131
RINGKASAN EKSEKUTIF PENELITIAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL Latar Belakang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) secara sempit dapat diartikan sebagai penyusunan suatu daftar materi perundang-undangan atau daftar judul RUU yang telah disepakati. Daftar urutan tersebut dibuat oleh DPR/Pemerintah berdasarkan urgensi dan prioritas pembentukannya. Prolegnas dalam arti luas mencakup program pembinaan hukum, pengembangan yurisprudensi, pembinaan program perjanjian (termasuk ratifikasi konvensi internasional). Maka telah ditetapkan Propenas sebagai lampiran Tap MPR No. V/MPR/2000. Namun, dalam kenyataannya Propenas belum berhasil mengarahkan Prolegnas ke arah yang diinginkan. Hal ini antara lain sebagai konsekuensi dan konfigurasi politik Orde Baru yang tidak kondusif, yang sampai saat ini masih kuat berakar. Hasil Studi Beberapa kesimpulan yang dihasilkan antara lain penyusunan Prolegnas masih dalam taraf mencatat daftar keinginan, bukan daftar kebutuhan, karena daftar undang-undang yang dituangkan melalui Propenas tersebut terbukti belum mampu secara optimal mengakomodasi kebutuhan riil masyarakat (para stakeholders ). Proses pembentukan, perubahan (revisi), dan pencabutan suatu undang-undang dalam kenyataan belum memberikan akses yang seimbang kepada setiap stakeholder dalam menyuarakan kepentingannya. Di samping itu, mekanisme penyusunan sampai dengan tahap pengesahan suatu undang- undang, baik menurut Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 maupun menurut Peraturan Tata Tertib DPR tidak menjamin pemberian akses yang memadai bagi masyarakat (stakeholders ) dalam menyampaikan aspirasi mereka. Prolegnas yang dicantumkan dalam Propenas, BPHN, Baleg DPR, dan LoI berawal dari sejumlah indikator yang berbeda penekanannya, namun pada

penelitian legislasi nasional

  • Upload
    c3h

  • View
    249

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: penelitian legislasi nasional

RINGKASAN EKSEKUTIF PENELITIAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

Latar Belakang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) secara sempit dapat diartikan

sebagai penyusunan suatu daftar materi perundang-undangan atau daftar judul

RUU yang telah disepakati. Daftar urutan tersebut dibuat oleh DPR/Pemerintah

berdasarkan urgensi dan prioritas pembentukannya. Prolegnas dalam arti luas

mencakup program pembinaan hukum, pengembangan yurisprudensi,

pembinaan program perjanjian (termasuk ratifikasi konvensi internasional).

Maka telah ditetapkan Propenas sebagai lampiran Tap MPR No.

V/MPR/2000. Namun, dalam kenyataannya Propenas belum berhasil

mengarahkan Prolegnas ke arah yang diinginkan. Hal ini antara lain sebagai

konsekuensi dan konfigurasi politik Orde Baru yang tidak kondusif, yang

sampai saat ini masih kuat berakar.

Hasil Studi

Beberapa kesimpulan yang dihasilkan antara lain penyusunan Prolegnas

masih dalam taraf mencatat daftar keinginan, bukan daftar kebutuhan, karena

daftar undang-undang yang dituangkan melalui Propenas tersebut terbukti

belum mampu secara optimal mengakomodasi kebutuhan riil masyarakat (para

stakeholders). Proses pembentukan, perubahan (revisi), dan pencabutan suatu

undang-undang dalam kenyataan belum memberikan akses yang seimbang

kepada setiap stakeholder dalam menyuarakan kepentingannya. Di samping itu,

mekanisme penyusunan sampai dengan tahap pengesahan suatu undang-

undang, baik menurut Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 maupun

menurut Peraturan Tata Tertib DPR tidak menjamin pemberian akses yang

memadai bagi masyarakat (stakeholders) dalam menyampaikan aspirasi mereka.

Prolegnas yang dicantumkan dalam Propenas, BPHN, Baleg DPR, dan LoI

berawal dari sejumlah indikator yang berbeda penekanannya, namun pada

Page 2: penelitian legislasi nasional

dasarnya bermuara kepada tiga faktor utama, yaitu adanya: (a) desakan untuk

memberi respon terhadap tuntutan reformasi di bidang hukum, (b) anggapan

bahwa pemulihan ekonomi tidak mungkin berjalan tanpa didukung oleh

pembenahan perangkat hukum positif, (c) urgensi untuk menyikapi

perkembangan regional dan global. Bervariasinya indikator yang digunakan

menunjukkan ketidakjelasan politik hukum Indonesia, khususnya yang terkait

dengan politik pembentukan hukum.

Penerapan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun

2000—2004 ternyata juga tidak efektif. Hal ini dapat diamati dari beberapa hal.

Pertama, jumlah undang-undang yang diproduksi dalam kurun waktu 2000—

2002 ternyata hanya sekitar seperempat dari jumlah keseluruhan produk yang

direkomendasikan Propenas. Kedua, sebagian dari rancangan undang-undang

yang diprogram untuk periode 2003—2004 sebagian besar tidak sesuai dengan

rekomendasi Propenas. Kondisi demikian terjadi karena terdapat kebutuhan

mendesak yang diserap oleh departemen/LPND, yang sebelumnya tidak

terakomodasikan oleh Propenas. Di luar itu, terdapat tekanan eksternal (pihak

internasional) yang cukup berperan dalam pergantian prioritas pembentukan,

perubahan, dan pencabutan suatu undang-undang.

Pendekatan sistematis untuk menjalankan Prolegnas belum secara

sungguh-sungguh diperhatikan.

Beberapa Kelemahan

Dalam tataran kebijakan makro, kelemahan ini karena ketidakjelasan politik

hukum nasional. Padahal politik hukum inilah yang memberi arahan ke arah

mana Prolegnas harus digulirkan.

Kelemahan lain terdapat pada tataran struktural. DPR dan Pemerintah

sebagai lembaga masih menggunakan pola pendekatan yang berbeda. Di satu

sisi, landasan normatif yang digunakan masih belum sama, tetapi di sisi lain

Page 3: penelitian legislasi nasional

“arogansi sektoral” (baca: kepentingan sepihak) pada masing-masing institusi

juga sangat mendominasi.

Rekomendasi

Rekomendasi kebijakan dalam Prolegnas mengharuskan adanya penetapan

rentang waktu yang agak panjang (5 sampai 10 tahun). Perlu ada sebuah institusi

independen (komisi) di bidang perarturan perundang-undangan.

DPR dan Pemerintah sebagai dua lembaga pembentuk undang-undang

menetapkan politik hukum nasional. Untuk menetapkan politik hukum ini, DPR

dan Pemerintah dibantu oleh institusi independen (komisi di bidang peraturan

perundang-undangan) yang secara khusus diberi tugas menjabarkannya menjadi

daftar kebutuhan undang-undang (baca: Prolegnas) untuk dijadikan pedoman

penyusunan Repeta.

Penyusunan dan perumusan suatu undang-undang selain terkait masalah

substansi, juga harus memperhatikan aspek teknis. Maka peran para tenaga

perancang undang-undang (legal drafters) sangat penting. Di sisi lain, standar

kualitas perancangan undang-undang harus ditetapkan pula.

Mekanisme sosialisasi suatu undang-undang perlu diberi perhatian dalam

mengoptimalkan efektivitas keberlakuan suatu undang-undang.

Penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu undang-undang wajib

ditunjang oleh hasil penelitian hukum yang sungguh-sungguh komprehensif

dan mendalam, baik dari sudut substansi maupun metodologinya. Hasil

penelitian tersebut merupakan salah satu dasar untuk penyusunan naskah

akademik, dan keberadaan naskah akademik dinyatakan sebagai prasyarat wajib

(bukan sekadar anjuran) untuk pembuatan sebuah undang-undang.

Mekanisme penyusunan undang-undang dituangkan dalam sebuah produk

hukum yang berlaku baik untuk undang-undang yang berasal dari hak inisiatif

DPR maupun dari hak inisiatif Pemerintah.

Page 4: penelitian legislasi nasional

DAFTAR ISI

Ringkasan Eksekutif Daftar Isi

BAB I KONTEKS STUDI A. Latar Belakang ............................................................................... 1 B. Ruang Lingkup dan Permasalahan ............................................… 2 C. Maksud dan Tujuan ...................................................................... 3 D. Sasaran ………………………………………………………………….. 3 E. Metode .......................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Program Legislasi Nasional .......................................…. 10 B. Tujuan Hukum ………….................................................................…… 12 C. Proses Pembentukan Hukum yang Demokratis ..........................….. 18 D. Kerangka Orientasi Berpikir Yuridis dalam Prolegnas ….................. 24

BAB III PROGRAM LEGISLASI NASIONAL A. Program Legislasi BPHN …..........................................…..………... 35 B. Badan Legislasi DPR .................................................…............... 37 C. Program Letter of Intent (LoI) ...........................................…............ 47 D. Program Pembangunan Nasional (Propenas) .....................…............ 54

BAB IV ANALISIS PERMASALAHAN A. Akomodasi Aspirasi Masyarakat dalam Prolegnas .………………... 59

1. Mekanisme Prolegnas yang Aspiratif ………………………… 59 2. Lembaga Ideal Penyusunan Prolegnas ………………………….. 68 3. Produk Hukum Prolegnas ………………………………………. 71

B. Indikator Penetapan Prioritas Program Legislasi Nasional .......... … 72 C. Penetapan Prioritas Prolegnas dalam Berbagai Bidang ............……. 79

BAB V KESIMPULAN ………………………………………………………….. 88

BAB VI REKOMENDASI ………………………………………………………….. 90 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................……….. 99

Lampiran 1: Prolegnas BPHN Lampiran 2: Prolegnas DPR

Page 5: penelitian legislasi nasional

Lampiran 3: Prolegnas LoI Lampiran 4: Prolegnas Propenas

Lampiran 5: RUU di luar Propenas

Page 6: penelitian legislasi nasional

BAB I KONTEKS STUDI

Latar Belakang

Berbagai masalah dan kesulitan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia

saat ini, tidak lepas dari kondisi hukum nasional yang centang perenang. Hukum,

sebagaimana diidentifikasi dalam Lampiran Tap MPR No. V/MPR/2000, telah

menjadi alat kekuasaan dan pelaksanaannya telah diselewengkan sedemikian

rupa sehingga bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, yaitu persamaan

hak setiap warga negara di hadapan hukum.

Perangkat hukum yang demikian itu hadir sebagai konsekuensi dari

konfigurasi politik Orde Baru yang anti demokrasi. Akibatnya manajemen

produksi hukum berjalan tanpa sebuah perencanaan yang seksama, bahkan tidak

jarang hukum diproduksi hanya untuk merespon kepentingan segelintir orang

yang memiliki akses ke lingkaran dalam penguasa.

Selain itu, proses produksi hukum pun berlangsung sangat elitis dan sama

sekali menutup akses rakyat atau warga negara untuk mempengaruhi keputusan

pembentukan hukum itu. Bahwa dalam proses produksinya melibatkan DPR dan

organisasi profesi, memang tidak dapat disangkal. Akan tetapi, secara substantif,

pelibatan DPR dan organisasi profesi atau organisasi masyarakat sekalipun

sangat artifisial, sebab perdebatan yang terjadi semata-mata dalam wilayah

semantik. Apalagi, telah menjadi rahasia umum, bahwa organisasi profesi dan

organisasi kemasyarakatan, ketika itu, telah terkooptasi oleh kekuasaan yang

tengah bertahta.

Sesudah tumbangnya rezim Orde Baru yang disusul dengan hadirnya

sebuah pemerintahan baru melalui sebuah pemilihan umum yang relatif

demokratis, maka tuntutan pembaruan manajemen produksi hukum pun

merupakan conditio sine quanon.

Belajar dari pengalaman sejarah tersebut di atas, maka pembenahan

manajemen produksi hukum merupakan sebuah langka strategis untuk

mewujudkan amanah reformasi yakni tegaknya sistem hukum yang didasarkan

Page 7: penelitian legislasi nasional

pada nilai filosofis yang berorientasi pada kebenaran dan keadilan, nilai sosial

yang berorientasi pada tata nilai yang berlaku dan bermanfaat bagi masyarakat,

serta nilai yuridis yang bertumpu pada ketentuan perundang-undangan yang

menjami ketertiban dan kepastian hukum.

Secara demikian, maka upaya pembaruan program legislasi nasional

seyogyanya didasarkan pada dua pertimbangan, yakni substansial berdasarkan

amanat reformasi dan proses yang harus partisipatif sesuai dengan tuntutan

demokrasi.

Ruang Lingkup dan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka ruang lingkup dan permasalahan

yang akan menjadi fokus kajian ini adalah sebagai berikut:

(1) Bagaimana pengakomodasian aspirasi masyarakat dalam penyusunan

program legislasi nasional?

a) Bagaimana mekanisme penyusunan program legislasi nasional yang

aspiratif?

b) Lembaga apa yang ideal untuk menyusun program legislasi nasional

tersebut?

c) Dalam produk hukum apa program legislasi nasional sebaiknya

dituangkan?

(2) Apa indikator penetapan prioritas program legislasi nasional?

(3) Apa prioritas program legislasi nasional dalam bidang hukum, bidang

ekonomi, bidang sosial dan politik, bidang pertahanan dan keamanan, dan

bidang kesejahteraan rakyat?

Maksud dan Tujuan

(1) Menginventarisasi produk legislasi dan klasifikasi berdasarkan Tap MPR

Np. I/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi dan Tap MPR No.

IV/MPR/ 1999 tentang GBHN untuk menganalisis pengakomodasian

Page 8: penelitian legislasi nasional

aspirasi masyarakat didalamnya, meliputi mekanisme, sistem

kelembagaan dan format hukum yang diberlakukan.

(2) Menyusun prioritas perubahan/pencabutan produk-produk legislasi

dalam rangka program legislasi nasional.

(3) Menyusun prioritas RUU berdasarkan aspirasi dan kebutuhan

masyarakat untuk tahun 2003 dan 2004

(4) Mengkaji prioritas legislasi bidang hukum

(5) Mengkaji prioritas legislasi bidang ekonomi

(6) Mengkaji prioritas legislasi bidang hankam

(7) Mengkaji prioritas legislasi bidang sospol

(8) Mengkaji prioritas legislasi bidang kesra

(9) Mengkaji prioritas legislasi yang berkaitan dengan konvensi-konvensi

internasional

Sasaran

(1) Manata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu sesuai

dengan amanat reformasi.

(2) Menegakkan reformasi hukum dan perundang-undangan secara

konsisten dan bertanggungjawab.

Metode

(1) Desain

Kajian studi ini dilakukan dengan menggunakan pola sebagai berikut :

a. Wawancara

Wawancara akan dilakukan dengan anggota DPR saat ini,

khususnya dengan anggota DPR yang termasuk anggota Tim Legislasi.

Selain itu, dilakukan pula wawancara dengan 21 Kepala Biro Hukum

departemen-departemen/instansi pemerintah yang telah memiliki

program legislasi masing-masing.

Page 9: penelitian legislasi nasional

Wawancara juga dilakukan kepada para ahli di bidang hukum,

ekonomi, politik, kesejahteraan rakyat, sosial budaya, pertahanan

keamanan, dan konvensi Internasional.

b. Pertemuan konsultasi dan Sub Komisi KHN

Agar arah dan fokus kajian sesuai dengan program Komisi

Hukum Nasional, maka selama berlangsungnya penelitian akan

dilaksanakan pertemuan konsultatif dengan Sub Komisi KHN sebanyak 4

(empat) kali.

c. Workshop

Sementara itu, untuk memperoleh wawasan materi dan

ketajaman analisis, maka selama berlangsungnya penelitian dilakukan 2

(dua) kali Workshop yang melibatkan para peserta dengan latar belakang

berbeda tetapi terkait dengan program legislasi nasional. Para peserta

yang dilibatkan adalah dari kalangan Akademisi, Lembaga Swadaya

Masyarakat, Praktisi (Advokat, Notaris, Kurator), Penegak Hukum

(Hakim, Jaksa, Polisi, dan Panitera), Usahawan, Lembaga Pemerintah

Departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen,

Pengawas/Pemerhati, dan Organisasi Profesi.

Workshop juga mengundang para Ahli sebagai nara sumber untuk memberi tanggapan dan masukan atas hasil penelitian sementara. Adapun para ahli yang diundang sebagai berikut: 1. Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M. (Pakar hukum ekonomi

Universitas Indonesia).

2. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. (Hakim Agung).

3. Rony Bako, SH., M.H. (Anggota Tim Legislasi Dewan Perwakilan

Rakyat)

4. Prof. H. A.S. Natabaya, S.H., LL.M (Mantan Kepala BPHN)

5. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., (Pakar hukum tata negara

Universitas Indonesia).

Page 10: penelitian legislasi nasional

6. Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta, S.H. (Pakar Filsafat/Teori Hukum

Univeristas Parahyangan, Bandung).

d. Konsultasi Publik

Demikian pula, agar proses pembaruan Program Legislasi

Nasional ini berjalan demokratis, maka partisipasi masyarakat akan

dikembangkan melalui Konsultasi Publik, yang akan dilakukan di

Makassar dan Medan. Konsultasi Publik akan dilangsungkan dengan

menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) dengen elemen

masyarakat terkait (stakeholders).

(2) Sampel dan Daerah Penelitian

Pengambilan sampel studi ini melibatkan responden dengan latar

belakang pendidikan dan profesi yang berkaitan dengan program legislasi,

yaitu dari kalangan akademisi, lembaga swadaya masyarakat, praktisi

(advokat, notaris, kurator), penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan

panitera), usahawan, Lembaga Pemerintah Departemen/Lembaga

Pemerintah Non-Departemen, pengawas/pemerhati, dan organisasi profesi.

Pemilihan responden dilakukan dengan mengundang seluruh instansi

yang terkait, sehingga responden yang betul-betul terlibat dalam studi ini

adalah berdasarkan penunjukan instansi pengirimnya.

Lokasi studi, selain di Jakarta juga di Medan dan Makassar. Pemilihan

Medan dan Makassar didasarkan pada pembagian wilayah Indonesia bagian

Barat dan Timur untuk mendapatkan keseimbangan pandangan atas studi ini.

Medan mewakili Indonesia bagian Barat, sedangkan Makassar mewakili

Indonesia bagian Timur.

Adapun komposisi pembagian responden berdasarkan profesi mereka

adalah sebagai berikut:

Jumlah Responden di Jakarta:

Page 11: penelitian legislasi nasional

Kelompok Jumlah

Akademisi 20

Lembaga Swadaya Masyarakat 10

Praktisi (Advokat, Notaris, Kurator) 15

Penegak Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, dan Panitera)

10

Usahawan 5

Lembaga Pemerintah Departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen

20

Pengawas/Pemerhati 10

Organisasi Profesi 10

Jumlah 100

Jumlah Responden di Medan dan Makassar:

Kelompok Jumlah

Akademisi 4

Lembaga Swadaya Masyarakat 2

Praktisi (Advokat, Notaris, Kurator) 10

Penegak Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, dan Panitera)

10

Usahawan 2

Lembaga Pemerintah Departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen

4

Pengawas/Pemerhati 4

Organisasi Profesi 4

Page 12: penelitian legislasi nasional

Jumlah 40

(3) Alat dan Teknik Pengumpulan Data

Sebagai penelitian hukum normatif, kajian ini mengandalkan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer terdiri atas Tap-Tap MPR, UU, dan Konvensi-Konvensi Internasional. Bahan hukum sekunder berupa dokumen pembahasan RUU di DPR, wacana yang berkembang di masyarakat ketika suatu RUU dibahas yang terekam dalam liputan media massa, serta dokumen program legislasi DPR dan departemen-departemen. Data tersier berupa kamus hukum dan ensiklopedia.

Untuk mendapatkan informasi yang akurat seputar program legislasi nasional ini, maka dilakukan pengumpulan bahan penelitian dari lembaga sumber utama yaitu BPHN sebagai lembaga yang mewakili program legislasi yang diadakan oleh Pemerintah (lembaga eksekutif), Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai perwakilan dari lembaga legislatif, Letter of Intent yang merupakan dokumen yang mengandung program legislasi nasional yang bersumber dari pengaruh dunia Internasional, dan Program Pembangunan Nasional (Propenas) – Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000, sebagai bentuk kompromi antar lembaga yang memiliki program legislasi dan dokumen resmi nasional yang mencantumkan pula program legislasi nasional yang diinginkan untuk jangka waktu tahun 2000-2004.

Disamping pengumpulan data sekunder di atas, studi ini juga menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dengan sistem semi structured interview, yaitu wawancara yang terstruktur dengan menyiapkan daftar wawancara untuk menghindari informasi yang subjektif sifatnya, namun tetap memberi ruang untuk mengembangkan pertanyaan dari jawaban-jawaban yang diberikan sebelumnya. Disamping itu metode observasi partisipatori juga digunakan dengan melibatkan responden untuk mengamati dan menganalisis kondisi yang ada di lapangan, dengan demikian pendapat subjektif dari responden turut diperhitungkan.

Instrumen yang dipakai dalam studi ini adalah angket yang disusun untuk mendapatkan informasi yang akan menjawab tujuan dan sasaran studi ini. Sedangkan bentuk angket yang digunakan menggunakan jawaban terbuka dan tertutup disesuaikan dengan jenis pertanyaan dan target yang diinginkan dari setiap pertanyaan yang diajukan.

(4) Analisis Data

Segenap data yang telah dikumpulkan dianalisis melalui prosedur, sebagai

berikut:

Page 13: penelitian legislasi nasional

1. Tap MPR, UU, dan Konvensi dimatriks berdasarkan klasifikasi bidang

hukum untuk memetakan materi muatan.

2. Berdasarkan pemetaan materi muatan di dalam matriks, kualitas norma

yang terkandung di dalamnya akan dianalisis dengan menggunakan

kriteria nilai filosofis, nilai sosial, dan nilai yuridis, sebagaimana yang

diamanatkan dalam Tap MPR No. V/MPR/2000.

3. Hasil analisis tersebut dijadikan dasar untuk menyusun UU sebagai

bagian dari Program Legislasi Nasional, baik untuk tahun 2002, maupun

untuk jangka menengah (hingga 2004).

Page 14: penelitian legislasi nasional

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Program Legislasi Nasional

Program Legislasi Nasional (dulu disebut program legislatif nasional) pada

hakikatnya adalah program perencanaan nasional di bidang perundang-undangan

(Marzuki, 2001). Kata “program” atau “programme” dalam The Advanced Learner’s

Dictionary of Current English, diartikan sebagai “List of items, events, etc.” atau “… plan of

what is to be done.” Sementara itu, menurut Black’s Law Dictionary, istilah “legislation”

diartikan dalam banyak makna, yaitu:

The act of giving or enacting laws; the power to make laws; the act of legislating; preparation and enactment of laws; the making of laws via legislation, in contrast to court-made laws. Formulation of rule for the future. Laws enacted by lawmaking body.

Sekalipun berarti banyak, namun bentuk akhir dari proses legislasi itu adalah

undang-undang. Dalam konteks Prolegnas, proses ini berupa penyusunan suatu daftar

materi perundang-undangan atau daftar judul RUU yang telah disepakati (oleh semua

unsur terkait), diurut berdasarkan urgensi dan prioritas pembentukannya oleh

Pemerintah atau pembahasaannya di DPR. Daftar tersebut bukan hanya menampung

keinginan departemen/LPND atau Pemerintah, atau komisi-komisi di DPR, melainkan

hasil kesepakatan bersama sebagai suatu rencana strategis, dan oleh karena itu telah

pasti akan dan harus mendapatkan dukungan penganggarannya dalam RAPBN

(Wargakusumah, 1999).

Pengertian Prolegnas di atas adalah batasan dalam arti sempit. Sebab, dalam

pendekatan yang terintegrasi, Prolegnas ini sebenarnya tidak sekadar program

pembentukan hukum, sekalipun aspek ini memang yang menjadi perhatian utama.

Menurut Hasan Wargakusumah (1999), Prolegnas tersebut juga mencakup program

pembinaan hukum tidak tertulis (termasuk program pembinaan hukum adat), program

pengembangan yurisprudensi (keputusan-keputusan hakim), dan program pembinaan

perjanjian (termasuk ratifikasi konvensi-konvensi badan-badan PBB dan traktat dengan

negara-negara tetangga).

Page 15: penelitian legislasi nasional

Pentingnya arti Program Legislasi Nasional sendiri telah disadari sejak lama di

Tanah Air. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah beberapa kali

menggulirkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) ini, namun biasanya terbentur

pada persoalan-persoalan teknis yang berujung pada pencapaian hasil kajian yang tidak

optimal.

Untuk dapat mengakomodasikan pendekatan filsafati, yuridis, dan sosiologis,

sebagaimana akan diungkapkan pada paparan di bawah, suksesnya Program Legislasi

Nasional memutlakkan kerja sama dengan peneliti-peneliti hukum independen.

Kelemahan terbesar dari perjalanan sistem hukum Indonesia, khususnya pada era Orde

Baru adalah kurangnya dukungan penelitian sebelum suatu produk hukum

dimunculkan. Kajian-kajian akademik memang dibuat, tetapi harus diakui sangat

kering dengan analisis filsafati dan antropologis-sosiologis.

Ketika gerakan reformasi dicetuskan tahun 1998, Bank Dunia memberikan suatu

grant untuk membuat “diagnostic assessment of legal development in Indonesia”. Proyek ini

telah selesai dilakukan, dan hasilnya diterbitkan dalam sebuah buku yang disusun oleh

Kantor Hukum Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR) bekerja sama dengan

Kantor Hukum Mochtar, Karuwin, Komar (MKK). Rekomendasi yang diberikan oleh

pengkajian ini juga senada, yakni menggarisbawahi pentingnya pembangunan hukum

itu membuka diri pada aspirasi masyarakat. Kemudian, digariskan pula perlunya

reformasi menyentuh pendidikan hukum yang didukung oleh penelitian hukum (Gaffar

& Kasim, 2000).

Uraian tinjauan pustaka berisi konsep-konsep penting tentang Prolegnas.

Pertama, dijelaskan tentang tujuan hukum sebagai nilai terpenting dalam suatu produk

hukum. Tujuan hukum ini terkait dengan keberlakuan filosofis yang selayaknya

dijadikan acuan dalam Prolegnas. Peletakan dasar pijakan filosofis tadi berhubungan

dengan aliran-aliran filsafat hukum. Dalam tinjauan ini sekaligus akan diintroduksi satu

pendekatan aliran filsafat hukum yang dianggap paling sesuai dengan konteks

Indonesia, namun tetap menjamin bahwa proses pembentukan hukum tersebut

berlangsung demokratis. Rangkuman tentang aliran filsafat hukum yang

direkomendasikan tersebut selanjutnya mendapat penekanan pada bagian akhir bab ini,

yakni tatkala dibahas tentang keterkaitan antara kerangka orientasi berpikir yuridik dan

Page 16: penelitian legislasi nasional

Prolegnas di Indonesia. Proses pembentukan hukum yang demokratis dijadikan uraian

berikutnya. Tinjauan ini sangat berguna untuk melihat apakah mekanisme Prolegnas itu

sendiri telah memenuhi indikator-indikator pembentukan hukum yang demokratis

sebagaimana diamanatkan oleh reformasi hukum. Pada bagian akhir, disinggung

tentang kerangka orientasi berpikir yuridik dalam kaitannya dengan Prolegnas.

Kerangka orientasi berpikir yuridik

B. Tujuan Hukum

Seorang filsuf era Zaman Antik (Yunani Kuno) bernama Cicero, pernah

mengatakan, “Ubi societas, ibi ius.” Maknanya, “Di mana ada masyarakat, di situ ada

hukum.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa hukum pada dasarnya selalu muncul sejak

pertama kali masyarakat itu ada, yang ditandai oleh pembenturan kepentingan-

kepentingan.

Pengertian “ius” (hukum) itu sendiri dalam perkembangannya menjadi

demikian variatif. Ada yang mengartikannya sebagai nilai-nilai yang menuntun sikap

dan perilaku manusia. Ada pula yang lebih konkret daripada itu, yakni sebagai norma.

Lebih jauh lagi, ada yang secara spesifik menunjuk kepada norma tertentu yang secara

formal dibuat oleh penguasa negara.

Perbedaan pandangan tentang hukum tersebut diejawantahkan dalam

konfigurasi aliran-aliran berpikir dalam dunia hukum. Pada tataran grand theories dalam

disiplin hukum, kecenderungan berpikir tadi disebut aliran filsafat hukum. Ada banyak

aliran filsafat hukum, yang pengelompokkannya dapat didasarkan pada sejumlah

asumsi. Salah satu asumsi yang paling sering digunakan adalah dengan berpijak pada

tujuan hukum yang dipersepsikan setiap aliran.

Salah satu isu sentral yang dijadikan diskursus aliran-aliran di atas adalah

eksistensi hukum alam dan hukum positif. Di sini terkait persoalan keberadaan

program legislasi. Uraian di bawah ini akan memfokuskan pada isu sentral ini,

sekaligus ingin mengaitkannya dengan pandangan-pandangan sejumlah aliran filsafat

hukum.

Ada dua kelompok pendekatan yang esktrem dalam melihat arti penting suatu

legislasi. Kubu ekstrem pertama diwakili oleh Aliran Hukum Kodrat (sering juga

disebut Aliran Hukum Alam). Sedangkan kubu ekstrem kedua adalah Positivisme

Page 17: penelitian legislasi nasional

Hukum, yang justru sebaliknya, sangat memutlakkan legislasi sebagai sumber hukum

satu-satunya. Di antara keduanya muncul aliran-aliran lain, seperti Utilitarianisme,

Mazhab Sejarah, Sociological Jurisprudence, Realisme, atau Critical Legal Studies.

Pemetaan terhadap aliran-aliran filsafat hukum di atas akan lebih mudah

dilakukan dengan menarik garis berdasarkan tujuan hukum yang diwakili masing-

masing. Tujuan hukum tersebut diinspirasi dari pertanyaan fundamental tentang

keterkaitan antara “hukum” dan “moral”. Untuk memudahkan pembahasan ini,

“hukum” di sini akan diartikan sama dengan “hukum positif” sebagai produk

penguasa. Aturan hukum positif (rule of law) yang paling konkret adalah perundang-

undangan (legislasi). Perdebatan antara dua kubu ekstrem di atas, berawal dari

persoalan penempatan hukum dan moral ini. Andrew Altman (2001)

mengilustrasikannya sebagai berikut:

1. Is the rule of law best understood as (a) the rule of law alone, or (b) the rule of natural law

and of positive law only insofar as it is consistent with natural law?

2. Is any rule of positive law that is in conflict with natural law invalid and incapable of

imposing any obligation on us?

3. Are acts contrary to natural law crimes even if there is no specific positive law that makes

them criminal?

Dalam bahasa yang lebih sederhana, Andrew Altman (2001) lalu meringkaskan

kembali ketiga pertanyaan tadi menjadi:

1. Does the concept of rule of law necessarily include the idea of natural law?

2. Are positive laws necessarily lacking in validity whenever they conflict with natural law?

3. Are acts that violate the obligations of natural law necessarily crimes, regardless of how the

positive law regards them?

Penganut Aliran Hukum Kodrat, khususnya yang berada dalam perspektif

tradisional (dengan Thomas Aquinas sebagai figur sentral), selalu berkeyakinan bahwa

tujuan hukum yang hakiki adalah keadilan. Legislasi (lex positivis) sebagai produk

hukum buatan manusia, ditempatkan pada kategori paling bawah setelah lex aeterna, lex

naturalis, dan lex divina. Posisi lex positivis ditentukan sepenuhnya oleh hukum-hukum

di atasnya, sehingga apabila terdapat kontradiksi, hukum positif itu menjadi batal

dengan sendirinya.

Page 18: penelitian legislasi nasional

Lex divina sebagai guidance to the ultimate good selalu berlaku universal dan

abadi. Sebagai pedoman, muatan keseluruhannya adalah moralitas. Moralitas ini pula

yang menentukan segalanya. Tiada hukum tanpa moral. Bahkan, lebih jauh lagi, hukum

itu identik dengan moral. Sebab, hanya hukum yang bermoral yang dapat membimbing

manusia kepada pencapaian keadilan sebagai tujuan hukum.

Persoalannya adalah, bagaimana jika hukum itu sampai tidak memuat muatan

moral? Haruskah hukum itu menjadi batal?

Ada versi lain dari aliran ini yang mencoba untuk memodifikasi pandangan

kaum tradisional ini yang belakangan muncul tersebut diwakili oleh Lon Fuller dan

Dworkin.

Fuller berpendapat bahwa sistem hukum yang genuine selalu terikat pada

prinsip-prinsip moral tertentu. Ia menyebut prinsip moral ini dengan istilah “the inner

morality of law”. Prinsip hukum inilah yang menjadi prima facie peletakan kewajiban

kepada setiap warganegara untuk menghormati hukum. Ia mengakui bahwa dalam

kenyataannya, tidak semua produk hukum penguasa (legislasi) konsisten dengan

prinsip-prinsip moral itu. Produk hukum itu jelas tidak baik secara moral, tetapi ia tidak

lalu kehilangan validitasnya, seperti yang selalu ditegaskan kaum tradisional. Di

samping itu Fuller juga membuka kemungkinan lain, bahwa suatu produk hukum

mungkin tidak memiliki keabsahan secara “inner morality”, tetapi dapat dibenarkan

demi tujuan-tujuan sosial.

Dworkin berpendapat sedikit berbeda. Baginya, setiap produk hukum (legislasi)

dengan sendirinya harus dapat diinterpretasi dan diterapkan dengan pendekatan moral.

Baginya, hukum positif harus memiliki integritas moral. Integritas mungkin tidak

menjamin pencapaian keadilan, tetapi integritas tadi akan menjamin adanya derajat

moralitas tertentu (yang cukup) dalam setiap produk hukum, sehingga terhindarilah

legislasi sekadar menjadi produk kekuasaan politik.

Keragu-raguan Aliran Hukum Kodrat untuk mengklaim bahwa hukum positif

(legislasi) sebagai murni produk politik, dijawab secara tegas oleh Positivisme Hukum.

Bagi aliran Positivisme Hukum, hukum adalah benar produk politik. Tujuan hukum

semata-mata adalah untuk memberikan kepastian.

Page 19: penelitian legislasi nasional

Lebih jauh lagi, menurut aliran ini, hukum adalah perintah dari penguasa (law is

a command of lawgivers). Raymond Wacks (1995) menuliskan tentang pendapat John

Austin, tokoh Positivisme Hukum, tentang hakikat hukum adalah: “…the notion of law as

a command of the sovereign. Anything that is not a command is not law. Only general

commands counts as law. And only commands emanating from the sovereign are ‘positive law’.”

Sebagai konsekuensinya, sumber satu-satunya hukum adalah undang-undang

(dalam arti material). Tugas aparatur hukum, khususnya hakim, adalah menjadi

“corong” dari undang-undang. Tugas hakim adalah menerapkan logika deduktif

(silogisme) untuk menyelesaikan setiap persoalan hukum. Premis mayor yang

digunakan wajib berasal dari undang-undang. Semua dilakukan dalam sistem yang

tertutup.

Tentu saja gagasan Positivisme Hukum baru dapat berjalan baik apabila

diasumsikan kodifikasi-kodifikasi hukum sudah lengkap mengatur segala hal.

Pembentukan undang-undang juga wajib berjalan lancar agar tidak terjadi kevakuman

hukum.

Dalam kenyataannya, asumsi bahwa undang-undang itu lengkap memang tidak

mungkin terjadi. Di sini diperlukan kreativitas penegak hukum, terutama hakim, dalam

melakukan terobosan-terobosan. Apa yang disebut dengan penemuan hukum

(rechtsvinding) adalah salah satu bentuk terobosan yang dimaksud. Namun, jelas

penemuan hukum seperti ini sesungguhnya sudah menyalahi “pakem” Positivisme

Hukum karena telah menjadikan hukum bergerak dalam sistem terbuka.

Rupanya kepastian hukum yang diperjuangkan sebagai satu-satunya tujuan

hukum oleh Positivisme Hukum itu dalam berbagai kesempatan justru menjadi

bumerang bagi masyarakat kebanyakan. Karena penguasa diberi kewenangan untuk

menetapkan hukum, maka dengan sendirinya kepentingan penguasa pula yang lebih

banyak ditonjolkan. Cita-cita untuk berdiri sama tinggi di hadapan hukum, sering lebih

terkesan sebagai utopia.

Lalu, seperti apakah hukum yang baik itu? Utilitarianisme memberikan alternatif

jawabannya. Menurutnya, hukum yang baik adalah hukum yang dapat memberikan

kemanfaatan untuk sebesar-besar jumlah orang. Basis aliran ini sebenarnya masih dalam

satu atap dengan Positivisme Hukum. Artinya, mereka masih mengandalkan kepada

Page 20: penelitian legislasi nasional

penguasa untuk menetapkan hukum, namun dengan catatan, bahwa hukum produk

penguasa itu bisa baik dan bisa pula buruk.

Baik buruk suatu hukum tentu tidak dapat begitu saja disimpulkan hanya

dengan melihat rumusan normanya. Untuk itu diperlukan serangkaian peristiwa

hukum yang konkret sebagai test-cases. Dari pengalaman (empirik) itulah dapat

diketahui, bahwa suatu produk hukum itu baik atau buruk.

Jika indikator baik buruk suatu hukum baru dapat ditentukan setelah ada

pengalaman, tentu menjadi pertanyaan besar: berapa banyak peristiwa empirik

demikian harus terjadi sebelum berhasil dibuatkan kesimpulan baik dan buruk?

Bagaimana kalau peristiwa-peristiwa itu tidak cukup menggugah kita untuk mengubah

hukum yang buruk itu? Bagaimana jika masih ada keberatan penguasa untuk

mengubahnya?

Cara berpikir yang diperagakan oleh Mazhab Sejarah agaknya mampu

mengantisipasi sebagian pertanyaan di atas. Menurutnya, hukum tidak perlu dibuat

oleh penguasa. Hukum itu tumbuh sendiri bersama dengan masyarakat. Artinya,

biarkan masyarakat itu sendirilah yang menentukan mana hukum yang baik dan yang

buruk. Dalam perjalanan hidup bermasyarakat, proses seleksi itu pastilah sudah

berjalan dengan alamiah.

Dari titik ini sebenarnya kita dapat melihat betapa Mazhab Sejarah mulai

mendekati pemikiran Aliran Hukum Kodrat. Bedanya adalah, pada Aliran Hukum

Kodrat, nilai-nilai dalam hukum itu diproyeksikan secara universal, sementara pada

Mazhab Sejarah, lebih bersifat lokal. Pelopornya, yaitu von Savigny, menggunakan satu

istilah yang menunjukkan adanya jiwa rakyat (Volksgeist) pada setiap bangsa. Di sini

jelas bahwa konsep universalitas hukum, dalam kaca mata von Savigny, sangat tidak

masuk akal, dan sebagai gantinya ia perkenalkan konsep nasionalitas.

Sumber hukum yang utama, menurut Mazhab Sejarah, adalah kebiasaan.

Sumber hukum ini jelas tidak memerlukan pengujian lagi karena telah menjalani proses

sosialisasi yang panjang. Ia adalah hukum yang hidup (living law) dan telah berlaku

secara sosiologis.

Dalam lingkup masyarakat yang susunannya sederhana, barangkali konsep

Mazhab Sejarah dapat diterima baik. Persoalan muncul tatkala konsep ini akan

Page 21: penelitian legislasi nasional

diterapkan untuk masyarakat yang pluralistis dengan pola kebiasaan yang berbeda.

Penentuan Volksgeist-nya saja mungkin akan memeras energi yang besar, sehingga pada

ujung-ujungnya akan diserahkan pada kepentingan pihak yang paling berkuasa pula.

Jika demikian halnya, hasil akhir Mazhab Sejarah mungkin tidak berbeda jauh dengan

Positivisme Hukum.

Apabila kita mengalami kesulitan untuk menentukan pola -pola umum

(kebiasaan) dari sikap dan perilaku masyarakat, mengapa kita tidak melihat langsung

ke peristiwa konkret yang terjadi? Bukankah setiap peristiwa konkret itu memiliki

nuansa tersendiri, yang tidak begitu saja dapat digeneralisasi?

Pertanyaan tersebut mengilhami munculnya aliran baru dalam filsafat hukum,

yaitu Realisme Hukum. Aliran ini melihat setiap kasus hukum sebagai sesuatu yang

berdiri sendiri. Peristiwa konkret itulah yang menentukan hukumnya, bukan oleh

hukum kodrat, undang-undang, atau kebiasaan.

Dalam derajat yang lebih tinggi, Realisme Hukum lalu berpuncak pada

penolakan sama sekali terhadap otoritas undang-undang yang selama ini dipandang

melebihi sumber-sumber formal hukum lainnya. Tidak ada kedudukan yang lebih

tinggi daripada yang lain. Semua diserahkan kepada keyakinan hakim. Sebab,

kepadanyalah peristiwa konkret itu dipercayakan, dan keputusannya harus

diasumsikan sebagai hukum yang terbaik untuk kasus tersebut. Mungkin keputusan itu

belum mencerminkan keadilan yang diharapkan masyarakat, atau bahkan menyimpang

dari kepastian hukum yang diletakkan undang-undang, namun bagi hakim

keputusannya adalah bermanfaat, khususnya kepada para pihak yang berperkara.

Dari uraian yang sedikit panjang lebar tentang aliran-aliran filsafat hukum dan

tujuan-tujuan hukum yang menyertai masing-masing, dapat diperoleh kesimpulan

bahwa program legislasi yang secara substansial bermutu tinggi dan secara prosedural

sangat aspiratif (dalam arti didesain melalui pendekatan demokratis) adalah suatu

kemutlakan bagi setiap negara modern. Terbukti, semua aliran filsafat hukum, bahkan

yang semula sangat menentang program demikian (antara lain Mazhab Sejarah), pada

akhirnya harus mengakui kenyataan pentingnya produk hukum tertulis, yang bernama

perundang-undangan (legislation). Spirit yang dibawa oleh penentang program legislasi

sebenarnya adalah keinginan agar produk hukum tidak sekadar menjadi produk politik

Page 22: penelitian legislasi nasional

yang antidemokrasi. Undang-undang harus merekam dan mengakomodasikan

kepentingan masyarakat, sehingga proses produksi hukum itu haruslah sedemokratis

mungkin. Hal-hal yang dikemukakan terakhir ini akan dikupas lebih jauh pada subbab

di bawah ini.

C. Proses Pembentukan Hukum yang Demokratis

Pandangan bahwa hukum sebagai sistem tertutup merupakan salah satu

kelemahan dari Positivisme Hukum. Persoalannya adalah, jika sistem hukum bersifat

terbuka, seberapa besar toleransi hukum terbuka bagi sistem-sistem lain untuk masuk

ke dalam pergulatan internal sistem hukum?

Secara prosedural, desain hukum menjadi kental bermuatan politik. Hal ini

dapat dimengerti karena sistem hukum memang tidak mungkin menutup diri dari

sistem-sistem lain. Bahkan, pernyataan John Austin tentang sistem hukum tertutup

seperti dikemukakan pada subbab di atas, pada dasarnya mengalami contradictio in

terminis dengan pernyataannya semula tentang law as a command of lawgivers.

Keterkaitan sistem hukum dengan sistem lain ditunjukkan secara sangat baik

oleh Talcott Parson dengan Teori Sibernetika-nya (lihat Satjipto Rahardjo, 1985). Dalam

teorinya, Parson menyebutkan tentang ada empat subsistem: budaya, sosial, politik, dan

ekonomi yang senantiasa melingkari kehidupan kemasyarakatan. Dilihat dari arus

energi, subsistem ekonomi menempati kedudukan paling kuat, diikuti subsistem

politik, baru kemudian subsistem sosial (di mana hukum ada di dalamnya), dan diakhiri

oleh subsistem budaya. Di sisi lain, dilihat dari arus informasi (tata nilai), subsistem

budaya justru yang paling kaya, diikuti oleh subsistem sosial, subsistem politik, dan

berakhir pada subsistem ekonomi.

Apa artinya penjelasan Parson ini? Di sini terlihat bahwa anggapan bahwa

hukum adalah produk politik sesungguhnya hanya dapat dibenarkan apabila dilihat

dari arus energi saja. Sementara jika dilihat dari aspek informasi (material), hukum

adalah produk budaya. Oleh karena itu, diskursus aliran-aliran filsafat hukum seperti

yang dikemukakan di depan, menjadi makin relevan apabila dikaji dari perspektif

Parsonian.

Sekalipun pandangan bahwa hukum adalah produk politik itu sangat sepihak,

tidak terbantahkan bahwa pengaruh politik memang besar terhadap pengembanan

Page 23: penelitian legislasi nasional

hukum (rechtsbeoefening). Program legislasi adalah bagian dari pengembanan hukum ini,

lebih spesifik lagi terkait dengan masalah penciptaan hukum. Itulah sebabnya, bagi

suatu negara modern, program legislasi ini harus mencerminkan pengontrolan yang

ketat terhadap arus energi tadi agar hukum tidak terselewengkan oleh pemegang

kekuasaan politik.

Hukum dengan demikian bukan lagi produk yang steril. Kita dapat mengatakan,

modernisasi hukum berjalan seiring dengan modernisasi masyarakat (sosial). Hal itu

ditunjukkan dalam model-model sistem hukum seperti disampaikan oleh Jonathan H.

Turner (lihat Peters & Siswosoebroto, 1990). Secara garis besar, Turner membagi ada tiga

model sistem hukum itu. Pembagian ini dilakukannya dengan mengikuti proses

perubahan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Model-model ini ditulisnya

dalam karyanya berjudul: A Cybernetic Model of Legal Development (1974).

Untuk lebih jelasnya bagaimana corak model sistem hukum modern ini, dapat

diacu karakteristik yang dikembangkan oleh Marc Galanter beberapa tahun sebelum

Turner menulis karyanya itu. Dalam tulisannya berjudul “The Modernization of Law”

(1966), Galanter menyebutkan sebelas ciri sistem hukum modern itu.

Pertama, aturan-aturan dalam hukum modern itu bersifat seragam. Maksudnya,

ketika diterapkan, bentuk penerapannya tidak banyak bervariasi. Penerapannya tidak

lagi mengenal diskriminasi berdasarkan suku, agama, kelas, kasta, jenis kelamin, dan

lain-lain. Paling-paling perbedaannya karena teritorial saja. Jadi, hukum lebih bersifat

teritorial daripada personal.

Kedua, hukum modern bersifat transaksional. Artinya, hak dan kewajiban para

pihak dalam suatu hubungan hukum sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan tawar-

menawar antar-mereka. Di sini tidak lagi dikenal bahwa laki-laki harus diberi hak lebih

besar daripada wanita, atau yang lebih tua mendapat lebih daripada yang muda.

Ketiga, hukum modern bersifat universalistik. Putusan atas perkara-perkara

yang serupa, biasanya adalah sama. Jadi, tidak ada yang unik. Putusannya berulang dan

dapat diramalkan.

Keempat, sistem hukum itu bersifat hirarkis. Di situ ada jenjang-jenjangnya.

Tingkat yang lebih rendah akan diawasi oleh tingkat yang lebih tinggi. Misalnya,

Page 24: penelitian legislasi nasional

putusan pengadilan negeri akan dikoreksi lagi pada pengadilan tinggi, dan seterusnya

putusan pengadilan tinggi oleh Mahkamah Agung.

Kelima, sistemnya diorganisasikan secara birokratis. Untuk mencapai adanya

keseragaman dalam putusan (universalistik) itu, tentu diperlukan catatan-catatan yang

disusun dan diarsip secara baik. Sistem hukum dengan demikian menjadi makin

impersonal (mekanis).

Keenam, sistem hukum modern itu adalah rasional. Maksudnya, sistem tersebut

dapat dipelajari dan dimengerti oleh semua orang. Padahal, dulu hanya orang-orang

tertentu yang diyakini dapat menafsirkan maksud suatu norma hukum. Teknik-teknik

teologikal dan formalistik dalam mengartikan norma hukum itu telah digantikan oleh

teknik-teknik fungsional.

Ketujuh, sistem itu dijalankan oleh para profesional. Sistem peradilan, misalnya,

tidak lagi bersifat ad hoc. Semuanya dilakukan oleh mereka yang bekerja purnawaktu

(full-timer). Mereka juga adalah lulusan pendidikan formal dengan kualifikasi tertentu.

Kedelapan, sistemnya menjadi lebih teknis dan kompleks. Maksudnya adalah

bahwa sistem hukum modern itu tidak bisa begitu saja dimasuki oleh orang-orang

kebanyakan. Perlu ada tenaga-tenaga ahli, yakni orang-orang yang tahu seluk beluk

sistem ini. Mereka adalah para ahli hukum. Merekalah yang menjembatani antara

peradilan dengan pribadi-pribadi yang berperkara. Peran para “general agents” sudah

digantikan oleh “lawyers”.

Kesembilan, sistem hukum modern itu dapat diubah atau diganti. Di sini tidak

ada sesuatu yang sakral. Perundang-undangan telah menggantikan peran hukum adat

yang lamban itu.

Ciri-ciri kesepuluh dan kesebelas berkaitan dengan hukum dan politik. Ciri

kesepuluh adalah bahwa sistem tersebut bersifat politis. Hukum terikat demikian dalam

kepada negara, sehingga negara menikmati suatu monopoli atas perkara-perkara dalam

kewenangannya. Peradilan-peradilan lain, seperti peradilan agama atau dagang, hanya

dapat beroperasi sepanjang diawasi oleh negara.

Sementara itu, ciri kesebelas adalah bahwa tugas menemukan hukum dan

menerapkan hukum dibedakan menurut fungsi-fungsinya. Jadi, ada pemisahan antara

legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

Page 25: penelitian legislasi nasional

Dari semua karakteristik itu, Galanter menyimpulkan tiga penekanan dari

model hukum modern itu, yaitu: (1) kesatuan, (2) keseragaman, dan (3) universalitas.

Dari ilustrasi di atas, timbul pertanyaan: apakah “modernisasi hukum” itu sama

artinya dengan pencapaian karakteristik-karakteristik di atas? Secara doktrinal

pertanyaan ini harus dijawab “ya”. Sesuatu yang dimaksud dengan modernisasi hukum

adalah upaya untuk mencapai kesebelas karakteristik itu. Usaha demikian, menurut

Galanter, telah dimulai di Eropa pada waktu berlangsungnya resepsi hukum Romawi

pada Abad ke-11. Proses itu lalu mencapai puncaknya pada akhir Abad ke-18, dan

menyebar ke bagian-bagian dunia lainnya pada Abad ke-19.

Seperti telah diketengahkan melalui sibernetika ala Parson, terlihat bahwa dari

sudut proses pembentukannya, hukum modern itu tidak dapat bebas dari politik.

Bukankah seharusnya, hukum yang modern itu otonom, bebas dari intervensi politik?

Ternyata, hukum yang modern bukan hukum yang otonom.

Menurut Nonet dan Selznick (1978), setiap sistem hukum memiliki potensi untuk

menindas rakyatnya. Di sini terlihat keterkaitan antara hukum dan kekuasaan, atau

hukum dan politik. Hukum memerlukan kekuasaan itu, karena sistem hukum terikat

pada kepastian hukum, dan itu mau tidak mau adalah suatu statu quo. Hanya yang

memiliki kekuasaan itulah yang dapat menjamin status quo itu.

Ada banyak penyebab suatu sistem hukum terjerumus menjadi tatanan yang

menindas masyarakatnya. Salah satunya, papar Nonet dan Selznick (1978), terjadi

karena elit politik tidak mempunyai legitimasi lain kecuali harus menggunakan cara-

cara kekerasan untuk mempertahankan tujuannya. Mereka yang memegang kendali

kekuasaan dihadapkan pada banyak masalah, seperti kemerosotan ekonomi dan

keresahan sosial, sementara di sisi lain waktu untuk memperbaiki itu semua tidak

cukup. Akhirnya, satu-satunya cara adalah mereka menggunakan hukum untuk

menindas rakyatnya.

Untuk mudahnya, Nonet dan Selznick (1978) membuat satu bagan yang

membedakan antara hukum yang bertipe menindas (repressive law) dan hukum yang

disebutnya lebih baik, yaitu hukum otonom (autonomous law). Di luar kedua model ini,

sebenarnya mereka juga menyebutkan satu tipe lain, yaitu hukum responsif (responsive

law). Mengenai tipe ketiga ini akan kita bicarakan kemudian.

Page 26: penelitian legislasi nasional

Bagan dari tipe hukum yang menindas dan tipe otonom itu adalah sebagai

berikut:

Tipe Menindas Tipe Otonom Tujuan hukum Ketertiban. Kesahan (legitimasi)

Legitimasi

Pertahanan sosial dari raison d’etaat (demi kepentingan negara itu sendiri)

Menegakkan prosedur (keadilan prosedural)

Peraturan Kasar dan terperinci, tetapi lemah sekali mengikat si pembuat peraturan

Panjang lebar; mengikat si pembuat perintah maupun mereka yang diperintah.

Penalaran, alasan (reasoning)

Ad hoc; sesuai keperluan dan partikularistik (cepat dan khusus)

Mengikatkan diri secara ketat kepada otoritas hu-kum; mudah terjerumus ke formalitas dan legalisme.

Diskresi (kebijakan) Sangat umum, merata; oportunistis.

Dibatasi oleh peraturan-peraturan; pendelegasian sangat terbatas.

Pemaksaan Luas sekali; pembatasannya lemah (kurang terkendali)

Dikontrol oleh pembatasan-pembatasan hukum.

Moralitas

Moralitas komunal; morali-tas hukum; moralitas pemaksaan (pengawasan).

Moralitas kelembagaan, sangat memperhatikan integritas proses hukum.

Kaitan politik Hukum tunduk pada politik dan kekuasaan.

Hukum “bebas” dari politik; ada pemisahan kekuasaan.

Harapan terhadap kepatuhan tanpa syarat; jika tidak taat harus dihukum sebagai pembangkangan

Penyimpangan aturan dapat dibenarkan secara hukum, misalnya untuk mengkaji validitas undang-undang dan peraturan.

Partisipasi

Tunduk dan patuh; kritik dianggap tidak loyal.

kemungkinan dibatasi oleh prosedur, yang ada; terbuka munculnya kritik hukum.

Hukum responsif adalah hukum yang mampu mengatasi ketegangan-

ketegangan akibat terjadinya perubahan sosial. Agar hukum menjadi responsif, sistem

hukum dalam banyak hal hendaknya terbuka terhadap tantangan-tantangan yang ada

dalam masyarakat. Sistem hukum juga harus mampu mendorong partisipasi

masyarakat dan selalu sigap menyikapi setiap kepentingan yang baru muncul dalam

masyarakat.

Jika bagan di atas dikembangkan untuk menandai tipe hukum responsif ini,

maka akan tampak seperti bagan di bawah ini.

Tipe Responsif Tujuan hukum Kompetensi Legitimasi Keadilan subtantif

Page 27: penelitian legislasi nasional

Peraturan Tunduk kepada prinsip dan kebijaksanaan Penalaran, alasan (reasoning)

Bertujuan; perluasan kompetensi kognitif

Diskresi (kebijakan) Banyak sekali dipakai; tetapi demi tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pemaksaan Pencarian alternatif secara positif, misalnya insentif, sistem-sistem kewajiban swasembada

Moralitas Moralitas rakyat; “moralitas kerja sama” Kaitan politik Aspirasi-aspirasi hukum dan politik berintegrasi; pembauran

kekuasaan Harapan terhadap Kepatuhan

Tidak taat dilihat sebagai kerugian substantif; dipandang sebagai pengajuan isu tentang legitimasi

Partisipasi Kemungkinan diperluas oleh integrasi kepengacaraan hukum dan sosial (bantuan hukum struktural)

Tipe hukum menindas (represif) adalah hukum yang mengabdi kepada

kekuasaan yang represif. Tipe hukum ini praktis tanpa legitimasi sama sekali. Orang

menaatinya karena dibayang-bayangi oleh ketakutan terhadap penguasa yang keras

dan kasar. Sifat represif dari hukum itu semata-mata bertujuan untuk memelihara

stabilitas sosial.

Tipe kedua, yaitu hukum otonom jelas lebih baik daripada tipe pertama karena

ia mampu menjinakkan sifat represif dari kekuasaan itu demi melindungi integritas

hukum itu sendiri. Tipe hukum otonom sudah memiliki legitimasi sebagai hukum.

Legitimasi ini didasarkan pada gagasan bahwa stabilitas sosial itu baru memiliki

keabsahan secara hukum apabila penggunaan kekuasaan diawasi menurut prinsip-

prinsip konstitusional, prosedur-prosedur formal, dan institusi peradilan yang bebas.

Tipe kedua di atas sudah baik, namun dikhawatirkan apabila hukum hanya

dijalankan secara formalitas demikian, maka keadilan yang dicapai juga hanya keadilan

formal belaka. Untuk itu perlu ada tipe hukum ketiga yang bertujuan melayani

kebutuhan riil masyarakat, atau dengan perkataan lain ia lebih sebagai “problem

solver”. Keadilan yang ingin dicapai adalah keadilan material (substantif).

Nonet dan Selznick mengatakan, bahwa tipe hukum menindas tidak mungkin

dapat lepas dari permasalahan “legitimasi” yang dihadapinya, kecuali ia bergerak

mengubah dirinya menuju hukum otonom. Selanjutnya, tipe hukum otonom juga tidak

akan mampu mengatasi problema “formalitas hukum” yang dihadapinya dan menuju

ke arah tipe hukum responsif.

Page 28: penelitian legislasi nasional

D. Kerangka Orientasi Berpikir Yuridik dalam Prolegnas Sumber hukum, baik dalam arti material maupun formal, memiliki peran

penting dalam kelangsungan suatu sistem hukum yang modern. Sumber hukum dalam

arti material memberikan dukungan substansial bagi eksistensi sistem hukum. Nilai-

nilai yang bermuatan filosofis dan sosiologis, termasuk di dalamnya aspek historis,

ekonomi, budaya, politis, merupakan kontributor utamanya. Sementara itu, sumber

hukum dalam arti formal merupakan wadah yang sistematis dalam rangka konkretisasi

nilai-nilai itu. Konkretisasi tersebut mengubah nilai-nilai yang masih abstrak itu ke

dalam wujud norma-norma agar dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat, bangsa,

dan negara. Mengingat nilai-nilai yang merupakan sumber hukum dalam arti material

itu masih terlalu abstrak, maka tidak mudah untuk ditetapkan. Hal ini berbeda dengan

sumber hukum dalam arti formal. Setelah jaman Hindia Belanda, sebenarnya pedoman penyusunan sumber hukum dalam arti formal (sumber formal hukum) itu telah dibuat, tetapi konsistensinya belum dapat berjalan dengan baik. Bahkan, situasinya menjadi lebih buruk pada era 1960-an, tatkala bermunculan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih. Ada peraturan presiden, penetapan presiden, keputusan presiden, instruksi presiden, dan berbagai penamaan lainnya di tingkat lebih bawah, yang satu sama lain tidak jelas batas-batas pembedaannya.

Tumpang tindih bentuk-bentuk peraturan itu akhirnya dicoba diatasi dengan

munculnya Ketetapan MPRS XX/MPRS/1966. Dalam ketetapan ini diatur kembali tata

urutan peraturan perundang-undangan itu, meskipun oleh banyak pihak, antara lain

oleh Hamid S. Attamimi (1990), Tap MPRS XX/MPRS/1966 itu dinilai banyak sekali

mengandung kelemahan. Kelemahan ini memang disadari benar, sehingga dalam

Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978,

diamanatkan kepada lembaga tertinggi negara untuk menyempurnakannya. Kendati

baru pada tahun 2000 penyempurnaan itu dilaksanakan, dalam kenyataannya

Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 telah ikut mendorong ke arah tertib peraturan

perundang-undangan. Ketetapan ini juga diikuti dengan ketetapan MPRS lainnya

berkenaan dengan penertiban itu, sehingga cukup banyak peraturan presiden dan

penetapan presiden yang dicabut atau diubah bentuknya menjadi undang-undang (lihat

Darmodiharjo & Shidarta, 1996).

Selama Orde Baru, bentuk-bentuk itu relatif cukup konsisten dipakai. Hanya

saja, konsistensi tersebut lebih banyak ditekankan dari aspek formal. Artinya, dari sudut

materi muatannya, konsistensi itu masih perlu dipertanyakan. Sebagai contoh, masih

cukup banyak aturan-aturan tentang penggalian dana dari masyarakat yang tidak

Page 29: penelitian legislasi nasional

diatur dalam peraturan berbentuk undang-undang, tetapi cukup dengan keputusan

presiden, atau bahkan keputusan menteri. Padahal, Pasal 23 UUD 1945 telah

menegaskan bahwa segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan undang-

undang. Jika ada peraturan yang lebih rendah yang mengatur tentang pungutan, maka

peraturan itupun harus merupakan penjabaran atau merujuk pada undang-undang

tertentu. Pungutan jelas hanya boleh dilakukan oleh negara berdasarkan undang-

undang. Pengejawantahan “negara” di sini adalah pemerintah, baik yang ada di tingkat

pusat maupun daerah. Badan usaha yang bersifat privat, misalnya yayasan, jelas tidak

dapat dibenarkan untuk ikut memungut dana dari masyarakat.

Berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, tata urutan peraturan

perundang-undangan yang sebelumnya telah diatur dalam Ketetapan MPRS No.

XX/MPRS/1966 itu akhirnya dicabut. Cukup banyak substansi yang menarik dalam

Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tersebut. Jika dalam Ketetapan MPRS No.

XX/MPRS/1966 tidak disinggung sama sekali tentang otonomi daerah, maka Ketetapan

MPR No. III/MPR/2000 ini memasukkan unsur ini. Peraturan daerah disebutkan secara

tegas sebagai peraturan perundang-undangan juga.

Pembuatan peringkat peraturan perundang-undangan demikian itu, sekilas

mengacu kepada aliran filsafat hukum yang disebut Positivisme Hukum. Namun tidak

dapat pula secara terburu-buru dikatakan bahwa aliran filsafat hukum di Indonesia

adalah Positivisme Hukum. Ada banyak indikator yang menunjukkan aliran ini

menjumpai penolakan-penolakan (lihat Kusumaatmadja, 1975; Darmodiharjo &

Shidarta, 1996).

Setelah mempertimbangkan banyak grand theories dengan sudut pendekatan

yang berbeda satu dengan lainnya, dan dikaitkan dengan kepentingan Program

Legislasi Nasional dalam rangka pembangunan substansi hukum yang responsif, maka

timbul pertanyaan tentang konsepsi hukum seperti apa yang seharusnya dijadikan

kerangka acuan. Dengan perkataan lain, kerangka orientasi berpikir yuridik seperti apa

yang paling tepat untuk kebutuhan Indonesia saat ini?

Apabila aliran-aliran filsafat hukum sebagai grand theories tersebut dikorelasikan

dengan kebutuhan Indonesia saat ini, maka sebagai konsekuensinya aliran-aliran dalam

tataran makro itu harus diderivasi menjadi teori-teori di tingkat middle-range.

Page 30: penelitian legislasi nasional

Tidak banyak ahli hukum Indonesia yang pernah menyinggung tentang

kebutuhan penelaahan aliran filsafat hukum sebagai kerangka orientasi berpikir yuridik

kita. Salah seorang dari sedikit ahli hukum dimaksud adalah Mochtar Kusumaatmadja

(1975). Ia secara cukup berhasil memasukkan konsep “hukum sebagai sarana

pembaruan masyarakat”-nya ke dalam GBHN 1973, namun sayangnya konsep ini

ternyata tidak cukup bergema di kalangan fungsionaris hukum Indonesia, khususnya

apabila dikaitkan dengan kebutuhan untuk menjalankan Program Legislasi Nasional.

Untuk dapat menetapkan Program Legislasi Nasional yang sesuai dengan cita

hukum Indonesia, jelas tidak mudah. Untuk itu, tataran yang paling makro harus

ditetapkan terlebih dulu. Tampaknya, kecenderungan Mochtar Kusumaatmadja (1975)

ke arah pendekatan Sociological Jurisprudence dapat dielaborasi kembali sebagai suatu

pilihan yang paling tepat untuk kondisi Indonesia saat ini. Secara mutatis mutandis cara

berpikir Sociological Jurisprudence dapat dialihkan menjadi konsep pembangunan hukum

Indonesia, khususnya dalam rangka melaksanakan Program Legislasi Nasional. Untuk

memahami konsep berpikir tersebut, beberapa tulisan Mochtar Kusumaatmadja dapat

diuraikan kembali di bawah ini.

Mochtar secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai alat (tool)

menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangun masyarakat. Pokok-

pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah sebagai berikut:

1. bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan

memang diinginkan, bahkan mutlak perlu;

2. bahwa hukum dalam arti kaidah diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia

ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaruan itu.

Untuk itu diperlukan sarana berupa peraturan hukum tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi), dan hukum yang berbentuk tidak tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Meskipun Mochtar menegaskan bahwa gagasannya juga dipengaruhi oleh

faktor-faktor yang berakar pada sejarah bangsa, menurut Soetandyo Wignjosoebroto

(1994), Mochtar tidak terlampau percaya bahwa budaya, tradisi, dan hukum asli rakyat

pribumi harus dilestarikan seperti yang pernah dilakukan pada masa-masa pemerintah

kolonial. Kebijakan seperti itu meminjam kata-kata Raymond Kennedy --- merupakan

Page 31: penelitian legislasi nasional

kebijakan anti-acculturation yang tidak mendatangkan kemajuan apa-apa, sedangkan

introduksi hukum Barat dengan tujuan-tujuan yang terbatas pun kenyataannya hanya

berdampak kecil untuk proses modernisasi (Indonesia) secara keseluruhannya. Untuk

itu, Mochtar mengusulkan agar pembangunan hukum nasional di Indonesia hendaklah

tidak secara tergesa-gesa dan terlalu pagi membuat keputusan, antara meneruskan saja

tradisi hukum kolonial berdasarkan pola-pola pemikiran Barat, atau untuk secara

apriori mengembangkan hukum adat sebagai hukum nasional (Wignjosoebroto, 1994).

Sebelum memutuskan apa yang hendak dikembangkan sebagai hukum nasional,

Mochtar menganjurkan agar dilakukan penelitian-penelitian terlebih dulu untuk

menentukan bidang hukum apa yang perlu diperbarui, dan bidang (ranah) apa yang

dibiarkan berkembang sendiri. Mochtar melihat, bahwa untuk hukum-hukum yang

tidak netral, pembangunannya diupayakan sedekat mungkin berhubungan dengan

budaya dan kehidupan spiritual bangsa. Di sisi lain, untuk bidang hukum lain, seperti

kontrak, badan usaha, dan tata niaga, dapat diatur melalui hukum perundang-

undangan nasional. Untuk ihwal lain yang lebih netral—seperti komunikasi, pelayaran,

pos dan telekomunikasi—model yang telah dikembangkan dalam sistem hukum asing

pun dapat saja ditiru.

Soetandyo Wignjosoebroto (1994) mengatakan bahwa ide Mochtar tentang

kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang terbatas, ialah kodifikasi yang terbatas

secara selektif pada hukum yang tidak hendak menjamah ranah kehidupan budaya dan

spiritual rakyat (setidak-tidaknya untuk sementara ini), telah menjadi bagian dari

program kerja Badan Pembinaan Hukum Nasional bertahun-tahun lamanya.

Soetandyo lebih jauh mencatat, bahwa dalam perkembangannya tidak semua

ahli hukum sependapat dengan pengembangan hukum nasional dengan cara

mengembangkan hukum baru atas dasar prinsip-prinsip yang telah diterima dalam

kehidupan internasional, dengan maksud untuk memperoleh sarana yang berdayaguna

guna membangun infrastruktur politik dan ekonomi nasional --- dengan membiarkan

untuk sementara infrastruktur sosial budaya yang tidak netral atau belum dapat

dinetralkan. Pihak-pihak yang tidak setuju ini berpendapat, upaya demikian terlalu

menyimpang dari tradisi.

Page 32: penelitian legislasi nasional

Ada dua golongan yang tidak setuju. Pertama, mereka yang percaya harus ada

kontinuitas perkembangan hukum dari yang lalu (kolonial) ke yang kini (nasional).

Golongan kedua adalah mereka yang percaya bahwa hukum nasional harus berakar

dan berangkat dari hukum rakyat yang ada, yaitu hukum adat. Dengan mengutip John

Ball dalam bukunya berjudul Indonesian Law Commentary and Teaching Materials (1985)

dan The Struggle or National in Indonesia (1986), golongan pertama ini antara lain tokoh-

tokoh pengacara di Jakarta, seperti Adnan Buyung Nasution, Sulistio, dan (?) Yap

Thiam Hien. Golongan kedua, merupakan kelanjutan dari gerakan yang telah berumur

tua, dengan perintisnya yaitu Soepomo. Menurut Ball, pada era Orde Baru, golongan

kedua ini sudah kehilangan pencetus-pencetus ide barunya yang mampu bersaing.

Beberapa nama yang dapat disebut adalah (almarhum) Djojodigoeno dan M. Koesno.

Suatu tanggapan yang lain mengenai gagasan Mochtar, datang dari S. Tasrif. Ia

mengingatkan agar pembinaan hukum tidak diarahkan untuk menghasilkan

perundang-undangan baru belaka, tetapi seharusnya juga menghasilkan perundang-

undangan yang tidak mengenyampingkan hak asasi manusia dan martabat manusia,

sehingga slogan rule of law pada hakikatnya akan menjadi rule of just law

(Kusumaatmadja, 1975).

Pendapat S. Tasrif ini perlu untuk digarisbawahi. Hal ini juga sebenarnya

disadari sepenuhnya oleh Mochtar Kusumaatmadja, dengan mengatakan bahwa

pembinaan hukum nasional secara menyeluruh menghadapi tiga kelompok masalah

(problem areas), yaitu (1) inventarisasi dan kepustakaan hukum, (2) media dan personil

(unsur manusia), dan (3) perkembangan hukum nasional. Kelompok masalah ketiga,

perkembangan hukum nasional, dapat dibedakan dalam dua masalah, yaitu (1) masalah

pemilihan bidang hukum mana yang hendak dikembangkan, dan (2) masalah

penggunaan model-model asing.

Berdasarkan uraian dan pertimbangan yang sangat logis seperti diungkapkan di

atas, maka harus diakui bahwa konsep hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat

merupakan konsep pembangunan hukum (termasuk Prolegnas), atau tegasnya aliran

filsafat hukum yang paling tepat dan relevan untuk kondisi saat ini. Aliran ini memang

tidak sepenuhnya mirip lagi dengan pemikiran awal Roscoe Pound, sehingga dapat saja

Page 33: penelitian legislasi nasional

dikatakan bahwa aliran yang kita anut tersebut sebagai Sociological Jurisprudence yang

telah dimodifikasi, disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia.

Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh aliran Sociological Jurisprudence di

Indonesia terletak pada: seberapa jauh pembentukan peraturan perundang-undangan

baru (dalam bidang-bidang hukum yang dianggap netral itu) telah diantisipasi

dampaknya bagi masyarakat secara keseluruhannya. Untuk itu ada tiga catatan yang

dapat diberikan.

Pertama, harus disadari bahwa bagaimanapun hukum merupakan suatu sistem,

yang keseluruhannya tidak lepas dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk

itu, pengembangan satu bidang hukum (yang dikatakan netral sekalipun) juga akan

berpengaruh pula ke bidang-bidang hukum lainnya. Sebagai contoh, peraturan

perundang-undangan di bidang penanaman modal, memiliki keterkaitan dengan

hukum pertanahan, yang di Indonesia belum dapat disebut sebagai bidang yang netral.

Dalam kenyataannya, di Indonesia hal ini merupakan suatu kelemahan pula, terutama

untuk peraturan di bawah undang-undang. Banyak sekali peraturan yang tidak dibuat

dalam pola pikir hukum sebagai suatu sistem itu, sehingga implikasi ke bidang hukum

lain tidak dapat diantisipasi.

Kedua, penetapan tujuan hukum yang terlalu jauh dari kenyataan sosial

seringkali menyebabkan dampak negatif yang perlu diperhitungkan. Artinya, unsur

social engineering dalam konsep Sociological Jurisprudence tersebut harus diperhitungkan

secara tepat agar instabilitas sosial tidak terjadi karena ada ketidaksiapan secara

sosiologis. Reaksi keras terhadap UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan adalah salah satu contoh yang baik dalam hal ini.

Ketiga, konsep social engineering tidak boleh berhenti pada penciptaan peraturan

tertulis belaka karena hukum tertulis seperti itu selalu mengalami keterbatasan. Konsep

ini memerlukan peranan aparat penegak hukum yang profesional, untuk memberi jiwa

pada kalimat-kalimat yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

Dari ketiga catatan tersebut, segera tampak bahwa penelitian yang mendalam

terhadap unsur-unsur sistem hukum Indonesia sangat prinsipiil dilakukan. Tanpa ada

penelitian yang mendalam tidak akan diketahui pasti seperti apa living law yang ada,

dan bagaimana program legislasi tersebut harus dilakukan secara akurat. Penelitian

Page 34: penelitian legislasi nasional

mendalam ini mencakup analisis terhadap aturan-aturan yang masih berlaku guna

dilakukan penjajakan untuk diadakan pencabutan atau perubahan, atau bahkan untuk

mengantisipasi pembentukan peraturan-peraturan bidang hukum yang baru.

Sejak awal telah digarisbawahi, bahwa kerangka orientasi berpikir yuridik

berupa aliran Sociological Jurisprudence yang telah diterjemahkan dalam konteks

keindonesiaan, menggariskan bahwa hukum positif yang ingin dibangun adalah hukum

positif sebagai produk lembaga-lembaga negara yang berwenang. Pendekatan demikian

merupakan pendekatan prosedural. Sekalipun demikian, dari sudut substansial, produk

hukum itu mendahulukan arus bottom-up yang mendekati karakteristik berpikir Mazhab

Sejarah. Dari dimensi ini, materi hukumnya haruslah sesuai dengan nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat, yang dipandu melalui “Leitstern” Pancasila. Oleh karena

rumusan materi yang sesuai dengan nilai-nilai living law tersebut sangat abstrak, maka

dalam aspek proseduralnya, diupayakan agar pembentukan hukum itu senantiasa

bersifat responsif.

Di sisi lain, Sociological Jurisprudence juga menempatkan hukum sebagai sarana

pembaruan masyarakat. Corak ini sebenarnya menyimpang dari pendekatan bottom-up

tersebut, sehingga dapat saja pendekatan ini lalu digunakan secara artifisial untuk

menutupi kepentingan-kepentingan pemegang kekuasaan seperti karakter Positivisme

Hukum. Oleh karena itu, penempatan skala prioritas, dengan menunjuk pada

pembidangan hukum netral dan nonnetral menjadi penting untuk dikemukakan. Untuk menuntun pembentukan peraturan perundang-undangan, van der Villes mencatat sebelas asas yang harus diperhatikan (Manan, 1994). Uraian dari sebelas asas tersebut adalah sebagai berikut:

1. Asas tujuan atau sasaran yang jelas

Setiap undang-undang harus mencerminkan secara jelas tujuan atau sasaran yang

hendak dicapai. Tujuan tersebut adalah kebijakan-kebijakan umum dan khusus

yang ada dalam bidang yang diatur, baik sekarang maupun untuk masa mendatang.

Termasuk di dalam pengertian ini adalah akibat (seperti beban masyarakat atau

negara) yang akan ditimbulkan oleh undang-undang itu.

2. Asas organ yang tepat

Undang-undang harus dibuat oleh organ yang tepat, dalam arti memang berwenang

untuk itu. Di sini terkait masalah hubungan kesesuaian antara materi muatan

undang-undang dan bentuk formal undang-undang.

Page 35: penelitian legislasi nasional

3. Asas keperluan

Undang-undang harus dibuat berdasarkan keperluan. Undang-undang bukan satu-

satunya instrumen dalam melaksanakan suatu kebijakan atau memecahkan

masalah, sehingga masih terbuka kemungkinan digunakan instrumen lain yang

lebih efisien dan efektif. Suatu undang-undang diperlukan, misalnya, jika dengan

instrumen lain dipertimbangkan akan menimbulkan beban lebih besar atau

membatasi hak-hak warga yang bersifat mendasar.

4. Asas dapat dilaksanakan

Undang-undang dibuat dengan memperhitungkan kemungkinan pelaksanaannya.

Suatu undang-undang menjadi tidak mungkin dilaksanakan jika menimbulkan

reaksi keras (penolakan) dari sebagian besar masyarakat atau menciptakan beban

terlalu berat bagi pemerintah.

5. Asas konsensus

Undang-undang adalah produk kesepakatan dari berbagai unsur masyarakat. Dari

konteks ini, diartikan bahwa undang-undang itu harus responsif, yakni

mengakomodasikan seluas mungkin masukan-masukan dari semua komponen

masyarakat.

6. Asas keutuhan

Undang-undang harus mencerminkan satu kebulatanyang utuh yang berisi segala

aspek yang diperlukan pada saat pelaksanaannya. Pendekatan sistematis dalam

pembentukan undang-undang menjadi titik berat dalam asas ini. Dengan demikian,

tidak akan terjadi kontradiksi antara ketentuan-ketentuan dalam undang-undang

itu, atau kontradiksi dengan undang-undang lain yang lebih tinggi atau yang sejajar.

7. Asas kejelasan terminologi dan sistematika

Kejelasan suatu undang-undang dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan

membuat penjelasan, pemilihan kata yang tepat, dan mempertahankan konsistensi

peristilahan.

8. Asas dapat dikenali

Setiap undang-undang pada dasarnya harus dapat diketahui secara wajar oleh yang

berkepentingan. Asas ini dilaksanakan dengan cara-cara seperti pengundangan atau

publikasi lainnya.

Page 36: penelitian legislasi nasional

9. Asas persamaan di depan hukum

Undang-undang tidak boleh memuat ketentuan yang memungkinkan perbedaan

perlakuan secara sewenang-wenang. Perbedaan perlakuan hanya dibenarkan kalau

dilakukan demi kepentingan orang atau kelompok yang dibedakan (positive

discrimination).

10. Asas kepastian hukum

Undang-undang harus menjamin kepastian hukum. Kepastian ini dapat diperoleh

dengan beberapa cara, misalnya: (1) peraturan itu harus dirumuskan dengan jelas

dan tepat, (2) perubahannya harus mempertimbangkan dengan baik kepentingan

orang yang terkena dan pengaturan pealihan yang cukup dan memadai.

11. Asas memperhatikan keadaan individu dalam pelaksanaan hukum

Pada saat pembuatannya harus diperhitungkan keadaan-keadaan khusus yang

mungkin dihadapi dalam pelaksanaannya. Untuk mengantisipasi keadaan khusus

tersebut, dalam undang-undang itu dapat ditentukan: (1) pemberian kewenangan

kepada aparat administrasi negara untuk membuat keputusan dalam menghadapi

keadaan-keadaan khusus tadi, (2) pemberian kemungkinan kepada aparat

administrasi negara menyimpangi ketentuan yang ada dalam menghadapi keadaan-

keadaan khusus, dan (3) perlindungan hukum terhadap tindakan aparat

administrasi negara yang akan mempunyai akibat langsung terhadap kedudukan

hukum dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Berdasarkan petunjuk-petunjuk yang muncul dari Batang Tubuh UUD 1945,

wawasan negara berdasar atas hukum (Rechtsstaat), dan wawasan pemerintahan

berdasarkan sistem konstitusi (konstitusinalisme), maka A. Hamid Attamimi

(Soeprapto, 1998) menyebutkan sembilan butir materi muatan undang-undang, yakni

hal-hal yang:

1. secara tegas diperintahkan oleh UUD dan Tap MPR;

2. mengatur lebih lanjut ketentuan UUD;

3. mengatur hak-hak (asasi) manusia;

4. mengatur hak dan kewajiban warga negara;

5. mengatur pembagian kekuasaan negara;

6. mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara;

Page 37: penelitian legislasi nasional

7. mengatur pembagian wilayah/daerah negara;

8. mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan;

9. dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk juga diatur dengan undang-undang.

Menurut A. Hamid S. Attamimi, rincian butir-butir di atas menunjukkan “pena-

pena penguji” (testpennen) untuk menguji apakah suatu materi peraturan perundang-

undngan negara termasuk materi muatan undang-undang atau tidak. Artinya, apabila

masalah yang akan diatur sesuai dengan kesembilan butir di atas, bentuk yang tepat

adalah undang-undang (dalam arti formal), sementara jika tidak sesuai, dapat dipilih

bentuk lain, misalnya dengan keputusan Presiden.

Kerangka berpikir seperti diuraikan di atas seharusnya menjadi acuan penting bagi

penyusunan skala prioritas, baik yang diajukan oleh Propenas, BPHN, Baleg DPR,

maupun LoI.

Page 38: penelitian legislasi nasional

BAB III

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

Bab III akan memaparkan hasil penelitian program legislasi nasional pada

instansi-instansi yang telah mempunyai dan mempengaruhi program legislasi

nasional secara keseluruhan. Instansi-instansi yang dimaksud adalah BPHN dari sisi

lembaga eksekutif, Baleg DPR dari sisi lembaga legislatif, Letter of Intent sebagai

kekuatan asing yang dapat mempengaruhi program legislasi nasional tersebut, dan

Propenas (UU No. 25 Tahun 2000) sebagai perwujudan kompromi dari berbagai

kepentingan di atas.

A. Program Legislasi BPHN

Penyusunan prioritas program legislasi nasional yang dilakukan oleh BPHN

selalu diupayakan untuk mengakomodasi seluruh kepentingan departemen

teknis/lembaga non departemen. Sehingga peran BPHN lebih kepada koordinator dari

instansi-instansi yang memiliki program legislasi di lingkungan Pemerintah.

1. Mekanisme Pembentukan

Mekanisme pembentukan progral legislasi nasional yang dilakukan oleh BPHN adalah sebagai berikut:

1. Setiap Departemen/LPND mengajukan prolegnas,

2. BPHN menerima semua usulan prolegnas dari Departemen/LPND.

3. BPHN mengadakan seleksi dari prolegnas yang diajukan oleh Departemen/LPND

dengan mempertimbangkan secara teknis sebagai berikut:

a. RUU yang telah disampaikan ke Sekneg.

b. RUU yang telah mendapat izin prakarsa dari Prersiden.

c. RUU yang telah duilakukan pembahasannya di tingkat Departemen/LPND.

d. RUU yang telah ada naskah akademiknya.

Page 39: penelitian legislasi nasional

e. RUU yang telah menjadi program prioritas dari masing-masing instansi/

lembaga.

4. Pada akhir tahun BPHN melakukan rapat pembahasan tahunan prolegnas dengan

melibatkan seluruh biro-biro hukum departemen dan LPND, DPR RI, dan LSM

(organisasi profesi dan kemasyarakat) untuk mendiskusikan dan mengkaji

prolegnas yang diusulkan oleh Departemen/LPND.

5. Rapat pembahasan tahunan yang dilaksanakan oleh BPHN menghasilkan

prolegnas tahunan dengan mempertimbangkan secara substansi sebagai berikut:

a. Keterkaitan substansi RUU dengan ketentuan UU lainnya (yang sudah

dibentuk)

b. Substansi RUU yang mendukung pemulihan ekonomi.

c. Substansi RUU yang mendukung proses demokratisasi.

d. Substansi RUU yang berasal dari zaman Hindia Belanda.

e. Substansi RUU yang berhubungan dengan masalah gender.

f. Substansi RUU yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

6. Hasil prolegnas tahunan BPHN selanjutnya diserahkan ke Bappenas sebagai

masukan bagi penyempurnaan rancangan REPETA.

MEKANISME PEMBENTUKAN PROLEGNAS BPHN

Bappenas mewakili Pemerintah membawa usulan RUU dan REPETA di atas kepada DPR untuk dibahas dan disahkan mejadi undang-undang.

2. Program Pencabutan, Perubahan, dan Pembentukan UU

Departemen/LPND BPHN Bappenas

1. Membuat naskah akademik 2. Membuat RUU 3. Mengusulkan Prioritas

RUU ke BPHN

1. Menerima prioritas RUU dari Pemerintah

2. Rapat Pembahasan tahunan untuk menyusun prolegnas

3. Mengusulkan prioritas prolegnas ke Bappenas

1. Menerima prioritas prolegnas dari Pemerintah yang dikoordinir oleh BPHN

2. Menyeleksi prolegnas RUU sebagai pertimbangan dalam menyusun REPETA

Page 40: penelitian legislasi nasional

Adapun prioritas yang disusun BPHN tentang UU mana saja yang harus

dicabut, diubah dan dibentuk berdasarkan indikator yang ditetapkannya seperti

tercantum dalam lampiran 1.

Dari 191 RUU yang diajukan BPHN, dalam REPETA pada tahun 2002 yang

berjumlah 51 RUU, semuanya merupakan bagian dari RUU yang diajukan oleh

BPHN atau sebesar 26,7%. Sampai dengan bulan April 2002, tidak satu pun

diantara target tersebut yang sudah menjadi undang-undang, bahkan di tingkat

pembahasan pun tidak ada dari daftar dalam REPETA tersebut yang telah masuk

dalam agenda DPR.

B. Badan Legislasi DPR

Badan Legislasi merupakan suatu alat kelengkapan yang relatif baru di DPR.

Dalam menjalankan tugasnya, Badan Legislasi berpedoman pada pasal 46, dan pasal 192

ayat (2) Tata Tertib DPR-RI. Berdasarkan pasal 192 ayat (2) tata tertib DPR RI, Badan

Legislasi di bantu oleh Tim Asistensi dari Sekretariat Jenderal yang berada dibawah

koordinasi Asisten I Bidang Perundang-undangan.

1. Mekanisme Pembentukan

Konsep awal program pembahasan RUU yang akan di bahas oleh DPR dan

Pemerintah untuk masa tahun 1999-2004 disusun oleh Tim Asistensi berdasarkan

masukan antara lain dari:

1. Komisi-komisi DPR RI tahun 1992-1997;

2. Komisi-komisi DPR-RI tahun 1997-1999;

3. Inventaris RUU Usul Inisiatif DPR-RI 1997-1999;

4. SIUM MPR-RI 1999;

5. Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (P3I) Setjen DPR-RI;

6. Bagian Hukum Setjen DPR-RI;

7. BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan

8. Sekretariat Negara.

Berdasarkan masukan-masukan tersebut, Badan Legislasi DPR-RI telah

menyusun daftar rancangan undang-undang yang diperkirakan akan dibahas oleh

DPR-RI dan Pemerintah dalam kurun waktu lima tahun. Jumlah RUU yang di

Page 41: penelitian legislasi nasional

prioritaskan dalam masa tahun 1999-2004 yang disusun oleh Badan Legislasi

berjumlah 225 buah RUU, yang meliputi:

1) Bidang politik 105 RUU;

2) Bidang kesra 41 RUU;

3) Bidang Ekkuinbang 79 RUU.

Dari jumlah tersebut, tidak tertutup kemungkinan adanya RUU yang

muncul sesuai dengan aspirasi masyarakat yang sifatnya segera harus di bahas,

walaupun tidak termasuk dalam daftar prioritas RUU. Untuk hal seperti ini Badan

Legislasi DPR-RI mengalokasikan sebanyak 10-20% dari RUU.

Penyusunan Prolegnas badan legislasi DPR-RI khususnya dalam rangka

menentukan prioritas rancangan undang-undang yang akan di bahas, didasarkan

pada berbagai hal, antara lain meliputi:

1. Pelaksanaan UUD 1945;

2. Pelaksanaan Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN;

3. Pelaksanaan persyaratan yang diberikan oleh IMF dalam perjanjian

internasional/Letter of Intent.

4. Pelaksanaan perjanjian internasional, misalnya HAM.

5. Perubahan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum Nasional yang

diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidak sesuaian dengan

tuntutan reformasi.

6. Pemenuhan kebutuhan masyarakat yang mendesak.

7. Keperluan untuk menjaga keutuhan bangsa.

8. Pemulihan ekonomi, keuangan/perbankan dan pembangunan.

9. Kesiapan pemerintah dan DPR dalam mengajukan dan membahas RUU serta

kesiapan pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan undang-undang.

Badan Legislasi menginventarisasi masalah hukum dan perundang-undangan serta menghimpun masukan dari komisi, fraksi, Pemerintah maupun non-Pemerintah. Setelah itu Badan Legislasi menyusun konsep perencanaan dan program RUU, kemudian membahas dan mengevaluasi konsep perencanaan dan program RUU, lalu meminta masukan dari komisi yang berhubungan dengan RUU yang di bahas. Dari sini kemudian ditetapkan prioritas lima tahunan dan satu tahunan. Prioritas ini lalu dikonsultasikan dengan pemerintah dan masyarakat melalui pimpinan DPR. Muncullah prioritas lima tahunan dan satu tahunan nasional yang

Page 42: penelitian legislasi nasional

kemudian di rekomendasikan ke komisi dan Bamus unutk kemudian di bahas oleh DPR dengan pemerintah berdasarkan prioritas satu tahun.

Saat ini telah dilakukan perubahan mekanisme tugas badan legislasi melalui perubahan tata tertib DPR-RI yang baru dalam pasal 41 sebagai respon terhadap kendala-kendala yang ditemui selama ini. Secara lengkap dapat dipaparkan mekasime kerja Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut:

Page 43: penelitian legislasi nasional

1. Tim Asistensi membantu badan legislasi dalam menyusun inventarisasi RUU,

pertimbangan dalam hal penentuan RUU dimaksud didasarkan atas kebutuhan

masyarakat dengan mengingat kondisi ideal, filosofi dan sosiologis.

2. Tim Asistensi membantu mencari sumber informasi baik dari masyarakat, fraksi

DPR-RI, pimpinan DPR-RI, komisi DPR-RI, anggota DPR RI maupun instansi

pemerintah seperti sekretariat negara dan BPHN.

3. Tim Asistensi membantu melakukan pengkajian, analisis, seminar dan

sebagainya termasuk meminta masukan dari para pakar.

4. Keseluruhan hasil kerja tim asistensi dilaporkan kepada Badan Legislasi DPR RI

5. Laporan tim asistensi menjadi bahan penetapan dalam penyusunan prioritas

RUU oleh badan Legislasi DPR-RI dengan memperhatikan adanya

perkembangan dan informasi lanjutan yang didapat oleh Badan Legislasi DPR RI

secara langsung dari berbagai pihak.

a. Mekanisme Penetapan Prioritas Rancangan Undang-undang

Adapun mekanisme penetapan prioritas RUU di Baleg DPR adalah sebagai berikut:

1. Tim Asistensi membantu melakukan pengkajian jumlah ideal prioritas

pembahasan RUU untuk masa lima tahunan dan satu periode persidangan

secara bertahap, dengan mendasarkan pada kebutuhan masyarakat.

2. Tim Asistensi membantu mengkaji secara materi (muatan) RUU yang ditetapkan

Badan Legislasi DPR RI dalam inventarisasi RUU dalam skala prioritas secara

kondisional yang didasarkan antara lain kepada:

a. kebijakan nasional sebagaimana tercantum dalam GBHN, TAP MPR, dan

kebijakan formal lainnya;

b. kesiapan pemerintah dan DPR dalam pengajuan dan pembahasan RUU;

c. kesiapan Pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan ketetapan UU.

Page 44: penelitian legislasi nasional

3. Hasil kajian Tim Asistensi menjadi pertimbangan oleh Badan Legislasi DPR RI

dalam menyusun prioritas RUU menurut DPR RI

4. Hasil tersebut di atas sebagai bahan pembicaraan dalam rapat konsultasi antara

Badan Legislasi DPR RI dengan pihak Pemerintah untuk menetapkan prioritas

RUU secara nasional, baik yang bersifat lima tahunan maupun satu tahunan.

5. Dalam menetapkan kebijkasanaan pengajuan secara prioritas, Badan Legislasi

DPR RI mempertimbangkan adanya pengajuan RUU tak terduga setiap

tahunnya lebih kurang 20%.

6. Penetapan prioritas RUU oleh Badan Legislasi DPR RI tersebut di atas

direkomendasikan kepada BAMUS dan Komisi DPR RI.

b. Mekanisme Penyiapan RUU Usul Inisiatif di Badan Legislasi dan

Pembahasan hingga menjadi undang-undang

Sedangkan mekanisme penyiapan RUU di Baleg DPR seperti yang digambarkan dalam bagan berikut:

1. Adanya usul inisiatif dari anggota DPR, komisi atau gabungan komisi;

2. Tim Asistensi menyusun dan menyempurnakan konsep RUU usul inisiatif, dan

mempresentasikan di depan rapat Badan Legislasi dan bidang yang bersangkutan

serta pengusul.

3. Tanggapan anggota Baleg atas hasil tim asistensi yang dilanjutkan dengan

pembentukan tim perumus.

4. Tim Perumus dan Tim Asistensi kemudian menyusun draf pertama

5. Tim Perumus dan tim Asistensi menjelaskan draft pertama tersebut untuk di

tanggapi oleh anggota Baleg.

6. Tim Perumus dan tim Asistensi meyusun draft kedua dan disampaikan kepada

anggota Baleg untuk di diskusikan dengan para pakar, pejabat pemerintah terkait

dan masyarakat.

7. Tim Perumus dan tim Asistensi menyusun draft ketiga dan dilaporkan kepada Baleg

untuk mendapat tanggapan selanjutnya Tim Perumus dan Tim Asistensi membuat

draft keempat.

8. Draft keempat diputuskan badan legislasi dan di setujui draft final RUU usul

inisiatif.

Page 45: penelitian legislasi nasional

9. RUU tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR RI dengan pengantar yang

ditandatangani para pengusul, untuk selanjutnya masuknya usul RUU inisiatif

tersebut diumumkan di dalam Rapat Paripurna, kemudian membagikan RUU

kepada seluruh anggota.

10. Pengusul kemudian memberikan penjelasan di dalam rapat Badan Musyawarah dan

rapat paripurna.

11. Fraksi-fraksi memberikan tanggapan yang dilanjutkan dengan pengambilan

keputusan.

12. RUU usul inisiatif tersebut kemudian di sempurnakan oleh Komisi atau Komisi

Gabungan atau Pansus.

13. Hasil penyempurnaan tersebut, oleh pimpinan DPR RI di sampaikan kepada

Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan meawkili

pemerintah dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR.

14. RUU yang disusun DPR dan disampaikan kepada Presiden, dilaporkan oleh

Sekretariat Negara disertai saran mengenai Menteri yang akan ditugasi untuk

mengkoordinasikan pembahasannya dengan Menteri terkait dan mengikut sertakan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

15. Pembicaraan RUU usul inisiatif di DPR RI antara DPR dengan Pemerintah.

16. RUU usul inisiatif kemudian disetujui oleh DPR dan disahkan menjadi undang-

undang oleh Presiden.

2. Program Pencabutan, Perubahan, dan Pembentukan UU

Karena setiap pencabutan, perubahan dan pembentukan UU selalu diajukan sebagai UU dalam persidangan DPR, maka gambaran program legislasi usul inisiatif DPR tergambar seperti pada lampiran 2.

Dari tabel prioritas UU yang diusulkan oleh Baleg DPR tersebut, terlihat

hanya sebanyak 23 RUU saja yang telah menjadi UU atau hanya sebesar 10,2%,

dengan perincian 10 UU di bidang Politik, 1 UU di bidang Kesra, dan 12 UU di

bidang Ekkuinbang. Ada 8 buah RUU yang sedang dibahas dalam masa sidang DPR

tahun ini, dan 2 RUU lainnya sudah disahkan tetapi belum dimasukkan dalam

Lembaran Negara.

Bidang ekonomi mendapatkan porsi terbesar dalam pengesahan UU, dan

menarik untuk diamati adalah 6 diantaranya atau 7,6% diantaranya adalah UU yang

Page 46: penelitian legislasi nasional

merupakan perintah IMF untuk segera dilakukan dalam rangka pencairan dana

pinjaman.

C. Program Letter of Intent (LoI)

Ada 13 Letter of Intent yang dibuat Pemerintah Indonesia yang ditujukan kepada IMF mengenai dasar kebijakan perekonomian yang telah dan akan diambil yaitu: 1. Letter of Intent Tanggal 31 Oktober 1997,

2. Letter of Intent Tanggal 15 Januari 1998,

3. Letter of Intent Tanggal 24 Juni 1998,

4. Letter of Intent Tanggal 4 Agustus 1998,

5. Letter of Intent Tanggal 11 September 1998,

6. Letter of Intent Tanggal 19 Oktober 1998,

7. Letter of Intent Tanggal 14 November 1998,

8. Letter of Intent Tanggal 16 Maret 1999,

9. Letter of Intent Tanggal 14 Mei 1999,

10. Letter of Intent Tanggal 22 Juli 1999,

11. Letter of Intent Tanggal 27 Agustus 2001,

12. Letter of Intent Tanggal 13 Desember 2001, dan

13. Letter of Intent Tanggal 9 April 2002.

Semua LoI di atas, menggunakan parameter yang hampir bersamaan. Karena itu

berikut ini akan dipaparkan indikator-indikator yang mencerminkan program legislasi

nasional:

1. Umum .

Berdasarkan perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini dan juga dilandasi semangat

optimisme akan adanya perubahan yang positif pada masa-masa mendatang maka

defisit tahun 2002 ditargetkan 2,5% APBN yang turun dari sebelumnya 3,7%.

Sedangkan inflasi ditargetkan mencapai satu digit pada akhir 2002. Adapun target

pertumbuhan ekonomi adalah 3-4%.

Untuk mencapai stabilitas ekonomi makro akan dicapai melalui reformasi sektor

keuangan, privatisasi perusahaan negara, pengembalian asset yang ditangani

BPPN, dan menciptakan stabilitas hukum dan pemerintahan.

Page 47: penelitian legislasi nasional

2. Kebijakan Moneter.

Untuk mencapai target-target yang telah ditentukan di atas, maka sektor moneter

pun harus menyesuaikan diri antara lain BI harus mengurangi pertumbuhan

berdasarkan uang dari 20% selama 12 bulan menjadi 12-14% pada akhir 2002, suku

bunga didasarkan pada suku bunga nyata yang positif, dan upaya

mengamendemen Undang-Undang Bank Sentral, yang targetnya adalah dibuatnya

rekomendasi para ahli pada April 2002.

3. Kebijakan Fiskal

Tujuan kebijakan di bidang fiskal adalah pengurangan utang publik. Untuk itu

Pemerintah melakukan konsolidasi fiskal melalui peningkatan pendapatan 1-2%

dari APBN dari pajak non minyak. Hal ini akan dilakukan dengan membentuk

“large taxpayer office”, dan membentuk sistem dan prosedur baru yang ditargetkan

pada bulan Juli 2002.

Masih berkaitan dengan kebijakan fiskal, maka akan dilakukan kebijakan untuk

mengurangi subisidi BBM dan listrik, dengan rincian pengurangan subsidi BBM

dari 2,8% menjadi 1,8% dari APBN. Untuk itu Pemerintah akan menaikkan harga

30% pada Januari 2002.

Upaya lainnya adalah mengupayakan pendapatan pajak 25% dari pendapatan

domestik. Disamping itu, upaya pengembalian aset publik ditargetkan mencapai

2,9% dari APBN untuk penjualan aset total yang dikuasai BPPN.

Untuk mengurangi utang publik ini, maka pembiayaan asing diturunkan dari 1,4%

pada anggaran 2001 menjadi 1,1% pada anggaran 2002.

4. Desentralisasi

Dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah, maka Pemerintah berencana akan

men-transfer 2 juta pekerja ke daerah. Dengan demikian maka tanggung jawab atas

pekerja-pekerja tersebut berada pada daerah yang bersangkutan.

Disamping itu, akan dilakukan pula peninjauan aturan daerah yang berpotensi

bertentangan dengan kepentingan nasional seperti pajak, lisensi, dan pembatasan

pengedaran barang, jasa, dan modal. Sementara ini ada 100 peraturan daerah

tentang pajak yang tidak konsisten.

Sekalipun daerah telah mendapatkan peran yang besar dalam mengatur

keuangannya sendiri, namun tetap diperlukan laporan-laporan mengenai

Page 48: penelitian legislasi nasional

penerimaan dan penggunaan dana dari daerah tersebut untuk kepentingan

nasional secara keseluruhan. Untuk itu pembuatan laporan keuangan per kuartal

dianggap efektif untuk menjaga segala kemungkinan.

Desentralisasi di bidang hukum berkaitan dengan peluang daerah untuk melakukan

pinjaman. Untuk itu, perlu diadakan Undang-Undang Pinjaman/Utang Publik dan

Rancangan UU Utang Asing (Sovereign Debt Securities) yang keduanya ditargetkan

akan dibahas di DPR pada bulan November 2001.

5. Kebijakan Pembayaran Luar Negeri dan Keseimbangan Pembayaran.

Beberapa strategi untuk mencapai target ini adalah dengan menurunkan arus modal

swasta ke luar negeri. Disamping itu perlu pula mencari bantuan luar negeri, yaitu

dengan mengefektifkan pertemuan Paris Club. Penetapan suku bunga

mengambang pun diharapkan akan dapat menjaga keseimbangan pembayaran.

Disamping BI akan menerapkan “liberal trade regime”; bukan pembatasan aliran

modal.

6. Reformasi Sektor Keuangan

a. Restrukturisasi Bank Pemerintah

Dalam rangka mengadakan restrukturisasi Bank Pemerintah, maka Pemerintah

akan mengeluarkan 30% saham Bank Mandiri pada kuartal I tahun 2002.

Kemudian Pemerintah juga akan memperkuat manajemen BNI dan BRI,

melakukan penilaian terhadap BTN bulan Maret 2002 dalam rangka privatisasi.

b. Regulasi dan Pengawasan Bank

Untuk melakukan regulasi dan pengawasan bank, BI akan mengubah peraturan

syarat minimum CAR meningkat menjadi 8% pada 1 Januari 2002; yang tidak

memenuhi persyaratan ini akan masuk pada BPPN. Khusus untuk pengawasan

perbankan, maka akan dibentuk Lembaga Pengawasan Sektor Keuangan

(Financial Sector Supervisory Institution) pada akhir 2001.

7. Privatisasi, Penjualan Aset, dan Restrukturisasi Utang

a. Privatisasi

Dalam rangka melakukan upaya privatisasi, maka perlu membentuk kembali

Kementerian BUMN.

Page 49: penelitian legislasi nasional

Pada anggaran 2001 lalu, dari sektor privatisasi ini telah diterima Rp 3,5 trilyun

dari penjualan aset dan pada anggaran 2002 targetnya dinaikkan menjadi Rp 6,5

trilyun sesuai dengan daftar perusahaan yang telah ditetapkan bersama-sama

dengan DPR.

b. Penjualan Aset dan Restrukturisasi BPPN.

Untuk mempermudah koordinasi, maka tanggungjawab BPPN dialihkan kepada

Menteri BUMN, sehingga ada satu manejemen. Sedangkan target pada anggaran

2002 dari penjualan aset BPPN adalah sebesar Rp 35 trilyun meningkat dari

anggaran 2001 yang hanya Rp 27 trilyun.

c. Pelaksanaan Manejemen BPPN.

Untuk menjaga transparannya proses penjualan aset di BPPN, maka penjualan

aset dilakukan melalui penawaran publik dan mekanisme penawaran yang

kompetitif dan transparan. Disamping itu perlu pula menetapkan transparansi

dalam statement keuangan, yang ukurannya antara lain dengan penunjukan

Pejabat Keuangan Kepala yang bertanggung jawab atas internal control,

menunjuk lembaga akuntansi baru untuk audit tahun 2001, dan membentuk tim

revisi “Corrective Action Plan” dengan memberdayakan Jakarta Initiative Task

Force (JITF). Adapun target akhir November sebanyak $12,7 juta dari 63

perusahaan, dan akhir Desember diharapkan $14 juta.

d. Peraturan-peraturan.

Dalam rangka privatisasi, penjualan aset dan restrukturisasi utang, maka

perangkat peraturan perundang-undangan yang perlu disiapkan antara lain

Peraturan Pajak yang dapat menunjang resturturisasi transaksi utang;

8. Reformasi Hukum, Pemerintahan dan Lainnya

a. Reformasi Hukum

Dalam kerangka reformasi hukum yang berkaitan dengan pemulihan ekonomi

antara lain dengan menciptakan hukum yang dapat meningkatkan kepercayaan

investor, memperdalam reformasi bidang perbankan, dan peraturan yang

memastikan pengembalian aset.

b. Pembentukan Komisi Anti Korupsi.

Page 50: penelitian legislasi nasional

Hal ini diperlukan untuk mendorong kepercayaan investor dan dunia

internasional. Untuk melaksanakan hal ini targetnya adalah kuartal II tahun

2002. Adapun tanggungjawab Komisi ini meliputi investigasi dan penuntutan

kasus korupsi, mengadakan Peradilan Anti Korupsi yang terpisah dari peradilan

yang ada. Komisi juga diberi wewenang untuk memperpanjang hukuman bagi si

pelaku, memperkuat insentif, termasuk perlindungan negara bagi mereka yang

bekerjasama dalam mengungkap kasus korupsi.

c. Hal lain yang berkaitan dengan reformasi hukum adalah upaya amandemen

Undang-Undang Kepailitan yang ditargetkan selesai pada awal tahun 2002.

d. Pengaturan Sektor Publik

Untuk melakukan reformasi hukum dalam sektor publik, maka akan dilakukan

audit 9 yayasan milik militer (2 yayasan milik Menteri Pertahanan, 3 yayasan

milik Angkatan Darat, 1 milik Kantor Pusat TNI, 1 yayasan Angkatan Laut, 1

yayasan Angkatan Udara, dan 1 yayasan milik Kepolisian)

e. Dengan bekerjasama dengan World Bank, Asean Development Bank, Pemerintah

akan merumuskan kebijakan mengenai beras, reformasi BUMN, manejemen

sumber daya alam, reformasi jasa swasta, pengurangan kemiskinan

9. Program Ekonomi tahun 2003.

Untuk program ekonomi tahun 2003, Pemerintah akan melakukan konsolidasi fiskal

lebih lanjut, menurunkan inflasi dalam konteks suku bunga mengambang,

melanjutkan reformasi penjualan aset dan privatisasi, mengurangi peran sektor

pemerintah dalam perbankan dan sistem kesehatan dan pengawasan perbankan,

memperdalam reformasi hukum dan judisial.

1. Mekanisme Pembentukan

Mekanisme pembentukan LoI sedikit berbeda dengan mekanisme

pembentukan program legislasi pada umumnya. Keterlibatan IMF dalam

menetapkan program pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan bidang

ekonomi, telah dimulai dari tahapan paling awal; artinya IMF telah terlibat pada

level departemen teknis, sehingga program yang tersusun dan diusulkan untuk

dijadikan program legislasi nasional adalah merupakan kehendak bersama antara

Page 51: penelitian legislasi nasional

pemerintah Indonesia dengan IMF. Keterlibatan IMF dalam membentuk program

pembangunan yang kemudian berkaitan dengan program legislasi nasional adalah

berdasarkan kenyataan bahwa IMF telah memiliki pengalaman pemulihan ekonomi

dari negara-negara lain. Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut, maka

disusunlah suatu program pembangunan untuk Indonesia yang disesuaikan dengan

kondisi dan karakter persoalan yang ada.

Dalam melakukan negoisasi itu, Pemerintah bersikap bahwa pembentukan

program-program sebagai persyaratan dari IMF ini diupayakan tidak bertentangan

dengan target-target yang ada di Propenas dan Repeta. Dengan kata lain, ada

program legislasi dari LoI untuk Propenas/Repeta, dan sebaliknya ada program

legislasi dari Propenas/Repeta yang didukung oleh LoI.

2. Program Pencabutan, Perubahan, dan Pembentukan UU

Adapun Program Pencabutan, Perubahan, dan Pembentukan UU dari LoI

adalah seperti tersebut dalam lampiran 3.

Dari 20 Program legislasi yang direkomendasikan LoI, 5 diantaranya (25%)

telah menjadi Undang-Undang, masih berstatus dibahas di DPR sebanyak 2 RUU

(10%) dan sisanya 13 RUU (65%) belum masuk DPR untuk dibahas. Dari sudut

Propenas, sebanyak 14 RUU (70%) ternyata juga menjadi program legislasi Propenas.

Dari data di atas, ada satu hal yang menarik, yaitu UU Anti Korupsi yang

telah menjadi Undang-Undang Nomor 20/2001. RUU Anti Korupsi tidak terdapat

dalam Propenas, tetapi merupakan rekomendasi dari LoI, namun ternyata pada

kenyataannya RUU ini telah menjadi UU pada tahun 2001.

IMF Pemerintah

Departemen

Teknis

LoI

Page 52: penelitian legislasi nasional

D. Program Pembangunan Nasional (Propenas)

Sebelum tahun 2000 program pembangunan nasional dituangkan dalam Repelita

yang tidak membutuhkan Undang-Undang sebagai bentuk hukum formalnya.

Perubahan ini membawa dampak positif sekaligus negatif. Dampak positifnya adalah

program pembangunan nasional tersebut diharapkan merupakan hasil musyawarah

antara pemerintah – yang memegang amanat untuk menyelenggarakan pemerintahan –

di satu pihak dengan DPR – yang merupakan wakil rakya; pemberi amanat tersebut – di

lain pihak. Dengan dibentuknya dalam Undang-Undang, maka landasan hukum

penyelenggaraan pemerintahan menjadi kuat. Sebaliknya, dikarenakan bentuk

formalnya undang-undang, maka program pembangunan nasional ini tidak lagi

fleksibel, karena setiap perubahannya tentu harus dilakukan melalui paling rendah

setingkat undang-undang pula.

Adapun prioritas Propenas 2000-2004 adalah sebagai berikut:

1. Membangun sistem politik yang demokratis serta mempertahankan persatuan dan

kesatuan;

2. Mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik;

3. Mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan

berkelanjutan dan berkeadilan yang berdasarkan sistem Ekonomi Kerakyatan;

4. Membangun kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas kehidupan beragama, dan

ketahanan budaya; dan

5. Meningkatkan pembangunan daerah.

Dengan demikian, Program legislasi nasional telah menjadi bagian dari

Propenas. Lebih khusus lagi program legislasi nasional dicantumkan dalam program

bidang hukum yang meliputi: program pembentukan peraturan perundang-undangan,

program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya,

program penuntasan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta pelanggaran hak asasi

manusia, serta program peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya

hukum.

Page 53: penelitian legislasi nasional

1. Mekanisme Pembentukan

Program legislasi nasional sesungguhnya telah dilaksanakan mendahului

pembahasan Propenas. Menurut mekanisme sebelum tahun 2000, pembentukan itu

dimulai dari usulan dari departemen/lembaga pemerintah non departemen terhadap

RUU yang diajukan. BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) bersama-sama

dengan Direktorat Hukum dan Perundang-undangan- Departemen Kehakiman-

mengakomodasi semua usulan tersebut dan menindaklanjutinya, kemudian hasil

kajian, penelitian dan rumusan RUU yang telah siap dibicarakan di DPR. Semua itu

dilaksanakan berdasarkan Keppres No. 188/1999 dan Keppres No. 44/1999 tentang

Teknik Penyusunan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-Undang,

Rancangan Peraturan Pemerintah serta Rancangan Keputusan Presiden.

Khusus untuk Propenas, hal yang pertama dilakukan oleh Pemerintah adalah

mencoba menangkap saripati dari amanat GBHN. Selanjutnya Pemerintah meminta

masukan dari seluruh lembaga baik dari Pemerintah, dunia usaha, maupun

masyarakat luas mengani prioritas pembangunan yang penting, mendasar dan

mendesak. Dari masukan-masukan ini, kemudian disusun konsep awal Propenas.

Setelah konsep awal Propenas terbentuk, kemudian diseminarkan secara

terbuka di pusat dan di daerah, seperti Yogyakarta, Banjarmasin, Surabaya Padang

dan Makassar, dengan mengundang masyarakat luas untuk perbaikan dan

penyempurnaan. Setelah diperbaiki, konsep itu disampaikan kepada masyarakat dan

BPHN

Pengkajian/

Naskah Akademis

-BPHN -Dept/LPND

-BPHN -Dept/LPND

Ditjen PP Depkeh

Departemem/

RUU Sekretariat

DPR

Page 54: penelitian legislasi nasional

DPR untuk mendapatkan tanggapan, masukan dan kritik. Selain itu, konsep ini juga

telah diperiksa oleh tim independen yang terdiri dari pakar dan pemerhati untuk

memastikan bahwa apa yang diaspirasikan oleh masyarakat luas telah benar-benar

terakomodasi.

Di DPR, Propenas dibahas oleh Panitia Khusus bersama-sama dengan

Pemerintah. Proses yang dilalui adalah melalui 2 tahap, yaitu tahap pertama adalah

penjelasan dari Pemerintah mengenai isi Propenas, dan tahap kedua berisikan

tanggapan dari DPR atas penjelasan tersebut. Khusus yang berkaitan dengan

program legislasi, maka yang melakukan pembahasan secara intensif adalah Panitia

Kerja II yang beranggotakan 34 orang dengan komposisi dua orang ketua dari unsur

pimpinan Pansus dan 2 orang Wakil Ketua Panja dari anggota Panja.

Dalam perdebatan mengenai prioritas Undang-Undang yang diusulkan oleh

Pemerintah hampir tidak dibahas secara substansinya, misalnya mengapa ada 120

RUU yang diusulkan, apa indikator penentuan RUU, dan apa alasan untuk masing-

masing RUU. Perdebatan lebih banyak mengenai redaksi dan bersifat umum saja.

Misalnya mengenai judul program yang diajukan Pemerintah semula Program

Penyusunan dan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diubah menjadi

Program Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, atau Program Penyadaran

Hukum diubah menjadi Program Kesadaran Hukum dan Pengembangan Budaya

Hukum.

BPHN

GBHN

Masukan: -Lembaga Pemerintah -Dunia usaha -Masyarakat luas

Konsep Awal

Perbaikan: -Pakar -Pemerhati

DPR

Seminar di: -Yogyakarta -Banjarmasin

Panitia

Page 55: penelitian legislasi nasional

Perdebatan lain misalnya adalah mengenai anggaran yang harus dialokasikan

sehubungan dengan jumlah RUU yang diajukan, ataupun mengenai kekhawatiran

bisa tidaknya dicapai target RUU tersebut mengingat pembahasan satu UU yang

cukup memakan waktu. Sedangkan mengenai substansi pada umumnya bersifat

melengkapi hasil kerja dari Pemerintah seperti misalnya mengenai indikator

penyusunan RUU. Strategi Pemerintah dalam menyusun RUU adalah melalui

penetapan prioritas peraturan perundang-undangan yang memberi landasan dan

memperkuat upaya-upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good

governance).

Dengan demikian indikator yang digunakan oleh Pemerintah dalam

menentukan prioritas RUU dalam Propenas adalah:

1. penataan sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu;

2. penyempurnaan dan pembaharuan produk-produk hukum kolonial yang

diskriminatif;

3. menghapuskan ketidakadilan jender;

4. penyesuaian peraturan dengan tuntutan reformasi;

5. memberi landasan dan memperkuat upaya-upaya mewujudkan pemerintah yang

baik;

6. mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi pasar bebas dan

pemulihan ekonomi;

7. menjaga kelestarian daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup serta

masyarakat setempat.

2. Program Pencabutan. Perubahan dan Pembentukan UU

Berdasarkan Prioritas RUU yang telah ditetapkan dalam Propenas, maka

perkembangan RUU yang telah ditindaklanjuti sampai dengan April 2002 adalah

seperti tercantum dalam lampiran 4.

Berdasarkan data tersebut dalam lampiran 4, sejauh ini hanya 24 RUU yang

sudah masuk dalam pembahasan di DPR atau sekitar 20%; 9 RUU diantaranya masih

dibahas sampai saat ini, bahkan RUU Hak Cipta misalnya, merupakan pekerjaan

Page 56: penelitian legislasi nasional

rumah yang tersisa dari tahun 1999, dan 2 RUU sudah disahkan tetapi belum

mendapatkan penomoran melalui Lembaran Negara.

Menarik mengamati RUU yang dibahas di DPR yang tidak berasal dari

Propenas seperti tergambar dalam lampiran 5.

Pada tahun 2000, 19 UU diantara 38 UU yang telah disahkan oleh DPR adalah

berasal dari non Propenas, yaitu sekitar 50%; sedangkan jumlah ini meningkat pada

tahun 2001, yaitu sebanyak 16 UU dari 20 UU yang disahkan juga berasal dari non

Propenas atau sekitar 80%.

Apabila diamati komitmen para pembentuk Undang-Undang yang telah

menetapkan bahwa kesempatan untuk menetapkan RUU di luar Propenas, karena

alasan mendesak dan perlu segera diatur undang-undangnya, hanya berkisar 10-

20%; maka angka ini jauh melebihi ketentuan tersebut.

Page 57: penelitian legislasi nasional

BAB IV

ANALISIS PERMASALAHAN

Berdasarkan rumusan-rumusan masalah yang diajukan, dapat disederhanakan

tiga pokok permasalahan yang masing-masing akan dianalisis dalam bab ini.

Pertama, pokok permasalahan yang terkait dengan rumusan masalah yang

mempertanyakan tentang bagaimana pengakomodasian aspirasi masyarakat dalam

penyusunan Prolegnas itu. Derivasi dari rumusan masalah yang pertama ini

memunculkan tiga pertanyaan turunannya, yakni tentang (1) bagaimana mekanisme

penyusunan Prolegnas yang aspiratif, (2) lembaga apa yang ideal untuk menyusun

Prolegnas tersebut, dan (3) dalam produk hukum apa Prolegnas itu seharusnya

dituangkan.

Kedua, dipertanyakan tentang apa indikator dari penetapan prioritas Prolegnas

itu. Ketiga, dipermasalahkan mengenai prioritas Prolegnas dalam berbagai bidang

(hukum, ekonomi, sosial politik, hankam, dan kesra).

A. Akomodasi Aspirasi Masyarakat dalam Prolegnas

1. Mekanisme Prolegnas yang Aspiratif Kebutuhan untuk menyerap aspirasi masyarakat ini merupakan bagian dari

tuntutan kerangka berpikir yuridik yang seharusnya dikembangkan dalam

pembangunan sistem hukum Indonesia. Setelah reformasi bergulir, tuntutan

demikian makin bertambah kuat lagi, sejalan dengan keinginan masyarakat luas

untuk membentuk kehidupan politik, ekonomi, dan hukum yang lebih demokratis.

Dalam kerangka berpikir Sociological Jurisprudence yang telah dimodifikasi,

sebagaimana dikemukakan dalam Bab II laporan penelitian ini, dalam pembentukan

undang-undang (baca: Prolegnas) aspirasi masyarakat memegang peranan sangat

penting.

Prolegnas yang ada sekarang ini belum bisa mencerminkan aspirasi

masyarakat tersebut, karena prolegnas pada kenyataannya disusun sekadar hasil

inventarisasi yang dilakukan Bappenas berdasarkan masukan dari departemen,

lembaga pemerintah nondepartemen, dan institusi lainnya, yang kemudian didaftar

Page 58: penelitian legislasi nasional

kembali sehingga menghasilkan 120 buah undang-undang untuk diproduksi sampai

tahun 2004.

Sayangnya, Repeta bidang hukum yang nota bene merupakan penjabaran

Prolegnas dalam Propenas, tidak secara konsisten melaksanakannya. Dari penelitian,

diketahui bahwa inkonsistensi ini sebagian muncul karena faktor teknis yang dapat

dimaklumi. Kendati demikian, tidaklah seharusnya bahwa daftar undang-undang

yang muncul kemudian di luar Propenas justru mendominasi, sehingga praktis

Propenas tidak lagi menjadi acuan yang efektif, yang bahkan penyimpangannya

untuk Repeta tertentu berada di atas angka 70%.

Berdasarkan gambaran realitas kondisi Prolegnas yang masih jauh dari

responsif tersebut, tentu pertanyaan mendasar yang ingin dijawab adalah terkait

dengan keinginan melahirkan mekanisme penyusunan Prolegnas yang lebih

aspiratif, yang tidak sekadar mengacu pada jumlah undang-undang yang dihasilkan,

melainkan pada kualitas pengakomodasian kebutuhan riil masyarakat luas. Untuk

itu pertama-tama harus dicermati mekanisme penyusunan Prolegnas yang saat ini

digunakan.

Bagan yang telah ditampilkan pada bab sebelumnya menunjukkan bagaimana

tahap-tahap pembentukan Prolegnas dari berbagai sumber, yakni dari BPHN, Baleg

DPR, LoI, dan Propenas. Apabila disederhanakan, tampak bagan alurnya sebagai

berikut:

Page 59: penelitian legislasi nasional

Aspirasi tuntutan kebutuhan masyarakat menurut bagan di atas ditampung

melalui DPR dan Pemerintah. Sebab, kedua lembaga tinggi negara inilah yang

mempunyai hak inisiatif mengajukan rancangan undang-undang. Wacana yang

memungkinkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk juga mempunyai hak yang

sama, sampai sekarang masih bergulir dan kurang mendapat dukungan.

Mekanisme pengajuan rancangan undang-undangnya sendiri diatur secara

khusus dalam dua peraturan yang terpisah untuk kedua lembaga itu, yakni dalam

Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 dan melalui Keputusan DPR Nomor

03A/DPR RI/I/2001-2002 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI. Dalam mekanisme

yang diintroduksi, baik melalui Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 maupun

melalui Peraturan Tata Tertib DPR, momentum untuk menyerap aspirasi masyarakat

tersebut memang sudah dibuka. Hal itu dapat dilihat dari adanya: (1)

naskah/rancangan akademik untuk tiap-tiap undang-undang; dan (2) konsultasi

DEPARTEMEN/

DEPKEH & HAM BPHN

NASKAH LoI

DPR BALEG

BAPPENAS

Forum Konsultasi

DPR &

UU 25 Th. 2000

PROPENAS (Bidang

UU ttg APBN REPETA

(Prolegnas) Non. Propenas

Page 60: penelitian legislasi nasional

publik, baik langsung maupun tidak langsung sebelum rancangan disahkan menjadi

undang-undang.

Perlunya naskah akademik (dalam Keppres Nomor 188 Tahun 1998

digunakan istilah “rancangan akademik”), misalnya, menunjukkan bahwa setiap

pengusulan rancangan undang-undang wajib didahului oleh kajian mendalam

melalui penelitian hukum. Tentu saja penelitian tersebut juga akan mengakomodasi

kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat, yakni para stakeholders sebagai sasaran (subjek

hukum) rancangan undang-undang itu. Sayangnya, dalam Lokakarya I Kelompok C-

3 (Hotel Indonesia, Jakarta, 29 Mei 2002), diperoleh informasi dari Rony Bako, S.H.,

M.H. (Baleg DPR), yang bertindak sebagai salah satu narasumber, bahwa ternyata

tidak semua rancangan undang-undang yang diajukan dilengkapi dengan naskah

akademik ini. Hal ini memang disadari sebagai suatu kelemahan, sehingga di masa

datang perlu segera diperbaiki. Dinyatakan oleh narasumber tersebut, bahwa saat ini

DPR sedang mempersiapkan rancangan undang-undang yang di dalamnya diatur

tentang persyaratan bahwa setiap rancangan undang-undang, baik dari DPR

maupun Pemerintah wajib dilampiri naskah akademik. Tanpa naskah akademik ini,

suatu rancangan dapat dikesampingkan.

Ironisnya, naskah akademis yang telah diberikan di DPR pun tidak semuanya

terbuka untuk umum. Bahkan, tim peneliti di lingkungan DPR sendiri tidak dapat

mengaksesnya secara leluasa. Menurut Rony Bako, untuk mendapatkan naskah ini

mereka seringkali harus terbentur birokrasi perizinan yang berbelit-belit. Padahal,

disadari bahwa proses penelitian untuk menyusun naskah akademis ini

membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Dilihat dari proses yang berjalan, yang mengantarkan suatu rancangan

undang-undang untuk sampai pada tahap pengesahannya, juga terdapat

momentum-momentum tertentu yang memberi akses pada penyampaian aspirasi

masyarakat. Pada masa reses, anggota DPR, biasanya melakukan kunjungan kerja ke

daerah-daerah. DPR juga memiliki agenda rapat kerja dengan Pemerintah atau

dengar pendapat dengan lembaga-lembaga nonpemerintah. Data inilah yang antara

lain dapat digodok agar kualitas suatu undang-undang yang diproduksi DPR

bersama dengan Pemerintah, tergolong aspiratif dan responsif.

Page 61: penelitian legislasi nasional

Dari penelitian, diketahui bahwa akses masyarakat untuk menyampaikan

aspirasinya itu dalam kenyataannya tidak dapat dipantau secara lebih transparan.

Dalam wawancara dengan sejumlah pakar hukum, diperoleh penjelasan bahwa

mereka sering dimintakan pendapatnya dalam rapat-rapat dengan DPR menyangkut

suatu substansi penting untuk dimuat dalam rancangan undang-undang, tetapi

dalam wujud akhir setelah undang-undang itu disahkan, ternyata substansi penting

tadi “hilang” tanpa diketahui alasan-alasannya. Besar kemungkinan, menurut

narasumber yang diwawancarai ini, lobby politik di antara fraksi-fraksi DPR jauh

lebih berpengaruh daripada kebutuhan riil masyarakat yang disuarakan para pakar.

Sehubungan dengan kebutuhan untuk lebih mengakomodasikan aspirasi

masyarakat, dalam penelitian ini juga diperoleh masukan dari Focus Discussion Group

di Makassar dan Medan, agar hak inisiatif pengajuan rancangan undang-undang

tidak hanya dibatasi pada DPR dan Pemerintah. Masyarakat (termasuk di dalamnya

perguruan tinggi, LSM, ormas, bahkan perorangan, diperbolehkan juga untuk

mengajukan inisiatif serupa. Memang, dalam diskusi tersebut tidak secara konkret

dapat disepakati mekanisme penyaluran hak tersebut. Sekalipun demikian, terkesan

kuat bahwa masyarakat menyadari benar kebutuhan ini, khususnya untuk

mengakomodasi kebutuhan kedaerahan dalam peraturan perundang-undangan yang

lebih rendah, setingkat peraturan daerah. Contoh konkret yang disebutkan oleh

sebuah LSM di Medan adalah tuntutan organisasi tersebut untuk membuat

rancangan peraturan tentang larangan pemekerjaan anak di jermal. Sejumlah aktivis

LSM ini telah pula menyusun drafnya dan menyerahkannya kepada DPRD setempat,

tetapi tidak pernah ada tindak lanjutnya.

Idealnya, akses masyarakat terhadap penyusunan Prolegnas memang tidak

hanya dibatasi pada DPR dan Pemerintah. Makin banyak akses ini dibuka, makin

responsif suatu produk hukum dapat dibentuk. Perbenturan kepentingan

antarkelompok masyarakat mungkin saja terjadi akibat dibukanya akses tersebut,

namun dengan transparansi dan koordinasi yang baik, perbenturan itu akan

menimbulkan dialektika yang konstruktif, yang justru memperkuat keberlakuan

filosofis dan sosiologis dari peraturan perundang-undangan itu di kemudian hari.

Koordinasi ini menjadi kata kunci yang penting, yang antara lain terkait dengan

Page 62: penelitian legislasi nasional

kelembagaan. Usulan tentang kelembagaan untuk mengkoordinasikan penyusunan

Prolegnas ini juga sangat mengemuka dalam penelitian-penelitian Kelompok Kerja

C-3 selama berada di daerah-daerah. Hal ini akan dibahas dalam subpokok bahasan

berikutnya.

Mekanisme Prolegnas yang aspiratif, dengan demikian, dapat dijalankan

melalui pendekatan prosedural dan pendekatan kelembagaan. Untuk pendekatan

yang pertama, kata kuncinya adalah diintensifkannya penelitian hukum. Pemikiran

ini memang bukan hal baru, karena salah satu indikator kinerja dalam Propenas

bidang hukum telah menetapkan demikian. Namun, tindakan konkret untuk

memberi makna terhadap penelitian hukum ini tidak pernah dilakukan secara

sungguh-sungguh. Salah satu kunci yang menyebabkan peraturan masa kolonial

dapat bertahan lama adalah karena sebelum peraturan itu diundangkan, selalu ada

kajian-kajian mendalam terhadap substansinya. Kajian-kajian ini tidak sekadar

bersifat yuridis, tetapi juga filosofis dan sosiologis/antropologis.

REKOMENDASI TEKNIS Jangka Pendek Rekomendasi No. 9*

PENELITIAN HUKUM DIAGNOSIS: Penelitian hukum sebagai kunci menyerap aspirasi dan hukum yang hidup di masyarakat (living law) belum diorganisasi secara baik, sehingga tidak banyak memberi kontribusi bagi penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu substansi undang-undang. REKOMENDASI: Penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu undang-undang wajib ditunjang oleh hasil penelitian hukum yang sungguh-sungguh komprehensif dan mendalam, baik dari sudut subtansi maupun metodologinya. Hasil penelitian ini merupakan salah satu dasar untuk penyusunan naskah akademik, dan keberadaan naskah akademik ini dinyatakan sebagai prasyarat wajib (bukan sekadar anjuran) untuk pembuatan sebuah undang-undang. RENCANA AKSI: Memuat ketentuan yang mengikat secara normatif bahwa naskah akademik merupakan persyaratan yang harus disertakan dalam setiap pengajuan RUU. Rumusan ini dituangkan dalam UU tentang Penyusunan UU (pengganti AB). *) Penulisan nomor rekomendasi ini disesuaikan dengan urutan dalam Bab Rekomendasi.

Dalam uraian Bab III disebutkan bahwa Prolegnas sendiri pada dasarnya

merupakan pengejawantahan politik hukum nasional. Dua lingkup utama dari

politik hukum ini adalah: (1) politik pembentukan hukum, dan (2) politik penegakan

hukum. Politik pembentukan hukum yang aspiratif tentu tidak harus berhenti pada

penggunaan hasil-hasil penelitian tentang living law itu saja. Politik pembentukan

Page 63: penelitian legislasi nasional

hukum harus juga berlanjut sampai taraf perumusannya dalam bentuk (format)

yuridis formal undang-undang itu.

Politik hukum nasional dalam kedua lingkup utama di atas, sampai sekarang

tidak pernah jelas. Seharusnya ada suatu forum resmi dan terbuka, yang secara

berkala diadakan untuk mendiskusikan politik hukum nasional ini. Forum seperti

yang dilakukan oleh BPHN berupa Seminar Hukum Nasional, sebenarnya adalah

wahana yang tepat untuk keperluan ini. Sayangnya, seminar yang cukup besar

seperti itu tidak dimanfaatkan secara optimal, bahkan sering tanpa target yang jelas.

Seandainya, DPR dan Pemerintah dapat mengorganisasikan seminar demikian

menjadi lebih terfokus, yakni untuk mendiskusikan (mengkritisi) rancangan politik

hukum nasional, maka tentu seminar tadi akan menjadi forum yang bernas dan

sangat bermanfaat. REKOMENDASI KEBIJAKAN Jangka Panjang Rekomendasi

No. 2 PENETAPAN POLITIK HUKUM NASIONAL DIAGNOSIS: Bervariasinya indikator yang digunakan menunjukkan ketidakjelasan politik hukum Indonesia, khususnya yang terkait dengan politik pembentukan hukum. REKOMENDASI: Penetapan politik hukum nasional oleh DPR dan Pemerintah sebagai dua lembaga pembentuk undang-undang. Politik hukum ini, sebagai suatu arahan kebijakan, dikonsultasikan secara berkala kepada semua lapisan masyarakat (stakeholders) dalam suatu forum resmi dan terbuka. RENCANA AKSI: Menyelenggarakan suatu seminar hukum nasional secara berkala (tahunan) yang diorganisasikan oleh DPR dan Pemerintah, dengan target untuk menetapkan politik hukum nasional.

Dalam lokakarya yang diadakan oleh Kelompok Kerja C-3, muncul sejumlah

keluhan dari narasumber dan peserta tentang sikap anggota-anggota DPR (tentunya

hal ini juga terjadi di DPRD), yang terlalu banyak membuang waktu

memperbincangkan terminologi hukum. Padahal, menurut narasumber tadi,

terminologi hukum ini sudah sangat baku dalam kosa kata ilmu hukum. Akibat

perdebatan demikian, tidak jarang akhirnya muncul kompromi dalam bentuk

perumusan yang lain, dengan menggunakan kata-kata yang justru tidak lazim dari

kaca mata hukum karena bernuansa multi-interpretable.

Page 64: penelitian legislasi nasional

Kekhawatiran ini cukup beralasan. Artinya, dapat saja secara substansial

suatu undang-undang sudah sangat aspiratif karena berangkat dari penelitian dan

kajian mendalam di masyarakat, namun karena perumusannya tidak sempurna,

mengakibatkan terjadi deviasi makna yang bermuara ke arah berlawanan dari

aspirasi masyarakat. Untuk itulah, keterampilan para perancang undang-undang

(legal drafters) menjadi signifikan untuk ditingkatkan. Tidak tertutup kemungkinan,

jika secara kuantitas sudah cukup memadai, para tenaga perancang undang-undang

ini kemudian disertifikasi. Hanya mereka yang memiliki pengakuan (sertifikat)

tertentu itulah yang layak merancang suatu undang-undang atau peraturan tertentu.

Lebih ideal lagi jika tenaga perancang ini dapat membentuk asosiasi di antara

mereka. Sertifikasi dapat saja dilakukan oleh asosiasi independen ini. Melalui kerja

sama dengan para ahi bahasa Indonesia, asosiasi perancang undang-undang ini

dapat menyusun suatu standar peristilahan hukum. Dengan standar ini diharapkan

kontradiksi pemaknaan istilah-istilah hukum yang seringkali menjadi celah

kelemahan perundang-undangan di Indonesia dapat diminimalisasi. REKOMENDASI TEKNIS Jangka Panjang Rekomendasi

No. 7 PENINGKATAN KUANTITAS DAN KUALITAS LEGAL DRAFTER DIAGNOSIS: Perumusan suatu ketentuan normatif dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan keterampilan yang dimiliki oleh tenaga perancang (legal drafters), yang dalam kenyataannya masih kurang secara kuantitas maupun kualitas. REKOMENDASI: Jumlah dan keterampilan tenaga perancang ditingkatkan. RENCANA AKSI: Menetapkan sertifikasi untuk para tenaga perancang. Sertifikasi diberikan oleh asosiasi tenaga perancang undang-undang.

Pada tahapan berikutnya, setelah undang-undang disahkan, penyerapan

aspirasi masyarakat harus terus berjalan. Umpan balik dari masyarakat sering

terlambat diterima, biasanya justru karena sosialisasi undang-undang tersebut yang

tidak berjalan dengan baik. Untuk itu, lembaran negara tidak lagi dapat diandalkan

sebagai media satu-satunya.

Dalam Focus Discussion Group di Medan, Kelompok Kerja C-3 mendapat

masukan yang menarik dari peserta berkenaan dengan teknik sosialisasi ini. Menurut

mereka, sudah selayaknya dalam setiap undang-undang terdapat suatu pasal yang

Page 65: penelitian legislasi nasional

memuat mekanisme sosialisasi ini. Menurut mereka, kalimat yang ada pada bagian

penutup, yaitu “Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan…

dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,” belumlah

cukup untuk mengikat pihak-pihak berkompeten mensosialisasikan suatu produk

hukum.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, dapat pula dipertimbangkan untuk

merumuskan dalam setiap undang-undang tentang upaya sosialisasi ini. Artinya, jika

diperlukan, dapat disebutkan badan atau instansi yang ditunjuk dalam undang-

undang itu untuk mensosialisasikan undang-undang tersebut, berikut dengan

sasaran dan jangka waktunya. Badan atau instansi ini dengan sendirinya akan

dimintakan pertanggungjawabannya jika sosialisasi ini tidak menjangkau sasaran

yang diharapkan. REKOMENDASI TEKNIS Jangka Panjang Rekomendasi

No. 8 SOSIALISASI UU DIAGNOSIS: Masyarakat (stakeholders) sering tidak diberi akses yang cukup untuk memahami hak dan kewajibannya setelah suatu UU berlaku. Kondisi ini menyebabkan banyak UU yang memiliki daya berlaku yuridis, tetapi tidak berdaya laku sosiologis. REKOMENDASI: Mensosialisasikan secara intensif keberlakuan suatu UU, dengan melibatkan semua potensi yang ada di lingkup pemeirntahan dan masyarakat. RENCANA AKSI: Menetapkan suatu pihak (badan/instansi) yang bertanggung jawab untuk sosialisasi UU tersebut. Pelaksanaan tanggung jawab ini kemudian dievaluasi secara berkala (sebagai bagian evaluasi kinerja badan/instansi tersebut).

2. Lembaga Ideal Penyusunan Prolegnas Permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah terkait dengan aspek

kelembagaan di bidang Prolegnas. Semula peran kelembagaan ini akan diserahkan

sepenuhnya kepada BPHN yang dikreasikan sebagai law center di Indonesia. Badan

inilah yang diharapkan dapat menyusun strategi besar Prolegnas di Indonesia.

Sayangnya, seperti dinyatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam Bab II laporan

ini, ada kekhawatiran atas usaha menjadikan BPHN sebagai pusat perundang-

undangan nasional (pada tahun 1982), yang menimbulkan tanda tanya banyak

departemen tentang kebijakan yang akan ditempuh BPHN kelak.

Page 66: penelitian legislasi nasional

Dalam dua Focus Group Discussions di Makassar dan Medan, persoalan

kelembagaan yang layak untuk menjadi motor Prolegnas ini menjadi begitu

mengemuka. Komunitas hukum di daerah pun tampaknya menyadari benar bahwa

lembaga-lembaga yang mereka kenal selama ini, telah gagal mengemban misi ini.

Program legislasi tidak kunjung berjalan lebih baik daripada era sebelum gerakan

reformasi digulirkan.

Ada dua garis pemikiran yang dapat ditangkap dari peserta Focus Group

Discussions. Di satu sisi, ada pemikiran untuk mendayagunakan institusi yang sudah

ada. Beberapa institusi yang disebut adalah BPHN, Baleg DPR, dan KHN.

Keberadaan dan kinerja institusi yang disebutkan ini memang dinilai masih jauh dari

harapan, namun dengan meregulasi kewenangan baru kepada salah satu institusi

tadi, ada titik cerah bahwa Prolegnas dapat dikoordinasi secara lebih baik. Di sisi

lain, ada yang memandang mutlak perlu organ baru yang independen, dengan

tokoh-tokoh nonpartisan di dalamnya, yang dipilih secara ketat dan selektif seperti

halnya Komisi Pemilihan Umum dan Komnas HAM. Agar tidak tumpang tindih,

dengan adanya institusi ini, maka sejumlah badan serupa di tingkat nasional, harus

ditinjau ulang keberadaannya. Mereka menyarankan agar institusi baru ini

menggunakan predikat “komisi”.

Tugas utama dari komisi (untuk sementara dapat disebut sebagai Komisi

Perundang-undangan Nasional, disingkat KPN) adalah:

1. membantu DPR dan Pemerintah dalam menetapkan dan menerapkan politik

hukum yang terkait dengan Prolegnas, yang indikatornya terlihat dari konsistensi

di dalam asas-asas pembentukannya dan materi muatannya (lihat uraian dalam

Bab III laporan ini);

2. mengkoordinasikan penyusunan Prolegnas melalui mekanisme bottom-up, antara

lain dari proses konsultasi publik dan penelitian-penelitian mendalam;

3. mensosialisasikan rancangan undang-undang mulai dari taraf sedini mungkin

kepada para stakeholders, sekaligus menyerap aspirasi mereka dan memberi

artikulasi terhadap aspirasi ini agar lebih didengar oleh para pembentuk undang-

undang;

Page 67: penelitian legislasi nasional

4. mensosialisasikan undang-undang yang sudah berlaku, dengan harapan agar

dapat dijaring umpan balik guna penyermpurnaannya di kemudian hari.

Tugas nomor 3 yang disebutkan di muka menjadi signifikan untuk

dimasukkan sebagai bagian dari tugas KPN ini, mengingat lobby-lobby politik selama

proses penyusunan undang-undang seringkali lebih menentukan wujud akhir dari

suatu undang-undang. Tidak semua stakeholders memiliki akses pada saat lobby-lobby

ini dilakukan. KPN, bekerja sama dengan elemen seperti pers, dapat mengawal

aspirasi masyarakat agar tidak gugur di tengah jalan akibat deal politik yang tidak

sehat.

Tugas nomor 4 adalah tugas tambahan yang dilaksanakan bersama-sama

dengan institansi terkait. Tugas sosialisasi ini harus diartikan sebagai bagian dari

upaya penyerapan aspirasi masyarakat, untuk keperluan penyusunan Prolegnas

pada periode berikutnya.

Masukan dari: Masyarakat luas Stakeholders Legislatif Eksekutif Dunia internasional dll.

Dengan pendekatan seperti yang dijalankan oleh KPN, diharapkan semua

sumber daya (termasuk alokasi dana dan pikiran) dapat digerakkan secara efisien

dan efektif. KPN adalah lembaga yang memfasilitasi kepentingan publik untuk

menjamin agar substansi peraturan perundang-undangan benar-benar responsif. Apa

yang diceritakan oleh Prof. H.A.S. Natabaya, S.H. dengan mengambil contoh

penyusunan RUU Otonomi Daerah, seharusnya tidak terjadi lagi jika KPN dapat

menjalankan fungsinya dengan baik.

Menurut Prof. Natabaya, rancangan undang-undang ini semula terdiri dari

dua versi, yakni versi yang dipersiapkan oleh Departemen Kehakiman (zaman

Menkeh Muladi) dan versi Departemen Dalam Negeri. Ternyata yang berhasil

dibawa ke DPR adalah versi Departemen Dalam Negeri, yang didominasi oleh

pandangan orang-orang dengan latar belakang ilmu sosial politik (sospol), sementara

KPN Konsultasi- kan kembali

Politik hukum nasional

PROLEGNAS

Page 68: penelitian legislasi nasional

rancangan versi Depkeh, yang telah didiskusikan secara intensif oleh para pakar

hukum, tersia-siakan.

Harap diingat, bahwa kewenangan KPN tidaklah sampai pada taraf

menyusun naskah akademik atau RUU. Tugas ini adalah bagian dari tugas DPR dan

Pemerintah. Sekalipun demikian, KPN akan menjadi sumber penting pada saat

naskah akademik disusun oleh tenaga ahli, atau pada saat RUU dikonsepkan.

Bahkan, KPN akan menjadi mitra DPR dan Pemerintah dalam taraf penyusunan

suatu undang-undang, sehingga akan dilibatkan pula dalam acara-acara dengar

pendapat. REKOMENDASI KEBIJAKAN Jangka Panjang Rekomendasi

No. 1 PEMBENTUKAN KOMISI INDEPENDEN DIAGNOSIS: Penyusunan Prolegnas masih dalam taraf mencatat daftar keinginan, bukan daftar kebutuhan, karena daftar undang -undang yang dituangkan melalui Propenas tersebut terbukti belum mampu secara optimal mengakomodasi kebutuhan riil masyarakat (para stakeholders). REKOMENDASI: Penyusunan Prolegnas dilakukan oleh sebuah institusi independen (komisi), yang salah satu tugasnya adalah secara intensif menjaring masukan dari semua elemen masyarakat, untuk kemudian menyusunnya dalam sebuah daftar kebutuhan undang-undang. Daftar ini hanya menjadi pedoman, tidak mengikat secara normatif sebagai hukum positif, dan secara reguler dan kontinyu dimutakhirkan. Dengan mengacu pada daftar kebutuhan ini, selanjutnya DPR dan Pemerintah mengeluarkan Undang -Undang APBN yang di dalamnya tercantum Repeta di bidang hukum. RENCANA AKSI: DPR/Presiden mengajukan usul pembentukan institusi independen (komisi) di bidang peraturan perundang -undangan.

3. Produk Hukum Prolegnas Saat ini, dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000, Prolegnas telah

dikonkretisasi dalam bentuk daftar undang-undang yang [seharusnya] diproduksi

selama kurun waktu tahun 2000—2004. Dalam uraian di muka telah diungkapkan

“penyimpangan” yang sangat signifikan terhadap daftar program legislasi tersebut,

sehingga akhirnya menimbulkan pertanyaan besar (yang juga disuarakan oleh rekan-

rekan komunitas hukum di daerah) tentang perlu tidaknya Prolegnas itu ditetapkan

dengan produk hukum setingkat undang-undang.

Jika Prolegnas diharapkan dapat mengikat pihak DPR dan Pemerintah

bersama-sama, maka produk hukum setingkat undang-undang adalah pilihan satu-

satunya. Sayangnya, “ikatan” yang diharapkan akan diikuti oleh dua lembaga tinggi

negara itu, ternyata tidak banyak dilirik. Justru terkesan, Prolegnas versi Letter of

Page 69: penelitian legislasi nasional

Intent menjadi lebih mengikat untuk dilaksanakan oleh Pemerintah dan DPR

daripada Undang-Undang Propenas 2000--2004.

Jika lembaga seperti KPN yang disinggung di muka telah ada, dan politik

hukum nasional telah sangat jelas, maka undang-undang khusus tentang Prolegnas

tidak lagi menjadi kebutuhan. Daftar undang-undang tersebut dapat saja dibuat oleh

KPN sebagai pedoman yang tidak mengikat secara normatif (dalam arti tidak

dijadikan norma hukum positif).

Dalam Lokakarya II yang diadakan tanggal 29 Juli 2002 di Universitas

Tarumanagara, Kelompok Kerja C-3 mendapat masukan dari dua pakar hukum

(Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dan Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H.) tentang

perlunya diperhatikan kecenderungan perubahan UUD 1945 dan kaitannya dengan

Prolegnas. Akhirnya disepakati, bahwa kalaupun diperlukan ada undang-undang

khusus tentang Prolegnas, sebaiknya lebih diarahkan kepada undang-undang

tentang proses penyusunannnya. Undang-undang ini menggantikan fungsi

Algemeene Bepalingen van Wetgeving (AB), yang jelas tidak layak lagi untuk

dipertahankan saat ini.

Undang-undang ini sekaligus berfungsi mengatur mekanisme pengajuan dan

penyusunan undang-undang, yang saat ini tersebar pada beberapa produk hukum

(antara lain Keppres Nomor 188 Tahun 1998 dan Peraturan Tata Tertib DPR). Produk

hukum yang baru ini juga memuat hirarki peraturan perundang-undangan yang

terlanjur diatur secara rancu dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000. REKOMENDASI TEKNIS Jangka Pendek Rekomendasi

No. 10 PENYUSUNAN UU PENGGANTI AB DIAGNOSIS: Mekanisme penyusunan sampai dengan tahap pengesahan suatu undang-undang, baik menurut Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 maupun menurut Peraturan Tatib DPR tidak menjamin pemberian akses yang memadai bagi masyarakat (stakeholders) untuk dalam rangka menyampaikan aspirasi mereka. REKOMENDASI: Mekanisme penyusunan undang-undang dituangkan dalam sebuah produk hukum yang berlaku baik untuk undang-undang yang berasal dari hak inisiatif DPR maupun dari hak inisiatif Pemerintah. Dalam undang-undang yang menggantikan Algemene Bepalingen (AB) ini dicantumkan secara eksplisit hak setiap stakeholder untuk didengar aspirasinya, dan mekanisme penyampaiannya sebagai bagian dari pengaturan “hak inisiatif” masyarakat untuk mengajukan suatu rancangan undang-undang. RENCANA AKSI: DPR memprioritaskan penyusunan dan pemberlakuan UU pengganti AB (selesai 2004).

Page 70: penelitian legislasi nasional

B. Indikator Penetapan Prioritas Prolegnas Dari empat sumber program legislasi yang diteliti (Propenas, BPHN, Baleg DPR,

dan LoI), tampak bahwa prioritas perancangan undang-undang dari masing-masing

sumber didasarkan pada sudut pandang yang berbeda. Sekalipun demikian, harus

diakui bahwa kondisi objektif yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini senantiasa

mewarnai setiap usulan, seperti terlihat pada tabel di bawah:

Indikator Pemberian Prioritas Menurut Masing-Masing Sumber

Propenas BPHN Baleg DPR LoI

1. Membangun sistem politik yang demokratis serta mempertahankan persatuan dan kesatuan.

1. Keterkaitan dengan UU lainnya yang sudah dibentuk.

1. Pelaksanaan UUD 1945.

Percepatan pemulihan ekonomi, dengan cara:

2. Mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik.

2. Mendukung pemulihan ekonomi.

2. Pelaksanaan TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN.

1. Mengontrol inflasi.

3. Mempercepat pemulihan ekonomi.

3. Mendukung demokrasi.

3. Persyaratan IMF – LoI.

2. Amandemen UU Bank Sentral.

4. Memperkuat landasan pembangun-an yang berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan Ekonomi Kerakyatan.

4. Berasal dari zaman Hindia Belanda.

4. Perjanjian Int. tentang HAM.

3. Pengurangan utang publik.

5. Membangun kesejahteraan rakyat.

5. Masalah gender. 5. Warisan Kolonial. 4. Mengurangi Subsidi.

6. Meningkatkan kualitas kehidupan beragama.

6. Sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat.

6. Diskrimatif (gender).

5. Meningkatkan pendapatan pajak.

7. Meningkatkan ketahanan budaya.

7. Tidak reformis. 6. Otonomi daerah.

8. Meningkatkan pembangunan daerah.

8. Kebutuhan rakyat yang mendesak.

7. Menurunkan arus modal swasta ke luar negeri.

9. Menjaga keutuhan bangsa.

8. Restrukturisasi Bank Pem.

10. Pemulihan ekonomi, keuangan/perbankan dan pembangunan.

9. Privatisasi.

11. Kesiapan pem. DPR dalam mengajukan RUU.

10. Keamanan investasi.

Page 71: penelitian legislasi nasional

12. Kesiapan masyarakat untuk melaksanakan UU.

11. Memastikan pengembalian aset.

Jika diperhatikan dengan saksama, semua indikator tersebut mengarah kepada

tiga kelompok indikator sebagai kondisi objektif yang sedang dihadapi bangsa

Indonesia. Tiga kelompok tadi adalah:

1. Desakan untuk memberi respons terhadap tuntutan reformasi di bidang hukum;

termasuk kelompok ini adalah pandangan tentang masih banyaknya produk hukum

warisan kolonial, perlunya memberi dukungan terhadap penyerapan aspirasi dan

kebutuhan masyarakat, pemberdayaan DPR dalam proses pengajuan RUU, otonomi

daerah, supremasi hukum, kesejahteraan sosial, peningkatan kualitas kehidupan

beragama, dan ketahanan budaya.

2. Klaim bahwa pemulihan ekonomi tidak berjalan disebabkan antara lain oleh kurang

kondusifnya perangkat hukum pendukungnya; termasuk kelompok ini adalah

alasan-alasan yang dikemukakan oleh LoI.

3. Urgensi untuk menyikapi perkembangan regional dan global; termasuk kelompok

ini adalah alasan-alasan yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan isu gender.

Dasar-dasar pemikiran yang digunakan untuk meletakkan suatu rancangan

undang-undang ke dalam daftar prioritas pada Propenas, Baleg DPR, dan LoI,

semuanya berlandaskan pertimbangan substansial. Artinya, materi rancangan undang-

undang tersebut yang dijadikan patokan penempatan prioriatas.

Dari penelitian yang dilakukan di BPHN, ternyata selain indikator substansial

seperti dibentangkan dalam tabel di atas, masih terdapat sejumlah pertimbangan untuk

memprioritaskan perancangan atau pemrosesan lebih lanjut sebuah perundang-

undangan. Dasar-dasar pertimbangan yang dimaksud dapat dikategorikan sebagai

indikator formal atau prosedural. Alasan-alasan BPHN yang dapat dimasukkan dalam

kriteria ini adalah apabila:

1. telah dipersiapkan naskah akademik untuk RUU tersebut;

2. telah ditetapkan sebagai program prioritas oleh instansi/lembaga tertentu;

3. telah dilakukan pembahasan terhadap RUU itu di tingkat departemen atau lembaga

pemerintah nondepartemen (LPND);

4. telah mendapat persetujuan dari Presiden;

Page 72: penelitian legislasi nasional

5. rancangannya telah disampaikan ke Sekretariat Negara.

Dari alasan-alasan yang sangat formal-prosedural tersebut terlihat benar bahwa

BPHN sendiri sebenarnya tidak memiliki program legislasi sendiri. Daftar prioritas

yang dibuatnya lebih berdasarkan kebutuhan penguasa (baca: Pemerintah) tanpa

memberi penilaian secara substansial.

Pendekatan yang digunakan BPHN ini menunjukkan bahwa lembaga ini masih

sangat kuat didominasi oleh cara berpikir Positivisme Hukum. Kedudukan dan peranan

Sekretariat Negara dalam program legislasi nasional, misalnya, dalam banyak kasus

justru lebih menentukan dibandingkan BPHN. Padahal, lembaga ini sejak awal

diharapkan dapat menjadi law center yang berwibawa dan dijadikan referensi oleh

semua pembentuk peraturan perundang-undangan.

Prioritas pembentukan hukum seyogianya berawal dari tuntutan substansial

yang rasional. Artinya, ada penelitian-penelitian mendalam yang telah dilakukan

sebelumnya untuk mendukung pilihan tersebut. Penelitian demikian harus

menunjukkan bahwa dimensi filosofis dan sosiologis dari rancangan peraturan

perundang-undangan tersebut sudah diakomodasi. Demikian juga dengan aspek

sinkronisasi dengan peraturan-peraturan yang sudah eksis sebelumnya. Dimensi

terakhir ini sangat berguna untuk memberi kekuatan keberlakuan yuridis bagi suatu

peraturan perundang-undangan di kemudian hari.

Keberlakuan yuridis tidak semata-mata ditunjukkan bahwa suatu peraturan

telah dibuat oleh lembaga yang berwenang dengan mengikuti prosedur standar, sampai

tahap, misalnya, dipublikasikan melalui lembaran negara. Dimensi yuridis harus juga

diperhatikan dalam arti sinkronisasi vertikal dan horisontal. Mengingat adanya

demikian banyak sumber lahirnya sebuah rancangan undang-undang, maka dapat

dipastikan akan muncul desakan-desakan yang sangat sektoral sifatnya. Suatu

rancangan yang digagas oleh sebuah unit kerja (misalnya departemen) dapat saja

berseberangan dengan rancangan unit kerja lainnya. Ketidaksesuaian pendapat ini

secara teknis mungkin dapat diatasi melalui tim interdepartemen, tetapi tidak ada

jaminan bahwa pekerjaan tim tersebut demikian komprehensif dan bekerja dengan

paradigma “hukum sebagai sistem”. Keterbatasan tim seperti ini akan membuat mereka

tidak cukup kemampuan (dan mungkin kemauan) mengkaji rancangan tadi secara

Page 73: penelitian legislasi nasional

filosofis, sosiologis, dan yuridis. Akhirnya, suatu peraturan akan berbenturan satu sama

lain, bahkan sampai pada satu tingkat di mana asas-asas hukum “tidak lagi sanggup”

mengatasi pembenturan itu. Sebagai contoh, ada ketentuan pidana dalam undang-

undang sektoral, yang melanggar prinsip-prinsip pemidanaan dalam KUHP. Jika

diberlakukan prinsip “lex specialis derogat lege generali” seharusnya, undang-undang

sektoral ini yang dimenangkan. Namun, jika undang-undang ini dipaksakan untuk

diterapkan, muncul inkonsistensi yang berdampak pada ketidakpastian hukum.

Belum lagi jika indikator prioritas ini juga didasarkan pada tekanan-tekanan

regional atau golobal. Indikator yang ditunjukkan oleh LoI memang tidak satu pun

yang secara eksplisit menunjukkan faktor ini. Semua dikemas dengan dalih akselerasi

pemulihan ekonomi. Padahal, desakan negara lain/lembaga internasional (kreditur)

tersebut tidak selalu sejalan dengan prioritas masyarakat Indonesia dalam dimensi

sosiologis-teleologis. Contoh yang klasik adalah UU Paten yang pernah mendapat

prioritas pengubahan bekali-kali, bahkan dalam tempo yang cukup singkat. Kebutuhan

terhadap undang-undang ini jelas lebih karena desakan eksternal, bukan karena

diangkat secara bottom-up menurut hukum yang hidup di tengah masyarakat Indonesia.

Buktinya, setelah undang-undang ini diberlakukan pun, permintaan paten dari dalam

negeri masih sangat minim.

Baleg DPR dalam menetapkan daftar prioritas yang disusunnya lebih banyak

mendasarkan indikatornya pada pendekatan politik. Isu-isu seperti hak asasi manusia

dan diskriminasi gender, misalnya, mencerminkan reaksi politis DPR yang terkadang

terkesan berlebihan. Lahirnya UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) dan

UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5 Tahun

1999), yang keduanya adalah produk hak inisiatif DPR merupakan “prioritas” DPR

yang terbukti tidak berjalan efektif. Ini berarti, mayoritas masyarakat (bahkan aparat

penegak hukum) sendiri belum “menganggap penting” keberadaan kedua undang-

undang ini. Undang-undang seperti ini dapat saja diberi nilai tambah sebagai salah satu

bentuk “law as a tool of social engineering”. Namun, seperti telah diungkapkan dalam Bab

III laporan penelitian ini, pemeragaan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat

pun harus memperhatikan syarat-syarat tertentu, seperti aspek besaran penerimaan dan

Page 74: penelitian legislasi nasional

penolakan masyarakat tatkala norma itu sampai pada proses pelembagaan

(institusionalization).

Indikator-indikator yang diberikan oleh Propenas berada dalam wilayah makro.

Oleh karena itu, pendekatan sistemik hukum terhadap Prolegnas ini tidak diberi bobot

yang terlalu besar. Indikator “untuk membangun kesejahteraan rakyat” misalnya, akan

diterjemahkan secara multivarian oleh departemen-departemen teknis. Dengan

demikian, kecenderungan tumpang tindih perumusannya dalam undang-undang akan

sangat besar.

Terakhir, adalah indikator-indikator yang ditetapkan melalui LoI. Fokus

perhatian LoI ini jelas dengan satu sudut pandang, yakni demi mempercepat pemulihan

ekonomi. Optik yang oleh banyak kalangan diibaratkan “kaca mata kuda” ini jelas akan

sangat berbahaya jika diperkuat dengan ide pragmatisme jangka pendek. Ukuran

keberhasilan Prolegnas melalui LoI, seyogianya tidak cukup dibaca melalui data

kuantitatif, seperti berkurangnya subsidi, privatisasi, atau peningkatan pendapatan

pajak. Indikator-indikator kualitatif pun selayaknya dijadikan acuan utama, seperti

peningkatan rasa percaya rakyat terhadap Pemerintah atau peningkatan kesejahteraan.

Dari gambaran tersebut sekilas tampak bahwa Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2000 (Propenas) ini tidak berjalan efektif untuk memandu Prolegnas. Data yang

diperoleh dari departemen/kementerian negara dalam tabel dalam Lampiran VI.

Dari data Lampiran VI tersebut dapat diperhatikan, bahwa dari 13

departemen/kementerian negara ternyata tidak semua departemen/kementerian

negara itu mempunyai kesamaan bahasa dengan daftar prioritas yang ditetapkan

Propenas. Bahkan, ada kecenderungan pada departemen tertentu untuk

memprogramkan suatu RUU yang tidak direkomendasikan Propenas sama sekali. Hal

ini sesungguhnya dapat dipahami, karena pendekatan “program” memang tidak dapat

sepenuhnya ditetapkan terlalu dini (dalam bentuk undang-undang). Adakalanya

program itu baru dirasakan urgensinya pada satu atau dua tahun terakhir berdasarkan

hasil observasi terhadap kebutuhan riil masyarakat. Sekalipun demikian, dari alasan-

alasan yang diberikan oleh departemen/kementerian negara tersebut, sesungguhnya

tidak ditemukan ada RUU yang tingkat urgensinya datang pada satu atau dua tahun

terakhir. Artinya, semua seharusnya dapat dimasukkan dalam prioritas Propenas.

Page 75: penelitian legislasi nasional

Kuatnya desakan luar negeri terutama juga terlihat dalam ratifikasi konvensi-

konvensi internasional. Dalam Propenas terdapat sejumlah konvensi yang

diprogramkan akan segera diratifikasi, seperti Konvensi Internasional tentang Larangan

Perdagangan Perempuan dan Anak, Konvensi Internasional tentang Hukum Perjanjian

Internasional, dan konvensi-konvensi lain yang bernuansa penghormatan terhadap hak

asasi manusia dan keseimbangan gender. REKOMENDASI KEBIJAKAN Jangka Panjang Rekomendasi

No. 5 AKOMODASI KEPENTINGAN EKSTERNAL DALAM PROLEGNAS DIAGNOSIS: Kepentingan kelompok dan tekanan regional dan internasional mempunyai peran yang signifikan dalam penetapan prioritas dalam Prolegnas, sehingga daftar RUU yang diprogramkan tidak secara utuh mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia secara luas. REKOMENDASI: Mengkoordinasikan penetapan Prolegnas, dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan dari para stakeholders, termasuk desakan regional dan internasional. RENCANA AKSI: Memberi tugas kepada institusi independen (komisi di bidang peraturan perundang-undangan) untuk menetapkan Prolegnas secara aspiratif dan responsif sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat Indonesia (sejalan arahan politik hukum nasional).

Sejalan dengan pembahasan pada subbab sebelumnya, agar Prolegnas dapat

berjalan efektif dengan indikator-indikator yang dipatuhi bersama, kiranya keberadaan

insitutusi yang berkompeten untuk mengkoordinasikan sekaligus memantau Prolegnas

ini sudah mutlak ada. Di sisi lain, keberadaan Propenas sebagai produk hukum, harus

dilengkapi dengan undang-undang yang mengatur tentang mekanisme pengajuan

Prolegnas itu. Undang-undang ini mengikat semua pihak, termasuk DPR dan

Pemerintah.

Dalam tataran makro, sebagaimana juga telah disinggung dalam subbab

sebelumnya, penggunaan indikator yang sedemikian banyak dan saling tumpang

tindih, justru menyebabkan pihak pembentuk undang-undang kehilangan arah dan

tidak dapat lagi berpegang pada skala prioritas yang jelas. Oleh sebab itu, tidak

mengherankan apabila Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 hanya menjadi aturan di

atas kertas karena sama sekali tidak efektif. Seharusnya indikator-indikator tersebut

Page 76: penelitian legislasi nasional

merupakan pengejawantahan dari politik hukum Indonesia, sesuatu yang tidak pernah

dipersiapkan secara serius sampai saat ini.

REKOMENDASI KEBIJAKAN Jangka Panjang Rekomendasi No. 3

PENEKANAN INDIKATOR PROLEGNAS DIAGNOSIS: Prolegnas yang dicantumkan dalam Propenas, BPHN, Baleg DPR, dan LoI berangkat dari sejumlah indikator yang berbeda penekanannya, namun pada dasarnya bermuara kepada tiga faktor utama, yaitu adanya: (a) desakan untuk memberi respons terhadap tuntutan reformasi di bidang hukum, (b) anggapan bahwa pemulihan ekonomi tidak mungkin berjalan tanpa didukung oleh pembenahan perangkat hukum positif, (c) urgensi untuk menyikapi perkembangan regional dan global. REKOMENDASI: Indikator Prolegnas dalam jangka panjang tidak boleh sekadar merespons kondisi “darurat” yang cenderung pragmatis. RENCANA AKSI: Menyusun politik hukum nasional untuk jangka panjang, yang kemudian dijabarkan menjadi politik hukum jangka menengah dan jangka pendek. Di dalamnya secara jelas terlihat penekanan-penekanan indikator Prolegnas menurut kebutuhan tiap-tiap periode.

C. Penetapan Prioritas Prolegnas dalam Berbagai Bidang

Tabel yang disajikan dalam subbab ini akan menunjukkan data tentang bidang-

bidang Prolegnas, yaitu: (1) hukum, (2) ekonomi, (3) politik, (4) agama, (5) pendidikan,

(6) sosial dan budaya, (7) pembangunan daerah, (8) sumber daya alam dan lingkungan

hidup, serta (9) pertahanan dan keamanan. Dilihat dari prioritas undang-undang per

bidang yang dikemukakan, tampak posisinya sebagai berikut:

No. Bidang yang disebutkan dalam Propenas Jumlah UU

1 Hukum 35 2 Ekonomi 48 3 Politik 29 4 Agama 4 5 Pendidikan 1 6 Sosial dan Budaya 42 7 Pembangunan Daerah 3 8 Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 18 9 Pertahanan dan Keamanan 5

Jumlah 185

Page 77: penelitian legislasi nasional

Untuk melihat lebih jauh rincian prioritas tersebut, perhatikan tabel pada

Lampiran VII dan VIII. Jumlah RUU yang dijadikan prioritas oleh keempat sumber

dengan demikian berarti berjumlah sekitar 185 buah. Penggunaan kata “sekitar” di sini

perlu digarisbawahi karena angka sebenarnya memang tidak mudah diketahui.

Penelitian ini hanya mampu memperoleh judul sementara atau area RUU tersebut,

padahal dari judul tersebut belum dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang isinya.

Salah satu alasannya adalah karena RUU yang dicantumkan judul-judulnya ini sebagian

besar masih dalam tataran gagasan, bahkan belum terwujud dalam naskah akademik

sekalipun. Dapat saja terjadi BPHN dan Baleg DPR, misalnya, mengajukan judul yang

sama, tetapi setelah dikaji di kemudian hari ternyata substansinya berbeda, sehingga

akhirnya kedua RUU itu diproses sebagai dua judul undang-undang yang berbeda.

Pengklasifikasian inipun masih dapat diperdebatkan karena satu judul RUU

dapat saja masuk ke dalam beberapa bidang sekaligus. RUU tentang guru, misalnya,

dapat masuk ke dalam sektor pendidikan, tetapi juga dapat terkait dengan sosial

budaya. Demikian juga dengan RUU ketenagakerjaan, yang dapat masuk ke dalam

sektor ekonomi, politik, dan sosial budaya.

Uraian di bawah adalah penafsiran berdasarkan data yang muncul dalam tabel

pada Lampiran VII dan VIII. Urutan penyebutan bidang-bidang ditentukan

berdasarkan kuantitas undang-undang yang diprioritaskan akan dibuat pada masing-

masing bidang menurut Propenas 2000—2004.

1. Bidang Ekonomi Rapuhnya fundamen ekonomi Indonesia sudah disuarakan sejak lama oleh para

ahli, sejak rejim Orde Baru menjadikan hutang luar negeri sebagai andalan

pembangunan. Sektor perbankan juga tidak kunjung sehat, yang berakibat menjadi

beban anggaran yang sangat berat bagi Pemerintah. Di sisi lain, sektor riil juga tidak

dapat bergerak optimal selama sektor moneter belum terbenahi. Efek dominonya adalah

menurunnya minat investasi, meningkatnya jumlah pengangguran, dan dengan

sendirinya menurunkan tingkat pendapatan dan daya beli masyarakat.

Dari tabel di atas, tampak bahwa dominasi RUU yang diprioritaskan berada

dalam wilayah ekonomi. Hal ini dapat dipahami, karena keempat sumber (Propenas,

BPHN, Baleg DPR, dan LoI) memang memberi penekanan pada sudut ini. Rupanya

Page 78: penelitian legislasi nasional

sangat kuat melekat pada benak para pengusul RUU itu, bahwa kemunduran sektor

ekonomi memang perlu segera diatasi sesegera mungkin (jangka pendek). Dan, undang-

undang adalah instrumen penting untuk mengatasi kemelut ekonomi ini.

Sayangnya, perumusan undang-undang di bidang ekonomi ini seringkali tidak

dilakukan secara hati-hati dengan pendekatan sistemik. Dalam diskusi kelompok tatkala

Lokakarya II Kelompok Kerja C-3 diadakan, terdapat keluhan dari seorang peserta dari

Departemen Kehakiman dan HAM, bahwa departemen-departemen teknis seringkali

terlalu “memaksakan kehendak” atas suatu klausula, padahal tidak mereka sadari

bahwa pencantuman klausula yang tidak dikaji secara sistematis itu akan mencederai

sistem hukum Indonesia.

Apa yang dikeluhkan ini cukup beralasan karena terbukti beberapa undang-

undang yang dihasilkan lima tahun terakhir ini di sektor ekonomi, ternyata

mengandung kontradiksi mendasar dengan produk hukum lainnya. Hal ini tanpa

disadari telah berpeluang menciptakan celah-celah hukum untuk dimanfaatkan pihak-

pihak yang beritikad tidak baik. Undang-Undang Yayasan yang belum sempat berlaku

efektif, misalnya, terpaksa harus ditinjau ulang. Demikian juga dengan tuntutan untuk

mengubah Undang-Undang tentang Kepailitan, Pengadilan Niaga, Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Perlindungan Konsumen, dan seterusnya.

Artinya, alih-alih ingin memproduksi peraturan yang menggairahkan bidang ekonomi,

yang terjadi justru melahirkan bumerang ketidakpastian hukum di sektor ekonomi.

2. Bidang Sosial Budaya Sektor kedua yang dijadikan prioritas adalah sosial budaya. Bidang sosial

budaya terkait erat dengan bidang kesejahteraan rakyat, yang rupanya tidak dikategori

secara tersendiri. Dari sektor ini hadir problema sekitar menurunnya indeks harapan

hidup dan kualitas sumber daya manusia. Jumlah penduduk miskin menggelembung

secara drastis.

Apabila diamati, RUU yang diajukan dalam bidang ini lebih banyak diinspirasi

dari penyakit (patologi) sosial yang sedang melanda masyarakat Indonesia. Undang-

Undang yang diprogramkan mencakup masalah psikotropika, hak perempuan,

perdagangan perempuan dan anak, penanggulangan tuna susila, fakir miskin, undian,

Page 79: penelitian legislasi nasional

cagar budaya, ketenagakerjaan (pengangguran), karantina kesehatan, pengungsi, dan

sebagainya.

3. Bidang Hukum Bidang hukum ditempatkan pada sektor prioritas nomor tiga. Wajah buruk

hukum Indonesia menjadi hiasan media massa hampir setiap hari. Premanisme,

anarkisme, vandalisme, ketidakdisiplinan lalu lintas, pungutan liar, adalah wujud-

wujud konkret ketidakpercayaan masyarakat kepada hukum. Aparat penegak hukum

yang tidak profesional dan korup, yang terang-terangan melanggar etika luhur

profesinya, telah menambah kelabunya kondisi sektor hukum.

Ada keinginan kuat untuk mengubah keadaan ini dengan menciptakan produk

hukum seperti Undang-Undang Advokat, Notaris, dan profesi lainnya. Bahkan,

diusulkan tentang Undang-Undang Kode Etik Hakim, yang oleh banyak pengamat

dipandang berpotensi akan mengaburkan kekuatan mengikat profesi itu secara legal

dan moral. Muncul pertanyaan, misalnya, apakah akibat pelanggaran etika, seseorang

dapat dipidana?

Ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga pengadilan memunculkan pula

badan-badan semiyudikatif, dengan nama komisi atau badan penyelesaian sengketa.

Keberadaan badan-badan ini juga direkomendasikan dalam Prolegnas, seperti dalam

Undang-Undang Komisi Anti Korupsi. Untuk profesi seperti dokter, akuntan, dan

pengacara/advokat, disarankan juga untuk membentuk badan-badan penyelesaian

sengketa internal profesi tersebut.

Jika diperhatikan judul-judul yang muncul dari daftar Lampiran VII dan VIII,

tampak bahwa sektor ini didominasi oleh pembangunan sectoral laws, dan hanya sedikit

yang mengarah ke basic laws. Pembangunan hukum dasar biasanya mengarah kepada

kodifikasi-kodifikasi hukum. Memang benar ada usulan dari Propenas, BPHN, dan

Baleg DPR untuk pembentukan UU tentang hukum acara perdata. Namun, untuk

pembentukan KUH Perdata, sendiri hanya Propenas yang mengusulkan, sementara

BPHN, tidak. Hal ini agak aneh karena kedua kodifikasi ini sebenarnya sudah sejak

lama diperjuangkan oleh figur-figur penting di BPHN (antara lain oleh mantan Kepala

BPHN Teuku Mohammad Radhie). Bahkan tatkala T.M. Radhie memimpin lembaga ini,

ia mengusulkan agar dilengkapi kodifikasi untuk semua basic laws karena sejak

Page 80: penelitian legislasi nasional

Indonesia merdeka, hanya ada satu kodifikasi produk alam kemerdekaan, yakni UU No.

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dalam Lokakarya I, diakui oleh narasumber dari P3I DPR RI, bahwa dari pihak

Baleg DPR sendiri ada pemikiran untuk menunda rancangan undang-undang yang

terkait dengan basic laws ini. Alasannya lebih pada keterbatasan waktu, mengingat masa

kerja anggota DPR ini sendiri hanya sampai tahun 2004. Dikhawatirkan pembahasan

RUU ini akan memakan waktu lama dan berlarut-larut. Padahal, dalam Propenas

amanat untuk merancang ulang produk hukum berkualifikasi basic laws ini juga

dicantumkan.

Dalam Propenas memang dicantumkan juga rancangan untuk mengubah

KUHAP dan KUHP. Untuk perubahan terhadap KUHAP, ketiga sumber yakni

Propenas, BPHN, dan Baleg DPR mempunyai satu suara. Sementara untuk KUHP,

Propenas mengusulkan agar dilakukan perubahan, sementara BPHN meminta agar

dibentuk baru.

Dari bidang ekonomi, ada disebutkan judul RUU tentang perdagangan. Memang

tidak jelas di sini, apakah yang dimaksud adalah kodifikasi seperti layaknya KUHD.

Usul pembentukannya dimajukan oleh tiga sumber (Propenas, BPHN, dan Baleg DPR).

Pembangunan aspek basic laws memang membutuhkan pengkajian mendalam,

sehingga mungkin tidak sepenuhnya tepat ditempatkan sebagai prioritas jangka pendek

sampai tahun 2004. Kendati demikian, wacana tentang perlunya basic laws ini harus

didengungkan sejak jauh-jauh hari, mengingat keberadaan hukum-hukum dasar inilah

yang menjadi payung sectoral laws.

Perdebatan tentang mana yang lebih primer antara kodifikasi dan modifikasi

hukum sudah selayaknya ditinggalkan karena sesungguhnya keduanya sama

pentingnya. Persoalannya memang, dalam keterbatasan sumber daya dan dana

sekarang ini, gerakan modifikasi hukum (yang biasanya lebih diarahkan kepada

pembentukan hukum sektoral) akan lebih diprioritaskan. Penundaan pembangunan

basic laws sebaiknya tidak boleh lebih lama dari lima tahun ke depan. Sebab,

pertumbuhan hukum-hukum sektoral yang tidak didasari oleh pilar-pilar basic laws

yang kuat akan berpotensi merusak sistem hukum nasional Indonesia.

Page 81: penelitian legislasi nasional

4. Bidang Politik Bidang politik selanjutnya menempati prioritas keempat. Kisaran areal RUU

yang diajukan di bidang ini ternyata sangat bervariasi. Aroma “reformasi politik”

sangat kuat berhembus dari sektor ini, sebagaimana tampak dari keinginan untuk

mengubah peraturan di bidang partai politik, susduk MPR, DPR, dan DPRD. Lalu, juga

muncul keinginan untuk mengatur lebih jauh lembaga kepresidenan, contempt of

parliament, dan tindakan kepolisian terhadap anggota DPR/DPRD. Hampir dapat

dipastikan, jenis-jenis RUU seperti ini tidak mungkin muncul sebagai prioritas pada era

Orde Baru.

Sangat menarik, bahwa pembentukan dan perubahan terhadap RUU di bidang

politik justru lebih banyak datang dari Propenas dan BPHN, dan sedikit saja dari Baleg

DPR. Pada sektor ini sumber di Baleg DPR hanya mengusulkan pembentukan RUU

tentang susdik MPR, DPR, DPRD, lalu tentang peran serta masyarakat (dalam

berpolitik), tentang hubungan antar-lembaga tinggi negara, dan tentang diskriminasi

terhadap hak-hak minoritas. Makin menguatnya gejala politik aliran dan semangat

kedaerahan, membuat muncul usulan-usulan agar dibuat undang-undang tentang

peran serta masyarakat, hubungan wakil rakyat dan rakyat, dan sebagainya.

Fenomena penempatan aturan-aturan di bidang politik pada prioritas keempat

dapat dipandang sebagai pergeseran yang signifikan. Namun, jika dilihat dari segi

jumlah RUU antara prioritas ketiga (sektor hukum) dan prioritas keempat (politik) tidak

terpaut jumlah RUU yang cukup banyak. Artinya, pembangunan sektor politik

sebenarnya tetap mendapat perhatian penting, dan mungkin sekali akan menemukan

momentum urgensinya untuk didahulukan daripada sektor-sektor lain, mengingat

tahun 2004 nanti berlangsung pemilihan umum.

5. Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup ditempatkan pada prioritas

kelima. Jumlah RUU dari sektor ini terpaut angka cukup jauh dari sektor politik.

Masalah konservasi alam masih mendominasi usulan-usulan RUU di bidang ini. Dilihat

dari sumber pengusul, hampir seluruh RUU di sektor ini diajukan usulan

pembentukannya oleh BPHN. Sumber LoI hanya meminta dilakukan perubahan

terhadap satu undang-undang saja di bidang ini, yakni tentang energi. Kurangnya

Page 82: penelitian legislasi nasional

perhatian sumber-sumber selain BPHN terhadap sektor ini “agak mengejutkan” karena

isu-isu lingkungan seharusnya sudah menjadi wacana global. Lembaga-lembaga

internasional, termasuk IMF seharusnya memberi penekanan juga pada pembangunan

pranata hukum sektor ini.

6. Bidang Pertahanan dan Keamanan Prioritas keenam menurut hasil penelitian ini diduduki oleh sektor pertahanan

keamanan. Sekalipun menduduki tempat prioritas keenam, RUU sektor hankam

ternyata sangat jauh di bawah jumlah RUU sektor sumber daya alam. Ancaman

disintegrasi bangsa dan gangguan keamanan tampaknya menjadi inspirasi munculnya

sejumlah RUU dari sektor ini.

7. Bidang Lain-lain (Agama, Pembangunan Daerah, Pendidikan) Prioritas ketujuh dan seterusnya masing-masing ditempati sektor agama,

pembangunan daerah, dan pendidikan. Jumlah RUU yang diusulkan pada sektor-sektor

ini sangat minim. Usulan sebagian besar datang dari Propenas. Ini berarti, ada

kecenderungan dari banyak pihak untuk melihat persoalan pembangunan sektor

agama, kedaerahan, dan pendidikan sebagai persoalan makro. Besar kemungkinan

karena sektor-sektor ini dinilai merupakan investasi jangka panjang dengan output yang

tidak terlalu konkret.

8. Konvensi Internasional Tuntutan regional dan global dalam penyusunan Prolegnas juga diakomodasi

secara luas, sebagaimana terlihat dari amanat untuk meratifikasi sejumlah konvensi

internasional. Dalam Propenas, misalnya, tercatat beberapa konvensi yang sebenarnya

sudah ada lebih dari sepuluh tahun lalu. Bahkan, konvensi tentang perbudakan telah

dibuat tahun 1926. Desakan agar Indonesia membuka diri untuk bergabung dengan

negara-negara peratifikasi lainnya, terutama datang dari masyarakat internasional, atau

melalui mitra mereka di Indonesia dari unsur LSM.

Di luar konvensi, undang-undang yang bersifat sektoral juga banyak yang

“wajib” segera dibuat demi memenuhi desakan pihak-pihak luar negeri. Undang-

Undang Anti Terorisme, misalnya, adalah salah satu bentuk undang-undang yang

didesakkan untuk segera diwujudkan. Dalam Lokakarya II Kelompok Kerja C-3,

Page 83: penelitian legislasi nasional

memang ada bantahan seorang peserta dari Departemen Kehakiman dan HAM, bahwa

undang-undang ini sebenarnya sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelum peristiwa “11

September 2001”. Namun, ia mengakui bahwa tekanan Amerika Serikat memang cukup

besar agar Indonesia segera menelurkan undang-undang tersebut.

Pembagian per bidang menurut kategorisasi Propenas tersebut sebenarnya tidak

cukup sistematis untuk membagi sektor-sektor yang ada. Seharusnya bidang-bidang

tersebut cukup dibagi menjadi: (1) hukum, (2) ekonomi, (3) sosial politik, (4)

kesejahteraan rakyat, dan (5) pertahanan dan keamanan. Dari kategori Propenas,

sebaiknya sosial budaya dapat digolongkan menjadi kesra, demikian juga dengan

agama dan pendidikan. Sementara itu, sektor pembangunan daerah dapat masuk ke

berbagai bidang, seperti sosial politik, hukum, ekonomi, dan kesra.

REKOMENDASI KEBIJAKAN Jangka Panjang Rekomendasi No. 4

PRIORITAS BIDANG-BIDANG PROLEGNAS DIAGNOSIS: Prolegnas memberikan prioritas yang sebaran bidangnya tidak merata, dan sangat didominasi oleh RUU sektor ekonomi dengan pendekatan kebutuhan jangka pendek dan pragmatis. REKOMENDASI: Walaupun tidak harus dicantumkan dalam produk hukum berbentuk undang-undang, perhatian harus diberikan secara lebih merata untuk bidang-bidang lain di luar ekonomi. Sebaran bidang dan alokasi anggaran untuk penyiapan RUU dibuat lebih merata, dengan juga memperhatikan kepentingan jangka menengah dan jangka panjang. RENCANA AKSI: Memberi tugas kepada institusi independen (komisi di bidang peraturan perudang-undangan) untuk menyusun Prolegnas yang lebih merata, sehingga tidak didominasi bidang ekonomi dengan pendekatan kebutuhan jangka pendek dan pragmatis.

Page 84: penelitian legislasi nasional

BAB V

KESIMPULAN

1. Penyusunan Prolegnas masih dalam taraf mencatat daftar keinginan, bukan daftar

kebutuhan, karena daftar undang-undang yang dituangkan melalui Propenas

tersebut terbukti belum mampu secara optimal mengakomodasi kebutuhan riil

masyarakat (para stakeholders). Proses pembentukan, perubahan (revisi), dan

pencabutan suatu undang-undang dalam kenyatakaan belum memberikan akses

yang seimbang kepada setiap stakeholder dalam menyuarakan kepentingannya. Di

samping itu, Mekanisme penyusunan sampai dengan tahap pengesahan suatu

undang-undang, baik menurut Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 maupun

menurut Peraturan Tatib DPR tidak menjamin pemberian akses yang memadai bagi

masyarakat (stakeholders) dalam rangka menyampaikan aspirasi mereka. Penelitian

hukum sebagai kunci untuk menyerap aspirasi dan memahami hukum yang hidup

di masyarakat (living law), belum diorganisasi secara baik, sehingga tidak banyak

memberi kontribusi bagi penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu substansi

undang-undang.

2. Prolegnas yang dicantumkan dalam Propenas, BPHN, Baleg DPR, dan LoI berangkat

dari sejumlah indikator yang berbeda penekanannya, namun pada dasarnya

bermuara kepada tiga faktor utama, yaitu adanya: (a) desakan untuk memberi

respons terhadap tuntutan reformasi di bidang hukum, (b) anggapan bahwa

pemulihan ekonomi tidak mungkin berjalan tanpa didukung oleh pembenahan

perangkat hukum positif, (c) urgensi untuk menyikapi perkembangan regional dan

global. Bervariasinya indikator yang digunakan menunjukkan ketidakjelasan politik

hukum Indonesia, khususnya yang terkait dengan politik pembentukan hukum.

Penerapan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun 2000—

2004 ternyata juga tidak efektif. Indikator ketidakefektifan itu dapat diamati dari

beberapa hal. Pertama, jumlah undang-undang yang diproduksi kurun waktu

2000—2002 ternyata hanya sekitar seperempat dari jumlah keseluruhan produk

yang direkomendasikan Propenas. Untuk kurun waktu 2003—2004, dipastikan

Page 85: penelitian legislasi nasional

bahwa pemenuhan dari target Propenas juga tidak akan tercapai. Kedua,

berdasarkan data yang diperoleh dari departemen/LPND, diketahui bahwa

sebagian dari rancangan undang-undang yang diprogram untuk periode 2003—2004

sebagian besar tidak sesuai dengan rekomendasi Propenas. Kondisi demikian terjadi

karena memang ada kebutuhan mendesak yang diserap oleh departemen/LPND,

yang sebelumnya tidak terakomodasikan oleh Propenas. Di luar itu, terdapat

tekanan eksternal (pihak internasional) yang cukup berperan dalam pergantian

prioritas pembentukan, perubahan, dan pencabutan suatu undang-undang.

3. Prolegnas memberikan prioritas yang sebaran bidangnya tidak merata, dan sangat

didominasi oleh RUU sektor ekonomi dengan pendekatan kebutuhan jangka

pendek. Kepentingan kelompok dan tekanan internasional mempunyai peran yang

signifikan dalam penetapan prioritas dalam Prolegnas, sehingga daftar RUU yang

diprogramkan tidak secara utuh mencerminkan kebutuhan riil masyarakat

Indonesia secara luas. Dasar untuk menentukan apakah suatu undang-undang

harus dibentuk baru, direvisi, atau dicabut, tidak didasarkan pada kajian mendalam.

Juga terdapat kecenderungan untuk sangat menitikberatkan pembangunan hukum

di sektor ekonomi dengan pola pembentukan sebagai pilihan utama dibandingkan

dengan pola perubahan. Bahkan pola pencabutan sama sekali tidak ikut

diperhitungkan, padahal diakui bahwa keberadaan produk hukum warisan kolonial

adalah salah satu indikator (alasan) diluncurkannya Prolegnas. Hal ini menunjukkan

bahwa pendekatan sistemik untuk menjalankan Prolegnas belum secara sungguh-

sungguh diperhatikan. Produk hukum baru terus dibentuk, tanpa menyadari

apakah telah terjadi inkonsistensi secara vertikal maupun horisontal dalam tata

hukum Indonesia.

Page 86: penelitian legislasi nasional

BAB VI

REKOMENDASI A. Rekomendasi Kebijakan

Rekomendasi kebijakan dalam Prolegnas mengharuskan adanya penetapan

rentang waktu yang agak panjang (5 s.d. 10 tahun). Dalam rekomendasi disebutkan

perlunya ada sebuah institusi independen (komisi) di bidang perarturan perundang-

undangan. Pembentukan komisi ini, mengingat masih dalam tataran konsep, tentu

memerlukan landasan kebijakan terlebih dulu, sebelum akihirnya sampai pada tahap

teknis. Kebijakan tersebut dalam arti perlunya persiapan yang matang. Landasan

hukum pendiriannya harus jelas, dalam hal ini berupa undang-undang, yang dengan

sendirinya memerlukan waktu cukup lama. Belum lagi proses penunjukan

keanggotaan, yang melibatkan lembaga DPR dan Pemerintah.

DPR dan Pemerintah sebagai dua lembaga pembentuk undang-undang

menetapkan politik hukum nasional. Untuk menetapkan politik hukum ini, DPR dan

Pemerintah dibantu oleh institusi independen (komisi di bidang peraturan perundang-

undangan) yang secara khusus diberi tugas menjabarkannya menjadi daftar kebutuhan

undang-undang (baca: Prolegnas) untuk dijadikan pedoman penyusunan Repeta.

Walaupun tidak harus dicantumkan dalam produk hukum berbentuk undang-

undang, perhatian harus diberikan secara lebih merata untuk bidang-bidang lain di luar

ekonomi. Sebaran bidang dan alokasi anggaran untuk penyiapan RUU dibuat lebih

merata, dengan juga memperhatikan kepentingan jangka menengah dan jangka

panjang.

Salah satu tugas dari institusi independen yang disinggung di atas adalah

mengkoordinasikan penetapan Prolegnas, termasuk pemerataan bidang-bidang dan

penyebaran alokasi anggarannya. Demikian juga penyelarasan kepentingan-

kepentingan para stakeholders yang terlibat, serta antara dimensi domestik, regional, dan

internasional.

Page 87: penelitian legislasi nasional

Dasar penetapan untuk membentuk, merevisi, dan mencabut suatu undang-

undang dijadikan sebagai bagian penting penelitian yang dimasukkan ke dalam naskah

akademik yang mendampingi pengajuan suatu RUU.

B. Rekomendasi Teknis Selain terkait masalah substansi, penyusunan dan perumusan suatu undang-

undang juga harus memperhatikan aspek teknis. Di sini berperan para tenaga

perancang undang-undang (legal drafters). Kuantitas dan kualitas tenaga perancang di

Indonesia saat ini masih sangat kurang. Di sisi lain, standar kualitas perancangan inipun

harus ditetapkan pula. Untuk keperluan standarisasi tersebut, perlu ada sertifikasi

khusus yang diberikan oleh asosiasi tenaga perancang undang-undang.

Mekanisme sosialisasi suatu undang-undang juga perlu diberi perhatian dalam

mengoptimalkan efektivitas keberlakuan suatu undang-undang. Biasanya, ada

ketidakjelasan kepada siapa beban sosialisasit tersebut harus diletakkan. Akan jauh

lebih baik apabila dalam undang-undang tersebut, disebutkan secara eksplisit

pihak/instansi yang diberi tugas sosialisasi ini.

Penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu undang-undang wajib ditunjang

oleh hasil penelitian hukum yang sungguh-sungguh komprehensif dan mendalam, baik

dari sudut subtansi maupun metodologinya. Hasil penelitian ini merupakan salah satu

dasar untuk penyusunan naskah akademik, dan keberadaan naskah akademik ini

dinyatakan sebagai prasyarat wajib (bukan sekadar anjuran) untuk pembuatan sebuah

undang-undang.

Mekanisme penyusunan undang-undang dituangkan dalam sebuah produk

hukum yang berlaku baik untuk undang-undang yang berasal dari hak inisiatif DPR

maupun dari hak inisiatif Pemerintah. Dalam undang-undang yang menggantikan

Algemene Bepalingen (AB) ini dicantumkan secara eksplisit hak setiap stakeholder untuk

didengar aspirasinya, dan mekanisme penyampaiannya sebagai bagian dari pengaturan

“hak inisiatif” masyarakat untuk mengajukan suatu rancangan undang-undang.

Undang-undang pengganti AB ini direkomendasikan untuk dapat diberlakukan paling

lambat tahun 2004.

Page 88: penelitian legislasi nasional

Rekomendasi kebijakan dan rekomendasi teknis di atas secara lebih rinci

dicantumkan dalam tabel-tabel di bawah ini dengan rentang waktu jangka panjang (5

– 10 tahun) dan pendek (1–2 tahun).

Page 89: penelitian legislasi nasional

MEKANISME KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI

RUU Usul Inisiatif

RUU dari Pemerintah

Proses Menjadi Usul Inisiatif DPR RI

Dibahas oleh DPR dengan Pemerintah

UNDANG-UNDANG

PROSES DILUAR BADAN LEGISLASI

Menghimpun

masukan dari

Menyusun konsep perencanaan dan program RUU

Membahas dan

mengevaluasi konsep

Meminta masukan dari komisi

Konsep prioritas

5 tahunan dan 1

Dikonsultasikan

dengan pemerintah /

Prioritas 5

tahunan / 1

Rekomendasi

ke Komisi /

Prioritas 1 tahun

Membantu menyususn RUU Usul Inisiatif

Mengawasi pelaksanaan UU dengan berkoordinasi dengan komisi

Rekomendasi ke

Bamus dan Komisi

Inventarisasi Masalah Hukum dan Perundang - undangan

PROSES DALAM BADAN LEGISLASI

Page 90: penelitian legislasi nasional

MEKANISME INVENTARISASI RUU DALAM PERENCANAAN DAN PENYUSUNAN PROGRAM LIMA TAHUNAN

MEKANISME PENETAPAN PRIORITAS RUU

RUU TIM ASISTENSI

BADAN LEGISLASI DPR

KEBUTUHAN RUU

INVENTARISASI LIMA

TAHUNAN

RUU TIM ASISTENSI

JUMLAH DAN TAHAPAN RUU

BADAN LEGISLASI DPR

PRIORITAS RUU DPR

KONSULTASI PIMPINAN DPR DAN PEMERINTAH

PRIORITAS RUU

NASIONAL

REKOMENDASI BAMUS DAN

KOMISI

Page 91: penelitian legislasi nasional

MEKANISME PENYIAPAN RUU INISIATIF DI BADAN LEGISLASI DPR RI

Adanya Usul Inisiatif

Tim Asistensi menyusun / menyempurnakan konsep RUU Usul Inisiatif

Tim asistensi presentasi di depan rapat Baleg/bidang yang bersangkutan + pengusul

Tanggapan anggota Baleg dan pembentukan Tim Perumus

Tim Perumus dan Tim Asistensi Menyusun Draf I

1. TIMUS + TIM ASISTENSI menjelaskan draf dalam rapat Baleg

2. Tanggapan anggota Baleg

TIMUS + Tim Asistensi menyusun draf II dan disampaikan kepada anggota Baleg

Diskusi dengan: 1. Pakar 2. Pejabat Pemerintah 3. Non Pemerintah

TIMUS + Tim Asistensi menyusun draf III

TIMUS + Tim Asistensi Laporkan ke Baleg dan tanggapan dari Baleg

TIMUS + Tim Asistensi menyusun draf IV Draf IV diputuskan Baleg dan disetujui draf final RUU Usul Inisiatif

Dengan pengantar yang ditandatangani para pengusul, disampaikan kepada pimpinan DPR RI

Masuknya Usul RUU Inisiatif diumumkan di dalam Rapat Paripurna DPR RI

Pengusul memberikan penjelasan di dalam rapat Badan Musyawarah

Pengusul memberi penjelasan di dalam rapat Paripurna

Kata akhir fraksi-fraksi dan pengambilan keputusan

Disempurnakan oleh Komisi / Gabungan komisi / Pansus

Disampaikan kepada Presiden dengan surat Pengantar dari Ketua DPR RI

DIBAHAS DI DPR RI

Page 92: penelitian legislasi nasional

RUU DARI

PEME-RINTAH

RUU DARI

DPR-RI

DUA TINGKAT PEMBICA-RAAN DI DPR-RI

DISETUJUI DPR-RI

DISAHKAN OLEH

PRESIDEN

UNDANG- UNDANG

Disampaikan oleh Presiden berupa RUU disertai keterangan Pemerintah dapat

Dalam rapat komisi, Baleg, panitia anggaran, atau rapat pansus bersama Pemerintah

Dengan acara:

1. Pemandangan Umum fraksi-fraksi terhadap RUU

2. Jawaban pemerintah atas pemandangan umum fraksi-fraksi

3. Pembahasan RUU oleh DPR dan Pemerintah dalam rapat kerja berdasarkan daftar inventaris masalah

Dalam rapat Paripurna Terbuka DPR-RI

Dengan acara:

1. Pengambilan keputusan yang didahului oleh :

1) Laporan Hasil Pembicaraan TK I

2) Pendapat akhir fraksi-fraksi yang disampaikan anggotanya, apabila dipandang perlu dapat pula disertai dengan catatan tentang sikap fraksinya.

2. Penyampaian sambutan

Dalam rapat komisi, Baleg,

panitia anggaran, atau rapat Dengan acara: 1. Tanggapan Pemerintah

terhadap RUU Inisiatif DPR-RI 2. Jawaban Pimpinan Komisi,

Baleg, panitia anggaran atau pimpinan

3. Pembahasan RUU oleh DPR dan Pemerintah dalam rapat kerja berdasarkan Daftar Inventaris Masalah (DIM)

Dalam Rapat Paripurna

Dengan acara: Tanggapan pemerintah terhadap

1. Pengambilan keputusan yang didahului oleh:

a. Laporan Hasil Pembicaraan Tk .I b. Pendapat akhir Fraksi-fraksi yang

disampaikan anggota, apabila dipandang perlu dapat pula disertai dengan catatan tentang sikap fraksinya.

2. Penyampaian sambutan Pemerintah.

PROSEDUR PENGAJUAN RUU DARI

Disampaikan secara tertulis

kepada Pimp. DPR

Ditandatangani sekurang-

kurangnya 10 orang anggota

DPR dan dapat pula diajukan

Dalam rapat Paripurna

DPR

Ketua Rapat memberitahukan

kepada anggota mengenai

Rapat Badan Musyawarah

Menentukan Waktu Disetujui Dengan Perubahan,

DPR menugaskan Komisi

BALEG, atau PANSUS untuk

membahas dan menyempur-

Disetujui tanpa perubahan

Ditolak

Disampaikan kepada Pres.

Oleh Pimpinan DPR

Dengan permintaan agar Pres.

Dua tingkat pembicaraan

Rapat Paripurna DPR-RI Memutus kan apakah usul RUU tersebut dapat diterima secara prinsip atau ditolak setelah memberikan kesempatan kepada: a. Penjelasan para

pengusul b. Pendapat fraksi-fraksi Keputusan dapat berupa: 1. Persetujuan tanpa

perubahan. 2. Persetujuan dengan

perubahan. 3. Penolakan

Page 93: penelitian legislasi nasional

DAFTAR PUSTAKA

Altman, Andrew. 2001. Arguing about Law: An Introduction to Legal Philosophy. Edition 2. Belmont: Wadsworth Publishing Co.

Attamimi, A. Hamid S. 1990. “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintah Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita V.” Disertasi Doktor Ilmu Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.

Darmodiharjo, Darji & Shidarta. 1996. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem

Hukum Indonesia . Jakarta: Raja Grafindo Persada (Rajawali Pers). Fuller. Lon F. 1964. The Morality of Law. New Haven: Yale University Press. Giddens, Anthony. The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial. Terjemahan

Ketut Arya Mahardika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000). Gaffar, Firoz & Ifdhal Kasim, Eds. 2000. Diagnostic Assessment of Legal Development in

Indonesia. Cet. 4. Jakarta: Cyberconsult. Kusumaatmadja, Mochtar. 1975. Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional.

Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH Unpad. _________. 1976. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional : Suatu Uraian

tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia. Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH Unpad.

Manan, Bagir. 1993. “Politik Perundang-undangan.” Makalah disajikan dalam Penataran

Dosen FH/STH se Indonesia, FH Universitas Andalas, Padang, 26 September s.d. 16 Oktober.

_________. 1994. “Asas, Tata Cara dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan

dan Peraturan Kebijakan.” Makalah disajikan dalam ceramah di Departemen Perdagangan dan Energi, Jakarta, 8 April.

_________. 1994a. “Ketentuan-Ketentuan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan dalam Pembangunan Hukum Nasional.” Makalah disajikan dalam pertemuan ilmiah tentang kedudukan biro-biro hukum/unit kerja departemen/LPND dalam pembangunan hukum, BPHN, Jakarta, 19 s.d. 20 Oktober.

Page 94: penelitian legislasi nasional

Nonet, Philippe & Philip Selznick. 1978. Law and Society in Transition: toward Responsive Law. New York: Harper & Row.

Peters, A.A.G. & Koesriani Siswosoebroto. 1988. Hukum dan Perkembangan Sosial: Buku

Teks Sosiologi Hukum (Buku I-III). Jakarta: Sinar Harapan. Rahardjo, Satjipto. 1985. Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin dalam

pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Sinar Baru. Rasjidi, Lili & I.B. Wyasa Putra. 1993. Hukum sebagai Suatu Sistem. Bandung: Remaja

Rosdakarya. Shidarta. 1999. Dasar-dasar Filsafat: Pengantar Mempelajari Filsafat Hukum. Jakarta: UPT

Penerbitan Universitas Tarumanagara. _________. 2000. “Quo Vadis Aliran Filsafat Hukum Indonesia?” dalam: Sekretariat

Laboratorium Pancasila. Ed. Menyambut HUT 80 Tahun Prof. Darji Darmodiharjo: Pemikiran, Karya dan Pengabdiannya (dalam Lintasan Wawasan dan Kesan Sejawat dan Sahabat). Malang: Laboratorium Pancasila Universitas Negeri Malang, hlm. 331-365.

Soekanto, Soerjono. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta:

Rajawali Pers. Wacks, Raymond. 1995. Jurisprudence. Edition 4. London: Blackstone Press Ltd. Wignjosoebroto, Soetandyo. 1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika

Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia . Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Page 95: penelitian legislasi nasional

Lampiran 1

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL BPHN

Status No Nama RUU Bentu

k Ubah

Cabut

Bidang

Dep/ LPND

Jumlah

RUU 1. Organisasi kemasyarakatan √ Polka

m Depdagri 14

2. Linmas √ 3. Perubahan Undang-Undang No. 2

tahun 1999 tentang Partai Politik √

4. Perubahan UU No. 4 tahun 2000 tentang Pemilu

5. Perubahan UU No. 4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPRD.

6. Otonomi bagi propinsi Papua √ 7. Badan Usaha Milik Daerah

(BUMD) √

8. Batas Wilayah Negara Kesatuan R.I.

9. Pembentukan Kabupaten dan 3 Kota

10. Rekonsiliasi nasional √ 11. Hubungan etnisitas dengan negara √ 12. Diskriminasi dan perlindungan hak-

hak asasi minoritas √

13. Perubahan UU No. 27 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

14. Perubahan UU No. 25 tentang perimbangan keuangan pemerintah dan daerah

√ Polkam

Deparlu 4

15. Pengesahan “Viena convention of the law of treaties 1969 (konvensi Wina tentang hukum perjanjian internasional 1969)

16. Ratifikasi teks of 1951 convention relating to the status of refugees.

17. Pengesahan international economic, social and cultural rights.

18. Pengesahan international convenant on civil and political rights.

19. Keadaan bahaya √ Polkam

Dephan 8

Page 96: penelitian legislasi nasional

Status No Nama RUU Bentu

k Ubah

Cabut

Bidang

Dep/ LPND

Jumlah

RUU 20. Pertahanan negara √ 21. Prajurit TNI √ 22. Peradilan militer √ 23. Hukum pidana militer √ 24. Hukum disiplin prajurit TNI √ 25. Rahasia negara √ 26. Batas wilayah negara RI √ 27. KUHAP √ Polka

m Depkeh 39

28. Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi

29. Ketentuan pokok peraturan perundang-undangan

30. Perlindungan saksi dan korban √ 31. Perubahan undang-undang nomor 1

tahun 1995 tentang perseroan terbatas

32. Komisi kebenaran dan rekonsiliasi √ 33. Perubahan UU No. 11 Tahun 1954

tentang amnesti, abolisi dan rehabilitasi

34. Sekuritas √ 35. Keimigrasian (perubahan undang-

undang nomor 9 tahun 1992 tentang keimigrasian)

36. Daktilaskopi √ 37. Pengesahan perjanjian ekstradisi

antara pemerintah RI dengan Korea.

38. Perubahan jenis instrumen hukum ratifikasi konvensi hak-hak anak Keppres No. 1990 tentang pengesahan konvensi hak-hak anak.

39. Perubahan atas undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak

40. Hak cipta √ 41. Advokat √ 42. Grasi √ 43. Pemberantasan tindak pidana

pencucian uang √

Page 97: penelitian legislasi nasional

Status No Nama RUU Bentu

k Ubah

Cabut

Bidang

Dep/ LPND

Jumlah

RUU 44. Perubahan UU No. 31 tahun 1999

tentang tindak pidana korupsi √

45. Kepailitan √ 46. Jabatan notaris √ 47. Perubahan UU No. 14 tahun 1970

tentang ketentuan Pokok Kehakiman

48. Ekstradisi √ 49. Balai harta peninggalan √ 50. Penggunaan dan perlindungan

terbatas palang merah √

51. Badan usaha diluar perseroan terbatas dan koperasi

52. Perubahan UU No. 5 tahun 1991 tentang kejaksanaan

53. Perubahan UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia

54. Pengesahan convention againts transnational crime (TOC)

55. Pembentukan pengadilan tinggi propinsi Maluku Utara, Banten, Gorontalo, serta Bangka dan Belitung

56. KUHAP √ 57. Pencegahan penanggulangan

teorisme √

58. Pemberantasan tindak suap √ 59. Hukum acara perdata √ 60. Kewarganegaraan RI √ 61. Perubahan UU No. 2 tahun 1986

tentang peradilan umum √

62. Perubahan UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamh Agung

63. Perubahan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

64. Perubahan UU No. 22 tahun 1997 tentang narkotika.

65. Pemanfaatan perairan Indonesia dan Zona Tambahan serta penegakan hukum di perairan Indonesia dan zona tambahan

Page 98: penelitian legislasi nasional

Status No Nama RUU Bentu

k Ubah

Cabut

Bidang

Dep/ LPND

Jumlah

RUU 66. Pemerintahan pusat (tata

pemerintahan) √ Polka

m PAN/LAN

4

67. RUU tentang etika pemerintahan √ 68. Perubahan UU No. 43 tahun 1999

tentang pokok-pokok kepegawaian √

69. Pemerintahan umum 70. Perubahan UU No. 4/PNPS 1963

tentang pengamanan terhadap barang cetakan yang dapat mengganggu ketertiban

√ Polkam

Jakgung 2

71. Kejaksaan Republik Indonesia

72. Kepolisian negara Republik Indonesia

√ Polkam

Kepolisian

1

73. Kepegawaian dan pensiun √ Polkam

BAKN 1

74. Kebebasan memperoleh informasi 1 Polkam

Kom&Info

2

75. Penyiaran √ 76. Tata informasi geografi nasional √ Polka

m Bakor- Sutanal

1

77. Penyempurnaan UU No. 7 tahun 1971 tentang ketentuan pokok kearsipan

√ Polkam

Arsip Nasional

2

78. Wajib serah arsip √ 79. Perbendaharaan negara (pengganti

ICW) √ Ekuin DepKeu 21

80. Pengurusan piutang negara (pengganti UU No. 49/Prp/1960)

81. Lelang (pengganti Vendureglement)

82. Akuntan publik √ 83. Keuangan negara √ 84. Pemeriksaan tanggung jawab

keuangan negara √

85. Pengelolaan kekayaan negara √ 86. Perubahan APBN tahun 2001 √ 87. APBN tahun 2002 √ 88. Usaha perasuransian √ 89. Perbankan √ 90. Dana pensiun √ 91. Pengampunan pajak √

Page 99: penelitian legislasi nasional

Status No Nama RUU Bentu

k Ubah

Cabut

Bidang

Dep/ LPND

Jumlah

RUU 92. Pinjaman dan hibah luar negeri √ 93. Bank Indonesia √ 94. Badan Peradilan Pajak √ 95. Bank Ekspor Indonesia √ 96. Lembaga penilai jasa keuangan √ 97. Surat utang negara √ 98. Pasar modal √ 99. Badan usaha milik negara (BUMN) √ 100. Minyak dan gas bumi √ Ekuin DepEnerg

i 5

101. Pertambangan umum √ 102. Energi √ 103. Geologi √ 104. Ketenagalistrikan √ 105. Kawasan perdagangan bebas dan

pelabuhan bebas Batam √ Ekuin Deperind

ag 6

106. Perdagangan √ 107. Perindustrian √ 108. Penyempurnaan UU No. 3 tahun

1982 tentang wajib daftar perusahaan

109. Penyempurnaan UU No. 2 tahun 1981 tentang metrologi legal

110. Peternakan dan kesehatan hewan √ Ekuin Deptan 1 111. Pokok-pokok konservasi tanah dan

air √ Ekuin Dephutan 2

112. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

113. Pengangkutan udara √ Ekuin Dephub 7 114. Perubahan Undang-Undang Nomor

13 tahun 1992 tentang perkereta apian

115. Perubahan undang-undang nomor 14 tahun 1992 tentang LLAJ

116. Pos √ 117. Teknologi informasi (cyber law) √ 118. Perubahan Undang-Undang Nomor

15 tahun 1992 tentang penerbangan √

119. Perubahan Undang-undang Nomor 21 tahun 1992 tentang pelayaran

120. Perubahan UU no. 9 tahun 1985 √ Ekuin Deplaut 5

Page 100: penelitian legislasi nasional

Status No Nama RUU Bentu

k Ubah

Cabut

Bidang

Dep/ LPND

Jumlah

RUU tentang perikanan

121. Pokok maritim √ 122. Pengelolaan pesisir perikanan di

wilayah RI

123. Pelaksanaan kegiatan riset bidang kelautan dan perikanan di wilayah RI

124. Pengangkatan dan pemanfaatan hasil muatan kapal yang tenggelam

125. Perubahan UU No. 25 tahun 1992 tentang perkoperasian

√ Ekuin MenKop/ UKM

4

126. Lembaga penjamin bagi usaha menengah dan koperasi

127. Sub kontrak √ 128. Lembaga keuangan mikro non bank √ 129. Kepariwisataan perubahan UU No.

9 tahun 1990 √ Ekuin Depbud 5

130. Pemanfaatan seni dan budaya √ 131. Perubahan UU No. 5 tahun 1992

tentang benda cagar budaya √

132. Perubahan UU No. 8 tahun 1992 tentang perfilman

133. Kebudayaan √ 134. Perubahan atas UU no. 14 tahun

1992 tentang penataan ruang √ Ekuin Depmuki

m 7

135. Perubahan atas UU No. 13 tahun 1980 tentang jalan

136. Air √ 137. Air bersih √ 138. Bangunan gedung √ 139. Perumahan dan pemukiman

(penggabungan UU No. 4 tahun 1992 dan sebagian UU no. 16 tahun 1985)

140. Pemilikan tanah bersama (penyempurnaan UU No. 16 tahun 1985)

141. Pengelolaan sumber daya alam √ Ekuin KLH 4 142. Perubahan UU No. 23 tahun 1997

tentang pengelolaan lingkungan hidup

Page 101: penelitian legislasi nasional

Status No Nama RUU Bentu

k Ubah

Cabut

Bidang

Dep/ LPND

Jumlah

RUU 143. Pengesahan cartagena protocol √ 144. Pengelolaan sumber daya genetika √ 145. Sistem ilmu pengetahuan dan

teknologi nasional (Sisteknas) √ Ekuin Ristek 1

146. Perubahan UU no. 5 tahun 1960 tentang UUPA

√ Ekuin BPN 4

147. Pengambilan alihan lahan (pengadaan tanah) untuk kepentingan umum

148. Hak milik atas tanah √ 149. Penyempurnaan UU No. 56/

Prp/1960 tentang penetapan luas tanah pertanian

150. Transfer dana secara elektronik (electronic funds transfer – EFT)

√ Ekuin BI 2

151. Perkreditan √ 152. Pengesahan treaty on principles

governing the activities of states in the exploration and use of the outer space including the moon and other celestial bodies 1967 (pengesahan mengenai prinsip-prinsip yang mengatur kegiatan)

√ Ekuin Lapan/Depanri

2

153. Keantariksaan nasional √ 154. Penanaman modal √ Ekuin (BKPM) 1 155. Pembinaan dan perlindungan

ketenaga kerjaan √ Kesra Depnaker 8

156. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial

157. Organisasi pengusaha √ 158. Penyempurnaan UU No. 3 tahun

1992 tentang Jamsostek √

159. Ratifikasi konvensi ILO No. 81 tentang Labour Inspection Convention, 1947

160. Ratifikasi konvensi ILO No. 88 tentang lembaga pelayanan penempatan tenaga kerja (The Organization of the employment service)

161. Ratifikasi konvensi ILO No. 150 tentang Labour Administration

Page 102: penelitian legislasi nasional

Status No Nama RUU Bentu

k Ubah

Cabut

Bidang

Dep/ LPND

Jumlah

RUU Convention, 1978

162. Administrasi kependudukan √ 163. Jaminan pemeliharaan kesehatan

masyarakat (JKPM) √ Kesra Depkes 5

164. Karantina kesehatan √ 165. Bahan berbahaya √ 166. RUU tentang praktik kedokteran √ 167. RUU tentang penyempurnaan UU

no. 5 tahun 1997 tentang psikotropika

168. Perlindungan anak √ Kesra Depsos 7 169. Penanggulangan bencana √ 170. Pahlawan √ 171. Penanggulangan tuna susila √ 172. Peran serta masyarakat √ 173. Fakir miskin √ 174. Undian √ 175. Perubahan UU no. 2 tahun 1989

tentang pendidikan nasional √ Kesra Depdikna

s 2

176. Guru √ 177. Hukum terapan peradilan agama √ Kesra Depag 3 178. Kerukunan √ 179. Penyempurnaan UU No. 1 tahun

1974 tentang perkawinan √

180. Keolahragaan √ Kesra Kmudaor 1 181. Pembaruan beberapa ketentuan

dalam KUHP √ Kesra Kberdaya

perempuan

8

182. Pembaruan beberapa ketentuan dalam UU perkawinan (UU No. 1 tahun 1974)

183. Pembaruan beberapa ketentuan dalam UU ketenagakerjaan

184. Kewarganegaraan √ 185. Pajak √ 186. Kesehatan √ 187. Kependudukan dan Pembangunan

Kesejahteraan Keluarga √

188. Pembaharuan Beberapa Ketentuan Dalam KUHP

189. Sistem Nasional Perpustakaan √ Kesra Perpus 2

Page 103: penelitian legislasi nasional

Status No Nama RUU Bentu

k Ubah

Cabut

Bidang

Dep/ LPND

Jumlah

RUU Nasional

190. Perubahan UU No. 4 Th 1990 Tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam

191. Administrasi Kependudukan √ Kesra BAKNAS

1

Page 104: penelitian legislasi nasional

Lampiran 2

PROGRAM PRIORITAS PEMBAHASAN RUU DI BADAN LEGISLASI DPR

BIDANG POLITIK

S T A T U S

NO

JUDUL RUU

DEP/ LPND

Bentuk

Ubah

Cabut

UU

KETERANGAN

1. Otonomi Khusus Propinsi Istimewa Aceh DEP DAGRI v UU No. 18/2001 2. Otonomi Khusus Propinsi Irian Jaya s.d.a v UU No. 21/2001 3. Perubahan UU No. 4/1999 ttg Susunan dan

Kedudukan MPR, DPR dan DPRD s.d.a v Usul Inisiatif

4. Peradilan HAM DEPKEH & HAM v UU No. 26/2000 5. Advokat s.d.a v Masih dibahas Usul Inisiatif 6. Perubahan UU No. 28/1997 Ttg Kepolisian Negara

RI DEPHAN, MABES

TNI & POLRI v UU No. 2/2002

7. Perubahan UU No. 5/1991 Ttg Kejaksaan KEJAGUNG v 8. Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 Ttg

Mahkamah Agung DEPKEH & HAM v

9. Perubahan UU No. 1 Tahun 1988 Ttg Perubahan atas UU No. 20/1982 Ttg Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara

DEPHAN, MABES TNI DAN POLRI

v UU No. 3/2002

10. Pembetukan 27 Kotip Menjadi Daerah Otonom DEPDAGRI Baru v 11. Pembetukan Kabupaten Sula Kepulauan, Kabupaten

Halmahera utara dan Kabupaten Halmahera Selatan di Maluku

s.d.a Baru v

12. Pembetukan Kabupaten Seram Barat, Kabupaten Seram Timur, Kabupaten Uliase dan Kotamadya Masohi di maluku

s.d.a Baru v

Page 105: penelitian legislasi nasional

13. Perubahan UU No. 22 /1988 ttg. Prajurit ABRI DEPHAN MABES TNI dan POLRI

v

14. Penaggulangan Keadaan Bahaya s.d.a v Inventaris 1997-1999

15. Perubahan UU No. 31/1997 ttg. Peradilan Militer s.d.a v 16. Perubahan UU Nomor 2 Tahun 1986 Ttg Peradilan

Umum DEP KUMDANG v

17. Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 Ttg Peradilan Agama

s.d.a v

18. Perubahan Atas UU No. 5/1986 Ttg Peradilan Tatausaha Negara.

s.d.a v

19. Perubahan atas UU No. 8 tahun1981 s.d.a v 20. Perubahan UU No. 24 Tahun 1997 Ttg Penyiaran v Masih dibahas Usul inisiatif 21. Perubahan UU No. 5 / 1960 Ttg Pokok-Pokok

Agraria BPN v

22. Kode Etik DPR RI DPR v 23. Tata Tertib DPR RI DPR v UU No. 4/2000 24. Perubahan UU No. 2/1999 Ttg Partai Politik DEPDAGRI v 25. Perubahan UU No. 3/1999 Ttg PEMILU s.d.a v 26. Perubahan UU No. 8 Tahun 1985 Ttg Organisasi

Kemasyarakatan s.d.a v

27. Hubungan Antar Lembaga Tertinggi /Tinggi Negara s.d.a v 28. Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Perundang-

undangan DEP. KUMDANG v

29. Perubahan UU No. 2 Tahun 1950 Ttg Penerbitan Lembaran Negara dan Berita Negara

s.d.a v

30. Pembuatan dan Ratifikasi Perjanjian Internasional DEPLU v UU No. 24/2000 31. Perlindungan Masyarakat DEP. HAN v 32. SISHANKAMRATA

s.d.a v

33. Senjata Api s.d.a v 34. Veteran R.I s.d.a v 35. Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan Sumber s.d.a v

Page 106: penelitian legislasi nasional

Daya Buatan 36. Survei dan Pemetaan Nasional DEP.HAN/

KUMDANG v

37. Hukum Pidana s.d.a v 38. Anti Diskriminasi s.d.a v 39. Perubahan UU No. 8 tahun 1992 Ttg Perfilman DEPPEN v 40. Pengesahan Konvensi Nice Tahun 1992 DEPLU / PARKES v 41. Pengesahan Treaty On Principle Governing The

Activities of state in The Exploration and Use Of Outer Space, Including The Moon and Other Celestial Bodies, 1967

DEPLU / LAPAN v Sudah diundangkan belum LN

42. Ratifikasi Liability Convention 1972 DEPLU / LAPAN Baru 43. Pengesahan Vienna Convention on The law of

Treaties 1967 (Konvensi Wina Tentang Hukum perjajian internasional 1969)

s.d.a v

44. Ratifikasi Registration Convention s.d.a v 45. Ratifikasi CTBT (Pelarangan Uji Coba Nuklir

Komprehensif, Tahun 1996) s.d.a v

46. Batas Wilayah Negara Kesatuan RI DEPLU DAN DEPDAGRI

v

47. Pengesahan Persetujuaan Antara Pemerintah RI Dengan Pemerintah Hongkong Tentang S.F.O

DEPLU v

48. Pengesahan Protokol Tambahan II Tahun 1949 (Protocol Additional to the Geneva Convention Of 12 August 1949 of Non Internasional Armed Cobnflict

s.d.a v

49. Pemanfaatan dan Penegakan Hukum di Perairan Indonesia dan Zone Tambahan

s.d.a v

50. Hukum Perdata Internasional s.d.a v 51. Hukum Udara dan Angkasa DEP KEH & HAM v 52. Rahasia Negara DEPKEH & HAM,

DEPDAGRI, BIA v

Page 107: penelitian legislasi nasional

53. Perubahan UU No. 4/PNPS 1963 Tentang Pengamanan Terhadap Barang Cetakan yang Dapat Mengganggu Ketertiban

KEJAGUNG v

54. Pemberian Gelaran, Tanda Jasa Dan Lain-lain Tanda Kehormatan

DEPKEH & HAM v

55. Perubahan UU No.11/Drt/1954 Ttg Amnesti dan Abolisi

s.d.a v

56. Grasi s.d.a v Masih dibahas 57. Contempt of Court s.d.a v 58. Kepaniteraan s.d.a Baru 59. Perlindungan Saksi s.d.a v 60. Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan s.d.a v 61. Lembaga Kepresidenan s.d.a v 62. Perubahan atas UU No.9/1992 Ttg Keimigrasian s.d.a v 63. Perubahan UU No.4/1946 Ttg KUHP s.d.a v 64. Hukum Acara Perdata s.d.a

v

65. Jabatan Notaris s.d.a v 66. Yayasan s.d.a v UU No. 16/2001 67. Perubahan UU No. 11/1980 Tentang Tindak Pidana

Suap s.d.a v

68. Perubahan UU No. 7/1955 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Ekonomi

s.d.a v

69. Perubahan UU No. 7/Drt/1955 Tentang Penimbunan Barang

s.d.a v

70. Kejahatan Komputer s.d.a v 71. Kewarisan s.d.a v 72. Balai Harta Peninggalan s.d.a v 73. Daktiloskopi s.d.a v 74. Pendidikan Politik DEPDAGRI v 75. Tata cara Kepolisian Terhadap Anggota DPRD s.d.a v 76. Kedudukan, Susunan, Wewenang, Hak,

Keanggotaan, Pimpinan dan Alat Kelengkapan s.d.a v

Page 108: penelitian legislasi nasional

DPRD 77. Perubahan UU No. 24 Tahun 1999 Tentang

Pemerintah Daerah s.d.a v

78. Pemerintah Kota s.d.a v 79. Pembetukan, Nama, Batas dan Ibu Kota Daerah s.d.a v 80. Pengapusan, Penggabungan dan Pemekaran Daerah s.d.a v 81. Pembetukan Kabupaten Aceh Barat Daya, di

Propinsi Daerah Istimewa Aceh s.d.a v

82. Pembetukan Kabupaten Talaud, Kota Tomohon, Kota Amurang dan Kota Mubagu di Propinsi Sulawesi Utara

s.d.a v

83. Pemekaran Bangka, Belitung Menjadi Propinsi s.d.a v UU No. 27/2000 84. Pencatatan dan Pendaftaran Penduduk s.d.a v 85. Perubahan UU No. 62 Tahun 1958 Ttg Kewarga

negaraan s.d.a v

86. Catatan Sipil s.d.a v 87. Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah s.d.a v UU No. 25/1999 88. Perubahan UU No. 11/1969 Ttg Pensiun Pegawai

Negeri Sipil MENEG. PAN v

89. Kepegawaian Daerah (PNS di Daerah dan PNS Daerah)

s.d.a + BKN v

90. Hak Milik BPN v 91. Perubahan UU No. 11/1969 Ttg Pensiun Pegawai

Negeri Sipil MENEG. PAN v

92. Kepegawaian Daerah (PNS di Daerah dan PNS Daerah )

s.d.a +BKN v

Page 109: penelitian legislasi nasional

BIDANG KESRA

S T A T U S No. JUDUL RUU

DEP/ LPND

Bentuk Ubah Cabut UU KETERANGAN

1. Perubahan UU No. 6/1974 Ttg Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial

KMMK v

2. Perubahan UU No. 2/1989 Ttg Pendidikan Nasional DEPDIKNAS v 3. Perubahan UU No. 5/1997 Ttg Psiikotropika DEPKES v 4. Perubahan UU No. 22/1997 Ttg Narkotika S.d.a v 5. Perubahan UU 23/1992 Tentang Kesehatan DEPKES v 6. Perlindungan Anak NAKER, TAMBEN,

KMMK v

7. Tindakan Medis DEPKES v 8. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat

(JPKM) DEPKES v

9. Perlindungan Perempuan Terhadap Kekerasan KMPP v 10. Sistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional

(SISTEKNAS) KMRT Masih dibahas

11. Keolahragaan. Kantor Menpora v 12. Bahan Berbahaya DEPKES v 13. Serikat Pekerja. NAKER v UU No. 21/2000 14. Perubahan UU No. 8/1961 Ttg Wajib Kerja Sarjana NAKER DIKNAS v 15. Penanggulangan Bencana s.d.a v 16. Perlindungan Sosial Masyarakat s.d.a v 17. Perubahan UU No. 10/1992 Ttg Perkembangan

Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera

s.d.a v

18. Penanggulangan Tuna Susila s.d.a v 19. Peran Serta Masyarakat s.d.a v 20. Fakir Miskin s.d.a v 21. Budaya Nasional DIKNAS v 22. Kepustakaan Nasional s.d.a v

Page 110: penelitian legislasi nasional

23. Perubahan UU No. 38/1947 Ttg Undian Uang

Negara dan UU No. 22/1954 Ttg Undian DEPSOS v

24. Pahlawan DEPSOS 25. Penyempurnaan Beberapa Ketentuan Peraturan UU

Perkawinan DAGRI/ DEPAG v

26. Karantina DEPKES v 27. Aborsi s.d.a v 28. ASKES s.d.a v 29. Kerukunan Hidup Beragama DEPAG v 30. Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan s.d.a v 31. Perlindungan Tempat Ibadah s.d.a v 32. Perubahan UU No.23/1997 Ttg Pengelolaan

Lingkungan Hidup MENEG LH v

BIDANG EKKUINBANG

S T A T U S

NO.

JUDUL RUU

DEP / LPND

Bentuk

Ubah

Cabut

UU

KETERANGAN

I. PERBANKAN

1. Obligasi DEPKEU v 2. Perubahan UU No. 10 /1998 Ttg Perbankan BI v 3. Perkreditan Perbakan BI v 4. Lemabaga Pengawas Jasa Keuangan DEPKEU v 5. Money Laundering DEPKEH & HAM v UU No. 15/2002

II. BPK

6. Badan Pemeriksa Keuangan BPK v

Page 111: penelitian legislasi nasional

7. Tata Cara Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan S.d.a v 8. Perbendaharaan Negara/Keuangan Negara DEPKEU v Masih dibahas

III. APBN

9. Pedoman Tata Cara Penyusunan APBN DEPKEU v 10 Pinjamam Luar Negeri S.d.a v 11. Perubahan terhadap UU No. 9/1994 Ttg Perubahan

UU No. 6/1983 Ttg Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

v

UU No. 16/2000

12. Perubahan UU No. 10/1994 Ttg Perubahan UU No. 7/1983 Ttg Pajak Penghasilan.

Sd.a v

UU No. 17/2000

13. Perubahan UU No. 11/1994 Ttg PerubahanUU No.8/1983 Ttg Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

S.d.a v

UU No. 18/2000

14. Perubahan UU No. 17/1997 Ttg Badan Penyelesaian Sengketa Perpajakan

S.d.a v

Masih dibahas

15. Rahasia Dagang S.d.a v UU No. 30/2000 16. Perubahan UU Ttg Kepailitan S.d.a v Perintah letter of

intent IMF 17. Perubahan UU No. 12/1997 Ttg Perubahan UU Ttg

Hak Cipta S.d.a v Perintah letter of

intent IMF 18. Perubahan UU No. 13/1997 Ttg Perubahan UU No.

6/1989 Ttg Paten S.d.a v UU No. 14/2001 S.d.a

19. Perubahan UU No. 14/1997 Ttg Perubahan UU No. 19/1992 Ttg Merek

S.d.a v UU No. 15/2001 S.d.a

20. Desain Tata Letak Sirkit Terpadu S.d.a v UU No. 32/2000 S.d.a 21. Desain Produk Industri S.d.a v UU No. 31/2000 S.d.a

Page 112: penelitian legislasi nasional

22. Kelautan DEPLAUT v 23. Perubahan UU No.18/1987 Ttg Pajak dan Retribusi

Daerah DEPKEU +DAGRI v UU No. 34/2000

24. Perusahaan Daerah INDAG v 25. Perubahan UU No. 9/1995 Ttg Usaha Kecil DEPKOP v 26. Inventasi/ Penanaman Modal MINVES v 27. BKPM S.d.a v 28. Pertenakan DEPTAN v Usulan Komisi III 29. Perikanan S.d.a v s.d.a 30. Perkebunan S.d.a v s.d.a 31. Perubahan UU No. 8/1995 Ttg Pasar Modal DEPKEU v 32. Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

Pemukiman MUKIM v

33. Perubahan UU No. 5/1984 Ttg Perindustrian INDAG v 34. Perdagangan S.d.a v 35. Pos DEPHUB v 36. Ketentuan Pelaksanaan Pembuangan Limbah ke

Media Lingkungan dan Pembuangan Limbah dari Luar Wilayah Indonesia ke Media Lingkungan Hidup Indonesia

MENLH v

37. Minyak dan Gas Bumi DEP TAMBEN v UU No. 22/2001 38. Perubahan UU No./111967 Ttg Pokok-Pokok

Pertambangan S.d.a v

39. Pengelolaaan dan Pemanfaatan Energi S.d.a v 40. Pengelolaaan dan Pemanfaatan Energi S.d.a v 41 Geologi S.d.a v 42. Perubahan UU No. 1/1995 Ttg Perseroan Terbatas KUMDANG v 43. Bentuk Badan Usaha di Luar Perseroan Terbatas

dan Koperasi s.d.a v

44. Holding Company DEPKEH & HAM v 45. Surat Beharga s.d.a v 46. Pengurusan Piutang Negara s.d.a v 47. Akuntan Publik s.d.a v

Page 113: penelitian legislasi nasional

48. Lelang sebagai pengganti Vendureglement s.d.a v 49. Pengusutan Piutang Negara sebagai pengganti UU

No. 49 Prp tahun 1960 s.d.a v

50. Mata Uang s.d.a v 51. Likuidasi Bank s.d.a v 52. Perubahan UU No. 25/1992 Ttg Perkoperasian DEPKOP & PKM v 53. Keperantaraan dalam Perniagaan DEPKEH & HAM v 54. Badan Urusan Logistik INDAG v 55. Pembangunan Kota dan Desa DEP. PU v 56. Sub Kontrakting DEP. PU v 57. Bangunan Gedung s.d.a v Masih dibahas 58. Perubahan UU No. 11/1974 Ttg Pengairan s.d.a v 59. Pengelolaan Bangunan Negara dan Rumah Tangga s.d.a v 60. Perubahan UU No.13/ 1980 Ttg Jalan s.d.a v 61. RUU Tanggung Jawab Pengangkutan Udara DEP. HUB v 62. Keantariksaan Nasional POSTEL v 63. Badan Penyelesaian Perselisihan Industrial NAKER v Masih dibahas 64. Penyempurnaan UU No. 25/1997 Ttg Ketenaga

kerjaan s.d.a v UU No. 28/2000

65. Penyempurnaan UU No 3/1992 Ttg Jamsostek s.d.a v 66. Pokok-pokok Konservasi Tanah dan Air DEPHUT v 67. Ketentuan Mengenai Pelimpahan Wewenang

Pengelolaan Lingkungan Hidup Tertentu Pada Wilayah dan Mengikutsertakan Pemda

MENEG LH v

68. Revisi terhadapUU yang terkait erat dengan pengelolaan/pemanfaatan kawasan konservasi

MENEG LH v

69. Perlindungan Varietas tanaman DEPTAN v v UU No. 29/2000 70. Penyempurnaan UU No 6/1967 Ttg Ketentuan

Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan s.d.a v

71. Jaminan Hak Hipotek Sekunder s.d.a v 72. Multi Level Marketing v

Page 114: penelitian legislasi nasional

Lampiran 3

DAFTAR UU LETTER OF INTENT No

Letter of Intent 13 Desember 2001 Status Keterangan

1 UU Pajak Daerah UU No. 34/2000 Propenas 2 UU Penanaman Modal Belum Propenas 3 UU Energi Belum Propenas 4 UU Kepailitan Belum Propenas 5 UU Bank Indonesia (Sentral) Masih dibahas Non Propenas 6 UU Likuidasi Bank Belum Non Propenas 7 UU BUMN Belum Propenas 8 UU Perusahaan Daerah Belum Non Propenas 9 UU Keuangan Negara Masih dibahas Propenas 10 UU Pencucian Uang Sudah disahkan,

belum LN Propenas

11 UU Pinjaman Luar Negeri Belum Propenas 12 UU Perpajakan

a. Tata Cara Perpajakan b. Pajak Pertambahan Nilai

UU No. 16/2000 UU No. 18/2000

Propenas Propenas

13 UU Kepegawaian Belum Propenas 14 UU Anti Korupsi UU No. 20/2001 Non Propenas 15 UU Komisi Anti Korupsi Belum Propenas 16 UU Yayasan UU No. 16/2001 Propenas 17 UU Kompensasi bagi Hakim Ad-hoc Belum Non Propenas 18 Rancangan UU Surat Utang Belum Propenas 19 Rancangan Undang-Undang FSSI (Financial

Sector Supervisory Institution/Lembaga Pengawasan Sektor Keuangan)

Belum Non Propenas

Page 115: penelitian legislasi nasional

Lampiran 4

Pembentukan, Perubahan, dan Pencabutan UU Propenas Sifat Status Keterangan

No.

RUU-Propenas Bentuk Ubah Cabut Sudah menjadi UU: A. Bidang Hukum: 1 Hukum Acara Pidana v 2 KUHP v 3 Mahkamah Agung v 4 Kejaksaan v 5 Kepolisian v UU No. 2/2002 6 Terkait dengan HAKI:

a. Rahasia Dagang b. Desain Industri c. Sirkuit Terpadu d. Paten e. Merek f. Hak Cipta

v v v v v v

UU No. 30/2000 UU No. 31/2000 UU No. 32/2000 UU No. 14/2001 UU No. 15/2001

Inventaris 99 dan masih dibahas

7 Narkotika v 8 Grasi v Masih dibahas 9 Peradilan Umum v 10 PTUN v 11 Peradilan Militer v 12 Agraria v 13 Hukum Pidana Militer v 14 Hukum Acara Perdata v 15 KUHPerdata v 16 Contempt of Court v 17 Pembatasan Kasasi v 18 Pengadilan HAM v UU No. 26/2000 19 Kode Etik Hakim v 20 Advokat v Masih dibahas 21 Jabatan Notaris v 22 Balai Harta Peninggalan v

Page 116: penelitian legislasi nasional

23 Komisi Ombudsman v 24 Mekanisme Pembuatan Undang-Undang antara

Pem. Dan DPR v

25 Perlindungan Anak v 26 Hak Milik Atas Tanah v 27 Pengambilalihan Lahan untuk Kepentingan Umum v 28 Ketentuan Pokok Perundang-undangan (pengganti

AB) v

29 Pengangkatan Harta Karun v 30 Yayasan v UU No. 16/2001 31 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi v Masih dibahas 32 Perlindungan Saksi v B. Bidang Ekonomi: 33 Usaha Kecil v 34 Perseroan Terbatas v 35 Wajib Daftar Perusahaan v 36 Perbankan v 37 Pajak dan Retribusi Daerah v UU No. 34/2000 38 Pasar Modal v 39 PMDN v 40 Ketenagalistrikan v Masih dibahas 41 Kepailitan v 42 Pariwisata v 43 Perkreditan Perbankan v 44 Surat Utang/Obligasi v 45 Restrukturisasi Perbankan v 46 Likuidasi Bank v 47 BUMN v 48 Perusahaan Daerah v 49 Perdagangan v 50 Keuangan Negara v Masih dibahas 51 APBN 2001-2004 v UU No. 2/2000 52 Tata Cara Penyusunan APBN v 53 Pencucian Uang (Money Laundring) v UU No. 15/2002 54 Pinjaman Luar Negeri v 55 Teknologi Informasi (Cyber Law) v

Page 117: penelitian legislasi nasional

56 Perbendaharaan Negara (pengganti ICW) v Masih dibahas 57 Badan Pengadilan Pajak v Sudah disahkan

belum LN

58 Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara v Masih dibahas 59 Terkait dengan Perpajakan:

a. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan b. Pajak Penghasilan c. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan

Pajak Penjualan atas Barang Mewah d. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa e. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

v v v v v v

UU No. 16/2000 UU No. 17/2000 UU No. 18/2000 UU No. 19/2000 UU No. 20/2000

C. Bidang Politik: 60 Partai Politik v 61 Keimigrasian v 62 Pemilihan Umum v UU No. 4/2000 63 Susduk MPR, DPR, dan DPRD v 64 Penyiaran v Masih dibahas – inisiatif

DPR 65 Hukum Disiplin Prajurit ABRI v 66 Prajurit ABRI v 67 Ekstradisi v 68 Ketentuan Pokok Kearsipan v 69 Organisasi Kemasyarakatan v 70 Pokok-Pokok Kepegawaian v 71 Pencari Kebenaran dan Rekonsiliasi v 72 Lembaga Kepresidenan v 73

Contempt of Parliement v

74 Tindakan Kepolisian Terhadap Anggota DPR/DPRD

v

75 Pemerintahan Pusat

v

Page 118: penelitian legislasi nasional

76 Kepegawaian Daerah

v

77 Etika Pemerintahan

v

78 Peran Serta Masyarakat

v

79 Wajib Serah Arsip/Dokumen

v

80 Transparansi dan Kebebasan Memperoleh Informasi

v

81 Kepegawaian Polri

v

82 Hubungan Antar-Lembaga Tinggi Negara

v

D. Bidang Agama:

83 Perkawinan

v

84 Pengelolaan Zakat

v

85 Kerukunan Umat Beragama

v

86 Hukum Terapan Peradilan Agama

v

Page 119: penelitian legislasi nasional

E. Bidang Pendidikan:

87 Sistem Pendidikan Nasional

v

F. Bidang Sosial dan Budaya:

88 Psikotropika

v

89 Kewarganegaraan RI

v

90 Kesehatan

v

91 Perumahan dan Pemukiman

v

92 Terkait dengan Ketenagakerjaan:

a. Serikat Pekerja b. Pembinaan dan Perlindungan Ten. Kerja c. Penyelesaian Perselisihan Perindustrian

v v v

UU No. 21/2000

Masih dibahas Masih dibahas

93 Mengatur Hak-hak perempuan

v

94 Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat

v

95 Praktik Kedokteran

v

96 Ratifikasi Konvensi Internasional yang terkait dengan Ketenagakerjaan

v

97 Ratifikasi Konvensi Larangan Perdagangan Perempuan dan Anak

v

Page 120: penelitian legislasi nasional

98 Ratifikasi Konvensi “Vienna Convention on the Law of Treaties 1969”

v UU No. 24/2000

99 Ratifikasi Konvensi-konvensi: 1. Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 2. Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights

(ICESCR) 3. Prevention and Punishment of the Crime of

Genocide 4. The Slavery Convention 1926 5. Protection of Migrant in workers and Their Families 6. Suppression of Traffic Persons and of Exploitation of

the Prostitution of Others.

v v

v

v v

v

100 Ratifikasi Konvensi Means of Prohibiting and Preventing Illicit Traffic

v

101 Ratifikasi Text of the 1951 Convention Relating to the Status of Refugees

v

G. Bidang Pembangunan Daerah:

102 Pemerintahan Daerah

v

103 Penataan Ruang

v

104 Penghapusan, Penggabungan, dan Pemekaran Daerah

v

105 Otonomi Daerah Aceh

v UU No. 18/2001 Inisiatif DPR

Page 121: penelitian legislasi nasional

106 Otonomi Khusus Daerah Irian Jaya

v UU No. 21/2001 Inisiatif DPR

H. Sumber Daya Alam dan LH

107 Pokok-Pokok Pertambangan

v

108 Minyak dan Gas Bumi

v UU No. 23/2001

109 Pengelolaan Lingkungan Hidup

v

110 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

v

111 Perikanan

v

112 Pengelolaan Sumber Daya Alam

v

113 Perlindungan Varietas Tanaman

v UU No. 29/2000

114 Kelautan

v

115 Peternakan dan Kesehatan Hewan

v

116 Energi

v

Page 122: penelitian legislasi nasional

I. Pertahanan dan Keamanan:

117 Pertahanan Keamanan RI

v UU No. 3/2002

118 Keadaan Bahaya

v

119 Rahasia Negara

v

120 Batas Wilayah Negara Kesatuan RI

v

Lampiran 5

Daftar UU Di luar Propenas No. UU Tentang: Pengusul Keterangan 1 Pengesahan Konvensi ILO No. 182 tentang

Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Kerja Anak)

Pemerintah UU No. 1/2000

2 Perubahan UU No. 45/1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten

Pemerintah UU No. 5/2000

Page 123: penelitian legislasi nasional

Puncak Jaya, dan Kota Sorong 3 Perubahan UU No. 46/1999 tentang Pembentukan

Propinsi Maluku Utara, Buru, dan Maluku Tenggara Barat

Pemerintah UU No. 6/2000

4 Perubahan UU No. 47/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Malinau, Kutai Barat, Kutai Timur, dan Kota Bontang

Pemerintah UU No. 7/2000

5 Perubahan UU No. 48/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Bireuan dan Simeulue

Pemerintah UU No. 8/2000

6 Perubahan UU No. 49/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai

Pemerintah UU No. 9/2000

7 Perubahan UU No. 50/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Boalemo

Pemerintah UU No. 10/2000

8 Perubahan UU No. 51/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Morowali, dan Banggai Kepulauan

Pemerintah UU No. 11/2000

9 Perubahan UU No. 52/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Lembata

Pemeritah UU No. 12/2000

10 Perubahan UU No. 53/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelawan, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Natuna, Karimun, Kuantan Singingi dan Kota Batam

Pemerintah UU No. 13/2000

11 Perubahan UU No. 54/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Tebo, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Timur

Pemerintah UU No. 14/2000

12 Perubahan UU No. 55/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Landak

Pemerintah UU No. 15/2000

13 Pembentukan Propinsi Banten DPR UU No. 23/2000 14 Program Pembangunan Nasional (Propenas) Pemerintah UU No. 25/2000 15 Pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung DPR UU No. 27/2000

Page 124: penelitian legislasi nasional

16 Penetapan Perpu No. 3/2000 tentang Perubahan atas UU No. 11/1998 tentang Perubahan Berlakunya UU No. 25/1997 tentang Ketenagakerjaan

Pemerintah UU No. 28/2000

17 Penetapan Perpu No. 1/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi UU

Pemerintah UU No. 36/2000

18 Penetapan Perpu No. 2/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang menjadi UU

Pemerintah UU No. 37/2000

19 Pembentukan Propinsi Gorontalo DPR UU No. 38/2000 20 Pengesahan Persetujuan RI-Hongkong untuk

Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri Pemerintah UU No. 1/2001

21 Pembentukan Kota Lhokseumawe Pemerintah UU No.2/2001 22 Pembentukan Kota Langsa Pemerintah UU No. 3/2001 23 Pembentukan Kota Padangsidempuan Pemerintah UU No. 4/2001 24 Pembentukan Kota Tanjung Pinang Pemerintah UU No. 5/2001 25 Pembentukan Kota Prabumulih Pemerintah UU No. 6/2001 26 Pembentukan Kota Lubuk Linggau Pemerintah UU No. 7/2001 27 Pembentukan Kota Pagar Alam Pemerintah UU No. 8/2001 28 Pembentukan Kota Cimahi Pemerintah UU No. 9/2001 29 Pembentukan Kota Tasikmalaya Pemerintah UU No. 10/2001 30 Pembentukan Kota Batu Pemerintah UU No. 11/2001 31 Pembentukan Kota Singkawang Pemerintah UU No. 12/2001 32 Pembentukan Kota Bau-Bau Pemerintah UU No. 13/2001 33 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perubahan

UU No. 31/1999) Pemerintah UU No. 20/2001

34 Pengesahan Traktat mengenai Prinsip-prinsip yang mengatur kegiatan negara-negara dalam eksplorasi

Pemerintah Sudah UU

Page 125: penelitian legislasi nasional

dan penggunaan antariksa, termasuk bulan dan benda benda langit lainnya

35 10 UU Pembentukan 22 Daerah Otonom Pemerintah UU No. 5-14/2002 Sampai dengan awal Juli 2002, ada sebanyak 35 UU telah disahkan yang tidak termasuk dalam daftar Propenas. Dengan demikian presentasi penyimpangan ini dibandingkan dengan jumlah RUU Propenas yang 120 UU, adalah sebesar 29,2%. Angka ini bisa menjadi lebih besar lagi apabila dibandingkan dengan Repeta dan prosentasi RUU secara keseluruhan yang masih tersisa 3 tahun ke depan. Sebagai perbandingan, UU untuk tahun 2000 yang terealisir adalah sebanyak 48 UU, 19 UU diantaranya adalah di luar Propenas (39,6%). Untuk tahun 2001, ada sebanyak 14 UU dari 27 UU yang berada di luar Propenas atau 51,85%. Sedangkan untuk tahun 2002, sampai dengan awal bulan Juli dari 15 UU yang telah direalisir, 11 diantaranya adalah di luar Propenas (73,33%).

Perbandingan Jumlah RUU dengan UU yang disahkan:

Tahun RUU

Terealisir Keterangan

2000 80 48 2001 91 27 2002 33 15 Sampai dengan

bulan Juli

Page 126: penelitian legislasi nasional

REKOMENDASI KEBIJAKAN Jangka Panjang (5-10 TAHUN)

No.

Diagnosis Rekomendasi Rencana Aksi

1 Penyusunan Prolegnas masih dalam taraf mencatat daftar keinginan, bukan daftar kebutuhan, karena daftar undang-undang yang dituangkan melalui Propenas tersebut terbukti belum mampu secara optimal mengakomodasi kebutuhan riil masyarakat (para stakeholders).

Penyusunan Prolegnas dilakukan oleh sebuah institusi independen (komisi), yang salah satu tugasnya adalah secara intensif menjaring masukan dari semua elemen masyarakat, untuk kemudian menyusunnya dalam sebuah daftar kebutuhan undang-undang. Daftar ini hanya menjadi pedoman, tidak mengikat secara normatif sebagai hukum positif, dan secara reguler dan kontinyu dimutakhirkan. Dengan mengacu pada daftar kebutuhan ini, selanjutnya DPR dan Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang APBN yang di dalamnya tercantum Repeta di bidang hukum.

DPR/Presiden mengajukan usul pembentukan institusi independen (komisi) di bidang peraturan perundang-undangan.

2 Bervariasinya indikator yang digunakan menunjukkan ketidakjelasan politik hukum Indonesia, khususnya yang terkait dengan politik pembentukan hukum.

Penetapan politik hukum nasional oleh DPR dan Pemerintah sebagai dua lembaga pembentuk undang-undang. Politik hukum ini, sebagai suatu arahan kebijakan, dikonsultasikan secara berkala kepada semua lapisan masyarakat (stakeholders) dalam suatu forum resmi dan terbuka.

Menyelenggarakan suatu seminar hukum nasional secara berkala (tahunan) yang diorganisasikan oleh DPR dan Pemerintah, dengan target untuk menetapkan politik hukum nasional.

Page 127: penelitian legislasi nasional

3 Prolegnas yang dicantumkan dalam

Propenas, BPHN, Baleg DPR, dan LoI berangkat dari sejumlah indikator yang berbeda penekanannya, namun pada dasarnya bermuara kepada tiga faktor utama, yaitu adanya: (a) desakan untuk memberi respons terhadap tuntutan reformasi di bidang hukum, (b) anggapan bahwa pemulihan ekonomi tidak mungkin berjalan tanpa didukung oleh pembenahan perangkat hukum positif, (c) urgensi untuk menyikapi perkembangan regional dan global.

Indikator Prolegnas dalam jangka panjang tidak boleh sekadar merespons kondisi “darurat” yang cenderung pragmatis.

Menyusun politik hukum nasional untuk jangka panjang, yang kemudian dijabarkan menjadi politik hukum jangka menengah dan jangka pendek. Di dalamnya secara jelas terlihat penekanan-penekanan indikator Prolegnas menurut kebutuhan tiap-tiap periode.

4 Prolegnas memberikan prioritas yang sebaran bidangnya tidak merata, dan sangat didominasi oleh RUU sektor ekonomi dengan pendekatan kebutuhan jangka pendek dan pragmatis.

Walaupun tidak harus dicantumkan dalam produk hukum berbentuk undang-undang, perhatian harus diberikan secara lebih merata untuk bidang-bidang lain di luar ekonomi. Sebaran bidang dan alokasi anggaran untuk penyiapan RUU dibuat lebih merata, dengan juga memperhatikan kepentingan jangka menengah dan jangka panjang.

Memberi tugas kepada institusi independen (komisi di bidang peraturan perundang-undangan) untuk menyusun Prolegnas yang lebih merata, sehingga tidak didominasi bidang ekonomi dengan pendekatan kebutuhan jangka pendek dan pragmatis.

Page 128: penelitian legislasi nasional

5 Kepentingan kelompok dan tekanan

internasional mempunyai peran yang signifikan dalam penetapan prioritas dalam Prolegnas, sehingga daftar RUU yang diprogramkan tidak secara utuh mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia secara luas.

Mengkoordinasikan penetapan Prolegnas, dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan dari para stakeholders, termasuk desakan regional dan internasional.

Memberi tugas kepada institusi independen (komisi di bidang peraturan perundang-undangan) untuk menetapkan Prolegnas secara aspiratif dan responsif sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat Indonesia (sejalan arahan politik hukum nasional).

6 Dasar untuk menentukan apakah suatu undang-undang harus dibentuk baru, direvisi, atau dicabut, tidak didasarkan pada kajian mendalam. Akibatnya, korelasi antara suatu peraturan dengan peraturan lainnya tidak terjalin secara sistemik, bahkan kerap kontradiktif.

Dasar penetapan untuk membentuk, merevisi, dan mencabut suatu undang-undang dijadikan sebagai bagian penting penelitian yang dimasukkan ke dalam naskah akademik yang mendampingi pengajuan suatu RUU.

Memperjelas landasan filosofis suatu peraturan perundang-undangan (dalam konsiderans menimbang dan penjelasan umum UU tersebut), sehingga jelas alasan pembentukan/revisi/pencabutan yang terkait dengan UU itu.

Page 129: penelitian legislasi nasional

REKOMENDASI TEKNIS Jangka Panjang

(5-10 tahun)

No. Diagnosis

Rekomendasi Rencana Aksi

7 Perumusan suatu ketentuan normatif dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan keterampilan yang dimiliki oleh tenaga perancang (legal drafters), yang dalam kenyataannya masih kurang secara kuantitas maupun kualitas.

Jumlah dan keterampilan tenaga perancang ditingkatkan.

Menetapkan sertifikasi untuk para tenaga perancang. Sertifikasi diberikan oleh asosiasi tenaga perancang undang-undang.

8 Masyarakat (stakeholders) sering tidak diberi akses yang cukup untuk memahami hak dan kewajibannya setelah suatu UU berlaku. Kondisi ini menyebabkan banyak UU yang memiliki daya berlaku yuridis, tetapi tidak berdaya laku sosiologis.

Mensosialisasikan secara intensif keberlakuan suatu UU, dengan melibatkan semua potensi yang ada di lingkup pemerintahan dan masyarakat.

Menetapkan suatu pihak (badan/instansi) yang bertanggung jawab untuk sosialisasi UU tersebut. Pelaksanaan tanggung jawab ini kemudian dievaluasi secara berkala (sebagai bagian evaluasi kinerja badan/instansi tersebut).

Page 130: penelitian legislasi nasional

REKOMENDASI TEKNIS Jangka Pendek

(1-2 tahun)

No. Diagnosis Rekomendasi Rencana Aksi 9 Penelitian hukum sebagai kunci menyerap

aspirasi dan hukum yang hidup di masyarakat (living law) belum diorganisasi secara baik, sehingga tidak banyak memberi kontribusi bagi penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu substansi undang-undang.

Penyusunan Prolegnas dan perumusan suatu undang-undang wajib ditunjang oleh hasil penelitian hukum yang sungguh-sungguh komprehensif dan mendalam, baik dari sudut substansi maupun metodologinya. Hasil penelitian ini merupakan salah satu dasar untuk penyusunan naskah akademik, dan keberadaan naskah akademik ini dinyatakan sebagai prasyarat wajib (bukan sekadar anjuran) untuk pembuatan sebuah undang-undang.

Memuat ketentuan yang mengikat secara normatif bahwa naskah akademik merupakan persyaratan yang harus disertakan dalam setiap pengajuan RUU. Rumusan ini dituangkan dalam UU tentang Penyusunan UU (pengganti AB).

Page 131: penelitian legislasi nasional

10 Mekanisme penyusunan sampai dengan tahap pengesahan suatu undang-undang, baik menurut Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1999 maupun menurut Peraturan Tatib DPR tidak menjamin pemberian akses yang memadai bagi masyarakat (stakeholders) untuk dalam rangka menyampaikan aspirasi mereka.

Mekanisme penyusunan undang-undang dituangkan dalam sebuah produk hukum yang berlaku baik untuk undang-undang yang berasal dari hak inisiatif DPR maupun dari hak inisiatif Pemerintah. Dalam undang-undang yang menggantikan Algemene Bepalingen (AB) ini dicantumkan secara eksplisit hak setiap stakeholder untuk didengar aspirasinya, dan mekanisme penyampaiannya sebagai bagian dari peraturan “hak inisiatif” masyarakat untuk mengajukan suatu rancangan undang-undang.

DPR memprioritaskan penyusunan dan pemberlakuan UU pengganti AB (selesai 2004).