36
BAB I PENDAHULUAN Laring memiliki tiga fungsi penting yakni sebagai proteksi jalan nafas, pengaturan pernafasan dan menghasilkan suara. Kerusakan pada laring akibat trauma dapat sangat parah. Trauma laring ini sangat jarang ditemukan, hanya ditemukan pada sebagian kecil dari keseluruhan kejadian trauma. Trauma laring adalah termasuk trauma yang jarang, diperkirakan kurang dari 1% total kunjungan ke Unit Gawat Darurat (UGD) dengan kasus trauma. Hal ini menguntungkan, sebab trauma laring dapat mengakibatkan masalah obstruksi jalan nafas yang serius dan dapat merusak produksi suara bila tidak didiagnosis dengan benar secepatnya. Pokok utama yang harus diperhatikan dalam trauma laring akut adalah melindungi jalan nafas. Fungsi vokal, selain merupakan prioritas kedua karena harus mendahulukan keselamatan, biasanya ditentukan oleh efektifitas dari penanganan awal. Penting sekali bagi seorang otolaringologis untuk dapat mengenali dan mendiagnosis serta mengetahui penanganan yang tepat bagi jenis trauma yang jarang, tetapi cukup serius ini. 1,2 Trauma laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat luka sayat, luka tusuk, dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher selain dapat menghancurkan struktur laring juga menyebabkan cidera 1

Trauma laring

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Trauma laring

BAB I

PENDAHULUAN

Laring memiliki tiga fungsi penting yakni sebagai proteksi jalan nafas,

pengaturan pernafasan dan menghasilkan suara. Kerusakan pada laring akibat

trauma dapat sangat parah. Trauma laring ini sangat jarang ditemukan, hanya

ditemukan pada sebagian kecil dari keseluruhan kejadian trauma. Trauma laring

adalah termasuk trauma yang jarang, diperkirakan kurang dari 1% total kunjungan

ke Unit Gawat Darurat (UGD) dengan kasus trauma. Hal ini menguntungkan,

sebab trauma laring dapat mengakibatkan masalah obstruksi jalan nafas yang

serius dan dapat merusak produksi suara bila tidak didiagnosis dengan benar

secepatnya. Pokok utama yang harus diperhatikan dalam trauma laring akut

adalah melindungi jalan nafas. Fungsi vokal, selain merupakan prioritas kedua

karena harus mendahulukan keselamatan, biasanya ditentukan oleh efektifitas dari

penanganan awal. Penting sekali bagi seorang otolaringologis untuk dapat

mengenali dan mendiagnosis serta mengetahui penanganan yang tepat bagi jenis

trauma yang jarang, tetapi cukup serius ini.1,2

Trauma laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat luka

sayat, luka tusuk, dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher selain dapat

menghancurkan struktur laring juga menyebabkan cidera pada jaringan lunak

seperti otot, saraf, pembuluh darah, dan struktur lainnya. Hal ini sering terjadi

dalam kehidupan sehari-hari, seperti leher terpukul oleh tangkai pompa air, leher

membentur dashboard dalam kecelakaan waktu mobil berhenti tiba-tiba,

tertendang, atau terpukul waktu olahraga beladiri, dicekik, atau usaha bunuh diri

dengan menggantung diri.1,2

Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa,

mencegah kerusakan organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan

menyembuhkan. Seperti kita ketahui, dalam penanganan trauma dikenal primary

survey yang cepat dilanjutkan resusitasi kemudian secondary survey dan akhirnya

terapi definitif. Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus

dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Pada primary survey

dikenal sistem ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability,

1

Page 2: Trauma laring

Exposure/Environmental control) yang disusun berdasarkan urutan prioritas

penanganan. Jadi prioritas utama penanganan adalah menjamin jalan nafas terjaga

adekuat, oleh karena itu trauma jalan nafas adalah keadaan yang memerlukan

penanganan yang cepat dan efektif untuk menghindari akibat yang tidak

diinginkan.1,3

2

Page 3: Trauma laring

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami suatu

kerusakan yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan

penyebab lainnya. Hal ini menyebabkan fungsi laring sebagai proteksi jalan nafas,

pengaturan pernafasan dan penghasil suara terganggu, sehingga dapat

menimbulkan resiko kecacatan bahkan kematian.2

2.2 Epidemiologi

Trauma laring jarang ditemukan, hanya terdapat 1 dari 137.000 kunjungan

pasien, 1 dari 14.000-42.000 kasus gawat darurat dan kurang dari 1% dari

keseluruhan kejadian trauma tumpul.2 Jarangnya trauma ini ditemukan

kemungkinan berkaitan dengan struktur laring yang terlindungi oleh organ di

sekitarnya, misalnya oleh spina servikalis di posterior dan mandibula yang

tergantung di superior dan anteriornya serta oleh mekanisme refleks fleksi dari

leher. Proteksi laring ini lebih besar lagi pada anak-anak dimana laring pada anak-

anak lebih superior dan sifatnya yang masih elastis. Insiden trauma laring pada

pengendara kendaraan bermotor juga semakin berkurang disebabkan oleh karena

penggunaan sabuk pengaman dan pengaman berkemudi lainnya. Kurang dari 50%

dari keseluruhan trauma laring diperkirakan adalah hasil dari trauma krikoid.1,2

Wanita cenderung memiliki leher yang lebih panjang dan jenjang,

membuat mereka lebih rawan untuk terkena trauma laring, khususnya trauma

supraglottik. Namun secara keseluruhan pria lebih sering ditemukan mendapatkan

trauma ini (77%:23 %), hal ini dikarenakan aktivitas yang digeluti kaum pria jauh

lebih berbahaya seperti olahraga ekstrim dan perkelahian. Pada kelompok umur

yang lebih tua, trauma laring sering berkaitan dengan proses penuaan seperti telah

terjadinya kalsifikasi pada tulang-tulang mereka.1,2

2.3 Anatomi

Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu

masuk jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Di bagian atas, laring

3

Page 4: Trauma laring

membuka ke dalam laringofaring dan bagian bawah bersambung dengan trakea.

Kerangka laring dibentuk oleh beberapa tulang rawan (yaitu: hioid, epiglotis,

tiroid, aritenoid dan krikoid) yang dihubungkan oleh ligamentum dan digerakkan

oleh otot.2,4

Saraf sensorik mukosa laring di atas plika vokalis berasal dari ramus

laringeus internus cabang dari nervus laringeus superior, sedangkan di bawah

plika vokalis disarafi oleh nervus laringeus rekurens. Persarafan motorik ke otot

intrinsik laring melalui nervus laringeus rekurens kecuali untuk m.cricotiroideus

yang dipersarafi oleh nervus laringeus eksternus. Pendarahan laring bagian atas

diperoleh dari ramus laringeus superior dari a.tiroidea superior sedangkan bagian

bawah oleh ramus laringeus inferior dari a.tiroidea inferior.4

Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara. Laring terdiri

dari rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan

mengandung pita suara. Ruang berbentuk segitiga di antara pita suara (glottis)

bermuara ke dalam trakea dan membentuk bagian antara saluran pernafasan atas

dan bawah. Glottis merupakan pemisah antara saluran pernafasan atas dan bawah.

Meskipun laring dianggap berhubungan dengan fonasi, tetapi fungsinya sebagai

organ pelindung jauh lebih penting. Pada waktu menelan, gerakan laring ke atas,

penutupan glottis, dan fungsi seperti pintu dari epiglottis yang berbentuk daun

pada pintu masuk laring, berperan untuk mengarahkan makanan dan cairan masuk

ke dalam esophagus. Jika benda asing masih mampu masuk melampaui glottis,

fungsi batuk yang dimiliki laring akan membantu menghalau benda dan sekret

keluar dari saluran pernafasan bagian bawah.1,2,4

Gambar 2.1 Anatomi Laring1

4

Page 5: Trauma laring

Laring dilindungi dengan baik oleh mandibula, sternum, dan mekanisme

fleksi dari leher. Fungsi primer dari laring adalah sebagai jalan nafas, melindungi

saluran pernafasan di bawahnya, dan memproduksi suara. Laring dapat dibagi

menjadi 3 area : supraglottis, glottis and subglottis. Sebagai penyangganya adalah

os hyoid, kartilago tiroid, dan kartilago krikoid. Supraglottis adalah area yang

paling tidak bergantung pada penyangga eksternal, dan mengandung sebagian

besar jaringan lunak dan mukosa. Glottis sangat bergantung pada penyangga

eksternal dan dengan koordinasi mobilitas krikoaritenoid dan aktifitas

neuromuskular mengatur jalan nafas dan memproduksi fonasi. Pada orang

dewasa, jalan nafas mengalami penyempitan di daerah glottis. Oleh karena itu,

trauma yang terjadi di area ini dapat berimbas paling buruk untuk usaha

mempertahankan jalan nafas. Subglottis disangga hanya oleh kartilago sirkuler

pada laring, yaitu krikoid, yang merupakan area tersempit dalam jalan nafas bayi

dan anak-anak.1,2,4

Gambar 2.2 Pembagian area laring menjadi area supraglottis, glottis,

dan subglottis2

2.4 Patofisiologi

Trauma laring dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, tembak,

trauma inhalasi, aspirasi benda asing maupun iatrogenik. Insiden trauma laring

akibat trauma tumpul semakin menurun karena perkembangan yang maju pada

sistem pengaman kendaraan (automobile safety). Sementara itu angka

kejahatan/kekerasan semakin meningkat sehingga persentase kejadian trauma

5

Page 6: Trauma laring

tajam/tembus semakin meningkat. Pada trauma tumpul dan tembak kerusakan

jaringan yang terjadi lebih berat dibanding trauma tajam.1,2,3

Monson membagi daerah leher menjadi 3 zona pada trauma penetrasi atau

trauma tajam terutama berdasarkan trauma terhadap pembuluh darahnya, yaitu

sebagai berikut:

Zona I adalah daerah dari kartilago krikoid sampai klavikula. Zona ini

berisi trakea dan esofagus bagian inferior, pembuluh darah trunkus

brakiosefalika, arteri subklavia, arteri karotis komunis, trunkus tiroservikal

dan vena-venanya, duktus torasikus, kelenjar tiroid dan medula spinalis.

Zona II adalah daerah dari kartilago krikoid sampai angulus mandibula.

Zona ini berisi arteri karotis komunis, arteri karotis eksterna dan interna,

vena jugularis interna, laring, hipofaring, nervus X, XI, XII, dan medula

spinalis.

Zona III adalah daerah dari angulus mandibula sampai basis kranii yang

berisi arteri karotis, arteri vertebralis, vena jugularis interna, faring, nervus

kranialis dan medula spinalis.1,3

Mekanisme dari cidera yang timbul adalah refleksi dari jenis penyebabnya.

Pada setiap cidera yang timbul akibat trauma laring seringkali disertai kelainan

pada tulang, secara khusus, dapat terjadi dislokasi krikotiroid dan krikoaritenoid.2

2.4.1 Trauma Inhalasi

Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan

cenderung menciderai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran nafas

bawah. Daerah yang terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut

yang menyebabkan defek stenosis pada daerah yang terkena.1,2

2.4.2 Trauma Tumpul

Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering

disebabkan oleh hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau

trauma benturan pada dada. Hiperekstensi mengakibatkan traksi laring yang

kemudian membentur kemudi, handle bars atau dashboard. Trauma tumpul lebih

sering disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dimana korban terhimpit

6

Page 7: Trauma laring

di antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan dari kendaraan dan terhimpit di

antara kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan.1,2

Hantaman langsung paling sering menyebabkan trauma pada tulang rawan

laring, sedangkan trauma fleksi/ekstensi lebih sering berhubungan dengan

robekan trakea atau laring. Kerusakan trakea akibat trauma benturan terjadi karena

trakea tertekan di antara manubrium dan kolumna vertebralis. Trauma tumpul

pada dada dapat menyebabkan robekan vertikal pada trakea pars membranosa atau

bronkus, biasanya 2,5 cm dari karina.2,3

Gambar 2.3 Mekanisme trauma tumpul1

Penyebab lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada

trauma akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan

mengakibatkan tekanan intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan

robekan pada bagian membran trakea. Robekan ini terjadi akibat diameter

transversal yang bertambah secara mendadak. Dapat juga terjadi akibat robekan

diantara cincin trakea dari os krikoid sampai karina akibat tarikan paru yang

mendadak.1,2,3

2.4.3 Trauma Tajam

Trauma laring sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang

paling banyak akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai

adalah belati, pisau clurit, pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka

kejadian trauma tajam semakin meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih

banyak oleh trauma tembus peluru dibanding trauma tusuk.1,3

Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran

nafas, trakea merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat

luka tusukan. Laring yang mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran

7

Page 8: Trauma laring

nafas bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian lagi adalah trakea pars servikalis.

Kematian pasien dengan trauma tembus saluran nafas ini biasanya disebabkan

oleh trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri.1,3

2.4.4 Penyebab Lain

Penyebab lain trauma laring adalah tentament suicide pada pasien dengan

gangguan kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Trauma laring juga dapat

diakibatkan oleh intubasi karena trauma langsung saat pemasangan atau pun

karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis.

Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon yang berlebihan

walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah. Trauma yang

disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang

mengalami trauma saat trakeostomi.1,2

Cidera yang disebabkan oleh bahan-bahan kaustik seringkali didapatkan

pada kelompok usia anak-anak dan biasanya akibat kecerobohan mereka dalam

menggunakan benda-benda berbahaya di rumah sebagai alat permainan. Bila

didapatkan pada usia dewasa, biasanya ditemukan pada kasus-kasus percobaan

bunuh diri dengan menelan larutan alkali ataupun hidrokarbon.1,2

2.5 Diagnosis

Trauma jalan nafas menimbulkan tanda dan gejala yang bervariasi

tergantung mekanisme traumanya. Jadi satu hal yang harus diperhatikan dalam

mendiagnosis trauma laring adalah mekanisme cidera dan harus waspada terhadap

tanda seperti kontusio lokal, emfisema subkutis, perubahan suara (seperti stridor

inspirasi / hoarseness), distress pernafasan dan hemoptisis.3

2.5.1 Gejala Klinis

Pada trauma laring, gejala dan tanda klinis yang biasanya didapatkan adalah

sesak nafas. Batuk, batuk darah, emfisema subkutis (pada leher, kepala, dada),

sianosis, gangguan suara juga merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah

ke perlukaan jalan nafas. Tanda lain yang dapat ditemukan pada pasien dengan

trauma laring adalah adanya kebocoran udara atau suara mendesis pada tempat

trauma. Pada trauma tembus, kebocoran tersebut dapat dilihat langsung di tempat

luka, sedangkan pada trauma tumpul kadang dapat terlihat kulit leher yang

mengembang pada saat batuk.1,3

8

Page 9: Trauma laring

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan jejas (hematom/abrasi) akibat

hantaman benda tumpul, jejas berupa garis yang menunjukkan bekas jeratan, luka

dan penonjolan tulang, hilangnya tonjolan kartilago tiroid, krepitasi,

diskontinuitas, nyeri tekan pada daerah laring, emfisema subkutis maupun

emfisema mediastinum jika cidera lebih ke distal.2

Pada trauma trakea tidak ada pembagian beratnya cidera yang menentukan

indikasi operasi. Setiap trauma trakea dengan salah satu gejala atau tanda klinis

walaupun ringan memerlukan eksplorasi. Berbeda dengan trauma laring yang

dapat dibagi menjadi 5 grup, sebagai berikut :

Grup I : Trauma endolaringeal ringan tanpa fraktur

Grup II : Edema sedang, hematoma dengan laserasi mukosa, tidak ada

expose

tulang rawan, fraktur nondisplaced.

Grup III : Edema berat robekan mukosa dengan expose tulang rawan.

Fraktur displaced pada CT Scan.

Grup IV : Perlukaan berat endolaringeal, bentuk laring yang tidak

beraturan.

Grup V : Terputusnya laring komplit.1,2

2.5.2 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosis pada trauma

leher yang mencurigakan adanya kerusakan jalan nafas terutama pada trauma

tumpul ataupun yang sudah terpasang endotrakeal tube (ETT). Pada foto dapat

terlihat adanya bayangan udara terperangkap di prevertebra dan leher bagian

dalam atau peninggian/elevasi tulang hyoid pada kasus separasi krikotrakea.1,3

Bronkoskopi merupakan alat diagnostik pilihan karena dapat menentukan

letak luka, luas luka, dan juga sekaligus sebagai penuntun untuk pemasangan ETT

guna menjamin jalan nafas. Esofagoskopi disarankan terutama pada trauma

tembus. Tindakan panendoscopy dan arteriografi disarankan dilakukan pada

trauma tembus leher dengan kondisi pasien yang stabil. Tindakan tersebut di atas

selain efektif juga sensitifitasnya tinggi untuk menghindari eksplorasi yang

berlebihan.1,2,3

9

Page 10: Trauma laring

Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan esofagus dengan kontras,

computed tomography (CT) dan MRI dapat dilakukan sesuai indikasi. CT scan

telah berperan banyak dalam penanganan trauma laring saat ini dan mampu

menurunkan angka eksplorasi bedah karena mampu mendeteksi lebih rinci dan

non invasif. CT diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan trauma laring hanya

dari anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti pada pasien yang hanya

menunjukkan satu gejala/tanda. CT mampu mendeteksi fraktur tiroid dengan

midline displaced yang minimal namun berpengaruh dalam pembentukan fonasi.

Hal ini sangat menguntungkan pasien karena jika tidak terdeteksi akan

menyebabkan gangguan fonasi jangka panjang. CT kurang berguna pada kasus

dengan indikasi pembedahan seperti pada kartilago yang terekspose atau

displaced fracture dengan laserasi mukosa diatasnya.1,2

2.6 Penatalaksanaan

Kewaspadaan terhadap trauma laring pada trauma leher oleh tenaga medis

atau paramedis harus dipertajam agar tidak ada kasus yang terlewatkan. Bila ada

trauma laring, luka atau jejas pada leher harus diperiksa dan diobservasi dengan

seksama. Pada prinsipnya, penatalaksanaan trauma harus sistematis dimulai dari

penilaian dan pengamanan jalan nafas agar tetap adekuat.1,2

2.6.1 Manajemen Jalan Nafas

a. Trakeostomi

Trakeostomi adalah operasi membuat jalan udara melalui leher langsung ke

trakea untuk mengatasi asfiksi apabila ada gangguan pertukaran udara pernapasan.

Trakeostomi diindikasikan untuk membebaskan obstruksi jalan napas bagian atas,

melindungi trakea serta cabang-cabangnya terhadap aspirasi dan tertimbunnya

discharge bronkus, serta penanganan terhadap penyakit (keadaan) yang

mengakibatkan insufisiensi respirasi.5,6

Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan

saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan segera yang harus

dilakukan adalah trakeostomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai

balon, sehingga tidak terjadi aspirasi darah. Pada trauma tumpul, tindakan

pengamanan jalan nafas dengan trakeostomi lebih cenderung dipilih dibanding

dengan orotracheal tube maupun krikotiroidotomi. Tindakan trakeostomi akan

10

Page 11: Trauma laring

menurunkan jumlah udara residu anatomis paru hingga 50 persennya. Sehingga,

pasien hanya memerlukan sedikit tenaga yang dibutuhkan untuk bernafas dan

meningkatkan ventilasi alveolar. Menurut lamanya pemasangan, trakeostomi

dibagi menjadi:

1. Tracheal stoma post laryngectomy: merupakan trakeostomi permanen.

Kartilage trakea diarahkan ke permukaan kulit dan dilekatkan pada

leher. Rigiditas cartilage mempertahankan stoma tetap terbuka sehingga

tidak diperlukan trakeostomy tube (canule).

2. Tracheal stoma without laryngectomy: merupakan trakeostomi

temporer. Trakea dan jalan nafas bagian atas masih intak tetapi terdapat

obstruksi. Digunakan trakeostomi tube (canule) terbuat dari metal atau

Non metal (terutama pada penderita yang sedang mendapat radiasi dan

selama pelaksanaan MRI scanning).1,5,6

Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan

mengikat pembuluh darah yang cidera serta menjahit mukosa dan tulang rawan

yang robek. Indikasi untuk melakukan eksplorasi ialah :

a. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.

b. Emfisema subkutis yang progresif.

c. Laserasi mukosa yang luas.

d. Tulang rawan krikoid yang terbuka.

e. Paralisis bilateral pita suara.5

b. Montgomery T-Tube

Montgomery T-tube merupakan suatu alat yang dipergunakan khususnya

dalam pembedahan di bagian kepala dan leher. T-tube awalnya diperkenalkan

pada pertengahan tahun 1960 dan digunakan untuk menyokong trakea setelah

tindakan laryngotracheoplasty. Alat ini memiliki 2 cabang, cabang utama yang

lebih panjang dimasukkan dalam trakea, sedangkan cabang yang lebih pendek

diproyeksi melalui stoma trakeostomi. Saat ini, T-tube dipergunakan pada pasien

dengan cidera trakeal akut, penyokong trakea pasca rekonstruksi, maupun sebagai

pengganti trakea servikal yang tidak dapat direkonstruksi. Diameter eksternal T-

tube berukuran mulai dari 4,5 – 16 mm, sedangkan diameter internal dan

11

Page 12: Trauma laring

ketebalannya bervariasi. Alat ini terbuat dari bahan silicon sehingga dapat

mengurangi pembentukan mucus yang berlebihan.7,8,9

Gambar 2.4 (A) Potongan gambar sagital lokasi pemasagan T-tube.

(B) Montgomery T-tube.7

Setelah pemasangan dilaksanakan, edukasi terhadap pasien dan keluarga

harus diperhatikan terutama mengenai perawatan T-tube untuk mencegah

terjadinya komplikasi. Salah satu langkah sederhana dalam perawatan T-tube

adalah dengan melakukan irigasi mempergunakan 2-3 ml larutan normal saline 2-

3 kali sehari serta menjaga bagian eksternal dari T-tube tetap bersih. Nebulizer

dengan acetylcysteine 10% atau albuterol dapat diberikan 3 kali sehari untuk

membantu menekan produksi sekret serta membantu mengencerkan sekret yang

sudah terbentuk sehingga lebih mudah dikeluarkan. Beberapa keuntungan yang

diperoleh dengan pemasangan T-tube dibandingkan dengan trakeostomi dapat

dilihat pada table berikut: 7,8

Tabel 2.1 Perbedaan T-tube dan trakeostomi.9

12

Page 13: Trauma laring

Penggunaan Montgomery T-tube masih terbilang jarang. Bahkan tidak

sedikit anestesiologis kesulitan dalam hal manajemen general anestesi pada pasien

dengan operasi laring yang mempergunakan T-tube. Metode standar dalam

pemasangan T-tube adalah dengan mempergunakan curved haemostatic forceps

dan diletakkan intratrakeal melalui trakeostomi. Kesalahan dalam meletakkan atau

memasang T-tube dapat mengakibatkan hilangnya kontrol terhadap jalan nafas

pasien. Pada kasus tersebut, T-tube harus dilepaskan dan dipasang ulang dengan

seksama di posisi yang tepat.7,8,9

c. Laryngeal Mask Airway (LMA)

Laryngeal mask airway (LMA) atau dikenal pula dengan sebutan sungkup

laring, merupakan suatu alat untuk membantu jalan napas yang terdiri atas pipa

besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat

dikembangkempiskan seperti balon pada pipa trakhea. Tangkai pipa LMA dapat

berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya

lubang tetap paten. Terdapat 2 jenis LMA yang dapat dipergunakan, yaitu:

1. LMA standar dengan satu pipa napas.

2. LMA dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa

tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus.10

Gambar 2.5 Laryngeal mask airway (LMA)9

LMA dipergunakan selama operasi trauma laring yang sedang berlangsung

untuk menjaga jalan napas pasien tetap adekuat. LMA dikenal karena kemudahan

dalam pemasangannya serta kemungkinan terjadinya trauma trakea sangat rendah.

Dibandingkan dengan endotrakeal tube (ETT), LMA memiliki beberapa

13

Page 14: Trauma laring

keuntungan, yaitu dapat mengurangi insiden spasme laring, batuk-batuk, serta

suara serak pasca operasi.10

Pemilihan ukuran LMA sangat penting untuk diperhatikan mengingat

perbedaan dari sisi anatomis pada pasien anak-anak dan dewasa. Berikut adalah

tabel pemilihan ukuran LMA berdasarkan usia dan estimasi berat badan:

Ukuran Usia Berat badan (kg)

1.0 Neonatus < 3

1.3 Bayi 3 – 10

2.0 Anak kecil 10-20

2.3 Anak 20 – 30

3.0 Dewasa kecil 30 – 40

4.0 Dewasa normal 40 – 60

5.0 Dewasa besar > 60

Penggunaan LMA sebelum pemasangan Montgomery T-tube dapat menjadi

solusi bagi anestesiologis untuk tetap menjaga jalan nafas pasien tetap adekuat

selama proses pemasangan berlangsung. Selain itu, manajemen jalan nafas dengan

LMA tidak mengganggu proses rekonstruksi. Sehingga, meskipun dalam proses

pemasangan T-tube terjadi kesulitan ataupun keterlambatan (delay), keselamatan

pasien tidak terancam.1,10

2.6.2 Terapi Bedah

Informasi yang diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik, prosedur

endoskopik dan radiologi memberikan bantuan yang sangat penting dalam

merencanakan sebuah eksplorasi daerah leher. Bila jalan nafas mengalami

sumbatan, trakeostomi harus dilakukan dalam keadaan pasien sadar dan

menggunakan anastesi lokal dengan efek sedasi ringan. Biasanya, insisi trakeal

dibuat pada posisi di bawah trakeostomi standar. Insisi di bawah cincin ketiga dan

keempat lebih disukai untuk menolong pasien dengan trauma laring. Karena pada

posisi ini, membantu mencegah trauma lebih lanjut yang mungkin mengenai

laring.1,2

Eksplorasi dimulai dengan insisi horizontal pada lipatan kulit setinggi

membran krikotiroid. Sebuah flap subplatisma kemudian diangkat ke arah tulang

hyoid di superior dan ke krikoid di inferior. Perluasan dari insisi akan membantu

memperlihatkan cidera pada saraf, vaskular dan organ isceral. Otot-otot

dipisahkan di miline dan retraksi ke lateral agar tulang dapat di lihat dengan baik.

14

Page 15: Trauma laring

Pada titik ini, dapat di identifikasi dan dibuang jaringan sisa fraktur pada kartilago

laring yang terlihat.2,3

Laring dapat dimasuki tergantung dari lokasi cideranya. Bisa dengan

midline tirotomi, ataukah melalui kartilago tiroid yakni 2-3 mm dari takik tiroid.

Bila kartilago tiroid telah terbuka, mukosa endolaring kemudian dipotong tajam.

Pemeriksaan endolaring kemudian dapat dilakukan secara menyeluruh. Aritenoid

dipalpasi untuk mengevaluasi posisi dan mobilitasnya. Kord vokalis di perbaiki

menggunakan benang absorbable 5-0 atau 6-0. Menyambung kembali

kommissura anterior sangat penting untuk mengembalikan kualitas suara.1,2,3

Perhatian yang seksama harus dicurahkan untuk mengidentifikasi dan

memperbaiki laserasi mukosa. Kartilago yang terbuka harus ditutup untuk

meminimalisir fibrosis dan mencegah jaringan granulasi. Bila tidak dapat ditutup,

maka dapat dipergunakan kulit atau membran mukosa sebagai graft.1

2.6.3 Terapi Medikamentosa Lainnya

Pemberian kortikosteroid masih kontroversial namun masih cukup efektif

dan harus diberikan secepatnya dalam beberapa jam setelah trauma. Pemberian

kortikosteroid mempunyai tujuan mencegah atau mengurangi kemungkinan

timbulnya edema laring pada fase akut. Jika edema jalan nafas cukup berat, dapat

diberikan dosis 1-20mg/kg BB bolus intravena. Pemberian kortikosteroid juga

bertujuan untuk mengurangi atau mencegah penambahan edema yang terjadi

akibat manipulasi saat operasi.1,2,3

Penggunaan antibiotik tidak begitu penting pada trauma ringan dimana

fraktur kartilago dan robekan mukosa tidak dapat diidentifikasi. Namun, begitu

robekan mukosa dapat divisualisasi, antibiotik sistemik harus digunakan untuk

mengurangi resiko infeksi lokal dan perikondritis yang bisa memperlambat

penyembuhan dan menyebabkan stenosis jalan nafas. Penggunaan obat-obatan

anti refluks sepeti antagonis reseptor H-2 dan PPI, dapat membantu mengurangi

jaringan granulasi dan stenosis trakea.1,2

15

Page 16: Trauma laring

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

1. Nama : Nyoman Sutariana

2. Umur : 19 tahun

3. JenisKelamin : Laki-laki

4. Pekerjaan : Tidak bekerja

5. Suku : Bali

6. Agama : Hindu

7. Alamat : Selemandeg, Tabanan

8. Status : Belum menikah

9. No. CM : 01494691

10. Diagnosis Bedah : Trauma Laring Zona III

11. Tindakan : Laringoplasty dan Pemasangan T-Tube

12. MRS : 01/06/2012

3.2 Status Pasien

3.2.1 Anamnesis

Anamnesis Khusus :

Pasien post trauma laring zona III pada 8 bulan lalu saat percobaan gantung

diri, post trakeostomy.

Anamnesis umum :

Riwayat penyakit sistemik disangkal.

Riwayat operasi / anestesi : 1 kali, trakeostomy

Riwayat penyakit alergi / asma tidak ada.

3.2.2 Status present

1. Kesadaran : GCS E4V5M6

2. Tekanan darah : 110/70 mmHg.

3. Nadi : 88 kali / menit.

4. Respirasi : 16 kali / menit melalui trakeostoma kanul logam

5. Status gizi : Normal (BB : 70 kg, TB : 170 cm, BMI 24 kg/m2)

16

Page 17: Trauma laring

3.2.3 Pemeriksaan fisik

1. Sistem saraf pusat : Normal ( compos mentis )

2. Respirasi : Normal ( 16x/mnt,vesic +/+,wh -/-, rh -/-,

trakeostoma terawat )

3. Sirkulasi : Normal ( T: 110/70 mmHg, N : 88x/mnt, S1S2

reg,murmur (-) )

4. Saluran Cerna : Normal

5. Ginjal : Normal

6. Metabolik : Normal

7. Hematologi : Normal

8. Otot Rangka : Malampati 2, fleksi dan defleksi normal, gigi

geligi utuh

Trakeostoma dengan kanul logam, terawat baik dan berfungsi baik.

3.2.4 Pemeriksaan penunjang

1. Hematologi ( 10-05-2012 ):

Leukosit : 11,2.103 / μ L

Hgb : 16,4 g/dL

Hct : 48,5 %

Plt : 371.000

BT : 1’00”

CT : 7’30”

2. Sistem hepatobilier:

AST : 28 IU/L, ALT : 28 IU/L,

Alb : 4,6 g/dl

3. Sistem urogenital:

BUN: 10 mg/dl, SC: 0,71 mg/dl Na; 142 mmol/L K:4,01 mmol/L

4. Endokrin:

Glukosa : 98 mg/dl

Thorax foto : cor/pulmo normal

3.3 Persiapan Pra-Anestesia

3.3.1 Persiapan di ruangan/bangsal

Informed consent tentang rencana operasi, rencana anestesi yang dipilih.

17

Page 18: Trauma laring

Surat perjanjian operasi yang di tanda tangani oleh suami penderita.

Persiapan fisik : penderita telah puasa makanan padat 8 jam (mulai pukul

24.00 wita sampai acara operasi), penderita masih boleh minum air putih

sampai pukul 06.00 Wita (07-06-2012).

Penderita telah melakukan persiapan fisik rutin seperti melepas

assesoris, mengenakan pakaian untuk kamar operasi pada pagi hari serta

berdoa.

3.3.2 Persiapan di ruang persiapan OK IBS

Periksa kembali identitas pasien dan surat persetujuan operasi.

Menanyakan kembali persiapan yang sudah dilakukan di bangsal.

Pasang infus dengan abocath G18 dan cairan Ringer Laktat 25 tetes /mnt.

Memberikan obat premedikasi:

1. Midazolam 2 mg intra vena

2. Ketorolac 30 mg intra vena

3.3.3 Persiapan di kamar operasi

Persiapan mesin anestesi.

Persiapan obat dan alat anestesia – analgesia.

Persiapan obat dan alat resusitasi.

Pindahkan pasien ke meja operasi.

Pasang monitor / alat pantau (ECG, Tensimeter, Pulse Oksimetri).

Pasien disimpulkan: Status fisik ASA I

3.4 Pengelolaan Anestesia

1. JenisAnestesi : AnestesiUmum

2. Teknik Anestesi : Anestesi Umum inhalasi pemasangan pipa

endotrakeal melalui trakeostoma, nafas assisted.

Penderita tidur telentang dengan kepala diganjal bantal.

Berikan preoksigensi O2 8 liter/menit selama 5 menit

sambil memberikan ko-induksi Fentanyl 50 gr secara perlahan-

lahan.

Dilakukan penggantian kanul dari logam menjadi kanul

plastik.

Induksi dengan propofol 200 mg pukul 9.30 WITA.

18

Page 19: Trauma laring

Di dalamkan dengan Sevoflurane.

Respirasi assited-spontan.

Setelah pasien tertidur dalam, dilakukan pemasangan pipa

endotrakeal non kinking masuk melalui trakeostoma.

Pemeliharaan N2O : O2 : Sevoflurane = (2 L/mnt : 2L/mnt

: 1-1,5 Vol %)

Setelah eksplorasi dan rekonstruksi trakea selesai, pasien,

pipa endotrakeal dilepas dan di pasang T-Tube yang telah

disambungkan ETT kinking no 6 pada bagian eksternal tube, dan

bagian proximal tube di klem, sehingga ventilasi masih tetap

dapatdiberikan.

Sementara laring di tutup kembali, LMA no 4 dipasang

untuk persiapan ventilasi dari laring proximal.

Saat jahitan sudah akan menutup semua, klem T-Tube

proximal dilepas, ETT di bagian eksternal T-Tube dilepas, dan

lubangnya di tutup, ventilasi diambil alih melalui LMA sampai

operasi selesai.

Setelah operasi selesai, pasien di bangunkan, dan

ekstubasi sadar.

3. Pukul 12.40 WITA

Aldrette Skor 9, TD 110/70 mmHg, N 64 x/mnt, Sat O2 100 %.

Pasien dipindahkan ke Recovery Room.

4. Rekapitulasicairan : BB 70 kg

Kebutuhan cairan per jam = (40 ml/kgBB x 70 kg) / 24 jam = 83

ml/jam

Defisit cairan puasa 3 jam (pukul 06.00 – 9.00) = 3 x 83 = 332 ml

Evaporasi bedah besar (2 ml/kgBB/jam x 70 kg) = 140 ml/jam

Perdarahan durante operasi minimal.

Perhitungan kebutuhan cairan durante operasi

Jam I (10.00 – 11.00) = 449 ml untuk defisit puasa

Jam II (11.00 – 12.00) = 336 ml

Jam III (12.00 – 13.00) = 336 ml

19

Page 20: Trauma laring

Jam IV (13.00 – 14.00) = 333 ml

Perdarahan = (-)

Total kebutuhan cairan s/d pukul 14.00 = 1404 ml

Jumlah cairan masuk s/d pukul 14.00 = 1700 ml

(Kristaloid 1700 ml)

5. Jumlah Medikasi :

Midazolam 2mg

Ketorolac 30 mg

Ondancetron 4 mg

Fentanyl 100 mg

Propofol 200 mg

Dexametason 10 mg

Difenhidramin 10 mg

Untuk anelgesia post operasi diberikan bolus Ketorolac 3x30 mg, oral

Tramadol 3x50 mg, dan Paracetamol 4x500 mg. Pasien dipastikan sadar baik dan

bernafas adekuat, jalan nafas dipastikan sudah bersih. Pasien di pindahkan ke

ruang pemulihan.

3.5 Pasca Anestesi

3.5.1 Di ruang pemulihan (pkl 14.30 – 15.00)

Pukul Tekanan Darah Nadi

14.30 120 / 70 72

14.40 120 / 70 75

14.50 120 / 70 70

15.00 130 / 70 70

3.5.2 Di ruangan

Bila mual / muntah : ondansetron 4 mg I.V.

Makan / minum : bebas setelah sadar baik.

Infus : Ringer lactat 25 tetes / menit.

Evaluasi jalan nafas, tekanan darah, nadi, respirasi, nyeri dan keluhan

lainnya.

20

Page 21: Trauma laring

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien laki-laki, usia 19 tahun, suku Bali datang dengan riwayat trakeostomi

setelah mengalami trauma laring 8 bulan yang lalu akibat percobaan bunuh diri.

Saat ini pasien telah melakukan operasi laryngoplasty dan pemasangan

Montgomery T-tube.

Trauma laring dapat disebabkan oleh trauma inhalasi, trauma tajam, trauma

tumpul, aspirasi benda asing maupun iatrogenik. Penyebab lain trauma laring

adalah tentament suicide pada pasien dengan gangguan kejiwaan atau pada pasien

dengan stress berat. Pada pasien ini, trauma laring disebabkan oleh percobaan

bunuh diri yang dilakukan sekitar 8 bulan yang lalu.

Terdapat 3 zona pada trauma laring yang diklasifikasikan terutama

berdasarkan trauma terhadap pembuluh darahnya. Pasien ini didiagnosis dengan

trauma laring zona III, sehingga daerah yang mengalami trauma adalah daerah

dari angulus mandibula sampai basis kranii yang berisi arteri karotis, arteri

vertebralis, vena jugularis interna, faring, nervus kranialis dan medula spinalis.

Pasca trauma laring, trakeostomi dilakukan pada pasien untuk menangani

dan mengamankan jalan nafas pasien agar tetap adekuat. Pada pasien ini,

rekonstruksi dan eksplorasi laring dilaksanakan setelah dilakukan trakeostomi.

Sesuai dengan indikasi, sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi dapat

dilanjutkan dengan eksplorasi untuk mencari dan mengikat pembuluh darah yang

cidera serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek.

Montgomery T-tube merupakan suatu alat yang dipergunakan pada pasien

dengan cidera trakeal akut, sebagai penyokong trakea pasca rekonstruksi, maupun

sebagai pengganti trakea servikal yang tidak dapat direkonstruksi. Tujuan utama

pemasangan T-tube adalah untuk menjaga dan mempertahankan jalan nafas yang

adekuat pada pasien dengan trauma laring. Pada pasien ini, pemasangan

Montgomery T-tube dilakukan setelah rekonstruksi dan eksplorasi laring telah

selesai dilaksanakan sehingga ventilasi dapat diberikan melalui tube tersebut.

21

Page 22: Trauma laring

Pemasangan T-tube pada pasien ini disertai dengan penggunaan LMA untuk

mengambil alih ventilasi selama proses pemasangan berlangsung. Menurut teori,

penggunaan LMA tidak mengganggu proses rekonstruksi laring. Sehingga,

meskipun dalam proses pemasangan T-tube terjadi kesulitan ataupun

keterlambatan (delay), keselamatan pasien tidak terancam akibat gangguan jalan

nafas. Pemilihan LMA selain berdasarkan usia juga dapat dipengaruhi oleh berat

badan. Pasien ini mempergunakan LMA no 4 sesuai dengan usia pasien, namun

dengan berat badan yang mencapai 70 kg dapat dipertimbangkan pula pemakaian

LMA no 5 sesuai dengan teori.

22

Page 23: Trauma laring

BAB V

KESIMPULAN

Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami suatu

kerusakan yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan

penyebab lainnya. Trauma laring merupakan keadaan yang jarang ditemukan, hal

ini kemungkinan berkaitan dengan struktur laring yang terlindungi oleh organ di

sekitarnya.

Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu

masuk jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Trauma laring dapat

disebabkan oleh trauma inhalasi, trauma tumpul, trauma tajam, maupeun

penyebab lain misalnya akibat agen kaustik dan trauma intubasi. Tanda dan gejala

trauma laring dapat bervariasi sesuai dengan penyebabnya serta mekanisme

trauma. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada pasien dengan trauma laring

adalah sesak nafas, batuk, batuk darah, sianosis, dan gangguan suara. Pemeriksaan

penunjang yang dapat dilaksanakan adalah pemeriksaan radiologi, bronkoskopi,

CT Scan, dan MRI.

Penatalaksanaan yang paling utama pada trauma laring adalah manajemen

jalan nafas. Trakeostomi dan penggunaan Montgomery T-tube merupakan

tindakan yang dapat dilaksanakan pada pasien dengan trauma laring. Penggunaan

Laryngeal Mask Airway (LMA) selama tindakan operasi dapat memberikan

keuntungan dalam menjaga jalan napas tetap adekuat tanpa mengganggu proses

pembedahan. LMA juga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya trauma trakea

bila dibandingkan dengan penggunan endotrakeal tube (ETT).

Selain manajemen jalan napas, penatalaksanaan trauma laring dapat berupa

terapi pembedahan dan terapi medikamentosa lainnya. Eksplorasi dan

rekonstruksi laring dilaksanakan berdasarkan informasi yang diperoleh melalui

anamnese, pemeriksaan fisik, prosedur endoskopik dan radiologi. Sedangkan

medikamentosa yang dapat diberikan pada pasien dengan trauma laring adalah

kortikosteroid dan antibiotik untuk mengurangi resiko infeksi lokal.

23