View
944
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kumpulan data terkait implikatur
http://ali-sahdi.blogspot.com/2013/02/makalah-kerjasama-implikatur-dalam.html
Senin, 18 Februari 2013
MAKALAH KERJASAMA IMPLIKATUR DALAM PRAGMATIK
MAKALAH KERJASAMA IMPLIKATUR DALAM PRAGMATIK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi adalah hal mendasar yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Hal tersebut muncul dan berkembang seiring dengan besarnya manfaat komunikasi yang
didapatkan manusia. Manfaat tersebut berupa dukungan identitas diri, untuk membangun kontak
sosial dengan orang di sekitar kita, baik itu lingkungan rumah, sekolah, kampus maupun
lingkungan kerja (Mulyana, 2001: 4).
Selain itu, komunikasi digunakan untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan
orang lain. Jadi, komunikasi dapat berkembang dengan bertukarnya informasi yang dimiliki oleh
setiap manusia. Tindakan komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Ada yang
dilakukan secara langsung seperti percakapan tatap muka dan yang dilakukan secara tidak
langsung seperti komunikasi lewat medium atau alat perantara seperti surat kabar, majalah,
radio, film, dan televisi. Media televisi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
peradaban kehidupan manusia, hampir dalam keseharian manusia selalu berhubungan dengan
media komunikasi massa yang paling berpengaruh ini.
Ketika menginginkan informasi, manusia dapat menonton siaran berita di televisi, juga
ketika orang ingin memperoleh hiburan, maka televisi selalu dapat menyajikan tayangan-
tayangan hiburan yang menarik. Dengan menonton televisi maka akan banyak hal baru yang
dapat diketahui manusia. Singkat kata, kini manusia hidupnya sudah sangat bergantung dengan
media televisi. Siaran televisi telah memungkinkan masyarakat luas dapat dengan cepat dan
mudah mengetahui berbagai perkembangan mutakhir yang terjadi di berbagai penjuru dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pragmatik
Istilah pragmatik sebagaimana kita kenal saat ini diperkenalkan oleh seorang filosof yang
bernama Charless Morris tahun 1938. Ketika ia membicarakan bentuk umum ilmu tanda
(semiotic). Ia menjelaskan dalam (Levinson, 1983:1) bahwa semiotik memiliki tiga bidang
kajian, yaitu sintaksis (syintax), semantik (semantics), dan pragmatik (pagmatics). Sintaksis
merupakan kajian lingustik yang mengkaji hubungan formal antar tanda. Semantik adalah kajian
linguistik tentang hubungan tanda dengan orang yang menginterpretasikan tanda tersebut.
Sejak itulah, pragmatik mengalami dua perkembangan makna yang berbeda. Di satu sisi
pragmatik dengan konsep sebagaimana yang dimaksudkan oleh Morris di atas tetap
dipertahankan. Di sini istilah pragmatik digunakan dalam berbagai judul buku yang membahas
masalah-masalah yang beragam seperti psikopatologi komunikasi dan evolusi sistem simbol. Di
sisi lain, istilah pragmatik mengalami penyempitan makna. Dalam hal ini seorang Filosof
sekaligus ahli logika yang bernama Carnap mengatakan bahwa apabila di dalam suatu penelitian
terdapat rujukan yang konkret terhadap pembicara atau dalam istilah yang lebih umum, terhadap
pengguna bahasa, maka dia menetapkan bahwa penelitian tersebut berada dalam bidang kajian
pragmatik. Kemudian dalam perkembangan berikutnya, oleh Levinson (1983) pengertian
tersebut dianggap terlalu sempit dan ekslusif; dan oleh karenanya pengertian tersebut
dimodifikasi menjadi kajian bahasa yang bereferensi atau berhubungan dengan faktor dan aspek-
aspek kontekstual.
Pembahasan pragmatik menurut Joko Nurkamto, pragmatik yang sekarang berkembang pada
umumnya mengacu pada pengertian yang kedua dari di atas. Dalam hal ini Levinson (1983:21-
24) menjelaskan kurang lebih tujuh pengertian pragmatik. Dan diantaranya adalah sebagai
berikut:
Pertama, “Pragmatics is the study of the relation between language and context that are basic to
an account of language understanding”. Pengertian inimenunjukkan bahwa untuk memahami
makna bahasa orang seorang penutur dituntuk untuk tidak saja mengetahui makna kata dan
hubungan gramatikal antar kata tersebut tetapi juga menarik kesimpilan yang akan
menghubungkan apa yang dikatakan dengan apa yang diasumsikan, atau apa yang telah
dikatakan sebelumnya.
Kedua, “Pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with the
contexts in which they would be appropriate”. Pengertian kedua ini lebih menekankan pada
pentingnya kesesuaian antara kalimat-kalimat yang diujarkan oleh pengguna bahasa dengan
konteks tuturannya.
Ada dua hal penting yang perlu di cermati dari pengertian pragmatik di atas, yaitu penggunaan
bahasa dan konteks tuturan. Penggunaan bahasa di sini menyangkut fungsi bahasa (language
functions). Untuk apa orang menggunakan bahasa? Beberapa ahli menjelaskan fungsi bahasa
tersebut. Di antaranya adalah Van Ek dan Trim (1991), yang mengkategorikan fungsi bahasa
menjadi 6 (enam) macam yaitu: 1) menyampaikan dan mencari informasi faktual, 2)
Mengekspresikan dan mengubah sikap, 3) Meminta orang lain berbuat sesuatu, 4) Sosialisasi, 5)
Membangun wacana, dan 6) Meningkatkan keefektifan komonikasi.
Masing-masing kategori tersebut di atas, dijabarkan kedalam beberapa subkategori yang lebih
rinci dan praktis. Fungsi pertama, misalnya, dijabarkan menjadi 5 (lima) sub-kategori, yaitu: 1)
mengidentifikasi/mendefinisis, 2) melaporkan, mendeskripsikan atau menceritakan, 3)
mengoreksi, 4) bertanya.
Adapun masalah konteks, menurut Dell Hymes (dalam James, 1980), meliputi 6 (enam)
dimensi, yaitu: 1) tempat dan waktu (setting), seperti ruang kelas, di masjid, di ma’had, di
perpustakaan, dan di warung makan, 2) pengguna bahasa (participants), seperti dokter dengan
pasien, ustadz dan santri, penjual dengan pembeli, 3) topik pembicaraan (content) seperti politik,
seks, pendidikan, kebudayaan, 4) tujuan (purpose) seperti bertanya, menjawab, memuji,
menjelaskan, mengejek, dan menyuruh, 5) nada (key) seperti humor, marah, ironi, sarkasme, dan
lemah lembut, dan 6) media/saluran (channel) seperti tatap muka, melalui SMS, melalui telepon,
melalui surat, E-mail, dan, melalui tangan.
Dimasukkannya konteks dalam memahami dan atau menghasilkan ujaran dimaksudkan
untuk membangun prinsip-prinsip kerjasama dan sopan santun dalam proses komunikasi,
sehingga tujuan komunikasi dapat dicapai secara efektif. Konteks itu sendiri terkait erat dengan
budaya, yang berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Apa yang dianggap sebagai topik
pembicaraan yang wajar oleh masyarakat Arab misalnya, mungkin dianggap sebagai topik
pembicaraan yang absurd oleh masyarakat Indonesia, atau sebaliknya. Oleh karena itu,
pengertian pragmatik yang diberikan oleh Levinson di atas, menurut hemat penulis, pada
prinsipnya memberikan kerangka umum tentang bagaimana berkomunikasi secara tepat dan
efektif dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Kenyataan bahwa konteks itu bisa
berbeda-beda dari masyarakat satu ke masyarakat lain, dan hal ini tidak menjadi fokus bahasa
Levinson.
Itulah sebabnya, Leech (1983) lebih suka menggunakan istilah Pragmatik umum (general
pragmatics) untuk mengacu pada kajian tentang kondisi umum penggunaan bahasa untuk
komunikasi. Ia mendasarkan gagasannya pada kenyataan bahwa prinsip kerjasama dan sopan
santun dalam berkomunikasi berlaku secara berbeda–beda dalam setiap masyarakat.
Dalam pragmatik umum sama sekali tidak mengatur masalah itu. Bahkan menurut Leech, hal-hal
yang bersifat lokal dan situasional dapat diatur dalam sosiopragmatik (sociopragmatics) dan
pragmalinguistik (pragmalinguistics), karena kedua bidang ini merupakan cabang dari pragmatik
umum. Sosio-pragmatik yang telah dikelaskan Leech (1983) memiliki kesamaan dengan istilah
yang oleh Michael Canale (1983) di sebut dengan ketepatan isi (appropriateness in meaning),
yaitu sejauh mana fungsi komunikasi tertentu, sikap dan gagasan dianggap tepat sesuai dengan
situasi yang berlaku. Hal ini berhubungan erat dengan aspek sosiologi.
Sebagai ilustrasi, membicarakan pesta ulang tahun yang penuh dengan kegembiraan dengan
teman-temannya pada saat menjenguk orang sakit keras di rumah sakit, hal ini secara konteks
tuturan jelas tidak tepat. Sementara itu, pragmalinguistik menurut Leech kurang lebih sama
dengan ketepatan bentuk (appropriateness in form) menurut Canale. Hal ini mengacu pada
sejauh mana makna bahasa direpresentasikan ke dalam bentul verbal atau non verbal yang sesuai
dengan konteks pembicaraan. Ini terkait erat dengan dengan tata bahasa yang sesuai dengan
konteks pembicaraan. Sebagai contoh, seorang mahasiswa UIN yang berterima kasih kepada
dosennya dengan hanya mengucapkan trims, atau memanggil Dosen /Ustadz hanya dengan
menggunakan kata sapaan ”Boss” biasanya di lingkungan UIN hal itu dianggap tidak sopan.
Seyogyanya ia mengatakan, sekurang-kurangnya terima kasih Pak/Bu (Sykron Ustadz...) atau
”Jam berapa Ustadz?” dan lain-lain. Dengan kata lain, sosio-pragmatik ini sangat berkaitan
dengan apa yang harus dikatakan dalam situasi tertentu, sedangkan pragmalinguistik berkenaan
dengan bagaimana seorang penutur dapat mengatakan secara tepat.
Menurut Leech (1983:11) pragmatik umum, sosio-pragmatik, dan pragmalinguistik memiliki
hubungan yang sinergis, hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Seorang pemerhati linguistik, Jenny Thomas (1983) dalam artikelnya yang berjudul
Cross cultural failure, mencoba membahas kegagalan pragmalinguistik dan kegagalan
sosiopragmatik. Menurutnya, kegagalan pragmalinguistik pada dasarnya berkaitan dengan
masalah bahasa, yang disebabkan oleh berbagai macam perbedaan penyandian fungsi bahasa;
sedangkan kegagalan sosiopragmatik berkenaan dengan prilaku bahasa yang disebabkan oleh
kurangnya pengertian lintas budaya (cross Culture). Oleh karena itu, apabila ada orang Indonesia
yang mengajukan pertanyaan kepada orang Arab yang baru pertama kali ditemuinya dengan
pertanyaan “Hal ‘indak al fulus?” (Apakah anda punya uang?) misalnya, maka orang itu
dianggap telah gagal berkomunikasi dalam kaitannya dengan aspek sosio-pragmatik, bukan pada
aspek pragmalinguistik, karena secara tata bahasa kalimat di atas tidak salah. Dalam contoh di
atas, bukan bahasanya yang salah tetapi pertanyaannya yang kurang tepat karena kurang sesuai
dengan konteks dan situasi tutuannya.
B. Sejarah Perkembangan Pragmatik
Sampai saat ini, kajian pragmatik sangat dikenal dalam dunia linguistik. Meskipun
sebelumnya, di era 70-an banyak para linguis yang memperlakukan diskriminatif terhadap kajian
pragmatik ini bahkan hampir tidak pernah membahasnya. Namun pada saat ini, banyak para
linguis yang berpandangan bahwa mustahil bagi pemakai bahasa dapat mengerti secara baik
sifat-sifat bahasa yang mereka gunakan dalam berkomunikasi tanpa mengerti hakekat pragmatik,
yaitu bagaimana bahasa sebagai alat komunikasi dapat digunakan sebagaimana mestinya.
Senada dengan hal di atas, Joko Nurkamto (2000) menjelaskan bahwa kajian di bidang
pragmatik mulai berkembang pada tahun 1971, yang ditandai dengan diterbitkannya Journal of
Pragmatics yang memuat persoalan-persoalan pragmatik. Sebuah organisasi bernama IPRA
(International Pragmatics Association) didirikan, dan beberapa konferensi tentang masalah
pragmatik diselenggarakan (Soemarmo, 1988). Munculnya minat di bidang pragmatik tersebut
dipicu oleh beberapa alasan, salah satu di antaranya bersifat historis. Dalam hal ini Levinson
(1983:35) mengatakan bahwa “the interest developed in part as a reaction or antidote to
Chomsky’s treatment of language as abstract devise, or mental ability, dissociable from the
users, user and function of language..” sebagaimana diketahui, Chomsky (1965: 1) mengatakan
bahwa teori linguistik berkenaan terutama dengan “an ideal speaker-listener, in a completely
homogeneous speech-community, who knows its language perfectly and is unaffected by such
grammatically irrelevant conditions as memory limitations, distructions, shifts of attention and
interest, and error in applying his knowledge of the language in actual perfomance.”
Disamping itu, terdapat sejumlah motivasi yang menyebabkan berkembangnya teori
pragmatik. Salah satu yang paling penting adalah kemungkinan bahwa pragmatik dapat
menyebabkan penyederhanaan semantik. Harapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa prinsip-
prinsip pragmatik penggunaan bahasa dapat lebih memahami makna ujaran yang tidak dapat
secara tuntas dapat dipahami dari makna harfiahnya (semantics) saja. Faktor lain yang bersifat
substansial adalah adanya kesenjangan antara teori bahasa yang berkenaan dengan pembentukan
sejumlah rumus/pola tertentu untuk dapat menghasilkan kalimat-kalimat yang jumlahnya tidak
terbatas, orang mungkin berkesimpulan bahwa teori tersebut dapat memberikan pencerahan
tentang bagaimana berkomunikasi dengan menggunakan bahasa.
Namun, ketika Ia menemukan kenyataan bahwa makna bahasa hanya dibatasi pada aspek
semantik, bukan kepuasan yang ditemuinya melainkan kekecewaan. Diakui bahwa semantik
sangat penting dalam komunikasi, tetapi sumbangannya dapat dikatakan kecil dalam pemahaman
makna bahasa secara umum. Akhirnya, kemunculan kajian pragmatik juga disebabkan oleh
adanya kemungkinan bahwa penjelasan fungsional yang signifikan dapat diberikan kepada fakta-
fakta linguistik. Lazimnya penjelasan-penjelasan linguistik hanya bersifat internal. Artinya, fitur-
fitur linguistik dijelaskan dengan merujuk pada fitur-fitur linguistik yang lain atau pada aspek-
aspek teori linguistik itu sendiri. Dalam kenyataannya, terdapat kemungkinan penjelasan lain
yang datang dari luar aspek linguistik (Levinson, 1983).
C. Antara Pragmatik dan Semantik
Pragmatik dan semantik keduanya membicarakan makna. Perbedaan keduanya terletak
pada penggunaan kata kerja to mean sebagaimana dalam pertanyaan berikut ini (Leech, 1983).
1. What does X mean? (Apa arti X?)
2. What do you mean by X? (Apa maksudmu dengan X?)
Pada umumnya semantik menganggap makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi
(dyadic), seperti pada kalimat (1) sedangkan pragmatik menganggap makna sebagai suatu
hubungan yang melibatkan tiga segi (triadic), sebagaimana tercermin pada kalimat (2) di atas.
Dengan demikian, dalam pragmatik makna diberi definisi dalam kaitannya dengan penutur,
sedangkan dalam semantik makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan dalam
bahasa tertentu yang terpisah dari penuturnya (Leech, 1983).
Pendapat lain mengatakan bahwa perbedaan antara semantik dan pragmatik terletak pada
konteks. Meskipun antara pragmatik dan semantik memiliki perbedaan namun disisi lain kedua
bagian linguistik ini justru memiliki hubungan yang sinergis dan saling melengkapi walaupun
agak sulit untuk dibuktikan secara obyektif. Namun dalam hal ini menurut Leech (1993:8) dapat
dilakukan suatu pembenaran dengan cara negatif, yaitu dengan menunjukkan kegagalan-
kegagalan atau kelemahan pandangan ini. Pandangan yang lain adalah pertama, penggunaan
makna seperti pada kalimat (1) dan contoh kalimat (2) di atas termasuk bidang semantik. Kedua,
penggunaan makna pada contoh tersebut di atas termasuk bidang pragmatik. Lebih jelasnya
ketiga pandangan tersebut di atas dapat dilihat pada bagan berikut ini:
Berdasarkan bagan di atas, menunjukkan bahwa betapa sulitnya untuk merumuskan
semantisme dan pragmatisme serta meberikan contoh-contonya. Karena itu, menurut Leech
(1993:9) lebih mengacu kepada mereka yang lebih banyak memasukkan kajian makna kedalam
posisi semantisme, dan pragmatisis mengacu kepada mereka yang lebih banyak memasukkan
kajian makna kedalam posisi pragmatisme.
Berdasarkan hal di atas, Joko Nurkamto (2000) menyimpulkan bahwa kajian semantik
cenderung mengkaji makna yang terlepas dari konteks ujaran. Sedangkan pragmatik
membicarakan makna dengan mempertimbangkan konteks ujaran tersebut. Oleh karena itu,
dalam memahami ujaran semisal: “Gadis itu cantik,” semantik hanya mempertimbangkan faktor-
faktor internal bahasa dalan ujaran itu, yaitu kosa kata dan hubungan antar kosa kata itu;
sedangkan pragmatik mempertimbangkan siapa yang mengatakan kalimat itu, di mana, kapan,
dan dalam situasi apa, di samping faktor-faktor internal bahasanya. Bagi semantik, ujaran di atas
hanya berarti pemberitahuan bahwa gadis itu berwajah cantik; namun bagi kajian pragmatik
ujaran di atas dapat berarti ganda, yaitu: pemberitahuan bahwa gadis itu berwajah cantik, anjuran
atau keingnan bagi seorang pemuda untuk mengenali dan mendekatinya, atau yang lebih dari
sekedar itu tergantung pada konteksnya.
Meskipun berbeda, dalam memahami makna suatu ujaran keduanya bekerjasama secara
komplementer. Artinya, makna suatu ujaran tidak dapat hanya didekati dari salah satu satu sisi,
baik semantik maupun pragmatik, melainkan harus dilihat dari keduanya. Dalam contoh di atas,
misalnya, orang tidak akan dapat memahami bahwa ujaran “Gadis itu cantik” berarti anjuran
atau keingnan bagi seorang pemuda untuk mengenali dan mendekatinya (Pragmatics). Apabila ia
tidak memahami makna dasarnya maka hal itu masuk bidang semantik (semantics).
D. Sumber Kajian Pragmatik
Pragmatik sebagai ilmu bersumber pada beberapa ilmu lain yang juga mengkaji bahasa
dan faktor-faktor yang berkaitan dengan penggunaan bahasa ilmu-ilmu itu ialah filsafat bahasa,
sosiolinguistik antropologi, dan linguistik – terutama analisa wacana (discourse analysis)dan
toeri deiksis (Nababan, 1987). Dari filsafat bahasa pragmatik mempelajari tindak tutur (speech
act) dan conversational implicature. Dari sosiolinguistik, pragmatik membicarakan variasi
bahasa, kemampuan komunikatif, dan fungsi bahasa. Dari antropologi pragmatik mempelajari
etika berbahasa, konteks berbahasa, dan faktor non verbal. Dari linguistik dan analisa wacana
dibicarakan lebih dalam pada bagian-bagian selanjutnya.
E. Obyek Kajian Pragmatik
Pada uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa pragmatik mengacu pada kajian
penggunaan bahasa yang berdasarkan pada konteks. Bidang kajian yang berkenaan dengan hal
itu – yang kemudian lazim disebut bidang kajian pragmatic adalah deiksis (dexis), praanggapan
(presupposition), tindak tutur (speech act), dan implikatur percakapan (conversational
inplicature). Masing bidang kajian di atas dibahas secara singkat di bawah ini:
Deiksis (Dexis)
Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat
ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan konteks pembicaraan (Hasan Alwi, dkk.,
1998). Kata saya, sini, sekarang, misalnya, tidak memiliki acuan yang tetap melainkan bervariasi
tergantung pada berbagai hal. Acuan dari kata saya menjadi jelas setelah diketahui siapa yang
mengucapkan kata itu. Kata sini memiliki rujukan yang nyata setelah di ketahui di mana kata itu
di ucapkan. Demikian pula, kata sekarang ketika diketahui pula kapan kata itu diujarkan.
Dengan demikian kata-kata di atas termasuk kata-kata yang deiktis. Berbeda halnya dengan kata-
kata seperti meja, kursi, mobil, dan komputer. Siapapun yang mengatakan, di manapun, dan
kapanpun, kata-kata tersebut memiliki acuan yang jelas dan tetap.
Bayangkan, ketika seorang mahasiswa UIN mendapati tulisan di sebuah mikrolet jurusan
GL/LG, yang bertuliskan hari ini bayar, besok gratis. Demikian pula di dalam sebuah warung
makan di sekitar tempat kos mahasiswa, dijumpai sticker yang bertuliskan Hari ini bayar, besok
boleh ngutang. Ungkapan-ungkapan di atas memiliki arti hanya apabila diujarkan oleh sopir
mikrolet di hadapan para penumpangnya atau oleh pemilik warung makan di depan para
pengunjung warung makannya.
Deiksis dapat di bagi menjadi lima kategori, yaitu deiksis orang (persona), waktu (time),
tempat (place), wacana (discourse), dan sosial (social) (Levinson, 1983). Deiksis orang
berkenaan dengan penggunaan kata ganti persona, seperti saya (kata ganti persona pertama),
kamu (kata ganti persona kedua). Contoh Bolehkah saya datang kerumahmu? Kata saya dan -mu
dapat dipahami acuannya hanya apabila diketahui siapa yang mengucapkan kalimat itu, dan
kepada siapa ujaran itu ditujukan.
Deiksis waktu berkenaan dengan penggunaan keterangan waktu, seperti kemarin, hari ini,
dan besok. Contoh, Bukankah besok hari libur? Kata besok memiliki rujukan yang jelas hanya
apabila diketahui kapan kalimat itu diucapkan.
Deiksis tempat berkenaan dengan penggunaan keterangan tempat, seperti di sini, di sana, dan di
depan. Contoh duduklah di sini!. Kata di sini memiliki acuan yang jelas hanya apabila diketahui
dimana kalimat itu diujarkan.
Deiksis wacana berkaitan dengan penggunaan ungkapan dalam suatu ujaran untuk
mengacu pada bagian dari ujaran yang mengandung ungkapan itu (termasuk ungkapan itu
sendiri), seperti berikut ini, pada bagian lalu, dan ini. Contoh, kata that pada kalimat that was
the funniest story ever heard. Penanda wacana yang menghubungkan kalimat yang satu dengan
kalimat lain. Seperti any way, by the way, dan di samping itu juga termasuk dalam deiksis
wacana. Deiksis sosial berkenaan dengan aspek ujaran yang mencerrminkan realitas sosial
tertentu pada saat ujaran itu dihasilkan. Penggunaan kata Bapak pada kalimat “Bapak dapat
memberi kuliah hari ini?” Yang diucapkan oleh seorang mahasiswa kepada dosennya
mencerminkan deiksis sosial. Dalam contoh di atas dapat diketahui tingkat sosial pembicara dan
lawan bicara. Lawan bicara memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi dari pada pembicara.
F. Praanggapan (Presupposition)
Praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta
percakapan (Brown dan yule, 1996); atau “What a speaker or writer assumes that the receiver of
the missage alredy knows”(Richards, Platt, dan platt, 1993). Asumsi tersebut ditentukan batas-
batasannya berdasarkan anggapan-anggapan pembicara mengenai apa yang kemungkinan akan
diterima oleh lawan bicara tanpa tantangan. Sebagai ilustrasi perhatikan percakapan di bawah
ini:
A: What about inviting John tonight?
B: What a good idea; then he can give Monica a lift
Praanggapan yang terdapat dalam percakapan di atas antara lain adalah (1) Bahwa A dan B kenal
dengan John dan Monica, (2) bahwa John memiliki kendaraan – kemungkinan besar mobil, dan
(3) bahwa Monica tidak memiliki kendaraan saat ini (Richard, Platt, dan Platt, 1993).
Dari contoh di atas dipahami bahwa apabila suatu kalimat diucapkan, selain dari makna yang
dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu, turut tersertakan pula tambahan makna, yang tidak
dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu (Bambang Kaswanti Purwo, 1990).
G. Tindak Tutur (Speech Act)
Tindak tutur adalah adalah suatu tuturan /ujaran yang merupakan satuan fungsional
dalam komunikasi (Richard, Platt, dan Platt, 1993). Teori tindak tutur di kemukakan oleh dua
orang ahli filsafat bahasa yang bernama John Austin dan John Searle pada tahun 1960-an.
Menurut teori tersebut, setiap kali pembicara mengucapkan suatu kalimat, Ia sedang berupaya
mengerjakan sesuatu dengan kata-kata (dalam kalimat) itu. Menurut istilah Austin (1965: 94), “
By saying something we do something”. Seorang hakim yang mengatakan “dengan ini saya
menghukum kamu dengan hukuman penjara selama lima tahun” sedang melakukan tindakan
menghukum terdakwa. Kata-kata yang diucapkan oleh hakim tersebut menandai dihukumnya
terdakwa. Terdakwa tidak akan masuk penjara tanpa adanya kata-kata dari hakim (Clark dan
Clark, 1977:26).
Kata-kata yang diungkapkan oleh pembicara memiliki dua jenis makna sekaligus, yaitu
makna proposisional atau makna lokusioner (locutionary meaning) dan makna ilokusioner
(illocutionary meaning). Makna proposisional adalah makna harfiah kata-kata yang terucap itu.
Untuk memahami makna ini pendengar cukup melakukan decoding terhadap kata-kata tersebut
dengan bekal pengetahuan gramatikal dan kosa kata. Makna ilokusioner merupakan efek yang
ditimbulkan oleh kata-kata yang diucapkan oleh pembicara kepada pendengar. Sebagai ilustrasi,
dalam ungkapan “saya haus” makna proposisionalnya adalah pernyataan yang menggambarkan
kondisi fisik pembicara bahwa Ia haus. Makna ilokusionernya adalah efek yang diharapkan
muncul dari pernyataan tersebut terhadap pendengar. Pernyataan tersebut barangkali
dimaksudkan sebagai permintaan kepada pendengar untuk menyediakan minuman bagi
pembicara.
Searle (1986) dalam Joko Nurkamto (2000) membagi tindak tutur menjadi lima.
Pertama, komisif (commisive), yaitu tindak tutur yang menyatakan bahwa pembicara akan
melakukan sesuatu di masa akan datang, seperti janji atau ancaman. Contoh: Saya akan
melamarmu bulan depan. Kedua, deklaratif (declarative), yaitu tindak tutur yang dapat
mengubah keadaan. Contoh: Dengan ini Anda saya nyatakan lulus. Kata-kata tersebut mengubah
status seseorang dari keadaan belum lulus ke keadaan lulus. Ketiga, direktif (directive), yaitu
tindak tutur yang berfungsi meminta pendengar untuk melakukan sesuatu seperti saran,
permintaan, dan perintah. Contoh: Silahkan duduk!. Keempat, ekspresif (expressive), yaitu tindak
tutur yang digunakan oleh pembicara untuk mengungkapkan perasaan dan sikap terhadap
sesuatu. Contoh: Mahasiswi itu cantik sekali. Kelima, representatif (representative), yaitu tindak
tutur yang menggambarkan keadaan atau kejadian, seperti laporan, tuntutan, dan pernyataan.
Contoh: Ujian Akhir Semester dimulai pukul tujuh.
Dari uraian di atas tampak bahwa tindak tutur (speech act) merupakan fungsi bahasa
(language function), yaitu tujuan digunakan bahasa, seperti untuk memuji, meminta maaf,
memberi saran, dan mengundang. Fungsi-fungsi tersebut tidak dapat ditentukan hanya dari
bentuk gramatikalnya, tetapi juga dari konteks digunakannya bahasa tersebut. Sebagai contoh,
Kalimat deklaratif yang secara tradisional digunakan untuk membuat pernyataan (statement)
dapat digunakan untuk menyatakan permintaan atau perintah (Sinclair dan Coulthard, 1975).
Oleh karena itu, dalam teori tindak tutur (speech act) dikenal istilah tindak tutur tidak langsung
(indirect speech act), yaitu tindak tutur yang dikemukakan secara tidak langsung. Bandingkan
kedua ujaran berikut ini, yang diucapkan seorang tamu kepada tuan rumahnya:
A: Maaf lho Bu, Gelasnya bocor
B: Bu, saya haus
Kalimat (1) adalah contoh tindak tutur tidak langsung, dan kalimat (2) adalah kalimat contoh
tindak tutur langsung. Dalam komunikasi sehari-hari, tindak tutur langsung sering dianggap lebih
sopan dari pada tindak tutur langsung, terutama apabila berkaitan dengan permintaan (requests)
dan penolakan (refusals).
Implikatur Percakapan (Conversational Inplicature)
Istilah implikatur dipakai oleh Grice (1975) untuk menerangkan apa yang mungkin di artikan,
disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dengan apa yang sebenarnya
dikatakan oleh penutur itu (Brown dan Yule, 1996). Menurut Levinson (1983), implikatur
percakapan merupakan penyimpangan dari muatan semantik suatu kalimat. Dikatakan bahwa:
“they grenerate inferences beyond the semantic content of the sentences uttered. Such inferences
are, by definition, conversational implicatures, where the term implicature is intended to
contrast with the term like logical implication, entaiment and logical consequences which are
generally used to refer to inferences that are derived solely from logical and semantic content.
Sejarah Perkembangan Pragmatik
Pragmatik telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika sejak tahun
1970-an. Morris (1938) dianggap sebagai peletak tonggaknya lewat pandangannya tentang
semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang: sintaksis, semantik, dan pragmatik.
Kemudian Halliday (1960) yang berusaha mengembangkan teori sosial mengenai bahasa yang
memandang bahasa sebagai fenomena sosial.
Di Amerika, karya filsuf Austin (1962) dan muridnya Searle (1969, 1975), banyak mengilhami
perkembangan pragmatik. Karya Austin yang dianggap sebagai perintis pragmatik berjudul How
to Do Things with Words (1962). Dalam karya tersebut, Austin mengemukakan gagasannya
mengenai tuturan performatif dan konstatif.
H. Perkembangan Pragmatik di Indonesia
Istilah pragmatik secara nyata di Indonesia muncul pada 1984 ketika diberlakukannya
Kurikulum Sekulah Menengah Atas tahun 1984. Dalam kurikulum ini pragmatik merupakan
salah satu pokok bahasan bidang studi bahasa Indonesia (Depdikbud, 1984).
Beberapa karya mengenai pragmatik mulai bermunculan. Diawali oleh Tarigan (1986) yang
membahas tentang pragmatik secra umum. Nababan (1987) dan Suyono (1990) juga masih
terkesan „memperkenalkan pragmatik“, sebab belum membahas pragmatik secara rinci dan luas.
Pada karya Tallei (1988), Lubis (1993), dan Ibrahim (1993) tampak deskripsi yang agak
mendalam, tetapi orisinalitas gagasanya agak diragukan karena, terutama pada karya Tallei,
hampir sepenuhnya mengacu pada buku Discourse Analyses karya Stubbs (1983). Buku
pragmatik pertama yang tergolong kritis adalah karya Bambang Kaswanti Purwo (1990) dengan
judul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Karya Wijana (1996) yang berjudul Dasar-dasar
Pragmatik sudah menuju ke arah pragmatik yang lebih lengkap dan mendalam
C. Aspek-aspek Pragmatik
Beberapa aspek Pragmatik seperti di bawah ini:
• Penutur dan lawan tutur
Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan yang
bersangkutan dikomunikasikan dalam bentuk tulisan. Aspek-aspek tersebut adalah usia, latar
belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.
• Konteks tuturan
Konteks di sini meliputi semua latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan
disetujui bersama oleh penutur dan lawan tutur, serta yang menunjang interpretasi lawan tutur
terhadap apa yang dimaksud penutur dengan suatu ucapan tertentu.
• Tujuan tuturan
Setiap situasi tuturan atau ucapan tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu pula. Kedua
belah pihak yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada
tujuan tertentu.
• Tuturan sebagai bentuk tindakan dan kegiatan tindak tutur
Dalam pragmatik ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan yaitu kegiatan tindak ujar.
Pragmatik menggarap tindak-tindak verbal atau performansi-performansi yang berlangsung di
dalam situasi-situasi khusus dalam waktu tertentu.
• Tuturan sebagai produk tindak verbal
Dalam pragmatik tuturan mengacu kepada produk suatu tindak verbal, dan bukan hanya pada
tindak verbalnya itu sendiri. Jadi yang dikaji oleh pragmatik bukan hanya tindak ilokusi, tetapi
juga makna atau kekuatan ilokusinya.(Leech, 1993:19)
Pertimbangan aspek-aspek situasi tutur seperti di atas dapat menjelaskan keberkaitan antara
konteks tuturan dengan maksud yang ingin dikomunikasikan.
I. Pragmatik dalam Linguistik
Seperti telah saya uraikan sedikit dalam sub 3 di atas, salah satu kecenderungan yang
melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross. Dalam
sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk
linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam kalimat, dan bagaimana rangkaian
tersebut dapat dinyatakan well-formed secara gramatikal. Secara umum, sintaksis tidak
mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk
seperti kucing menyapu halaman, meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat
dinyatakan apik secara sintaksis.
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas
prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap
dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa
digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang
mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan,
bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara
sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan
memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat
diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama
antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam
linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.
Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu tataran
linguistik yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic forms) dan entitas
yang terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth conditional semantics,
untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau
harus bersifat analitis. Dengan demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang
tidak berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan
termasuk pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan makna dalam semantik belum
memadai, karena masih mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti
seandainya saya dapat berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok
pagi, meskipun bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena
yang pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata
lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan
semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang yang
mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan
maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik,
dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi
penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi
felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.
Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan
mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara
semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat
abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya
(force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan
pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun
makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan,
sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang
dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau
dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah
bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah
lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat
bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip lain.
Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22),
terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh
pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut
situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk
membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya,
karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing,
pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi
kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan
bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif
yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical
competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan
dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence)
yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi
strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan
melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.
J. PENGERTIAN DEIKSIS
1. Pengertian Deiksisi
Deiksis berasal dari kata Yunani kuno yang berarti “menunjukkan atau menunjuk”. Dengan kata
lain informasi kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu
baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis, misalnya he, here, now.
Ketiga ungkapan itu memberi perintah untuk menunjuk konteks tertentu agar makna ujaran dapat
di pahami dengan tegas.Tenses atau kala juga merupakan jenis deiksis. Misalnya then hanya
dapat di rujuk dari situasinya.
Deiksis didefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya. Contohnya
dalam kalimat “Saya mencintai dia”, informasi dari kata ganti “saya” dan “dia” hanya dapat di
telusuri dari konteks ujaranPraanggapan
Jenis-jenis praanggapan. Hanya mungkin terdapat perbedaan istilah saja. Penulis dapat
mengambil simpulan bahwa jenis praanggapan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu praanggapan
yang ditinjau dari segi semantik dan praanggapan yang ditinjau dari segi pragmatik. Perbedaan
ini disebabkan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Marmaridou (dalam Louise Cummings,
1999: 52) di atas. Pada awalnya, praanggapan dikaji berdasarkan ilmu semantik, jadi hanya
berkutat pada makna leksikal dan gramatikal saja. Namun, praanggapan semantik kurang dapat
menjelaskan pada aspek tertentu sehingga muncul pendapat baru ahli bahasa yaitu praanggapan
pragmatik yang telah mengaitkan aspek konteks bahasa di dalam ujaran atau kalimat tersebut
raangapan merupakan suatu pengalaman manusia sehari-hari sehingga praanggapan juga
merupakan gejala yang mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Namun, sering kita tidak
sadar akan hal itu. Dalam makalah ini akan dijelaskan secara singkat mengenai apa itu
praanggapan? Apa saja ciri praanggapan? Dan apa saja jenis praanggapan?
1. Pengertian Praanggapan
Praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to
suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis
mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang kawan bicara atau hal yang
dibicarakan .
Selain definisi tersebut, beberapa definisi lain tentang praanggapan di antaranya adalah :
Levinson (dalam Nababan, 1987: 48) memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan
maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam anggapan atau pengetahuan latar
belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna.
George Yule (2006 : 43) menyatakan bahwa praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang
diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki
presuposisi adalah penutur bukan kalimat. Louise Cummings (1999: 42) menyatakan bahwa
praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-
ungkapan linguistik tertentu.
Nababan (1987: 46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar
mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa
(kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan
sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya
untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.
Dari beberapa definisi praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah
kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan
disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan contoh
berikut :
A : “Aku sudah membeli bukunya Pak Pranowo kemarin”
B : “Dapat potongan 30 persen kan?
Contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur A memiliki praanggapan
bahwa B mengetahui maksudnya yaitu terdapat sebuah buku yang ditulis oleh Pak Pranowo.
2. Ciri Praanggapan
Ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat keajegan di bawah penyangkalan (Yule;2006:45).
Hal ini memiliki maksud bahwa praanggapan (presuposisi) suatu pernyataan akan tetap ajeg
(tetap benar) walaupun kalimat itu dijadikan kalimat negatif atau dinegasikan. Sebagai contoh
perhatikan beberapa kalimat berikut :
(2) a. Gitar Budi itu baru
b. Gitar Budi tidak baru
Kalimat (2b) merupakan bentuk negatif dari kaliamt (2a). Praanggapan dalam kalimat (2a)
adalah Budi mempunyai gitar. Dalam kalimat (2b), ternyata praanggapan itu tidak berubah meski
kalimat (2b) mengandung penyangkalan tehadap kalimat (2a), yaitu memiliki praanggapan yang
sama bahwa Budi mempunyai gitar.
Wijana dalam Nadar (2009 : 64) menyatakan bahwa sebuah kalimat dinyatakan
mempresuposisikan kalimat yang lain jika ketidakbenaran kalimat yang kedua (kalimat yang
diprosuposisikan) mengakibatkan kalimat pertama (kalimat yang memprosuposisikan) tidak
dapat dikatakan benar atau salah. Untuk memperjelas pernyataan tersebut perhatikan contoh
berikut.
(3) a. Istri pejabat itu cantik sekali
b. Pejabat itu mempunyai istri
Kalimat (3b) merupakan praanggapan (presuposisi) dari kalimat (3a). Kalimat tersebut dapat
dinyatakan benar atau salahnya bila pejabat tersebut mempunyai istri. Namun, bila berkebalikan
dengan kenyataan yang ada (pejabat tersebut tidak mempunyai istri), kalimat tersebut tidak dapat
ditentukan kebenarannya.
3. Jenis-jenis Praanggapan
Praanggapan (presuposisi) sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan
struktur (Yule; 2006 : 46). Selanjutnya Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6
jenis praanggapan, yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif,
presuposisi leksikal, presuposisi struktural,dan presuposisi konterfaktual.
3.1. Presuposisi Esistensial
Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah preaanggapan yang menunjukkan eksistensi/
keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit.
(4). a. Orang itu berjalan
b. Ada orang berjalan
3.2. Presuposisi Faktif
Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan
mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.
(5) a. Dia tidak menyadari bahwa ia sakit
b. Dia sakit
(6) a. Kami menyesal mengatakan kepadanya
b. Kami mengatakan kepadanya
3.3. Presuposisi Leksikal
Presuposisi (praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang
dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang
tidak dinyatakan) dipahami.
(7) a. Dia berhenti merokok
b. Dulu dia biasa merokok
(8) a. Mereka mulai mengeluh
b. Sebelumnya mereka tidak mengeluh
3.4. Presuposisi Non-faktif
Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.
(9) a. Saya membayangkan bahwa saya kaya
b. Saya tidak kaya
(10) a. Saya membayangkan berada di Hawai
b. Saya tidak berada di Hawai
3.5. Presuposisi Struktural
Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah
dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah
diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional
diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah diketahui sebagai masalah.
(11) a. Di mana Anda membeli sepeda itu?
b. Anda membeli sepeda
(12) a. Kapan dia pergi?
b. Dia pergi
3.6. Presuposisi konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya tidak
benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan
kenyataan.
(11) a. Seandainya
TINDAK TUTUR
1. Pengertian
Tindak tutur (istilah Kridalaksana ‘pertuturan’ / speech act, speech event): pengujaran
kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar
(Kridalaksana, 1984: 154)
Speech act: an utterance as a functional unit in communication (Richards et al, 1989: 265). Di
dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan
pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan kalimat ia juga “menindakkan” sesuatu. Dengan
pengucapan kalimat Arep ngombe apa? si pembicara tidak semata-mata menanyakan atau
meminta jawaban tertentu; ia juga menindakkan sesuatu, yakni menawarkan minuman. Seorang
ibu rumah pondokan putri, mengatakan Sampun jam sanga ia tidak semata-mata memberi tahu
keadaan jam pada waktu itu; ia juga menindakkan sesuatu, yaitu memerintahkan si mitratutur
supaya pergi meninggalkan rumah pondokannya.
Hal-hal apa sajakah yang dapat ditindakkan di dalam berbicara? Ada cukup banyak; antara lain,
permintaan (requests), pemberian izin (permissons), tawaran (offers), ajakan (invitation),
penerimaan akan tawaran (acceptation of offers)
2. Tindak Tutur dan Jenis-jenisnya
Tindak tutur (selanjutnya TT) atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan analisisnya. Uraian berikut memaparkan
klasifikasi dari berbagai jenis TT.
2.1 Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Austin (1962) dalam How to do Things with Words mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah
kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act), di samping memang
mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran,
yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan
kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai
dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi,
apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku ngelak” dalam tindak
lokusi kita akan mengartikan “aku” sebagai ‘pronomina persona tunggal’ (yaitu si P) dan
“ngelak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’, tanpa bermaksud untuk minta
minum.
Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang maksud dan
fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan. Jadi, “Aku ngelak”
yang diujarkan oleh P dengan maksud ‘minta minum’ adalah sebuah tindak ilokusi.
Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara singkat,
perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika MT melakukan
tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di sini dapat
dikatakan terjadi tindak perlokusi.
2.2 TT Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklaratif
Searle (1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis TT (dalam Ibrahim,
1993: 11-54). Kelima TT itu sebagai berikut:
(1) TT representatif yaitu TT yang mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa yang
dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan.
(2) TT direktif yaitu TT yang dilakukan P-nya dengan maksud agar si pendengar atau MT
melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh, memohon,
menuntut, menyarankan, dan menantang.
(3) TT ekspresif ialah TT yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai
evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya memuji, mengucapkan
terima kasih, mengritik, dan mengeluh.
(4) TT komisif adalah TT yang mengikat P-nya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di
dalam ujarannya, misalnya berjanji dan bersumpah.
Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa di dalam komunikasi satu fungsi dapat
dinyatakan atau diutarakan melalui berbagai bentuk ujaran. Untuk maksud atau fungsi
“menyuruh”, misalnya, menurut Blum-Kulka (1987) (lihat Gunarwan, 1993: dapat diungkapkan
dengan menggunakan berbagai ujaran sebagai berikut.
(1) Kalimat bermodus imperatif : Pindhahen meja iki!
(2) Performatif eksplisit : Dakjaluk sliramu mindhahke meja iki!
(3) Performatif berpagar : Aku jan-jane arep njaluk tulung sliramu mindhahke meja iki.
(4) Pernyataan keharusan : Sliramu kudu mindhahke meja iki!
(5) Pernyataan keinginan : Aku kepengin meja iki dipindhah.
(6) Rumusan saran : Piye yen meja iki dipindhah?
(7) Persiapan pertanyaan : Kowe bisa mindhah meja iki?
(8) Isyarat kuat : Yen meja iki ana ing kene, kamar iki katon rupek.
(9) Isyarat halus : Kamar iki kok katone sesak ngono ya?
2.3 TT Langsung vs TT Tidak Langsung
Dari sembilan bentuk ujaran tersebut diperoleh sembilan TT yang berbeda-beda derajat
kelangsungannya dalam menyampaikan maksud ‘menyuruh memindahkan meja’ itu. Hal ini
berkaitan dengan tindak tutur langsung (TT-L) dan tindak tutur tidak langsung (TT-TL). Derajat
kelangsungan TT dapat diukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik ilokusi ( di benak P) ke
titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat pula diukur berdasarkan kejelasan
pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran makin langsunglah ujaran itu, dan sebaliknya. Dari
kesembilan bentuk ujaran tersebut, yang paling samar-samar maksudnya ialah bentuk ujaran (9),
berupa isyarat halus. Karena kata “meja” sama sekali tidak disebutkan oleh P dalam ujaran (9),
maka MT harus mencari-cari konteks yang relevan untuk dapat menangkap maksud P.
Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga menggunakan tindak tutur harafiah (TT-H) atau tindak
tutur tidak harafiah (TT-TH) di dalam mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal itu,
kelangsungan dan keharafiahan ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat macam
ujaran, yaitu:
(1) TT-LH : “Buka mulut”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasiennya.
(2) TT-LTH : “Tutup mulut”, misalnya diucapkan oleh seseorang yang jengkel kepada MT-nya
yang selalu “cerewet”.
(3) TT-TLH : “Bagaimana kalau mulutnya dibuka?”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi
kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut.
(4) TT-TLTH : “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua sepakat menutup mulut kita
masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P yang mengajak MT-nya untuk tidak membuka
rahasia.
Dengan demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di atas dapat dicatat ada
delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996: 36).
(1) Tindak tutur langsung (TT-L)
(2) Tindak tutur tidak langsung (TT-TL)
(3) Tindak tutur harafiah (TT-H)
(4) Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH)
(5) Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)
(6) Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH)
(7) Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)\
(8) Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH)
Apabila seseorang menggunakan bahasa, maka ada 3 jenis tindakan atau tindak tutur
(selanjutnya disingkat TT), yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Hal ini sejalan dengan pendapat
Austin (1962) yang melihat adanya tiga jenis tindak ujar, yaitu tindak lokusi (melakukan
tindakan mengatakan sesuatu), tindak ilokusi (melakukan tidakan dalam mengatakan sesuatu),
dan tindak perlokusi (melakukan tindakan dengan mengatakan sesuatu). Misalnya:
1. Lokusi n mengatakan kepada t bahwa X.
(merupakan tindak mengatakan sesuatu: menghasilkan serangkaian bunyi yang berarti sesuatu.
Ini merupakan aspek bahasa yang merupakan pokok penekanan linguistik tradisional).
2. Ilokusi Dalam mengatakan X, n menegaskan (asserts) bahwa P.
(Dilakukan dengan mengatakan sesuatu, dan mencakup tindak-tindak seperti bertaruh, berjanji,
menolak, dan memesan. Sebagian verba yang digunakan untuk melabel tindak ilokusi bisa
digunakan secara performatif. Dengan demikian mengatakan Saya menolak bahwa Xsama
halnya menolak bahwa X.)
3. Perlokusi Dengan mengatakan X, n meyakinkan (convinces) t bahwa P.
(Menghasilkan efek tertentu pada pendengar. Persuasi merupakan tindak perlokusi: orang tidak
dapat mempersuai seseorang tentang sesuatu hanya dengan mengatakan Saya mempersuasi anda.
Contoh-contoh yang sesuai adalah meyakinkan, melukai, menakut-nakuti, dan membuat tertawa)
Perbedaan kekuatan antara perlokusi dan ilokusi tidak selalu jelas. Misalnya, suruhan (request)
memiliki kekuatan esensial untuk membuat pendengar melakukan sesuatu. Kesulitan dalam
definisi ini muncul dari urutan tindakan yang banyak diabaikan oleh teori tindak tutur. Kesulitan
itu juga muncul dari dasar definisi maksud penutur, yang merupakan keadaan psikologis yang
tidak bisa diobservasi (lihat Abd. Syukur Ibrahim, 1993: 115).
K. PRINSIP KERJA SAMA
(Cooperative Principle)
Sebelum belajar tentang ‘prinsip kerja sama’, kita perlu belajar tentang ‘asumsi pragmatik’.
Kalau orang berbicara kepada orang lain pasti ingin mengemukakan sesuatu. Selanjutnya orang
lain diharapkan menangkap apa (hal) yang dikemukakan. Dengan adanya 2 tujuan ini, maka
orang akan berbicara sejelas mungkin, tidak berbelit-belit, ringkas, tidak berlebihan, berbicara
secara wajar (termasuk volume suara yang wajar).
Hanya saja dalam pragmatik terdapat penyimpangan-penyimpangan, ada maksud-maksud
tertentu, tetapi ia harus bertanggung jawab atas penyimpangan itu, sehingga orang lain bisa
mengetahui maksudnya. Mereka harus bekerja sama.
Contoh:
kikir : q2r
berdua satu tujuan : ber-217-an
tekate dhewe : TKTDW
kutujukan : ku√49kan
wawan : wa-one
prawan ayu : pra one are you
kian maju : q-an maju
lali main : la5in
dik daniel : dick&niel
kaki lima : kq lima
thank before : thx b4
aku : aq
kamu : u
Di dalam berkomunikasi, antara P dengan MT harus saling menjaga prinsip kerja sama
(cooperative principle) agar proses komunikasi berjalan dengan lancar. Tanpa adanya prinsip
kerja sama komunikasi akan terganggu. Prinsip kerja sama ini terealisasi dalam berbagai kaidah
percakapan. Secara lebih rinci, Grice menjabarkan prinsip kerja sama itu menjadi empat maksim
percakapan (periksa Gunarwan, 1993: 11; Lubis, 1993: 73; dan bandingkan pula Wijana, 1996:
46-53). Keempat maksim percakapan itu ialah sebagai berikut.
(1) Maksim kuantitas:
a. Berikan informasi Anda secukupnya atau sejumlah yang diperlukan oleh MT.
b. Bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu.
(2) Maksim kualitas:
a. Katakanlah hal yang sebenarnya.
b. Jangan katakan sesuatu yang Anda tahu bahwa sesuatu itu tidak benar.
c. Jangan katakan sesuatu tanpa bukti yang cukup.
(3) Maksim relevansi:
a. Katakan yang relevan.
b. Bicaralah sesuai dengan permasalahan.
(4) Maksim cara:
a. Katakan dengan jelas.
b. Hindari kekaburanan ujaran.
c. Hindari ketaksaan.
d. Bicaralah secara singkat, tidak bertele-tele.
e. Berkatalah secara sistematis.
Kenyataan membuktikan, di dalam percakapan sehari-hari tidak jarang kita temukan praktik-
praktik pelanggaran terhadap maksim-maksim Grice tersebut. Akan tetapi, bagi pengamat
pragmatik, justeru pelanggaran-pelanggaran itulah yang menarik untuk dikaji: mengapa P
melakukan pelanggaran terhadap maksim tertentu, ada maksud apa di balik pelanggaran maksim
tersebut? Misalnya, mengapa P yang bermaksud meminjam uang atau memerlukan bantuan
kepada MT biasanya diawali dengan menceritakan secara panjang lebar keadaan dirinya seraya
disertai dengan janji-janji? Apakah itu berlaku secara universal? Bukankah tindakan tersebut
melanggar maksim kuantitas?
Pada hemat saya, di antara empat maksim itu, maksim ketiga atau maksim relevansilah yang
paling penting sebab betapa pun informasi yang kita sampaikan itu cukup serta disampaikan
dengan cara yang jelas, sistematis, dan tidak ambigu, kalau informasi itu tidak relevan dengan
permasalahan toh tidak akan membawa manfaat. Sejauh mana asumsi ini benar juga masih
memerlukan pengkajian secara pragmatis.
L. IMPLIKATUR PERCAKAPAN
Konsep yang paling penting dalam ilmu pragmatic yang paling menonjolkan pragmatic
sebagai suatu cabang ilmu bahasa adalah implikatur percakapan. Levinson(1983) melihat
kegunaan konsep implikatur terdiri atas empat butir:
Konsep implikatur memungkinkan penjelasan fungsional yang bermakna atas fakta-fakta
kebahasaan yang tak terjangkau oleh teori linguistic.
Konsep implikatur memberikan suatu penjelasan yang tegas/implicit tentang bagaimana
mungkinnya apa yang diucapkannya secara lahiriah berbeda dari apa yang dimaksud dan bahwa
pemakai bahasa itu mnegerti pesan yang dimaksud.
Konsep implikatur ini kelihatannya dapat menyederhanakan pemerian semantic dari perbedaan
hubungan antar klausa, walaupun klausa itu dihubungkan dengan kata struktur yang sama.
Konsep implikatur ialah bahwa hanya beberapa butir saja dasar-dasar implikatur dapat
menerangkan berbagai macam fakta/gejala yang secara lahiriah kelihatan tidak atau berlawanan.
Grice (1957, juga dalam Steinberg & Jakobovits, 1971) membedakan dua macam makna
yang dia sebut natural meaning dan non-natural meaning. Menurut Grice, terdiri atas empat
aturan percakapan yang mendasari kerja sama penggunaan bahasa yang efisien yang secara
keseluruhan disebut dasar kerja sama. Dasar kerja sama ini terdiri dari empat aturan percakapan,
yaitu: kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara. Grice juga menyebutkan adanya aturan lain yang
umumnya bersifat sosial, estetis, atau susila/moral.
Implikatur percakapan memilki cirri-ciri sebagai berikut:
• Sesuatu implikatur percakapan dapat dibatalkan dalam hal tertentu.
• Biasanya tidak ada cara lain untuk mengatakan apa yang dikatakan dan masih mempertahankan
implikatur yang bersangkutan.
• Implikatur percakapan mempersyaratkan pengetahuan terlebih dahulu akan arti konvensional
dari kalimat yang dipakai.
• Kebenaran dari isi sesuatu implikaturpercakapan bukanlah tergantung pada kebenaran akan
yang dikatakan.
M. Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa
Sebelum mengkaji lebih jauh, akan dipaparkan suatu pengertian dari pragmatik yang dikutip dari
salah satu ahli bahasa. Levinson berpendapat bahwa pragmatik ialah kajian dari hubungan antara
bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa (Nababan, 1987 : 3). Dari
pendapat tersebut terlihat bahwa pragmatik merupakan salah satu bidang kajian bahasa yang
melibatkan unsur-unsur di luar bahasa (konteks) di dalam pengkajiannya.
Dalam pragmatik, pengkajian bahasa didasarkan pada penggunaan bahasa bukan pada struktural
semata. Konteks-konteks yang melingkupi suatu bahasa akan mendapat perhatian yang besar
dalam kaitannya dengan makna yang muncul dari suatu penggunaan bahasa. Kondisi praktis
tindak komunikasi menjadi pijakan utama dalam pengkajian pragmatik. Dalam hal ini, wacana-
wacana yang berkaitan dengan proses komunikasi akan dikaji.
Menurut Maidar Arsyad, pragmatik membaca pengkajian bahasa lebih jauh ke dalam
keterampilan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi praktis dalam segala situasi yang
mendasari interaksi kebahasaan antara manusia sebagai anggota masyarakat (1997 : 3.17). Dari
pendapat tersebut terlihat jelas bahwa orientasi pengkajian pragmatik adalah pada suatu
komunikasi praktis, di mana pada tataran praktis, muncul berbagai faktor diluar bahasa yang
turut memberi makna dalam proses komunikasi tersebut. Adapun Nababan mengemukakan
beberapa faktor penentu dalam berkomunikasi:
siapa yang berbahasa dengan siapa; untuk tujuan apa; dalam situasiap a
(tempat dan waktu); dalamkontek s apa (peserta lain, kebudayaan dan suasana); denganjalur apa
(lisan atau tulisan);media apa (tatap muka, telepon, surat, dan sebagainya); dalampe risti wa apa
(bercakap-cakap, ceramah, upacara, laporan, dan sebagainya) (1987 : 70)
Dari pendapat tersebut didapat beberapa faktor yang mungkin sekali mempengaruhi proses
tindak komunikasi yaitu pelaku, tujuan, situasi, konteks, jalur, media, dan peristiwa. Senada
dengan Nababan, Suyono juga mengemukakan tiga konsep dasar dalam komunikasi. Suyono
mengemukakan tiga konsep dasar dalam penggunaan bahasa (studi pragmatik) yaitu tindak
komunikatif, peristiwa komunikatif dan situasi komunikatif (1990 : 18). Melihat dua pendapat
tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya saja Suyono lebih meringkas lagi faktor-faktor
penentu tersebut dalam tiga konsep dasar.
Dengan berpijak pada beberapa hal di atas, jelaslah bahwa pragmatik akan sangat membantu
dalam pengajaran bahasa (khususnya di sekolah). Pengajaran bahasa yang berorientasi pada
kajian bahasa secara “struktural” jelas akan menimbulkan banyak kendala ketika tidak dikaitkan
dengan penggunaan bahasa secara praktis di lapangan. Dalam kegiatan berbahasa seseorang
dituntut untuk mencapai kualitas yang bersifat pragmatis. … Dengan bentuknya yang pragmatis
diharapkan siswa dapat menggunakan bahasa sasaran sesuai konteks yang melatari kegiatan
bahasa nyata (Nurhadi, 1995 : 146). Dari pendapat tersebut komunikasi yang terjadi
diorientasikan pada pencapaian kualitas yang bersifat pragmatis, sehingga pengguna (dalam hal
ini siswa) dapat menggunakan bahasa sesuai dengan konteksnya.
Pembelajaran bahasa sudah semestinya mampu mengakomodasi kebutuhan berbahasa secara
praktis sesuai dengan kondisi yang nyata. Dengan pola yang berdasar pada kajian pragmatik,
proses pembelajaran bahasa yang diterima oleh siswa secara otomatis akan mengacu pada suatu
kondisi praktis tindak komunikasi. Orientasi pembelajaran yang seperti ini juga akan menuntut
penyesuaian pada berbagai aspek pembelajaran, dari kurikulum sampai tataran praktis
pembelajaran. Seperti dikemukakan oleh Maidar Arsyad bahwa dalam pengajaran berbahasa,
pembuat kurikulum, atau program pembelajaran harus memikirkan bahan tentang berbagai
ragam bahasa dan melatihkannya sesuai dengan situasi dan konteks pemakaiannya (1997 : 3.17).
Ada tiga hal penting dari pendapat tersebut yaitu program belajar, ragam bahasa, dan pelatihan
sesuai situasi dan konteks.
Tiga hal tersebut memang sangat penting ketika suatu pembelajaran bahasa sudah berorientasi
pada penggunaan bahasa pada tataran praktis. Dari program, materi (bahan), ragam bahasa, dan
menciptakan suatu situasi dan konteks yang sesuai jelas tidak dapat dihindarkan ketika target
akhir dari pembelajaran bahasa adalah“siswa mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien
sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis” (BSNP, 2006).
Ada juga pendapat lain yang lebih jauh merambah aspek lain di luar
bahasa. Eny (2004), berpendapat:
Pengajaran bahasa Indonesia seharusnya berdasarkan pada dimensi kultural karena dalam
pembelajaran itu diungkapkan gagasan mengenai masalah yang berkaitan dengan ilmu, teknologi
dan atau budaya yang sedang dipelajarinya. Pengajaran itu difokuskan pada kemahiran
menggunakan bahasa yang benar, jelas, efektif, dan sesuai dengan fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi.
Dari pendapat tersebut, Eny mencoba melibatkan dimensi kultural karena berkaitan dengan
aspek-aspek kehidupan yang lain. Memang suatu bahasa pada akhirnya akan bersinggungan
dengan berbagai aspek yang lain ketika manusia dalam menuangkan gagasan apapun akan
menggunakan suatu bahasa. Jadi akan sangat berterima jika suatu pembelajaran bahasa harus
berdasar pada kondisi praktis.
Berangkat dari berbagai paparan di atas, dapat kita tarik suatu simpulan bahwa pembelajaran
bahasa yang diorientasikan pada tataran praktis tindak komunikasi akan sangat diperlukan bagi
peserta didik. Dalam hal ini, pendekatan komunikatif (lebih spesifik pragmatik) sangat
membantu dalam mengarahkan proses pembelajaran bahasa yang dilakukan, terutama pada
tataran pendidikan formal atau sekolah
1. Pragmatik Sebagai Cabang Ilmu Bahasa
Menurut sejarahnya pragmatik dari kata Yunani pragma yang berarti tindakna sebagia ilmu
pertama-tama muncul di dalam dunia filsafat. Filsafat pragmatisme adalah pemikiran tentang
bagaimana manusia harus bertindak (Keraf, 1987). Pemikiran ini bersifat praktis, atau berkaitan
dengan pengalaman hidup manusia sehari-hari. Filsafat yang memiliki nilai praktis ini
mempengaruhi pemikiran tentang bahasa pula.
Dengan demikian pragmatik sebagai ilmu merupakan cabang linguistik yang bidang kajiannya
bukan bunyi dan bentuk bahasa, bukan pula makna bahasa, melainkan fungsi bahasa. Kajian
makna secara semantis memusatkan perhatiannya pada kajian makna kalimat (termasuk makna
kata atau klausa) secara abstrak atau kalimat yang bebas-konteks, sedangkan kajian makna
secara pragmatis memusatkan perhatiannya pada kajian makna kalimat atau konteks. Kalimat
dalam konteks inilah yang disebut tuturan atau ujaran.
Hymes (1972) diakronimkan SPEAKING (setting dan scene; participans; ends; purpose dan
goal; act sequences; keys; tone or spirit of act; instrumentalities, norms; norms of interactions
dan interpretation; dan genres). Konteks berisi unsur pembicara melakukan komunikasi kepada
mitra bicara dalam situasi, tempat, dan waktu tertentu, tentang sesuatu (topik) yang tertentu,
dengan tujuan dan efek tertentu, dan cara atau jalur tertentu, dengan norma atau kaidah
komunikasi tertentu dan dengan ragam bahasa tertentu.
Bambang Kaswanti Purwo (1990) membedakan bahan kajian menjadi dua :
1. Bahan kajian linguistik
2. Bahan pengajaran bahasa
Sebagai bahan kajian linguistik pragmatik mengkaji :
1. deiksis
2. praanggapan atau praduga (presupposition)
3. tindak ujaran atau tindak tutur (speech acts)
4. implikatur percakapan (convensational implicature) (1990 : 17)
Bahan kajian (1) mengacu bahan kajian yang berupa kata-kata yang rujukannya atua referennya
berpindah-pindah (Purwo, 1984, 1990).
Nababan (1987; bandingkan dengan Purwo 91984) membedakan adanya lima jenis deiksis;
deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial.
Bahan kajian (2) mengkaji konsep dugaan atau anggapan sebelumnya yang ada pada benak
penutur pada waktu berbicara.
Bahan kajian (3) menkaji suatu kenyataan berbahasa bahwa pada waktu setiap penutur
mengatakan suatu kalimat, sebenarnya ia tidak hanya mengucapkan, melainkan bersamaan
dengan pengucapan itu ia melakukan (menindakkan) sesuatu.
Nababan (1987) membedakan adanya tiga macam tindak bahasa : lokusi, ilokusi dan perlokusi.
Dalam kaitan dengan konsep implikatur ini Grice 91957) membuat teori tentang bagaimana
orang menggunakan bahasa supaya terajdi suatu komunikasi yang baik. Dikatakan bahwa di
dalam menggunakan bahasa seseorang harus mengindahkan prinsip kerja sama (cooperative
principles) dan prinsip kesopanan (politeness principles). Prinsip kerjasama berisi empat aturan
(maksim) yang menyangkut aspek kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Maksim kuantitas
menyarankan untuk hanya menggunakan sejumlah kata secukupnya, maksim kualitas
menyarankan untuk hanya mengatakan yang sebenarnya, maksim relevansi menyarankan untuk
hanya mengatakan yang relevan, dan maksim cara menyarankan untuk mengatakan secara jelas.
Prinsip kesopanan berisi enam aturan (maksim) kebijaksanaan, kedermawanan, penghargaan,
kesederhanaan, permufakatan dan simpati. Maksim kebijaksanaan menyarankan untuk tidak
merugikan mitra bicara, maksim kedermawanan menyarankan untuk tidak mengorbankan mitra
bicara, maksim penghargaan menyarankan untuk memberikan pujian kepada mitra bicara,
maksim kesederhanaan menyarankan untuk mengurangi cacian kepada mitra bicara, maksim
permufakatan menyarankan untuk mengurangi ketidaksesuaian dengan mitra baca.
2. Pragmatik sebagai Bahan Pengajaran Bahasa
Dengan mengambil pembagian Haliday (1973), Nababan (lihat juga tarigan, 1986) menyebutkan
adanya tujuh fungsi bahasa bagi perseorangan, masing-masing instrumental, menyuruh,
interaksi, kepribadian, khayalan, pemecahan masalah dna informatif.
Bahan pengajaran pragmatik di dalam kurikulum 1984 mencoba menjabarkan semuanya itu ke
dalam enam aspek bahan pengajaran : sosial, intelektual, emosional, infomasi faktual, moral dan
penyelesaian masalah.
Aspek sosial berkaitan dengan aturan hubungan antar sesama, norma masyarakat baik yang
bersifat yuridis formal maupun yang bersifat konvensional. Aspek intelektual adalah aspek psikis
manusia yang berkaitan dengan pikiran, budi yang bersifat diskursif : bersifat objektif, bukan
subjektif memahami sesuatu dengan cara mengambil jarak. Aspek emosional merupakan aspek
psikis yang berkaitan dengan perasaan atau kepekaan intuitif. Aspek informasi formla berkaitan
dengan hubungan antar sesamanya. Aspek moral ada hubungannya dengan unsur internal,
horisontal dan vertikal. Aspek penyelesaian masalah berkaitan dengan aspek internal dan
eksternal manusia, khususnya yang horisontal.
3. Pragmatik Sebagai Suatu Pendekatan Pengajaran Bahasa
Konsep pendekatan adalah konsep yang berisi asumsi-asumsi atau aksioma-aksioma tentang
sesuatu (Antony, 1963). Pendekatan dalam pengajaran bahasa mengacu pada asumsi atau
aksioma tentang apa itu bahasa dan apa atau bagaimana belajar bahasa diyakini berlangsung.
Ciri-ciri Pendekatan Pragmatik
Pandangan pragmatik tentang bahasa mengacu pada pnegertian bahwa bahasa :
1. Merupakan suatu totalitas, bukan kumpulan komponen-komponen.
2. Merupakan alat yang dipergunakan oleh manusia untuk melangsungkan hidupnya bersama
dengan orang lain.
Krashen (1977) di dalam penelitiannya tentang perilaku anak yang belajar bahasa pertama
menemukan bahwa bahan bahasa yang berupa intake (necessary input) adalha bahan yang paling
efektif dan bahan itu diperoleh di dalam lingkungannya yang informal.
Implikasi Pendekatan Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa
Pertama, di dalam pengajaran dengan pendekatan pragmatik tujuan pengajaran yang harus
dicapai adalah dimilikinya kemampuan komunikatif (use of linguistic elements).
Kedua, pengajaran yang berupa satuan-satuan lingual itu harus disajikan di dalam suatu konteks
komunikasi yang riil, bukan dibuat-buat.
Ketiga, karena di dalam konteks komunikasi yang riil satuan-satuan lingual itu tidak tersaji
secara sistematis, maka tekanan penyajian perlu diprioritaskan pada kadar keseringan
kemunculan satuan-satuan lingual di dalam suatu konteks diisyaratkan bahwa penekanan
penyajian pada urutan-urutan satuan lingual berdasarkan temuan linguistik menjadi kurang
penting.
N. Pendekatan Pragmatik Dalam Pengajaran Bahasa
Analisis keadaan pengajaran bahasa Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan antara
tujuan pengajaran dan bahan pengajaran. Tujuan pengajaran dalam kurikulum 1975, ialah
“keterampilan berbahasa Indonesia”. Pada permulaan dasawarsa 10970-an berkembang suatu
pemikiran yang timbul dari kurang puasnya orang dengan hasil pengajaran bahasa secara
structural, yang membuat orang sanggup membuat bentuk-bentuk bahasa menurut pola-pola
yang dilatihkan tetapi belum tentu dapat menggunakannya. Satu gagasan yang timbul adalah
yang disebut pendekatan kognitif yang menekankan keterampilan mengerti dan menggunakan
aturan-aturan pembentukan kalimat-kalimat yang bermakna.
Dalam pembicaraan di atas, kita memakai istilah pragmatic secra lebih luas lagi untuk “aturan
pemakaian bahasanya sehubungan dengan maksud pembicara sesuai dengan konteks dan
keadaan”. Bahasa mempunyai bentuk-bentuk yang sesuai konteks dan keadaan. Bentuk-bentuk
yang berbeda itu disebut ragam bahasa. Ada empat macam variasi bahasa bergantung pada factor
yang berhubungan atau sejalan dengan ragam itu. Keempat factor itu adalah;
1. Factor geografis
2. Factor-faktor kemasyrakatan
3. Factor-faktor situasi berbahasa
4. Factor-faktor waktu
Orientasi belajar mengajar bahasa berdasarkan tugas dan fungsi berkomunikasi ini disebut
pendekatan komunikatif. Dalam pendekatan ini, bentuk bahasa yang dipakai selalu dikaitkan
dengan factor-faktor penentu di atas. Ilmu yang mempelajari hubungan bahasa dengan factor-
faktor penentu itu disebut ilmu pragmatic.unsur-unsur bahasa meliputi lafal/ejaan, struktur, dan
kosa kata, sedangkan kegiatan berbahasa meliputi membaca, menulis/mengarang, berbicara, dan
pragmatic.
Keterampilan pragmatic dipelajari melalui dua jalur, yaitu jalur formal, dan non-formal.dalam
belajar bahasa asing, keterampilan pragmatic ini dapat dipelajari hanya melalui cara formal oleh
karena para pelajar tidak mempunyai kesempatan untuk memperolehnya secara informal.
Diperlukan juga bahan-bahan pengajaran yang berorientasi keterampilan pragmatic, artinya
materi pembelajaran yang melibatkan konteks dan situasi dalam pengembangannya dan
penyajiannya. Pendekatan pragmatic yang diterapkan dalam pengajaran bahasa asin bergantung
pada tujuan pembelajaran yang mencakup keterampilan menggunakan bahasa asing itu, tulisan
dan/atau lisan. Tujuan pembelajaran ditentukan oleh sekolah. Tujuan pembelajaran dapat
ditentukan dengan berbagai cara/factor, yaitu: kemauan dan pemikiran yang mempunyai sekolah,
hasil suatu analisi kebutuhan, keinginan pelajar, dan lain-lain.
O. Pragmatik Dan Aspek-Aspeknya Dalam Pengajaran Bahasa Indonesia
Ketrampilan Bahasa Indonesia yang masih rendah atau belum sesuai dengan yang
diharapkan memang sering dijumpai, baik dengan melihat secara sepintas maupun melalui
penelitian-penelitian. Mendikbud Wardiman Djoyonegoro mengatakan bahwa kemampuan atau
budaya baca bangsa Indonesia masih rendah (Kompas, 30 mei 1995). Mendikbud mengatakan
pula bahwa berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik, sekitar 27 juta penduduk Indonesia
belum memahami bahasa Indonesia (Kompas, 30 Maret 1995). Adanya kondisi seperti tersebut
di atas tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh kekurangberhasilan pengajaran Bahasa
Indonesia.
1. Pendekatan Pragmatik atau Komunikatif?
Menurut Morris dalam Gazdar 91979 : 85) bahwa pragmatik merupakan salah satu bagian dari
telaah isyarat-isyarat atau tanda-tanda bahasa. Menurutnya dikatakan bahwa isyarat-isyarat
bahasa, dalam pengkajiannya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
1. sintaktik
2. semantik
3. pragmatik.
Menurut Nababan (1987 : 2) yang dimaksud dengan Pragmatik ialah aturan-aturan pemakaian
bahasa, yaitu pemilihan bentuk bahasa dan penentuan maknanya sehubungan dengan maksud
pembicara sesuai dengan konteks dan keadaanya.
Menurut Leech (1983), yang dimaksud dengan pragmatik adalah suatu kajian bahasa yang
berusaha menemukan makna-makna ujaran yang disesuaikan dengan situasi. Sedangkan menurut
International Pragmatics Association (IPRA) yang dimaksud dengan pragmatik ialah
penyelidikan bahasa yang menyangkut seluk belum penggunaan bahasa dan fungsinya (dalam
Soemarmo, 1987 : 3).
2. Hakikat Aspek-aspek Pragmatik Bahasa Indonesia
GBPP Bahasa dan Sastra Indonesia, baik pada Kurikulum 1984 maupun pada Kurikulum 1994,
dinyatakan bahwa aspek-aspek pragmatik digunakan untuk bermacam-macam fungsi sesuai
dengan apa yang ingin disampaikan oleh penutur, yang meliputi :Untuk menyatakan informasi
faktual (mengidentifikasi, melaporkan, menanyakan, mengoreksi);
1. Untuk menyatakan informasi faktual (mengidentifikasi, melaporkan, menanyakan,
mengoreksi);
2. Menyatakan sikap intelektual (menyatakan setuju atau tidak setuju, menyanggah dan
sebagainya);
3. Menyatakan sikap emosional (senang, tak senang, harapan, kepuasan dan sebagainya;
4. Menyatakan sikap moral (meminta maaf, menyatakan penyesalan, penghargaan dan
sebagainya);
5. Menyatakan perintah (mengajak, mengundang, memperingatkan dan sebagainya);
6. Untuk bersosialisasi (menyapa, memperkenalkan diri, menyampaikan selamat, meminta
perhatian dan sebagainya), GBPP Kurikulum 1994 : 19).
Oleh karena dewasa ini yang digunakan GBPP Bahasa dan Sastra Indonesia Kurikulum 1994,
uraian selanjutnya lebih dititikberatkan pada GBPP tersebut, yaitu diantaranya seperti di bawah
ini :
a. Fungsi bahasa untuk menyatakna informasi faktual
b. Fungsi bahasa untuk menyatakan sikap intelektual
c. Fungsi bahasa untuk menyatakan sikap emosional
d. Fungsi bahasa untuk menyatakan sikap moral
e. Fungsi bahasa untuk menyatakan perintah
f. Fungsi bahasa untuk menyatakan bersosialiasi
Dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi bahasa tadi, Halliday (1973) membaginya menjadi :
1. Fungsi instrumental
2. Fungsi regulais
3. Fungsi representasional
4. Fungsi interaksional
5. Fungsi personal
6. Fungsi heuristik
7. Fungsi imajinatif.
Popper (dalam Leech, 1983 : 49) mengelompokkan fungsi bahasa menjadi :
1. Fungsi ekspresif
2. Fungsi informatif
3. Fungsi deskriptif
4. Fungsi argumentatif.
Nababan (1987 : 13) yang mendasarkan diri dari pandangan Martin Joos mengenai ragam
fungsiolek, membagi fungsi Bahasa Indonesia berdasarkan gaya bahasa (style) menjadi :
1. ragam beku
2. ragam resmi
3. ragam usaha
4. ragam santai
5. ragam akrab
Pengajaran Aspek-aspek Pragmatik Bahasa Indonesia
Aspek-aspek pragmatik diantaranya sebagai berikut :
1. Aspek sosialisasi
2. Aspek intelektual
3. Aspek menyelenggarakan sesuatu atau aspek perintah
Ditinjau dari penyajian aspek-aspek pragmatik yang terdapat di dalamnya, ternyata buku-buku
yang berlandaskan pada GBPP Kurikulum 1994 lebih bersifat atau sesuai dengan pendekatan
prgamatik komunikatif dibandingkan dengan buku-buku yang disusun berdasarkan GBPP
Kurikulum 1994
P. TINDAK TUTUR
Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji
bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik
mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang
seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara
kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat
sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini
seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip
kesantunan.
Di dalam bukunya How to Do Things with Words, Austin (1962:1-11) membedakan tuturan
yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Tindak tutur
konstatif adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji –benar
atau salah—dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia. Sedangkan tindak tutur
performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu,
pemakai bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi sahih atau
tidak. Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan tiga jenis tindakan: (1) tindak tutur lokusi,
yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam
kamus dan menurut kaidah sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang
mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak
tutur itu dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya
dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.
Pencetus teori tindak tutur, Searle (1975:59-82) membagi tindak tutur menjadi lima kategori:
1. Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang
diujarkan
2. Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar
melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu
3. Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan
sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu.
4. Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang
disebutkan di dalam tuturannya
5. Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan
hal (status, keadaan, dsb) yang baru.
Tindak tutur juga dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak
langsung. Penggunaan tuturan secara konvensional menandai kelangsungan suatu tindak tutur
langsung. Tuturan deklaratif, tuturan interogatif, dan tuturan imperatif secara konvensional
dituturkan untuk menyatakan suatu informasi, menanyakan sesuatu, dan memerintahkan mitra
tutur melakukan sesuatu. Kesesuaian antara modus dan fungsinya secara konvensional inilah
yang yang merupakan tindak tutur langsung. Sebaliknya, jika tututan deklaratif digunakan untuk
bertanya atau memerintah –atau tuturan yang bermodus lain yang digunakan secara tidak
konvensional--, tuturan itu merupakan tindak tutur tidak langsung. Sehubungan dengan
kelangsungan dan ketaklangsungan tuturan, tindak tutur juga dibedakan menjadi tindak tutur
harfiah (maksud sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya) dan tidak harfiah (maksud
tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya). Jika dua jenis tindak tutur, langsung
dan taklangsung, digabung dengan dua jenis tindak tutur lain, harfiah dan takharfiah, diperoleh
empat macam tindak tutur interseksi, yaitu (1) tindak tutur langsung harfiah, (2) tindak tutur
langsung takharfiah, (3) tindak tutur taklangsung harfiah, (4) tindak tutur taklangsung takharfiah.
Di tinjau dari sudut pandang kelayakan pelaku tindak tutur, Fraser (1974) mengemukakan dua
jenis tindak tutur : (1) vernakuler, yaitu tindak tutur yang dapat dilakukan oleh setiap anggota
masyarakat, dan (2) seremonial, yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh orang yang berkelayakan
untuk hal yang dituturkannya.
cantik”, Berapa saudaramu, Mad?2. Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech
act) adalah tindak tutur yangdiungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan
maksud pengutaraannya, tetapimakna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang
dimaksudkan oleh penutur.Misalnya : “Lantainya kotor”. Kalimat itu jika diucapkan seorang
ayah kepada anaknya bukansaja menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk
membersihkannya.3. Tindak tutur langsung tidak literal (direct non literal speech) adalah tindak
tutur yangdiutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan, tetapi kata-
kata yangmenyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya.
Misalnya :“Sepedamu bagus, kok”. Penuturnya sebenarnya ingin mengatakan bahwa sepeda
lawan tuturnya jelek.4. Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act)
adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud
yang ingin diutarakan.Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai kotor, seorang
majikan dapat sajamengutarakannya dengan kalimat “Lantainya bersih sekali, Mbok”.C. Daftar
PustakaGunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-
Jawa diJakarta” dalam PELBA 7. Jakarta: Unika Atmajaya Press.Leech, Geoffrey.1983.
Principles of Pragmatics. London: LongmanRohmadi, Muhammad. 2004. Prakmatik Teori dan
Analisis. Yogyakarta: Lingkar MediaWijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik.
Yogyakarta: Andi Offset
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sebagai kata akhir dari paparan ini, penulis menyimpulkan bahwa dalam pragmatik
umum senntiasa mengupas hal-hal yang bersifat lokal dan situasional serta dapat diatur dalam
sosiopragmatik (sociopragmatics) dan pragmalinguistik (pragmalinguistics), karena memang
kedua bidang ini merupakan cabang dari pragmatik umum yang memiliki hubungan yang
sinergi. Sosio-pragmatik memiliki kesamaan dengan istilah ketepatan isi (appropriateness in
meaning), yaitu sejauh mana fungsi komunikasi tertentu, sikap dan gagasan dianggap tepat
sesuai dengan situasi yang berlaku. Hal ini berhubungan erat dengan aspek sosiologi. Bahkan,
dalam berkomunikasi seorang penutur dituntuk untuk menguasai kajian lintas budaya (cross
culture), hal ini dilakukan dalam rangka membangun prinsip-prinsip kerjasama dan sopan santun
dalam proses komunikasi, sehingga tujuan komunikasi dapat dicapai secara efektif dan
menghindari kesalahfahaman anatar penutur dan lawan tutur.þ
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rofik. 2002. “Analisis Penggunaan Implikatur Percakapan Antara Resepsionis
dan Tamu Check in di Guest House Paradiso Surakarta”. Skripsi. Surakarta : Universitas Sebelas
Maret
Brown, Gillian dan Yule, George. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Hidayah , Chotamul. 2006. “ Implikatur Percakapan dalam Pembelajaran di SD Plus
Al Firdaus Surakarta (Kajian Pragmatik)”.Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Austin, J.L. 1965 How to do Things with Word. Oxfort: Oxford Univercity Press.
Bambang Kaswanti Purwo. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik; Ke Arah Memahami Metode Linguistik.
Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
_________ . 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.as Maret.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi Ofset.
(http://lisadypragmatik.blogspot.com/2011/06/pragmatik-oleh-sidon.html).
(http://tulisanmakyun.blogspot.com/2011/06/linguistik pragmatik.html)
http://cancergokiltheking.blogspot.com/2013/07/implikaturpercakapan-adalah-implikasi.html
Selasa, 09 Juli 2013
Implikatur dalam Pragmatik
Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatik yang terdapat di dalam percakapan
yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan. Sejalan dengan batasan
tentang implikasi pragmatic, implikatur percakapan itu adalah proposisi atau “pernyataan”
implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan atau dimaksudkan oleh penutur, yang
berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur di dalam suatu percakapan (Grice
1975:43, Gadzar 1979:38 dalam Rustono 1999:82). Implikatur percakapan terjadi karena adanya
kenyataan bahwa sebuah ujaran nyang mempunyai implikasi berupa proposisi yang sebenarnya
bukan bagian dari tuturan itu (Gunarwan 1994:52 dalam Rustono 1999:82).
Didalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud tertentu
yang tidak dituturkan bersifat tidak mutlak (Rahardi 2003 :85)Pembahasan tentang implikatur
mencakupi pengembangan teori hubungan antara ekspresi, makna, makna penutur, dan implikasi
suatu tuturan. Di dalam teorinya itu, ia membedakan tiga jenis implikatur, yaitu implikatur
konvensional, implikatur nonkonvensional, dan praanggapan. Selanjutnya implikatur
nonkonvensional dikenal dengan nama implikatur percakapan. Selain ketiga macam implikatur
itu, ia pun membedakan dua macam implikatur percakapan, yaitu implikatur pecakapan khusus
dan implikatur percakapan umum. (Grice 1975:43-45 dalam Rustono 1999:83)
(1) Implikatur konvensional adalah implikatur yang diperolah langsung dari makna kata, bukan dari
prinsip percakapan. Tuturan berikut ini mengandung implikatur konvensional. Contoh:
a. Lia orang Tegal, karena itu kalau bicara ceplas-ceplos.
b. Poltak orang Batak, jadi raut mukanya terkesan galak.
Implikasi tuturan (a) adalah bahwa bicara ceplas-ceplos Lia merupakan konsekuensi karena
ia orang Tegal. Jika Lia bukan orang Tegal, tentu tuturan itu tidak berimplikasi bahwa bicara
ceplas-ceplos Lia karena ia orang Tegal. Implikasi tuturan (b) adalah bahwa raut muka galak
Poltak merupakan konsekuensi karena ia orang Batak. Jika Poltak bukan orang Batak, tentu
tuturan itu tidak berimplikasi bahwa raut muka galak Poltak karena ia orang Batak.
(2) Implikatur nonkonvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi pragmatik yang
tersirat di dalam suatu percakapan. Di dalam komunikasi, tuturan selalu menyajikan suatu fungsi
pragmatik dan di dalam tuturan percakapan itulah terimplikasi suatu maksud atau tersirat fungsi
pragmatik lain yang dinamakan implikatur percakapan. Berikut ini merupakan contoh tuturan di
dalam suatu percakapan yang mengandung suatu implikasi percakapan.
A: ”HP mu baru ya? Mengapa tidak membeli N70 aja?”
B : ”Ah, harganya terlalu mahal.”
Implikatur percakapan tuturan itu adalah bahwa HP yang dibeli A murah sedangkan HP N70
harganya lebih mahal daripada HP yang dibeli A.
Dua dikotomi implikatur percakapan selanjutnya adalah implikatur percakapan umum
dan implikasi percakapan khusus. (Grice 1975:45, Levinson 1983:131)
A. Implikatur percakapan khusus adalah implikatur yang kemunculannya memerlukan konteks
khusus. Tuturan (1) hanya berimplikasi (2) jika berada di dalam konteks khusus seperti pada
percakapan (3) berikut ini.
(1) Langit semakin mendung, sebentar lagi hujan datang.(2) (Ibu belum pulang dari pasar).(1) A: Mengapa Ibu belum pulang?
B: Langit semakin mendung, sebentar lagi hujan datang.B. Implikatur percakapan umum adalah implikatur yang kehadirannya di dalam percakapan tidak
memerlukan konteks khusus. Implikatur (1) sebagai akibat adanya tuturan (2) merupakan
implikatur percakapan umum.
(1) Saya menemukan uang.(2) (Uang itu bukan milik saya)
IMPLIKATUR
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa (linguistik) yang belakangan ini semakin
dikenal. Salah satu bagian pragmatik yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Implikatur.
Konsep implikatur pertama kali dikenalkan oleh H.P Grice (1975) untuk memecahkan persoalan
makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur bahasa dipakai
untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal
yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harafiah (Brown dan Yule, 1983:31 dalam Abdul
Rani, 2006:176). Untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan bahasan implikatur secara rinci di bawah
ini.
A. Pengertian Implikatur
Dijelaskan lebih lanjut bahwa Grice (dalam Suseno,1993:30 via Mulyana)
mengemukakan bahwa implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan
yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang
dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau
ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.
Dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversation mengemukakan bahwa sebuah
tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan
bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut implikatur (implicature). Karena
implikatur bukan merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, hubungan kedua
proposisi itu bukan merupakan konsekuensi mutlak (necessary consequence).
Secara etimologis, implikatur diturunkan dari kata implicatum dan secara nomina kata ini
hampir sama dengan kata implication, yang artinya maksud, pengertian, keterlibatan
(Echols,1984:313 via Mulyana). Secara structural, implikatur berfungsi sebagai jembatan/rantai
yang menghubungkan antara “yang diucapkan” dengan “yang diimplikasikan”.
Menurut PWJ Nababan (1987:28) dalam Abdul Rani menyatakan bahwa implikatur
berkaitan erat dengan konvensi kebermaknaan yang terjadi di dalam proses komunikasi. Konsep
itu kemudian dipahami untuk menerangkan perbedaan antara hal “yang diucapkan” dengan hal
“yang diimplikasikan”.
B. Jenis-jenis Implikatur
Grice (1975) dalam Abdul Rani (2006: 171) menyatakan, bahwa ada dua macam
implikatur, yaitu (1) conventional implicature (implikatur konvensional), dan (2) conversation
implicature (implikatur percakapan).Berikut ini merupakan penjelasan dua macam implikatur
tersebut:
1. Implikatur konvensional
Implikatur konvensional yaitu implikatur yang ditentukan oleh “arti konvensional
kata-kata yang dipakai”. Maksudnya adalah pengertian yang bersifat umum, semua
orang umumnya sudah mengetahui tentang maksud atau pengertian sesuatu hal
tertentu.
Contoh:
(1). Lestari putri Solo, jadi ia luwes.
Implikasi umum yang dapat diambil antara putri Solo dengan luwes pada contoh di
atas bahwa selama ini, koto Solo selalu mendapat predikat sebagai kota kebudayaan
yang penuh dengan kehalusan dan keluwesan putrid-putrinya. Implikasi yang muncul
adalah, bahwa perempuan atau wanita Solo umumnya dikenal luwes penampilannya.
Implikatur konvensional bersifat nontemporer. Artinya, makna atau pengertian
tentang sesuatu bersifat lebih tahan lama. Suatu leksem, yang terdapat dalam suatu
bentuk ujaran, dapat dikenali implikasinya karena maknanya “yang tahan lama” dan
sudah diketahui secara umum.
2. Implikatur percakapan
Implikatur jenis ini dihasilkan karena tuntutan daru suatu konteks pembicaraan
tertentu. Implikatur percakapan ini memiliki makna dan pengertian yang lebih
bervariasi. Pasalnya, pemahaman terhadap hal “yang dimaksudkan: sangat
bergantung kepada konteks terjadinya percakapan. Jadi, bila implikatur konvensional
memiliki makna yang tahan lama, maka implikatur percakapan ini hanya memiliki
makna yang temporer yaitu makna itu berarti hanya ketika terjadi suatu percakapan
tersebut/terjadi pembicaraan dalam konteks tersebut.
Dalam suatu dialog (percakapan), sering terjadi seorang penutur tidak mengutarakan
maksudnya secara langsung. Hal yang hendak diucapkan justru ‘disembunyikan’,
diucapkan secara tidak langsung, atau yang diucapkan sama sekali berbeda dengan
maksud ucapannya.
Contoh:
(2) Ibu : Ani, adikmu belum makan.
Ani : Ya, Bu. Lauknya apa?
Pada contoh di atas, percakapan antara Ibu dengan Ani mengandung implikatur yang
bermakna ‘perintah menyuapi’. Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk
kalimat perintah. Tuturan yang diucapkan Ibu hanyalah pemberitahuan bahwa ‘adik
belum makan’. Namun, karena Ani dapat memahami implikatur yang disampaikan
Ibunya, ia menjawab dan kesiapan untuk melaksanakan perintah ibunya tersebut.
Grice menjelaskan bahwa implikatur percakapan itu mengutip prinsip kerjasama atau
kesepakatan bersama, yakni kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan
harus saling berkait. Grice mengemukakan pula bahwa prinsip kerjasama yang
dimaksud sebagai berikut: Berikanlah sumbangan Anda pada percakapan
sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan tujuan atau arah pertukaran
pembicaraan Anda terlihat di dalamnya. Dengan prinsip umum tersebut, dalam
perujaran, para penutur disarankan untuk menyampaikan ujarannya sesuai dengan
konteks terjadinya peristiwa tutur, tujuan tutur, dan giliran tutur yang ada. Prinsip
kerjasama ini, ditopang oleh seperangkat asumsi yang disebut prinsip-prinsip
percakapan (maxims of conversation) yang meliputi: (1) prinsip kuantitas, member
informasi sesuai dengan yang diminta (2) prinsip kualitas, menyatakan hanya yang
menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya (3) prinsip hubungan, member
sumbangan informasi yang relevan dan (4) prinsip cara, menghindari ketidakjelasan
pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat,
mengungkapkan secara beraturan. Tiga yang pertama berkenaan dengan ‘apa yang
dikatakan’, dan yang keempat berkenaan dengan ‘bagaimana mengatakannya’.
Namun, prinsip kerjasama ini disanggah oleh Leech (1985:17) via Abdul Rani (2006)
yang mengatakan bahwa, dalam pragmatik, komunikasi bahasa merupakan gabungan
antara tujuan ilokusi dan tujuan sosial. Dengan demikian, dalam komunikasi bahwa
itu, di samping menyampaikan amanat dan bertindak tutur, kebutuhan dan tugas
penutur adalah menjaga agar percakapan berlangsung lancar, tidak macet, tidak sia-
sia, dan hubungan sosial antara penutur pendengar tidak terganggu. Untuk itu,
menurut Leech, prinsip kerjasama Grice harus berkomplemen (tidak hanya sekedar
ditambah) dengan prinsip sopan santun agar prinsip kerjasama terselamatkan dari
kesulitan menjelaskan antara makna dan daya.
Contoh:
(3) Ibu (I) : “Ada yang memecahkan pot ini”
Anak (A) : “Bukan saya!”
Dari contoh di atas, si Anak (A) memberikan jawaban yang seakan-akan tidak gayut
(pelanggaran prinsip hubungan): A bereaksi seolah-olah dia harus menyelamatkan
dirinya dari suatu perbuatan jahat padahal dalam kalimat si Ibu (I) tidak ada kata-kata
menuduh A melakukan perbuatan tersebut. Dalam situasi seperti itu, jawaban berupa
penyangkalan A sebetulnya dapat diramalkan dan ketidakgayutan (pelanggaran
prinsip hubungan) dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kita andaikan I tidak tahu siapa yang melakukan perbuatan tersebut, tetapi
ia mencurigai A. Karena I ingin bersifat sopan, I tidak mengucapkan
tuduhan langsung. Sebagai pengganti, ia membuat pernyataan yang kurang
informatif, tetapi benar, yaitu mengganti pronominal kamu dengan ‘ada
yang’. A menangkap maksud I dan pernyataan I ditafsirkan oleh A sebagai
suatu tuduhan tidak langsung. Akibatnya, ketika A mendengar pernyataan
itu, A memberi respons sebagai orang yang dituduh, yaitu A menyangkal
suatu perbuatan yang belum dituduhkan secara terbuka. Jadi, pelanggaran
maksum hubungan dalam jawaban A disebabkan oleh implikatur di dalam
ujaran I, sebuah implikatur tidak langsung yang dimotivasi oleh sopan
santun. Jadi, sasaran jawaban A adalah implikatur ini, bukan ujaran I yang
sesungguhnya diucapkan.
Menurut Levinson (1983) via Abdul Rani (2006:173), ada empat macam faedah
konsep implikatur, yaitu:
a. Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tidak
terjangkau oleh teori-teori linguistik.
b. Dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang
dimaksud si pemakai bahasa
c. Dapat memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang hubungan klausa
yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama.
d. Dapat memerikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan,
malah berlawanan (seperti metafora).
Dari keterangan itu, jelas bahwa kalimat-kalimat yang secara lahiriah kita lihat tidak
berkaitan, tetapi bagi orang yang mengerti penggunaan bahasa itu dapat menangkap
pesan yang disampaikan oleh pembicara, seperti:
(4). Suami : “Si Cuplis menangis minta mimik ibunya!”
Istri : “Saya sedang menggoreng.”
Kedua kalimat di atas secara konvensional struktural tidak berkaitan. Tetapi, bagi
pendengar yang sudah terbiasa dengan situasi yang demikian akan paham apa arti
kalimat kedua itu. Si istri tidak menjawab ujaran suami bahwa Si Cuplis (anaknya)
menangis karena diduga oleh si suami haus dan minta minum susu ibunya, tetapi
hanya menyatakan bahwa dirinya sedang menggoreng. Dan, jelas kalimat tersebut
hanya dapat dijelaskan oleh kaidah-kaidah pragmatik saja.
Keberadaan implikatur dalam suatu percakapan (wacana dialog) diperlukan antara
lain untuk:
a. Memberi penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau
oleh teori-teori linguistik struktural.
b. Menjembatani proses komunikasi antarpenutur.
c. Memberi penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana kemungkinan
pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara
lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud.
d. Dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan
antarklausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur
yang sama.
e. Dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang secara
lahiriah tidak berkaitan (Levision dalam PWJ Nababan, 1987:28).
Istilah implikatur berantonim dengan kata eksplikatur. Menurut Grice (Brown & Yule,
1986:31 dalam Abdul Rani (2006), istilah implikatur diartikan sebagai “what a speaker can
imply, or mean, as distinct from what a speaker literally says” . Senada dengan itu, Pratt
menyatakan (1981; 1977 via Abdul Rani) “what is said is implicated together from the meaning
of the utterance in that context.” Dari pengertian dia atas. diketahui bahwa implikatur adalah
makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan
(eksplikatur). Menggunakan implikatur dalam berkomunikasi berarti menyatakan sesuatu secara
tidak langsung.
Contoh:
(5) (Konteks: Udara sangat dingin. Seorang suami yang mengatakan pada istrinya yang
sedang berada di sampingnya).
Suami : “Dingin sekali!”
Transkip ujaran suami yang tidak disertai dengan konteks yang jelas dapat ditafsirkan
bermacam-macam, antara lain:
(5a) permintaan kepada istrinya untuk mengembalikan baju hangat, jaket, atau selimut,
atau minuman hangat untuk menghangatkan tubuhnya
(5b) permintaan kepada istrinya untuk menutup jendela agar angin tidak masuk kamar
sehingga udara di dalam ruangan menjadi hangat.
(5c) pemberitahuan kepada istrinya secara tidak langsung bahwa kesehatannya sedang
terganggu.
(5d) permintaan kepada istrinya agar ia dihangati dengan tubuhnya.
Makna dari keempatnya tersebut merupakan makna implikatur. Makna umum secara tersurat
(literal), yang biasa disebut eksplikatur, contoh di atas adalah “informasi bahwa keadaan (saat
itu) sangat dingin”. Dari sini, terlihat jelas perbedaan makna implikatur dan ekplikatur.
Dari penjelasan di atas, ternyata implikatur dapat dibedakan menjadi beberapa macam
berdasarkan bentuk eksplikaturnya. Berikut ini paparannya lebih lanjut:
a. Implikatur yang berupa makna yang tersirat dari sebuah ujaran (between the line),
merupakan implikatur yang sederhana.
b. Implikatur yang berupa makna yang tersorot dari sebuah ujaran (beyond the line), yang
merupakan lanjutan dari implikatur yang pertama.
c. Implikatur yang berkebalikan dengan eksplikaturnya. Meskipun berkebalikan, hal itu
pada umumnya tidak menimbukan pertentangan logika.
C. Ciri-ciri Implikatur
Gunarwan (dalam Rustono, 1999:89 via guru-umarbakri.blogspot.com) menegaskan
adanya tiga hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan implikatur, yaitu:
(1) implikatur bukan merupakan bagian dari tuturan,
(2) implikatur bukanlah akibat logis tuturan,
(3) sebuah tuturan memungkinkan memiliki lebih dari satu implikatur, dan itu
bergantung pada konteksnya.
D. Contoh Implikatur
* Latihan
1. A : Bambang datang
B : a. Rokoknya disembunyikan
b. Aku akan pergi dulu
c. Kamarnya dibersihkan
I mp : a. Mungkin Bambang adalah perokok, tapi ia tidak pernah membeli rokok.
Merokok kalau ada yang memberi, dan tidak pernah member temannya, dsb.
b. Mungkin tidak senang dengan Bambang
c. Mungkin Bambang adalah seorang pembersih. Ia akan marah-marah melihat
sesuatu yang kotor.
2. Bapak : Baju Bapak belum diseterika
Ibu : Ibu sedang menyuapi adek, Pak
Imp : Ibu menolak menyetrikakan baju Bapak karena sedang menyuapi adek makan
3. (Konteks: Jam menunjukkan pukul 10 malam. Seorang ibu kos menegur anak kos yang
masih duduk di depan bersama teman-temannya)
Ibu Kos : “Sudah jam sepuluh, Mbak!”
Imp : a.Ibu kos meminta teman-teman anak kosnya untuk segera pulang
b. Ibu kos bermaksud memberi tahu bahwa jam berkunjung sudah lewat dari
batasnya
…
4. Kemarin aku bertemu dengan si Ucok yang pembawaannya keras. Pantas saja, ternyata dia
orang Batak.
Selama ini, orang Batak selalu dipandang sebagai orang yang berwatak keras,
implikasi yang muncul adalah orang Batak, pembawaannya keras.
5. Deni bak orang Negro, jadi dia hitam
Selama ini kita tahu bahwa Orang Negro identik dengan kulit hitam, maka
implikasi yang muncul adalah orang Negro berkulit hitam.
6. Janganlah seperti Linling, yang perhitungan, kamu bukan orang Cina.
Selama ini kita tahu nama Lingling identik dengang nama orang Cina. Orang Cina
juga identik dengan pelit atau perhitungan dengan uang. Implikasi yang muncul
adalah orang Cina perhitungan/pelit.
7. Dia orang Padang, dia suka sekali makanan pedas.
Selama ini, orang Padang selalu suka makan pedas, implikasi yang muncul adalah
Orang Padang suka makanan yang pedas.
8. A : Aduh, perutku keroncongan.
B : Ok, kita ke warung Rata-rata saja.
Implikatur : …
9. A : Bu Guru sudah datang
B : a. Cepat keluarkan buku di atas meja!
b. Jangan ramai!
c. Cepat duduk ditempat masing-masing!
d. PRmu sudah kamu kerjakan belum?
Implikatur : a. …
b. …
c. …
d. …
10. (Konteks: Malam minggu, pria dan wanita sedang pendekatan)
Pria : “Wah, nanti malam sudah malam minggu nih…”
Implikatur : ….
Daftar Pustaka
guru-umarbakri.blogspot.com. Pragmatik diakses 3 Februari 2010 pukul 15.00
Rani, Abdul, dkk. 2006. Analisis Wacana. Jawa Timur: Banyumedia Publishing
Subagyo, Ari P. Pragmatik 1 (handout). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma
Widharyanto, B. handout perkuliahan: Unsur-Unsur Wacana
Implikatur
Implikatur berasal dari bahasa latin implicare yang berarti "melipat". hal ini dijelaskan oleh Mey melalui Nadar (2009:60) bahwa untuk mengetahui apa yang dilipat harus dengan cara membukanya. dengna kata lain, implikatur dapat dikatakan sebagai sesuatu yang terlipat.
Implikatur secara sederhana dapat diartikan sebagai makna tambahan yang disampaikan oleh penutur yang terkadang tidak terdapat dalam tuturan itu sendiri. Sebuah tuturan dapat mengimplikasikan
proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan tersebut oleh Grice disebut sebagai implikatur percakapan.
Secara garis besar terdapat dua jenis implikatur. Yang pertama adalah implikatur konvensional. Implikatur ini lebih menjelaskan pada apa yang yang diutarakan. Sedangkan yang kedua telah disebut pada paragraf sebelumnya yaitu implikatur percakapan. Implikatur percakapan lebih menekankan maksud lain dari apa yang dituturkan.
Sebagai contoh perhatikan tuturan A terhadap B berikut :
A : Besok saya akan mengadakan syukuran kelulusan anak saya
B : Saya ada acara besok.
Secara konvensional percakapan di atas mempunyai maksud bahwa A memberikan informasi bahwa ia akan mengadakan acara syukuran anaknya yang lulus dan B juga menginformasikan bahwa pada saat A mengadakan acara, B memiliki acara lain secara bersamaan. Namun, ternyata ada makna yang lebih jauh dari percakapan di atas dan ini dapat dijelaskan melalui implikatur percakapan. Tuturan A kepada B sebenarnya tidak semata-mata sebagai informasi akan acara yang hendak ia lakukan, tetapi dibalik itu terdapat maksud lain, yaitu A bermaksud mengundang B untukdatang pada acara yang ia lakukan. Sedangkan jawaban B juga memiliki maksud yaitu menyatakan ketidaksanggupan B untuk menghadiri acara A. Hal ini dapat dikatakan sebagai ungkapan penolakan B terhadap undangan A dengan cara yang lebih halus dan tidak menyinggung perasaan A karena adanya alasan mengapa B tidak dapat memenuhi undangan A tersebut.
Dalam implikatur, baik dalam bentuk implikatur konvensional maupun implikatur percakapan, pembicara sering menyampaikan maksudnya lebih dari apa yang dirumuskan oleh Brown & Yule dan Samsuri dalam Sugira Wahid dan Juanda (2006:94) bahwa implikatur implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau yang dimaksud oleh pembicara berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah.
Menurut Searle (Dalam Sugira Wahid dan Juanda, 2006: 93) dalam tindak ilokusi tidak langsung, pembicara (penulis) menyampaikan maksudnya kepada pendengar (pembaca) lebih dari apa yang ujarkannya dengan menghubungkan informasi latar belakang bersama kedua pihak (pemberi dan penerima informasi), baik yang bersifat kebahasaan maupun yang bersifat nonkebahasaan. Konsep tindak ilokusi tidak langsung tersebut berkaitan dengan konsep implikatur.
Keterhubungan pengertian tindak tutur tak langsung dengan pengertian implikatur tampak dalam contoh Leech, yaitu :
Very hot in here, isn’t it?
(Panas sekali disini, bukan?)
Ujaran tersebut merupakan contoh baik ilokusi tidak langsung maupun implikatur. Dalam contoh tersebut, pembicara secara implisit menghendaki agar mesin pendingin dihidupkan. Tetapi dalam siatuasi lain, tuturan tersebut dapat merupakan pembuka pembicaraan agar suasana tidak terasa kaku. Karena itu Brown dan Yule dan Samsuri (dalam Sugirah Wahid dan Juanda, 2006: 94) mengatakan bahwa hal semacam itu merupakan kelemahan teoari tindak tutur karena dalam sebuah ujaran dapat terjadi sekaligus beberapa tindak bahasa, sedangkan teori tindak tutur tidak memberi saran cara menentukan bagaimana kita menentukan unsur kebahasaan tertentu untuk menerima tafsiran makna yang tertentu pula. Karena itulah maka untuk menghindari hal semacam itu, Grice (1975) memberikan sebuah prinsip yang disebut prinsip kooperatif dan empat buah maksim yang menunjang prinsip tersebut. Keempat maksim tersebut antara lain:
(1) Maksim kuantitas (maxim of quantity)
(2) Maksim kualitas (maxim of quality)
(3) Maksim relevansi (maxim of relefance)
(4) Maksim pelaksanaan (maxim of manner)
Berikut ini Prinsip Kerja Sama Grice (1975) tersebut selengkapnya.
1. Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)
- Jadikan kontribusia Anda seinformatif mungkin sebagaimana yang diperlukan.
- Jangan membuat kontribusi lebih informatif dari yang diperlukan.
Seorang penutur diharapakan dapat memberiakan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan simitra tutur. Tuturan yang diperlukan si mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerjasama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas.
Berikut ini contohnya :
(1.a) “ Lihat itu Muhammad Ali mau bertanding lagi !”
(1.b) “ Lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi !”
Informasi indeksal
Tuturan (1.a) dan (1.b) dituturkan oleh seorang pengagum Muhammad Ali kepada rekannya yang juga mengagumi petinju legendaris itu. Tuturan itu dimunculkan pada waktu mereka bersama-sama melihat salah satu acara tinju di televisi.
Tuturan tuturan (1.a) dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi seperti ditunjukkan pada tuturan (1.b) justru akan menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan maksim ini, tuturan seperti pada tuturan (1.b) di atas tidak mendukung atau bahkan melanggar prinsip Kerja Sama Grice.
Dalam sebuah interaaksi, para peserta juga menaati maksim kuantitas submaksim kedua, yakni tidak memberikan informasi yang lebih dari yang dibutuhkan. Dalam realisasinya, hal tersebut terjadi apabila penutur merespon inisiasi yang berupa pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”. Perhatikan wacana berikut:
[2] A : Mengapa Anda belajar Bahasa Inggris? (1.c)
B : Karena jika menguasai Bahasa Inggris, saya akan mampu berkomunikasi dengan orang asing, memahami buku-buku berbahasa Inggris, dan lebih mudah mendapat pekerjaan. (1.d)
Pada wacana di atas, inisiasi A dengan tuturan (1.c) direspon dengan informasi yang memadai dalam tuturan (1.d). Karena inisiasi berupa pertanyaan “mengapa”, maka respon yang diberikan lebih panjang dibanding respon terhadap inisiasi “apa” atau “siapa”.Dengan demikian dapat dikatan bahwa pada wacana di atas para peserta tutur telah menaati maksim kuantitas, submaksim kedua.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penaatan maksim kuantitas dalam sebuah interaksi berfungsi untuk (1) menyampaikan informasi yang jelas, (2) meminta bantuan, dan (3) menghindari kesalahpahaman.Singkatnya, penaatan maksim kuantitas dilakukan peserta tutur agar interaksi yang diikuti berlangsung dengan lancar dan sampai pada tujuannya.
2. Maksim kualitas (The Maxim of Quality)
- Jangan katakan apa yang dianggap sebagai pernyataan yang salah.
- Jangan katakan jika buntinya kurang memadai.
Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta yang sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan (2.a) dan tuturan (2.b) pada bagian berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan ini.
(2.a) “ Silahkan menyontek saja biar nanti asaya mudah menyonteknya!”
(2.b) “ Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti !
Informasi Indeksal:
Tuturan (2.a) dan (2.b) dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang ujian pada saat ia melihat ada seorang mahasiswa yang sedang melakukan usaha penyontekan
Tuturan (2.a) jelas lebih memungkikan terjadinya kerja sama anatara penutur dengan mitra tutur. Tuturan (2.b) dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang dilakukan oleh seseorang. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan terdpat seorang dose yang mempersilakan para mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung
Dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan mitra tutur sangat lazim menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan perkataan lain, untuk bertutur yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi.
Maksim kualitas menyarankan agar peserta tutur dalam suatu interaksi (1) tidak memberikan informasi yang diyakini salah (bohong), dan (2) tidak memberikan informasi yang tidak didukung cukup bukti. Hal tersebut terwujud jka para peserta tutur memberikan sumbangan informasi yang diyakini benar, dan apa yang diinformasikan didukung oleh bukti yang memadai. Kebenaran yang dimaksud dapat berupa kebenaran factual, kebenaran proporsional, dan kebenaran spiritual.
Untuk menentukan kebenaran suatu informasi tidaklah mudah.Dalam realisasinya, hakikat kebenaran dan ketidakbenaran suatu informasi, kebongan dan kejujuran seseorang, yang paling tahu adalah orang yang bersangkutan. Karena tidak mungkin kita melihat apa yang ada di balik benak para peserta tutur, Stubbs (1983) menyarankan agar kita bertumpu pada kebenaran faktual, yakni kebenaran yang didasarkan pada fakta. Kebenaran proporsional merupakan kebenaran yang didasarkan pada prinsip logika yang benar. Sedangkan kebenaran spiritual merupakan kebenaran yang didasarkan pada keyakinan spiritual yang biasanya disadari secara umum
3. Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance)
- Buatlah agar pernyataan itu relevan.
Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama.
Maksim hubungan menyarakan agar para peserta tutur memberikan informasi yang relevan dengan topik pembicaraan. Dalam realisasinya, para peserta tutur dalam sebuah interaksi menaati maksim hubungan dengan cara menyampaikan tuturan yang berisi informasi yang relevan dengan alur interaksi yang sedang diikuti. Wacana interaksi di pengadilan berikut patut diperhatikan:
[1] H : Nama? (a)
S : Suparmin. (b)
H : Alamat? (c)
S : Sawojajar, Malang. (d)
H : Pekerjaan? (e)
S : Swasta. (f)
Pada wacana [1] di atas, saksi (S) memberikan informasi yang relevan dengan inisiasi yang diberikan oleh hakim (H).tuturan S (a), (c), dan (e) selalu relevan dengan inisiasi H (b), (d), dan (f). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa S telah menaati maksim hubungan.
Relevansi suatu tuturan dilihat dalam kerangka hubungan yang lebih luas, yakni memiliki relevansi dengan konteks yang sedang terjadi meskipun secara literal tidak menunjukkan hubungan. Wacana interaksi antara penjual sate dan pembeli berikut patut diperhatikan:
[2] Pj : Kambing apa ayam, pak? (a)
Pb : Kambing sepuluh, pak. (b)
Pj : Kecap apa kacang? (c)
Pb : Kacang. Jangan pedes! (d)
Dalam wacana [2] di atas, secara literal informasi yang diberikan Pb kepada Pj tidak berhubungan. Namun dalam konteks memberli sate, informasi yang diberikan Pb melalui tuturan (b) dan (d) memiliki
relevansi dengan inisiasi Pj mealui tuturan (a) dan (c). Karena para peserta tutur memiliki praanggapan yang sama, maka inisiasi yang diajukan Pj dan respon yang diberikan Pb memiliki relevansi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Pb telah menaati maksim hubungan.
Secara umum, penaatan maksim hubungan dalam sebuah interaksi berfungsi untuk membuat setiap tuturan yang disampaikan memberi informasi yang relevan dengan tuturan yang direspon dan situasi ujarnya.Secara khusus, penaatan maksim hubungan memiliki fungsi untuk (1) mengusut kebenaran informasi, (2) mencari informasi, dan (3) memberikan informasi yang benar.
4. Maksim Cara (The Maxim of Manner)
- Hindari pernyataan yang kurang kabur
- Hindari ketaksaan
- Buatlah ujaran sesingkat mungkin
- Buatlah ujaran secara berurutan.
Dalam realisasinya, peserta tutur dalam sebuah interaksi menaati maksim cara dengan cara menghindari tuturan yang kabur, menghindari tuturan yang berarti ganda, tidak berbelit-belit, dan menyampaikan tuturan secara teratur. Biasanya, tuturan yang menaati maksim kuantitas sekaligus juga menaati maksim cara. Perhatikan wacana berikut:
[3] A : Berapa (hasil akhir) Chelsea lawan Liverpool? (a)
B : Tiga, satu. (b)
A : Di final, kamu pegang mana? (c)
B : MU (Manchester United). (d)
Pada wacana [3] di atas, B memberikan informasi yang dibutuhkan oleh A. Wacana di atas memiliki konteks semifinal liga Champion antara Chealsea melawan Liverpool. Tuturan (b) memberikan informasi skor akhir pertandingan semi final antara Chelsea melawan Liverpool, sedangkan tuturan (d) memberikan informasi tentang tim favorit juara, karena sebelumnya MU telah menang melawan Barcelona 1-0. Karena itu dapat dikatakan bahwa B telah menaati maksim cara.
Secara umum, penaatan maksim cara dalam sebuah interaksi memiliki fungsi untuk menyampaikan informasi secara jelas, tidak ambigu, singkat dan teratur dalam rangka menunjang tercapainya tujuan interaksi yang sedang diikuti. Secara khusus, penaatan maksimcara berfungsi untuk (1) menyampaikan informasi yang singkat dan jelas, dan (2) menghindari kesalahpahaman.