23
Tinjauan Kasus Tata Laksana Diabetik Kidney Disease pada Penderita Diabetes Melitus Agus Kresna Sucandra, Diah Ajeng Tania, Dwi Sutanegara Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar Februari 2005 Pendahuluan Diabetes melitus atau yang lebih dikenal dengan DM sering disebut sebagai the great immitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi, dapat timbul perlahan- lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan. 5 Dalam Diabetes Atlas 2000 (International Diabetes Federation) tercantum perkiraan penduduk Indonesia di atas 20 tahun sebesar 125 juta dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6%. Berdasarkan pola pertambahan penduduk seperti saat ini, diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6% akan didapatkan 8,2 juta pasien diabetes. 1 Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi komplikasi akut dan kronis. Komplikasi akut sekarang sudah jarang, juga penanganannya relatif lebh mudah asal fasilitas cukup memadai. Diantaranya ketoasidosis diabetik (KAD), hyperosmolar hyperglycemic syndrome, dan hipoglikemia. Sedangkan komplikasi kronik merupakan komplikasi yang sangat sukar ditangani 1

Tinjauan Kasus DKD

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tinjauan Kasus DKD

Tinjauan Kasus

Tata Laksana Diabetik Kidney Disease pada Penderita Diabetes Melitus

Agus Kresna Sucandra, Diah Ajeng Tania, Dwi Sutanegara

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar

Februari 2005

Pendahuluan

Diabetes melitus atau yang lebih dikenal dengan DM sering disebut sebagai the great

immitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan

berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi, dapat timbul perlahan-lahan

sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan.5 Dalam Diabetes Atlas 2000

(International Diabetes Federation) tercantum perkiraan penduduk Indonesia di atas 20

tahun sebesar 125 juta dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6%. Berdasarkan pola

pertambahan penduduk seperti saat ini, diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada

sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM

sebesar 4,6% akan didapatkan 8,2 juta pasien diabetes.1

Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi komplikasi akut dan kronis.

Komplikasi akut sekarang sudah jarang, juga penanganannya relatif lebh mudah asal

fasilitas cukup memadai. Diantaranya ketoasidosis diabetik (KAD), hyperosmolar

hyperglycemic syndrome, dan hipoglikemia. Sedangkan komplikasi kronik merupakan

komplikasi yang sangat sukar ditangani karena berjalan pelan tetapi pasti dan karenanya

akan makan biaya sangat tinggi, yaitu makroangiopati (pembuluh darah jantung, pembuluh

darah tepi, dan pembuluh darah otak), mikroangiopati (pembuluh darah kapiler retina mata

dan pembuluh darah kapiler ginjal), dan neuropati.1 Diabetik kidney disease (DKD)

merupakan komplikasi mikrovaskular kronis pada penderita diabetes melitus. Pada

sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang

memerlukan pengobatan cuci darah atau cangkok ginjal. Diabetik kidney disease

menduduki urutan ketiga (16,1%) setelah glomerulonefritis kronik (30,1%) dan

pielonefritis kronik (18,51%), sebagai penyebab paling sering gagal ginjal terminal yang

memerlukan cuci darah diabetik kidney disease Indonesia.4 Di Amerika Serikat sendiri

DKD merupakan penyebab tersering dari gagal ginjal, dimana sepertiga pasien yang

1

Page 2: Tinjauan Kasus DKD

menjalani program dialisis rutin adalah pasien dengan DKD. Begitu juga di Inggris, DKD

menjadi penyebab tersering dari gagal ginjal.13

Pada tinjauan kasus ini, akan difokuskan pada pembahasan tentang diagnosis dan

penatalaksanaan diabetik kidney disease pada penderita diabetes melitus.

Kasus

Seorang laki-laki, umur 42 tahun, Islam, suku Jawa datang ke RS Sanglah untuk

menjalankan terapi hemodialisis. Penderita telah melakukan hemodialisa rutin dengan

frekuensi dua kali tiap minggu. Hemodialisa sudah dilakukan sejak bulan Juni 2004.

Keluhan utamanya berupa badan lemah. Rasa lemah ini dirasakan terjadi perlahan-lahan

pada seluruh tubuh. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 13 tahun yang lalu (tahun 1992).

Penderita mempunyai riwayat sakit DM sejak tahun 1992 (13 tahun yang lalu),

namun penderita tidak dihiraukan sehingga tidak berobat ke dokter. Pada tahun 1997

penderita masuk rumah sakit karena mengeluh lukanya di kaki tidak sembuh-sembuh dan

badannya panas tinggi. Penderita dirawat selama 5 hari, oleh dokter yang merawat

dikatakan selain menderita kencing manis juga menderita darah tinggi Penderita mulai

kontrol ke dokter dan minum obat namun tidak teratur. Tahun 2000 penderita mulai

mengeluh sering bengkak-bengkak pada kedua kakinya dan juga sering mengeluh

penglihatannya mulai kabur. Setelah matanya terasa sangat kabur, penderita berobat ke

dokter mata, dikatakan ada perdarahan di retina yang menyebabkan mata kanan penderita

tidak dapat melihat. Pada tahun 2002 keluhan bengkak semakin sering dan parah, diikuti

kencing yang sering namun sedikit-sedikit dan berbuih, mual muntah, pucat, rasa pegal-

pegal pada kaki, kesemutan terutama di telapak kaki. Penderita pun berobat ke rumah sakit

lalu didiagnosis penyakit ginjal oleh dokter. Tahun 2003 penderita kembali masuk rumah

sakit karena keluhan bengkak yang semakin berat. Lalu direncanakan hemodialisis, namun

dari pengobatan selama di rumah sakit menunjukkan respon yang baik maka hemodialisis

pun dibatalkan. Juni 2004 penderita kembali masuk rumah sakit karena panas tinggi, lalu

sejak saat itu pula penderita harus melakukan hemodialisis rutin 2 kali seminggu. Selama

13 tahun ini penderita juga mengeluh banyak giginya menjadi mudah goyang dan akhirnya

tanggal.

Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik (27 Januari 2005) didapatkan kesadaran

E4V5M6, tekanan darah 150/90 mmHg, denyut nadi teratur, isi cukup 88 kali/menit,

2

Page 3: Tinjauan Kasus DKD

pernafasan spontan 22 kali/menit, temperatur axila 36,50C, tinggi badan 175 cm, berat

badan 58 kg, BBI 77,3 kg, IMT 18,94 kg/m2.

Pemeriksaan fisik mata didapatkan anemia pada kedua mata, tidak ada ikterus pada

mata kanan dan kiri. Didapatkan visus mata kanan NLP (No Light Perception) mata kiri

>6/30, palpebra normal, kornea jernih, iris/pupil bulat dan reguler, reflek pupil positif

isokor, lensa jernih, tensi okuli normal (per palpasi). Pemeriksaan segmen posterior bola

mata tidak dilakukan.

Pada telinga, hidung dan tenggorokan tidak didapatkan kelainan. Gigi tidak

lengkap, gusi tidak ada tanda-tanda infeksi.

Pada inspeksi leher didapatkan leher simetris, palpasi : pembesaran kelenjar getah

bening leher (-), pembesaran kelenjar gondok (-), JVP PR ± 0 cm H20, auskultasi : bruit

(-).

Pada inspeksi thoraks didapatkan dada simetris kanan dan kiri saat statis maupun

dinamis, pada palpasi fremitus vokal normal pada kedua paru, pada perkusi sonor pada

kedua paru, auskultasi didapatkan suara nafas tipe vesikuler, tidak ada ronki dan tidak ada

wheezing pada kedua paru. Pemeriksaan fisik jantung, inspeksi iktus kordis tampak pada

sela iga IV garis pertengahan klavikula kiri, palpasi iktus kordis teraba dua jari sebelah

medial dari garis pertengahanan klavikula kiri ruang sela iga IV, pada perkusi didapatkan

batas-batas jantung yaitu batas atas: ruang sela iga II, batas kanan: garis parasternal kanan,

batas kiri : garis pertengahan klavikula kiri, pada auskultasi didapatkan S1 S2 tunggal

reguler, tidak ada murmur.

Pada pemeriksaan abdomen, secara inspeksi tidak ada distensi, auskultasi bising

usus (+) normal, dari palpasi hepar dan lien tidak teraba, serta tidak ada nyeri tekan pada

perut. Perkusi perut didapatkan timpani, serta tidak ada ascites.

Pada pemeriksaan fisik ekstremitas, secara inspeksi terlihat warna kulit tangan dan kaki

normal. Pada lengan sebelah kiri terpasang AV shunt. Kulit kaki terlihat banyak bekas

luka, terlihat bengkak pada kedua kaki, pitting odem (-). Pada palpasi didapatkan akral

yang hangat pada kedua tangan dan kaki. Pada penderita ini juga dilakukan pemeriksaan

neurologis yaitu pemeriksaan adanya kelainan sensoris, dilakukan tes sensibilitas dengan

cara: pemeriksaan untuk rasa nyeri dipakai jarum pentul yang ditusukkan pada kulit

tangan dan kulit kaki, untuk pemeriksaan sensasi terhadap suhu dingin dipakai air es yang

dibungkus plastik, dan untuk sensasi terhadap suhu panas dipakai air hangat yang

ditempatkan dalam gelas, lalu disentuhkan pada kulit penderita. Untuk rasa raba, diperiksa

3

Page 4: Tinjauan Kasus DKD

dengan memakai kapas yang disentuhkan pada kulit penderita. Hasil yang diperoleh dari

pemeriksaan sensibilitas ini yaitu pada ekstremitas inferior dekstra didapatkan kemampuan

sensibilitas menurun pada semua kualitas baik rasa nyeri, suhu, maupun rasa raba.

Sedangkan pada ekstremitas superior dekstra dan sinistra, serta ekstremitas inferior

sinistra, sensibilitas untuk semua kualitas masih baik. Untuk memeriksa kelainan motorik

dilakukan pemeriksaan refleks achilles pada kaki kanan dan kiri dan hasilnya pada kaki

kiri dan kanan refleks achilles positif (normal). Serta pada inspeksi didapatkan atropi pada

otot kaki kanan.

Pemeriksaan laboratorium 8 Januari 2005 menunjukkan hasil yaitu: leukosit 9,6

k/ul, eritrosit 2,62 M/ul, hemoglobin 7,9 g/dl, hematokrit 24,1%, trombosit 204 k/ul, MCV

92,1 fl, MCH 30,1 pg, kadar glukosa sewaktu 273 mg/dl, BUN 130,3 mg/dl, kreatinin

11,44 mg/dl, Na 138,3 mmol/L, K 6,40 mmol/L, albumin 3,1.

Urinalisis saat masuk rumah sakit menunjukkan hasil pH 6,0, leukosit 2-3/lp,

protein ++++, glukosa +, keton -, eritrosit -, urobilinogen normal, bilirubin negatif, berat

jenis 1,010, warna urin kuning, agak keruh. Pemeriksaan sedimen urin memberikan hasil:

leukosit (2-3), eritrosit (-), silinder (-), sel epitel yaitu sel epitel gepeng 0-3/lpk, sel epitel

bulat (-), sel epitel berekor (-), bakteri (-), kristal : amorf +.

Hasil thorak foto saat masuk rumah sakit menunjukkan jantung : cardio-thoracic

ratio (CTR) sebesar 59,66% dan paru-paru normal, sinus pleura tajam, serta diaphragma

normal.

Hasil elektrokardiogram saat masuk rumah sakit menunjukkan rate 96 kali/menit,

irama sinus, aksis normal. Kesimpulan : gambaran EKG normal sinus rhytm.

Penderita ini didiagnosis : CKD stg V ec DKD, Anemia sedang Normokromik-

normositer on CKD, hipertensi gr I.

Terapi yang diberikan pada penderita ini yaitu penderita rawat inap, diet 2898,75

kalori, protein 34,8 gram, rendah garam. Actrapid 3 kali 8 unit sc, asam folat 2 kali 2

tablet, CaCO3 3 kali 1 tablet, captopril 2 kali 50mg, HD reguler.

4

Page 5: Tinjauan Kasus DKD

Pembahasan

Diagnosis. Diagnosis klinis diabetes melitus biasanya dipikirkan bila ada keluhan khas

berupa poliuri, polidipsi, polifagi dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dirasakan oleh pasien adalah badan terasa lemah,

kesemutan, gatal dan mata kabur. Jika keluhan khas pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥

200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar

glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk

kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah yang baru satu

kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan

pemastian lebih lenjut dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa

darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari lain.1

Klasifikasi etiologis diabetes melitus dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu DM tipe 1,

DM tipe 2, DM tipe lain (defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,

penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab

imunologi yang jarang, dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM), serta

diabetes melitus gestasional.2 DM tipe 1 dan 2 secara epidemiologis menggambarkan dua

bentuk onset penyakit penyakit yang berbeda, namun secara klinik keduanya

memperlihatkan gejala yang susah untuk dibedakan. DM tipe 2 tidak selalu menunjukkan

gejala klinis selama beberapa tahun sebelum didiagnosis dan angka insidennya meningkat

seiring dengan bertambahnya umur, dipengaruhi oleh peningkatan berat badan serta gaya

hidup yang kurang olah raga juga akan meningkatkan kejadian DM tipe 2.12 Prevalensi DM

tipe 2 pada orang berusia 65 tahun >9%. Perkembangan penyakit DM tipe 2 sangat

dipengaruhi oleh factor genetic dan lingkungan termsuk obesitas dan kurangnya aktivitas

fisik. Karakteristik yang khas pada DM tipe 2 adalah restensi insulin dan menurunnya

sekresi insulin. Obesitas sangat mempengaruhi sensitivitas insulin. Resistensi insulin juga

erat kaitannya dengan terjadinya komplikasi hipertensi, dislipidemia dan resiko

aterosklerosis.KAHN Penderita DM tipe 2 biasanya terjadi pada usia tua (> 45 tahun), onset

lambat, penderita biasanya gemuk dan terapi tidak harus dengan insulin. Sedangkan

karakteristik DM tipe 1 biasanya terjadi pada usia yang lebih muda, onset akut, badan

kurus dan pengobatan harus dengan insulin.1

Penderita ini didiagnosis menderita DM karena berdasarkan hasil anamnesis

didapatkan adanya keluhan khas DM yaitu banyak makan, banyak minum, sering kencing

5

Page 6: Tinjauan Kasus DKD

terutama pada malam hari, dan penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan

(mencapai 10 kg sejak 13 tahun terakhir). Saat itu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa

darah puasa didapatkan hasil 273 mg/dl (>126 mg/dl). Berdasarkan hasil anamnesis yaitu

adanya keluhan khas DM dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa yang lebih dari

126 mg/dl, maka penderita ini didiagnosis menderita DM.

Pada penderita ini dapat dicurigai masuk ke dalam DM tipe 2 dengan alasan onset

lambat (tidak akut), kurang olah raga, pengobatan dengan obat anti hipoglikemik oral

memberikan respon yang baik (tercapainya sasaran yaitu penurunan gula darah puasa

mencapai 120 mg/dl dari 235 mg/dl setelah 4 minggu menjalani pengobatan sejak

didiagnosis menderita DM). Namun penderita tidak teratur minum obat dan juga tidak

kontrol ke dokter, setelah 2 tahun didiagnosis keluhan semakin parah sehingga penderita

akhirnya memakai insulin. Pemakaian insulin sudah berlangsung selama 11 tahun ini.

Diabetik kidney disease didiagnosis jika didapatkan kadar albumin ≥ 30 mg di

dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan, tanpa penyebab

albuminuria yang lain. Keadaan lain yang dapat menyebabkan albuminuria yaitu aktivitas

fisik yang berat, infeksi saluran kemih, gagal jantung, hipertensi berat, dan demam tinggi.1

Dari hasil anamnesis didapatkan: tidak ada aktivitas berat yang dilakukan oleh penderita,

tidak ada tanda-tanda infeksi saluran kemih yang dikeluhkan penderita, tidak ada keluhan

maupun tanda gagal jantung kanan maupun kiri, tidak ada demam, dan hipertensi yang

terjadi adalah hipertensi stadium I. Selain itu penderita juga mengeluh mual muntah, pucat,

rasa pegal-pegal pada kaki, kesemutan terutama di telapak kaki, serta kencing yang sering

berbuih. Dari pemeriksaan fisik didapatkan mata anemis, kulit pucat, terlihat bengkak pada

kedua kaki, pada pemeriksaan lab: BUN 130 mg/dl, Serum Creatinin 11,44 mg/dl sehingga

didapatkan CCT (formula Kokcroft&Gault) 6,9 ml/menit, serta riwayat hemodialisa rutin

sejak satu tahun yang lalu (Juni 2004) dengan frekuensi 2 kali setiap minggu. Namun

penderita tidak mempunyai hasil laboratorium kadar albumin pada saat didiagnosis gagal

ginjal oleh dokter 3 tahun yang lalu. Maka dari itu, pasien didiagnosis menderita

komplikasi diabetik kidney disease.

Penderita ini kemungkinan mengalami retinopati diabetik karena dari anamnesa ada

riwayat mata kabur perlahan-lahan dan saat ini mata kanan tidak dapat melihat sama sekali,

riwayat berobat ke dokter mata dan dikatakan ada perdarahan di retina. Rasa sakit pada

mata tidak ada, kemerahan tidak ada. Pada pemeriksaan fisik mata didapatkan visus mata

kanan NLP (No Light Perception) mata kiri >6/30, palpebra normal, kornea jernih,

6

Page 7: Tinjauan Kasus DKD

iris/pupil bulat dan reguler, reflek pupil positif isokor, lensa jernih, tensi okuli normal (per

palpasi). Pemeriksaan segmen posterior bola mata tidak dilakukan.

Untuk menegakkan diagnosis retinopati diabetika diperlukan pemeriksaan funduskopi. DM

biasanya mendorong terjadinya kebutaan yang secara progresif merupakan dampak dari

terjadinya komplikasi retinopati diabetik yang secara garis besarnya dapat dibedakan

menjadi dua yaitu: retinopati diabetik nonproliferatif (tandanya mikroaneurisma pembuluh

darah retina, dan gumpalan perdarahan pada retina), dan retinopati diabetik proliferatif

(ditandai oleh pembentukan pembuluh darah baru pada makula yang mudah pecah,

perdarahan vitreus, fibrosis dan ablasio retina).7

Penderita ini didiagnosis hipertensi grade I karena pada saat diperiksa pasien ini

memiliki tekanan darah 150/90 mmHg dan juga memiliki riwayat hipertensi yang sudah

didiagnosa sejak 8 tahun yang lalu (tahun 1997). Berdasarkan klasifikasi terbaru dari JNC

VII, maka pasien ini didiagnosis menderita hipertensi grade I.6

Komplikasi lain yang sering terjadi adalah neuropati diabetik, dan yang paling

sering dijumpai di klinik adalah neuropati sensorik dan neuropati autonom.10,11 Untuk

menegakkan diagnosis dari neuropati diabetik, idealnya dilakukan semua pemeriksaan

yang meliputi gejala, tanda-tanda, pemeriksaan elektrodiagnosis, dan pemeriksaan

kuantitatif sensoris. Akan tetapi cara ini umumnya hanya dipakai untuk program penelitian

di pusat-pusat penelitian, dan sukar untuk diterapkan untuk pemeriksaan rutin di poliklinis.

Untuk memecahkan masaslah ihi, European Assosiation for The Study of Diabetes

(Neurodiab), menganjurkan untuk memekai kriteria klinis saja untuk menegakkan

neuropati diabetik di klinik.15 Secara klinis, untuk menegakkan diagnosis dari neuropati

diabetik cukup didapatkannya 2 dar 4 kriteria ( Veves A, Boulton AJM, 1992) yaitu: 1.

adanya gejala-gejala dari neuropati diabetik meliputi rasa nyeri seperti terbakar, nyeri yang

bersifat lancinating, parestesia, gejala pada kaki seperti numbness, atau kaki yang tidak

sensitif. Gejala tersebut sering mengalami eksaserbasi di malam hari dan ditanyakan pada

waktu anamnesis. 2. Tanda kelainan sensoris meliputi berkurang atau tidak adanya sensasi

nyeri, rasa raba dan getar. 3. Tanda kelainan motorik meliputi refleks achilles yang negatif,

didapatkan atropi otot tangan atau kaki. 4. Pemeriksaan elektrofisiologi yang abnormal,

pemeriksaan ini seyogyanya mencakup pemeriksaan kecepatan hantar saraf sensoris dan

motoris dan aksi potensial. Pemeriksaan elektrodiagnosis selain dapat menentukan adanya

suatu neuropati perifer, juga dapat membantu menentukan lokasi yang tepat dari serabut

saraf yang terkena. Elektrodiagnosis biasanya dikerjakan dengan pemeriksaan

7

Page 8: Tinjauan Kasus DKD

elektromiografi (EMG), dan potensial cetusan somato sensorik. Pemeriksaan

elektrofisiologi ini diasumsikan sebagai abnormal bila didapatkan pada penderita < 2SD

dibandingkan terhadap orang sehat dengan umur yang sama sebagai kontrol.11

Pasien ini didiagnosis menderita komplikasi neuropati diabetik karena: 1.

terdapatnya gejala neuropati diabetik yang meliputi keluhan kesemutan. 2. Untuk

memeriksa kelainan sensoris, dilakukan tes sensibilitas yaitu dengan cara: pemeriksaan

untuk rasa nyeri dipakai jarum pentul yang ditusukkan pada kulit tangan dan kulit kaki,

untuk pemeriksaan sensasi terhadap suhu dingin dipakai air es yang dibungkus plastik, dan

untuk sensasi terhadap suhu panas dipakai air hangat yang ditempatkan dalam gelas, lalu

disentuhkan pada kulit penderita. Untuk rasa raba, diperiksa dengan memakai kapas yang

disentuhkan pada kulit penderita. Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan sensibilitas ini

yaitu pada ekstremitas inferior dekstra didapatkan kemampuan sensibilitas menurun pada

semua kualitas baik rasa nyeri, suhu, maupun rasa raba. Sedangkan pada ekstremitas

superior dekstra dan sinistra, serta ekstremitas inferior sinistra tidak didapatkan kelainan

sensibilitas pada semua kualitas. 3. Untuk memeriksa kelainan motorik dilakukan

pemeriksaan refleks achilles pada kaki kanan dan kiri dan hasilnya pada kaki kanan dan

kiri refleks achilles positif (normal). Serta pada inspeksi didapatkan atropi pada otot kaki

kanan. Berdasarkan kriteria diatas, maka pasien ini dapat didiagnosa menderita komplikasi

neuropati diabetik karena sudah terpenuhi 3 dari 4 kriteria.

Patofisiologi.

Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan dengan

pasti. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah

terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Tampaknya berbagai

faktor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa yang menahun

(glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-

faktor yang utama yang menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas terhadap basal membran

dapat melalui 2 jalur, yaitu:

a. Alur metabolik (metabolic pathway): glukosa dapat bereaksi secara proses non

enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan AGE’s (advance glycosilation

end-products). Peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan pada glomerulus

ginjal.

8

Page 9: Tinjauan Kasus DKD

b. Alur poliol (polyol pathway): terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat

meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase. Peningkatan

sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan

gangguan osmolaritas membran basal.

Faktor lain yang sangat berpengaruh dalam menimbulkan komplikasi nefropati adalah

terjadinya gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM. diduga kelainan

ini terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh

darah. Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas faktor von

Willebrand dan trombomodulin sebagai penanda terjadinya gangguan endotel kapiler. Hal

ini juga yang dapat menjelaskan mengapa pada penderita dengan mikroalbuminuria

persisten, terutama pada DM tipe 2, lebih banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular

dari pada akibat GGT. Peran hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney disease masih

kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana pada penderita ini hipertensi

dapat dijumpai pada awal malahan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis

mengatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati

tetapi mempercepat progesivitas ke arah GGT pada penderita yang sudah mengalami

diabetik kidney disease.4

9

Peningkatan growt factor

Kerusakan endotel↑ sintesis matriks ekstrasel

RESISTENSI INSULIN

↑ aktivitas antiport Na+/H+

PERTUMBUHAN SEL ABNORMAL

Hiperlipidemia ↑ retensi Na+

↑ Kalsium bebas intrasel

ATEROSKLEROSIS

↑ tonus vaskuler

Hipertropi/hiperplsia

DIABETES Hiperglisemia Genetik+

Hipertropi dinding arteriLVH

Ekspansi mesengial

HIPERTENSI

PENYAKIT GINJAL DAN KARDIOVASKULER

Hipertensi glomerulerProteinuri GLOMERULOSKLEROSIS

Page 10: Tinjauan Kasus DKD

Penatalaksanaan. Di dalam pengelolaan diabetik kidney disease, yang dilaporkan

memberikan hasil positif adalah dengan: 4

1. Pengendalian kadar glukosa darah secara intensif

Diabetes Control and Complication Trial (DCCT, 1993) melaporkan bahwa

pengendalian glukosa darah secara intensif baik secara non-farmakologis

(pengaturan makanan, olahraga, cara hidup sehat) maupun dengan pengobatan

farmakologis (insulin atau obat antidiabetik oral) yang dilakukan secara intensif

dapat mencegah terjadinya mikroalbuminuria persisten pada 39% kasus. Selain itu

DCCT juga melaporkan bahwa pengendalian kadar glukosa darah secara intensif

dapat menurunkan komplikasi mikroaneurisma sebesar 27%, retinopati sebesar

76%, dan nefropati sebesar 54%. 4

Non farmakalogis terdiri dari 4 pengelolaan diabetes yaitu: 1

Edukasi. Hal ini dilakukan untuk mencapai perubahan prilaku, melalui

pemahaman tentang penyakit DM, makna dan perlunya pemantauan dari

pengendalian DM, penyulit DM, intervensi farmakologis dan non-

farmakologis, hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi, dll.

Perencanaan Makan. Perencanaan makan harus disesuaikan dengan

kebiasaan tiap individu. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan

komposisi: karbohidrat 60-70 %, protein 10-15 %, lemak 20-25 %.

Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA),

dan membatasi PUFA dan asam lemak jenuh. Pada pasien ini, karena

terdapat komplikasi hipertensi, maka diit rendah garam. Untuk menghitung

status gizi, maka pada pasien ini dipakai rumus Brocca, yaitu:2

BBI = (TB – 100) – 10%

BBI = (175-100) – 10%

BBI = 77,3 kg

Penentuan Kebutuhan Kalori

Kalori basal = 77,3 x 30 kal/kg = 2319 kal

Koreksi / Penyesuaian

1. Umur > 40 th = - 5% × 2319 kal = - 115,95 kal

2. Aktivitas ringan = + 10% × 2319 = + 231,9 kal

3. Berat badan kurang = + 20% × 2319 = + 463,8 kal

4. Stres metabolik: tidak ada

10

Page 11: Tinjauan Kasus DKD

Total Kebutuhan Kalori yaitu = 2898,75 kal

Latihan Jasmani. Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang

lebih 30 menit. Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan

memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, tapi tetap harus disesuaikan

dengan umur dan status kesegaran jasmani pasien. Contoh latihan jasmani

yang dimaksud adalah jalan, sepeda santai, joging, berenang. Prinsipnya

CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance).2

Intervensi Farmakologis. Pengelolaan pasien DM tipe 2 dengan berat

badan tidak gemuk yaitu dimulai dengan penyuluhan DM menyeluruh,

perencanaan makan dan kegiatan jasmani, lalu evaluasi 2-4 minggu, jika

keadaan klinis tidak sesuai harapan, maka lakukan kembali perencanaan

makan dan latihan jasmani, ditambah pemberian insulin secretagogues,

dievaluasi 2-4 minggu. Pada pasien ini, kondisi tidak membaik dengan

hanya perencanaan makan dan diit, maka diberikan obat hipoglikemik oral

yaitu gliklazid 80 mg (1×I).1,2 Sedangkan obat hipoglikemik golongan

sulfonilurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel

beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat

badan normal atau kurang. Gliklazid merupakan obat hipoglikemik untuk

penderita DM dengan penyulit vaskular atau angiopati. Gliklazid

mempunyai efek vasoprotektif melalui beberapa mekanisme berikut ini:

Gliklazid pada DM tipe 2 memberikan efek yang nyata dalam hal

normalisasi faal trombosit, berarti mempunyai efek anti adesi dan anti

agregasi, menekan produksi tromboksan A dan B, dan meningkatkan

produksi prostasiklin, mempunyai efek ekstra metabolik yang non insulin

mediated, yaitu menormalkan proses fibrinolisis vaskuler, pada DM tipe 2

dengan mikroangiopati, gliklazid mempunyai efek yang kuat sebagai anti

radikal bebas yang mana pada obat lain seperti glibenklamid efek anti

radikal bebas ini tidak ditemukan. Gliklazid pada binatang percobaan juga

dapat menurunkan kadar insulin pada keadaan hiperinsulinemia,

memperbaiki dislipidemia, dan dapat mencegah atau menunda lesi

preateromatus.1,2

2. Pengendalian tekanan darah

11

Page 12: Tinjauan Kasus DKD

Penurunan tekanan darah sampai batas normal dilaporkan dapat mencegah

progresivitas nefropati terutama pada DM tipe 1. Terdapat korelasi yang jelas antara

tingginya tekanan darah dengan meningkatnya ekskresi albumin.3 Pasien dengan

hipertensi penting untuk mengetahui manajemen diit yang boleh dikonsumsinya

yaitu: diit rendah garam (sampai dengan 5 mg NaCl perhari), pengurangan intake

kalori terutama pada pasien yang gemuk. Dimana terdapat bukti yang menunjukkan

terjadinya penurunan tekanan darah seiring penurunan berat badan. Dan hal lain dari

diit adalah termasuk didalamnya pengurangan intake makanan tinggi kolesterol, serta

pengurangan makanan yang tinggi asam lemak jenuh.9 Obat anti hipertensi yang

dilaporkan mempunyai efek penurunan mikroalbuminuria selain menurunkan tekanan

darah adalah penghambat ACE dan golongan antagonis kalsium. Golongan penyekat

beta juga mempunyai efek yang sama tetapi dapat menimbulkan gangguan

metabolisme. Pada penderita diabetic kidney disease sebaiknya tidak diberikan

diuretik sebagai monoterapi karena akan menimbulkan gangguan toleransi glukosa.3

Sedangkan terapi farmakologi yang dipakai pada pasien ini adalah obat golongan

angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE) yaitu captopril 25 mg (2×I). Obat

golongan ini sangat berguna karena tidak hanya menginhibisi produksi angiotensin II,

tapi juga memperlambat degradasi dari bradikinin (vasodilator), meningkatkan

produksi prostaglandin, dan dapat memodifikasi aktivitas dari sistem saraf

adrenergik, yang amat berperanan pada pasien diabetes dengan komplikasi

hipertensi.9 Obat golongan inhibitor ACE, juga dapat memperlambat progresi

nefropati diabetik baik pada pasien DM tipe 1&2, sehingga sangat baik diberikan

pada pasien DM yang juga mengalami mikroalbuminuria.8

3. Diet rendah protein

Ekskresi protein yang berlebihan diduga menimbulkan percepatan kerusakan

membran basal. Oleh karena itu diet rendah protein dipercayai dapat memperbaiki

kerusakan glomeruli. Meskipun demikian, hasil diet rendah protein masih

kontroversial. Diet rendah protein sebaiknya dimulai pada tahap nefropati diagnosa

klinis. Asupan protein dibatasi hanya 0,6-0,8 kgBB/hari. Pada pasien diberikan

asupan protein sebesar 34,8 gram/hari.3

Bila pasien memasuki tahap gagal ginjal biasanya akan terus berlanjut menjadi gagal ginjal

terminal. Bila terapi konservatif tidak dapat lagi mencegah meningkatnya uremia, harus

dilakukan terapi ginjal pengganti yang dapat berupa: 3

12

Page 13: Tinjauan Kasus DKD

a. Cuci darah (dialisis)

Hemodialisis

Peritoneal dialisis (CAPD)

b. Transplantasi ginjal

Pada pasien ini telah dilakukan hemodialisis rutin tiap dua kali seminggu sejak setahun

yang lalu.

Pemilihan jenis terapi pengganti sangat individual. Selain indikasi medis hal ini sangat

tergantung dari fasilitas dan biaya.3

Ringkasan

Telah dilaporkan kasus dengan diabetik kidney disease pada penderita diabetes

mellitus yang diderita setelah diketahui menderita diabetes mellitus selama 13 tahun.

Diabetik kidney disease merupakan penyakit yang didasari kerusakan

mikrovaskuler yang berlangsung kronis dan dapat bersifat progresif jika tidak ditangani

secara baik. Keluhan awal yang biasanya dirasakan oleh penderita adalah mual muntah

sampai terjadi sindrom uremik.

Penatalaksanaannya meliputi pengendalian kadar glukosa darah secara intensif,

pengendalian tekanan darah, diet rendah protein dan terapi ginjal pengganti pada gagal

ginjal terminal.

Daftar Pustaka

1. Perkeni. Konsensus pengelolaan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB

Perkeni; 2002.

2. Perkeni. Petunjuk praktis pengelolaan diabetes melitus tipe 2. Jakarta: PB

Perkeni.2002.

3. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes melitus: pengenalan dan penanganannya.

In: Buku ajar ilmu penyakit dalam . 3rd ed. Jakarta: Gaya Baru; 1996; I: 597-614.

4. Roesli R, Endang S,Djaafar J. Nefropati Diabetik. In: Buku ajar ilmu penyakit

dalam . 3rd ed. Jakarta: Gaya Baru; 1996; II: 356-365

5. Waspadji S. Gambaran Klinis Dibetes Melitus. In: Buku ajar ilmu penyakit dalam .

3rd ed. Jakarta: Gaya Baru; 1996; I: 586-589.

6. Rudd and Osterberg. Hypertension: context, pathofisiologi and management. In:

Text of cardiovascular medicine. 2nded. Philadelphia: Lippincott Williams and

Wilkins; 2002.

13

Page 14: Tinjauan Kasus DKD

7. Loekman JS.Beberapa hal baru dalam penatalaksanaan hipertensi. In: Naskah

lengkap pendidikan kedokteran berkelanjutan. 11th ed. Denpasar: Bagian Ilmu

Penyakit Dalam FK UNUD/ RS Sanglah. 2003.p. 1-7.

8. Powers AC. Diabetes melitus. In: Harrison’s of internal medicine. 15 th ed. India:

Mc Graw-Hill. 2003; 2: 2109-2137.

9. Williams G H. Hipertensive vascular disease. In: Harrison’s of internal medicine.

15th ed. India: Mc Graw-Hill. 2003; 1: 1414-1377.

10. Feldman EL, et all. Diabetic neuropathy. In: Principles and practice of

endocrinology and metabolism. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams and

Wilkins; 2001: 1391-1402.

11. Sutjahjo A. Neuropati diabetik: dasar-dasar diagnosis, patogenesis, dan

penatalaksanaan ditinjau dari sudut pandang diabetelogis. In: Naskah lengkap

simposium pengelolaan dan penanganan penyakit endokrin dan metabolik. Medan:

Perkumpulan Endokrinologi Cabang medan. 1995: 95-110.

12. Gale EAM & Anderson JV. Diabetes mellitus and other dissorder of metabolism.

In: Kumar & Clark clinical medicine. London: WB Saunders. 2002.

13. DeFronzo RA. Diabetic Nephropathy. In: Diabetes Mellitus. 5th ed. Connecticut:

Appleton Lange. 1996: 971-1008.

14