15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sebuah penelitian ilmiah membutuhkan tinjauan pustaka yang
merupakan bagian yang penting untuk diuraikan sebagai dasar dalam
membangun suatu konstruk teoritis, acuan dasar dalam membangun
kerangka berpikir serta menyusun hipotesis penelitian. Dalam bab ini akan
diuraikan teori-teori yang mendasari masing-masing variabel, yaitu
prestasi akademik, stres, dan coping with stress, serta aspek-aspek dan
faktor-faktor yang memengaruhinya. Selain itu juga dijelaskan mengenai
hasil-hasil penelitian sebelumnya, model penelitian serta hipotesis
penelitian.
2.1. Prestasi Akademik
2.1.1. Pengertian Prestasi Akademik
Prestasi akademik merupakan komponen yang penting dalam
pendidikan. Dalam Dictionary of Education (Phye, 1997), prestasi
akademik didefinisikan sebagai perkembangan pengetahuan atau
kemampuan akan mata pelajaran yang biasanya diwujudkan dalam bentuk
nilai ujian dalam sebuah laporan tertulis.
Prestasi akademik siswa merupakan penilaian terhadap usaha
kegiatan belajar yang dinyatakan dalam berbagai macam bentuk, misalnya
simbol, angka, huruf, dan kalimat yang menceminkan hasil yang sudah
dicapai oleh siswa dalam periode tertentu (Winkel, 2007). Menurut
Kartono (1995) prestasi akademik adalah hasil belajar yang diperoleh dari
kegiatan pembelajaran di sekolah dan sejauh mana siswa menguasai bahan
pelajaran yang sudah diberikan serta dinilai oleh para pengajar. Lebih
16
lanjut lagi, Arikunto (1993) mendefinisikan prestasi belajar siswa sebagai
suatu angka yang mencerminkan sejauhmana pencapaian tujuan siswa
yang ditetapkan pada setiap jenjang studi. Gambaran prestasi siswa
tersebut dinyatakan dengan angka 0-10 yang menggambarkan hasil dari
usaha, kemampuan, dan sikap siswa dalam menyelesaikan tugas.
Smith (2001) mengatakan bahwa prestasi akademik adalah
pengukuran kinerja seorang siswa di sekolah dengan menggunakan
instrumen tes yang terstandarisasi. Menurut Tu’u (2004) prestasi
akademik merupakan hasil yang dicapai seseorang ketika mengerjakan
tugas atau kegiatan tertentu. Prestasi akademik adalah penguasaan
pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran
yang lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang
diberikan oleh guru. Sementara itu, Bertills (2010) mengartikan prestasi
akademik sebagai hasil dari proses belajar yang berupa pengetahuan yang
diukur dengan nilai ujian atau ranking. Amstrong dalam Suleymanov
(2014) mendefinisikan prestasi akademik sebagai nilai keseluruhan dari
mata pelajaran yang termasuk dalam kurikulum akademik yang
menunjukkan tujuan utama dari pendidikan, yaitu mendukung,
menggerakkan, dan memfasilitasi kemampuan siswa untuk meningkatkan
ranking dan nilai ujian standar.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli diatas,
penulis menyimpulkan bahwa prestasi akademik sebagai hasil akhir dari
proses belajar selama kurun waktu tertentu. Hasil akhir itu berupa nilai-
nilai dari mata pelajaran yang dipelajari oleh siswa yang dilaporkan dalam
rapor setiap semester.
15
2.1.2 Teori Prestasi Akademik
Prestasi akademik adalah hasil akhir dari proses belajar selama
kurun waktu tertentu. Keberhasilan seorang siswa dalam mengikuti proses
belajar menentukan prestasi akademiknya. Supaya dapat berhasil dalam
proses belajar, maka seorang siswa dapat memperhatikan prinsip-prinsip
belajar. Seorang psikolog humanistik, Rogers (dalam Djiwandono, 2002)
mengungkapkan prinsip-prinsip belajar, yaitu:
a. Keinginan untuk belajar (The desire to learn).
Rogers percaya bahwa manusia mempunyai keinginan untuk belajar.
Bukti dari keinginan ini dengan mudah dapat dilihat dengan
memperhatikan keingintahuan yang sangat kuat dari seorang anak
ketika dia menjelajahi lingkungannya.
b. Belajar secara signifikan (Significant learning).
Rogers mendefinisikan bahwa belajar secara signifikan terjadi ketika
belajar dirasakan relevan terhadap kebutuhan dan tujuan siswa.
c. Belajar tanpa ancaman (Learning without threat).
Prinsip lain yang diidentifikasikan oleh Rogers ialah bahwa belajar
yang paling baik adalah memperoleh dan menguasai suatu lingkungan
yang bebas dari ancaman.
d. Belajar atas inisiatif sendiri (Self-initiated learning).
Menurut Rogers belajar akan lebih signifikan dan meresap ketika
belajar atas inisiatif sendiri serta melibatkan perasaan dan pikiran.
Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajari siswa untuk menjadi
mandiri dan percaya diri. Ketika siswa belajar atas inisiatifnya, mereka
mempunyai kesempatan untuk membuat pertimbangan, pemilihan dan
penilaian. Individu lebih bergantung pada diri mereka sendiri dan tidak
selalu bergantung pada penilaian orang lain.
16
e. Belajar dan berubah (Learning dan change).
Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers adalah belajar dan
berubah. Rogers mencatat bahwa siswa pada masa lalu belajar satu set
fakta ilmu statistik dan ide-ide. Dunia menjadi lambat untuk berubah
dan apa yang dipelajari di sekolah cukup untuk memenuhi tuntutan
waktu. Tetapi sekarang perubahan adalah fakta hidup. Pengetahuan
berada dalam keadaan yang terus berubah secara konstan. Dengan
demikian, menurut Rogers, yang dibutuhkan sekarang adalah individu
yang mampu belajar dalam lingkungan yang berubah.
Teori Rogers adalah sebuah teori belajar yang berkonsep pada
keadaan manusia secara internal. Hasil belajar yang terwujud dalam
prestasi akan lebih baik jikalau seorang siswa memiliki keinginan belajar
yang tinggi, kemauan untuk beradaptasi, dan kemauan untuk berubah serta
didukung oleh situasi belajar yang baik. Hal-hal tersebut menjadi dasar
pertimbangan penulis memilih teori Rogers.
2.1.3 Penilaian Prestasi Akademik
Prestasi akademik seorang siswa harus berwujud dalam hal yang
dapat dinilai. Prestasi akademik mengacu pada standarisasi nilai ujian,
tingkatan huruf, dan keseluruhan kemampuan akademik dan hasil akhir
kinerja (Bacon, 2011). Penilaian prestasi akademik menurut Suryabrata
(2006) dilakukan pada setiap akhir masa tertentu. Sekolah mengeluarkan
rapor tentang kelakuan, kerajinan, dan kepandaian murid-murid yang
menjadi tangggung jawabnya. Rapor merupakan perumusan terakhir yang
diberikan oleh guru berkaitan dengan kemajuan atau hasil belajar murid-
muridnya selama masa tertentu (4-6 bulan) yang biasanya dirumuskan
dalam bentuk angka dari nol sampai sepuluh. Sementara itu, Tu’u (2004)
15
juga menyatakan hasil evaluasi belajar didokumentasikan dalam buku
daftar nilai guru dan wali kelas serta arsip yang ada di bagian administrasi
kurikulum sekolah.
Pengukuran variabel prestasi akademik pada penelitian ini
menggunakan rapor hasil belajar siswa. Penilaian jenis tersebut dapat
disebut penilaian obyektif dan dipergunakan dalam penelitian.
2.1.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Prestasi Akademik
Winkel (1986) menyebutkan bahwa ada dua faktor yang
memengaruhi siswa dalam belajar dan berprestasi, yaitu faktor-faktor yang
ada pada diri siswa itu sendiri dan faktor-faktor yang berada di luar siswa
itu sendiri. Faktor dalam diri siswa terdiri dari faktor psikis, yaitu
intelektual dalam hal ini intelegensi dan non intelektual yang berupa
motivasi belajar, sikap, perasaan, minat, dan kondisi atau keadaan sosial
kultural dan ekonomis, dan faktor fisik yang berupa kondisi fisik.
Sedangkan faktor kedua, yaitu faktor yang berasal dari luar diri
siswa terdiri dari faktor-faktor pengatur proses belajar di sekolah, berupa
kurikulum pengajaran, disiplin sekolah, guru, fasilitas belajar dan
pengelompokan siswa. Yang kedua adalah faktor sosial seperti status
sosial siswa, interaksi guru dan siswa, dan yang ketiga adalah faktor
situasional yang berupa keadaan poliik ekonomis, keadaan waktu, dan
tempat dan keadaan musim serta iklim.
Sementara itu Mairer (dalam Dalyono 2003) juga menyebutkan
bahwa prestasi akademik dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kecerdasan, bakat, minat dan
perhatian, motivasi berprestasi, kesehatan jasmani, cara belajar, afeksi, self
efficacy, dan seleksi. Sedangkan faktor eksternal meliputi faktor
16
lingkungan alam, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan
tempat belajar. Sementara itu, menurut Kartono (1995) tinggi rendahnya
prestasi akademik juga dapat dipengaruhi oleh tujuh faktor, antara lain
kecerdasan, bakat, minat dan perhatian, motif, cara belajar, lingkungan
keluarga dan sekolah.
Setiap peserta didik tentunya ingin meraih prestasi akademik di
dalam pendidikannya. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi proses
belajar sehingga peserta didik dapat meraih prestasi akademik yang baik.
Suryabrata (2006) menyatakan bahwa secara umum ada dua faktor besar
yang memengaruhi belajar sehingga berdampak pada prestasi akademik
peserta didik, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
meliputi faktor fisiologis yaitu hal-hal yang berhubungan dengan keadaan
fisik khususnya penglihatan dan pendengaran dan faktor psikologi yaitu
hal-hal yang menyangkut faktor non-fisik, seperti minat, emosi, motivasi,
intelegensi, bakat, sikap, serta keadaan psikologis lainnya seperti stres,
kepercayaan diri, penghargaan diri.
Faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga, yaitu menyangkut
status sosial ekonomi keluarga, pendidikan, perhatian orang tua, dan
suasana hubungan antara anggota keluarga; lingkungan sekolah, yaitu
menyangkut sarana dan prasarana, kompetensi guru, siswa, kurikulum,
dan kualitas proses belajar mengajar; dan lingkungan masyarakat, yaitu
menyangkut sosial budaya dan partisipasi pendidikan.
Berdasarkan dari uraian faktor-faktor pengaruh terhadap prestasi
akademik, penulis menggunakan faktor pengaruh dari Suryabrata (2006).
Dapat diambil kesimpulan bahwa ada dua faktor yang memengaruhi
prestasi akademik, yaitu faktor internal sebagai faktor yang berasal dari
dalam diri siswa dan faktor eksternal sebagai faktor yang berasal dari luar
15
siswa. Faktor stres siswa termasuk dalam faktor internal yang dapat
dikategorikan dalam faktor keadaan psikologis. Stres memengaruhi
kondisi internal seseorang dalam belajar. Penelitian Trucchia et. al.,
(2013) menunjukkan bahwa prestasi akademik berhubungan dengan faktor
stres siswa dimana kondisi stres sisw ini berhubungan dengan strategi
coping with stress yang dilakukan oleh siswa.
2.2 Stres
2.2.1 Pengertian Stres
Lazarus & Folkman (1984) mendefinisikan stres psikologikal
sebagai sebuah hubungan khusus di antara manusia dan lingkungan yang
timbul oleh manusia ketika melebihi kemampuan dan membahayakan
well-being-nya. Definisi stres ini memberikan penekanan pada hubungan
antara manusia dengan lingkungan, dimana karakteristik pribadi manusia
termasuk di dalamnya. Di sisi lain, Sarafino (1997) menyatakan bahwa
stres adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara individu
dalam hubungan dengan lingkungan yang dapat menimbulkan persepsi
jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-
sumber yang akan memengaruhi sistem biologis, psikologis, dan sosial
dari seseorang.
Sementara itu, Hebb (dalam Sarafino, 1997) membagi stres ke
dalam dua tipe, yaitu distress dan eustress. Yang dimaksud dengan
distress ialah stres yang berbahaya dan merusak keseimbangan fisik,
psikis atau sosial individu. Sedangkan yang dimaksud dengan eustress
ialah stres yang menguntungkan dan konstruktif bagi kesejahteraan
individu.
16
Penulis mempergunakan definisi stres yang diungkapkan oleh
Sarafino (1997) dimana stres didefinisikan sebagai suatu kondisi yang
disebabkan oleh transaksi antara individu dalam hubungan dengan
lingkungan yang dapat menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-
tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber yang akan
memengaruhi sistem biologis, psikologis, dan sosial dari seseorang. Jenis
stres yang diteliti dalam penelitian ini ialah distress.
2.2.2 Teori Stres
Untuk mempelajari stres dapat dilakukan melalui teori pendekatan
(Baum dalam Sarafino, 1994):
a. Stres dipandang sebagai sumber yang berasal dari lingkungan.
Konsep ini memakai pendekatan yang berfokus pada lingkungan yang
berupa peristiwa atau kondisi yang penuh ketegangan bagi individu, yang
berupa peristiwa yang menegangkan dan kondisi-kondisi yang kronis.
Sumber stres dapat digambarkan sebagai stimulus yang berasal dari
lingkungan.
b. Stres dipandang sebagai respons terhadap sumber stres.
Konsep ini memakai pendekatan yang berfokus pada respons individu
terhadap sumber stres. Stres dideskripsikan sebagai respons individu yang
mempunyai dua komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen
psikologis (tingkah laku, pola pikir, dan emosi) dan komponen fisiologis
(jantung berdebar-debar, mulut menjadi kering, lambung menjadi keras,
dan berkeringat). Respons individu baik secara psikologikal dan fisikal
terhadap sumber stress ini disebut sebagai ketegangan.
c. Stres dipandang sebagai hasil dari interaksi yang terjadi antara
individu dengan lingkungannya.
15
Pendekatan pada konsep ini mempunyai fokus pada proses yang
terjadi antara “stressor” dan “strain” dengan menambahkan dimensi
hubungan antara individu dan lingkungan. Proses ini disebut transaksi
yang melibatkan interaksi dan penyesuaian yang berkesinambungan antara
individu dan lingkungan yang saling memengaruhi satu sama lain.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh beberapa ahli diatas,
penulis mempergunakan pendekatan yang diungkapkan oleh Baum (dalam
Sarafino, 1994) karena sesuai dengan pengertian stres yang penulis pilih,
dimana stres adalah kondisi yang terjadi karena adanya pengaruh
lingkungan dan bagaimana respons terhadap peristiwa itu sendiri. Selain
itu, penulis mempergunakan pendekatan ini karena sesuai dengan tujuan
penelitian ini. Tingkat stres seseorang ditentukan bagaimana respons
terhadap situasi, jikalau respons terhadap stres baik maka tingkat stres
tidak kuat, demikian sebaliknya.
2.2.3 Aspek Stres
Sarafino (1997) membagi stres menjadi tiga aspek, yaitu aspek
biologi, aspek psikologi yang terdiri dari aspek kognitif dan aspek
emosional, serta aspek perilaku sosial. Pembagian stres ke dalam tiga
aspek ini dikenal dengan istilah biopsikososial.
a. Aspek biologis
Aspek biologis menitikberatkan pada konteks hubungan stres
dengan kondisi tubuh atau dengan kata lain aspek biologi merupakan
aspek stres yang menekankan pada konteks medis. Aspek biologis terdiri
dari stres yang menyangkut faktor fisilogis dari adanya stres. Stres dapat
memengaruhi fungsi fisiologis tubuh. Stres yang dialami akan merubah
cara kerja sistem kekebalan tubuh. Stres akan menurunkan daya tahan
16
tubuh terhadap serangan penyakit dengan cara menurunkan jumlah
fighting desease cells, akibatnya orang tersebut cenderung dan mudah
terserang penyakit yang cenderung lama masa penyembuhannya karena
tubuh tidak banyak memproduksi sel-sel kekebalan tubuh, ataupun sel-sel
antibodi banyak yang kalah.
b. Aspek psikologis
Menurut Sarafino (1997) terdapat beberapa aspek psikologis dari
stres. Aspek psikologis yang dapat dipengaruhi oleh stres terdiri dari
kemampuan kognitif dan emosi. Hubungan kemampuan kognitif dan stres
terjadi karena stres yang tinggi dapat memengaruhi perhatian dan memori
individu. Stres dapat merusak fungsi kognitif dan mengacaukan perhatian
individu. Stres dapat juga meningkatkan perhatian terhadap stressor.
Dalam hubungan emosi dan stress, emosi cenderung untuk
menyertai stres. Individu sering menggunakan emosi untuk mengevaluasi
stres. Penilaian terhadap teori proses dapat memengaruhi kedua-duanya
baik stres maupun pengalaman yang emosional. Contohnya, seseorang
mungkin mengalami tekanan dan ketakutan jika kebetulan bertemu dengan
seekor ular beracun. Emosi yang timbul tidak mungkin kegembiraan,
kecuali jika individu sedang melakukan penelitian tentang ular dan sedang
mencari ular jenis ini. Kedua situasi ini sama-sama melibatkan stres tetapi
emosi yang dimunculkan berbeda antara situasi yang satu dengan situasi
yang lainnya. Individu akan menganggap kondisi ini sebagai ancaman jika
penilaian individu terhadap hal tersebut adalah suatu tantangan begitupun
sebaliknya.
c. Aspek perilaku sosial
Stres yang dialami seseorang dapat merubah perilaku sosial
individu tersebut. Dalam beberapa situasi yang dapat menimbulkan stres,
15
seperti gempa bumi dan bencana alam lain, banyak orang yang bekerja
sama untuk tolong menolong agar dapat tetap bertahan. Barangkali mereka
melakukan ini sebab mereka mengalami suatu keadaan yang memerlukan
usaha kerjasama. Sebaliknya, di situasi yang lain, orang-orang dapat
berperilaku kurang peduli bahkan tidak dapat merasakan dan bermusuhan
dengan individu lain.
Orang yang sedang stres akan lebih sensitif dibandingkan orang
yang tidak dalam kondisi stres. Oleh karena itulah, sering terjadi salah
persepsi dalam membaca dan mengartikan suatu keadaan, pendapat atau
penilaian, kritik, nasihat bahkan perilaku orang lain. Obyek yang sama
bisa diartikan dan dinilai secara berbeda oleh orang yang sedang stres.
Selain itu, orang stres cenderung mengaitkan segala sesuatu dengan
dirinya.
Pada tingkat stres yang berat, orang bisa menjadi depresi,
kehilangan rasa percaya diri dan harga diri. Akibatnya ia lebih banyak
menarik diri dari lingkungan, tidak lagi mengikuti kegiatan yang biasa
dilakukanya, jarang berkumpul dengan sesamanya, lebih suka menyendiri,
mudah tersinggung, mudah marah, mudah emosi. Tidak heran kalau akibat
dari sikapnya ini mereka dijauhkan oleh teman-temannya. Respons negatif
dari lingkungan ini semakin menambah stres yang diderita karena persepsi
yang selama ini ia bayangkan ternyata benar, yaitu bahwa ia kurang
berharga di mata orang lain, kurang berguna, kurang disukai, kurang
beruntung, dan kurang-kurang yang lainnya. Tingginya sensitivitas emosi
berpotensi menyulut pertikaian dan menghambat kerjasama antara
individu satu dengan yang lain.
Apabila stres disertai dengan kemarahan maka perilaku sosial yang
bersifat negatif seringkali meningkat. Kemarahan yang penuh stres akan
16
meningkatkan perilaku agresif dan efek dari hal negatif ini akan terus
berlanjut meskipun peristiwa telah selesai. Perilaku agresif mempunyai
implikasi penting dalam kehidupan. Stres juga dapat memengaruhi
perilaku menolong.
Penelitian menitikberatkan pada ketiga aspek tersebut karena tidak
ada aspek tunggal dari stimulus lingkungan yang dapat mengakibatkan
stres, tetapi semua itu tergabung dalam suatu susunan total yang
mengancam keseimbangan (homeostatis) individu. Individu secara utuh
terdiri dari sistem biologis dan psikososial, yang saling berelasi, dan
masing-masing sistem mengandung sistem komponen. Individu
berhubungan dengan sistem sosialnya. Masing-masing sistem ini saling
memengaruhi dan saling dipengaruhi. Untuk memahami kondisi stres dari
siswa dapat memperhatikan ketiga aspek sehingga untuk mendapatkan
upaya mengatasinya pun harus dengan mempertimbangkan ketiga aspek
tersebut.
2.2.4 Gejala Stres
Gejala stress dapat ditemukan dalam segala segi baik fisik, emosi,
intelektual, maupun interpersonal. Gejala stress berbeda-beda pada setiap
orang karena stress sifatnya sangat subyektif dan merupakan pengalaman
pribadi.
a. Gejala fisikal
Gejala fisikal dapat dilihat pada orang yang terkena stress antara
lain adalah sakit kepala, pusing, pening, tidak tidur teratur, susah tidur,
bangun terlalu awal, sakit punggung, susah buang air besar, sembelit,
gatal-gatal pada kulit, tegang, pencernaan terganggu, tekanan darah naik
atau serangan jantung, keringat berlebihan, selera makan berubah, lelah
15
atau kehilangan daya energi, kesalahan atau kekeliruan dalam bekerja,
gugup, mudah luka, gangguan pernafasan, migrain, dan ketegangan otot.
b. Gejala emosional
Gejala emosional seperti sedih, depresi, mudah menangis, hati
merana, mudah marah, dan panas, gelisah, cemas, rasa harga diri menurun,
merasa tidak aman, terlalu peka, mudah tersinggung, marah-marah, mudah
menyerang, bermusuhan dengan orang lain, tegang, bingung, meredam
perasaan, komunikasi tidak efektif, mengurung diri, mengasingkan diri,
kebosanan, ketidakpuasan kerja, lemah mental, kehilangan spontanitas dan
kreativitas serta kehilangan semangat hidup.
c. Gejala intelektual
Gejala intelektual antara lain sulit berkonsentrasi, sulit membuat
keputusan, mudah lupa, pikiran kacau, daya ingat melemah, melamun
secara berlebihan, kehilangan rasa humor yang sehat, produktivitas atau
prestasi menurun dan dalam bekerja banyak melakukan kesalahan.
d. Gejala hubungan antar personal
Gejala hubungan antar personal yaitu kehilangan kepercayaan
kepada orang lain, mudah menyalahkan orang lain, mudah membatalkan
janji atau tidak memenuhi janji, suka mencari kesalahan orang lain atau
menyerang orang lain, terlalu membentengi atau mempertahakankan diri,
meningkatnya penggunaan psikotropika dan minuman keras,
meningkatnya agresivitas dan kriminalitas, dan usaha bunuh diri.
16
2.3 Coping
2.3.1 Pengertian Coping
Menurut Lazarus & Folkman (1984), coping adalah sebuah
perubahan kognitif dan perilaku secara konstan untuk mengatur
permintaan spesifik baik eksternal dan internal yang muncul ketika
melebihi kemampuan manusia. Kata kunci dari definisi ini ialah
perubahan, konstan, permintaan, dan kemampuan.
Rasmun (2004) menyatakan coping adalah proses yang dilalui
individu dalam menyelesaikan situasi, coping tersebut merupakan respons
individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun
psikologis. Chaplin (2006) dalam kamus psikologi mengatakan bahwa
perilaku coping merupakan perbuatan dimana individu melakukan
interaksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan
sesuatu (tugas dan masalah).
Penulis memilih mempergunakan pengertian coping with stress
menurut Lazarus & Folkman dimana coping didefinisikan sebagai sebuah
perubahan kognitif dan perilaku secara konstan untuk mengatur
permintaan spesifik baik eksternal dan internal yang muncul ketika
melebihi kemampuan manusia. Penulis mempergunakan pengertian
Lazarus & Folkman karena pengertian tersebut memuat dua aspek
manusia yang sering tampak dalam menghadapi situasi, yaitu kognitif dan
perilaku. Penulis juga setuju dengan penekanan kekonstanan perubahan
yang ada dalam definisi tersebut. Sebuah cara dapat diukur jikalau itu
dilakukan dengan konstan, kalau tidak konstan maka itu dapat dikatakan
sebagai refleks saja dan itu tidak dapat diukur.
15
2.3.2 Teori Coping with Stress
Pengertian coping with stress menurut Lazarus & Folkman (1984)
berdasarkan model psikologi ego dari teori psikoanalisis, dimana coping
didefinisikan sebagai pemikiran yang realistis dan fleksibel dan tindakan
yang memecahkan masalah dan mengurangi stres. Fokus model ini adalah
cara manusia melakukan persepsi dan berpikir tentang kaitan manusia
dengan lingkungan. Pendekatan psikologi ego psikoanalisis membedakan
manusia dilihat dari bagaimana manusia mengatasi hubungan manusia
dengan lingkungan.
Beberapa ahli, seperti Menninger & Vaillant mempergunakan
hirarki proses ego manusia dalam coping. Menninger (dalam Lazarus &
Folkman 1984) mengidentifikasi lima tujuan dalam regulasi seseorang
dalam melakukan coping. Hirarki puncak adalah strategi mengurangi
ketegangan yang disebabkan karena peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan stres. Beberapa contoh dari strategi ini ialah kontrol diri,
humor, menangis, berbicara, berpikir, dan bekerja santai. Hirarki yang
kedua ialah penolakan terhadap situasi yang berupa disosiasi (amnesia,
dispersonalisasi, dan narcolepsy), pengalihan agresi (aversi, prejudice,
pobia, kebiasaan menyakiti diri), serta contoh-contoh lain seperti
compulsive, memakai narkotika.
Hirarki yang ketiga terlihat pada tindakan yang meledak-ledak,
penuh energi yang agresif, tindakan yang tidak tertata dengan baik
termasuk kekerasan dan serangan kepanikan. Hirarki yang keempat
menampilkan peningkatan disorganisasi. Yang terakhir, hirarki kelima
ialah disintegrasi ego. Dalam hirarki ini, coping dilakukan dengan sangat
tidak baik, tidak terkontrol, tidak seimbang.
16
Vaillant (dalam Lazarus & Folkman, 1984) membagi pertahanan
ego menjadi empat tingkatan, yaitu dari mekanisme psikotik (penolakan
kenyataan, distorsi, dan delusi); mekanisme yang immature (fantasi,
proyeksi, perilaku yang agresif dan pasif, serta hypochondriasis);
mekanisme neurotis (intelektualisisasi, represi, dan formasi-reaksi); dan
mekanisme yang mature (sublimasi, altruism, suppression, antisipasi, dan
humor).
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa teori
ego psikoanalisis dapat menjadi dasar pemikiran coping with stress. Teori
ego psikoanalisis menjelaskan dasar bagaimana ego seseorang bertindak
dalam merespons peristiwa yang dialami. Bagaimana ego bertindak ini
terlihat juga dalam bagaimana seseorang melakukan coping terhadap
peristiwa yang dapat menimbulkan stres.
2.3.3 Jenis Coping
Lazarus & Folkman (1984) membedakan coping menjadi dua,
yaitu emotional-focused coping dan problem-focused coping. Yang
dimaksud dengan emotional-focused coping ialah bertujuan pada
pengurangan atau pengelolaan distress emosional yang berkaitan dengan
situasi. Aspek dalam emotional-focused coping adalah sebagai berikut:
a. Distancing
Distancing adalah tidak melibatkan diri pada permasalahan atau
membuat menjadi terlihat positif.
b. Escape avoidance
Escape avoidance yaitu menghindar atau melarikan diri dari
masalah yang dihadapi.
15
c. Self controlling
Self controlling atau kendali diri yang merupakan suatu bentuk
respons dengan melakukan kegiatan pembatasan atau regulasi baik dalam
perasaan maupun tindakan.
d. Accepting responsibility
Accepting responsibility merupakan suatu respons yang
menimbulkan dan meningkatkan kesadaran akan perasaan diri dalam suatu
masalah yang dihadapi dan berusaha menempatkan segala sesuatu
sebagaimana mestinya.
e. Positive reappraisal
Positive reappraisal merupakan suatu respons dengan cara
menciptakan makna positif dalam diri sediri yang tujuannya untuk
mengembangkan diri termasuk melibatkan hal-hal yang religius.
Problem-focused coping merupakan tindakan yang bertujuan pada
pemecahan masalah atau melakukan sesuatu untuk mengubah sumber
stres. Aspek dalam problem-focused coping ialah sebagai berikut:
a. Planful problem solving
Merupakan respons atau reaksi yang timbul dengan melakukan
kegiatan tertentu yang bertujuan untuk melakukan perubahan keadaaan,
dengan cara melakukan pendekatan secara analitis dalam menyelesaikan
masalah.
b. Confrontative coping
Merupakan respons atau reaksi yang timbul dengan melakukan
kegiatan tertentu yang bertujuan untuk melakukan perubahan keadaan
dengan cara menantang langsung (konfrontasi) sumber masalah.
16
c. Seeking social support
Merupakan suatu respons atau reaksi dengan mencari bantuan dari
pihak luar, dalam bentuk bantuan nyata ataupun dukungan emosional.
Problem-focused coping (PFC) dan emotional-focused coping
(EFC) menurut Lazarus & Folkman (1984) dapat dikatakan sebagai suatu
konseptualisasi yang paling berpengaruh dan banyak digunakan dalam
bermacam-macam versi dari berbagai penelitian tentang coping. Setiap
manusia mempunyai kecenderungan untuk menggunakan salah satu
strategi. PFC dapat dikatakan sebagai strategi coping yang adaptif, yaitu
strategi yang baik sedangkan EFC dapat dikatakan sebagai strategi coping
yang maladaptif yaitu strategi yang merusak.
2.3.4 Dimensi Sumber Coping
Dimensi sumber coping menurut Lazarus & Folkman (1984)
terbagi menjadi empat, yaitu kesehatan dan energi (sumber fisikal),
kepercayaan yang positif (sumber psikologikal), problem solving dan
keahlian sosial (social skill).
Dalam dimensi sumber fisikal, seseorang yang sakit atau lelah
kurang mempunyai energi untuk melakukan coping dari pada orang yang
sehat. Dalam melakukan coping dibutuhkan kesehatan dan energi karena
dalam kondisi stres dan banyak masalah membutuhkan pergerakan yang
ekstrim. Kesehatan dan energi secara pasti mendukung usaha coping, lebih
mudah melakukan coping ketika seseorang merasakan yang baik daripada
tidak. Orang yang sakit biasanya dapat melakukan coping dengan baik
jikalau mempunyai penyangga yang cukup baik.
Dimensi berikutnya adalah kepercayaan yang positif, yaitu melihat
diri sendiri secara positif yang berguna sebagai daya kemampuan coping.
15
Dalam kepercayaan, ada kepercayaan secara umum dan kepercayaan
spesifik yang bertindak sebagai dasar akan harapan dan yang menopang
usaha coping terhadap kondisi yang merugikan. Harapan dapat
ditimbulkan oleh kepercayaan umum dimana hasilnya dapat dikontrol dan
mempunyai kekuatan untuk memengaruhi hasilnya bagi orang maupun
program tertentu. Dapat juga melalui kepercayaan positif tentang keadilan,
kehendak bebas, atau Tuhan. Harapan dapat terjadi hanya ketika
kepercayaan membuat sebuah hasil yang positif terlihat mungkin.
Dimensi ketiga dan keempat ialah dimensi kemampuan, yaitu
problem-solving skill dan social skill. Yang dimaksud dengan problem-
solving skill ialah kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa
situasi untuk tujuan pengidentifikasian masalah dengan maksud
menggeneralisasi sumber alternatif tindakan, melebarkan sumber alternatif
tindakan, melebarkan alternatif dengan respek untuk hasil yang
diinginkan, dan memilih dan mengimplementasikan sebuah rencana
tindakan yang cocok. Social skill merupakan sumber coping yang penting
karena adanya peranan pervasif dari fungsi sosial dalam adaptasi manusia.
Social skill mengacu pada kemampuan untuk berkomunikasi dan
berperilaku dengan yang lainnya dengan cara yang cocok dan efektif
secara sosial. Social skill berisi tentang problem solving yang berkaitan
dengan orang lain, meningkatkan persahabatan yang dapat menambah
kerjasama dan dukungan, dan secara umum memberikan individu kontrol
akan interaksi sosial. Sosial skill berguna dalam beberapa area, misalnya
dalam program terapis dapat membantu individu menjadi lebih baik dalam
mengelola masalah sehari-hari, dalam program training organisasi untuk
memperbaiki kemampuan komunikasi interpersonal.
16
Penulis mempergunakan dimensi coping menurut Lazarus &
Folkman (1984) karena sejalan dengan teori coping yang penulis pakai
dan dapat menjawab kebutuhan penelitian. Kemampuan seseorang
dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat dilihat dari dimensi sumber
coping. Kesehatan, energi, kepercayaan yang positif, kemampuan problem
solving, dan social skill yang baik membuat seseorang akan lebih mampu
mengatasi peristiwa yang menimbulkan stres yang dihadapinya.
2.4 Jenis Kelamin
2.4.1 Pengertian Jenis Kelamin
Badudu & Zain (2001) menjelaskan bahwa jenis kelamin adalah
pembedaan atas laki-laki dan perempuan atau jantan dan betina.
Sementara itu, Baron & Byrne (2000) mengartikan bahwa jenis kelamin
merupakan sebagian dari konsep diri yang melibatkan identifikasi individu
sebagai seorang laki-laki atau perempuan.
Menurut Wahab (2012), manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
secara kodrat dibedakan menjadi dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan
perempuan. Antara dua jenis kelamin tersebut terdapat perbedaan
karakteristik yang khas yang dapat membedakan satu dengan yang
lainnya, baik ditinjau dari segi fisik maupun dari segi psikis. Menurut
Peck (1991) bahwa dengan jenis kelamin, dapat diketahui apakah
seseorang dapat digolongkan sebagai laki-laki atau perempuan. Anak laki-
laki dan perempuan mulai mengenal tingkah laku dan ciri-ciri kepribadian
yang sesuai dengan masing-masing jenis kelamin.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
jenis kelamin merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang
15
mengacu pada karakteristik dan ciri kepribadian yang khas yang dapat
membedakan satu dengan yang lainnya.
2.5 Hasil Penelitian Sebelumnya
Prestasi akademik siswa merupakan bagian yang tidak terpisahkan
ketika berbicara tentang pendidikan. Prestasi akademik perlu mendapat
perhatian karena prestasi akademik merupakan salah satu tolak ukur
keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan mutu
pendidikan maka perlu mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan
prestasi akademik. Penelitian sebelumnya sangat penting sebagai dasar
pijakan dalam rangka penyusunan penelitian ini. Oleh sebab itu, berbagai
penelitian sebelumnya telah menemukan hasil analisa bahwa stres siswa
yang diengaruhi oleh kemampuan coping with stress menjadi faktor yang
memiliki keterkaitan dengan prestasi akademik.
2.5.1 Pengaruh Stres Siswa terhadap Prestasi Akademik Siswa
Hasil temuan yang menunjukkan bahwa stres memengaruhi
prestasi akademik telah dilakukan oleh Agarwal (2011) terhadap 400
siswa yang berumur 13 sampai 18 tahun di India menunjukkan bahwa
stres akademik mempunyai korelasi yang negatif dengan prestasi
akademik siswa. Hal ini berarti semakin tinggi stres yang dialami oleh
siswa maka prestasi akademik siswa akan semakin rendah, sebaliknya
semakin rendah stres siswa maka prestasi akademik akan semakin baik.
Peneliti lain, yaitu Kumari et al. (2012) melakukan penelitian
terhadap 120 siswa menengah dari enam sekolah menengah di North-
western Delhi dan membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara
stres dan prestasi akademik siswa dengan koefisien korelasi sebesar 0,19
16
dan signifikan pada level 0,05. Sementara itu, Khan et al. (2013) yang
melakukan penelitian terhadap 150 siswa di daerah Islamabad
membuktikan bahwa ada pengaruh signifikan stres akademik terhadap
prestasi siswa dengan nilai β= -, 19, ρ<0,001. Dua penelitian tersebut juga
berarti bahwa semakin tinggi stres yang dialami oleh siswa maka prestasi
akademik siswa akan semakin rendah, demikian juga sebaliknya.
Berikutnya, Omomia et al. (2014) yang melakukan penelitian
terhadap 100 orang siswa kelas Biologi di Education District IV Negara
Bagian Lagos, Nigeria membuktikan adanya pengaruh yang negatif akan
stres siswa terhadap prestasi akademik. Ukpepi & Ndifon (2015)
melakukan penelitian terhadap 120 siswa di Calabar dan menemukan
bahwa stres secara signifikan berkorelasi dengan prestasi akademik siswa.
Adanya korelasi tersebut ditunjukkan dengan r-value sebesar 0,84 > 0,178
pada level signifikansi 0,05. Sementara itu, Reddy K & Reddy V (2016)
membuktikan bahwa stres memberikan pengaruh yang signifikan (F value
= 9,023) terhadap prestasi akademik siswa sekolah di Distrik Chittoor
India.
2.5.2 Pengaruh Coping with Stress terhadap Stres Siswa
Stres yang dialami dipengaruhi oleh kemampuan seseorang dalam
menghadapi stres tersebut (coping with stress). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Pongpanich et al. (2009) menunjukkan bahwa remaja
menjadi mampu mengurangi stres yang dialami, mengurangi potensi untuk
penggunaan obat-obatan terlarang, merokok, minum minuman beralkohol
karena mengikuti program pelatihan coping with stress yang ditunjukkan
dengan penurunan tingkat stres secara signifikan ( p <0,05). Sementara itu,
penelitian Suldo et al. (2008) menunjukkan bahwa remaja yang dapat
melakukan strategi coping with stress dengan baik, yaitu memfokuskan
15
diri pada hal-hal yang baik dan dukungan sosial, dapat mengurangi beban
stres akademik yang mereka jalani.
Dalam penelitian di College Freshmen, Hill (2014) juga
menemukan bahwa antara coping with stress dan stres mempunyai
korelasi yang signifikan dengan α = 0,05, R² = 0,227, dan ρ = 0,18 artinya
ada pengaruh coping with stress terhadap stres siswa-siswi baru. Di sisi
lain, Bamuhair et al., (2015) melakukan penelitian terhadap 378 siswa di
Saudi Arabia dan membuktikan adanya pengaruh positif antara coping
with stress dengan R = 0,27 (F = 21,8, ρ < 0,001). Oleh Ariasti & Pawitri
(2016) dibuktikan bahwa coping with stress mempunyai hubungan yang
signifikan dengan stres ( ρ= 0,004 < 0,05). Penelitian ini berarti semakin
tinggi kemampuan coping with stress yang dimiliki oleh siswa, maka
tingkat stres siswa akan semakin rendah.
2.5.3 Perbedaan Kemampuan Coping with Stress Ditinjau dari Jenis
Kelamin
Berdasarkan penelitian mengenai hal coping with stress ditinjau
dari jenis kelamin, maka didapatkan bukti bahwa ada perbedaan pemilihan
jenis coping with stress, antara laki-laki dan perempuan. Hampel &
Petermann (2005) membuktikan bahwa remaja perempuan lebih rentan
stres karena mempergunakan strategi yang maladaptif dalam menghadapi
masalah, sementara itu remaja laki-laki mempergunakan strategi yang
adaptif dalam menghadapi masalah. Penelitian yang dilakukan oleh
Cocoroda & Mihalascu (2012) menunjukkan bahwa ada perbedaan strategi
yang dipakai oleh laki-laki dan perempuan dalam hal mencari dukungan
sosial, penolakan, dan pelepasan emosi.
16
Craciun (2013) membuktikan bahwa ada perbedaan yang
signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam pemilihan strategi coping
dengan chi-square test χ² = 6,845, ρ < 0,001 dimana sebanyak 42,6%
perempuan lebih memilih strategi berdasarkan emosi (emotion-focused
coping) sedangkan sebanyak 35,8% laki-laki memilih strategi yang
berfokus oada pemecahan masalah.
Hasil penelitian yang sama ditemukan oleh Guszkowska et al.
(2016) yang membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara siswa laki-laki dan perempuan dalam pemilihan strategi coping
dengan F hitung (1,281) = 22,01 dan ρ < 0,001, dimana perempuan lebih
menggunakan emosi (emotion-focused coping) dalam menghadapi
masalah sehingga rentan terhadap stres. Laki-laki memilih
mempergunakan strategi yang berorientasi pada masalah (problem-focused
coping) sehingga lebih baik dalam kemampuan coping.
2.6 Dinamika Hubungan Antar Variabel
Prestasi akademik siswa merupakan tingkat pencapaian seorang
siswa yang diukur dalam kurun waktu tertentu. Prestasi akademik
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal meliputi faktor fisiologis yaitu hal-hal yang berhubungan
dengan keadaan fisik khususnya penglihatan dan pendengaran dan faktor
psikologi yaitu hal-hal yang menyangkut faktor non-fisik, seperti minat,
emosi, motivasi, intelegensi, bakat, sikap, serta keadaan psikologis lainnya
seperti stres, kepercayaan diri, penghargaan diri.
Ketika seorang siswa mengalami stres karena hal-hal yang dialami
di sekolah maka itu akan memengaruhi tinggi rendahnya prestasi yang
diperoleh. Seorang siswa yang mengalami stres berarti mengalami
gangguan pada aspek-aspek siswa sebagai individu. Aspek pertama yang
15
mengalami gangguan ialah aspek biologis, yaitu terganggunya sistem
kekebalan tubuh. Orang cenderung akan dan mudah terserang penyakit,
seperti sakit kepala, sakit perut, kelelahan dan biasanya penyakit-penyakit
tersebut cenderung lama masa penyembuhannya. Siswa yang mengalami
gangguan pada aspek biologis akan mengalami kesulitan dalam proses
belajar mengajar. Dengan sakit kepala yang dialami, membuat siswa sulit
untuk menerima pelajaran, demikian juga ketika mengalami sakit perut
maupun kelelahan. Sehingga dengan gangguan pada aspek biologis akan
membuat siswa tidak dapat berprestasi secara maksimal.
Gangguan pada aspek psikologis juga memengaruhi siswa dalam
berprestasi. Ketika mengalami gangguan pada aspek psikologis, maka
siswa akan mengalami gangguan pada proses kognitif fungsi kognitif
rusak dan perhatian menjadi kacau. Dalam kondisi ini seorang siswa tidak
akan dapat menghasilkan prestasi yang baik karena mengalami kesulitan
dalam memberikan perhatian pada proses belajar. Selain itu, gangguan
pada aspek psikologis dapat menimbulkan emosi, ketegangan dan
kekuatiran yang terus menerus yang dapat mengganggu proses pencapaian
prestasi akademik yang tinggi.
Siswa yang mengalami stres juga akan mengalami gangguan pada
aspek perilaku sosial yang menyebabkan siswa menjadi sensitif dan
kurang peduli bahkan tidak dapat merasakan dan bermusuhan dengan
individu lain. Keadaan ini mengganggu siswa dalam mencapai prestasi
yang diharapkan karena dalam proses belajar membutuhkan kerjasama
dengan teman sebaya atau teman sekelas. Perilaku-perilaku sosial lainnya,
seperti misalnya marah kepada teman dan guru, perilaku agresif
memunculkan pertikaian tidak hanya dengan teman sekelas namun dapat
16
pula dengan guru sehingga menghambat proses belajar mengajar yang
berakibat pada tingkat prestasi akademik siswa.
Sementara itu, tingkat stres siswa sendiri dipengaruhi oleh respons
siswa terhadap stressor yang dialami. Respons siswa tersebut disebut
sebagai coping with stress. Ketika seseorang mempunyai kemampuan
coping with stress yang baik, maka dia akan dapat mengatasi stres yang
dialaminya dengan baik. Strategi coping yang adaptif berarti siswa
cenderung berusaha menghadapi stres yang dialami dengan
mempergunakan kognitifnya dalam memecahkan masalah-masalah yang
menjadi sumber stres. Ketika stressor dapat dihadapi dengan baik maka
keadaan itu akan menurunkan tingkat ketegangan yang dialami sehingga
stres tidak terus meningkat tetapi menurun. Seorang siswa yang memiliki
kemampuan coping yang baik berarti memiliki social skill yang baik
dimana hal tersebut akan membuat individu memiliki persahabatan yang
dapat menambah kerjasama dan dukungan yang berguna dalam
mengurangi stres yang dialami.
Sebaliknya, jikalau mempergunakan strategi yang maladaptif
dimana emosi lebih berperan. Hal-hal yang dilakukan dalam coping
maladaptif ini adalah detachment, menyalahkan diri sendiri, dan menutup
diri. Dengan coping maladaptif ini maka stres akan semakin meningkat
karena masalah tidak diselesaikan dengan baik sehingga masalah akan
semakin bertambah menjadi akumulasi masalah. Individu yang menutup
diri tidak mendapat dukungan dari individu lain padahal dukungan penting
dalam mengurangi stres yang dialami. Demikian juga ketika seorang terus
menerus menyalahkan diri atas masalah yang dialami maka akan
menimbulkan permasalahan lain yang menimbulkan stres berkepanjangan.
15
Bagaimana individu memiliki kemampuan coping itu ditentukan
salah satunya oleh jenis kelamin. Setiap individu memiliki kecenderungan
tersendiri dalam memilih strategi coping sehingga ada perbedaan
kemampuan coping. Seorang laki-laki cenderung melakukan strategi yang
adaptif karena laki-laki cenderung mempergunakan kognisinya ketika
berada dalam permasalahan (problem-focused coping), sebaliknya seorang
perempuan cenderung melakukan strategi yang maladaptif karena
perempuan cenderung mempergunakan emosinya ketika berada dalam
permasalahan (emotional-focused coping).
2.7 Model Penelitian
Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu, maka model
penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1
Model Penelitian 1
Keterangan:
X = Stres
Y = Prestasi Akademik
Stres
Prestasi
Akademik
16
Gambar 2.2
Model Penelitian 2
Keterangan:
X = Coping with Stress
Y = Stres
2.8 Hipotesis
2.8.1 Ada pengaruh stres terhadap prestasi akademik siswa SMP Bentara
Wacana.
2.8.2 Ada pengaruh coping with stress terhadap stress siswa SMP
Bentara Wacana.
2.8.3 Ada perbedaan kemampuan coping with stress ditinjau dari jenis
kelamin siswa SMP Bentara Wacana.
Coping with
Stress
Stres