Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
KAJIAN IMPLIKATUR PERCAKAPAN ANTARA GURU DAN SISWA
PONDOK PESANTREN MODERN BABUSSA’ADAH BAJO
KABUPATEN LUWU DENGAN PENDEKATAN LINGUISTIK
DESKRIPTIF
STUDY OF CONVERSATION IMPLICATION BETWEEN TEACHERS
AND STUDENTS OF BABUSSA'ADAH BAJO MODERN ISLAMIC
BOARDING SCHOOLS LUWU DISTRICT WITH DESCRIPTION
LINGUISTIC APPROACH
TESIS
OLEH:
IHWAL SUBHAN
Nomor Induk Mahasiswa: 10.50 414.004.19
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR
2021
2
KAJIAN IMPLIKATUR PERCAKAPAN ANTARA GURU DAN SISWA
PONDOK PESANTREN MODERN BABUSSA’ADAH BAJO
KABUPATEN LUWU DENGAN PENDEKATAN LINGUISTIK
DESKRIPTIF
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister
Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan Diajukan oleh
IHWAL SUBHAN
Nomor Induk Mahasiswa: 10.50.414.004.19
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR
2021
3
4
5
6
ABSTRAK
Ihwal Subhan, 2021. Kajian Implikatur Percakapan antara Guru dan Siswa Pondok Pesantren Modern Babussa‘adah Bajo Kabupaten Luwu dengan Pendekatan Linguistik Deskriptif, dibimbing oleh Munirah dan Siti Suwada Rimang.
Penelitian ini bertujuan mengetahui implikatur percakapan siswa dan guru pada saat proses interogasi berdasarkan prinsip kerja sama Grice serta tindak tutur dan peristiwa tutur pada bahasa interogasi ditinjau dari persfektif linguistik deskripsi. Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Modern Babuss‘adah Bajo, Kecamatan Bajo, Kabupaten Luwu. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan Teknik pengumpulan data melalui rekaman kemudian di transkip untuk analisis.
Hasil Penelitian mendeskripsikan fenomena kebahasaan siswa
serta bentuk implikatur percakapan menggunakan kajian linguistik deskriptif. Penelitian ini menggunakan prinsip kerja sama Grice. Adanya pelanggaran prinsip kerja sama sebagai upaya pertahanan siswa untuk menutupi kesalahan. Hal ini merupakan daya tarik tersendiri dalam penelitian pragmatik terhadap kasus pelanggaran aturan sekolah. Tuturan yang menekan menyebabkan ketidaknyaman mitra tutur sehingga memilih menghindari percakapan dengan memberikan informasi berbelit-belit. Tuturan yang memanfaatkan prinsip percakapan pada teori pragmatik menghasilkan pola bahasa interogasi yang dapat dipakai untuk memperoleh informasi. Kata Kunci : Implikatur Percakapan, Linguistik Deskriptif, Siswa
Pelanggar Aturan Sekolah
7
8
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.
Alhamdulillah, puji dan syukur atas izin dan petunjuk Allah swt.,
sehingga tesis dengan Judul: “ Kajian Implikatur Percakapan antara Guru
dan Siswa Pondok Pesantren Modern Babussa‘adah Bajo Kabupaten
Luwu dengan Pendekatan Linguistik Deskriptif‖ dapat diselesaikan tepat
waktu. Pernyataan rasa syukur kepada Allah swt., atas yang diberikan
kepada penulis dalam menyelesaikan karya ini yang tidak dapat
diucapkan dengan kata-kata dan dituliskan dengan kalimat apa pun.
Tidak lupa juga penulis panjatkan shalawat dan salam atas
junjungan Nabiullah Muhammad saw., yang menjadi penerang kehidupan
kita dengan risalahnya. Nabi yang telah membawa umat manusia dari
alam gelap gulita ke alam yang terang-menerang. Nabi yang menjadi suri
tauladan umatnya yang ingin selamat dan bahagia hidup di dunia maupun
di akhirat kelak.
Dalam penyelesaian proposal tesis ini, penulis banyak mendapat
bantuan dari berbagai pihak . untuk itu penulis menyampaikan ucapan
terima kasih setulusnya kepada kedua orangtua yaitu Ayahanda Subhan,
S.Ag., dan Asniar Rasyid yang telah banyak berkorban atas selesainya
studi yang emban oleh penulis. Selanjutnya, Dr. Munirah, M.Pd., dosen
pembimbing pertama yang telah banyak meluangkan waktunya membantu
penulis dalam rangka memberikan ide, saran, bimbingan , perhatian, dan
9
kritiknya yang sifatnya membangun dalam penyusunan proposal tesis ini.
Dr. Siti Suwada Rimang M.Hum., dosen pembimbing II yang telah
banyak meluangkan waktunya membantu penulis dalam memberikan ide,
saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk membimbing penulis
dalam penyusunan tesis ini. Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum., Ketua
Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar, tak luput
memberikan banyak perhatian, bimbingan dan motifasi sehingga penulis
bisa menyelesaikan tesis ini dengan baik dan cepat. Semua Staf
Pascasarjana dan rekan-rekan mahasiswa pascasarjana terkhusus kelas
B reguler yang selalu saling memberi motivasi dan semangat dalam
perampungan tesis ini.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis terbuka
menerima saran dan kritikan yang sifatnya membangun demi
penyempurnaan penulisan tesis ini. Mengiringi penghargaan dan ucapan
terima kasih tersebut penulis hanya mampu untuk bermohon dan penuh
harap kepada Allah swt., karena penulis menyadari ―Di atas segalanya
ingatlah bahwa ada Tuhan menurunkan pertolongan kepada mereka
yang mau membantu sesamanya dan dirinya sendiri.‖ Semoga tesis ini
terhitung sebagai amal untuk kepentingan umat manusia dalam dunia
pendidikan.
Makassar, Agustus
2021
10
Ihwal Subhan
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................. ii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .................................. iv
ABSTRAK ........................................................................................... v
ABSTRACT ......................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belelakang Penelitian ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .................................................................... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Hasil Penelitian ........................................................... 11
B. Kajian Teori ............................................................................... 15
1. Pragmatik ...................................................................... 15
a. Implikatur................................................................... 16
11
1) Implikatur Konvensional ....................................... 18
2) Implikator Non Konvensioanl ............................... 19
3) Implikatur Percakapan ......................................... 20
a) Maksim Kuantitas ........................................... 23
b) Maksim Kualitas ............................................. 24
c) Maksim Relevansi .......................................... 25
d) Maksim Cara atau Hubungan ......................... 25
b. Tindak Tutur .............................................................. 27
c. Kesantunan Berbahasa ............................................. 30
2. Linguistik Deskriptif ......................................................... 32
a. Konsep Linguistik Deskriptif ...................................... 32
b. Keunggulan Lingusitik Deskriptif ............................... 36
c. Kelemahan Linguistik Deskriptif ................................ 37
C. Kerangka Pikir ........................................................................... 37
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian .............................................................. 40
B. Lokasi dan Waktu Peneltian ...................................................... 40
C. Unit Analisis dan Penentuan Informan ...................................... 41
D. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 41
E. Teknik Analisis Data .................................................................. 42
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ......................................................................... 44
12
1. Analisis Implikatur Percakapan terhadap Siswa Pelanggar Aturan Sekolah Berdasarkan Prinsip Kerja Sama Grice ...................................................................... 44 a. Pelanggaran Tuduhan Merokok ................................ 45
b. Pelanggaran Peraturan Masuk Asrama ...................... 49
c. Pelanggaran Mengintimidasi Teman Asrama ............. 53
d. Pelanggaran Perizinan Keluar Masuk Asrama ........... 58
e. Pelanggaran Peraturan Masuk Asrama II ................... 64
f. Pelanggaran Kegiatan Belajar Mengajar .................... 68
g. Pelanggaran Ketidakikutsertaan Ekstrakurikuler ........ 72
h. Pelanggaran Pembelajaran Tahfidz ........................... 75
2. Tindak Tutur dan Peristiwa Tutur pada Bahasa Interogasi Siswa Pelanggar Aturan Sekolah Berdasarkan Pendekatan Linguistik Deskriptif ................. 79
B. Pembahasan ......................................................................... 89
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................... 99
B. Saran ................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA
13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Peraturan yang terdapat sekolah ataupun pondok diproses untuk
menjaga keberlangsungan belajar mengajar tetap berjalan dengan
efektif agar hubungan antar guru dan siswa serta perangkat sekolah
terjalin dengan baik. Semua sekolah pada umumnya tentu memiliki
peraturan masing-masing yang telah disepaki oleh seluruh perangkat
sekolah. Masing-masing butir peraturan yang telah disepakati tentu
mengandung tujuan yang relevan dan wajib diketahui oleh semua
siswa. Aturan sekolah yang dibuat harus memiliki manfaat bagi siswa
agar dalam proses belajar mengajar berjalan dengan baik (Karmila
Indah Hasin, 2013).
Selanjutnya, menurut Susanto, peraturan sekolah harus
diterapkan dan disampaikan melalui program-program sesuai dengan
visi dan misi sekolah baik program akademik maupun non akademik.
Program akademik merupakan suatu prosedur yang terorganisir,
terencana, dan terkoordinasi selama satu periode pembelajaran.
14
Masalah-masalah yang ditemukan di ruang lingkup sekolah baik
akademik dan non akademik harus diselesaikan secara bersama baik
personal sekolah, individu siswa dan keluarga agar menghasilkan titik
temu (Karmila Indah Hasin, 2013).
Dengan adanya peraturan sekolah yang dibuat, tetap saja masih
ada siswa yang melanggar peraturan tersebut. Siswa yang melakukan
pelanggaran aturan sekolah ketika proses wawancara dengan guru BK
(Bimbingan dan Koseling) tentu tidak semesta-mesta memberikan
jawaban yang sesuai agar mereka terhindar dari hukuman yang akan
diberikan. Cara yang dilakukan oleh siswa adalah membuat narasi yang
berbelit-belit sehingga mampu menyembunyikan pelanggaran yang
telah dibuat. Dengan hadirnya linguistik deskriptif dapat menelaah dan
membuktikan kebenaran dibalik pelanggaran yang diperbuat oleh
siswa. Tentunya linguistik deskriptif berdasarkan pada teori-teorinya
dapat digunakan penyelidikan bahasa. Penyelidikan bahasa dalam
konteks ini adalah proses interogasi antara guru dan siswa.
Bahasa yang dipakai ketika proses konseling/wawancara dapat
menghambat dan menggagalkan proses interogasi. Dalam artian
bahwa ketik guru BK (Bimbingan dan Konseling) menggunakan bahasa
yang sopan, lembut, santun, dan indah maka akan mempercepat dan
mempermudah jalannya wawancara. Namun, jika guru BK (Bimbingan
dan Konseling) mencerminkan gaya bahasa yang tidak sesuai dan
melakukan intimidasi kepada siswa pelanggar makan akan
15
mempengaruhi jalannya wawancara. Proses wawancara atau konseling
dapat berjalan lancar dan baik jika konselor yaitu guru BK (Bimbingan
dan Konseling) memiliki kemampuan berbicara yang efektif. Akan
tetapi, pada kenyataannya banyak konselor yang gagal melakukan
wawancara karena tidak mampu mengusai keterampilan berbicara.
Proses wawancara atau konseling melibatkan objek kebahasaan
antara pihak konselor dan konseling (siswa pelanggar) yang
diklasifikasikan berdasarkan jenis dan cara tindak kejahatan
menggunakan pendekatan linguistik deskripstif
Menurut Kridalaksana, bahasa adalah sistem lambang arbitrer
yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi
dan mengidentifikasi diri. Bahasa terbagi menjadi dua, baik ujaran
maupun tertulis. Bahasa bisa menjadi salah satu alat komunikasi,
bahkan bahasa sangat terasa dominasinya dalam berkehidupan di
dunia nyata maupun dunia maya.(Casim et al., 2019)
Dalam pandangan islam yang berpedoman kepada alquran juga
menjelaskan bahwa mempelajari bahasa merupakan ilmu
pengetahuan. Salah satunya dijelaskan dalam surah Al Mujadalah ayat
11 menyebutkan pentingnya ilmu. Ilmu dalam pandangan Islam adalah
suatu kebutuhan yang harus diraih oleh setiap muslim. Karena dari ilmu
manusia dapat mengetahui hakekat kebenaran. Pada ayat 11
menerangkan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang
beriman dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.
16
Berikut surat Al Mujadalah ayat 11:
- ١١
Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, "Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu," maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan."
Bahasa merupakan salah satu sarana komunikasi yang digunakan
oleh penutur untuk mengungkapkan isi hati dan pikiran. Maksud tuturan
dapat disampaikan dengan baik apabila didukung oleh situasi dan
kondisi yang nyaman dan humanis dengan menggunakan implikatur
percakapan. Kondisi tersebut diperlukan terutama oleh penutur yang
sedang diinterogasi di kepolisian. Implikatur percakapan mempermudah
proses interogasi apabila terinterogasi diam, berbohong, atau berbelit-
belit. Bahasa adalah elemen yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Seiring dengan berkembangnya zaman, bahasa juga
mengalami perubahan dan perkembangan. Perkembangan bahasa
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif.
Pengembangan bahasa dengan menggunakan pendekatan
deskriptif adalah pengembangan bahasa menurut bahasa yang ada
pada suatu waktu tertentu. Bahasa berkembang sesuai dengan
penggunaannya oleh masyarakat bahasa di lapangan. Pengembangan
17
bahasa dengan pendekatan deskriptif ini akan menambah
keberagaman dan kekayaan suatu bahasa. Namun, segi negatifnya
adalah pengembangan bahasa dengan menggunakan pendekatan
deskriptif ini sering kali digambarkan berupa dugaan-dugaan karena
linguistik preskriptif mengalami kesulitan untuk memberikan gambaran
yang sebenar-benarnya mengenai suatu bahasa.
Manusia hakikatnya merupakan makhluk sosial yang tentukan
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Sebagai makhuk
sosial, manusia membutuhkan komunikasi untuk berinteraksi dengan
orang lain. Komunikasi merupakan sarana pertukaran informasi antar
manusia. Dalam berkomunikasi yang baik memerlukan metode
komunikasi yang tepat agar lawan tutur mampu memahami maksud
dari tuturan yang disampaikan.
Seorang penutur dalam melakukan komunikasi atau pertuturan
hendaknya memenuhi kaidah-kaidah dalam percakapan, agar maksud
dari tuturan tersebut mudah dipahami oleh mitra tutur atau pendengar,
tetapi dalam keadaan sengaja atau tidak sengaja kadang mereka
melanggar kaidah-kaidah tersebut. Hal ini mengakibatkan timbulnya
sesuatu yang terimplikasi atau sesuatu yang implisit dalam penggunaan
bahasa. (Yulianti, Yessinta & Utomo, 2020)
Sesuatu yang terimplikasi atau makna implisit dalam penggunaan
bahasa disebut dengan implikatur percakapan. Implikatur percakapan
merupakan salah satu kajian ilmu pragmatik yang menganalisis maksud
18
implisit dari sebuah tuturan. Menurut Mey (1994: 99) implikatur
merupakan sesuatu yang terimplikasi di dalam suatu percakapan, yaitu
sesuatu yang dibiarkan implisit di dalam penggunaan bahasa secara
aktual. Implikatur merupakan proses interpretasi makna berdasarkan
situasi dan konteks. Dengan menggunakan teori implikatur, kita dapat
memahami makna yang tersirat dalam tuturan penutur tersebut.
(Nugraheni, 2010)
Pragmatik adalah suatu kajian bahasa yang memiliki hubungan
dengan konteks atau entitas bahasa. Dalam penelitian ini
menggunakan teori Leech dengan prinsip kerja sama Grice. Dalam
teori Grice menjelaskan bahwa dalam proses percakapan harus
mematuhi prinsip-prinsip kerja sama baik penutur maupun lawan tutur.
Terdapat empat klasifikasi untuk mematuhi prinsip kerja sama tersebut
yaitu maxim of quantity, maxim of quality, maxim of relevance, dan
maxim off manner (Nugroho, 2018). Dari empat maksim tersebut
digunakan untuk mengklasifikasikan data tentang jenis dan cara tindak
tutur siswa yang melanggar peraturan sekolah (Karmila Indah Hasin,
2013).
Pematuhan prinsip kerja sama merupakan lawan dari pelanggaran
prinsip kerja sama. Pematuhan prinsip kerja sama dalam percakapan
merupakan bentuk interaksi yang banyak dilakukan untuk efektifitas
dalam komunikasi. Dalam pematuhan prinsip kerja sama antara
penutur dan mitra tutur dibutuhkan adanya kerja sama dalam pertuturan
19
yang sifatnya kooperatif. Sebuah komunikasi dikatakan berhasil jika
penutur dan mitra tutur melaksanakan prinsip kerja sama. Namun,
seringkali maksim kerja sama mulai dilanggar untuk hal tertentu yaitu
pada saat penutur sengaja menggunakan implikasi dalam
berkomunikasi.
Implikatur percakapan dalam proses interogasi siswa yang
melanggar aturan sekolah merupakan kajian baru sehingga belum
mendapatkan perhatian khusus sebagai bidang kajian memadai.
Selanjutnya, perilaku siswa atau guru yang melanggar empat pokok
percakapan dalam proses interogasi juga patut untuk diteliti dan
dipelajari. Melanggar satu atau empat kriteria dalam percakapan dapat
menimbulkan kesan yang tidak biasa. Perbedaan ini diwujudkan dalam
situasi di mana informasi yang diberikan oleh siswa pelanggar tidak
relevan, berlebihan, atau bahkan membingungkan. Mengapa siswa
melanggar pedoman tertentu? Untuk mengetahui alasan atau niat
melanggar pedoman percakapan, sangat menarik untuk dilakukan
penelitian mendalam dengan menggunakan penelitian bahasa
deskriptif.
Terdapat penelitian yang relevan dalam penelitian ini, salah
satunya adalah Munirah (2020) mengungkapkan bahwa Penggunaan
implikatur percakapan yang digunakan oleh penyidik dalam melakukan
investigasi merupakan salah satu bentuk implikatur percakapan umum
dimana penyidik dan tersangka memiliki pengetahuan yang sama
20
tentang konteks yang dibahas. Oleh karena itu, esensi dari sebuah
penyelidikan yaitu peristiwa yang berorientasi pada tujuan dapat
berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh penyidik. Dalam
fungsinya penggunaan implikatur digunakan penyidik untuk
menunjukkan wajah yang positif atau membangun citra yang ramah di
hadapan tersangka. Ini juga menjadi media dalam menyampaikan
maksud tertentu secara halus. (Munirah & Apriyanto, 2020)
Hubungan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang
dilakukan oleh penulis adalah sama-sama mengkaji tentang kajian
implikatur percakapan dalam proses interogasi. Hanya saja yang
membedakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan
deskriptif karena sebagai besar penelitian sebelumnya menggunakan
pendekatan linguistik forensik.
Oleh karena itu, berdasarkan paparan latar belakang di atas
penulis mengangkat judul tentang Kajian Implikatur Percakapan
antara Guru dan Siswa Pondok Pesantren Modern Babussa’adah
Bajo Kabupaten Luwu dengan Pendekatan Linguistik Deskriptif.
Uniknya dalam penelitian ini adalah apa yang dikatakan penutur itu
berbeda dengan apa yang dimaksudkan sebenarnya, untuk
mengetahui maksud yang tersembunyi dalam tuturan tersebut perlu
adanya konteks dengan kesamaan pengetahuan tentang apa yang
dipertuturkan.
B. Rumusan Masalah
21
Berdasarkan latar belakang di atas , maka permasalah yang akan
dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah implikatur percakapan antara siswa dan guru ketika
saat proses interogasi berdasarkan prinsip kerja sama Grice?
2. Bagaimanakah tindak tutur dan peristiwa tutur pada bahasa
interogasi ditinjau dari perspektif linguistik deskriptif?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini
sebagai berikut:
1. Menganalisis implikatur percakapan antara siswa dan guru ketika
saat proses interogasi berdasarkan prinsip kerja sama Grice.
2. Menganalisis tindak tutur dan peristiwa tutur pada bahasa
interogasi ditinjau dari persfektif linguistik deskripsi.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi yang lebih rinci dan mendalam tentang Kajian
Implikatur Percakapan antara Guru dan Siswa dengan
Pendekatan Linguistik Deskriptif.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti
22
Hasil penelitian ini adalah jawaban dari masalah yang
dirumuskan. Dengan selesaianya peneliti ini diharapkan
menjadi motivasi bagi peneliti untuk semakin aktif
menyumbangkan hasil karya ilmiah bagi dunia sastra dan
pendidikan. Penelitian implikatur dan pendekatan linguistik
deskriptif dalam penelitian ini digunakan sebagai bahan
bacaan perbandingan penelitian yang sebelumnya.
b. Bagi guru dan dosen
Hasil penelitian ini memberikan gambaran bagi guru
dan dosen tentang menggunakan bahasa yang sesuai
dalam proses percakapan dalam ilmpikatur percakapan.
c. Bagi pembaca
Hasil penelitian ini dapat lebih memahami isi
implikatur dan linguistik forensik serta memetik makna yang
terkandung dalam penelitian ini. Selain itu, diharapkan
pembaca semakin jeli dalam memilih bahan bacaan dengan
memilih sebuah objek yang sarat akan makna pendidikan
yang bermoral dengan menelaah dari dari unsur keunikan
sekaligus sarana pembinaan kepribadia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjuan Hasil Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh Munirah dan Sigit Apriyanto
mengemukakan tentang pakar linguistik forensik mencari kesulitan melalui
tuturan dari penutur dalam struktur gaya bahasa, fonetik forensik, dan
dialektologi sambil menulis dalam bentuk sidik jari dan analis hingga
mengkategorikan isi tulisannya. Kajian ini mencakup perhatian pada
kriteria yang digunakan untuk memutuskan seseorang dapat dikenal
sebagai saksi ahli bahasa, etika seorang saksi bahasa, kriteria yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat bukti ilmiah yang disajikan oleh saksi
linguistik, cara saksi ahli bahasa dalam menemukan bukti kebahasaan,
dan cara ahli bahasa dalam menggambarkan implikatur percakapan
dalam interogasi polisi. (Munirah & Apriyanto, 2020)
Data yang diperoleh dari artikel penelitian, buku, dan jurnal
dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Dalam studi
ini, Hal-hal yang berkaitan dengan peran forensik linguistik akan disajikan
dalam proses interogasi, bahasa hukum, dan posisi linguistik forensik itu
sendiri. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa implikatur percakapan
digunakan oleh polisi dalam proses interogasi dalam menghadapi
tersangka pada titik temu, membuat tersangka konsisten tanpa merasa
tertekan, dan membantu tersangka dalam menggambarkan kasusnya.
24
Eko Kuntaro dan Abdoel Gafar mengemukakan dalam
penelitiannya bahwa kesantunan berbahasa memiliki objek kajian yang
sangat luas sehingga jika dikolaborasikan dengan penggunaan bahasa
Indonesia dalam situasi ilmiah tentu dapat dideskripsikan lebih dalam lagi.
Olehnya itu, dengan hadirnya keharmonisan suatu bahasa sebagai tolok
ukur kesantunan berbahasa di ranah sosial mampu terwujud dan akan
sangat berdampak pada keharmonisan dalam bersosialisasi dalam
kehidupan (Bashori, 2018).
Dalam dunia Pendidikan tentu guru bahasa Indonesia tuntut untuk
menghasilkan bahan ajar yang inovatif dan bervariasi. Termasuk dalam
pemakaian redaksi bahasa yang masuk dalam ranah empat keterampilan
berbahasa. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa yang santun. Hal ini
perlu digaris bawahi bahwa kesantunan berbahasa sangat penting karena
salah satu sarana untuk mengembangkan keterampilan berbicara maupun
aspek keterampilan yang lain agar membentuk generasi yang baik.
Kesantunan berbahasa merupakan salah satu alternatif yang
dimanfaatkan oleh guru Bahasa Indonesia untuk bahan pengajaran
bahasa Indonesia, khususnya untuk aspek keterampilan berbicara. Dalam
penelitian ini, dengan kesantunan berbahasa mampu mewujudkan strategi
untuk menciptakan keberlangsungan komunikasi yang harmonis. Hal-hal
negatif yang dimungkinkan timbul dari komunikasi ini setidaknya dapat
dihindari berkat sikap berbahasa santun yang diwujudkan peserta tutur
yang terlibat.
25
Penelitian yang dilakukan oleh Aceng Ruhendi Saifullah (2009)
mengemukakan tentang analisis linguistik forensik pada delik aduan kasus
penghinaan dan pencemaran nama baik, yaitu merupakan studi kasus
pada tindak tutur yang berdampak hukum. Data dalam penelitian tersebut
diperoleh dari dokumen delik aduan di kantor pengacara. Hasil penelitian
dapat digunakan oleh saksi ahli bidang bahasa agar menjadi saksi ahli
yang profesional dalam persidangan di pengadilan. (L. Hartini et al., 2020)
Penelitian oleh Sri Waljinah dan Harun Joko Prayitno (2012)
mengemukakan tentang deskripsi bentuk dan pola bahasa interogasi,
identifikasi tindak tutur dan peristiwa tutur berdasarkan analisis linguistik
forensik, dan merumuskan kaidah dan proses interogasi untuk
menghindari kekerasan dalam proses interogasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kerja sama dan harmoni timbal balik dengan
menggunakan bentuk verbal merupakan penanda bagi pihak terinterogasi
merasa dihargai. Tindak tutur dengan memanfaatkan prinsip percakapan
pragmatik menghasilkan pola bahasa interogasi yang dapat dipakai untuk
memperoleh informasi dari terinterogasi tanpa tekanan dan paksaan
(Karmila Indah Hasin, 2013).
Penelitian serupa dilakukan oleh Sri Waljinah dari Prodi
Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Muhammadiyah Surakarta yang berjudul Linguistik Forensik
Interogasi: Kajian Implikatur Percakapan dari Perspektif Makna Simbolik
Bahasa Hukum. Penelitian tersebut menganalisis percakapan dalam
interogasi dengan objek kajian linguistik forensik untuk membuktikan
26
tentang analisis kaidah wacana dengan pendekatan pragmatik. Dengan
hadirnya implikatur percakapan dapat mengungkapkan makna bahasa
hukum dalam tindak tutur. Untuk mewujudkan situasi yang baik dan
nyaman serta menciptakan suasana yang kondusif dalam proses
interogasi harus memerhatikan bahasa non verbal dan verbal (Karmila
Indah Hasin, 2013).
Implikatur percakapan dalam pelanggar aturan sekolah merupakan
hal relatif baru karena belum memerhatikan aspek kajian yang memadai.
Selain itu, pelanggaran maksim dalam percakapan sangat menarik untuk
dikembangkan dalam penelitian. Pelanggaran yang dilakukan siswa
mengenai pelanggaran maksim tentu menimbulkan kesan yang menarik
dan tidak biasa. Kesan tersebut seakan-akan memberikan informasi
secara berlebihan dan tidak relevan dengan kenyataan.Tentu
menimbulkan pertanyaan, mengapa siswa yang melanggar aturan sekolah
melakukan pelanggaran terhadap maksim tertentu?. Oleh sebab itu, yang
akan diteliti secara lebih lanjut menggunakan kajian linguistik deskriptif
agar mengetahui alasan atau maksud dari pelanggaran terhadap maksim
percakapan tersebut.
Terdapat tiga hal yang menarik dan disimpulkan dari penelitian di
atas. Pertama, dalam proses percakapan terjadi sebuah komunikasi
timbal balik yang lancar sehingga menjalin kerja sama yang membuat
mitra tutur merasa dihargai. Kedua, tindak tutur dan peristiwa tutur
menekankan untuk memperoleh informasi yang benar sehingga
menimbulkan dampak salah persepsi. Oleh karena itu, menimbulkan
27
kesan mitra tutur untuk menutupi kesalahan yang diperbuat agar
menghindari percakapan selanjutnya. Ketiga, struktur bahasa percakapan
yang digunakan oleh guru BK (Bimbingan dan Konseling) menggunakan
prinsip-prinsip dalam teori pragmatik sehingga menghasilkan informasi
tanpa paksaan dan tekanan.
B. Kajian Teori
1. Pragmatik
Istilah pragmatik pertama-tama digunakan oleh filosof kenamaan
Charles Morris (1938). Filosof ini memang memiliki perhatian besar
terhadap ilmu yang mempelajari sistem tanda (semiotik). Pragmatik
merujuk ke telaah makna dalam interaksi yang mencakup makna si
pembicara dan konteks-konteks di mana ujaran yang dikeluarkan.
Komunikasi non verbal pada anak sebelum mengeluarkan bentuk yang
bermakna sebenarnya merupakan kemampuan pragmatik anak. Mereka
mengatakan anak sebanarnya sudah tahu mengenai esensi penggunaan
bahasa pada waktu anak berumur beberapa minggu. Janin pun
sebenarnaya telah terekspos pada bahasa manusia melelui lingkungan
intrauterin. Hal ini kemudian tampak dari kesukaan dari suara ibunya dari
pada suara orang lain. Perbedaan antara orang dewasa dengan bayi
hanyalah bayi menaggapi ujaran orang dewasa tidak secara verbal.
Senyum, tawa, tangis, dan teriakan kecil semua merupakan piranti
pragmatik anak. (Yuniarti, 2014)
Wijana (1996) dalam bukunya Dasar-Dasar Pragmatik
mengemukakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang
28
mempelajari struktur bahasa secara eksternal yakni bagaimana satuan
kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Jadi, makna yang dikaji
dalam pragmatik adalah makna yang terikat konteks atau dengan kata lain
mengkaji maksud penutur. (Yuniarti, 2014)
Leech (1993:2) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam
bidang linguistik yang memiliki kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini
disebut semantisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari
pragmatik dan komplementarisme atau melihat semantik dan pragmatik
sebagai dua bidang yang saling melengkapi. Pragmatik dibedakan
menjadi dua:
a) Pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, ini dapat dibedakan
menjadi dua yaitu pragmatik sebagai bidang kajian linguistik dan
pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa.
b) Pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar.
Pragmatik pada dasarnya memperhatikan aspek-aspek proses
komunikatif. Dalam kajian pragmatik ada empat unsur pokok, yaitu
hubungan antarperan , latar peristiwa, topik dan medium yang
digunakan. Pragmatik mengarah kepada kemampuan menggunakan
bahasa dalam berkomunikasi yang menghendaki adanya penyesuaian
bentuk (bahasa) atau ragam bahasa dengan faktor-faktor penentu
tindak komunikatif (Yuniarti, 2014).
a. Implikatur
Hadirnya implikatur dalam studi kebahasan memiliki daya tarik
tersendiri. Implikatur merupakan studi kebahasaan yang sangat
29
penting dalam objek kajian pragmatik (Wijana dan Rohmadi, 2011).
Yule (2006) mengemukakan bahwa implikatur adalah contoh
mengenai suatu ujaran memiliki makna atau maksud yang di
dalamnya mengandung banyak informasi tetapi tidak dinyatakan
secara lansung. Artinya, dari banyaknya informasi yang disampaikan
daripada yang diujarkan (Sulistyowati, 2013).
Grice menjelaskan bahwa implikatur merupakan teori
bagaimana makna yang mungkin tersirat dibandingkan dengan
tersurat. Artinya bahwa makna dalam implikatur bukan dilihat dari
makna yang tertulis atau makna yang sebenarnya, melainkan makna
dari persepsi para pendengarnya. Oleh karena itu, dengan
memahami tersebut kita dapat beralih ke eksplorasi yaitu prinsip-
prinsip yang telah diusulkan sebagai perintah menjalankan implikatur
dalam percakapan.
Dalam teori implikatur percakapan Grice, gagasan yang
maknanya berdasarkan keinginan si penutur paling jelas terungkap.
Artinya, ketika seseorang mengatakan sesuatu, bukan berarti dia
mengatakan makna sesungguhnya . Makna penutur berbeda dari
makna semantik. misalnya, makna semantik "Ada beruang
menyelinap di belakang Anda!" tidak menjelaskan dan
mendeskripsikan konsep peringatan; itu hanya melaporkan fakta
atau kejadian sebenarnya. Akan tetapi, hal tersebut sangat mungkin
seperti peringatan dari apa yang si penutur maksudkan. Konsep
implikatur Grice memunculkan sifat implikatur dan jenis implikatur
30
(Wahyuningsih & Rafli, 2017). Selanjutnya, pandangan
Djajasudarma mengenai implikatur adalah makna tambahan tersirat
dan harus dipertahankan apabila prinsip kerja sama dapat
dilaksanakan (Tokuasa, 2015).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa implikatur
merupakan makna yang tersirat dari ujaran melalui ujaran sebuah
kalimat dalam suatu konteks meskipun makna itu bukan merupakan
suatu bagian atau pemenuhan dari apa yang dituturkan. Implikatur
juga merupakan bagian dari informasi yang disampaikan dan tidak
dikatakan, penutur dapat selalu memungkiri bahwa mereka
bermaksud untuk menyampaikan tujuan.
Rohmadi (2010:60) menyatakan implikatur dibedakan menjadi
dua, yaitu implikatur konvensional dan non konvensional (Rini
Wulandari, Kundharu Saddhono, 2014).
1) Implikatur Konvensional
Implikatur konvensional adalah suatu makna ujaran yang
secara konvensi atau lebih umumnya diterima oleh masyarakat
berdasarkan konvensi yang telah ada. Contohnya:
“Sebagai orang Jawa tentunya ia akan bertindak dengan sopan, penuh pengertian, dan tidak suka menonjolkan diri”
Implikatur konvensional pada contoh di atas sering disebut
dengan prinsip kerja sama dan pada prakteknya prinsip ini
berpegang pada empat maksim yang dikemukakan Grice,
yaitu maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi,
dan maksim pelaksanaan atau cara.
31
2) Implikatur Non Konvensional
Implikatur non konvensional adalah suatu bentuk ujuran
menyiratkan makna bahasa yang berbeda dengan makna
sebenarnya. Sebagai contoh, seorang ibu yang menyuruh anak
gadisnya untuk membuatkan minum ayahnya cukup
diimplikasikan sebagai berikut:
+ Yul, air yang direbus di dapur sudah mendidih.
- Ya bu, Bapak kopi atau susu?
Dari ilustrasi di atas informasi yang diberikan ibu kepada
anaknya sekaligus menyiratkan perintah untuk membuatkan
ayahnya minum, dan anak tersebut dapat mengerti maksud yang
disampaikan oleh ibunya. Menurut Levinson (1983) keberadaan
implikatur dalam suatu percakapan (wacana dialog) diperlukan
antara lain untuk:
a) Memberi penjelasan fungsional atau fakta-fakta
kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori
linguistik struktural.
b) Menjembatani proses komunikasi antar penutur.
c) Memberi penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang
bagaimana kemungkinan pemakai bahasa dapat
menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara
lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud.
d) Dapat menyederhanakan pemerian semantik dari
perbedaan hubungan antarklausa, meskipun klausa-
32
klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur yang
sama.
e) Dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala
kebahasaan yang secara lahiriah tidak berkaitan.
3) Implikatur Percakapan
Hakikat implikatur percakapan adalah merupakan
objek yang sangat penting dalam pragmatik. Esensi dari
implikatur percakapan merujuk pada maksud dari suatu
ujaran atau tuturan yang disampaikan. Rohmadi
menyatakan bahwa implikatur percakapan dapat
diklasifikasikan berdasarkan apa yang diujarkan dengan
implikasi dari ujuran tersebut (Rini Wulandari, Kundharu
Saddhono, 2014).
Implikatur percakapan juga merupakan suatu bagian
dari sebuah tuturan karena lebih mengacu kepada jenis
―kesepatakan bersama‖ antara penutur dan mitra turur.
Kesepatakan yang dimaksud adalah topik pembicaraan
harus saling berkaitan dan berhubungan. Rahardi (2008)
menyatakan bahwa suatu bahasa pada hakikatnya
merupakan esensi dari pengetahuan yang dipahami oleh
penutur dan mitra tutur. Hubungan tersebut atau
keterkaitannya tidak terdapat pada masing-masing ujuran.
Artinya, ujuran tersebut tidak diungkapkan secara harfiah,
tetapi berdasarkan pengetahuan atau kebiasan yang sudah
33
dipahami oleh penutur dan mitra tutur. Oleh karena itu,
implikatur percakapan dapat dimengerti dan dipahami hanya
masing-masing dari penutur dan mitra turur baik makna
maupun maksud dari ujuran yang disampaikan (Bashori,
2018).
Dalam makna percakapan, mungkin ada makna
pragmatis atau sosial dan budaya. Dengan kata lain, dalam
sebuah percakapan, mungkin ada makna praktis dan sosial
dan budaya. Hal ini dikarenakan ekspresi bahasa tidak
terlepas dari konteks sosial budaya penggunaan bahasa itu
sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa makna percakapan
merupakan salah satu gagasan terpenting dalam pragmatik.
Sesingkat apapun sebuah percakapan, jika ada mekanisme
pemahaman lain yang melampaui makna literal, ia dapat
memahami maksud tersirat pembicara. Oleh karena itu,
makna percakapan adalah banyak bentuk tutur, dan
perwujudannya didasarkan pada bentuk bahasa atau makna
di luar konteks tutur, seperti penutur, mitra tutur, konteks,
waktu dan tempat tutur, atau bentuk tutur. biasa disebut
konteks (Bashori, 2018).
Konsep umum makna percakapan adalah sebagai
berikut: (1) Memberikan penjelasan fungsional dari fakta
linguistik yang tidak tercakup oleh teori bahasa struktural; (2)
Memberikan penjelasan yang tegas dan jelas tentang
34
bagaimana pengguna bahasa dapat menangkap informasi,
bahkan jika konten diucapkan. berbeda dari makna aslinya
Berbeda untuk menyederhanakan deskripsi semantik
tentang perbedaan hubungan antar klausa meskipun klausa-
klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur yang sama;
dan (3) menerangkan berbagai macam fakta dan gejala
kebahasaan yang secara tidak berkaitan. (Bashori, 2018)
Levinson menyatakan empat ciri utama makna
percakapan, yaitu: (1) cancellability, artinya jika dapat
dicegah dengan menambahkan beberapa premis/alasan
tambahan pada premis asal, tidak dapat ditarik kesimpulan;
(2) non-detachability, implikasi. tergantung pada isi semantik
dari apa yang dikatakan, daripada bentuk bahasa, sehingga
implikasi tidak dapat dipisahkan dari wacana; (3)
calculability, yang merupakan saran untuk setiap
kemungkinan yang diduga untuk membangun argumen,
menunjukkan makna literal dari wacana tersebut dipadukan
dengan prinsip kerjasama dan maksimnya; (4) non-
conventionality, artinya mengetahui makna literal dan dapat
memprediksi makna dalam konteksnya, dan makna tidak
dapat menjadi bagian dari makna (Nugroho, 2007).
Menurut Grice, makna percakapan dibagi menjadi tiga
jenis, yaitu: makna konvensional, praanggapan, dan
implikatur non konvensional. Konvensi lebih banyak tentang
35
arti kata yang disepakati, dan arti percakapan ditentukan
oleh arti kata yang digunakan. Makna prasetel mengacu
pada pengetahuan yang dibagikan antara pembicara dan
mitra bicara. Makna non konvensional berarti maknanya
lebih didasarkan pada konteks yang melingkupi percakapan
(Nugroho, 2007).
Grice (1975) mengungkapkan bahwa di dalam prinsip
kerja sama, seorang pembicara harus mematuhi empat
maksim. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh
peserta pertuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual
maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya
proses komunikasi. Kaidah percakapan yang dikemukakan
oleh Grice sebagai berikut :
a) Cooperative principle (prinsip kooperatif).
Di dalam percakapan, sumbangkanlah yang diperlukan,
pada saat terjadinya percakapan itu dengan memegang
tujuan dari percakapan itu.
b) Empat maxim of conversation ( empat maksim
percakapan)
1) Maksim kuantitas (maxim of quantity)
Dalam percakapan, berusaha menyatakan sesuatu
yang benar. Maksim Kuantitas menghendaki setiap
peserta pertuturan memberikan kontribusi yang
secukupnya yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya
36
dengan singkat, jelas dan tidak menyimpang dari nilai
kebenarannya. Apabila tuturan itu tidak mengandung
informasi yang sungguh-sungguh diperlukan oleh
mitra tutur atau mengandung informasi yang
berlebihan, maka dikatakan telah melanggar maksim
kuantitas.
Adapun rumusan yang menyatakan maksim kuantitas
sebagai berikut. ―Berikan jumlah informasi yang tepat
dengan memberikan informasi seinformatif yang
dibutuhkan serta jangan melebihi yang dibutuhkan‖.
2) Maksim kualitas (maxim of quality)
Berilah keterangan secukupnya dan jangan
mengatakan sesuatu yang tidak diperlukan. Maksim
kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan
mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta
percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti
yang memadai dengan kata lain dapat menyampaikan
sesuatu yang bersifat nyata dan faktual, penutur
diharapkan mampu untuk menguraikan informasi
dengan benar dan tidak mengatakan suatu yang
diyakini bahwa tidak benar serta tidak mengatakan
suatu buktibukti yang kebenarannya kurang
meyakinkan. Suatu proses komunikasi dikatakan
berhasil apabila antara Pn dan Pt bertutur dengan
37
menggunakan maksim kualitas yang berpegang pada
bukti yang nyata dan jelas dalam bertutur.
3) Maksim relevan (maxim of relevance)
Katakanlah apa yang berguna atau relevan. Artinya,
pada maksim ini mengharuskan setiap peserta
percakapan memberikan kontribusi yang relevan
dengan masalah pembicaraan. Agar terjalin hubungan
kerja sama yang baik antara Pn dan Pt. Jika kontribusi
yang diberikan oleh penutur atau petutur tidak relevan
dengan apa yang dituturkan, maka tuturan tersebut
dianggap melanggar maksim relevansi.
4) Maksim cara berbicara (maxim of manner)
Maksim cara pada prinsip kerja sama ini menyatakan
bahwa peserta tutur harus memberikan informasi
kepada lawan tutur secara langsung, jelas, tidak
berlebih-lebihan, runtut serta tidak kabur. Dengan kata
lain, tuturan yang diberikan mudah dimengerti dengan
menghindari pernyataan-pernyataan yang samar,
taksa, serta ringkas, dan berbicara secara teratur
dengan tujuan agar penutur bertutur secara langsung
dan jelas. Jika penutur bertutur secara tidak jelas,
maka tuturan tersebut telah melanggar maksim cara
dalam prinsip kerja sama Grice. (Nugroho, 2007)
38
Salah satu pegangan atau kaidah percakapan ialah
bahwa pendengarnya menganggap bahwa pembicaranya
mengikuti dasar-dasar atau maksim di atas. Jika terdapat
tanda-tanda bahwa satu maksim dilanggar, maka kita harus
memutuskan bahwa ada sesuatu di balik apa yang
dikatakan. Dapat disimpulkan bahwa, penuturlah yang
menyampaikan makna lewat implikatur, dan pendengarlah
yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat
infensi itu (Nur, 2019).
Selanjutnya, Mikhail Bakhtin dalam bukunya yang
berjudul ―The Dialogic Imagination” menyatakan wacana
humor adalah suatu bentuk representasi yang lebih
menonjolkan aspek distorsi dan plesetan makna. Maksudnya
adalah wacana humor merupakan wujud atau bentuk
percakapan yang hanya bersifat imajinasi (bukan realita) dan
banyak menyiratkan pergeseran dari makna yang
sebenarnya untuk menghasilkan sesuatu apa yang
dikatakan lelucon.
Pelanggaran terhadap maksim percakapan akan
menimbulkan kesan yang janggal. Kejanggalan itu dapat
terjadi jika informasi yang diberikan berlebihan, tidak benar,
tidak relevan, atau berbelit-belit. Kejanggalan inilah yang
biasanya dimanfaatkan di dalam humor.
39
4) Tindak Tutur
Pandangan John Austin tentang bahasa memiliki
pengaruh besar pada filsafat dan linguistik. Sebagai bagian
dari gerakan bahasa filosofis yang dulu populer, pandangan-
pandangan ini telah mencapai posisi yang menonjol dalam
filsafat. Pada tahun-tahun berikutnya, pandangan ini secara
aktif diadopsi dan dikembangkan oleh ahli bahasa, banyak
dari mereka menjadi semakin cemas tentang linguistik
Chomsky. Austin adalah orang pertama yang
mengungkapkan pandangan bahwa bahasa dapat
melakukan tindakan melalui perbedaan antara pidato
konstatif dan performatif. Kalimat deklaratif menggambarkan
atau melaporkan peristiwa dan situasi di dunia. Oleh karena
itu, ucapan konstan dapat dikatakan benar atau salah
(Hasanah, 2020).
Rohmadi (2010) Tindak tutur merupakan gejala
psikologis individu, dan kelangsungannya tergantung pada
kemampuan bahasa penutur untuk menghadapi situasi
tertentu. Menurut Chaer (2010), tindak tutur yang dilakukan
dalam bentuk kalimat performatif dinyatakan dalam tiga
tindak yang berbeda, yaitu:
40
a) Tindak Tutur Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan
sesuatu sebagaimana adanya atau The act of Saying
Something tindakan untuk mengatakan sesuatu.
b) Tindak Tutur Ilokusi
Tindak tutur ilokusi selain menyatakan sesuatu juga
menyatakan tindakan melakukan sesuatu. Oleh karena
itu, tindak tutur ilokusi ini disebut The Act of Doing
Something (tindakan melakukan sesuatu).
c) Tindak Tutur Perlokusi
Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang
mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur
atau orang yang mendengar tuturan itu. Maka tindak
tutur perlokusi sering disebut sebagai The act of
Affective Someone (tindak yang memberi efek pada
orang lain).
Apabila ada hubungan langsung antara struktur dan
fungsi, maka terjadilah tindak tutur langsung. Jika
terdapat hubungan tidak langsung antara struktur dan
fungsi, maka terjadilah tindak tutur tidak langsung. Oleh
karena itu, bentuk pernyataan yang digunakan untuk
membuat pernyataan disebut tindak tutur langsung, dan
bentuk pernyataan yang digunakan untuk meminta
41
disebut tindak tutur tidak langsung (Budiman, Arif Shige,
2016)
Ismari (1995) mengklasifikasikan tindak tutur
berdasarkan pada maksud penutur ketika berbicara ke
dalam 5 kelompok besar, yaitu :
a) Representatif : Tindak tutur ini mempunyai fungsi
memberi tahu orang-orang mengenai sesuatu. Tindak
tutur ini mencakup mempertahankan,, meminta,
mengatakan, menyatakan dan melaporkan.
b) Komisif : Tindak tutur ini menyatakan bahwa penutur
akan melakukan sesuatu misalnya, janji dan ancaman.
c) Direktif : Tindak tutur ini berfungsi untuk membuat
penutur melakukan sesuatu seperti saran, permintaan,
dan perintah.
d) Ekspresif : Tindak tutur ini berfungsi mengekspresikan
perasaan dan sikap mengenai keadaan hubungan,
misalnya permintaan maaf, penyesalan dan ungkapan
terimakasih.
e) Deklaratif : Tindak tutur ini menggambarkan perubahan
dalam suatu keadaan hubungan misalnya ketika kita
mengundurkan diri dengan mengatakan ‗Anda dipecat‘,
atau menikahi seseorang dengan mengatakan ‗Saya
bersedia‘ (Novita Carolina, 2015).
42
5) Kesantunan
Teori kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka
(face). Semua orang yang rasional punya muka (dalam arti
kiasan tentunya); dan muka itu harus dijaga, dipelihara, dan
sebagainya. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Indonesia
seperti kehilangan muka, menyelamatkan muka, dan mukanya
jatuh, mungkin lebih bisa menjelaskan konsep muka dalam
kesantunan berbahasa. Muka ini harus dijaga, tidak boleh
direndahkan orang lain (Masitoh, 2020).
Chaer (2010) kesantunan adalah properti yang
diasosiasikan dengan tuturan dan dalam hal ini menurut
pendapat si lawan tutur, bahwa si penutur tidak melampaui
hak-haknya atau tidak mengingkari dalam memenuhi
kewajibannya. Penghormatan adalah bagian dari aktivitas
yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyatakan
penghargaan secara regular. Jadi, berdasarkan kedua
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kesantunan adalah
suatu tindakan untuk menghormati mitra tutur dengan cara
tidak melampaui hak-hak dan tidak mengingkari pemenuhan
kewajiban (H. I. Hartini et al., 2017).
Kesantunan berbahasa juga diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu ‗alaihi wa sallam sungguh sangat sempurna
keluhurannya. Pembantu rumah tangga pun harus
diperlakukan dengan santun. Berkenaan dengan itu, umat
43
Islam harus menjadikannya sebagai rujukan akhlak
berkomunikasi, baik ketika berkomunikasi bersemuka maupun
berkomunikasi tak bersemuka. Berbeda halnya kesantunan
berbahasa menurut kaidah pragmatik. Menurut kaidah
pragmatik, orang yang berstatus sosial rendahlah yang harus
santun berbahasa kepada orang yang berstatus tinggi.
Umat Islam harus mencontoh Rasulullah shallallahu ‗alaihi
wa sallam dalam pengamalan kesantunan berbahasa.
Bukankah apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu ‗alaihi wa sallam bersandarkan wahyu
sebagaimana firman Allah dalam surat an-Najm (53) :3-4
نْطِقُ عَنِ الْهَوَىوَمَا يَ
“dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya (An-Najm: 3)‖ Yakni apa yang diucapkannya itu bukanlah keluar dari hawa
nafsunya dan bukan pula karena dilatarbelakangi tujuan.
إنِْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يوُحَى
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (An-Najm: 4)‖ Yaitu sesungguhnya yang diucapkannya itu hanyalah semata-
mata berdasarkan wahyu yang diperintahkan kepadanya
untuk ia sampaikan kepada manusia dengan sempurna dan
apa adanya tanpa penambahan atau pengurangan.
44
2. Linguistik Deskriptif
a. Konsep Linguistik Deskriptif
Tidak dapat disangkal bahwa bahasa sebagai sarana
komunikasi manusia bersifat dinamis, selaras dengan dinamika
yang dialami oleh penuturnya. Dapatlah dipastikan bahwa bahasa
yang hidup dalam satu kurun waktu tertentu berkemungkinan
memiliki ciri-ciri struktural, bahkan kosa kata, yang tidak lagi persis
sama dengan keadaan bahasa itu pada kurun waktu yang lain,
meskipun perbedaan tersebut selalu tidak tajam. Bahasa-bahasa
mengalami evolusi mengikuti perkembangan masyarakat
pendukungnya.
Kemungkinan berevolusinya bahasa ini membawa pengaruh
terhadap kajian atau studi linguistik. Sekurang-kurangnya, ada
dua macam studi linguistik yang muncul untuk merespons
keadaan ini. Pertama, studi linguistik yang hanya memusatkan
perhatian kepada objek bahasa yang ril, yang hidup dan
digunakan penuturnya pada kurun waktu tertentu. Kedua, studi
linguistik yang memusatkan perhatian kepada objek fase evolusi
bahasa. Studi linguistik yang pertama mendorong munculnya
aliran linguistik deskriptif dalam pengkajian bahasa, sedangkan
studi linguistik yang kedua mendorong munculnya aliran linguistik
komparatif.
Linguistik deskriptif lahir pada pengujung abad XIX di
Amerika dengan tokoh utamanya Franz Boas. Ide aliran linguistik
45
ini muncul karena Boas dan rekan-rekannya berhadapan dengan
masalah-masalah praktis untuk menghasilkan bentuk atau struktur
yang ada dalam berbagai bahasa yang diucapkan penuturnya.
Aliran linguistik deskriptif bertujuan merumuskan teori linguistik
yang abstrak sebagai alat untuk menyelesaikan deskripsi bahasa-
bahasa tertentu dengan praktis dan sukses. Karena itulah,
linguistik deskriptif berhubungan dengan pemerian dan analisis
tentang cara-cara bahasa beroperasi dan digunakan oleh
kelompok penutur tertentu pada waktu tertentu.
Studi deskriptif ini tidak memuat acuan banding kepada
pemerian bahasa pada periode sebelumnya. Tidak pula memuat
studi acuan kepada bahasa lain pada periode yang sama.
Menurut Sudaryanto (1988: 62), istilah deskriptif menyarankan
bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata berdasarkan pada
fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris
hidup di tengah-tengah kehidupan para penuturnya sehingga yang
dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa
dikatakan atau digunakan. Bahwa perian yang deskriptif itu tidak
mempertimbangkan benar salahnya penggunaan bahasa oleh
penutur, hal itu memang merupakan cirinya yang pertama dan
terutama. Berikut adalah ide-ide Boas tentang ciri struktural suatu
bahasa :
1) Kategori gramatikal (Setiap bahasa memiliki sistem gramatikal
dan sistem fonetik masing-masing. Sistem fonetik digunakan
46
sesuai dengan kebutuhan makna. Karena itu, unit dasar
bahasa adalah kalimat).
2) Pronomina kata ganti (Tidak ada orang pertama jamak karena
kata ganti itu tidak tetap)
3) Verba memiliki sifat arbitrari dan berkembang tidak merata
pada berbagai bahasa (Malini & Tan, 2016).
Pendekatan deskriptif adalah sebuah pendekatan yang
mencoba untuk menjelaskan penggunaan bahasa secara aktual di
lapangan, dengan kata lain, penggunaan bahasa berdasarkan
siapa yang menuturkannya. Pendekatan deskriptif mengenai
bahasa, atau disebut juga dengan linguistik deskriptif adalah
pendekatan yang secara objektif menganalisa dan menjelaskan
bagaimana bahasa diujarkan (atau bagaimana bahasa diujarkan
pada masa lampau) oleh sekelompok orang dalam suatu
masyarakat bahasa. Semua penelitian bahasa dilakukan dengan
pendekatan deskriptif yang bertujuan untuk mengamati dunia
bahasa sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, linguistik
deskriptif adalah pendekatan yang mengamati bahasa dan
menciptakan kategori konseptual mengenai bahasa tanpa
menghubungkannya dengan kaidah-kaidah dalam bahasa.
Linguistik deskriptif modern didasarkan pada pendekatan
struktural mengenai bahasa.
Pengembangan bahasa dengan pendekatan deskriptif
cederung melihat bahasa secara sinkronis, yaitu bahasa ada pada
47
waktu diamati. Pada prinsipnya pengembangan bahasa dengan
pendekatan merupakan pengembangan bahasa secara objektif
berdasarkan apa yang dilihat (what you see) bukan seperti apa
yang diharapkan (not what you expect to). Pengembangan bahasa
secara deskriptif ini merupakan bahasa yang digunakan dalam
komunikasi atau berbicara dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
kaitan ini, bahasa akan dikembangkan berdasarkan sifat-sifat
objek yang dimilikinya, yaitu sifat umum bahasa (kesemestaan
/universalitas), dan sifat khusus bahasa (kekhususan/
partikularitas).
Fenomena bahasa dalam masyarakat yang dikembangkan
dengan pendekatan deskriptif adalah bahasa menurut ihwal
keumuman (kesemestaan) objek bahasa ini, misalnya sifat-sifat
bahasa umumnya memiliki penanda solidaritas, penanda
kesantunan, penanda kekuasaan, dan penanda fungsi.
Sebaliknya, kekhususan pemakaian bahasa di masyarakat juga
memiliki ciri-ciri yang khas, misalnya antara satu objek dengan
objek lain, atau satu objek yang sama dalam masyarakat bahasa
(speech community) yang berbeda. Hal ini mengarah kepada
variasi bahasa yang semakin beragam sehingga dapat
memperkaya khazanah bahasa.
Contohnya dapat kita lihat dalam penggunaan bahasa
Indonesia dewasa ini. Bahasa Indonesia sekarang ini sudah
sangat berbeda dengan bahasa yang ada dahulu, khususnya
48
bahasa yang digunakan oleh para remaja dalam pergaulan sehari-
hari. Para remaja yang menggunakan bahasa Indonesia dalam
percakapan sehari-hari di lapangan sudah tidak memperdulikan
kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan. Mereka menggunakan
istilah-istilah yang hanya dimengerti oleh mereka. Hal ini
sebenarnya baik karena hal ini akan menambah kekayaan
khazanah bahasa Indonesia.
Linguistik yang berusaha mengembangkan bahasa dengan
pendekatan deskriptif mencoba memberikan deskripsi akurat
mengenai ujaran yang sebenarnya. Hal ini merupakan suatu hal
yang sulit dilalukan. Sering kali, dalam usahanya untuk
menggambarkan bagaimana bahasa yang sebenar-benarnya,
linguis sering kali memaparkan dugaan-dugaan yang belum tentu
benar-benar sama dengan keadaan bahasa tersebut di lapangan.
b. Keunggulan Aliran Linguistik Deskriptif
Aliran linguistik deskriptif memiliki beberapa keunggulan berikut:
1) memerikan bahasa Indian dengan cara yang baru secara
sinkronis.
2) menolak aliran linguistik mentalistik karena tidak sejalan
dengan iklim filsafat yang berkembang pada masa itu, yaitu
behaviorisme.
3) sudah mengelompokkan kategori gramatikal, verbal, dan
pronomina kata ganti.
4) terjalinnya hubungan yang baik antar sesama linguistik.
49
5) mimiliki cara kerja yang sangat menekankan pada
pentingnya data yang objektif untuk memerikan suatu
bahasa.
c. Kelemahan Aliran Linguistik Deskriptif
Aliran deskriptif sama sekali tidak memperhatikan aspek
makna atau semantik. Karena sangat dipengaruhi oleh psikologi
behaviorisme, aliran ini lebih cenderung menganalisis fakta-fakta
bahasa secara objektif dan nyata, terutama fonologi dan
morfologi. Makna diabaikan karena dianggap sangat subjektif,
tidak konkret.
3. Kerangka Pikir
Pengembangan bahasa dengan menggunakan pendekatan
deskriptif mencoba untuk mengembangkan bahasa apa adanya
sesuai dengan penggunaannya oleh masyarakat bahasa yang
menuturkannya di lapangan. Dengan menggunakan pendekatan
deskriptif ini, masyarakat penutur bahasa tidak dipaksa untuk
mengikuti kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan untuk bahasa
tersebut. Hal ini akan mempermudah msyarakat penutur bahasa
karena mereka tidak perlu takut dikatakan salah mengenai bahasa
yang mereka gunakan.
Pragmatik adalah suatu kajian bahasa yang memiliki hubungan
dengan konteks atau entitas bahasa. Dalam penelitian ini
menggunakan teori Leech dengan prinsip kerja sama Grice. Dalam
teori Grice menjelaskan bahwa dalam proses percakapan harus
50
mematuhi prinsip-prinsip kerja sama baik penutur maupun lawan tutur.
Terdapat empat klasifikasi untuk mematuhi prinsip kerja sama tersebut
yaitu maxim of quantity, maxim of quality, maxim of relevance, dan
maxim off manner (Nugroho, 2018). Dari empat maksim tersebut
digunakan untuk mengklasifikasikan data tentang jenis dan cara
tindak tutur siswa yang melanggar peraturan sekolah
Implikatur percakapan dalam proses interogasi siswa yang
melanggar aturan sekolah merupakan kajian baru sehingga belum
mendapatkan perhatian khusus sebagai bidang kajian memadai.
Selanjutnya, perilaku siswa atau guru yang melanggar empat pokok
percakapan dalam proses interogasi juga patut untuk diteliti dan
dipelajari. Melanggar satu atau empat kriteria dalam percakapan
dapat menimbulkan kesan yang tidak biasa. Perbedaan ini diwujudkan
dalam situasi di mana informasi yang diberikan oleh siswa pelanggar
tidak relevan, berlebihan, atau bahkan membingungkan. Mengapa
siswa melanggar pedoman tertentu? Untuk mengetahui alasan atau
niat melanggar pedoman percakapan, sangat menarik untuk dilakukan
penelitian mendalam dengan menggunakan penelitian bahasa
deskriptif.
51
Kajian Implikatur Percakapan Antara Guru dan Siswa Pondok
Pesantren Modern Babuss’adah Bajo Kabupaten Luwu dengan
Pendekatan Linguistik Deskriptif
Implikatur Percakapan
(Teori Grace)
Maksim Kualitas
Temuan
Maksim Kuantitatif Maksim Relevan Maksim Cara
Linguistik Deskriptif
Klasifikasi Data
52
Gambar 1.1. Bagan Kerangka Pikir
Hasil Penelitian
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Menurut Bogdan dan Biklen dalam Djajasudarma (1993: 10),
menjelaskan penelitian kualitatif ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
latar alamiah (natural setting), bersifat deskriptif, yaitu merupakan
gambaran ciri-ciri data secara akurat sesuai dengan sifat alamiah itu
sendiri dan data yang dikumpulkan adalah bukan merupakan angka-
angka, melainkan berupa kata-kata atau gambaran tentang sesuatu,
lebih memperlihatkan proses dari pada hasil, cenderung menganalisis
datanya secara induktif dan manusia sebagai alat (Tokuasa, 2015).
Desain penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, maksudnya
penelitian hanya menjelaskan atau mendeskripsikan mengenai Kajian
Implikatur Percakapan antara Guru dan Siswa Pondok Pesantren
Modern Babussa‘adah Bajo Kabupaten Luwu dengan Pendekatan
Linguistik Deskriptif. Langkah awal ialah mengumpulkan data. Data
yang terkumpul diolah secara deskriptif sesuai dengan tujuan
penelitian.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi penelitian ini terletak di Pesantren Modern
Babussa‘addah Bajo, Desa Bajo, Kecamatan Bajo, Kabupaten
Luwu
2. Waktu atau periode penelitian dimulai bulan Maret sampai
dengan April 2021
54
C. Unit Analisis dan Penentuan Informan
Unit analisis dalam penelitian ini adalah tuturan atau
percakapan siswa yang melanggar prinsip kerja sama dalam
implikatur percakapan. Adapun prinsip-prinsip kerja sama dalam
implikatur terdiri dari empat maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim
kualitas, maksim hubungan atau relevansi, dan maksim cara atau
pelaksanaan. Selanjutnya, informan berasal dari siswa dan guru yang
melakukan percakapan mengenai kasus atau pelanggar aturan
sekolah.
D. Teknik Pengumpulan Data
Data merupakan bahan penting yang digunakan oleh peneliti
untuk menjawab pertanyaan atau menguji hipotesis dan mencapai
tujuan. Oleh karena itu, data dan kualitas data merupakan pokok
penting dalam penelitian karena menentukan kualitas hasil penelitian..
Data diperoleh dari suatu proses yang disebut pengumpulan data.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah merekam
hasil proses interogasi guru dan siswa yang melakukan pelanggaran
aturan sekolah kemudian hasil rekaman tersebut dibuatkan sebuah
transkripsi untuk dianalisis dan berikan kode atau penadaan kategori
pelanggaran maksim dan tindak tutur. Teknik penandaan biasa disebut
sebagai pencatatan. Teknik pencatatan ini diperlukan agar data yang
diperoleh tercatat dengan baik sehingga mempermudah peneliti dalam
menganalisis data. Selanjutnya, menggunakan teknik dokumentasi.
Teknik dokumentasi sangat diperlukan oleh peneliti untuk pelaksanaan
55
kegiatan penelitian melalui foto atau gambar sebagai bukti fisik ketika
pelaksanaan penelitian.
E. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif yang
dilakukan apabila data empiris yang diperoleh adalah data kualitatif
berupa kumpulan berwujud kata-kata atau bukan rangkaian angka
serta tidak dapat disusun dalam kategori-kategori. Data bisa saja
dikumpulkan dalam beraneka macam cara.
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Mentranskrip data hasil rekaman wawancara
Setelah penulis memperoleh data berupa tuturan dari
percakapan antara guru bimbingan konseling dan siswa pelanggar
aturan maka selanjutnya penulis mentranskrip data tersebut
dengan cara menulis kembali semua hasil tuturan tersebut.
2. Mengidentifikasi dan mengklasifikasi data
Berdasarkan hasil transkripsi diperoleh data tertulis yang
selanjutnya siap untuk diidentifikasi berdasarkan rumusan
masalah yang terdapat pada penelitian ini.
Proses identifikasi berarti mengenali/menandai data
untuk memisahkan tuturan mana yang dibutuhkan untuk tahap
selanjutnya, dan mana yang tidak dibutuhkan. Dari proses
identifikasi kemudian diberi kode yang sesuai dengan
permasalahan yang akan dianalisis dan dibahas.
56
3. Menganalisis data
Analisis data dalam penelitian ini berdasarkan teori-teori
yang , digunakan untuk menjawab masalah. Dalam analisis
tersebut, data dikaji dari segi teori linguistik deskriptif dan implikatur
percakapan yang berkiblat pada kajian teori.
4. Menyimpulkan
Tahap terakhir yaitu menghasilkan simpulan berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan. Simpulan tersebut tentunya
menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah
penelitian yaitu untuk mengetahui implikatur percakapan siswa
pelanggar aturan sekolah ketika saat proses interogasi
berdasarkan prinsip kerja sama Grice dan mengungkapkan tindak
tutur dan peristiwa tutur pada bahasa interogasi terhadap siswa
pelanggar aturan sekolah ditinjau dari pandangan linguistik
deskriptif.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Implikatur Percakapan mengenai Siswa Pelanggar Aturan Sekolah Berdasarkan Prinsip Kerja Sama Grice.
Ketika pada saat proses berkomunikasi, seorang penutur
mendeskripsikan ujaran dengan maksud untuk memberikan
informasi mengenai sesuatu kepada lawan bicaranya dan
berharap lawan bicaranya dapat memahami maksud dan tujuan
yang disampaikan. Dengan Demikian, penutur selalu berusaha
agar tuturannya atau apa yang disampaikan selalu relevan
dengan jelas, konteks, mudah dimengerti/dipahami, padat, dan
ringkas (consice), serta selalu berorientasi pada persoalan (straight
forward) sehingga tidak menghabiskan waktu banyak dengan
lawan bicaranya.
Berdasarkan prinsip kerja sama Grice, seorang pembicara
harus mematuhi empat maksim. Maksim adalah prinsip yang harus
ditaati oleh peserta pertuturan dalam berinteraksi, baik secara
tekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya
proses komunikasi. Dengan demikian implikatur percakapan
mecakupi berdasarkan prinsip kerja sama Grice melalui
pelanggaran maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevan
dan maksim cara. Berikut pelanggaran data pelanggaran aturan
sekolah:
58
a. Pelanggaran Tuduhan Merokok
1) Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas adalah menyampaikan informasi
yang diperlukan oleh mitra tutur, tetapi seperlunya.
Kontribusi setiap penutur di dalam percakapan tepat sesuai
dengan kebutuhan secara kuantitatif. Bukti rekaman
percakapan interogasi melibatkan BK (Bimbingan dan
Konsuleng) dan siswa yang melanggar aturan sekolah
sebagai berikut:
BK : “Berapa orang temanmu di perairan, Nak?” F : “Tiga orang ji Bu yang saya tahu. Saya, S, dan E.”
Terjalin kerja sama berdasarkan prinsip kerja sama
Grice antara guru selaku konselor dengan siswa selaku
lawan tutur. Guru bimbingan dan konseling selaku konselor
memberikan pertanyaan jumlah siswa yang ada di perairan
dan siswa yang melanggar memberikan jawaban “Tiga
orang ji yang saya tahu Bu.” Percakapan ini mengandung
informasi tentang jumlah siswa pelanggar.
Selanjutnya, berdasarkan prinsip kerja sama Grice
terjadi pelanggaran maksim kuantitas antara guru selaku
konselor dengan siswa yang melakukan pelanggaran,
seperti berikut ini.
BK : “Kau merokok di sana atau tidak?”
59
E : ―Saya tidak merokok Bu. Saya dari pasar tadi Bu, lihat baju cakar. Saya penasaran Bu, jadi kesana. Sudah itu ketemu di perairan sama anak-anak.”
Percakapan tersebut, siswa yang melanggar memberi
informasi yang berlebihan terhadap pertanyaan yang
diberikan oleh guru bimbingan dan konseling selaku
konselor. Oleh karena itu, siswa yang melanggar telah
melanggar implikatur percakapan maksim kuantitas.
2) Maksim Kualitas
Maksim kualitas berisi informasi agar peserta
percakapan atau penutur dalam berinteraksi tidak
memberikan informasi dan kontribusi yang benar dan
dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan
komunikasi atau percakapan serta tidak mengandung
informasi yang cukup dengan bukti. Hal tersebut dibuktikan
pada proses interogasi antara konselor yaitu guru BK
(Bimbingan dan Konseling) dan siswa yang melakukan
pelanggaran sekolah:
F : “Na bilang Pak Bokko, merokok ka di Perairan.” BK : “Siapa lihatki?” F : “Tidak tahu.”
Dalam proses interogasi tersebut, mengandung
informasi bahwa siswa yang melanggar aturan
menyampaikan keberanan berdasarkan fakta yang objektif
karena pada kenyataannya, ia tidak mengetahui betul siapa
saksi yang melihatnya merokok.
60
F : “Tidak pernahka merokok.” BK : “Apa? Kamu bilang tidak pernahka merokok?” F : “Maksudku pernahji iya, sekarang tidak ka sudah ma
di dapa’. Jadi, tidak mau meka. Baru kukira tadi kenapai turun ma sebentar lihat itu orang berkelahi.”
Pada percakapan tersebut, informasi yang
disampaikan oleh siswa yang melanggar aturan sekolah
telah melanggar maksim kualitas sebab tidak mengandung
informasi dan kontribusi yang benar kepada konselor.
3) Maksim Relevansi
Maksim relevansi yaitu maksim berisi informasi yang
sesuai dengan topik pembicaraan agar terjalin kerja sama
yang baik antara penutur dan mitra tutur. Dalam
implikasinya, penutur maupun mitra tutur, masing-masing
hendaknya memberikan kontribusi yang relevan tentang
sesesuatu yang sedang di pertuturkan. Bertutur dengan
tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak
mematuhi dan melanggar maksim relevansi. Berikut
percakapan antara konselor yaitu guru (Bimbingan dan
Konseling) dan siswa yang melanggar peraturan sekolah:
BK : ―Siapa yang mu lihat lewat gurumu di sini Nak, siapa yang kau lihat lewat?
F : “Yang kulihat, nda penting sekali Bu, ka ta tutupki mukanya karena pake helm i.”
Pada percakapan tersebut guru selaku konselor
mengajukan pertanyaan yang cukup menegasi serta
jawaban dari siswa yang melanggar aturan sekolah telah
mematuhi maksim relevansi.
61
BK : “Apa yang bisa menjamin bahwa kau tadi tidak merokok di sana?”
F : “Tidak tahu juga ka.”
Dalam tuturan tersebut tentunya melanggar maksim
relevansi karena jawaban tersebut dianggap suatu jawaban
yang tidak jelas bahkan kurang tepat dengan pertanyaan
yang berikan. Jawaban siswa F malah memiliki kesannya
menghindari jawaban.
4) Maksim Cara
Maksim cara yaitu maksim yang memuat penutur dan
mitra tutur berinteraksi dengan mematuhi dan menaati
maksim hubungan agar terhindar dari tuturan yang tidak
ambigus, tidak berbelit-belit, bermakna ganda, tidak taksa
(makna lebih) dan menyampaikan tuturan secara runtut.
BK : “Masih mau mendengar atau tidak?” S : “Masih.”
Dalam interogasi tersebut telah mematuhi maksim
cara dengan menjawab pertanyaan konselor yaitu guru BK
(Bimbingan dan Konseling). Apabila dalam isi suatu
percakapan terjadi penyimpangan atau pelanggaran maka
terdapat keterlibatan atau yang hendak dicapai oleh
penuturnya. Bila implikasi tersebut, tidak terdapat maka
penutur yang bersangkutan tidak bersifat kooperatif atau
tidak melaksanakan kerja sama. Dengan demikian, apabila
komunikasi tidak berjalan dengan efektif maka telah terjadi
pelanggaran maksim dalam tuturan tersebut.
62
BK : “Apa yang bisa menjamin bahwa kautadi tidak merokok di sana?”
F : “Tidak tahu juga ka.” BK : “Hmmm.” F : “Intinya tadi itu Bu, saya tadi di sana sambil
menunggu salat to.” BK : “Pokoknya saya tidak butuh kejelasan seperti itu.” F : “Banyak semuaji temanku saksi, tidak merokok ka
tadi.”
Dalam interogasi tersebut, mengandung informasi
telah melanggar maksim cara karena siswa yang
melanggar berbicara seakan-akan bahwa dia benar
sehingga konselor memojokkan untuk mendapatkan
informasi. Akan tetapi, siswa hanya mempertegas jika ia
tidak benar-benar melakukan kesalahan.
b. Pelanggaran Peraturan Masuk Asrama
1) Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas adalah menyampaikan informasi
yang diperlukan oleh mitra tutur, tetapi seperlunya.
Kontribusi setiap penutur di dalam percakapan tepat
sesuai dengan kebutuhan secara kuantitatif. Bukti
rekaman percakapan interogasi melibatkan BK
(Bimbingan dan Konsuleng) dan siswa yang melanggar
aturan sekolah sebagai berikut:
BK : “Dari mana semua ini?” A : “Saya Padang Sappa Ustadz. Dekatnya pertamina”
Dalam interogasi tersebut Pada, antara konselor
(Guru Bimbingan dan Konseling) dan siswa yang
melanggar peraturan sekolah telah mematuhi dan
63
memenuhi prinsip kerja sama maksim kuantitas. Guru
bimbingan dan konseling menanyakan alamat atau tempat
tinggal penutur. Kemudian penentur memberikan
informasi lebih detail dan seperlunya kepada lawan
tuturnya.
2) Maksim Kualitas
Maksim kualitas berisi informasi agar peserta
percakapan atau penutur dalam berinteraksi tidak
memberikan informasi dan kontribusi yang benar dan
dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan
komunikasi atau percakapan serta tidak memberikan
informasi yang tidak didukung cukup bukti. Hal tersebut
dibuktikan pada percakapan antara konselor (Guru
Bimbingan dan Konseling) dan siswa melanggar aturan
sekolah:
BK : “Naik apaki tadi Nak? Kenapa bisa terlambatki datang nah ditaumi jam berapa harus masuk.”
A : “Menugggu ka tadi mobil dari Padang Sappa ma ke Belopa Ustadz. Karena tidak bisa tadi orang dirumah antar ka kesini. Jadi tunggu ka mobil Palopo mau ke Belopa dipinggir jalan."
Pada percakapan tersebut, mengandung informasi
yang jelas dan detail dari siswa yang melanggar aturan
sekolah. Siswa memberikan deskripsi lebih jelas melalui
pernyataan yang disampaikan kepada lawan tuturnya. Dari
deskripsi tersebut penutur memberikan keterangan dan
informasi yang di dukung oleh cukup bukti.
64
BK : “Ini iyaa orang Larompong ee. Pasti pergi lagi sole.”
B : “Tidak Ustadz bah. Kalau saya Ustadz darika tadi Belopa rumahnya sepupuku bawa kirimannya mamaku jadi kesana dulu.”
Dalam percakapan tersebut, siswa memberikan
penjelasan dan informasi yang kontradiksi dengan
pernyataan yang diberikan kepadanya. Siswa atau penutur
memberikan informasi yang sangat jelas karena terdapat
objek lain ketika memberikan keterangan. Dari keterangan
tersebut mengandung bukti kuat alasan keterlambatan.
3) Maksim relevasi
Maksim relevansi yaitu maksim berisi informasi yang
sesuai dengan topik pembicaraan agar terjalin kerja sama
yang baik antara penutur dan mitra tutur. Dalam
implikasinya, penutur maupun mitra tutur, masing-masing
hendaknya memberikan kontribusi yang relevan tentang
sesesuatu yang sedang di pertuturkan. Bertutur dengan
tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak
mematuhi dan melanggar maksim relevansi. Berikut
percakapan antara konselor yaitu guru (Bimbingan dan
Konseling) dan siswa yang melanggar peraturan sekolah:
BK : “Terus Nak? Kemana memang orang dirumah mu?” A : “Pergi acara pengantin Ustadz di dekat rumah.
Besok acaranya. Tadi mauka izin tapi nah bilang janganmi prg mko saja naik mobil sewa. Itu terlambatka ustadz.”
65
Dalam tuturan interogasi tersebut, siswa yang
melanggar aturan sekolah menyatakan hal yang sesuai
dengan pertanyaan yang diajukan kepada konselor.
Penutur memberikan deskripsi sesuai pertanyaan dengan
sangat jelas serta memberikan informasi yang sesuai
dengan alur interaksi yang sedang terjadi. Bahkan, penutur
memberikan gambaran jelas alasan ketelambatannya.
4) Maksim Cara
Maksim cara yaitu maksim yang memuat penutur dan
mitra tutur berinteraksi dengan mematuhi dan menaati
maksim hubungan agar terhindar dari tuturan yang tidak
ambigus, tidak berbelit-belit, bermakna ganda, tidak taksa
(makna lebih) dan menyampaikan tuturan secara
runtut.Berkenaan dengan itu, berikut percakapan antar
konselor dengan siswa pelanggar:
BK : “Tidak nah tau kah mama mu Nak kalau masuk asrama jam 17.00?”
B : “Nah tau duka pas Ustadz. Ku tanya ji kalau tapi nah bilang sekalian mi saja. Ku kira juga nah telepon Ustadz Ardi kalau izin terlambat.”
BK : “Nanti ku tanya Ustadz Ardi. Pergi ko panggil pale di asrama.”
Percakapan tersebut telah mematuhi maksim cara
dengan memberikan jawaban berdasarkan pertanyaan
konselur yaitu guru BK (Bimbingan dan Konseling). Penutur
memberikan informasi dan keterangan yang jelas
mengenai keterlambatan dengan melibatkan orang tua.
66
Dalam tuturan yang disampaikan siswa pun tidak terdapat
makna yang kontradiksi dengan pertanyaan dari mita tutur.
c. Pelanggaran Mengintimidasi Teman Asrama
1) Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas adalah menyampaikan informasi
yang diperlukan oleh mitra tutur, tetapi seperlunya.
Kontribusi setiap penutur di dalam percakapan tepat
sesuai dengan kebutuhan secara kuantitatif. Bukti
rekaman percakapan interogasi melibatkan BK
(Bimbingan dan Konsuleng) dan siswa yang melanggar
aturan sekolah sebagai berikut:
BK : “Siapa saja mu temani tadi waktu sore di mencuci?”
A : Banyak ka Ustadz. Ada ji Ustadz Ahmad juga tadi pas sorenya.”
Pada percakapan tersebut, terjalin kerja sama
antara konselor ( Guru Bimbingan dan Konseling) dan
siswa melanggar aturan karena mematuhi dan menaati
maksim kuantitas. Guru BK (Bimbingan dan Konseling)
selaku konselor menanyakan siapa saja siswa yang
kedapatan di lokasi dan siswa pelanggar pun
merespon “Banyak ka Ustadz. Ada ji Ustadz Ahmad
juga tadi pas sorenya.” Isi percakapan tersebut
mengacu pada jumlah saksi yang ada pada kejadian.
67
2) Maksim Kualitas
Maksim kualitas berisi informasi agar peserta
percakapan atau penutur dalam berinteraksi tidak
memberikan informasi dan kontribusi yang benar dan
dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan
komunikasi atau percakapan serta tidak memberikan
informasi yang tidak didukung cukup bukti. Hal tersebut
dibuktikan pada percakapan antara guru BK
(Bimbingan dan Konseling) dan siswa pelanggar aturan
sekolah:
BK : “Kau iyaa? Kau iyaa B kenapako bisa ikut-ikut coddo nah?”
B : “Tidak ji Ustadz. Ku kira saya bercanda ji orang jadi ikut-ikut jka.”
Dalam tuturan interogasi tersebut, siswa yang
melanggar peraturan sekolah telah menyalahi aturan
prinsip kerja sama karena tidak memberikan informasi
yang cukup kepada konselor yaitu guru BK (Bimbingan
dan Konseling). Dari informasi yang diberikan masih
mengandung unsur yang ambigu sehingga melanggar
aturan maksim kualitas.
BK : “Bisanya itu langsung tadi emosi C kalau tidak mu pakani-kani i. Pasti berkelahi ko tadi kalau tidak ada ustadz Ahmad juga disitu toh.”
B : “Iyee ustadz karena langsungka nah lempari bajunya. Kukira saya main-main ji tapi langsung i marah-marah nah kata-kata i ka sama A.”
68
Dalam tuturan interogasi tersebut, siswa yang
melanggar aturan sekolah menyatakan hal yang sesuai
dan sebenarnya karena terdapat saksi yang melihat
langsung kejadian tersebut. Dari pernyataan penutur
yaitu siswa melibatkan ustaz yang berada lokasi sama
sehingga memperkuat pernyataan tersebut. Oleh
karena itu, percakapan tersebut diklasifikasikan sebagai
maksim kualitas sebab memberikan informasi yang
diyakini benar.
3) Maksim Relevansi
Maksim relevansi yaitu maksim berisi informasi
yang sesuai dengan topik pembicaraan agar terjalin
kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur.
Dalam implikasinya, penutur maupun mitra tutur,
masing-masing hendaknya memberikan kontribusi
yang relevan tentang sesesuatu yang sedang di
pertuturkan. Bertutur dengan tidak memberikan
kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi
dan melanggar maksim relevansi. Berikut percakapan
antara konselor yaitu guru (Bimbingan dan Konseling)
dan siswa yang melanggar peraturan sekolah:
BK : “Kau iyaa? Kau iyaa B kenapako bisa ikut-ikut coddo nah?”
B : “Tidak ji Ustadz. Ku kira saya bercanda ji orang jadi ikut-ikut jka.”
69
A : “Iyee ustadz bercanda jka itu tapi nah bawa hati sekali apana dicerita terus kemarin waktu kerja angkat pasir.”
Terdapat pelanggaran prinsip kerja sama
maksim relavansi pada percakapan tersebut.
Informasi yang diberikan siswa tidak berkaitan atau
relevan dengan pertanyaan konselor sehingga tidak
mengandung fakta yang sesuai. Siswa selaku penutur
memberikan jawaban yang kontradiksi dengan kasus
yang terjadi saat itu. Siswa melibatkan permasalahan
yang terjadi sebelumnya untuk dijadikan sebuah
penguatan bukti untuk mempertahankan argumen dari
informasi yang diberikan kepada mitra tutur.
BK :”Iyaa cocok mi Nak. Kau juga kalau mauko bercanda lihat-lihat ko orang nya dulu. Kalau tidak ada tadi ustadz Ahmad disitu samako pasti bikin ko lagi masalah. Pasti Ustadz Khaidir lagi hadapi ko.”
BK : “Awas memang ko begitu lagi berdua. Kalau mauko bercanda janganmi terlalu bagaimana sekali sama temanmu karena sama-sama jko di asrama.”
Dari pernyataan tersebut, tidak melanggar
prinsip kerja sama maksim relevansi karena
memberikan informasi yang sesuai dengan topik
pembicaraan. Alur dari pernyataan tersebut sesuai
dengan topik pembicaraan mulai dari awal sampai
dengan akhir wawancara.
70
4) Maksim Cara
Maksim cara yaitu maksim yang memuat penutur
dan mitra tutur berinteraksi dengan mematuhi dan
menaati maksim hubungan agar terhindar dari
tuturan yang tidak ambigus, tidak berbelit-belit,
bermakna ganda, tidak taksa (makna lebih) dan
menyampaikan tuturan secara runtut.Berkenaan
dengan itu, berikut percakapan antar konselor dengan
siswa pelanggar:
BK : “Kau iyaa? Kau iyaa B kenapako bisa ikut-ikut coddo nah?”
B : “Tidak ji Ustadz. Ku kira saya bercanda ji orang jadi ikut-ikut jka.”
A : “Iyee ustadz bercanda jka itu tapi nah bawa hati sekali apana dicerita terus kemarin waktu kerja angkat pasir.”
Pada percakapan tersebut telah melanggar
maksim cara karena siswa yang melakukan
pelanggaran memberikan informasi secara berbelit-
belit dan tidak singkat sehingga mitra tutur tidak
mendapatkan informasi yang tidak sesuai. Lawan tutur
(siswa) memberikan gambaran yang melibatkan
informasi lama sehingga pernyataan tersebut tidak
teratur.
BK : “Iyaa cocok mi Nak. Kau juga kalau mauko bercanda lihat-lihat ko orang nya dulu. Kalau tidak ada tadi ustadz Ahmad disitu samako pasti bikin ko lagi masalah. Pasti Ustadz Khaidir lagi hadapi ko.”
71
Dari pernyataan tersebut, melanggar maksim
cara karena mengandung makna tuturan yang kabur.
Mengintimidasi lawan tuturnya sehingga harus
memberikan jawaban yang sesuai.
d. Pelanggaran Perizinan Keluar Asrama/Pondok
1) Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas adalah menyampaikan informasi
yang diperlukan oleh mitra tutur, tetapi seperlunya.
Kontribusi setiap penutur di dalam percakapan tepat
sesuai dengan kebutuhan secara kuantitatif. Bukti
rekaman percakapan interogasi melibatkan BK
(Bimbingan dan Konsuleng) dan siswa yang melanggar
aturan sekolah sebagai berikut:
BK : “Kau iya Nak? Kenapa ko bisa ikut-ikut lagi sama ini dua orang ee.”
C : “Tidak ji Ustadz. Tidak ada ku kerja tadi di Asrama baru ku lihat i keluar.”
Dalam percakapan tersebut, menunjukkan bahwa
tidak terdapat pelanggaraan maksim kuantitas antara
penutur dan lawan tutur. Siswa selaku lawan tutur
memberikan informasi yang langsung kepada topik
pembicaraan. Oleh karena itu, informasi yang
secukupnya telah disampaikan oleh lawan tutur yaitu
siswa.
BK : “Jadi pergi ko lagi 3 orang solle kesana tadi ke pasar? Maksudku saya Nak toh ke Pondok mko dulu kalau memang tidak ada keluargamu.”
72
BK : “Terus.. Mu dapat ji tantemu dipasar atau pergi jko kesana saja tanpa kejelasan?”
A : “Ditunngu dulu tadi ustadz di situ penjual somay tapi lama sekali jadi terus pisse ki ke pasar. Pergi lihat-lihat cakar.”
Percakapan tersebut memberikan gambaran
tentang terjadi prinsip kerja sama maksim kuantitas.
Dalam percakapannya, guru BK memberikan
penjelasan inti tentang apa yang harus dilakukan oleh
siswa tersebut. Selanjutnya, siswa merespons dengan
memberikan informasi yang diperlukan oleh lawan tutur
untuk memberikan penjelasan.
2) Maksim Kualitas
Maksim kualitas berisi informasi agar peserta
percakapan atau penutur dalam berinteraksi tidak
memberikan informasi dan kontribusi yang benar dan
dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan
komunikasi atau percakapan serta tidak memberikan
informasi yang tidak didukung cukup bukti. Hal tersebut
dibuktikan pada percakapan antara guru BK (Bimbingan
dan Konseling) dan siswa pelanggar aturan sekolah:
BK : “Dari semua ko tadi Nak? Ada laporan dari satpam kalau kalian tadi keluar baru terlambat pulang.”
A : “Di Lapangan Bajo tadi Ustadz. Baru pergi Pasar Baru Bajo.”
Dalam percakapan tersebut tidak terdapat
pelanggaran maksim kualitas. Siswa memberikan
73
informasi secara detail berdasarkan deskripsi yang
dipaparkan dalam percakapan tersebut. Siswa
menjelaskan ―Di lapangan Bajo tadi Ustadz. Baru pergi
Pasar Baru Bajo.‖ Dari percakapan tersebut siswa
mengurutkan kejadian yang dilakukan ketika diberikan
pertanyaan. Oleh sebab itu, percakapan tersebut tidak
melanggar aturan maksim kualitas.
BK : “Kenapa nah tiga orang pergi keluar?” B : ―Iyee Ustadz 2 jika tadi izin sama Ustadz Ardi
tapi ikut-ikut i C. Krn nah bilang tidak ada ji nah kerja.”
Dalam percakapan tersebut, informasi yang
diberikan oleh penutur kepada gurunya disertai dengan
cukup bukti. Bukti yang mendukung adalah dengan
melibatkan ustaz telah memberikan izin. Bukti tersebut
diperkuat ketika siswa tersebut meminta izin hanya dua
orang dan pada kenyataannya bahwa yang melakukan
pelanggaran terdapat tiga orang siswa. Oleh karena itu,
tuturan tersebut tidak melanggaran maksim kualitas.
BK : “Kenapa bisa terjebak ko di Pasar Baru Bajo nah?”
B : “Pergi Pasar Baru Bajo tanteku Ustazd baru kesana ka tidak ada orang. Menunggu ka di penjual-penjual dekat lapangan. Ada itu penjual somay ee. Nah tanya ka kalau ke pasar I pale karena hari Pasar (Hari Selasa).”
Dalam percakapan tersebut, penutur memberikan
informasi yang tidak berbohong karena pada isi
74
percakapan terdapat bukti kuat bahwa terdapat saksi
seorang penjual somay yang berada didekat rumah
keluarga siswa. Saksi memberikan informasi bahwa
keluarga dari siswa berada di pasar pada saat itu
sehingga siswa langsung menyusul ke pasar tersebut.
Oleh sebab itu, penutur atau siswa memberikan
informasi yang yakini tidak bohong dan memerlukan
cukup bukti sehingga tidak melanggar aturan maksim
kualitas.
3) Maksim Relevansi
Maksim relevansi yaitu maksim berisi informasi
yang sesuai dengan topik pembicaraan agar terjalin
kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur.
Dalam implikasinya, penutur maupun mitra tutur,
masing-masing hendaknya memberikan kontribusi yang
relevan tentang sesesuatu yang sedang di pertuturkan.
Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang
demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar
maksim relevansi. Berikut percakapan antara konselor
yaitu guru (Bimbingan dan Konseling) dan siswa yang
melanggar peraturan sekolah:
BK : “Tiga orang tadi izin sama Ustadz Ardiansyah toh. Kau, B, dan C. Baru yang dikasih izin hanya dua orang.”
BK : “Kenapa nah tiga orang pergi keluar?”
75
B : “Iyee Ustadz 2 jika tadi izin sama Ustadz Ardi tapi ikut-ikut i C. Krn nah bilang tidak ada ji nah kerja.”
A : “Nah lihatka berdua B keluar dari Asrama baru nah tanyaka mauka kemana. Ku bilangi mi kalau mauka izin keluar.”
Dalam percakapan tersebut, BK memberikan
penjelasan mengenai relevansi dari kasus yang
terjadi. Siswa memberikan jawaban sesuai dengan
pertanyaan dari guru BK. Bahkan siswa memberikan
deskripsi yang sangat detail tentang kejadian
sebenarnya. Dari pernyataan tersebut, tidak
melanggar maksim relevansi karena alur pembicaraan
sesuai dengan topiknya.
BK : “Jadi pergi ko lagi 3 orang solle kesana tadi ke pasar? Maksudku saya Nak toh ke Pondok mko dulu kalau memang tidak ada keluargamu.”
BK : “Terus.. Mu dapat ji tantemu dipasar atau pergi jko kesana saja tanpa kejelasan?”
A : “Ditunngu dulu tadi ustadz di situ penjual somay tapi lama sekali jadi terus pisse ki ke pasar. Pergi lihat-lihat cakar.”
Dalam percakapatan di atas, siswa
memberikan deskripsi tentang alasan mereka
melanggar izin yang diberikan. Oleh karena itu,
percakapan tersebut tidak melanggar maksim
relevansi karena siswa menjelaskan alasan yang
logis.
4) Maksim Cara
76
Maksim cara yaitu maksim yang memuat penutur
dan mitra tutur berinteraksi dengan mematuhi dan
menaati maksim hubungan agar terhindar dari
tuturan yang tidak ambigus, tidak berbelit-belit,
bermakna ganda, tidak taksa (makna lebih) dan
menyampaikan tuturan secara runtut.Berkenaan
dengan itu, berikut percakapan antar konselor dengan
siswa pelanggar:
BK : “Minta izin apa ko memang tadi A sm B?” B :“Mauka kerumahnya keluargaku Ustadz di
dekat lapangan karena libur ji toh. Mauka pergi celleng-celleng kesana.”
BK : “Kenapa bisa terjebak ko di Pasar Baru Bajo nah?”
B : “Pergi Pasar Baru Bajo tanteku Ustazd baru kesana ka tidak ada orang. Menunggu ka di penjual-penjual dekat lapangan. Ada itu penjual somay ee. Nah tanya ka kalau ke pasar I pale karena hari Pasar (Hari Selasa)”
Dalam percakapan di atas, siswa memberikan
penjelasan yang sangat detail, tetapi ambigu. Alasan
yang diberikan tidak sesuai dengan konteksnya. Di
saat guru memberikan pertanyaan kenapa mereka
berada di lokasi yang berbeda. Mereka memberikan
informasi yang tidak tepat dan berbelit-belit. Dengan
demikian, percakapan tersebut, melanggar aturan
maksim cara karena mengandung informasi yang
tidak teratur.
77
e. Pelanggaran Masuk Pondok II
1) Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas adalah menyampaikan informasi
yang diperlukan oleh mitra tutur, tetapi seperlunya.
Kontribusi setiap penutur di dalam percakapan tepat
sesuai dengan kebutuhan secara kuantitatif. Bukti
rekaman percakapan interogasi melibatkan BK
(Bimbingan dan Konsuleng) dan siswa yang melanggar
aturan sekolah sebagai berikut:
BK : “Daerah mana semua tinggal?” A : “Saya Ustadz di Lamasi, Walenrang.” B : “ Saya di Kadong-Kadong, Bajo Barat”
Dalam tuturan interogasi tersebut, antara konselor
yaitu guru BK (Bimbingan dan Konseling) dan siswa
pelanggar aturan sekolah telah mematuhi prinsip kerja
maksim kuantitas. Guru bimbingan dan konseling
menanyakan alamat atau tempat tinggal penutur.
Kemudian penentur memberikan informasi lebih detail
dan seperlunya kepada lawan tuturnya. Jadi, tidank
tutur dalam proses percakapan tersebut telah
memenuhi prinsip kerja sama maksim kuantitas.
2) Maksim Kualitas
78
Maksim kualitas berisi informasi agar peserta
percakapan atau penutur dalam berinteraksi tidak
memberikan informasi dan kontribusi yang benar dan
dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan
komunikasi atau percakapan serta tidak memberikan
informasi yang tidak didukung cukup bukti. Hal tersebut
dibuktikan pada percakapan antara guru BK
(Bimbingan dan Konseling) dan siswa pelanggar aturan
sekolah:
BK : “Dekat ji pale kita Nak”, Kenapa bisa terlambat ki kemarin?”
B : ―Sebenarnya Ustadz waktu hari Ahad itu saya mau di antar sama Mama. Tetapi kebetulan Bapak mau juga ke Bajo, jadi sekalian di antar sama.”
Pada percakapan tersebut guru BK menekankan
bahwa daerah tempat tinggal siswa tidak memerlukan
waktu lama. Akhirnya, siswa selaku penutur
menjelaskan kronologis keterlambatannya. Dalam
posisi terpojok akhir menjelaskan alasan
keterlambatan. Oleh karena itu. Percakapan tersebut
tidak melanggar maksim kualitas.
BK : “Terus Bapak ta mau kemana sehingga bisa terlambat ki?”
B : “Bapak ku Ustadz pergi dulu sawah kasih masuk air karena sudah mi ditanya kalau masuk asrama jam 5 sore.”
BK : “Berarti Bapak ta nah lupa i kalau mauki di antar kesini.”
79
B : “Iyee Ustadz karena jam 16.30 baru i datang dari sawah. Baru dirumah hanya satu ji kendaraan”.
Seperti pada percakapan tersebut, guru BK selalu
melontarkan pertanyaan demi pertanyaan kepada
siswa untuk mengetahui alasan yang diberikan. Dalam
tuturannya siswa memberikan alasan bahwa orang
tuanya yaitu bapaknya, beralasan jika lupa kalau ingin
mengantar anaknya. Akan tetapi, setelah di konfirmasi
siswa tidak menyampaikan hal yang sebenarnya
karena lupa mengingatkan kepada orang tuanya. Oleh
karena itu,kontribusi yang diberikan oleh perserta
percakapan tidak sesuai dengan fakta-fakta yang
terjadi. Dengan kontribusi yang tidak sesuai maka
menimbulkan adanya pelanggaran prinsip kerja sama
dengan maksim kualitas.
BK : “Kita iya Nak yang dari Lamasi?” A :“Jam 15.00 ka tadi berangkat dari Lamasi
Ustadz. Di antar sama orang tua dan keluarga.” A :“Kebetulan singgah makan siang di
Samppodo, setelah Kota Palopo. Singgah makan bebek karena katanya kebetulan dilewati.”
Percakapan tersebut, penutur selaku siswa
menjelaskan atau mendeskripsikan kejadian atau
penyebab terlambatnya. Seperti pada kutipan tersebut,
terdapat fakta-fakta yang sesuai dengan kontribusi
peserta percakapan. Fakta tersebut ditemukan setelah
80
dikonfirmasi melalui orang tua siswa. Jadi, percakapan
tersebut tidak melanggar maksim kualitas.
BK : “Jam berapaki tiba di Bajo Nak?” A : “Sampaika di gerbang pondok Ustadz sekitar
jam 17.00 lewat kayaknya.” A : “Terlambat 20 menit ka Ustadz yang tercatat
di buku catatan masuk pondok.” BK : “Iyaa Nak. Nanti saya konfirmai ke orang tua
ta masalah ini nah” BK : “Kembali mki ke pondok semua.”
Pada percakapan tersebut, siswa menerangkan
bahwa keterlambatan waktu yang ia lakukan sudah jelas
tertera pada buku catatan masuk pondok. Dengan
alasan itu pula siswa menyampaikan hal yang
sebenarnya. Jadi, tuturan tersebut tidak melanggar
maksim kualitas dengan tidak memberikan informasi
yang tidak cukup bukti.
3) Maksim Relevansi
Maksim relevansi yaitu maksim berisi informasi
yang sesuai dengan topik pembicaraan agar terjalin kerja
sama yang baik antara penutur dan mitra tutur. Dalam
implikasinya, penutur maupun mitra tutur, masing-
masing hendaknya memberikan kontribusi yang relevan
tentang sesesuatu yang sedang di pertuturkan. Bertutur
dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian
dianggap tidak mematuhi dan melanggar maksim
relevansi. Berikut percakapan antara konselor yaitu guru
81
(Bimbingan dan Konseling) dan siswa yang melanggar
peraturan sekolah:
A : “Kebetulan singgah makan siang di Samppodo, setelah Kota Palopo. Singgah makan bebek karena katanya kebetulan dilewati.”
BK : “Mana mi bebek palekko ta, tidak kita bawakan pembina ta?”, Heheheh
A : “Itumi yang kasih lama ka Ustadz karena lama sekali menunggu baru sudahpi shalat ashar baru berangkat.”
Pada percakapan tersebut, melontarkan sebuah
pernyataan yang mengalihakn isu masalah yang
dibahas, Sedangkan siswa terus menjelaskan problem
yang terjadi. Pernyataan dari guru tersebut membuat
pernyataan dari siswa tidak relevan dengan konteks dan
maksud percakapan. Jadi, tuturan dari guru BK tersebut
bertentangan dengan maksim relevansi yang
mengharuskan peserta percakapan memberikan
kontribusi yang sesuai atau relevan dengan pembicaraan
f. Pelanggaran Kegiatan Belajar Mengajar
1) Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas adalah menyampaikan informasi
yang diperlukan oleh mitra tutur, tetapi seperlunya.
Kontribusi setiap penutur di dalam percakapan tepat
sesuai dengan kebutuhan secara kuantitatif. Bukti
rekaman percakapan interogasi melibatkan BK
82
(Bimbingan dan Konsuleng) dan siswa yang melanggar
aturan sekolah sebagai berikut:
BK : “Siapa saja yang di lihat sama Ustadz Pakis tadi di pondok.”
A : “Saya dan B Ustadz yang dilihat tadi.” BK : “Berapa orang ki tadi ke pondok semua?” B : “Sebenarnya 4 orang tadi mau ke pondok tidur-
tidur Ustadz, tapi C dan D singgah di kantin Yayasan beli makanan.”
Pada percakapan tersebut, dua pertanyaan dan
pernyataan yang berikan kepada siswa tersebut
seharusnya memiliki konteks yang sama jawabannya.
Informasi yang di dapatkan berlebihan. Tentunya, pada
umunya proses berkomunikasi informasi yang
dibutuhkan oleh lawan tutur atau mitra tuturnya untuk
mematuhi dan memenuhi tuturan prinsip kerja sama.
Apabila tuturan tersebut mengandung informasi
berlebihan dan tudak bersungguh-sungguh maka sudah
sangat jelas informasi yang dibutuhkan tidak sesuai.
Dengan demikian, tentunya hal tersebut melanggar
prinsip kerja sama maksim kuantitas.
2) Maksim Kualitas
Maksim kualitas berisi informasi agar peserta
percakapan atau penutur dalam berinteraksi tidak
memberikan informasi dan kontribusi yang benar dan
dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan
komunikasi atau percakapan serta tidak memberikan
83
informasi yang tidak didukung cukup bukti. Hal tersebut
dibuktikan pada percakapan antara guru BK (Bimbingan
dan Konseling) dan siswa pelanggar aturan sekolah:
BK : “Kenapa tidak singgah ki sekalian sama teman ta.” B : “Mau ka singgah juga Ustadz tapi A habis mi
uangnya, mau pergi ambil di pondok dulu nah bilang.”
BK : “Mau ji pale ambil uang jajan nah tinggal ji matindo-matindo (tidur) dikamar.”
Pada percakapan tersebut, memberikan informasi
tidak tepat dan tidak didukung oleh bukti. Pernyataan dari
siswa tersebut di anggap menyalahi aturan maksim
kualitas setelah dilakukan pengecekan data cctv. Jadi,
informasi yang diberikan oleh siswa tidak sesuai.
BK : “Jadi, siapa pembina yang dapat ki tadi pondok?” A : “ Ustadz Ardi yang dapat ka dikamar Ustadz waktu
baring-baring ka. Tidak sempat jika tidur tadi Ustadz.”
BK : “Kenapa tidak langsung keluar kamar waktu di dapat sama Ustadz Ardi.”
A : “Nah tegur jika sebentar Ustadz baru pergi lagi karena mau i ke kamarnya, baru tinggal mika baring-baring lagi.”
Pada percakapan tersebut, siswa memberitahukan
bahwa kejadian tersebut di lihat atau di dapat oleh salah
satu pembina pondok. Konfirmasi yang didapatkan bahwa
benar adanya kalau pembina tersebut mendapatkan siswa
melakukan kegiatan di pondok. Pernyataan tersebut tidak
melanggar maksim kualitas sebab peserta percakapan
pada kutipan di atas memberikan informasi yang sesuai
84
fakta atau hal yang sebenarnya. Kontribusi percakapan
harusnya berisi fakta kebenaran yang
dipertanggungjawabkan. Artinya, fakta tersebut harus
dilandasi dengan bukti-bukti yang sesuai.
3) Maksim Relevansi
Maksim relevansi yaitu maksim berisi informasi yang
sesuai dengan topik pembicaraan agar terjalin kerja sama
yang baik antara penutur dan mitra tutur. Dalam
implikasinya, penutur maupun mitra tutur, masing-masing
hendaknya memberikan kontribusi yang relevan tentang
sesesuatu yang sedang di pertuturkan. Bertutur dengan
tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak
mematuhi dan melanggar maksim relevansi. Berikut
percakapan antara konselor yaitu guru (Bimbingan dan
Konseling) dan siswa yang melanggar peraturan sekolah:
BK : “Jadi, Ustadz Pakis mija dapat kalian baru bergerak betul karena maumi shalat Dhuhur orang.”
B : “Iyee ustadz”, tidak turun ka ke kantin Ustazd karena 15 menit mija mau istirahat jadi tinggal pisse ka.”
BK : “Oke pale. Nanti saya tanya pembina asrama ta masalah ini sekaligus nanti saya tanya guru ta disekolah.”
Pada percakapan tersebut, alasan yang berikan oleh
siswa sangat tidak relevan dan masuk akal. Waktu bukan
menjadi alasan untuk tidak tinggal berlama-lama setelah
mendapat teguran awal. Oleh karena itu, percakapan
tersebut melanggar aturan maksim relevansi yang
85
mengharuskan peserta percakapan memberikan
kontribusi yang sesuai atau relevan dengan pembicaraan.
Namun, jika ada sebuah percakapan yang tidak
memberikan kontribusi yang sesuai. Percakapan tersebut
melanggar maksim relevansi.
g. Pelanggaran Ketidakikutsertaan Ekstrakurikuler Pilihan
1) Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas adalah menyampaikan informasi
yang diperlukan oleh mitra tutur, tetapi seperlunya.
Kontribusi setiap penutur di dalam percakapan tepat
sesuai dengan kebutuhan secara kuantitatif. Bukti
rekaman percakapan interogasi melibatkan BK
(Bimbingan dan Konsuleng) dan siswa yang melanggar
aturan sekolah sebagai berikut:
BK : “Siapa pembina ekstrakurikuler ta Nak?” A : “Ustadz Haerul pembinanya Ustadz.” BK : “Esktrakurikuler apa kita ikuti memang.” A : “Di volley ka dulu ustadz tapi disuruhka pindah dulu di dram band karena itu kegiatan persiapan 17 agustus.”
Pada percakapan tersebut guru BK memberikan
pertanyaan singkat mengenai kegaiapa ekstrkurikuler
apa yang di ikuti oleh siswa. Kemudian, percakapan
tersebut menyebabkan terjadinya pelanggaran prinsip
kerja sama karena siswa memberika keterangan yang
berlebihan dari pertanyaan yang diberikan sehingga
terjadi pelanggaran maksim kuantitas.
86
2) Maksim Kualitas
Maksim kualitas berisi informasi agar peserta
percakapan atau penutur dalam berinteraksi tidak
memberikan informasi dan kontribusi yang benar dan
dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan
komunikasi atau percakapan serta tidak memberikan
informasi yang tidak didukung cukup bukti. Hal tersebut
dibuktikan pada percakapan antara guru BK (Bimbingan
dan Konseling) dan siswa pelanggar aturan sekolah:
BK : “Berapa orang yang pindah Nak.” A : “Dua orangka tapi yang satu sama Pitto”
Pada percakapan tersebut, siswa selaku lawan
tuturan memberikan jawaban yang sesuai dengan
konteks pertanyaan yang di ajukan oleh guru BK.
Informasi yang diberikan oleh siswa tersebut diyakini
tidak berbohong karena informasi yang dapat sesuai
dengan jawaban yang diberikan. Oleh karena itu,
percakapan tersebut tidak melanggar maksim kualitas.
BK : “Waktu yang pertama memang kenapa bisa tidak hadir?”
A : “Pergi main volley Ustadz karena ku kira tidak latihan orang karena nah bilang Ustadz Haerul di lapangan Tsanawiyah ki latihan baru ku tunggu-tunggu tidak iya orang.”
A : “Ternyata sudah pika mau volley baru kantin ka dibelakang, ternyata pale di depan rumahnya ki Ustadz Khaidir kumpul. Selesai mija baruka lihat.”
Pada percakapan tersebut, informasi pada tuturan
pertama tidak melanggar maksim kualitas karena
87
peserta menyampaikan informasi sesuai dengan fakta
pada saat ini. Sedangkan, pada tuturan kedua alasan
yang disampaikan oleh siswa tidak sesuai konteksnya
karena pada saat itu kegiatan dram band telah selesai
dan sudah tidak ada seorang siswa pun yang di lihatnya.
Tentu itu bertentangan dengan maksim kualitas karena
respons dan keterlibatan peserta percakapan berisi fakta
dan kebenaran yang jelas harus dipertanggungjawakan.
Artinya, fakta dan kebenaran tersebut harus didasari
oleh bukti-bukti yang memadai. Akan tetapi, apabila
kontribusi peserta percakapan tidak mengatakan yang
sebanrnya.
3) Maksim Cara
Maksim cara yaitu maksim yang memuat penutur
dan mitra tutur berinteraksi dengan mematuhi dan
menaati maksim hubungan agar terhindar dari tuturan
yang tidak ambigus, tidak berbelit-belit, bermakna ganda,
tidak taksa (makna lebih) dan menyampaikan tuturan
secara runtut.Berkenaan dengan itu, berikut percakapan
antarkonselor dengan siswa pelanggar:
BK : “Waktu kedua iya?” A : “Terlambat datangka Ustadz karena tinggal-
tinggal ka waktu sudah salat ashar. Pas kesana tidak nah izinkan mika Ustadz Haerul gabung karena terlambatka.”
BK : “Peccu mi itu karena nah kira kapang main-main ki ikut esktrakurikuler.”
88
BK : “Nanti saya diskusikan lagi sama pembina ekstra mu Nak,”
BK : “Besok-besok jangan begitu lagi nah.”
Pada percakapan tersebut, informasi dan alasan
yang disampaikan oleh siswa tidak masuk akal dan
berbelit-belit. Kemudian, tuturan yang diberikan guru
juga bermakna ganda. Kata ―peccu‖ dalam arti bahasa
Indonesia adalah tidak menghiraukan. Padahal pada
konteksnya hal tersebut tidak benar adanya. Pada
hakikatnya, informasi yang berbelit-belit dan tidak singkat
dari peserta percakapan merupakan pelanggaran
prinsip kerja sama sehingga mitra tutur atau lawan tutur
tidak mendapatkan informasi yang diinginkan.
h. Pelanggaran Pembelajaran Tahfiz
1) Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas adalah menyampaikan informasi
yang diperlukan oleh mitra tutur, tetapi seperlunya.
Kontribusi setiap penutur di dalam percakapan tepat
sesuai dengan kebutuhan secara kuantitatif. Bukti
rekaman percakapan interogasi melibatkan BK
(Bimbingan dan Konsuleng) dan siswa yang melanggar
aturan sekolah sebagai berikut:
BK : “Masuk semua sini!” BK : “Panggilkan ka semua teman mu A yang tidak ikut
tahfiz malam jumat!” BK : “Laporan yang masuk sama saya kalau yang tidak
mengikuti tahfizd itu sekitar 5 orang semua.”
89
BK : “Siapa bossnya ini? Siapa panggali semua ini tidak masuk tahfizd? Kau kah A atau B atau iko C?
A : “Tidak adaji Ustadz.”
Pada percakapan tersebut guru selaku penutur
langsung memberikan penekan kepada siswa selaku
lawan tutur karena dalam keadaan sedang emosi.
Sedangkan siswa selaku lawan tutur dalam keadaan
tertekan sehingga informasi yang di inginkan oleh guru
tidak sesuai dan informasi tersebut kurang. Oleh karena
itu, hakikat dari berkomunikasi adalah penutur
memberikan sebuah informasi yang dibutuhkan oleh mitra
tuturnya agar memenuhi prinsip kerja sama maksim
kuantitas.
2) Maksim Kualitas
Maksim kualitas berisi informasi agar peserta
percakapan atau penutur dalam berinteraksi tidak
memberikan informasi dan kontribusi yang benar dan
dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan
komunikasi atau percakapan serta tidak memberikan
informasi yang tidak didukung cukup bukti. Hal tersebut
dibuktikan pada percakapan antara guru BK (Bimbingan
dan Konseling) dan siswa pelanggar aturan sekolah:
BK : “Dimana ko sirampung dan si bawa ngasang ko”. (Dimana kumpul dan ketemu tadi)
A : “Ketemu di pondok tahfiz ka tadi waktu belum mulai Ustadz.”
90
Pada percakapan tersebut siswa selaku penutur
memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan informasi
yang di dapatkan. Siswa menjawab bahwa mereka
ketemu di pondok tahfiz, tetapi pada kenyataannya
mereka telah bersama ketika selesai melaksanakan salat
isya bersama. Penyataan tersebut tentunya melanggar
maksim kualitas karena adanya peran dan kontribusi dari
peserta percakapan yang tidak sesuai dengan fakta yang
ada.
BK : “Kau B sama C kenapa ko lari dari pondok tahfiz?” C : “Belum pika setor hafalan Ustadz sama B karena
ku kira setor hafalan orang”
Pada percakapan tersebut berisi tentang informasi
bahwa siswa langsung melarikan diri setelah dilihat oleh
salah satu pembina tahfiz karena telah kedapatan tidak
mengikuti kegiatan tahfiz. Tentunya kontribusi peserta
percakapan sesuai dengan maksim kualitas sehingga
tidak terjadi pelanggaran maksim.
3) Maksim Relevansi
Maksim relevansi yaitu maksim berisi informasi yang
sesuai dengan topik pembicaraan agar terjalin kerja sama
yang baik antara penutur dan mitra tutur. Dalam
implikasinya, penutur maupun mitra tutur, masing-masing
hendaknya memberikan kontribusi yang relevan tentang
sesesuatu yang sedang di pertuturkan. Bertutur dengan
91
tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak
mematuhi dan melanggar maksim relevansi. Berikut
percakapan antara konselor yaitu guru (Bimbingan dan
Konseling) dan siswa yang melanggar peraturan sekolah:
BK : “Apa kora mu jama tarru di asrama nah tae mu hafal i nah 1 surah ji”. (Apa yang dikerjakan dipondok selama ini sehingga tidak menghafal surah?)
C : “Dihafalji Ustadz tapi cepat dikalupei.” (Dihafal Ustadz tetapi cepat di lupa)
Pada percakapan tesebut tentunya telah melanggar
maksim relevansi. Pertanyaan yang berikan oleh BK
kepada siswa tentu tidak relevan dengan jawaban yang
diberikan oleh siswa. Guru BK seharusnya mendapatkan
informasi tentang kegiatan apa yang sering dilakukan oleh
siswa sehingga lupa menghafal surah.
BK : “Mapalla na tiro ko apa na malai ko, seandainya te mu malai na ku semba ko mbe.” (Saya marah lihat kalian karena kalian malah lari pada saat saya lihat kalian)
A : “Maselang ka Ustadz apa ku sanga Ustadz Khaidir jadi malaikang.” (Kami kaget ustadz karena kami kira Ustad Khaidir jadi kami lari)
Pada percakapan tersebut jelas bahwa tidak
melanggar maksim relevansi. Informasi yang diberikan
siswa sangat masuk akal dengan kondisi saat proses
percakapan berlangsung. Guru BK dalam keadaan emosi
sehingga membuat siswa tentunya memberikan alasan
yang kuat.
92
4) Maksim Cara
Maksim cara yaitu maksim yang memuat penutur
dan mitra tutur berinteraksi dengan mematuhi dan
menaati maksim hubungan agar terhindar dari tuturan
yang tidak ambigus, tidak berbelit-belit, bermakna ganda,
tidak taksa (makna lebih) dan menyampaikan tuturan
secara runtut.Berkenaan dengan itu, berikut percakapan
antar konselor dengan siswa pelanggar:
C : “Dihafalji Ustadz tapi cepat dikalupei.” (Dihafal Ustadz tetapi cepat di lupa)
BK : “Mapalla na tiro ko apa na malai ko, seandainya te mu malai na ku semba ko mbe.” (Saya marah lihat kalian karena kalian malah lari pada saat saya lihat kalian)
Pada percakapan tersebut bahwa guru BK tersebut
terbawa emosi ketika melakukan proses
interogas/percakapan. Dalam tuturanya seharusnya
informasi tersebut disampaikan dibagian awal sehingga
kesannya bahwa ingin diketahui kalau guru tersebut
sedang marah. Dalam tuturan tersebut jelas tidak memiliki
keterkaitan karena pernyataan tersebut ambigu. Jadi,
apabila dalam sebuah percakapan telah ditemukan
sebuah ambiguitas berarti jelas bahwa telah melanggar
prinsip kerja sama maksim cara..
2. Tindak Turur dan Peristiwa Tutur pada Kasus Interogasi Siswa yang Melanggar Aturan Sekolah Berdasarkan Pendekatan Linguistik Deskriptif.
93
Guru BK (Bimbingan dan Konseling) selaku konselor di saat
memberikan pertanyaan atau menginterogasi siswa yang telah
melakukan pelanggaran sekolah terkesan menakut-nakuti dan
mengancam. Akibatnya, jelas membuat kondisi interogasi menjadi
tidak kondusif. Tuturan yang disampaikan oleh guru selaku
konselor menutur sudut pandang lingusitik deskriptif berkenaan
dengan akurasi atau kebenaran isi serta terdapat beberapa pilihan
kosa kata dan makna kalimat yang dikategorikan sebagai
kekerasan verbal. Kekerasan verbal yang dimaksud adalah secara
lisan kepada lawan tutur sehingga membuat posisi siswa
pelanggaran tidak nyaman. Hal tersebutlah yang terkesan jawaban
yang diberikan oleh siswa kepada konselor itu tidak sesuai dengan
kemauannya. Siswa yang melanggar aturan tentunya berfikir
memberikan keterangan yang sesungguhnya dengan berhadapan
dengan konsesukuensi menerima hukuman jika melakukan
kesalahan.
Oleh karena itu, berdasarkan sudut pandang atau parameter
linguistik deskriptif tuturan guru bimbingan dan konseling:
“Biarki bilang seribu kali, tidak, tidak, saya bakalan tidak percaya karena memang iya dan bukan cuma kalian bertiga masih ada yang lain. Kenapa kalian selalu belajar berbohong? Ah! Lebih berat sanksinya kalau kalian bilang tidak padahal ada yang lihat dan bukan siswa yang lihat E, satu kali saya tanya, nanti saya panggilkan orang itu kalau kautidak percaya, merokok atau tidak? Hm?” .
Dapat diketahui bahwa tuturan atau informasi dari guru BK
(Bimbingan dan Koseling) menekan lawan tutur yaitu siswa
94
pelanggar aturan sekolah untuk mengakui kesalahan yang
diperbuatnya. Akan tetapi, siswa yang melanggar peraturan
sekolah pun menjawab “Tidak.‖ sebagai upaya membela diri dan
menegaskan bahwa ia tidak melakukan kesalahan apapun.
Dari parameter tersebut telah diketahui bahwa lingusitik
deskriptif merupakan sebuah kajian linguistik yang menjelaskan
penggunaan bahasa secara nyata. Artinya, hakikat dari linguistik
deskriptif yaitu penggunaan bahasa berdasarkan siapa yang
menuturkannya. Pendekakatan linguistik deskriptif mengenai
bahasa disebut juga linguistik deskriptif yang merupakan
pendekatan yang objektif, menganalisis dan menjelaskan
bagaimana bahasa diujarkan oleh sekelompok orang dalam suatu
masyarakat bahasa.
Tindak tutur dan peristiwa tutur dalam proses interogasi
merupakan deskripsi fonomena bahasa yang bersifat alami. Hal
tersebut sejelan dengan proses interogasi dalam empat kasus
pelanggaran yang terjadi dalam ruang lingkup sekolah.
Beberapa kali konselor (Guru Bimbingan dan Konseling)
meminta kepada siswa yang melanggar untuk mengakui perbuatan
yang mereka lakukan dengan menggunakan bahasa yang
memojokkan. Akan tetapi, siswa tersebut terus berusaha untuk
menghindari memberikan informasi yang berbeda-beda. Namun,
salah satu siswa yang melanggar aturan sekolah telah mengakui
perbuatannya setelah konselor yaitu guru BK (Bimbingan dan
95
Konseling) memberitahukan saksi yang melihat semua pelaku
tersebut melakukan keselahan di lokasi kejadian. Adapun siswa
pelanggar aturan pun tetap bertahan untuk tidak mengakui
kesalahnya walaupun mereka telah bersumpah. Hal ini mengingat
karena ada siswa yang telah mendapatkan lampu kuning dari
sekolah karena melakukan kesalahan yang berat sebelumnya
sehingga tetap kukuh. Dengan perihal tersebut mereka terkesan
membeli diri sebab berada di ujung tanduk untuk dikeluarkan dari
sekolah.
Hadirnya pendekatan deskripsi bisa memetakan peristiwa
tutur dan tindak tutur ketika seorang guru BK menyudutkan untuk
mendapatkan informasi, sedangkan siswa selaku lawan tutur untuk
mencoba memberikan penjelasan agar terhindar dari kesalahan
yang mereka lakukan. Sementara itu, linguistik deskriptif
merupakan salah aliran yang memusatkan perhatikan pada suatu
kajian deskripsi fenomena bahasa yang bersifat alami untuk
menyusun teori ilmiah mengenai struktur bahasa manusia.
Berikut analisis data tindak tutur dan peristiwa tutur dalam
proses interogasi pelanggar aturan sekolah:
Kasus : Pelanggaran Tuduhan Merokok
Tuturan Jenis Tuturan
BK : “Siapa lihatki?” F : “Tidak tahu.” F :“Tidak pernahka
merokok.” BK : “Apa? Kamu bilang
tidak pernahka
Jenis tuturan ini merupakan
tindak tutur perlokusi. Tindak
tutur ini merupakan tindakan
atau keadaan pikiran yang
ditimbulkan oleh, atau
96
merokok?” F : “Maksudku pernahji
iya, sekarang tidak ka sudah ma di dapa’. Jadi, tidak mau meka. Baru kukira tadi kenapai turun ma sebentar lihat itu orang berkelahi.”
konsekuensi dari mengatakan
sesuatu. Oleh karena itu,
tindak tutur perlokusi sering
disebut sebagai The act of
Affective Someone (tindak
yang memberi efek pada orang
lain).
Artinya perlokusi adalah efek
atau dampak dari tuturan
(ilokusi) yang dituturkan di
dalamnya mengandung
maksud tertentu
Pada tuturan tersebut penutur mendeskripsikan memang
hakikatnya siswa yang pernah melakukan pelanggaran yang sama.
Peristiwa tuturan tersebut memojokkan siswa ketika diberikan suatu
pernyatan yang melibatkan masalah sebelumnya. Maksud tuturan
tersebut masuk dalam kategori konsumtif. Tindak tutur ini
menyatakan bahwa penutur akan melakukan sesuatu misalnya,
janji dan ancaman. Penutur memberikan pernyataan bahwa tidak
ingin melakukan kembali kesalahan yang sama. Penutur selaku
siswa hanya menegaskan bahwa pernah melakukan merokok
tetapi tuduhan yang diberikannya saat itu tidak benar karena
menurutnya tidak pernah melakukan.
Kasus : Ketelambatan Masuk Asrama/Pondok
Tuturan Jenis Tuturan
“Menugggu ka tadi mobil dari
Padang Sappa ma ke Belopa
Ustadz. Karena tidak bisa tadi
orang dirumah antar ka kesini.
Jadi tunggu ka mobil Palopo
mau ke Belopa dipinggir jalan.”
Jenis tuturan tersebut adalah
tuturan lokusi. Tindak lokusi
merupakan tindak dasar
tuturan atau menghasilkan
suatu ungkapan linguistik yang
bermakna. Tindak tutur ini
97
dengan kata, frasa dan kalimat
sesuai dengan makna yang
terkandung dalam kata, frasa
dan kalimat itu. Artinya, makna
yang dimaksudkan adalah
makna yang memang benar
makna dalam kalimat yang di
ujarkan
Pada kasus tersebut siswa mendeskirpsikan apa yang
sebenarnya terjadi ketika siswa tersebut terlambat. Dari tuturan
yang disampaikan banyak proses yang terjadi sebelum masuk
asrama yang mengakibatkan keterlambatan. Maksud tuturan
siswa adalah Ekspresif : Tindak tutur ini berfungsi
mengekspresikan perasaan dan sikap mengenai keadaan
hubungan, misalnya permintaan maaf, penyesalan dan ungkapan
terimakasih.
Kasus : Pelanggaran Imtimidasi Kawan/Teman
Tuturan Jenis Tuturan
“Iyaa cocok mi Nak. Kau juga
kalau mauko bercanda lihat-
lihat ko orang nya dulu. Kalau
tidak ada tadi ustadz Ahmad
disitu samako pasti bikin ko
lagi masalah. Pasti Ustadz
Khaidir lagi hadapi ko.”
Jenis tuturan ini merupakan
tindak tutur perlokusi. Tindak
tutur ini merupakan tindakan
atau keadaan pikiran yang
ditimbulkan oleh, atau
konsekuensi dari mengatakan
sesuatu. Oleh karena itu,
tindak tutur perlokusi sering
disebut sebagai The act of
Affective Someone (tindak
yang memberi efek pada orang
lain).
Artinya perlokusi adalah efek atau dampak dari tuturan (ilokusi) yang dituturkan di
98
dalamnya mengandung maksud tertentu
Pada percakapan tersebut guru selaku pembina memberikan
arahan kepada siswa yang melakukan pelanggaran aturan sekolah
bahwa ketika melakukan kesalahan yang sama nantinya pasti akan
mendapatkan teguran yang lebih keras lagi. Maksud dari tuturan
tersebut adalah representatif yang merupakan tindak tutur ini
mempunyai fungsi memberi tahu orang-orang mengenai sesuatu.
Tindak tutur ini mencakup mempertahankan,, meminta,
mengatakan, menyatakan dan melaporkan.
Kasus : Pelanggaran Perizinan
Tuturan Jenis Tuturan
“Pergi Pasar Baru Bajo tanteku
Ustazd baru kesana ka tidak
ada orang. Menunggu ka di
penjual-penjual dekat
lapangan. Ada itu penjual
somay ee. Nah tanya ka kalau
ke pasar I pale karena hari
Pasar (Hari Selasa)”
Jenis tuturan tersebut adalah
tuturan lokusi. Tindak lokusi
merupakan tindak dasar
tuturan atau menghasilkan
suatu ungkapan linguistik yang
bermakna. Tindak tutur ini
dengan kata, frasa dan kalimat
sesuai dengan makna yang
terkandung dalam kata, frasa
dan kalimat itu. Artinya, makna
yang dimaksudkan adalah
makna yang memang benar
makna dalam kalimat yang di
ujarkan
Pada tuturan tersebut siswa mendeskripsikan kejadian yang
terjadi ketika mereka melakukan pelanggaran. Siswa
memberitahukan bahwa penyebab kejadian mereka ke pasar
karena tante dari siswa tersebut berada di pasar saat ini. Kejadian
99
tersebut di deskripsikan dengan detail karena terdapat saksi yang
menceritakan kejadian tersebut. Maksud dari tuturan tersebut
representatif : tindak tutur ini mempunyai fungsi memberi tahu
orang-orang mengenai sesuatu. Tindak tutur ini mencakup
mempertahankan,, meminta, mengatakan, menyatakan dan
melaporkan
Kasus : Pelanggaran Masuk Pondok II
Tuturan Jenis Tuturan
BK : “Jam berapaki tiba di Bajo Nak?”
A : “Sampaika di gerbang pondok Ustadz sekitar jam 17.00 lewat kayaknya.”
A : “Terlambat 20 menit ka Ustadz yang tercatat di buku catatan masuk pondok.”
BK : “Iyaa Nak. Nanti saya konfirmai ke orang tua ta masalah ini nah”
Jenis tuturan ini merupakan
tindak tutur perlokusi. Tindak
tutur ini merupakan tindakan
atau keadaan pikiran yang
ditimbulkan oleh, atau
konsekuensi dari mengatakan
sesuatu. Oleh karena itu,
tindak tutur perlokusi sering
disebut sebagai The act of
Affective Someone (tindak
yang memberi efek pada orang
lain).
Artinya perlokusi adalah efek
atau dampak dari tuturan
(ilokusi) yang dituturkan di
dalamnya mengandung
maksud tertentu
Dalam percakapan tersebut siswa mendeskripsikan
keterangan yang di dapatkan oleh guru BK. Alasan yang berikan
ternyatan sesuai dengan kesaksiaan siswa. Setelah mendapatkan
informasi siswa di evaluasi sesuai dengan pelanggaran masing-
100
masing. Maksud dari tuturan tersebut adalah tindak tutur ekspresif.
Tindak tutur ini adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya
agar ujaran diartikan sebagai evaluasi. Percakapan tersebut guru
BK memberikan pernyataan bahwa akan segera mengkonfirmasi
kasus pelanggaran yang dilakukan oleh siswa tersebut.
Kasus : Pelanggaran Kegiatan Belajar Mengajar
Tuturan Jenis Tuturan
A : “Nah tegur jika sebentar Ustadz baru pergi lagi karena mau i ke kamarnya, baru tinggal mika baring-baring lagi.”
BK : “Jadi, Ustadz Pakis mija dapat kalian baru bergerak betul karena maumi shalat Dhuhur orang.”
B : “Iyee ustadz”, tidak turun ka ke kantin Ustazd karena 15 menit mija mau istirahat jadi tinggal pisse ka.”
BK : “Oke pale. Nanti saya tanya pembina asrama ta masalah ini sekaligus nanti saya tanya guru ta disekolah.”
Tindak tutur perlokusi adalah
tindak tutur yang mempunyai
pengaruh atau efek terhadap
lawan tutur atau orang yang
mendengar tuturan itu. Maka
tindak tutur perlokusi sering
disebut sebagai The act of
Affective Someone (tindak
yang memberi efek pada orang
lain).
Pada percakapan tersebut siswa mendeskripsikan dengan
rinci alasan mereka tetap berada pada pondok. Maksud tuturan
tersebut adalah tindak tutur refresentatif. Tindak tutur ini merupakan
101
tindak tutur yang bertanggung jawab kepada kepada penutur
mengenai kesahihan dari tuturan yang dituturkan. Tindak tutur
representative tergolong sebagai jenis tuturan yang digunakan
menerangkan suatu hal berupa fakta, pernyataan, penegasan,
pendeskripsian dan kesimpulan yang diyakini oleh penutur.
Kasus : Pelanggaran Ketidakikutsertaan Ekstrakurikuler
Tuturan Jenis Tuturan
“Di volley ka dulu ustadz tapi
disuruhka pindah dulu di dram
band karena itu kegiatan
persiapan 17 agustus.”
Jenis tuturan tersebut adalah
tuturan lokusi. Tindak lokusi
merupakan tindak dasar
tuturan atau menghasilkan
suatu ungkapan linguistik yang
bermakna. Tindak tutur ini
dengan kata, frasa dan kalimat
sesuai dengan makna yang
terkandung dalam kata, frasa
dan kalimat itu. Artinya, makna
yang dimaksudkan adalah
makna yang memang benar
makna dalam kalimat yang di
ujarkan
Pada tuturan tersebut siswa mendeskripsikan kronologis
bahwa dia direkrut sementara untuk masuk ke dalam
ekstrakurikuler dram band. Tuturan tersebut diperkuat dengan
beberapa percakapan yang membenarkan maksud tersebut.
Maksud tuturan tersebut adalah tindak tutur refresentatif. Tindak
tutur ini merupakan tindak tutur yang bertanggung jawab kepada
kepada penutur mengenai kesahihan dari tuturan yang dituturkan.
Tindak tutur representative tergolong sebagai jenis tuturan yang
102
digunakan menerangkan suatu hal berupa fakta, pernyataan,
penegasan, pendeskripsian dan kesimpulan yang diyakini oleh
penutur.
Kasus : Pelanggaran Pembelajatan Tahfiz
Tuturan Jenis Tuturan
BK : “Mapalla na tiro ko apa na malai ko, seandainya te mu malai na ku semba ko mbe.” (Saya marah lihat kalian karena kalian malah lari pada saat saya lihat kalian)
A : “Maselang ka Ustadz apa ku sanga Ustadz Khaidir jadi malaikang.” (Kami kaget ustadz karena kami kira Ustad Khaidir jadi kami lari)
Jenis tuturan tersebut adalah
tuturan lokusi. Tindak lokusi
merupakan tindak dasar
tuturan atau menghasilkan
suatu ungkapan linguistik yang
bermakna. Tindak tutur ini
dengan kata, frasa dan kalimat
sesuai dengan makna yang
terkandung dalam kata, frasa
dan kalimat itu. Artinya, makna
yang dimaksudkan adalah
makna yang memang benar
makna dalam kalimat yang di
ujarkan
Pada percakapan tersebut siswa menjelaskan bahwa alasan
melarikan diri karena merasa kalau orang di lihatnya adalah
pimpinan asrama sehingga kabur. Maksud dari tuturan tersebut
adalah tidan tutur direktif. Tindak tutur ini kadang disebut juga
tindak tutur imposif. TTD adalah tuturan yang dimaksudkan
penuturnya agar petutur (T) melakukan tindakan yang dimaksudkan
dalam tuturan itu. Dengan kata lain TTD berfungsi untuk membuat
petutur (T) melakukan tindakan yang disebut penutur (N).
Berdasarkan hasil analisis data, TTD yang terungkap dalam
percakapan guru-siswa adalah memojokkan dan mendesak.
103
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat di rumuskan tiga
perihal. Pertama, percakapan antara guru BK (Bimbingan dan Konseling)
dan siswa melanggar aturan sekolah ternyata berdasarkan prinsip kerja
sama Grice yang dijabarkan ke dalam maksim-maksim tidak selalu
dipatuhi oleh peserta percakapan. Pelanggaran mengenai prinsip kerja
sama Grice menimbulkan implikatur percakapan. Mengamati faktor-faktor
penyebab terjadi pelanggaran prinsip kerja sama berdasarkan maksim
kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara
merupakan daya tarik sendiri dalam penelitian pragmatik mengenai kasus-
kasus yang ditemukan disekolah. Kedua, penyebab ketidaknyamanan
pada mita tutur adalah tuturan yang disampaikan cenderung menekan
untuk memperoleh informasi sehingga pihak yang diinterogasi memilih
untuk menghindari percakapan bahwa memberikan informasi atau
keterangan yang berbelit-berbelit. Ketiga, struktur bahasa percakapan
yang digunakan oleh guru BK (Bimbingan dan Konseling) menggunakan
prinsip-prinsip dalam teori pragmatik sehingga menghasilkan informasi
tanpa paksaan dan tekanan.
Terdapat 20 pelanggaran implikatur percakapan berdasarkan
maksim-maksim dan terdapat 26 data analisis tidak melanggar aturan
implikatur percakapan. Dalam percakapan yang diteliti jarang ditemukan
data tentang implikatur yang dibuat-buat oleh siswa yang melanggar
aturan sekolah. Siswa secara umum menggunakan ujaran langsung untuk
menyampaikan maksudnya.
104
Diketahui bahwa proses interogasi atau percakapan dalam ruangan
BK (Bimbingan dan Konseling) menggunakan implikatur percakapan
sehingga prosedur percakapan berjalan dengan baik. Akan tetapi, kondisi
yang berbeda ditemukan dibeberapa kasus bahwa pelanggaran
implikatur tidak tampak menonjol. Pada kenyataannya, siswa kurang
memahami tindak tutur yang berimplikasi. Tururan yang berimplikasi
artinya mempunyai hubungan keterlibatan. Siswa bahwa memberikan
protes kepada guru yang bersangkutan bahwa tuturan yang berimplikasi
akan berdampak pada kesulitan untuk memahami maksud dan makna
dari apa yang disampaikan dengan baik.
Berdasarkan analisis data implikatur percakapan dari prinsip kerja
sama Grice (1975) dalam penelitian ini terdapat pelanggar maksim, yaitu
maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevan, dan maksim cara.
Dari empat maksim yang ditemukan oleh peneliti sebagian besar terdapat
dua pelanggaran aturan maksim disetiap maksim-maksim tersebut.
Pertama, pada kasus pelanggaran tuduhan merokok terdapat
empat pelanggaran maksim. Maksim tersebut adalah maksim kuantitas,
maksim kualitas, maksim cara, dan maksim relevan. Pada data maksim
kuantitas siswa yang melanggar aturan sekolah memberikan informasi
secara berlebih terhadap pertanyaan yang diajukan oleh guru BK selaku
konselor. Oleh sebab itu, siswa tersebut melanggar prinsip kerja sama
maksim kuantitas. Selanjutnya, data maksim kualitas mengenai siswa
pelanggar aturan sekolah tidak memberikan informasi yang sesuai
sehingga jelas melanggar prinsip kerja sama. Kemudian, data pada
105
maksim relevan adalah jawaban yang diberikan oleh siswa tidak memiliki
keterkaitan atau hubungan dengan pertanyaan di ajukan oleh guru selaku
konselor. Pada data maksim cara siswa berbicara secara berbelit-belit dan
tidak singgat sehingga guru BK (Bimbingan dan Konseling) tidak
mendapatkan informasi yang sesuai
Kedua, pelanggaran peraturan masuk asrama. Pelanggaran
tersebut tidak terdapat pelanggaran maksim pada prinsip kerja sama
Grice. Semua tuturan yang disampaikan melalui proses percakapan telah
sesuai.
Ketiga, pelanggaran mengintimidasi teman asrama. Berdasarkan
data yang ditemukan bahwa terdapat tiga pelanggaran maksim yaitu
maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara. Pelanggaran
maksim kualitas dilakukan oleh siswa yang melanggar aturan sekolah
karena tidak memberikan informasi yang cukup memadai kepada guru BK
(Bimbingan dan Konseling). Dari informasi yang diberikan masih
mengandung unsur yang ambigu sehingga melanggar aturan maksim
kualitas. Kemudian, pada maksim relevan jawaban yang diberikan oleh
siswa tidak memiliki keterkaitan dengan pertanyaan guru BK (Bimbingan
dan Konseling). Siswa selaku penutur memberikan jawaban yang
kontradiksi dengan kasus yang terjadi saat itu. Siswa melibatkan
permasalahan yang terjadi sebelumnya untuk dijadikan sebuah penguatan
bukti untuk mempertahankan argumen dari informasi yang diberikan
kepada mitra tutur. Selanjutnya, pada pelanggaran tersebut telah
melanggar maksim cara karena informasi dari siswa pelanggar berbicara
106
secara berbelit-belit dan tidak singkat sehingga guru BK selaku mitra tutur
tidak mendapatkan informasi yang sesuai. Lawan tutur (siswa)
memberikan gambaran yang melibatkan informasi lama sehingga
pernyataan tersebut tidak teratur.
Keempat, pelanggaran perizinan keluar masuk asrama/pondok.
Terdapat satu pelanggaran maksim pada tuturan tersebut yaitu maksim
kuantitas. Percakapan tersebut memberikan gambaran tentang terjadi
prinsip kerja sama maksim kuantitas. Dalam percakapannya, guru BK
memberikan penjelasan inti tentang apa yang harus dilakukan oleh siswa
tersebut. Selanjutnya, siswa merespons dengan memberikan informasi
yang diperlukan oleh lawan tutur untuk memberikan penjelasan.
Kelima, Pelanggaran masuk asrama II. Terdapat dua pelanggaran
maksim yaitu maksim kualitas dan maksim relevansi. Percakapan tersebut
guru BK selalu melontarkan pertanyaan demi pertanyaan kepada siswa
untuk mengetahui alasan yang diberikan. Dalam tuturannya siswa
memberikan alasan bahwa orang tuanya yaitu bapaknya, beralasan jika
lupa kalau ingin mengantar anaknya. Akan tetapi, setelah di konfirmasi
siswa tidak menyampaikan hal yang sebenarnya karena lupa
mengingatkan kepada orang tuanya. Kontribusi peserta percakapan
haruslah berisi kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Artinya,
kebenaran yang didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Namun jika
peserta percakapan tidak mengatakan hal sebenarnya, percakapan
tersebut telah melanggar maksim kualitas. Selanjunya, pelanggaran
maksim relavansi mengharuskan peserta percakapan memberikan
107
kontribusi yang sesuai atau relevan dengan pembicaraan. Akan tetapi, jika
ada sebuah percakapan yang tidak memberikan kontribusi yang sesuai.
Percakapan tersebut melanggar maksim relevansi.
Keenam, pelanggaran kegiatan belajar mengajar. Pada analisis
data terdapat tiga pelanggaran maksim yaitu maksim kuantitas, maksim
kualitas, maksim relevansi. Pada umumnya dalam berkomunikasi, penutur
memberikan informasi sebanyak yang dibutuhkan oleh mitra tuturnya
untuk memenuhi tuturan prinsip kerja sama. Apabila tuturan mengandung
informasi yang berlebihan dan tidak mengandung informasi yang
sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, atau informasi tersebut kurang.
Hal tersebut termasuk ke dalam pelanggaran maksim kuantitas. Maksim
kualitas menekankan tentang kewajiban peserta percakapan untuk
mengatakan hal yang sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan
haruslah berisi kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Artinya,
kebenaran yang didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Namun jika
peserta percakapan tidak mengatakan hal sebenarnya , percakapan
tersebut telah melanggar maksim kualitas. Maksim relevansi
mengharuskan peserta percakapan memberikan kontribusi yang sesuai
atau relevan dengan pembicaraan. Namun, jika ada sebuah percakapan
yang tidak memberikan kontribusi yang sesuai. Percakapan tersebut
melanggar maksim relevansi.
Ketujuh, pelanggaran kegiatan ekstrakurikuler. Pada kasus tersebut
telah terjadi pelanggaran maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim
cara. Pelanggaran maksim kualitas karena informasi yang diberikan oleh
108
siswa tidak sesuai karena penutur memberikan informasi sebanyak yang
dibutuhkan oleh mitra tuturnya untuk memenuhi tuturan prinsip kerja
sama. Pelanggaran maksim kuantitas karena informasi yang diberikan
siswa tidak sesuai dengan bukti-bukti. Artinya, kebenaran yang
didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Pelanggaran maksim cara
karena menekankan pada cara yang digunakan penutur dalam bertutur.
Maksim ini tidak boleh ambigu, tidak kabur, tidak berlebihan, dan runtut.
Kedelapan, pelanggaran pembelajaran tahfiz. Pada kasus tersebut
terdapat empat pelanggaran maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim
kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Di dalam maksim kuantitas,
seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup,
relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak
boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur.
Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh
diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam
prinsip kerja sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu
mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar
maksim kuantitas. Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur
diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta
sebenarnya di dalam bertutur. Di dalam maksim relevansi, dinyatakan
bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur,
masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan
tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Maksim cara ini
109
mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas, dan
tidak kabur atau tidak ambigu.
Selanjutnya, pematuhan maksim dari prinsip kerja sama Grice
terdapat beberapa kasus, Pematuhan maksim kuantitas terdapat pada
semua kasus, yaitu kasus tuduhan merokok, perizinan keluar
asrama/pondok, peraturan masuk asrama, dan kasus mengintimidasi
teman asrama pondok. Pematuhan maksim kualitas terdapat pada kasus
tuduhan merokok, perizinan keluar asrama/pondok, peraturan masuk
asrama, dan kasus mengintimidasi teman asrama pondok. Pematuhan
maksim relevan terdapat pada kasus tuduhan merokok, perizinan keluar
asrama/pondok, peraturan masuk asrama, dan kasus mengintimidasi
teman asrama pondok. Pematuhan maksim cara terdapat pada kasus
tuduhan merokok, perizininan keluar asrama/pondok dan peraturan masuk
asrama. Oleh karena itu, berdasarkan percakapan pelanggaran aturan
sekolah hanya maksim cara secara keseluruhan mematuhi maksim-
maksim berdasarkan prinsip kerja sama Grice.
Penelitian ini bisa dijadikan patokan ataupun landasan bagi guru BK
(Bimbingan dan Konseling) ketika melakukan proses wawancara atau
interogasi kepada siswa yang melakukan pelanggaran aturan sekolah.
Guru BK (Bimbingan dan Konseling) dituntut untuk tidak terbawa emosi
dan tidak menggunakan kata-kata yang bersifat menghakimi atau
menyudutkan. Dengan tekanan yang didapatkan oleh siswa tentunya
mengakibatkan siswa tersebut tidak memberikan jawaban dan informasi
110
sesuai dengan keinginan dari guru tersebut. Dengan demikian, informasi
yang disampaikan sisiwa terkesan berbelit-belit dan panjang.
Secara singkat hadirnya pragmatik seharusnya mampu
menyelesaikan persoalan makna yang belum bisa terpecahkan dengan
teori semantik yaitu ―apa yang disampaikan‖ terkadang berbeda dengan
―apa yang diimplikasikan‖. Implikatur justru menyembunyikan makna agar
implikasi makna tidak terlalu nampak. Meskipun demikian, dalam bidang
kajian linguistik tentu memliki kaitan dengan teori-teori pragmatik.
Keterkaitan ini sering disebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik
sebagai bagian dari semantik; atau sebaliknya dengan sebutan
pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan
komplementarisme yaitu melihat semantik dan pragmatik sebagai dua
bidang yang saling melengkapi. Karena itu, pragmatik sering disebut
bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction) dan
dibedakan menjadi dua hal yaitu: (1) pragmatik sebagai sesuatu yang
diajarkan, ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu pragmatik sebagai
bidang kajian linguistik dan pragmatik sebagai salah satu segi di dalam
bahasa; dan (2) pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan
mengajar.
Berpijak pada temuan di atas yang dihubungkan dengan penelitian
sebelumnya, penelitian ini mengkonfirmasi pengetahuan tentang
pragmatik dan lingusitik deskriptif. Pragmatik pada hakikatnya lebih
mengarah pada perwujudan kemampuan pemakai bahasa untuk
menggunakan bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu dalam
111
tindak komunikatif dan memperhatikan prinsip penggunaan bahasa secara
tepat. Penafsiran bahasa tuturan melalui pragmatik juga akan menjadi
lebih mendalam untuk mengetahui maksud, asumsi dan tujuan
pembicaraan dengan berdasar hal-hal yang penutur perlihatkan (konteks)
saat tuturan tersebut diujarkan. Untuk itulah, terkadang sebuah konsep
tuturan cenderung tidak konsisten dan objektif saat dianalisis karena
berbeda konteks maka dimungkinkan berbeda pula maksud ujaran
meskipun tuturan yang diujarkan sama.
Proses percakapan sebagian besar tidak melanggar implikatur
percakapan karena ragam tuturannya merepresentasikan sikap santun.
Namun, siswa yang melanggar kurang cermat dalam memaknai tuturan
yang disampaikan. Artinya, siswa cenderung menggunakan yang terus
terang dan tidak berbelit-belit sehingga mitra tutur dapat menangkap
maksud dengan mudah, tetapi beberapa tuturan juga tidak relevan
dengan prinsip-prinsip kesantunan berbahasa. Temuan penilitian ini
sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Munirah dan
Apriyanto (2020) bahwa dalam proses interogasi tersangka tidak dalam
posisi tertekan sehingga interogasi menghasilkan titik temu. Begitu pula
pada penelitian yang dilakukan oleh Sri Waljinah dan Harum Joko
Prayitno (2012) bahwa prinsip percakapan menghasilkan pola interogasi
untuk memperoleh informasi tanpa tekanan dan paksaan.
Dalam penelitian ini pula terdapat perbedaan yang menonjol dalam
proses interogasi yang tidak ditemukan dalam penelitian sebelumnya yaitu
strategi yang mereka gunakan, antara lain, dengan memenuhi prinsip-
112
prinsip kerja sama dalam implikatur percakapan. Dalam temuan penelitian
sebelumnya mengenai implikatur dijelaskan bahwa sebagian besar
temuannya melanggar maksim-masim dalam prinsip kerja. Berbeda
halnya dengan penelitian ini bahwa sebagai besar pelanggaran maksim
tidak ditemukan dalam proses interogasi pelanggaran aturan sekolah.
Baik yang dilakukan oleh guru ataupun siswa pelanggar.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan
bahwa:
1. Implikatur percakapan siswa dan guru ketika proses interogasi
berdasarkan acuan prinsip kerja sama Grice bahwa siswa yang
melakukan pelanggaran peraturan sekolah memberikan informasi yang
tidak objektif sehingga seakan-akan menutupi kesalahan yang
diperbuatnya. Selanjutnya, guru BK (Bimbingan dan Konseling)
seharusnya sangat memperhatikan kosa kata dan pola bahasa yang
dikeluarkan ketika melakukan proses interogasi kepada siswa yang
melanggar agar siswa dapat memberikan jawaban tanpa tekanan dan
paksaan dari siapapun. Dengan demikian, terdapat 20 pelanggaran
implikatur percakapan berdasarkan maksim-maksim dan terdapat 26
data analisis tidak melanggar aturan implikatur percakapan. Dari
keseluruhan kasus pelanggaran aturan sekolah hampir sebagain besar
proses interogasi tidak melanggar prinsip kerja sama Grice.
2. Dari Dari parameter tersebut telah diketahui bahwa lingusitik deskriptif
merupakan sebuah pendekatan yang menjelaskan penggunaan bahasa
secara aktual. Artinya, hakikat dari linguistik deskriptif yaitu
penggunaan bahasa berdasarkan siapa yang menuturkannya.
Pendekatan deskriptif mengenai bahasa disebut linguistik deskriptif
yang merupakan pendekatan yang objektif, menganalisis dan
114
menjelaskan bahwa bahasa disampaikan oleh sekelompok orang
dalam suatu masyarakat bahasa. Tindak tutur dan peristiwa tutur dalam
proses interogasi merupakan deskripsi fonomena bahasa yang bersifat
alami. Hal tersebut sejelan dengan proses interogasi dalam empat
kasus pelanggaran yang terjadi dalam ruang lingkup sekolah. Tindak
tutur dan peristiwa tutur dalam kasus tersebut hanya melibatkan
beberapa jenis tindak tutur.
B. Saran
Dalam penelitian mengenai prinsip kerja sama melalui pendekantan
linguistik deskripstif ini masih terbatas pada empat maksim kerja sama
Grice. Penelitian ini belum lengkap hanya sebagian kecil saja tentang
prinsip kerja sama karena banyak sekali teori yang dapat membedah lebih
lagi mengenai prinsip kerja sama khusus proses interogasi atau
wawancara.
Pada penelitian iin belum dikembangkan ke dalam lingustik forensik.
Sangat menarik untuk dikembangkan ketika dihubungkan dengan aliran
linguistik forensik karena memiliki keterkaitan dengan interogasi hukum.
Kemudian, pada penelitian ini pula belum dikembangkan secara
fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-
teori linguistik deskriptif. Makna proses interogasi menurut peneliti
sebenarnya belum bisa mencakup secara keseluruhan ketika hanya
berfokus pada maksim-maksim tertentu. Harus melibatkan semua aspek
implikatur percakapan, seperti, pelanggaran maksim, tindak tutur, dan
115
kesantunan berbahasa. Aspek tersebut harus beriringan untuk menjawab
masalah dari makna dari tuturan interogasi.
Penelitian lain diharapkan menindaklanjuti penelitian tentang
ilmplikatur percakapan dengan pendekatan deskriptif karena pada jurnal
yang didapatkan oleh peneliti masih banyak jurnal yang belum berfokus
pada pendekatan deskripsi. Peneliti sangat menyarankan kepada
pembaca untuk bisa mengkaji implikatur menggunakan pendekatan lain,
seperti pendekatan linguistik forensik atau pendekatan-pendekatan
linguistik lain.
116
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 1985. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung: Angkasa
Bashori, E. K. 2018. Manifestasi Prinsip Kesantunan dan Prinsip Kerja
Sama dalam Implikatur Percakapan di Sekolah. 1(1), 20–37. Baryadi, I. Praptomo. 2012. Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan.
Yogyakarta: Penerbit Usadhar. Budiman, Arif Shige, A. R. 2016. Tindak Tutur Ilokusi Direktif dalam Komik
Insekt Karya Sascha Hommer. Identitaet, 5(03), 1–5. Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta Casim, P, D. M. S., Pratomo, & Sundawati, L. 2019. Kajian Linguistik
Forensik Ujaran Bau Ikan Asin Oleh Galih Ginanjar Terhadap Fairuz A.Rafiq. Metabahasa, 1(2), 22–28.
Cummings, Louise. 2007. Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Djajasudarma. 2006. Metode Linguistik. Bandung: PT. Aditama.
Hartini, H. I., AR, H. F., & Charlina. 2017 . Kesantunan berbahasa dalam komentar caption instagram. Indonesian Language and Literature Education, C, 1–14.
Hartini, L., Saifullah, A. R., & Sudana, D. 2020. Linguistik Forensik
terhadap Perbuatan Tidak Menyenangkan di Media Sosial (Kajian Pragmatik). Deiksis, 12(03), 259. https://doi.org/10.30998/deiksis.v12i03.5416
Hasanah, S. U. 2020. Analisis Pemakaian Bahasa Pada Iklan Produk
Minuman Di Televisi. Ksatra: Jurnal Kajian Bahasa Dan Sastra, 2(1), 9–22.
Ismari. 1995. Tentang Percakapan. Surabaya: Airlangga University Press.
Karmila Indah Hasin, J. A. dan J. 2013. Implikatur Percakapan Terhadap Siswa Pelanggar Aturan Sekolah (Kajian Linguistik Forensik Interogasi). 1(1).
Kridalaksana, H. 1982. Fungsi dan Sikap Bahasa. Jakarta: Penerbit Nusa
Indah.
117
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik (terjemahan M.D.D.Oka). Jakarta: UI Press.
Levinson, S.C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press. Malini, N. L. N. S., & Tan, V. 2016. Forensic Linguistics Analysis of Virginia
Woolf’S Suicide Notes. International Journal of Education, 9(1), 50. https://doi.org/10.17509/ije.v9i1.3718
Masitoh, T. 2020. Volume 9 , number 3 ---- Oktober 2020 Volume 9 ,
number 3 ---- Oktober 2020. 9(3), 128–142. Mudjiono, (1996). Belajar dan pembelajaran. dalam Sagala (2009).
Konsep Dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabet
Munirah, & Apriyanto, S. 2020. A Forensic Linguistic Point of View of Implicational Conversations in a Police Interrogation: A Review. Talent Development & Excellence, 12(1), 3370–3384. http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=s3h&AN=144307393&lang=ja&site=ehost-live
Novita Carolina, S. 2015. Tindak Tutur Direktif Guru dan Siswa Taman
Kanak-Kanak Pertiwi dalam Interaksi Belajar Mengajar. 5(2), 163–177.
Nugraheni, Y. 2010. Analisis Implikatur pada Naskah Film Harry Potter
and The Goblet of Fire. Prosiding Seminar Nasional UNIMUS 2010, 390–397.
Nugroho, R. A. 2007. Analisis Implikatur Percakapan dalam Tindak
Komunikasi di Kelompok Teater Peron FKIP UNS. 1–8. Nur, D. 2019. Analisis Implikatur Percakapan dalam Dorama Doraemon
the Movie “ Standby Me ” ( Kajian Pragmatik ). 1(1), 1–18. Pateda, Mansoer.1988. Linguistik: Sebuah Pengantar. Bandung: Penerbit
Angkasa,
Rini Wulandari, Kundharu Saddhono, M. R. 2014. Analisis buku. 2(3), 1–19.
Rohmadi, Muhammad. 2010. Analisis Wacana Pragmatik. Surakarta:
Yuma Pustaka.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistic Bagian Pertama. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
118
Sulistyowati, W. 2013. Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur Percakapan. Skriptorium, 2(2), 126–134.
Susanto, Ahmad. 2018. Bimbingan dan Konseling di Sekolah: Konsep,
Teori, dan Aplikasinya. Jakarta: Kencana. Tokuasa, M. 2015. Implikatur dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di
SMA Labschool Untad Palu. E-Journal Bahasantodea, 3(4), 18--30. Verhaar, J.W.M. 1985. Pengantar Linguistik. Jogyakarta: Gajah Mada
University Press Wahyuningsih, H., & Rafli, Z. 2017. Implikatur Percakapan dalam Stand
Up Comedy 4. BAHTERA : Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra, 16(2), 139–153. https://doi.org/10.21009/bahtera.162.09
Wijana. 1985. Analisis Wacana Pragmatik. (Kajian Teori dan Analisis).
Surakarta: Yuma Pustaka. Wijana. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi. Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad. 2011. Analisis Wacana
Pragmatik Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.
Wiryotinoyo, Mujiyono.2010. Implikatur Percakapan Anak Usia Sekolah Dasar. Disertasi, Malang: PBS IKIP Malang.
Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Yulianti, Yessinta & Utomo, A. P. Y. 2020. Analisis Implikatur Percakapan
Dalam Tuturan Film Laskar Pelangi. Matapena: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, 3(1), 1–14.
Yuniarti, N. 2014. Implikatur Percakapan Dalam Percakapan Humor.
Jurnal Pendidikan Bahasa, 3(2), 225–240. https://journal.ikippgriptk.ac.id/index.php/bahasa/article/view/168
119
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IHWAL SUBHAN, lahir di Bajo Kecamatan Bajo
Kabupaten Luwu pada tanggal 21 Juli 1995. Pada saat
ini, penulis bertempat tinggal di Jalan H.O.S
Cokroaminoto Desa Balla Kecamatan Bajo Kabupaten
Luwu. Pendidikan yang penulis tempuh di SD Negeri 29
Bajo, Kab. Luwu (2000-2007), SMP Negeri 1 Bajo Kab Luwu (2007-2010),
SMA Negeri 5 Luwu Kab Luwu (2010-2013).
Pada tahun 2013 penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar dan
menyelesaikan studi S1 pada tahun 2017. Kemudian, pada tahun 2019
penulis melanjutkan studi S2 di Program Pascasarjana jurusan Magister
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah
Makassar dan menyelesaikan studi pada tahun 2021.
Pengalaman Organisasi Penulis, yaitu Karya Ilmiah Remaja (KIR)
SMA Neg. 5 Luwu (2012), OSIS SMA Neg. 5 Luwu (2012-2013), PIK-
Remaja SMA Neg. 5 Luwu (2012-2013), PIK-Remaja Kab. Luwu (2013),
Seventeen Community FKIP periode 2015/2016, HMJ Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia periode 2015/2016, Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Keguruaan dan Ilmu Pendidikan (BEM FKIP) periode 2016/2017,
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar (BEM
UNISMUH Makassar) periode 2016/2017.
120
LAMPIRAN
121
122
123
124
DATA KASUS
PELANGGARAN SEKOLAH
125
DATA PELANGGARAN ATURAN SEKOLAH I
Pelangga Merokok (Minggu, 21 Maret 2021)
BK : “Kau merokok di sana atau tidak?”
E : ―Saya tidak merokok Bu. Saya dari pasar tadi Bu, lihat baju cakar. Saya penasaran Bu, jadi kesana. Sudah itu ketemu di perairan sama anak-anak.”
BK : “Berapa orang temanmu di perairan, Nak?” F : “Tiga orang ji Bu yang saya tahu. Saya, S, dan E.”
BK : ―Siapa yang mu lihat lewat, gurumu di sini Nak, siapa yang kaulihat lewat?
F : “Yang kulihat, nda penting sekali Bu, ka ta tutupki mukanya karena pake helm i.”
F : “Na bilang Pak Bokko, merokok ka di Perairan.”
BK : “Siapa lihatki?”
F : “Tidak tahu.”
F : “Tidak pernahka merokok.”
BK : “Apa? Kamu bilang tidak pernahka merokok?”
F : “Maksudku pernahji iya, sekarang tidak ka sudah ma di dapa’. Jadi, tidak mau meka. Baru kukira tadi kenapai turun ma sebentar lihat itu orang berkelahi.”
BK : “Apa yang bisa menjamin bahwa kau tadi tidak merokok di sana?”
F : “Tidak tahu juga ka.”
BK : “Masih mau mendengar atau tidak?”
S : “Masih.”
BK : “Hmmm.”
F : “Intinya tadi itu Bu, saya tadi di sana sambil menunggu salat to.”
BK : “Pokoknya saya tidak butuh kejelasan seperti itu.”
F : “Banyak semuaji temanku saksi, tidak merokok ka tadi.”
126
DATA PELANGGARAN ATURAN SEKOLAH II
Pelanggaran Ketelambatan Masuk Asrama (Minggu,28 Maret 2021)
BK : Dari mana semua ini?
A : Saya Padang Sappa Ustadz. Dekatnya pertamina
BK : Naik apaki tadi Nak? Kenapa bisa terlambatki datang nah ditaumi
jam berapa harus masuk.
A : Menugggu ka tadi mobil dari Padang Sappa ma ke Belopa Ustadz.
Karena tidak bisa tadi orang dirumah antar ka kesini. Jadi tunggu
ka mobil Palopo mau ke Belopa dipinggir jalan.
BK : Terus Nak? Kemana memang orang dirumah mu?
A : Pergi acara pengantin Ustadz di dekat rumah. Besok acaranya.
Tadi mauka izin tapi nah bilang janganmi prg mko saja naik mobil
sewa. Itu terlambatka ustadz.
BK : Ini iyaa orang Larompong ee. Pasti pergi lagi solle
B : Tidak Ustadz bah. Kalau saya Ustadz darika tadi Belopa
rumahnya sepupuku bawa kirimannya mamaku jadi kesana dulu.
BK : Tidak nah tau kah mama mu Nak kalau masuk asrama jam 17.00?
B : Nah tau duka pas Ustadz. Ku tanya ji kalau tapi nah bilang
sekalian mi saja. Ku kira juga nah telepon Ustadz Ardi kalau izin
terlambat.
BK : Nanti ku tanya Ustadz Ardi. Pergi ko panggil pale di asrama.
127
DATA PELANGGARAN ATURAN SEKOLAH III
Pelanggaran Intimidasi Kawannya (Senin, 29 Maret 2021)
BK : Siapa saja mu temani tadi waktu sore di mencuci?
A : Banyak ka Ustadz. Ada ji Ustadz Ahmad juga tadi pas sorenya.
BK : Kau iyaa? Kau iyaa B kenapako bisa ikut-ikut coddo nah?
B : Tidak ji Ustadz. Ku kira saya bercanda ji orang jadi ikut-ikut jka.
A : Iyee ustadz bercanda jka itu tapi nah bawa hati sekali apana
dicerita terus kemarin waktu kerja angkat pasir.
BK : Bisanya itu langsung tadi emosi C kalau tidak mu pakani-kani i.
Pasti berkelahi ko tadi kalau tidak ada ustadz Ahmad juga disitu
toh.
B : Iyee ustadz karena langsungka nah lempari bajunya. Kukira saya
main-main ji tapi langsung i marah-marah nah kata-kata i ka sama
A.
BK : Iyaa cocok mi Nak. Kau juga kalau mauko bercanda lihat-lihat ko
orang nya dulu. Kalau tidak ada tadi ustadz Ahmad disitu samako
pasti bikin ko lagi masalah. Pasti Ustadz Khaidir lagi hadapi ko.
BK : Awas memang ko begitu lagi berdua. Kalau mauko bercanda
janganmi terlalu bagaimana sekali sama temanmu karena sama-
sama jko di asrama.
128
DATA PELANGGARAN ATURAN SEKOLAH IV
Pelanggaran Perizinan (Rabu, 31 Maret 2021)
BK : Dari semua ko tadi Nak? Ada laporan dari satpam kalau kalian
tadi keluar baru terlambat pulang.
A : Di Lapangan Bajo tadi Ustadz. Baru pergi Pasar Baru Bajo.
BK : Tiga orang tadi izin sama Ustadz Ardiansyah toh. Kau, B, dan C.
Baru yang dikasih izin hanya dua orang.
BK : Kenapa nah tiga orang pergi keluar?
B : Iyee Ustadz 2 jika tadi izin sama Ustadz Ardi tapi ikut-ikut i C. Krn
nah bilang tidak ada ji nah kerja.
A : Nah lihatka berdua B keluar dari Asrama baru nah tanyaka
mauka kemana. Ku bilangi mi kalau mauka izin keluar.
BK : Kau iya Nak? Kenapa ko bisa ikut-ikut lagi sama ini dua orang ee.
C : Tidak ji Ustadz. Tidak ada ku kerja tadi di Asrama baru ku lihat i
keluar.
BK : Minta izin apa ko memang tadi A sm B?
B : Mauka kerumahnya keluargaku Ustadz di dekat lapangan karena
libur ji toh. Mauka pergi celleng-celleng kesana.
BK : Kenapa bisa terjebak ko di Pasar Baru Bajo nah?
B : Pergi Pasar Baru Bajo tanteku Ustazd baru kesana ka tidak ada
orang. Menunggu ka di penjual-penjual dekat lapangan. Ada itu
penjual somay ee. Nah tanya ka kalau ke pasar I pale karena hari
Pasar (Hari Selasa)
BK : Jadi pergi ko lagi 3 orang solle kesana tadi ke pasar? Maksudku
saya Nak toh ke Pondok mko dulu kalau memang tidak ada
keluargamu
BK : Terus.. Mu dapat ji tantemu dipasar atau pergi jko kesana saja
tanpa kejelasan?
A : Ditunngu dulu tadi ustadz di situ penjual somay tapi lama sekali
jadi terus pisse ki ke pasar. Pergi lihat-lihat cakar.
BK : Mana mi cakar mu palee nah mu kalupei pulang?
A : Tidak membeli jka Ustadz pergi jika lihat-lihat I sama anak-anak
baru kerumahnya lagi tanteku.
129
BK : Jadi begini Nak. Lain kali kalau ada sesuatu sesuai dengan
izinnya. Jangan pergi solle yang tidak jelas. Kalau memang tidak
ada keluarganya yah pulang mi saja.
130
DATA PELANGGARAN ATURAN SEKOLAH V
Pelanggaran Masuk Pondok (Minggu, 04 April 2021)
BK : ―Berapa orang terlambat ini?‖
BK : ―Daerah mana semua tinggal?‖
A : ―Saya Ustadz di Lamasi, Walenrang.‖
B : ― Saya di Kadong-Kadong, Bajo Barat‖
BK : ―Dekat ji pale kita Nak‖, Kenapa bisa terlambat ki kemarin?‖
B : ―Sebenarnya Ustadz waktu hari Ahad itu saya mau di antar sama
Mama. Tetapi kebetulan Bapak mau juga ke Bajo, jadi sekalian di
antar sama.‖
BK : ―Terus Bapak ta mau kemana sehingga bisa terlambat ki?‖
B : ―Bapak ku Ustadz pergi dulu sawah kasih masuk air karena sudah
mi ditanya kalau masuk asrama jam 5 sore.‖
BK : ―Berarti Bapak ta nah lupa i kalau mauki di antar kesini.‖
B : ―Iyee Ustadz karena jam 16.30 baru i datang dari sawah. Baru
dirumah hanya satu ji kendaraan‖.
BK : ―Iyaa Nak. Nanti saya konfirmasi ke orang tua ta masalah ini.‖
BK : ―Kita iya Nak yang dari Lamasi?‖
A : ―Jam 15.00 ka tadi berangkat dari Lamasi Ustadz. Di antar sama
orang tua dan keluarga.‖
A : ―Kebetulan singgah makan siang di Samppodo, setelah Kota
Palopo. Singgah makan bebek karena katanya kebetulan dilewati.‖
BK : ―Mana mi bebek palekko ta, tidak kita bawakan pembina ta?‖,
Heheheh
A : ―Itumi yang kasih lama ka Ustadz karena lama sekali menunggu
baru sudahpi shalat ashar baru berangkat.‖
BK : ―Jam berapaki tiba di Bajo Nak?‖
A : ―Sampaika di gerbang pondok Ustadz sekitar jam 17.00 lewat
kayaknya.‖
A : ―Terlambat 20 menit ka Ustadz yang tercatat di buku catatan
masuk pondok.‖
BK : ―Iyaa Nak. Nanti saya konfirmai ke orang tua ta masalah ini nah‖
BK : ―Kembali mki ke pondok semua.‖
131
DATA PELANGGARAN ATURAN SEKOLAH VI
Pelanggaran Kegiatan Belajar Mengajar (Senin, 05 April 2021)
BK : ―Siapa saja yang di lihat sama Ustadz Pakis tadi di pondok.‖
A : ―Saya dan B Ustadz yang dilihat tadi.‖
BK : ―Berapa orang ki tadi ke pondok semua?‖
B : ―Sebenarnya 4 orang tadi mau ke pondok tidur-tidur Ustadz, tapi C
dan D singgah di kantin Yayasan beli makanan.‖
BK : ―Kenapa tidak singgah ki sekalian sama teman ta.‖
B : ―Mau ka singgah juga Ustadz tapi A habis mi uangnya, mau pergi
ambil di pondok dulu nah bilang.‖
BK : ―Mau ji pale ambil uang jajan nah tinggal ji matindo-matindo (tidur)
dikamar.‖
BK : ―Jadi, siapa pembina yang dapat ki tadi pondok?‖
A : ― Ustadz Ardi yang dapat ka dikamar Ustadz waktu baring-baring
ka. Tidak sempat jika tidur tadi Ustadz.‖
BK : ―Kenapa tidak langsung keluar kamar waktu di dapat sama
Ustadz Ardi.‖
A : ―Nah tegur jika sebentar Ustadz baru pergi lagi karena mau i ke
kamarnya, baru tinggal mika baring-baring lagi.‖
BK : ―Jadi, Ustadz Pakis mija dapat kalian baru bergerak betul karena
maumi shalat Dhuhur orang.‖
B : ―Iyee ustadz‖, tidak turun ka ke kantin Ustazd karena 15 menit
mija mau istirahat jadi tinggal pisse ka.‖
BK : ―Oke pale. Nanti saya tanya pembina asrama ta masalah ini
sekaligus nanti saya tanya guru ta disekolah.‖
132
DATA PELANGGARAN ATURAN SEKOLAH VII
Pelanggaran Ketidakikutsertaan Ekstrakurikuler Pilihan (Jumat, 02 April
2021)
BK : ―Siapa pembina ekstrakurikuler ta Nak?‖
A : ―Ustadz Haerul pembinanya Ustadz.‖
BK : ―Esktrakurikuler apa kita ikuti memang.‖
A : ―Di volley ka dulu ustadz tapi disuruhka pindah dulu di dram band
karena itu kegiatan persiapan 17 agustus.‖
BK : ―Berapa orang yang pindah Nak.‖
A : ―Dua orangka tapi yang satu sama Pitto‖
BK : ―Waktu yang pertama memang kenapa bisa tidak hadir?‖
A : ―Pergi main volley Ustadz karena ku kira tidak latihan orang
karena nah bilang Ustadz Haerul di lapangan Tsanawiyah ki latihan
baru ku tunggu-tunggu tidak iya orang.‖
A : ―Ternyata sudah pika mau volley baru kantin ka dibelakang,
ternyata pale di depan rumahnya ki Ustadz Khaidir kumpul. Selesai
mija baruka lihat.‖
BK : ― Apa bilang Ustadz Haerul?‖
A : ―Pulangmi waktu ku tanya anak—anak‖
BK : ―Waktu kedua iya?‖
A : ―Terlambat datangka Ustadz karena tinggal-tinggal ka waktu
sudah salat ashar. Pas kesana tidak nah izinkan mika Ustadz
Haerul gabung karena terlambatka.‖
BK : ―Peccu mi itu karena nah kira kapang main-main ki ikut
esktrakurikuler.‖
BK : ―Nanti saya diskusikan lagi sama pembina ekstra mu Nak,‖
BK : ―Besok-besok jangan begitu lagi nah.‖
133
DATA PELANGGARAN ATURAN SEKOLAH VIII
Pelanggaran Pembelajaran Tahfidz (Kamis, 01 April 2021)
BK : ―Masuk semua sini!‖
BK : ―Panggilkan ka semua teman mu A yang tidak ikut tahfidz malam
jumat!‖
BK : ―Laporan yang masuk sama saya kalau yang tidak mengikuti
tahfizd itu sekitar 5 orang semua.‖
BK : ―Siapa bossnya ini? Siapa panggali semua ini tidak masuk
tahfizd? Kau kah A atau B atau iko C?
A : ―Tidak adaji Ustadz.‖
BK : ―Dimana ko sirampung dan si bawa ngasang ko‖. (Dimana kumpul
dan ketemu tadi)
A : ―Ketemu di pondok tahfidz ka tadi waktu belum mulai Ustadz.‖
BK : ―Kau B sama C kenapa ko lari dari pondok tahfizd?‖
C : ―Belum pika setor hafalan Ustadz sama B karena ku kira setor
hafalan orang‖
BK : ―Apa kora mu jama tarru di asrama nah tae mu hafal i nah 1 surah
ji‖. (Apa yang dikerjakan dipondok selama ini sehingga tidak
menghafal surah?)
C : ―Dihafalji Ustadz tapi cepat dikalupei.‖ (Dihafal Ustadz tetapi cepat
di lupa)
BK : ―Mapalla na tiro ko apa na malai ko, seandainya te mu malai na ku
semba ko mbe.‖ (Saya marah lihat kalian karena kalian malah lari
pada saat saya lihat kalian)
A : ―Maselang ka Ustadz apa ku sanga Ustadz Khaidir jadi
malaikang.‖ (Kami kaget ustadz karena kami kira Ustad Khaidir jadi
kami lari)
BK : ―Begini pale Nak. Besok sudah salat magrib ke kamarku ko setor
hafalan yang kemarin nah. Kalau tidak mu hafal mi bertambah
hafalan mu itu.‖
BK : ―Okee B dan C?‖
B : ―Iyee Ustadz insya allah‖
C : ―Iyee Ustadz‖
134
135
136