View
469
Download
3
Embed Size (px)
Proposal Menulis Karya Ilmiah (Analisis Tindak Tutur)
Proposal
Menulis Karya Ilmiah
“Analisis Tindak Tutur dan Implikasi dalam Wacana Iklan”
Oleh:
Titis Safitri
Dosen Pembimbing:
Yulia Sri Hartati, M.Pd
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
PADANGPANJANG
2012
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian dengan
judul “Analisis Tindak Tutur dan Implikasi dalam Wacana Iklan”.
Proposal ini disusun sebagai tugas akhir semester V dalam mata kuliah Menulis
Karya Ilmiah pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat Padangpanjang.
Dalam penyusunan proposal ini penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Yulia Sri Hartati, M.Pd sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan
bimbingan serta semangat kepada penulis dalam menyelesaikan proposal ini.
2. Muadsyah HS sebagai pengelola pustaka yang telah memberikan bantuan dalam pengerjaan
proposal ini.
3. Kepada teman-teman yang telah membantu penulis dalam pengerjaan proposal.
Penulis menyadari proposal ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan proposal ini.
Akhir kata, mudah-mudahan proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Padangpanjang, 21 Desember
2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Fokus Masalah
C. Pertanyaan Penelitian
D. Tujuan Penelitian
E. Manfaat Penelitian
BAB II KAJIAN TEORITIS
A. Kajian Teori
1. Pengertian Bahasa
2. Jenis Bahasa
3. Fungsi Bahasa
4. Pengertian Pragmatik
5. Pengertian Implikatur
B. Kerangka Konseptual
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Metode Penelitian
B. Sumber Data
C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
D. Teknik Analisis Data
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting bagi manusia. Dengan bahasa
manusia dapat berinteraksi dengan manusia lainnya, baik secara lisan maupun tulisan. Tanpa
bahasa, tentu saja akan sangat sulit bagi manusia untuk menyampaikan kemauannya, ide,
pendapat, perasaan, pesan dan sebagainya.
Menurut Kridalaksaana (dalam Kencono, 1982:2-2), “Bahasa adalah system lambing bunyi
yang arbitrer yang dipergunakan oleh anggota kelompok social untuk bekerja sama,
berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri”.
Tindak tutur atau pragmatik adalah suatu cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur
bahasa secara eksternal yang terikat dengan konteksnya. Pragmatik juga dapat diartikan
sebagai telaah mengenai hubungan tanda-tanda dengan penafsirnya. Faktor-faktor penentu
dalam berkomunikasi antara lain; penutur, lawan tutur, situasi, tujuan pembicaraan, konteks,
jalur, media dan peristiwa.
Didalam pragmatik dijelaskan bahwa bahasa itu tidak hanya berfungsi untuk
menginformasikan sesuatu (lokusi), tetapi dengan bahasa seseorang juga bias melakukan
sesuatu (ilokusi) dan mempengaruhi orang lain (perlokusi).
Media untuk menyampaikan bahasa pun bermacam-macam, baik media cetak maupun
elektronik. Bahasa berkaitan erat dengan media komunikasi massa. Melalui media
komunikasi massa seseorang dapat menyampaikan pesan atau informasi kepada khalayak
umum, seperti penyampaian iklan pada media cetak.
Kecanggihan media informasi dan komunikasi memberikan peluang kepada pengguna bahasa
untuk menyalurkan ide atau pemikirannya, salah satunya melalui media iklan. Iklam
merupakan media yang tepat untuk berkomunikasi dengan konsumen agar produk dan jasa
yang ditawarkan diminati banyak orang. Iklan yang diterbitkan harus kreatif, menarik dan
sifatnya mengajak pembaca.
Memahami bahasa adalah hal penting dalam strategi pemasaran sebuah iklan. Penelitian
penyampaian bahasa sebagai pesan dalam sebuah wacana iklan merupakan bentuk tuturan
yang telah direncanakan dan mempunyai tujuan tertentu. Sukses atau tidaknya pemasaran
iklan tersebut tergantung pada bahasa yang digunakan.
Pilihan kata pada penggunaan bahasa dalam wacana iklan pasti terlebih dahulu dipikirkan
baik buruknya, cocok atau tidaknya bahasa tersebut dipakai sebelum iklan diterbitkan. Setiap
iklan tentu memiliki cara penyampaian pesan yang berbeda-beda. Dan inilah menjadi ciri
khusus dari bahasa iklan tersebut. Dari cara penyampaian pesan tersebut dapat memudahkan
pembaca dalam memahami maksud tuturan dalam wacana iklan.
Salah satu media untuk menyampaikan iklan adalah koran. Koran merupakan lembaran-
lembaran kertas yang bertuliskan dan berisikan kabar (berita) serta informasi. Didalam Koran
tersebut, pembaca dapat memperoleh informasi terbaru dan terkini yang sedang menjadi topik
pembicaraan banyak orang.
Dari berbagai macam nama Koran dalam penelitian ini, penulis memilih Koran Singgalang
sebagai sumber datanya. Penulis akan menggunakan analisis tindak tutur dan implikasinya
dalam wacana iklan.
Berdasarkan uraian diatas, cirri khusus dari bahasa iklan adalah cara penyampaian pesan
yang berbeda-beda. Dari cara penyampaian pesan tersebut, penulis bermaksud meneliti
tentang tindak tutur dan implikasinya dalam wacana iklan. Oleh karena itu, penulis
memberikan judul penelitian dengan, “Analisis tindak tutur dan implikasi dalam wacana
iklan”.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan pembahasan dari latar belakang masalah, penelitian ini difokuskan pada,
“Analisis tindak tutur dan implikasi dalam wacana iklan mobil”.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan fokus masalah diatas, maka pertanyaan penelitian ini adalah, “Bagaimanakah
analisis tindak tutur dan implikasi dalam wacana iklan mobil?”
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah, “Menganalisis
tindak tutur dan implikasi dalam wacana iklan mobil”.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. Penulis, untuk mengetahui analisis tindak tutur dan implikasi dalam wacana iklan mobil.
2. Pembaca, untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang analisis tindak tutur dan
implikasi dalam wacana iklan mobil.
3. Guru, supaya bias menerapkan pembelajaran tentang analisis tindak tutur dan implikasi
dalam wacana iklan.
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Kajian Teori
1. Pengertian Bahasa
Menurut Gorys Keraf ( 1989 :1), “Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat
berupa symbol bunyi yang dihasilkan oleh aat ucap manusia”. Semua orang menyadari
bahwa interaksi dan segala macam kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh tanpa bahasa.
Dengan adanya bahasa sebagai alat komunikasi, maka semua yang berada disekitar manusia:
peristiwa-peristiwa, binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan, hasil cipta karya manusia dan
sebagainya, mendapat tanggapan dalam pikiran manusia, disusun dan diungkapkan kembali
kepada orang-orang sebagai bahan komunikasi. Komunikasi melalui bahasa ini
memungkinkan tiap orang untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan fisik dan
lingkungan sekitarnya.
Menurut Kridalaksana (dalam Agustina, 1995:1), “Bahasa adalah sistem lambang bunyi
yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama,
berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri”. Batasan tersebut diperinci menjadi: bahasa
adalah sebuah sistem, bahasa merupakan sebuah sistem lambing, bahasa itu bermakna,
bahasa bersifat konvensional sistem bunyi, bersifat arbitrer, produktif, unik, universal, bahasa
mempunyai variasi-variasi dan bahasa sebagai media pengidentifikasian diri.
Prof. Anderson (dalam Tarigan, 1986:2-3) mengemukakan adanya delapan prinsip dasar
bahasa, yaitu: 1) bahasa adalah suatu sistem, 2) bahasa adalah vocal, 3) bahasa tersusun dari
lambing-lambang manasuka (arbitrer), 4) bahasa bersifat unik, 5) bahasa dibangun dari
kebiasaan-kebiasaan, 6) bahasa adalah alat komunikasi, 7) bahasa berhubungan erat dengan
budaya tempatnya berada, 8) bahasa itu berubah-rubah.
Menurut Plato (dalam http://carapedia.com/pengertian.definisi.bahasa.info 494.html),
“Bahasa adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata (nama benda atau
sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara
lewat mulut”.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, bahasa merupakan alat komunikasi yang
dipergunakan oleh manusia untuk berkomunikasi, berinteraksi, bekerja sama dan
mengidentifikasikan diri.
2. Jenis Bahasa
Dra. Agustina M.Hum (1995:4-5) mengemukakan jenis bahasa ditinjau dari segi media yang
digunakan, yaitu; 1) bahasa lisan (spoken language), 2) bahasa tulisan (written language), 3)
bahasa isyarat (gesture language). Bahasa lisan adalah bahasa yang menggunakan bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia sebagai medianya. Berkomunikasi lewat bahasa lisan
menghendaki para partisipannya berhadapan, baik langsung maupun tak langsung. Bahasa
tulisan adalah yang menggunakan tulisan atau lambing yang berupa huruf-huruf sebagai
medianya. Bahasa tulisan berhubungan erat dengan bahasa lisan, karena bahasa tulisan tidak
akan ada kalau tidak ada bahasa lisan. Bahasa isyarat disebut juga bahasa nonverbal karena
bahasa ini tidak menggunakan bunyi dan tulisan sebagai medianya tetapi menggunakan
isyarat.
3. Fungsi Bahasa
Gorys Keraf (1989 : 3-6) mengemukakan fungsi bahasa ada empat, yaitu; 1) alat untuk
menyatakan ekspresi diri, 2) sebagai alat komunikasi, 3) alat untuk mengadakan integrasi dan
adaptasi sosial, 4) alat untuk mengadakan control sosial. Sebagai alat untuk menyatakan
ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada
kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Sebagai alat komunikasi,
dengan adanya komunikasi seseorang dapat menyampaikan semua yang dirasakan dan
dipikirkannya kepada orang lain. Bahasa sebagai alat mengadakan integrasi dan adaptasi
sosial, seseorang mencoba menyesuaikan dirinya dengan semua orang melalui bahasa. Bila ia
dapat menyesuaikan dirinya maka ia pun dengan mudah membaurkan dirinya (integrasi)
dengan segala macam tata-krama di lingkungannya. Bahasa sebagai alat mengadakan control
sosial, semua kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena dapat diatur dengan
mempergunakan bahasa. Semua tutur dimaksudkan untuk mendapatkan tanggapan.
Halliday (dalam Agustina, 1995:8), merinci fungsi bahasa menjadi tujuh jenis. Ketujuh jenis
tersebut adalah: 1) fungsi instrumental, untuk menghasilkan tindakan-tindakan komunikatif
dalam kondisi tertentu, 2) fungsi regulasi, untuk mengatur orang lain, 3) fungsi
representasional, untuk menjelaskan fakta dan pengetahuan, 4) fungsi interaksional, untuk
memantapkan ketahanan dan kelangsungan komunikasi sosial, 5) fungsi personal, untuk
mengekspresikan perasaan, emosi, pribadi, serta reaksi-reaksi yang mendalam, 6) fungsi
heuristik, untuk memperoleh dan mempelajari ilmu pengetahuan, 7) fungsi imajinatif, untuk
melayani penciptaan gagasan-gagasan yang bersifat imajinatif.
4. Pengertian Pragmatik
Menurut George (dalam Tarigan, 1986:32), “Pragmatik adalah telaah mengenai keseluruhan
perilaku insan, terutama sekali dalam hubungannya dengan tanda-tanda dan lambang-
lambang”. Pragmatik memusatkan perhatian pada cara insane berperilaku dalam keseluruhan
situasi pemberian tanda dan penerimaan tanda.
Menurut Levinson (dalam Tarigan, 1986:33), “ Pragmatik adalah telaah mengenai relasi
antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu laporan pemahaman bahasa atau
telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-
kalimat dan konteks-konteks secara tepat”.
Menurut Charles Morris (dalam Tarigan, 1986:33), “ Pragmatik adalah telaah mengenai
hubungan tanda-tanda dengan para penafsirnya.” Teori pragmatik menjelaskan alasan atau
pemikiran para pembicara dan para penyimak dalam menyusun korelasi dalam suatu konteks
sebuah tanda kalimat suatu proposi (rencana atau masalah).
Selanjutnya, menurut Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan (1986:33), “Pragmatik adalah telaah
mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik”. Jadi, dapat
dikatakan pragmatik memperbincangkan segala aspek makna ucapan yang tidak dapat
dijelaskan secara tuntas oleh referensi langsung kepada kondisi-kondisi kebenaran kalimat
yang diucapkan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, pragmatk adalah cabang ilmu bahasa yang
mempelajari struktur bahasa secara eksternal yang terikat dengan konteksnya.
5. Pengertian Implikatur
Menurut Grice (dalam Wijana, 1996: 37-39) dalam artikelnya yang berjudul Logic and
Conversation mengemukakan bahwa tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan
merupakan bagian daari tuturan bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut
implikatur (implicature). Karena implikatur bukan merupakan bagian tuturan yang
mengimplikasikannya, hubungan kedua proposisi itu bukan merupakan konsekuensi mutlak.
Menurut Agustina (1995: 54), “Konsep implikatur dipakai untuk menerangkan perbedaan
yang sering terdapat antara apa yang diucapkan dengan apa yang diimplikasi”. Konsep
implikatur percakapan ini diajukan Grice untuk menanggulangi makna bahasa yang tidak
dapat ditanggulangi oleh teori semantic biasa. Konsep implikatur dapat memberikan suatu
penjelasan yang eksplisit tentang kemungkinan apa yang diucapkan secara lahiriah berbeda
dari apa yang dimaksud dan pemakai bahasa itu mengerti atau dapat menangkap pesan yang
dimaksud dalam ungkapannya.
Selanjutnya, dapat dilihat dari contoh wacana iklan: “Pesta Ertiga 2012, dengan hadiah
menarik Motor Suzuki NEX dan puluhan hadiah menarik lainnya”. Tuturan tersebut
mengimplikasikan bahwa adanya penarikan undian berhadiah. Didalam pertuturan yang
sesungguhnya, penutur dan mitra tutur dapat secara lancer berkomunikasi karena mereka
berdua memiliki kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dipertuturkan
itu. Diantara penutur dan lawan tutur terdapat semacam kontrak percakapan tidak tertulis
bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu saling dimengerti. Jadi, dapat dikatakan implikasi
itu merupakan maksud dan tanggapan dari apa yang dituturkan.
B. Kerangka Konseptual
Pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal yang terikat
dengan konteksnya. Pragmatik juga dapat diartikan sebagai telaah mengenai hubungan tanda-
tanda dengan penafsirnya.
Konsep implikatur dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara apa
yang diucapkan dengan apa yang diimplikasi.
ANALISIS IMPLIKATUR PRAGMATIK FUNGSI BAHASA JENIS BAHASA BAHASA KEBAHASAAN
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis dan Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Menurut Moleong (1998: 2), “Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan kata-kata atau lisan objek yang diamati”.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk menjelaskan
kondisi suatu sistem pemikiran ataupun suatu peristiwa pada masa sekarang.
Menurut Nazir (2005: 54), “Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti
status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun
suatu kelas peristiwa pada masa sekarang”. Tujuan penelitian deskriptif ini adalah untuk
membuat deskripsi gambaran atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat hubungan antara fenomena yang diselidiki.
Menurut Bagdan dan Taylor (dalam Moleong, 1998: 21), “Penelitian kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati”.
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan yang terdapat dalam wacana iklan. Wacana
yang terdapat dalam Koran Singgalang, berupa wacana iklan mobil.
Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan menggunakan metode simak. Menurut
Mahsun (2005:90), “Metode simak adalah metode yang digunakan untuk menyimak
penggunaan bahasa”. Menyimak di sini bukan hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa
secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis.
Di dalam penggunaan secara tertulis harus dilakukan dengan menggunakan teknik cata yaitu
mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi penelitiannya dari penggunaan bahasa secara
tertulis. Teknik tersebut dapat digunakan pada penelitian penggunaan bahasa secara tertulis.
Jadi, wacana iklan mobil “Ertiga” yang diteliti merupakan penggunaan bahasa tertulis.
Data Analisis Tindak Tutur dan Implikasi dalam Wacana Mobil
No Tuturan Implikasi
1.
2.
3.
Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam analisis data adalah teknik pilah. Teknik pilah
merupakan teknik yang digunakan dalam menentukan identitas objek sasaran penelitian yang
berupa satuan lingual. Unsur penentu dalam penganalisisan data yaitu daya pilah pragmatis,
yang alat penentunya berasal dari mitra tutur yang mendengarkan tuturan tersebut.
Daya pilah pragmatis dilakukan dengan memilah-milah satuan lingual menjadi
tuturan dalam suatu percakapan dalam sebuah wacana. Contoh pada wacana iklan mobil yang
ada pada Koran Singgalang: “Pesta Ertiga 2012 dengan hadiah menarik motor Suzuki NEX
dan puluhan hadiah menarik lainnya”. Tuturan tersebut mengimplikasikan bahwa adanya
penarikan undian berhadiah. Dapat juga mengimplikasikan bahwa pelangan yang mengikuti
pesta Ertiga akan mendapatkan hadiah.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina. 1995. Pragmatik Dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Padang: IKIP Padang
Press.
Keraf, Gorys. 1989. Komposisi. Jakarta: Nusa Indah.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Fajar Interprata Offset.
Moleong, Lexy. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Plato. 2010. “Definisi Bahasa”. http://carapedia.com/pengertian.definisi.bahasa.info494.html.
Diakses 6 Desember 2012.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa Bandung.
Wijana, I Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Wacana Kampanye
WACANA KAMPANYE POLITIK PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA MEDAN, PERIODE
2010-2015
Oleh : Lidia Sianturi 06
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa sebagai lambang bunyi yang arbitrer digunakan oleh masyarakat untuk berhubungan
dan bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Harimurti Kridalaksana, 1994:24).
Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai peranan penting dalam interaksi manusia. Bahasa dapat
digunakan manusia untuk menyampaikan ide, gagasan, keinginan, perasaaan dan pengalamannya
kepada orang lain. Tanpa bahasa manusia akan lumpuh dalam komunikasi maupun interaksi antara
individu maupun kelompok. Dengan demikian, manusia tidak dapat terlepas dari bahasa karena
pentingnya fungsi bahasa dalam kehidupannya.
Bahasa merupakan alat pertukaran informasi. Namun, kadang-kadang informasi yang
dituturkan oleh komunikator memiliki maksud terselubung. Oleh karena itu, setiap manusia harus
memahami maksud dan makna tuturan yang diucapkan oleh lawan tuturnya. Dalam hal ini tidak
hanya sekedar mengerti apa yang telah diujarkan oleh si penutur, tetapi juga konteks yang
digunakan dalam ujaran tersebut harus dipahami. Kegiatan semacam ini akan dapat dianalisis dan
dipelajari dengan pragmatik. Pragmatik merupakan subdisiplin linguistik interdisipliner yang tidak
hanya terbatas pada kerangka teori saja namun merupakan ilmu yang diterapkan dalam kehidupan
masyarakat. Pragmatik cenderung mengkaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa daripada bentuk atau
strukturnya. Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke arah
formalisme. Penerapan pragmatik dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui dengan menganalisis
bentuk-bentuk penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulisan yang berwujud tuturan.
Dalam kajian ilmu pragmatik juga dibahas tentang implikatur. Salah satu aplikasi bahasa
sebagai alat komunikasi adalah implikatur dalam wacana kampanye politik. Implikatur adalah ujaran
atau pernyataan yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan.
Dilihat dari sudut pandang pragmatik, dalam kampanye politik banyak implikatur di balik janji-janji
yang disampaikan kepada rakyat. Pada dasarnya wacana kampanye politik ini lekat dengan situasi
politik partai yang terkait dengan dukung- mendukung. Hal ini dijumpai ketika adanya pemilihan
umum baik pemilihan presiden dan wakilnya, calon legislatif, dan pemilihan umum kepala daerah.
Tahun 2010 memiliki arti penting bagi seluruh masyarakat Medan karena tahun tersebut diadakan
pemilihan umum calon walikota dan wakil walikota yang diadakan tanggal 9 Juli 2010 yang diawali
dengan kampanye yang sangat menarik. Nama-nama pasangan calon Walikota dan wakil Walikota
Medan yang terpilih adalah: no. urut 1 pasangan Dr. H. Sjahrial R. Anas-Drs. H. Yahya Sumardi. No.
urut 2 pasangan Sigit Pramono Asri, S.E.-Ir. Hj. Nurlisa Ginting, M.Sc. No. urut 3 pasangan Indra Sakti
Harahap, S.T., M.Sc.-Dr. Delyuzar, S.P., PA(K). No. urut 4 pasangan H. Bahdin Nur Tanjung, S.E.,
M.M.-Drs. H. Kasim Siyo. No. urut 5 pasangan Drs. H. Joko Susilo-Amir Mirza Hutagalung, S.E. No.
urut 6 pasangan H. Rahudman Harahap-H. Djulmi Eldin. No. urut 7 pasangan Prof. Dr. H.M. Arif
Nasution, M.A.-H. Supratikno W.S., S.E. No. urut 8 pasangan Ir. H. Maulana Pohan, M.M.-H. Ahmad
Arif, S.E.,M.M. No. urut 9 pasangan H. Ajib Shah-Dr. Ir. Binsar Situmorang, M.Si. No. urut 10
pasangan dr. Sofyan Tan-Nelly Armayanti, S.P., M.Sp.
Perubahan sistem pemilihan yang ditetapkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang
berbasis pada perolehan suara telah membuat para caleg mengubah strategi. Sistem perolehan
suara terbanyak mau tidak mau membawa atmosfer kompetisi yang semakin ketat. Tidak hanya
dengan partai lawan, tetapi juga dengan rekan separtai kekuatan figur menjadi sangat penting. Salah
satu cara memperkenalkan figur tersebut melalui berbagai atribut kampanye yang dianggap simbol
reprentasi calon legislatif. Meskipun tidak memberikan pengaruh signifikan, nyatanya baliho
digunakan para caleg untuk mencitrakan dirinya dengan menggunakan kata-kata atau gambar yang
unik. Strategi berkomunikasi untuk menyampaikan pesan dan menarik perhatian rakyat menjadi
prioritas utama bagi para juru kampanye.
Kajian implikatur dianggap penting karena terikat konteks untuk menjelaskan maksud
implisit dari tindak tutur penuturnya. Dengan demikian praanggapan lawan tutur bermacam-macam
bergantung pada referensi dan pemahaman konteks yang dimilikinya untuk membuat inferensi
terhadap implikatur dari seseorang penutur. Untuk memahami bentuk-bentuk bahasa yang
implikatif perlu adanya pengkajian dan analisis yang mendalam. Selain itu, dalam mengkaji dan
menganalisis memerlukan kepekaan dengan konteks yang melingkupi peristiwa kebahasaan itu,
supaya maksud terselubung di balik wacana kampanye politik benar-benar dimengerti oleh
masyarakat.
Dengan melihat secara khusus teks-teks yang digunakan dalam wacana kampanye politik
saat ini, kita dapat membangun kesimpulan tentang kedudukan bahasa dalam kampanye tersebut.
Bahasa-bahasa dalam wacana kampanye politik tersebut berdiri sebagai sesuatu yang harus dibaca
dan dilihat. Kata-kata tersebut memberi kita ide dan visi baru yang mempengaruhi cara berpikir kita.
Untuk dapat mempengaruhi pembaca, wacana kampanye politik biasanya ditampilkan dengan suatu
gaya pengungkapan yang khas. Kekhasan dari wacana kampanye itu sangat menarik.
Dalam memahami implikatur dalam wacana kampanye politik pemilihan calon Walikota dan
Wakil Walikota Medan periode 2010-2015 ini, pembaca sangat terbantu dengan adanya ilustrasi
gambar dengan berbagai karakter , ukuran dan penguatan kata-kata. Kedudukan gambar cukup
penting dalam menarik perhatian khalayak karena lebih mudah diingat daripada kata-kata yang
mempunyai banyak maksud yang bisa digali didalamnya. Dan salah satu kekhasan gambar adalah
sebagai alat ungkap pesan secara visual menawarkan kesempatan luas untuk didayagunakan sebagai
alat memperjelas pesan, mudah dimengerti, menarik perhatian dalam rangka mengajak sesuatu
maksud atau gagasan kepada khalayak.
Dengan demikian, aspek desain komunikasi visual dalam rangkaian wacana kampanye
politik pemilihan calon Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010-2015 merupakan upaya
persuasif bersifat mengajak, menginformasikan, menegaskan, dan menyuruh atau memerintah.
Sedangkan tujuannya adalah untuk mempengaruhi pembaca, merangsang perhatian, menimbulkan
tindakan, merangsang tindakan, supaya memilih sesuai dengan kehendak khalayak.
Grice (1967 dalam Soemarmo, 1988:170) mengemukakan bahwa untuk dapat menggunakan
bahasa secara efektif dan efisien diperlukan kaidah penggunaan bahasa. Kaidah ini terdiri dari 2
pokok, yaitu: (1) prinsip koperatif yang menyatakan “katakan apa yang diperlukan pada saat
terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu.” (2) empat maksim
percakapan yang terdiri dari maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim
pelaksanaan. Beliau juga menyatakan, apabila salah satu dari empat maksim tersebut tidak dipatuhi
berarti sipembaca bermaksud menyatakan sesuatu dibalik yang diucapkannya. Dengan demikian,
ucapan tersebut mempunyai implikatur karena mempunyai maksud dibalik ucapan itu (Lubis, 1993:
74)
Wacana kampanye politik ini jelas mengandung implikatur dan hal ini sangat menarik. Untuk
menemukan implikatur yang terdapat pada suatu ujaran dibutuhkan kaidah pertuturan. Kaidah
tersebut terdiri dari: (1) penentuan makna dasar dari ucapan itu, (2) penentuan implikaturnya yang
terdiri dari penganutan prinsip kooperatifnya, nilai evaluatifnya dan kemungkinan kesimpulannya
(Siregar, 1997:39)
Bentuk wacana kampanye politik pemilihan calon Walikota dan Wakil Walikota Medan
periode 2010-2015 pada media luar ruang seperti baliho juga tidak terlepas dari tindak tutur. Dalam
menelaah implikatur harus benar-benar disadari pentingnya konteks ucapan tuturan. Tuturan
wacana kampanye politik pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan, periode 2010-2015
memiliki keunikan tersendiri dan sangat menarik untuk diteliti karena banyak pesan-pesan yang
dapat diungkapkan di dalamnya. Dengan alasan inilah peneliti tertarik untuk mengangkat “Implikatur
dalam Wacana Kampanye Politik Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan Periode 2010-2015”
sebagai judul penelitian.
1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Implikatur apa sajakah yang terdapat dalam wacana kampanye politik pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota Medan, periode 2010-2015?
2. Tindak tutur apa sajakah yang terdapat dalam Wacana Kampanye Politik Pemilihan Walikota dan
Wakil Walikota Medan, periode 2010-2015?
1.2.1 Batasan Masalah
Suatu penelitian harus dibatasi supaya terarah dan tujuannya tercapai. Ruang lingkup
penelitian ini terbatas pada analisis pragmatik yang meliputi implikatur dan tindak tutur yang
terdapat dalam wacana kampanye politik pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan, periode
2010-2015. Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah wacana kampanye politik yang
penulis batasi hanya pada media cetak khususnya baliho. Sedangkan data yang digunakan untuk
analisis, penulis batasi mulai rangkaian periode yaitu tahun 2010.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Menentukan implikatur yang terdapat dalam Wacana Kampanye Politik Pemilihan Walikota
dan wakil Walikota Medan, periode 2010-2015.
2. Menentukan dan menganalisis jenis-jenis tindak tutur dalam Wacana Kampanye Politik
Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010-2015.
1.4 Manfaat
Penelitian ini memiliki manfaat baik untuk diri peneliti sendiri maupun orang lain, adapun
manfaat yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah :
1. Memberikan pengalaman tersendiri bagi peneliti dengan mengetahui implikatur dalam
wacana kampanye politik pemilihan calon Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010
– 2015.
2. Menambah sumber bacaan, memperkaya ilmu pengetahuan dan dapat digunakan sebagai
bahan perbandingan kepada peneliti-peneliti lainnya yang ingin menganalisis tentang
implikatur dalam sebuah wacana kampanye politik.
3. Memberikan sumbangan pikiran untuk pengajaran Pragmatik Indonesia, khususnya bidang
implikatur dalam sebuah wacana kampanye politik.
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep adalah: 1 rancangan atau buram surat, dsb. 2 ide atau pengertian yang diabstrakkan
dari peristiwa konkret: satu istilah dapat mengandung dua – yang berbeda; 3 gambaran mental dari
obyek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk
memahami hal-hal lain (KBBI, 1988:546).
Untuk memahami hal-hal yang ada dalam penelitian ini diperlukan beberapa konsep, yaitu
konsep implikatur dan konsep wacana kampanye politik.
2.1.1 Konsep Implikatur
Implikatur merupakan satu kajian bidang ilmu Pragmatik. Implikatur adalah ujaran atau
pernyataan yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan atau
dengan kata lain tuturan yang disampaikan itu dicakup dalam dua bagian yaitu apa yang
disampaikan (makna dasar) dan apa yang diimplikasikan (makna lain/implikaturnya).
2.1.2 Konsep Wacana Kampanye Politik
Wacana adalah kesatuan tutur yang merupakan; satuan bahasa terlengkap yang
direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh seperti novel, buku, artikel, pidato atau
kotbah (Alwi, dkk. 2003:1265). Wacana merupakan penggunan bahasa dalam komunikasi baik lisan
maupun tulisan (Yule, 1996:143). Wacana yang dimaksud adalah satu kesatuan semantik bukan
kesatuan gramatikal. Kesatuannya dilihat dari kesatuan maknanya bukan dari bentuknya (morfem,
klausa, kata atau kalimat).
Kampanye politik merupakan proses menyampaikan pesan-pesan politik yang salah satu
fungsinya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Setiap partai politik selalu berusaha
menemukan cara-cara paling efektif untuk merekrut massa sebanyak-banyaknya. Salah satu cara
merekrut massa tersebut adalah melalui pesan-pesan politik dari para kandidat. Pesan-pesan
tersebut semakin bervariasi baik bentuknya maupun media yang digunakan. Media iklanlah yang
paling banyak dipilih oleh para kandidat. Media iklan tersebut diantaranya media cetak, media
elektronik, dan media luar ruang seperti baliho, spanduk, poster, dll. Cara memperkenalkan figur
tersebut melalui berbagai atribut kampanye yang dianggap sebagai simbol reprentasi caleg dengan
menggunakan kata-kata atau gambar yang unik untuk menarik perhatian masyarakat.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pragmatik
Menurut Yule, pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna yang
dikehendaki sipenutur (dalam Cahyono, 1955:213). Dalam pragmatik juga dilakukan kajian tentang
deiksis, praanggapan, implikatur, inferensi, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana
(Levinson, 1983 dalam Soemarmo, 1988:169).
Dalam penelitian ini, pembicaraan mengenai kajian pragmatik lebih dibatasi pada implikatur
tindak tutur yang merupakan bagian dari suatu tuturan, dan konteks yang mempunyai peranan
penting dalam situasi tuturan.
2.2.2 Implikatur
Menurut Gunpers (dalam Lubis, 1991:68), inferensi (implikatur) adalah proses interpretasi
yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Selalu benar apa yang dimaksud oleh sipembicara tidak
sama dengan apa yang ditanggap oleh sipendengar sehingga terkadang jawaban si pendengar tidak
dapat atau sering juga terjadi si pembicara mengulangi kembali ucapannya mungkin dengan cara
atau kalimat yang lain supaya dapat ditanggapi oleh si pendengar
Hal yang memungkinkan berlangsungnya situasi percakapan seperti di atas dikuasai oleh
satu hukum atau kaidah pragmatik umum yang menurut H. Paul grice (1967 dalam Soemarmo,
1988:171) disebut kaidah penggunaan bahasa. Kaidah ini mencakup peraturan tentang bagaimana
percakapan dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Kaidah ini terdiri dari 2 pokok, yaitu: (1)
prinsip koperatif yang menyatakan “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan
itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu.” (2) empat maksim percakapan yang terdiri dari
maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.
Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya.
Konstribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Misalnya
seorang harus mengatakan bahwa Indonesia adalah ibukota Jakarta, bukan kota-kota yang lain
kecuali kalau benar-benar tidak tahu. Akan tetapi, bila terjadi hal yang sebaliknya, tentu ada alasan-
alasan mengapa hal demikian bisa terjadi.
Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan konstribusi yang
secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya.
Contoh:
(4) Tetangga saya hamil
(5) Tetangga saya yang perempuan hamil
Ujaran (4) di atas lebih ringkas, juga tidak menyimpang nilai kebenaran (truth value). Setiap orang
tentu mengetahui bahwa wanitalah yang mungkin hamil. Dengan demikian, elemen yang
perempuan dalam tuturan (5) sifatnya berlebihan. Kata hamil dalam (4) sudah menyarankan tuturan
itu. Kehadiran yang perempuan dalam (5) justru menerangkan hal-hal yang sudah jelas. Hal ini
bertentangan dengan maksim kuantitas.
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan konstribusi yang
relevansi dengan masalah pembicaraan.
Contoh:
(6) + Ani, ada telepon untuk kamu.
- Saya lagi di belakang, Bu!
Jawaban (-) pada (6) di atas sipintas tidak berhubungan, tetapi bila diamati, hubungan
implikasionalnya dapat diterangkan. Jawaban (-) pada (6) mengimplikasikan bahwa saat itu ia tidak
dapat menerima telepon itu. Fenomena (6) mengisyaratkan bahwa fenomena relevansi tindak ucap
peserta konstribusinya tidak selalu terletak pada makna ujarannya, tetapi memungkinkan pula pada
apa yang diimplikasikan ujaran itu
Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung,
tidak takabur, tidak taksa, dan tidak belebihan serta runtut.
Contoh:
(7) + let’s stop and get something to eat!
- Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S!
Dalam (7) tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara langsung, yakni dengan mengeja satu per satu kata
Mc Donalds penyimpangan ini dilakukan karena ia tidak menginginkan anaknya yang sangat
menggemari makanan itu mengetahui maksudnya.
Salah satu pegangan atau kaidah percakapan ialah bahwa pendengarnya menganggap
bahwa pembicaraanya mengikuti dasar-dasar atau maksim di atas. Apabila terdapat tanda-tanda
bahwa salah satu dasar atau maksim tersebut tidak diikuti, maka ucapan itu mempunyai implikatur
(Siregar 1997:30)
Contoh:
A. Nasinya sudah masak. Implikaturnya adalah silakan dimakan.
B. Saya punya sepeda. Implikaturnya adalah sepeda saya boleh Anda pakai.
Kalimat-kalimat di atas mempunyai implikatur karena keduanya tidak sesuai dengan maksim
kuantitas (sesuatu yang jelas masih dinyatakan). Jadi, pendengarnya harus memutuskan bahwa ada
makna lain dibalik ucapan itu. Dan karena disetiap percakapan kita harus menganggap bahwa prinsip
kooperatifnya selalu diikuti, maka tugas pendengarnya adalah menetapkan atau mengolah ucapan
itu untuk menentukan makna dibaliknya dengan mempergunakan kaidah-kaidah yang ada
2.2.3 Tindak Tutur
Menurut Searle, dalam komunikasi bahasa terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa
komunikasi bahasa bukan sekedar lambang, kata, atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila
disebut produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku atau tindak tutur.
Lebih tegasnya, tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan
merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa. Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat
berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah, tindak tutur dapat pula berwujud pernyataan,
pertanyaan, dan perintah (dalam Rani, 2004:158)
Teori tindak tutur dikemukakan oleh John R. Searle (1983) dalam bukunya Speech Acts: An
Essay in the Philosophy of Language. Ia membagi praktik penggunaan bahasa menjadi tiga macam
tindak tutur, yaitu:
1. Tindak ‘lokusi’ yang mengaitkan suatu topik dengan satu keterangan dalam ungkapan, serupa
dengan hubungan ‘pokok’ dengan ‘predikat’ atau ‘topik’ dan penjelasan dalam sintaksis. Dalam
tindak ini tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan sipenutur, tetapi
bermaksud untuk memberi tahu petutur (dalam Lubis, 1991:9)
Contoh: Saya lapar, seseorang mengartikan Saya sebagai orang pertama tunggal (sipenutur), dan
lapar mengacu ke ‘perut yang kosong dan perlu diisi’, tanpa bermaksud untuk meminta makanan.
2. Tindak ‘ilokusi’ yaitu tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu. Pada tindak
tutur ini, penutur mengucapkan kalimat bukan dimaksudkan untuk memberi tahu penutur saja,
tetapi ada keinginan petutur melakukan tindakan.
Contoh: Saya lapar yang maksudnya adalah meminta makanan merupakan suatu tindak ilokusi.
Begitu juga kalimat “ Saya mohon bantuan Anda” bukan hanya suatu pernyataan saja, tetapi
maksudnya adalah si penutur benar-benar meminta bantuan.
3. Tindak ‘perlokusi’ yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai
dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu (Nababan, 1989:18, dalam Lubis, 1993:9)
Contoh: darikalimat Saya lapar yang dituturkan oleh sipenutur menimbulkan efek kepada pendengar
yaitu dengan memberikan atau menawarkan makanan kepada penutur.
Dalam ilmu bahasa dapat kita samakan tindak lokusi itu dengan “predikasi”, tindak ilokusi
dengan ‘maksud kalimat’ dan tindak perlokusi dengan ‘akibat suatu ungkapan’. Atau dengan kata
lain dapat kita katakan bahwa lokusi adalah makna dasar atau referensi kalimat itu, ilokusi sebagai
daya yang ditimbulkan oleh pemakainya sebagai perintah, ejekan, keluhan, pujian, dan lain-lain.
Perlokusi adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya
Kalimat: Nilai raportmu bagus sekali!
Dari segi lokusi, ini hanya sebuah pernyataan bahwa nilai raport itu bagus (makna dasar). Dari segi
ilokusi, dapat berupa pujian atau ejekan. Pujian kalau nilai raportnya memang bagus, dan ejekan
kalau nilainya tidak bagus. Dari segi perlokusi dapat membuat pendengar itu menjadi sedih (muram)
dan sebaliknya dapat mengucapkan terima kasih.
Ucapan yang tidak langsung itu tidak menyatakan pujian atau ejekan, tetapi mengharuskan
si pedengar mengolahnya sehingga makna yang sebenarnya dapat ditentukannya.
Jadi, kalimat: nilai raportmu bagus sekali bermakna dasar sebuah raport bernilai bagus.
Prinsip kooperatifnya di sini dijalankan karena sipembicara menyatakan sesuai dengan tujuan
pembicara itu. Dari segi evaluatifnya dapat dikatakan sebagai berikut: si pembicara menyatakan
sesuatu dengan terang dan jelas dan ini biasanya mempunyai makna dibalik ujaran tersebut.
Dalam hal ini, konteks dan penuturnya memegang peranan untuk menyatakan nilai
evaluatifnya. Jika yang menyatakan itu adalah orang tua kepada anaknya yang menunjukkan
raportnya dan air muka orang tua itu tidak jernih, maka jelas daya ilokusi pernyataan itu adalah
kekesalan. Kesimpulan ini menentukan bagaimana respon si pendengar atau anak yang mempunyai
raport tersebut. Ia mungkin akan menyatakan bahwa guru-gurunya tidak jujur atau juga mungkin
hanya merasa sedih atau mungkin juga dapat menangis, atau ia menyatakan akan berusaha sekuat
mungkin. Dan inilah nilai perlokusi.
Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam lima kategori, yakni:
1. Representatif atau assertif yaitu ilokusi yang bertujuan menyatakan, mengusulkan, membual,
mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan.
2. Direktif yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh
penutur, misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat
3. Komisatif yaitu ilokusi yang terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya menjanjikan,
menawarkan.
4. Ekspresif yaitu ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur
terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan
selamat, memberi maaf, mengecam, menuduh, memuji, mengucapkan belasungkawa dan
sebagainya.
5. Deklaratif yaitu menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan, misalnya
mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan
atau membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya.
2.2.4 Konteks
Konteks berasal dari bahasa latin ‘contexere’ yang berarti ‘menjalin bersama’. Kata konteks
merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan yang berhubungan dengan
dirinya, yang terjalin bersama.
Hymes (1972, dalam Chaer, 1995:62), sorang pakar linguistik terkenal mengatakan bahwa suatu
peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan
menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah:
1. S (Setting and Scane).
2. P (Participants).
3. E (Ends), merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.
4. A (Act sguence), mengacu kepada bentuk ujaran dan isi ujaran.
5. K (Keys), mengacu pada nada, cara dan semangat dimana suatu pesan disampaikan dengan senang
hati, serius, mengejek, bergurau.
6. I (Instrumentalities),
7. N (Norm of interaction and interpretation), mengacu pada tingkah laku yang khas dan sikap yang
berkaitan dengan peristiwa tutur.
8. G (Genres), mengacu pada jenis penyampaian.
Setting berkenaan dengan tempat dan waktu tuturan berlangsung, sedangkan scane mengacu
pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat dan situasi
tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di
lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu
berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam
keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras, tetapi di ruang
perpustakaan harus seperlahan mungkin.
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan
pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-
cakap dapat berganti peran sebagai pembicara dan pendengar, tetapi dalam khotbah di mesjid,
Khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial
partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan
menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda apabila berbicara dengan orang tua atau
gurunya bila dibandingkan kalau ia berbicara dengan teman sebayanya.
Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang
pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara, namun para partisipan di dalam
peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa,
pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha
memberikan keputusan yang adil. Dalam peristiwa tutur di ruang kajian linguistik, dosen yang cantik
itu berusaha menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami mahasiswanya, namun mungkin ada
diantara para mahasiswa datang hanya untuk memandang wajah ibu dosen yang cantik itu.
Act Sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan
dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan apa hubungan antara apa yang
dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa,
dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.
Keys mengacu pada nada, cara dan semangat di mana suatu pesan disampaikan: dengan
senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya.
Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.
Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis,
melalui telegraf atau telepon. Instrumentatalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang
digunakan, seperti bahasa, ragam dialek atau register.
Norms of interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam
berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya dan sebagainya. Juga
mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.
Genres mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan
sebagainya.
2.3 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada sejumlah sumber yang relevan
untuk dikaji dalam penelitian ini. Adapun sumber tersebut adalah seperti berikut.
Wijana (2001) meneliti implikatur dalam wacana pojok. Dia menyimpulkan tentang fakta
bahwa sebuah tuturan khususnya tuturan yang diutarakan untuk maksud mengritik, mengecam,
memberikan cara-cara dengan sopan, seperti halnya wacana pojok dikreasikan sedemikian rupa
dengan tuturan-tuturan yang berimplikatur. Dalam hal ini kajian pragmatik harus memberikan
kepastian konteks agar semakin sempit atau terbatas kemungkinan implikatur yang dapat
ditimbulkan oleh sebuah tuturan.
Dewana (2001), dalam skripsinya Pasangan Bersesuaian dalam Wacana Persidangan
(Analisis Implikatur Percakapan). Dia menyimpulkan tentang penerapan prinsip kerja sama serta
empat maksim percakapan pasangaan bersesuaian yang terdapat pada analisis implikatur
percakapan dalam wacana persidangan adalah pola panggilan-jawaban, pola permintaan
pemersilahan-penerimaan, pola permintaan informasi-pemberian, pola penawaran-penerimaan,
pola penawaran-penolakan.
Anina (2006) meneliti tentang implikatur percakapan dalam wacana humor berbahasa
Indonesia. Dia menyimpulkan bahwa wacana humor berbahasa Indonesia memilki karakteristik
wujud lingual implikatur percakapan seperti kalimat deklaratif, interogatif, imperatif. Selain itu,
implikasi pragmatis implikatur percakapan dalam wacana humor berbahasa Indonesia memiliki
fungsi menghibur, menyindir, memerintah, dan mengejek.
Dari uraian di atas, penelitian terhadap implikatur dalam wacana khususnya wacana
kampanye politik masih sedikit. Oleh karena itu, pada kesempatan ini akan diteliti bagaimana bentuk
implikatur dalam Wacana Kampanye Politik Pemilihan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota
Medan periode 2010-2015 dan pesan-pesan apa yang tersirat dibalik konteks yang dituturkan.
Diposkan oleh HUT_DO_PI di 03.26
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
http://hutdopi08.blogspot.com/2013/06/wacana-kampanye.html