27
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum. Dalam negara hukum yang demokratis peran hukum sebagai sarana untuk mewujudkan kebijakan pemerintah dan memberikan legitimasi terhadap kebijakan publik sangat strategis. Oleh karena itu, pembangunan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009[1] di Bidang Hukum khususnya, antara lain ditujukan untuk menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki peraturan perundang- undangan serta menghormati hak asasi manusia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan pada permasalahan terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundangundangan dan implementasi undang-undang yang terhambat peraturan pelaksanaannya. Maka politik hukum nasional diarahkan pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

tugas legislasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

legasi

Citation preview

Page 1: tugas legislasi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka aspek

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk dalam penyelenggaraan

pemerintahan harus berdasarkan atas hukum. Dalam negara hukum yang demokratis peran

hukum sebagai sarana untuk mewujudkan kebijakan pemerintah dan memberikan legitimasi

terhadap kebijakan publik sangat strategis. Oleh karena itu, pembangunan hukum dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009[1] di Bidang Hukum khususnya,

antara lain ditujukan untuk menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan

kembali peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki

peraturan perundang-undangan serta menghormati hak asasi manusia.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan pada permasalahan

terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundangundangan dan implementasi

undang-undang yang terhambat peraturan pelaksanaannya. Maka politik hukum nasional

diarahkan pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak diskriminatif serta

menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan

daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

tingkatannya. Hal ini ditindaklanjuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai landasan

yuridis dalam membentuk peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah

sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu sistem, asas, jenis dan materi muatan peraturan

perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan

penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat.

Sistem negara kesatuan menggambarkan bahwa hubungan antar level pemerintahan

(pusat dan daerah) berlangsung secara inklusif (inclusif authority model) dimana otoritas

pemerintah daerah tetap dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang

berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan[2]. Namun demikian, dalam suatu negara kesatuan,

Page 2: tugas legislasi

pelimpahan atau penyerahan kewenangan bukanlah suatu pemberian yang lepas dari campur

tangan dan kontrol dari pemerintah pusat. Kedudukan daerah dalam hal ini adalah bersifat

subordinat terhadap pemerintah pusat[3]. Format negara kesatuan inilah yang mempengaruhi

karakter hubungan pusat dengan daerah di Republik Indonesia selama ini. Hubungan yang

terjalin selalu dibangun dengan pengandaian bahwa daerah adalah kaki tangan pemerintah

pusat[4].

Penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari cenderung berlangsung secara dekonsentrasi

dalam format desentralisasi dimana seberapa besar kewenangan suatu daerah tergantung kepada

sistem dan political will dari pemerintah pusat dalam memberikan keleluasaan kepada daerah.

Dalam hubungan inilah pemerintah melaksanakan pembagian kekuasaan kepada pemerintah

daerah yang dikenal dengan istilah desentralisasi.

Dinamika hubungan pusat dengan daerah yang mengacu pada konsep pemerintahan

negara kesatuan dapat dibedakan apakah sistem sentralisasi yang diterapkan atau sistem

desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahannya. Kedua sistem ini mempengaruhi secara

langsung pelaksanaan pemerintahan daerah dalam suatu negara. Bentuk dan susunan suatu

negara terkait dengan pembagian kekuasaan[5]. Hubungan antara pemerintahan pusat dan

pemerintahan daerah dalam negara kesatuan disamakan dengan gedecentraliseerd. Sementara,

dalam kajian hukum tata negara, pemerintahan yang berdasarkan asas desentralisasi disebut

staatskunding decentralisatie (desentralisasi politik), di mana rakyat turut serta dalam

penyelenggaraan pemerintahan melalui wakil-wakilnya dalam batas wilayah masing-masing.

Pemerintah Indonesia melaksanakan politik desentralisasi dan memberikan hak-hak

otonomi kepada daerah, di samping tetap menjalankan politik dekonsentrasi. Undang-undang

Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004 (diperbaharui UU No. 12 Tahun 2012) mendefinisikan

Desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Sedang dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang Pemerintahan Daerah

menegaskan bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah

kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

Indonesia sebagai negara yang luas, maka diperlukan sub national goverment sebagai unit

pemerintahan di tingkat lokal (daerah) melalui berbagai bentuk pendekatan. Pendekatan

Page 3: tugas legislasi

sentralisasi akan cenderung membentuk unit-unit pemerintahan yang sifatnya perwakilan

(instansi vertikal) dalam menyediakan pelayanan publik di daerah. Pendekatan desentralisasi

memprioritaskan pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan publik. Tujuan utama

desentralisasi adalah mengatasi perencanaan yang sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah

kewenangan pusat dalam pembuatan kebijaksanaan di daerah untuk meningkatkan kapasitas

teknis dan managerial.

Otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 2005 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang

Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-

undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah21 lebih berorientasi kepada masyarakat daerah (lebih bersifat kerakyatan)

daripada pemerintah daerah, artinya kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat adalah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat. Kewenangan pemerintah daerah hanya sebagai alat dan fasilitator untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat, menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat,

memberikan fasilitas kepada rakyat melalui peran serta dan pemberdayaan masyarakat.

Otonomi daerah memberikan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur dan

mengurus sendiri rumah tangga daerah, kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prinsip

penyelenggaraan otonomi daerah adalah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

menentukan jalan hidupnya sendiri.

Page 4: tugas legislasi

1.2 Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang berkaitan dengan makalah ini antara lain:

1. Bagaimanakah proses pembentukan peraturan daerah?

1.3 Pembatasan Masalah

Adapun pembaasan yang dibahas oleh penulis dalam makalah ini yaitu hanya dalam lingkup

masalah mengenai “ Peraturan Daerah”.

1.4 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud penulisan dalam makalah ini yaitu sebagai salah satu tugas pemenuhan syarat

dari mata kuliah Hukum Administrasi Negara.

Dalam melakukan penulisan makalah ini, hal yang menjadi tujuan penulisan adalah sebagai

berikut:

Secara umum, penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan bagi kami dan

pembaca tentang Peraturan Daerah.

Secara khusus, penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang pokok-pokok

Peraturan Daerah.

Page 5: tugas legislasi

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Peraturan Daerah

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (Peraturan daerah)

adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”.

Definisi lain tentang Peraturan daerah berdasarkan ketentuan Undang- Undang tentang

Pemerintah Daerah adalah “peraturan perundang undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota”.

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (diperbarui menjadi UU No.12 Tahun

2008) tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Peraturan daerah dibentuk dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta

merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan

memperhatikan ciri khas masing-masing daerah[6].

Sesuai ketentuan Pasal 12 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Peraturan daerah adalah seluruh materi muatan

dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi

khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD), Gubernur atau Bupati/Walikota. Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur atau

Bupati/Walikota dan DPRD menyampaikan rancangan Peraturan daerah dengan materi yang

sama, maka yang dibahas adalah rancangan. Peraturan daerah yang disampaikan oleh DPRD,

sedangkan rancangan Peraturan daerah yang disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota

dipergunakan sebagai bahan persandingan. Program penyusunan Peraturan daerah dilakukan

dalam satu Program Legislasi Daerah[7], sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam

penyiapan satu materi Peraturan daerah. Ada berbagai jenis Peraturan daerah yang ditetapkan

oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kota dan Propinsi antara lain:

Page 6: tugas legislasi

1. Pajak Daerah;

2. Retribusi Daerah;

3. Tata Ruang Wilayah Daerah;

4. APBD;

5. Rencana Program Jangka

6. Menengah Daerah;

7. Perangkat Daerah;

8. Pemerintahan Desa;

9. Pengaturan umum lainnya.

2.2 Proses Penyusunan Peraturan Daerah

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah membuat sejumlah peraturan

daerah. Pertaturan daerah tersebut biasa disingkat dengan istilah perda. Perda tersebut bisa

mengatur masalah administrasi, lingkungan hidup, ketertiban, pendidikan, sosial, dan lain-lain.

Perda tersebut pada dasarnya dibuat untuk kepentingan masyarakat. Proses penyusunan

peraturan daerah melalui beberapa tahap. Penyusunan peraturan daerah dimulai dengan

perumusan masalah yang akan diatur dalam perda tersebut. Masalah yang dimaksud adalah

masalah-masalah sosial atau publik. Pada umumnya masalah sosial dapat dibedakan menjadi 2

jenis, yaitu sebagai berikut.

a.Masalah sosial yang terjadi karena adanya perilaku dalam masyarakat yang bermasalah.

Misalnya: maraknya perjudian atau beredarnya minuman keras dalam masyarakat sehingga

membuat kehidupan masyarakat terganggu.

b.Masalah sosial yang disebabkan karena aturan hukum yang tidak lagi proporsional dengan

keadaan masyarakat. Misalnya, perda tentang retribusi pemeriksaan kesehatan yang sangat

memberatkan masyarakat kecil sehingga peraturan daerah tersebut harus diganti. Pembuatan

suatu peraturan, baik peraturan pusat maupun peraturan daerah, pada dasarnya hampir sama

mulai dari asas-asasnya, materi muatannya dan sebagainya. Tata cara penyusunan peraturan

daerah, antara lain:

Page 7: tugas legislasi

a.Pengajuan peraturan daerah

Proses pengajuan peraturan daerah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1)Pengajuan peraturan daerah dari kepala daerah.

Proses pengajuan peraturan daerah dari kepala daerah, adalah sebagai berikut:

-Konsep rancangan perda disusun oleh dinas/biro/unit kerja yang berkaitan dengan perda

yang akan dibuat.

-Konsep yang telah disusun oleh dinas/biro/unit kerja tersebut diajukan kepada biro

hukum untuk diperiksa secara teknis seperti kesesuaian dengan peraturan perundangan

lain dan kesesuaian format perda.

-Biro hukum mengundang dinas/biro/unit kerja yang mengajukan rancangan perda dan

unit kerja lain untuk menyempurnakan konsep itu.

-Biro hukum menyusun penyempurnaan rancangan perda untuk diserahkan kepada

kepala daerah guna diadakan pemeriksaan (dibantu oleh sekretaris daerah).

Konsep rancangan perda yang telah disetujui kepala daerah berubah menjadi rancangan

perda.

-Rancangan perda disampaikan oleh kepala daerah kepada ketua DPRD disertai nota

pengantar untuk memperoleh persetujuan dewan.

2) Pengajuan peraturan daerah dari DPRD

Proses pengajuan peraturan daerah dari DPRD adalah sebagai berikut:

-Usulan rancangan peraturan daerah dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya lima orang

anggota.

Usulan rancangan peraturan daerah itu disampaikan kepada pimpinan DPRD kemudian

dibawa ke Sidang Paripurna DPRD untuk dibahas.

-Pembahasan usulan rancangan peraturan daerah dalam sidang DPRD dilakukan oleh

anggota DPRD dan kepala daerah.

-Pembahasan rancangan peraturan daerah

Page 8: tugas legislasi

Pembahasan rancangan peraturan daerah melalui empat tahapan pembicaraan, kecuali apabila

panitia musyawarah menentukan lain. Keempat tahapan pembicaraan tersebut adalah :

1) Tahap pertama

Tahap pertama dilakukan dalam Sidang Paripurna. Untuk rancangan perda dari kepala

daerah penyampaian dilakukan oleh kepala daerah, sedangkan penyampaian rancangan perda

dari DPRD dilakukan oleh pimpinan rapat gabungan komisi.

2) Tahap kedua

Tahap kedua merupakan tahap pemandangan umum. Untuk rancangan perda dari kepala

daerah, pemandangan umum dilakukan oleh anggota fraksi dan kepala daerah memberikan

jawaban atas pemandangan umum tersebut. Sebaliknya, untuk rancangan perda dari DPRD maka

tahap pemandangan umum dilakukan dengan cara mendengarkan pendapat kepala daerah dan

jawaban pimpinan komisi atas pendapat kepala daerah.

3) Tahap ketiga

Tahap ketiga merupakan tahap rapat komisi atau gabungan komisi yang disertai oleh

kepala daerah. Tahap ini dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan tentang rancangan perda

antara kepala daerah dan DPRD.

4) Tahap keempat (rapat paripurna)

Tahap empat meliputi pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului hal-

hal berikut :

laporan hasil pembicaraan tahap III,

pendapat akhir fraksi-fraksi,

pemberian kesempatan kepada kepala daerah untuk menyampaikan pendapat/sambutan

terhadap pengambilan keputusan.

Rancangan peraturan daerah yang sudah disetujui DPRD kemudian ditandatangani oleh

kepala daerah sehingga terbentuk peraturan daerah.

2.3 Mekanisme Pembuatan Perda

Page 9: tugas legislasi

Pembuatan Perda dilakukan secara bersama-sama oleh Gubernur/Bupati/Walikota dengan DPRD

Tingkat I dan II.

Mekanisme pembuatannya adalah sebagai berikut:

1. Pertama, Pemerintah daerah tingkat I atau II mengajukan Rancangan Perda kepada

DPRD melalui Sekretaris DPRD I atu II.

2. Kedua, Sekretaris DPRD mengirim Rancangan Perda kepada pimpinan DPRD tingkat I

atau II.

3. Ketiga, Pimpinan DPRD tingkat I atau II mengirimkan Rancangan Perda tersebut kepada

komisi terkait.

4. Keempat, Pimpinan komisi membentuk panitia khusus (pansus) untuk membahas

Rancangan Perda usulan pemerintah atau inisiatif DPRD I atau II.

5. Kelima, Panitia khusus mengadakan dengar pendapat (hearing) dengan elemen-elemen

yang meliputi unsur pemerintah, profesional, pengusaha, partai politik, LSM, ormas,

OKP, tokoh masyarakat, dan unsur lain yang terkait di daerah.

6. Keenam, DPRD tingkat I atau II mengadakan sidang paripurna untuk mendengarkan

pandangan umum dari fraksi-fraksi yang selanjutnya menetapkan Rancangan Perda

menjadi Perda.[8]

2.4 Pembentukan Perda Yang Baik

1. Asas Pembentukan Perda

2. Pembentukan Perda yang baik harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan

perundang-undangan sebagai berikut:

a. kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang undangan

harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan

perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan

perundang-undangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi

hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

Page 10: tugas legislasi

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat

dengan jenis peraturan perundang-undangan.

d. dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang

undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan

tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang undangan

dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur

kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.

f. kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi

persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi,

serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan

berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

g. keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan

mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat

transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai

kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan

peraturan perundang-undangan.

Di samping itu materi muatan Perda harus mengandung asas-asas sebagai berikut:

a. asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan Perda harus berfungsi memberikan

perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.

b. asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan

perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat

setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.

c. asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak

bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip

negara kesatuan Republik Indonesia.

d. asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus

mencerminkanmusyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan

keputusan.

Page 11: tugas legislasi

e. asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa memperhatikan

kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Perda merupakan

bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.

f. asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan Perda harus

memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah

dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

g. asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan

secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

h. asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan

Perda tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar

belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.

i. asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan Perda harus

dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya

kepastian hukum.

j. asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan

Perda harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara

kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

k. asas lain sesuai substansi Perda yang bersangkutan.

2. Selain asas dan materi muatan di atas, DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menetapkan

Perda harus mempertimbangkan keunggulan lokal /daerah, sehingga mempunyai daya

saing dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerahnya.

3. Prinsip dalam menetapkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam menunjang Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat melalui mekanisme APBD, namun demikian untuk mencapai

tujuan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah bukan hanya melalui

mekanisme tersebut tetapi juga dengan meningkatkan daya saing dengan memperhatikan

potensi dan keunggulan lokal/daerah, memberikan insentif (kemudahan dalam perijinan,

mengurangi beban Pajak Daerah), sehingga dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang

di daerahnya dan memberikan peluang menampung tenaga kerja dan meningkatkan

PDRB masyarakat daerahnya.

Page 12: tugas legislasi

2.5 Mekanisme Pengawasan Perda

Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang melakukan

pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai amanat Pasal

217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU No.12 Tahun 2008) tentang

Pemerintahan Daerah. Bulan Desember 2005 ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun

2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Pembinaan dan pengawasandimaksudkan agar kewenangan daerah otonom dalam

menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah kepada kedaulatan.

Di samping Pemda merupakan sub sistem dalam penyelenggaraan pemerintahan negara,

secara implisit pembinaan dan pengawasan terhadap Pemda merupakan bagian integral dari

sistem penyelenggaraan negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka NKRI. Peraturan Pemerintah

Nomor 79 Tahun 2005 secara tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk

melaksanakan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Menteri

dan Pimpinan LPND melakukan pembinaan sesuai dengan kewenangan masing-masing yang

meliputi pemberian pedoman. Bimbingan, pelatihan, arahan dan pengawasan yang

dikoordinasikan kepada Menteri Dalam Negeri. Pemerintah dapat melimpahkan pembinaan atas

penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten di daerah sesuai dengan peraturan

perundangundangan. Pembinaan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap peraturan Kabupaten

dan Kota dilaporkan kepada Presiden melalui Mendagri dengan tembusan kepada

Departemen/Lembaga Pemerintahan Non Departemen terkait.

Pengawasan Kebijakan Daerah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah sejalan dengan Pengawasan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

yang diatur dengan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 34

Tahun 2000. Pengawasan dilakukan secara represif dengan memberikan kewenangan seluas-

luasnya kepada Pemda untuk menetapkan Perda baik yang bersifat limitatif maupun Perda lain

berdasarkan kriteria yang ditetapkan Pemerintah. Karena tidak disertai dengan sanksi dalam

kedua Undang-Undang tersebut, peluang ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk

menetapkan Perda yang berkaitan dengan pendapatan dan membebani dunia usaha dengan tidak

menyampaikan Perda dimaksud kepada Pemerintah Pusat.

Page 13: tugas legislasi

Berbeda dengan Pengawasan Kebijakan Daerah yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan

UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pengawasan atas

penyelenggaraan Pemerintah Daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 79

Tahun 2005 dilakukan secara:

o preventif, terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang menyangkut Pajak Daerah,

Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;

o represif, terhadap kebijakan berupa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala

Daerah selain yang menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang

Daerah dan APBD;

o fungsional, terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah;

o pengawasan legislatif terhadap pelaksanaan kebijakan daerah;

o pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah oleh masyarakat.

Mengenai jenis-jenis pengawasan dapat diuraikan sebagai berikut :

Pengawasan Preventif Rancangan Perda Propinsi:

o Rancangan Perda Provinsi tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan

Tata Ruang Wilayah Daerah yang telah disetujui bersama DPRD dan Gubernur

sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari Dalam Negeri untuk

dievaluasi.

o Menteri Dalam Negeri melakukan Evaluasi Rancangan Perda Propinsi tentang

Pajak Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerahdalam

waktu 15 (lima belas) hari setelah menerimaRancangan Perda Provinsi.

o Menteri Dalam Negeri dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Pajak Daerah,

Retribusi Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan, sedangkan Rancangan

Perda Tata Ruang Wilayah Daerah berkoordinasi dengan Menteri Pekerjaan

Umum dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.

o Menteri Dalam Negeri menyampaikan hasil evaluasi kepada Gubernur untuk

melakukan penyempurnaan Rancangan Perda sesuai dengan hasil evaluasi.

o Gubernur melakukan penyempurnaan bersama dengan DPRD dalam waktu 7

(tujuh) hari setelah diterima hasil evaluasi.

Page 14: tugas legislasi

o Apabila Gubernur dan DPRD tidak melakukan penyempurnaan dan

tetapmenetapkan menjadi Perda, Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan Perda

dengan Peraturan Menteri.

o Gubernur menetapkan rancangan Perda setelah mendapat persetujuan bersama

dari DPRD sesuai dengan hasil evaluasi menjadi Perda.

o Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan, disampaikan kepada Menteri

Dalam Negeri.

2. Pengawasan Preventif Rancangan Perda Kabupaten/Kota:

a. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak Daerah, Retribusi

Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah yang telah disetujui bersama

DPRD dan Bupati/Walikota sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling

lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.

b. Gubernur melakukan Evaluasi Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang Pajak

Daerah, Retribusi Daerah, APBD dan Tata Ruang Wilayah Daerah dalam waktu

15 (lima belas) hari setelah menerima rancangan Perda Kabupaten/Kota.

c. Gubernur dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan; sedangkan Rancangan

Perda Tata Ruang Wilayah Daerah berkoordinasi dengan Menteri Pekerjaan

Umum dan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional.

d. Gubernur menyampaikan hasil evaluasi kepada Bupati/Walikota untuk melakukan

penyempurnaan Rancangan Perda sesuai dengan hasil evaluasi.

e. Bupati/Walikota melakukan penyempurnaan bersama dengan DPRD dalam waktu

7 (tujuh) hari setelah diterima hasil evaluasi.

f. Apabila Bupati/Walikota dan DPRD tidak melakukan penyempurnaan dan tetap

menetapkan menjadi Perda, Gubernur dapat membatalkan Perda dengan Peraturan

Gubernur.

g. Bupati/Walikota menetapkan rancangan Perda setelah mendapat persetujuan

bersama DPRD sesuai dengan hasil evaluasi menjadi Perda.

h. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan, disampaikan kepada Gubernur

dan Menteri Dalam Negeri.

Page 15: tugas legislasi

3. Pengawasan Represif Perda Propinsi, Kabupaten/Kota:

a. Perda disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri paling lama 7 (tujuh) hari

setelah ditetapkan.

b. Pemerintah melakukan pengkajian/klarifikasi terhadap Perda dalam waktu 60

hari.

c. Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan

perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan

Presiden.

d. Apabila Gubernur, Bupati/Walikota keberatan terhadap Pembatalan Perda;

Gubernur, Bupati/Walikota dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah

Agung dalam tenggang waktu 180( seratus delapan puluh) hari setelah

pembatalan.

4. Pengkajian dan Evaluasi Perda: Rancangan Perda APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah

dan Tata Ruang Wilayah Daerah dilakukan evaluasi sebagai berikut:

a. Rancangan Perda disampaikan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri

melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.

b. Biro Hukum mendistribusikan rancangan Perda kepada komponen terkait di

lingkungan Departemen Dalam Negeri.

c. komponen terkait melakukan pengkajian dan evaluasi rancangan rancangan Perda

bersama tim yang terdiri dari Biro Hukum, Inspektorat Jenderal dan komponen

terkait.

d. hasil pengkajian dan evaluasi disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui

Biro Hukum Sekretariat Jenderal.

e. hasil evaluasi yang telah ditandatangani Menteri Dalam Negeri disampaikan

kepada Gubernur oleh Biro Hukum.

5. Pembatalan Perda yang tidak sesuai dengan hasil evaluasi:

a. Perda yang diterima oleh Biro Hukum disesuaikan dengan hasil evaluasi Menteri.

b. Apabila Perda yang ditetapkan tidak sesuai dengan hasil evaluasi Menteri Dalam

Negeri, Biro Hukum menyiapkan rancangan Peraturan Menteri Dalam Negeri

Page 16: tugas legislasi

tentang Pembatalan Perda setelah berkoordinasi dengan komponen terkait

(OTDA, BAKD, PUM, BANGDA).

c. Apabila Perda telah sesuai dengan hasil evaluasi Menteri Dalam Negeri dilakukan

klarifikasi dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari.

d. Apabila hasil klarifikasi Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan

peraturan perundangundangan yang lebih tinggi maka Menteri Dalam Negeri

menyiapkan rancangan Peraturan Presiden setelah berkoordinasi dengan instansi

terkait dan menyampaikan kepada Presiden melalui Menteri Sekretaris Kabinet.

e. Peraturan Presiden tentang Pembatalan Perdadisampaikan kepada Gubernur oleh

Menteri Dalam Negeri melalui Biro Hukum Sekretariat Jenderal.

Page 17: tugas legislasi

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan,adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”.Proses pembentukan

Perda terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu:

1. Proses penyiapan rancangan Perda yang merupakan proses penyusunan dan perancangan

dilingkungan DPRD atau di lingkungan Pemda (dalam hal ini Raperda usul inisiatif).

Proses ini termasuk penyusunan naskah inisiatif (initiatives draft), naskah akademik

(academic draft) dan naskah rancangan Perda (legal draft).

2. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD.

3. Proses pengesahan oleh Kepala Daerah dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.

Mekanisme pembuatannya adalah sebagai berikut:

1. Pertama, Pemerintah daerah tingkat I atau II mengajukan Rancangan Perda kepada

DPRD melalui Sekretaris DPRD I atu II

2. Kedua, Sekretaris DPRD mengirim Rancangan Perda kepada pimpinan DPRD tingkat I

atau II.

3. Ketiga, Pimpinan DPRD tingkat I atau II mengirimkan Rancangan Perda tersebut kepada

komisi terkait.

4. Keempat, Pimpinan komisi membentuk panitia khusus (pansus) untuk membahas

Rancangan Perda usulan pemerintah atau inisiatif DPRD I atau II.

5. Kelima, Panitia khusus mengadakan dengar pendapat (hearing) dengan elemen-elemen

yang meliputi unsur pemerintah, profesional, pengusaha, partai politik, LSM, ormas,

OKP, tokoh masyarakat, dan unsur lain yang terkait di daerah.

6. Keenam, DPRD tingkat I atau II mengadakan sidang paripurna untuk mendengarkan

pandangan umum dari fraksi-fraksi yang selanjutnya menetapkan Rancangan Perda

menjadi Perda.

Page 18: tugas legislasi

DAFTAR PUSTAKA

Lihat Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional Tahun 2004-2009

http://gumilar69.blogspot.com/2013/10/makalah-pembentukan-perda-peraturan.html

http://handikap60.blogspot.com/2013/01/contoh-pengertian-dan-proses-penyusunan_31.html

Bambang Yudoyono,Otonomi Daerah, Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda

dan Anggota DPRD, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,200), hlm. 5

Solli Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara,Bandung: Alumni, 1978, hlm.150-151.

Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antara Hukum Tata Negara, Jakarta:

Rajawali, 198, hlm. 52

Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Sinar

Bakti, 1980), hlm. 160.

Srijanti & A. Rahman. Etika Berwarga Negara (ed.2). (Jakarta: Salemba Empat, 2008). hal 106-

107