Click here to load reader
Upload
duongtu
View
306
Download
26
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user i
IMPLIKATUR PERCAKAPAN
DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
DI KELAS V SD NEGERI PONDOK 1 KECAMATAN NGUTER
KABUPATEN SUKOHARJO
Oleh:
PUJI RAHAYU
K1207028
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ii
IMPLIKATUR PERCAKAPAN
DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
DI KELAS V SD NEGERI PONDOK 1 KECAMATAN NGUTER
KABUPATEN SUKOHARJO
Oleh:
PUJI RAHAYU
K1207028
Skripsi
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan
Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iii
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iv
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user v
ABSTRAK
Puji Rahayu. K1207028. IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI KELAS V SD NEGERI PONDOK 1 KECAMATAN NGUTER KABUPATEN SUKOHARJO. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, April 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan mengenai (1) wujud tutur bentuk implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, (2) fungsi dan tujuan implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, dan (3) alasan penggunaan implikatur percakapan yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif kualitatif dengan strategi tunggal terpancang. Sumber data dalam penelitian ini adalah peristiwa pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo terfokus pada bahasa dan konteks tuturan. Selain dokumen, sumber data yang lain adalah informan, yaitu wali kelas V dan beberapa siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan observasi, teknik simak catat, perekaman, dan wawancara secara mendalam. Validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi teori, trianggulasi sumber, triangulasi metode, dan review informan. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif (interaktif model of analysis).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa banyak ditemukan implikatur percakapan dalam menerapkan prinsip sopan santun antara lain pelanggaran maksim kuantitas, kualitas, hubungan, cara, maksim gabungan kuantitas dan kualitas, serta maksim gabungan hubungan dan cara. Fungsi dan tujuan penggunaan implikatur percakapan terdiri atas fungsi kompetitif dan tujuan direktif; fungsi menyenangkan dan tujuan ekspresif; dan fungsi menyenangkan dan tujuan komisif. Alasan penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SDN Pondok 1 antara lain: (1) unsur konteks tutur yang berkaitan dengan pengetahuan mitra tutur, (2) penutur dan mitra tutur yang berkaitan dengan mental mitra tutur, serta (3) tujuan tuturan yang berkaitan dengan tujuan dan keefektifan. Penggunaan implikatur percakapan yang disertai bahasa Jawa mempengaruhi cara berbahasa peserta didik. Hal ini terlihat dengan jumlah peserta didik yang dapat menggunakan implikatur percakapan dan bahasa campuran (bahasa Indonesia dan Jawa) saat diwawancarai lebih banyak yaitu empat peserta didik dibandingkan jumlah peserta didik yang mematuhi prinsip kerjasama dan bahasa Indonesia, yaitu sebanyak dua peserta didik.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vi
MOTTO
...dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada
jiwanya
(QS An Nisa’: 63)
-Orang yang banyak ketawa itu kurang wibawanya
-Orang yang suka menghina orang lain, dia juga akan dihina
-Orang yang menyintai akhirat, dunia pasti menyertainya
-Barangsiapa menjaga kehormatan orang lain, pasti kehormatan dirinya akan
terjaga
(Sayidina Umar bin Khattab)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk:
1. Keluargaku tersayang (Bapak, Ibu, Mas
Andi, Mbak Jenny, dan Eyang Kakung),
terima kasih atas doa dan semangat yang
kalian berikan kepadaku.
2. Sahabat ”Kejora” (Ifah, Rini, Lilik dan
Rizqi) terimakasih atas setiap warna yang
kalian berikan untukku.
3. Dosen dan Rekan-rekan Bastind’07,
terimakasih kalian telah memberikan
pengalaman yang luar biasa.
4. Guru dan peserta didik SD Negeri Pondok 1
yang penuh pengertian dan senantiasa sabar
untuk menjadi informan dan sampel
penelitian.
5. Terima kasih untuk semua
6. Almamater
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kesehatan,
rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis. Hanya kepada-Nya kembali segala
sanjungan, penulis memohon pertolongan dan ampunan, dan atas ridho-Nya pula
sehingga penulis mampu menyusun skripsi ini dengan baik sebagai persyaratan
untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak pihak yang telah
memberikan bantuan. Maka atas terselesaikannya skripsi ini, penulis
meyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan izin penulisan skripsi ini.
2. Drs. Suparno, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi ini.
3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., Ketua Program Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan
skripsi ini.
4. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd. selaku pembimbing skripsi I yang
senantiasa sabar membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini.
5. Kundharu Saddhono, S.S, M. Hum selaku pembimbing skripsi II yang
selalu sabar memberikan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
6. Ibu Munasyiroh selaku Kepala Sekolah SD Negeri Pondok 1 dan para
guru serta karyawan SD Negeri Pondok 1 yang senantiasa memberikan
informasi dan semangat kepada penulis
7. Peserta didik SD kelas V SD Negeri Pondok 1 yang memberikan
pengetahuan baru yang menarik yang dapat membantu penulis dalam
mengumpulkan data-data penelitian.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ix
8. Dosen dan rekan mahasiswa Prodi Pendidikan PBS FKIP UNS atas
dukungan memberikan informasi yang dapat membantu penulis dalam
menyusun skripsi ini.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan skripsi
ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan, khususnya dalam bidang bahasa Indonesia.
Surakarta, April 2011
Penulis
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user x
DAFTAR ISI
JUDUL ......................................................................................................... i
PENGAJUAN ............................................................................................... ii
PERSETUJUAN ........................................................................................... iii
PENGESAHAN ............................................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................... v
MOTTO........................................................................................................ vi
PERSEMBAHAN ......................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ x
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv
KETERANGAN TANDA............................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian............................................................................ 9
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 9
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teori ............................................................................... 11
1. Hakikat Implikatur Percakapan ................................................. 11
a. Pengertian Implikatur .......................................................... 11
b. Kaidah Penggunaan Implikatur Percakapan ........................ 14
c. Hakikat Ilokusi ................................................................... 32
d. Penafsiran Penggunaan Implikatur Percakapan ................... 36
2. Percakapan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas V SD ...... 50
a. Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD ....................... 50
b. Percakapan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Kelas V SD ......................................................................... 54
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xi
B. Penelitian yang Relevan ................................................................. 62
C. Kerangka Berpikir .......................................................................... 65
BAB III METODELOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 68
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ........................................................ 68
C. Sumber Data ................................................................................... 69
D. Teknik Sampling ............................................................................ 70
E. Teknik Pengumpulan Data.............................................................. 72
F. Uji Validitas Data ........................................................................... 73
G. Teknik Analisis Data ...................................................................... 74
H. Prosedur Penelitian ......................................................................... 75
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Latar Penelitian ............................................................... 76
B. Hasil Penelitian .............................................................................. 77
1. Wujud Tutur Implikatur Percakapan ......................................... 77
2. Fungsi dan Tujuan Penggunaan Implikatur Percakapan............. 118
3. Alasan Penggunaan Implikatur Percakapan .............................. 137
C. Pembahasan Hasil Penelitian ......................................................... 143
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan ........................................................................................ 156
B. Implikasi ........................................................................................ 157
C. Saran .............................................................................................. 160
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 162
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Pembagian Waktu Penelitian ................................................................... 68
2. Daftar Peserta Didik yang Dipilih sebagai Informan ................................ 70
3. Pelanggaran Maksim Kerja Sama dalam Menerapkan
Maksim Sopan-santun ............................................................................. 117
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Analisis Cara-tujuan ........................................................................... 44
2. Alur Analisis Heuristik....................................................................... 45
3. Kerangka Berpikir Penelitian Implikatur Percakapan.......................... 67
4. Model Analisis Interaktif .................................................................... 75
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Transkrip Percakapan Pembelajaran 1 .................................. 166
Lampiran 2. Transkrip Percakapan Pembelajaran 2 .................................. 191
Lampiran 3. Transkrip Percakapan Pembelajaran 3 .................................. 219
Lampiran 4. Daftar Informan ................................................................... 244
Lampiran 5. Hasil Wawancara dengan Informan Guru ............................. 245
Lampiran 6. Hasil Wawancara dengan Informan Peserta Didik ................ 251
Lampiran 7. Dokumentasi Wawancara ..................................................... 256
Lampiran 8. Data Peserta Didik Kelas V SDN Pondok 1 .......................... 258
Lampiran 9. Jadwal Mata Pelajaran Kelas V SDN Pondok 1 .................... 259
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xv
KETERANGAN TANDA
MKN : Maksim Kuantitas
MKL : Maksim Kualitas
MKH : Maksim Hubungan
MKC : Maksim Cara
MK1 : Maksim Kuantitas dan Kualitas
MK2 : Maksim Hubungan dan Cara
MSA : Maksim Kearifan
MSD : Maksim Kedermawanan
MSP : Maksim Pujian
MSK : Maksim Kerendahan Hati
MSS : Maksim Kesepakatan
MS1 : Maksim Kearifan dan Pujian
MS2 : Maksim Kearifan dan Kesepakatan
MS3 : Maksim Kedermawanan dan Kerendahan Hati
MS4 : Maksim Kedermawanan dan Kesepakatan
TA : Tujuan Asertif
TD : Tujuan Direktif
TK : Tujuan Komisif
TE : Tujuan Ekspresif
FK : Fungsi Kompetitif
FM : Fungsi Menyenangkan
FB : Fungsi Bekerjasama
FT : Fungsi Bertentangan
.... : Tuturan Diperlambat
... ... : Tuturan Tidak Jelas
( ) Sebelah kanan : Keadaan atau Nama Penutur
( ) Sebelah Kiri : Nomor Tuturan
< > Sebelah Kanan : Kode Maksim, Tujuan dan Fungsi
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa memiliki beragam ciri dan fungsi yang disesuaikan dengan
penggunaannya dalam masyarakat. Soeparno (2002: 1) memaparkan bahwa
bahasa adalah suatu sistem tanda ujaran arbitrer (manasuka) yang konvensional
dan bersifat sistemik (terdiri dari subsistem-subsistem) sekaligus sistematik
(memiliki kaidah yang teratur). Empat dimensi sosial yang mempengaruhi
pemakaian bahasa antara lain jarak sosial, status sosial, tingkat keresmian dan
fungsinya (Holmes dalam Sarwiji Suwandi, 2008: 98). Sehingga dapat diketahui
bahwa pemakaian bahasa sangat dipengaruhi faktor sosial penutur dan mitra tutur
saat berkomunikasi.
Kajian tentang bahasa sendiri takkan lengkap tanpa mengkaji percakapan
yang merupakan bentuk penggunaan bahasa paling umum sekaligus begitu
integral dalam pemahamannya. Hal ini membuat penutur secara tidak langsung
melakukan kesepakatan dengan mitra tutur dalam memilih ujaran yang akan
digunakan atau menyamakan praanggapan terlebih dahulu sehingga komunikasi
menjadi lebih efektif meskipun tuturan yang digunakan tidak sesuai dengan
maksud yang ingin disampaikan. Dengan demikian konsep tuturan dalam suatu
komunikasi merupakan tataran yang sederhana, tetapi pembelajaran keterampilan
berbahasa sangat dibutuhkan karena menjadi rumit saat dikaitkan dengan masalah
pragmatik (cara pemakaian bahasa).
Belajar bahasa diawali dengan memahami bahasa, mencoba
menggunakannya, dan mempelajari bahasa saat bahasa tersebut digunakan
(Ahmad Rofi’uddin dan Darmayati, 2001: 143). Konsep belajar ini lebih
menitikberatkan pelaziman perilaku berbahasa dalam proses belajar mengajar bagi
peserta didik sejak tingkat dasar. Dengan kata lain pembelajaran berbahasa lebih
mengarahkan agar peserta didik tidak hanya memahami tentang bahasa tetapi juga
mampu menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sesuai tata krama
berbahasa baik secara lisan maupun tulisan. Namun yang lebih menjadi perhatian
1
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
guru dalam pembelajaran berbahasa adalah seberapa paham peserta didik dengan
maksud yang ingin disampaikan guru melalui bahasa pengantar baik dengan
bahasa pertama (dalam penelitian ini adalah bahasa Jawa) maupun bahasa
Indonesia. Untuk itu, jika peserta didik tidak dapat memahami maksud penjelasan
guru karena materi pelajaran yang baru atau asing bagi peserta didik, maka
interaksi pembelajaran hanya akan berjalan searah yaitu dari guru ke peserta
didik. Hal ini disebabkan kemampuan siswa untuk menyerap penjelasan guru
berbeda-beda. Ada peserta didik yang cepat memahami penjelasan guru, tetapi
ada juga yang lambat. Untuk itu, guru memerlukan strategi mengajar yang lebih
sesuai karakteristik peserta didik agar interaksi pembelajaran berjalan optimal dan
peserta didik benar-benar paham maksud guru.
Selain itu, adanya kesempatan yang diberikan guru terhadap peserta didik
untuk menyampaikan pemikiran juga menjadi hal penting dalam pembelajaran
berbahasa. Sehingga, guru tidak terlalu memegang kontrol serta “power” atas
peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini dapat diidentifikasikan dari
seberapa dominasinya penyampaian pemikiran yang berasal dari guru
dibandingkan penyampaian pemikiran-pemikiran dari peserta didik saat
pembelajaran sedang berlangsung. Meski tak dapat dipungkiri, peserta didik
sekolah dasar masih membutuhkan lebih banyak kontrol serta pengawasan dalam
bentuk perintah dari gurunya. Hanya saja adakalanya guru memerlukan kontrol
yang lebih halus terhadap perilaku maupun cara berbahasa peserta didik sehingga
peserta didik tidak hanya mampu menyampaikan maksud sesuai pertanyaan atau
stimulus yang diberikan guru, tetapi juga lebih mampu berkreasi dalam berbahasa
untuk bertanya dan mengutarakan hal-hal yang ada dibenaknya tentang topik
pembicaraan.
Guru merupakan sosok yang menjadi panutan di masyarakat, terutama di
sekolah. Segala sesuatu yang dilakukan dan dituturkan guru saat menyampaikan
sesuatu hal akan ditiru oleh peserta didik. Peserta didik mempelajari bahasa orang
lain dengan meniru cara pengungkapan pemikiran yang didengarnya, terutama apa
yang didengar dari gurunya di sekolah. Jalaluddin Rakhmat (2001: 25)
mengungkapkan bahwa belajar adalah peniruan (imitation) dan kemampuan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
meniru respon orang yang sering dilakukan terhadap kegiatan yang dilakukannya
merupakan penyebab utama belajar. Konsep belajar ini juga menggolongkan
ganjaran dan hukuman yang diberikan guru bukanlah faktor penting dalam
belajar, melainkan justru merupakan faktor penting dalam melakukan tindakan
(performance) berbahasa bagi peserta didik. Sehingga guru dituntut untuk lebih
menghargai dengan respon positif terhadap keberanian peserta didik dalam
mengungkapkan perasaan dan mengarahkan tanpa mencela peserta didik. Jika
terjadi penyimpangan interpretasi maksud guru, hal tersebut merupakan hal yang
wajar karena percakapan dalam pembelajaran di kelas melibatkan banyak mitra
tutur dengan berbagai latar pengetahuan. Di saat itulah peran guru dalam respon
hal tersebut dengan bijak untuk menjelaskan tujuan pembicaraan yang ingin
disampaikan justru sangat penting dibanding sekedar menyampaikan materi. Hal
ini karena suasana kelas yang memberikan kebebasan peserta didik
mengungkapkan pikiran/ perasaannya secara terus menerus merupakan hal dasar
dalam memaksimalkan kemahiran berbahasa peserta didik.
Meskipun bahasa Indonesia secara baku belum memiliki kaidah kesantunan
secara pasti, tetapi setidaknya rambu-rambu untuk berkomunikasi secara santun
sudah dapat diidentifikasi dengan memperhatikan prinsip kerjasama dan sopan
santun. Secara singkat, kompetensi inilah yang seharusnya telah dimiliki guru dan
dapat dipraktikkan saat proses pembelajaran bahasa Indonesia yang dalam
masyarakat pedesaan masih dianggap sebagai bahasa kedua setelah bahasa Jawa.
Salah satunya dengan menjelaskan materi dengan bahasa Indonesia yang
informatif, jujur, relevan dan tidak ambigu. Namun pada kenyataan dalam
berkomunikasi guru maupun peserta didik tak jarang sengaja melanggar prinsip
percakapan untuk menyampaikan maksud kepada mitra tutur secara implisit atau
yang sering disebut implikatur percakapan.
Kedua pendapat di atas juga sesuai dengan hasil wawancara dengan kepala
SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo (Munasyiroh, S.
Pd.). Dikemukakannya bahwa kelas V termasuk kelas tinggi sehingga telah
menggunakan bahasa Indonesia yang baik, baku dan mengandung unsur sopan
santun. Setiap guru terutama guru yang mengajar di kelas V juga harus
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
menggunakan unsur kesopanan dalam berbahasa sebagai contoh konkret/ teladan
bagi peserta didik dalam pengaplikasian berbahasa Indonesia yang baik dan benar
sekaligus sopan. Salah satu cara berbahasa yang digunakan guru dalam
pembelajaran kelas V dapat berupa penyampaian maksud secara langsung atau
tidak langsung sesuai kondisi dan tujuan tuturan. Contohnya saat guru ingin
menasehati peserta didik cukup diungkapkan dengan menyindir peserta didik agar
peserta didik tidak merasa tertekan dan juga dapat belajar menjaga perasaan orang
lain yang diajak berbicara.
Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
sekolah sebagai tempat pengajaran bahasa itu berlangsung merupakan wilayah
sosial pemakaian bahasa (societal domain) yang mempunyai corak tersendiri.
Sekolah merupakan masyarakat tutur (speech community) yang berbeda dengan
masyarakat tutur yang lain, lengkap dengan perbedaan penutur (speaker) dan
perbendaharaan tuturnya (speech reportoire). Corak khas ini sangat terlihat di
sekolah pedesaan, khususnya sekolah di kecamatan Nguter yang pada umumnya
merupakan masyarakat bilingual dengan menggunakan lebih dari satu bahasa
(bahasa Jawa dan bahasa Indonesia). Efek yang timbul dalam praktik bilingual ini
adalah terjadinya peristiwa sentuh atau kontak antarbahasa atau antarvariasi
bahasa saat menyampaikan maksud kepada mitra tutur. Dalam peristiwa tersebut
sering terjadi adanya saling pengaruh dan pencampuran antara bahasa tutur yang
satu dengan bahasa tutur yang lainnya. Akibatnya, dimungkinkan penyimpangan
interpretasi maksud yang disampaikan karena perubahan bahasa (resultante) dan
membuat bahasa mitra tutur bersifat purposif, yaitu respon yang menggunakan
bahasa yang dikuasai dan bahasa lingkungan sekaligus saat mengungkapkan
gagasan atau pikirannya secara langsung.
Di samping itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam proses belajar
mengajar di sekolah dasar merupakan ragam bahasa lisan yang mempunyai
maksud tergantung konteks tuturan sehingga dapat melahirkan persepsi yang
berbeda-beda. Dalam kaitannya dengan komunikasi di kelas, peserta didik harus
mampu menangkap maksud dari guru atau sebaliknya, sehingga tidak terjadi
“salah persepsi”. Hal ini berarti yang terpenting dalam komunikasi tidak hanya
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
bentuk-bentuk bahasa (lokusi), tetapi juga apa yang “terselubung” dalam satu
tindak bahasa yaitu apa yang ingin disampaikan oleh seorang penutur kepada
mitra tuturnya. Pengetahuan pragmatik dalam arti praktis (komunikatif) saat
pembelajaran menjadi hal yang penting dalam pembelajaran berbahasa bahkan
sejak tingkat sekolah dasar. Sehingga pengetahuan praktis ini patut diterapkan
oleh guru untuk membekali peserta didik dengan keterampilan berbahasa menurut
situasi tertentu disamping teori bahasa sebagai landasan.
Selain itu, penginterpretasian pesan tambahan dari tindak bahasa
(berimplikatur percakapan) tersebut tentu saja memerlukan beberapa prinsip
kerjasama dan sopan santun yang harus dipahami penutur dan mitra tutur. Hanya
saja penerapan prinsip-prinsip percakapan ini menjadi lebih sulit jika bahasa yang
digunakan merupakan bahasa kedua yaitu bahasa Indonesia yang pada dasarnya
juga masih dipelajari penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari peserta didik.
Sifat pembelajaran bahasa kedua (bahasa Indonesia) tentunya akan berbeda
dengan sifat pembelajaran bahasa pertama karena sangat dipengaruhi lingkungan
dan fungsi pemakaian bahasa tersebut bagi masyarakat tempat peserta didik
bertempat tinggal (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 279).
Dalam proses belajar mengajar di sekolah dasar, bahasa Indonesia
merupakan bahasa pengantar yang seharusnya digunakan oleh guru untuk
menyampaikan materi, tugas atau memberi reaksi terhadap kontribusi yang
dilakukan oleh siswa, meskipun bahasa sehari-hari yang digunakan oleh siswa dan
guru adalah bahasa Jawa. Tindakan yang dilakukan guru tersebut sebenarnya
memiliki tujuan untuk membiasakan peserta didik menggunakan bahasa Indonesia
saat berada di dalam lingkup sekolah. Selain itu, tindakan tersebut dapat
digunakan untuk mendukung kelancaran belajar peserta didik di tingkat satuan
pendidikan yang lebih tinggi.
Namun pada kenyataannya, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar yang seharusnya menjadi jembatan komunikasi guru dengan peserta
didik untuk mempelajari suatu materi ajar justru dapat menjadi momok tuturan
yang dianggap menyakiti salah satu pihak tutur karena perbedaan latar belakang
pengetahuan. Hal ini juga dapat terjadi pada proses belajar mengajar mata
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar yang tidak terlepas dari penggunaan
bahasa pertama (dalam penelitian ini adalah bahasa Jawa) sebagai bahasa
pengantar. Oleh karena itu, tidak jarang guru menggunakan implikatur percakapan
yang berwujud bahasa pertama (bahasa Jawa) saat peserta didik dinilai belum
dapat memahami kosakata tertentu dalam bahasa Indonesia.
Tentu saja hal ini akan mempengaruhi kebiasaan penggunaan bahasa
Indonesia dalam proses pembelajaran khususnya mata pelajaran bahasa Indonesia.
Apalagi jika seorang guru lebih menekankan prinsip kesopanan dalam setiap
tuturan yang diucapkan untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa Indonesia
yaitu berbahasa yang baik dan benar sekaligus sopan. Dengan kata lain,
penggunaan bahasa pengantar dalam pembelajaran bahasa Indonesia akan
menimbulkan keragaman wujud tutur, fungsi dan tujuan serta alasan pemakaian
tuturan berimplikatur percakapan tersebut.
Secara konkret hal ini dapat terlihat percakapan pada kelas V SD Negeri
Pondok 1 tepatnya terletak di Dukuh Bodeyan Desa Pondok Kecamatan Nguter
Kabupaten Sukoharjo yang sebagian besar masyarakatnya masih menggunakan
bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar di kehidupan sehari-hari. Namun berdasar
hasil survey awal (prapenelitian), peneliti menemukan ujaran yang berimplikatur
percakapan bahasa Indonesia saat pembelajaran berbahasa Indonesia di kelas V
yaitu saat guru menyampaikan maksud untuk menegur peserta didik yang
dianggap bekerja sama dengan peserta didik lain saat mengerjakan tugas individu
yang diberikan guru dengan tuturan “Kamu sudah selesai?”. Tuturan tersebut jika
diutarakan secara lugas yaitu “Kalau kamu sudah selesai, jangan mengganggu
teman yang sedang mengerjakan!”. Tetapi guru tidak menggunakan
menyampaikan maksud tersebut secara eksplisit karena dianggap terlalu keras dan
membuat kondisi kelas menjadi kurang kondusif karena peserta didik merasa
takut saat guru sedang marah. Jika peserta didik tersebut tidak mengerti maksud
ujaran guru maka tidak akan tercipta kerjasama yang terlihat dari respons peserta
didik terhadap ujaran tersebut, tetapi karena dia mengetahui maksud ujaran guru
maka dia langsung merespons dengan respons nonverbal yaitu dengan
memperbaiki sikap duduk. Pengungkapan maksud secara implisit ini dilakukan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
guru karena mengingat situasi saat itu memerlukan konsentrasi yang tinggi maka
peserta didik tidak boleh merasa tersinggung dan takut dengan teguran guru tetapi
tetap mengerti bahwa yang dilakukannya dapat mengganggu konsentrasi teman
lain. Dengan demikian, tuturan dengan bahasa sopan menjadi pilihan guru dalam
proses pembelajaran melalui penyampaian tuturan dengan wujud lain, tetapi tidak
mengubah maksud yang ingin disampaikan.
Alasan lain peneliti memilih pembelajaran di SD Pondok I Kecamatan
Nguter Kabupaten Sukoharjo sebagai objek penelitan karena SD ini terletak jauh
dari pusat kota dengan masyarakat sekitar sekolah yang lebih mementingkan
undha usuk dalam bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari dibandingkan
menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan bahasa pengantar pembelajaran dalam
SD ini juga menggunakan bahasa campuran yaitu bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa sebagai penyesuaian penggunaan bahasa guru dengan peserta didik yang
masih menggunakan bahasa Jawa dalam interaksi sehari-hari. Materi
pembelajaran akan mudah dimengerti jika disampaikan dengan bahasa yang
mudah dimengerti peserta didik. Selain itu, hal ini dilakukan agar komunikasi
dalam pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar. Namun di sisi lain,
penggunaan kedua bahasa tersebut saat menyampaikan maksud secara
tersembunyi juga akan mempengaruhi kebiasaan berbahasa yang diterapkan
antara guru dan peserta didik karena cara berbahasa guru merupakan contoh bagi
peserta didik. Kebiasaan tersebut akan terlihat pada wujud implikatur percakapan
yang digunakan untuk mencapai tujuan dan fungsi tertentu.
Kelas V SD termasuk kelas tinggi yang memungkinkan interaksi
pembelajaran dengan respons yang lebih beragam dari setiap peserta didik saat
mengungkapkan pendapat terhadap stimulus berimplikatur percakapan yang
diberikan guru baik dengan bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Hal ini secara
tidak langsung juga akan menimbulkan pola tuturan yang lebih beragam
dibanding kelas dibawahnya (kelas I sampai kelas IV) yang dimungkinkan terjadi
pelanggaran maksim baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa dan
berdampak pada cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan kata lain,
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
jika alasan penggunaan berbeda maka akan berbeda pula wujud tuturan
berimplikatur.
Wujud, fungsi, tujuan, dan alasan penggunaan implikatur percakapan dapat
menjadi masalah bertutur yang cenderung menimbulkan salah maksud bagi mitra
tutur, dan bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi konflik antara penutur
dengan mitra tutur. Padahal suatu bahasa pengantar pembelajaran seharusnya
dapat memudahkan peserta didik memahami maksud guru maupun antarpeserta
didik, tetapi dalam hal ini justru dapat menjadi hambatan belajar bagi peserta
didik jika implikatur percakapan yang digunakan (metode pembelajaran guru)
justru tidak dimengerti peserta didik. Jika ketidakmengertian ini berlangsung terus
menerus akan membuat prestasi belajar menurun dan mempengaruhi cara
berbicara peserta didik menjadi sulit dipahami orang lain hanya untuk memenuhi
maksim tertentu yang dianggap dapat menunjang sopan santun dalam
berkomunikasi.
Berdasarkan pada pemaparan tersebut, peneliti terdorong untuk melakukan
penelitian yang berkaitan penggunaan implikatur percakapan guru dan peserta
didik dengan judul “Implikatur Percakapan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo”.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang muncul berkaitan dengan uraian latar belakang masalah di atas
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah wujud tutur implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa
Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten
Sukoharjo?
2. Bagaimanakah fungsi dan tujuan implikatur percakapan dalam pembelajaran
bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter
Kabupaten Sukoharjo?
3. Bagaimanakah alasan penggunaan implikatur percakapan yang terjadi dalam
pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan
Nguter Kabupaten Sukoharjo?
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan wujud tutur bentuk implikatur percakapan
dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1
Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan fungsi dan tujuan implikatur percakapan
dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri Pondok 1
Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.
3. Mendeskripsikan dan menjelaskan alasan penggunaan implikatur percakapan
yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD Negeri
Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfat yang hendak dicapai penulis adalah:
1. Manfaat teoretis:
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah penelitian dalam kajian
pragmatik, khususnya penelitian tentang penggunaan implikatur percakapan
dalam pembelajaran berbahasa Indonesia.
2. Manfaat praktis:
a. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini memberikan masukan untuk meningkatkan
keterampilan mengajar guru bahasa Indonesia yang tentunya berpengaruh
terhadap kualitas keprofesionalan guru dan peserta didik dalam
pembelajaran.
b. Bagi guru
Masukan cara menyampaikan materi dan stimulus terutama dalam
pembelajaran bahasa Indonesia agar lebih bijak dalam melibatkan
pemakaian bahasa yang baik, benar, dan sopan bagi peserta didik.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
c. Bagi peserta didik
Petunjuk dalam memahami ujaran berimplikatur percakapan yang terjadi
dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik mengerti dan juga dapat
memberikan respons dengan bahasa yang baik, benar, dan sopan.
d. Bagi peneliti yang lain
Hasil penelitian ini memberikan pertimbangan objek penelitian yang
masih perlu dikembangkan terutama dalam hal wujud, fungsi, tujuan, dan
alasan penggunaan implikatur percakapan pada situasi konkret lain agar
lebih bermanfaat bagi pengguna bahasa.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Hakikat Implikatur Percakapan
Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat penyampaian maksud baik
berupa tuturan yang bersifat performatif maupun konstantif. Bentuk bahasa (B)
adalah hasil dari pertimbangan dan penghubung situasi (S), konteks (K) , dan
maksud (M) atau sering dirumuskan dengan M+S/K=B saat berkomunikasi (P. W.
J. Nababan, 1987: 8). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui pada
dasarnya semua tuturan bersifat performatif yang berarti dua hal terjadi secara
bersamaan ketika orang mengucapkannya. Yang pertama adalah tindak (action),
dan kedua berupa ucapan yang dapat digolongkan kepada tiga kategori, yaitu
lokusi adalah makna dasar dan makna referensi (makna yang diacu) oleh ujaran
itu; ilokusi adalah kekuatan yang ditimbulkan oleh penggunaan ujaran itu sebagai
perintah, ujian, ejekan, keluhan, janji, dan sebagainya; serta yang terakhir
perlokusi adalah hasil atau efek dari ujaran itu terhadap pendengar (mitra tutur),
baik yang nyata maupun yang diharapkan. Secara singkat ilokusi yang tidak
dikatakan penutur kepada mitra tutur dan mempunyai kemungkinan lebih dari satu
penafsiran disebut implikatur. Dengan kata lain, partisipan yang terlibat langsung
dalam peristiwa tutur terkadang sengaja tidak memiliki kerja sama yang baik saat
menyampaikan beberapa maksud tersembunyi. Meskipun demikian, implikatur
merupakan sebuah proposisi yang sudah diarahkan dari tuturan yang sebenarnya
telah dituturkan penutur. Untuk itu, perlu pemahaman tentang konsep implikatur,
implikatur percakapan, ilokusi, penafsiran dan kendala pemakaian implikatur
percakapan sebelum membahas penelitian.
a. Pengertian Implikatur
Orientasi pengkajian pragmatik terfokus pada suatu komunikasi praktis yang
dipengaruhi berbagai faktor diluar bahasa. Faktor inilah yang turut memberi
11
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
makna dalam proses komunikasi. Cruse dalam Louise Cummings (2007: 2)
menjelaskan:
Pragmatik adalah suatu kajian yang berurusan dengan aspek informasi (dalam pengertian yang paling luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut (sesuai penekanan ditambahkan).
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh George Yule (2006: 3-4) tentang
empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2)
bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi
kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan
atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk
ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam
percakapan tertentu.
Pragmatik juga digunakan untuk mengkaji cara suatu hal yang disampaikan
lebih banyak dimengerti mitra tutur dibandingkan hal yang dituturkan penutur
sekaligus mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi
partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Batasan tersebut sering disebut
faktor-faktor penentu tindak komunikatif yang penyesuaian bentuk (bahasa) atau
ragam bahasa dalam kemampuan menggunakan bahasa saat berkomunikasi.
Faktor-faktor tersebut yaitu siapa yang berbahasa, dengan siapa, untuk tujuan apa,
dalam situasi apa, dalam konteks apa, jalur yang mana, media apa dan dalam
peristiwa apa. Dengan kata lain pragmatik adalah kajian tentang kemampuan
pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai
bagi kalimat-kalimat tersebut
Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa implikasi pragmatik
dalam tuturan merupakan satuan pragmatik yang tersirat atau terimplikasi bentuk
lingual oleh penutur dalam situasi tutur. Jika dalam suatu komunikasi, salah satu
tidak paham dengan arah pembicaraan (komunikasi) tersebut, maka seringkali
ditanyakan, “Sebenarnya, apa implikasi ucapan Anda tadi?”. Bahkan terkadang
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
kebenaran atau keruntutan sintaksis bukanlah hal terpenting dalam tuturan karena
sering dijumpai suatu komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk
yang tidak apik secara sintaksis atau semantik.
Suatu analisis percakapan atau tuturan lebih mementingkan dimensi sosial
sehingga penjelasan makna yang tidak alamiah dalam berkomunikasi tidak cukup
hanya bermaksud menyebabkan efek tertentu pada mitra tuturnya, melainkan efek
ini hanya dapat dicapai jika mitra tutur tersebut mengetahui maksud untuk
menghasilkan efek ini sesuai konteks penutur dan mitra tutur (Geoffrey Leech,
1993: 5). Suatu dialog yang mengandung implikatur akan suatu melibatkan
penafsinaran yang tidak langsung. Dalam komunikasi verbal, implikatur biasanya
sudah diketahui oleh para penutur dan tidak perlu diungkapkan secara eksplisit.
Dengan berbagai alasan, implikatur justru sering disembunyikan agar hal yang
diimplikasikan tidak nampak terlalu mencolok.
Secara singkat paparan di atas ingin menanggulangi persoalan makna yang
belum bisa terpecahkan dengan teori semantik biasa yaitu “apa yang diucapkan”
terkadang berbeda dengan “apa yang diimplikasikan”. Meskipun demikian,
pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik masih mempunyai kaitan
dengan semantik. Keterkaitan ini sering disebut semantisisme, yaitu melihat
pragmatik sebagai bagian dari semantik; atau sebaliknya dengan sebutan
pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan
komplementarisme yaitu melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang
yang saling melengkapi. Oleh karena itu, pragmatik sering disebut bidang yang
mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction) dan dibedakan menjadi
dua hal yaitu:
1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, ini dapat dibedakan menjadi
dua yaitu pragmatik sebagai bidang kajian linguistik dan pragmatik
sebagai salah satu segi di dalam bahasa;
2) pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar.
Berpijak pada beberapa hal di atas, pragmatik pada hakikatnya lebih mengarah
pada perwujudan kemampuan pemakai bahasa untuk menggunakan bahasanya
sesuai dengan faktor-faktor penentu dalam tindak komunikatif dan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
memperhatikan prinsip penggunaan bahasa secara tepat. Penafsiran bahasa tuturan
melalui pragmatik juga akan menjadi lebih mendalam untuk mengetahui maksud,
asumsi dan tujuan pembicaraan dengan berdasar hal-hal yang penutur perlihatkan
(konteks) saat tuturan tersebut diujarkan. Untuk itulah, terkadang semua konsep
tuturan tersebut cenderung tidak konsisten dan objektif saat dianalisis karena
berbeda konteks maka dimungkinkan berbeda pula maksud ujaran meskipun
tuturan yang diujarkan sama.
Teori ini pulalah yang kemudian melahirkan implikatur dalam subkajian
pragmatik sebagai penganalisis makna terselubung dari suatu tuturan yang
disampaikan penutur baik secara lisan maupun tulisan. Dan penginterpretasian
dalam suatu percakapan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi
antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan
linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran. I Dewa Putu
Wijaya dan Muhammad Rohmadi (2009: 37) mengungkapkan bahwa implikatur
bukan merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, hubungan antar
preposisi tersebut bukan merupakan konsekuensi mutlak. Dengan kata lain,
implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati penutur yang
tersembunyi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa implikatur merupakan
bagian dari pragmatik yang menelaah maksud penutur yang lebih banyak dari
pada apa yang dituturkan oleh penutur (implicature) dan memahami manipulasi
bahasa untuk kesopanan (politeness).
b. Kaidah Penggunaan Implikatur Percakapan
Grice dalam Muhammad Rohmadi (2004: 55) membedakan implikatur
menjadi dua jenis yaitu implikatur konvensional dan nonkonvensional. Implikatur
konvensional yaitu makna ujaran yang secara umum diterima oleh masyarakat dan
biasanya disebut juga dengan prinsip kerja sama yang dalam praktiknya
berpegang pada empat maksim. Makna tuturan berimplikatur konvensional dapat
dimengerti dengan jelas karena makna tuturan sama persis dengan makna unsur-
unsur tuturan tersebut karena pemahaman suatu tuturan hanya berdasarkan unsur-
unsur yang membentuk tuturan itu sendiri. Contohnya tampak pada “Muhammad
Ali adalah petarung yang indah”. Kata “petarung” pada kalimat ini berarti ‘atlit
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
tinju’. Pemaknaan ini dipastikan benar karena secara umum (konvensional), orang
yang sudah mengetahui bahwa Mohammad Ali adalah atlit tinju yang legendaris.
Jadi, dalam konteks wacana tersebut, orang tidak akan memahami “petarung”
dengan pengertian yang lain. Implikatur konvensional adalah implikatur yang
bersifat umum dan konvensional sehingga semua orang sudah mengetahui
maksud atau pengertian mengenai suatu hal tertentu berdasarkan konvensi yang
telah ada. Selain itu, implikatur konvesional bersifat nontemporer yaitu makna
atau pengertian tentang sesuatu bersifat lebih tahan lama. Suatu leksem yang
terdapat dalam suatu bentuk ujaran dapat dikenali implikasinya karena maknanya
“yang tahan lama” dan sudah diketahui secara umum seperti kata hubung “tetapi”,
dan “bahkan” yang cara penginterpretasiannya pastilah sesuatu yang tidak sesuai
harapan penutur. Sehingga, jenis implikatur ini tidak banyak dikaji dan
dikembangkan oleh para peneliti wacana, karena dianggap kurang menarik.
Implikatur nonkonvensional (implikatur percakapan) lebih menekankan
pada ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya.
Implikatur percakapan memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi
karena pemahaman terhadap hal “yang dimaksudkan” sangat bergantung kepada
konteks terjadinya percakapan. Implikatur percakapan hanya muncul dalam suatu
tindak percakapan (speech act). Oleh karena itu, implikatur percakapan tersebut
bersifat temporer (terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan), dan
nonkonvesional (sesuatu yang di implikasikan tidak mempunyai relasi langsung
dengan tuturan yang diucapkan). Dengan kata lain, ketika seseorang berbicara,
sesuatu yang dikatakan atau yang dituliskan tidak selalu sama dengan yang
dimaksudkan karena disesuaikan konteks. Bahkan dapat dimungkinkan sebuah
tuturan memiliki lebih dari satu implikatur karena semua penafsiran implikatur
tergantung pada konteks saat tuturan tersebut diujarkan.
Selain itu, implikatur percakapan bukan merupakan bagian dari tuturan
karena lebih mengacu kepada jenis “kesepakatan bersama” antara penutur dan
mitra tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman, bahwa yang dibicarakan harus
saling berhubungan. Kunjana Rahardi (2008: 17) menyatakan bahwa konteks pada
hakikatnya adalah latar belakang pengetahuan yang dapat dipahami penutur dan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
mitra tutur sehingga hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada
masing-masing ujaran. Artinya, maksud keterkaitan itu tidak diungkapkan secara
harafiah pada ujaran itu, melainkan berdasarkan kebiasaan atau pengetahuan yang
sudah saling dipahami antar kedua belah pihak. Perhatikan bentuk-bentuk
percakapan dibawah ini.
Guru : Santi, papan tulis ini penuh coretan. Santi : Sebentar Bu, penghapusnya dimana?
Percakapan antara guru dengan Santi pada contoh tersebut mengandung
implikatur percakapan yang bermaksud perintah menghapus coretan di papan
tulis. Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan
yang diucapkan guru hanyalah pemberitahuan bahwa papan tulis ini penuh
coretan. Namun karena Santi dapat memahami implikatur percakapan yang
disampaikan guru, ia menjawab dan kesiapan untuk melaksanakan perintah guru
tersebut meskipun dia justru kebingungan mencari penghapus untuk menghapus
papan tulis. Hal ini dapat diketahui dari respon Santi dengan ujaran ”Sebentar Bu,
penghapusnya dimana?”. Jadi, implikatur percakapan itu dapat dikatakan sejenis
maksud yang terkandung dalam cakapan yang dipahami oleh masing-masing
partisipan.
Dalam implikatur maupun implikatur percakapan dapat saja bermuatan
implikasi pragmatik atau implikasi sosiokultural artinya bahwa dalam satu tuturan
dalam percakapan bisa saja memiliki kedua implikasi pragmatik dan implikasi
sosiokultural. Seperti dalam pengungkapan bahasa tidak dapat dilepaskan dari
konteks sosiokultural pemakaian bahasa itu sendiri sehingga dapat dikatakan
bahwa implikatur konversasional (percakapan) merupakan salah satu gagasan
terpenting dalam pragmatik. Paul Ohoiwutun (2007: 91) menyimpulkan bahwa
sesingkat apapun suatu percakapan, jika terdapat satu mekanisme pemahaman
yang lain di luar makna harafiah maka maksud penutur dalam implikatur tersebut
dapat dimengerti. Hal ini karena wujud implikatur percakapan adalah sejumlah
wujud tuturan yang realisasinya berdasarkan makna diluar bentuk linguistik atau
situasi tutur baik berupa penutur, mitra tutur, konteks, waktu maupun tempat
ujaran atau yang sering disebut konteks.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Kegunaan konsep implikatur percakapan antara lain:
1) memberi penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak
terjangkau oleh teori-teori linguistik struktural
2) memberi penjelasan yang tegas dan eksplisif tentang bagaimana kemungkinan
pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara
lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud
3) dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antar
klausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur
yang sama
4) dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang secara
lahiriah tidak berkaitan (Stephen C. Levinson, 1983: 97-100).
Berdasarkan kegunaan implikatur percakapan di atas, dapat diketahui adanya
kerja sama yang konstributif antara penutur dan mitra tutur dalam suatu
percakapan. Kerjasama yang dimaksud adalah bahwa antara penutur dan mitra
tutur mengharapkan sumbangan (respon) sesuai yang diperlukan dan tingkat
penerimaan yang sesuai dengan makna yang dapat diterima dan disepakati
sehingga sejumlah implikasi makna tuturan dapat dipahami oleh mitra tutur. Hal
ini dapat dilihat saat guru akan memulai pembelajaran di jam pertama.
Guru : Ketua kelas, silahkan. Peserta didik : Siap gerak! Berdoa dimulai!
Dengan memperhatikan kebiasaan guru yang selalu bertutur ”Ketua kelas,
silakan” sebelum memulai pembelajaran jam pertama, salah satu peserta didik
selaku ketua kelas langsung dapat memahami makna tuturan tersebut yaitu
sebagai perintah agar dia memimpin berdoa sebelum kegiatan pembelajaran
dimulai. Sehingga implikatur percakapan akan dengan mudah dipahami oleh
penutur dan mitra tutur jika keduanya telah berbagi pengalaman dan
pengetahuannya atau mengetahui kebiasaan mitra bicara.
Implikatur percakapan mempunyai sifat dapat diperhitungkan, ditangguhkan,
dibatalkan dan ditegaskan kembali (George Yule, 2006: 78). Selain itu, Louise
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Cummings (2007: 20-24) juga memperjelas bahwa ada lima ciri implikatur
konversasional (percakapan) yaitu:
1) daya batal (cancellable) dalam keadaan tertentu implikatur percakapan dapat
dibatalkan oleh perubahan konteks, baik dengan cara eksplisit atau pun dengan
cara kontekstual.
A: Apakah kamu dapat belajar kelompok di rumahku malam ini? B: Kedua orang tuaku akan pergi ke rumah nenek malam ini. Tetapi aku akan kabari nanti. (ujaran yang membatalkan ujaran diatas)
2) ketidakterpisahan (nondetachable) dengan cara mengatakan sesuatu itu
sehingga orang memakai tuturan bermuatan implikatur percakapan untuk
menyampaikannya sehingga sulit dipisahkan hanya dengan mengubah bentuk
linguistik ujaran tersebut.
Konteks: Diucapkan didepan seorang anak yang suka berbuat gaduh di kelas
A: Betapa pendiam anak ini! (sebenarnya ujaran menyindir)
3) implikatur percakapan mempersyaratkan penegtahuan makna konvensional
dari kalimat yang dipakai terlebih dahulu, sehinggas isi implikatur percakapan
tidak masuk dalam makna konvensional tuturan tersebut (nonconventional).
A: Pukul berapa sekarang? B: Upacara pengibaran Bendera Merah Putih akan segera selesai. (Upacara
pengibaran Bendera Merah Putih biasanya selesai pukul 07.30, jadi saat itu masih pukul 07.30 kurang)
4) kebenaran isi implikatur percakapan tidak tergantung pada apa yang dikatakan
(calculable/ daya nalar atau hitung).
Konteks: Diucapkan didepan seorang anak yang suka mengganggu temannya
A: ”Betapa menyenangkannya anak ini! Sehingga dia mempunyai banyak teman.” (sebenarnya sedikit yang mau berteman dengannya)
5) implikatur percakapan tidak dapat diberi penjelasan spesifik yang pasti sifatnya
(indeterminate). Sehingga dengan keberadaan ini implikatur percakapan dalam
suatu percakapan secara fungsional dapat diterangkan melalui keterbatasan
pemahaman bahasa secara struktural.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
A: Di mana kamu berasal? B: Di suatu tempat di Sulawesi Tengah. (si B berusaha menyembunyikan
identitasnya karena sesuatu hal yang tidak pasti)
Dengan demikian, setiap penjelasan tentang makna suatu tuturan harus sesuai
fakta yang diamati dan sesederhana atau serampat mungkin sehingga tidak
menimbulkan salah tafsir. Implikatur percakapan dapat memberikan penjelasan
secara fungsional mengenai sejumlah fakta kebahasaan yang berkaitan dengan
konteks tuturan yang mengikatnya, ditambah prinsip-prinsip bertutur seperti
Prinsip Kerjasama (PK) dan Prinsip Sopan Santun (PS).
Prinsip kerja sama menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan
bentuk yang lugas, jelas, isinya benar, dan relevan dengan konteksnya. Prinsip
kesopanan menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan sopan, yaitu
bijaksana, mudah diterima, murah hati, rendah hati, cocok, dan simpatik. Bahkan
implikatur percakapan mampu menghadirkan sejumlah makna tuturan selain yang
terungkap secara lingual (berwujud tanda/lambang) atau secara struktural. Untuk
itu, meskipun membahas ujaran menggunakan pendekatan pragmatik, tetapi
memerlukan sudut pandang semantik sebagai penyelaras dengan tetap
menggunakan dua prinsip pragmatik sebagai berikut.
1) Prinsip Kerjasama (PK)
Dalam komunikasi, penutur dan petutur biasanya berusaha untuk saling
bekerja sama, dengan maksud agar tujuan atau pesan ujaran yang mereka
tuturkan dapat dipahami oleh partisipan komunikasi. Grice dalam Sarwiji
Suwandi (2008:7) menyatakan bahwa dalam memahami kaidah percakapan
diperlukan dua pokok kaidah percakapan yaitu prinsip kooperatif (kerjasama)
dan maksim percakapan. Prinsip kerjasama lebih menekankan pada penggunaan
segala ujaran yang sesuai dengan tujuan percakapan yang telah disepakati atau
sesuai arah percakapan yang diiikuti. Prinsip kerja sama seringkali diartikan
sebagai panduan umum yang melingkupi interaksi percakapan. Prinsip kerja
sama membuat kontribusi peserta tutur menjadi tepat dalam sebuah percakapan.
Sedangkan maksim percakapan sebagai realisasi PK terdiri dari 4 maksim
antara lain:
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
a) Maksim Kuantitas
(1) Buatlah sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan.
(2) Jangan membuat sumbangan Anda lebih informatif dari yang diperlukan.
b) Maksim Kualitas
(1) Jangan mengatakan apa yang Anda yakini tidak benar
(2) Jangan mengatakan sesuatu yang Anda tidak/ kurang mempunyai
buktinya.
c) Maksim Hubungan
(1) Bicaralah yang relevan atau berguna
d) Maksim Cara
(1) Hindarilah ungkapan yang membingungkan.
(2) Hindarilah ambiguitas.
(3) Bicaralah secara singkat.
(4) Bicaralah secara khusus. (Diadaptasi dari Grice dalam Geoffrey Leech,
1993: 11)
Secara singkat, seorang penutur harus menyampaikan informasi kepada
orang lain dengan didukung oleh data (prinsip kualitas), sesuai dengan yang
diperlukan, tidak lebih dan tidak kurang (prinsip kuantitas), berkaitan dengan
yang sedang dibicarakan dengan mitra tutur (prinsip relevansi). Dan, yang
terakhir adalah prinsip cara, artinya ketika berkomunikasi dengan orang lain di
samping harus ada masalah yang dibicarakan juga harus memperhatikan cara
menyampaikan. Kadang-kadang ketika seseorang berkomunikasi, sebenarnya
pokok masalah yang dibicarakan bagus dan menarik, tetapi jika cara
menyampaikan justru menyinggung perasaan, terkesan menggurui, kata-kata
yang digunakan terasa kasar, atau cenderung melecehkan,tujuan komunikasi
dapat tidak tercapai.
Salah satu pegangan atau kaidah percakapan ialah mitra tutur menganggap
penutur menaati dasar atau maksim di atas. Jika terdapat tanda-tanda ada
maksim dilanggar, maka mitra tutur harus memutuskan bahwa ada sesuatu
dibalik yang dikatakan penutur. Maka penuturlah yang menyampaikan maksud
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
lewat implikatur percakapan dengan melanggar satu atau lebih maksim PK, dan
mitra tuturlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat inferensi
itu. Keunggulan prinsip ini terletak pada kemampuan maksim-maksim dalam
menunjukkkan pembagian kerja antara arti suatu ujaran dengan daya sekaligus
pembeda antara semantik dengan pragmatik.
Meskipun demikian, prinsip ini juga memiliki kelemahan seperti yang
diungkapkan Louise Cummings (2007: 366) bahwa selain penggunaan PK dapat
membuat proses komunikasi berjalan dengan lancar, tetapi pengunaan maksim-
maksim tersebut terkadang justru menjadi kendala penggunaan pragmatik
sehingga secara sadar penutur memilih melanggar maksim. Selain itu, juga
terdapat beberapa kelemahan dalam prinsip ini yakni belum bisa menjelaskan
alasan penutur tidak mengungkapkan secara langsung maksud ujaran (melanggar
beberapa maksim) atau hubungan antara arti dengan maksud dalam kalimat yang
bukan pernyataan. Senada dengan pendapat diatas, Geoffrey Leech (1993: 12)
juga merinci kendala-kendala penggunaan prinsip kerja sama dalam pragmtik
antara lain:
a) Maksim berlaku secara berbeda dalam konteks penggunaan bahasa yang
berbeda.
b) Maksim berlaku dalam tingkatan yang berbeda sehingga tidak ada maksim
yang berlaku secara mutlak ataupun tidak berlaku samasekali
c) Maksim dapat bermitraan satu dengan yang lain
d) Maksim dapat dilanggar tanpa meniadakan tindakan yang dikendalikannya
2) Prinsip Sopan Santun (PS)
Untuk menjalin hubungan yang “mesra” dan mengatasi kelemahan PK
dalam berkomunikasi perlu dipertimbangkan aspek sopan-santun berbahasa.
Sopan-santun dalam berkomunikasi dapat dipandang sebagai usaha untuk
menghindari konflik antara penutur dan mitra tutur karena lebih bersifat sosial,
estetis dan moral dalam melakukan suatu percakapan. Selain keempat maksim
dalam PK, juga masih diperlukan prinsip sopan santun (PS) yang terjabar dalam
enam maksim, antara lain:
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
a) Maksim Kearifan (tact maxim)
(1) Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin.
(2) Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin
b) Maksim Kedermawanan (generosity maxim)
(1) Buatlah keuntungan sendiri sekecil mungkin.
(2) Buatlah kerugian sendiri sebesar mungkin.
c) Maksim Pujian (approbation maxim)
(1) Kecamlah orang lain sedikit mungkin.
(2) Pujilah orang lain sebanyak mungkin.
d) Maksim Kerendahan Hati (modesty maxim)
(1) Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin.
(2) Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
e) Maksim Kesepakatan (agreement maxim)
(1) Usahakan agar ketidaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi
sedikit mungkin.
(2) Usahakan agar kesepakatan antara diri dan orang lain terjadi sebanyak
mungkin
f) Maksim Simpati (sympathy maxim)
(1) Kurangilah rasa antipati antara diri dan orang lain sebanyak mungkin
(2) Tingkatkan rasa simpati diri terhadap orang lain setinggi mungkin
(Geoffrey Leech, 1993: 206).
Inti dari prinsip sopan santun ini adalah maksim kebijaksanaan
(memberikan keuntungan bagi mitra tutur), maksim kedermawanan
(memaksimalkan kerugian pada diri sendiri), maksim pujian (memaksimalkan
pujian kepada mitra tutur), maksim kerendahan hati (meminimalkan pujian
kepada diri sendiri), maksim kesetujuan (memaksimalkan kesetujuan dengan
mitra tutur), dan maksim simpati (memaksimalkan ungkapan simpati kepada
mitra tutur. Rumusan prinsip kesantunan tersebut dapat dibagi menjadi tiga butir
pokok yaitu berikan pilihan, buat perasaan mitra tutur tetap baik dan jangan
memaksa mitra tutur (Abdul Rani, 2006: 37). Oleh karena itu, demi kesantunan,
penutur harus dapat memperlakukan mitra tutur sebagai berikut:
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
a) jangan perlakukan mitra tutur sebagai orang yang tunduk kepada
penutur. Jangan sampai mitra tutur mengeluarkan “biaya” (biaya sosial,
fisik, psikologis, dsb) atau agar kebebasannya menjadi terbatas;
b) jangan mengatakan hal-hal yang kurang baik mengenai diri mitra
tutur atau orang atau barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur;
c) jangan mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur;
d) jangan menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga
mitra tutur merasa jatuh harga dirinya;
e) jangan memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau
kelebihan diri sendiri.
Prinsip sopan santun dianggap sebagai “piranti” untuk menjelaskan alasan
penutur sering bertutur secara tidak langsung (indirect) dalam mengungkapkan
maksudnya. Motivasi penggunaan tindak tutur tidak langsung dimaksudkan agar
ujaran terdengar lebih santun. Tetapi perlu diketahui bahwa kesopansantunan
ujaran sangat bergantung kepada penafsiran mitra tutur, artinya ujaran yang
dianggap santun oleh penutur belum tentu santun pula bagi mitra tutur. Paul
Ohoiwutun (2007: 93) menjelaskan sifat prinsip kesopanan ada dua yaitu absolut
(umum) dan realatif. Prinsip kesopanan absolut mengacu pada norma kesopanan
yang secara umum diterima masyarakat sehingga cenderung tidak dipealajari
secara khusus.
Prinsip kesopanan relatif dalam berbahasa memberikan pengertian bahwa
norma yang berlaku di suatu tempat tidak menutup kemungkinan berbeda
dengan tempat lain karena dipengaruhi oleh faktor penentu bahasa. Hanya saja
dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan memilih metode komunikasi
yang tepat serta mempertimbangkan skala pragmatik maka secara tidak langsung
membantu dalam pemilihan ujaran yang dianggap sopan mitra tutur. Misalnya
norma bahasa Jawa yang memiliki undha usuk berbahasa dalam penerapan
prinsip kesopanan.
Penilaian derajat kesopanan suatu ujaran memerlukan lima skala
pertimbangan yang disebut “skala pragmatik” (Geoffrey Leech, 1993: 194-199).
Kelima skala pragmatik itu adalah skala biaya-keuntungan (cost and benefit),
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
skala pilihan (optionality), skala ketaklangsungan (indirectness), skala otoritas
(authority), dan skala jarak sosial (social distance) Penerapan skala pragmatik
dalam bahasa Indonesia serta kaitannya dengan derajat kesopansantunan ujaran
dapat diamati pada contoh berikut.
Skala pertama, skala biaya-keuntungan atau skala untung-rugi digunakan
untuk menghitung biaya yang diperlukan dan keuntungan yang diperoleh mitra
tutur untuk melakukan tindakan sebagai akibat dari daya ilokusi tuturan direktif
yang diperintahkan oleh penutur (I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad
Rohmadi, 2009: 43). Agar lebih jelas berikut contoh ujaran-ujaran direktif.
Makin ke bawah ujaran ini dinilai makin santun sebab makin sedikit biaya yang
diperlukan untuk melakukan tindakan tersebut dan makin banyak keuntungan
yang diperoleh oleh mitra tutur.
a) Pergi! b) Buatkan secangkir kopi untukku! c) Makanlah sayur itu!
Biaya bagi Santun mitra tutur kurang Keuntungan Santun Bagi mitra tutur lebih
Dari ketiga tuturan di atas tampak bahwa untuk pergi dan membuatkan
secangkir kopi (tuturan a dan b) diperlukan biaya/ tenaga lebih banyak bagi
mitra tutur dalam melakukan tindakan tersebut, dan sebaliknya sangat sedikit
keuntungan yang diperolehnya sehingga tuturan itu bernilai kurang santun.
Sementara itu, untuk makan sayur (tuturan c) mitra tutur hanya memerlukan
biaya sangat sedikit dengan keuntungan yang sangat besar, sehingga tuturan (c)
dinilai oleh mitra tutur lebih santun daripada tuturan (a dan b).
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Skala kedua, skala keopsionalan digunakan untuk menghitung berapa
banyak pilihan yang diberikan oleh penutur kepada mitra tutur untuk
melaksanakan tindakan (I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi, 2009:
20). Berikut contoh ujaran yang makin banyak jumlah pilihan, makin santun
tindak ujaran tersebut.
a) Nak, tutup pintu itu! b) Lis, silahkan tutup pintu itu! c) Bu, kalau berkenan silahkan tutup pintu itu!
Lebih sedikit Kurang santun pilihan Lebih banyak Lebih santun pilihan
Berdasarkan banyak sedikitnya pilihan, mitra tutur dapat menilai suatu
tuturan kurang santun atau lebih santun. Dengan demikian tuturan (b) dinilai
lebih santun daripada tuturan (a), dan tuturan (c) lebih santun daripada tuturan
(b). Tuturan (a) dinilai paling tidak santun dari semua tuturan yang ada sebab
penutur tidak memberikan pilihan apa pun kepada mitra tutur, kecuali hanya
‘menyuruh agar mitra tutur menutup pintu itu’. Sebaliknya, tuturan (c) dinilai
paling santun sebab penutur memberikan pilihan kepada mitra tutur untuk
‘menutup pintu itu’, yaitu bila mitra tutur berkenan (tidak keberatan). Jadi,
dalam hal ini derajat kesopansantunan tuturan direktif tersebut ditentukan oleh
skala pragmatik keopsionalannya.
Skala ketiga, yaitu skala ketaklangsungan tuturan, yakni seberapa panjang
jarak yang “ditempuh” oleh daya ujaran itu untuk sampai pada tujuan ujaran
(Kunjana Rahardi, 2008: 122). Dalam hal ini, semakin langsung tuturan itu maka
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
dipandang semakin kurang santun, dan sebaliknya, semakin tidak langsung
tuturan itu semakin santun. Inilah contoh-contoh ujaran tersebut.
a) Bersihkan dulu meja itu! b) Ruangan ini akan digunakan untuk pertemuan, bersihkan dulu meja itu!
Lebih Kurang langsung santun Lebih tak Lebih langsung santun
Di sini, tuturan (a) adalah tuturan yang bermodus paling langsung dan,
karena itu, dianggap paling kurang santun menurut mitra tutur. Sebaliknya,
tuturan-tuturan yang lain, (b) lebih tidak langsung akan terasa lebih santun.
Skala yang keempat yaitu skala otoritas yang menunjuk hubungan status
sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dapat percakapan (P. W. J.
Nababan, 1987: 14). Sehingga semakin jauh jarak peringkat sosial antara
penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin
santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara
keduanya, tuturan kesantunan yang digunakan cenderung akan berkurang.
a) Nggak ngerti b) Aku tak mengerti maksudmu c) Maaf, saya tidak mengerti maksud Bapak
Lebih Kurang
rendah santun
Lebih Lebih tinggi santun
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Di sini, tuturan (a) adalah tuturan seorang kakaj kepada adiknya, tuturan
(b) adalah tuturan seorang bapak kepada adik iparnya, dan tuturan (c) adalah
tuturan mahasiswa kepada dosennya. Perbedaan jarak peringkat sosial ini
membuat tuturan yang digunakan juga berbeda tingkatan kesantunannya.
Tuturan (a) cenderung kurang santun karena mitra tutur memiliki peringkat
sosial yang lebih rendah dari penutur. Sebaliknya, tuturan lain (b dan c) lebih
santun karena mitra tutur dianggap sama atau lebih tinggi dibanding penutur.
Dan skala yang terakhir yaitu skala jarak sosial yang menunjuk pada
tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur (Kunjana
Rahardi, 2008: 128). Sehingga semakin akrab antara keduanya, tuturan yang
digunakan semakin kurang santun. Sebaliknya, semakin jauh tingkat keakraban
antara penutur dengan mitra tutur maka semakin santunlah tuturan yang
digunakan.
a) Silahkan dimakan! b) Mari makan! c) Yuk, makan!
Kurang Lebih akrab santun Lebih Kurang akrab santun
Dilihat dari ketiga tuturan di atas, dapat diketahui bahwa tuturan (a)
meskipun penutur mempunyai tingkat sosial yang lebih tinggi, tetapi karena
kurang akrab maka tuturan yang digunakan cenderung lebih sopan. Tuturan (b
dan c) cenderung kurang santun karena penutur dan mitra utur memiliki tingkat
keakraban tinggi meskipun peringkat sosial penutur lebih rendah. Sedangkan
pada tuturan (d) lebih kurang sopan karena selain tingkat sosial antara penutur
dan mitra tutur sama, tingkat kedekatan keduanya juga sangat akrab.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Sedikit berbeda dengan paparan di atas, George Yule (2006: 104)
menyebutkan bahwa dalam berinteraksi dengan menggunakan bahasa terdapat
kesantunan berbahasa yang memiliki batasan kesantunan itu sendiri sebagai
upaya sadar seseorang dalam menjaga keperluan wajah orang lain. Istilah
kesantunan sering disebut “wajah”, dalam hubungan sebagai citra diri seseorang
dalam masyarakat. Aspek wajah terdiri atas wajah positif dan wajah negatif.
Wajah positif mengacu kepada kebutuhan seseorang untuk dapat diterima dan
disukai oleh orang lain dalam kehidupan sosial; sedangkan wajah negatif
merupakan hak seseorang untuk dapat bertindak secara independen dan tidak
beroleh paksaan dari orang lain.
Dalam hubungan ini, apabila penutur kurang memperhatikan hal yang
menjadi keinginan wajah mitra bicara, misalnya, dengan mengatakan sesuatu
berupa paksaan ataupun ancaman, penutur dipandang telah melakukan suatu
tindakan mengancam wajah (face threatening act). George Yule (2006: 106)
menguraikan bahwa tuturan yang disampaikan mungkin saja oleh orang lain
ditafsirkan sebagai sesuatu ancaman atau paksaan terhadap wajahnya; dan
apabila penutur mengantisipasi dan melakukan suatu upaya untuk mengurangi
yang mungkin dianggap bersifat ancaman itu, upaya demikian disebut tindakan
menjaga wajah (face saving action).
Peristiwa inilah yang sering disebut kesenjangan ketika berinteraksi, yakni
tidak semua prinsip dan norma kesantunan itu terlaksana. Yang perlu
diperhatikan dalam menerapkan prinsip sopan santun untuk menyelamatkan
wajah adalah hal yang menjadi keinginan wajah negatif atau yang merupakan
keinginan wajah positif. Orang yang berwajah negatif tidak mau terikat dan
dibebani; dia cenderung memilih bebas untuk berbuat dan tidak ingin mendapat
tekanan atau paksaan dari orang lain. Orang yang berwajah positif
menginginkan dirinya dapat diterima sebagai bagian integral dari kelompoknya
serta keinginan-keinginannya diperhatikan orang lain. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa wajah negatif itu ialah keinginan pribadi untuk independen.
Wajah positif sebagai keinginan seseorang untuk diterima sebagai anggota
kelompok masyarakat. Dengan demikian, tindak penyelamatan wajah yang
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
orientasinya kepada orang berwajah negatif cenderung dengan penyertaan tanda
hormat, menghargai waktu dan urusannya, dan terkadang malah harus disertai
lebih dahulu dengan pernyataan minta maaf apabila hendak memerintahkan atau
mengganggunya.
Tingkat keakraban sosial dalam masyarakat dipengaruhi dua faktor untuk
menentukan pemunculan tipe kesantunan yaitu pertama kesantunan bertutur
yang dialamatkan kepada petutur dalam rangka menjaga keinginan wajah.
Kedua, kesantunan yang baru akan sangat terasa jika penutur dan mitra tutur
dalam berinteraksi terkendala oleh hubungan sosialnya yang belum cukup serasi
dalam masyarakat (Namsyah Hot Hasibuan, 2005: 92). Dalam hubungan
interaksi sosial, partisipan yang merasa berhadapan dengan kondisi seperti itu
biasanya menghendaki agar citra dirinya dalam masyarakat yang justru menjadi
keinginan wajahnya terjaga dan dihormati. Hal ini karena setiap jenis wajah, di
antara yang positif dan yang negatif, memiliki keinginan yang berbeda untuk
disikapi melalui dua tipe pendekatan yang berbeda pula, yang masing-masing
lazim disebut sebagai kesantunan positif dan kesantunan negatif.
Orientasi kesantunan positif adalah menjaga atau menyelamatkan wajah
positif orang lain. Orang dikatakan memiliki kesantunan positif apabila orang
yang dimaksudkan memiliki siasat bertutur yang menggambarkan adanya rasa
solidaritas dengan pendengarnya. Hal demikian biasanya ditandai dengan
adanya penggunaan tuturan informal; misalnya dengan memunculkan ucapan
yang berciri dialek ataupun bahasa slang, nama panggilan, dan meminta dengan
cara tidak langsung. Selanjutnya, kesantunan negatif merujuk kepada tuturan
yang orientasinya menjaga atau menyelamatkan wajah negatif orang lain. Hal
semacam ini biasa terjadi pada partisipan yang belum mencapai keakraban
dalam interaksi sosial di lingkungan masyarakat. Artinya, masih terdapat jarak
sosial antara penutur dan petutur. Pada kesantunan negatif, orang menggunakan
siasat bertutur yang menekankan adanya hormat dan menghargai petutur atau
pendengarnya. Nama panggilan, bahasa slang, dan tuturan informal yang biasa
digunakan dalam siasat kesantunan positif, tidak digunakan pada siasat
kesantunan negatif.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Contoh batasan ini terlihat dari perbedaan pemakaian bentuk tolong dan
coba bukanlah kendala resmi takresmi atau kendala sintaksis, melainkan karena
kendala makna (pragmatik). Kalimat imperatif dengan bentuk tolong, penutur
menempatkan dirinya lebih rendah daripada mitra tutur. Kalimat imperatif
dengan bentuk coba menempatkan penutur lebih tinggi daripada mitra tutur.
Pada kalimat imperatif dengan silakan, penutur menempatkan dirinya sejajar
dengan mitra tutur.
a) Tolong tunggu di sini. b) Coba tunggu di sini. c) Silakan tunggu di sini.
Pada contoh tuturan (a) tampak penutur menempatkan dirinya lebih rendah
daripada mitra tutur; contoh (b) penutur lebih tinggi daripada mitra tutur, dan
pada contoh (c) penutur sejajar dengan mitra tutur. Pemakaian silakan,
dipandang lebih arif dan sangat sopan daripada pemakaian bentuk tolong dan
coba karena penutur dan mitra tutur berada pada tingkat yang sama, masing-
masing tidak ada yang memandang tinggi atau pun rendah.
Berdasar penjelasan di atas dapat disimpulkan suatu tuturan memiliki
tingkat kesantunan berbeda-beda berdasarkan batasan tertentu. Semua itu pada
hakikatnya dilakukan melalui sikap sadar yang ditunjukkan dalam menjaga
wajah orang lain. Tujuan sikap ini penting bagi mitra tutur yang memiliki jarak
sosial dengan penutur sebagai tindakan menghargai atau hormat pada petutur
atau orang lain; sedangkan sikap yang sama terhadap orang yang dirasa akrab
biasanya dipandang sebagai solidaritas atau sikap bersahabat. Disinilah prinsip
sopan santun penutur yang terlibat dalam interaksi perlu menyadari adanya
prinsip dan norma semacam itu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Prinsip sopan santun sebagaimana dinyatakan oleh Geoffrey Leech
(1993:123) secara umum dapat dirumuskan seperti berikut:
a. Dalam Bentuk Negatif
Kurangilah tuturan-tuturan yang tidak sopan atau gunakanlah sesedikit
mungkin tuturan-tuturan yang mengungkapkan pendapat yang tidak sopan
menjadi sesopan mungkin.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
b. Dalam Bentuk Posiitif
Perbanyak atau gunakanlah sebanyak-banyaknya tuturan-tuturan yang
mengungkapkan pendapat-pendapat yang sopan.
Pendapat senada juga diungkapkan Yeni Mulyani Supriatin (2007:57)
yang mencontohkan hal tersebut berdasarkan tuturan imperatif. Penggunaan
tuturan imperatif menyebabkan petutur tidak mempunyai pilihan lain kecuali
menaati perintah sehingga dipandang merugikan petutur. Sedangkan bentuk
kalimat imperatif yang tidak diawali dengan pemarkah kesantunan apabila satu
sama lain dibandingkan akan menunjukkan kadar kesantunan berbahasa. Hal
itu tergambarkan melalui skala “untung-rugi”, yaitu nilai-nilai yang dianggap
menguntungkan atau merugikan mitra tutur. Perintah yang menguntungkan
mitra tutur dipandang lebih sopan, sedangkan perintah-perintah yang
merugikan mitra tutur dipandang kurang sopan. Penutur merasa yakin bahwa
mitra tutur akan melaksanakan perbuatan yang diperintahkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik dalam bentuk positif
maupun negatif tuturan-tuturan yang sopan selalu berusaha menguntungkan mitra
tutur, sedangkan pendapat atau tuturan yang tidak sopan selalu merugikan mitra
tutur atau pihak ketiga. Pada hakikatnya pelanggaran prinsip kerjasama dan
penggunaan prinsip sopan-santun berbahasa lebih terpusat agar mitra tutur
mengerti maksud tersembunyi penutur. Contohnya, pemakaian bentuk interogatif
dalam tuturan berimplikatur bertujuan perintah merupakan ilokusi tak langsung
yang melanggar prinsip kerja sama dianggap lebih sopan karena tidak
mengandung kata perintah. Dalam prinsip sopan-santun tujuan yang mengandung
perintah harus disampaikan dengan sopan, artinya tidak mengandung kata
perintah. Namun perlu diketahui tidak semua pelanggaran prinsip kerja sama akan
terkesan lebih sopan. Untuk lebih mengongkretkan tuturan-tuturan yang sopan
dan tidak sopan dalam tuturan biasanya dikaitkan tindak-tindak ilokusi dengan
kesantunan berbahasa.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
c. Hakikat Ilokusi
Tuturan konversasional (implikatur percakapan) merupakan tuturan tersirat
yang makna tuturannya hanya dapat dipahami melalui konteks dan kemampuan
untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan tuturan yang dituturkan.
Kekuatan inilah yang sering disebut ilokusi. Tuturan yang mengandung ilokusi
tidak langsung lebih dianggap penting dan terkadang justru disengaja oleh penutur
untuk menyatakan maksudnya. Hal ini sesuai pendapat Mary Kate McGowan,
Shan Shan Tam dan Margaret Hall (2009: 496) yang mengungkapkan, “There is a
sense in which the indirect speech act is more important than the direct one. After
all, in this dining context, the speaker’s primary reason for speaking at all is to
perform the indirect request”.
Berdasarkan pendapat tersebut juga dapat diketahui bahwa ujaran tidak
langsung menjadi suatu hal yang penting dibandingkan ujaran langsung karena
berkaitan dengan tindak ilokusi untuk pencapaian tujuan tuturan. Tujuan yang
dimaksud adalah tujuan penutur terhadap mitra tutur berkaitan dengan
pemeliharaan hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur terutama berkenaan
dengan tujuan direktif, yaitu berkaitan dengan perintah kepada mitra tutur
melakukan sesuatu. Sehingga tujuan personal lazimnya dicapai melalui tujuan-
tujuan sosial dengan tuturan lebih halus. Ilokusi ini berperan menegosiasikan
suatu proposisi (pengacuan. prediksi) di antara penutur dan mitra tutur dalam
komunikasi.
Pragmatis terdapat tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan penutur, yaitu
tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilokutionary act) dan tindak
perlokusi (perlokutionary act) (Searle dalam Muhammad Rohmadi, 2004: 30).
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sehingga tidak
memperhitungkan konteks tuturannya dan tindak ilokusi adalah tindak tutur yang
berfungsi untuk mengatakan sesuatu sekaligus melakukan sesuatu sehingga
mempertimbangkan penutur dan mitra tutur (konteks tuturan). Sedangkan
perlokusi adalah tindak tutur yang mengutarakan maksud untuk mempengaruhi/
memberikan efek pada mitra tutur.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui makna tuturan tindak ilokusi
dilakukan melalui pemahaman konteks yang dipahami berbeda oleh mitra tutur,
sehingga ilokusi sangat terkait dengan tindakan atau reaksi yang dilakukan mitra
tutur dari tindak mengatakan sesuatu yang dituturkan oleh penutur. Tindak ilokusi
dapat digolongkan ke dalam tindak menyatakan sesuatu (of saying) yang berbeda
dengan tindak mengatakan sesuatu (in saying). Hal ini karena, ilokusi merupakan
suatu tindak ujar melahirkan sejumlah makna tuturan yang erat kaitannya dengan
konteks yang mengikat tuturan dalam bertutur (percakapan) dan makna tuturan
dalam percakapan yang sangat ditentukan oleh konteks itu disebut implikatur
percakapan.
Selain itu, terdapat pengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan kaidah
konstitutif (suatu kaidah yang berisi bahwa setiap orang yang menyatakan tindak
tutur merupakan suatu fakta) atau tujuan yang ingin dicapai saat mengekspresikan
maksim-maksim berdasarkan pandangan penutur menjadi 5 jenis, yaitu:
1) ilokusi asertif (assertive), yaitu tuturan yang mengikat penutur pada klaim
kebenaran proposisi (pengacuan/ prediksi) yang diungkapkan. Ilokusi asertif
juga sering disebut representatif. Contoh ilokusi ini misalnya: menyatakan,
mengusulkan, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan, dan
membual. Umumnya ilokusi jenis ini termasuk kategori bekerja sama
sehingga bersifat netral, kecuali membual yang biasanya dianggap tidak
santun. Ilokusi asertif bersifat proporsional, yaitu maknanya berada dalam
proposisi makna tekstual.
2) ilokusi direktif (directive), yaitu tuturan yang bertujuan menghasilkan suatu
efek berupa tindakan yang dikeluarkan oleh mitra tutur. Meskipun ilokusi
direktif menghasilkan efek menggiring mitra tutur untuk melakukan suatu
tindakan, namun tidak semua direktif bermakna kompetitif. Ada sebagian
direktif yang secara intrinsik cukup santun, misalnya mengundang, tetapi ada
pula sebagian direktif yang secara intrinsik kurang santun, misalnya
memerintah. Ilokusi direktif yang mempunyai potensi mengancam wajah atau
yang sering disebut impositif yaitu wujud ilokusi kompetitif yang termasuk
dalam kategori direktif berupa tindakan ilokusi yang dilakukan mitta tutur
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
yang bertujuan menghasilkan suatu efek. Contoh jenis ilokusi ini, misalnya:
memesan, memerintah, mengkritik, memohon, menuntut, dan menasihati.
Ilokusi jenis ini bersifat kompetitif karena itu membutuhkan kesantunan
negatif.
3) ilokusi komisif (commisives), yaitu tuturan yang mengikat penutur dengan
suatu tindakan masa depan. Contoh ilokusi ini misalnya menjanjikan dan
menawarkan. Tingkatan ilokusi ini bervariasi mulai dari tingkatan terlemah
yaitu berniat, berjanji, menjamin hingga bersumpah melakukan sesuatu.
Ilokusi ini cenderung bersifat menyenangkan daripada bersifat kompetitif
karena tidak mengacu pada kepentingan penutur, tetapi pada kepentingan
mitra tutur.
4) ilokusi ekspresif (expressives), yaitu tuturan yang berisi ungkapan sikap
psikologis penutur terhadap situasi yang tersirat dalam ilokusi. Contoh ilokusi
ini, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi
maaf, mengecam, memuji, menuduh, dan mengucapkan bela sungkawa. Sama
halnya dengan komisif, ilokusi ekspresif juga cenderung bersifat
menyenangkan. Berdasarkan sifatnya tersebut, secara intrinsik ilokusi ini
umumnya termasuk santun, kecuali mengecam dan menuduh.
5) ilokusi deklaratif (declarations), yaitu tuturan yang memberi akibat tertentu
secara langsung pada mitra tutur berdasarkan kesesuaian antara isi proposisi
dengan realitas. Termasuk ilokusi ini misalnya pernyataan memecat, memberi
nama, membaptis, mengundurkan diri, menjatuhkan hukuman, dan
mengangkat pegawai. Ilokusi ini biasanya dihubungkan dengan lembaga dan
wewenang atau otoritas yang dimiliki penutur. Oleh karena tidak menyangkut
individu-individu, ilokusi ini hampir sama sekali tidak ada hubungannya
dengan kesantunan (Searle dalam Louise Cummings, 2007: 11).
Bertolak dari penjelasan pada setiap tujuan ilokusi, secara umum dapat
disimpulkan bahwa tempat-tempat utama sopan santun positif berada pada
kategori ilokusi komisif dan kategori ekspresif, sedangkan kesantunan negatif
terletak pada kategori direktif.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Jika didasarkan pada proses interpretasi dan sopan santun dari sudut pandang
petutur (mitra tutur) yang juga dihubungkan dengan fungsi ilokusi, maka Geoffrey
Leech (1993: 161) juga mengungkapkan fungsi ilokusi sebagai berikut:
1) Kompetitif (competitif) adalah penyampaian tujuan ilokusi yang
bersaing dengan tujuan sosial, misalnya memerintah, meminta atau menuntut.
2) Menyenangkan (convivial) adalah penyampaian tujuan ilokusi yang
sejalan dengan tujuan sosial, misalnya menawarkan/ mengajak/ mengundang,
mengucapkan terima kasih, atau mengucapkan selamat.
3) Bekerja sama (collaborative) adalah penyampaian tujuan ilokusi yang tidak
menghiraukan tujuan sosial, misalnya menyatakan, mengumumkan, atau
mengajarkan.
4) Bertentangan (conflictive) adalah penyampaian tujuan ilokusi yang
bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya mengancam, menuduh,
menyumpahi, atau memarahi
Di antara keempat jenis ilokusi ini yang melibatkan sopan santun ialah jenis
pertama (kompetitif) dan jenis kedua (menyenangkan). Pada ilokusi yang
berfungsi kompetitif, sopan santun mempunyai sifat negatif dan tujuannya ialah
mengurangi ketidakharmonisan yang tersirat dalam kompetisi apa yang ingin
dicapai oleh penutur dan apa yang yang dituntut oleh sopan santun. Tujuan dalam
fungsi kompetitif biasanya berupa tujuan yang pada dasarnya tidak bertata krama
(discourteous), misalnya meminta pinjaman uang dengan nada memaksa. Di sini,
tata krama dibedakan dengan sopan santun. Tata krama mengacu kepada tujuan,
sedangkan sopan santun mengacu kepada perilaku linguistik atau perilaku lainnya
untuk mencapai tujuan itu. Oleh karena itu, prinsip sopan santun dibutuhkan
untuk memperlembut sifat tidak sopan yang secara intrinsik terkandung dalam
tujuan itu.
Sebaliknya, jenis fungsi ilokusi yang kedua, yaitu fungsi menyenangkan, pada
dasarnya bertata krama. Pada posisi ini, sopan santun lebih positif bentuknya dan
bertujuan untuk mencari kesempatan beramah tamah. Jadi, dalam sopan santun
yang positif, berarti menaati prinsip sopan santun, misalnya bahwa apabila ada
kesempatan mengucapkan selamat ulang tahun, maka harus dituturkan. Jenis
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
fungsi yang ketiga, yaitu fungsi ilokusi bekerja sama, tidak melibatkan sopan
santun karena pada fungsi ini sopan santun kurang relevan. Sebagian besar
wacana tulisan masuk dalam kategori ini.
Dalam jenis fungsi ilokusi yang keempat, yaitu fungsi bertentangan, unsur
sopan santun tidak ada sama sekali karena fungsi ini bertujuan untuk
menimbulkan kemarahan. Mengecam atau menyumpahi orang misalnya, tidak
mungkin dilakukan dengan sopan, kecuali penutur menggunakan eufemisme
(penghalus) atau ironi sehingga penutur menggantikan komunikasi yang konfliktif
dengan jenis komunikasi lain, khususnya dengan jenis kompetitif. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa dalam situasi yang normal, pengaruh linguistik yang
konfliktif cenderung bersifat marginal dan tidak memegang peranan yang penting.
d. Penafsiran Penggunaan Implikatur Percakapan
Bahasa sebagai sarana komunikasi digunakan dalam fungsi tertentu dan
disajikan dalam konteks yang bermakna, tidak dalam bentuk kalimat lepas.
Dengan kata lain, pengkajian bahasa yang didasarkan pada alasan penggunaan
bahasa bukan hanya struktural semata. Untuk memudahkan hal tersebut, Dwi
Purnanto (2003: 95) menyimpulkan bahwa orientasi penelitian bahasa yang
menekankan pada tujuh butir yaitu:
1) Struktur atau sistem tutur (la parole)
2) Fungsi daripada struktur
3) Bahasa sebagai tatanan yang banyak mengandung fungsi dan fungsi yang
berbeda menunjukkan perspektif dan tatanan yang berbeda
4) Ketepatan unsur linguitik dengan pesan (yang hendak disampaikan)
5) Keanekaragaman fungsi dari berbagai bahasa dan alat komunikasi lainnya
6) Komunitas atau konteks sosial sebagai titik tolak penggunaan dan
pemahaman
7) Fungsi itu sendiri dikuatkan dalam konteks dan biasanya tempat batas,
tatanan bahasa serta alat komunikasi lain sebagai problematika.
Berdasarkan orientasi penelitian bahasa di atas dapat disimpulkan bahwa
setiap peneliti tidak bisa hanya menggeneralisasikan kekhususan, melainkan juga
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
mengkhususkan dengan mengutamakan tuturan daripada kode, fungsi daripada
struktur dan ketepatan daripada kemungkinan. Analisis wacana dalam penelitian
bahasa perlu dilakukan untuk memperoleh pemecahan masalah makna pada
tuturan yang bermuatan implikatur. Hal ini agar satuan pragmatis suatu implikatur
percakapan dapat dideskripsikan melalui proses analisis atas masalah yang
dihadapi antara penutur dan mitra tutur tatkala penutur mengucapkan tuturan
sehingga pada gilirannya dapat ditarik implikasi pragmatis yang menjadi
implikatur percakapan dari suatu tuturan.
Wacana sendiri merupakan satuan bahasa terlengkap yang dapat berupa
rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Hal ini sesuai
pendapat Hasan Alwi dkk. (2003: 41) yang menyatakan bahwa wacana adalah
rentetan kalimat yang saling berkaitan atau sering disebut sebagai penyebab
munculnya kalimat berikutnya sehingga memiliki koherensi dan kohesi tinggi
baik dalam wacana lisan maupun wacana tulis. Sehubungan dengan hal tersebut,
wacana juga disebut satuan bahasa terlengkap baik lisan maupun tertulis, yang
jika dilihat dari struktur lahirnya (bentuk) bersifat kohesif, saling terkait, dan dari
struktur batinnya (makna) bersifat koheren dan terpadu (Sumarlan dkk., 2005:
15). Wacana berdasarkan saluran yang digunakan dalam berkomunikasi dibagi
menjadi wacana lisan dan tulisan dengan penjelasan sebagai berikut.
a. Wacana Tulisan adalah sebuah teks yang dibentuk oleh lebih dari satu alinea
yang menggunakan sesuatu secara berururtan dan utuh, misalnya sebuah cerita,
sepucuk surat dan lainnya
b. Wacana lisan adalah sebuah percakapan atau yang lengkap dari awal sampai
akhir seperti satu percakapan singkat dalam satu situasi; atau penggalan ikatan
percakapan dalam rangkaian percakapan yang lengkap dan telah
menggambarkan situasi, maksud, dan rangkaian penggunaan bahasa. Wacana
lisan juga dibagi menjadi wacana dialog dan monolog (Yoce Aliah Darma,
2009: 10).
Hal ini sedikit berbeda dengan Junaiyah H.M. dan E. Zaenal Arifin (2010:
72) yang membagi wacana lisan berdasarkan keaktifan mitra tutur menjadi tiga
bagian yaitu wacana monolog yang terjadi jika dalam suatu komunikasi hanya ada
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
satu pembicara dan tidak ada balikan langsung dari mitra tutur. Kedua wacana
dialog yang terjadi jika dalam komunikasi terdapat dua pihak (penutur dan mitra
tutur) dan terjadi pergantian peran. Ketiga wacana polilog yang jika dalam
komunikasi lebih dari dua pihak dengan pergantian peran melalui pertukaran tiga
jalur atau lebih dan biasa terjadi pada saat bermain drama atau ngobrol santai di
pos kamling. Namun, beberapa ahli wacana lebih sering menyamakan dialog dan
polilog berdasarkan kesamaan tujuan dan tugas pendengar dan pembicara. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini hanya menggunakan istilah wacana lisan yang
dibagi menjadi monolog dan dialog.
Secara garis besar, penafsiran wacana lisan mempunyai keuntungan dibanding
wacana tulis yaitu meskipun lebih rumit prosedurnya, data bersumber lisan
dengan unsur paralingualnya lebih dapat dipertanggungjawabkan ketepatan
penafsirannya jika rekontruksi bentuk lisannya dapat pula dipertangungjawabkan
(I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi, 2009: 130). Selain itu, dalam
wacana lisan, penutur dapat diketahui membuat berbagai macam efek (ekspresi,
isyarat atau sikap tubuh) untuk mengendalikan pengaruh tuturannya, dapat
mengetahui keseragaman maksud yang diinginkan penutur dengan maksud yang
dipahami mitra tutur, memantau kefektifan tuturan dan memperhatikan
penerimaan mitra tutur sehingga penafsiran tuturan tersebut juga lebih sesuai
konteks (Brown dan Yule dalam Sumarlan dkk, 2005: 248). Di samping itu,
dalam buku yang sama, Labov dan Chave juga mengutarakan kekurangan wacana
lisan adalah sintaksis bahasa lisan kurang terstruktur, tidak menggunakan penanda
metalingual antar klausa, dimungkinkan menggunakan isyarat untuk merujuk
referen, mengulangi bentuk sintaksis yang sama, dan sering menggunakan
ungkapan ”pengisi” seperti ”em”, ”anu”, atau ”itu”.
Berdasar paparan di atas pengkajian alasan penggunaan implikatur
percakapan dapat tercermin pada koteks (lingkungan fisik tuturan) dan konteks
(lingkungan sosial tuturan terutama latar belakang pengetahuan) serta tanggapan
verbal maupun nonverbal mitra tutur saat tuturan diujarkan yang menandai prinsip
kerjasama. Apalagi jika partisipan (baik guru maupun peserta didik) melakukan
percakapan atau interaksi dengan bertatap muka dua pihak atau lebih sehingga
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
tujuan tuturan dimungkinkan lebih dari sekedar pertukaran informasi (Jack C.
Richard, 1995: 3). Penelitian ini menggunakan analisis wacana lisan karena
wacana tersebut disampaikan dengan bahasa lisan yang jika ingin memahami
wacana tersebut, mitra tutur harus menyimak secara langsung. Jika dilihat dari
sifat dan jenis pemakaiannya, analisis penelitian ini disebut wacana dialog atau
percakapan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih (guru dan peserta didik)
secara langsung dan bersifat dua arah. Sehingga masing-masing partisipan secara
aktif ikut berperan dalam komunikasi tersebut (komunikasi interaktif). Secara
singkat penelitian ini menggunakan analisis wacana lisan yang ditranskrip terlebih
dahulu untuk menganalisis implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa
Indonesia.
Peranan wacana sangat penting dalam menginterpretasikan makna dan
maksud tuturan karena mitra tutur harus dapat memahami aspek-aspek proses
komunikasi (seperti pengetahuan atau perhatian) berhubungan secara tidak
langsung dan bertentangan terhadap bahasa itu sendiri (Deborah Schiffrin, 2007:
582). Pendapat yang sama juga diutarakan George Yule (2006: 143) bahwa saat
menerapkan analisis wacana pada masalah tentang pokok linguistik, maka analisis
tersebut akan memfokuskan pada catatan proses (lisan atau tertulis) dengan
memperhatikan konteks untuk menyatakan keinginan.
Sedangkan analisis wacana merupakan ilmu yang mengkaji organisasi wacana
di atas tingkat kalimat atau klausa, mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih
besar seperti percakapan/ teks tertulis. Hal ini seperti pendapat Michael Stubb
dalam Eriyanto (2001: 23) mendefinisikan analisis wacana sebagai suatu usaha
untuk mengkaji organisasi bahasa diatas kalimat/ klausa. Dengan kata lain,
analisis wacana merupakan studi yang lebih luas daripada unit-unit linguistik,
yakni kajian pertukaran percakapan dan kajian teks-teks tertulis sehingga mampu
meneliti bahasa lebih dari sekedar menggambarkannya dan dapat pula membantu
memahami aturan berbahasa yang menjadi bagian dari pengetahun pengguna
bahasa yang tercermin dalam komunikasi sehari-harinya.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa analisis wacana adalah ilmu
yang mengkaji organisasi wacana di atas tingkat kalimat atau klausa untuk
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
mengetahui pesan komunikasi baik dalam bentuk gambar, kata, tulisan atau
lainnya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kondisi praktis tindak
komunikasi menjadi pijakan utama dalam pengkajian pragmatik. Konteks
mempunyai kedudukan yang penting dalam penafsiran makna tuturan yang
disampaikan baik secara implisit maupun eksplisit oleh penutur. Dalam hal ini,
wacana yang berkaitan dengan proses komunikasilah yang akan dikaji lebih jauh
ke dalam keterampilan berkomunikasi praktis pada segala situasi yang mendasari
interaksi kebahasaan antara manusia sebagai anggota masyarakat.
Kemampuan analisis wacana ini tergantung pada kemampuan mitra tutur
dalam menghubungkan tuturan dengan situasi ujar yang melingkupnya untuk
mengetahui alasan tuturan. Unsur-unsur situasi ujar dibagi atas lima bagian yaitu:
(1) penutur dan mitra tutur; (2) konteks tutur; (3) tindak tutur sebagai bentuk
tindakan atau kegiatan; (4) tujuan tuturan; dan (5) tuturan sebagai produk tindak
verbal (Geoffrey Leech, 1993: 19-21). Unsur-unsur tersebut antara lain:
1) Penutur dan Mitra tutur
Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan fungsi
pragmatis tertentu di dalam peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur
adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam pentuturan.
Di dalam peristiwa tutur peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih
berganti, yang semula berperan penutur pada tahap tutur berikutnya dapat menjadi
mitra tutur, demikian sebaliknya. Aspek-aspek yang terkait dengan komponen
penutur dan mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial, ekonomi, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat keakraban.
2) Konteks Tuturan
Dalam tata bahasa konteks tuturan itu mencakupi semua aspek fisik atau latar
sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresi. Konteks yang bersifat fisik,
yaitu fisik tuturan dengan tuturan lain yang biasa disebut koteks. Sementara itu,
konteks latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik konteks itu
berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur
dan mitra tuturnya. Konteks ini berperan membantu mitra tutur di dalam
menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
3) Tujuan Tuturan
Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan
bertutur. Komponen ini menjadikan hal yang melatarbelakangi tuturan. Karena
semua tuturan memiliki suatu tujuan.
4) Tindak Tutur sebagai bentuk Tindakan atau Aktivitas
Tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas adalah bahwa tindak tutur itu
merupakan tindakan juga. Tindak tutur sebagai suatu tindakan tidak ubahnya
sebagai tindakan mencubit dan menendang. Hanya saja, bagian tubuh yang
berperan berbeda. Pada tindakan mencubit tanganlah yang berperan, pada
tindakan menendang kakilah yang berperan, sedangkan pada tindakan bertutur
alat ucaplah yang berperan.
5) Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal
Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia itu dibedakan
menjadi dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Berbicara atau
bertutur itu adalah tindakan verbal. Karena tercipta melalui tindakan verbal,
tuturan itu merupakan produk tindak verbal. Tindakan verbal adalah tindak
mengekpresikan kata-kata atau bahasa.
Unsur-unsur di atas dapat dimungkinkan menjadi kendala penggunaan
maksim percakapan jika tidak saling dimengerti peserta tutur. Secara rinci konteks
yang juga perlu diketahui dalam setiap komunikasi bahasa sekaligus sebagai
alasan kepatutan (appropriateness) penutur dalam bertutur yaitu setting atau scene
(latar), participants (peserta tutur), ends (hasil), act sequences (urutan tindak), key
(cara), Instrumentalities (sarana), norms (norma), dan genre (jenis) atau sering
dirangkum menjadi jembatan kedelai “SPEAKING” (Hymes dalam Asim
Gunarwan, 2007: 103). Konteks yang pertama adalah setting atau scene (latar).
Latar yang dimaksud di sini berhubungan dengan tempat dan waktu. Konteks
participants (peserta tutur) yaitu atribut penutur dan mitra tutur (status sosial
mereka, hubungan mereka secara pribadi maupun secara dinas dan lainnya).
Konteks topik yaitu dengan menggunakan topik tertentu, suatu interaksi dapat
berjalan dengan lancar. Konteks saluran yang dipergunakan, misalnya: tulisan,
lisan, isyarat, kentongan, peluit, dan sebagainya. Interaksi dengan menggunakan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
saluran tulisan dengan lisan tentunya berbeda, terutama dari segi kalimat yang
digunakan. Pada saluran tulis, kalimat yang digunakan lebih teratur dan resmi,
sesuai dengan kaidah ketatabahasaan, sedangkan dalam bahasa lisan lebih santai.
Konteks kode yang digunakan dalam mengungkapkan isi hati, biasanya
pengungkapan dalam bahasa daerah kepada orang lain akan merasa lebih bebas,
akrab, dan mudah berkembang ke arah hubungan pribadi jika dibanding dengan
bahasa Indonesia, kecuali dalam situasi resmi.
Konteks bentuk pesan melalui parikan, khotbah, puisi, drama, dan sebagainya.
Suatu pengajian misalnya, dapat berisi ajaran-ajaran yang diselingi dengan
anekdot-anekdot. Konteks selanjutnya adalah ends (hasil atau tujuan) yang selalu
memuat tujuan yang hendak dicapai oleh penutur. Tujuan dapat berupa tujuan
personal, seperti yang dicerminkan oleh proposisi (pengacuan/ prediksi) pada
tuturan dan dapat berupa tujuan sosial seperti menaati prinsip pragmatik yang
berupa PK dan PS. Konteks berikutnya adalah nada pembicaraan atau dalam hal
ini genre, yang dapat dilakukan dengan serius, sinis, sarkastik, rayuan, dan
sebagainya.
Berdasarkan berbagai unsur komunikasi di atas terutama pada unsur konteks
memberikan patokan bahwa dalam meneliti bahasa atau tuturan harus mengambil
konteks suatu komunitas. Konteks menjadi sangat penting karena sebagai
pengetahuan latar belakang tuturan yang sama-sama dimiliki baik oleh penutur
maupun oleh mitra tutur dan yang membantu mitra tutur dalam menafsirkan
tuturan penutur. Untuk memahami pemakaian bahasa dapat dilakukan dengan
analisis wacana dan mempertimbangkan konteks baik yang mengacu pada tuturan
sebelum dan sesudah tuturan yang dimaksud, mengacu kepada keadaan sekitar
yang berkaitan dengan kebiasaan partisipan, adat istiadat, dan budaya masyarakat
(Brown dan Yuke dalam Abdul Rani dkk., 2006: 167). Konteks pun dapat
mengacu pada kondisi fisik, mental, serta pengetahuan yang ada di benak penutur
maupun mitra tutur. Unsur waktu dan tempat terkait erat dengan hal-hal tersebut.
Oleh karena itu, konteks sangat besar andilnya memuat tujuan yang hendak
dicapai oleh penutur. Tujuan dapat berupa tujuan personal yang dicerminkan oleh
proposisi pada tuturan atau berupa tujuan sosial seperti menaati prinsip pragmatik
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
yang berupa PK dan prinsip sopan santun (PS). Setelah diketahui konteksnya,
kemudian dilanjutkan dengan meneliti kegiatan komunikasi secara menyeluruh
bahkan tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi adalah bagian komunitas
tersebut. Sehingga tata cara bertutur akan mengacu pada kemampuan dan peran
penutur, konteks, institusi, kepercayaan, nilai, dan sikap.
Analisis wacana juga merupakan pendekatan yang mengkaji relasi antara
bahasa dengan konteks yang melatarbelakanginya Salah satu kesulitan dalam
analisis wacana adalah bahwa ujaran melakukan tindakan pada tingkatan pada
tingkatan penafsiran yang berbeda-beda yang bisa diurutkan secara hierarkis
melalui pendekatan pragmatik. Meskipun begitu, Abdul Rani dkk. (2006: V)
menegaskan bahwa dalam melakukan studi wacana tidak mengabaikan
pemanfaatan pendekatan linguistik karena komponen yang membangun suatu
wacana adalah bunyi, kata, kalimat dan makna. Oleh karena itu, tahap
pemahaman implikatur percakapan dapat dilakukan sebagai berikut:
1) Pemahaman proposisi (pengacuan/ prediksi) eksplikatur
2) Mencocokkan dengan konteks (jika proposisi pada eksplikatur tidak cocok
atau tidak memuaskan dilanjutkan tahap selanjutnya)
3) Mengubah pemahaman proposisi sesuai dengan konteks (terutama respon
yang dikehendaki penutur) dengan cara mencari:
a) Makna ujaran kelanjutannya
b) Makna asosiasinya
c) Makna ironinya dan
d) Makna yang hilang
Dengan demikian, pemahaman mengenai implikatur percakapan tetap didasar
pada kompetensi gramatikal (eksplikatur) dan kompetensi sosial tentang hal yang
diketahui dengan hal yang dilakukan oleh mitra tutur terhadap ujaran penutur. Hal
in karena, setiap individu yang melakukan percakapan selalu memiliki kehendak
untuk melakukan sesuatu dengan berbagai cara ujaran.
Sedikit berbeda dengan Geoffrey Leech (1993:55) yang menyatakan bahwa
prosedur pemahaman implikatur percakapan membutuhkan inteligensi manusia
yang dapat mencari dan menemukan pilihan-pilihan kemungkinan bardasarkan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
bukti kontekstual. Prosedur pemahaman implikatur percakapan dapat dipandang
dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut pandang penutur dan dari sudut pandang
mitra tutur. Dari sudut pandang penutur, dapat digunakan analisis cara-tujuan
yang menggambarkan keadaan awal sebagai masalah, keadaan tengahan, dan
keadaan akhir sebagai tujuan penutur untuk mengatasi masalah melalui cara yang
terletak di dalam rangkaian antara masalah dan tujuan.
Analisis cara-tujuan itu dapat diperjelas dengan Gambar 1. Contoh dengan
mengujarkan tuturan “Udaranya panas” yang berilokusi menginformasikan fakta
yang meminta atau menyuruh mitra tutur untuk menyalakan alat pendingin. Untuk
menyuruh mitra tutur menyalakan alat pendingin, penutur tidak secara terus-
terang langsung menyuruh mitra tutur, tetapi berputar dulu dengan mengujarkan
tuturan “Udaranya panas” sebagai tuturan tidak langsung untuk sampai pada
keadaan akhir yang menjadi tujuan penutur mengujarkan tuturan.
Gambar 1. Analisis Cara-tujuan (Geoffrey Leech, 1993:58)
Dengan keterangan:
1 = keadaan awal (penutur merasa panas)
2 = keadaan tengahan pertama (mitra tutur mengerti bahwa penutur merasa panas)
3= keadaan tengahan kedua (mitra tutur mengerti bahwa penutur ingin alat
pendingin dinyalakan)
4= keadaan akhir (penutur merasa dingin)
TU = tujuan utama percakapan untuk mencapai keadaan 4
TPK = tujuan untuk menaati PK
TPS = tujuan untuk menaati PS
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
TL = tujuan lain
a= tindakan penutur berupa tuturan “Udaranya panas”
b= tindakan penutur berupa ilokusi meminta/menyuruh mitra tutur untuk
menyalakan alat pendingin
c= tindakan mitra tutur menyalakan alat pendingin
Dari sudut pandang mitra tutur, Geoffrey Leech (1993:40) menawarkan
pemakaian analisis heuristik (bagian dari teknik analisis pragmatik) untuk
menginterpretasi sebuah tuturan berimplikatur percakapan. Dengan analisis
heuristik, dapat diidentifikasi daya pragmatis sebuah tuturan. Dalam analisis
heuristik, bertolak dari problema, dilengkapi proposisi, informasi latar belakang
konteks, dan asumsi dasar bahwa penutur menaati prinsip-prinsip pragmatis, mitra
tutur lalu merumuskan hipotesis tujuan tuturan. Berdasarkan data yang tersedia
hipotesis diuji kebenarannya. Bila hipotesis sesuai dengan bukti kontekstual,
berarti pengujian berhasil dan hipotesis diterima kebenarannya.
Keberhasilan pengujian hipotesis pertama menghasilkan interpretasi baku
(default interpretation) yang menunjukkan bahwa tuturan memuat satuan
pragmatis. Jika pengujian gagal karena hipotesis tidak sesuai dengan bukti yang
ada, mitra tutur perlu membuat hipotesis baru untuk selanjutnya. diuji dengan data
yang tersedia sampai diperoleh hipotesis yang berterima. Hasil pengujian lanjutan
akan memberikan interpretasi implikasi pragmatis suatu tuturan dan itu berarti
bahwa tuturan bermuatan implikatur percakapan. Alur analisis heuristik itu dapat
digambarkan dengan Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Alur Analisis Heuristik (Geoffrey Leech, 1993:62)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Hipotesis pada Gambar 2 dapat diformulasikan secara sederhana dengan
memakai P sebagai lambang makna tuturan. Hipotesis tuturan dapat dituliskan
dengan formulasi:
1) penutur mengatakan kepada mitra tutur (bahwa P)
Hipotesis mengenai daya P yang menjadi tujuan pemecahan masalah dirampat;
2) tujuan penutur ialah agar mitra tutur mengetahui (bahwa P)
Bertolak dari prinsip-prinsip pragmatik yang relevan, hipotesis itu diuji apakah
taat asas dan sesuai dengan bukti kontekstual yang ada dengan konsekuensi-
konsekuensi seperti:
a) penutur yakin (bahwa P)
(Maksim Kualitas)
b) Penutur yakin bahwa mitra tutur tidak mengetahui (bahwa P)
(Maksim Kuantitas)
c) penutur yakin bahwa sebaiknya mitra tutur mengetahui (bahwa P)
(Maksim Hubungan)
Jika konsekuensi (a), (b), dan (c) selaras dengan bukti konteks, hipotesis
dapat diterima; tetapi jika satu konsekuensi saja bertentangan, hipotesis harus
ditolak. Lalu disusun hipotesis baru yang paling dekat dengan bukti yang sudah
diamati dan diuji lagi. Dalam analisis heuristik, jika hipotesis pertama dapat
diterima, kebenaran hipotesis itu akan menghasilkan interpretasi baku atas tuturan
bahwa tuturan termasuk tindak tutur langsung. Jika hipotesis pertama ditolak
karena tidak selaras dengan bukti kontekstual, misalnya ada pelanggaran maksim,
hipotesis lain akan diterima untuk menghasilkan implikasi pragmatis dari tuturan
dan tuturan tersebut termasuk tindak tutur tak langsung yang tidak berhubungan
semantik atau berimplikatur percakapan (Stephen C. Levinson, 1983: 115).
Agar dapat diperoleh gambaran yang lebih konkret, berikut ini disajikan
sebuah contoh analisis heuristik. Analisis ini dilakukan terhadap implikatur
percakapan X yang diciptakan oleh Ani pada data berikut ini.
Situasi :
Hari minggu, pukul 06.00 biasanya Ani sudah bangun dan shalat subuh. Sambil
menanti ayahnya siap untuk lari pagi bersama, Ani sering mendengarkan radio
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
sambil bersepatu. Selesai bersepatu, ia ke kamar mendekati ayahnya yang
masih belum bangun dari tempat tidur, meskipun matanya telah terbuka dan
tadi shalat subuh. Ani memiliki kebiasaan setelah bersepatu, ia selalu mencium
ayahnya. Pagi ini setelah bersepatu, ia pun melakukan hal itu, dan sebaliknya.
Percakapan: Ani : Pa, cium, Pa! Papa: Heem… Ani :(mencium pipi kanan, kiri, dan dahi ayahnya dan begitu pula
sebaliknya si ayah.) Sudah siang, Pa. (X) Papa : Ya. Ani : Papa belum bersepatu (Y)
Implikasi:
Ani menyuruh ayahnya bangun.
Ani menyuruh ayahnya bersepatu.
Hipotesis tuturan berbunyi:
1) penutur mengatakan kepada mitra tutur bahwa (P)
Penutur mengatakan kepada mitra tutur bahwa (hari sudah siang)
2) Hipotesis daya P : Tujuan penutur agar mitra tutur mengetahui (bahwa P)
Tujuan penutur ialah agar mitra tutur mengetahui (bahwa hari sudah
siang)
Hipotesis daya P itu menyatakan bahwa tuturan penutur yang
menginformasikan fakta kepada mitra tutur. Kemudian dilakukan pengkajian
hipotesis berdasarkan PK apakah sesuai atau tidak dengan bukti kontekstual
yang ada dengan mencocokkannya pada konsekuensi (a), (b), dan (c) berikut
(Kunjana Rahardi, 2008: 16).
a) penutur yakin (bahwa P) = penutur yakin (bahwa hari sudah siang)
(Maksim Kualitas)
b) penutur yakin bahwa mitra tutur tidak mengetahui (bahwa P) = penutur
yakin bahwa mitra tutur tidak mengetahui (bahwa hari sudah siang)
(Maksim Kuantitas)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
c) penutur yakin bahwa sebaiknya mitra tutur mengetahui (bahwa P) = penutur
yakin bahwa sebaiknya mitra tutur mengetahui (bahwa hari sudah siang)
(Maksim Hubungan)
Ternyata konsekuensi (a) didukung bukti yang ada dalam data bahwa
memang benar hari sudah siang: pukul 06.00. Tetapi, konsekuensi (b) tidak
demikian, karena data yang ada menunjukkan bahwa si ayah telah mengetahui
bahwa hari sudah siang, ia sudah sembahyang, tidak tidur lagi, sudah bangun, dan
sudah mencium Ani. Ani mengetahui semua itu sehingga penutur tidak yakin
bahwa mitra tutur tidak mengetahui bahwa hari sudah siang. Dengan demikian
penutur melanggar maksim kuantitas karena tidak memberikan informasi baru
bagi mitra tutur. Akibat dari itu, penutur pun melanggar maksim hubungan karena
konsekuensi (c) pun tidak terdukung bukti, penutur tidak yakin bahwa ayahnya
sebaiknya diberi tahu bahwa hari sudah siang karena Ani mengetahui bahwa
ayahnya sudah tahu. Pemberitahuan itu tidak relevan dengan tujuan yang ada pada
rumusan (2). Karena konsekuensi (b) dan (c) tidak sesuai dengan bukti
kontekstual, maka hipotesis (2) ditolak.
Selanjutnya, disusun hipotesis baru yang paling dekat dengan kontekstual
atau fakta besar peluangnya untuk dapat diterima (Louise Cummings, 2007: 121).
1) penutur mengatakan kepada mitra tutur (bangun)
2) Tujuan penutur ialah menyuruh agar mitra tutur (bangun)
a) penutur yakin (bahwa perlu menyuruh mitra tutur bangun)
b) penutur yakin bahwa mitra tutur tidak mengetahui maksud (bahwa penutur
menyuruh mitra tutur bangun)
c) penutur yakin bahwa sebaiknya mitra tutur mengetahui (bahwa penutur
menyuruh mitra tutur bangun).
Hipotesis B diuji dengan membandingkan konsekuensi (a), (b), dan (c) dengan
data yang ada. Setelah diuji, ternyata bahwa (a) didukung oleh data: Ani yang
sudah bersepatu bertujuan menyuruh ayahnya segera bangun untuk bersepatu
kemudian lari pagi bersama sebagaimana yang biasa mereka lakukan setiap pagi.
Ani memakai satuan pragmatis menginformasikan fakta karena ia menaati prinsip
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
sopan santun. Sebagai anak ia telah memahami bahwa tidak sopan untuk
memerintah ayahnya secara langsung sehingga ia tidak mau memakai satuan
pragmatis menyuruh. Konsekuensi (b) pun didukung data. Ani yakin bahwa
ayahnya yang berada di kamar tidak mengetahui bahwa Ani sudah bersepatu
sehingga menghendaki ayahnya bangun. Oleh karena. itu, cukup relevan jika, Ani
menyuruh ayahnya untuk bangun sehingga, konsekuensi (c) pun sesuai dengan
data kontekstual.
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa konsekuensi (a), (b), dan (c)
sesuai dengan data kontekstual. Dengan demikian, hipotesis (2) dapat diterima.
Interpretasi hipotesis (2) adalah bahwa tuturan Ani, “Sudah siang, Pa”, yang
diproduksi oleh Ani termasuk tuturan yang bermuatan implikatur percakapan.
Tuturan itu mempunyai implikasi pragmatis menyuruh yaitu Ani menyuruh
ayahnya untuk bangun. Hasil interpretasi implikatur percakapan seperti yang telah
dilakukan dengan analisis heuristik itu sifatnya tidak terlalu pasti.
Begitu pula tidak semua mitra tutur (guru atau peserta didik) dapat
menginterpretasikan implikatur percakapan yang dujarkan penutur dengan tepat.
Hal ini tak lain karena kekuatan ilokusi dalam ujaran yang juga dipengaruhi
alasan dan kebiasaan penutur. Sifat representasi implikatur percakapan tidak jelas
(Thomas Holtgraves, 2008: 366). Di satu sisi, teori tindak tutur menunjukkan
kekuatan ilokusi memainkan peran penting dalam pemahaman komentar
percakapan. Tetapi sisi lain, relevansi teori menunjukkan bahwa pengenalan suara
spesifik tindakan tidak diperlukan untuk pemahaman percakapan. Geoffrey Leech
(1993:30) juga menyatakan bahwa penjelasan terhadap implikatur percakapan
mengandung sifat probabilitas. Hal yang dimaksudkan oleh penutur dengan
tuturan-nya tidak pernah dapat diketahui secara pasti. Faktor kondisi yang
diamati, tuturan, dan konteksnya mengarahkan penutur untuk menyimpulkan
interpretasi dari peluang-peluang yang paling mungkin. Menafsirkan daya
proposisi sebuah tuturan sama dengan pekerjaan tebak-menebak atau dalam istilah
ilmiah disebut menciptakan hipotesis-hipotesis.
Seorang penafsir yang baik sekalipun tidak selalu sanggup membuat
kesimpulan yang pasti mengenai maksud penutur karena sering kali terjadi suatu
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
tuturan sengaja dikaburkan oleh penuturnya. Agaknya demikian juga, penafsiran
implikatur percakapan anak usia SD yang masih berada dalam proses usaha
menguasai bahasa Indonesia. Satu tuturan yang berupa bilingual (bahasa
Indonesia atau bahasa daerah) untuk mengekspresikan suatu satuan pragmatis
dimungkinkan dapat menyiratkan satu atau lebih satuan pragmatis lain sebagai
implikasi pragmatis yang mewujudkan implikatur percakapan pada mitra tutur.
Dengan demikian, kegiatan pemecahan implikatur percakapan dengan
pragmatik yang mencakup penafsiran dari sudut pandang penutur maupun mitra
tutur adalah kondisi ideal karena pada kenyataannya beberapa kondisi sudah
terjalin saling pengertian sebelum hipotesis dibuat karena adanya pengenalan latar
dan kebiasaan pelaku tuturan sehingga mudah mengetahui maksud penutur dan
lebih konsisten jika dilakukan dengan tahap pemahaman ilokusi yang benar. Jika
hal ini dapat dikuasai oleh guru dalam pembelajaran di kelas, maka guru akan
dengan mudah mengarahkan arah interaksi di kelas sesuai tujuan pembelajaran
yang ingin dicapai. Selain itu, peserta didik juga dapat belajar memahami ujaran
implikatur percakapan melalui kebiasaan yang diterapkan guru saat kegiatan
belajar mengajar di kelas.
2. Percakapan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas V SD
a. Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD
Ilmu pendidikan merupakan upaya penerapan akal budi, nilai-nilai, norma,
etika, dam moral dengan cara yang paling bernalar yang bertujuan membentuk
watak dan karakter individu, bukan sekedar pengembangan aspek kognitif
melainkan juga mencakup ketajaman olah rasa dan keterampilan (Agus Salim,
2007: 77). Hal ini terkait dengan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar
yang dipandang sebagai suatu proses interaksi peserta didik dengan guru dan
sumber belajar (bahasa Indonesia) dalam suatu lingkungan belajar. Apabila
sumber belajar dipilih berdasarkan pertimbangan prinsip pengembangan (standar
kompetensi dan kompetensi dasar), maka pembelajaran bahasa Indonesia dapat
berfungsi sebagai pengembang potensi peserta didik dan bahasa Indonesia.
Pendekatan pembelajaran terpadu menjadi salah satu alternatif yang dipandang
sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan di tingkat sekolah dasar
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
yang lebih menekankan keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran (Toho
Motahir dkk., 2001: 7). Hanya saja terdapat perbedaan cara pengembangan
sumber belajar berdasarkan kompetensi yang terdapat pada masing-masing
jenjang kelas di SD. Pertama, pengembangan sumber belajar untuk peserta didik
kelas rendah (kelas I, II, dan III) yang masih memandang segala sesuatu sebagai
satu keutuhan (fisik, mental, sosial dan emosional) melalui pembelajaran tematik
misalnya tema lingkungan menjadi sumber belajar peserta didik kelas I untuk
mempelajari mata pelajaran bahasa Indonesia, matematika, IPS dan IPA. Kedua,
sumber belajar untuk peserta didik sekolah dasar kelas tinggi (kelas IV, V, dan
VI) berdasarkan tuntutan kompetensi dan pengalaman belajar yang dilaksanakan
dengan merumuskan kompetensi dasar, indikator dan pengalaman belajar
kemudian sumber belajar. Sehingga sumber belajar dikembangkan untuk
memberikan pengalaman belajar yang memiliki beberapa indikator kompetensi
dasar, misalnya peserta didik dapat menggunakan kata ‘transportasi’ dalam
kalimat pernyataan dan kalimat pertanyaan baik secara lisan (berbicara) maupun
tertulis (menulis).
Karakteristik pembelajaran bahasa adalah sarana komunikasi dan pendekatan
pembelajaran yang digunakan (Markhamah, 2004: 58). Artinya, pembelajaran
bahasa menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi sekaligus menjadi
pendekatan yang menekankan aspek kemahiran dan fungsi bahasa. Sehingga tak
heran jika sejak sekolah dasar, peserta didik telah diajari keterampilan suatu
bahasa baik bahasa pertama (daerah) maupun bahasa kedua (bahasa Indonesia),
hanya saja tak jarang terjadi ”kesalahan berbahasa” dengan mencampur, bahkan
menyederhanakan ragam baku akibat pengaruh bahasa nonbaku sehari-hari
(Sumarsono, 2009: 148). Untuk itu, pragmatik diperlukan dalam pembelajaran
berbahasa kelas V seharusnya mencakup empat macam kompetensi yaitu
kompetensi gramatikal (grammatical competence), kompetensi sosiolinguistik
(sociolinguistic competence) sebagai pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu,
kompetensi wacana (discourse competence) sebagai kemampuan menuangkan
gagasan secara baik, dan kompetensi strategi (strategi competence) sebagai
kemampuan pengungkapan gagasan sesuai aturan bahasa. Sehingga “kesalahan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
ragam baku” tersebut dapat hilang setelah peserta didik mengetahui cara
menyampaikan maksud dengan bahasa yang baik dan benar sekaligus sopan.
Paparan di atas juga sesuai dengan pendapat Jack C. Richard (1995:103) yang
menyatakan bahwa perkembangan dari kompetensi gramatikal menjadi
komunikatif dalam pembelajaran bahasa formal adalah pengaturan belajar
mengajar dengan menciptakan konteks sebagai perwujudan dan penafsiran
tuturan. Sehingga, pembelajaran bahasa seharusnya mengakomodasi kebutuhan
berbahasa secara praktis sesuai dengan kondisi yang nyata (lingkungan fisik
maupun kultural). Dengan pola yang berdasar pada kajian pragmatik, proses
pembelajaran bahasa yang diterima oleh peserta didik secara otomatis akan
mengacu pada suatu kondisi praktis tindak komunikasi yang tetap menekankan
perlunya kesopanan berbahasa. Untuk itu, orientasi pembelajaran yang seperti ini
juga akan menuntut penyesuaian pada berbagai aspek pembelajaran,
dari kurikulum sampai tataran praktis pembelajaran. Sekaligus semua warga
sekolah dikondisikan dan didisiplinkan untuk berbahasa dengan sopan.
Pada dasarnya tujuan akhir pembelajaran bahasa adalah peserta didik memiliki
keterampilan berbahasa. Prestasi belajar berbahasa peserta didik merupakan hasil
akhir dari suatu rangkaian proses kegiatan yang merupakan interaksi sejumlah
komponen belajar-mengajar dengan diri peserta didik. Kemudian dihubungkan
dengan norma tertentu yang distandarisasi serta terukur sesuai tujuan
pembelajaran berbahasa. Secara singkat, seseorang dikatakan terampil berbahasa
apabila ia terampil menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Terkhusus untuk
keterampilan berbicara, St. Y. Slamet (2008: 35) menjelaskan bahwa keterampilan
ini merupakan tingkah laku yang harus dipelajari terlebih dahulu, kemudian baru
bisa dikuasai.
Untuk menguasai keterampilan ini, peserta didik dituntut penguasaan
kosakata yang cukup memadai, pengetahuan dan penguasaan ucapan dan ejaan
bahasa yang baku, dan pengetahuan tentang penggunaan kalimat, klausa, dan
frasa yang tepat dalam pembelajaran bahasa Indonesia sejak sekolah dasar.
Senada dengan pendapat di atas Deborah Schiffrin (2007: 567) menegaskan
bahwa pengetahuan penutur dan mitra tutur (dalam hal ini adalah guru dan peserta
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
didik) sangat penting dalam komunikasi karena saling terkait dengan situasi
ujaran atau dapat juga disebut konteks.
Ironisnya, eksistensi dan besarnya alokasi jam pelajaran bahasa Indonesia di
kelas V sekolah dasar tidak menjamin kontribusi dan korelasi maksimal untuk
menumbuhkan kesadaran penggunaan bahasa secara sopan, sistematis, teratur,
mudah dipahami, dan lugas. Pelajaran tersebut harus diakui belum mampu
membangun nilai-nilai estetika dalam kehidupan sehari-hari jika pembelajaran
tersebut masih bersifat kurang komunikatif dan kognitif yang berakibat perilaku
berbahasa menjadi tidak mengindahkan nilai-nilai sopan santun. Selain itu,
pembelajaran bahasa Indonesia menjadi monoton sehingga membuat peserta didik
merasakan gejala kejenuhan saat belajar bahasa Indonesia.
Padahal, suatu pembelajaran bahasa dapat dikatakan telah berorientasi pada
penggunaan bahasa pada tataran praktik jika dari program, materi (bahan), ragam
bahasa, dan penciptaan situasi atau konteks serta target akhir dari pembelajaran
bahasa adalah “peserta didik mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien
sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis” (BSNP, 2006:
376-377). Hal yang sama juga diutarakan E. Mulyasa (2003: 149) bahwa
pembelajaran efektif yang ditandai pemberdayaan peserta didik secara aktif dan
melatih sekaligus menanamkan sikap demokratis bagi peserta didik. Sebagaimana
yang telah dipaparkan, membuktikan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia di
sekolah dasar terutama kelas V yang telah memperhatikan kesantunan berbahasa
seharusnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi peserta
didik baik lisan maupun tulisan dalam berbagai fungsi dan konteks yang
bermakna atau tidak dalam bentuk kalimat-kalimat lepas.
Di sinilah guru menjadi komponen pembelajaran yang penting untuk contoh
konkret berbahasa peserta didik kelas V yang tercermin dalam delapan
keterampilan mengajar yaitu keterampilan bertanya, memberi penguatan,
mengadakan variasi, menjelaskan, membuka dan menutup pelajaran,
membimbing diskusi kecil, mengelola kelas, serta mengajar kelompok kecil dan
perorangan. Aspek nonlinguistik yang harus diperhatikan guru saat bertutur dalam
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
pembelajaran bahasa yaitu sosial (jenis kelamin, umur dan status sosial), ideologi
(agama dan kepercayaan), latar belakang kultural (kebiasaan dan adat istiadat),
partisipan dan pendidikan (Markhamah, 2004: 61). Guru seharusnya dapat
mengarahkan peserta didik untuk menyadari adanya faktor-faktor penentu tersebut
saat tindak berbahasa. Dalam hal ini, Jack C. Richard (1995: 31) menegaskan jika
terjadi kesalahan penggunaan kemampuan gramatikal, ilokusioner dan sosial
dalam komunikasi maka akan menimbulkan kesalahpahaman atau konflik
komunikasi. James M. Heslin (2006: 44) juga mengungkapkan bahwa
ketidaktahuan tentang faktor penentu bahasa akan mengakibatkan penutur tidak
berhasil mencapai kesederhanaan komunikasi sekaligus beresiko menyinggung
perasaan mitra tutur.
Untuk itu, kemampuan mengkaji hal-hal di luar bahasa akan sangat membantu
peserta didik kelas V dalam mengaplikasikan kompetensi berbahasa yang dimiliki
secara praktis dalam kondisi senyatanya. Komunikasi kelas yang terjadi saat di
sekolah dasar perlu diorientasikan pada pencapaian kualitas yang bersifat
pragmatis yaitu pengguna (dalam hal ini guru dan peserta didik) dapat
menggunakan bahasa sesuai dengan konteksnya. Dengan demikian, diharapkan
peserta didik akan lebih dapat mengaktualisasikan kemampuan berbahasa yang
sopan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.
b. Percakapan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD
Kepentingan komunikasi, bukanlah sekedar penguasaan ketatabahasaan dan
teori-teori semata sehingga mencapai suatu kemampuan berkomunikasi secara
“baik”, tidaklah mungkin dapat tercapai hanya dengan mempelajari bahasa secara
struktural saja. Hal tersebut dikarenakan adanya banyak faktor di luar bahasa yang
mempengaruhi proses berkomunikasi. Cara penyampaian materi pembelajaran
disertai penerimaan dan merespon masukan dari peserta didik juga mempengaruhi
kesempatan berbahasa pada peserta didik untuk menerapkan hal-hal yang
dipelajari saat berkomunikasi dengan memperhatikan kesantunan (Made Wena,
2009: 9). Dalam hal ini, pendekatan pragmatik (komunikatif) cukup membantu
dalam pembelajaran bahasa kelas V yang berorientasi pada tindak komunikasi
secara praktis. Bambang Kaswanti Purwo (1990: 4) menjelaskan bahwa salah
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
satu ciri yang menonjol pada pendekatan tersebut ialah beralihnya perhatian
dalam pembelajaran bahasa dari guru ke peserta didik sebagai titik pusat.
Penyebab seseorang mau sopan santun berbahasa, salah satunya adalah
terdorong sikap hormat kepada mitra tutur atau sering disebut efek honorifik (Paul
Ohoiwutun, 2007: 88). Inilah pentingnya salah satu tugas guru yaitu sebagai
penasehat untuk mengarahkan hingga menasehati peserta didik karena
kecenderungan guru yang dianggap sebagai orang kepercayaan bagi peserta didik
(E. Mulyasa, 2006: 43). Untuk itu, jika guru mampu memanfaatkan pola-pola
hubungan interaksional dengan peserta didik melalui percakapan dalam
pembelajaran, maka tidak mustahil wibawa guru akan terbentuk. Kewibawaan ini
muncul karena peserta didik mengalami sendiri peran bimbingan guru. Oleh
karena itu, jika dihubungkan dengan pendapat diatas, kewibawaan dalam proses
belajar-mengajar adalah sesuatu yang diperlukan bagi seorang guru untuk
membelajarkan atau mempengaruhi peserta didik tanpa adanya paksaan.
Percakapan yang terjadi dapat membangun kedekatan jarak yang akan
membuahkan tingkat pemahaman antara pelaku sosial (dalam hal ini guru dan
peserta didik).
Salah satu fungsi komunikasi (percakapan) adalah mempengaruhi mitra tutur
(Hoveland dalam Anwar Arifin, 2003: 24). Dengan kata lain, akibat muncul
pemahaman antara guru dengan peserta didik, secara tidak langsung akan
membangun suatu kesamaan praanggapan yang membuat seseorang mampu
merasakan yang orang lain rasakan dalam tataran tingkat tinggi dari proses sosial
melalui interaksi sosial. Pemahaman ini hanya akan terwujud jika terjadi kontak
sosial yang terus menerus dan komunikasi yang terus menerus seperti dalam
percakapan antara guru dengan peserta didik. Dalam hal ini Agus Salim (2007:
70) juga berpendapat bahwa peserta didik perlu selalu dibimbing untuk
menciptakan kesadaran sehingga dapat menangkap makna dibalik yang terlihat
secara fisik, dari mulai paling kecil sampai makna paling besar dalam kehidupan
sehari-hari. Kesadaran ini akan menghasilkan kebebasan dalam berpendapat
melalui tuturan yang bertanggung jawab dengan berbahasa Indonesia yang baik
dan benar serta sopan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Adapun hal lain yang diperhatikan guru dalam perkembangan bahasa peserta
didik adalah lingkungan belajar. Conny R. Semiawan (2008: 50) yang
menyatakan bahwa perkembangan bahasa terutama pembicaraan peserta didik
sangat pengaruhi oleh kehidupan emosinya. Situasi percakapan (serius, santai,
wajar, atau tertekan) merupakan hal yang esensial dan mempengaruhi keadaan
dan kelancaran berbicara peserta didik (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 400).
Sehingga aktivitas yang dilakukan pada saat mengajarkan materi harus diarahkan
pada komunikasi yang sebenarnya. Materi juga harus dikaitkan dengan makna
yang mencerminkan suatu ide, konsep yang disesuaikan dengan latar belakang
dan tingkat kemampuan peserta didik.
Salah satu asumsi dalam bahasa adalah lingkungan bahasa anak tidak dapat
menyediakan data secukupnya bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang
dewasa (Chomsky dalam Abdul Chaer, 2002: 222). Ketidakcukupan kosa kata ini
akan terasa pada saat anak mulai memasuki dunia sekolah dasar yang
mengharuskannya berinteraksi dengan orang dewasa, terutama di kelas V yang
telah dituntut untuk berkomunikasi dengan memperhatikan kesantunan berbahasa.
Padahal, keaktifan peserta didik belajar merupakan persoalan penting dan
mendasar yang harus dipahami dan dikembangkan guru saat proses pembelajaran
(Aunurrahman: 2010:119). Untuk itu, guru perlu menyesuaikan pemberian
stimulus yang baik dari lingkungan kepada peserta didik agar dapat direspon
dengan berbicara yang baik pula. Selain itu, adanya rasa tenang dan bebas dari
tekanan (overloading) akan membuat peserta didik lebih konsentrasi menyusun
ujaran sesuai maksud yang ingin disampaikan. Bahkan kepatuhan peserta didik
terhadap guru bukan kepatuhan karena takut, akan tetapi kepatuhan karena
keprofesionalan guru.
Hubungan sosial yang bebas dari tekanan demikian sangat diperlukan pada
dunia pendidikan terutama dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini karena
pembelajaran bahasa Indonesia yang penuh muatan interaksi sosial, menjadi
sangat positif apabila ada keseimbangan dalam pola hubungan. Pola
keseimbangan yang dimaksud adalah pola percakapan yang berlaku dua arah,
dalam arti pada posisi tertentu peserta didik dapat bermitra dengan gurunya.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Kemitraan guru dan peserta didik ini dalam pendidikan diwadahi dalam kegiatan
pembelajaran yang interaktif. Hanya saja terkadang ungkapan lisan/ kata-kata
yang ditujukan untuk peserta didik didominasi perintah yang membuat anak
menanggapinya secara fisik sebelum melakukan tanggapan verbal.
Selain itu, tujuh kesalahan yang sering dilakukan guru saat proses KBM yaitu
mengambil jalan pintas, menunggu peserta didik berperilaku negatif,
menggunakan destrctive discipliner, mengabaikan perbedaan negatif, merasa
paling pandai, tidak adil, dan memaksa hak peserta didik (Soediro Satoto, 2006:
88). Hal ini sangat terlihat dari setiap tuturan praktik berbahasa Indonesia
keseharian baik lisan maupun tulisan pada dasarnya mengandung tuturan
imperatif (perintah) langsung maupun tidak langsung (Kunjana Rahardi, 2008:
11). Kesalahan dan tuturan imperatif ini jika dilakukan guru bahasa dan sastra
Indonesia secara berlebihan akan membuat pembelajaran menjadi tidak
komunikatif dan cenderung membosankan karena komunikasi yang terjadi dalam
pembelajaran hanyalah tuntutan guru pada peserta didik. Padahal hakikat dari
pembelajaran berbahasa adalah kompetensi komunikatif.
Untuk mengatasi hal tersebut, guru dapat menggunakan pendekatan yang
menekankan pada komunikatif dan pemahaman (Comprehension) perkembangan
kemampuan peserta didik sebelum pelajaran diajarkan. Hal ini sesuai dengan
asumsi pengajaran berkomunikasi Asher dalam Fitrah (2009) yang
mengungkapkan bahwa:
a. pengajaran berbicara harus ditunda sampai kemampuan memahami terbentuk;
b. kemampuan memahami meningkatkan kemampuan produktifitas dalam
mempelajari suatu bahasa;
c. kemampuan didapat melalui transfer mendengar ke kemampuan yang lain;
d. pengajaran harus menekankan arti daripada bentuk;
e. pengajaran harus meminimalis stres pada pelajar.
Berdasarkan pendapat di atas dapat diketahui bahwa suatu pembelajaran
seharusnya memberikan lahan tindakan bagi guru atau peserta didik. Topik
percakapan yang disampaikan juga memungkinkan partisipan (guru dan peserta
didik) untuk melatih keterampilan interpersonal dalam mencapai tujuan interaksi.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Proses interaksi sosial yang bermuatan pendidikan akan terjadi dengan munculnya
proses sosialisasi seperti kerjasama dan akomodasi.
Kerjasama dalam dunia pendidikan merupakan salah satu proses untuk
membangun hubungan antara guru dengan peserta didik dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan. Sedangkan istilah akomodasi di dunia pendidikan
dipergunakan dalam dua arti yaitu untuk menunjukkan pada suatu keadaan
(keseimbangan dalam interaksi antara para pelaku dan nilai sosial) dan
menunjukan pada suatu proses (usaha-usaha pelaku interaksi untuk meredakan
suatu pertentangan). Akomodasi pada paparan ini lebih mengacu kepada
akomodasi dalam bentuk proses yang dapat terjembatani oleh karena adanya
keterampilan interpersonal antara guru dengan peserta didik saat percakapan
dalam pembelajaran berlangsung. Ada delapan keterampilan mengajar yang
sangat berperan meningkatkan kualitas proses pembelajaran yaitu keterampilan
bertanya, memberi penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan, membuka dan
menutup pelajaran, membimbing diskusi kecil, mengelola kelas, serta mengajar
kelompok kecil dan perorangan (Turney dalam E. Mulyasa, 2006: 69).
Selain itu, guru perlu memperhatikan beberapa hal untuk menciptakan
lingkungan yang mendukung dan membuat peserta didik nyaman dalam belajar
berbahasa antara lain:
a. Guru memegang teguh pameo, “peserta didik tidak peduli seberapa banyak
yang guru ketahui sampai mereka tahu seberapa jauh guru peduli”.
b. Guru dapat menyampaikan harapan atau tujuan pembelajaran dengan jelas.
c. Guru mempunyai waktu untuk mendengarkan peserta didik.
d. Mengakui, mendorong dan membantu capaian dan perilaku peserta didik.
e. Jangan menggunakan sarkasme atau mengejek saat berbicara kepada peserta
didik (Rolanld Partin, 2009:13-17).
Bertolak dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa seorang guru hanya akan
mendapat rasa hormat, jika ia menunjukkan rasa hormat; akan dapat
mengembangkan kelas dengan cara memusatkan diri pada peserta didik daripada
memusatkan pada mata pelajaran. Tujuan pembelajaran yang jelas membuat
peserta didik tidak bingung dalam mengikuti pembelajaran sekaligus peserta didik
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
dan guru secara tidak langsung akan berusaha menyamakan persepsi mengenai hal
yang akan dipelajari dengan hal yang telah dipelajari sebelumnya. Dan setiap
peserta didik juga ingin dihargai saat mengutarakan pendapat maupun kesulitan
belajar yang mengganggu konsentrasi belajar. Jika hal tersebut tidak diselesaikan
maka percakapan dalam pembelajaran akan didominasi oleh guru. Selain itu,
memperhatikan tuturan saat bercakap dengan peserta didik merupakan hal yang
terpenting dalam membangun kondisi emosi peserta didik dalam menguasai
keterampilan berbahasa.
Percakapan yang terjadi di kelas baik antara guru dengan peserta didik
maupun antar peserta didik secara tidak langsung juga sangat mempengaruhi
perkembangan berbahasa peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Jack C.
Richard (1995: 2) yang menyimpulkan bahwa percakapan adalah suatu aktivitas
yang diatur dengan kaidah, norma, dan konvensi yang dipelajari sabagai bagian
dari proses pemerolehan kompetensi berbahasa. Dengan kata lain, percakapan
merupakan salah satu peristiwa tutur yang tidak sekedar pertukaran informasi
antara penutur dan mitra tutur, melainkan lebih pada saling berbagi prinsip-prinsip
umum agar dapat saling menginterpretasi ujaran yang dihasilkan.
Dwi Purnanto (2003: 95) juga menambahkan bahwa setiap tuturan akan selalu
mengandung ide, sedangkan setiap peristiwa komunikasi dalam komunitas
senantiasa mengandung pola kegiatan tutor yang mencerminkan kompetensi
komunikatif penutur. Hal ini juga terjadi dalam pembelajaran di kelas yang tidak
hanya sekedar aktivitas dasar atau meniru dialog, tetapi memfokuskan pada
pemahaman dan pertalian percakapan pembelajaran. Peserta didik sebenarnya
memerlukan contoh atau model berbahasa, respon atau tanggapan serta teman
untuk berlatih dan beruji coba dalam belajar bahasa dalam konteks yang
sesungguhnya. Sehingga perlu adanya arahan dari guru secara nyata tanpa
menghilangkan kesempatan peserta didik untuk melatih kemampuan
komunikasinya.
Secara tidak langsung, guru dituntut untuk selalu jeli dalam rangka
memilah,lingkungan tuturan yang harus diciptakan agar menjadikan proses
pendidikan berlangsung. Proses penciptaan lingkungan tuturan sendiri sudah
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
harus dikaitkan dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisik. Kedua hal
tersebut tidak dapat diabaikan atau ditinggalkan sama sekali. Mengelola keduanya
untuk dapat dikaitkan dengan peserta didik sehingga terjadi proses sosialisasi nilai
berkomunikasi. St. Y. Slamet (2008: 35) menyebutkan bahwa peserta didik adalah
produk lingkungan, jika sering diajak berbicara dan mampu menjawab sekaligus
diberi kesempatan belajar dan melatih keterampilan berbicaranya maka peserta
didik tersebut akan terampil berbicara. Oleh sebab itu, pembelajaran berbahasa
yang mengaktifkan pelaku komunitas kelas (baik guru maupun peserta didik)
sangat menunjang dalam menjadikan hal-hal yang disampaikan dapat diterima
oleh peserta didik. Wujud pengorganisiran lingkungan dalam kelas akan menjadi
bermakna secara sosiologis apabila ada manfaat yang dapat diambil oleh peserta
didik untuk mencapai kedewasaan berkomunikasi yang mandiri.
Hasil penelitian Baldie dalam Abdul Chaer (2002: 238) yang menyimpulkan
bahwa baru sekitar 80% dari anak usia tujuh setengah sampai delapan tahun dapat
menggunakan kalimat pasif dan kesulitan dalam mengontruksi kalimat imperatif,
tetapi sudah dapat menggunakan bahasa dalam konteks dengan memperhatikan
kesopanan. Hal ini hampir sama dengan pendapat Muhibbin Syah (2008: 67) yang
mengungkapkan bahwa tahap ketiga setelah tahap sensory-motor dan pre-
operational adalah tahap operasional konkret pada anak usia tujuh hingga sebelas
tahun yang mulai membentuk representasi simbolik benda-benda di sekitarnya
seperti permainan simbolik, peniruan, bayangan mental, gambar-gambar dan lain-
lain. Ghazali (2004: 213) berdasarkan penelitiannya juga menyimpulkan bahwa
pengembangan inti leksikal dan inti fungsional tuturan menuju proyeksi maksimal
dalam bahasa Indonesia (bahasa kedua) siswa SD ternyata terjadi secara bertahap,
sebagaimana dapat diikuti dari perkembangan kerumitan kalimat siswa SD kelas
IV, V, dan VI. Oleh karena itu, ujaran yang diterima merupakan sintesis dari
proses pengubahan konsep menjadi kode untuk direspon, sedangkan pemahaman
pesan merupakan rekognisi sebagai hasil analisis terhadap kode yang diterima
sehingga terbentuklah representasi makna.
Dengan penjabaran di atas, membuktikan bahwa pada periode usia sekolah
perkembangan bahasa yang paling jelas tampak adalah perkembangan semantik
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
dan pragmatik, di samping mempelajari bentuk-bentuk baru, peserta didik belajar
menggunakannya untuk berkomunikasi dengan lebih efektif. Ada dua jenis
penambahan makna kata secara horizontal yaitu peserta didik semakin mampu
memahami dan dapat menggunakan suatu kata dengan makna yang tepat. Adapun
penambahan vertikal berupa peningkatan jumlah kata yang dapat dipahami dan
digunakan dengan tepat. Selain itu, terjadi pula perkembangan kemampuan
menggunakan kalimat dengan lengkap baik secara lisan maupun secara tertulis.
Penggunaan klausa dan frase yang kompleks serta penggunaan kalimat yang
bervariasi pun meningkat.
Kegiatan proses belajar mengajar merupakan proses menanamkan norma
dalam jiwa peserta didik melalui peranan guru dalam pembelajaran sehingga
terjalin interaksi edukatif. Syaiful Bahri Djamarah (2005:11) mengungkapkan
bahwa proses interaktif edukatif menggambarkan percakapan dua arah antara guru
dan peserta didik yang mengandung norma pengantar tingkah laku yang sesuai
pengetahuan peserta didik. Oleh karena itu, percakapan dalam pembelajaran
bahasa Indonesia kelas V seharusnya telah mengarah pada kesantunan berbahasa
sehingga tuturan guru pada peserta didik memperhatikan pencapaian interaksi
edukatif dengan penggunaan bahasa yang lebih mementingkan aspek kesopanan
sesuai SK dan KD.
Sopan santun dapat ditunjukkan tidak hanya dalam bentuk tindakan, tetapi
juga dalam bentuk tuturan. Membukakan pintu bagi seseorang jauh lebih sopan
daripada membanting pintu di hadapan seseorang. Demikian juga dalam tuturan
“Silakan masuk” lebih sopan daripada tuturan “Masuk!”. Sopan santun dalam
bentuk tuturan atau kesantunan berbahasa setidaknya bukan semata-mata motivasi
utama bagi penutur untuk berbicara, melainkan merupakan faktor pengatur yang
menjaga agar percakapan berlangsung dengan lancar, menyenangkan, dan tidak
sia-sia. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Geoffrey Leech (1993:38) bahwa
manusia pada umumnya lebih senang mengungkapkan pendapat-pendapat yang
sopan daripada yang tidak sopan.
Untuk itulah, penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran
berbahasa merupakan metode yang baik untuk mengarahkan interaksi kelas sesuai
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
tujuan pembelajaran. Meskipun juga rawan ketidakpahaman tuturan antara
penutur dengan mitra tutur jika tidak diimbangi dengan praanggapan yang sama
atau faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemahaman tuturan. Apalagi jika
bahasa yang digunakan penutur dan mitra tutur merupakan bahasa kedua (bahasa
Indonesia) dan masih dalam tingkatan belajar. Peran guru dan penanaman
kebiasaan dalam pembelajaran berbahasa sangat penting guna mendukung
kelancaran komunikasi antara guru dengan peserta didik yang masih
menggunakan dua bahasa pengantar yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Hal
ini ditambah dengan SD Negeri I Pondok yang dampak globalisasi belum terlalu
mengikis nilai kesopanan, membuat peserta didik sekolah ini masih menganggap
guru sebagai sosok yang disegani.
B. Penelitian yang Relevan
Hasil Penelitian sebelumnya yang relevan dan dapat dijadikan acuan serta
masukan pada penelitian ini adalah (1) Chusni Hadiati dalam tesis yang berjudul
“Tindak Tutur dan Implikatur Percakapan Tokoh Wanita dan Tokoh Laki-Laki
dalam Film The Sound Of Music tahun 2007”, (2) Anina Syaifatul dalam skripsi
yang berjudul “Implikatur Percakapan dalam Wacana Humor Berbahasa
Indonesia tahun 2005”, (3) Eriza Muraqin dalam skripsi yang berjudul
“Implikatur Percakapan Pada Bahasa Iklan Produk (Studi Kasus Di Radio Gsm
Fm) tahun 2009”, dan (4) Sudirman dalam laporan penelitian yang berjudul
“Implikatur dalam Percakapan Bahasa Inggris Siswa SMA: Studi Pragmatik tahun
2005”.
Chusni Hadiati dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa tindak tutur dan
implikatur percakapan yang ditimbulkan oleh pelanggaran prinsip kerja sama dan
kesantunan pada wacana percakapan film The Sound of Music adalah sebagai
berikut: (1) implikatur representatif (2) implikatur direktif; (3) implikatur komisif;
(4) implikatur ekspresif. Alasan perbedaan tuturan tokoh wanita dan tokoh laki-
laki itu disebabkan adanya kecenderungan kaum subordinat (wanita) untuk
berperilaku sopan termasuk dalam penggunaan bahasa dan bentuk bahasa yang
sopan dalam merefleksikan asal kelas sosial penutur.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Penekanan dalam penelitian tersebut terletak pada pelanggaran prinsip
percakapan (kerjasama dan kesantunan) dan alasan perbedaan tuturan tokoh pria
dan wanita dalam menggunakan implikatur percakapan. Yang secara tidak
langsung telah membuktikan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi cara
berbahasa seseorang terutama dalam menjaga “wajah” baik penutur mapun mitra
tutur. Salah satu faktor penentu tindak bahasa tersebut adalah perbedaan sosial
terutama masalah genre. Dalam hal ini, peneliti menjadi tertarik untuk meneliti
wujud implikatur percakapan guru dengan peserta didik maupun peserta didik
dengan peserta didik lain yang mempunyai latar belakang sosial yang berbeda.
Apalagi di sekolah SD Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo ini
masih menganggap seorang guru mempunyai kedudukan setara bahkan lebih
disegani oleh peserta didik dibanding orang tua peserta didik itu sendiri.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anina Syaifatul menyimpulkan wujud
lingual implikatur percakapan dalam wacana humor berbahasa Indonesia dapat
berupa (1) kalimat deklaratif, (2) kalimat imperatif, dan (3) kalimat interogatif, (4)
gabungan antara kalimat interogatif dengan deklaratif, (5) gabungan antara
kalimat interogatif dengan kalimat imperatif, (6) gabungan antara kalimat
deklaratif dengan kalimat imperatif, dan (7) gabungan antara kalimat deklaratif,
interogatif, dan kalimat imperatif. Implikasi pragmatis implikatur percakapan
meliputi implikasi pragmatis yang menyatakan (1) penutur kurang memahami
tuturan yang disampaikan oleh mitra tutur, (2) penutur meminta pengertian mitra
tutur akan tuturan yang disampaikannya, (3) penutur mengelabuhi mitra tutur, (4)
penutur merasa senang, (5) penutur harus atau pasti melakukan pekerjaan yang
dimaksudkan oleh penutur, dan (6) apa yang disampaikan penutur sesuai dengan
yang sebenarnya terjadi. Sedangkan fungsi implikasi implikatur percakapan yang
digunakan dalam wacana tersebut meliputi (1) menyindir, (2) menghibur, (3)
memerintah, dan (4) mengejek. Selain itu, Anina Syaifatul juga menyarankan
agar humor sebagai sarana yang ampuh dalam masyarakat hendaknya dapat
ditingkatkan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal ini
dengan maksud agar dapat memberikan hiburan dan memberikan kelegaan hati
agar tidak selalu tegang dan serius.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Bertolak dari penelitian tersebut, peneliti berpendapat bahwa setiap tuturan
baik lisan maupun tulisan memiliki tujuan dan fungsi yang berbeda-beda
meskipun wujud yang digunakan hampir sama. Bahkan wacana humor yang
dianggap hanya sebagai hiburan ternyata memiliki beragam fungsi selain untuk
menghibur. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengetahui fungsi dan
tujuan implikatur percakapan yang digunakan guru dan peserta didik dalam
pembelajaran yang notabene tidak hanya sekedar penyampaian materi, tetapi juga
dalam hal mendidik individu sesuai tujuan pembelajaran.
Penelitian yang dilakukan Eriza Muraqin yang menunjukkan tuturan yang
mengandung implikatur percakapan dalam iklan produk di radio GSM FM terdiri
dari dua bentuk tuturan yaitu tuturan yang berbentuk direktif dan tuturan
berbentuk deklaratif. Implikatur yang terjadi pada bahasa iklan produk di radio
GSM FM pada umumnya ditimbulkan oleh rasa ingin tahu pendengar dan
keinginan untuk mencoba terhadap produk yang ditawarkan oleh pemasang iklan.
Faktor yang menyebabkan adanya pemakaian implikatur dalam iklan produk di
radio GSM FM diantaranya faktor ekonomi, faktor kebutuhan masyarakat, dan
faktor efektivitas produk. Hasil penelitian Eriza Muraqin ini mendorong peneliti
untuk mengkaji implikatur percakapan dalam percakapan lain yaitu pembelajaran
bahasa Indonesia yang tidak hanya mementingkan aspek komunikatif tetapi juga
aspek kesantunan berbahasa secara langsung (tatap muka). Wujud dan alasan
implikatur percakapan yang telah disebutkan dalam penelitiannya dapat dijadikan
sebagai acuan dalam memperoleh keterangan atau informasi lainnya.
Secara umum hasil penelitian yang dilakukan Sudirman menguraikan bahwa
bentuk lingual implikatur percakapan bahasa Inggris siswa SMA Bandar
Lampung bervariasi terdiri dari kata, frase, klausa hingga kalimat yang mengarah
pada kesepahaman dan keterusterangan antara pembicara dan pendengar. Tetapi,
implikasi implikatur ditandai dengan penggunaan maksim gramatikal yang ketat
untuk mempertahankan hubungan formal-fungsional baik sebagai guru, peserta
didik maupun antar peserta didik. Sudirman juga menyarankan agar peserta didik
maupun guru perlu diharapkan menggunakan maksim komunikatif yang lebih
fleksibel dan sesuai pilihan penutur bukan semata-mata karena belajar berbahasa.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Dari hasil penelitian Sudirman mengenai implikatur dalam pembelajaran
bahasa Inggris, peneliti berpendapat bahwa alasan penggunaan atau pelanggaran
maksim saat percakapan sangat dipengaruhi pemahaman dan kebiasaan
menggunakan bahasa. Secara tidak langsung ketidakpengertian alasan guru
maupun peserta didik menggunakan implikatur percakapan bahasa Inggris dalam
pembelajaran di Bandar Lampung berakibat pembelajaran justru semakin kaku.
Hal ini mendorong peneliti untuk mengkaji implikatur percakapan untuk
pembelajaran bahasa Indonesia kelas V di daerah pedesaan yaitu SD Negeri
Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten yang justru menganggap penggunaan
implikatur percakapan sebagai salah satu metode pembelajaran kesantunan yang
rileks untuk mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, peneliti terdorong
mengkaji alasaan penggunaan implikatur percakapan lebih mendalam yang tidak
sekedar mempertahankan hubungan formal-fungsional tetapi juga alasan lain
seperti situasi pembelajaran hingga faktor pribadi penutur dan mitra tutur.
C. Kerangka Berpikir
Setiap pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas selalu terjadi proses
komunikasi atau peristiwa tutur antara guru dan peserta didik yang saling
menyampaikan gagasan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tuturan tersebut
dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu lokusi adalah makna dasar dan
makna referensi (makna yang diacu) oleh ujaran itu; ilokusi adalah kekuatan yang
ditimbulkan oleh penggunaan ujaran itu sebagai perintah, ujian, ejekan, keluhan,
janji, dan sebagainya; serta yang terakhir perlokusi adalah hasil atau efek dari
ujaran itu terhadap pendengar (mitra tutur), baik yang nyata maupun yang
diharapkan. Bahasa digunakan penutur untuk menyampaikan maksudnya dengan
wujud tuturan yang tidak terbatas. Tetapi, agar komunikasi lancar, penutur dan
mitra tutur seharusnya menaati prinsip-prinsip percakapan (prinsip kerja sama).
Hanya saja, di dalam pembelajaran bahasa Indonesia, guru atau peserta didik tidak
jarang sengaja melanggar prinsip percakapan saat menyampaikan maksud tertentu
(terutama untuk memenuhi prinsip kesantunan) kepada mitra tutur secara implisit
yang disebut implikatur percakapan. Untuk itulah, kehadiran konteks sangat
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
penting dalam memahami maksud pelanggaran prinsip kerja sama dan kesantunan
penutur.
Dalam penafsirannya, bahasa memerlukan analisis wacana sebagai
penginterpretasi maksud. Salah satunya adalah wacana lisan dalam pembelajaran
bahasa Indonesia yang unsur paralingualnya lebih dapat dipertanggungjawabkan
ketepatan penafsirannya dengan memperhatikan rekontruksi bentuk lisan yang
dapat dipertangungjawabkan. Secara pragmatik, kajian tentang bentuk implikatur
percakapan dalam interaksi guru dan peserta didik mengutamakan fungsi dan
maksud tuturan. Untuk itu, pemanfaatan model teoritik pragmatik dan implikatur
percakapan ini didasarkan kepada makna tuturan guru dan peserta didik ketika
dialog secara fungsional sehingga dapat diketahui wujud, fungsi dan tujuan
sekaligus alasan penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa
Indonesia kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.
Dalam penelitian ini, peneliti merekaman konversasi pembelajaran bahasa
Indonesia yang diujarkan oleh guru atau peserta didik. Kemudian peneliti
menganalisis data tersebut untuk diketahui wujud implikatur percakapan yang
terdapat pada konversasi tersebut dan dihubungkan dengan hasil observasi peneliti
untuk mengetahui alasan yang menyebabkan implikatur percakapan tersebut
dituturkan. Hasil data ini juga didukung dengan hasil wawancara kepada guru dan
peserta didik yang bersangkutan sehingga juga diketahui fungsi dan tujuan
implikatur percakapan yang dituturkan.
Hasil akhir transkrip, observasi dan wawancara kemudian disimpulkan untuk
mengetahui pola implikatur percakapan yang digunakan dalam konversasi di kelas
V SD Pondik I Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. Kerangka berpikir
penelitian implikatur percakapan dalam pembelajaran berbahasa Indonesia pada
kelas V SD Negeri Pondok 1 kecamatan Nguter kabupaten Sukoharjo dapat
dilihat pada Gambar 3.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Gambar 3. Kerangka Berpikir Penelitian Implikatur Percakapan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini mengambil tempat di SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter
Kabupaten Sukoharjo, tepatnya kelas V saat pembelajaran bahasa Indonesia yang
berfungsi sebagai tempat pengambilan data berupa rekaman pembelajaran untuk
mendukung penelitian.
Waktu yang diperlukan dalam penelitian dari menyusun proposal sampai
laporan skripsi dilakukan selama 8 bulan, yaitu bulan September 2010 sampai
dengan April 2011. Adapun rincian waktu dan jenis kegiatan penelitian dapat
dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 1. Pembagian Waktu Penelitian
No Nama Kegiatan Bulan
Sept Okt Nov Des Jan Peb Mar Apr
1 Pengajuan dan
Revisi Proposal
2 Perizinan
Penelitian
3 Pengumpulan
data dan
Analisis data
4 Penyusunan
Laporan
5 Ujian
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, bentuk penelitian
ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian
yang bertujuan untuk melukiskan atau menggambarkan realita yang ada.
68
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Sudarwan Danin (2002 : 51) mengungkapkan data yang dikumpulkan dalam
penelitian yang bersifat deskripsi berupa kata-kata atau gambar yang mempunyai
arti lebih dari sekedar angka atau jumlah karena angka hanyalah sebagai
penunjang. Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tunggal
terpancang. Menurut Yin (dalam Sutopo, 2002: 41) strategi tunggal terpancang
adalah strategi penelitian deskriptif kualitatif yang fokus penelitiannya telah
ditentukan berdasarkan tujuan dan minat peneliti sebelum terjun ke lapangan
studinya. Dalam penelitian ini, masalah telah difokuskan pada satu situasi yaitu
mengenai implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas
V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.
C. Sumber Data
Data yang dikaji dalam penelitian ini berupa data kualitatif. Menurut Sutopo
(2002: 49-51), jenis-jenis sumber data dalam penelitian kualitatif adalah
narumber/informan, peristiwa/aktivitas, tempat/ lokasi, dan dokumen/ arsip.
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Data yang dikaji dalam penelitian ini berupa data verbal kualitatif. Sehubungan
dengan penelitian ini, sumber data yang digunakan sebagai berikut.
1. Peristiwa/ aktivitas
Peristiwa/ aktivitas pembelajaran bahasa Indonesia SD Negeri Pondok 1
Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo terfokus pada bahasa dan konteks
tuturan yang diperoleh melalui pengamatan dan pencatatan lapangan secara
langsung. Konteks tuturan diperoleh peneliti dengan mengadakan pencatatan
lapangan setiap mengadakan perekaman dan dimasukkan dalam sumber data
karena konteks tuturan berpengaruh terhadap pemaknaan sebuah tuturan.
Sekaligus transkip hasil wawancara terhadap narasumber, baik guru dan kepala
sekolah maupun peserta didik yang berupa catatan lapangan.
2. Informan
Informan pertama yang dipilih adalah Kepala Sekolah SD Pondok 1, yaitu
Munasiroh, S. Pd. selaku kepala sekolah SD Negeri Pondok 1 Kecamatan
Nguter Kabupaten Sukoharjo sekaligus sebagai pengampu pembelajaran
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
bahasa Jawa. Informan selanjutnya, Ibu Sri Suwarni, S. Pd. selaku wali kelas
V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo yang
sekaligus mengampu mata pelajaran bahasa Indonesia.
Informan lain yang digunakan untuk memperoleh kelengkapan data adalah
peserta didik yang bertindak sebagai mitra tutur guru dalam pembelajaran
bahasa Indonesia sekaligus konteks penting dalam penafsiran tuturan guru
maupun peserta didik lain. Dari 15 peserta didik di kelas V SD ini dipilih 6
peserta didik yang diwawancarai yaitu siswa yang aktif, tidak terlalu aktif
tuturan dan acuh merespon tuturan berimplikatur percakapan guru maupun
peserta didik lain. Pengkategorian ini juga diperkuat dengan penjelasan guru
dan informasi mengenai latar belakang sosial dan karakteristik peserta didik
saat pembelajaran bahasa Indonesia yang mempengaruhi keaktifan peserta
didik dalam merespon dan memahami tuturan. Berdasarkan ketentuan di atas,
peserta didik yang terlibat sebagai informan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
Tabel 2. Daftar Peserta Didik yang Dipilih sebagai Informan
No. NISN Nama
Identitas Peserta didik
Kategori Rangking Tempat
Lahir Alamat
1. 2826 Luluk Riska
Pratiwi Aktif 1 Sukoharjo Bodehan
2. 2822 Canggih
Wicaksono Aktif 9 Sukoharjo Bodehan
3. 2825 Fauzan Ibnu
Hasan Sedang 3 Sukoharjo Bodehan
4. 2824 Dyah Nurulita Sedang 2 Purbalingga Bodehan
5. 2816 Abdul Azis Pasif 12 Sukoharjo Jimbun
6. 2818 Anggraeni
Nilam Saputri Pasif 15 Salatiga Gayam
D. Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling karena sampel diambil berdasarkan pertimbangan dan tujuan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
tertentu. Hal ini sesuai pendapat Syamsuddin AR dan Vismaia S. Damaianti
(2006: 89) yang menyatakan bahwa sampling pada penelitian kualitatif
merupakan pilihan peneliti tanpa harus representatif terhadap populasi, tetapi
representatif terhadap informasi yang holistik. Pada penelitian ini diwujudkan
dalam pemilihan percakapan pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas V SD
Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo yang mengandung
implikatur percakapan sebagai sampel.
Data dalam penelitian ini bersumber pada pembelajaran bahasa Indonesia di
Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. Data
tersebut diambil dari tuturan berimplikatur dalam pembelajaran bahasa Indonesia
yang mencerminkan prinsip sopan santun dalam berbahasa di Kelas V SD Negeri
Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo dalam tuturan guru maupun
peserta didik pada beberapa pembelajaran bahasa Indonesia yang dilaksanakan
hari Senin jam pertama sampai kedua dan Selasa jam kelima sampai ketujuh
terutama pada bulan Januari sebagai awal pembelajaran semester II sehingga
antara guru dan peserta didik telah saling mengetahui kebiasaan dan karakteristik
mitra tutur dan penutur yang mempengaruhi penggunaan implikatur percakapan.
Peneliti tepatnya menganalisis pembelajaran hari Senin tanggal 3 Januari 2011,
Selasa tanggal 11 Januari 2011, dan Senin tanggal 17 Januari 2011 dengan jumlah
data yang mencapai 2016 tuturan karena telah mewakili informasi
(mengonfirmasi) untuk menentukan pola penggunaan implikatur percakapan yang
digunakan. Data implikatur percakapan ini dipahami secara pragmatis, sedangkan
tuturan guru dan peserta didik yang maknanya bersifat literal dipahami secara
semantik. Selanjutnya diselidiki lebih dalam dengan wawancara pada guru dan
peserta didik yang berimplikatur percakapan untuk memperoleh pola penggunaan
implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia dan memungkinkan
untuk dikelompokkan melalui penerapan teori yang ada. Sehingga data yang
digunakan dalam penelitian ini tidak sebagai yang mewakili populasinya tetapi
lebih cenderung mewakili informasinya.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
E. Teknik Pengumpulan Data
Syamsuddin AR dan Vismaia S. Damaianti (2006: 94) menjelaskan bahwa
terdapat beberapa teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif agar
sesuatu data yang ingin diperoleh peneliti seperti wawancara, observasi,
dokumentasi, serta teknik dan model analisis data. Teknik pengumpulan data pada
penelitian ini dilakukan dengan:
1) Observasi
Observasi digunakan untuk mengetahui secara langsung peristiwa percakapan
dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas V SD Negeri Pondok 1
Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.
2) Simak dan Catat
Peneliti menggunakan teknik ini untuk 2 tujuan. Pertama, peneliti menyimak
dan mencatat hal-hal yang tidak bisa direkam dengan alat perekam seperti
konteks yang terjadi saat dialog berlangsung. Dan kedua, peneliti
menggunakan teknik ini untuk menyajikan hasil rekaman dalam bentuk
transkrip rekaman dialog.
3) Wawancara mendalam
Wawancara mendalam dilakukan peneliti dengan mewawancarai kepala
sekolah sekaligus pengampu pembelajaran bahasa Jawa kelas I sampai kelas
VI sehingga wawancara peneliti fokuskan untuk mengetahui alasan perbedaan
penggunaan implikatur percakapan di kelas V dibanding kelas rendah secara
umum. Peneliti juga mewawancarai wali kelas serta enam peserta didik kelas
V sebagai penutur maupun mitra tutur dalam pembelajaran bahasa Indonesia
di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo
untuk mengetahui tujuan dan fungsi serta alasan yang mendorong penggunaan
tuturan berimplikatur percakapan saat pembelajaran bahasa Indonesia.
4) Perekaman
Peneliti menggunakan teknik ini untuk merekam dialog yang terjadi dalam
pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan
Nguter Kabupaten Sukoharjo. Rekaman ini kemudian ditranskripkan agar
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
dapat membantu dalam menangkap informasi dan menginterpretasikan makna
yang terkandung dalam tuturan.
F. Uji Validitas Data
Cara yang paling umum digunakan untuk peningkatan validitas dalam
penelitian kualitatif adalah teknik trianggulasi. Lexi J. Moleong (2002: 178)
menyatakan bahwa trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau
pembanding terhadap data. Dalam penelitian ini digunakan trianggulasi metode,
trianggulasi teori dan trianggulasi sumber serta review informan.
Trianggulasi metode yaitu menekankan pada teknik pengumpulan data yang
berbeda untuk mendapatkan hasil data yang sejenis. Peneliti menggunakan
trianggulasi metode karena data yang dihasilkan didapat dari teknik pengumpulan
data yang berbeda yaitu dari teknik observasi yang didukung oleh rekaman dan
simak catat kemudian dikonfirmasikan dengan informan.
Triangulasi teori yaitu menggunakan beberapa perspektif teori yang berbeda
untuk membahasa permasalahan yang dikaji agar dapat menyimpulkan lebih tepat
dan diterima kebenarannya. Peneliti menggunakan teknik triangulasi teori karena
menyesuaikan karakteristik data yang perlu dikaji dengan beberapa teori disiplin
ilmu yang berbeda atau teori berbeda tetapi masih dalam satu disiplin ilmu.
Data dari suatu sumber tidak secara langsung dapat dianggap mewakili
populasi namun harus dibandingkan dengan sumber yang lain terlebih dahulu
untuk pemeriksaan keabsahan data yang diambil. Dengan demikian, maka peneliti
telah melakukan trianggulasi sumber yaitu informasi dari guru dan peserta didik
yang melakukan implikatur untuk menjawab keabsahan data yang diambil.
Selain itu, peneliti juga melakukan review informan untuk meneliti ulang data
yang diperoleh dari infoman sehingga meminimalisasi kesalahan atau
ketertinggalan informasi dari wawancara sebelumnya. Oleh karena itu, peneliti
memperbaiki kebenaran data dengan memperlihatkan deskripsi hasil wawancara
dan transkrip percakapan dalam pembelajaran kepada informan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
G. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini pada dasarnya dilakukan secara bersamaan
dengan proses pelaksanaan pengumpulan data. Proses analisis data dalam
penelitian ini menggunakan model analisis interaktif (interaktif model of
analysis), artinya bahwa ketiga komponen analisis tersebut aktivitasnya dapat
dilakukan dengan interaksi baik antar komponennya maupun dengan proses
pengumpulan data dalam bentuk proses yang berbentuk siklus (Sutopo, 2002: 94).
Adapun keempat komponen itu antara lain:
1. Pengumpulan data
Dalam penelitian ini peneliti secara periodik mengumpulkan data dari
berbagai sumber antara lain dari teknik rekam dan simak catat.
2. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang
muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Kegiatan ini berlangsung
terus menerus selama penelitian. Dalam penelitian ini, setelah transkrip data
tentang tuturan guru dan peserta didik selesai dilakukan, kemudian data
tersebut disederhanakan dan diseleksi yang kiranya dapat mewakili analisis
pola penggunaan implikatur percakapan. Lalu diberi kode/ identitas data
sesuai dengan wujud, fungsi dan tujuan serta alasan penggunaan implikatur
percakapan, misalnya MKN, MKL, MKH, MSP, MSS dan lain-lain.
3. Penyajian data
Setelah reduksi data selesai dilakukan, kemudian disajikan dalam bentuk
laporan berbentuk deskripsi naratif yang sistematis meliputi identitas informan
dan transkrip pembelajaran disertai identitas data sehingga diharapkan dapat
memudahkan adanya penarikan kesimpulan.
4. Penarikan kesimpulan/Verifikasi
Kesimpulan merupakan jawaban dari permasalahan yang muncul dalam
penelitian. Penarikan kesimpulan ini berpedoman pada penafsiran alasan
pelanggaran prinsip kerjasama yang dilakukan penutur untuk mencapai
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Pengumpulan Data
kesantunan berbahasa dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Tahap inilah
dapat diketahui ketercapaian tujuan penelitian atau tidak, sekaligus untuk
memperkuat dan mempertanggungjawabkan temuan penelitian. Penarikan
kesimpulan didasarkan pengorganisasian informasi yang diperoleh dalam
analisis data.
Gambar 4. Model Analisis Interaktif (Miles dan Hiberman dalam Sutopo,
2002: 96)
H. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah rangkaian tahap kegiatan penelitian dari awal
hingga akhir. Tahap-tahap penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Tahap Persiapan
a. Melakukan prapenelitian untuk mendapatkan gambaran tentang objek
penelitian dan perijinan penelitian
b. Mengajukan judul dan membuat proposal
c. Mengumpulkan data sesuai dengan teknik pengumpulan data yang telah
direncanakan
2. Tahap Analisis Data
a. Mengelompokan data yang terkumpul sesuai dengan tujuan peneliti
b. Menganalisis transkrip rekaman pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas
V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.
3. Tahap Akhirs
a. Menulis kesimpulan akhir dari seluruh analisis yang telah dilakukan
b. Menyusun laporan penelitian
Reduksi Data Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
E. Deskripsi Latar Penelitian
SD Negeri Pondok 1 yang terletak di Dukuh Bodehan Desa Pondok
Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo merupakan sekolah dasar di lingkungan
pedesaan yang hanya mempunyai empat guru berstatus pegawai negeri yaitu
kepala sekolah, wali kelas IV, V dan VI. Hal ini bukan karena sekolah ini kurang
kualitas, melainkan justru karena beberapa guru yang berprestasi di sekolah ini
diangkat dan dipindah ke sekolah lain, contohnya wali kelas V tahun pelajaran
2006/2007 yang menjadi diangkat menjadi kepala sekolah di SD lain. Dan untuk
wali kelas V empat tahun ini yaitu Ibu Sri Suwarni, S. Pd. yang sebelumnya
mengampu kelas V di SD Negeri Serut 1 sejak tahun 1993 hingga 2008, masih
dalam proses pengajuan menjadi kepala sekolah. Selain itu, peserta didik sekolah
ini cukup membanggakan dalam akademik maupun non akademik terutama untuk
lomba yang diwakili guru maupun peserta didik kelas V.
Lingkungan sekitar sekolah yang masih menggunakan bahasa Jawa sebagai
bahasa sehari-hari merupakan alasan kebijakan sekolah ini untuk menjadikan
bahasa Jawa sebagai mata pelajaran yang penting seperti halnya bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris. Sehingga pembelajaran bahasa di sekolah ini terdiri dari tiga
mata pelajaran yaitu mata pelajaran bahasa Indonesia, Inggris, dan Jawa. Meski
secara tertulis, pengampu mata pelajaran bahasa Jawa adalah Ibu Munasyiroh, S.
Pd. selaku kepala sekolah, tetapi pada kenyataannya justru wali kelaslah yang
lebih banyak berperan dalam mata pelajaran ini, termasuk wali kelas V menjadi
pengampu delapan mata pelajaran termasuk mata pelajaran bahasa Indonesia dan
Jawa. Sedangkan untuk mata pelajaran bahasa Inggris diampu oleh guru tersendiri
sehingga tidak menjadi wewenang wali kelas.
Pengambilan data penelitian ini dilakukan saat pembelajaran bahasa
Indonesia yang mencerminkan intraksi dua arah dengan mematuhi prinsip sopan
santun berbahasa di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten
Sukoharjo. Lebih tepatnya, pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran
76
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
pada bulan Januari sebagai awal pembelajaran semester II sehingga antara guru
dan peserta didik telah saling mengetahui kebiasaan dan karakteristik mitra tutur
dan penutur yang mempengaruhi penggunaan implikatur percakapan. Dari
beberapa pembelajaran yang direkam, peneliti menganalisis 7 x 35 menit (tiga
pertemuan) yang telah mewakili informasi (mengonfirmasi) untuk menentukan
pola penggunaan implikatur percakapan di kelas V tepatnya hari Senin tanggal 3
Januari 2011, Selasa tanggal 11 Januari 2011, dan Senin 17 Januari 2011. Dalam
ketiga pembelajaran tersebut, peneliti membahas sejumlah data mengenai wujud
implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas V SD
Negeri Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo yang meliputi
pelanggaran maksim kerjasama sekaligus penerapan maksim sopan santun.
Peneliti juga membahas mengenai fungsi dan tujuan serta alasan penggunaan
implikatur percakapan yang diujarkan guru maupun peserta didik dalam
pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas V SD Negeri Pondok 1 Kecamatan
Nguter Kabupaten Sukoharjo. Derskripsi data dari wujud, fungsi dan tujuan
implikatur percakapan dalam penelitian ini selengkapnya dapat dilihat dalam
lampiran transkrip percakapan.
F. Hasil Penelitian
1. Wujud Tutur Implikatur Percakapan
Implikatur percakapan merupakan implikasi pragmatis yang terdapat pada
percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan.
Wujud implikatur percakapan dalam penelitian ini tercermin dalam pelanggaran
prinsip kerjasama dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Prinsip kerjasama yang
lebih menekankan pada penggunaan segala ujaran sesuai dengan tujuan
percakapan yang telah disepakati atau sesuai arah percakapan yang diiikuti sering
dilanggar untuk mematuhi prinsip sopan-santun. Prinsip sopan-santun dalam
berkomunikasi dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara
penutur dan mitra tutur karena lebih bersifat sosial, estetis, dan moral dalam
melakukan suatu percakapan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Penelitian ini hanya menganalisis wujud implikatur percakapan yang
melanggar prinsip kerjasama, tetapi menaati prinsip sopan santun dalam
pembelajaran bahasa Indonesia kelas V. Hal ini sesuai kompetensi dasar yang
harus dimiliki peserta didik kelas V agar mementingkan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik, benar dan santun dalam menerapkan keterampilan
berbahasa. Untuk lebih memudahkan penjelasan tentang wujud implikatur
percakapan pada penelitian ini, peneliti hanya menyajikan beberapa jenis
pelanggaran prinsip kerjasama dalam penerapan prinsip sopan santun sebagai
contoh data.
Penyajian contoh wujud tutur implikatur dalam pembelajaran bahasa
Indonesia hasil penelitian ini diurutkan sesuai pengelompokan pada Bab II.
Penjelasan mengenai wujud implikatur percakapan dilakukan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) penomoran paling atas dan bercetak
tebal menyatakan urutan contoh data, (2) penomoran sebelah kiri dialog
menyatakan urutan tuturan dalam seluruh data sebagai tanda terjalin kerjasama
tuturan sekaligus konteks, (3) keterangan bercetak tebal dalam tanda kurung
lancip menyatakan pelanggaran maksim, penerapan maksim, tujuan, dan fungsi
implikatur, dan (4) keterangan dalam tanda kurung pojok kanan setelah contoh
data menyatakan urutan pembelajaran. Pendeskripsian hasil penelitian sampel
korpus wujud tuturan implikatur percakapan untuk menerapkan prinsip sopan-
santun dapat dijabarkan sebagai berikut.
e) Implikatur Percakapan dalam Penerapan Maksim Kearifan
Gagasan dasar kearifan atau sering juga disebut maksim kebijaksanaan
adalah berprinsip mengurangi kerugian dan memaksimalkan keuntungan orang
lain. Pemaksimalkan keuntungan mitra tutur ini biasanya dilakukan dengan
tuturan yang ”diada-adakan” agar mitra tutur tidak sungkan dan penutur terhindar
dari anggapan sikap marah, iri dan kurang sopan saat menginginkan mitra tutur
melakukan sesuatu. Dalam kenyataannya, untuk menerapkan maksim ini penutur
dengan sengaja melanggar prinsip percakapan. Berikut penjelasan beberapa
contoh pelanggaran maksim percakapan dalam penerapan maksim kearifan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
1) Maksim Kualitas
Maksim kualitas menuntut kesesuaian antara tuturan dan fakta sebenarnya
yang didukung bukti-bukti saat tuturan tersebut diujarkan. Contoh tuturan
dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang melanggar maksim kualitas seperti
pada data berikut.
[1]
(100) G: Dah nggih. Jadi, ada tiga macam. Selain hal-hal di atas, perlu kamu perhatikan tekanan atau ritme. Ritme tekanan itu opo to cah…tekanan dalam membaca puisi. Tekanan dalam membaca puisi ada? Berapa itu? Ada berapa?
(101) S: Tiga…(peserta didik deretan paling timur membaca)
(102) G: (Melihat peserta didik deretan paling timur) Ada tiga, yaitu dinamik, yang kedua nada, dan yang ketiga….<MKL/ MSA/ FK/TD>
(103) S: Tempo (Canggih diikuti peserta didik lain)
(104) G: Tempo nggih. Tekanan dinamik itu apa…Tekanan dinamik opo to cah? Diwoco, coba Nurul
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [1] dalam penelitian ini terjadi setelah adanya peserta
didik kelas lain masuk untuk mengembalikan sapu saat penjelasan materi. Saat
guru memberi pertanyaan tentang materi, ternyata tidak semua peserta didik
dapat merespon pertanyaan guru yang diulang hingga 3x pada tuturan (100)
termasuk Canggih peserta didik yang aktif menjawab, tetapi tidak mengikuti
jam tambahan saat libur semester 1. Hal ini tentu saja membuat guru kecewa
karena penjelasan yang disampaikan belum dipahami dengan baik sehingga
harus diulang. Padahal karakteristik sebagian besar peserta didik kelas V tidak
menyukai dan mudah bosan jika materi yang telah disampaikan harus
djelaskan kembali. Untuk itu, guru mengambil alternatif tuturan (102) yang
berupa seolah-olah semua peserta didik menjawab pertanyaan sehingga guru
cukup memperjelas tuturan peserta didik dengan kalimat tidak lengkap untuk
kembali direspon peserta didik sesuai dengan pengetahuan yang diketahui,
dibanding dengan menggunakan tuturan, ”Benar, tetapi ada teman kalian yang
belum tahu. Kita ulang lagi materi ini” yang akan membuat peserta didik lain
yang sudah paham merasa dirugikan karena tidak mendapat pengetahuan baru.
Sehingga maksud dibalik tuuran (102) lebih untuk menjelaskan kembali
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
materi sekaligus mengecek kedalaman pemahaman materi peserta didik.
Maksud guru tersebut dipahami peserta didik dengan tuturan (103). Sehingga
tuturan (102) diidentifikasi mengandung implikatur percakapan yang
melanggar maksim kualitas agar peserta didik tidak merasa dirugikan dengan
pengulangan materi.
Seperti halnya data [1], dalam pembelajaran kedua pelanggaran maksim
kualitas juga digunakan untuk menuntun peserta didik yang tidak bisa
menjawab pertanyaan guru, seperti dalam contoh data sebagai berikut.
[2]
(295) G: He eh, Tina. (melihat Aqib bertopang dagu) Siapa yang mengantarkan Tina ke kantor pos Qib, Aqib?
(296) S: Pak guru
(297) G: Pak guru. (melihat Nurul bertopang dagu) Sebutkan fungsi kantor pos, opo waé Nurul?
(298) S: (kaget dan memperbaiki posisi duduk)
(299) G: Satu untuk….<MKL/ MSA/ FK/TD>
(300) S: Pengiriman (Nurul)
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [2] terjadi saat peserta didik bertopang dagu sehingga
terkesan tidak memperhatikan penjelasan guru dan ternyata saat dicek guru
dengan tuturan (297), peserta didik tersebut tidak dapat menjawab seperti
terlihat pada tuturan (298). Hal ini tentu saja membuat guru kecewa, guru
mengetahui karakteristik peserta didik tersebut sebenarnya pintar sehingga
guru cukup menganggap peserta didik seolah-olah menjawab sesuatu sebagai
stimulus singkat yang bermaksud mengulangi pertanyaan dan menuntun
peserta didik menjawabnya. Selain itu dengan tuturan (299), guru juga
menghindari peserta didik nenjadi minder yang justru akan membuatnya
semakin tidak konsentrasi dalam menjawab pertanyaan, seperti jika dengan
berujar, ”Kamu tidak memperhatikan penjelasan Bu Guru ya? Ayo jawab
pertanyaan Ibu tadi!”. Maksud tersembunyi pada tuturan (299) ini dipahami
peserta didik seperti yang terlihat pada tuturan (300) sebagai jawaban yang
benar atas pertanyaan guru. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tuturan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
(299) mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim kualitas
untuk mengurangi kerugian mitra tutur dalam penerapan maksim kearifan.
2) Maksim Hubungan
Maksim ini digunakan agar terjalin kerjasama yang baik antara penutur
dan mitra tutur dengan memberikan kontribusi tuturan yang relevan. Beberapa
pelanggaran maksim ini antara lain pada contoh data sebagai berikut.
[3]
(474) G: He eh, engko dhak kecewa, gelo. Dimasaké ngoyo-ngoyo ora di… (475) S: Maem (476) G: Nah...ibu merasa senang kalau sudah dimasakkan sesuatu, kamu harus
segera memakannya bersama kelu….<MKH/ MSA/ FK/TD>
(477) S: Arga
(478) G: Keluarga, maemé kudu bareng-bareng, jatahé piro to? Bapak ibu adik kakak kabeh mlumpuk bareng-bareng di…Dimana?
(479) S: Meja makan (Nurul)
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [3] dalam penelitian ini mencerminkan pembelajaran
terpadu untuk kelas tinggi sehingga guru dituntut untuk dapat menghubungkan
bidang ilmu satu dengan bidang ilmu lain yang sesuai dengan lingkungan
peserta didik. Dalam tuturan (476), guru berusaha menghubungkan jawaban
peserta didik untuk contoh pengorbanan Ibu dengan suatu hal yang dapat
menyenangkan Ibu dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga tuturan ini
sebenarnya mengandung maksud perintah peserta didik secara halus untuk
mengubah kebiasaan makan peserta didik yang suka memilih makanan dan
jarang makan bersama keluarga dibandingkan dengan berujar, ”Benar, kalian
yang suka pilih-pilih makanan, dan makan tidak bersama keluarga berarti
membuat Ibu sedih” yang terkesan menyalahkan peserta didik. Maksud
tuturan (476) dapat dipahami peserta didik dengan melihat respon tuturan
(477) dan tuturan diskusi selanjutnya yang semakin mengarahkan peserta
didik untuk lebih mengerti tentang kondisi keluarganya masing-masing
dengan keadaan ekonomi yang semakin sulit. Tuturan (476) yang diujarkan
guru dengan tidak mengiyakan atau menolak respon peserta didik pada tuturan
sebelumnya mencerminkan implikatur percakapan dengan cara guru sengaja
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
melanggar maksim hubungan karena meskipun secara sepintas tuturan guru
dan peserta didik tidak berhubungan, tetapi maksud tuturan guru tersebut
justru menegaskan dan menasihati peserta didik secara halus untuk
mempraktikkan materi yang didiskusikan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi
data [3] mengandung implikatur percakapan karena melanggar maksim
hubungan saat menerapkan maksim kearifan.
Penelitian ini juga ditemukan tuturan guru yang dapat diterapkan dengan
melanggar maksim hubungan agar peserta didik merasa dihargai pendapatnya
meskipun tetap harus menaati perintah guru, salah satu contohnya sebagai
berikut.
[4]
(523) G: Kelompok dua, anggotanya Luluk, Viva dan Nilam (524) S: (Luluk mencatat anggota kelompoknya) (525) S: Kelompok tiga sini Bu (Canggih) (526) G: Kelompok tiga Bella yo, ketuané Bella <MKH/ MSA/ FK/ TD>
(527) S: Yah….yo wis (Canggih)
(Pembelajaran3)
Konteks situasi data [4] terjadi saat guru sedang membimbing peserta
didik membentuk suatu kelompok diskusi. Tiba-tiba salah satu peserta didik
mengutarakan keinginannya untuk menjadi kelompok urutan ketiga. Tetapi
hal tersebut sebenarnya menyalahi aturan pembentukan kelompok yang
didasarkan pada letak tempat duduk. Untuk itulah guru menggunakan tuturan
(526) yang seolah-olah tidak merespon peserta didik tersebut, tetapi justru
berbicara dengan peserta didik lain. Maksud tuturan (526) sebenarnya ingin
menjelaskan bahwa pemilihan urutan kelompok berdasarkan tempat duduk
bukan karena keinginan Ibu guru, sekaligus penekanan perintah berpindah
tempat duduk pada kata yo ’iya’ jika peserta didik ingin menjadi kelompok
tertentu. Tuturan tersebut lebih sopan dibanding ”Kamu pilih kelompok tiga
jadi kamu pindah ke tempat duduk kelompok Bella” yang terkesan
memerintah peserta didik berpindah tempat duduk tanpa ada pilihan lain.
Maksud guru tersebut dimengerti peserta didik melalui tuturan (527) yang
memilih tetap di tempat duduk semula. Secara singkat tuturan (526)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim hubungan
untuk mematuhi maksim kearifan.
3) Maksim Cara
Maksim cara atau pelaksanaan ini mengharuskan penutur menggunakan
tuturan secara jelas dan tidak mengaburkan. Contoh pelanggaran maksim ini
untuk merapkan maksim kearifan terdapat pada data-data berikut ini.
[5]
(140) G: Aziz, Bayu, karo… (141) S: Canggih (Nurul) (142) G: Canggih. O iyo masih ada 4 anak yang belum membuat. Puisi yang anak-
anak buat (menunjukkan karton berisi tugas peserta didik). Saya harap dihafalkan dan dibaca dengan aturan yang benar. Kemarin anak-anak sudah membuat puisi yang diambil dari beberapa ma…<MKC/ MSA/ FK/TD >
(143) G: Jalah
(144) S: Boleh dari majalah, boleh dari koran, atau dari buku-buku yang lain. Yang anak-anak buat nanti saya harap dibuat isi karangan isi puisi ini nanti kamu buat sebuah prosa atau karangan yang terdiri dari beberapa macam ali….
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [5] terjadi saat guru menjelaskan kembali tugas
minggu lalu berupa menyalin puisi dari beberapa sumber pada buku tugas. Les
tersebut diharuskan kepada peserta didik untuk mengikuti menyicil materi
semester 2. Meskipun tugas mingu lalu, tetapi ada beberapa peserta didik yang
tidak mengikuti les sehingga tidak mengerjakan. Adanya rasa kecewa dan
tuntutan alokasi waktu pembelajaran membuat guru hanya menjelaskan secara
singkat tugas tersebut kepada peserta didik. Kata “diambil” pada tuturan (142)
bermakna ambigu berupa disalin, dipotong atau dikembangkan dari sumber
yang diperbolehkan guru. Kesamaan pengetahuan membuat peserta didik
mengerti maksud guru seperti yang terlihat pada tuturan (143) yang tidak
menyoalkan pilihan kata guru yang ambigu dengan menjawab pertanyaan
guru secara sermpak. Dengan demikian, tuturan (142) pada data [5]
mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim cara guna
menerapkan maksim kearifan yang membuat peserta didik yang tidak masuk
di pembelajaran sebelumnya juga tahu dan mengerjakan tugas.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Pelanggaran maksim cara juga dilakukan untuk menerapkan maksim
kearifan saat menjelaskan hal-hal yang dianggap kontradiktif bagi peserta
didik, seperti pada contoh data berikut.
[6]
(263) G: Mampu nggih, yang kurang mampu itu bisa mengajukan surat seperti itu atas nama RT, RW, kelurahan, kemudian ditujukan ke sekolahan, sekolahan diajukan ke atasan nggih, ke provinsi dan ke Jakarta. Nanti turun Bantuan Khusus Murid, tidak lewat sekolahan tapi lewatnya kantor pos, bayarnya lewat kantor pos. Kamu langsung ke sana, tinggal mengambil ke sana, masih utuh, ora kélong berapa rupiah pun, ko kono séket éwu yo utuh séket éwu, ko kono sak yuto, tetep satu juta diberikan oleh kantor pos tanpa dipotong sepeser pun, pénak to?
(264) S: Pénak (saling bercakap-cakap) (265) G: Pénak, nék pingin monggo…apabila orang tua kamu tidak mampu, itu
diajuakan RT, RW, kelurahan, kemudian ke sekolahan, sekolahan mengajukan ke atasan berjalan terus, Insya Alloh kamu dapat menerima Bantuan Khusus Murid nanti bisa diterima di kantor pos, tidak usah dipo….<MKC/ MSA/ FK/TD >
(266) G: Tong
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [6] tercipta saat guru menerangkan tentang
kesempatan dan cara mendapat beasiswa dari pemerintah pusat melalui kantor
pos. Dalam penjelasan tersebut terselip penjelasan bahwa biasanya beasiswa
yang diterima peserta didik tidak 100% atau ada potongan seperti terlihat pada
tuturan (263). Tentu saja tuturan tersebut membuat peserta didik menjadi ragu
meskipun menjawab penak ‘enak’. Untuk mengajak peserta didik serius jika
beasiswa tersebut tidak seperti beasiswa pada umumnya karena disalurkan
melalui kantor pos, dalam tuturan (265) guru menjelaskan secara singkat
dengan istilah lain yaitu “dipotong”, tetapi hanya diujarkan sebagian seperti
pada tuturan (266) guna meminta peserta didik merespon tuturan guru sebagai
tanda peserta didik mengerti maksud guru, dibandingkan dengan tuturan,
“Percayalah, Bantuan Khusus Murid diterima secara utuh”. Maksud guru
tersebut dimengerti peserta didik dilihat dari tuturan (266) yang diujarkan
peserta didik secara serempak. Sehingga tuturan (265) mengandung implikatur
percakapan dengan melanggar maksim cara untuk menumbuhkan kepercayaan
peserta didik.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
4) Maksim Gabungan
Pelanggaran maksim gabungan dalam menerapkan maksim kearifan hanya
sedikit dan khusus terjadi untuk maksim hubungan dan cara, seperti dalam
contoh dara berikut.
[7]
(581) S: Itulah strategi dagang, dengan memberikan diskon yang besar (mulai tidak serempak)
(582) G: Mereka….<MK2/ MSA/ FK/ TD> (583) G: Bermaksud menarik pelanggan sebanyak-banyaknya
(Pembelajaran3)
Konteks situasi data [7] tercipta saat guru menginginkan perserta didik
yang berperan menjadi ayah dapat membaca teks percakapan ayah secara
bersama-sama. Awalnya, peserta didik dapat membaca nyarig secara
serempak, tetapi di tengah pembacaan ada beberapa peserta didik yang keliru
dan membuat pembacaan menjadi tidak serempak. Mendengar hal tersebut,
guru tidak menghentikan pembacaan, tetapi justru membaca sepenggal
kalimat lanjutan pada tuturan (582) yang seolah-olah tidak berhubungan
dengan masalah yang dihadapi peserta didik. Tutun tersebut digunakan guru
sebagai perintah peserta didik untuk menyesuaikan dengan tuturan guru
sehingga pembecaan dapat kembali serempak. Selain itu, tuturan (582)
digunakan karena guru mengetahui bahwa peserta didik tersebut mempunyai
teks percakapan yang sama sehingga tidak perlu dijelaskan seperti dengan
tuturan, “Ikuti ucapan Ibu, Mereka bermaksud menarik pelanggan sebanyak-
banyaknya”. Maksud tuturan (582) dimengerti peserta didik dengan langsung
melanjutkan teks percakapan ayah sesuai aba-aba guru. Jadi tuturan (582)
mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim gabungan
untuk menerapkan maksim kearifan.
Selain itu, pelanggaran maksim ini juga digunakan untuk beralih pada
penugasan setelah kesimpulan dijabarkan guru, seperti dalam contoh data
beribut.
[8]
(125) G: Sepak takraw, satu regu terdiri dari…. (126) S: Tiga
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
(127) G: Tiga orang, ngono waé ora sah nggladrah tekan ngendi-ngendi, ra sah dicritakké soko ngomah anték tekan sekolahan, salin klambi nganti olahraga, kesuwén. Nggladrah tekan ngendi-ngendi. Nah (membaca) sekarang dengarkan cerita yang dibacakan oleh gurumu. <MK2/ MSA/ FK/TD> Sekarang saya bacakan ya (membaca) Mendapatkan wesel pos
(128) S: Koyo Dalil (Canggih)
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [8] tercipta setelah guru selesai menjelaskan materi
dan ingin peserta didik untuk mengerjakan evaluasi materi yang telah
disampaikan. Tetapi, guru menggunakan tuturan yang langsung membaca
evaluasi pada LKS agar peserta didik tidak merasa disuruh mengerjakan
evaluasi materi tersebut, seperti dengan tuturan, ”Sekarang kamu kerjakan
evaluasi yang ada di LKS”. Hal ini terlihat ditengah tuturan (127) sehingga
terkesan tidak ada hubungan dengan tuturan sebelumnya. Maksud guru ini
dimengerti peserta didik dengan tuturan (128) yang ingin menanggapi evaluasi
yang dibacakan guru meskipun terkesan terlalu cepat dan belum tepat karena
dihubungkan dengan pengalaman peserta didik. Oleh karena itu, tuturan (127)
termasuk mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim
gabungan agar peserta didik tidak merasa diperintah.
Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti menemukan banyak pelanggaran
maksim yang digunakan untuk mematuhi maksim kearifan dalam pembelajaran
bahasa Indonesia di kelas V, terutama maksim cara. Penerapan maksim kearifan
tersebut dapat dilihat pada lampiran transkrip data dengan kode <MKL/MSA>,
<MKC/ MSA>, <MKH/ MSA>, dan <MK2/MSA> dalam kurung lancip di
sebelah kanan tuturan.
f) Implikatur Percakapan dalam Penerapan Maksim Kedermawanan
Maksim ini mengharapkan penutur dapat menghormati orang lain dengan
mengurangi keuntungan dan memaksimalkan kerugian diri sendiri. Penerapan
maksim ini digunakan untuk mengarahkan mitra tutur yang melakukan hal yang
tidak disukai penutur dengan menambah beban pada penutur. Dalam penelitian
ini, maksim kedermawanan dituturkan dengan melanggar maksim percakapan
sehingga mengandung implikatur percakapan, seperti contoh data berikut ini.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
1) Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas menentukan informasi yang diberikan tidak boleh
kurang atau melebihi yang diinginkan mitra tutur. Contoh tuturan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia yang melanggar maksim kuantitas seperti pada
data berikut.
[9]
(242) S: Dekat (243) G: Terdekat, nggih, di kantor pos terdekat. Selain itu, kantor pos menjual
berbagai benda pos. (Melihat Nurul bertopang dagu) Misalnya apa saja Nurul? <MKN/ MSD/ FK/TD>
(244) S: (Nurul memperbaiki sikap duduk) Amplop surat
(245) G: Amplop surat, apalagi?
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [9] terjadi saat guru mengoordinasi diskusi kelas
dalam menjawab pertanyaan di lembar kerja siswa kemudian guru melihat
salah satu peserta didik bertopang dagu yang mencerminkan kurang
berpartisipasi dalam diskusi kelas. Pada penggalan tuturan (243) terlihat guru
tidak mengulangi kunci pokok pertanyaan yang diujarkan kepada mitra tutur
karena guru telah mengenal karakteristik peserta didik tersebut yang termasuk
3 peringkat kelas sehingga kecil untuk tidak memperhatikan materi pelajaran.
Sehingga maksud yang sebenarnya ingin disampaikan guru lebih terfokus
pada sikap belajar yang baik yaitu tidak bertopang dagu. Hal ini dapat dilihat
dari respon peserta didik yang juga telah mengenal karakteristik guru kurang
menyukai peserta didik bertopang dagu yaitu dengan tidak hanya menjawab
pertanyaan guru, tetapi juga memperbaiki sikap duduk. Pada tuturan (244)
terbukti ada maksud tersembunyi yang ingin disampaikan guru tanpa
membuat peserta didik merasa terancam muka dengan tidak menggunakan
tuturan,”Daripada Nurul bertopang dagu, sekarang sebutkan benda pos yang
dijual di kantor pos!” atau “Ibu tidak suka melihat peserta didik bertopang
dagu, sekarang Nurul sebutkan benda pos yang dijual di kantor pos!”. Secara
singkat, data [9] mengandung implikatur percakapan karena melanggar
maksim kuantitas yang kurang informatif dalam memberikan pertanyaan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
[10]
(83) G: Diulang bersama-sama (84) S: (Peserta didik perempuan dan laki-laki) Apakah pelanggan tidak tertipu
dengan barang yang dibeli? Mungkinkah dinaikkan dulu dari harga semestinya baru didiskon Bu?
(85) G: Apakah pelanggan tidak tertipu dengan barang yang dibeli, itu yang bertanya siapa ya? <MKN/ MSD/ FK/ TD>
(86) S: Dimas (beberapa peserta didik tertawa)
(Pembelajaran3)
Konteks situasi data [10] tercipta karena adanya kesalahpahaman peserta
didik terhadap perintah guru sebelumnya yaitu peserta didik laki-laki diminta
mengulang membaca nyaring. Tetapi justru dibaca seluruh peserta didik baik
perempuan maupun laki-laki. Meskipun sebenarnya hal tersebut tidak
menggangu jalannya pembelajaran, guru tetap menginginkan agar peserta
didik lebih fokus pada tugasnya masing-masing. Untuk itulah, guru
menggunakan tuturan (85) yang terkesan pertanyaan humor, tetapi dimengerti
peserta didik dengan mengulang kembali teks yang dibaca peserta didik.
Sehingga peserta didik tidak merasa terpaksa untuk tidak saling membantu
saat mengerjakan tugas individu. Maksud guru tersebut dimengerti peserta
didik dengan tuturan (86) yang dijawab dengan tertawa karena merasa salah,
tetapi tidak minder. Dengan kata lain, tuturan (85) mengandung implikatur
percakapan dengan melanggar maksim kuantitas.
2) Maksim Kualitas
Pelanggaran maksim kualitas yaitu tuturan yang diungkap tidak sesuai
kenyataan juga diterapkan untuk mematuhi maksim kedermawanan, seperti
contoh data berikut.
[11]
(1) G: Sing pikét sopo, blabakké dibusak (2) S: (Peserta didik masih gaduh)
Guru melihat meja guru masih belum dirapikan dengan buku dan kertas berserakan di meja
(3) G: Piketé wis piket kabéh? <MKL/ MSD/ FK/TD >
(4) S: (Aziz maju menghapus papan tulis dan guru merapikan kertas dimeja dan lemari guru)
(Pembelajaran1)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Konteks situasi dalam data [11] merupakan awal pembelajaran bahasa
Indonesia setelah upacara dan masuk pertama semester 2. Saat masuk kelas,
guru melihat meja dan papan tulis masih kotor padahal pembagian piket kelas
masih seperti semester 1 sehingga tidak ada alasan peserta didik untuk lupa
dan tidak piket. Awal masuk kelas, guru telah menggunakan tuturan (1)
berupa kalimat perintah, tetapi peserta didik justru tidak mau menuruti
maksud guru. Sehingga karena situasi masih awal pembelajaran, guru tidak
ingin merusak konsentrasi peserta didik dengan memarahi hanya karena
beberapa peserta didik yang tidak piket. Hal ini terlihat pada tuturan (3) yang
guru menganggap semua peserta didik telah melakukan tugas piket dengan
baik, padahal maksud guru adalah menyarankan peserta didik untuk piket
sebelum pembelajaran dimulai dibanding memaksa dengan tuturan, ”Petugas
piket kelas, cepat bersihkan papan tulis ini!”. Pengungkapan maksud yang
tidak sesuai kenyataan ini membuktikan bahwa guru sengaja melanggar
maksim kualitas untuk menghormati peserta didik yang ternyata justru
dipatuhi peserta didik seperti terlihat pada tuturan (4). Dengan demikian
tuturan guru tersebut teridentifikasi mengandung implikatur percakapan.
Pelanggaran maksim kualitas juga dilakukan oleh peserta didik saat
bercakap-cakap dalam pembelajaran bahasa Indonesia ini dengan contoh data
sebagai berikut.
[12]
(352) G: Paket nggih. (Melihat Dalil diam saja) Sebutkan benda pos yang dijual di kantor pos, opo waé mau Lil, Dalil?
(353) S: Am…(Canggih terhenti) (354) S: Kowé opo Dalil? (Nurul) <MKL/ MSD/ FK/TD> (355) S: (Canggih diam)
(356) G: Sudah
(357) S: Amplop, prangko, materai (Dalil)
(358) G: He eh, satu…
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [12] terjadi saat salah satu peserta didik tidak terima
jika peserta didik lain menjawab pertanyaan yang sebenarnya tidak ditujukan
pada peserta didik tersebut. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik peserta
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
didik yang menganggap dapat menjawab pertanyaan guru mempunyai
kebanggaan tersendiri bagi peserta didik yaitu merasa diperhatikan guru.
Meskipun peserta didik yang maksud adalah Dalil, tetapi Nurul merasa tidak
terima jika Canggih selalu ”menyerobot” pertanyaan yang diajukan untuk
peserta didik lain dan menyarankan agar dia diam. Saran ini terlihat pada
tuturan (354) yang menanyakan kepastian identitas Canggih, padahal Nurul
mengetahui mitra tutur tersebut adalah Canggih bukan Dalil. Meskipun begitu
Nurul tidak ingin bermusuhan dengan mitra tutur seperti jika menyatakan
ketidakterimaannya secara langsung dengan tuturan, ”Kamu jangan
menjawab, Bu guru bertanya pada Dalil, bukan kamu”. Tuturan (354) ini
mempunyai maksud tersembunyi agar peserta didik yang bernama Canggih
untuk diam dan tidak menjawab pertanyaan yang tidak ditujukan kepadanya.
Maksud tersembunyi ini dimengerti mitra tutur seperti yang terlihat pada
reaksi Canggih pada tuturan (355). Dengan kata lain data [12] berimplikatur
percakapan yang melanggar maksim kualitas karena tuturan peserta didik
mengetahui hal yang dituturkan kepada mitra tutur salah.
Variasi saat pembelajaran sangat diperlukan untuk meminimalisasi
timbulnya rasa bosan dan jenuh, salah satu cara yang digunakan guru dalam
penelitian ini dengan melanggar maksim kualitas, seperti data sebagai berikut.
[13]
(86) S: Jelas (Nurul) (87) G: Jelas, bén ngerti critané, bar kon nyritakké kok salah tompo nggih?
Wong pemainé takraw, kok papat? <MKL/ MSD/ FK/TD> (88) S: (tertawa)
(89) G: Salah tompo to berarti?
(90) S: Nggih
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [13] saat guru menjelaskan seberapa penting
mendengarkan dengan sungguh-sungguh sebelum memberi tanggapan sesuai
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Pada tuturan (87) terlihat guru
menggunakan cara yang berbeda dengan memberi contoh yang salah yaitu jika
peserta didik tidak memperhatikan tuturan dengan sungguh-sungguh. Cara
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
bertutur tersebut menciptakan kelucuan bagi peserta didik dalam menjelaskan
materi tersebut yang terlihat dengan respon tuturan (88), dibanding dengan
berujar memaksa, ”Kalian harus memeperhatikan dengan sungguh-sungguh
kalau kalian tidak ingin dipermalukan karena salah dengar”. Sehingga secara
tidak langsung guru telah menyampaikan maksud tersembunyi berupa saran
kepada peserta didik untuk berkonsentrasi saat menyimak tuturan. Maksud
guru tersebut dimengerti peserta didik dengan adanya respon yang terlihat
pada tuturan (88) dan diperkuat dengan tuturan (90) sebagai tanda
kesepakatan. Dengan demikian data [13] pada tuturan (87) guru tersebut
teridentifikasi mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim
kualitas.
3) Maksim Hubungan
Dalam penelitian ini ditemukan beberapa pelanggaran maksim ini antara
lain pada contoh data sebagai berikut.
[14]
(169) G: Cukuruyuk opo Kukurukuk cah? (170) S: Cukuruyuk (Nurul)
(171) D: Podowaé (Canggih) <MKH/ MSD/ FK/TD>
(172) G: He eh, podo wae. Sekarang coba saya kembalikan ini punya sapa...yang berjudul orang tua
(Pembelajaran1)
Situasi konteks data [14] terjadi dalam diskusi kelas yang
mempertanyakan cara pengungkapan maksud dalam puisi salah satu peserta
didik yang berhubungan dengan suara kokok ayam jantan. Tetapi diskusi
tentang materi ini ternyata tidak menemui jalan keluar sehingga membuat
peserta didik bosan dan menganggap materi tersebut tidak perlu
diperdebatkan. Seperti terlihat pada tuturan (171) bahasa Jawa pocowaé ‘sama
saja’, bermaksud untuk menghentikan perdebatan tersebut karena pertanyaan
guru pada tuturan (170) tidak ada bedanya. Tetapi peserta didik tidak ingin
guru dan peserta didik lain merasa disalahkan dengan cara tidak menjawab
pertanyaan guru pada tuturan (169) atau menolak pernyataan peserta didik
pada tuturan (170) agar diskusi tersebut dihentikan, seperti dengan berujar,
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
”Bunyi kokok ayam itu cukuruyuk atau kukurukuk sama saja jadi tidak perlu
ditanyakan”. Keinginan pserta didik tersebut dimengerti guru seperti yang
terlihat pada tuturan (172) yang mengiyakan bahwa materi tersebut memang
tidak perlu diperdebatkan. Dengan kata lain tuturan (171) pada data [14]
mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim hubungan.
Contoh pelanggaran maksim hubungan dalam penerapan maksim
kedermawanan juga terlihat pada contoh data sebagai berikut.
[15]
(656) G: Ayah, Ibu dan Dimas, itu dari masing-masing percakapan coba kamu hafalkan untuk PR di rumah. Percakapan satu dan percakapan dua, percakapan satu hanya dua orang, silahkan mencari teman untuk bercakap-cakap dua orang untuk percakapan yang pertama dulu. Untuk percakapan yang kedua hanya persiapan dulu, dadi sing dinggo PR sing diapalké percakapan yang pertama. Silahkan anak-anak nanti mencari salah satu teman untuk diajak bercakap-cakap mengenai diskon
(657) S: (Peserta didik saling memberi memberi isyarat untuk menjadi pasangan mengerjakan tugas ini)
(658) G: Diskon ki opo to? <MKH/ MSD/ FK/TD>
(659) S: Potongan harga
(Pembelajaran3)
Konteks situasi data [15] tercipta karena peserta didik terlalu antusias
untuk mengerjakan tugas yang sebenarnya untuk pembelajaran selanjutnya,
sehingga guru ingin peserta didik fokus terlebih dahulu pada pembelajaran
saat ini. Untuk itu, guru menggunakan tuturan (658) yang secara sepintas tidak
berhubungan dengan tuturan (657) karena guru mengerti bahwa peserta didik
menganggap materi hari ini sudah dimengerti, maka guru memilih memberi
pertanyaan berkaitan tugas pembelajaran selanjutnya yang lebih menarik
perhatian peserta didik, dibanding dengan berujar, ”Tugas itu masih untuk
pembelajaran bahasa Indonesia selanjutnya, jadi kita membahas materi untuk
hari ini dulu, ada pertanyaan untuk materi hari ini?”. Maksud tersembunyi ini
dimengerti peserta didik seperti yang terlihat pada tuturan (659). Dengan kata
lain, tuturan (658) mengandung impliktur percakapan untuk menerapkan
maksim kedermawanan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
4) Maksim Cara
Maksim cara melarang penutur menimbulkan kekaburan maksud sehingga
sulit diketahui mitra tutur. Contoh pelanggaran maksim ini untuk menerapkan
maksim kedermawanan terdapat pada data-data berikut ini.
[16]
(347) G: Ojo, wis kelas limo kok nangis. Bu, bijiku élék banget bahasa Inggris, lha angel kok Le, lha saiki nderékko les. Dadi Ibnu yo ngono, nderék lés, gén bijimu yo apik, gén iso éntuk rangking. Seperti Ibnu, karena nilainya sudah bagus, jatuh dibahasa Inggris, nilainya hanya tiga puluh tujuh. Jatuh. Lainnya sudah bagus delapan lebih. Tapi karena nilai bahasa Inggris jatuh tiga puluh tujuh, hanya tiga puluh tujuh menjadikan nilai yang lain fatal, karna apa… karena dijumlah terus dirata-rata jadi hancur. Berakibat mau rangking satu jadi rangking tiga. Untuk yang juara satu Nurul, saya harap mempertahankan, ojo nganti kalah karo Ibnu. Lulu juara dua harus ber opo? (Menatap Nurul yang bertopang dagu)
(348) S: (Nurul memperbaiki sikap duduk)
(349) G: Berkembang lagi untuk mendapatkan rangking satu, yang satu harus bertahan, jo nganti kalah karo Ibnu, karo…<MKC/ MSD/ FK/TD>
(350) S: Lulu (Nurul)
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [16] terjadi saat pesera didik tidak dapat menjawab
pertanyaan karena tidak memperhatikan penjelasan guru sehingga guru
menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkan pada tuturan (347). Tetapi pada
tuturan (349) tersebut guru memberikan istilah bahasa Jawa yaitu ”bertahan”
yang mempunyai makna umum dan memberikan kesempatan peserta didik
berpendapat sesuai pengetahuannya seperti yang terlihat diakhir tuturan
tersebut. Hal ini dilakukan guru agar tidak dianggap membuat persaingan
antar peserta didik, tetapi lebih pada keinginan agar peserta didik
meningkatkan prestasi. Maksud tuturan (349) dipahami peserta didik seperti
yang terlihat dari tuturan (350) meskipun secara singkat. Jadi tuturan (350)
dapat diidentifikasikan mengandung implikatur percakapan yang melanggar
maksim cara untuk mematuhi maksim kedermawanan.
Contoh lain pelanggaran maksim cara untuk menerapkan maksim
kedermwanan juga terlihat saat guru menjelaskan tugas, seperti pada data
berikut.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
[17]
(35) G: Nanti kamu hafalkan tiga orang-tiga orang membentuk kelompok yang anggotanya tiga orang
(36) S: (Peserta didik mulai saling berbisik mencari kelompok)
(37) G: Tiga orang-tiga orang yang berperan satu jadi Dimas, satu jadi ayah, dan satu lagi jadi….<MKC/ MSD/ FK/ TD>
(38) S: Ibu
(Pembelajaran3)
Konteks situasi data [17] terjadi saat peserta didik terlalu merespon
perintah guru untuk membuat kelompok bahkan sebelum dijelaskan aturan
pembuatan kelompok tersebut. Hal ini membuat guru sedikit marah dan
menginginkan peserta didik untuk mendengarkan terlebih dahulu karena guru
juga akan memberikan kesempatan tersendiri peserta didik membentuk
kelompok. Untuk itulah guru lebih memilih menggunakan tuturan (37) yang
langsung pada aturan secara umum dibandingkan harus memaksa peserta
didik memperhatikan guru terlebih dahulu dan baru dilanjutkan dengan
penjelasan aturan secara khusus justru tidak efisien waktu, seperti dengan
tuturan, “Kalian tenang dulu, Ibu jelaskan aturan pembentukan kelompok
setelah itu kalian boleh mencari pasangan kelompok.....”. Maksud tuturan
(37) dimengerti peserta didik dengan adanya tuturan (38) yang berisi salah
satu peran yang akan dibacakan peserta didik sebagai tanda peserta didik
memperhatikan tuturan guru, meskipun dalam keadaan gaduh. Hal ini
membuktikan bahwa tuturan (37) mengandung implikatur percakapan yang
melanggar maksim cara.
Berdasarkan permasalahan di atas maka peneliti menemukan beberapa
pelanggaran prinsip percakapan untuk menaati maksim kedermawanan sehingga
mengandung implikatur percakapan. Penerapan seperti ini didominsai
pelanggaran maksim kualitas, tetapi tidak ditemukan pelanggaran maksim
gabungan. Data semua pelanggaran dalam penelitian dapat juga dilihat pada
lampiran transkrip pembelajaran pada data berkode <MKN/ MSD>, <MKL/
MSD>, <MKH/ MSD>, dan <MKC/ MSD>.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
g) Implikatur Percakapan dalam Penerapan Maksim Pujian
Maksim ini bertujuan agar para partisipan tidak saling mengejek atau
merendahkan orang lain sehingga sangat cocok untuk mitra tutur yang
berkarakteristik yang ngenyelan tetapi sangat peka perasaannya. Dalam
penerapannya, maksim ini berusaha memberikan penghargaan bagi mitra tutur.
Penelitian ini menemukan tuturan mengandung implikatur percakapan untuk
menerapkan maksim ini. Berikut penjelasan beberapa contoh pelanggaran maksim
percakapan dalam penerapan maksim pujian.
1) Maksim Kualitas
Maksim kualitas mewajibkan setiap penutur menyatakan hal yang diyakini
benar. Contoh tuturan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang melanggar
maksim kualitas seperti pada data berikut.
[18]
(573) G: Seneng. Dadiné kowé yo mélu seneng iso ngerti carané mbedol pohong. Kuwi dinggo cah lanang. Carané macul piyé, diwarahi bapak karo mbah kakung. Dijak ning sawah, Yo lé ning sawah lé, gowo pacul lé. Ojo blas malah dolanan. Ampun nggih? Kono lé, latian gawé pinihan. Pinihan ki opo to?
(574) S: Winih (Canggih)
(575) G: He eh, Papan panggonan sing arep dingo nyebar…Nyebar bibit pari <MKL/ MSP/ FM/ TE>. Diarani pinihan. Nék wis dipacul alus kaé ya, trus diroto lemahé, disebari winih. Nék wis disebari winih tekan 3 minggu, bibit padi itu tadi sudah tumbuh siap ditanam. O…tibakké carané gawé pesemaian ki ngénéki, cobo aku engké dolan, dimarahi ibu, ora iso ngerti carané gawé pi…
(576) S: Nihan
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [18] saat guru menjelaskan materi bahasa Indonesia
yang dihubungkan dengan mata pelajaran lain yaiu pertanian (pelajaran
mulok). Tetapi ternyata tuturan (574) berisi konsep yang dimiliki peserta didik
berbeda dengan jawaban yang diinginkan guru. Untuk merespon tuturan
tersebut, guru melanggar maksim kualitas dengan mengiyakan terlebih dahulu
jawaban peserta didik dengan kata he eh ’iya’ sebagai pujian atas keaktifan
yang dilanjutkan dengan penjelasan konsep yang diinginkan guru. Cara ini
digunakan untuk mengurangi perbedaan pengetahuan ini yang dapat membuat
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
peserta didik tidak berani menjawab karena takut salah jika guru langsung
menyalahkan bahkan menghina tuturan peserta didik, seperti dengan tuturan,
”Kamu salah, pinihan itu membuat tempat untuk menyebar benih padi”. Dan
pada tuturan (576) mencerminkan bahwa tidak hanya peserta didik yang
menjawab tadi yang mengerti maksud guru, tetapi juga peserta didik lain.
Dengan demikian tuturan (575) pada data (18) mengandung implikatur
percakapan karena melanggar maksim kualitas yang dengan sengaja
membenarkan suatu hal yang sebenarnya salah.
Pelanggaran lain maksim ini untuk memenuhi maksim pujian yang
digunakan sebagai penjelas maksud penutur, seperti dalam contoh berikut.
[19]
(411) G: Nggih, awake déwé, sing ngenggo ora bu Warni ya? Taknggo opo?nék pinteré kowe yo dinggo kowé dewé. Pinterku taknggo déwé, ngono? nggih mboten?
(412) S: Nggih
(413) G: Pinterku take kowé kok. Taknggo déwé nggo opo aku. Tak wénehké kowé saben di….<MKL/ MSP/ FM/ TE>
(414) S: Noné
(Pembelajaran3)
Konteks situasi [19] terjadi saat guru menghubungkan materi
pembelajaran dengan kegunaan materi tersebut bagi peserta didik dengan
”perumpamaan terbalik” yaitu menjelaskan yang salah untuk diambil yang
benar. Tetapi guru merasa ada ketimpangan konsep yang dimaksud guru
dengan peserta didik. Untuk itulah guru menggunakan tuturan (413) yang
seolah-olah peserta didik merespon dengan benar sesuai yang dimaksud guru,
padahal sebenarnya mempertanyakan kembali respon tersebut agar dikoreksi
peserta didik. Tuturan ini dipilih guru dengan mempertimbangkan karakter
peserta didik yang selalu mempercayai tuturan guru sehingga kesalahpahaman
tersebut bukan sepenuhnya kesalahan peserta didik. Hal ini dimengerti peserta
didik dengan tuturan (414) yang menandai pemahaman peserta didik telah
berubah. Dengan demikian terbukti bahwa tuturan (413) mengandung
implikatur percakapan yang melanggar maksim kualitas.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
2) Maksim Hubungan
Maksim hubungan mengharuskan setiap penutur memberikan kontribusi
yang relevan, tetapi dalam penelitian ini ditemukan pelanggaran maksim
hubungan untuk mematuhi maksim pujian antara lain pada contoh data
sebagai berikut.
[20]
(602) G: Tidak ya? kalau tidak, lain kali puisi yang kalian buat tadi termasuk empat anak yang belum membuat tadi nggih. Dari puisi tersebut tolong dibuatkan sebuah….
(603) S: Karangan (Canggih)
(604) G: Prosa yaitu karangan tentang judul puisi yang anak-anak peroleh tadi <MKH/ MSP/ FM/ TE>. Judulnya...Nah (melihat Ibnu) petani, jadi petaniné itu kamu buat sebuah….
(605) S: Karangan (Ibnu)
(606) G: Karangan atau prosa, bercerita dalam bentuk karangan. Lha komané koyo ngénéki mau, tanda miring, wo kénéki engko tak kéi koma, wo ono garis miring dua, engko tak kéi titik. Itu kamu perhatikan dalam membuat prosa dari puisi yang anak-anak buat tadi
(607) S: Ngéteniki Bu? (Lulu menunjukkan prosa)
(608) G: Lha itu Lulu dah bisa membuat sebuah, apa tadi anak-anak?
(609) S: Prosa
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [20] terjadi saat peserta didik sangat sulit
menggunakan istilah prosa dibanding karangan, padahal guru telah
mengarahkan peserta didik untuk dapat menggunakan istilah tersebut, seperti
yang terlihat pada tuturan (603). Untuk itu, guru memilih menggunakan
tuturan yang langsung menjelaskan istilah prosa agar peserta didik mengerti
dengan sendirinya perbedaan penggunaan istilah prosa dan karangan, seperti
yang terlihat pada tuturan (604) dibanding menggunakan tuturan menyalahkan
seperti, ”Ibu kan dari tadi bilang agar kamu menggunakan istilah prosa untuk
menyebut karangan puisi bukan dengan istilah karangan”. Maksud
tersembunyi tersebut dimengerti peserta didik yang terlihat pada tuturan (609)
berisi respon penggunaan istilah prosa. Sehingga tuturan (604) mengandung
implikatur percakapan saat mematuhi maksim pujian.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Contoh pelanggaran maksim hubungan untuk menerapkan maksim pujian
dalam menghadapi keaktifan peserta didik yang berlebihan dapat dilihat dari
data berikut.
[21]
(117) G: Nggih, mangkat sekolah jam enem, tekan sekolah salén klambi, trus ganti opo? Pakaian olahraga, bar pakaian olahraga diénékké…senam…senam opo?
(118) S: SKJ (Canggih) (119) G: Senam pemanasan <MKH/ MSP/ FM/ TE>, bar senam pemanasan
ngopo? Bar senam pemanasan opo? (120) S: Lari (Canggih)
(121) G: Latihan inti <MKH/ MSP/ FM/ TE>, latiané inti opo mau, bermain sépak takraw, ngono kuwi nggladrah opo ra?
(122) S: Nggladrah
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [21] adalah saat guru menjelaskan contoh cara
menceritakan kembali yang tidak efektif. Saat menjelaskan tersebut, guru
berusaha menggunakan contoh nyata kejadian yang telah dialami peserta didik
yaitu pada pembelajaran olahraga. Tetapi karena perbedaan pengetahuan maka
respon peserta didik tidak sesuai dengan yang diinginkan guru, seperti yang
terlihat pada tuturan (118) dan (120). Karakteristik peserta didik yang sangat
suka merespon tuturan guru tanpa memikirkan jawaban tersebut benar atau
salah membuat guru harus menghindari pernyataan yang terkesan tidak suka
sikap tersebut. Sehingga peserta didik tidak kehilangan kepercayaan diri
dalam menjawab pertanyaan guru, tetapi juga tahu bahwa jawaban yang
dituturkan adalah salah. Hal ini membuat guru menggunakan tuuran yang
bukan membenarkan maupun menyalahkan tuturan tersebut melainkan
langsung menuturkan jawaban yang benar seperti pada tuturan (119) dan
(121), dibanding menggunakan tuturan, ”Kamu salah, kalau kamu tidak tahu
lebih baik diam saja”. Maksud dibalik tuturan guru tersebut dimengerti peserta
didik seperti yang terlihat pada tuturan (120) dan (122) yang menandakan
ketidakterimaan dan kesepakatan pemahaman contoh yang diberikan guru.
Secara singkat tuturan (119) dan (121) mengandung implikatur percakapan
guna menerapkan maksim pujian dengan melanggar maksim hubungan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti juga menemukan penerapan maksim
pujian yang mengandung implikatur percakapan didominasi pelanggaran kualitatif
dan tanpa pelanggaran maksim kuantitatif, cara maupun gabungan. Untuk data
yang lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran transkrip pembelajaran dengan
kode <MKL/ MSP> dan <MKH/ MSP>.
h) Implikatur Percakapan dalam Penerapan Maksim Kerendahan Hati
Maksim ini bertujuan agar penutur dapat bersikap rendah hati dengan
mengurangi pujian untuk diri sendiri. Dalam penelitian ini penerapan maksim
kerendahan hati sering dilakukan dengan melanggar prinsip percakapan karena
pemahaman kebiasaan penutur dan mitra tutur. Untuk memperjelas, contoh
penerapan maksim ini.
1) Maksim Kuantitas
Maksim kuantitas menentukan informasi yang diberikan tidak boleh
kurang atau melebihi yang diinginkan mitra tutur. Contoh pelanggaran
maksim ini dalam penerapan maksim kerendahan hati saat pembelajaran
dapat dilihat dari data berikut.
[22]
(136) G: Lama itu dalam membaca puisi. Nah seperti yang anak-anak lakukan tugas yang kemarin, wingi tak paringi tugas ternyata masih ada 5 anak yang belum membuat. Nah hari ini tinggal 3 anak yang belum membuat, Aqib
(137) S: Empat Bu (138) G: O masih 4? Aqib
(139) S: Aziz <MKN/ MSK/ FM/ TE>
(140) G: Aziz, Bayu, karo
(141) S: Canggih (Nurul)
(Pembelajaran1)
Konteks situasi ujaran ini adalah guru menyadari kesalahan dalam
menjelaskan jumlah peserta didik yang belum mengumpulkan tugas dan
direspon peserta didik hanya dengan menyebutkan nama peserta didik lain
yang belum mengumpulkan. Meskipun demikian guru tetap mengerti yang
dimaksud peserta didik dengan mengulang nama yang disebutkan peserta
didik tersebut dan menambah nama sesuai daya ingat guru. Tuturan (139)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
pada data [22] terlalu singkat untuk merespon tuturan guru yang tidak hanya
membutuhkan respon nama peserta didik yang belum mengumpulkan tugas,
melainkan respon benar atau salahkah pengetahuan guru. Sehingga tuturan
peserta didik seharusnya, ”Iya Bu, tadi Ibu salah karena masih ada empat yang
belum mengumpulkan yaitu Aqib, Aziz, Bayu dan Canggih”. Tetapi hal ini
tidak diujarkan peserta didik, melainkan justru diujarkan secara singkat
sebagai tanda peserta didik tidak sombong guru, meskipun peserta didik
tersebutlah yang benar. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa data [22] pada
tuturan (139) mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim
kuantitatif karena peserta didik sengaja merespon tuturan guru secara singkat
atau memenggal informasi yang diperlukan guru.
Pelanggaran maksim kuantitatif juga digunakan peserta didik saat
mengajukan pertanyaan atas materi yang belum dimengerti, seperti dalam data
berikut ini.
[23]
(498) G: Ngantuk. Aduh nék maem mau kakéan kok Bu, kulo ten sekolahan dadiné ngantuk, lha ngopo yanh méné ngantuk Le? Hem..biasané ngantuk kuwi ciriné amandel. Cah cilik kuwi nék kulino ngantuk mungkin duwé amandel
(499) S: Amandel? (Nurul) <MKN/ MSK/ FM/ TE > (500) G: Amandelnya membesar, akibat kebanyakan makan, pola makannya
berlebihan, dadiné ngan…. (501) S: Tuk
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [23] ini berupa munculnya pertanyaan dari peserta
didik karena kurang pemahaman dengan penjelasan dari guru mengenai
contoh hubungan antara materi dengan bidang ilmu lain yaitu kesesehatan.
Hal ini karena kata amandel bagi sebagian besar masyarakat di lingkungan
peserta didik disamakan dengan anak tekak, padahal setiap orang mempunyai
anak tekak. Hal ini membuat peserta didik bingung mengenai pernyataan guru
pada tuturan (498) yang menjelaskan salah satu penyebab anak kecil suka
mengantuk adalah amandel. Namun adanya rasa perkewuh ’sungkan’ untuk
meminta guru menjelaskan kembali materi tersebut membuat peserta didik
hanya mengulang kata pernyataan dari guru dengan nada bertanya pada
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
tuturan (499), dibandingkan berujar, ”Bagaimana amandel dapat membuat
mengantuk? Saya belum mengerti”. Maksud terembunyi ini dapat dipahami
oleh guru berdasarkan tuturan (500) sebagai respon guru atas tuturan peserta
didik dengan menjelaskan lebih khusus mengenai penyebab seorang anak suka
mengantuk yaitu akibat amandel yang membesar dan penyebab lainnya. Hal
tersebut membuktikan bahwa tuturan (499) yang disampaikan peserta didik
pada data [23] mengandung implikatur percakapan dengan mengurangi
informasi yang diinginkan yaitu, ”Apa maksud Ibu amandel dapat
menyebabkan anak suka mengantuk?” sehingga melanggar maksim kuantitas.
2) Maksim Hubungan
Maksim ini digunakan agar terjalin kerjasama yang baik antara penutur
dan mitra tutur dengan memberikan kontribusi tuturan yang relevan.
Penelitian ini menemukan pelanggaran maksim ini dilakukan guru untuk
menciptakan variasi humor dalam suatu pembelajaran pada contoh data
berikut.
[24]
(480) G: (Membaca) Kemudian temukan persoalan yang benar-benar terjadi, hem…benar-benar terjadi kamu menemukan masalah apa tadi pagi, benar-benar terjadi. Wah aku mau tumbas saté keong nggoné mbak marsini telung ngéwu <MKH/ MSK/ FM/ TE>
(481) S: (tertawa) (482) G: Persoalané ngopo kok nganték tuku telung ngéwu? Lha kulo luwé Bu,
kulo nggé lawuh tumbas sego karo saténé nggih. Itu persoalan yang benar-benar terjadi yang dialami kamu, dadi kamu tadi tuku saté séwu. Wo aku mau tuku sate séwué wis éntuk limo las, murah nggih?
(483) S: Nggih
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [24] saat guru memberikan penguatan berupa contoh
nyata cara penentuan masalah saat akan menanggapi suatu masalah. Untuk
menciptakan suasana yang lebih ”segar” dan tidak memojokkan peserta didik
sebagai bahan tertawaan dengan menyebut nama peserta didik Guru
menggunakan tuturan (480) yang menjadikan diri sendiri menjadi contoh yang
lucu karena persamaan anggapan guru dan peserta didik bahwa beli sate keong
sebanyak tiga ribu sangat berlebihan. Maksud guru ini dimengerti peserta
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
didik dengan respon (483) sehingga guru dapat dengan mudah menerangkan
karena antusias peserta didik muncul kembali. Dengan kata lain tuturan (480)
mengandung implikatur percakapan yang menaati maksim kerendahan hati.
Pelanggaran maksim hubungan yang lain juga digunakan untuk
mengetahui pendapat peserta didik tentang sesuatu . Berikut penjelasan contoh
data pelanggara maksim hubungan oleh guru dalam penelitian ini.
[25]
(131) G: Jual, maka ada juga yang kotor. Itu namanya diskon cuci gudang. Ndelalah kowé seneng ning kok reget, tidak apa-apa, nanti dirumah di….
(132) S: Cuci (133) G: Cuci nggih, aku seneng iki nanging kok reget yo? Cuci gudang memang
gitu, kalo memang tidak menginginkan cuci gudang dengan harga yang lebih tinggi, terawat dengan baik milio sing….<MKC/ MSK/ FM/ TE>
(134) S: Ora diskon
(Pembelajaran3)
Konteks situasi data [25] terjadi saat guru menjelaskan alasan mengenai
barang-barang diskon biasanya kotor. Meskipun guru telah menjelaskan
alasan tersebut, tetapi guru juga mengetahui keadaan ekonomi peserta didik
yang beragam. Untuk itu guru menggunakan tuturan (133) yang secara umum
dan mencontohkan diri sendiri sehingga tidak menjatuhkan atau memihak
seseorang yang membeli barang diskon dibanding tuturan, ”Jika tidak ingin
barang yang kotor dan mempunyai uang lebih, lebih baik beli yang tidak
diskon”. Maksud guru ini dimengerti peserta didik dengan respon (134)
sehingga guru dapat mengetahui pendapat peserta didik tentang barang diskon.
Dengan kata lain tuturan (133) mengandung implikatur percakapan yang
menaati maksim kerendahan hati.
3) Maksim Cara
Maksim cara melarang penutur menimbulkan kekaburan maksud sehingga
sulit diketahui mitra tutur. Contoh pelanggaran maksim ini untuk menerapkan
maksim kerendahan hati terdapat pada data berikut ini.
[26]
(39) G: Cerita itu nanti, yang anak-anak buat seperti ini (memperlihatkan karton berisi tugas puisi peserta didik). Gék ingi lhak wis sido digawé to?
(40) S: Mpun
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
(41) G: Hanya lima anak itu tadi yang belum. Sekarang sudah ditambah Fifa sama....<MKC/ MSK/ FM/ TE>
(42) S: Ibnu (Aziz)
(43) G: Ibnu (menatap Ibnu)
(44) S: (Mengangguk) (Ibnu)
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [26] terjadi saat mengingatkan kembali tugas
pembelajaran sebelumnya yang harus dikumpulkan, tetapi terdapat beberapa
peserta didik yang belum mengumpulkan atau telat mengumpulkan. Dan
untuk memastikannya tanpa membuat membuat peserta didik beranggapan
tidak menghargai peserta didik yang sudah mengumpulkan meski telat, guru
menggunakan kata ”ditambah” sebagai ungkapan penerimaan yang bersifat
ambigu pada tuturan (41). Hal ini karena meskipun sudah mengumpulkan
tetapi ada ketentuan penelaian yang berbeda dengan peserta didik tepat waktu,
seperti dengan tuturan, ”Meski kalian mengumpulkan sekarang, tetapi nilai
kalian tidak sama dengan peserta didik yang tepat waktu mengumpulkan
tugas”. Maksud guru tersebut dimengerti peserta didik dengan respon (45)
yang menanyakan keberterimaan keterlambatan pengumpulan tugas peserta
didik. Sehingga tuturan (41) pada data [26] mengandung implikatur
percakapan yang melanggar maksim cara untuk menaati maksim kerendahan
hati.
Pelanggran maksim cara juga dilakukan peserta didik untuk merespon
tuturan guru, seperti yang lihat dari contoh data [27] sebagai berikut.
[27]
(629) S: Rumah toko (630) G: Ruko dan tempat sampah disediakan agar sampah-sampah opo?
(631) S: Tidak kemana-mana (Aziz) <MKC/ MSK/ FM/ TE>
(632) G: Tidak berantakan atau berserakan kesana kemari yang membuat pemandangan tidak enak, ora kepénak ditonton. Ngendi-ngendi akeh uwuh sing ora nggenah. Sebaiknya ditempatkan pada tempat sampah, sehingga sampah itu di…
(633) S: Buang (Aziz)
(Pembelajaran2)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
Konteks situasi data [27] tercipta saat tuturan (630) yang diucapkan guru
ingin direspon peserta didik, tetapi peserta didik tersebut tidak ingin mencolok
diantara peserta didik lain sekaligus kurang dapat mengungkapkan
pendapatnya dengan kata-kata lebih khusus sehingga tuturan (631) justru
bermakna ambigu jika guru tidak mengetahui topik yang dibicarakan
sebelumnya. Meskipun demikian, guru tetap mengetahui maksud guru seperti
yang terlihat pada tuturan (632) berupa prediksi hal yang ingin diungkapkan
peserta didik dan penjelasan untuk menyamakan persepsi guru dan peserta
didik tentang topik tersebut seperti dalam tuturan (633) sebagai tanda
kesepakatan. Sehingga tuturan (631) diidentifikasi mengandung implikatur
percakapan yang melanggar maksim cara dengan mengungkapkan suatu hal
ambigu atau kekaburan maksud tuturan peserta didik.
Berdasarkan permasalahan di atas maka peneliti menemukan beberapa
pelanggaran prinsip percakapan untuk menaati maksim pujian sehingga
mengandung implikatur percakapan. Penerapan seperti ini didominsai
pelanggaran maksim hubungan, tetapi tidak ditemukan pelanggaran maksim
kualitas dan gabungan. Data semua pelanggaran dalam penelitian dapat juga
dilihat pada lampiran transkrip pembelajaran pada data berkode <MKN/ MSP>,
<MKH/ MSD>, dan <MKC/ MSD>.
i) Implikatur Percakapan dalam Penerapan Maksim Kesepakatan
Inti dari maksim ini adalah menggariskan setiap penutur dan mitra tutur untuk
memaksimalkan kecocokan di antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan
di antara mereka. Penerapan maksim ini dilakukan dengan menghindari tuturan
yang membantah atau memenggal tuturan mitra tutur. Penelitian ini menemukan
tuturan mengandung implikatur percakapan untuk menerapkan maksim ini.
Berikut penjelasan beberapa contoh pelanggaran maksim-maksim percakapan
dalam penerapan maksim kesepakatan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
1) Maksim Kuantitas
Contoh tuturan penerapan maksim kesepakatan dalam pembelajaran
bahasa Indonesia yang melanggar maksim kuantitas seperti pada data berikut.
[28]
(113) G: Tempo kuwi opo to... Tempo kuwi nggih, tempo adalah cepat atau lambatnya pengucapan dalam pu…
(114) S: Isi (115) G: Puisi. Cepat atau lambatnya pengucapan pada… <MKN/ MSS/ FM/
TK> (116) S: Puisi (117) G: Itu namanya… <MKN/ MSS/ FM/ TK>
(118) S: Tempo
(119) G: Tempo. Jadi dalam membaca puisi yang anak-anak perhatikan itu, satu tanda koma, dua tanda baca titik. Diikuti garis miring satu untuk koma, garis miring dua untuk tanda baca ti… <MKN/ MSS/ FM/ TK>
(120) S: Tik
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [28] terjadi setelah guru selesai menjelaskan materi
tentang pengertian tempo dan tanda-tanda yang terdapat dalam pembacaan
pusi. Untuk memastikan peserta didik memahami penjelasan guru, maka
tuturan (115), (117), dan (119) dituturkan secara singkat sebagai review dan
meminta peserta didik ikut menyimpulkan materi yang telah dibahas pada
pembelajaran tersebut. Tuturan tersebut lebih menawarkan kesempatan
dibandingkan tuturan guru yang mereview ulang tanpa melibatkan peserta
didik seperti dengan tuturan, ”Benar, tempo adalah cepat lambatnya
pengucapan pada pembacaan puisi. Selain itu, di dalam membaca puisi kalian
juga harus memperhatikan tanda garis miring satu sebagai pengganti tanda
koma dan garis miring dua sebagai pengganti tanda titik”. Maksud ketiga
tuturan tersebut dimengerti peserta didik dengan adanya respon (116), (118),
dan (120) yang juga dilakukan secara singkat pula. Dengan demikian tuturan
(115), (117), dan (119) mengandung implikatur percakapan yang melanggar
maksim kuantitas guna mematuhi maksim kesepakatan.
Contoh lain pelanggaran maksim ini dalam penerapan maksim
kesepakatan dapat dilihat pada contoh data berikut ini.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
[29] (7) G: Tiwa. Kita baca dulu, opo to sing diarani mendengarkan
cerita…mendengarkan cerita adalah, opo cah? (8) S: Menyimak tutur … suatu hal …peristiwa (saling bersahutan) (9) G: Menyimak tutur <MKN/ MSS/ FM/ TK>, tutur ki opo to cah? (10) S: Berbicara (Canggih menjawab keras)
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [29] terjadi saat guru memulai pembelajaran dengan
materi baru sesuai petunjuk LKS. Guru memulai diskusi kelas dengan
memastikan peserta didik telah siap mengikuti pembelajaran melalui
pertanyaan (7). Tuturan ini ternyata direspon baik oleh peserta didik meskipun
tuturan (8) yang disampaikan peserta didik tidak jelas karena peserta didik
menjawab tidak serempak. Tetapi guru mengetahui bahwa peserta didik
membaca LKS sehingga guru menganggap tuturan peserta didik sama karena
materi sudah ada di LKS. Untuk itulah, guru cukup bertutur (9) yang singkat
tanpa harus menyatakan kata kesepakatan secara langsung atau mengulang
keseluruhan jawaban peserta didik, melainkan langsung diikuti pertanyaan
materi selanjutnya. Hal ini dianggap lebih efisien waktu dibanding harus
bertutur, ”Kalian benar, mendengarkan cerita adalah menyimak tutur orang
lain tentang suatu hal atau peristiwa”. Maksud tersembunyi ini dimengerti
peserta didik melalui tuturan (10) yang mengikuti ke materi selanjutnya.
Sehingga tuturan (9) mengandung implikatur percakapan yang melanggar
maksim kuantitas gunamenerapkan maksim kesepakatan.
2) Maksim Hubungan
Dalam penelitian ini ditemukan beberapa pelanggaran maksim ini antara
lain pada contoh data sebagai berikut.
[30] (1) G: Yo bahasa nggih. Yo kursiné dijikok siji (2) S: Mboten Bu (Canggih) <MKH/ MSS/ FM/ TK> (3) G: O...nggih pun. Ya...melanjutkan materi berikutnya bahasa kemarin
(mengambil buku dan LKS Bahasa Indonesia di lemari kelas). Kita ambil LKS mengenai tema perdagangan
(4) S: (Mengeluarkan dan membuka LKS, tetapi Canggih belum menemukan halaman LKS dengan tema perdagangan karena kemarin tidak masuk sekolah) Halaman pinten Bu? (Canggih)
(Pembelajaran2)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
Konteks situasi data [30] lebih mengarah pada kebiasaan yang diterapkan
peserta didik dan guru saat pembelajaran yaitu kebiasaan peserta didik yang
belum siap untuk memulai pembelajaran salah satunya ditandai dengan masih
terdapat dua peserta didik semeja. Tuturan (1) yang berisi sindiran halus bagi
pserta didik direspon dengan tuturan (2) yang jika dilihat secara sepintas tidak
ada hubungan dengan tuturan sebelumnya. Tuturan (2) sebenarnya
mempunyai maksud peserta didik mengerti kalau pembelajaran akan dimulai
dan akan segera kembali pada tempat duduknya tanpa perlu mengambil kursi
peserta didik lain. Cara pengungkapan tuturan (2) dipandang lebih sopan dan
efektif waktu untuk membela diri tanpa menentang tuturan guru yang akan
membuat suasana pembelajran menjadi tidak nyaman, dibanding dengan
tuturan, ”Saya mengerti pembelajaran akan dimulai, tetapi tidak mengambil
kursi karena saya sudah punya kursi sendiri dan akan duduk di tempat duduk
saya”. Maksud tuturan peserta didik dimengerti guru yang terlihat dari tuturan
(3) yang memaklumi perilaku peserta didik sehingga tidak marah dan segera
memulai pembelajaran. Dengan demikian tuturan (2) pada data [30] tersebut
teridentifikasi mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim
hubungan.
Pelanggaran ini juga digunakan guru untuk menjelaskan materi yang
kurang dimengerti salah satu peserta didik, tetapi dilakukan dengan
menjelaskan ke semua peserta didik. Berikut salah satu contoh data
pelanggaran maksim ini.
[31] (248) S: Lha lungguhé piyé (Canggih) (249) G: Kursiné ceméntel klambi, lha pripun to Bu? Tenguk-tenguk diceménteli
klambi. Kursiné lak dingo tenguk-tenguk to? (250) S: Nggih (251) G: Klambiné kowé séléhke nggon kursi. Bu, lha menggke kulo ngge meleh
kok. Ngono yo? Dadi engko dinggo meléh, dadi diceméntel nggon….<MKH/ MSS/ FM/ TK>
(252) S: Kursi (Pembelajaran3)
Konteks situasi data [31] merupakan lanjutan dari sindiran guru terhadap
kebisaan yang kurang baik dari peserta didik. Tetapi ada salah satu peserta
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
didik yang tidak mengerti tentang hal tersebut dan justru salah paham. Untuk
itulah, guru merasa perlu menjelaskan lebih rinci baik kepada peserta didik
tersebut maupun peserta didik lain. Akibatnya, tuturan (251) yang digunakan
guru terkesan tidak berhubungan salah satu peserta didik , tetapi maksud guru
tersebut dimengerti peserta didik yang ditandai dengan tuturan (252) oleh
semua peserta didik. Tuturan (251) digunakan guru agar tidak terlalu
memojokkan peserta didik yang lambat dalam menangkap maksud guru
dibanding tuturan, ”Itu cuma sindiran Canggih, jadi kamu jangan
menggantungkan baju di kursi, meskipun baju itu akan kamu pakai lagi”.
Sehingga tuturan (251) terbukti mengandung implikatur percakapan yang
melanggar maksim hubungan.
3) Maksim Cara
Maksim cara melarang penutur menimbulkan kekaburan maksud sehingga
sulit diketahui mitra tutur. Contoh pelanggaran maksim ini untuk menerapkan
maksim kedermawanan terdapat pada data-data berikut ini.
[32] (624) S: Puisi (625) G: Dari he eh, (melihat peserta didik deretan kanan) dari puisi yang telah
anak-anak buat lewat majalah, koran, atau buku-buku yang lain diperpus…<MKC/ MSS/ FM/ TK>
(626) S: Takaan (Canggih dan Aziz mengangguk) (627) G: Takaan. Lain kali dilanjutkan. Sudah nggih, sekarang istirahat.
Wassalamualaikum warohmatulloh wabarokatu. (628) S: Walaikumsalam warohmatullohi wabarokatu.
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [32] terjadi saat penutupan pembelajaran yang
dilakukan dengan mereview materi pembelajaran yang telah dipelajari dan
sebagai tuturan penegas tugas yang harus dikerjakan peserta didik yang tidak
masuk saat les liburan semester 1. Tuturan (625) sebenarnya ditujukan pada
peserta didik yang belum mengerjakan tugas minggu lalu karena tidak masuk
sekolah, tetapi guru lebih memilih menggunakan tuturan tersebut yang lebih
umum untuk menghindari peserta didik tersebut terikat seperti jika berujar,
“Ingat, bagi peserta didik yang belum mengumpulkan tugas hari ini, selain
mengerjakan tugas untuk besok, juga harus mengerjakan tugas minggu
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
kemarin yang menyalin puisi dari majalah atau buku di buku tugas”. Sehingga
respon yang tercipta berupa tuturan (626) sebagai tanda kemengertian semua
peserta didik atas tugasnya masing-masing. Hal ini membuktikan bahwa
tuturan (625) pada data [32] mengandung implikatur percakapan karena
melanggar maksim cara dengan mengungkapkan suatu hal secara umum.
[33] (426) G: Loro, panas, he eh, kamongko jané bi…. (427) S: Duren (428) G: Duren nggih. Jadi harus nyata, betul-betul nyata sing diomongké, sing
dihaturké. Bu, Canggih mboten mlébet awit biduren, mripate mriki bekep-bekep, tapi mboten saget ningali, isin metu trus ora mlebu sekolah, mboten saget mlebet sekolah. Boleh, tetapi itu kalau benar-benar nyata ora pareng nga….<MKC/ MSS/ FM/ TK>
(429) S: Pusi (430) G: Pusi, ning ojo thik-thik ora mlebu, Canggih panunen ngono ra mlebu
kok, ampun nggih? (431) S: (Canggih mengangguk)
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [33] merupakan lanjutan tuturan sindiran yang
ditujukan kepada salah satu peserta didik karena sering tidak mesuk sekolah
dengan alasan yang bermacam-macam, seperti pada tuturan (426). Oleh
karena itu, guru menggunakan ungkapan secara umum pada tuturan (428)
agar dapat menghubungkan materi pembelajaran dengan kesepakatan peserta
didik untuk tidak menggunakan alasan yang tidak benar jika tidak masuk
sekolah. Hal ini dilakukan agar efisien waktu dibandingkan guru harus
menasihati kebiasaan peserta didik tersebut yang sulit diubah disecara pribadi.
Maksud ini direspon positif oleh peserta didik dengan tuturan (431) yang
menandakan kesepakatan peserta didik. Sehingga tuturan [33] mengandung
implikatur percakapan guna memenuhi maksim kesepakatan.
Berdasarkan permasalahan di atas maka peneliti menemukan beberapa
pelanggaran prinsip percakapan untuk menaati maksim kesepakatan sehingga
mengandung implikatur percakapan. Penerapan seperti ini didominsai
pelanggaran maksim kuantitas, tetapi tidak ditemukan pelanggaran maksim
kualitas dan gabungan. Data semua pelanggaran dalam penelitian dapat juga
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
dilihat pada lampiran transkrip pembelajaran pada data berkode <MKN/ MSS>,
<MKH/ MSS>, dan <MKC/ MSS>.
j) Implikatur Percakapan dalam Penerapan Maksim Gabungan
Dalam penelitian ini juga ditemukan penerapan maksim sopan santun
gabungan yang mengandung implikatur percakapan. Untuk memperjelas, contoh
penerapan maksim ini.
1) Maksim Kearifan dan Pujian
Penerapan maksim ini memaksimalkan keuntungan mitra tutur dengan
menghargai mitra tutur saat penutur menginginkan sesuatu. Contoh tuturan
penerapan maksim gabungan kearifan dan pujian dalam pembelajaran bahasa
Indonesia yang mengandung implikatur percakapan seperti pada data berikut.
[34] (33) G: Bahasa, keindahan bahasa. Kamu juga dapat belajar bagaimana
mengungkapkan perasaan sesuai dengan makna yang dikandung dalam pui...puisi. Untuk puisi itu nanti, anak-anak dalam membuat puisi itu, saya harap membuat lagi, puisi tersebut dijadikan sebuah apalagi?
(34) S: Karangan (Nurul) (35) G: Karangan pro....<MKN/ MS1/ FK/TD> (36) S: Sa
(Pembelajaran1)
Konteks situasi tuturan guru [34] diarahkan berdasarkan tuturan peserta
didik yang kurang lengkap dalam merespon tuturan guru (33) yang
mempertanyaan tugas pembelajaran sebelumnya. Tetapi guru membenarkan
tuturan tersebut dan mengakhirinya dengan kalimat yang tidak lengkap agar
peserta didik merespon tuturan tersebut sebagai cermin peserta didik mengerti
jawaban yang diinginkan guru. Hal ini terlihat dari tuturan (35) yang
mengulang tuturan peserta meski salah dibandingkan respon yang seharusnya
dituturkan guru seperti, “Jawaban kamu kurang lengkap, seharusnya karangan
prosa”. Maksud tuturan tersebut dimengerti peserta didik yang merespon
tuturan guru dengan tuturan (36). Sehingga tuturan (35) mengandung
implikatur percakapan guna menerapkan maksim pujian dan kearifan.
[35] (73) G: Tidak. Jadi di dalam membuat puisi, anak-anak tidak membuat atau
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
menuliskan tanda koma atau tanda titik, tetapi kalau sudah dibentuk dalam bentuk opo mau? Karangan atau prosa harus diberi tanda baca opo tadi?
(74) S: Tanya (Nurul) (75) G: Tanya boleh, koma dan ti.... <MK1/ MS1/ FM/ TE> (76) S: Titik
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [35] terjadi saat terjadi perbedaan jawaban peserta
didik yang diinginkan guru, tetapi kesalahpahaman tersebut tidak
menyimpang dari tujuan pembelajaran sehingga masih dapat dimaklumi.
Dalam pembelajaran ini, guru tidak ingin langsung menyalahkan peserta didik
yang akan membuat peserta didik takut menjawab, melainkan mebenarkan
kemudian mengarahkan peserta didik pada matreri yang sebenarnya ingin
dicapai. Sehingga guru menggunakan tuturan yang membenarkan sesuatu hal
yang salah dan singkat dibandingkan harus berujar, “Kamu salah, tadi kan kita
membahas tanda koma dan titik jadi jawaban pertanyaan Ibu tadi adalah tada
koma dan titik”. Maksud inilah yang tersembunyi dibalik tuturan (75) yang
membenarkan jawaban peserta didik dan diakhiri pertanyaan sebagai arahan
peserta didik untuk mencari jawaban yang sebenarnya. Tuturan (76)
merupakan bukti bahwa peserta didik mengerti maksud tuturan (75) yang
diujarkan guru. Jika dilihat dari tuturan (75) dapat diidentifikasi mengandung
implikatur percakapan dengan melanggar maksim kualitas dan kuantitas
secara bersamaan.
Penerapan maksim gabungan ini juga digunakan guru untuk menuntut
secara halus peserta didik mengerti penjelasan yang dianggap sulit dalam
pembelajaran. Berikut contoh data penerapan maksim gabungan kearifan dan
pujian.
[36] (622) G: Tidak, kowé gur arep tuku sepatu ning kaki lima, antri ngono kaé, milih
sak senengé déwé. Nék nggon rumah toko utowo nggin swalayan lain atau tidak?
(623) S: Lain (624) G: Lain, ora kemruyuk, lak ora kemruyuk to? (625) S: Mboten (626) G: Mboten se….<MKN/ MS1/ FK/TD> (627) S: Mrawut
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
(628) G: Semrawut to? Jadi para pedagang kaki lima, tanggapan kamu bagaimana…sebaikya dibuatkan….
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [36] terjadi saat guru ingin menberikan contoh nyata
yang lebih dimengerti peserta didik yang akan dihubungkan dengan istilah
dalam materi pembelajaran yang dianggap membingungkan seperti pada
tuturan (622). Guru kemudian menggunakan tuturan pertanyaan untuk
memastikan peserta didik mengerti hal yang dimaksud guru dengan tuturan
(624). Respon yang sesuai keinginan guru memberikan peluang untuk
menghubungkan contoh dengan materi meskipun dengan tuturan yang singkat
dan terkesan tidak sesuai dengan ujaran sebelumnya. Hal ini karena guru
mengerti karakteristik peserta didik yang cepat bosan jika materi yang
dijelaskan terus menerus seperti dengan ujaran, ”Kalian benar, jika membeli
barang di toko, kalian tidak perlu berdesak-desakan saat memilih barang
sehingga tidak semrawut seperti jika kalian membeli barang di kaki lima”.
Maksud guru ini tersembunyi dibalik tuturan (626) dan telah dimengerti
peserta didik jika dilihat dari tuturan (627) yang diujarkan secara serempak.
Dengan kata lain tuturan (626) mengandung implikatur percakapan dengan
melanggar maksim kuantitas untuk memperjelas materi.
2) Maksim Kearifan dan Kesepakatan
Penerapan maksim ini memaksimalkan keuntungan mitra tutur dengan
tidak membantah mitra tutur saat penutur menginginkan sesuatu. Contoh
tuturan penerapan maksim gabungan kearifan dan kesepakatan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia yang mengandung implikatur percakapan
seperti pada data berikut.
[37] (472) G: O péh énten gantiné nggih, péh énten gantiné Gih, Canggih? (473) S: La biduren kok Bu Bu (Canggih) (474) G: Ampun, mulo silahkan masuk terus ojo thik-thik ora….<MK1/ MS2/
FM/ TK> (475) S: Mlebu (Canggih)
(Pembelajaran2)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
Konteks situasi yang terjadi saat data [37] adalah lanjutan sindiran yang
ditujukan pada salah satu peserta didik. Guru menggunakan tuturan yang
seolah-olah peserta didik menjawab sesuai keinginan guru dengan kata
ampun ’jangan’ yang lebih bermakna pengiyaan ’tidak’ dan dilanjutkan
kalimat yang tidak lengkap agar peserta didik tersebut sepakat tidak
mengulangi izin karena alasan sepele ’tidak penting’. Maksud tuturan (474)
tersebut adalah menjamin bahwa sekolah itu penting dan meminta peserta
didik juga mengerti, meskipun peserta didik tidak berbohong seperti pada
tuturan (473). Maksud tuturan guru tersebut dimengerti peserta didik dengan
respon (475) sebagai tanda kesepakatan. Jadi dapat diketahui bahwa tuturan
(474) mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim
kuantitas dan kualitas.
[38] (630) S: Diskon itu artinya potongan harga (Ibnu) (631) S: Mengapa disebut perang? Seperti tentara saja (Canggih) (632) S: Itu….(Ibnu terlihat bingung) (633) G: Itu karena berlomba atau….<MK1/ MS2/ FM/ TK> (634) S: Itu karena berlomba atau bersaing (Ibnu)
(Pembelajaran3)
Konteks situasi data [38] terjadi saat peserta didik melaksanakan tugas
berbicara di depan sesuai teks percakapan yang dihafalkan secara
berkelompok. Tetapi ada peserta didik yang lupa dengan bagian teks yang
harus dihafalkan. Untuk itulah, guru menggunakan tuturan (633) yang seolah-
olah mendengar peserta didik tersebut berbicara dan disuarakan kembali
tetapi tidak secara lengkap agar peserta didik tersebut dapat melanjutkan
dialog tanpa grogi. Maksud tuturan (633) tersebut dimengerti peserta didik
dengan langsung melanjutkan dialog tanpa menunggu guru selesai berbicara.
Tuturan (633) lebih dianggap membantu peserta didik dalam menyelesaikan
tugas dibandingkan tuturan guru yang hanya menyindir tanpa diberi kata
kunci jawaban yang benar. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tuturan
(474) mengandung implikatur percakapan dengan melanggar maksim
kuantitas dan kualitas.
3) Maksim Kedermawanan dan Kerendahan Hati
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
Penerapan maksim ini menambah beban penutur dengan mengurangi
pujian terhadap diri penutur. Contoh tuturan penerapan maksim gabungan
kedermawanan dan kerendahan hati dalam pembelajaran bahasa Indonesia
yang mengandung implikatur percakapan seperti pada data berikut.
[39] (301) G: Dolane suwé, wayah nyambut gawé urung mantuk. Wayah nyambut
gawé membantu orang tua kamu belum pulang, berakibat orang tua atau ibumu marah-marah nggih mboten?
(302) S: Nggih (303) G: Marah orang tua itu kalau anaknya sampai melalaikan tugasnya. O..yah
méné aku wayahé macul ngéwangi bapak, kok aku ijik bal-balan karo dolan. Ibu pasti bagaimana? <MK2/ MS3/ FM/ TK>
(304) S: Marah (305) G: Marah, ibu pasti marah, berakibat orang tua marah memarahi kamu.
(membaca puisi) Namun itu, dibalik bunda memarahiku ada rasa…. (Pembelajaran1)
Konteks situasi data [39] terjadi saat guru menjelaskan hal-hal yang dapat
membuat Ibu marah pada anaknya sekaligus memberi nasihat agar peserta
didik menghindari perbuatan tersebut. Awalnya guru menggunakan contoh
peserta didik seperti pada tuturan (302). Namun saat guru menggunakan
tuturan penguatan, guru memilih menggunakan tuturan (303) yang meminta
kesanggupan peserta didik dengan mencontohkan diri sendiri agar peserta
didik tidak merasa terlalu dipojokkan. Meskipun secara sepintas tuturan (303)
tidak menguatkan tuturan sebelumnya dan terlalu umum pertanyaan yang
disampaikan, tetapi peserta didik mengerti maksud seperti yang terlihat pada
tuturan (304) sesuai keinginan guru. Dengan kata lain, tuturan (303)
mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksin hubungan dan
cara untuk memenuhi maksim kedermawanan dan kerendahan hati.
[40] (472) G: (melihat Nilam menyeret kursi dan menimbulkan suara berisik) Sebab
tidak memperhatikan dengan sungguh-…. (473) S: Sungguh (474) G: (membaca) Sekarang hal-hal yang diperhatikan ketika anak-anak
memberi tanggapan kepada sesuatu hal. Mau lak ngrungokké to…bar ngrungokké lak iso nyritakké to…nyritakké ojo nganti salah. Nék wis nyritakké bener berarti ora diguyu kancamu. Lhawong mau critané jané pemain takraw mau telu kok sing jawab papat, diguyu kancamu to? <MK1/ MS3/ FM/ TK>
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
(475) S: Nggih (476) G: Nah, mergané ora ngru…. (477) S: Ngokké
(Pembelajaran2)
Konteks situasi pada data [40] terjadi saat guru mengalihkan materi satu ke
materi lainnya sesuai petujuk LKS. Tetapi, tanpa kesimpulan materi di akhir
tuturan, guru langsung membaca LKS dan baru di tengah tuturan guru
menghubungkan antar materi dengan mencontohkan dirinya sendiri, jika
dibanding dengan tuturan, “Benar, kita lanjutkan dengan materi selanjutnya
dan baca di LKS tentang hal-hal yang diperhatikan saat memberi tanggapan
kepada sesuatu hal” yang terlalu panjang sehingga tidak efisien waktu. Meski
begitu, peserta didik tetap mengerti maksud guru jika dilihat dari respon (475)
dan (481) yang menandakan peserta didik dapat mengikuti materi yang
disampaikan guru. Jika dilihat penjelasan pada tuturan di atas, maka dapat
diketahui bahwa tuturan (478) mengandung implikatur percakapan yang
melanggar dua maksim sekaligus.
4) Maksim Kedermawanan dan Kesepakatan
Contoh tuturan penerapan maksim gabungan kedermawanan dan
kesepakatan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang mengandung
implikatur percakapan seperti pada data berikut.
[41] (472) G: Ibumu menéh, kowé ra njalok bapak cah? (473) S: Mboten (Ibnu) (474) G: Mboten, bapak yo pernah? Pernah, tetapi setiap hari biasanya minta
pada<MK1/ MS4/ FM/ TK> (475) S: Ibu (476) G: Ibu. (Membaca) Jadi bunda yang selalu berjasa bagiku dan keluargaku.
Jadi keluargamu semuanya mengharap jasa seorang ibu. Esok-esok pagi-pagi ibu sudah bangun pagi jam empat kadang jam tiga untuk persiapan makan pagi ya, kamu sebagai anak ya harus membantu orang tua terutama sapa?
(477) S: Ibu (Pembelajaran1)
Konteks situasi data [41] terjadi saat guru berusaha meluruskan jawaban
peserta didik sesuai keadaan pada umumnya. Di samping itu, guru juga tidak
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
ingin terkesan tidak setuju atas jawaban peserta didik karena semua pendapat
tentang pertanyaan guru ini tergantung dari pengalaman masing-masing orang.
Untuk itulah guru menggunakan tuturan (484) yang menyetujui tuturan
peserta didik, tetapi juga mempertanyakannya kembali dan menjawabnya
sendiri sehingga mendapat suatu jawaban yang logis dan diterima peserta
didik. Maksud tuturan (484) dimengerti peserta didik dengan respon (485)
sebagai tanda kesepakatan atas alasan guru. Dengan demikian, tuturan (484)
mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim kuantitas dan
kualitas.
Penerapan maksim kedermawanan dan kesepakatan juga dilakukan dengan
melanggar maksim hubungan dan cara seperti pada contoh data berikut.
[42] (436) G: Ora iso, koncone iso, dadi ra iso mergoné pas diterangké ora mlebu.
Lha akibaté kuwi, kancané iso dadi ora iso, mula pingin…kepingin mlebuo terus, ojo nganggo préi, mlebu terus waé sok-sok ora i…iso, angel, opo menéh ora mlebu, nék ora mlebu dadiné bingung, nggih mboten?
(437) S: Nggih (438) G: Konconé mlayu tekan Solo, kowé isih uplak-uplek énéng pondok,
konconé wis tekan Jakarta, kowé agék tekan Semarang, kesuwén to? Ketinggalan mboten? <MK2/ MS4/ FM/ TK>
(439) S: Ketinggalan (Pembelajaran2)
Konteks situasi data [42] merupakan lanjutan sindiran guru terhadap
peserta didik yang sering tidak masuk sekolah. Pada tuturan (438) guru
bermaksud menjelaskan akibat yang akan diterima peserta didik jika sering
tidak masuk sekolah. Maksud tersebut disampaikan dengan tuturan
perumpamaan, sehingga terkesan tidak berhubungan dengan tuturan
sebelumnya dan dapat membuat peserta didik bingung. Karena kesamaan
pengetahuan, tuturan tesebut dimengerti peserta didik dengan ditandai tuturan
(439) sebagai tanda kesepakatan. Sehingga tuturan (438) dapat diketahui
mengandung implikatur percakapan yang melanggar mksim hubungan dan
cara untuk memenuhi maksim kedermawanan dan kesepakatan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
Berdasarkan permasalahan di atas maka peneliti menemukan beberapa
pelanggaran prinsip percakapan untuk menaati maksim gabungan baik maksim
gabungan kearifan dan pujian, kearifan dan kesepakatan, kedermawanan dan
kerendahan hati, maupun kedermawanan dan kesepakatan sehingga mengandung
implikatur percakapan. Penerapan seperti ini didominasi pelanggaran maksim
gabungan kuantitas dan kualitas dalam penerapan maksim gabungan kearifan dan
kesepakatan. Data semua pelanggaran dalam penelitian dapat juga dilihat pada
lampiran transkrip pembelajaran pada data berkode <MKN/ MS1>, <MK1/
MS1>, <MK1/ MS2> <MK1/ MS3>, <MK2/ MS3>, dan <MK1/ MS4>.
Dan untuk memudahkan penghitungan jumlah pelanggaran maksim
percakapan, peneliti juga mencantumkan tabel pada setiap pelanggaran prinsip
kerjasama dalam penerapan prinsip sopan santun dalam pembelajaran bahasa
Indonesia di kelas V SD.
Tabel 3. Pelanggaran Maksim Kerja Sama dalam Menerapkan Maksim
Sopan-santun
Tabel di atas menunjukkan bahwa implikatur percakapan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V SD didominasi oleh pelanggaran
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
maksim kuantitas yaitu 176 tuturan saat menerapkan maksim sopan santun,
terutama dalam menerapkan maksim kesepakatan yaitu 23 tuturan pada
pembelajaran pertama, 28 tuturan pada pembelajaran kedua, dan 40 tuturan pada
pembelajaran ketiga. Sedangkan penerapan maksim sopan santun yang
mengandung implikatur percakapan didominasi maksim kesepakatan yaitu 45
tuturan pada pembelajaran pertama, 36 tuturan pada pembelajaran kedua, dan 55
pada pembelajaran ketiga. Semua penerapan dan pelanggaran di atas tidak
terlepas dari tujuan dan fungsi yang ingin dicapai penutur kepada mitra tutur.
2. Tujuan dan Fungsi Penggunaan Implikatur Percakapan
Ilokusi yang tidak dikatakan penutur kepada mitra tutur dan mempunyai
kemungkinan lebih dari satu penafsiran dapat disebut implikatur. Tetapi perlu
diketahui tidak semua pelanggaran prinsip kerja sama akan terkesan lebih sopan.
Untuk lebih mengongkretkan tuturan-tuturan yang sopan dan tidak sopan dalam
tuturan, biasanya dikaitkan tindak-tindak ilokusi dengan kesantunan berbahasa.
Penelitian ini hanya menganalisis fungsi ilokusi sesuai dengan tujuan ilokusi
tuturan berimplikatur percakapan penutur yang mementingkan pemeliharaan
hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur saat pembelajaran bahasa
Indonesia kelas V. Untuk itu, analisis sangat terkait dengan reaksi atau respon
yang dilakukan mitra tutur dari implikatur percakapan yang dituturkan oleh
penutur. Tujuan dan fungsi tersebut dijabarkan dengan beberapa contoh data
sebagai berikut.
a. Implikatur Percakapan yang Berfungsi Kompetitif dan Bertujuan
Direktif
Penelitian ini menemukan implikatur percakapan yang berfungsi kompetitif
untuk mencapai tujuan direktif dengan kesantunan negatif. Sehingga tuturan yang
dihasilkan terkesan lebih memberikan keuntungan dan mengurangi
ketidakharmonisan yang tersirat dalam kompetisi (bersaing) saat penutur ingin
menimbulkan suatu efek atau tindakan yang dikeluarkan oleh mitra tutur. Secara
singkat implikatur percakapan yang berfungsi kompetitif dan tujuan direktif
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
tercakup saat penerapan maksim kearifan, kedermawanan dan maksim gabungan
pujian dan kearifan. Contoh ujaran tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
1) Implikatur percakapan kompetitif direktif mengajak
Implikatur percakapan dapat digunakan penghalus tuturan yang
meminta mitra tutur untuk melakukan suatu tindakan. Sehingga tuturan ini
digunakan untuk memperhalus perintah kepada mitra tutur, seperti terlihat
pada data berikut.
[43] (590) G: Puisi. Yang kedua tanda apa? (591) S: Nada (592) G: Nada itu apa? (593) S: Tekanan tinggi rendah (594) G: Tekanan tinggi rendah atau sedang dalam pembacaan puisi tersebut.
Ketiga yaitu…<MKL/ MSA/ FK/ TD > (595) S: Tempo
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [43] terjadi saat guru mengulas kembali materi
yang telah dibahas dan menginginkan peserta didik ikut aktif dalam
pembelajaran tersebut. Guru juga mengetahui karakteristik peserta didik kelas
V yang tidak suka jika diperintah, tetapi sangat suka menjawab pertanyaan.
Untuk itu, guru memilih tuturan yang tidak diujarkan secara lengkap yang
mempunyai maksud mengajak peserta didik ikut berpartisipasi merumuskan
kesimpulan pembelajaran hari itu, seperti yang terlihat pada tuturan (594).
Tuturan (594) dipilih guru karena dianggap tidak membuat peserta didik
diharuskan menjawab tuturan melainkan lebih pada kesadaran diri untuk aktif
dalam pembelajaran, selain itu guru juga dapat mengecek pemahaman peserta
didik terhadap materi yang disampaikan guru, dibanding dengan tuturan,
”Sekarang kalian jawab pertanyaan berikut, apa faktor ketiga yang harus
diperhatikan dalam pembacaan puisi?”. Tuturan ini dimengerti peserta didik
dengan adanya respon tuturan (595) yang merupakan lanjutan tuturan yang
diinginkan guru.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
Maksim kearifan juga dapat diterapkan agar peserta didik tidak merasa
dipojokkan atau grogi dengan perintah guru, salah satu contohnya sebagai
berikut.
[44] (223) G: Nggih. (Membaca dan melihat Aziz menguap) Kantor pos juga
menerima layanan tabungan dari masyarakat, nggih nopo mboten Ziz? (224) S: Nggih (Aziz pelan) (225) G: Kowé nabung rono iso ra? <MKH/ MSA/ FK/TD> (226) S: Saget (Aziz) (227) G: Saget, lewat kantor pos juga dilayani bahkan sekarang pajak listrik pun
juga bisa dilayani disana. Kowé duwé utang pit montor kredit lewat sana juga bisa diproses, ra sah ning kantoré pit montor, lewat kantor pos juga bisa dilayani. Sopo sing wis tahu ning kantor pos?
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [44] terjadi saat peserta didik menggunakan tuturan
nggih ’bisa’, tetapi kurang yakin dalam merespon sindiran tuturan (223)
sebelumnya karena tidak memperhatikan penjelasan guru. Karakteristik
peserta didik tersebut yang ”cengeng” membuat guru perlu menyampaikan
teguran kepada peserta didik dengan cara lebih halus dan tetap memberikan
stimulus agar peserta didik mengerti tentang materi tersebut. Tuturan (225)
terlihat tidak marah, mengiyakan maupun menolak respon peserta didik,
tetapi justru menanyakan hal lain mengenai penerapan materi tersebut.
Maksud tuturan (225) lebih untuk meredam kemarahan guru dalam
menjelaskan kembali materi yang tidak diperhatikan peserta didik yang
mengantuk dengan pengandaian peserta didik dapat menerapkan materi
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini memberikan kesan memberi
keleluasaan peserta didik untuk berpikir dibanding dengan tuturan, ”Itu akibat
kamu tidak memperhatikan penjelasan Ibu. Ibu tadi kan sudah menjelaskan
kantor pos bisa untuk menabung”. Sehingga peserta didik tidak merasa
terpojokkan dan memperbaiki sikap yang terlihat dari tuturan (226) yang
dapat menjawab pertanyaan guru dengan yakin.
[45] (211) S: (agak keras tanpa membaca teks) Ketika ayam jantan mulai menyanyi
(terlihat kebingungan) (212) G: Diwoco <MK2/ MSA/ FK/TD> (213) S: (membaca) Dan mentari bangun pagi, petani pun mulai bersiap diri,
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
memangkul cangkul, tunaikan tugas suci, panas matahari kau abaikan, peluh bertetesan bagaikan lautan, cangkulmu tetap kau ayunkan, itu semua untuk persediaan pangan, sungguh besar pengorbananmu, aku kagum kepadamu, ada satu tujuan yang mulia, menyediakan pangan untuk semua
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [45] tercipta saat salah satu peserta didik diminta
membacakan tugas puisi yang telah dikerjakan di depan kelas. Awalnya
peserta didik mendeklamasikan puisi atau tanpa membaca teks yang dia bawa
seperti yang terlihat pada tuturan (211). Tetapi di tengah membaca puisi,
peserta didik lupa dan hal ini dimengerti oleh guru seperti dengan tuturan
(212). Tuturan tersebut diujarkan secara singkat sehingga terkesan tidak
berhubungan dengan tuturan sebelumnya, seperti jika menggunakan tuturan,
“Kamu lupa ya? Kalau begitu teks puisinya dibaca saja”. Hal ini dilakukan
guru untuk menghindari peserta didik menjadi grogi karena ketahuan tidak
hafal puisi yang dibawanya, padahal peserta didik tersebut ingin
menunjukkan kepada guru bahwa dia telah hafal. Maksud dibalik tuturan
(212) dimengerti oleh peserta didik dengan reaksi langsung membaca teks
puisi yang dibawanya, seperti terlihat pada tuturan (213).
Secara singkat tuturan (594), (225), dan (212) mengandung implikatur
percakapan dengan melanggar maksim kerja sama untuk mematuhi maksim
kearifan yang kompetitif dalam mencapai tujuan direktif . Pola tuturan seperti
ini juga dapat ditemukan pada tuturan berkode MSA meskipun dengan
pelanggaran maksim-maksim kerjasama yang berbeda.
2) Implikatur percakapan kompetitif direktif menyarankan
Dalam penelitian ini, penutur tidak mengungkapkan keinginan untuk
memaksa mitra tutur untuk membenahi suatu hal secara lugas, melainkan
dengan tuturan kesantunan negatif melalui implikatur percakapan. Implikatur
percakapan ini membuat tuturan lebih terkesan sebagai saran yang perlu
dilaksanakan mitra tutur. Secara konkret hal ini terlihat saat penutur
menerapkan maksim kedermawanan seperti data berikut.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
[46] (29) G: Tepat. Penjedaan. Karena apa…karena dalam membaca puisi itu tadi,
anak-anak sudah dapat membaca bahwa...e...bahkan beberapa kali di dalam membaca
(30) S: (Ibnu menggoda peserta didik lain) (31) G: Saat membaca puisi, kamu harus menikmati keindahan. Keindahan apa?
(Memandang Ibnu) <MKN/ MSD/ FK/TD> (32) S: (Ibnu mencatat kembali)
(Pembelajaran1)
Konteks situasi tuturan guru diarahkan pada salah satu peserta didik yang
dianggap guru kurang memperhatikan penjelasan guru saat pembelajaran
berlangsung. Data [46] jika dilihat dari penggalan tuturan (31) saja, hanya
akan diketahui bahwa tuturan guru berfungsi sebagai penguat penjelasan yang
telah disampaikan guru sebelumnya, sehingga dapat dipastikan bahwa
pertanyaan guru akan mudah dijawab peserta didik. Tetapi pada
kenyataannya, ada peserta didik yang tidak menjawab, melainkan merespon
dengan mencatat tuturan guru. Peserta didik tersebut adalah peserta didik yang
dipandang guru saat mengujarkan tuturan tersebut. Tuturan (31) bukan hanya
sebagai pertanyaan penguat, tetapi memiliki maksud tersembunyi yaitu
menyarankan peserta didik agar memperhatikan penjelasan guru dan maksud
ini dimengerti peserta didik yang tercermin dari respon peserta didik yang
mencatat. Sehingga tuturan guru seharusnya tuturan guru, “Ibnu jangan
mengganggu teman lain, sekarang jelaskan keindahan yang Ibu maksud
tadi?”. Ketidaksebutan mitra tutur pada data (46) digunakan agar guru tidak
dianggap mengancam muka peserta didik tersebut dihadapan peserta didik
lain, tetapi tetap mengerti bahwa yang dilakukannya merugikan dirinya sendiri
maupun orang lain. Dengan kata lain tuturan (31) berimplikatur percakapan
yang melanggar maksim kuantitatif karena tuturan guru kurang informatif
dengan tidak mencantumkan mitra tutur yang dituju melainkan hanya dengan
isyarat memandang mitra tutur.
[47] (193) G: He eh, ke Jakarta lewat kantor pos. Mungkin yang lain kalau kamu sudah
besar mencari pekerjaan misalnya di luar Jawa. Adoh'o koyo ngopo saiki nék numpak pesawat sak jam tekan, setengah jam tekan, satu setengah jam nyampe. Untuk lebih cepatnya itu tadi, pengiriman barang berharga
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
misalnya ijazah. Kamu mélu pendaftaran CPNS ning Kalimantan Timur, pamané kétut ning kono, kamongko agék digowo fotokopiané, ijazah asli isih ono ning ngomah, lha carané piyé? Ijazah asli harus di (terhenti)
(194) S: Fotokopi (Nurul) (195) G: Fotokopi atau diantar? <MKL/ MSD/ FK/TD> (196) S: Diantar
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [47] terjadi saat guru memberikan pertanyaan
tentang wacana yang sedang dibahas dalam pembelajaran tersebut. Tetapi
respon yang diberikan salah satu peserta didik tidak sesuai dengan jawaban
yang diinginkan guru, sehingga guru berusaha agar peserta didik tersebut
meralat tuturannya dengan melanggar maksim kualitas yang menganggap
jawaban peserta didik tersebut sesuai yang diinginkan, seperti yang terlihat
pada tuturan (195). Hal ini dimaksudkan agar semua peserta didik tidak
mengiyakan tuturan sebelumnya sekaligus membenahi konsep materi sesuai
keinginan guru sehingga dapat merespon secara benar tanpa melalui kritikan
pedas seperti dengan tuturan, ”Respon Nurul salah, ayo dipikirkan lagi, yang
lain juga berpikir. Difotokopi atau diantar?”. Maksud tuturan (195)
dimengerti peserta didik dengan respon tuturan (196) secara serempak. Hal
ini membuktikan bahwa tuturan (195) mengandung implikatur percakapan
yang melanggar maksim kualitas agar kritik yang diujarkan lebih halus.
Maksim kedermawanan juga dapat diterapkan dengan melanggar
maksim cara untuk memperhalus tuturan guru yang memaksa peserta didik,
seperti terlihat pada data berkut.
[48] (584) G: Naik, harga sembako menjadi mahal, lha tanggapanmu bagaimana? (585) S: Sebaiknya (Lulu terhenti) (586) G: Yang kedua, nanti kalian tulis sendiri-sendiri <MKC/ MSD/ FK/TD> (587) S: (Lulu tertawa dan mengangguk)
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [48] tercipta saat guru memberi pertanyaan dan
meminta peserta didik megerjakan sesuai perintah di LKS. Tetapi respon
peserta didik pada tuturan (585) yang terlalu ”cepat” membuat guru hsrus
memotong tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan perintah pengerjaan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
tugas pada tuturan (584). Untuk menghindari anggapan peserta didik untuk
tidak boleh menjawab pertanyaan guru dan memaksa peserta didik diam,
maka guru menggunakan tuturan yang yang ditujukan secara umum seperti
pada tuturan (586), dibanding dengan menggunakan tuturan, ”Jangan dijawab
dulu, nanti kamu tulis di buku tugas”. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa tuturan (586) mengandung implikatur percakapan yang melanggar
maksim cara untuk menerapkan maksim kedermawanan.
Tuturan lain yang seperti (31), (195), dan (586) juga dapat dilihat pada
tuturan dalam lampiran berkode MSD meskipun dengan pelanggaran maksim
kerjasama lainnya.
3) Implikatur percakapan kompetitif direktif menasihati
Implikatur percakapan yang digunakan saat menerapkan masim
gabungan kearifan dan pujian dapat memperhalus tuturan yang menuntut
mitra tutur untuk melakukan suatu tindakan, seperti terlihat pada data berikut.
[49] (197) G: Yo coba sekarang nurul, apal to? (198) S: (Nurul maju membawa teks) (199) G: Yo, sekarang cobo tekanan kalimatnya tolong diperhatikan, tekanan
nada, tinggi, rendah dan sedangnya diperhatikan <MK1/ MS1/ FK/ TD>. Yo
(200) S: (Peserta didik mengangguk) (201) S: Adikku
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [49] terjadi saat guru meminta peserta didik
membacakan hasil tugas puisi pembelajaran sebelumnya. Sebelum peserta
didik mulai membacakan puisi tersebut, guru mengingatkan peserta didik
tentang hal yang harus diperhatikan saat pembacaan puisi. Untuk
menghindari peserta didik merasa terbebani dengan tuntunan dalam membaca
puisi tersebut, guru menggunakan tuturan yang berusaha memaklumi
kekurangan peserta didik, tetapi juga tetap memberi arahan cara membaca
yang seharusnya dilakukan peserta didik, seperti pada tuturan (199). Tuturan
tersebut lebih sesuai dengan tujuan pembelajaran yang membutuhkan
konsentrasi dan kepercayaan diri peserta didik untuk membacakan hasil
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
tugasnya dibanding dengan tuturan, ”Tadi temanmu membaca masih belum
memperhatikan tekanan kalimat. Sekarang kamu harus lebih baik dari dia”.
Maksud guru tersebut dimengerti peserta didik dengan reaksi dan tuturan
(200) atau (201). Dengan demikian tuturan (199) mengandung implikatur
percakapan karena melanggar maksim kuantitas dan kualitas yang berfungsi
kompetitif untuk mencapai tujuan direktif.
Tuturan berimplikatur percakapan juga digunakan guru menuntut
beberapa mitra tutur sekaligus untuk melakukan suatu tindakan, seperti
terlihat pada data berikut.
[50] (131) G: Opo mau? uang opo mau? Imbalan dari penulisan teka-teki mendapatkan
uang sebesar empat puluh ribu seratus rupiah. (melihat Dalil berbicara dengan Ibnu) Itu kemarin baru diambil kemarin ya Lil?
(132) S: (Dalil Menggangguk) (133) G: Silahkan teman yang lain mencoba teka-teki banyak sekali di Koran, di
majalah,. Silahkan diisi, dikirimkan ke kantor pos, Insya Alloh seperti Dalil nggih, jadi anak yang kre….<MK1/ MS1/ FK/ TD>
(134) S: Atif (Peserta didik memandang Dalil yang tertawa) (135) G: Kreatif, ya disini tadi mendengarkan wesel pos, wesel pos ya?
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [50] bermula dengan sindiran guru terhadap salah
satu peserta didik yang telah mendapat hadiah dari pengisian teka teki silang
di sebuah majalah pelajar, tetapi tidak memperhatikan penjelasan guru, seperti
yang terlihat pada tuturan (131). Respon peserta didik yang sudah terlihat
takut kena marah guru membuat guru justru memuji peserta didik yang
sebenarnya bermaksud menasihati Dalil sebagai salah satu peserta didik yang
berprestasi seharusnya memperhatikan pembelajaran dan bagi peserta didik
lain yang ingin berbicara tidak berhubungan dengan pembelajaran dapat
dilakukan saat istirahat. Maksud inilah yang terkandung dari tuturan (133),
meskipun guru seolah-olah mengetahui perasaan peserta didik tetapi
sebenarnya guru hanya berandai-andai jika menjadi peserta didik agar peserta
didik tersebut mengerti dengan sendirinya, dibanding dengan tuturan, “Dalil,
kamu itu seharusnya menjadi teladan teman-temanmu jadi jangan ramai di
kelas”. Maksud ini dipahami peserta didik yang terlihat dari tuturan (134) dan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
membuat Dalil tertawa malu . Sehingga dapat diketahui bahwa tuturan (133)
mengandung implikatur percapakan yang melanggar maksim kuantitas dan
kualitas.
Tuturan seperti ini dapat juga terlihat pada tuturan lain dalam lampiran
transkrip berkode MS1 meskipun dengan pelanggaran maksim-maksim
kerjasama yang berbeda.
b. Implikatur Percakapan yang Berfungsi Menyenangkan dan Bertujuan
Ekspresif
Implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan untuk mencapai tujuan
ekspresif dengan kesantunan positif juga ditemukan dalam penelitian ini. Tujuan
ekspresi dalam hal ini adalah tuturan penutur yang dimaksudkan sebagai evaluasi
tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu tetapi tetap memenuhi maksim
sopan santun. Sehingga tuturan yang diujarkan lebih terkesan menguntungkan
mitra tutur dibandingkan penutur. Secara singkat implikatur percakapan yang
berfungsi menyenangkan dan tujuan ekspresif tercakup saat penerapan maksim
pujian, kerendahan hati, dan kedermawanan dan kesepakatan. Contoh ujaran
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
1) Implikatur percakapan menyenangkan ekspresif memuji
Implikatur percakapan dapat digunakan untuk mengurangi kerugian
mitra tutur atas maksud menyalahkan yang dirasakan penutur pada mitra tutur,
seperti terlihat pada data berikut.
[51] (170) S: (Marlin maju) (171) G: Ini...Melihat solo (172) S: (Nilam maju) (173) G: Ini Ani bunda, boleh <MKH/ MSP/ FM/ TE> (174) S: (Ani maju)
(Pembelajaran1)
Konteks situasi yang terjadi pada data [51] adalah kelanjutan perintah guru
untuk mengembalikan tugas peserta didik pembelajaran sebelum agar dapat
dipelajari sebagai bahan materi pembelajaran saat itu seperti pada tuturan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
(171). Saat itulah guru menemukan judul puisi tugas peserta didik yang hampir
sama dengan judul puisi peserta didik lain yaitu ”orang tua” karya Malin dan
”bunda” karya Ani. Hal ini tentu saja membuat guru curiga adanya kerjasama,
tetapi guru berusaha untuk berpikir positif dan memahami bahkan memuji
karya Ani yang semula terkesan dikecam dan berbeda dengan peserta didik
yang lain karena guru menyebut nama Ani saat menyerahkan puisi tersebut,
seperti terlihat pada tuturan (173). Maksud tuturan ini dimengerti peserta didik
yang tidak takut maju mengambil puisinya pada tuturan (174). Tuturan (173)
dipilih karena lebih menghargai perasaan peserta didik yang ingin terlihat
sempurna dihadapan guru dibanding dengan tuturan yang terkesan dikecam
seperti, ”Ani, ini puisi kamu. Oya, puisimu hampir sama dengan judul puisi
milik Marlin, nanti Ibu akan bandingkan puisi kalian”. Untuk itu, tuturan (173)
telah melanggar maksim hubungan karena seolah tidak berhubungan dengan
tuturan sebelumnya yang memuji mitra tutur saat menilai puisi karya Ani.
Implikatur yang berfungsi menyenangkan dan bertujuan ekspresi juga
dapat ditemukan saat guru mencoba menghormati pendapat peserta didik yang
dirasakan kurang tepat, seperti pada data berikut ini.
[52] (99) G: Bahasa yang sopan, bahasa yang san…. (100) S: Tun (101) G: Tun, ora pareng….ora pareng kasar nggih, ora pareng kasar, piyé to
kasar ki? (102) S: Nyenéni (Canggih) (103) G: Nyeneni, bahasane kasar, getak-getak<MKL/ MSP/ FM/ TE > (104) S: Omongané élék (Canggih)
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [52] terjadi saat guru ingin menjelaskan cara
berbicara yang santun sesuai pengetahuan peserta didik. Tetapi respon yang
dituturkan peserta didik pada tuturan (102) tidak sesuai dengan keinginan
guru. Meskipun demikian, guru tidak ingin langsung menyalahkan peserta
didik melainkan memuji keberaniannya menjawab pertanyaan guru baru
kemudian menjelaskan jawaban yang diinginkan guru. Hal ini terlihat pada
tuturan (103) yang mengulang tuturan peserta didik yang mencerminkan guru
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
memuji peserta didik dan dilanjutkan jawaban yang diinginkan, dibandingkan
jika bertutur menyalahkan seperti, ”Kamu salah, yang Ibu maksud
penggunaan bahasa saat berbicara sesorang bukan perilaku seseorang” yang
akan membuat peserta didik tidak berani menjawab karena malu. Maksud
guru ini dimengerti peserta didik dengan mengeluarkan pendapatnya pada
tuturan (104). Sehingga dapat diketahui bahwa tuturan (103) mengandung
implikatur percakapan guna menaati maksim pujian.
[53] (417) G: Koyo Canggih dingénékké (sambil memperagakan), nyo…otakku pék én (418) S: (peserta didik lain ikut memperagakan) (419) G: Kamongko otakké kosong ra énék isiné. Héléh ra énék isiné kékké aku
<MKH/ MSP/ FM/ TE> (420) S: Tak jikok ménéh (Canggih berbicara dengan peserta didik lain) (421) G: Nyo..aku emoh, otak ra énék isiné. Ra énék isiné kok dikékké. Dadi nék
pinter kuwi sing ngenggo …. (Pembelajaran3)
Konteks situasi data [53] merupakan lanjutan sindiran yang digunakan
guru untuk menjelaskan kegunaan kepandaian seseorang terhadap orang lain.
Hanya saja respon salah satu peserta didik yang membuat tuturan guru sebagai
bahan lelucon membuat guru perlu menjelaskan kembali tanpa membuat
peserta didik tersinggung. Untuk itu, guru memilih menggunakan tuturan (419)
yang seolah-olah tidak berhubungan dengan maksud saat itu bahkan terkesan
ikut nglucu ’humor’, tetapi tetap menjelaskan materi tersebut. Tuturan ini
dimengerti peserta didik dengan tuturan (420), meskipun ditujukan kepada
peserta didik lain. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa tuturan (419)
mengandung implikatur percakapan guna menaati maksim pujian.
Dengan demikian implikatur percakapan berfungsi menyenangkan untuk
mencapai tujuan ekspresif memuji seperti di atas juga dapat dilihat pada
tuturan lain bekode MSP dalam lampiran transkrip penelitian ini.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
2) Implikatur percakapan menyenangkan ekspresif bertanya
Implikatur percakapan dapat digunakan untuk mengurangi kesombongan
penutur yang merugikan mitra tutur terutama jika peserta didik berperan
sebagai penutur, seperti terlihat pada data berikut.
[54] (518) G: Lha rawit merah larang kok, pilih rawit ijo kuwi mau seprapat mung pat
belas éwu (519) S: Gunung merapi meletus (Lulu) <MKH/ MSK/ FM/ TE> (520) G: He eh (521) S: Petani tidak panen (Lulu) <MKH/ MSK/ FM/ TE> (522) G: He eh, akibat gunung merapi kemarin yang meletus petani lombok gagal
panen. Dadiné, regan lombok melonjak. Nggih mboten? Melonjak tekan wolong puluh éwu. Lha ibu sedih apa tidak itu?
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [54] saat diskusi kelas yang membicarakan tentang
cabai yang semakin mahal. Saat itulah, peserta didik ingin bertanya salah atau
benarkah konsep penyebab harga cabai mahal yang diketahuinya tanpa
menunggu pertanyaan guru. Peserta didik tersebut tidak ingin terlihat
mencolok dihadapan peserta didik dan ingin gurulah yang menjelaskan
penyebab harga cabai mahal. Untuk itulah, peserta didik menggunakan tuturan
(519) dan (521) yang secara sepintas tidak berhubungan dengan tuturan
sebelumnya, tetapi sebenarnya bertanya tentang kebenaran pengetahuan yang
dimilikinya. Tuturan tersebut lebih sopan dibanding dengan tuturan, ”Hal itu
karena gunung merapi meletus sehingga membuat para petani di sekitar
gunung merapi gagal panen, iyakan Bu?”. Maksud peserta didik ini dimengerti
oleh guru yang terlihat pada tuturan (520) dan (522) yang dimulai dengan he eh
’iya, kamu benar’. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tuturan (519) dan
(521) pada data (54) mengandung implikatur percakapan guna menerapkan
maksim kerendahan hati yang menyenangkan dan ekspresi.
Implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan dan bertujuan
ekspresi juga sengaja dilakukan guru untuk membuat peserta didik aktif dalam
suatu pembelajaran, seperti terlihat pada data berikut.
[55] (63) G: Tékong ki sing tengah opo sing pinggir? (64) S: Tengah
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
(65) G: Tengah, Tékongnya satu tengah, capitnya dua, kanan dan….<MKN/ MSK/ FM/ TE>
(66) S: Kiri (Pembelajaran2)
Konteks situasi data [55] terjadi saat guru meriew materi yang telah
dibahas tetapi guru merasakan semangat peserta didik untuk bercerita tentang
pengalaman sepak takraw yang dialami pada pembelajaran sebelumnya. Hal ini
dimengerti guru dengan tidak mereview materi secara keseluruhan tetapi justru
dengan tuturan dipotong-potong dan lebih terkesan bertanya kepada peserta
didik, agar peserta didik berkesempatan ikut mengutarakan pendapatnya,
seperti pada tuturan (65). Tuturan ini sekaligus memberikan anggapan kepada
peserta didik bahwa guru bukanlah sumber belajar serba tahu. Maksud tersebut
dimengerti peserta didik dengan adanya tuturan (66) yang berisi pendapat
peserta didik atas pertanyaan guru. Dengan demikian dapat diketahui tuturan
(65) melanggar maksim kuantitas untuk memenuhi maksim kerendahan hati
sehingga berfungsi menyenangkan dan bertujuan ekspresif.
Contoh tuturan lain yang sesuai dengan fungsi dan tujuan ini dapat dilihat
pada tuturan berkode MSK pada lampiran transkrip penelitian ini, meskipun
tuturan tersebut tidak selamanya dituturkan guru, tetapi juga peserta didik.
3) Implikatur percakapan menyenangkan ekspresif menyindir
Implikatur percakapan dapat digunakan untuk menyindir mitra tutur yang
melakukan suatu tindakan menyimpang atau secara tidak langsung
memperingatkan mitra tutur, seperti terlihat pada contoh data berikut.
[56] (221) G: He eh, kantor pos. Jadi wesel itu pengiriman uang melalui kantor pos.
Namanya wesel…. (222) S: Pos (223) G: Nggih. (Membaca dan melihat Aziz menguap) Kantor pos juga
menerima layanan tabungan dari masyarakat, nggih nopo mboten Ziz? <MK2/ MS4/ FM/ TE>
(224) S: Nggih (Aziz pelan) (225) G: Kowé nabung rono iso ra? (226) S: Saget (Aziz)
(Pembelajaran2)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
Konteks situasi pada data [56] terjadi saat guru dan peserta didik telah
mengambil kesimpulan dari diskusi kelas, tetapi guru melihat salah satu
peserta didik mengantuk dan tidak ikut berpartisipasi. Guru yang mengetahui
pembelajaran setelah olahraga membuat peserta didik tersebut ngantukan
‘mudah mengantuk’ berusaha menyindirnya dengan halus seperti yang
terlihat pada tuturan (223). Dalam tuturan tersebut guru menginginkan peserta
didik menyadari bahwa yang dilakukannya kurang tepat. Guru menyindir
dengan pertanyaan peserta didik tersebut, tetapi guru juga memberi kata
kunci jawaban yang diinginkan guru. Hal ini ini akan memudahkan peserta
didik dalam mengikuti kembali diskusi tersebut. Maksud guru dalam tuturan
(223) dimengerti peserta didik dengan adanya respon (224) meskipun pelan,
sehingga guru perlu menggunakan tuturan stimulus lain seperti (225) agar
peserta didik benar-benar sadar (tidak mengantuk). Dengan demikian tuturan
(223) mengandung implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan dan
bertujuan ekspresif atau lebih khususnya menyindir.
[57] (192) S: Mboten (193) G: Mboten, meskipun Nova itu hanya satu anak dalam keluarga tersebut.
Nova, ayah, Ibu, ra duwé adék (194) S: Kon gawékké adék (Canggih) (195) G: Lho, jaré Canggih kon gawékké adék (196) G: (Canggih berbicara dengan peserta didik belakangnya) Meski begitu
Nova tidak manja, meskipun suatu saat tidak dibelikan….<MK1/ MS4/ FM/ TE>
(197) S: Baju baru (Pembelajaran3)
Konteks situasi data [57] terjadi saat guru berusaha menasihati peserta
didik bahwa anak tunggal tidak boleh manja, tetapi salah satu peserta didik
justru membuat peserta didik yang menjadi anak tunggal merasa terpojok
karena seolah-olah jadikan pembicaraan dengan peserta didik lain. Untuk itu,
guru menggunakan tuturan (196) yang seolah-olah pembelaaan peserta didik
yang menjadi anak tunggal dan diakhiri dengan kalimat yang tidak utuh yang
digunakan untuk “memancing” respon peserta didik. Maksud tuturan ini
dimengerti peserta didik yang ditandai dengan tuturan (197), meskipun pada
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
awalnya tidak sepakat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tuturan (196)
mengandung implikatur percakapan guna menerapkan maksim gabungan
kedermawanan dan kesepakatan yang menyenangkan dan ekspresi
Tuturan lain yang sepola dengan tuturan (223) dan (197) dapat diketahui
pada tuturan berkode MS4 dalam lampiran transkrip penelitian ini, meskipun
prinsip kerjasama yang dilanggar berbeda.
c. Implikatur Percakapan yang Berfungsi Menyenangkan dan Bertujuan
Komisif
Penelitian ini menemukan implikatur percakapan yang berfungsi
menyenangkan untuk mencapai tujuan komisif dengan kesantunan positif.
Sehingga tuturan yang dihasilkan secara tidak langsung mengikat penuturnya
untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tujuan komisif
dan direktif sama-sama digunakan untuk melaksanakan tindakan, tetapi dalam
tujuan komisif ini penuturlah yang diharuskan menaati tuturannya. Secara singkat
implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan dan tujuan komisif tercakup
saat penerapan maksim kesepakatan, maksim gabungan kearifan dan kesepakatan,
serta maksim gabungan kerendahan hati dan kedermawanan. Contoh ujaran
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
1) Implikatur percakapan menyenangkan komisif menawarkan
Implikatur percakapan dapat digunakan secara tidak langsung
memaksudkan penutur menawarkan kepada mitra tutur mengenai suatu hal
yang disetujui penutur. seperti pada contoh berikut.
[58] (259) G: Kowé mangkat sekolah ora duwé sangu (terhenti) (260) S: Disangoni (Canggih) <MKH/ MSS/ FM/ TK > (261) G: Disangoni, sing nyangoni sopo? (262) S: Bué (Canggih) (263) G: Ibumu menéh, kowé ra njalok bapak cah? (264) S: Mboten (Ibnu)
(Pembelajaran1)
Konteks situasi pada data [58] terjadi saat guru menjelaskan hal-hal yang
dilakukan Ibu kepada peserta didik sesuai lingkungan sosial peserta didik. Hal
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
ini menyebabkan peserta didik langsung mampu merespon tuturan (259) tanpa
memperhatikan tatanan kalimat yang diujarkan. Sehingga tuturan (260) yang
reflek ini terlihat tidak berhubungan dengan tuturan guru sebelumnya, padahal
maksud yang ingin disampaikan peserta didik adalah menyatakan
menawarkan kata yang lebih tepat sekaligus kesepakatannya atas tuturan guru,
dibanding menggunakan tuturan, ”Ibulah yang memberi uang saku kalian
setiap akan berangkat sekolah” yang terkesan menyombongkan diri. Maksud
peserta didik ini dimengerti guru dengan tuturan (261) meskipun guru masih
perlu memastikan kesepakatan tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan. Jadi,
tuturan (260) mengandung implikatur percakapan yang melanggar maksim
hubungan saat menaati maksim kesepakatan.
Fungsi dan tujuan ini juga digunakan guru untuk menawarkan
kesempatan kepada peserta didik, tetapi juga memerlukan persetujuan peserta
didik. Sehingga tuturan ini juga akan mengikat mitra tutur jika mitra tutur
menyepakati tuturan penutur, seperti pada contoh data berikut.
[59] (527) S: Laué durung mateng (528) G: Laué durung mateng, laué durung maténg ya Va ya? Trus tumbas sate
ono sekolahan, boleh nggih boleh. Tanggapan yang disampaikan sesuai dengan masalah, laué wau déréng mateng kulo mangkat, kulo déréng sarapan, mulo pas ngaso tumbas sate dingo….<MKN/ MSS/ FM/ TK>
(529) S: Sarapan (530) G: (Melihat Viva diam) Tekan kelas semangat meléh, ora ngan…. (531) S: Tuk (Viva)
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [59] terjadi saat guru selesai memberi contoh
konkret materi pembelajaran yang sedang dipelajari. Untuk mengetahui
peserta didik paham atas contoh tersebut guru menggunakan tuturan yang
melanggar kuantitas dengan memenggal tuturan agar direspon peserta didik
seperti yang terlihat pada tuturan (528). Tuturan ini memaksudkan memberi
tawaran perlu dijelaskan kembali atau tidakkah tentang contoh yang
disampaikan guru, jika peserta didik merespon dengan salah maka guru perlu
menjelaskan kembali dan sebaliknya jika peserta didik dapat merespon
dengan benar maka guru akan melanjutkan materi pembelajaran. Maksud
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
tersebut dimengerti peserta didik dengan adanya kesepakatan pada tuturan
(529) oleh peserta didik dan tuturan (530) oleh guru yang melanjutkan materi.
Dengan demikian tuturan (528) mengandung implikatur percakapan yang
berfungsi menyenangkan untuk mencapai tujuan komisif.
[60] (111) G: Nah…pipis. Kecoa nggih pipis Bu? Nggih. Klambine dadi mambu ra
nggennah, apek dan sebagainya itu tadi bisa dihindari dengan adanya opo?
(112) S: Kapur barus (Ibnu) (113) G: Nggih kapur barus. Jadi dengan adanya kapur barus ora dipangan tikus,
ora dipangan renget utowo kecoa mlebu rono wedi nék ono kapur barusé, mambuné kuwi wedi ora gelem nyedhak berakibat pakaianmu tidak ru….<MKC/ MSS/ FM/ TK>
(114) S: Sak (Pembelajaran3)
Konteks situasi data [60] terjadi saat guru berusaha menghubungkan
materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Tuntutan materi
pembelajaran yang masih banyak membuat guru memilih menggunakan
tuturan (113). Tuturan ini bermaksud meringkas alasan penggunaan kapur
barus pada pakaian sehingga pembicaraan tentang hal tersebut dapat
diselesaikan sekaligus memastikan pemahaman peserta didik. Tuturan (113)
lebih terkesan menawarkan suatu kesepakatan kepada peserta didik dibanding
dengan tuturan, ”Benar jadi bau kapur barus itu berguna untuk mengusir
tikus, renget atau kecoa sehingga pakaian kalian terlindungi dengan baik”
yang terkesan mengekang peserta didik untuk sepakat dengan pendapat guru.
Oleh karena itu dapat diketahui bahwa tuturan (113) mengandung implikatur
percakapan yang berfungsi menyenangkan untuk mencapai tujuan komisif.
Tuturan seperti (260), (528), dan (113) juga dapat dilihat pada tuturan
lain yang berkode MSS meskipun dengan pelanggaran prinsip yang berbeda
dalam penelitian ini.
2) Implikatur percakapan menyenangkan komisif menjamin
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
Implikatur percakapan dapat digunakan secara tidak langsung
memaksudkan menjamin tuturan penutur sebagai reaksi tuturan mitra tutur,
seperti terlihat pada contoh data berikut.
[61] (601) S: Sebaiknya membeli sebelum hari raya (Lulu) (602) G: He eh, Sebaikmya kita kalau membeli jauh, lebih jauh sebelum hari raya
ti….<MK1/ MS2/ FM/ TK> (603) S: Ba (604) G: (melihat Ibnu berbicara dengan Nurul) Tanggapan yang kedua,
masyarakat kita lebih suka berbelanja ke supermarket sebabé opo Nu Ibnu? Kok ora tuku ning pasar tradisional?
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [61] nerupakan kelanjutan dari reaksi yang diberikan
peserta didik atas evaluasi guru terhadap materi pembelajaran. Reaksi yang
peserta didik pada tuturan (601) dianggap sesuai dengan guru, tetapi guru
masih perlu memastikan bahwa semua peserta didik mengerti bahwa jawaban
peserta didik tersebut benar. Untuk itu guru menggunakan tuturan yang
mengulang dan menjabarkan lebih detail sehingga mitra tutur lebih mengerti
dan paham. Dengan kata lain, pada tuturan (602), guru secara tidak langsung
memaksudkan menjamin tuturan peserta didik tersebut benar dengan he eh
‘iya’ dan untuk memastikan semua sepaham dengan guru maka diakhir
tuturan seperti biasa guru memenggal kalimat untuk memancing respon
peserta didik. Maksud guru ini dimengerti dengan peserta didik melalui
tuturan (603) sehingga materi pembelajaran dapat dilanjutkan seperti pada
tuturan (604). Hal ini membuktikan bahwa tuturan (602) mengandung
implikatur percakapan karena melanggar maksim kuantitas dan kualitas
sekaligus berfungsi menyenangkan dan bertujuan komisif menjamin saat
menerapkan maksim gabungan kearifan dan kesepakatan.
Tuturan lain yang berpola seperti ini dapat juga dilihat pada tuturan
berkode MS2 baik pelanggaran prinsip kerjasama berbeda atau sama dalam
lampiran transkrip penelitian ini.
3) Implikatur percakapan menyenangkan komisif kesanggupan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
Implikatur percakapan dapat digunakan secara tidak langsung
memaksudkan kesanggupan penutur untuk melakukan suatu tindakan seperti
terlihat pada contoh data berikut.
[62] (330) S: Kerja (331) G: Kerja, berarti semua itu ada hikmahnya, ono hikmahé cah, nyambut
gawé, O iyoyo aku latihan nyambut gawé, aku bersyukur iso masak. Aku mau didukani ibu mergo wayah masak ora masak, mergo dolanan békelan opo lompat tali nggih, atau yang lain. Ibu marah-marah. Tapi mbareng aku wis wayah mantuk, aku yo mantuk nyambut gawé, yo Alhamdulillah aku bisa berlatih be….<MK1/ MS3/ FM/ TK>
(332) S: Kerja (333) G: Kerja, itu berarti ada hikmahnya, ada hikmahnya. (Membaca) Bunda
yang selalu menggendong disaat… (Pembelajaran1)
Konteks situasi data [62] terjadi saat guru membimbing peserta didik
untuk mengambil kesimpulan dari diskusi kelas yang telah dilakukan sesuai
dengan pengalaman yang pernah dialami peserta didik. Guru juga bermaksud
memberikan keyakinan/ kesanggupan melaksanakan hal yang dituturkan
maka secara tidak langsung peserta didik juga akan berpikir bisa
melakukannya. Hal ini tak lain karena dalam kelas ini, guru masih dianggap
sebagai panutan tepercaya oleh peserta didik. Meskipun demikian, juga perlu
memastikan maksud tersebut dimengerti peserta didik dengan menggunakan
tuturan yang tidak selesai diakhir tuturan sehingga peserta didik dapat
merespon seperti yang terlihat pada tuturan (331). Maksud guru pada tuturan
(331) dimengerti peserta didik dengan adanya respon (332) secara serempak
dan tuturan guru (333) yang melanjutkan materi selanjutnya. Dengan kata
lain, tuturan (331) mengandung implikatur percakapan yang berfungsi
menyenangkan dan bertujuan komisif lebih khusunya kesanggupan.
Tuturan lain yang berpola sama dengan tuturan (331) baik dengan
pelanggaran prinsip kerjasama yang sama maupun berbeda dapat dilihat pada
tuturan berkode MS3 pada lampiran penelitian ini.
3. Alasan Penggunaan Implikatur Percakapan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
Penelitian ini juga mengkaji alasan penutur menggunakan implikatur
percakapan saat menerapkan prinsip kesopanan. Hal ini berkaitan tentang strategi
kesopanan berbahasa yang dipengaruhi kepatutan (appropriateness) penutur
dalam bertutur. Unsur-unsur inilah yang dimungkinkan menjadi alasan penutur
menggunakan implikatur percakapan sebagai kendala penggunaan maksim
percakapan yang dibuktikan dengan tuturan sesudah dan sebelum yang dimaksud.
Alasan penggunaan tersebut dijabarkan dengan beberapa contoh data sebagai
berikut.
a. Konteks Tutur
1) Pengetahuan mitra tutur yang mendukung tujuan pembelajaran.
Karena hal ini, tuturan penutur biasanya melanggar maksim gabungan
hubungan dan cara. Contoh data pelanggaran maksim gabungan ini karena
kebiasaan mitra tutur sebagai berikut.
[63] (285) G: Masak, contohnya apa? mélu ngiris tahu, mélu nggoreng tempe, mélu
ngopo menéh? (286) S: Nggawe bumbu (Canggih) (287) G: Nggawe bumbu. Senajan cah lanang yo kudu iso? MK2/ MS4/ FM/
TK> (288) S: Masak
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [63] terjadi saat guru menghubungkan materi
pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari peserta didik. Sehingga guru tidak
perlu menjelaskan secara khusus bahkan terkesan tidak berhubungan dengan
materi pembelajaran seperti pada tutran (287). Meskipun demikian, peserta
didik paham maksud guru dan dapat merespon secara serentak atau ikut tuturan
peserta didik lain yang dominan.
[64] (501) G: Dai, pinter engko berarti cita-citamu ter…. (502) S: Wujud (503) G: Itu ya, sampai di situ ya tadi, percakapan mengenai tiga orang antara satu
sebagai Dimas, yang satu sebagai Ayah, yang satu sebagai….<MK2/ MSA/ FK/ TD>
(504) S: Ibu (Pembelajaran3)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
Konteks situasi data [64] terjadi saat guru ingin memberikan evaluasi
terhadap materi yang telah diterangkan sebelumnya. Selain itu, evaluasi yang
akan diberikan juga pernah disinggung pada pembelajaran sebelumnya sebagai
tugas rumah. Sehingga guru cukup mereview secara langsung pada evaluasi
sehingga terkesan tidak berhubungan dengan tuturan sebelumnya dan ambigu
jika tidak mempunyai kesamaan pengetahuan sebelumnya.
2) Pengetahuan mitra tutur tidak sesuai tujuan pembelajaran
Penutur melanggar maksim kuantitas dan kualitas karena kebiasaan
tersebut. Contoh data pelanggaran maksim tersebut sebagai berikut.
[65] (613) S: Sebaiknya…..(saling bersahutan) (614) G: He eh, jadi pedagang kaki lima itu sebaiknya dibuatkan ruko. Ruko ki
opo to? Rumah toko, lha nék dikéi ruko nggih niku jenengé mboten kaki lima Bu, nék kaki lima lak mesti gawé déwé dadak ngono kaé to? <MK1/ MS1/ FK/ TD>
(615) S: Nggih (616) G: Nggih, sebaiknya e…diberikan ruko nggih, ruko ki rumah toko
maksudnya berjualan di rumah toko bukan di…. <MK1/ MS2/ FM/ TK>
(617) S: Trotoar (Pembelajaran2)
Konteks situasi data [65] terjadi saat kondisi kelas tidak sesuai yang
diharapkan guru karena tidak serempak dan cenderung kurang dimengerti guru.
Meskipun demikian, respon guru tetap menganggap peserta menjawab dengan
maksud yang sama dan benar seperti pada tuturan (614) dan (616). Sehingga
tuturan tersebut melebihi dan tidak sesuai dengan informasi yang diterima.
[66] (465) G: Nggih idola setiap orang (466) S: Ho oh…mosok (Peserta didik saling berbicara) (467) G: Pingin kabéh dadi guru. Mulakno saben ono pendaftaran guru sing mélu
anték atusan éwu, sing ditompo sitik karena semua pingin dadi….<MK1/ MS2/ FM/ TK>
(468) S: Guru (Pembelajaran3)
Konteks situasi data [66] terjadi saat guru menjelaskan tentang
keistimewaan pekerjaan ”guru” yang saat ini dianggap sebagai pekerjaan yang
diidolakan. Pendapat guru tersebut mengundang beragam reaksi dari peserta
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
didik sehingga kelas menjadi gaduh. Untuk itulah guru menggunakan tuturan
(467) yang seolah-olah semua menyatakan sepakat dengan guru untuk
menyakinkan peserta didik bahwa pendapat guru tersebut juga ada buktinya
sekaligus untuk menarik perhatian peserta didik menjadi fokus pada
pembelajaran. Guru menggunakan tuturan ini karena guru mengetahui tidak
semua peserta didik sepaham dengan guru sehingga memerlukan penjelasan
yang lebih rinci.
b. Penutur dan Mitra Tutur
1) Penutur takut menyinggung perasaan mitra tutur/ mental mitra tutur. Dalam
penelitian menemukan alasan ini digunakan untuk melanggar maksim
hubungan. Contoh data pelanggaran maksim tersebut sebagai berikut.
[67] (450) G: Nggih, la mulo nék bué paké jagong ra sah ndérék, biasané ki anak sing
agék siji kuwi mélu kintil, ngerti kintil?Nék ora dijak nangis (451) S: Anak kecil (Canggih) <MKH/ MSK/ FM/ TE> (452) G: Wis gedé nggih, he em ampun, termasuk sing ijik déwé nggih, wingi sopo
kaé kéné sing ijik anak tunggal, sopo? (453) S: Nova
(Pembelajaran2)
Konteks situasi data [67] terjadi saat peserta didik ingin mengutarakan
pendapat yang menghubungkan materi pembelajaran dengan pengalaman
pribadi, tetapi takut menyinggung perasaan peserta didik lain. Sehingga peserta
didik menggunakan tuturan (451) yang secara sepintas tidak berhubungan
dengan tuturan guru.
[68] (158) G: Kukurukuk opo pethok-pethok? piye unine cah? (159) S: Kukurukuk (Canggih) (160) G: Ayam jantan itu berko.…<MKH/ MSS/ FM/ TK> (161) S: Kok
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [68] terjadi saat guru bermaksud menyetujui sekaligus
mengarahkan tanggapan peserta didik terhadap pertanyaan guru sesuai
penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Guru yang menyadari bahwa
ketidakbakuan tanggapan peserta didik tidak sepenuhnya kesalahan peserta
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
didik, membuat guru menggunakan tuturan (160) yang terkesan tidak
merespon tuturan peserta didik.
2) Penutur merasa tidak percaya dengan hal yang dikatakan mitra tutur. Dalam
penelitian ini biasanya digunakan sebagai alasan melanggar maksim kualitas
seperti yang terlihat pada contoh berikut. Contoh data pelanggaran maksim
tersebut sebagai berikut.
[69] (484) S: Seperempat tiga belas ribu (Lulu) (485) G: Seperempat tiga belas ribu. Sekilonya delapan puluh ribu, kalau
Sekilonya delapan puluh ribu, kalau seperempat berapa anak-anak? <MKL/ MSD/ FK/TD>
(486) S: Dua puluh ribu (Lulu) (Pembelajaran1)
Konteks situasi data [69] terjadi saat peserta didik kurang tepat dalam
enjawab pertanyaan guru. Namun guru tidak menyalahkan jawaban tersebut
secara langsung agar peserta didik tersebut tidak merasa kecewa dan takut
menjawab lagi. Sehinga guru menggunakan tuturan (485) yang seolah-olah
membenarkan jawaban tersebut, tetapi diakhir tuturan mengarahkan pada
jawaban yang sebenarnya dengan tetap meminta peserta didik mengoreksi
jawaban sebelumnya.
[70] (185) G: Bisa. Mungkin yang lain, surat berharga untuk kamu apa? (186) S: Ijazah (Canggih)
(187) G: Ijazah. Nah, betul ijazah ataupun rapot <MKL/ MSP/ FM/ TE>. Ibumu pingin ngerti rapotmu, Le rapotmu bijiné piro?
(Pembelajaran3)
Konteks situasi data [70] terjadi saat guru menghubungkan materi yang
dipelajari dengan kehidupan peserta didik. Respon peserta didik yang dianggap
kurang tepat, tetapi tidak terlalu menggangu pembelajaran membuat guru
mengiyakan respon tersebut dengan tuturan (187). Pada tuturan selanjutnya
guru langsung menggunakan respon yang sesuai maksud guru. Dengan kata
lain tuturan (187) digunakan guru karena kurang percaya dengan respon
peserta didik sehingga perlu diarahkan.
c. Tujuan Tuturan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
1) Penutur mengacu pada tuturan sebelumnya atau kompetensi yang ingin
dicapai. Alasan ini terbukti digunakan untuk melanggar maksim kuantitas,
seperti yang terlihat pada contoh berikut. Contoh data pelanggaran maksim
tersebut sebagai berikut.
[71] (589) S: Semrawut (590) G: Nggih pedagang kaki lima itu semrawut karena tidak, e…terletak di
toko-toko atau swalayan, letaknya hanya di emperan-emperan jalan termasuk trotoar itu yang sebenarnya untuk pejalan kaki, tetapi digunakan pedagang untuk berjualan, berakibat apa?
(591) S: Trotoar kotor (Lulu) (592) G: He eh, trotoar menjadi kotor dan sem….<MKN/ MS1/ FK/TD> (593) S: Mrawut
(Pembelajaran2)
Pada data [71] terjadi saat guru menjelaskan tentang salah satu materi
kepada peserta didik. Tuturan (592) dituturkan guru setelah guru mendengar
peserta didik dapat menjawab pertanyaan mengenai materi tersebut. Namun
karena yang merespon hanya satu peserta didik, guru kembali memberi
pertanyaan dengan jawaban yang sama agar peserta didik lain juga ikut
merespon seperti terlihat pada tuturan (593). Dengan demikian dapat diketahui
bahwa alasan guru melanggar maksim kuantitas adalah menuntut secara halus
pemahaman peserta didik tentang suatu hal yang telah dipelajari.
[72] (495) G: He eh. Untuk apa? (496) S: Pandai (Nurul) (497) G: He eh, pandai untuk meraih…. <MKN/ MS1/ FK/ TD> (498) S: Cita-cita (Nurul)
(Pembelajaran3)
Konteks situasi yang terjadi pada data [72] adalah saat guru mengerti
maksud tuturan peserta didik yang ingin merespon tuturan guru, tetapi bahasa
yang digunakan kurang lengkap. Untuk itu, guru menggunakan tuturan (497)
yang membenarkan tuturan peserta didik sebelumnya dengan he eh ’iya’ yang
dilanjutkan dengan kelengkapan jawaban yang dimaksud guru. Sehingga dapat
diketahui bahwa tuturan (497) mengandung implikatur percakapan yang
melanggar maksim kuantitas karena merespon tuturan sebelumnya.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
2) Penutur memperhatikan keefektifan pembelajaran. Dalam penelitian ini,
biasanya dilakukan dengan melanggar maksim cara. Pelannggaran maksim
cara karena latar waktu sebagai berikut.
[73] (141) G: Boleh dari majalah, boleh dari Koran, atau dari buku-buku yang lain.
Yang anak-anak buat nanti saya harap dibuat isi karangan isi puisi ini nanti kamu buat sebuah prosa atau karangan yang terdiri dari beberapa macam ali….<MKC/ MSA/ FK/TD>
(142) S: Nea (143) G: Nea, nah alinea atau disebut juga apa? (144) S: Paragraf (Nurul)
(Pembelajaran1)
Konteks situasi data [73] terjadi saat guru menjelaskan kembali tugas yang
diberikan pada pembelajaran sebelumnya. Tetapi guru tidak ingin terkesankan
hal tersebut kepada peserta didik, melainkan kesadaran bahwa hal tersebut
adalah kesepakatan bersama. Oleh karena itu, guru menggunakan tuturan yang
ambigu seperti pada tuturan (142) untuk efisien waktu.
[74] (505) G: Ibu. Sekarang tugas kamu, bentuklah kelompok masing-masing tiga
orang (506) S: (peserta didik mulai berpindah tempat membuat kelompok, tetapi Ibnu
diam) (507) G: Yo, saya beri waktu dua menit sing mbentuk kelompok <MKC/ MSA/
FK/ TD> (508) S: Hah (Ibnu dan beberapa peserta didik mulai duduk sesuai kelompok,
tetapi ada Nurul dan Luluk yang berebut kelompok) (Pembelajaran3)
Konteks situasi data [74] terjadi saat perintah yang diberikan guru tidak
dilaksanakan oleh beberapa peserta didik. Untuk itu, guru menggunakan
tuturan (507) yang menjelaskan secara umum untuk menekankan perintah
kepada peserta didik tersebut secara halus. Hal ini karena guru memperhatikan
keefektifan pembelajaran jika guru harus mengulang perintah dari awal.
G. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Wujud Tutur Implikatur Percakapan
Pembelajaran berbahasa di kelas V lebih mengarahkan peserta didik
memahami tentang bahasa sekaligus mampu menggunakan bahasa sebagai alat
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
komunikasi sesuai tata krama berbahasa baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini
sesuai kompetensi yang ditetapkan BSNP (2006: 377) bahwa peserta didik kelas
V harus mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia secara efektif dan efisien
sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. Namun bertolak
dari hasil penelitian ini dan hasil wawancara dengan wali kelas V (lampiran 5),
bahasa yang digunakan guru saat pembelajaran bahasa Indonesia justru
didominasi bahasa Jawa dan tuturan berimplikatur percakapan yang cenderung
tidak sesuai kaidah bahasa Indonesia yang secara tidak langsung mempengaruhi
cara berbahasa peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Jalaluddin Rakhmat
(2001: 25) mengungkapkan bahwa peserta didik belajar melalui peniruan
(imitation) respon orang lain saat melakukan kegiatan yang dilakukannya.
Secara konkret hal tersebut dapat terlihat dari tabel pelanggaran maksim kerja
sama di atas yang digunakan guru maupun peserta didik. Pelanggaran tersebut,
yaitu dominasi pelanggaran maksim cara saat menerapkan maksim kearifan;
dominasi pelanggaran maksim kualitas saat menerapkan maksim kedermawanan;
dominasi pelanggaran maksim kualitas saat menerapkan maksim pujian; dominasi
pelanggaran maksim hubungan saat menerapkan maksim kerendahan hati;
dominasi pelanggaran maksim kuantitas saat menerapkan maksim kesepakatan;
dominasi pelanggaran maksim gabungan kuantitas dan kualitas saat menerapkan
maksim gabungan kearifan-pujian dan maksim gabungan kearifan-kesepakatan;
dan dominasi pelanggaran maksim gabungan hubungan dan cara saat menerapkan
maksim gabungan kedermawanan-kerendahan hati dan maksim gabungan
kedermawanan-kesepakatan.
Berdasarkan data tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tuturan
berimplikatur percakapan dalam pembelajaran ini digunakan untuk mematuhi
prinsip sopan santun. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat Jawa yang selalu
memperhatikan unda usuk basa sebagai tanda penghormatan terhadap mitra tutur.
Oleh karena itu, bahasa yang digunakan dalam pembelajaran ini justru didominasi
bahasa Jawa dengan tingkat kesantunan berbahasa yang telah dimengerti peserta
didik dan guru. Koentjaraningrat dkk (2002: 329) menjelaskan bahwa pergaulan
masyarakat berbahasa Jawa selalu memperhatikan dan membedakan keadaan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan berdasarkan usia atau
status sosial. Salah satunya dapat dilihat pada data [24] yang terjadi saat guru
memberi contoh, guru menggunakan bahasa karma tumbas ‘beli’ yang lebih sopan
dibanding kata tuku karena memposisikan diri sebagai peserta didik jika bercerita
di depan kelas. Selain itu, beberapa maksim gabungan baik dalam pelanggaran
prinsip kerja sama maupun penerapan prinsip sopan santun juga ditemukan dalam
pembelajaran ini. Hal ini sesuai pendapat Louise Cummings (2007: 16) yang
menyatakan bahwa salah satu tipe implikatur percakapan adalah tercipta karena
dorongan aspek kesantunan sesuai konteks budaya wilayah setempat dan sengaja
mengeksploitasi maksim lain dengan melanggar dan berbenturan antara maksim.
Jika dilihat dari penerapannya dalam pembelajaran, guru lebih banyak
menggunakan pelanggaran maksim kuantitas berbahasa Jawa dalam penerapan
maksim kesepakatan sebagai indikator ketercapaian tujuan pembelajaran. Dengan
kata lain, tuturan tersebut harus dimengerti peserta didik agar dapat “memancing”
dan mengarahkan peserta didik. Hal ini sesuai pendapat St. Y. Slamet (2008: 35)
menyebutkan bahwa peserta didik adalah produk lingkungan yang akan terampil
berbicara, jika sering diajak berbicara dan mampu menjawab sekaligus diberi
kesempatan belajar dan melatih keterampilan berbicara. Kenyataan ini
mencerminkan betapa pentingnya tuturan berimplikatur percakapan kuantitas bagi
guru yang sengaja melibatkan peserta didik dalam pembelajaran melalui kalimat
rumpang diakhir tuturan sehingga terkesan bertanya kepada peserta didik. Hal ini
sesuai pendapat Pawley dalam Jack C. Richard (1995: 23) bahwa percakapan
yang paling mendasar bukanlah kalimat lengkap, melainkan berupa klausa yang
saling berkaitan dan berisi rangkaian keterangan sederhana yang biasanya ditandai
jeda di atau didekat klausa akhir secara konsisten. Keterangan inilah yang
menuntut kejujuran penutur untuk memberi informasi kepada mitra tutur
meskipun jumlah yang kurang atau berlebihan. Senada dengan pendapat tersebut,
E. Mulyasa (2006: 116) juga menjelaskan bahwa salah satu pertanyaan yang baik
adalah adanya acuan atas hal yang ditanyakan sehingga pertanyaan tersebut
merupakan kelanjutan ceramah guru.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
Secara garis besar pelanggar maksim kuantitas tersebut untuk mematuhi
maksim kesepakatan. Kesimpulan tersebut sesuai dengan pendapat E. Mulyasa
(2006: 116) yang menyatakan bahwa pertanyaan yang dituturkan guru perlu
dipusatkan sesuai tujuan pembelajaran atau jawaban yang diinginkan. Hal ini
dimengerti peserta didik baik dengan dijawab secara serempak maupun individu.
Meskipun demikian, dalam penelitian juga ditemukan beberapa peserta didik yang
paham maksud guru tetapi hanya mengikuti jawaban peserta didik yang dominan
saat merespon tuturan guru. Hal ini terkait dengan kebiasaan masyarakat setempat
yang kurang menyukai memikul tanggung jawab sendiri. Koentjaraningrat dkk
(2002: 351) mengungkapkan bahwa mentalitet orang Jawa yang selalu nrimo dan
cenderung menunggu perintah atau pimpinan sebagai perangsang. Contohnya
pada data [18] terlihat guru menggunakan tuturan berimplikatur percakapan
secara beruntun untuk mendorong peserta didik ikut menyimpulkan materi yang
telah dibahas. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Ahmad Rofi’uddin dan
Darmayati Zuhdi (2001: 137) bahwa salah satu cara anak belajar bahasa adalah
mendasarkan pengalaman dan relevansi yang akan digunakan untuk tujuan
personal. Karena itulah tak heran jika ditemukan tuturan peserta didik yang
sebenarnya tidak mengetahui jawaban yang diinginkan guru, tetapi hanya ingin
diperhatikan guru. Atau karena kecapekan menjadi kurang aktif dalam
pembelajaran bahasa Indonesia, meski paham dengan tuturan guru seperti
pernyataan beberapa peserta didik pada lampiran 5.
Berdasarkan uraian di atas, tak mengherankan jika tuturan guru sependek
apapun direspon peserta didik baik berupa tuturan maupun perubahan sikap mitra
tutur. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Burgoon dan Betinghaus dalam
Jalaluddin Rakhmat (2001: 299) yang menyimpulkan salah satu pembuktian efek
suatu maksud pada diri mitra tutur tergantung pada topik pesan (maksud)
sehingga tidak selalu berupa ujaran. Dengan demikian, meskipun respon yang
diujarkan sama tetapi pemahaman setiap mitra tutur terhadap tuturan
berimplikatur percakapan tersebut berbeda, entah sebagai pertanyaan, penjelas,
perintah, sindiran, marah atau hanya sebagai humor. Untuk itulah, percakapan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
dalam pembelajaran bahasa Indonesia ini lebih termasuk wacana dialog dibanding
polilog, meskipun mempunyai partisipan lebih dari dua orang.
Dalam penelitian ini juga sering ditemui guru menggunakan tuturan
berimpliktur percakapan yang beruntun dalam pembelajaran. Hal ini seperti hasil
penelitian Cohen dalam Jalaluddin Rakhmat (2001: 298) yang menyimpulkan
salah satu cara yang dapat dilakukan penutur jika mempunyai lawan tutur yang
dapat sepaham dan tidak sepaham dengan penutur adalah dengan memberi jeda
panjang diantara maksud pertama dan kedua, kemudian segera mengadakan
pengujian setelah maksud kedua. Sependapat dengan Cohen, E. Mulyasa (2006:
116) juga mengungkapkan bahwa seorang guru dapat melacak pemahaman
peserta didik atas materi yang disampaikan dengan cara mengujarkan beberapa
pertanyaan kembali, meskipun jawaban pertama sudah benar.
Berdasarkan beberapa wujud implikatur percakapan yang ditemukan dalam
penelitian ini ada satu maksim sopan santun tidak ditemukan yaitu maksim
simpati. Khusus maksim ini tidak ditemukan dalam pembelajaran karena maksim
ini dihindari dalam pembelajaran agar guru lebih objektif dalam menilai dan
memperlakukan peserta didik sesuai karakteristik masing-masing. Hal ini sesuai
pendapat Geoffrey Leech (1993: 208) yang menyatakan bahwa maksim simpati
adalah maksim sopan santun yang memeringkat baik-tidaknya penilaian penutur
terhadap mitra tutur yang terpusat pada diri penutur. Dengan kata lain, maksim
simpati yang lebih memusatkan rasa setuju atau tidak setuju berdasarkan penilaian
pribadi penutur dapat mengakibatkan penilaian guru menjadi tidak adil.
2. Tujuan dan Fungsi Implikatur Percakapan
Wujud implikatur percakapan yang digunakan selalu mempunyai tujuan dan
fungsi tertentu. Penelitian ini menemukan beberapa fungsi ilokusi yang sesuai
tujuan ilokusi tuturan berimplikatur percakapan dengan mementingkan
pemeliharaan hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur saat pembelajaran
bahasa Indonesia kelas V. Fungsi dan tujuan tersebut adalah (1) Implikatur
Percakapan yang Berfungsi Kompetitif dan Bertujuan Direktif, (2) Implikatur
Percakapan yang Berfungsi Menyenangkan dan Bertujuan Ekspresif, dan (3)
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
Implikatur Percakapan yang Berfungsi Menyenangkan dan Bertujuan Komisif.
Hal ini sesuai tiga rumusan prinsip sopan santun yaitu berikan pilihan, buat
perasaan mitra tutur tetap baik dan jangan memaksa mitra tutur (Abdul Rani,
2006: 37).
Fungsi dan tujuan pertama lebih mengarah pada sopan santun negatif yang
digunakan guru maupun peserta didik saat menginginkan mitra tutur melakukan
sesuatu. Hal ini sesuai pendapat Geoffrey Leech (1993: 164) yang
menghubungkan fungsi kompetitif dengan tujuan direktif melalui istilah impositif
yang menerapkan sopan santun negatif atau berusaha mengurangi kerugian mitra
tutur saat melakukan keinginan penutur. Koentjaraningrat dkk (2002: 349)
menjelaskan bahwa salah satu ciri khas masyarakat desa terutama Jawa sangat
menghargai mitra tutur sehingga bahasa perintah yang digunakan tidak
membebani mitra tutur, salah satunya dengan memaksimalkan beban diri sendiri
atau istilah bahasa Jawa diénék-énékké ’diada-adakan’ meskipun sebenarnya tidak
ada (hanya sekadar basa-basi). Hal ini terlihat pada data [43] saat guru
membenarkan tuturan peserta didik yang kurang langkap dengan langsung
menuturkan jawaban yang diinginkan guru, tetapi tetap diakhiri kalimat rumpang
agar peserta didik dapat membenarkan jaawaban. Tuturan ini membuat mitra tutur
menjadi tidak merasa terbebani melakukan sesuatu bahkan ada juga yang merasa
hal tersebut lucu karena jawaban peserta didik terkesan benar.
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan fungsi dan tujuan ini diterapkan saat
guru memberi variasi, membuka diskusi, dan mengarahkan interaksi
pembelajaran, maupun peserta didik dalam mengungkapkan perintah kepada
peserta didik lain. Hal ini sesuai pendapat George Yule (2006: 95) yang
menyatakan bahwa tuturan bertujuan direktif mempunyai sifat kunci penutur
menginginkan situasi yang dilakukan oleh mitra tutur. Jika dihubungkan dengan
penerapan maksim sopan santun, pelaksanaan fungsi kompetitif dan tujuan
direktif ini terbagi menjadi tiga maksim, yaitu maksim kearifan saat penutur
mengajak, maksim kedermawanan saat penutur menyarankan, dan maksim
gabungan kearifan dan pujian saat menasihati mitra tutur. Hal ini juga sesuai
dengan pendapat Geoffrey Leech (1993: 196) yang juga menyebutkan bahwa
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
imposif menerapkan skala untung-rugi bagi mitra tutur. Sehingga dalam
penerapannya, Ketiga maksim sopan santun tersebut lebih mementingkan
keuntungan mitra tutur dengan sering melanggar maksim cara.
Fungsi dan tujuan kedua mengarah pada sopan santun positif yang
menggambarkan adanya rasa “pemakluman” dengan sikap maupun tuturan mitra
tutur. Hal demikian sering ditandai dengan adanya penggunaan tuturan pujian atau
sindiran saat penutur merasa tidak menyukai sikap mitra tutur, hingga
menggunakan diri sendiri sebagai contoh. Kunjana Rahardi (2008: 63)
menerangkan bahwa dalam pergaulan, penutur harus menghindari tuturan yang
mengejek mitra tutur jika tidak ingin dikatakan sebagai orang yang tidak sopan.
Dalam penerapan maksim sopan santun di kelas V, fungsi dan tujuan ini sering
digunakan untuk maksim pujian saat memuji, kerendahan hati saat bertanya, serta
maksim gabungan kedermawanan dan kesepakatan saat menyindir mitra tutur. Hal
ini terlihat pada data [51] saat guru kurang suka menemukan judul puisi karya
peserta didik hampir sama dengan peserta didik yang lain, tetapi
membenarkannya karena isi puisi tersebut berbeda. Geoffrey Leech (1993: 196)
berpendapat tujuan ekspresif menyiratkan tuturan yang mengandung fungsi dan
tujuan ini menyiratkan keuntungan mitra tutur saat memaklumi keinginan penutur.
Fungsi dan tujuan ini sebagian besar diterapkan dengan melanggar maksim
hubungan yang membuat peserta didik menjadi lebih peka dan mengerti
kesalahannya. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa fungsi dan tujuan ini
sering digunakan untuk memperhalus tuturan guru saat mengadakan evaluasi,
mengasah keterampilan bertanya dan saat menjelaskan sebuah materi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Rolanld Partin (2009:13-17) yang melarang penggunaan
sarkasme atau mengejek saat berbicara kepada peserta didik karena akan
berdampak buruk bagi kepercayaan diri peserta didik dalam pembelajaran.
Fungsi dan tujuan ketiga mengungkapkan perasaan penutur yang mengerti
mitra tutur ingin dapat diterima sebagai bagian integral dari diskusi. Fungsi dan
tuturan ini sangat penting bagi guru maupun peserta didik untuk memberi
penguatan atas tuturan mitra tutur. Kunjana Rahardi (2008: 64) mengungkapkan
bahwa masyarakat Jawa sangat tidak memperbolehkan seseorang memenggal atau
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
membantah secara langsung hal yang dituturkan mitra tutur. Sehingga bagi guru,
fungsi dan tujuan ini adalah penghargaan yang diberikan guru kepada peserta
didik untuk menumbuhkan kepercayaan diri dalam berpendapat. Hal ini sesuai
pendapat Aunurrahman (2010:119) yang berpendapat bahwa seorang guru harus
memahami dan mampu mengembangkan keaktifan peserta didik belajar saat
proses pembelajaran di kelas. Contohnya, data [60] yang terjadi saat guru
membenarkan jawaban peserta didik dengan kata nggih ‘iya’, meskipun jawaban
tersebut kurang tepat sehingga perlu dijelaskan kembali agar sesuai maksud guru.
Dalam penelitian ini, fungsi menyenangkan dan tujuan komisif terbagi
menjadi tiga, yaitu penutur menawarkan saat menerapkan maksim kesepakatan,
menjamin saat menerapkan maksim gabungan kearifan dan kesepakatan, serta
kesanggupan saat menerapkan maksim gabungan kedermawanan dan kerendahan
hati. Hal ini sesuai pendapat Geoffrey Leech (1993: 196) yang menyatakan bahwa
tujuan komisif lebih memperhatikan keuntungan maupun kerugian bagi penutur
sehingga bersifat sopan santun positif dan tidak bersifat kompetitif. Salah satunya
dengan penggunaan bahasa Jawa dalam pembelajaran yang dianggap peserta didik
(dapat dilihat pada lampiran 5) bahwa guru mengerti kebiasaan peserta didik yang
lebih mudah menangkap materi jika dijelaskan dengan bahasa Jawa, padahal
sebenarnya guru memaksudkan tujuan komisif dibalik tuturan tersebut.
Penggunaan bahasa Jawa ini tidak dapat dipungkiri karena pendidikan
sekolah dasar dijadikan tumpuan awal pengenalan bahasa Indonesia. P. W. J.
Nababan (1987: 73) mengungkapkan bahwa fungsi utama pendidikan sekolah
dasar ialah mengindonesiakan peserta didik yang sebagian besar lahir dan
memulai kehidupan sebagai insan daerah (lebih fasih berbahasa daerah). Selain
itu, guru sering melanggar maksim kuantitas melalui kalimat rumpang dalam
menerapkan fungsi dan tujuan ini karena dianggap dapat ”memancing” interaksi
guru dan peserta didik menjadi lebih aktif. Hal ini sesuai pendapat Muhibbin Syah
(2008: 57) bahwa belajar yang baik adalah mampu “memfungsikan” peserta didik,
membuat peserta didik mampu mengembangkan ranah cipta dan rasa mengenai
suatu hal dengan sendirinya secara utuh. Dengan demikian, dapat disimpulkan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
bahwa fungsi dan tujuan ini sering diujarkan dengan bahasa Jawa dan didominasi
pelanggaran maksim kuantitas.
Berdasar uraian fungsi dan tujuan implikatur percakapan dalam penelitian ini
dapat diketahui bahwa fungsi bekerja sama dan bertentangan tidak ditemukan
karena kedua fungsi tersebut tidak mengandung unsur kesopanan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Geoffrey Leech (1995: 163) yang mengungkapkan bahwa fungsi
bekerja sama tidak relevan dengan sopan santun dan biasanya ditemukan dalam
wacana tulis, sedangkan fungsi bertentangan tidak mengandung unsur kesopanan.
Begitu pula dengan tujuan asertif dan deklarasi juga tidak ditemukan dalam
penelitian ini karena tidak mengandung unsur kesopanan. Ketidaktemuan ini
sesuai pendapat Geoffrey Leech (1995: 164-165) yang menjelaskan bahwa asertif
lebih bersifat netral dan deklarasi hanya sekadar ujaran bersifat kelembagaan
tanpa mementingkan unsur kesopanan.
3. Alasan Penggunaan Implikatur Percakapan
Secara garis besar dalam penelitian ini, prinsip sopan santun dianggap
sebagai piranti ‘alat’ untuk menjelaskan alasan penutur sering menggunakan
tuturan yang mengandung maksud tersembunyi agar lebih santun (dapat dilihat
pada pernyataan wali kelas lampiran 5). Tetapi, hal tersebut masih terbagi sesuai
kemampuan mitra tutur dalam menghubungkan tuturan dengan konteks yang
melingkupnya untuk mengetahui alasan penutur menggunakan tuturan
berimplikatur. Hal ini sesuai pendapat Geoffrey Leech (1993: 19-21) yang
membagi unsur situasi ujar dibagi atas lima bagian yaitu: (1) penutur dan mitra
tutur; (2) konteks tutur; (3) tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau kegiatan; (4)
tujuan tuturan; dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal.
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan tiga unsur konteks yang menjadi
alasan penutur melanggar prinsip kerjasama yang secara keseluruhan
mementingkan prinsip sopan santun yaitu: (1) unsur konteks tutur, (2) penutur dan
mitra tutur, serta (3) tujuan tuturan. Ketiga alasan tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
a. Konteks tutur
Konteks tutur ialah semua latar belakang pengetahuan yang dipahami
bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Dengan kata lain, setiap implikatur
percakapan yang digunakan guru maupun peserta didik secara tidak langsung
memperhatikan latar pengetahuan atau budaya masyarakat masing-masing
peserta tutur. Hal ini sesuai pendapat Syaiful Bahri Djamarah (2005:11)
mengungkapkan bahwa proses interaktif edukatif dalam pembelajaran haruslah
menggambarkan percakapan dua arah antara guru dan peserta didik yang
mengandung norma pengantar tingkah laku yang sesuai pengetahuan peserta
didik. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan tuturan penutur yang
melanggar maksim gabungan hubungan dan cara jika pengetahuan mitra tutur
yang mendukung tujuan pembelajaran, dan melanggar maksim kuantitas dan
kualitas jika pengetahuan mitra tutur tidak sesuai tujuan pembelajaran.
Kesamaan pengetahuan penutur dan mitra tutur sangat mempengaruhi
penutur dalam mengarahkan mitra tutur untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Salah satunya pada data [9] saat guru memperingatkan peserta didik untuk
tidak songgo uwang ‘bertopang dagu’. Masyarakat jawa menganggap songgo
uwang mencerminkan kesusahan menerima sesuatu atau sikap yang
mengacuhkan mitra tutur sehingga dianggap tidak menghargai orang lain.
Untuk itu, guru mengunakan tuturan yang tidak berhubungan dengan mitra
tutur dan bersifat umum agar tidak terkesan memerintah, menyakinkan, dan
memperingatkan mitra tutur. Uraian tersebut sesuai dengan penelitian Alan H.
Monroe dalam Jalaluddin Rakhmat (2001: 298) bahwa cara pertama yang perlu
dilakukan penutur untuk mempengaruhi mitra tutur adalah mengujarkan hal
menarik perhatian mitra tutur dan diakhiri dengan usaha menyisipkan dorongan
untuk melakukan tindakan. E. Mulyasa (2006: 115) juga mengungkapkan
bahwa cara menarik perhatian peserta didik dengan memberi selingan sesuai
kehidupan peserta didik bahkan sesekali dengan humor yang menunjang
pembelajaran.
Sedangkan saat penutur menghadapi konteks pengetahuan mitra tutur tidak
sesuai dengan tujuan pembelajaran dengan tuturan yang seolah-olah
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
menyetujui dan dilanjutkan pengetahuan baru yang diakhiri jeda panjang untuk
memastikan mitra tutur menyetujuinya. Secara singkat, guru menggunakan
tuturan yang melanggar dua maksim sekaligus yaitu maksim kuantitas dan
kualitas saat menghadapi konteks ini. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Cohen dalam Jalaluddin Rakhmat (2001: 298) yang menyimpulkan urutan
tuturan yang pro-kontra lebih efektif dalam memperhalus nasihat, jaminan dan
sindiran pada mitra tutur dibanding kritik langsung. Untuk itulah guru biasanya
bekerja sama dengan wali murid agar materi yang diajarkan di kelas mudah
diterima karena juga diajarkan di lingkungan keluarga. Uraian tersebut sesuai
pendapat Mulyasa (2005: 54) yang menyatakan bahwa salah satu peran guru
dalam pembelajaran adalah “pemindah kemah” yang secara tidak langsung
menuntut guru untuk mampu mengetahui masalah peserta didik, kepercayaan,
dan kebiasaan yang menghalangi kemajuan, serta membantu menjauhinya
untuk mandapatkan cara baru yang lebih sesuai tujuan pembelajaran.
b. Penutur dan mitra tutur
Hasil data penelitian yang didapat mengenai alasan penggunaan implikatur
percakapan di kelas V sangat berkaitan dengan kondisi mental penutur dan
mitra tutur. Hal ini terlihat saat guru menggunakan bahasa Jawa krama
terutama dalam penggunaan kata kerja untuk menghormati pendapat peserta
didik. Desi Ratnasari (2007: 3) menerangkan bahwa aturan tingkat tutur bentuk
karma dalam kata kerja digunakan untuk menyebutkan tindakan orang yang
posisinya lebih tinggi (dihormati) sehingga tidak boleh meninggikan diri
sendiri. Markhamah (2004: 61) juga menguraikan bahwa penutur juga perlu
memperhatikan aspek nonlinguistik yaitu sosial, ideologi, latar belakang
kultural, partisipan dan pendidikan mitra tutur. Hal ini dapat terlihat pada data
[67] saat peserta didik mencoba menuturkan pendapatnya dalam bahasa
Indonesia “anak kecil” disbanding kata cah cilik.. Masyarakat Jawa
mengganggap kata cah ‘anak’ hanya sopan jika diucapkan oleh orang yang
lebih tua dari mitra tutur. Secara rinci, penutur takut menyinggung perasaan
mitra tutur dengan melanggar maksim hubungan, dan penutur merasa tidak
percaya dengan mitra tutur dengan melanggar maksim kualitas.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
Peserta didik kelas V dianggap memiliki perasaan halus sehingga perlu
dijaga “muka” agar tidak tersinggung. Hal ini sesuai pendapat Ronald L. Partin
(2009: 19) yang memberikan salah satu cara mengajak peserta didik aktif
dalam pembelajaran adalah mengurangi iklim kelas kompetitif yang destruktif
dan mengkritik secara langsung di depan peserta didik lain. Oleh karena itu,
satu cara yang sering ditemukan dalam penelitian ini adalah melanggar maksim
hubungan yang berusaha mengaitkan tuturan yang dianggap orang lain (pihak
ketiga) tidak berhubungan agar penutur terkesan memerintah, memaksa,
menyalahkan, sombong atau mengekang mitra tutur.
Karaktistik peserta didik kelas V ini juga sangat antusias dalam merespon
tuturan guru sehingga membuat guru merasa tidak sopan untuk memerintah,
memaksa, atau menyalahkan pendapat peserta didik. Karena itulah dalam
penelitian ini, guru sering menggunakan tuturan yang melanggar maksim
kualitas dengan menyamakan tuturan peserta didik yang “memancing"
pembetulan pengetahuan yang dimiliki mitra tutur. Hal ini membuat mitra tutur
lebih merasa dihargai meskipun sebenarmya penutur tidak mempercayai
tuturan mitra tutur. Hasil penelitian Torane dalam Jack C. Richard (1995: 21)
juga menyimpulkan salah satu cara yang digunakan untuk membetulkan
konsep yang belum sesuai dengan penutur adalah menghindarkan topik melalui
tuturan yang membuat mitra tutur menyadari konsep yang benar untuk
memancing pembetulan dari mitra tutur.
c. Tujuan Tuturan
Ujaran berimplikatur percakapan menjadi suatu hal yang penting
dibandingkan ujaran langsung dalam suatu pembelajaran. Hal ini karena
berkaitan pencapaian tujuan tuturan terhadap mitra tutur dengan pemeliharaan
hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur. Dalam penelitian ini ditemukan
alasan penutur menggunakan implikatur percakapan adalah penutur mengacu
pada tuturan sebelumnya atau kompetensi yang ingin dicapai yang biasanya
ditandai dengan melanggar maksim kuantitas. Yang kedua karena penutur
memperhatikan keefektifan pembelajaran melalui pelanggaran maksim cara.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
Pelanggaran maksim kuantitas berdasarkan tuturan atau tujuan yang telah
diketahui kedua belah pihak (penutur dan mitra tutur) sebagai keterangan
maksud tuturan yang tersirat. Hal ini sesuai dengan hasil penyelidikan Pawley
dalam Jack C. Richard (1995: 23) yang menemukan bahwa percakapan yang
tidak bertata bahasa lengkap berisi klausa yang menunjukkan konsep atau
fungsi percakapan yang dikenali melalui kebenaran kultural dan reaksi
sebelumnya. Kaitannya dengan pembelajaran, E. Mulyasa (2006: 43)
menyebutkan bahwa guru merupakan orang kepercayaan bagi peserta didik
sehingga setiap tuturan guru dianggap sebagai suatu kebenaran oleh peserta
didik. Hal ini tidak terlepas dari budaya masyarakat Jawa yang masih
memegang “jarwa dhosok” guru iku digugu lan ditiru yang sangat
mempercayai guru dan menganggap guru adalah teladan bagi peserta didik.
Contohnya pada data [72], guru memberikan nasihat yang sebenarnya hanya
memperjelas tuturan salah satu peserta didik sebelumnya, tetapi justru
disepakati oleh seluruh peserta didik. Pelanggaran maksim tersebut sangat
mementingkan kejujuran, meskipun informasi yang disampaikan kurang atau
melebihi yang diinginkan mitra tutur sehingga tetap sopan.
Dalam penelitian ini, keefektifan pembelajaran merupakan alasan yang
digunakan penutur untuk melanggar maksim cara saat menjelaskan suatu hal
agar tidak terkesan memerintah, memaksa, menyombongkan diri, dan
mengekang mitra tutur. Pelanggaran maksim ini berhubungan dengan
keefektifan waktu dan strategi pembelajaran yang didukung tuturan guru atau
peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Grice dalam Geoffrey Leech
(1993: 11) bahwa tujuan dapat tidak tercapai jika informasi yang diberikan
terkesan menggurui atau cara bertutur kurang menarik. Sependapat dengan
pendapat tersebut, Made Wena (2009: 12) menyatakan bahwa guru dituntut
mampu merancang waktu dan strategi sesuai kondisi pembelajaran.
Selain menggunakan implikatur percakapan, dalam pembelajaran ini juga
ditemukan tuturan berbahasa Jawa untuk lebih memudahkan pemahaman mitra
tutur terhadap tuturan mitra tutur. Hal ini sesuai hasil penelitian Siregar dalam
Markhamah (2004: 62) yang menemukan perbedaan sikap seseorang yang
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
diajak berbicara dengan bahasa Jawa mengenai persoalan dinas yang
seharusnya dibicarakan dengan bahasa Indonesia dan sebaliknya, persoalan
yang seharusnya dibicarakan dengan bahasa Jawa, tetapi dibicarakan dengan
bahasa Indonesia. Begitu halnya dengan peserta didik yang lebih mudah
memahami materi pembelajaran dengan penjelasan bahasa Jawa terutama jika
materi tersebut masih asing bagi peserta didik. Sri Suwarni selaku wali kelas V
juga mengakui penggunaan bahasa Jawa sangat dominan dalam tuturan
berimplikatur percakapan saat pembelajaran bahasa Indonesia.
Berdasarkan hasil wawancara guru dan peserta didik yang menggunakan
tuturan berimplikatur percakapan, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
alasan penggunaan tuturan tersebut dilakukan untuk menjaga perasaan mitra tutur
berdasar kompetensi yang diingin dicapai. Hal ini terbukti setelah peneliti
menggunakan wawancara dengan 6 peserta didik dan wali kelas V yang berperan
sebagai penutur sekaligus mitra tutur secara keseluruhan memaklumi dan mengerti
maksud tersembunyi tuturan berimplikatur percakapan hanya dengan mengaitkan
tuturan berimplikatur percakapan tersebut dengan tuturan sebelumnya. Dari
pernyataan enam peserta didik tersebut juga dapat diketahui bahwa implikatur
percakapan yang digunakan guru membuat keenam peserta didik tersebut tidak
merasa takut untuk mengungkapkan pendapatnya, meskipun pernah dimarahi atau
disindir saat melakukan kesalahan. Dan jika ditemukan beberapa peserta didik
sebagai mitra tutur tidak mengerti maksud tersembunyi tersebut lebih dikarenakan
peserta didik tersebut yang tidak masuk sekolah, sehingga guru kesulitan untuk
menyamakan stimulus yang akan diberikan kepada peserta didik.
Untuk itulah jika seorang penutur belum mengetahui karakteristik dan
kebiasaan mitra tutur sebaiknya penggunaan implikatur percakapan dihindari. Hal
ini agar tidak terjalin kesalahpahaman yang justru membuat mitra tutur
tersinggung. Selain penggunaan implikatur percakapan dan bahasa campuran
(bahasa Jawa dan Indonesia) mempengaruhi cara berbahasa peserta didik. Hal ini
terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan peserta didik yang empat peserta
didik dari enam peserta didik yang diwawancarai menjawab dengan bahasa
campuran dan melanggar prinsip kerjasama seperti pelanggaran maksim kuantitas.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Peneliti dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data penelitian terhadap
adanya implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V
SDN Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo seperti yang dijelaskan
pada bab IV maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Wujud implikatur percakapan yang ditemukan dalam pembelajaran bahasa
Indonesia di kelas V SDN Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo
sebagian besar dituturkan dalam bahasa Jawa dan terdiri atas enam
pelanggaran prinsip kerja sama yang didominasi oleh pelanggaran maksim
kuantitas berdasar respon mitra tutur baik berupa ujaran maupun tindakan.
Keterkaitan penggunaan implikatur percakapan dengan penerapan maksim
sopan santun dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: (1)
penerapan maksim kearifan didominasi pelanggaran maksim cara; (2)
penerapan maksim kedermawanan didominasi pelanggaran maksim kualitas;
(3) penerapan maksim pujian didominasi pelanggaran maksim kualitas; (4)
penerapan maksim kerendahan hati didominasi pelanggaran maksim
hubungan; (5) penerapan maksim kesepakatan didominasi pelanggaran
maksim kuantitas; (6) penerapan maksim gabungan kearifan dan pujian
didominasi pelanggaran maksim gabungan kuantitas dan kualitas; (7)
penerapan maksim gabungan kearifan dan kesepakatan didominasi
pelanggaran gabungan kuantitas dan kualitas; (8) penerapan maksim gabungan
kedermawanan dan kerendahan hati didominasi pelanggaran maksim
gabungan hubungan dan cara; dan (9) penerapan maksim gabungan
kedermawanan dan kesepakatan didominasi pelanggaran maksim gabungan
hubungan dan cara.
2. Pelanggaran prinsip kerja sama dalam penerapan prinsip sopan santun saat
interaksi dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V memiliki beberapa
fungsi dan tujuan antara lain: (1) implikatur percakapan yang berfungsi
156
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
kompetitif dan bertujuan direktif untuk mengajak saat menerapkan maksim
kearifan, menyarankan saat menerapkan maksim kedermawanan, dan
menasihati mitra tutur saat menerapkan maksim gabungan kearifan dan
pujian; (2) implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan dan
bertujuan ekspresif untuk memuji saat menerapkan maksim pujian, bertanya
saat menerapkan maksim kerendahan hati dan menyindir mitra tutur saat
menerapkan maksim gabungan kedermawanan dan kesepakatan; dan (3)
implikatur percakapan yang berfungsi menyenangkan dan bertujuan komisif
untuk menawarkan saat menerapkan maksim kesepakatan, menjamin saat
menerapkan maksim gabungan kearifan dan kesepakatan, serta kesanggupan
saat menerapkan maksim gabungan kedermawanan dan kerendahan hati.
3. Alasan penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran bahasa
Indonesia di kelas V SDN Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo
pada umumnya adalah (1) unsur konteks tutur, (2) penutur dan mitra tutur,
serta (3) tujuan tuturan. Berdasarkan hasil wawancara yang dikaitkan dengan
pelanggaran prinsip kerja sama dapat diketahui beberapa alasan yaitu (1)
pengetahuan mitra tutur yang mendukung tujuan pembelajaran sebagai alasan
melanggar maksim gabungan hubungan dan cara; (2) jika pengetahuan mitra
tutur tidak sesuai tujuan pembelajaran sebagai alasan melanggar maksim
kuantitas dan kualitas; (3) penutur takut menyinggung perasaan mitra tutur
sebagai alasan melanggar maksim hubungan; (4) penutur merasa tidak percaya
dengan hal yang dikatakan mitra tutur sebagai alasan melanggar maksim
kualitas; (5) penutur mengacu pada tuturan sebelumnya atau kompetensi yang
ingin dicapai sebagai alasan melanggar maksim kuantitas; dan (6) penutur
memperhatikan keefektifan pembelajaran yang terlihat dengan pelanggaran
maksim cara.
B. Implikasi
Peneliti akan memaparkan implikasi yang berupa implikasi teoretis,
pedagogis, dan praktis berdasarkan kajian teori serta mengacu pada hasil
penelitian sebagai berikut.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
1. Implikasi teoretis dalam penelitian ini didasarkan pada keterkaitan hasil
penelitian dengan teori-teori yang digunakan peneliti. Penelitian ini
meyakinkan bahwa penggunaan implikatur percakapan dalam pembelajaran
di kelas akan mempengaruhi cara berbahasa peserta didik sebagai pihak
pebelajar bahasa. Banyaknya implikatur percakapan terutama implikatur
percakapan dengan bahasa Jawa yang dijumpai dalam interaksi pembelajaran
di kelas V SDN Pondok 1 dilakukan dengan beberapa fungsi dan tujuan. Salah
satunya adalah fungsi menyenangkan dan tujuan komisif sebagai penghargaan
yang diberikan guru kepada peserta didik untuk menumbuhkan kepercayaan
diri dalam berpendapat dengan mementingkan unsur kesopanan. Namun, pada
kenyataannya realisasi fungsi dan tujuan dengan menggunakan implikatur
pesercakapan justru mengesampingkan penggunaan bahasa Indonesia yang
baik dan benar sebagai tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah
dasar. Penerapan fungsi dan tujuan tuturan tersebut akhirnya berimplikasi
pada keberterimaan alasan penggunaan implikatur percakapan dalam
pembelajaran di kelas sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran bahasa
Indonesia yang benar, baik dan sopan.
2. Implikasi pedagogis berupa keterkaitan hasil penelitian ini dengan
pembelajaran. Pengaplikasian pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V telah
sampai pada tingkat berbahasa yang baik, benar dan santun sehingga cara
berbahasa guru baik sebagai bahasa pengantar maupun sebagai materi
pembelajaran merupakan salah satu contoh pembentuk kecakapan secara
intelektual dan emosional di masa depan. Penggunaan bahasa pengantar yang
baik dapat membuat perta didik lebih aktif dan mudah memahami materi
pelajaran. Secara tidak langsung, keaktifan peserta didik dalam keterampilan
berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik, benar dan santun menjadi salah
satu indikator tingkat keberhasilan pembelajaran bahasa Indonesia. Selain itu,
dapat juga digunakan sebagai sarana belajar keterampilan berbahasa Indonesia
yang bukan hanya sekedar belajar teori, melainkan juga diterapkan secara
komunikatif dan wajar dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sarana belajar
yang secara konsisten dicontohkan guru kepada peserta didik kelas V,
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
penggunaan tuturan berimplikatur percakapan bahkan dengan bahasa
campuran yang tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku akan mempengaruhi
cara berbahasa peserta didik. Dalam hal ini peran wali kelas sekaligus guru
bahasa Indonesia sangat penting dalam pembinaan bahasa Indonesia bagi
peserta didik. Wali kelas harus dapat menanamkan kebiasaan kepada siswa
agar dapat menggunakan tuturan berbahasa Indonesia yang baik, benar, dan
sopan. Hal ini dikarenakan kelas V merupakan tingkat awal tuntutan
ketercapaian kompetensi berbahasa Indonesia yang mementingkan unsur
kesopanan selain baik dan benar. Dengan kata lain, pembelajaran bahasa
Indonesia digunakan sebagai tumpuan yang baku, meskipun secara tidak sadar
juga telah diterapkan di tingkatan kelas sebelumnya. Jika tuntutan ini dapat
dicapai maka pembelajaran bahasa Indonesia akan lebih terarah pada fungsi
utama bahasa yaitu komunikasi sekaligus mengembangkan ranah afektif dan
psikomotorik peserta didik.
3. Implikasi praktis dalam penelitian ini berupa keterkaitan hasil penelitian
terhadap penggunan implikatur percakapan pada pembelajaran bahasa
Indonesia selanjutnya. Pemaparan hasil penelitian terhadap wujud, fungsi dan
tujuan, serta alasan yang mendasari penutur (guru atau peserta didik) dapat
membantu guru dalam memilih strategi berbahasa Indonesia selanjutnya
sehingga dapat memudahkan dan mengaktifkan peserta didik dengan tetap
memperhatikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik, benar dan sopan.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dapat juga digunakan sebagai contoh
konkret bahwa pengetahuan tentang karakteristik mitra tutur dalam
menghubungkan tuturan dengan konteks tutur merupakan salah satu syarat
mutlak yang harus dipahami penutur saat menggunakan implikatur percakapan
yang mementingkan kesopanan. Guru atau peserta didik selaku mitra tutur
memiliki kebiasaan dan pengalaman yang beragam dengan tingkat
pemahaman dan pengetahuan berbahasa yang berbeda-beda pula. Hal ini
menjadi tantangan besar bagi guru agar maksud tersembunyi yang ingin
disampaikan dapat benar-benar dipahami oleh peserta didik, begitu pula
peserta didik yang menggunakan tuturan berimplikatur percakapan. Untuk
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
mencapai tujuan tersebut, penutur perlu menghindari pelanggaran maksim
kerja sama tanpa mengetahui karakteristik mitra tutur dalam menghubungkan
tuturan dengan konteks tutur. Oleh karena itu, penutur (guru atau peserta
didik) hendaknya lebih mengenal mitra tutur dan selektif dalam menggunakan
tuturan berimplikatur dalam menjaga kesopanan dalam hubungan sosial antara
guru dan peserta didik, tetapi tetap professional dalam melaksanakan
pembelajaran.
C. Saran
Penulis juga memberikan beberapa saran yang didasari oleh hasil
penelitian dan implikasi penelitian di atas sebagai berikut.
1. Bagi sekolah
SDN Pondok 1 Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo sebagai instansi
terkait dalam penelitian ini diharapkan meningkatkan kualitas keprofesionalan
guru dan peserta didik dalam pembelajaran bahasa Indonesia, misalnya
dengan mengadakan UKBI (Ujian Kemahiran Bahasa Indonesia) atau
pelatihan keterampilan mengajar bagi guru secara periodik.
2. Bagi guru atau pengajar bahasa Indonesia
Para guru atau pengajar bahasa Indonesia diharapkan membantu mengarahkan
dan membekali peserta didik menggunakan bahasa Indonesia yang baik, benar
dan sopan sehingga peserta didik juga akan terbiasa menggunakan bahasa
Indonesia yang baik, benar dan sopan sesuai fungsi bahasa disamping teori
bahasa sebagai landasan.
3. Bagi peserta didik
Peserta didik diharapkan dapat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan
benar dengan memilah cara berbahasa yang dicontohkan guru karena tidak
semua tuturan guru yang sopan, juga sopan jika dituturkan oleh peserta didik.
4. Bagi peneliti lain
Peneliti lain diharapkan untuk menindaklanjuti penelitian implikatur
percakapan dalam pembelajaran bahasa Indonesia ini, tetapi dengan ruang
lingkup yang lebih sempit. Sehingga kedalaman analisis masalah mendasar
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
dapat diketahui. Selain itu, penelitian ini hanya terbatas pada percakapan yang
terjadi saat pembelajaran bahasa Indonesia di kelas V, sehingga penggunaan
implikatur percakapan selalu dihubungkan dengan kompetensi dasar yang
telah dibakukan. Sehingga diharapkan adanya penelitian implikatur
percakapan di luar kelas yang dapat menjamin kealamiahan dan fleksibilitas
percakapan untuk mengetahui lebih dalam mengenai kesantunan dialek bahasa
daerah yang mempengaruhi tuturan.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Softwarehttp://www.foxitsoftware.com For evaluation only.