Upload
fatimah-syakirah
View
58
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Bronkiolitis
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ialah infeksi akut yang dapat
terjadi di setiap tempat di sepanjang saluran pernapasan dan adneksanya (telinga
tengah, kavum pleura dan sinus paranasalis). Secara anatomic ISPA
dikelompokkan menjadi ISPA-atas misalnya batuk-pilek, faringitis, tonsillitis, dan
ISPA-bawah seperti bronchitis, bronkiolitis dan pneumonia. ISPA-atas jarang
menimbulkan kematian walaupun insidennnya jauh lebih tinggi dibandingkan
ISPA-bawah.
Pneumonia dan bronkiolitis yang merupakan bagian dari ISPA-bawah
banyak menimbulkan kematian, sehingga berperan besar dalam tingginya angka
kematian bayi. Setiap tahun diperkirakan 4 juta anak balita meninggal akibat
ISPA (terutama akibat pneumonia dan bronkiolitis) di negara berkembang.
Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernapasan yang tejadi bayi, akibat
dari obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Penyakit ini terjadi selama umur 2
tahun pertama yang menimbulkan obstruksi inflamasi pada saluran napas kecil
(bronkiolus)., dengan insiden puncak pada sekitar umur 6 bulan, dan pada banyak
tempat penyakit ini paling sering menyebabkan rawat inap bayi di rumah sakit.
Insidensi tertinggi selama musim dingin dan awal musim semi. Penyakit ini
terjadi secara sporadik dan endemic. Penyebab tersering dari bronkiolitis adalah
virus Respiratory Syncytical (RSV). (1)
BAB III
BRONKIOLITIS
A. DEFINISI
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratorik akut-bawah yang ditandai
dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya infeksi disebabkan oleh
virus. Penyakit ini terjadi selama usia 2 tahun pertama dengan insidens puncaknya
pada sekitar usia 6 bulan. Secara klinis ditandai dengan episode wheezing, nafas
cepat dan retraksi dada. 2,3
B. EPIDEMIOLOGI 2,3, 6
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi.
Paling sering terjadi pada usia 2-24 bulan, puncaknya terjadi pada usia 2-8 bulan.
Sembilan puluh lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan
75 % diantaranya terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun.
Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi
laki-laki berusia 3-6 bulan yang tidak mendapat ASI dan hidup di lingkungan
padat penduduk. Selain Orenstein, Louden menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi
1,25 kali lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Dominasi
pada anak laki-laki yang dirawat juga disebutkan oleh Shay, yaitu 1,6 kali lebih
banyak daripada anak perempuan, sedangkan Fjaerli menyebutkan 63 % kasus
bronkiolitis adalah laki-laki.
Sebanyak 11,4% anak berusia di bawah 1 tahun dan 6% anak berusia 1-2
tahun di AS pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000
kasus perawatan di RS dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya.
Bronkiolitis merupakan 17 % dari semua kasus perawatan di RS pada bayi.
Frekuensi bronkiolitis di Negara-negara berkembang hampir sama dengan di AS.
Insidens terbanyak terjadi pada musim dingin atau musim hujan di Negara-negara
tropis. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun
2002 dan tahun 2003, bronkiolitis banyak didapatkan pada bulan Januari sampai
bulan Mei .
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di Negara-negara
berkembang daripada di Negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh
rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan
penduduk di Negara berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada
anak-anak yang dirawat adalah 1-3 %.
C. ETIOLOGI
Penyebab utama dari bronkiolitis adalah infeksi repiratory syncytical virus
(RSV) yang memilki morbiditas dan mortalitas tinggi, terutama pada anak dengan
risiko tinggi dan imnunokompromise. Sekitar 95 % dari kasus-kasus tersebut
secara serologis terbukti disebabkan oleh invasi RSV. Orenstein menyebutkan
pula beberapa penyebab lain seperti Adenovirus, virus influenza, virus
parainfluenza, Rhinovirus dan mikoplasma. Tidak ada bukti yang kuat bahwa
bakteri menyebabkan bronkiolitis.3
Virus RSV lebih virulen dari pada virus lain dan menghasilkan imunitas
yang tidak bertahan lama. Infeksi ini pada orang dewasa tidak menimbulkan
gejala klinis. RSV adalah golongan paramiksovirus dengan bungkus lipid serupa
dengan virus parainfluenza, tetapi hanya mempunyai satu antigen permukaan
berupa glikoprotein dan nukleokapsid RNA helik linear. Tidak adanya genom
yang bersegmen dan hanya mempunyai satu antigen bungkus berarti bahwa
komposisi antigen RSV relatif stabil darI tahun ke tahun.5
D. FAKTOR RISIKO2,3
Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden
tertinggi pada bayi usia 6 bulan. Makin muda usia bayi menderita bronkiolitis
biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat
mungkin oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody)
yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan,
bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan
immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya
penyakit yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita,
namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki. Selain itu, faktor
resiko terjadinya bronkiolitis adalah status sosial ekonomi yang rendah, jumlah
anggota keluarga yang besar, perokok pasif, dan berada pada tempat penitipan
anak atau tempat dengan lingkungan yang padat penduduk.
E. KLASIFIKASI
Bronkiolitis dapat diklasifikasikan menjadi :
Bronkiolitis akut
Bronkiolitis obliteran.
Bronkiolitis akut dengan bronkiolitis obliteran dibedakan pada
bronkhiolus dan saluran pernafasan yang lebih kecil terjejas, karena upaya
perbaikan menyebabkan sejumlah besar jaringan granulasi yang menyebabkan
obstruksi jalan nafas, lumen jalan nafas terobliterasi oleh masa noduler granulasi
dan fibrosis. Bronkiolitis obliterans merupakan komplikasi yang lazim pada
transplantasi paru.(1)
Klasifikasi bronkiolitis berdasarkan gejala klinis 6
Keparahan TandaRingan Anak sadar, warna kulit merah muda
Dapat makan dengan baik Saturasi oksigen > 90%. Saturasi oksigen diketahui
dengan alat sederhana di kantor dokter atau RS Sedang Salah satu di antara:
Kesulitan makan Lemah Kesulitan bernapas, digunakannya otot-otot bantu
pernapasan Adanya kelainan jantung atau saluran napas Saturasi oksigen < 90% Usia kurang dari enam bulan
Berat Seperti kriteria untuk kategori sedang, namun: mungkin tidak membaik dengan pemberian oksigen
menunjukkan episode terhentinya napas menunjukkan tanda kelelahan otot pernapasan atau
terkumpulnya terlalu banyak karbon dioksida dalam tubuh.
F. PATOFISIOLOGI 2, 3, 7
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons
inflamasi akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus,
timbunan debris selular/ sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan
infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara
berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit
saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang besar,
terutama pada bayi yang memilki penampang saluran respiratori yang kecil.
Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, akan
tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan
menyebabkan air tapping dan hiperinflasi. Ateletaksis dapat terjadi pada saat
terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi.
Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru.
Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi
perfusi yang berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian
terjadi hipoksia jaringan. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu
terjadi. Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah tekanan oksigen
arteri. Kerja pernapasan akan meningkat selama end expiratory lung volume
meningkat dan compliance paru menurun. Hiperkapnea biasanya baru terjadi bila
respirasi 60x/menit. Selanjutnya hiperkapnia berkembang menjadi takipnea.
Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan diganti
setelah dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag.
Berbeda dengan bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentolerir edema
saluran napas lebih baik, oleh karena itu pada anak besar dan dewasa jarang
terjadi bronkiolitis bila terserang infeksi virus saluran napas.
Beberapa fakta memberi kesan cidera imunologis sebagai faktor faktor
pada patogenesis bronkiolitis yang disebabkan VSR : (1) bayi yang sekarat karena
bronkitis telah menunjukkan imunoglobulin maupun virus dalam jaringan
bronkiolus yang terjejas; (2) anak yang mendapat vaksin RSV yang diberikan
secara parenteral sangat antigenik, inaktif pada pemajanan RSV berikutnya,
penyakitnya menjadi lebih berat dan lebih sering kambuh dibandingkan anak-anak
lainnya ; (3) bronkiolitis yang bergabung kedalam asma pada bayi yang lebih tua,
dan RSV seringkali merupakan serangan asma akut yang dikenali pada anak usia
1-5 tahun; dan (4) antibodi imunoglobulin E (IgE) yang mengarah langsung ke
RSV ditemukan pada sekresi konvalesen pada bayi dengan bronkiolitis.1 Penyakit
ini juga berkembang pada bayi-bayi yang biasanya terdapat titer antibodi maternal
(IgG) menetralkan RSV tetapi tidak terdapat antibodi sekretorik (IgA) pada
saluran nafas, sehingga terdapat pada sekret hidung yang memproteksi terhadap
infeksi RSV. Fakta tersebut telah mengarah ke spekulasi bahwa fakta tersebut
penyebab alamiah terjadinya bronkiolitis.8
Gambar 1. Pembengkakan Bronkiolus akibat Infeksi RSV. 9
G. MANIFESTASI KLINIS 3,4, 10
Penderita awalnya mengalami gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang
encer dan bersin. Gejala ini kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang.
Kemudian satu atau dua hari kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh
batuk paroksismal, wheezing dan sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel,
muntah serta sulit makan dan minum.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distres nafas dengan frekuensi nafas
diatas 50- 60 kali per menit (takipnea), kadang disertai sianosis, nadi juga
biasanya meningkat (takikardi). Suhu badan bisa normal atau meningkat tinggi
sampai 41 ºC. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan
dan retraksi interkostal, subkostal dan suprasternal. Retraksi biasanya tidak dalam
karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat
ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa
stetoskop, serta terdapat crackles. Pada auskultasi dapat didapatkan rhonki basah
halus nyaring pada akhir atau awal ekspirasi. Suara perkusi paru hipersonor.
Hepar dan lien dapat teraba dibawah tepi kosta akibat pendorongan diafragma
karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering terjadi hipoksia dengan
saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien dengan
bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.
Bronkiolitis Akut
Mula-mula bayi mendapatkan infeksi saluran napas ringan berupa pilek
encer, batuk, bersin-bersin, dan kadang-kadang demam. Gejala ini berlangsung
beberapa hari, kemudian timbul distres respirasi yang ditandai oleh batuk
paroksimal, mengi, dispneu, dan iritabel. Timbulnya kesulitan minum terjadi
karena napas cepat sehingga menghalangi proses menelan dan menghisap. Pada
kasus ringan, gejala menghilang 1-3 hari. Pada kasus berat, gejalanya dapat timbul
beberapa hari dan perjalananya sangat cepat. Kadang-kadang, bayi tidak demam
sama sekali, bahkan hipotermi. Terjadi distres pernapasan dengan frekuensi napas
60 x/menit, terdapat napas cuping hidung, penggunaan otot pernapasan tambahan,
retraksi, dan kadang-kadang sianosis. Retraksi biasanya tidak dalam karena
adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Hepar dan lien bisa
teraba karena terdorong diafragma akibat hiperinflasi paru. Mungkin terdengar
ronki pada akhir inspirasi dan awal ekpirasi. Ekpirasi memanjang dan mengi
kadang-kadang terdengar dengan jelas.
Gambaran radiologik biasanya normal atau hiperinflasi paru, diameter
anteroposterior meningkat pada foto lateral. Kadang-kadang ditemukan bercak-
bercak pemadatan akibat atelektasis sekunder terhadap obtruksi atau anflamasi
alveolus. Leukosit dan hitung jenis biasanya dalam batas normal. Limfopenia
yang sering ditemukan pada infeksi virus lain jarang ditemukan pada brokiolitis.
Pada keadaan yang berat, gambaran analisis gas darah akan menunjukkan
hiperkapnia, karena karbondioksida tidak dapat dikeluarkan, akibat edem dan
hipersekresi bronkiolus.
Bronkiolitis Obliterans
Bronkiolitis obliterans adalah suatu peradangan kronik pada bronkiolitis
dimana sudah terjadi obliterasi pada bronkiolus.Pada mulanya dapat terjadi batuk,
kegawatan pernafasan dan sianosis dan disertai dengan periode perbaikan nyata
yang singkat. Penyakit yang progresif terlihat dengan bertambahnya dispnea,
batuk, produksi sputum, dan mengi. Polanya dapat menyerupai bronkitis,
bronkiolitis atau pneumonia.1
Temuan rontgenografi dada berkisar dari normal sampai pola yang
memberi kesan tuberkulosis milier. Sindrom Swyer James dapat berkembang
dengan dijumpainya hiperlusensi unilateral dan pengurangan corak pembuluh
darah paru pada sekitar 10% kasus. Bronkografi menunjukan obstruksi
bronkiolus, dengan sedikit atau tidak ada bahan kontras yang mencapai perifer
paru. Tomografi terkomputasi (CT) dapat menunjukan bronkiektasia yang terjadi
pada banyak penderita. Temuan-temuan uji fungsi paru bervarisasi, yang paling
sering adalah obstruksi berat, namun demikian retreksi atau kombinasi obstruksi
dan retraksi dapat ditemukan. Diagnosis dapat dikonfirmasikan melalui biopsi
paru.1
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG 2,3,5,7
Darah lengkap : Dengan hitungan jumlah sel darah lengkap jarang
bermanfaat karena sel darah putih pada umumnya di dalam batas normal atau naik
, jumlah leukosit berkisar antara 5000-24000 sel/μl. Hitung jenis mungkin normal
atau bergeser kekanan atau kekiri. Pada keadaan leukositosis, batang dan PMN
banyak ditemukan. Berat jenis urin dapat menyediakan informasi bermanfaat
mengenai balance cairan dan kemungkinan dehidrasi.
Analisis Gas Darah : hiperkapnia sebagai tanda dari air tapping, asidosis
metabolik atau respiratorik. Analisa gas darah (AGD) diperlukan untuk anak
dengan gangguan pernafasan berat, khususnya yang membutuhkanventilator
mekanik, gejala kelelahan dan hipoksia.
Foto Thorak diindikasikan pada :
o Pasien yang diperkirakan memerlukan perawatan lebih
o Pasien dengan pemburukan klinis yang tidak terduga
o Pasien dengan penyakit jantung dan paru yang
mendasari.
Rontgen thoraks AP dan lateral dapat terlihat gambaran hiperinflasi paru
dengan diameter anteroposterior membesar pada foto lateral disertai dengan
diafragma datar, penonjolan ruang retrosternal dan penonjolan ruang interkostal.
Dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar pada sekitar 30 % penderita dan
disebabkan oleh ateletaksis akibat obstruksi atau karena radang alveolus.
Identifikasi virus dengan memeriksa sekresi nasal dengan menggunakan
tekhnik imunofluoresens atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).
Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi
dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus
tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis. Sensifitas
pemeriksaan ini adalah 80-90%.
I. DIAGNOSIS 2,3,5,9
Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan
adanya epidemi RSV di masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1)
wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik
sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4)
menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal.
Pada pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan
bentuk batang. Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q
mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi.
Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan.
Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan
bercak-bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau
pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang
bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan x-foto dada,
dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung yang menyempit,
jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter anteroposterior
dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah
paru tampak tersebar.
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan
aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi
memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50%
kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan
menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini
adalah 80-90%.
J. DIAGNOSIS BANDING2,5,6
¨ Asma bronchial
Terdapat riwayat keluarga asma, episode berulang pada bayi yang
sama, mulainya mendadak tanpa infeksi yang mendahului,
ekspirasi sangat memanjang, eosinofilia dan respons perbaikan
segera pada pemberian satu dosis albuterol aerosol.
¨ Bronkopneumonia
Keadaan yang hamoir sama dengan bronkiolitis akut adalah asma, satu
atau lebih dari yang berikut ini mendukung diagnosis asma, riwayat keluarga
asma, episode berulang kali pada bayi yang sama, mulainya mendadak tanpa
infeksi yang mendahului, ekspirasi sangat memanjang, eosinofilia, dan respons
pembaikan segera pada pemberian satu dosis albuterol aerosol. Serangan berulang
menggambarkan titik pembeda yang penting kurang dari 5% serangan berulang
bronkiolitis klinis mempunyai penyebab infeksi virus. Wujud lain yang dapat
terancukan dengan bronkiolitis akut adalah gagal jantung kongesif, benda asing di
dalam trakhea, pertusis, keracunan organofosfat, kistik fibrosia, dan
bronkopneumonia bakteri yang disertai dengan overinflasi paru obstruktif
menyeluruh.1
K. PENATALAKSANAAN2,3,5
Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga
sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu
pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan
cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan
respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator,
antiinflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan
dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline(polyclnal) atau humanized RSV
monoclonal antibody (palvizumad).
Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan
peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat
inap. Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari
3 bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis,
defisiensi imun dan distres napas. Manajemen dasar pengobatan bronkiolitis
adalah meyakinkan pasien secara klinis stabil, oksigenasi baik dan hidrasi baik.
Manfaat utama dari rawat inap bagi pasien dengan akut bronkiolitis adalah :
- Dapat melakukan pengawasan terhadap status klinis
- Dapat melakukan pemantauan saluran nafas (melalui penempatan
posisi, pengisapan dan pembersihan cairan).
- Dapat melakukan pemantauan hidrasi cairan tubuh yang adekuat
- Dapat memberikan edukasi kepada orang tua.
- Mendeteksi dan mengobati komplikasi yang mungkin timbul
- Mencegah penyebaran infeksi terhadap pasien lain dan pegawai
- Melakukan pengobatan menggunakan antivirus yang spesifik jika
terdapat indikasi.
Indikasi-indikasi untuk perawatan di rumah sakit :
- Tanda klinis gangguan pernafasan atau tanda kelelahan
- Apnoe
- Ketidakmampuan untuk makan
- Hypoksemia
- Pasien dengan kondisi dasar medis.
Pengobatan Suportif
A. Pengawasan
Untuk pasien yang dirawat inap penting dilakukan pengawasan sistem
jantung paru dan jika ada indikasi dilakukan pemasanag pulse oxymetri.
B. Oksigenasi
Oksigenasi sangat penting untuk menjaga jangan sampai terjadi hipoksia,
sehingga memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat gangguan perfusi
ventilasi paru-paru. Pemberian oksigen tambahan direkomendasikan ketika
saturasi oksigen menetap dibawah 91% dan dihentikan ketika saturasi oksigen
menetap diatas 94%.
Oksigenasi dengan kadar oksigen 30 – 40 % sering digunakan untuk
mengoreksi hipoksia, gunakan nasal kanul (dengan kecepatan maksimun 2L/m);
masker muka atau kotak kepala. Jika mungkin gunakan oksigen yang
dilembabkan. Jika hipoksemia menetap dengan atau tanpa distress berat,
meskipun sudah diberikan oksigen dengan kecepatan tinggi, maka segera lakukan
permintaan untuk penangan ICU anak dengan pemasangan ventilator.
C. Pengaturan Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah dehidrasi akibat
keluarnya cairan lewat evaporasi, karena pernafasan yang cepat dan kesulitan
minum. Jika tidak terjadi dehidrasi diberikan cairan rumatan. Berikan tambahan
cairan 20 % dari kebutuhan rumatan jika didapatkan demam yang naik turun atau
menetap (suhu > 38,5 0C). Cara pemberian cairan ini bisa secara intravena atau
pemasangan selang nasogastrik. Akan tetapi harus hati-hati pemberian cairan
lewat lambung karena dapat terjadi aspirasi dan menambah sesak nafas, akibat
lambung yang terisi cairan dan menekan diafragma ke paru-paru. Selain itu harus
dicegah terjadinya overload cairan. Lakukan pemeriksaan serum elektrolit dan
jika mendapatkan nilai yang tidak
normal lakukan penggantian dengan cairan elektrolit.
- Bayi > 1 bulan : infus dekstrose 10% : NaCL 0,9% = 3:1 + KCl 10
mEq/500 ml cairan
- Neonatus : infus dekstrose 10 % : NaCl 0,9 % = 4:1 + KCl 10
mEq/500 ml
Pengobatan Medikamentosa
A. Antivirus (Ribavirin)
Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat
untuk mengurangi beratnya penyakit dapat diberikan antivirus. Ribavirin adalah
obat antivirusyang bersifat virus statik. The American of Pediatric
merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan diperkirakan penyakitnya
menjadi lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan
jantung, fibrosis kistik, penyakit paru-paru kronik, immunodefisiensi, dan pada
bayi-bayi premature. Ada beberapa penelitian prospektif tentang penggunaan
ribavirin pada penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung dapat menurunkan
angka kesakitan dan kematian jika diberikan pada saat awal. Penggunaan ribavirin
biasanya dengan cara nebulizer aerosol 12-18 jam per hari atau dosis kecil dengan
2 jam 3 x/hari.
B. Bronkodilator
Secara umum jangan gunakan bronkodilator pada pasien anak dengan usia
dibawah 6 bulan. Bronkodilator juga tidak dianjurkan dan sebetulnya merupakan
kontra indikasi karena dapat memperberat keadaan anak. Penderita dapat menjadi
lebih gelisah dan keperluan oksigen akan meningkat.
Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran
respiratory adalah inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan sumbatan
mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori kecil pada bayi dengan bronkiolitis,
sehingga pendekatan logis terapi adalah kombinasi α-adrenergik dan agonis β-
adrenergik. Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator β-adrenergik
selektif adalah :
- Kerja konstriktor α-adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa,
membatasi absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan
sedikit efek pada ventilation perfusing matching.
- Relaksasi otot bronkus karena efek β-adrenergik
- Kerja β-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi
- Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti edema
- Mengurangi sekresi kataral.
Beta–agonis masih sering digunakan dengan alasan 15 – 25 % pasien
bronkiolitis nantinya akan menjadi asma. Inhalasi β2-agonis diberikan satu kali
sebagai trial dose. Karena efek akan tampak dalam 1 jam, maka dosis ulangan
akan diberikan bila pasien menunjukkan perbaikan klinis fungsi paru yang jelas
dan menetap.
C. Kortikosteroid
Untuk pasien rawat jalan dengan akut bronkiolitis pemberian steroid
sistemik mungkin dapat dipertimbangkan tetapi total pemberian tidak lebih dari 5
hari. Dapat diberikan deksametason 0,5 mg/kgBB dilanjutkan 0,5 mg/kgBB/hari
dibagi 3-4 dosis.
Untuk pasien rawat inap steroid sistemik tidak rutin diberikan. Sedangkan
untuk penanganan pasien pada intensive care unit dengan bronkiolitis berat
pemberian steroid sistemik dapat dipertimbangkan. Sedangkan pemberian steroid
inhalasi (budesonide & Fluticasone) sangat sedikit evidence based yang
merekomendasikan.
D. Antibiotik
Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita
bronkiolitis, karena sebagian besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-
tanda infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik spektrum luas.
Pemberian antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh
kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut. Antibiotik bila dicurigai adanya
infeksi bakteri dapat digunakan ampisilin 100-200 mg/kgBB/hr secara intravena
dibagi 4 dosis. Bila ada konjungtivitis dan bayi berusia 1 – 4 bulan kemungkinan
sekunder oleh Chlamidia trachomatis.
Pengobatan Intensive Care Unit
Dilakukan konsultasi untuk perawatan pada ICU anak jika :
- Terjadi progresivitas untuk gangguan pernafasan berat terutama pada
kelompok yang beresiko.
- Terdapat episode apnoe yang signifikan dengan gangguan saturasi atau
adanya frekuensi pernafasan pendek lebih dari 15 detik.
- Saturasi oksigen rendah yang menetap
- Ketika pemeriksaan analisa gas darah telah selesai dan menggambarkan
gangguan pernafasan dimana pada darah arteri didapatkan : pO2 > 50
mmHg; pH 5,12
Tabel 2.
Penatalaksanaan Bronkiolitis Berdasarkan Berat Ringannya Gejala
Bronkiolitis
Ringan Sedang Berat
- Tidak memerlukan
penilaian lebih lanjut
- Perawatan dirumah,
jika orang tua pasien
mampu dan sudah
- Perawatan di rumah sakit
- Berikan oksigen
sehingga saturasi oksigen
> 93 %
- Pertimbangkan
- Perawatan di rumah sakit
- Pemberian oksigen sampai
saturasi oksigen > 95 %
- Pengamatan seksama untuk
antisipasi kemungkinan
dijelaskan keadaannya
- Berobat ulang ke
dokter setelah 2 – 3 hari
kemudian
pemberian cairan
intravena
- Pengamatan seksama
terhadap perburukan
kondisi
- Foto thorak
- Aspirasi nasopharyngeal
untuk virus
imunoflurorecency
dan kultur
memerlukan intubasi dan
pemakaian ventilator
- Berikan cairan intravena
- Monitor system
cardiorespiratori
- Foto thorak
- Aspirasi nasopharyngeal
untuk virus
imunoflurorecency
dan kultur
- Pertimbangkan pengawasan
gas pembuluh darah arteri
- Pertimbangkan untuk
konsultasi perawatan ICU
anak.
Kriteria Pulang
Pasien direkomendasikan pulang dengan kriteria :
- Status pernafasan
o Laju pernafasan kurang dari 70 kali dalam 1 menit dan tidak
didapatkan tanda klinis usaha pernafasan lebih
o Orang tua dapat membersihkan saluran pernafasan anak dengan
menggunakan alat sedot gelembung.
o Pasien dapat berada dalam ruang dengan udara bebas dengan
oksigen terapi yang stabil.
o Saturasi oksigen harus lebih dari 90% tanpa pemberian oksigen
tambahan kecuali anak dengan penyakit paru kronis, penyakit
jantung atau mempunyai faktor resiko lain harus dilakukan diskusi
terlebih dahulu dengan konsultan.
- Status nutrisi
o Pasien dapat makan melalui mulut pada tingkatan dapat mencegah
dehidrasi
- Sosial
o Peralatan dirumah mampu untuk digunakan dalam perawatan
dirumah
o Orang tua atau penjaga anak mampu untuk melakukan perawatan
dirumah
o Dilakukan edukasi keluarga yang lengkap
- Peninjauan lebih lanjut
o Ketika ada indikasi, perawat rumah dan penyedia alat medis harus
melakukan visit terakhir.
o Pemberi pertolongan utama harus memberikan persetujuan untuk
pemulangan
o Kontrol untuk peninjauan lebih lanjut harus dilakukan.
Edukasi Keluarga
Dilakukan pada saat pasien akan dipulangkan. Yaitu dengan
memberitahukan :
- Informasi mengenai penyakit bronkiolitis
- Bagaimana cara membersihkan jalan nafas dengan menggunakan
penghisap gelembung.
- Segera memanggil bantuan atau membawa pasien ke rumah sakit
kembali jika didapatkan gangguan pernafasan
- Cara pencegahan penyakit dan penyebarannya dengan menghindari
anak dari paparan asap rokok ataupun zat yang mengiritasi lainnya,
melakukan cuci tangan, dll.
L. PENCEGAHAN2,3
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap
rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya
dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker,
isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum,
pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita
ISPA. Langkah preventif yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian
imunisasi aktif (Vaksinasi) dan pasif (Immunoglobulin).
Immunoglobulin
Imunisasi pasif dapat dilakukan dengan pemberian gammaglobulin yang
mengandung titer antibodi protektif tinggi (respigram). Respigram adalah human
polyclonal hyperimmune globilin. Dosis yang dianjurkan 750 mg/KgBB setiap
bulan, diberikan secara intravena pada anak dibawah umur 24 bulan. Indikasi lain
adalah bayi yang lahir dengan umur kehamilan kurang dari 35 minggu.
Pendekatan profilaksis pada populasi resiko tinggi adalah meningkatkan
(augmentation) antibodi yang menetralisasi protein F dan G dengan cara
pemberian dari luar dan imunisasi dari ibu. Pada manusia, efek imunoglobulin
yang mengandung neutralizing antibody titer tinggi atau monoklonal terhadap
protein F akan mengurangi beratnya penyakit. Bila pada bayi premature atau bayi
dengan penyakit paru kronis diberikan RSV hyperimmune globulin atau antibodi
monoklonal terhadap protein F yang disebut dengan Palivizumab setiap bulan,
diberikan secara intramuskular setiap hari, lama perawatan RSV akan berkurang
secara bermakna. Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti-F
glycuprotein antibody, yang mencegah masuknya RSV kedalam sel host. Akan
tetapi resiko efek samping kemungkinan meningkat pada bayi dengan penyakit
jantung sianotik. AAP merekomendasikan profilaksis boleh diberikan hanya pada
bayi dengan resiko tinggi yang tidak menderita penyakit jantung sianotik.
Vaksinasi
Sesudah penelitian dengan vaksin inaktif, dikembangkan vaksin live
attenuated. Vaksin RSV pertama, yang terdiri dari cold – passaged mutan, efektif
untuk orang dewasa, tetapi pada anak terlalu virulen dan tidak stabil karena dapat
berubah menjadi virus biasa kembali. Kemudian dari permukaan glikoprotein
murni, dikembangkan DNA dan peptik sintetik. Vaksin live – attenuated
mempunyai kelebihan, yaitu dapat diberikan intranasal dan menginduksi imunitas
mukosa dan sistemik.
Dianjurkan pemberian live attentuated RSV dan PIV3 (Parainfluenza virus
serotipe 3) sebagai vaksin kombinasi sebanyak dua atau tiga kali dengan dosis
pertama sebelum atau pada usia 1 bulan diikuti dengan vaksin bivalen PIV1 dan
PIV2 pada usia 4-6 bulan.
M. PROGNOSIS 1
Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penanganan, dan
penyakit latar belakang (penyakit jantung, defisiensi imun, prematuritas). Anak
biasanya dapat mengatasi serangan tersebut sesudah 48 – 72 jam. Mortalitas
kurang dari 1 %. Anak biasanya meninggal karena jatuh ke dalam apneu yang
lama, asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi atau karena dehidrasi yang
disebabkan oleh takipneu dan kurang makan-minum.
Bronkiolitis Akut
Fase penyakit yang paling kritis terjadi selama 48-72 jam pertama sesudah
batuk dan dispnea mulai. Selama masa ini, bayi tampak sangat sakit, serangan
apneu terjadi pada bayi yang sangat muda dan asidosis respiratorik mungkin ada.
Sesudah periode klinis, perbaikan terjadi dengan cepat dan seringkali secara
drastis. Penyembuhan selesai dalam beberapa hari. Angka fatalitas kasus di bawah
1%, kematian dapat merupakan akibat dari serangan apnea yang lama, asidosis
respiratorik berat yang tidak terkompensasi, atau dehidrasi berat akibat kehilangan
penguapan air dan takipnea serta ketidak mampuan minum cairan. Bayi yang
memiliki keadaan-keadaan, misalnya penyakit jantung kongenital, displasia
bronkopulmonal, penyakit imunodefisiensi, atau kistik fibrosis mempunyai angka
morbiditas yang lebih besar dan mempunyai sedikit kenaikan angka mortalitas.
Angka mortalitasnya tidak sebesar pada bayi yang “beresiko tinggi” seperti di
masa yang silam. Perkiraan mortalitas pada bayi beresiko tinggi yang menderita
bronkiolitis. VSR ini telah menurun dari 37% pada tahun 1982 menjadi 3,5% pada
tahun 1988. Komplikasi bakteri seperti bronkopneumonia atau otitis media, tidak
lazim terjadi. Kegagalan jantung selama bronkiolitis jarang, kecuali pada anak
yang memiliki dasar penyakit jantung. Ada proporsi yang bermakna bahwa bayi-
bayi yang menderita bronkiolitis mengalami hiperreaktivitas saluran pernafasan
selama akhir masa anak-anak, tetapi hubungan antara kedua hal ini, jika ada
belum dimengerti. Kesan bahwa satu episode bronkiolitis dapat mengakibatkan
kelainan saluran pernafasan kecil yang jangkanya sangat lama memerlukan
pengamatan lebih lanjut. Kelainan ini sebagian dapat dijelaskan melalui
penemuan bahwa bayi yang memiliki hantaran pernafasan total rendah lebih
mungkin mengalami bronkiolitis dalam responnya terhadap infeksi virus
pernafasan. Bayi dengan bronkiolitis yang padanya berkembang saluran
pernafasan reaktif kemungkinan besar mempunyai riwayat keluarga asma dan
alergi, episode bronkiolitis akut lama, dan terpajan asap rokok.
Bronkiolitis Obliterans
Beberapa minggu setelah mulainya gejala-gejala awal, penderita keadaan
umumnya menjelek sampai meninggal, tetapi kebanyakan bertahan hidup,
beberapa anak menderita kecacatan kronis.
BAB IV
KESIMPULAN
Bronkhiolitis adalah penyakit IRA – bawah yang ditandai dengan adanya
inflamasi pada bronkiolus. yang sering di derita bayi dan anak kecil yang berumur
kurang dari 2 tahun.
Bronkiolitis sebagian besar disebabkan oleh Respiratory syncytial
virus(RSV), penyebab lainnya adalah parainfluenza virus, Eaton agent
(mycoplasma pneumoniae), adenovirus dan beberapa virus lainnya. Tetapi belum
ada bukti kuat bahwa bronkhiolitis disebabkan oleh bakteri.
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratory tersering pada bayi.
Paling sering terjadi pada usia 2 – 24 bulan, puncaknya pada usia 2 – 8 bulan.
Sebanyak 11,4 % anak berusia dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1 – 2 tahun
di AS pernah mengalami bronkhiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus
perawatan di rumah sakit dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya.
Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status
sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada
pada tempat penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya
antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu.
Bronkiolitis secara klinis ditandai dengan pernafasan cepat, retraksi
dinding dada dan whezing. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya,
berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemi RSV di
masyarakat Diagnosis banding sebaiknya dipikirkan, misalnya asma bronkiale
serangan pertama, pneumonia.
Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga
sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu
pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan
cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan
respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu baru pemberian medikamentosa
Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari
penatalaksanaan penyaki sebelumnya. Pada beberapa kasus didapatkan adanya
gangguan fungsi paru yang menetap, dimana timbulnya whezing berulang dan
hiperaktifitas bronkial.
Pencegahan dengan imunisasi aktif dan pasif serta menghindari
penyebaran virus RSV. Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya
penanganan, dan penyakit latar belakang (penyakit jantung,defisiensi imun,
prematuritas).