82
BAB IV
Santri Pondok Pesantren Edi Mancoro
Merajut Persatuan dalam Perbedaan
4.1. Pendahuluan
Tidak dipungkiri bahwa kemajemukan bangsa ini selain merupakan
kekayaan tersendiri juga menjadi masalah yang tidak bisa dikatakan kecil, bahkan
bisa membuat perpecahan dan disintegrasi bangsa. Kemunculan kelompok,
organisasi atau gerakan-gerakan yang memperjuangkan perbedaan dan
kebhinekaan di bangsa ini harus mendapat perhatian dan dukungan yang luas dari
segenep warga negara Indonesia.
Islam yang merupakan kekuatan yang besar di Indonesia ini mempunyai
peranan yang besar untuk memperjuangkan dan merajut persatuan dalam bhineka
tunggal ika. Kemajemukan atau pluralisme agama memberi sumbang sih yang
besar dalam beberapa kasus perpecahan di Indonesia, sebagaimana disebutkan di
BAB I. Untuk itu sangat bagus jika ada organisasi atau kelompok Islam yang
menyadari akan perjuangan pergerakan pluralisme ini.
Pondok pesantren Edi Mancoro merupakan salah satu pondok pesantren
NU yang sadar benar akan pejuangan dalam pluralisme bangsa ini. Sehingga
pondok pesantren Edi Mancoro dengan santri di dalamnya melakukan kegiatan-
kegiatan yang merajut kebersamaan dalam perbedaan. Dalam bab ini akan
diperlihatkan analisa penulis atas penelitian yang sudah dilakukannya.
83
4.2. Santri dan Perbedaan adalah keniscayaan
Segala perbedaan suku, agama, ras, pilihan parpol, ekonomi, suku, aliran
kepercayaan maupun jenis perbedaan lainnya itu sebuah keniscayaan. Kalau kita
meyakini itu sebuah anugerah, mungkin situasinya bisa lebih kondusif.
Sebaliknya, kalau itu sebuah musibah dan memaksakannya dengan sekuat tenaga
untuk menyatukan perbedaan maka setiap hari kita akan saling bertengkar dan
bertikai saja.
Perbedaan adalah sesuatu yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia.
Perbedaan adalah bintang yang selalu menghiasi langit sejarah peradaban
manusia. Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang masalah perbedaan, maka
itu akan menjadi tema pembicaraan yang tidak akan pernah habis untuk dibahas,
karena perbedaan itu sudah ada sejak zaman dahulu kala dan merupakan sebuah
keniscayaan.
Keniscayaan perbedaan tersebut bukan sesuatu yang salah maupun sebuah
masalah. Karena itu para pendiri bangsa ini merumuskan Pancasila sebagai
mengikat dalam satu kerukunan dan permusyawaratan. Kecuali mereka yang tidak
mengakui itu, tidak mengakui Pancasila sebagai dasar negara, menurut penulis
mereka harus dipertanyakan kenapa masih tinggal di Indonesia ini. Kalau
Indonesia tidak dimunculkan Pancasila, bisa saja hingga kini kita masih dibawah
kendali penjajah asing, atau minimal masih tercecer berdasarkan wilayah
kerajaannya masing-masing. Pastinya perjalanan hidup setiap kita akan beda
dengan yang sekarang kita alami, entah seperti apa, yang jelas penulis tidak bisa
membayangkan bagaimana Indonesia jadinya, tentu tidak seperti sekarang ini.
84
Demikian juga dengan sikap para santri pondok Edi Mancoro yang juga
mengakui bahwa perbedaan itu sesuatu yang sudah dari yang menciptakan
hidup/fitrah Tuhan. Dari pebedaan itu maka kita bisa saling belajar, saling
melengkapi untuk kekayaan kehidupan bersama ini. Sebagaimana umat Islam
meyakini dalam Al Qur’an ada firman Allah yang berbunyi :
Dan diantara tanda-tanda (kebesaran) Nya ialah menciptakan langit dan
bumi, perbedaan bahasamu dan perbedaan warna kulitmu. Sungguh
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-
orang yang mengetahui. (QS. ar-Ruum : 22).
Secara fisik dan bahasa saja, Tuhan telah memberikan perbedaan diantara
manusia. Dan tidak hanya sebatas itu, Tuhan juga memberikan perbedaan-
perbedaan dalam hal yang lain. Tuhan memberikan manusia akal yang berbeda,
kecerdasan yang berbeda, pola pikir yang berbeda, cara pandang yang berbeda
dan perbedaan-perbedaan yang lainnya. Dari sekian banyak perbedaan yang
dimiliki oleh manusia, maka tidak heran jika dari perbedaan-perbedaan tersebut
akan melahirkan sesuatu yang berbeda pula. Tidak terkecuali perbedaan cara
pandang di dalam menyelesaikan masalah yang ada dalam kehidupan ini.
Pemikian bahwa perbedaan itu adalah fitrah dan juga sunnatullah sejalan
dengan Gus Dur yang disampaikan juga dalam arah pikirannnya tentang
pluralisme. Semasa hidupnya Gus Dur selalu konsisten terhadap tiga hal, yaitu
demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme. Indonesia telah memilih demokrasi
sebagai sistem politik yang digunakan dalam pemerintahan, maka implikasinya
85
tidak ada diskriminasi. Hal ini berkaitan erat dengan konsep hak asasi manusia
dan pluralisme sebagai kenyataan bahwa Indonesia beragam.1
Sedangkann Jeremy Menchik melihat supremasi hukum di Indonesia harus
dipahami melalui sudut pandang UUD 1945. Konstitusi, yaitu negara hukum yang
menempatkan Ketuhanan Yang Maha sebagai prinsip utama serta nilai-nilai
agama yang mendasari gerakan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan bukan
sebagai negara yang memberlakukan pemisahan negara dan agama atau hanya
memegang prinsip individual atau komunal tertentu.2 Ini juga sama dengan
pemikiran para santri yang ada di pondok pesantren Edi Mancoro yang mengakui
Pancasila dan UUD 1945 sebagai supremasi hukum di Indonesia.
Jadi demikianlah menurut penulis, para santri pondok pesantren Edi
Mancoro mengakui perbedaan penduduk Indonesia yang majemuk ini. Perbedaan
diakui karena kehendak Tuhan sendiri untuk manusia saling melengkapi dan
saling belajar. Perbedaan itu indah dan bukan malapetaka jika kita memaknai
perbedaan itu dengan baik dan benar.
4.3. Santri dan Perbedaan dalam Membangun Persatuan
Santri dan pondok pesantren mempunyai peran yang sangat besar dalam
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Ini bukan hanya karena umat
Islam yang mayoritas di Indonesia, namun juga kesadaran pondok pesantren dan
santri dalam kerinduan untuk memperjuangkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Perjuangan itu sudah terbukti sejak perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejak
1 Mukhlas Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid, Gus Dur Seorang Mujaddid,
(Jakarta: PPPKI, 2013), 12. 2 Jeremy Menchik, Islam and Democracy in Indonesia : Tolerance Without Liberalism....,
1.
86
masa gerilya melawan penjajah hingga saat perumusan konsep Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) tak akan bisa lepas dari peran pondok pesantren dan
para santrinya. NKRI merupakan harga mati dan siapa pun yang bermaksud
merusak persatuan dan kesatuan bangsa, maka hukumnya wajib diperangi.
Bagi para santri pondok pesantren Edi Mancoro, NKRI juga merupakan
harga mati. Mereka juga mengerti bahwa sejak jaman dahulu, para santri pondok
pesantren berjuang untuk kemerdekaan dan juga mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Dalam menghadapi perbedaan atau pluralisme ini mereka lebih
mengutamakan persatuan di atas segala hal. Artinya jika memang ada
pertengakaran, pertikaian atau yang mengancam persatuan itu, maka para santri
percaya bahwa persatuan bangsa ini harus didahulukan.
Sebagaimana pemikiran Gus dur tentang bangsa ini yang penuh perbedaan
dan kemajemukan atau pluralisme ini, maka jika terjadi perbedaan dalam mencari
penyelesaian adalah harus dengan kerendahhatian dan mengutamakan persatuan
bangsa dan negara.3 Pluralisme yang digagas Gus Dur adalah bagian penting
dalam usaha mencita-citakan bangsa ini hidup rukun dan aman dalam
kebhinekaannya, ini menjadi pondasi penting dalam kehidupan dan kemanusiaan,
sebab sebuah bangsa yang begitu majemuk seperti Indonesia ini jika salah dalam
mengelola berbagai perbedaan paham keagamaan, aliran, suku, dan lain-lain akan
memunculkan ketegangan, permusuhan, dan kekerasan sosial yang mengarah
pada disintregasi bangsa.4
3 M. Sulton Fatoni dan Wijdan Fr., The Wisdom of Gus Dur: Butir-butir Kearifan Sang
Waskita (Jakarta, Pustaka Iman, 2014), 27. 4 Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid…, 264.
87
Menurut penulis sikap santri ini juga cocok dengan Jeremy Menchik
indonesia bukan negara agama, namun bukan sekuler. Pemikiran ini menunjukan
bahwa dasar negara bukan terletak pada salah satu agama, namun kepada
Pancasila dan UUD 1945 yang mengakomodasi pluralisme dan persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia ini. Untuk itu, menurut penulis NKRI harga mati
adalah hal yang pantas untuk diperjuangkan dan selalu didengungkan.
4.4. Pondok Pesantren Edi Mancoro dan Pluralisme
Pondok pesantren Edi Mancoro mempunyai peran yang besar dalam
menjaga pluralisme terutama di wilayah Salatiga dan juga meluas ke tempat lain.
Ini dibuktikan dengan adanya kegiatan-kegiatan lintas agama yang terjadi di sana
(telah penulis sampaikan di bab 3), sehingga membuat para santri juga terlatih
untuk selalu menjaga pluralisme yang ada di Indonesia ini.
Menurut penulis Gus Dur juga melihat bahwa pluralisme ini juga nilai
yang terkandung dalam Islam. sebagaimana sifat Islam yang universalisme,
bahwa nilai Islami pasti juga ada dalam pluralisme itu. Demikian juga dengan
kosmopolitanisme Islam yang mampu menyerap juga kebaikan atau budaya barat
yang masuk ke Islam, karena budaya Islam yang terbuka. Sifat kosmopolitan dari
Islam ini membuat Islam bisa duduk secara berdampingan setara dengan
rasionalisme barat, meskipun mulai dari titik pijak yang berbeda. Pertemuan
Islam dengan kosmopolitanisme barat dimulai dari gagasan Gus Dur tentang
pandangan dunia Islam yang dibangun oleh tiga nilai yaitu demokrasi, keadilan
dan persamaan. Kosmopolitanisme peradaban Islam memantulkan proses saling
menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar dunia Islam. Proses seperti
88
hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik dalam
suatu lingkup masyarakat, merupakan implikasi dari kosmopolitanisme peradapan
Islam.5 demikian juga menurut penulis tentang ide pribumisasi Islam, bagaimana
Islam bisa membaur dengan budaya di Indonesia yang majemuk ini, sehingga
Islam Indonesia harus bisa hidup dan menghargai perbedaan atau pluralisme.
Gus Dur juga mengatakan bahwa teologi itu tidak hanya mengenai
Ketuhanan saja, namun juga terkait masalah-masalah sosial. Penulis akan
memakai pemikiran Gus Dur ini dengan sebutan teologi yang holistik. Demikian
juga yang dikembangkan oleh pondok pesantren Edi Mancoro dalam mengajarkan
pada para santrinya tentang perbedaan atau pluralisme yang ada di Indonesia ini.
Untuk itu kegiatan-kegiatan di luar kurikulum resmi itu justru mengubah para
santri menjadi pluralis dan terbuka akan yang lainnya.
Dalam penelitiannya Jeremy Menchik menggali bagaimana pemuka
Muslim memahami toleransi, bagaimana implikasinya terhadap demokrasi, dan
membandingkannya dengan demokrasi lain. Para pemuka umat Muslim di
Indonesia sangat menghargai demokrasi Pancasila yang ada di Indoensia,
sehingga toleransi antar umat bisa terjadi. Seharusnyalah bahwa para pemuka
agama Islam yang mempunyai sikap toleransi dan menghargai demokrasi serta
pluralisme, hendaknya menyampaikan itu pada umatnya yang ada di bawahnya
atau tergabung dalam organisasinya masing-masing. Dengan adanya toleransi
komunal, yaitu toleransi yang dimiliki secara komunal oleh sebuah organisasi atau
kelompok masyarakat tertentu, dalam hal ini ormas Islam, pluralisme dan
5 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia & Transformasi
Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), 9.
89
toleransi terjaga.6 Hasil penelitian ini terbukti benar dalam sikap yang ditunjukkan
oleh para santri pondok pesantren Edi Mancoro, yang juga termasuk dalam NU.
Mereka menjadi terbuka tentu karena toleransi secara komunal yang diajarkan
oleh para pengasuh pondok pesantren Edi Mancoro melalui kegiatan-kegiatan
lintas iman yang dilakukan dalam pondok pesantren. Bagaimana para pengasuh
memberi teladan yang baik pada santri-santrinya. Itu juga menunjukan kebenaran
dari penelitian Jeremy Menchik tetang toleransi tanpa liberalisasi, artinya para
santri tidak mempunyai hak pribadi untuk menentukan sikapnya tentang
pluralisme, tetapi mereka mengikuti para pengasuh dan kyainya. Ini menurut
penulis berbahaya jika para pengasuh mempunyai pemahaman yang tidak baik
tentang pluralisme.
Terbukti benar bahwa pondok pesantren mempunyai peran yang besar
bagi pluralisme. Para santri dirubah menjadi lebih terbuka dan pluralis, sehingga
mempunyai pandangan yang baik tentang perbedaan atau pluralisme.
4.5. Kyai dan Keteladanan
Istilah “kyai” dalam masyarakat Jawa tradisional, sedikitnya ada lima
kategori penggunaan istilah itu. Pertama digunakan untuk menyebut ulama Islam.
orang-orang yang menguasai kitab kuning, Al Quran dan Hadist. Kedua istilah
“kyai” digunakan untuk sebutan kehormatan bagi orang tua pada umumnya. Di
lingkungan Jawa Tradisional, khususnya di pedesaan, orang-orang yang lebih
muda biasa menyebut orang tua laki-laki, mertua laki-laki, atau laki-laki yang
dituakan disebut dengan istilah “kyai”. Ketiga istilah “kyai” digunakan untuk
6 Jeremy Menchik, Islam and Democracy in Indonesia : Tolerance Without Liberalism ...,
124-158.
90
sebutkan benda-benda pusaka (benda-benda dikeramatkan), seperti contohnya
keris, kereta keraton dan sebagainya. Keempat istilah “kyai” digunakan untuk
menyebut binatang yang dikeramatkan, seperti kerbau bule, harimau, dan
sebagainya. Kelima istilah “kyai” digunakan juga untuk pekabar Injil yang
pribumi, untuk membedakan dengan pekabar Injil dari barat.7 Pada bagian ini
penulis memakai “kyai” untuk menyebut para pengasuh pondok pesantren dan
juga pimpinan-pimpinan pondok pesantren yang dianggap menguasai kitab
kuning, Al Qur-an dan Hadist.
Kyai sebagai tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran.
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan
sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai
pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada
keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai.
Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral
dalam pesantren. Pada akhirnya memang kemasyhuran, perkembangan dan
kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada keahlian dan
kedalaman ilmu, kharismatik dan wibawa serta ketrampilan kyai yang
bersangkutan dalam mengelola pesantrennya. Jika kyai mengajarkan sesuatu yang
tidak baik, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada para santrinya kelak.
Makanya sangat berbahaya jika kyai tidak mempunyai pemahaman yang baik
akan perbedaan atau pluralisme di Indonesia yang majemuk ini.
Tingkat pendidikan yang memadahi dari para pengasuh di pondok
pesantren Edi mancoro mau tidak mau mempengaruhi kedewasaan, gaya berpikir,
7 J. Mardimin, Perlawanan Politik Santri: Kajian tentang Pudarnya Kewibawaan dan
Pengaruh Kyai, Perlawanan Politik Santri, serta Dampaknya bagi Perkembangan Partai-partai
Politik Islam di Pekalongan (Salatiga, Satya wacana Press, 2016), 62-63.
91
keluasan pengetahuan yang dipunyainya, dan sebagainya, yang tentunya nanti
berpengaruh dalam mengajarkan ilmu pengetahuan itu pada para santrinya.
Sehingga dengan pendidikan yang dimiliki oleh para pengasuh dan kyai dari
pondok pesantren ini, memberikan kedewasaan berpikir juga bagi para santrinya
termasuk didalamnya menanggapi perbedaan atau pluralisme bangsa Indoensia
ini.
Gus Dur juga beranggapan yang sama bahwa kyai sebagai individu
menjadi teladan bagi santrinya. Konsep ini mensyaratkan kualitas hidup individu
seorang kyai yang memiliki integritas. Integritas pribadi merupakan modal sosial
bagi pengembangan sikap hidup pluralis. Selain itu menurut Gus Dur, kyai harus
bisa memadukan masalah kekinian/aktual dipadukan dengan baik dan dicari
penyelesaiannya lewat pendidikan Islam yang akan disampaikan pengasuh dan
kyai kepada santrinya.8 Semantara itu menurut penulis mengapa Gus Dur begitu
semangat memperjuagkan pluralisme, dikarenakan juga pengaruh pendidikan
beliau selama di pondok pesantren dan juga ketika sekolah di luar negeri.
Jeremy Menchik memandang keteladanan para tokoh Muslim dalam
menghargai toleransi berdampak pada demokrasi dan membangun sikap kolektif
yang pluralis. Para pemuka umat Muslim di Indonesia sangat menghargai
demokrasi Pancasila yang ada di Indoensia, sehingga toleransi antar umat bisa
terjadi. Sudah seharusnyalah bahwa para pemuka agama Islam yang mempunyai
sikap toleransi dan menghargai demokrasi serta pluralisme, hendaknya
menyampaikan itu pada umatnya yang ada di bawahnya atau tergabung dalam
organisasinya masing-masing. Dengan adanya toleransi komunal, yaitu toleransi
8 Malik Fajar, Holistika Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), 29.
92
yang dimiliki secara komunal oleh sebuah organisasi atau kelompok masyarakat
tertentu, dalam hal ini ormas Islam, pluralisme dan toleransi terjaga.9
Penulis melihat pentingnya unsur keteladanan yang dimiliki oleh para kyai
dan juga pengasuh pondok pesantren Edi Mancoro ini. Keteladanan yang nyata,
bukan hanya sekedar wawasan atau teori belaka, namun juga dipraktekkan dalam
kehidupan nyata. Ini terbukti dari cara hidup para kyai dan para pengasuh pondok
pesantren yang terbuka terhadap pluralisme dan juga kegiatan-kegiatan yang
diadakan di pondok pesantren Edi Mancoro ini menunjukan dari kebenaran
kenyataan itu, diantaranya live in dari umat berbeda lain, kegiatan komunitas
muda lintas iman Salatiga (KITA FAMILI), atau kegiatan-kegiatan lintas iman
atau interfaith lainnya. Penulis juga sangat setuju jika kyai atau pengasuh pondok
pesantren mempunyai pemahaman yang baik akan perbedaan atau pluralisme,
karena Indonesia yang majemuk ini.
4.6. Santri sebagai Agen Perubahan
Pendidikan agama merupakan pondasi untuk membentuk karakter bangsa.
Melalui pendidikan agama, dapat membentuk serta menumbuhkan akhlak mulia,
moral, budi pekerti atau karakter peserta didik merupakan langkah paling
fundamental dan dasariah untuk membentuk karakter bangsa. Demikian juga
pendidikan agama di pondok pesantren di Indonesia, harus memberikan
perubahan karakter, moral dan budi pekerti yang baik bagi para santrinya.
Ditetapkannya hari santri nasional pada 22 Oktober 2015 lalu oleh
Presiden Jokowi menuai banyak rasa syukur berbagai kalangan, khususnya dari
9 Jeremy Menchik, Islam and Democracy in Indonesia : Tolerance Without Liberalism ...,
124-158.
93
para santri dan mantan santri yang kini berkiprah di berbagai bidang dalam
mendukung pembangunan di tanah air. Ini seakan sebagai sebuah penghargaan
akan keberadaan santri dan pondok pesantren yang tentunya mulai diakui negara
membawa pengaruh yang baik atau mempunyai peranan yang baik bagi
masyarakat secara luas. Dalam menjaga bangsa dan negara ini, pondok pesantren
kini bisa jadi garda depan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Perubahan jaman yang cepat, budaya global atau globalisasi, kemajuan
tehnologi yang pesat, membawa pengaruh baik dan juga buruk pada masyarakat
dan budaya bangsa Indonesia. Ini merupakan tantangan jaman sekarang ini yang
juga harus diperhatikan juga oleh umat Islam, terutama pendidikan di pondok
pesantren. Pengaruh ajaran yang agak radikal dan bahkan cenderung radikal juga
banyak mempengaruhi umat Islam sekarang ini. Ini juga tantangan bagi umat
Islam yang memperjuangkan pluralisme di Indonesia.
Dari penelitian penulis (ditulis di bab 3) kelihatan bahwa ada perubahan
sikap yang dialami oleh para santri pondok pesantren Edi Mancoro tentang
perbedaan atau pluralisme. Dari yang semula belum pernah berhubungan atau
bergaul dengan yang berbeda, dalam hal ini agama, sekarang menjadi terbiasa
dengan perbedaan dalam pergaulan. Bahkan ada yang semula pernah terlibat
dalam organisasi Islam yang radikal, cenderung tidak suka atau menolak
keberadaan yang berbeda agama, sekarang setelah masuk menjadi santri di
pondok pesantren Edi Mancoro berubah menjadi bisa bergaul dan bahkan menjadi
baik dengan yang berbeda agama serta berteman dengan mereka. Yang dulunya
94
menjadi remaja yang dianggap nakal atu bandel dalam masyrakat, sekarang
menjadi anak yang baik. Dan perubahan-perubahan yang menuju kebaikan yang
lainnya.
Sebuah tantangan juga bagi pondok pesantren yang juga ada pendapat
bahwa pondok pesantren menjadi sarang dari terorisme di Indonesia. Memang
tidak dapat dipungkiri ada beberapa teroris yang berasal dari pondok pesantren.
Sehingga anggapan pondok pesantren menjadi juga sarang teroris tidak bisa
disalahkan, namun bahwa anggapan semua pondok pesantren itu sama juga tidak
benar. Pandangan ini yang ditolak dan diperjuangkan untuk dirubah oleh santri
podnok pesantren Edi Mancoro, pesantren harus menjadi garda terdepan generasi
bangsa yang berkarakter, menjadi agen perubahan, tokoh dan pendamping
masyarakat yang membawa pada persatuan dan kesatuan bangsa.
Melihat para santri pondok pesantren Edi Mancoro yang nanti tidak
disiapkan menjadi kyai atau mendirikan pondok pesantren sendiri, tetapi lebih
kepada kyai pendamping masyarakat, maka penting sekali ilmu yang dibawa dari
hasil pendidikan di pondok pesantren Edi Mancoro, termasuk pengalaman akan
lintas iman atau paham pluralismenya, sehingga menjadikan masyarakat menjadi
warga negara yang mengahargai toleransi dan pluralisme. Sebagai kyai
pendamping masyarakat, para santi podok pesantren ini pasti mempunyai peranan
yang besar dalam memperjuangkan pluralisme.
Berangkat dari optimise yang besar terhadap potensi pesantren, Gus Dur
menyambut positif berbagai tantangan baik dari internal maupun eksternal
pesantren. Bahkan dengan sebutannya yang khas pesantren sebagai sub kultur,
95
bagi Gus Dur, pesantren dengan santri yang ada di dalamnya memiliki kekuatan
yang potesial menjadi agen vital untuk melakukan perubahan di tengah
masyarakat.10 Perubahan yang positif, yang bisa menjawab tantangan jaman
kekinian. Santri harus bisa menjawab tantangan itu dan menjadi agen perubahan.
Jeremy Menchik melihat kedekatan dalam berinteraksi dengan agama
yang lain dipengaruhi oleh pergaulan. Pergaulan antara agama yang berbeda
dengan para santri yang berada Islam dalam pondok pesantren Edi Mancoro,
membawa perubahan bagi para santri. Dengan mau bergaul, bersama-sama hidup,
maka mereka ada komunikasi, saling belajar dan berteman. Yang pada akhirnya,
membuat para santri dan anggota dari lain agama yang ikut kegiatan itu bisa
menjadi pribadi yang terbuka akan perbedaan atau pluralime terutama agama, dan
menjadikan mereka lebih pluralis tentunya.
Demikianlah menurut penulis bahwa santri bisa menjadi agen perubahan
dalam masyarakat didukung oleh banyak elemen baik itu pemerintah maupun
harapan masyarakat secara umum. Keberadaan mereka nantinya dalam
masyarakat, yang dianggap lebih mengerti soal agama, diharapkan menjadi
peneduh jika terjadi perbedaan, pertikainn atau konflik dalam masyarakat yang
bisa mengancam disintegrasi bangsa, bahkan para santri bisa menjadi agen
perubahan menuju pluralisme yang baik.
10 Adurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia Tranformasi
Kebudayaan (Jakarta: Wahid Institute, 2007), xvi.
96
4.7. Negara Menjaga Pluralisme
Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi. Namun
demokrasi ini bukan demokrasi liberal yang mengagungkan kebebasan sebebas-
bebasnya, namun lebih kepada demokrasi yang mendasarkan pada Pancasila dan
UUD 1945 yang telah digagas dengan baik oleh para pendiri bangsa. Negara yang
tidak mendasarkan pada salah satu agama yang ada di Indonesia, namun negara
mengakui akan ketuhanan, artinya agama menjadi sesuatu yang dianggap penting
bagi perkembangan bangsa dan negara ini.
Indonesia adalah bangsa yang majemuk dalam berbagai hal, suku, agama,
ekonomi, dan sebagainya. Pluralisme ini menjadi modal yang baik bagi negara
jika dikelola dengan baik, namun bisa menjadi penghalang yang besar jika tidak
dipelihara dengan baik pula. Perbedaan-perbedaan itu dijamin oleh negara dalam
Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu jika mau menjadi warga negara yang baik,
maka perbedaan itu harus dihormati dan dihargai.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa di Indonesia ini masih sering terjadi
kerusuhan karena perbedaan dan mengatasnamakan agama. Ada banyak contoh-
contoh kerusuhan yang sudah penulis sampaikan pada bab sebelumnya (lihat bab
1). Kerusuhan-kerusuhan ini sangat menciderai pluraliseme bangsa dan juga
demokrasi. Karena perkembangan dewasa ini, bangsa yang modern adalah bangsa
yang menghargai perbedaan atau pluralisme dan juga demokrasi.
Tuntutan demokratisasi semakin populer dalam dunia internasional
sekarang ini. Menguatnya tuntutan seperti ini karena dianggap demokrasi sebagai
sistem yang potensial untuk menghantarkan pada masyarakat yang ideal dalam
97
mentransformasi sosial politik yang baik. Demokrasi dianggap lebih mampu
mengangkat harkat dan martabat manusia, lebih rasional dan lebih realistis, untuk
mencegah kekuasaan yang dominan, yang represif dan otoriter.11
Salah satu tokoh bangsa Indonesia, Hasyim Muzadi, mengatakan bahwa
demokrasi tidak hanya mengenai sistem ketatanegaraan saja yang bagus, yang
saat ini dijadikan rujukan oleh banyak bangsa di dunia, secara prinsip
mengandung struktur nilai yang paling sesuai dengan kondisi kebangsaan
Indonesia yang majemuk dalam berbagai hal. Demokrasi tidak hanya
diperjuangkan karena sistemnya yang realistis dan manusiawi, tetapi karena
didalamnya ada potensi untuk mempersatukan perbedaan dan semua komponen
kekuatan bangsa.12
Sementara itu Gus Dur beranggapan bahwa semua warga negara dan juga
manusia mempunyai hak-hak yang harus dihormati. Hak-hak itu juga dijamin
secara hukum dan undang-undang, karenanya negara Indonesia negara hukum.
Pluralisme adalah bagian penting dalam usaha mencita-citakan bangsa ini hidup
rukun dan aman dalam kebhinekaannya, ini menjadi pondasi penting dalam
kehidupan dan kemanusiaan, sebab sebuah bangsa yang begitu majemuk seperti
Indonesia ini jika salah dalam mengelola berbagai perbedaan paham keagamaan,
aliran, suku, dan lain-lain akan memunculkan ketegangan, permusuhan, dan
kekerasan sosial yang mengarah pada disintregasi bangsa.13
11 Ma’mun Murod Al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amin Rais
tentang Negara (Jakarta: Rajawali Pres, 1999), 59. 12 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa (Jakarta:
logos, 1999), 48. 13 Mukhlas Syarkun, Ensiklopedi Abdurrahman Wahid, Gus Dur Seorang Mujaddid,
(Jakarta: PPPKI, 2013), 264.
98
Dengan demikian menurut penulis disinilah peran negara untuk secara
aktif menjaga pluralisme dan demokrasi di Indonesia ini. Negara juga mempunyai
tanggung jawab untuk menjadi pembela-pembela pluralisme atas nama undang-
undang. Negara mempunyai banyak alat negara yang bisa digunakan sebagai alat
penjaga pluralisme dan demokrasi. Jika negara sudah kehilangan semangat
membela pluralisme, atau lebih jatuh pada pembelaan pada salah satu kelompok
atau golongan tertentu, maka bisa dipastikan keberlangsungan bangsa Indonesia
ini terganggu atau bahkan bisa pecah.
4.8. Pluralisme yang Ideal Menjadi Impian Bangsa
Pluralisme adalah suatu keniscayaan untuk hidup bersama dalam konteks
Indonesia. Bangsa Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk
yang banyak dan terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, agama, kebudayaan
dan lain-lain. Jumlah penduduk Indonesia yang dikeluarkan badan statistik
kependudukan Indonesia adalah 237.641.326 jiwa tahun 2010.14 Dengan demikian
Indonesia ini dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Jumlah penduduk yang besar
dan juga keanekagaman itu membuat Indonesia disatu sisi kaya akan potensi
untuk perkembangan dan pembangunan bangsa, disisi lain potensi juga untuk
terjadinya perpecahan bangsa dan negara.
Kemajemukan itu bisa menyebabkan disintegrasi bangsa. Sudah ada
banyak contoh permasalahan yang memicu disintegrasi bangsa Indonesia ini.
Disintegrasi bangsa Indonesia ini pernah terjadi diberbagai faktor kehidupan ini,
14 http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267 ... diakses 01 Oktober 2016 diakses
pukul 10.00 WIB
99
diantaranya kerusuhan-kerusuhan, intolerani, baik itu disebabkan oleh agama,
etnis, budaya, ekonomi dan politik.
Menurut John Titaley, pluralisme diletakkan dalam ruang Pancasila
sebagai kesepakatan bangsa. Menurut John Titaley, yang dimaksud dengan
pluralisme adalah kenyataan bahwa dalam suatu kehidupan bersama manusia
terdapat keragamaan suku, ras, budaya dan agama. Keragamaan agama itu terjadi
juga karena adanya faktor lingkungan tempat manusia itu hidup yang juga tidak
sama. Lingkungan hidup empat musim bagi sesorang akan membuat orang
tersebut memiliki karakter dan pembawaan yang berbeda dengan orang yang
hidup dalam lingkungan yang hanya terdiri dari dua musim, seperti musim hujan
dan musim panas.15
Agama bukan hanya lembaga yang berhubungan dengan Yang Mutlak
saja, namun juga berhubungan sebagai lembaga sosial. Agama adalah juga bagian
dari kebudayaan, karena dihidupi dari kebutuhan manusia sehari-hari. Manusia
tidak bisa hidup di luar kebudayaan.16 Yang Mutlak itu kekal dan Dia Universal,
sedangkan manusia mempunyai keterbatasan akan pemahamannya, sehingga
manusia tidak bisa memahami kehendak Yang Mutlak dengan sempurna. Selalu
saja ada reduksi atau pengurangan akan pemahaman manusia terhadap Yang
Mutlak itu.17
Apakah benar Yang Mutlak itu hanya ingin dikenal atau berkomunikasi
dengan orang hanya pada kawasan tertentu? Bagaimana dengan orang yang ada
15 John A Titaley, Religiositas di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Tranformasi
Agama-agama (Salatiga: Satya wacana University Press, 2013), 169-170. 16 Ibid, 170. 17 Ibid.
100
pada bagian yang lain, apakah mereka tidak bisa menerima komunikasi Yang
Mutlak agar kehendakNya diketahui/dimengerti manusia? Sudahlah pasti yang
biasanya suka mengklaim seperti itu adalah manusia juga dan itu adalah sifat
manusia. Karenanya, pluralisme adalah sesuatu yang manusiawi adanya.18
Pluralisme seperti ini berarti pula bahwa manusia pemeluk suatu agama
tertentu yang lahir ribuan tahun yang lalu, harus bisa menerima lahirnya atau
bermunculannya suatu agama yang baru pada masa kini atau masa depan. Dalam
kerangka pemikiran yang seperti inilah pluralisme agama harus diterima.19
Dekianlah seharusnya pluralisme di Indoenesia dipahami, pluralisme
melahirkan toleransi, dan searas dengan terwujudnya demokrasi Pancasila di
Indoensia ini. Dengan pluralisme bukan berarti semua agama sama, namun ada
rasa saling menghargai atas iman dan keyakinan masing-masing. Dengan
pemahaman pluralisme yang baik ada dalam warga negara Indonesia, maka
perpecahan atau disintegrasi bangsa bisa dicegah.
Namun ternyata yang dipahami oleh MUI atas pluralisme dengan yang
dipahami masyarakat secara umum berbeda. MUI menganggap bahwa salah satu
ajaran akan pluralisme agama adalah menganggap semua agama sama, padahal
menurut mereka Islam adalah agama yang terbaik, sehingga ditakutkan ajaran
pluralisme ini mengikis iman umat Islam (lihat bab 3), sehingga MUI
mengharamkan pluralisme. Sedangkan yang dipahami oleh orang pada umumnya,
pluralisme tidak menyamakan semua ajaran agama, namun adanya penghargaan
dan saling menghormati antar agama. Mau saling belajar dan melengkapi untuk
18 Ibid, 172. 19 Ibid.
101
hidup bersama-sama dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Menurut
penulis, pluralisme yang seperti inilah yang harus dimiliki oleh semua masyarakat
di Indonesia ini.
Agama tidak hanya membahas dan memperjuangkan keTuhanan saja,
namun juga memperjuangkan tentang sosial, atau dalam pemahaman saya dalam
Gus Dur adalah teologi holistik. Persoalan-persoalan kemiskinan, kemanusiaan
dan nasionalis, di perjuangkan oleh para pengikut Gus Dur ini. Tidak hanya
dengan bersuara nyaring tetapi mereka juga melakukan tindakan-tindakan nyata,
bersama dengan berbagai pihak dari lintas agama. Perjuangan lain seperti dialog
anatar agama-pun seringkali di lakukan. Di sisi lain gereja harus hadir ditengah
masyarakat, salah satu yang tidak bisa dipandang sebelah mata adalah
menghadirkan damai sejaterah Allah dalam kehidupan bernegara. Tidak bisa
dipungkiri bahwa jemaat Kristen meruapakan warga Kerajaan Allah tetapi juga
warga negara sebagai kerajaan duniawi20. Sehingga kewajiban juga bagi gereja
untuk memperjuangkan keadilan sosial da juga pluralisme dalam kehidupan nyata
di dunia ini.
4.9. Kesimpulan
Semua mengakui bahwa pluralisme adalah suatu keniscayaan di dunia dan
terutama di Indonesia, demikian juga para santri pondok pesantren Edi Mancoro
bahwa perbedaan atau pluralisme itu adalah kehendak Tuhan untuk kita hidup
saling belajar dan melengkapi satu dengan yang lainnya. Mereka terbuka akan
perbedaan dan mau hidup dengan yang berbeda itu. Mereka akan siap membela
20 Bambang Subandrijo, Kehidupan Orang Beriman dalam Konteks Sosial, pada tulisan
Agama Dalam Praksis ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 148.
102
yang tertindas, memperjuangkan NKRI. Kyai dan pengasuh pondok pesantren Edi
Mancoro memberi teladan yang bak bagi para santrinya. Pemahaman yang
demikian ini haruslah didukung oleh semua pihak di Indoensia ini, termasuk
negara.
Negara mempunyai tanggung jawab untuk menjaga pluralisme dan
menegakkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara untuk mencapai
tujuan bangsa negara Indonesia yang adil dan makmur.