (dalam Ibrahim,

1993: 11-54). Kelima TT itu sebagai berikut:

(1) TT representatif yaitu TT yang mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa yang

dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan.

(2) TT direktif yaitu TT yang dilakukan P-nya dengan maksud agar si pendengar atau MT

melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh, memohon,

menuntut, menyarankan, dan menantang.

(3) TT ekspresif ialah TT yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai

evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya memuji, mengucapkan

terima kasih, mengritik, dan mengeluh.

(4) TT komisif adalah TT yang mengikat P-nya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di

dalam ujarannya, misalnya berjanji dan bersumpah.

Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa di dalam komunikasi satu fungsi dapat

dinyatakan atau diutarakan melalui berbagai bentuk ujaran. Untuk maksud atau fungsi

“menyuruh”, misalnya, menurut Blum-Kulka (1987) (lihat Gunarwan, 1993: dapat diungkapkan

dengan menggunakan berbagai ujaran sebagai berikut.

Page 24: Implikatur shintia

(1) Kalimat bermodus imperatif : Pindhahen meja iki!

(2) Performatif eksplisit : Dakjaluk sliramu mindhahke meja iki!

(3) Performatif berpagar : Aku jan-jane arep njaluk tulung sliramu mindhahke meja iki.

(4) Pernyataan keharusan : Sliramu kudu mindhahke meja iki!

(5) Pernyataan keinginan : Aku kepengin meja iki dipindhah.

(6) Rumusan saran : Piye yen meja iki dipindhah?

(7) Persiapan pertanyaan : Kowe bisa mindhah meja iki?

(8) Isyarat kuat : Yen meja iki ana ing kene, kamar iki katon rupek.

(9) Isyarat halus : Kamar iki kok katone sesak ngono ya?

2.3 TT Langsung vs TT Tidak Langsung

Dari sembilan bentuk ujaran tersebut diperoleh sembilan TT yang berbeda-beda derajat

kelangsungannya dalam menyampaikan maksud ‘menyuruh memindahkan meja’ itu. Hal ini

berkaitan dengan tindak tutur langsung (TT-L) dan tindak tutur tidak langsung (TT-TL). Derajat

kelangsungan TT dapat diukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik ilokusi ( di benak P) ke

titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat pula diukur berdasarkan kejelasan

pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran makin langsunglah ujaran itu, dan sebaliknya. Dari

kesembilan bentuk ujaran tersebut, yang paling samar-samar maksudnya ialah bentuk ujaran (9),

berupa isyarat halus. Karena kata “meja” sama sekali tidak disebutkan oleh P dalam ujaran (9),

maka MT harus mencari-cari konteks yang relevan untuk dapat menangkap maksud P.

Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga menggunakan tindak tutur harafiah (TT-H) atau tindak

tutur tidak harafiah (TT-TH) di dalam mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal itu,

kelangsungan dan keharafiahan ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat macam

ujaran, yaitu:

(1) TT-LH : “Buka mulut”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasiennya.

(2) TT-LTH : “Tutup mulut”, misalnya diucapkan oleh seseorang yang jengkel kepada MT-nya

yang selalu “cerewet”.

(3) TT-TLH : “Bagaimana kalau mulutnya dibuka?”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi

kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut.

(4) TT-TLTH : “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua sepakat menutup mulut kita

masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P yang mengajak MT-nya untuk tidak membuka

Page 25: Implikatur shintia

rahasia.

Dengan demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di atas dapat dicatat ada

delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996: 36).

(1) Tindak tutur langsung (TT-L)

(2) Tindak tutur tidak langsung (TT-TL)

(3) Tindak tutur harafiah (TT-H)

(4) Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH)

(5) Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)

(6) Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH)

(7) Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)\

(8) Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH)

Apabila seseorang menggunakan bahasa, maka ada 3 jenis tindakan atau tindak tutur

(selanjutnya disingkat TT), yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Hal ini sejalan dengan pendapat

Austin (1962) yang melihat adanya tiga jenis tindak ujar, yaitu tindak lokusi (melakukan

tindakan mengatakan sesuatu), tindak ilokusi (melakukan tidakan dalam mengatakan sesuatu),

dan tindak perlokusi (melakukan tindakan dengan mengatakan sesuatu). Misalnya:

1. Lokusi n mengatakan kepada t bahwa X.

(merupakan tindak mengatakan sesuatu: menghasilkan serangkaian bunyi yang berarti sesuatu.

Ini merupakan aspek bahasa yang merupakan pokok penekanan linguistik tradisional).

2. Ilokusi Dalam mengatakan X, n menegaskan (asserts) bahwa P.

(Dilakukan dengan mengatakan sesuatu, dan mencakup tindak-tindak seperti bertaruh, berjanji,

menolak, dan memesan. Sebagian verba yang digunakan untuk melabel tindak ilokusi bisa

digunakan secara performatif. Dengan demikian mengatakan Saya menolak bahwa Xsama

halnya menolak bahwa X.)

3. Perlokusi Dengan mengatakan X, n meyakinkan (convinces) t bahwa P.

(Menghasilkan efek tertentu pada pendengar. Persuasi merupakan tindak perlokusi: orang tidak

dapat mempersuai seseorang tentang sesuatu hanya dengan mengatakan Saya mempersuasi anda.

Contoh-contoh yang sesuai adalah meyakinkan, melukai, menakut-nakuti, dan membuat tertawa)

Page 26: Implikatur shintia

Perbedaan kekuatan antara perlokusi dan ilokusi tidak selalu jelas. Misalnya, suruhan (request)

memiliki kekuatan esensial untuk membuat pendengar melakukan sesuatu. Kesulitan dalam

definisi ini muncul dari urutan tindakan yang banyak diabaikan oleh teori tindak tutur. Kesulitan

itu juga muncul dari dasar definisi maksud penutur, yang merupakan keadaan psikologis yang

tidak bisa diobservasi (lihat Abd. Syukur Ibrahim, 1993: 115).

K. PRINSIP KERJA SAMA

(Cooperative Principle)

Sebelum belajar tentang ‘prinsip kerja sama’, kita perlu belajar tentang ‘asumsi pragmatik’.

Kalau orang berbicara kepada orang lain pasti ingin mengemukakan sesuatu. Selanjutnya orang

lain diharapkan menangkap apa (hal) yang dikemukakan. Dengan adanya 2 tujuan ini, maka

orang akan berbicara sejelas mungkin, tidak berbelit-belit, ringkas, tidak berlebihan, berbicara

secara wajar (termasuk volume suara yang wajar).

Hanya saja dalam pragmatik terdapat penyimpangan-penyimpangan, ada maksud-maksud

tertentu, tetapi ia harus bertanggung jawab atas penyimpangan itu, sehingga orang lain bisa

mengetahui maksudnya. Mereka harus bekerja sama.

Contoh:

kikir : q2r

berdua satu tujuan : ber-217-an

tekate dhewe : TKTDW

kutujukan : ku√49kan

wawan : wa-one

prawan ayu : pra one are you

kian maju : q-an maju

lali main : la5in

dik daniel : dick&niel

kaki lima : kq lima

thank before : thx b4

aku : aq

Page 27: Implikatur shintia

kamu : u

Di dalam berkomunikasi, antara P dengan MT harus saling menjaga prinsip kerja sama

(cooperative principle) agar proses komunikasi berjalan dengan lancar. Tanpa adanya prinsip

kerja sama komunikasi akan terganggu. Prinsip kerja sama ini terealisasi dalam berbagai kaidah

percakapan. Secara lebih rinci, Grice menjabarkan prinsip kerja sama itu menjadi empat maksim

percakapan (periksa Gunarwan, 1993: 11; Lubis, 1993: 73; dan bandingkan pula Wijana, 1996:

46-53). Keempat maksim percakapan itu ialah sebagai berikut.

(1) Maksim kuantitas:

a. Berikan informasi Anda secukupnya atau sejumlah yang diperlukan oleh MT.

b. Bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu.

(2) Maksim kualitas:

a. Katakanlah hal yang sebenarnya.

b. Jangan katakan sesuatu yang Anda tahu bahwa sesuatu itu tidak benar.

c. Jangan katakan sesuatu tanpa bukti yang cukup.

(3) Maksim relevansi:

a. Katakan yang relevan.

b. Bicaralah sesuai dengan permasalahan.

(4) Maksim cara:

a. Katakan dengan jelas.

b. Hindari kekaburanan ujaran.

c. Hindari ketaksaan.

Page 28: Implikatur shintia

d. Bicaralah secara singkat, tidak bertele-tele.

e. Berkatalah secara sistematis.

Kenyataan membuktikan, di dalam percakapan sehari-hari tidak jarang kita temukan praktik-

praktik pelanggaran terhadap maksim-maksim Grice tersebut. Akan tetapi, bagi pengamat

pragmatik, justeru pelanggaran-pelanggaran itulah yang menarik untuk dikaji: mengapa P

melakukan pelanggaran terhadap maksim tertentu, ada maksud apa di balik pelanggaran maksim

tersebut? Misalnya, mengapa P yang bermaksud meminjam uang atau memerlukan bantuan

kepada MT biasanya diawali dengan menceritakan secara panjang lebar keadaan dirinya seraya

disertai dengan janji-janji? Apakah itu berlaku secara universal? Bukankah tindakan tersebut

melanggar maksim kuantitas?

Pada hemat saya, di antara empat maksim itu, maksim ketiga atau maksim relevansilah yang

paling penting sebab betapa pun informasi yang kita sampaikan itu cukup serta disampaikan

dengan cara yang jelas, sistematis, dan tidak ambigu, kalau informasi itu tidak relevan dengan

permasalahan toh tidak akan membawa manfaat. Sejauh mana asumsi ini benar juga masih

memerlukan pengkajian secara pragmatis.

L. IMPLIKATUR PERCAKAPAN

Konsep yang paling penting dalam ilmu pragmatic yang paling menonjolkan pragmatic

sebagai suatu cabang ilmu bahasa adalah implikatur percakapan. Levinson(1983) melihat

kegunaan konsep implikatur terdiri atas empat butir:

Konsep implikatur memungkinkan penjelasan fungsional yang bermakna atas fakta-fakta

kebahasaan yang tak terjangkau oleh teori linguistic.

Konsep implikatur memberikan suatu penjelasan yang tegas/implicit tentang bagaimana

mungkinnya apa yang diucapkannya secara lahiriah berbeda dari apa yang dimaksud dan bahwa

pemakai bahasa itu mnegerti pesan yang dimaksud.

Konsep implikatur ini kelihatannya dapat menyederhanakan pemerian semantic dari perbedaan

hubungan antar klausa, walaupun klausa itu dihubungkan dengan kata struktur yang sama.

Page 29: Implikatur shintia

Konsep implikatur ialah bahwa hanya beberapa butir saja dasar-dasar implikatur dapat

menerangkan berbagai macam fakta/gejala yang secara lahiriah kelihatan tidak atau berlawanan.

Grice (1957, juga dalam Steinberg & Jakobovits, 1971) membedakan dua macam makna

yang dia sebut natural meaning dan non-natural meaning. Menurut Grice, terdiri atas empat

aturan percakapan yang mendasari kerja sama penggunaan bahasa yang efisien yang secara

keseluruhan disebut dasar kerja sama. Dasar kerja sama ini terdiri dari empat aturan percakapan,

yaitu: kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara. Grice juga menyebutkan adanya aturan lain yang

umumnya bersifat sosial, estetis, atau susila/moral.

Implikatur percakapan memilki cirri-ciri sebagai berikut:

• Sesuatu implikatur percakapan dapat dibatalkan dalam hal tertentu.

• Biasanya tidak ada cara lain untuk mengatakan apa yang dikatakan dan masih mempertahankan

implikatur yang bersangkutan.

• Implikatur percakapan mempersyaratkan pengetahuan terlebih dahulu akan arti konvensional

dari kalimat yang dipakai.

• Kebenaran dari isi sesuatu implikaturpercakapan bukanlah tergantung pada kebenaran akan

yang dikatakan.

M. Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa

Sebelum mengkaji lebih jauh, akan dipaparkan suatu pengertian dari pragmatik yang dikutip dari

salah satu ahli bahasa. Levinson berpendapat bahwa pragmatik ialah kajian dari hubungan antara

bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa (Nababan, 1987 : 3). Dari

pendapat tersebut terlihat bahwa pragmatik merupakan salah satu bidang kajian bahasa yang

melibatkan unsur-unsur di luar bahasa (konteks) di dalam pengkajiannya.

Dalam pragmatik, pengkajian bahasa didasarkan pada penggunaan bahasa bukan pada struktural

semata. Konteks-konteks yang melingkupi suatu bahasa akan mendapat perhatian yang besar

dalam kaitannya dengan makna yang muncul dari suatu penggunaan bahasa. Kondisi praktis

tindak komunikasi menjadi pijakan utama dalam pengkajian pragmatik. Dalam hal ini, wacana-

wacana yang berkaitan dengan proses komunikasi akan dikaji.

Menurut Maidar Arsyad, pragmatik membaca pengkajian bahasa lebih jauh ke dalam

Page 30: Implikatur shintia

keterampilan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi praktis dalam segala situasi yang

mendasari interaksi kebahasaan antara manusia sebagai anggota masyarakat (1997 : 3.17). Dari

pendapat tersebut terlihat jelas bahwa orientasi pengkajian pragmatik adalah pada suatu

komunikasi praktis, di mana pada tataran praktis, muncul berbagai faktor diluar bahasa yang

turut memberi makna dalam proses komunikasi tersebut. Adapun Nababan mengemukakan

beberapa faktor penentu dalam berkomunikasi:

siapa yang berbahasa dengan siapa; untuk tujuan apa; dalam situasiap a

(tempat dan waktu); dalamkontek s apa (peserta lain, kebudayaan dan suasana); denganjalur apa

(lisan atau tulisan);media apa (tatap muka, telepon, surat, dan sebagainya); dalampe risti wa apa

(bercakap-cakap, ceramah, upacara, laporan, dan sebagainya) (1987 : 70)

Dari pendapat tersebut didapat beberapa faktor yang mungkin sekali mempengaruhi proses

tindak komunikasi yaitu pelaku, tujuan, situasi, konteks, jalur, media, dan peristiwa. Senada

dengan Nababan, Suyono juga mengemukakan tiga konsep dasar dalam komunikasi. Suyono

mengemukakan tiga konsep dasar dalam penggunaan bahasa (studi pragmatik) yaitu tindak

komunikatif, peristiwa komunikatif dan situasi komunikatif (1990 : 18). Melihat dua pendapat

tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya saja Suyono lebih meringkas lagi faktor-faktor

penentu tersebut dalam tiga konsep dasar.

Dengan berpijak pada beberapa hal di atas, jelaslah bahwa pragmatik akan sangat membantu

dalam pengajaran bahasa (khususnya di sekolah). Pengajaran bahasa yang berorientasi pada

kajian bahasa secara “struktural” jelas akan menimbulkan banyak kendala ketika tidak dikaitkan

dengan penggunaan bahasa secara praktis di lapangan. Dalam kegiatan berbahasa seseorang

dituntut untuk mencapai kualitas yang bersifat pragmatis. … Dengan bentuknya yang pragmatis

diharapkan siswa dapat menggunakan bahasa sasaran sesuai konteks yang melatari kegiatan

bahasa nyata (Nurhadi, 1995 : 146). Dari pendapat tersebut komunikasi yang terjadi

diorientasikan pada pencapaian kualitas yang bersifat pragmatis, sehingga pengguna (dalam hal

ini siswa) dapat menggunakan bahasa sesuai dengan konteksnya.

Pembelajaran bahasa sudah semestinya mampu mengakomodasi kebutuhan berbahasa secara

praktis sesuai dengan kondisi yang nyata. Dengan pola yang berdasar pada kajian pragmatik,

proses pembelajaran bahasa yang diterima oleh siswa secara otomatis akan mengacu pada suatu

Page 31: Implikatur shintia

kondisi praktis tindak komunikasi. Orientasi pembelajaran yang seperti ini juga akan menuntut

penyesuaian pada berbagai aspek pembelajaran, dari kurikulum sampai tataran praktis

pembelajaran. Seperti dikemukakan oleh Maidar Arsyad bahwa dalam pengajaran berbahasa,

pembuat kurikulum, atau program pembelajaran harus memikirkan bahan tentang berbagai

ragam bahasa dan melatihkannya sesuai dengan situasi dan konteks pemakaiannya (1997 : 3.17).

Ada tiga hal penting dari pendapat tersebut yaitu program belajar, ragam bahasa, dan pelatihan

sesuai situasi dan konteks.

Tiga hal tersebut memang sangat penting ketika suatu pembelajaran bahasa sudah berorientasi

pada penggunaan bahasa pada tataran praktis. Dari program, materi (bahan), ragam bahasa, dan

menciptakan suatu situasi dan konteks yang sesuai jelas tidak dapat dihindarkan ketika target

akhir dari pembelajaran bahasa adalah“siswa mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien

sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis” (BSNP, 2006).

Ada juga pendapat lain yang lebih jauh merambah aspek lain di luar

bahasa. Eny (2004), berpendapat:

Pengajaran bahasa Indonesia seharusnya berdasarkan pada dimensi kultural karena dalam

pembelajaran itu diungkapkan gagasan mengenai masalah yang berkaitan dengan ilmu, teknologi

dan atau budaya yang sedang dipelajarinya. Pengajaran itu difokuskan pada kemahiran

menggunakan bahasa yang benar, jelas, efektif, dan sesuai dengan fungsi bahasa sebagai alat

komunikasi.

Dari pendapat tersebut, Eny mencoba melibatkan dimensi kultural karena berkaitan dengan

aspek-aspek kehidupan yang lain. Memang suatu bahasa pada akhirnya akan bersinggungan

dengan berbagai aspek yang lain ketika manusia dalam menuangkan gagasan apapun akan

menggunakan suatu bahasa. Jadi akan sangat berterima jika suatu pembelajaran bahasa harus

berdasar pada kondisi praktis.

Berangkat dari berbagai paparan di atas, dapat kita tarik suatu simpulan bahwa pembelajaran

bahasa yang diorientasikan pada tataran praktis tindak komunikasi akan sangat diperlukan bagi

peserta didik. Dalam hal ini, pendekatan komunikatif (lebih spesifik pragmatik) sangat

membantu dalam mengarahkan proses pembelajaran bahasa yang dilakukan, terutama pada

tataran pendidikan formal atau sekolah

Page 32: Implikatur shintia

1. Pragmatik Sebagai Cabang Ilmu Bahasa

Menurut sejarahnya pragmatik dari kata Yunani pragma yang berarti tindakna sebagia ilmu

pertama-tama muncul di dalam dunia filsafat. Filsafat pragmatisme adalah pemikiran tentang

bagaimana manusia harus bertindak (Keraf, 1987). Pemikiran ini bersifat praktis, atau berkaitan

dengan pengalaman hidup manusia sehari-hari. Filsafat yang memiliki nilai praktis ini

mempengaruhi pemikiran tentang bahasa pula.

Dengan demikian pragmatik sebagai ilmu merupakan cabang linguistik yang bidang kajiannya

bukan bunyi dan bentuk bahasa, bukan pula makna bahasa, melainkan fungsi bahasa. Kajian

makna secara semantis memusatkan perhatiannya pada kajian makna kalimat (termasuk makna

kata atau klausa) secara abstrak atau kalimat yang bebas-konteks, sedangkan kajian makna

secara pragmatis memusatkan perhatiannya pada kajian makna kalimat atau konteks. Kalimat

dalam konteks inilah yang disebut tuturan atau ujaran.

Hymes (1972) diakronimkan SPEAKING (setting dan scene; participans; ends; purpose dan

goal; act sequences; keys; tone or spirit of act; instrumentalities, norms; norms of interactions

dan interpretation; dan genres). Konteks berisi unsur pembicara melakukan komunikasi kepada

mitra bicara dalam situasi, tempat, dan waktu tertentu, tentang sesuatu (topik) yang tertentu,

dengan tujuan dan efek tertentu, dan cara atau jalur tertentu, dengan norma atau kaidah

komunikasi tertentu dan dengan ragam bahasa tertentu.

Bambang Kaswanti Purwo (1990) membedakan bahan kajian menjadi dua :

1. Bahan kajian linguistik

2. Bahan pengajaran bahasa

Sebagai bahan kajian linguistik pragmatik mengkaji :

1. deiksis

2. praanggapan atau praduga (presupposition)

3. tindak ujaran atau tindak tutur (speech acts)

4. implikatur percakapan (convensational implicature) (1990 : 17)

Bahan kajian (1) mengacu bahan kajian yang berupa kata-kata yang rujukannya atua referennya

berpindah-pindah (Purwo, 1984, 1990).

Nababan (1987; bandingkan dengan Purwo 91984) membedakan adanya lima jenis deiksis;

deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial.

Page 33: Implikatur shintia

Bahan kajian (2) mengkaji konsep dugaan atau anggapan sebelumnya yang ada pada benak

penutur pada waktu berbicara.

Bahan kajian (3) menkaji suatu kenyataan berbahasa bahwa pada waktu setiap penutur

mengatakan suatu kalimat, sebenarnya ia tidak hanya mengucapkan, melainkan bersamaan

dengan pengucapan itu ia melakukan (menindakkan) sesuatu.

Nababan (1987) membedakan adanya tiga macam tindak bahasa : lokusi, ilokusi dan perlokusi.

Dalam kaitan dengan konsep implikatur ini Grice 91957) membuat teori tentang bagaimana

orang menggunakan bahasa supaya terajdi suatu komunikasi yang baik. Dikatakan bahwa di

dalam menggunakan bahasa seseorang harus mengindahkan prinsip kerja sama (cooperative

principles) dan prinsip kesopanan (politeness principles). Prinsip kerjasama berisi empat aturan

(maksim) yang menyangkut aspek kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Maksim kuantitas

menyarankan untuk hanya menggunakan sejumlah kata secukupnya, maksim kualitas

menyarankan untuk hanya mengatakan yang sebenarnya, maksim relevansi menyarankan untuk

hanya mengatakan yang relevan, dan maksim cara menyarankan untuk mengatakan secara jelas.

Prinsip kesopanan berisi enam aturan (maksim) kebijaksanaan, kedermawanan, penghargaan,

kesederhanaan, permufakatan dan simpati. Maksim kebijaksanaan menyarankan untuk tidak

merugikan mitra bicara, maksim kedermawanan menyarankan untuk tidak mengorbankan mitra

bicara, maksim penghargaan menyarankan untuk memberikan pujian kepada mitra bicara,

maksim kesederhanaan menyarankan untuk mengurangi cacian kepada mitra bicara, maksim

permufakatan menyarankan untuk mengurangi ketidaksesuaian dengan mitra baca.

2. Pragmatik sebagai Bahan Pengajaran Bahasa

Dengan mengambil pembagian Haliday (1973), Nababan (lihat juga tarigan, 1986) menyebutkan

adanya tujuh fungsi bahasa bagi perseorangan, masing-masing instrumental, menyuruh,

interaksi, kepribadian, khayalan, pemecahan masalah dna informatif.

Bahan pengajaran pragmatik di dalam kurikulum 1984 mencoba menjabarkan semuanya itu ke

dalam enam aspek bahan pengajaran : sosial, intelektual, emosional, infomasi faktual, moral dan

penyelesaian masalah.

Aspek sosial berkaitan dengan aturan hubungan antar sesama, norma masyarakat baik yang

bersifat yuridis formal maupun yang bersifat konvensional. Aspek intelektual adalah aspek psikis

manusia yang berkaitan dengan pikiran, budi yang bersifat diskursif : bersifat objektif, bukan

subjektif memahami sesuatu dengan cara mengambil jarak. Aspek emosional merupakan aspek

Page 34: Implikatur shintia

psikis yang berkaitan dengan perasaan atau kepekaan intuitif. Aspek informasi formla berkaitan

dengan hubungan antar sesamanya. Aspek moral ada hubungannya dengan unsur internal,

horisontal dan vertikal. Aspek penyelesaian masalah berkaitan dengan aspek internal dan

eksternal manusia, khususnya yang horisontal.

3. Pragmatik Sebagai Suatu Pendekatan Pengajaran Bahasa

Konsep pendekatan adalah konsep yang berisi asumsi-asumsi atau aksioma-aksioma tentang

sesuatu (Antony, 1963). Pendekatan dalam pengajaran bahasa mengacu pada asumsi atau

aksioma tentang apa itu bahasa dan apa atau bagaimana belajar bahasa diyakini berlangsung.

Ciri-ciri Pendekatan Pragmatik

Pandangan pragmatik tentang bahasa mengacu pada pnegertian bahwa bahasa :

1. Merupakan suatu totalitas, bukan kumpulan komponen-komponen.

2. Merupakan alat yang dipergunakan oleh manusia untuk melangsungkan hidupnya bersama

dengan orang lain.

Krashen (1977) di dalam penelitiannya tentang perilaku anak yang belajar bahasa pertama

menemukan bahwa bahan bahasa yang berupa intake (necessary input) adalha bahan yang paling

efektif dan bahan itu diperoleh di dalam lingkungannya yang informal.

Implikasi Pendekatan Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa

Pertama, di dalam pengajaran dengan pendekatan pragmatik tujuan pengajaran yang harus

dicapai adalah dimilikinya kemampuan komunikatif (use of linguistic elements).

Kedua, pengajaran yang berupa satuan-satuan lingual itu harus disajikan di dalam suatu konteks

komunikasi yang riil, bukan dibuat-buat.

Ketiga, karena di dalam konteks komunikasi yang riil satuan-satuan lingual itu tidak tersaji

secara sistematis, maka tekanan penyajian perlu diprioritaskan pada kadar keseringan

kemunculan satuan-satuan lingual di dalam suatu konteks diisyaratkan bahwa penekanan

penyajian pada urutan-urutan satuan lingual berdasarkan temuan linguistik menjadi kurang

penting.

Page 35: Implikatur shintia

N. Pendekatan Pragmatik Dalam Pengajaran Bahasa

Analisis keadaan pengajaran bahasa Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan antara

tujuan pengajaran dan bahan pengajaran. Tujuan pengajaran dalam kurikulum 1975, ialah

“keterampilan berbahasa Indonesia”. Pada permulaan dasawarsa 10970-an berkembang suatu

pemikiran yang timbul dari kurang puasnya orang dengan hasil pengajaran bahasa secara

structural, yang membuat orang sanggup membuat bentuk-bentuk bahasa menurut pola-pola

yang dilatihkan tetapi belum tentu dapat menggunakannya. Satu gagasan yang timbul adalah

yang disebut pendekatan kognitif yang menekankan keterampilan mengerti dan menggunakan

aturan-aturan pembentukan kalimat-kalimat yang bermakna.

Dalam pembicaraan di atas, kita memakai istilah pragmatic secra lebih luas lagi untuk “aturan

pemakaian bahasanya sehubungan dengan maksud pembicara sesuai dengan konteks dan

keadaan”. Bahasa mempunyai bentuk-bentuk yang sesuai konteks dan keadaan. Bentuk-bentuk

yang berbeda itu disebut ragam bahasa. Ada empat macam variasi bahasa bergantung pada factor

yang berhubungan atau sejalan dengan ragam itu. Keempat factor itu adalah;

1. Factor geografis

2. Factor-faktor kemasyrakatan

3. Factor-faktor situasi berbahasa

4. Factor-faktor waktu

Orientasi belajar mengajar bahasa berdasarkan tugas dan fungsi berkomunikasi ini disebut

pendekatan komunikatif. Dalam pendekatan ini, bentuk bahasa yang dipakai selalu dikaitkan

dengan factor-faktor penentu di atas. Ilmu yang mempelajari hubungan bahasa dengan factor-

faktor penentu itu disebut ilmu pragmatic.unsur-unsur bahasa meliputi lafal/ejaan, struktur, dan

kosa kata, sedangkan kegiatan berbahasa meliputi membaca, menulis/mengarang, berbicara, dan

pragmatic.

Keterampilan pragmatic dipelajari melalui dua jalur, yaitu jalur formal, dan non-formal.dalam

belajar bahasa asing, keterampilan pragmatic ini dapat dipelajari hanya melalui cara formal oleh

karena para pelajar tidak mempunyai kesempatan untuk memperolehnya secara informal.

Diperlukan juga bahan-bahan pengajaran yang berorientasi keterampilan pragmatic, artinya

materi pembelajaran yang melibatkan konteks dan situasi dalam pengembangannya dan

penyajiannya. Pendekatan pragmatic yang diterapkan dalam pengajaran bahasa asin bergantung

Page 36: Implikatur shintia

pada tujuan pembelajaran yang mencakup keterampilan menggunakan bahasa asing itu, tulisan

dan/atau lisan. Tujuan pembelajaran ditentukan oleh sekolah. Tujuan pembelajaran dapat

ditentukan dengan berbagai cara/factor, yaitu: kemauan dan pemikiran yang mempunyai sekolah,

hasil suatu analisi kebutuhan, keinginan pelajar, dan lain-lain.

O. Pragmatik Dan Aspek-Aspeknya Dalam Pengajaran Bahasa Indonesia

Ketrampilan Bahasa Indonesia yang masih rendah atau belum sesuai dengan yang

diharapkan memang sering dijumpai, baik dengan melihat secara sepintas maupun melalui

penelitian-penelitian. Mendikbud Wardiman Djoyonegoro mengatakan bahwa kemampuan atau

budaya baca bangsa Indonesia masih rendah (Kompas, 30 mei 1995). Mendikbud mengatakan

pula bahwa berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik, sekitar 27 juta penduduk Indonesia

belum memahami bahasa Indonesia (Kompas, 30 Maret 1995). Adanya kondisi seperti tersebut

di atas tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh kekurangberhasilan pengajaran Bahasa

Indonesia.

1. Pendekatan Pragmatik atau Komunikatif?

Menurut Morris dalam Gazdar 91979 : 85) bahwa pragmatik merupakan salah satu bagian dari

telaah isyarat-isyarat atau tanda-tanda bahasa. Menurutnya dikatakan bahwa isyarat-isyarat

bahasa, dalam pengkajiannya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :

1. sintaktik

2. semantik

3. pragmatik.

Menurut Nababan (1987 : 2) yang dimaksud dengan Pragmatik ialah aturan-aturan pemakaian

bahasa, yaitu pemilihan bentuk bahasa dan penentuan maknanya sehubungan dengan maksud

pembicara sesuai dengan konteks dan keadaanya.

Menurut Leech (1983), yang dimaksud dengan pragmatik adalah suatu kajian bahasa yang

berusaha menemukan makna-makna ujaran yang disesuaikan dengan situasi. Sedangkan menurut

International Pragmatics Association (IPRA) yang dimaksud dengan pragmatik ialah

penyelidikan bahasa yang menyangkut seluk belum penggunaan bahasa dan fungsinya (dalam

Soemarmo, 1987 : 3).

Page 37: Implikatur shintia

2. Hakikat Aspek-aspek Pragmatik Bahasa Indonesia

GBPP Bahasa dan Sastra Indonesia, baik pada Kurikulum 1984 maupun pada Kurikulum 1994,

dinyatakan bahwa aspek-aspek pragmatik digunakan untuk bermacam-macam fungsi sesuai

dengan apa yang ingin disampaikan oleh penutur, yang meliputi :Untuk menyatakan informasi

faktual (mengidentifikasi, melaporkan, menanyakan, mengoreksi);

1. Untuk menyatakan informasi faktual (mengidentifikasi, melaporkan, menanyakan,

mengoreksi);

2. Menyatakan sikap intelektual (menyatakan setuju atau tidak setuju, menyanggah dan

sebagainya);

3. Menyatakan sikap emosional (senang, tak senang, harapan, kepuasan dan sebagainya;

4. Menyatakan sikap moral (meminta maaf, menyatakan penyesalan, penghargaan dan

sebagainya);

5. Menyatakan perintah (mengajak, mengundang, memperingatkan dan sebagainya);

6. Untuk bersosialisasi (menyapa, memperkenalkan diri, menyampaikan selamat, meminta

perhatian dan sebagainya), GBPP Kurikulum 1994 : 19).

Oleh karena dewasa ini yang digunakan GBPP Bahasa dan Sastra Indonesia Kurikulum 1994,

uraian selanjutnya lebih dititikberatkan pada GBPP tersebut, yaitu diantaranya seperti di bawah

ini :

a. Fungsi bahasa untuk menyatakna informasi faktual

b. Fungsi bahasa untuk menyatakan sikap intelektual

c. Fungsi bahasa untuk menyatakan sikap emosional

d. Fungsi bahasa untuk menyatakan sikap moral

e. Fungsi bahasa untuk menyatakan perintah

f. Fungsi bahasa untuk menyatakan bersosialiasi

Dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi bahasa tadi, Halliday (1973) membaginya menjadi :

1. Fungsi instrumental

2. Fungsi regulais

3. Fungsi representasional

4. Fungsi interaksional

5. Fungsi personal

Page 38: Implikatur shintia

6. Fungsi heuristik

7. Fungsi imajinatif.

Popper (dalam Leech, 1983 : 49) mengelompokkan fungsi bahasa menjadi :

1. Fungsi ekspresif

2. Fungsi informatif

3. Fungsi deskriptif

4. Fungsi argumentatif.

Nababan (1987 : 13) yang mendasarkan diri dari pandangan Martin Joos mengenai ragam

fungsiolek, membagi fungsi Bahasa Indonesia berdasarkan gaya bahasa (style) menjadi :

1. ragam beku

2. ragam resmi

3. ragam usaha

4. ragam santai

5. ragam akrab

Pengajaran Aspek-aspek Pragmatik Bahasa Indonesia

Aspek-aspek pragmatik diantaranya sebagai berikut :

1. Aspek sosialisasi

2. Aspek intelektual

3. Aspek menyelenggarakan sesuatu atau aspek perintah

Ditinjau dari penyajian aspek-aspek pragmatik yang terdapat di dalamnya, ternyata buku-buku

yang berlandaskan pada GBPP Kurikulum 1994 lebih bersifat atau sesuai dengan pendekatan

prgamatik komunikatif dibandingkan dengan buku-buku yang disusun berdasarkan GBPP

Kurikulum 1994

P. TINDAK TUTUR

Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji

bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik

mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang

seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara

Page 39: Implikatur shintia

kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat

sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini

seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip

kesantunan.

Di dalam bukunya How to Do Things with Words, Austin (1962:1-11) membedakan tuturan

yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Tindak tutur

konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji –benar

atau salah—dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia. Sedangkan tindak tutur

performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu,

pemakai bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi sahih atau

tidak. Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan tiga jenis tindakan: (1) tindak tutur lokusi,

yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam

kamus dan menurut kaidah sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang

mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak

tutur itu dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya

dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.

Pencetus teori tindak tutur, Searle (1975:59-82) membagi tindak tutur menjadi lima kategori:

1. Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang

diujarkan

2. Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar

melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu

3. Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan

sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu.

4. Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang

disebutkan di dalam tuturannya

5. Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan

hal (status, keadaan, dsb) yang baru.

Tindak tutur juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak

Page 40: Implikatur shintia

langsung. Penggunaan tuturan secara konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur

langsung. Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional

dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra

tutur melakukan sesuatu. Kesesuaian antara modus dan fungsinya secara konvensional inilah

yang yang merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif digunakan untuk

bertanya atau memerintah –atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak

konvensional--, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak langsung. Sehubungan dengan

kelangsungan dan ketaklangsungan tuturan, tindak tutur juga dibedakan menjadi tindak tutur

harfiah (maksud sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya) dan tidak harfiah (maksud

tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya). Jika dua jenis tindak tutur, langsung

dan taklangsung, digabung dengan dua jenis tindak tutur lain, harfiah dan takharfiah, diperoleh

empat macam tindak tutur interseksi, yaitu (1) tindak tutur langsung harfiah, (2) tindak tutur

langsung takharfiah, (3) tindak tutur taklangsung harfiah, (4) tindak tutur taklangsung takharfiah.

Di tinjau dari sudut pandang kelayakan pelaku tindak tutur, Fraser (1974) mengemukakan dua

jenis tindak tutur : (1) vernakuler, yaitu tindak tutur yang dapat dilakukan oleh setiap anggota

masyarakat, dan (2) seremonial, yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh orang yang berkelayakan

untuk hal yang dituturkannya.

cantik”, Berapa saudaramu, Mad?2. Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech

act) adalah tindak tutur yangdiungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan

maksud pengutaraannya, tetapimakna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang

dimaksudkan oleh penutur.Misalnya : “Lantainya kotor”. Kalimat itu jika diucapkan seorang

ayah kepada anaknya bukansaja menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk

membersihkannya.3. Tindak tutur langsung tidak literal (direct non literal speech) adalah tindak

tutur yangdiutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan, tetapi kata-

kata yangmenyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya.

Misalnya :“Sepedamu bagus, kok”. Penuturnya sebenarnya ingin mengatakan bahwa sepeda

lawan tuturnya jelek.4. Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act)

adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud

Page 41: Implikatur shintia

yang ingin diutarakan.Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai kotor, seorang

majikan dapat sajamengutarakannya dengan kalimat “Lantainya bersih sekali, Mbok”.C. Daftar

PustakaGunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-

Jawa diJakarta” dalam PELBA 7. Jakarta: Unika Atmajaya Press.Leech, Geoffrey.1983.

Principles of Pragmatics. London: LongmanRohmadi, Muhammad. 2004. Prakmatik Teori dan

Analisis. Yogyakarta: Lingkar MediaWijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik.

Yogyakarta: Andi Offset

BAB III

PENUTUP

A.           KESIMPULAN

Sebagai kata akhir dari paparan ini, penulis menyimpulkan bahwa dalam pragmatik

umum senntiasa mengupas hal-hal yang bersifat lokal dan situasional serta dapat diatur dalam

sosiopragmatik (sociopragmatics) dan pragmalinguistik (pragmalinguistics), karena memang

kedua bidang ini merupakan cabang dari pragmatik umum yang memiliki hubungan yang

sinergi. Sosio-pragmatik memiliki kesamaan dengan istilah ketepatan isi (appropriateness in

meaning), yaitu sejauh mana fungsi komunikasi tertentu, sikap dan gagasan dianggap tepat

sesuai dengan situasi yang berlaku. Hal ini berhubungan erat dengan aspek sosiologi. Bahkan,

dalam berkomunikasi seorang penutur dituntuk untuk menguasai kajian lintas budaya (cross

culture), hal ini dilakukan dalam rangka membangun prinsip-prinsip kerjasama dan sopan santun

dalam proses komunikasi, sehingga tujuan komunikasi dapat dicapai secara efektif dan

menghindari kesalahfahaman anatar penutur dan lawan tutur.þ

Page 42: Implikatur shintia

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rofik. 2002. “Analisis Penggunaan Implikatur Percakapan Antara Resepsionis

dan Tamu Check in di Guest House Paradiso Surakarta”. Skripsi. Surakarta : Universitas Sebelas

Maret

Brown, Gillian dan Yule, George. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Hidayah , Chotamul. 2006. “ Implikatur Percakapan dalam Pembelajaran di SD Plus

Al Firdaus Surakarta (Kajian Pragmatik)”.Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Austin, J.L. 1965 How to do Things with Word. Oxfort: Oxford Univercity Press.

Bambang Kaswanti Purwo. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,

Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik; Ke Arah Memahami Metode Linguistik.

Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

_________ . 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.as Maret.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi Ofset.

(http://lisadypragmatik.blogspot.com/2011/06/pragmatik-oleh-sidon.html).

(http://tulisanmakyun.blogspot.com/2011/06/linguistik pragmatik.html)

http://cancergokiltheking.blogspot.com/2013/07/implikaturpercakapan-adalah-implikasi.html

Selasa, 09 Juli 2013

Implikatur dalam Pragmatik

Page 43: Implikatur shintia

Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatik yang terdapat di dalam percakapan

yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan. Sejalan dengan batasan

tentang implikasi pragmatic, implikatur percakapan itu adalah proposisi atau “pernyataan”

implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan atau dimaksudkan oleh penutur, yang

berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur di dalam suatu percakapan (Grice

1975:43, Gadzar 1979:38 dalam Rustono 1999:82). Implikatur percakapan terjadi karena adanya

kenyataan bahwa sebuah ujaran nyang mempunyai implikasi berupa proposisi yang sebenarnya

bukan bagian dari tuturan itu (Gunarwan 1994:52 dalam Rustono 1999:82).

Didalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud tertentu

yang tidak dituturkan bersifat tidak mutlak (Rahardi 2003 :85)Pembahasan tentang implikatur

mencakupi pengembangan teori hubungan antara ekspresi, makna, makna penutur, dan implikasi

suatu tuturan. Di dalam teorinya itu, ia membedakan tiga jenis implikatur, yaitu implikatur

konvensional, implikatur nonkonvensional, dan praanggapan. Selanjutnya implikatur

nonkonvensional dikenal dengan nama implikatur percakapan. Selain ketiga macam implikatur

itu, ia pun membedakan dua macam implikatur percakapan, yaitu implikatur pecakapan khusus

dan implikatur percakapan umum. (Grice 1975:43-45 dalam Rustono 1999:83)

(1)   Implikatur konvensional adalah implikatur yang diperolah langsung dari makna kata, bukan dari

prinsip percakapan. Tuturan berikut ini mengandung implikatur konvensional. Contoh:

a.       Lia orang Tegal, karena itu kalau bicara ceplas-ceplos.

b.      Poltak orang Batak, jadi raut mukanya terkesan galak.

      Implikasi tuturan (a) adalah bahwa bicara ceplas-ceplos Lia merupakan konsekuensi karena

ia orang Tegal. Jika Lia bukan orang Tegal, tentu tuturan itu tidak berimplikasi bahwa bicara

ceplas-ceplos Lia karena ia orang Tegal. Implikasi tuturan (b) adalah bahwa raut muka galak

Poltak merupakan konsekuensi karena ia orang Batak. Jika Poltak bukan orang Batak, tentu

tuturan itu tidak berimplikasi bahwa raut muka galak Poltak karena ia orang Batak.

(2)   Implikatur nonkonvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi pragmatik yang

tersirat di dalam suatu percakapan.  Di dalam komunikasi, tuturan selalu menyajikan suatu fungsi

pragmatik dan di dalam tuturan percakapan itulah terimplikasi suatu maksud atau tersirat fungsi

pragmatik lain yang dinamakan implikatur percakapan. Berikut ini merupakan contoh tuturan di

dalam suatu percakapan yang mengandung suatu implikasi percakapan.

A: ”HP mu baru ya? Mengapa tidak membeli N70 aja?”

Page 44: Implikatur shintia

B : ”Ah, harganya terlalu mahal.”

Implikatur percakapan tuturan itu adalah bahwa HP yang dibeli A murah sedangkan HP N70

harganya lebih mahal daripada HP yang dibeli A.

Dua dikotomi implikatur percakapan selanjutnya adalah implikatur percakapan umum

dan implikasi percakapan khusus. (Grice 1975:45, Levinson 1983:131)

A.    Implikatur percakapan khusus adalah implikatur yang kemunculannya memerlukan konteks

khusus. Tuturan (1) hanya berimplikasi (2) jika berada di dalam konteks khusus seperti pada

percakapan (3) berikut ini.

(1)   Langit semakin mendung, sebentar lagi hujan datang.(2)   (Ibu belum pulang dari pasar).(1)   A: Mengapa Ibu belum pulang?

B: Langit semakin mendung, sebentar lagi hujan datang.B.     Implikatur percakapan umum adalah implikatur yang kehadirannya di dalam percakapan tidak

memerlukan konteks khusus. Implikatur (1) sebagai akibat adanya tuturan (2) merupakan

implikatur percakapan umum.

(1)   Saya menemukan uang.(2)   (Uang itu bukan milik saya)

IMPLIKATUR

Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa (linguistik) yang belakangan ini semakin

dikenal. Salah satu bagian pragmatik yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Implikatur.

Konsep implikatur pertama kali dikenalkan oleh H.P Grice (1975) untuk memecahkan persoalan

makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur bahasa dipakai

untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal

yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harafiah (Brown dan Yule, 1983:31 dalam Abdul

Rani, 2006:176). Untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan bahasan implikatur secara rinci di bawah

ini.

A. Pengertian Implikatur

Page 45: Implikatur shintia

Dijelaskan lebih lanjut bahwa Grice (dalam Suseno,1993:30 via Mulyana)

mengemukakan bahwa implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan

yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang

dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau

ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.

Dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversation mengemukakan bahwa sebuah

tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan

bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut implikatur (implicature). Karena

implikatur bukan merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, hubungan kedua

proposisi itu bukan merupakan konsekuensi mutlak (necessary consequence).

Secara etimologis, implikatur diturunkan dari kata implicatum dan secara nomina kata ini

hampir sama dengan kata implication, yang artinya maksud, pengertian, keterlibatan

(Echols,1984:313 via Mulyana). Secara structural, implikatur berfungsi sebagai jembatan/rantai

yang menghubungkan antara “yang diucapkan” dengan “yang diimplikasikan”.

Menurut PWJ Nababan (1987:28) dalam Abdul Rani menyatakan bahwa implikatur

berkaitan erat dengan konvensi kebermaknaan yang terjadi di dalam proses komunikasi. Konsep

itu kemudian dipahami untuk menerangkan perbedaan antara hal “yang diucapkan” dengan hal

“yang diimplikasikan”.

B. Jenis-jenis Implikatur

Grice (1975) dalam Abdul Rani (2006: 171) menyatakan, bahwa ada dua macam

implikatur, yaitu (1) conventional implicature (implikatur konvensional), dan (2) conversation

implicature (implikatur percakapan).Berikut ini merupakan penjelasan dua macam implikatur

tersebut:

1. Implikatur konvensional

Implikatur konvensional yaitu implikatur yang ditentukan oleh “arti konvensional

kata-kata yang dipakai”. Maksudnya adalah pengertian yang bersifat umum, semua

Page 46: Implikatur shintia

orang umumnya sudah mengetahui tentang maksud atau pengertian sesuatu hal

tertentu.

Contoh:

(1). Lestari putri Solo, jadi ia luwes.

Implikasi umum yang dapat diambil antara putri Solo dengan luwes pada contoh di

atas bahwa selama ini, koto Solo selalu mendapat predikat sebagai kota kebudayaan

yang penuh dengan kehalusan dan keluwesan putrid-putrinya. Implikasi yang muncul

adalah, bahwa perempuan atau wanita Solo umumnya dikenal luwes penampilannya.

Implikatur konvensional bersifat nontemporer. Artinya, makna atau pengertian

tentang sesuatu bersifat lebih tahan lama. Suatu leksem, yang terdapat dalam suatu

bentuk ujaran, dapat dikenali implikasinya karena maknanya “yang tahan lama” dan

sudah diketahui secara umum.

2. Implikatur percakapan

Implikatur jenis ini dihasilkan karena tuntutan daru suatu konteks pembicaraan

tertentu. Implikatur percakapan ini memiliki makna dan pengertian yang lebih

bervariasi. Pasalnya, pemahaman terhadap hal “yang dimaksudkan: sangat

bergantung kepada konteks terjadinya percakapan. Jadi, bila implikatur konvensional

memiliki makna yang tahan lama, maka implikatur percakapan ini hanya memiliki

makna yang temporer yaitu makna itu berarti hanya ketika terjadi suatu percakapan

tersebut/terjadi pembicaraan dalam konteks tersebut.

Dalam suatu dialog (percakapan), sering terjadi seorang penutur tidak mengutarakan

maksudnya secara langsung. Hal yang hendak diucapkan justru ‘disembunyikan’,

diucapkan secara tidak langsung, atau yang diucapkan sama sekali berbeda dengan

maksud ucapannya.

Contoh:

(2) Ibu : Ani, adikmu belum makan.

Page 47: Implikatur shintia

Ani : Ya, Bu. Lauknya apa?

Pada contoh di atas, percakapan antara Ibu dengan Ani mengandung implikatur yang

bermakna ‘perintah menyuapi’. Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk

kalimat perintah. Tuturan yang diucapkan Ibu hanyalah pemberitahuan bahwa ‘adik

belum makan’. Namun, karena Ani dapat memahami implikatur yang disampaikan

Ibunya, ia menjawab dan kesiapan untuk melaksanakan perintah ibunya tersebut.

Grice menjelaskan bahwa implikatur percakapan itu mengutip prinsip kerjasama atau

kesepakatan bersama, yakni kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan

harus saling berkait. Grice mengemukakan pula bahwa prinsip kerjasama yang

dimaksud sebagai berikut: Berikanlah sumbangan Anda pada percakapan

sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan tujuan atau arah pertukaran

pembicaraan Anda terlihat di dalamnya. Dengan prinsip umum tersebut, dalam

perujaran, para penutur disarankan untuk menyampaikan ujarannya sesuai dengan

konteks terjadinya peristiwa tutur, tujuan tutur, dan giliran tutur yang ada. Prinsip

kerjasama ini, ditopang oleh seperangkat asumsi yang disebut prinsip-prinsip

percakapan (maxims of conversation) yang meliputi: (1) prinsip kuantitas, member

informasi sesuai dengan yang diminta (2) prinsip kualitas, menyatakan hanya yang

menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya (3) prinsip hubungan, member

sumbangan informasi yang relevan dan (4) prinsip cara, menghindari ketidakjelasan

pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat,

mengungkapkan secara beraturan. Tiga yang pertama berkenaan dengan ‘apa yang

dikatakan’, dan yang keempat berkenaan dengan ‘bagaimana mengatakannya’.

Namun, prinsip kerjasama ini disanggah oleh Leech (1985:17) via Abdul Rani (2006)

yang mengatakan bahwa, dalam pragmatik, komunikasi bahasa merupakan gabungan

antara tujuan ilokusi dan tujuan sosial. Dengan demikian, dalam komunikasi bahwa

itu, di samping menyampaikan amanat dan bertindak tutur, kebutuhan dan tugas

penutur adalah menjaga agar percakapan berlangsung lancar, tidak macet, tidak sia-

sia, dan hubungan sosial antara penutur pendengar tidak terganggu. Untuk itu,

menurut Leech, prinsip kerjasama Grice harus berkomplemen (tidak hanya sekedar

Page 48: Implikatur shintia

ditambah) dengan prinsip sopan santun agar prinsip kerjasama terselamatkan dari

kesulitan menjelaskan antara makna dan daya.

Contoh:

(3) Ibu (I) : “Ada yang memecahkan pot ini”

Anak (A) : “Bukan saya!”

Dari contoh di atas, si Anak (A) memberikan jawaban yang seakan-akan tidak gayut

(pelanggaran prinsip hubungan): A bereaksi seolah-olah dia harus menyelamatkan

dirinya dari suatu perbuatan jahat padahal dalam kalimat si Ibu (I) tidak ada kata-kata

menuduh A melakukan perbuatan tersebut. Dalam situasi seperti itu, jawaban berupa

penyangkalan A sebetulnya dapat diramalkan dan ketidakgayutan (pelanggaran

prinsip hubungan) dapat dijelaskan sebagai berikut.

Kita andaikan I tidak tahu siapa yang melakukan perbuatan tersebut, tetapi

ia mencurigai A. Karena I ingin bersifat sopan, I tidak mengucapkan

tuduhan langsung. Sebagai pengganti, ia membuat pernyataan yang kurang

informatif, tetapi benar, yaitu mengganti pronominal kamu dengan ‘ada

yang’. A menangkap maksud I dan pernyataan I ditafsirkan oleh A sebagai

suatu tuduhan tidak langsung. Akibatnya, ketika A mendengar pernyataan

itu, A memberi respons sebagai orang yang dituduh, yaitu A menyangkal

suatu perbuatan yang belum dituduhkan secara terbuka. Jadi, pelanggaran

maksum hubungan dalam jawaban A disebabkan oleh implikatur di dalam

ujaran I, sebuah implikatur tidak langsung yang dimotivasi oleh sopan

santun. Jadi, sasaran jawaban A adalah implikatur ini, bukan ujaran I yang

sesungguhnya diucapkan.

Menurut Levinson (1983) via Abdul Rani (2006:173), ada empat macam faedah

konsep implikatur, yaitu:

Page 49: Implikatur shintia

a. Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tidak

terjangkau oleh teori-teori linguistik.

b. Dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang

dimaksud si pemakai bahasa

c. Dapat memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang hubungan klausa

yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama.

d. Dapat memerikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan,

malah berlawanan (seperti metafora).

Dari keterangan itu, jelas bahwa kalimat-kalimat yang secara lahiriah kita lihat tidak

berkaitan, tetapi bagi orang yang mengerti penggunaan bahasa itu dapat menangkap

pesan yang disampaikan oleh pembicara, seperti:

(4). Suami : “Si Cuplis menangis minta mimik ibunya!”

Istri : “Saya sedang menggoreng.”

Kedua kalimat di atas secara konvensional struktural tidak berkaitan. Tetapi, bagi

pendengar yang sudah terbiasa dengan situasi yang demikian akan paham apa arti

kalimat kedua itu. Si istri tidak menjawab ujaran suami bahwa Si Cuplis (anaknya)

menangis karena diduga oleh si suami haus dan minta minum susu ibunya, tetapi

hanya menyatakan bahwa dirinya sedang menggoreng. Dan, jelas kalimat tersebut

hanya dapat dijelaskan oleh kaidah-kaidah pragmatik saja.

Keberadaan implikatur dalam suatu percakapan (wacana dialog) diperlukan antara

lain untuk:

a. Memberi penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau

oleh teori-teori linguistik struktural.

b. Menjembatani proses komunikasi antarpenutur.

Page 50: Implikatur shintia

c. Memberi penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana kemungkinan

pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara

lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud.

d. Dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan

antarklausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur

yang sama.

e. Dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang secara

lahiriah tidak berkaitan (Levision dalam PWJ Nababan, 1987:28).

Istilah implikatur berantonim dengan kata eksplikatur. Menurut Grice (Brown & Yule,

1986:31 dalam Abdul Rani (2006), istilah implikatur diartikan sebagai “what a speaker can

imply, or mean, as distinct from what a speaker literally says” . Senada dengan itu, Pratt

menyatakan (1981; 1977 via Abdul Rani) “what is said is implicated together from the meaning

of the utterance in that context.” Dari pengertian dia atas. diketahui bahwa implikatur adalah

makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan

(eksplikatur). Menggunakan implikatur dalam berkomunikasi berarti menyatakan sesuatu secara

tidak langsung.

Contoh:

(5) (Konteks: Udara sangat dingin. Seorang suami yang mengatakan pada istrinya yang

sedang berada di sampingnya).

Suami : “Dingin sekali!”

Transkip ujaran suami yang tidak disertai dengan konteks yang jelas dapat ditafsirkan

bermacam-macam, antara lain:

Page 51: Implikatur shintia

(5a) permintaan kepada istrinya untuk mengembalikan baju hangat, jaket, atau selimut,

atau minuman hangat untuk menghangatkan tubuhnya

(5b) permintaan kepada istrinya untuk menutup jendela agar angin tidak masuk kamar

sehingga udara di dalam ruangan menjadi hangat.

(5c) pemberitahuan kepada istrinya secara tidak langsung bahwa kesehatannya sedang

terganggu.

(5d) permintaan kepada istrinya agar ia dihangati dengan tubuhnya.

Makna dari keempatnya tersebut merupakan makna implikatur. Makna umum secara tersurat

(literal), yang biasa disebut eksplikatur, contoh di atas adalah “informasi bahwa keadaan (saat

itu) sangat dingin”. Dari sini, terlihat jelas perbedaan makna implikatur dan ekplikatur.

Dari penjelasan di atas, ternyata implikatur dapat dibedakan menjadi beberapa macam

berdasarkan bentuk eksplikaturnya. Berikut ini paparannya lebih lanjut:

a. Implikatur yang berupa makna yang tersirat dari sebuah ujaran (between the line),

merupakan implikatur yang sederhana.

b. Implikatur yang berupa makna yang tersorot dari sebuah ujaran (beyond the line), yang

merupakan lanjutan dari implikatur yang pertama.

c. Implikatur yang berkebalikan dengan eksplikaturnya. Meskipun berkebalikan, hal itu

pada umumnya tidak menimbukan pertentangan logika.

C. Ciri-ciri Implikatur

Gunarwan (dalam Rustono, 1999:89 via guru-umarbakri.blogspot.com) menegaskan

adanya tiga hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan implikatur, yaitu:

(1) implikatur bukan merupakan bagian dari tuturan,

(2) implikatur bukanlah akibat logis tuturan,

Page 52: Implikatur shintia

(3) sebuah tuturan memungkinkan memiliki lebih dari satu implikatur, dan itu

bergantung pada konteksnya.

D. Contoh Implikatur

* Latihan

1. A : Bambang datang

B : a. Rokoknya disembunyikan

b. Aku akan pergi dulu

c. Kamarnya dibersihkan

I mp : a. Mungkin Bambang adalah perokok, tapi ia tidak pernah membeli rokok.

Merokok kalau ada yang memberi, dan tidak pernah member temannya, dsb.

b. Mungkin tidak senang dengan Bambang

c. Mungkin Bambang adalah seorang pembersih. Ia akan marah-marah melihat

sesuatu yang kotor.

2. Bapak : Baju Bapak belum diseterika

Ibu : Ibu sedang menyuapi adek, Pak

Imp : Ibu menolak menyetrikakan baju Bapak karena sedang menyuapi adek makan

3. (Konteks: Jam menunjukkan pukul 10 malam. Seorang ibu kos menegur anak kos yang

masih duduk di depan bersama teman-temannya)

Ibu Kos : “Sudah jam sepuluh, Mbak!”

Imp : a.Ibu kos meminta teman-teman anak kosnya untuk segera pulang

b. Ibu kos bermaksud memberi tahu bahwa jam berkunjung sudah lewat dari

batasnya

Page 53: Implikatur shintia

4. Kemarin aku bertemu dengan si Ucok yang pembawaannya keras. Pantas saja, ternyata dia

orang Batak.

Selama ini, orang Batak selalu dipandang sebagai orang yang berwatak keras,

implikasi yang muncul adalah orang Batak, pembawaannya keras.

5. Deni bak orang Negro, jadi dia hitam

Selama ini kita tahu bahwa Orang Negro identik dengan kulit hitam, maka

implikasi yang muncul adalah orang Negro berkulit hitam.

6. Janganlah seperti Linling, yang perhitungan, kamu bukan orang Cina.

Selama ini kita tahu nama Lingling identik dengang nama orang Cina. Orang Cina

juga identik dengan pelit atau perhitungan dengan uang. Implikasi yang muncul

adalah orang Cina perhitungan/pelit.

7. Dia orang Padang, dia suka sekali makanan pedas.

Selama ini, orang Padang selalu suka makan pedas, implikasi yang muncul adalah

Orang Padang suka makanan yang pedas.

8. A : Aduh, perutku keroncongan.

B : Ok, kita ke warung Rata-rata saja.

Implikatur : …

9. A : Bu Guru sudah datang

B : a. Cepat keluarkan buku di atas meja!

b. Jangan ramai!

c. Cepat duduk ditempat masing-masing!

d. PRmu sudah kamu kerjakan belum?

Implikatur : a. …

b. …

Page 54: Implikatur shintia

c. …

d. …

10. (Konteks: Malam minggu, pria dan wanita sedang pendekatan)

Pria : “Wah, nanti malam sudah malam minggu nih…”

Implikatur : ….

Daftar Pustaka

guru-umarbakri.blogspot.com. Pragmatik diakses 3 Februari 2010 pukul 15.00

Rani, Abdul, dkk. 2006. Analisis Wacana. Jawa Timur: Banyumedia Publishing

Subagyo, Ari P. Pragmatik 1 (handout). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma

Widharyanto, B. handout perkuliahan: Unsur-Unsur Wacana

Implikatur

Implikatur berasal dari bahasa latin implicare yang berarti "melipat". hal ini dijelaskan oleh Mey melalui Nadar (2009:60) bahwa untuk mengetahui apa yang dilipat harus dengan cara membukanya. dengna kata lain, implikatur dapat dikatakan sebagai sesuatu yang terlipat.

Implikatur secara sederhana dapat diartikan sebagai makna tambahan yang disampaikan oleh penutur yang terkadang tidak terdapat dalam tuturan itu sendiri. Sebuah tuturan dapat mengimplikasikan

Page 55: Implikatur shintia

proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan tersebut oleh Grice disebut sebagai implikatur percakapan.

Secara garis besar terdapat dua jenis implikatur. Yang pertama adalah implikatur konvensional. Implikatur ini lebih menjelaskan pada apa yang yang diutarakan. Sedangkan yang kedua telah disebut pada paragraf sebelumnya yaitu implikatur percakapan. Implikatur percakapan lebih menekankan maksud lain dari apa yang dituturkan.

Sebagai contoh perhatikan tuturan A terhadap B berikut :

A : Besok saya akan mengadakan syukuran kelulusan anak saya

B : Saya ada acara besok.

Secara konvensional percakapan di atas mempunyai maksud bahwa A memberikan informasi bahwa ia akan mengadakan acara syukuran anaknya yang lulus dan B juga menginformasikan bahwa pada saat A mengadakan acara, B memiliki acara lain secara bersamaan. Namun, ternyata ada makna yang lebih jauh dari percakapan di atas dan ini dapat dijelaskan melalui implikatur percakapan. Tuturan A kepada B sebenarnya tidak semata-mata sebagai informasi akan acara yang hendak ia lakukan, tetapi dibalik itu terdapat maksud lain, yaitu A bermaksud mengundang B untukdatang pada acara yang ia lakukan. Sedangkan jawaban B juga memiliki maksud yaitu menyatakan ketidaksanggupan B untuk menghadiri acara A. Hal ini dapat dikatakan sebagai ungkapan penolakan B terhadap undangan A dengan cara yang lebih halus dan tidak menyinggung perasaan A karena adanya alasan mengapa B tidak dapat memenuhi undangan A tersebut.

Dalam implikatur, baik dalam bentuk implikatur konvensional maupun implikatur percakapan, pembicara sering menyampaikan maksudnya lebih dari apa yang dirumuskan oleh Brown & Yule dan Samsuri dalam Sugira Wahid dan Juanda (2006:94) bahwa implikatur implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau yang dimaksud oleh pembicara berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah.

Menurut Searle (Dalam Sugira Wahid dan Juanda, 2006: 93) dalam tindak ilokusi tidak langsung, pembicara (penulis) menyampaikan maksudnya kepada pendengar (pembaca) lebih dari apa yang ujarkannya dengan menghubungkan informasi latar belakang bersama kedua pihak (pemberi dan penerima informasi), baik yang bersifat kebahasaan maupun yang bersifat nonkebahasaan. Konsep tindak ilokusi tidak langsung tersebut berkaitan dengan konsep implikatur.

Keterhubungan pengertian tindak tutur tak langsung dengan pengertian implikatur tampak dalam contoh Leech, yaitu :

Very hot in here, isn’t it?

(Panas sekali disini, bukan?)

Page 56: Implikatur shintia

Ujaran tersebut merupakan contoh baik ilokusi tidak langsung maupun implikatur. Dalam contoh tersebut, pembicara secara implisit menghendaki agar mesin pendingin dihidupkan. Tetapi dalam siatuasi lain, tuturan tersebut dapat merupakan pembuka pembicaraan agar suasana tidak terasa kaku. Karena itu Brown dan Yule dan Samsuri (dalam Sugirah Wahid dan Juanda, 2006: 94) mengatakan bahwa hal semacam itu merupakan kelemahan teoari tindak tutur karena dalam sebuah ujaran dapat terjadi sekaligus beberapa tindak bahasa, sedangkan teori tindak tutur tidak memberi saran cara menentukan bagaimana kita menentukan unsur kebahasaan tertentu untuk menerima tafsiran makna yang tertentu pula. Karena itulah maka untuk menghindari hal semacam itu, Grice (1975) memberikan sebuah prinsip yang disebut prinsip kooperatif dan empat buah maksim yang menunjang prinsip tersebut. Keempat maksim tersebut antara lain:

(1) Maksim kuantitas (maxim of quantity)

(2) Maksim kualitas (maxim of quality)

(3) Maksim relevansi (maxim of relefance)

(4) Maksim pelaksanaan (maxim of manner)

Berikut ini Prinsip Kerja Sama Grice (1975) tersebut selengkapnya.

1. Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)

- Jadikan kontribusia Anda seinformatif mungkin sebagaimana yang diperlukan.

- Jangan membuat kontribusi lebih informatif dari yang diperlukan.

Seorang penutur diharapakan dapat memberiakan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan simitra tutur. Tuturan yang diperlukan si mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerjasama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas.

Berikut ini contohnya :

(1.a) “ Lihat itu Muhammad Ali mau bertanding lagi !”

(1.b) “ Lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi !”

Informasi indeksal

Page 57: Implikatur shintia

Tuturan (1.a) dan (1.b) dituturkan oleh seorang pengagum Muhammad Ali kepada rekannya yang juga mengagumi petinju legendaris itu. Tuturan itu dimunculkan pada waktu mereka bersama-sama melihat salah satu acara tinju di televisi.

Tuturan tuturan (1.a) dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi seperti ditunjukkan pada tuturan (1.b) justru akan menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan maksim ini, tuturan seperti pada tuturan (1.b) di atas tidak mendukung atau bahkan melanggar prinsip Kerja Sama Grice.

Dalam sebuah interaaksi, para peserta juga menaati maksim kuantitas submaksim kedua, yakni tidak memberikan informasi yang lebih dari yang dibutuhkan. Dalam realisasinya, hal tersebut terjadi apabila penutur merespon inisiasi yang berupa pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”. Perhatikan wacana berikut:

[2] A : Mengapa Anda belajar Bahasa Inggris? (1.c)

B : Karena jika menguasai Bahasa Inggris, saya akan mampu berkomunikasi dengan orang asing, memahami buku-buku berbahasa Inggris, dan lebih mudah mendapat pekerjaan. (1.d)

Pada wacana di atas, inisiasi A dengan tuturan (1.c) direspon dengan informasi yang memadai dalam tuturan (1.d). Karena inisiasi berupa pertanyaan “mengapa”, maka respon yang diberikan lebih panjang dibanding respon terhadap inisiasi “apa” atau “siapa”.Dengan demikian dapat dikatan bahwa pada wacana di atas para peserta tutur telah menaati maksim kuantitas, submaksim kedua.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penaatan maksim kuantitas dalam sebuah interaksi berfungsi untuk (1) menyampaikan informasi yang jelas, (2) meminta bantuan, dan (3) menghindari kesalahpahaman.Singkatnya, penaatan maksim kuantitas dilakukan peserta tutur agar interaksi yang diikuti berlangsung dengan lancar dan sampai pada tujuannya.

2. Maksim kualitas (The Maxim of Quality)

- Jangan katakan apa yang dianggap sebagai pernyataan yang salah.

- Jangan katakan jika buntinya kurang memadai.

Page 58: Implikatur shintia

Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta yang sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan (2.a) dan tuturan (2.b) pada bagian berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan ini.

(2.a) “ Silahkan menyontek saja biar nanti asaya mudah menyonteknya!”

(2.b) “ Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti !

Informasi Indeksal:

Tuturan (2.a) dan (2.b) dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang ujian pada saat ia melihat ada seorang mahasiswa yang sedang melakukan usaha penyontekan

Tuturan (2.a) jelas lebih memungkikan terjadinya kerja sama anatara penutur dengan mitra tutur. Tuturan (2.b) dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang dilakukan oleh seseorang. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan terdpat seorang dose yang mempersilakan para mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung

Dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan mitra tutur sangat lazim menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan perkataan lain, untuk bertutur yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi.

Maksim kualitas menyarankan agar peserta tutur dalam suatu interaksi (1) tidak memberikan informasi yang diyakini salah (bohong), dan (2) tidak memberikan informasi yang tidak didukung cukup bukti. Hal tersebut terwujud jka para peserta tutur memberikan sumbangan informasi yang diyakini benar, dan apa yang diinformasikan didukung oleh bukti yang memadai. Kebenaran yang dimaksud dapat berupa kebenaran factual, kebenaran proporsional, dan kebenaran spiritual.

Untuk menentukan kebenaran suatu informasi tidaklah mudah.Dalam realisasinya, hakikat kebenaran dan ketidakbenaran suatu informasi, kebongan dan kejujuran seseorang, yang paling tahu adalah orang yang bersangkutan. Karena tidak mungkin kita melihat apa yang ada di balik benak para peserta tutur, Stubbs (1983) menyarankan agar kita bertumpu pada kebenaran faktual, yakni kebenaran yang didasarkan pada fakta. Kebenaran proporsional merupakan kebenaran yang didasarkan pada prinsip logika yang benar. Sedangkan kebenaran spiritual merupakan kebenaran yang didasarkan pada keyakinan spiritual yang biasanya disadari secara umum

3. Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance)

- Buatlah agar pernyataan itu relevan.

Page 59: Implikatur shintia

Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama.

Maksim hubungan menyarakan agar para peserta tutur memberikan informasi yang relevan dengan topik pembicaraan. Dalam realisasinya, para peserta tutur dalam sebuah interaksi menaati maksim hubungan dengan cara menyampaikan tuturan yang berisi informasi yang relevan dengan alur interaksi yang sedang diikuti. Wacana interaksi di pengadilan berikut patut diperhatikan:

[1] H : Nama? (a)

S : Suparmin. (b)

H : Alamat? (c)

S : Sawojajar, Malang. (d)

H : Pekerjaan? (e)

S : Swasta. (f)

Pada wacana [1] di atas, saksi (S) memberikan informasi yang relevan dengan inisiasi yang diberikan oleh hakim (H).tuturan S (a), (c), dan (e) selalu relevan dengan inisiasi H (b), (d), dan (f). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa S telah menaati maksim hubungan.

Relevansi suatu tuturan dilihat dalam kerangka hubungan yang lebih luas, yakni memiliki relevansi dengan konteks yang sedang terjadi meskipun secara literal tidak menunjukkan hubungan. Wacana interaksi antara penjual sate dan pembeli berikut patut diperhatikan:

[2] Pj : Kambing apa ayam, pak? (a)

Pb : Kambing sepuluh, pak. (b)

Pj : Kecap apa kacang? (c)

Pb : Kacang. Jangan pedes! (d)

Dalam wacana [2] di atas, secara literal informasi yang diberikan Pb kepada Pj tidak berhubungan. Namun dalam konteks memberli sate, informasi yang diberikan Pb melalui tuturan (b) dan (d) memiliki

Page 60: Implikatur shintia

relevansi dengan inisiasi Pj mealui tuturan (a) dan (c). Karena para peserta tutur memiliki praanggapan yang sama, maka inisiasi yang diajukan Pj dan respon yang diberikan Pb memiliki relevansi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Pb telah menaati maksim hubungan.

Secara umum, penaatan maksim hubungan dalam sebuah interaksi berfungsi untuk membuat setiap tuturan yang disampaikan memberi informasi yang relevan dengan tuturan yang direspon dan situasi ujarnya.Secara khusus, penaatan maksim hubungan memiliki fungsi untuk (1) mengusut kebenaran informasi, (2) mencari informasi, dan (3) memberikan informasi yang benar.

4. Maksim Cara (The Maxim of Manner)

- Hindari pernyataan yang kurang kabur

- Hindari ketaksaan

- Buatlah ujaran sesingkat mungkin

- Buatlah ujaran secara berurutan.

Dalam realisasinya, peserta tutur dalam sebuah interaksi menaati maksim cara dengan cara menghindari tuturan yang kabur, menghindari tuturan yang berarti ganda, tidak berbelit-belit, dan menyampaikan tuturan secara teratur. Biasanya, tuturan yang menaati maksim kuantitas sekaligus juga menaati maksim cara. Perhatikan wacana berikut:

[3] A : Berapa (hasil akhir) Chelsea lawan Liverpool? (a)

B : Tiga, satu. (b)

A : Di final, kamu pegang mana? (c)

B : MU (Manchester United). (d)

Pada wacana [3] di atas, B memberikan informasi yang dibutuhkan oleh A. Wacana di atas memiliki konteks semifinal liga Champion antara Chealsea melawan Liverpool. Tuturan (b) memberikan informasi skor akhir pertandingan semi final antara Chelsea melawan Liverpool, sedangkan tuturan (d) memberikan informasi tentang tim favorit juara, karena sebelumnya MU telah menang melawan Barcelona 1-0. Karena itu dapat dikatakan bahwa B telah menaati maksim cara.

Page 61: Implikatur shintia

Secara umum, penaatan maksim cara dalam sebuah interaksi memiliki fungsi untuk menyampaikan informasi secara jelas, tidak ambigu, singkat dan teratur dalam rangka menunjang tercapainya tujuan interaksi yang sedang diikuti. Secara khusus, penaatan maksimcara berfungsi untuk (1) menyampaikan informasi yang singkat dan jelas, dan (2) menghindari kesalahpahaman.


Recommended