8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Apendisitis
2.1.1 Pengertian Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis atau
peradangan infeksi pada usus buntu (apendiks) yang terletak di perut kuadran
kanan bawah (Smeltzer, 2002). Apendisitis dapat terjadi pada setiap usia. Namun,
apendisitis paling sering terjadi pada remaja dan dewasa awal, angka mortalitas
penyakit ini tinggi sebelum era antibiotik (Sylvia & Loraine, 2005). Menurut
Mansjoer, Arif, dkk, (2001), penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki
maupun perempuan, tetapi lebih sering laki-laki yang berusia antara 10-30 tahun.
2.1.3 Patofisiologi
Secara patogenesis faktor penting terjadinya apendisitis adalah adanya
obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Obstruksi lumen
apendiks merupakan faktor penyebab dominan pada apendisitis akut. Peradangan
pada apendiks berawal di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan
dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam. Obstruksi pada bagian yang lebih
proksimal dari lumen menyebabkan stasis bagian distal apendiks, sehingga mukus
yang terbentuk secara terus menerus akan terakumulasi. Selanjutnya akan
menyebabkan tekanan intraluminal meningkat, kondisi ini akan memacu proses
translokasi kuman dan terjadi peningkatan jumlah kuman didalam lumen
9
apendiks. Selanjutnya terjadi gangguan sirkulasi limfe yang menyebabkan edema.
Kondisi ini memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa dan
menyebabkan ulserasi mukosa apendiks maka terjadi keadaan yang disebut
apendiks fokal. (Pieter, 2005; Jaffe & Berger, 2005)
Obstruksi yang terus menerus menyebabkan tekanan intraluminer semakin
tinggi dan menyebabkan terjadinya gangguan sirkulasi vaskuler. Keadaan ini akan
menyebabkan edema bertambah berat, terjadi iskemia, dan invasi bakteri semakin
berat sehingga terjadi penumpukan nanah pada dinding apendiks atau disebut
dengan apendisitis akut supuratif. Pada keadaan yang lebih lanjut, dimana tekanan
intraluminer semakin tinggi, edema menjadi lebih hebat, terjadi gangguan
sirkulasi arterial. Hal ini menyebabkan terjadi gangren. Gangren biasanya di
tengah-tengah apendiks dan berbentuk ellipsoid, keadaan ini disebut apendisitis
gangrenosa. Bila tekanan terus meningkat, maka akan terjadi perforasi yang
mengakibatkan cairan rongga apendiks akan tercurah ke rongga peritoneum dan
terjadilah peritonitis lokal (Bedah UGM)
2.1.4 Manifestasi Klinis
Nyeri kuadran bawah terasa dan disertai oleh demam ringan, mual, muntah
dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc Burney bila dilakukan
tekanan. Nyeri tekan lepas (hasil atau intensifikasi dari nyeri bila tekanan
dilepaskan) mungkin dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah
terdapat atau tidaknya konstipasi dan diare tidak tergantung dari beratnya infeksi
dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri
10
tekan dapat terasa di daerah lumbar bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini
dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan
ujung apendiks berada dekat dengan rektum. Sedangkan nyeri pada saat berkemih
menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter.
Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus dapat terjadi.
Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi daerah kuadran
bawah kiri , yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran
kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi lebih menyebar;
distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik, dan kondisi pasien memburuk.
Pada pasien lansia tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-
tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukan obstruksi usus atau penyakit
infeksi lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami
ruptur apendiks. Insiden perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena
banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat
pasien-pasien yang lebih muda (Brunner & Suddarth, 2002)
2.1.5 Evaluasi Diagnostik
Diagnosa didasarkan pada pemeriksaan fisik lengkap dan tes laboratorium
dan sinar x. Hitung darah lengkap akan dilakukan dan akan menunjukkan
peningkatan jumlah darah putih. Jumlah leukosit mungkin lebih besar dari
10.000/mm3 dan pemeriksaan ultrasound dapat menunjukkan densitas kuadran
kanan bawah atau kadar aliran udara terlokalisasi.
11
2.1.5 Penatalaksanaan
Menurut Brunner & Suddarth (2002) pembedahan diindikasikan bila
diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai
pembedahan dilakukan. Analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
Appendectomy (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera
mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Appendectomy dapat dilakukan
dibawah anastesi umum maupun spinal dengan insisi abdomen bawah atau dengan
laparoskopi, yang memberikan metode baru yang sangat efektif.
2.1.6 Komplikasi Apendisitis
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah sampai 10%
sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara
umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu
37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik dan nyeri atau nyeri tekan abdomen
yang kontinyu (Brunner & Suddarth, 2002)
2.2 Konsep Perioperatif
Keperawatan perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan
pengalaman pembedahan pasien. Kata perioperatif adalah suatu istilah gabungan
yang mencangkup tiga fase pengalaman pembedahan yaitu pre operasi, intra
operasi, dan pasca operasi ( Keperawatan medikal-bedah, 2001)
12
2.2.1 Fase Pre Operasi
a. Pengertian
Operasi merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh. Fase
pre operasi adalah fase dimulai ketika keputusan untuk menjalani operasi atau
pembedahan dibuat dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi
(Smeltzer and Bare, 2002 ).
b. Tipe Pembedahan
Menurut fungsinya (tujuannya), Potter & Perry ( 2005 ) membagi menjadi:
1) Diagnostik : biopsi
2) Kuratif (ablatif) : tumor, appendectomy
3) Reparatif : memperbaiki luka multiple
4) Rekonstruktif : mamoplasti, perbaikan wajah.
5) Paliatif : menghilangkan nyeri,
6) Transplantasi : penanaman organ tubuh untuk menggantikan organ atau
struktur tubuh yang malfungsi (cangkok ginjal, kornea).
13
c. Persiapan Pasien Sebelum Menjalani Tindakan Pembedahan
a) Persiapan Fisik
Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien sebelum
operasi menurut Majid ( 2011 ), antara lain :
1) Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status
kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti
kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap,
antara lain status hemodinamika, status kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi
ginjal dan hepatik, fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain.
2) Status Nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat
badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan
globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi harus
dikoreksi sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang cukup untuk
perbaikan jaringan.
3) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan
output cairan. Demikaian juga kadar elektrolit serum harus berada dalam rentang
normal. Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal.
Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi metabolit
obat-obatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka operasi dapat dilakukan dengan
baik.
14
4) Kebersihan lambung dan kolon
Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Intervensi
keperawatan yang bisa diberikan diantaranya adalah pasien dipuasakan. Lamanya
puasa berkisar antara 7 sampai 8 jam, yang bertujuan untuk menghindari aspirasi
dan menghindari kontaminasi feses ke area pembedahan sehingga menghindarkan
terjadinya infeksi pasca pembedahan. Pada pasien yang membutuhkan operasi
segera, maka pengosongan lambung dapat dilakukan dengan cara pemasangan
NGT (naso gastric tube).
5) Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari terjadinya
infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan. Tindakan harus dilakukan
dengan hati-hati jangan sampai menimbulkan luka. Daerah yang dilakukan
pencukuran tergantung pada jenis operasi dan daerah yang akan dioperasi.
6) Personal Hygine
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi karena
tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat mengakibatkan
infeksi pada daerah yang dioperasi.
7) Pengosongan kandung kemih
Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan pemasangan
kateter. Selain untuk pengsongan isi bladder tindakan kateterisasi juga diperlukan
untuk mengobservasi balance cairan.
15
b) Persiapan Mental/Psikis
Menurut Long B.C (2001), operasi merupakan ancaman yang potensial
maupun aktual pada integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi
fisiologis maupun psikologis. Berbagai alasan yang dapat menyebabkan ketakutan
pasien dalam menghadapi pembedahan antara lain :
1) Takut nyeri setelah pembedahan
2) Takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa dan tidak berfungsi
normal.
3) Takut keganasan (bila diagnosa yang ditegakkan belum pasti).
4) Takut mengalami kondisi yang sama dengan orang lain yang mempunyai
penyakit yang sama.
5) Takut menghadapi ruang operasi, peralatan pembedahan dan petugas.
6) Takut mati saat dibius/tidak sadar lagi.
7) Takut operasi gagal.
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan pasien adalah:
1) Pengalaman operasi sebelumnya.
2) Pengertian pasien tentang tujuan operasi.
3) Pengetahuan pasien tentang persiapan operasi baik fisik maupun
penunjang.
4) Pengetahuan pasien tentang situasi kamar operasi dan petugas kamar
operasi.
5) Pengetahuan pasien tentang prosedur (pre, intra, dan pasca operasi)
16
6) Pengetahuan tentang latihan-latihan yang harus dilakukan sebelum operasi
dan harus dijalankan setelah operasi seperti latihan nafas dalam, batuk
efektif, range of motion(ROM) dan lain-lain.
d. Informed consent
Izin tertulis yang dibuat secara sadar dan sukarela dari pasien diperlukan
sebelum suatu pembedahan dilakukan. Izin tertulis seperti ini melindungi pasien
terhadap pembedahan yang lalai dan melindungi ahli bedah terhadap tuntutan dari
suatu lembaga hukum. Tanggung jawab perawat adalah memastikan bahwa
informed consent telah didapat secara sukarela dari pasien oleh dokter.
Sebelum menandatangani formulir consent, ahli bedah harus memberi
penjelasan yang jelas dan sederhana tentang apa yang diperlukan dalam
pembedahan. Ahli bedah juga harus menginformasikan tentang alternatif-
alternatif yang ada, kemungkinan risiko, komplikasi, perubahan bentuk tubuh,
kecacatan, ketidakmampuan, dan pengangkatan bagian tubuh, juga tentang apa
yang diperkirakan terjadi pada periode pasca operasi awal dan lanjut.
Persetujuan tindakan medik diperlukan ketika :
1) Prosedur tindakan adalah invasif, seperti insisi, bedah, biopsi, sistoskopi,
atau parasentesis.
2) Menggunakan anastesi.
3) Prosedur non bedah yang dilakukan dimana risikonya pada pasien lebih
dari sekadar risiko ringan, seperti arteriogram.
17
4) Prosedur yang dilakukan yang mencakup terapi radiasi atau kobalt. (Majid,
2011)
e. Pendidikan Pasien Pra Operasi (Preoperative Teaching)
Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha
untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau
individu sehingga sasaran memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih
baik yang akan berpengaruh pada prilakunya (Notoatmodjo, 2007). Mubarak dan
Chayatin (2009) dalam Wartini (2011) menyatakan pendidikan kesehatan dapat
mendorong prilaku yang menunjang kesehatan, mencegah penyakit, mengobati
penyakit dan membantu pemulihan. Melalui pendidikan kesehatan akan terjadi
proses belajar untuk mengembangkan pengertian dan sikap yang benar dan positif
dari individu atau kelompok terhadap kesehatan agar yang bersangkutan
menerapkan cara hidup sehat sebagai bagian dari cara hidupnya sehari-hari atas
kemauannya sendiri
Secara teori perubahan perilaku dalam kehidupan melalui tiga tahap :
1) Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil yang terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu melalui panca indra manusia
yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
2) Sikap (Attitude)
Sikap merupakan suatu respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau obyek. Dengan kata lain bahwa sikap itu
18
merupakan penilaian (bias berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus
atau obyek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan
tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku.
3) Praktik atau tindakan (Practice)
Setelah seseorang mengetahui stimulus atau obyek kesehatan, kemudian
mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, dan
sebagai proses selanjutnya diharapkan melaksanakan atau mempraktekkan
apa yang diketahui.
Lebih lanjut Notoatmodjo (2007) dalam Wartini (2011) menguraikan
bahwa terdapat beberapa teori lain mencoba mengungkap faktor penentu prilaku,
khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan antara lain teori
Snehandu B. Kar (1983) dan WHO (1984)
a. Teori Snehandu B. Kar
Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa
perilaku itu merupakan fungsi dari :
1) Niat untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan
kesehatannya (behavior intention)
2) Dukungan sosial dari sekitarnya (social support)
3) Ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas
kesehatan (accessibility of information).
4) Otonomi pribadi yang bersangkutan dengan pengambilan keputusan
(personal autonomy)
19
5) Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak
(action situation)
b. Teori WHO
WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berprilaku
tertentu karena adanya empat alasan pokok yaitu :
1) Pemikiran dan perasaan seseorang (thoughts and feeling)
2) Orang yang menjadi referensi (personal reference)
3) Sumber-sumber daya (resource)
4) Kebudayaan (culture)
a) Pengertian Preoperative Teaching
Preoperative teaching atau pendidikan pre operasi didefinisikan sebagai
tindakan suportif yang dilakukan perawat untuk membantu pasien bedah dalam
meningkatkan kesehatannya sendiri sebelum dan sesudah pembedahan. Tuntutan
klien akan bantuan keperawatan terletak pada area pengambilan keputusan,
tambahan pengetahuan, keterampilan,dan perubahan perilaku (Smith et al ;
Carpenito, 1995 dalam Ayu Ningsih, 2011).
Penyuluhan atau pendidikan kesehatan pada pasien yang akan dilakukan
tindakan pembedahan diberikan dengan tujuan meningkatkan kemampuan
adaptasi pasien dalam menjalani rangkaian prosedur pembedahan sehingga klien
diharapkan lebih kooperatif dalam perawatan pasca operasi, dan mengurangi
resiko komplikasi pasca operasi (Ignativicius, 1996 dalam Ayu Ningsih, 2011).
20
b) Tujuan
Menurut Effendy (1998) dalam Gustina (2010) tujuan penyuluhan
kesehatan adalah mengubah prilaku perorangan dan masyarakat dalam bidang
kesehatan sehingga masyarakat dapat menanamkan prinsip-prinsip hidup sehat
dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Preoperative teaching atau penyuluhan pre operasi bertujuan untuk
memberikan informasi dan menambah pengetahuan klien tentang mobilisasi dini
sehingga pasien mampu mengaplikasikan latihan-latihan yang diajarkan pada saat
pasca operasi. Hal ini berarti diharapkan terjadi perubahan pada prilaku atau
pelaksanaan mobilisasi dini pasien.
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek. Mubarak dkk (2007)
menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan individu yaitu
umur, minat, lingkungan, social budaya, pendidikan, informasi, dan pengalaman
Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2002) membagi prilaku manusia
dalam tiga domain yaitu kognitif, afektif dan psikomotor Menurut Notoadmodjo
(2007), tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif mencakup enam
tingkatan, yaitu :
1) Tahu (know)
Merupakan tingkatan pengetahuan paling rendah. Tahu artinya dapat
mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ukuran bahwa
seseorang itu tahu, adalah ia dapat menyebutkan, mneguraikan
mendefinisikan dan menyatakan.
21
2) Memahami (Comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak
hanya sekedar menyebutkan tetapi orang tersebut harus dapat
menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.
3) Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan dan mengaplikasikan prinsip tersebut.
4) Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau
memisahkan, kemudian mencari komponen yang terdapat dalam suatu
masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang
itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah
dapat membedakan atau memisahkan, mengelompokkan, membuat
diagram terhadap pengetahuan objek tersebut.
5) Sintesis (Syntesis)
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi sebelumnya.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.
22
c) Manfaat Preoperative teaching
Menurut Potter Perry (2005) preoperative teaching atau penyuluhan pre
operasi yang terstruktur mempunyai pengaruh yang positif bagi pemulihan klien.
Pada penyuluhan ini diajarkan mengenai mobilisasi dini klien pasca operasi. Hal
ini bertujuan untuk mempersiapkan pasien sehingga siap untuk meningkatkan
proses kesehatannya sebelum, selama dan khusunya sesudah pembedahan.
Penyuluhan pre operasi yang terstruktur dapat mempengaruhi beberapa faktor
pasca operasi seperti :
1) Fungsi pernafasan. Penyuluhan meningkatkan kemampuan klien untuk
batuk dan nafas dalam secara efektif.
2) Kapasitas fungsi fisik. Penyuluhan meningkatkan kemampuan klien
melakukan ambulasi dan melaksanakan aktivitas sehari-hari secara lebih
awal.
3) Perasaan sehat. Klien yang telah dipersiapkan untuk mengalami
pembedahan memiliki kecemasan yang rendah dan menyatakan rasa sehat
secara psikologis yang lebih besar.
4) Lama rawat inap di rumah sakit. Penyuluhan pre operasi secara terstruktur
dapat mempersingkat waktu rawat inap klien di rumah sakit.
5) Ansietas tentang nyeri dan jumlah obat-obatan anti nyeri yang diperlukan
untuk kenyamanan. Klien yang telah diberikan penyuluhan tentang nyeri
dan cara untuk menghilangkannya memiliki kecemasan tentang nyeri yang
lebih rendah
23
Diskusi yang terperinci dan demonstrasi latihan merupakan hal yang vital.
Apabila klien memahami alasan pentingnya latihan untuk memulihkan kondisi
pada pasca operasi dan klien melakukannya dengan benar, maka komplikasi pada
tahap pemulihan akan berkurang.
d) Waktu Pemberian Preoperative Teaching
Sebuah penelitian menemukan bahwa klien lebih suka menerima informasi
perioperatif pada waktu antara kedatangan pasien ke rumah sakit sampai sebelum
klien menjalani pembedahan, walaupun rentang waktunya hanya beberapa jam
(Schoessler (1989) dalam Potter and Perry, 2006). Jika perawat memberi
penyuluhan pada klien sejak satu atau dua hari sebelum pembedahan, klien
mungkin akan mempelajarinya dengan lebih baik. Rasa cemas dan takut adalah
hambatan dalam belajar, dan kedua emosi ini akan meningkat jika waktu
pembedahan semakin dekat (Potter & Perry, 2006).
Anggota keluarga dianjurkan ikut terlibat dalam persiapan perioperatif.
Seringkali anggota keluarga menjadi pelatih klien dalam melakukan latihan pasca
operasi saat klien selesai menjalani pembedahan. Keluarga klien yang cemas
karena tidak memahami proses rutin yang terjadi pada masa pasca operasi,
tampaknya akan meningkatkan rasa takut atau khawatir klien. Persiapan
perioperatif bagi anggota keluarga sebelum pembedahan akan meminimalkan
kecemasan dan kesalahpahaman keluarga. Apabila klien mampu untuk menerima
pelajaran, perawat memberi informasi dengan cara yang logis, dimulai dari proses
pre operasi, intra operasi sampai pasca operasi. Penyuluhan pre operasi yang
24
menyeluruh tidak hanya meningkatkan pemahaman klien tetapi juga mempercepat
kembalinya fungsi fisiologis yang normal (Potter & Perry, 2006).
e) Komponen Preoperative Teaching
Setiap program penyuluhan preoperatif terdiri dari penjelasan dan
demonstrasi latihan-latihan pasca operasi. Latihan-latihan ini akan sangat
berpengaruh pada pengetahuan dan kemampuan pasien untuk melaksanakan
mobilisasi dini pasca operasi. Klien juga perlu untuk mengetahui tentang
mobilisasi dini baik pengertian, manfaat, waktu untuk memulai serta latihan
mobilisasi yang harus mereka lakukan. Latihan tersebut sebaiknya diberikan
sebelum pasien menjalani pembedahan, sehingga pasien tahu dan mampu untuk
melaksanakan mobilisasi pasca operasi secara maksimal. Apabila pasien
memahami alasan pentingnya penyuluhan ini, maka komplikasi pada tahap
pemulihan akan berkurang. Latihan yang diberikan pada pasien pre operatif antara
lain latihan nafas dalam, latihan batuk efektif dan latihan tungkai (Potter and
Perry, 2006).
f) Metode dan Media Pendidikan Kesehatan
Metode merupakan cara untuk melaksanakan pendidikan kesehatan kepada
sasaran, sedangkan teknik adalah segala upaya tertentu agar cara yang
dilaksanakan dapat terwujud secara baik dan sempurna. Dalam Achjar (2010),
dikatakan perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh peran perawat dalam
menyampaikan pesan tersebut sampai pada pasien dengan memperhatikan
25
berbagai aspek, diantaranya kesesuaian metode dan alat peraga/ alat bantu yang
digunakan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemilihan metode pendidikan kesehatan
disesuaikan dengan tujuan pendidikan, kemampuan sasaran, tingkat pendidikan
sasaran, serta waktu penyampaian pendidikan kesehatan. Berkaitan dengan tujuan
pendidikan kesehatan yaitu terjadinya perubahan prilaku. Berikut diuraikan
beberapa metode pendidikan kesehatan untuk merubah masing-masing unsure
prilaku yang diharapkan seperti :
1) Perubahan pengetahuan/ knowledge, dapat menggunakna metode ceramah,
seminar, studi kasus, curah pendapat, panel dan symposium.
2) Perubahan sikap/attitude, dapat menggunakan metode diskusi kelompok,
Tanya jawab, roleplay, pemutaran film, siaran terprogram
3) Perubahan tindakan/practice, dapat menggunakan metode demonstrasi,
bengkel kerja, latihan mandiri, dan eksperimen.
Dalam penjelasan sebelumnya dikatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi proses pendidikan kesehatan salah satunya tergantung pada media
dan alat bantu/peraga yang digunakan. Alat peraga menurut Achjar (2010)
berfungsi untuk membantu agar pesan yang disampaikan lebih jelas dan pasien
dapat menerima pesan secara jelas pula dengan memanfaatkan panca indra
sehingga mempermudah menerima pesan yang disampaikan. Semakin banyak
indra yang digunakan, semakin banyak dan jelas pula pengertian/pengetahuan
yang diperoleh.
Manfaat alat peraga (Depkes, 2006) yaitu; menimbulkan minat sasaran,
mencapai sasaran lebih banyak, membantu dalam mengatasi hambatan, membantu
26
sasaran untuk belajar lebih banyak dan cepat, mempermudah penyampaian
informasi oleh sasaran, merangsang sasaran untuk menginformasikan pesan-pesan
yang didapat kepada orang lain. Ada berbagai macam jenis alat peraga (Achjar,
2010) antara lain adalah leaflet, poster, papan tulis, flipchart, buletin, flash card,
buku cerita bergambar, chart, diorama dan flannel graph. Dalam proses
pembelajaran media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga dapat merangsang perhatian,
minat, pikiran dan perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan
belajar (Santyasa, 2007:3). Dalam penyampaian pendidikan kesehatan, leaflet
merupakan alat peraga sederhana yang sering digunakan. Leaflet/Brosur adalah
media berbentuk selembar kertas yang diberi gambar dan tulisan (biasanya lebih
banyak tulisan) pada kedua sisi kertas serta dilipat sehingga berukuran kecil dan
praktis dibawa. Biasanya ukuran A4 dilipat tiga. Media ini berisikan suatu
gagasan secara langsung ke pokok persoalannya dan memaparkan cara melakukan
tindakan secara pendek dan lugas. Media ini yang banyak kita temui biasanya
bersifat memberikan langkah-langkah untuk melakukan sesuatu (instruksional).
Media ini sangat efektif untuk menyampaikan pesan yang singkat dan padat
2.2.2 Fase Intra Operasi
Keperawatan intra operasi merupakan bagian dari tahap keperawatan
perioperatif. Aktivitas ini dilakukan oleh perawat di ruang operasi yang berfokus
pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan untuk perbaikan, koreksi atau
menghilangkan masalah-masalah fisik yang mengganggu pasien (Majid,2011).
27
a. Prinsip-Prinsip Asepsis
Antisepsis dan asepsis adalah suatu usaha untuk mencapai keadaan yang
memungkinkan untuk meminimalkan atau meniadakan kuman-kuman patogen,
baik secara kimiawi, mekanis maupun fisik.
Prinsip-prinsip asepsis yang harus diterapkan pada fase intra operasi
meliputi :
1) Prinsip asepsis ruangan : mencakup tindakan asepsis alat-alat bedah,
seluruh sarana kamar operasi, semua implantasi, alat-alat yang dipakai
personal operasi dan juga cara membersihkan atau melakukan desinfeksi
dari kulit dan tangan.
2) Prinsip asepsis personel : meliputi tiga tahap, yaitu scrubbing (teknik cuci
tangan steril), gowning (teknik memakai gaun operasi), dan gloving
(teknik memakai sarung tangan steril). Disamping sebagai cara
pencegahan terhadap infeksi nosokomial, teknik tersebut juga diberikan
untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan terhadap bahaya
yang didapatkan akibat prosedur tindakan.
3) Prinsip asepsis pasien : pasien yang akan menjalani pembedahan harus
diasepsiskan. Prosedur tersebut antara lain adalah kebersihan pasien,
desinfeksi area operasi dan tindakan drapping.
4) Prinsip asepsis instrumen : instrumen bedah yang digunakan untuk
pembedahan pada pasien harus benar-benar berada dalam keadaan steril.
Tindakan yang dapat dilakukan diantaranya adalah perawatan dan
sterilisasi alat, mempertahankan kesterilan alat pada saat pembedahan
28
dengan menggunakan teknik tanpa singgung dan menjaga agar tidak
bersinggungan dengan benda-benda non steril (Majid, 2011)
b. Peran dan Fungsi Perawat Intra Operasi
Peran perawat intra operasi adalah selain sebagai kepala advokat pasien
dalam kamar operasi yang menjamin kelancaran jalannya operasi dan menjamin
keselamatan pasien selama tindakan pembedahan. Sedangkan fungsinya di dalam
kamar operasi seringkali dijelaskan dalam hubungan aktivitas-aktivitas sirkulasi
dan scrub. Aktivitas keperawatan yang dilakukan selama tahap intra operasi
meliputi empat hal yaitu :
1) Safety Management : merupakan suatu bentuk jaminan keamanan bagi
pasien selama prosedur pembedahan. Tindakan yang dilakukan untuk
jaminan keamanan diantaranya adalah pengaturan posisi. Hal-hal yang
dilakukan oleh perawat terkait dengan pengaturan posisi pasien meliputi
kesejajaran fungsional, pemajanan area pembedahan, mempertahankan
posisi sepanjang prosedur operasi, memasang alat grounding ke pasien,
memberikan dukungan fisik dan psikologis serta memastikan bahwa
semua peralatan yang dibutuhkan telah siap.
2) Monitoring fisiologis : pemantauan fisiologis yang dilakukan oleh perawat
melliputi memantau keseimbangan cairan, memantau kondisi
kardiopulmonal dan memantau perubahan tanda-tanda vital.
3) Monitoring dan dukungan psikologis.
29
4) Pengaturan dan koordinasi nursing care: tindakan yang dilakukan meliputi
mengelola keamanan fisik, mempertahankan prinsip dan teknik aseptik
(Majid, 2011)
2.2.3 Fase Pasca Operasi
Keperawatan pasca operasi adalah periode akhir dari keperawatan
perioperatif. Selama periode ini proses keperawatan diarahkan pada upaya untuk
menstabilkan kondisi pasien pada keadaan keseimbangan fisiologis pasien,
menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi. Upaya yangdapat dilakukan
pada fase pasca operasi disarankan untuk mengantisipasi dan mencegah masalah
yang kemungkinan muncul pada tahap ini. Pengkajian dan intervensi yang cepat
dan akurat sangat dibutuhkan untuk mencegah komplikasi yang dapat
memperpanjang lama perawatan di rumah sakit atau membahayakan diri pasien
(Majid,2011)
a. Tahapan Keperawatan Pasca Operasi
Perawatan pasien pasca operasi meliputi beberapa tahapan, diantaranya
pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca operasi.
Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan atau unit
perawatan pasca operasi memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus.
Pertimbangan itu diantaranya adalah letak insisi bedah, perubahan vaskuler dan
pemajanan. Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien
pasca bedah dipindahkan.
30
Selanjutnya pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan. Ketika pasien
sudah mencapai ruang perawatan, maka hal yang harus dilakukan yaitu:
1) Monitor tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien, drainase,
tube/selang, dan komplikasi
2) Manajemen luka. Pastikan luka tidak mengalami perdarahan yang
abnormal. Observasi discharge untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Fokus penanganan luka adalah mempercepat penyembuhan luka dan
meminimalkan komplikasi dan biaya perawatan.
3) Mobilisasi dini berupa nafas dalam, batuk efektif dan ROM yang penting
untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskular dan mengeluarkan
sekret serta lendir. Hampir semua pasien pasca bedah dianjurkan untuk
melakukan mobilsasi dini. Mobilisasi dini dapat mempertahankan fungsi
tubuh, memperlancar peredaran darah, membantu pernapasan menjadi
lebih baik, mempertahankan tonus otot, memperlancar eliminasi BAB dan
BAK, mengembalikan aktivitas tertentu sehingga pasien dapat kembali
normal dan memenuhi kebutuhan gerak harian. Fase pre operasi
memegang peranan penting dalam memaksimalkan pelaksaanaan
mobilisasi dini pasca operasi. Latihan-latihan tentang mobilisasi dini perlu
diajarkan sebelum pasien menjalani proses pembedahan sehingga pasien
tahu dan paham apa yang harus mereka lakukan pasca operasi.
4) Penanganan nyeri. Pengontrolan nyeri dilakukan dengan menggunakan
analgetik intravena atau intratrakea utamanya untuk pembedahan abdomen
terbuka.
31
5) Posisi tempat tidur. Biasanya pasien ditempatkan pada posisi miring untuk
mengurangi inhalasi muntah atau mukus.
6) Penggantian cairan. Pemberian cairan baik secara intravena maupun secara
oral sangat dibutuhkan. Penentuannya diambil berdasarkan faktor-faktor
jumlah seperti kehilangan cairan intra operasi, output urine, waktu
pembedahan dan jumlah cairan yang diterima pada waktu pemulihan.
7) Nutrisi. Tujuan pemberian nutrisi adalah untuk meningkatkan fungsi imun
dan mempercepat penyembuhan luka sehingga akan meminimalisir
ketidakseimbangan metabolik.
b. Komplikasi Pasca Operasi
Menurut Majid (2011), komplikasi pasca operasi yaitu : syok, perdarahan,
trombosis vena prufunda, retensi urine, infeksi luka operasi, sepsis, embolisme
pulmonal dan komplikasi gastrointestinal. Apabila pasien pasca operasi tidak
melaksanakan mobilisasi dini komplikasi yang didapat antara lain pemanjangan
waktu pemulihan peristaltik usus, pemanjangan waktu penyembuhan luka yang
akan berpengaruh pada pemanjangan lama rawat inap pasien di rumah sakit dan
tentunya akan berdampak pada bertambahnya biaya yang dikeluarkan pasien.
32
2.3 Konsep Mobilisasi Dini
2.3.1 Pengertian Mobilisasi Dini
Mobilisasi dini adalah pergerakan yang dilakukan sedini mungkin di
tempat tidur dengan melatih bagian-bagian tubuh untuk peregangan atau belajar
berjalan (Soelaiman, 2000). Mobilisasi dini merupakan tahapan kegiatan yang
dilakukan segera pada pasien pasca operasi dimulai dari bangun duduk sampai
pasien turun dari tempat tidur dan mulai berjalan dengan bantuan alat sesuai
dengan kondisi pasien (Craven, 2000).
Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat napas dalam dan
menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal, mendorong untuk
menggerakkan kaki tungkai bawah sesegera mungkin biasanya dalam waktu 6 jam
setelah pasien sadar dari pengaruh anastesi secara penuh / compos mentis
(Gallagher, 2004).
2.3.2 Prinsip dan Manfaat Mobilisasi
Menurut Dombovy ML dikutip oleh Rismalia (2010), mengemukakan
bahwa beberapa prinsip dalam melakukan mobilisasi yaitu mencegah dan
mengurangi komplikasi sekunder seminimal mungkin, menggantikan hilangnya
fungsi motorik, memberikan rangsangan lingkungan, memberi dorongan
bersosialisasi, memberi kesempatan untuk dapat berfungsi dan melakukan
aktivitas sehari-hari serta memungkinkan melakukan pekerjaan seperti
sebelumnya.
33
Menurut Kozier, et.al. (2004) dalam buku Fundamentals of Nursing,
keuntungan yang dapat diperoleh dari mobilisasi bagi sistem tubuh adalah sebagai
berikut :
a. Sistem Muskuloskeletal
Ukuran, bentuk, tonus, dan kekuatan rangka dan otot jantung dapat
dipertahankan dengan melakukan latihan yang ringan dan dapat ditingkatkan
dengan melakukan latihan yang berat. Dengan melakukan latihan, tonus otot dan
kemampuan kontraksi otot meningkat. Dengan melakukan latihan atau mobilisasi
dapat meningkatkan fleksibilitas tonus otot dan range of motion.
b. Sistem Kardiovaskular
Dengan melakukan latihan atau mobilisasi yang adekuat dapat
meningkatkan denyut jantung (heart rate), menguatkan kontraksi otot jantung,
dan menyuplai darah ke jantung dan otot. Jumlah darah yang dipompa oleh
jantung (cardiac output) meningkat karena aliran balik dari aliran darah. Jumlah
darah yang dipompa oleh jantung (cardiac output) normal adalah 5 liter/menit,
dengan mobilisasi dapat meningkatkan cardiac output sampai 30 liter/ menit.
c. Sistem Respirasi
Jumlah udara yang dihirup dan dikeluarkan oleh paru (ventilasi)
meningkat. Ventilasi normal sekitar 5-6 liter/menit. Pada mobilisasi yang berat,
kebutuhan oksigen meningkat hingga mencapai 20x dari kebutuhan normal.
Aktivitas yang adekuat juga dapat mencegah penumpukan sekret pada bronkus
dan bronkiolus, menurunkan usaha pernapasan.
34
d. Sistem Gastrointestinal
Dengan beraktivitas dapat memperbaiki nafsu makan dan meningkatkan
tonus saluran pencernaan, memperbaiki pencernaan dan eliminasi seperti
kembalinya mempercepat pemulihan peristaltik usus dan mencegah terjadinya
konstipasi serta menghilangkan distensi abdomen.
e. Sistem Metabolik
Dengan latihan dapat meningkatkan kecepatan metabolisme, dengan
demikian peningkatan produksi dari panas tubuh dan hasil pembuangan. Selama
melakukan aktivitas berat, kecepatan metabolisme dapat meningkat sampai 20
kali dari kecepatan normal. Berbaring di tempat tidur dan makan diit dapat
mengeluarkan 1.850 kalori per hari. Dengan beraktivitas juga dapat meningkatkan
penggunaan trigliserid dan asam lemak, sehingga dapat mengurangi tingkat
trigliserid serum dan kolesterol dalam tubuh.
f. Sistem Urinary
Karena aktivitas yang adekuat dapat menaikkan aliran darah, tubuh dapat
memisahkan sampah dengan lebih efektif, dengan demikian dapat mencegah
terjadinya statis urin. Kejadian retensi urin juga dapat dicegah dengan melakukan
aktivitas.
2.3.3 Tahap-Tahap Mobilisasi pada Pasien Pasca Operasi
Mobilisasi pasca operasi yaitu proses aktivitas yang dilakukan pasca
pembedahan dimulai dari latihan ringan di atas tempat tidur (latihan pernapasan,
latihan batuk efektif, dan menggerakkan tungkai) sampai dengan pasien bisa turun
35
dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan berjalan keluar kamar (Smeltzer,
2001).
Tahap-tahap mobilisasi pada pasien pasca operasi meliputi (Cetrione, 2009
dalam Rismalia 2010) :
a. Pada saat awal (6 sampai 8 jam setelah operasi), pergerakan fisik bisa
dilakukan di atas tempat tidur dengan menggerakkan tungkai yang bisa
ditekuk dan diluruskan, mengkontraksikan otot-otot termasuk juga
menggerakkan badan lainnya, miring ke kiri atau ke kanan.
b. Pada 12 sampai 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi badan
sudah bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase
selanjutnya duduk di atas tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan atau
ditempatkan di lantai sambil digerak-gerakkan.
c. Pada hari kedua pasca operasi, rata-rata untuk pasien yang dirawat di
kamar atau bangsal dan tidak ada hambatan fisik untuk berjalan,
semestinya memang sudah bisa berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau
keluar kamar, misalnya ke toilet atau kamar mandi sendiri. Pasien harus
diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin, hal ini
perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien pasca operasi untuk
mengembalikan fungsi pasien kembali normal.
Gerakan-gerakan tersebut antara lain:
1. Latihan Nafas Dalam
Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien untuk
mengurangi nyeri pasca operasi dan dapat membantu pasien relaksasi
36
sehingga pasien lebih mampu beradaptasi dengan nyeri dan dapat
meningkatkan kualitas tidur. Selain itu teknik ini juga dapat meningkatkan
ventilasi paru dan oksigenasi darah setelah anastesi umum. Dengan
melakukan latihan tarik nafas dalam secara efektif dan benar maka pasien
dapat segera mempraktekkan hal ini segera setelah operasi sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan pasien (Majid, 2011). Latihan nafas dalam dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1) Lakukan dalam posisi yang sama seperti posisi anda di tempat tidur nanti
setelah pembedahan: posisi semi-fowler, berbaring di tempat tidur dengan
punggung dan bahu tersangga baik dengan bantal
2) Dengan tangan dalam posisi genggaman kendur, biarkan tangan berada di
atas iga paling bawah, jari-jari tengan menghadap dada bagian bawah
untuk merasakan gerakan
3) Keluarkan nafas dengan perlahan dan penuh bersamaan dengan gerakan
iga menurun dan kedalam mengarah pada garis tengah
4) Kemudian ambil nafas dalam melalui hidung dan mulut anda, biarkan
abdomen mengembang bersamaan dengan paru-paru terisi oleh udara.
Tahan nafas ini dalam hitungan kelima.
5) Hembuskan dan keluarkan semua udara melalui hidung dan mulut anda
6) Ulangi 15 kali dengan istirahat singkat setelah setiap lima kali.
37
Gambar 1. Pernafasan Diafragmatik
2. Latihan Batuk Efektif
Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien terutama
klien yang mengalami operasi dengan anstesi general. Karena pasien akan
mengalami pemasangan alat bantu nafas selama dalam kondisi teranestesi.
Sehingga ketika sadar pasien akan mengalami rasa tidak nyaman pada
tenggorokan. Dengan terasa banyak lendir kental di tenggorokan. Latihan
batuk efektif sangat bermanfaat bagi pasien pasca operasi untuk
mengeluarkan lendir atau sekret tersebut (Majid, 2011). Pasien dapat
dilatih melakukan teknik batuk efektif dengan cara :
1) Condong sedikit kedepan dari posisi duduk di tempat tidur, jalinkan jari-
jari tangan, dan letakkan tangan melintang letak insisi untuk bertindak
sebagai bebat ketika batuk
2) Dengan mulut agak terbuka, hirup nafas dengan penuh
3) “Hak”-kan keluar dengan keras dengan tiga kali nafas pendek
4) Kemudian dengan mulut tetap terbuka, lakukan nafas dalam dengan cepat
dan dengan cepat batuk dengan kuat satu atau dua kali. Hal ini membantu
38
membersihkan sekresi dari dada. Hal ini dapat menyebabkan
ketidaknyamanan tetapi tidak akan membahayakan insisi.
Gambar 2. Latihan batuk
3. Latihan Gerak Sendi
Latihan gerak sendi merupakan hal sangat penting bagi pasien
sehingga pasca operasi pasien dapat segera melakukan berbagai
pergerakan yang diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan.
Pasien/keluarga pasien seringkali mempunyai pandangan yang keliru
tentang pergerakan pasien pasca operasi. Banyak pasien yang tidak berani
menggerakkan tubuh karena takut jahitan operasi sobek atau takut luka
operasinya lama sembuh. Pandangan seperti ini jelas keliru karena justru
jika pasien selesai operasi dan segera bergerak maka pasien akan lebih
cepat merangsang usus (peristaltik usus) sehingga pasien akan lebih cepat
kentut/flatus. Keuntungan lain adalah menghindarkan penumpukan lendir
pada saluran pernafasan dan terhindar dari kontraktur sendi dan terjadinya
dekubitus. Tujuan lainnya adalah memperlancar sirkulasi untuk mencegah
stasis vena dan menunjang fungsi pernafasan optimal. Intervensi ditujukan
39
pada perubahan posisi tubuh dan juga range of motion (ROM). Latihan
perpindahan posisi dan ROM ini pada awalnya dilakukan secara pasif
namun kemudian seiring dengan bertambahnya kekuatan tonus otot maka
pasien diminta melakukan secara mandiri.
Menurut Smeltzer and Bare (2002 ), latihan gerak sendi dilakukan
secara bertahap meliputi:
a) Latihan Tungkai
1. Berbaring dalam posisi semi-fowler dan lakukan latihan sederhana
berikut ini untuk memperbaiki sirkulasi
2. Bengkokkan lutut dan naikkan kaki – tahan selama beberapa detik,
kemudian luruskan tungkai dan turunkan ke tempat tidur
3. Lakukan lima kali untuk tiap tungkai, kemudian ulang pada tungkai
lainnya.
4. Kemudian buat lingkaran dengan kaki dengan membengkokkannya ke
bawah , kedalam mendekat satu sama lain, ke atas, dan kemudian
keluar
5. Ulangi gerakan ini lima kali
Gambar 3. Latihan tungkai
40
Gambar 4. Latihan kaki
b) Miring
1. Miring ke salah satu sisi dengan bagian paling atas tungkai fleksi dan
disangga di atas bantal.
2. Raih pagar tempat tidur sebagai alat bantu untuk manuver ke samping.
3. Lakukan pernafasan diafragmatik dan batuk ketika anda miring.
c) Turun dari Tempat Tidur
1. Miring ke salah satu sisi.
2. Dorong tubuh anda ke atas dengan satu tangan ketika mengayunkan
tungkai anda turun dari tempat tidur.
2.3.4 Rentang Gerak dalam Mobilisasi
Menurut Carpenito (2000) dalam mobilisasi ada tiga rentang gerak, yaitu :
a. Rentang gerak pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan
persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat
mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
41
b. Rentang gerak aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara
menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya pasien berbaring sambil
menggerakkan kakinya.
c. Rentang gerak fungsional
Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan
aktivitas yang diperlukan.
2.3.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi Dini
Menurut Lauro (1985) dalam Rismalia (2010), mobilisasi dini dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a. Pengetahuan
Pengetahuan adalah suatu ilmu tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu (Kurnia, 2002 yang
dikutip oleh Purwanto tahun 2007). Pengetahuan individu terhadap sesuatu dan
yakin akan manfaat menyebabkan seseorang untuk mencoba menerapkan dalam
bentuk perilaku. Pengetahuan tersebut dapat didapatkan dari informasi, membaca,
dan melalui pendidikan formal. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh
terhadap perilaku individu tersebut.
Pengetahuan mengenai mobilisasi dini pasca operasi bisa didapatkan dari
informasi atau pendidikan kesehatan yang diberikan oleh seorang perawat kepada
pasien yang akan menjalani tindakan operasi seperti appendectomy. Pendidikan
42
kesehatan tersebut dapat diberikan sebelum tindakan operasi dilakukan yaitu pada
fase pre operasi. Sehingga setelah tindakan operasi selesai dilaksanakan, pasien
telah mengetahui manfaat dari mobilisasi dan hal itu dapat mempengaruhi pasien
tersebut untuk melakukan mobilisasi dini tanpa rasa takut.
b. Emosi
Menurut Goleman, 2000 yang dikutip oleh Hanum (2006) emosi merujuk
pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan
psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Berikut ini adalah
beberapa contoh tentang pengaruh emosi terhadap perilaku individu, yaitu :
1) Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil
yang didapat.
2) Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan
sebagai puncak dari keadaan ini adalah timbulnya rasa putus asa (frustasi).
3) Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang
mengalami ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup
(nervous) dan gagap dalam berbicara.
4) Terganggu dalam penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri
hati.
5) Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecil akan
mempengaruhi sikapnya di kemudian hari, baik terhadap dirinya maupun
orang lain.
Hospitalisasi merupakan stressor bagi seseorang yang dirawat dirumah
sakit. Perasaan yang dialami pasien pasca operasi appendectomy terhadap luka
43
operasi yang belum sembuh akan menimbulkan rasa takut untuk melakukan
mobilisasi, sehingga rasatakut tersebut dapat menjadi penghambat bagi mereka
untuk melakukan mobilisasi.
c. Sosial
Sosial adalah hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat dan
kebersamaan, kekuatan masyarakat tersebut berada di sekitar individu tersebut
dalam berinteraksi (Yusuf, 2008). Adanya interaksi antara individu yang satu
dengan individu yang lain dapat memberikan kekuatan pada individu tersebut.
(Nurdin, 2006). Interaksi yang dilakukan pasien dengan keluarga dan orang-orang
di sekitar akan mempengaruhi pasien tersebut untuk melakukan mobilisasi pasca
operasi, sehingga dengan mobilisasi tersebut akan memotivasi pasien untuk
sembuh.
d. Fisik
Fisik adalah postur tubuh, kesehatan, keutuhan tubuh, keberfungsian organ
tubuh seseorang (Yusuf, 2008). Pada pasien yang baru saja menjalani operasi
seperti operasi appendectomy, keadaan fisik pasien tersebut belum kembali pulih
pada keadaan sebelumnya. Hal tersebut dapat membuat pasien merasa enggan
untuk melakukan mobilisasi, selain itu rasa nyeri yang dirasakan juga membuat
pasien merasa lemah dan hanya ingin berbaring di tempat tidur.
e. Stimulus Lingkungan
Stimulus lingkungan adalah rangsangan dari luar yang mempengaruhi dan
menggerakkan individu untuk berbuat (Handoko, 1997 dalam Rismalia, 2010).
Stimulus lingkungan tersebut dapat berupa dukungan perawat atau keluarga.
44
Adanya dukungan dan dorongan dari perawat serta keluarga dapat menimbulkan
motivasi pada pasien yang dirawat untuk melakukan aktivitas, seperti pasien yang
baru saja menjalani operasi. Aktivitas yang dapat dilakukan yaitu berupa
mobilisasi sehingga dengan melakukan mobilisasi dapat mempercepat
penyembuhan pasien.
f. Sarana atau fasilitas ruang rawat
Peran serta perawat, peran serta keluarga yang mendukung dan tidak
mendukung agar pasien berinisiatif dan mau melakukan mobilisasi. Suasana
lingkungan yang nyaman juga dapat mendukung terhadap aktivitas seseorang
yang dilakukan.