118
I.DEFINISI Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsun seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerahgenito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea cruris mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin, dhobie itch (Rasad, Asri, Prof.Dr. 2005) II.ETIOLOGI Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90%) dan Epidermophython fluccosum Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichopyhton tonsurans (6%) (Boel, Trelia.Drg. M.Kes.2003) III EPIDEMIOLOGI Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan tinea cruris.Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab (Wiederkehr, Michael. 2008) III.PATOFISIOLOGI

tinea cruris lapkas

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: tinea cruris lapkas

I.DEFINISI

Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus. Kelainan ini

dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsun seumur

hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerahgenito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah

sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea cruris

mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin, dhobie itch

(Rasad, Asri, Prof.Dr. 2005)

II.ETIOLOGI

Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90%) dan Epidermophython

fluccosum Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichopyhton tonsurans (6%) (Boel, Trelia.Drg.

M.Kes.2003)

III EPIDEMIOLOGI

Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis. Angka

kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak ada

kematian yang berhubungan dengan tinea cruris.Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang

memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab (Wiederkehr,

Michael. 2008)

III.PATOFISIOLOGI

Cara penularan jamur dapat secara angsung maupun tidak langsung. Penularan langsung

dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau

tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian

debu. Agen penyebabjuga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk atau

sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan tinea manum. Jamur ini

menghasilkan keratinase yang mencerna keratin, sehingga dapat memudahkan invasi ke stratum

korneum. Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya didalam jaringan

keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis

Page 2: tinea cruris lapkas

dan menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum korneum

menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi

kulit semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah:

a.Faktor virulensi dari dermatofita

Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik, zoofilik, geofilik.

Selain afinitas ini massing-masing jamur berbeda pula satu dengan yang lain dalam hal

afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh misalnya: Trichopyhton rubrum

jarang menyerang rambut, Epidermophython fluccosum paling sering menyerang liapt paha

bagian dalam.

b.Faktor trauma

Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.

c.Faktor suhu dan kelembapan

Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau

lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-sela jari paling sering terserang

penyakit jamur.

d.Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan

Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat insiden penyakit

jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah sering ditemukan daripada

golongan ekonomi yang baik

e.Faktor umur dan jenis kelamin (Boel, Trelia.Drg. M.Kes.2003)

IV.MANIFESTASI KLINIS

1. Anamnesis

Page 3: tinea cruris lapkas

Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat meluas ke

sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen

bagian bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat pasien

sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang

beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif

berolahraga, menderita diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara,

tentara, atlit olahraga dan individu yang beresiko terkena dermatophytosis.

2. Pemeriksaan Fisik

Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder. Makula

eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustula. Jika kronis

atau menahun maka efloresensi yang tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama

diatasnya dan disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran likenifikasi.

Manifestasi tinea cruris :

1.Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal lipat paha, dan proksimal

dari abdomen bawah dan pubis

2.Daerah bersisik

3.Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif

4.Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai

likenifikasi

5.Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula eritematus yang tersebar dan

sedikit skuama

6.Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena

7.Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi mungkin muncul karena

garukan

Page 4: tinea cruris lapkas

8.Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga tampak kulit

eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin terdapat pustula folikuler

9.Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea pedis (Wiederkehr,

Michael. 2008).

Gambar Tinea Cruris

Gambar Tinea cruris with red annular scaly plaques

V.PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas pemeriksaan

langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur

diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70%.

a.Pemeriksaan dengan sediaan basah

Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan

memakai scalpel atau pinggir gelas → taruh di obyek glass → tetesi KOH 10-15 % 1-2

tetes → tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan → lihat di mikroskop dengan

pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat,

dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau

sudah diobati, dan miselium

b. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium saboraud

dengan ditambahkan chloramphenicol dan cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk

menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi jamur

biasanya antara 3-6 minggu (Wiederkehr, Michael. 2008)

c.Punch biopsi

Page 5: tinea cruris lapkas

Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun sensitifitasnya dan

spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc Acid–Schiff, jamur akan tampak merah

muda atau menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau

hitam (Wiederkehr, Michael. 2008).

Pengecatan dengan Periodic Acid Shiff

Pengecatan dengan (hematoxylin and eosin stain).

d. Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya eritrasma dimana

akan tampak floresensi merah bata(Wiederkehr, Michael. 2008).

VI.DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan melihat

gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi serta pemeriksaan penunjang seperti yang telah

disebutkan dengan menggunakan mikroskop pada sediaan yang ditetesi KOH 10-20%, sediaan

biakan pada medium Saboraud, punch biopsi, atau penggunaan lampu wood.

VII.DIAGNOSIS BANDING

Candidosis intertriginosa

Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida biasanya

oleh Candida albicans yang bersifat akut atau subakut dan dapat mengenai mulut, vagina,

kulit, kuku, bronki.Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur,

baik laki-laki maupun perempuan.

Patogenesisnya dapat terjadi apabila ada predisposisi baik endogen maupun eksogen.

Faktor endogen misalkan kehamilan karena perubahan pH dalam vagina, kegemukan

karena banyak keringat, debilitas, iatrogenik, endokrinopati, penyakit kronis orang tua dan

bayi, imunologik (penyakit genetik). Faktor eksogen berupa iklim panas dan kelembapan,

kebersihan kulit kurang, kebiasaan berendam kaki dalam air yang lama menimbulkan

maserasi dan memudahkan masuknya jamur, kontak dengan penderita.

Page 6: tinea cruris lapkas

Dapat mengenai daerah lipatan kulit, terutama ketiak, bagian bawah payudara,

bagian pusat, lipat bokong, selangkangan, dan sela antar jari; dapat juga mengenai daerah

belakang telinga, lipatan kulit perut, dan glans penis (balanopostitis). Pada sela jari tangan

biasanya antara jari ketiga dan keempat, pada sela jari kaki antara jari keempat dan kelima,

keluhan gatal yang hebat, kadang-kadang disertai rasa panas seperti terbakar.

Lesi pada penyakit yang akut mula-mula kecil berupa bercak yang berbatas tegas,

bersisik, basah, dan kemerahan. Kemudian meluas, berupa lenting-lenting yang dapat berisi

nanah berdinding tipis, ukuran 2-4 mm, bercak kemerahan, batas tegas, Pada bagian tepi

kadang-kadang tampak papul dan skuama. Lesi tersebut dikelilingi oleh lenting-lenting

atau papul di sekitarnya berisi nanah yang bila pecah meninggalkan daerah yang luka,

dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi utama. Kulit sela jari tampak merah

atau terkelupas, dan terjadi lecet. Pada bentuk yang kronik, kulit sela jari menebal dan

berwarna putih.

Gambar Candidosis intertriginosa

Erytrasma

Erytrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan oleh

Corynebacterium minitussismum, ditandai lesi berupa eritema dan skuama halus terutama di

daerah ketiak dan lipat paha. Gejala klinis lesi berukuran sebesar milier sampai plakat. Lesi

eritroskuamosa, berskuama halus kadang terlihat merah kecoklatan. Variasi ini rupanya

bergantung pada area lesi dan warna kulit penderita. Tempat predileksi kadang di daerah

intertriginosa lain terutama pada penderita gemuk. Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang

eritematosa dan serpiginose. Lesi tidak menimbul dan tidak terlihat vesikulasi. Efloresensi yang

sama berupa eritema dan skuama pada seluruh lesi merupakan tanda khas dari eritrasma. Skuama

kering yang halus menutupi lesi dan pada perabaan terasa berlemak. Pada pemeriksaan dengan

lampu wood lesi terlihat berfluoresensi merah membara (coral red) (Rasad, Asri, Prof.Dr. 2005)

Gambar erytrasma

Gambar erytrasma dengan lampu wood tampak floresensi merah

Page 7: tinea cruris lapkas

Psoriasis

Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif,

ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar,

berlapis-lapis dan transparan, disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner. Tempat

predileksi pada skalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas ekstensor

terutama siku serta lutut dan daerah lumbosakral. Kelainan kulit terdiri atas bercak eritema

yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi

pada stadium penyembuhan sering bagian di tengah menghilang dan hanya terdapat di

pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan.

Besar kelainan bervariasi dapat lentikular, numular atau plakat, dapat berkonfluensi.

Gambar Psoriasis

Dermatitis Seboroik

Dermatitis Seboroik merupakan penyakit inflamasi konis yang mengenai daerah

kepala dan badan. Prevalensi Dermatitis Seboroik sebanyak 1-5% populasi.Lebih sering

terjadi pada laki-laki daripada wanita. Penyakit ni dapat mengenai bayi sampa orang

dewasa. Umumnya pda bayi terjadi pada usia 3 bulan sedang pada dewasa pada usia 30-

60 tahun. Kelainan kulit berupa eritema dan skuama yang berminyak dan agak

kekuningan dengan batas kurang tegas. Bentuk yang berat ditandai dengan adanya

bercak-bercak berskuama dan berminyak disertai eksudat dan krusta tebal.

VIII.PENATALAKSANAAN

Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti jamur topikal saja

dari golongan imidazole dan allynamin yang tersedia dalam beberapa formulasi. Semuanya

memberikan keberhasilan terapi yang tinggi 70-100% dan jarang ditemukan efek samping. Obat

ini digunakan pagi dan sore hari kira-kira 2-4 minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm diluar batas

lesi, dan diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh. Terapi sistemik

dapat diberikan jika terdapat kegagalan dengan terapi topikal, intoleransi dengan terapi topikal.

Sebelum memilih obat sistemik hendaknya cek terlebih dahulu interaksi obat-obatan tersebut.

Page 8: tinea cruris lapkas

Diperlukan juga monitoring terhadap fungsi hepar apabila terapi sistemik diberikan lebih dari 4

mingggu.

Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam emapat golongan yaitu:

golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti siklopiros,tolnaftan,

haloprogin. Golongan azole ini akan menghambat enzim lanosterol 14 alpha demetylase (sebuah

enzim yang berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol), dimana truktur tersebut

merupakankomponen penting dalam dinding sel jamur. Goongan Alynamin menghambat keja

dari squalen epokside yang merupakan enzim yang mengubah squalene ke ergosterol yang

berakibat akumulasi toksik squalene didalam sel dan menyebabkan kematian sel. Dengan

penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan kerusakan membran sel sehingga ergosterol

tidak terbentuk. Golongan benzilamin mekanisme kerjanya diperkirakan sama dengan golongan

alynamin sedangkan golongan lainnya sama dengan golongan azole. Pengobatan tinea cruris

tersedia dalam bentuk pemberian topikal dan sistemik:

Obat secara topikal yang digunakan dalam tinea cruris adalah:

1.Golongan Azol

a.Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec)

Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris karena

bersifat broad spektrum antijamur yang mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi

dengan mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati. Pengobatan

dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika tanpa ada perbaikan klinis.

Penggunaan pada anak-anak sama seperti dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk kream

1%, solution, lotion. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Tidakada kontraindikasi

obat ini, namun tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukan hipersensitivitas,

peradangan infeksi yang luas dan hinari kontak mata.

b.Mikonazole (icatin, Monistat-derm)

Page 9: tinea cruris lapkas

Mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur yang rusak akanmenghambat

biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas membran sel jamur meningkat

menyebabkan sel jamur mati. Tersedia dalam bentuk cream 2%, solution, lotio, bedak.

Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada anak sama dengan dewasa.

Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan

mata.

c.Econazole (Spectazole)

Mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang berhubungan dengan kulit yaitu

menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein sehingga mengganggu permeabilitas

dinding sel jamur dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ecnazole dapat

dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak 2kali atau 4 kali dalam

sediaan cream 1%.. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas,

hindari kontak dengan mata.

d.Ketokonazole (Nizoral)

Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang bersifat broad spektrum

akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat

menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama

2-4 minggu. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari

kontak dengan mata.

e.Oxiconazole (Oxistat)

Mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis

ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati.

Pengobatan dengan oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia dalam

bentk cream 1% atau bedak kocok. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan

sama dengan orang dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan

hipersensitivitas dan hanya digunakan untuk pemakaian luar.

Page 10: tinea cruris lapkas

f.Sulkonazole (Exeldetm)

Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu

menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel,

sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk cream 1% dan

solutio. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang dewasa

(dioleskan pada daerah yang terkena selama 2-4 minggu sebanyak 4 kali sehari).

2.Golongan alinamin

a.Naftifine (Naftin)

Bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan derivat sintetik dari alinamin yang

mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari ergosterol sehingga menyebabkan

pertumbuhan sel amur terhambat. Pengobatan dengan naftitine dievaluasi setelah 4

minggu jika tidak ada perbaikan klinis. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan lotion. .

Penggunaan pada anak sama dengan dewasa ( dioleskan 4 kali sehari selama 2-4minggu).

b. Terbinafin (Lamisil)

Merupakan derifat sintetik dari alinamin yang bekerja menghambat skualen epoxide yang

merupakan enzim kunci dari biositesis sterol jamur yang menghasilkan kekurangan

ergosterol yang menyebabkan kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian

melaporkan keefektifan penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat ditoleransi

penggunaanya pada anak-anak. Digunakan selama 1-4 minggu

3.Golongan Benzilamin

a. Butenafine (mentax)

Anti jamur yang poten yang berhuungan dengan alinamin. Kerusakan membran sel jamur

menyebabkan sel jamur terhambat pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%,

diberikan selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa dioleskan

sebanyak 4kali sehari.

Page 11: tinea cruris lapkas

4.Golongan lainnya

a. Siklopiroks (Loprox)

Memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya berhubunan dengan sintesi DNA

b.Haloprogin (halotex)

Tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1% cream. Digunakan selama 2-4minggu dan

dioleskan sebanyak 3kali sehari.

c.Tolnaftate

Tersedia dalam cream 1%,bedak,solution. Dioleskan 2kali sehari selama 2-4

minggu(Wiederkehr, Michael. 2008).

Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas atau gagal

dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan dalam pengobatan tinea

cruris:

a. Ketokonazole

Sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur oral yangberspektrum luas.

Kerja obat ini fungistatik. Pemberian 200mg/hari selama 2-4 minggu.

b. Itrakonazole

Sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur oral yang berspektrum luas

yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sitokrom P-450 dependent

sintetis dari ergosterol yang merupakan komponen penting pada selaput sel jamur.Pada

penelitian disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin dengan hasil terbaik

2-3 minggu setelah perawatan. Dosis dewasa 200mg po selam 1 minggu dan dosis dapat

dinaikkan 100mg jika tidak ada perbaikan tetpi tidak boleh melebihi 400mg/hari.Untuk anak-

anak 5mg/hari PO selama 1 minggu. Obat ini dikontraindikasikan pada penderita yang

Page 12: tinea cruris lapkas

hipersensitivitas, dan jangan diberikan bersama dengan cisapride karena berhubunngan dengan

aritmia jantung.

c.Griseofulfin

Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur dengan mengikat

mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat keefektifannya dibanding itrakonazole.

Pemberian dosis pada dewasa 500mg microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO selama 2-

4minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg microsize /kg/hari

c.Terbinafine

Pemberian secara oral pada dewasa 250g/hari selama 2 minggu). Pada anak pemberian secara

oral disesuaikan dengan berat badan:

12-20kg :62,5mg/hari selama 2 minggu

20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu

>40kg:250mg/ hari selama 2 minggu

Edukasi kepada pasien di rumah :

1.Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering

2.Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi.

3.Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan mengganti

pakaian yang lembab

4.Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti katun, tidak

ketat dan ganti setiap hari.

5.Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan penderita harus

segera dicuci dan direndam air panas.

Page 13: tinea cruris lapkas

IX.KOMPLIKASI

Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain. Pada infeksi

jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.

X.PROGNOSIS

Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan kelembapan dan

kebersihan kulit selalu dijaga.

2 comments.

PEMERIKSAAN DAN TERAPI MORBUS HANSENPosted on May 18, 2009 by diyoyen. Categories: Kulit Kelamin.

LAPORAN KASUS

SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

I.IDENTITAS PENDERITA

Nama: Tn. M

Umur: 26 tahun

Alamat: A, Jember

Jenis Kelamin: Laki-laki

Pekerjaan: Wiraswasta

Status: Menikah

Suku: Jawa

Page 14: tinea cruris lapkas

Agama: Islam

II.ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Bercak kemerahan pada pipi dan tidak terasa raba

1. Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 2 tahun yang lalu, penderita mengeluh munculnya bercak kemerahan pada

punggung, timbul mendadak dan terasa gatal. Karena dianggap sebagai panu, penderita

membiarkannya. Tidak lama kemudian muncul bercak yang sama di bagian dada dan

tangan. Gatal namun tidak terasa nyeri. Selain itu muncul benjolan pada cuping telinga

kiri. Lama-kelamaan bercak menajdi semakin banyak dan penderita mengeluh tidak dapat

merasakan apa-apa ketika bercak tersebut disentuh. Penderita kemudian berobat ke

RSUD Balung dan dibilang sakit kulit. Penderita diberi obat kapsul 3 macam dan pil 2

macam. Penderita lupa nama obatnya. Setelah minum obat tersebut, penderita merasa

sakitnya berkurang. Karena merasa sudah sembuh, penderita menghentikan minum obat

dan tidak kontrol. Sekitar 1 bulan yang lalu muncul bercak kemerahan di leher dan

bercak putih di kaki disertai dengan bengkak pada punggung kaki kanan. Kemudian

Pasien berobat ke Puskesmas Lojejer dan diberi obat satu grenjeng warna putih dan

coklat diminum 1x perhari. Semakin lama bercak menjadi semakin banyak dan pasien

mengeluh kulitnya terasa tebal. Karena merasa takut, penderita akhirnya berobat ke

RSUD dr. SOEBANDI Jember.

1. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.

1. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga yang tinggal bersama pasien saat ini tidak ada yang menderita penyakit seperti

ini.

Page 15: tinea cruris lapkas

1. Riwayat Pengobatan

Pernah berobat ke RSUD Balung dan Puskesmas namun pasien tidak tahu nama obatnya.

1. Riwayat Alergi

Pasien tidak punya riwayat alergi obat maupun makanan, dan pasien tidak pernah

melakukan pemeriksaan alergi sebelumnya.

III.PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis

Kesadaran: komposmentis

Keadaan Umum: baik

Kepala/Leher: dalam batas normal

Thorak

Cor: S1S2 tunggal, lain-lain dalam batas normal

Pulmo: Vesikuler, Rh-/-, Wh -/-, lain-lain dalam batas normal

Abdomen: Soepel, bising usus (+), lain-lain dalam batas normal

Ekstremitas: dalam batas normal

Genitalia: dalam batas normal

1. Status Lokalis

Regio Effloresensi

Fasialis Makula hiperpigmentasi dengan

hipoanestesi, batas tegas, plakat,

Page 16: tinea cruris lapkas

permukaan halus

Auricularis Cuping telinga menebal, iktiosis, simetris

bilateral

Torakalis Makula hiperpigmentasi, numular, batas

tegas, menyebar, hipoanestesi

Amtebrachii dextra/sinistra et dosrum

manus

Makula hiperpigmentasi dengan

hipoanestesi, numular sampai plakat, batas

tegas, iktiosis, skuama kasar

Cruris Oedema, eritematus, hangat pada perabaan,

iktiosis

Dorsum et plantar pedis Oedema eritematus, iktiosis, ulserasi

Pemeriksaan Tambahan

Pemeriksaan saraf tepi

N. Auricularis magnus: menebal D/S (+), nyeri D/S (-)

N. Ulnaris: menebal D/S (-), nyeri D/S (-)

N. Peroneus lateralis: menebal D/S (-), nyeri D/S (-)

Fungsi saraf tepi

a.Sensorik

Sensasi raba: terganggu di dalam lesi dan tidak di luar lesi

Sensasi nyeri: terganggu pada lesi

Sensasi suhu: terganggu di dalam lesi

b.Motorik

Mata: lagoftalmus (+)

Page 17: tinea cruris lapkas

Ekstremitas superior: tahanan sedang

Ekstremitas inferior: tahanan sedang

c.Otonom

Kulit tampak kering dan retak-retak (fisura), ekstremitas inferior tampak oedema

Pemeriksaan komplikasi

R. Fasialis: Fascies leonina (-), madarosis (-), saddle nose (-), lagoftalmus (+)

Pemeriksaan bakteriologis

BI = +2,MI= -

IV.RESUME

Sejak 2 tahun yang lalu pasien mengeluh bercak kemerahan, berawal dari punggung yang

kemudian menjalar ke seluruh tubuh. Pasien merasa pada bercak tersebut terasa menebal dan

tidak terasa apa-apa ketika disentuh. Kaki bengkak berwarna merah kehitaman, terasa nyeri pada

punggung kaki dan pada telapak kaki terasa tebal. Pada pemeriksaan di regio pedis didapatkan

oedema eritematus pada dorsum pedis dan ulserasi pada plantar pedis. Pada seluruh tubuh

didapatkan makula hiperpigmentasi, batas tegas, sentral healing (-), tepi sedikit meninggi,

iktiosis dan terdapat penebalan cuping telinga bilateral. Pada pemeriksaan tambahan didapatkan

tes sensibilitas (-) penebalan N. Aurikularis magnus. Bakteriologi indeks +2 dan morfologi

indeks (-).

V.DIAGNOSIS BANDING

1. Ptiriasis alba

2. Ptiriasis rosea

VI.DIAGNOSIS KERJA

Page 18: tinea cruris lapkas

Morbus Hansen tipe Multibasiler

VII.PENATALAKSANAAN

1. Nonmedikamentosa

a.Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi pengobatan akan

berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus rajin mengambil obat di

puskesmas dan tidak boleh putus obat.

b.Jika dalam masa pengobatan, tiba-tiba badan pasien menjadi demam, nyeri di seluruh

tubuh, disertai bercak-bercak kemerahan, maka harus segera mencari pertolongan ke

saranan pelayanan kesehatan.

c.Penyakit ini mengganggu syaraf sehingga mungkin akan terjadi kecacatan jika tidak ada

tindakan pencegahan. Pencegahan

oCuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan sabun, terutama yang banyak

mengandung pelembab, bukan detergen.

oRendam jari kaki/tangan sekitar 20 menit dengan air dingin. Apabila kulit sudah

lembut, gosok kaki dengan busa agar kulit kering terkelupas.

oUntuk menambah kelembaban dapat diolesin minyak (baby oil).

oSecara teratur periksa kaki, apakah ada luka, kemerahan atau nyeri dan segera

mencari pertolongan medis.

oProteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai sepatu, hindari berjalan jauh atau

menghindari bersentuhan dengan benda-benda tajam

1. Medikamentosa

Terapi MDT-MB (Rifampisin, Lampren, dan DDS) selama 12-18 bulan.

Page 19: tinea cruris lapkas

VIII.PROGNOSIS

Pada umumnya baik, hanya jika pasien mampu mengikuti program secara teratur..

REFLEKSI KASUS

PEMERIKSAAN DAN TERAPI MORBUS HANSEN

I.SINONIM

Morbus Hansen juga dikenal dengan nama lepra, penyakit kusta, leprosy, Hansen’s

disease, dan Hanseniasis.

II.DEFINISI

Penyakit kusta (Penyakit Hansen) adalah infeksi granulomatuosa kronik pada manusia

yang menyerang jaringan superfisial, terutama kulit dan saraf perifer (Fauci, 2008). Istilah kusta

berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum.

Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu

Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen

(Zulkifli, 2:2003).

Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang

sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai

masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada

umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat

keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian pelayanan kesehatan yang baik dan memadai

kepada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk

sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian,

kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Hiswani, 1:2001).

III.ETIOLOGI

Page 20: tinea cruris lapkas

Mikobakteriae merupakan kelompok bakteri berbentuk basil, bersifat aerob yang tidak

membentuk spora. Meskipun mereka tidak terwarnai dengan baik, segera setelah diwarnai

mereka mempertahankan dekolorisasi oleh asam atau alkohol, oleh karena itu dinamakan basil

“cepat asam” (Brooks, 453:2005). Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra.

Kuman ini berbentuk batang tahan asam yang termasuk familia Mycobacteriaeceae atas dasar

morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiripan genetik dengan mikobakterium lainnya

(Isselbacher, 808:1999).

Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh, bentuk

pecah – pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ), bentuk globus dan bentuk clumps.

Bentuk utuh , diman dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata, dan panjangnya

biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah – pecah, dimana dinding selnya terputus sebagian

atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular, dimana kelihatan

seperti titik – titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk globus, dimana

beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung ikatan atau berkelompok –

kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 – 60 BTA sedangkan kelompok

besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 – 300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa

bentuk granular membentuk pulau – pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA (Wahyuni,

4-5:2009).

IV.EPIDEMIOLOGI

4.1 Distribusi Menurut Geografi

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar kasus lepra terjadi pada wilayah

dengan iklim tropis.

Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah

pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah

pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663 dan

dari data didapatkan India merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak

dengan jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia F. S merupakan negara dengan jumlah rata-

rata prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu dengan 9,64 per 10.000 jumlah

Page 21: tinea cruris lapkas

penduduk. Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175

(WHO). Pada Poli Kulit dan Kelamin RSUD dr. SOEBANDI, Jember dari tahun 1999 sampai

tahun 2001 didapatkan jumlah pasien sebanyak 140 penderita, dengan 74 pasien dengan tipe

multibasiler dan 66 kasus dengan tipe pausibasiler (Erlan. J.S. et all, 21:2003).

4.2 Distribusi Menurut Waktu

Seperti terlihat pada tabel di bawah, ada 17 negara yang melaporkan 1.000 atau lebih

kasus baru selama tahun 2005. Tujuh belas negara ini memiliki kontribusi 94% dari seluruh

kasus baru di dunia (Depkes, 7:2006).

Dari tabel terlihat bahwa secara global terjadi penurunan penemuan kasus baru, akan

tetapi sejak tahun 2002 pada berbagai negara terjadi peningkatan kasus baru seperti di Republik

Demokrasi Kongo, Indonesia, dan Filipina (Depkes RI, 7:2006)

Tabel Penemuan kasus baru di 17 negara dengan jumlah pasien kusta terbanyak

No. NegaraJumlah kasus baru ditemukan

1993 2002 2003 2004 2005

1 Angola 339 4.727 2.933 2.109 1.877

2 Bangladesh 6.943 9.844 8.712 8.242 7.882

3 Brazil 34.235 38.365 49.206 49.384 38.410

4 China 3.755 1.646 1.404 1.499 1.658

5 D. R. Congo 3.927 5.037 7.165 11.781 10.737

6 Egypt 1.042 1.318 1.412 1.216 1.134

7 Ethiopati 4.090 4.632 5.193 4.787 4.698

8 India 456.000 473.658 367.143 260.063 161.457

9 Indonesia 12.638.74

012.377 14.641 16.549 19.695

10 Madagascar 740 5.482 5.104 3.710 2.709

11 Mozambique 1.930 5.830 5.907 4.266 5.371

12 Myanmar 12.018 7.386 3.808 3.748 3.571

13 Nepal 6.152 13.830 8.046 6.958 6.150

Page 22: tinea cruris lapkas

14 Nigeria 4.381 5.078 4.799 5.276 5.024

15 Philippines 3.442 2.479 2.397 2.254 3.130

16 Sri Lanka 944 2.214 1.952 1.995 1.924

17 U.R.Of Tanzania 2.731 6.497 5.279 5.190 4.237

Jumlah

555.307

(94%)

599.945

(97%)

495.074

(96%)

389.027

(95%)

279.664

(94%)

Jumlah Global 590.933 620.638 514.718 407.791 296.499

.

4.3 Distribusi Menurut Faktor Manusia

a. Etnik atau Suku

Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena

faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi

lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik.

Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma

dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama:

kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau

India. Demikian pula dengan kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak

menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu (Depkes RI, 8:2006).

b. Faktor Sosial Ekonomi

Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta. Hal

ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka

kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan hilang. Kasus kusta imor pada negara tersebut

ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonomi tinggi. Kegagalan kasus kusta

impor untuk menularkan pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial

ekonomi yang tinggi (Depkes RI, 8:2006).

Page 23: tinea cruris lapkas

c. Distribusi Menurut Umur

Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan

prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, kaena pada saat timbulnya penyakit sangat

sulit diketahui. Dengn kata lain kejadian penyakit sering terkait pada umur pada saat timbulnya

penyakit. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data

umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta

diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih

dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif (Depkes RI,

8:2006).

d. Distribusi Menurut Jenis Kelamin

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian besar negara di

dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang

dibandingkan wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena

faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya, laki-laki

lebih banyak terpapar dengan faktor resiko akibat gaya hidupnya (Depkes RI, 8:2006).

4.4 Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Penyakit Kusta

a. Sumber Penularan

Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan

walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang

tidak mempunyai kelenjar thymus (Depkes RI, 9:2006).

b. Cara Keluar dari Pejamu (Host)

Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung

dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10.

Dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous merupakan

sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan (Depkes RI, 9:2006).

Page 24: tinea cruris lapkas

c. Cara Penularan

Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga

bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh

penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara

penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang

lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak

menjadi sumber penularan bagi orang lain (Depkes RI, 10:2006).

d. Cara Masuk ke Pejamu

Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat

dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan

melalui kontak kulit yang tidak utuh (Depkes RI, 10:2006).

e. Pejamu

Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini

disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem

kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas,

menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis

penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe

penyakit yang berkembang setelah infeksi (Depkes RI, 10:2009).

Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat

ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang

dapat menjadi sakit (Depkes RI, 10:2006).

V.PATOGENESIS

Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell)

dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah tergantung

pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC

pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada

Page 25: tinea cruris lapkas

permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28.

Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1

dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1 (Wahyuni,

6:2009).

Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis

makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan C3

melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel

B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I

akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal

hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka

sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag

akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan

membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid

ini akan membentuk granuloma (Wahyuni, 6-7:2009).

Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL

4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan

IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast (Wahyuni, 7:2009).

Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak

teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid

Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan

pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni, 7:2009).

APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang dan

melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling

efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk

tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk

bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya

peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator

CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan

Page 26: tinea cruris lapkas

yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu –

satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 –

TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein.

TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy (Wahyuni,

8:2009).

5.1 Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta

M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang

akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC

kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan

Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat

glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan

merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak

lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan

saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi.

Sel schwann merupakan APC non professional (Wahyuni, 8:2009).

5.2 Patogenesis reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang

dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe

reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering

disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type

Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan

berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang

cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi

pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada

respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous

( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi (Wahyuni, 8:2009).

Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III.

Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada

Page 27: tinea cruris lapkas

pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan

mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan

merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel

(Wahyuni, 8:2009).

VI.Gambaran Klinis

Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat

berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit

kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa

kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis.

Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat

berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang

regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan

dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer

yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan

tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering

disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran

hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak

seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer

yang menebal.

3. Tipe Mid Borderline (BB)

Page 28: tinea cruris lapkas

Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan jarang

dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat

mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi

hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.

4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)

Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar ke

seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang

hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah

sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out.

Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.

5. Tipe Lepromatous Leprosy

Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus,

berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.

Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga;

sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan

ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga

menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar

limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas

menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf

perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan

otot tangan dan kaki.

Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling

SifatLepromatous

Leprosy (LL)

Borderline

Lepromatous (BL)

Mid Borderline

(BB)

Lesi

Bentuk Makula, Infiltrat

Difus, Papul, Nodul

Makula, Plakat,

Papul

Plakat, Dome

Shaped (Kubah),

Page 29: tinea cruris lapkas

Punched Out

Jumlah

Tidak terhitung,

praktis tidak ada

kulit sehat

Sukar dihitung,

masih ada kulit

sehat

Dapat dihitung, kulit

sehat jelas ada

Distribusi Simetris Hampir Simetris Asimetris

Permukaan Halus Berkilat Halus Berkilat Agak Kasar/berkilat

Batas Tidak Jelas Agak Jelas Agak Jelas

Anastesia Biasanya Tak Jelas Tak Jelas Lebih Jelas

BTA

Lesi Kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak Banyak

Sekret Hidung Banyak (ada globus) Biasanya Negatif Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya Negatif

Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling,

tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe Intermediate (I). Lesi biasanya berupa

makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya di

bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula

hipostesia atau sedikit penebalan saraf.

Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua yaitu

primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk

sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit,

mukosa traktus respiratorius atas, tulang – tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi

sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama

karena kerusakan saraf.

Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior

kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan otot

interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia pada ujung jari

bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari,

telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis

lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan

Page 30: tinea cruris lapkas

gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari – jari atau pergelangan tangan. Pada N.

Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung

(foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak kaki,

claw toes , dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah

cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal, mandibular serta

servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada

N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia

pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan

oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau

seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian –

bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan.

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar

palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatous

dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi

granuloma pada tubulus seminiferus testis.

Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan adanya

nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk

plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relape

resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan

sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena kuman yang dorman aktif

kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik dosis maupun lama

pemberiannya.

Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak begitu

tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small satellite skin makulopapular skin

lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan

berat.

Page 31: tinea cruris lapkas

Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi organ

tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.

Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan

nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang

nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi ditemukan

nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak basil

M.leprae di endotel kapiler.

Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann dan

meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua minggu tetapi

bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia.

VII.Pemeriksaan Pasien

Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus

diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan alat

– alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing –

masing dengan air panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada

tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara

menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang – kadang dapat membantu, tetapi bagi

penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.

7.1 Pemeriksaan Saraf Tepi

Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak.

Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis, N.

Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi

dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran

reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak

(Daili, 21:2003). Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh

sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.

Page 32: tinea cruris lapkas

Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal dan saraf

mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak (Daili, 21:2003).

Cara pemeriksaan saraf tepi

d.N. Aurukularis magnus

Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat akan

terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bisa terlihat bila saraf membesar. Dua

jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada

penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau

kawat. Jangan lupa membandingkan antara yang kiri dan yang kanan (Daili, 21:2003).

e.N. Ulnaris

Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di atas satu

tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah siku (sulkus nervi

ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan antara yang kanan

dan yang kiri untuk melihat adanya perbeedaan atau tidak (Daili, 22:2003).

f.N. Paroneus lateralis

Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari capitulum

fibulae, biasanya sedikit ke posterior (Daili, 22:2003).

7.2 Tes Fungsi Saraf

a. Tes Sensoris

Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.

-. Rasa Raba

Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan

rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada

Page 33: tinea cruris lapkas

waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa

disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan

jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia

diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain. Selain diperiksa

pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus

diperiksa pada bagian tengahnya (Daili, 22:2003).

-. Rasa Nyeri

Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam

dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan mana yang

tajam dan mana yang tumpul (Daili, 22:2003).

-. Rasa Suhu

Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas (sebaiknya

400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutup atau menoleh ke

tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai.

Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah tersebut pasien salah

menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut terganggu

(Daili, 22:2003).

b. Tes Otonom

Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan

lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.

1. Tes dengan pensil tinta

Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus sampai ke

daerah kulit normal.

1. Tes pilokarpin

Page 34: tinea cruris lapkas

Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik dengan pilokarpin subkutan. Setelah

beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap

kering.

c. Tes Motoris (Voluntary muscle test)

Cara memeriksa:

Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:

-. Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari telunjuk,

jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari kelingkingnya. Jika

pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari kelingking dan jari

manis, mintalah pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien mampu menahan coba tarik

kertas tersebut perlahan untuk mengetahui ketahanan ototnya.

-. Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien mengangkat

ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya lurus.

Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu jari pada bagian telapaknya.

-. Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna pergelangan tangan

ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan gerakan tersebut.

-. Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien melakukan gerakan fleksi pada

pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai kekuatan

ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.

7.3 Pemeriksaan Bakterioskopis

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa

hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama – tama harus

ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu

menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin

sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain yang

Page 35: tinea cruris lapkas

paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa

mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping

telinga didapati banyak M.leprae.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan

dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA

dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan

non solid.

IM= Jumlah solidx 100 %

Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak

perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai

10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.

7.4 Pemeriksaan Histopatologis

Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan

kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe

Page 36: tinea cruris lapkas

lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah

langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow

dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.

Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak dan

sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

7.5 Pemeriksaan Serologis

Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis serologis merupakan

alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada

tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA

(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.

7.6 Pemeriksaan Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak

untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae.

O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian

dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi

Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi

terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada

tuberkolosis.

Reaksi Mitsuda bernilai :

0Papul berdiameter 3 mm atau kurang

+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm

+ 2Papul berdiameter 7 – 10 mm

+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi

VIII.Diagnosis

Page 37: tinea cruris lapkas

Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala yang

hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan

tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:

1.Bercak kulit yang mati rasa

Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang lain, maka akan

didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar (makula) atau meninggi (plak).

Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa

nyeri.

2.Penebalan saraf tepi

Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf

yang terkena, yaitu:

a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi

b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis

c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang

terganggu.

3.Ditemukan kuman tahan asam

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit pada bagian yang

aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda

kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka

kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta

dapat ditegakkan atau disingkirkan.

IX.Diagnosis Banding

Page 38: tinea cruris lapkas

Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis versikolor,Ptiriasis

alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak,

Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis

dll. Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.

Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel

melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula putih yang

dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis

neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.

Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa dan

hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest maka

diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol.

Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak melanosit.

Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon transmitter

saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan

diubah menjadi dopaquinon. Produk – produk dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin.

Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan

fenol pada detergen.

Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling sering

terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata, mulut dan

hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau simetris.

Mukosa jarang terkena, kadang – kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan

ginggiva.

Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi tiga

yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo segmental

adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang

hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial

adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan stadium

awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu

Page 39: tinea cruris lapkas

pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan

vitiligo total.

Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdpat flora

normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau

Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua

yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun

penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat.

Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh

Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek

sitotoksik terhadap melanin.

Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna –

warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan

menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang,

dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).

Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) . Gejala

klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di pinggir,

daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak – bercak

terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.

Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai warna dan

konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku –

siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat

gatal, umumnya membaik 1 – 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi

virus.

Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengaadanya

bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis – lapis dan transparan

disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru

terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak – bercak eritema yang

meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di

Page 40: tinea cruris lapkas

bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikulerdan dapat

konfluen.

Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebaseayang umumnya pada

remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri dari

berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat aktif

tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.

Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang

terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala

ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan

saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan jari – jari tangan,

maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi ereksi dll.

Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis, glossitis, mual,

muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan propiosepsi dan vibrasi

dengan rasa sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada.

Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi kobalamin

( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami sensorimotor poly

neuropathy dan demensia.

X.Pengobatan

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden

penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk

mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan

pengobatan penderita.

Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau

menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-

aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri.

Page 41: tinea cruris lapkas

Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit

kepala, dan vertigo.

Lamprene atauClofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta.

Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Efek

sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan kembali

normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.

Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara

menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit

beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.

Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk

penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan

bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.

Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh

WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:

1. Pausi Basiler (PB)

2. Multi Basiler (MB)

Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment.Kegunaan MDT untuk

mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita

dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat

mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal

diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung

RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di

berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan

PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-

5).

Page 42: tinea cruris lapkas

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa

(50-70 kg)

600 mg 400 mg 100 mg

Anak

(5-14 th)

300 mg 200 mg 50 mg

PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan.

Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum

obat.

Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hr diminum di

rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

Diminum di depan

petugas kesehatan

50 mg/hari diminum di

rumah

MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan.

Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu

berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama

2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.

Rifampici

n

Dapson Lamprene

Page 43: tinea cruris lapkas

Dewasa 600 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

100 mg/hari diminum

di rumah

300 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dgn 50

mg/hari diminum di

rumah

Anak-anak

(10-14 th)

450 mg/bulan

diminum di depan

petugas

50 mg/hari diminum

di rumah

150 mg/bulan

diminum di depan

petugas kesehatan

dilanjutkan dg 50 mg

selang sehari

diminum di rumah

Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka

dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw

toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip

pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif,

pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obat

penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari, dan MDT (obat

kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan sedative,

MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti reaksi dan

pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan

dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari,

Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling

dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide

juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan

sampai mencapai 50 mg/hari.

Page 44: tinea cruris lapkas

Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan prednison

atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga

diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon

maksimal.

XI.Pengobatan Kusta Untuk Situasi Khusus

Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO expert committe

pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus, yaitu:

a.Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin

Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit penyerta atau

resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah:

Lama Pengobatan Jenis Obat Dosis

6 Bulan Klofazimin

Ofloksasin

Minosiklin

50 mg/hari

400 mg/hari

100 mg.hari

Diikuti dengan 18 bulan Klofazimin dengan

Ofloksasin atau

Minosiklin

50 mg/hari

400 mg/hari

100 mg/hari

Pada tahun 1994 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy menyatakan

klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau minosiklin pada regimen di atas.

b.Penderita yang menolak kofazimin

Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk itu klofazimin

pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin

100 mg/hari selama 12 bulan.

Page 45: tinea cruris lapkas

Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy merekomendasikan juga regimen

MDT-MB alternatis selama 24 bulan:

-. Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan,

-. Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan

-. Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan

c.Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS

Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB maupun MB, obat

ini harus dihentikan.

Regimen pengganti DDS berikut diberikan selama 6 bulan dengan cara:

Rifampisin Klofazimin

Dewasa 600 mg/bln 50 mg/hari dan 300 mg/bulan

Anak-anak 450 mg/bln 50 mg/hari dan 150 mg/bulan

XII.Komplikasi

Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik

sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering

terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus

difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus

dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan penyulit pada

penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.

XIII.Prognosis

Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen

dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga

ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan

Page 46: tinea cruris lapkas

rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi

komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, et all. 2005. Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology). Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Daili, et all. 2003. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Departemen Kesehatan RI. 2006. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Nasional.

Erlan, J.E, et all, 2003. Penderita Lepra Rawat Jalan di RSUD dr. SOEBANDI Jember. Dalam Jurnal Biomedis. Jember: Penerbit FK UNEJ.

Fauci, A. 2008. 17th edition, Harrison’s Prinsiples of Internal Medicine. USA: Mc. Graw-Hill Companies, Inc.

Hiswani, 2001. Kusta Salah Satu Penyakit Menular yang Masih Dijumpai di Indonesia. Medan: USU Digital Library.

Isselbacher, et all. 1999. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 13. Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lerner, K, et all. 2003. World of Mikrobiology and Immunology. USA: Gale and Design TM and Thomson Learning TM.

Wahyuni, S. 2009. Dermatomuskular Sistem Dengan Kusta. Medan: USU Digital Library.

WHO. 2002. Definitions and Technical Guidelines for Leprosy Case Holding In The Frame of The Leprosy Elimination Strategy. Regional Office for Africa Division of prevention and control of communicable diseases Regional Leprosy Elimination Programme.

Zulkifli. 2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. Medan: USU Digital Library.

2 comments.

IMPETIGO: TERAPI DAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK TOPIKAL BERDASARKAN EVIDENCE BASED MEDICINE

Page 47: tinea cruris lapkas

Posted on by diyoyen. Categories: Kulit Kelamin.

LAPORAN KASUS

SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

I.IDENTITAS PENDERITA

Nama: An R. M. R

Jenis Kelamin: Laki-laki

Umur: 16 bulan

Suku: Jawa

Agama: Islam

Pekerjaan: -

Alamat:S, Jember

II.HETEROANAMNESIS

Heteroanamnesis dilakukan pada Mbah pasien yang mengantarkan pasien berobat ke

RSUD dr. SOEBANDI Jember

1. Keluhan Utama

Luka garukan di regio lumbal posterior dekstra

1. Riwayat Penyakit Sekarang

Menurut Mbah pasien mulai 10 hari yang lalu pasien mengeluhkan gatal pada regio

lumbal posterior dekstra, tanpa adanya keluhan gatal di daerah lain.

Page 48: tinea cruris lapkas

Awalnya muncul vesikel, karena gatal, lalu digaruk oleh pasien kemudian vesikel pecah

dan menimbulkan kerak. Vesikel-vesikel semakin lama semakin bertambah banyak dan

menyebar. Pasien sudah dibawa berobat ke dokter, diberi salep dan tablet namun keluhan

tidak berkurang. Akhirnya pasien berobat ke RSUD dr. SOEBANDI Jember.

1. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.

1. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga yang tinggal bersama pasien saat ini tidak ada yang menderita penyakit seperti

ini.

1. Riwayat Pengobatan

Pernah berobat ke dokter umum, lalu diberi salep dan tablet, namun keluhan tidak

berkurang.

1. Riwayat Alergi

Pasien tidak punya riwayat alergi obat maupun makanan, dan pasien tidak pernah

melakukan pemeriksaan alergi sebelumnya.

III.PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis

Kesadaran: komposmentis

Keadaan Umum: baik

Kepala/Leher: dalam batas normal

Thorak

Page 49: tinea cruris lapkas

Cor: S1S2 tunggal, lain-lain dalam batas normal

Pulmo: Vesikuler, Rh-/-, Wh -/-, lain-lain dalam batas normal

Abdomen: Soepel, bising usus (+), lain-lain dalam batas normal

Ekstremitas: dalam batas normal

Genitalia: dalam batas normal

1. Status Lokalis

Lokasi : regio lumbal dekstra bagian posterior

Efloresensi : Pada pemeriksaan didapatkan lesi kulit berupa papula berisi cairan keruh,

tidak dikelilingi daerah eritematus, selain itu juga ditemukan bekas bula yang pecah

berupa kulit yang eritematus dengan krusta tipis kecoklatan pada bagian tepi.

IV.RESUME

Seorang anak laki-laki 16 bulan, dating dengan keluhan utama adanya luka garukan di

regio lumbal dekstra bagian posterior.

Awalnya muncul vesikel, karena gatal, lalu digaruk oleh pasien kemudian vesikel pecah

dan menimbulkan kerak. Vesikel-vesikel semakin lama semakin bertambah banyak dan

menyebar. Pasien sudah dibawa berobat ke dokter, diberi salep dan tablet namun keluhan

tidak berkurang. Akhirnya pasien berobat ke RSUD dr. SOEBANDI Jember.

Pada pemeriksaan fisik status lokalis di region lumbal dekstra bagian posterior,

didapatkan lesi kulit berupa papula berisi cairan keruh, tidak dikelilingi daerah

eritematus, selain itu juga ditemukan bekas bula yang pecah berupa kulit yang eritematus

dengan krusta tipis kecoklatan pada bagian tepi.

V.DIAGNOSIS BANDING

Page 50: tinea cruris lapkas

1. Dermatitis kontak

2. Varicella

3. Karbunkel

4. Furunkel

VI.DIAGNOSIS KERJA

Impetigo Bulosa

VII.USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Bila diperlukan dapat melakukan pemeriksaan isi vesikel dengan pengecatan gram, lalu

bias dilakukan uji katalase.

VIII.PENATALAKSANAAN

1. Nonmedikamentosa

Menjaga kebersihan, yaitu dengan :

-. Mandi teratur dengan sabun mandi

-. Pakaian, handuk, sprei, sering diganti dan dicuci air panas

-. Pakaian, handuk, sebaiknya hanya digunakan oleh satu orang (tidak untuk digunakan

beramai-ramai)

-. Kontrol setelah 5-7 hari

1. Medikamentosa

Sistemik : Eritromisin sirup 250 mg, 3 DD I ct

Topikal : Asam Fusidat

IX.PROGNOSIS

Page 51: tinea cruris lapkas

Pada umumnya baik, pada pasien ini 5-7 hari kemudian tidak kontrol mungkin saja sudah

tejadi perbaikan sehingga menurut keluarga pasien tidak perlu kontrol.

REFLEKSI KASUS

IMPETIGO: TERAPI DAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK TOPIKAL

BERDASARKAN EVIDENCE BASED MEDICINE

I.DEFINISI

Impetigo adalah salah satu contoh pioderma, yang menyerang lapisan epidermis kulit

(Djuanda, 56:2005). Impetigo biasanya juga mengikuti trauma superficial dengan robekan kulit

dan paling sering merupakan penyakit penyerta (secondary infection) dari Pediculosis, Skabies,

Infeksi jamur, dan pada insect bites (Beheshti, 2:2007).

II.SINONIM

Impetigo krustosa juga dikenal sebagai impetigo kontangiosa, impetigo vulgaris, atau

impetigo Tillbury Fox. Impetigo bulosa juga dikenal sebagai impetigo vesikulo-bulosa atau cacar

monyet (Djuanda, 56-57:2005).

III.ETIOLOGI

Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Group A Beta Hemolitik

Streptococcus (Streptococcus pyogenes). Staphylococcus merupakan pathogen primer pada

impetigo bulosa dan ecthyma (Beheshti, 2:2007).

Staphylococcus merupakan bakteri sel gram positif dengan ukuran 1 µm, berbentuk bulat,

biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur, kokus tunggal, berpasangan, tetrad,

dan berbentuk rantai juga bisa didapatkan. Staphylococcus dapat menyebabkan penyakit berkat

kemampuannya mengadakan pembelahan dan menyebar luas ke dalam jaringan dan melalui

produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut adalah enzim dan yang lain

berupa toksin meskipun fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus dapat menghasilkan

Page 52: tinea cruris lapkas

katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin eksfoliatif, toksik sindrom syok

toksik, dan enterotoksin. (Brooks, 317:2005).

Streptococcus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat, yang mempunyai

karakteristik dapat berbentuk pasangan atau rantai selama pertumbuhannya. Lebih dari 20

produk ekstraseluler yang antigenic termasuk dalam grup A, (Streptococcus pyogenes)

diantaranya adalah Streptokinase, streptodornase, hyaluronidase, eksotoksin pirogenik,

disphosphopyridine nucleotidase, dan hemolisin (Brooks, 332:2005).

IV.EPIDEMIOLOGI

Impetigo terjadi di seluruh Negara di dunia dan angka kejadiannya selalu meningkat dari

tahun ke tahun. Di Amerika Serikat Impetigo merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai

pada klinik anak dan terbanyak pada daerah yang jauh lebih hangat, yaitu pada daerah tenggara

Amerika (Provider synergies, 2:2007). Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4

tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan

impetigo krustosa (Cole, 1:2007).

Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah menggaruk

lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada sekolah atau tempat penitipan anak atau juga

pada tempat dengan hygiene buruk atau tempat tinggal yang padat penduduk (Cole, 1:2007).

V.FAKTOR PREDISPOSISI

o Kontak langsung dengan pasien impetigo

o Kontak tidak langsung melalui handuk, selimut, atau pakaian pasien impetigo

o Cuaca panas maupun kondisi lingkungan yang lembab

o Kegiatan/olahraga dengan kontak langsung antar kulit seperti gulat

o Pasien dengan dermatitis, terutama dermatitis atopik

(Sumber Beheshta, 2:2007).

VI.MANIFESTASI KLINIK

Page 53: tinea cruris lapkas

1)Impetigo Krustosa

Tempat predileksi tersering pada impetigo krustosa adalah di wajah, terutama sekitar

lubang hidung dan mulut, karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Tempat lain yang

mungkin terkena, yaitu anggota gerak (kecuali telapak tangan dan kaki), dan badan, tetapi

umumnya terbatas, walaupun penyebaran luas dapat terjadi (Boediardja, 2005; Djuanda, 2005).

Biasanya mengenai anak yang belum sekolah. Gatal dan rasa tidak nyaman dapat terjadi,

tetapi tidak disertai gejala konstitusi. Pembesaran kelenjar limfe regional lebih sering disebabkan

oleh Streptococcus.

Kelainan kulit didahului oleh makula eritematus kecil, sekitar 1-2 mm. Kemudian segera

terbentuk vesikel atau pustule yang mudah pecah dan meninggalkan erosi. Cairan serosa dan

purulen akan membentuk krusta tebal berwarna kekuningan yang memberi gambaran

karakteristik seperti madu (honey colour). Lesi akan melebar sampai 1-2 cm, disertai lesi satelit

disekitarnya. Lesi tersebut akan bergabung membentuk daerah krustasi yang lebar. Eksudat

dengan mudah menyebar secara autoinokulasi (Boediardja, 2005).

2). Impetigo Bulosa

Tempat predileksi tersering pada impetigo bulosa adalah di ketiak, dada, punggung.

Sering bersama-sama dengan miliaria. Terdapat pada anak dan dewasa. Kelainan kulit berupa

vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter 0,5cm) kurang dari 1 cm pada kulit yang utuh,

dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang

berubah menjadi berwarna keruh. Atap dari bulla pecah dan meninggalkan gambaran “collarette”

pada pinggirnya. Krusta “varnishlike” terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan

memperlihatkan dasar yang merah dan basah. Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat

rapuh (Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008).

Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat menyertai

dermatitis atopi, varisela, gigitan binatang dan lain-lain. Lesi dapat lokal atau tersebar, seringkali

di wajah atau tempat lain, seperti tempat yang lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher.

Page 54: tinea cruris lapkas

Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi. (Yayasan Orang Tua Peduli,

1:2008).

Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gejala demam, lemah, diare. Jarang sekali

disetai dengan radang paru, infeksi sendi atau tulang. (Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008).

VII.PEMERIKSAAN PENUNJANG

Bila diperlukan dapat memeriksa isi vesikel dengan pengecatan gram untuk

menyingkirkan diagnosis banding dengan gangguan infeksi gram negative. Bisa dilanjutkan

dengan tes katalase dan koagulase untuk membedakan antara Staphylococcus dan Streptococcus

(Brooks, 332:2005).

VIII.DIAGNOSIS BANDING

1. Dermatitis atopi: keluhan gatal yang berulang atau berlangsung lama (kronik) dan kulit

kering; penebalan pada lipatan kulit terutama pada dewasa (likenifikasi); pada anak

seringkali melibatkan daerah wajah atau tangan bagian dalam.

2. Candidiasis (infeksi jamur candida): papul merah, basah; umumnya di daerah selaput

lender atau daerah lipatan.

3. Dermatitis kontak: gatal pada daerah sensitive yang kontak dengan zat-zat yang

mengiritasi.

4. Diskoid lupus eritematus: lesi datar(plak), batas tegas yang mengenai sampai folikel

rambut.

5. Ektima: lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus (luka dengan dasar dan dinding) dapat

menetap selama beberapa minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila infeksi sampai

jaringan kulit dalam (dermis).

6. Herpes simpleks: vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang pecah menjadi

lecet tertutupi oleh krusta, biasanya pada bibir dan kulit.

7. Gigitan serangga: Terdapat papul pada daerah gigitan, dapat nyeri.

8. Skabies: Papula yang kecil dan menyebar, terdapat terowongan pada sela-sela jari, gatal

pada malam hari.

Page 55: tinea cruris lapkas

9. Varisela: Vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ke tangan, kaki,

dan wajah; vesikel pecah dan membentuk krusta; lesi terdapat pada beberapa tahap

(vesikel, krusta) pada saat yang sama (Cole, 3:2007).

IX.KOMPLIKASI

Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam 2 minggu walaupun tidak diobati.

Komplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi Streptococcus terjadi pada 1-5% pasien terutama

usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotic. Gejala berupa bengkak

dan kenaikan tekanan darah, pada sepertiga terdapat urine seperti warna the. Keadaan ini

umumnya sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul (Yayasan Orang Tua

Peduli, 4:2008).

Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah infeksi tulang (osteomielitis), radang paru-

paru (pneumonia), selulitis, psoriasis, Staphylococcal scalded skin syndrome, radang pembuluh

limfe atau kelenjar getah bening (Yayasan Orang Tua Peduli, 4:2008).

X.PENATALAKSANAAN

1.Terapi nonmedikamentosa

oMenghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit, disertai

mengelupaskan krusta dengan handuk basah

oMencegah anak untuk menggaruk daerah lecet. Dapat dengan menutup daerah yang lecet

dengan perban tahan air dan memotong kuku anak

oLanjutkan pengobatan sampai semua luka lecet sembuh

oLakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptic dengan jarum suntik untuk

mencegah penyebaran local

oDapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% pada impetigo krustosa.

oLakukan pencegahan seperti yang disebutkan pada point XI di bawah.

Page 56: tinea cruris lapkas

2.Terapi medikamentosa

a.Terapi topikal

Pengobatan topikal sebelum memberikan salep antibiotik sebaiknya krusta sedikit dilepaskan

baru kemudian diberi salep antibiotik. Pada pengobatan topikal impetigo bulosa bisa dilakukan

dengan pemberian antiseptik atau salap antibiotik (Djuanda, 57:2005).

1). Antiseptik

Antiseptik yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengobatan impetigo terutama yang

telah dilakukan penelitian di Indonesia khususnya Jember dengan menggunakan

Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah triklosan 2%. Pada hasil

penelitian didapatkan jumlah koloni yang dapat tumbuh setelah kontak dengan triklosan

2% selama 30”, 60”, 90”, dan 120” adalah sebanyak 0 koloni (Suswati, 6:2003).

Sehingga dapat dikatakan bahwa triklosan 2%mampu untuk mengendalikan penyebaran

penyakit akibat infeksi Staphylococcus aureus (Suswati, 6:2003).

2). Antibiotik Topikal

oMupirocin

Mupirocin topikal merupakan salah satu antibiotik yang sudah mulai digunakan sejak

tahun 1980an. Mupirocin ini bekerja dengan menghambat sintesis RNA dan protein

dari bakteri. Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan

mupirocin topikal yang dibandingkan dengan pemberian eritromisin oral pada pasien

impetigo yang dilakukan di Ohio didapatkan hasil sebagai berikut:

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa penggunaan mupirocin topikal jauh lebih

unggul dalam mempercepat penyembuhan pasien impetigo, meskipun pada awal

kunjungan diketahui lebih baik penggunaan eritromisin oral, namun pada akhir terapi

dan pada evaluasi diketahui jauh lebih baik mupirocin topikal dibandingkan dengan

Page 57: tinea cruris lapkas

eritromisin oral dan penggunaan mupirocin topikal memiliki sedikit failure (Goldfarb,

1-3).

Untuk penggunaan mupirocin topikal dapat dilihat pada tabel berikut:

oFusidic Acid

Tahun 2002 telah dilakukan penelitian terhadap fusidic acid yang dibandingkan

dengan plasebo pada praktek dokter umum yang diberikan pada pasien impetigo dan

didapatkan hasil sebagai berikut:

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa penggunaan plasebo jauh lebih baik

dibandingkan dengan menggunakan fassidic acid.

oRatapamulin

Pada tanggal 17 April 2007 ratapamulin telah disetujui oleh Food and Drug

Administration (FDA) untuk digunakan sebagai pengobatan impetigo. Namun bukan

untuk yang disebabkan oleh metisilin resisten ataupun vankomisin resisten.

Ratapamulin berikatan dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan

peptidil transferase yang pada akhirnya akan menghambat protein sintesis dari bakteri

(Buck, 1:2007).

Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan pada 210 pasien impetigo yang

berusia diantara 9 sampai 73 tahun dengan luas lesi tidak lebih dari 100 cm2 atau

>2% luas dari total luas badan. Kultur yang telah dilakukan pada pasien tersebut

didapatkan 82% dengan infeksi Staphylococcus aureus. Pada pasien-pasien tersebut

diberi ratapamulin sebanyak 2 kali sehari selama 5 hari terapi. Evaluasi dilakukan

mulai hari ke dua setelah hari terakhir terapi, dan didapatkan luas lesi berkurang, lesi

telah mengering, dan lesi benar-benar telah membaik tanpa penggunaan terapi

tambahan. Pada 85,6% pasien dengan menggunakan ratapamulin didapatkan

perbaikan klinis dan hanya hanya 52,1% pasien mengalami perbaikan klinis yang

menggunakan plasebo (Buck, 1:2007).

Page 58: tinea cruris lapkas

oDicloxacillin

Penggunaan dicloxacillin merupaka First line untuk pengobatan impetigo, namun

akhir-akhir ini penggunaan dicloxacillin mulai tergeser oleh penggunaan ratapamulin

topikal karena diketahui ratapamulin memiliki lebih sedikit efek samping bila

dibandingkan dengan dicloxacillin. Penggunaan dicloxacillin sebagai terapi topical

pada impetigo sebagai berikut:

(Sumber: Primary Clinical Care Manual 2007)

b.Terapi sistemik

1)Penisilin dan semisintetiknya (pilih salah satu)

a.Penicillin G procaine injeksi

Dosis: 0,6-1,2 juta IU im 1-2 x sehari

Anak: 25.000-50.000 IU im 1-2 x sehari

b.Ampicillin

Dosis: 250-500 mg per dosis 4 x sehari

Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis4x sehari ac

c.Amoksicillin

Dosis: 250-500 mg / dosis 3 x sehari

Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis 3 x sehari ac

d.Cloxacillin (untuk Staphylococcus yang kebal penicillin)

Dosis: 250-500 mg/ dosis, 4 x sehari ac

Page 59: tinea cruris lapkas

Anak: 10-25 mg/Kg/dosis 4 x sehari ac

e.Phenoxymethyl penicillin (penicillin V)

Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x sehari ac

Anak: 7,5-12,5 mg/Kg/dosis, 4 x sehari ac

2)Eritromisin (bila alergi penisilin)

Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x sehari pc

Anak: 12,5-50 mg/Kg/dosis, 4 x sehari pc

3)Clindamisin (alergi penisilin dan menderita saluran cerna)

Dosis: 150-300 mg/dosis, 3-4 x sehari

Anak > 1 bulan 8-20 mg/Kg/hari, 3-4 x sehari

4)Penggunaan terapi antibiotik sistemik lainnya

Pada penggunaan sistemik antibiotik lainnya yang dapat dipertimbangkan adalah, sebagai

berikut:

XI.PENCEGAHAN

Tindakan yang bisa dilakukan guna pencegahan impetigo diantaranya

1. Cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir bila habis kontak dengan pasien,

terutama apabila terkena luka.

2. Jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita

3. Bersihkan dan lakukan desinfektan pada mainan yang mungkin bisa menularkan pada

orang lain, setelah digunakan pasien

4. Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun dapat

mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitif)

Page 60: tinea cruris lapkas

5. Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap pendek dan

bersih

6. Jauhkan diri dari orang dengan impetigo

7. Cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang lainnya.

Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau pengering yang panas.

Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan disinfektan.

8. Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang terinfeksi dan

cuci tangan setelah itu

(Sumber: Northern Kentucky Health Department, 1:2005).

XII.PROGNOSIS

Pada umumnya baik.

DAFTAR PUSTAKA

Beheshti, 2007, Impetigo, a brief review, Fasa-Iran: Fasa Medical School.

Buck, 2007, Ratapamulin: A New Option of Impetigo, Virginia USA: University of Virginia

Children’s Hospital.

Cole, 2007, Diagnosis and Treatment of Impetigo, Virginia:University of Virginia School of

Medicine.

Djuanda, 2005, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Goldfarb,Randomized Clinical Trial of Topical Mupirocin Versus Oral Eyitromycin for

Impetigo, Ohio: University School of Medicine.

NN, 2007, Primary Clinical Care Manual 2007,

Northern Kentucky Health Department, 2005, Impetigo, Kentucky: Epidemiology Services,

Northern Kentucky Health Department.

Page 61: tinea cruris lapkas

Provider synergies, 2007, Impetigo Agents, Topical Review, Ohio: Intellectual Property

Department Provider Synergies LLC.

Suswati. E, 2003, Efek Hambatan Triklosan 2% Terhadap Pertumbuhan Methicillin Resistant

Staphylococcus Aureus (MRSA), Jember: Fakultas Kedokteran Universitas Jember.

Yayasan Peduli Orang Tua, 2007, Impetigo, Jakarta Selatan: Yayasan Peduli Orang Tua.

no comments yet.

ACNE VULGARISPosted on April 25, 2009 by diyoyen. Categories: Kulit Kelamin.

Made by my senior: Andi Shita Anggraeni

AKNE VULGARIS

DEFINISIAkne vulgaris adalah penyakit kulit yang sering menyerang manusia (85-100%).Ditandai dengan

papul folikular tidak meradang atau komedo dan papul yang meradang,pustule,dan nodul dalam

bentuknya yang lebih berat.Lokasi yang sering terkena adalah daerah dengan folikel sebasea

yang padat yaitu wajah,dada atas dan punggung.

EPIDEMIOLOGI

Karena hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini,maka sering dianggap sebagai

kelainan kulit yang timbul secara fisiologis. Kligman menyatakan bahwa tidak ada seorangpun

(artinya 100%),yang sama sekali tidak pernah menderita penyakit ini.Penyakit ini memang

jarang terdapat pada waktu lahir,namun ada kasus yang terjadi pada masa bayi.Betapapun pada

masa remajalah akne vulagaris menjadi salah satu problem.Umumnya insidens terjadi pada umur

14 – 17 tahun pada wanita,16 – 19 tahun pada pria dan pada masa itu lesi yang predominan

adalah komedo dan papul dan jarang terlihat lesi beradang.

Page 62: tinea cruris lapkas

Pada seorang gadis akne vulgaris dapat terjadi premenarke.Setelah masa remaja kelainan ini

berangsur berkurang.Namun kadang-kadang terutama pada wanita ,akne vulgaris menetap

sampai dekade umur 30-an atau bahkan lebih.Meskipun pada pria umumnya akne vulgaris lebih

cepat berkurang,namun pada penelitian diketahui bahwa gejala akne vulgaris yang berat biasanya

terjadi pada pria.Diketahui pula bahwa ras oriental (Jepang.Cina,Korea) lebih jarang menderita

acne vulgaris dibanding ras Kaukasia (Eropa,Amerika),dan lebih sering terjadi nodulo-kistik

pada kulit putih daripada negro.Akne vulgaris mungkin familial,namun karena tingginya

prevalensi penyakit ini sukar dibuktikan.Dari sebuah penelitian diketahui bahwa mereka yang

bergenotip XYY mendapat akne vulgaris yang lebih berat.

PATOFISIOLOGI

Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan akne yaitu hiperproliferasi folikel

epidermal dengan rangkaian penutupan folikel,kelebihan sebum,aktivitas Propionibacterium

acnes,dan inflamasi.

1.Hiperproliferasi foikel epidermis,dapat dijelaskan oleh 3 teori yaitu :

1.Teori hormone androgen.Pada masa adrenarche didapatkan penutupan folikel sebasea

yang mengakibatkan munculnya komedo selain itu beratnya komedo pada usia remaja

berbanding lurus dengan nilai androgen adrenal dehydroiandrosterone sulfate

(DHEA-S) dan peningkatan reseptor androgen pada folikel sebasea.

2.Perubahan komposisi lemak kulit.Penderita akne sering disertai dengan kelebihan

produksi sebum dan kulit yang berminyak.Kelebihan sebum ini akan terlarut dalam

lemak epidermal dan merubah berbagai konsentrasi berbagai lemak termasuk

penurunan asam linoleat.

3.Inflamasi,Interleukin (IL)- 1-Alpha adalah sitokin pro inflamatori yang dipakai jaringan

dalam memicu terjadinya hiperproliferasi folikel epidermal.

Page 63: tinea cruris lapkas

2.Kelebihan sebum juga menjadi faktor lain terbentuknya akne.Produksi dan akskresi sebum

diatur oleh beberapa hormon dan mediator.Hiperresponsif organ terhadap hormon

androgen,hormon pertumbuhan menjadi penyebab timbulnya akne.

3.Propionibacterium acnes adalah organisme mikroaerofili yang didapatkan pada akne.

Propionibacterium acnes menstimulasi inflamasi melalui produksi mediator proinflamasi

yang dapat berdifusi melalui dinding folikel.Selain itu juga mengaktivasi toll-like receptor 2

pada monosit dan netrofil yang akan memicu produksi berbagai sitokin proinflamatori

misalnya IL-12,IL-8,dan TNF.

4.Inflamasi dapat terjadi primer maupun sekunder karena Propionibacterium acnes.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH :

1.Keturunan.

2.Stres dan emosi.

3.Musim.

4.Diet : Pengaruh makanan masih menjadi perdebatan para ahli.

5.Menstruasi.

70% wanita mengalami eksaserbasi 2 – 7 hari sebelum menstruasi.

6.Obat – Obat :

Kortikodsteroidoral/

topikal,ACTHandrogen,yodida,bromida,INH,Vit.B12,diphenylhidantoin,phenobarbital dapat

menyebabkan eksaserbasi akne yang sudah ada atau menyebabkan erupsi yan mirip akne

(“acneiform eruptions”).

7.Kosmetika.

Page 64: tinea cruris lapkas

Bahan-bahan yang bersifat komedogenik sering sebagai penyebab terutama terdapat pada

krim dasar,pelembab,krim tabir surya.

GEJALA KLINIS

Tempat predileksi akne vulgaris adalah di muka, bahu, dada bagian atas, dan punggung

bagian atas.Lokasi kulit lain misalnya lengan atas,dan glutea kadang-kadang terkena.Erupsi kulit

polimorfi, dengan gejala predominan salah satunya, komedo, papul yang tidak beadang, dan

pustul, nodus dan kista yang beradang.Dapat disertai rasa gatal, namun umunya keluhan

penderita adalah keluhan estetis.Komedo adalah gejala patognomonik bagi acne berupa

papulmiliar yang ditengahnya mengandung sumbatan sebum, bila berwarna hitam akibat

mengandung unsur melanin disebut komedo hitam atau komedo terbuka (black komedo,open

komedo).Sedang bila berwarna putih karena letaknya lebih dalam sehingga tidak mengandung

unsur melanin disebut sebagai komedo putih atau komedo tertutup (white komedo,close komedo).

KLASIFIKASI

Klasifikasi akne diperlukan untuk mengetahui berat ringannya penyakit serta pengobatan yang

dilakukan.Banyak sekali penggolongan akne,salah satunya adalah klasifikasi akne menurut

Plewig dan Kligman :

1.Akne Komedonal

Tingkat I: kurang dari 10 komedo tiap sisi muka

Tingkat II: 10 – 25 komedo tiap sisi muka.

Tingkat III: 25 – 50 komedo tiap sisi muka.

Tingkat IV: lebih dari 50 komedo tiap sisi muka.

2.Akne papulopustuler

Tingkat I: kurang dari 10 lesi beradang tiap sisi muka.

Page 65: tinea cruris lapkas

Tingkat II: 10 – 20 lesi beradang tiap sisi muka.

Tingkat III: 20 – 30 lesi beradangtiap sisi muka.

Tingkat IV: lebih dari 30 lesi beradang tiap sisi muka.

3.Akne konglobata

Adapun penulis di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI/RSUPN dr.Cipto

Mangunkusumo membuat gradasi akne vulgaris sebagai berikut :

1. Ringan

Beberapa lesi tak beradang pada 1 predileksi.

Sedikit lesi tak beradang pada beberapa tempat predileksi.

Sedikit lesi beradang pada 1 predileksi.

2. Sedang

Banyak lesi tak beradang pada 1 predileksi.

Beberapa lesi tak beradang lebih dari 1 predileksi.

Beberapa lesi beradang pada 1 predileksi,sedikit lesi beradang pada lebih dari 1

predileksi.

3. Berat

Banyak lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi.

Banyak lesi beradang pada 1 atau lebih predileksi.

Catatan:Sedikit

Beberapa 5 – 10 lesi.

Banyak > 10 lesi.

Tak beradang : komedo putih,komedo hitam,papul.

Beradang : pustul,nodul,kista.

DIAGNOSIS

Page 66: tinea cruris lapkas

Diagnosis akne vulgaris ditegakkan atas dasar klinis dan pemeriksaan ekskohleasi

sebum,yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo ekstraktor (sendok unna).Sebum yang

menyumbat folikeltampak sebagai massa padat seperti lilin atau massa lunak bagai nasi yang

kadang ujungnya berwarna hitam.

Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran yang tidak spesifik berupa

sebukan sel radang kronis di sekitar folikel pilosebasea dengan massa sebum di dalam

folikel.Pada kista,radang sudah menghilang diganti dengan jaringan ikat pembatas massa cair

sebum yang bercampur dengan darah,jaringan mati, dan keratin yang lepas.

Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jasad renik yang mempunyai peran pada etiologi

dan patogenesis penyakit dapat dilakukan di laboratorium mikrobiologi yang lengkap untuk

tujuan penelitian,namun hasilnya sering tidak memuaskan.

Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit (skin surface lipids) dapat pula

dilakukan untuk tujuan serupa.Pada akne vulgaris kadar lemak bebas (free fatty acid) meningkat

dan karena itu pada pencegahan dan pengobatan digunakan cara untuk menurunkannya.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaanakne vulgaris bertujuan untuk mencegah terjadinya erupsi (preventiv)

dan usaha untuk menghilangkan jerawat yang terjadi (kuratif).

Penatalaksanaan akne vulgaris dibagi menjadi :

1.Prinsip umum

Menurut urutan yang terpenting,yaitu :

1)Mencegah pembentukan komedo (dengan peeling agents)

2)Mencegah pecahnya micro komedo atau melemahkan reaksi radang yang berlangsung

(denan antibiotika)

Page 67: tinea cruris lapkas

3)Mempercepat resolusi lesi yang beradang (dengan sinar ultra violet,pembekuan,bahan

iritan,dsb)

2.Perawatan kulit

1)Cuci muka dengan sabun dan air hangat 2 kali sehari

2)Jangan memencat atau memijit-mijit lesi yang ada

3)Mencegah pemakaian kosmetik yang berminyak

4)Menghirup udara segar dan olah raga teratur

5)Jangan mencuci muka berlebihan denagn sabun (6 – 8 kali sehari) karena sabun bersifat

komedogenikdan dapat menyebabkan akne detergen

6)Sabun-sabun bakteriostatik yang biasanya mengandung bahan-bahan heksaflofen

trikarbaninid,dan chlorinated salicylanilidies dapat mengurangi flora aerobik kulit

tetapi tidak ada efek terhadap Propionibacterium acnes

3.Makanan

4.Pengobatan

A.Pengobatan topikal

Pengobatan topikal dilakukan untuk mencegah pembentukan komedo,menekan

peradangan,dan mempercepat penyembuhan lesi.Obat topikal terdiri atas :

1)Bahan iritan yang dapat mengelupas kulit (peeling),seperti :

a.Retinoid

Retinoid (derivat vitaminA) topikal,tretionin,isotretionin,dan adapalene

menyebabkan peeling superfisial tanpa memblok felikel,sehingga sesuai untuk tipe

akne komedonal.

Page 68: tinea cruris lapkas

Tretinoin kadang menyebabkan dermatitis iritan.Pada permulaan dianjurkan

memakai tretionin sekali sehari pada malam hari.Bila tidak terjadi eritema dan

pengelupasan, obat dapat dipakai 2 kali sehari.Pada pemakaian tretinoin dianjurkan

untuk :

1.Menghindari sinar matahari (karena adanya proses fotodegradasi dan

peningkatan kepekaan terhadap sinar matahari) atau menggunakan tabir surya.

2.Tidak terlalu sering mencuci muka.

3.Tidak menggunakan obat terlalu banyak

4.Hati-hati penggunaan obat di sudut mulut, hidung, dan mukosa.

Adapun adapalena dan isotretionin sama efektifnya seperti tretionin, bahkan lebih

tidak menyebabkan iritasi dibandingkan tretionin.Retinoid tropikal tidak boleh

digunakan pada wanita hamil.

b.Benzoil peroksida

Benzoil peroksida memiliki efek sebagai anti bakteri, keratolitik dan sedikit anti

inflamasi.Bermanfaat untuk mengobati akne ringan sampai sedang.Efek samping

yang sering terjadi adalah kulit kering, eritema, dan peeling (pengelupasan kulit).Pada

pemulaan pengobatan pasien merasa seperti terbakar,gejala ini akan berkurang dalam

beberapa minggu, sehingga sebaiknya dimulai dari dodid yang rendah dahulu,

kemudian lambat laun dinaikkan dosisnya.

c.Asam salisilat

Agen ini menghambat pembentukan komedo,dan mempunyai efek sebagai

komedolitik dan keratolitik.Dapat dipakai sebagai terapi tunggal atau kombinasi, dan

dapat dipakai sebagai terapi alternatif bagi penderita yang tidak toleran terhadap

benzoil peroksida.Digunakan pada terapi akne gradasi ringan sampai sedang.

Page 69: tinea cruris lapkas

2)Anti biotika

Anti biotika topikal ini bekerja dengan mengurangi jumlah P.Acnes di dalam folikel

pilosebasea.Obat ini jarang menyebabkan iritasi.Tetapi perlu diketahui bahwa

antibiotika topikal tidak lebih efektif daripada benzoil peroksida dan trtionin untuk

mengatasi akne ringan sampai sedang.Karena meskipun antibiotika topikal

mengurangi inflamasi tetapi efek terhadap komedo kurang konsisten.

Clindamycin dan eritomycin adalah antibiotika topikal yang banyak

digunakan.Kombinasi antara benzoil peroksida dan Clindamycin atau eritomycin

lebih efektif dibandingkan dengan antibiotik topikal saja.Erytromycin adalah

antibiotika topikal yang paling aman digunakan untuk wanita hamil.Tetrasiklin

topikal juga bisa digunakan, tetapi kurang disukai karena menyebabkan pewarnaan

pada kulit dan pakaian.

3)Anti peradangan topikal

Dapat digunakan sediaan seperti kortikosteroid ringan (hidrocortison 1 – 2,5%) atau

suntikan intralesi kortikosteroid kuat (triamsinolon asetonid 10 mg/cc) pada lesi

nodulokistik.

B.Pengobatan Sistemik

Pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan aktivitas jasad renik disamping dapat

juga untuk mengurangi reaksi radang,menekan produksi sebum,dan mempengaruhi

keseimbangan hormonal.Terdiri atas :

1.Antibiotik sistemik

a.Golongan Tetracyclin

Golongan teracyclin bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri pada

ribosomnya.Absorbsinya 30 – 80% dalam saluran cerna.Doksisiklin dan minoksiklin

90%.Adanya makanan dalam lambung menghambat penyerapan golongan

Page 70: tinea cruris lapkas

tetracyclin,kecuali doksisiklin dan minoksiklin.Ditimbun dalam hati,limpa, dan sumsum

tulang, serta dentin dan email gigi dari gigi yang belum erupsi.Doksisiklin dan

minoksiklin penetrasi ke jaringan lebih baik.Diekskresi melalui urine dan feces.

Golongan tetracyclin dibagi 3 berdasarkan sifat farmakokinetiknya,yaitu : (1)Tetrasiklin,

klortetrasiklin dan oksitetrasiklin, absorbsinya tidak lengkap, waktu paruh 6 – 12 jam.(2)

Dimetilklortetrasiklin, absorbsinya lebih baik, masa paruh 16 jam.(3) Doksisiklin dan

minoksiklin absorbsinya lebih baik sekali, masa paru 17 – 20 jam, cukup diberikan 1 atau

2 kali sehari.

Tetracyclin dapat mengakibatkan perubahan warna gigi dan tidak dianjurkan untuk

wanita hamil.Efek samping yang lain iritasi lambung, dan infeksi jamur vagina.Dois 4 x

250 mg setiap hari, diberikan 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan selama 4 –

8 minggu berikutnya.

Dimekksosiklin dosis tinggi 4 x 250 mg sehari diberikan 1 jam sebelum makan selama 3

– 6 minggu dan dosis disesuaikan setiap 3 – 4 minggu berikutnya.Dosis rendah 150 mg

sehari diberikan 1 jam sebelum makan selama 6 minggu dan dosis berikutnya disesuaikan

setiap 6 minggu.Obat ini jarang dipakai.

Doxycyclin efektif membunuh kuman gram positif dan negatif.Dosis tinggi 2 x 200 mg

sehari diberikan selama 2 – 4 mingu, selanjutnya dosis disesuaikan dengan keadaan

penyakit.Dosis rendah 1 x 200 mg sehari diberikan selama 6 – 8 minggu, selanjutnya

disesuaikan sesuai keadaan penyakit.Efek sampingnya berupa fototoksik,renal diabetes

insipidus syndrom.

Minoksiklin efektif untuk membunuh bakteri gram positih dan negatif.Dosis 2 x 100 mg

sehari diberikan 3 -6 minggu,selanjutnya dosis disesuaikan setiap 3 – 6 minggu

berikutnya.Dosis rendah 50 – 100mg sehari diberikan selama 4 – 6 minggu selanjutnya

dosis disesuaikan setiap 6 minggu.Efeksampingnya adalah gangguan

keseimbangan,nousea,diskolorisasi kilit warna abu-abu sampai biru.

b.Erytromycin

Page 71: tinea cruris lapkas

Merupakan obat pilihan untuk penderita yang sensitif pada tetrasiklin dan wanita

hamil.Memiliki efek bakterisida terhadap P.Acnes.Dosis 1gr/hari.

c.Klyndamicyn

Efektif untuk akne bentuk kistik,absorbsinya tidak dipengaruhi makanan.Dosis 150 – 300

mg sehari 2 kali.

2. Hormonal

a.kortikosteroid

Kortikosteroid intralesi berguna untuk lesi nodulokistik besar dan sinus pada acne

conglobata.Cepat mengurangi keradanagan dan mencegah timbulnya cicatric.Dipakai

larutan dengan konsentrasi 2,5 mg/ml dan penyuntikan dapat diulangi 1 – 2

minggu.Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk acne tipe nodulokistik dengan

cicatric yang hebat dan diberikan dalam jangka waktu yang pendek.

b.Esterogen (Oral Contraceptive Pills (OCPs))

Kontrasepsi ini mungkin dapat digunakan sebagai terapi tambahan pada terapi akne pada

wanita.OCPs menurunkan sirkulasi androgen,yang akhirnya dapat menurunkan produksi

sebum.Estrogen pada OCPs meningkat setara dengan sex-hormon-binding globulin,

dimana, akhirnya, menurunkan jumlah testosterone bebas.Estrogen juga menurunkan

sekresi gonadotropin oleh pituitai anterior, dengan konsekuensi penurunan produksi

androgen pada ovarium.Saat OCPs digunakan untuk terapi akne, dokter harus meresepkan

formulasi yang mengandung progestin dengan efek androgen yang rendah.Progestin yang

tepat digunakan antara lain norethindrone (Norlutin), norethindrone acetate (Aygestin),

ethynodiol diacetate (Zovia), dan norgestimate (Ortho-Cyclen).

3. D.D.S (Diamino Diefil Sulfon)

Seperti sulfonamida,DDS dapat menghambat pemakaian PABA (Para Aminino Benzoid

Acid) oleh bakteri.Obat ini hanya digunakan untuk akne dengan peradangan yang hebat,

Page 72: tinea cruris lapkas

seperti akne konglobata dan papulo pustula yang sukar diobati.DDS tidak pernah dipakai

sendiri, biasanya dipakai bersama-sama dengan antibiotika dan obat yang dapat

mengadakan pengelupasan kulit.

Mekanisme kerja DDS :

Anti inflamasi seperti kortikosteroid

Mustabilir lisosom

Efek samping : leukopeni, agranuositosis, nausea, muntah, kepala pusing dan reaksi

pada kulit.

4. Vitamin A

Bila diberikan peroral bersama-sama dengan antibiotika oral dan topikal, vitamin A asam

sangat efektif untuk akne bentuk nodul dan kistik yang hebat.Diduga vitamin ini

mempengaruhi produksi atau metabolisma androgen.Dosis : 50.000 – 100.000 IU/hari.

5. Isoretinoit

Suatu bentuk 13- cis/asam retinoat digunakan untuk pengobatan akne berbentuk kistik dan

konglobata.Pada kebanyakan kasus obat ini memberikan remisi sempurna selama berbulan-

bulan dan sampai bertahun-tahun.Dosis : 1 mg/kg/hari.Efek samping : gangguan selaput

lendir dan kulit seperti keilitis, serosis dan pendarahan hidung.Isoretinoit bersifat

keratogenik.

6. Senk (Zink)

Efeknya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga mempunyai efek inflamasi.Unsur ini

berpengaruh terhadap epitelisasi,aktivitas enzim pada metaboloisme vitamin A, dan

memperbaiki gangguan kemotaksis leukosit.Dosis 3 x 200 mg/hari.

7. Diretika

Page 73: tinea cruris lapkas

Sering terjadi eksaserbasi akne 7 – 10 hari sebelum menstruasi.Hal ini mungkin disebabkan

karena adanya retensi cairan sebalum menstruasi, yang disertai dengan hidrasi dermis dan

juga edema pada keratin.Kebanyakan penyelidik memberikan diuretika satu minggu

sebelum haid.

Tindakan Khusus

Beberapa macam tindakan khusus akne antara lain yaitu :

Ekstraksi komedo : untuk menghilangkan komedo terbuka dan dilakukan sebulan sekali

setelah terapi keratolitik, dilanjutkan secara interval sampai keadaan bersih.

Injeksi kortikosteroid intralesi : dilakukan pada lesi krista atau nodul yang dalam, dan

biasanya dipakai triamsinolon asetonid 0,025 – 0,05 mg/ml, tiap lesi tidak lebih dari 0,1

ml untuk mencegah terjadinya antrofi.

Peeling dengan bahan kimia yaitu glicolic acid atau trichloroasetic acid konsentrasi rendah

Dermabrasi, punch graft dan kolagen implant dapat memperbaiki parut yang ada.

Terapi laser, laser dengan panjang gelombang 1320-nm bermanfaat untuk terapi

akne.Banyak pasien memilih terapi laser daripada terapi lain karena terapi ini dianggap

menyenangkan, tetapi persentase terapi ini dapat menurun sangat drastis saat mereka

tahu biaya yang harua dikeluarkan untuk terapi tersebut.Laser dengan panjang

gelombang 1450-nm lebih sering digunakan dalam terapi akne karena diserap lebih

baik oleh glandula sebasa dibandingkan denagn panjang gelombang 1320-nm.Semakin

sering melakukan terapi, hasilnaya akan semakin baik.

PROGNOSIS

Umumnya prognosis penyakit baik, tetapi sebagian penderita sering residif.Akne vulgaris

umumnya sembuh sebelum mencapai usia 30 – 40 an.Jarang terjadi akne vulgaris yang menetap

sampai tua atau mencapai gradasi sangat berat sehingga perlu rawat inap di rumah sakit.Namun

Page 74: tinea cruris lapkas

ada yang sukar diobati, mungkin karena faktor genetika.Bila banyak sikatrik bisa dilakukan

dermabrasi oleh para ahli.

no comments yet.

IMPETIGO KONTANGIOSAPosted on April 13, 2009 by diyoyen. Categories: Kulit Kelamin.

IMPETIGO KONTAGIOSA

dr. Dian Ibnu Wahid Sp.PD (title in progres) =)

I. Definisi

Bentuk pioderma paling sederhana. Menyerang epidermis, dimana gambaran yang paling

dominan ialah krusta yang khas, berwarna kuning kecoklatan sepeti madu yang berlapis-lapis.

II. Etiologi

Staphylococcus aureus dan atau Streptococcus beta hemolyticus grup A.

III. Epidemiologi

Lebih sering menyerang anak-anak. Apabila menyerang dewasa kemungkinan pada mereka yang

tinggal berkelompok, seperti pada asrama dan penjara. Antara pria dan wanita sama banyaknya.

IV. Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Penyakit

Musim panas atau cuaca panas dan lembab.

Kebersihan/ higene yang kurang.

Keadaan umum yang buruk seperti anemia dan malnutrisi.

V. Gejala Penyakit

Page 75: tinea cruris lapkas

Keluhan utamanya adalah gatal. Tidak diikuti dengan gejala konstitusi seperti demam, malaise

dan mual kecuali bila kelainan kulitnya berat. Lesi awal berupa macula eritematus berukuran 1-2

mm, segera berubah menjadi vesikel atau bula. Karena dinding vesikel tipis, mudah pecah dan

mengeluarkan sekret seropurulen kuning kecoklatan. Selanjutnya mengering membentuk krusta

yang berlapis-lapis. Krusta mudah dilepaskan, dibawah krusta terdapat daerah erosif yang

mengeluarkan sekret, sehingga krusta kembali menebal. Dapat terjadi autoinokulasi yaitu

terbentuknya lesi satelit. Lesi dapat sembuh tanpa menimbulkan sikatrik atau atrofi.

VI. Pemeriksaan Kulit

Lokalisasi: Daerah yang terpapar terutama wajah (sekitar hidung dan mulut) oleh karena

dianggap sumber infeksi didaerah tersebut, tangan, leher dan ekstremitas. Apabila bayi

lesinya dapat dimana saja.

Efloresensi: Makula eritematus miliar sampai lentikuler, difus, anular, sirsinar. Vesikel

dan bula lentikuler difus. Pustula miliar sampai lentikuler. Krusta kuning kecoklatan,

berlapis-lapis dan mudah diangkat.

Gambar 1. Impetigo kontagiosa

VII. Pemeriksaan Penunjang

Pada darah tepi didapatkan lekositosis terutama infeksi yang disebabkan oleh Streptokok. Dari

pewarnaan Gram dari usapan cairan vesikula yang baru, didapatkan kokus-kokus Gram positif.

Biakan dari daerah yang mengeluarkan sekret atau dari daerah dibawah krusta menghasilkan

streptokok-stafilokok

Page 76: tinea cruris lapkas

VIII. Diagnosis Banding

Ektima

Varisela

IX. Perjalanan Penyakit

Jika tidak diobati, impetigo akan berlangsung terus dengan lesi-lesi akan muncul selama

beberapa minggu. Sesudah itu, impetigo cenderung sembuh sendiri, kecuali bila terdapat

kelainan kulit yang mendasarinya seperti eksema. Jarang sekali timbul komplikasi selulitis atau

bakterimia. Gejala sisa yang berat adalah nefritis.

X. Penatalaksanaan

Umum

-Memperbaiki keadaan higene penderita dan lingkungan.

-Menjauhkan anak-anak yang sehat dari anak-anak yang menderita impetigo

kontagiosa.

Khusus

-Pengobatan topikal

1.Kompres terbuka (akut, madidans dan krusta tebal-lengket)

Menggunakan Permanganas kalikus 1/5000, Rivanol 10/00, Yodium povidon

7,5% dilarutkan 10x.

2.Membersihkan lesi dengan menggunakan antiseptik dan kemudian krusta

dilepaskan perlahan. Krusta perlu dilepas agar obat topikalnya dapat efektif

bekerjannya.

3.Antibiotik (bila lesi sedikit)

Page 77: tinea cruris lapkas

Salep/krem asam fusidat 2% 2-3x/hari sampai 7 hari, Mopirosin 2%, Basitrasin

dan Neomisin

4.Drainase

Pada bula dan pustula dilakukan drainase dengan ditusuk jarum steril untuk

mencegah penyebaran lokal.

-Pengobatan sistemik (7-10 hari)

1.Penisilin G Procain injeksi

Dosis: 0,6-1,2 juta I.U. im, 1-2x/hari

Anak-anak: 25000-50000 I.U./kg/dosis, 1-2x/hari

2.Ampisilin

Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x/hari a.c

Anak-anak: 7,5-25 mg/kg/dosis, 4 x/hari a.c

3.Amoksisilin

Dosis: 250-500 mg/dosis, 3 x/hari a.c

Anak-anak: 7,5-25 mg/kg/dosis, 3 x/hari a.c

4.Kloksasilin (untuk stafilokok yang kebal penisilin)

Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x/hari a.c

Anak-anak: 10-25 mg/kg/dosis, 4 x/hari a.c

5.Diklosasilin (untuk stafilokok yang kebal penisilin)

Dosis: 125-250 mg/dosis, 3-4 x/hari a.c

Page 78: tinea cruris lapkas

Anak-anak: 5-15 mg/kg/dosis, 3-4 x/hari a.c

6.Fenosimetil Penisilin (Penisilin V)

Dosis: 250-500mg/dosis, 4 x/hari a.c

Anak-anak: 7,5-12,5 mg/kg/dosis, 4 x/hari a.c

7.Eritromisin (untuk alergi penisilin)

Dosis: 250-500mg/dosis, 4 x/hari p.c

Anak-anak: 12,5-25 mg/kg/dosis, 4 x/hari p.c

XI. Prognosis

Ad vitam: Baik.

Ad fungsionam: Baik.

no comments yet.

VARISELAPosted on by diyoyen. Categories: Kulit Kelamin.

dr. Dian Ibnu Wahid, Sp.PD (Title in Progres)

FK - UNEJ 2002

I.Sinonim

Sinonim varisela : chiken pox infection, water pox infection, tear drop infection, cacar air.1,2,3

II.Definisi

Adalah penyakit infeksiakut primer oleh virus Varicela zooster yang menyerang kulit dan mukosa , berupagejala klinik konstitusi, kelainan kulit yang

Page 79: tinea cruris lapkas

polimorfik, terutama di bagian sentral tubuhdengan penyebaran lesi secara sentrifugal.1,2,3

III.Epidemiologi

Penyakit ini bersifat kosmopolitan. 1,2,3,4 Saat inisekitar 60 –90juta kasusVaricela ditemukan di duniatiap tahunnya. 2,3 Insidennyalebih banyak terjadi pada wilayah tropis dan semi tropis .4 Secarauniversal insiden terbanyak terjadi padausia3-6 tahun.2 Hanya 5 % kasus yang terjadi pada usia kurang dari 15 tahun, dan hanya 10 % kasus terjadi pada usia di atas 14 tahun 2,3. Tetapi di wilayah AS Variselabanyak ditemukan pada usia kurang dari 10 tahun.2 Sejak pelaksanaan program vaksinasi intensifdi dunia (1995 - sekarang )insidendan morbiditas karena varisela menurun secara signifikan.2 Masa penularannya lebih kurang tujuh hari sejak terjadi infeksi kulit.1 Penyakit ini tidak dipengaruhi ras dan jenis kelamin. 1,2,3,4

IV.Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh virus Varisela - Zosterdengan nama lain Human (alpha) herpes virus 3 sub famili alpha herpes viridae. Merupakan DNA double helix , genom virus mengkode lebih daripada 70 protein, termasuk protein yang berhubungan dengan antigen virus.2,3

V.Patofisiologi

Virus varisela zostermemasuki tubuh manusia melaluiinhalasi (aerogen ) yaitu udara yang berhubungan dengan pernapasan seperti batuk, bersin atau kontak langsung dengan kulit yang terinfeksi. Saat virus varisela-zoster masuk ke dalam mukosa dan pindah ke sekresi saluran pernapasan , ia akanberkolonisasi di traktus respiratorius bagian atas.3Virus awalnya bermultiplikasiawal setempat. Kemudian virus menyebar kekelenjar limfe regional di sekitar traktus respiratorius, pada 2-4 hari setelah paparanawal terjadi., lalu menyebarmelalui aliran darah dan limfe seluruhtubuh pada 4-6 hari sesudah paparanawal. (inilah yang disebut viremia primer )2,3,4.

Lalu Virus inimencapaisel retikuloendotelial hepar, limpa, dan organtarget lainnya. 2,3Seminggu kemudian (14 –16 hari sesudah paparanawal ), terjadilah viremia sekunder : Virus ini sudahbereplikasicukup banyak disel retikuloendotelial organ dalamdanpada kulit ; akan menimbulkan lesikulit yang khas.1,2,3,4 Sebenarnya pada saat virus bereplikasi, sudah dihambat oleh imunitas non spesifik. Tetapi pada kebanyakan individu replikasi virus ini lebih dominan dibandingkan imunitas tubuhnya, sehingga dalam waktu 2 minggu sesudah paparan awal sudah terjadi viremiayang lebih hebat (viremia sekunder), seperti yang telah dijelaskan di atas.

Page 80: tinea cruris lapkas

Masuknya virus dan disertai masa inkubasi adalah selama 17-21 hari, lalu pada saat tersebut akan terjadi penyebaran secara subklinis. Lesi pada kulit akan timbul dan menyebar bila infeksi masuk pada viremia sekunder .1,2,3,4

Viremia sekunder ini juga dapat mencapai sistem respirasi kembali , sebelum menimbulkan lesi khas pada kulit.3Hal inilah yang menyebabkan varisela sangat menular sebelum lesi khas muncul

Kerusakan pada SSP dan hepar juga mungkin terjadi pada stadium ini. (encephalitis dan hepatitis ).3,4

V.Gejala Klinis

Secara keseluruhan masa inkubasi penyakit ini adalah 17-21 hari dengan rata-rata 10-14 hari.2,3,4

Gejala awal yang terjadi(Gejala prodromal) umumnya terjadi 1-3 hari, tetapi pada anak umumnyahanya 1-2 hari : demam dengan kenaikan suhu yang tidak terlalu tinggi , rasa tidak enak pada perut, batuk kering (sore throath), malaise, sakit kepala, anorexia. Gejala tampak lebih berat pada orang dewasa.2,3,4

Pada akhir masa prodromal mulai timbulgejala pada kulit berupa macula dan papula berukuran 2-4 mmyang disertai rasa gatal.3,5

Dengan cepat (beberapa jam kemudian ) lesi ini berkembang menjadi gejala kulit yangkhas yaitu vesikel jernih dengan dasar erimatousseperti tetesan embun (tear drops) berukuran milier-lentikuler yang pola penyebarannya secara sentrifugal. (Berawal di daerah sentral tubuhlalu menyebar ke wajah dan ekstremitas ) . Setelah 8-12 jam cairan di vesikel menjadi lebih keruh (pustula), kemudian menjadi krusta. Perubahan vesikel menjadi pustulalalu krusta berlangsung selama 2-12 hari dengan rata-rata 6 hari. Setelah itu krusta dapat lepas sendiri dan terkadang meninggalkan bekas (sikatrik) yang umumnya dapat hilang secara perlahan. Sementara proses ini berlangsung , timbul lagi vesikel -vesikel baru, selama 3-5 hari, sehingga memberikan gambaranpolimorfik dan erpsi bergelombang. 1,2,3,4,5

Pada anakdapat muncul lesi berjumlah 10-1500 buah dengan rata-rata (250-500 buah).3

Penderita sembuh sempurna rata-rata setelah 7-34 hari (rata-rata 16 hari ).3

Beberapa lesi dapat muncul di orofaring dan agak jarang menyerang selaput lendir mata.1,2,3

Pada ibu hamil yang terinfeksi varisela selama kehamilan dapat terjadi

Page 81: tinea cruris lapkas

1.Bila terjadi pada awal kehamilan ( Congenitalvaricella syndrom(kelainan congenital pada janin ).Janin yang terinfeksi pada minggu ke 6-12 kehamilan tampak mengalami kelainan paling berat pada perkembangan tungkai. Janin yang terinfeksi pada minggu ke 16-20 kehamilandapat mencakup kelainan mata dan otak. Infeksi varisela pada usia gestasi 20 minggu juga dapat menyebabkan terjadinya infantile zoster.3,5

2.Bila terjadi pada tri semester akhir kehamilan ( pada minggu ke 37-42 ), dapat menyebabkan congenital varicella atau neonatal varicella Cacar air pada neonatus ini ,terkadang dapat sangat berat dan menimbulkan kematian.3,5

VI.Diagnosis Banding

Variola

Herpes zoster

VII.Diagnosa

Ditegakkan berdasarkan

1.Anamnesa , adanya gejala klinik berupa demam, malaise (prodromal ) yang disertai ruam yang khas pada kulit, dan riwayat perjalanan penyakit

2. Pemeriksaaan fisik ditemukannya ruam yang khas tersebut pada kulit, dan lokalisasi yang khas diawali di bagian sentral tubuh (ruam papulovesikuler, polimorfik, penyebaran sentrifugal, lesi bergelombang ).

3.Diagnosa dapat ditunjang dengan pemeriksaan berupa :

1.Laboratorium : lekopeni pada 72 jam pertama dan selanjutnyalekositosis menunjukkan terjadi viremia sekunder. Lekositosis yang sangat berlebihan dapat merupakan pertanda adanya infeksi sekunder. Umumnya pada infeksi varisela ditemukan limfositosis relatif dan absolut.

2.Percobaan tzanck

3.Kulturvirus dari dasar vesikel,

4.Pemeriksaan dengan mikroskop electron

5.Tes serologic dan material biopsi

VIII.Penatalaksanaan

Page 82: tinea cruris lapkas

Dapat diberikan anti virus: Asiklovir 5 x 800mg/hariyang efektifselama 7 hari setelah terpajan .

Atau valacyclovir: 3x 1000 mg /hari selama tujuh hari

Atau Farmcyclovir : 3X 500 mg /hari selama tujuh hari

Anti histaminoral (dipenhidramin)

Dosis : 25-50 mg/ kg BB / 4 jam untuk dewasa

Anak-anak : 5 mg/ kg BB /dosis

Anti histamin topikal dalam bentuk bedak salicyl 0,5-1 % atau calamin cair.

Asetaminophen(anti piretik )

Dewasa : 500-650 mg/kali bila demam

Anak-anak : 10-15 mg/kg BB /kali bila demam

*kompres dingin atau boleh mandi.

Edukasi penderita

IX. Pencegahan

1. Vaksinasi

Vaksin varisela berisi virus varisela strain hidup yang dilemahkan. Vaksin ini aman dan bersifat immunogenik. Vaksin ini efektif bila diberikan pada saat atau setelah usia 1 tahun.Pemberian vaksin secara subkutan sebanyak 0,5 ml. Pada anak

2. Varicella zoster imunoglobulin(VZIG )

Diberikan pada individu yang beresiko tinggi , segera setelah terpapar . Serum inidapat memberi efekperlindungan sekitar tiga minggu. Tetapi efek terbaik dalam melemahkan virus varisela serta mencegah terjadinya gejala klinik pada waktu 96 jam setelah paparan.

X. Komplikasi:

1.Infeksi sekunder dengan bakteriumumnya streptococcus dan stafilocccus

2.Pneumonia

3.Hepatitis

Page 83: tinea cruris lapkas

4.Glomerulonefritis

5.Varisela hemorhagic

6.Semua orang yang mengalami varisela memiliki resiko mengalami komplikasi dalam hidupnya berupa herpes zoster (shingles). Setelah infeksi varisela , beberapa virus varisela-zoster akan in aktif dan menetap pada ganglion dorsalis saraf sensoris. Beberap tahun kemudian dapat terjadi reaktifasi ke permukaan sebagai herpes zoster. Ketika terjadi reaktivasi virus ini akan mempengaruhi sel saraf dan kulit, sehinggatimbul rasa gatal dan nyeri sertaruam berupa papula dan vesikel erimatous yang mengikuti dermatom saraf yang terkena .

7.Komplikasi pada SSP ; Sindrom Reye, ensefalitis

XI. Prognosa

-Prognosabaik pada penderita yang non immunocompromized, dan memperhatikan hiegenis perorangan serta perawatan yang teliti.

-Pada penderita dengan gangguan sistem kekebalan tubuh memiliki resiko penyakit yang berat dan kematian.

-Pada cacar air neonatus yangjarak infeksi pada ibunya dengan persalinankurang dari 1 minggu , akan menimbulkan gejala yang sangat berat pada neonatusdan bisa menimbulkan kematian.

-Hampir 30 % varisella pada neonatus menimbulkan kematian.

XII. Referensi

1.Handoko , Ronny P. Penyakit virus . Dalam Ilmu Penyakit Kulit danKelaminEdisi ketiga . Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta ; 1999

2.Licehnstein, Richard Pediatrics chicken poxor Varicella . emedicine ( serial on line ) . June 13 , 2006(cited on October 14 , 2006). Available from : http: //www.emedicine.com/pediatrics varicella

3.Mehta , parang N, MD . Varicella. emedicine (serial on line ). July 26, 2006 (cited on October 14, 2006 ). Available from :

http : //www.emedicine.com/varicella

4.Anonim.Chicken pox . wikipedia (serial on line ). Februari 15 2005 (citedon October 14, 2006 ). Available from :

Page 84: tinea cruris lapkas

http : // www.wikipedia/ chicken pox.htm

5.AnonimVaricella Vaccin .CDC (serial on line ). September2006

(cited on October 14, 2006 ). Available from : http.www.cdc.gov.mmwr/preview/mmwrhtml/00040693.htm

no comments yet.

Newer »

Theme by WPMU Theme pack by WPMU-DEV.