52
WRAP UP SKENARIO 3 BLOK MEKANISME PERTAHANAN TUBUH “RONA MERAH DI PIPI” Kelompok : B17 Ketua : Siti Alya Zafira (1102014251) Sekretaris : Nora Saputri (1102014197) Anggota : Mutammima Rizqiyani (1102014173) Nabil Dhiya Ulhak (1102014177) Rani Dwi Ningtias (1102014220) Tegar Maulana (1102014261) Vrischika Alessandra Benedi (1102014276) Wahidin Nawawi (1102014277) Muhammad Badar Wujud Ahmad (1102009181) Mohammad Syarif Hidayatullah (1102010170)

WRAP UP MPT SKENARIO 3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

B 17 FK B 2014

Citation preview

WRAP UP SKENARIO 3BLOK MEKANISME PERTAHANAN TUBUHRONA MERAH DI PIPI

Kelompok: B17Ketua

: Siti Alya Zafira

(1102014251)

Sekretaris : Nora Saputri

(1102014197)

Anggota

: Mutammima Rizqiyani

(1102014173)

Nabil Dhiya Ulhak

(1102014177)

Rani Dwi Ningtias

(1102014220)

Tegar Maulana

(1102014261)

Vrischika Alessandra Benedi (1102014276)

Wahidin Nawawi

(1102014277)

Muhammad Badar Wujud Ahmad (1102009181)

Mohammad Syarif Hidayatullah (1102010170)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510

Telp. 62.21.4244574 Fax. 62.21. 4244574DAFTAR ISISkenario .......................................................................................................................3

Kata Sulit ....................................................................................................................4Pertanyaan ...................................................................................................................5Jawaban .......................................................................................................................6Hipotesa ......................................................................................................................7Sasaran Belajar (Learning Object)...............................................................................8

Daftar Pustaka.............................................................................................................35SKENARIORona merah di pipi

Seorang perempuan berusia 30 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluahan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut sariawan, nyeri pada persendian, rambut rontok dan pipi berwarna merah bila terkena sinar matahari.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subferis, konjungtiva pucat, terdapat sariawan di mulut. Pada wajah terlihat malar rash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan. Dokter menduga pasien menderita Sistemic Lupus Eritematosus.

Kemudian dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium hematologi, urin dan marker autoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan untuk dirawat dan dilakukan follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup.

Cat : ds-DNA = double-stranded DNAKATA-KATA SULIT1. Malar rash

: Eritema bartanda tegas, datar atau berevolusi pada

wilayah pipi dan sekitar hidung

2. Suhu subfebris

: Keadaan tubuh dimana suhu lebih dari normal

(37.2C-38C)

3. Marker autoimun

: Kompleks antibodi yang dihasilkan akibat adenin

inflamasi atau sebagai tanda adanya autoantibodi

4. Konjungtiva

: Membran tipis bening yang melapisi permukaan bagian

bagian dalam, kelopak mata dan menutup bagian depan

sklera(bagian putih mata).

5. Sistemic Lupus Eritematosus: Penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ

dengan manifestasi klinis lainnya.

6. Ds-DNA

: Rantai ganda DNA

PERTANYAAN 1. Mengapa bisa muncul malar rash?

2. Mengapa bisa ditemukan konjungtiva pucat?

3. Mengapa penyakit tersebut ditandai dengan keluhan rambut rontok dan nyeri persendian?

4. Mengapa butuh penanganan seumur hidup?5. Mengapa dokter menyarankan pemeriksaan urin?

6. Mengapa dokter menyarankan untuk dirawat dan di follow up?

7. Apa yang menyebabkan Sistemic Lupus Eritematosus?

8. Bagaimana pandangan Islam dalam menghadapi sabar?

9. Apa saja jenis-jenis pemeriksaan penunjang Sistemic Lupus Eritematosus?

10. Mengapa Sistemic Lupus Eritematosus banyak menyerang wanita?

11. Mengapa terjadi demam subfebris?

12. Apakah Sistemic Lupus Eritematosus dapat menyebabkan komplikasi?

13. Mengapa muncul sariawan?

14. Apa resiko jika pengobatan tidak selesai?

15. Bagaimana membedakan autoimun nonself dan autoimun self?

JAWABAN1. Karena sinar matahari memicu apoptosis di pipi (terdapat banyak jaringan longgar).

2. Karena pada hasil pemeriksaan hematologi ditemukan anemia yang menyebabkan hemoglobin menurun.

3. Karena diduga ada faktor genetik pada MHCII. Pada saat itu kompleks imun meningkat, dan jika mengendap di kulit kepala maka akan menyebabkan rambut rontok. Dan jika mengendap di persendian akan menyebabkan nyeri persendian.4. Untuk mengurangi resiko munculnya gejala yang lain dan mencegah memburuknya penyakit.

5. Untuk mengetahui adanya nefritis lupus.

6. Karena pasien tersebut butuh penanganan seumur hidup.

7. Lingkungan, genetik, hormonal.

8. QS Al-Baqarah 155-1579. Pemeriksaan urin, pemeriksaan marker autoimun, pemeriksaan hematologi, pemeriksaan serologi(ANA).10. Karena pada wanita banyak terdapat estrogen. Pada saat melahirkan, prolaktin meningkat. 11. Karena penyakit ini bukan dari infeksi bakteri.12. Bisa.13. Karena terjadi inflamasi di mukosa mulut.14. Bisa terjadi komplikasi lainnya.15. Dilihat dari gagalnya sel tolerans sel B sel T.HIPOTESIS

Sistemic Lupus Eritematosus merupakan penyakit autoimun yang disebabkan oleh gagalnya sel toleranselBselT, dengan faktor resiko seperti lingkungan, genetik, humonal(estrogen dan prolaktin pada wanita), gejala seperti malar rash, nyeri sendi, chest pain yang disertai bercak-bercak merah, dan demam subfebris, gold standar diagnosis Sistemic Lupus Eritematosus adalah tes serologi ANA dan anti ds-DNA, pengobatan Sistemic Lupus Eritematosusbersifat simtomatik dan seumur hidup, maka dari itu penderita harus baersabar dalam menghadapi penyakit Sistemic Lupus Eritematosus.

SASARAN BELAJARLO 1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG AUTOIMUN

LI.1.1 Definisi autoimun

LI.1.2 Klasifikasi autoimun

LI.1.3 Mekanisme autoimunLO 2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG SISTEMIC LUPUS ERITEMATOSUS

LI.2.1 Definisi Sistemic Lupus Eritematosus

LI.2.2 Epidemiologi Sistemic Lupus Eritematosus

LI.2.3 Etiologi Sistemic Lupus Eritematosus

LI.2.4 Klasifikasi Sistemic Lupus Eritematosus

LI.2.5 Patofisiologi Sistemic Lupus Eritematosus

LI.2.6 Manifestasi Sistemic Lupus Eritematosus

LI.2.7 Diagnosis dan Diagnosis banding Sistemic Lupus Eritematosus

LI.2.8 Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium Sistemic Lupus Eritematosus

LI.2.9 Tata laksana Sistemic Lupus Eritematosus

LI.2.10 Komplikasi Sistemic Lupus Eritematosus

LI.2.11 Prognosis Sistemic Lupus Eritematosus

LO3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG PANDANGAN ISLAM TENTANG SABAR, RIDHO DALAM MENGHADAPI MUSIBAH

SASARAN BELAJARLO 1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG AUTOIMUN

LI.1.1 Definisi autoimun

Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerence sel B, sel T atau keduanya.

Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun. Penyakit-penyakit autoimun secara khas mencirikan peradangan dari beragam jaringan-jaringan tubuh. Dapat disertai penyakit atau penyakit yg ditimbulkan mekanisme lain (seperti infeksi). Penyakit autoimun ini berkaitan dengan sistem antibodi yang berlebihan dalam tubuh, dimana jaringan tubuh dianggap sebagai Benda Asing.

LI.1.2 Klasifikasi autoimun

Jenis Penyakit AutoimunPenyakit AutoimunNama Penyakit Autoimun

Menurut MekanismePenyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi Anemia hemolitik autoimun

Limfopeni Sindrom goodpasture Penyakit grave Granulomatosis Wegener

Miastenia gravis

Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi dan sel TSistemik

Artritis reumatoid

LES

Organ atau jaringanspesifik

Sindrom Sjogren

Sklerosis multiple

Sindrom guillain-bare

Penyakit autoimun yang terjadi melalui komleks Ag-AbDiabetes tipe I

LES

Penyakit autoimun yang terjadi melalui komplemen

Menurut Sistem OrganPenyakit autoimun hematologi

Penyakit saluran cerna Anemia pernisiosa Gastritis antral difus Hepatitis autoimun

Penyakit autoimun jantung Miokarditis Kardiomiopati

Penyakit autoimun ginjal Glomerulonefritis Sindrom goodpasture

Penyakit autoimun susunan saraf Sindrom guillane bare Vaskulitis saraf perifer

Penyakit autoimun endokrin Penyakit grave Tiroiditis primer

Penyakit autoimun otot Miastenia gravis Polimiositis-dermatomiositis

Penyakit autoimun reproduksiGranulomatosa Wegener

Sarkoidosis

Penyakit autoimun telinga dan tenggorokan

Menurut Nonorgan Spesifik / Sistemik Lupus eritematosus sistemik Skleroderma Sindrom sjogre

Artritis rheumatoid

Sistitis anterstisial Sindrom antibody antifosfolipid Vaskulitis

LI.1.3 Mekanisme autoimun

Gambaran utama mekanisme autoimunitas (Kindt, et. al., 2007)

A. Pelepasan Antigen Terasingkan (Sequestered Antigen)

Sebetulnya sel T mampu untuk mengenali antigen self, karena pada masa pematangannya, sel T yang belum matang telah terpajan kepada banyak antigen self. Sel T yang tidak bisa mengenali self (T-cell self-reactive) akan dibuang, yaitu pada proses clonal deletion. Antigen dari jaringan yang berada diluar dari sirkulasi darah dan tidak diperkenalkan kepada sel T, tidak dapat menimbulkan self-tolerance. Pajanan antigen tersebut kepada sel T yang sudah matang, nantinya, dapat mengaktivasi respon imun.

Salah satu contohnya adalah pada Myelin Basic Protein (MBP), yaitu antigen yang terletak di luar sistem imun; MBP tidak terjangkau oleh sistem imun karena dihalang oleh blood-brain barrier. Pada percobaan, seekor hewan diinjeksi dengan MBP + adjuvant, yaitu untuk memaksimalisasi respon imun. Pada kasus tersebut, sistem imun hewan percobaan terpajan oleh antigen self yang asing, namun dalam keadaan nonfisiologis (dalam keadaan percobaan). Pada eksperimen yang sama, ternyata kasus tersebut dapat dicegah apabila MBP diinjeksi langsung ke timus, sehingga sel T dapat terpajan oleh antigen terkait pada saat pematangannya. (Kindt, et. al., 2007)

B. Mimikri Molekuler

Oleh karena berbagai hal, mikroba dan virus dapat menyebabkan terjadinya autoimunitas. Perlu disadari bahwa manusia terserang penyakit di mana penyakit tersebut endemik di wilayah tertentu. Namun seiring dengan perkembangan zaman, mobilitas manusia meningkat, dan menariknya, tingkat kejadian autoimunitas juga meningkat. Hal ini diduga karena beberapa mikroba atau virus tertentu memiliki determinan antigen yang mirip dengan antigen sel yang dimiliki host. Hal ini dinamakan mimikri. Pada satu studi, sebanyak 600 antibodi monoklonal yang spesifik terhadap 11 virus dites reaktivitasnya terhadap sel tubuh host. Sebanyak 3% dari antibodi spesifik virus tersebut ternyata juga berikatan dengan sel tubuh normal, sehingga disimpulkan bahwa mimikri molekuler bisa menjadi fenomena yang sering terjadi. (Kindt, et. al., 2007)

C. Ekspresi MHC kelas II yang Tidak Sesuai

Pada penderita insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM), sel beta pankreasnya mengekspresi molekul MHC kelas I dan II dalam kadar yang tinggi. Sel beta yang normal seharusnya memproduksi MHC kelas I yang rendah, dan sama sekali tidak mengekspresi MHC kelas II. Ekspresi yang tidak tepat ini, yang seharusnya hanya diekspresi oleh Antigen Presenting Cell (APC), menyebabkan sensitasi sel T-Helper kepada peptida sel beta, yang kemudian dapat mengaktivasi sel B atau sel Tc dan menyerang antigen self. (Kindt, et. al., 2007)

LO 2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG SISTEMIC LUPUS ERITEMATOSUS

LI.2.1 Definisi Sistemic Lupus Eritematosus

Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) adalah penyakit autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel tubuh sendiri, mengakibatkan peradangan dan kerusakan jaringan. Lupus dapat mempengaruhi setiap bagian tubuh, tetapi paling umum mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, jantung dan pembuluh darah. Perjalanan penyakit ini tidak dapat diprediksi, dengan periode suar (flare) dan remisi. Lupus dapat terjadi pada semua usia dan lebih umum pada perempuan. Manifestasi kulit cukup bervariasi dan dapat hadir dengan lesi terlokalisasi, rambut rontok menyebar dan kepekaan terhadap matahari. Nama kondisi ini berasal dari fakta bahwa ruam fotosensitif yang terjadi pada wajah menyerupai serigala.

LI.2.2 Epidemiologi Sistemic Lupus Eritematosus

Lupus Eritematosus sistemik merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus eritematosus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1 karena wanita punya respon antibodi yang lebih cepat, , umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun. Seelain itu, wanita yang mengonsumsi estrogen oral / hormon pengganti estrogen punya risiko 1,2-2 kali lebih tinggi untuk terkena SLE

Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan etnis. Tingkat prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan prevalensi putih dibandingkan dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin, dan Amerika. Walaupun awal awitan sebelum usia 8 tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan bervariasi dari kurang dari 4:1 sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.

Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan, sekitar 15-17%. Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja. Perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Prevalensi penyakit LES di kalangan penduduk berkulit hitam ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.

SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika.

LI.2.3 Etiologi Sistemic Lupus Eritematosus

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan.

Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun.

Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human Leucocyte Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek utama pada lupus eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu juga supresor limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan autoantibody.

Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem imun. Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini.Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih sering ditemukan pada wanita.

Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui.

Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu :

1) Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit mulai dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies (ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan dengan sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit bereaksi menyerang selnya sendiri. Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA) dan (anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.

2) Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus merupakan lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA.Faktor Resiko terjadinya SLE1. Faktor Genetika. Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria dewasab. Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahunc. Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut2. Faktor Resiko HormonHormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.

3. Sinar UVSinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah

4. ImunitasPada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T

5. ObatObat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus Obat adalah :

Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat: dilantin, penisilamin, dan kuinidin Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis antibiotic dan griseofurvin6. InfeksiPasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi

7. StresStres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memilikikecendrungan akan penyakit ini.

LI.2.4 Klasifikasi Sistemic Lupus EritematosusLupus eritematosus dibagi ke dalam 4 bagian besar, yaitu:1. Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE)Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe :a. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)Dibagi juga dalam beberapa subtipe yang jarang terjadi:1) Palmar-palmar Lupus Erythematosus2) Oral Discoid lupus Erythematosus3) Lupus Erythematosus panniculitisb. Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE)2. Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE)

Memiliki subtype yang jarang terjadi yaitu : Neonatal lupus Erythematosus (NLE)3. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)4. Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE)

Menurut European Assosiation of Oral Medicine (2005) lupus eritematosus diklasifikasikan menjadi:

1. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)3. Bullous form4. Neonatal form (NLE)5. Acute Cutaneous form (ACLE)6. Subacute Cutaneous form (SCLE)7. Chronic Cutaneous form (CCLE)8. Childhood onset (CSLE)9. Drug Induced (DILE)

LI.2.5 Patofisiologi Sistemic Lupus EritematosusAda empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon. 1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus, yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain yaitu peranan agen infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.

3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel limfosit B menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan.

Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.

Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin, sehingga dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.

Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum penderita lupus.

Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi. 4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper menyatakan bahwa menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.

Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.

LI.2.6 Manifestasi Sistemic Lupus Eritematosus

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.

Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan sinar matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa.Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi).

Pada awal penyakit, lupus hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ lainnya.

A. Gejala Konstitusional

Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Anak-anak yang paling sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus. B. Gejala Muskuloskeletal

Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki.

Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati.

Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat menjadi LES. Berikut merupakan mekanisme arthritis pada SLE.

C. Gejala Mukokutan

Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.1. Lesi Kulit Akut

Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches.

Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.

2. Lesi Kulit Sub Akut

Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

3. Lesi Diskoid

Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.

Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.

4. Livido RetikularisSuatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.

5. UrtikariaBiasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.

D. Kelainan pada GinjalPada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah : (1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis(2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis(3) Kelas III: focal lupus nephritis(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis(5) Kelas V: membranous lupus nephritis(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritisKelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.

E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.

F. Pneuminitis InterstitialMerupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.G. GastrointestinalDapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya mendapat pengobatan yang adekuat. H. Hati dan LimpaHepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali normal. I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar ParotisPembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE. J. Susunan Saraf TepiNeuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat sementara. K. Susunan Saraf PusatGejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan organik otak.Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus.

L. HematologiKelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis trombositopenia, dan lekopenia. M. Fenomena RaynaudDitandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.

LI.2.7 Diagnosis dan Diagnosis banding Sistemic Lupus Eritematosus

NOKRITERIABATASAN

1Butterfly rash/ bercak malarEritema datar atau enimbul yang menetap di daerah pipi dan cenderung menyebar ke lipatan nasolabial

2Bercak discoidBercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi

3FotosensitifBercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari

4Ulkus mulutBiasanya tidak nyeri

5ArtritisDitandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi

6Serositifa. Pleuritis

Riwayat pleuritic pain atau terengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik

b. Perikarditis

Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik

7Gangguan ginjala. Proteinuria persisten > 0,5g/hari atau pada pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan

b. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran

8Gangguang sarafKejang tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)AtauPsikosis tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

9Gangguan darahLeukopenia dari 1/160.Pola berbintik juga umumnya juga da di SLE.Tes ANA memiliki sensitifitas tinggi tapi spesifisitasnya rendah. Kalo ANA (+) dan gejala klinis khas maka tidak perlu diberi pemeriksaan tambahan. ANA (+) dan gejala tidak khas maka dilakukan minimal 2 x pemeriksaan tambahan (anti ds-DNA dan anti Sm) ANA (-) dan gejalanya khas maka dilakukan minimal 2 x pemeriksaan tambahan (anti ds-DNA dan anti Sm)2.2 Antibody Terhadap DNA

Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif terhadap DNA natif (Double stranded DNA). Anti ds-DNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE. Peningkatan kadar anti ds-DNA menunjukan peningkatan aktifitas penyakit. Pada LES, anti ds-DNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas penyakit. Pemeriksaan dilakukan dengan metode radioimmunoassay, ELISA, dan C.luciliae immunofluorosens.

Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

AntibodyPrevalensi (%)Antigen yang DikenaliClinical Utility

Antinuclear antibodies (ANA)98Multiple nuclearPemeriksaan skrining terbaik; hasil negative berulang menyingkirkan SLE

Anti-dsDNA70DNA (double-stranded)Jumlah yang tinggi spesifik untuk SLE dan pada beberapa pasien berhubungan dengan aktivitas penyakit, nephritis, dan vasculitis.

Anti-Sm25Kompleks protein pada 6 jenis U1 RNA Spesifik untuk SLE; tidak ada korelasi klinis; kebanyakan pasien juga memiliki RNP; umum pada African American dan Asia dibanding Kaukasia.

Anti-RNP40Kompleks protein pada U1 RNATidak spesifik untuk SLE; jumlah besar berkaitan dengan gejala yang overlap dengan gejala rematik termasuk SLE.

Anti-Ro (SS-A)30Kompleks Protein pada hY RNA, terutama 60 kDa dan 52 kDaTidak spesifik SLE; berkaitan dengan sindrom Sicca, subcutaneous lupus subakut, dan lupus neonatus disertai blok jantung congenital; berkaitan dengan penurunan resiko nephritis.

Anti-La (SS-B)1047-kDa protein pada hY RNABiasanya terkait dengan anti-Ro; berkaitan dengan menurunnya resiko nephritis

Antihistone70Histones terkait dengan DNA (pada nucleosome, chromatin)Lebih sering pada lupus akibat obat daripada SLE.

Antiphospholipid50Phospholipids,2 glycoprotein 1 cofactor, prothrombin

Tiga tes tersedia ELISA untuk cardiolipin dan 2G1, sensitive prothrombin time (DRVVT); merupakan predisposisi pembekuan, kematian janin, dan trombositopenia.

Antierythrocyte60Membran eritrositDiukur sebagai tes Coombs langsung; terbentuk pada hemolysis.

Antiplatelet30Permukaan dan perubahan antigen sitoplasmik pada platelet. Terkait dengan trombositopenia namun sensitivitas dan spesifitas kurang baik; secara klinis tidak terlalu berarti untuk SLE

Antineuronal (termasuk anti-glutamate receptor)60Neuronal dan permukaan antigen limfosit Pada beberapa hasil positif terkait dengan lupus CNS aktif.

Antiribosomal P20Protein pada ribosomePada beberapa hasil positif terkait dengan depresi atau psikosis akibat lupus CNS

Catatan: CNS = central nervous system, CSF= cerebrospinal fluid, DRVVT = dilute Russell viper venom time, ELISA= enzyme-linked immunosorbent assay.

3. Pemeriksaan Komplemen

Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik. Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lainnya akan menghasuilkan berbagai mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari kurang lebih 20 protein plasma dan bekerja secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade penkuan darah dan fibrinolysis.

Pada LES kadar C1, C4, C2, dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal.

LI.2.9 Tata laksana Sistemic Lupus EritematosusNon Farmakologis

1. EdukasiEdukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama hamil.2. Dukungan sosial dan psikologis. Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.3. IstirahatPenderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.4. Tabir suryaPada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.5. Monitor ketatPenderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE, sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.

Farmakologis

Terapi Imunomodulator

1. Siklofosfamid

Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.

Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.

Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12 hari pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit. Risiko terjadi infeksi bakteri, jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azospermia. Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone atau kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.2. Mycophenolate mofetil (MMF) MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.3. Azathioprine Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman. 4. Leflunomide (Arava) Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.

5. MethotrexateMethotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.6. Siklosporin Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

Agen Biologis 1. Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel BPerkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam mengambil autoAg dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel, selanjutnya mempengaruhi respons imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibodi monoklonal yang melawan reseptor CD 20 yang dipresentasikan limfosit B.2. Anti CD 20Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk SLE yang refrakter. Beberapa penelitian memberikan keberhasilan terapi pada manifestasi lupus refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis dan gangguan hematologi.3. LJP 394LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap ds-DNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoksiribonukleotida yang terikat pada rantai trietilen glikol.4. Anti B lymphocyte stimulatorStimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis factor), yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod monoklonal terhadap BlyS.5. Sitokin inhibitorMeskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan meliorasi leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang percobaan, namun tidak ada studi klinis agen anti TNF yang diberikan pada penderita SLE.6. Anti malariaObat anti malaria yang digunakan pada SLE adalah hidroksiklorokuin, klorokuin, dan quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit, musculoskeletal dan serositis. Kombinasi obat antimalaria memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan satu macam obat tidak efektif. Hidroksiklotokuin (200400 mg/hari) dan Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing agent memiliki efek samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit menjadi kekuningan.Mekanisme bagaimana hidroksiklorokuin mencegah kerusakan organ belum jelas. Hidroksiklorokuin menurunkan kadar lipid dan kemungkinan anti trombotik. Yang perlu diperhatikan adalah efek samping pada mata meskipun relatif aman bila digunakan pada dois rendah (< 6,5 mg/kgBB/hari). Namun demikian rekomendasi saat ini adalah melakukan pemeriksaan mata sebelum mulai pengobatan dan setiap 6 12 bulan kemudian. Antimalaria jarang sekali menyebabkan kelainan kongenital pada janin. Oleh karena itu direkomendasaikan untuk diberikan juga pada penderita nefropati lupus yang hamil dan dapat diberikan sampai masa menyusui. Kejadian IUGR juga berkurang dengan pemberian hidroksiklorokuin.

Hormon Seks

Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.

Kortikosteroid

Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.

Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism, percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus, myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.

Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D 50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid menyebabkan defek kongenital tetapi NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)

NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.

Plasmaferesis

Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus lupus disertai krioglobulinemia, sindroma hiperviskositas dan TTP (Thrombotyc Thrombocytopenic Purpura).

Immunoglobulin Intravena

Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.

LI.2.10 Komplikasi Sistemic Lupus Eritematosus1. Serangan pada GinjalGagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita SLE. Gagal ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks antibody-antigen pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas tipe III.a. Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)b. Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)c. Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).

2. Serangan pada Jantung dan Paru

a. Pleuritisb. Pericarditis (peradangan kantong perikardium yang mengelilingi jantung).c. Efusi pleura

d. Efusi pericard

e. Radang otot jantung atau Miocarditis

f. Gagal jantung

g. Perdarahan paru (batuk darah)3. Serangan Sistem Sarafa. Sistem saraf pusat

Cognitive dysfunction

Sakit kepala pada lupus

Sindrom anti-phospholipid

Sindrom otak

Fibromyalgia.

b. Sistem saraf tepi

Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki

c. Sistem saraf otonom

Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.

4. Serangan pada Kulita. Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi discoidb. Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an i. Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.ii. Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang luas di bagian tubuhiii. Lesi non spesifik

Rambut rontok (alopecia) Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok. Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai pusing.5. Serangan pada Sendi dan Otota. Radang sendi pada lupusb. Radang otot pada lupus6. Serangan pada Mata

7. Serangan pada Daraha. Anemiab. Trombositopeniac. Gangguan pembekuand. Limfositopenia

8. Serangan pada HatiKomplikasi LES pada anak meliputi:a. Hipertensi (41%)b. Gangguan pertumbuhan (38%)c. Gangguan paru-paru kronik (31%)d. Abnormalitas mata (31%)e. Kerusakan ginjal permanen (25%)f. Gejala neuropsikiatri (22%)g. Kerusakan muskuloskeleta (9%)h. Gangguan fungsi gonad (3%).

LI.2.11 Prognosis Sistemic Lupus Eritematosus

Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus yang hamil dapat bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.

Angka harapan hidup :

a. 5 tahun : 85-88%

b. 10 tahun : 76-87%

Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat :

a. Infeksi penyakitb. Nefritis lupusc. Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya)d. Penyakit kardiovaskulare. Lupus sistem saraf pusat

Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjal merupakan indikator prognosis yang paling buruk pada SLE, dikarenakan tuter antibodi pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.

LO3. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN TENTANG PANDANGAN ISLAM TENTANG SABAR, RIDHO DALAM MENGHADAPI MUSIBAH1. SABAR Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan), Allah berfirman: Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari. (Al-Kahfi: 28) Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka.

Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah, Allah berfirman:

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya (Ar-Rad: 22).

Sabar terdiri dari 3 macam, yaitu:

1. sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah

2. sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah

3. sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.

Ayat-Ayat Al-Quran

Al-Baqarah 152-156

152. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

154. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.

155. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.

156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".

Mengenai sabar, Allah SWT berfirman, wahai sekalian orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu sekalian dan teguhkanlah kesabaranmu itu dan tetaplah bersiap siaga (QS.Ali imran : 200)

Ayat ini memerintahkan untuk bersabar dalam menjalani ketaatan ketika mengalami musibah, menahan diri dari maksiat dengan jalan beribadah dan berjuang melawan kekufuran, serta bersiap siaga penuh untuk berjihad di jalan Allah SWT. Tentang ayat ini, Sahl bin Saad meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah SAW bahwa, Satu hari berjihad di jalan Allah itu lebih baik ketimbang dunia dengan segala isinya (HR. Al-Bukhari dan At-Tirmidzi).

2. IKHLAS Definisi ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya.

Definisi ikhlas menurut istilah syari (secara terminologi) Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia.Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).

Ayat ayat Al-Quran tentang ikhlas:

"Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. Az-Zumar: 2-3)."Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama." (QS. Az-Zumar: 2-3).3. RIDHO

Definisi ridhoRidho () berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir (qodha dan qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan berdampak baik pula bagi hamba-Nya.

Macam macam ridho:Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir Allah terbagi menjadi tiga macam:

1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam dan segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk kepentingan kita sebagai umat-Nya. 2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama mengatakan ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan namun jauh lebih baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang hamba. Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa saja tidak rela terhadap sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar agar tidak menyalahi syariat. Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang Maha Pencipta adalah hal-hal yang sangat diharamkan oleh syariat. 3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas qodha Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk dihilangkan. Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan kemaksiatan dan kemungkaran di muka bumi.Ayat al-quran tentang ridho Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali Imran ayat 19)

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu alaih wa sallam itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzab ayat 21)DAFTAR PUSTAKAAlquran dan terjemahanBaratawidjaja, Karnen Garna, Iris Rengganis. 2010. Imunologi Dasar. Ed. 11. FKUI:Jakarta.Dorland, W.A.N. 2010. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGCGoodman & Gilman. 2006. The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11th ed. McGraw Hill, New York.Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. (2009). Farmakologi dan Terapi. Edisi V, Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUIIsbagio H, Kasjmir Y.I, Setyohadi B, Suarjana N. (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, vol III Jakarta : Departemen Penyakit Dalam FKUI.Kumar. Cotran. Robbins . 2007. Buku ajar patologi edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

635