Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TERAPI TEMOZOLOMIDE PADA PENDERITA LIMFOMA
NON-HODGKIN SUSUNAN SARAF PUSAT
(DIFFUSE LARGE B-CELL LYMPHOMA)
dr. I Putu Oka Yudaswara Pande
16710004
PEMBIMBING:
dr. Tjokorda Gde Dharmayuda, Sp. PD-KHOM
PROGRAM STUDI PENYAKIT DALAM
FK UNUD/RSUP SANGLAH
DENPASAR
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
atas karunia-Nya sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas ilmiah pada
Program Studi Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah.
Laporan kasus ini mengambil judul Terapi Temozolomide Pada
Penderita Limfoma Non-Hodgkin Susunan Saraf Pusat (Diffuse Large B-Cell
Lymphoma). Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh
bimbingan dan petunjuk-petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak
terutama pembimbing dr. Tjokorda Gde Dharmayuda, SpPD-KHOM. Melalui
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada beliau dan semua pihak
yang membantu tersusunnya laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu
pengetahuan di bidang kesehatan dan memberi manfaat bagi berbagai pihak.
Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik
dan saran yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan.
Denpasar, Mei 2017
Penulis
dr. I Putu Oka Yudaswara Pande
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
BAB II ISI ....................................................................................................... 3
2.1 Kasus .......................................................................................... 3
2.2 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang .............................................. 4
2.3 Pembahasan ................................................................................. 8
BAB III RINGKASAN .................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 27
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Halaman
1. Foto pasien 7/1/2017 paska reseksi tumor ................................................ 6
2. Foto Thorax pasien 17/01/2017 ................................................................ 12
3. a) CT Scan Kepala 24/10/2016 di RSUD Bangli pre operasi ...................
b) MRI Kepala Axial 13/01/2017 di RSUP Sanglah paska operasi ..........
4. USG Abdomen Atas Bawah 18/01/2017 .................................................. 13
5. Hasil Patologi Anatomi biopsi tumor 14/11/2016 .................................... 14
6. Hasil imunohistokimia jaringan biopsi 29/12/2016 ..................................
7. MRI Kepala post radioterapi dan kemoterapi temozolomide seri ke-3
(11/07/2017) .............................................................................................
8. Mekanisme aksi antitumor prodrug temozolomide ..................................
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
1. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap serial ....................................... 15
2. Pemeriksaan lactat acid dehydrogenase (LDH) serial ............................. 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Limfoma Primer Susunan Saraf Pusat/Primary Central Nervous System
Lymphoma (Limfoma Non-Hodgkin Susunan Saraf Pusat) adalah bentuk langka
limfoma non-Hodgkin agresif extranodal (NHL) yang telah menunjukkan
peningkatan kejadian selama tiga dekade terakhir dan umumnya terjadi pada
keadaan kekebalan tubuh yang terganggu (immunocompromised) maupun
kekebalan tubuh yang kompeten (immunocompetent)1. Secara keseluruhan,
penyakit ini memiliki prognosis buruk. Kejadian limfoma non-Hodgkin susunan
saraf pusat telah meningkat selama dua dekade terakhir2.
Menurut data terakhir dari Pusat Data Tumor Otak Ameriksa Serikat
menyatakan secara statistik, angka kejadian limfoma non-Hodgkin susunan saraf
pusat berkisar 2,3% dari semua jenis otak primer dan tumor sistem saraf pusat.
Insiden berdasarkan usia berkisar 0,46/100.000 dan tampaknya terus meningkat
seiring waktu. Sekitar 1.000 kasus baru didiagnosis setiap tahun di Amerika
Serikat3. Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi limfoma
di Indonesia adalah sebesar 0,06‰, atau diperkirakan sebanyak 14.905 orang4.
Limfoma non-Hodgkin susunan saraf pusat adalah varian dari limfoma
non-Hodgkin yang terdapat di otak, mata, medula spinalis dan atau meningen
yang merupakan 3% dari seluruh tumor otak dan 1% dari semua jenis limfoma5.
Lebih dari 90% dari kasus limfoma susunan saraf pusat adalah tipe diffuse large
B-cell lymphoma (DLBCL)6.
Kondisi imunodefisiensi telah diketahui merupakan faktor risiko limfoma
susunan saraf pusat, yang sering ditemui pada pasien penderita AIDS sebelum era
highly active antiretroviral therapy (HAART)7. Mayoritas ditemukan pada
kelompok pasien immunosupresi dengan CD4 <100 sel/µl8. Lebih jauh lagi,
prognosis pada kasus limfoma susunan saraf pusat terkait HIV telah menunjukkan
peningkatan dengan adanya terapi HAART, sedangkan pada era pre-HAART,
rata-rata survival rate sangat buruk, dengan kejadian kematian setelah 3 bulan
pertama kali didiagnosis. Pada masa post-HAART, 2-year survival rate
mendekati 30%9.
Secara epidemiologi, insiden limfoma non-Hodgkin susunan saraf pusat
antara tahun 1990 hingga 1994 sekitar 0,43 per 100.000 orang per tahun10
dan
penyakit tersebut mencakup sekitar 4% dari keseluruhan kasus tumor otak
primer11
. Limfoma susunan saraf pusat secara signifikan terdapat pada laki-laki
dengan rerata umur 60 tahunan; tidak terdapat perbedaan kejadian pada jenis ras
tertentu7.
Berikut ini dilaporkan kasus seorang dengan limfoma non-Hodgkin
susunan saraf pusat (Tipe Diffuse Large B-cell Lymphoma) yang jarang jumpai
dengan ulasan pendekatan modalitas terapi temozolomide yang mendasari
dibuatnya laporan kasus ini.
BAB II
ISI
2.1 Kasus
Seorang laki-laki, 62 tahun, Suku Bali asal Kabupaten Bangli datang ke
UGD RSUP Sanglah pada tanggal 07 Januari 2017 dengan keluhan badan lemas.
Keluhan badan lemas dirasakan sejak 2 hari yang lalu, diawali dengan keluhan
nafsu makan menurun. Keluhan lemah anggota tubuh bagian kanan dirasakan
sejak 2 bulan yang lalu dan semakin memberat hingga saat ini. Keluhan bibir
mencong dan bicara pelo disangkal. Riwayat kejang diakui sejak 3 bulan yang
lalu, saat kejang bibir tertarik ke kanan, mulut berbusa diikuti kelojotan kedua
lengan dan tungkai dengan durasi 60 detik, sebelum dan setelah kejang, pasien
sadar baik, kejang berlangsung 1 kali dan tidak berulang. Saat itu pasien diberi
obat diazepam, dikatakan minum teratur dan tidak pernah kambuh hingga saat ini.
Riwayat nyeri kepala 6 bulan yang lalu, bersifat hilang timbul dan dikatakan
memberat hingga 3 bulan yang lalu. Riwayat penurunan berat badan kurang lebih
10 kg dalam waktu 1 bulan diakui. Keluhan mual muntah, demam disangkal.
BAK dan BAB normal. Riwayat pandangan berkurang disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien pertama kali mengalami kejang pada bulan Oktober 2016 dan
dibawa berobat ke Poli Saraf RSUD Bangli dan mendapat obat serta pemeriksaan
CT Scan Kepala. Dari hasil pemeriksaan CT Scan Kepala, pasien dikatakan
menderita tumor. Pasien mendapat rujukan ke Poli Saraf RSUP Sanglah pada
tanggal 25 Oktober 2016 dan dikonsulkan ke bagian Bedah Saraf untuk
mendapatkan evaluasi lebih lanjut.
Hasil evaluasi bagian Bedah Saraf, pasien dikatakan menderita tumor otak
dan menjalani operasi pada tanggal 14 November 2016 untuk selanjutnya
dilakukan pemeriksaan Patologi Anatomi dan Imunohistokimia.
Riwayat Dalam Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga dan kerabat yang menderita sakit yang sama.
Riwayat penyakit darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung dan ginjal
disangkal.
Riwayat Sosial:
Pasien adalah seorang petani. Pasien memiliki kebiasaan merokok saat
usia muda dan sesekali minum minuman beralkohol.
2.2 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pemeriksaan fisik saat dirawat di ruangan dijumpai penderita tampak sakit
sedang. Kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, pernapasan 20x
per menit, nadi 84x per menit isi cukup dan kuat angkat, suhu aksila 36,5o C.
Status gizi cukup (berat badan 70 kg, tinggi badan 170 cm, body surface area 1.81
m2, indeks massa tubuh 24.2 kg/m
2). Konjungtiva anemis tidak ada. Didapatkan
penonjolan regio frontalis sinistra ditempat bekas operasi. Pada lidah tidak
didapatkan atropi papil ataupun glossitis. Tidak ditemukan pembesaran Kelenjar
Getah Bening (KGB) regio mandibula dan leher. Pada region toraks, dari inspeksi
didapatkan bentuk dada yang simetris, pergerakan dada simetris, dan tidak tampak
adanya retraksi dinding dada. Pada palpasi didapatkan fremitus raba normal pada
kedua lapang paru. Pada perkusi didapatkan sonor pada kedua lapang paru. Pada
auskultasi didapatkan suara nafas vesikuler normal pada kedua lapang paru, tidak
didapatkan suara wheezing ataupun ronkhi. Pada auskultasi jantung didapatkan S1
S2 tunggal reguler tanpa murmur. Tidak didapatkan pembesaran KGB Axilaris.
Pemeriksaan abdomen tidak didapatkan distensi, pada auskultasi suara bising usus
terdengar 12-16x /menit, pembesaran hepar dan lien tidak ada, Tidak didapatkan
pembesaran KGB Inguinal. Pemeriksaan ekstremitas tidak didapatkan edema pada
kedua kaki pasien. Pada pemeriksaan status neurologis didapatkan kesan paresis
Nervus Cranialis VII Dextra Supranuklear, Hemiparesis spastic D Grade 4/3,
tanpa reflek patologis dan vascular cephalgia kronis progresif.
Gambar 1 Foto pasien 7/1/2017 paska reseksi tumor (lingkaran merah)
Pemeriksaan laboratorium saat kontrol pertama di Poli Saraf RSUP
Sanglah tanggal 26 Oktober 2016, didapatkan hemoglobin 15,89 g/dL, hematokrit
50,17%, leukosit 8,58 x 103 µL, Mean Corpuscular Volume (MCV) 90,57 fL,
Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC) 31,66 fL, trombosit
298,50 103 µL, Aspartate Aminotransferase (AST) 27,7 U/L, Alanin
Aminotransferase (ALT) 55,00 U/L, Albumin 4,0 g/dL, Blood Urea Nitrogen
(BUN) 14,0 mg/dL, Kreatinin 0,91 mg/dL, Serum Natrium 136 mmol/L, Serum
Kalium 4,1 mmol/L, Lactic Acid Dehydrogenase (LDH) 671U/L, laju endap darah
75,2 mm/jam, Prothrombin Plasma Time (PPT) 13,1 detik, International
Normalised Ratio (INR) 1,05, Activated Partial Thromboplastin Time (APTT)
28,70 detik, gambaran apus darah tepi dengan kesan normal. Sementara pada
pemeriksaan laboratorium pada awal masuk rawat inap kembali tanggal 7 Januari
2017 antara lain hemoglobin 13,09 g/dL, hematokrit 40,37%, leukosit 8,70 x 103
µL, MCV 89,28 fL, MCHC 32,43g/dL, trombosit 233,10 103 µL, AST 15,2 U/L,
ALT 29,8 U/L, Albumin 3,2 g/dL, BUN 18,0 mg/dL, Kreatinin 0,75 mg/dL,
Serum Natrium 134 mmol/L, Serum Kalium 3,9 mmol/L, LDH 542U/L, laju
endap darah 75,2 mm/jam, PPT 12,3 detik, INR 0,98, APTT 28,5 detik, Protein C-
Reaktif (CRP) 8.21 mg/dL. Untuk pemeriksaan HbsAg dan Anti HCV Non
Reaktif, dan pasien menjalani Provider-Initiated Testing and Counselling (PITC)
dengan hasil Anti HIV Non Reaktif.
Tabel 1 Pemeriksaan laboratorium darah lengkap serial
CBC 30/10
2016
14/11
2016
5/12
2016
16/01
2017
18/01
2017
14/02
2017
16/03
2017
10/4
2017
8/5
2017
WBC 8.58 10.86 6.62 9.92 10.92 7.79 6.93 5.81 6.99
NE% 71.34 94.10 67.18 79.88 84.96 66.63 51.64 53.77 43.32
LY% 16.96 4.52 23.55 11.85 9.59 22.92 33.03 33.93 45.70
MO% 8.53 1.19 6.27 7.88 5.28 8.22 9.74 7.04 9.05
EO% 1.88 0.03 2.19 0.06 0.05 1.53 4.44 4.32 2.25
BA% 1.29 0.15 0.82 0.33 0.13 0.70 1.15 0.95 0.68
NE# 6.12 10.22 4.45 7.92 9.27 5.19 3.58 3.12 2.96
LY# 1.45 0.49 1.56 1.18 1.05 1.79 2.29 1.97 3.20
MO# 0.73 0.13 0.41 0.78 0.58 0.64 0.67 0.41 0.63
EO# 0.16 0.00 0.14 0.01 0.01 0.12 0.31 0.25 0.16
BA# 0.11 0.02 0.05 0.03 0.01 0.05 0.08 0.06 0.05
RBC 5.54 4.91 5.23 4.55 4.14 4.80 4.77 4.71 4.64
HGB 15.89 13.97 14.98 12.99 12.33 14.00 14.70 14.10 13.99
HCT 50.17 44.18 47.59 40.37 36.30 45.49 45.44 46.40 44.87
MCV 90.57 90.07 91.03 88.69 87.70 94.70 95.31 98.44 96.74
MCH 28.68 28.47 28.65 28.53 29.79 29.15 30.83 29.91 30.16
MCHC 31.66 31.61 31.47 32.17 33.97 30.78 32.35 30.38 31.17
RDW 12.82 12.21 13.61 13.90 13.96 15.17 13.58 13.32 11.74
PLT 298.50 337.90 268.30 287.50 321.10 326.30 343.30 332.10 426.80
Tabel 2 Pemeriksaan lactat acid dehydrogenase (LDH) serial
23/11/2016 17/01/2017 16/03/2017 Nilai Rujukan
617 U/L 542 U/L 411 U/L 240-480 U/L
Serum asam laktat dehidrogenase sebagai salah satu faktor prognostik
diukur saat sebelum menjalani operasi tanggal 23 November 2016 yaitu 617 U/L,
kemudian saat sebelum menjalani radioterapi tanggal 17 Januari 2017 542 U/L
dan setelah menjalani radioterapi tanggal 16 Maret 2017 terdapat perbaikan yaitu
411 U/L.
Gambar 2 Foto Thorax pasien 17/01/2017
Dari pemeriksaan Foto Thorax AP tanggal 17 Januari 2017 didapatkan
kesan cor dan pulmo tidak tampak kelainan, saat ini tak tampak proses metastase
pada paru dan tulang. Sedangkan dari hasil CT-Scan Kepala tanggal 24 Oktober
2016 sebelum operasi reseksi didapatkan kesan tumor cerebri ukuran
2,6cmx1,8cm, suspect tumor metastase, diagnosa banding astrocytoma dan
sinusitis maxilaris dan ethmoidalis kiri. Hasil kontrol paska operasi tanggal 13
Januari 2017 MRI Kepala Axial didapatkan kesan massa solid cerebri ukuran
10,93cmx49,62cm dengan tentackle edema luas disekitarnya di temporo-parietal
kiri, menyebabkan midline shift ke kanan sejauh 1.94 cm dan bulging/herniasi ke
subcalvaria kiri, sesuai dengan gambaran massa cerebri primer yang residif,
diagnosa banding Limfoma cerebri.
Gambar 3 a) CT Scan Kepala 24/10/2016 di RSUD Bangli pre operasi;
b) MRI Kepala Axial 13/01/2017 di RSUP Sanglah paska operasi
Sementara itu, hasil USG Abdomen Atas Bawah tanggal 18 Januari 2017
antara lain Hepatosplenomegali, Nephritis kronis bilateral, cystitis, dan tak
tampak nodul pada hepar dan paraaorta.
Gambar 4 USG Abdomen Atas Bawah 18/01/2017
a b
Dari hasil kontrol Poli Saraf RSUP Sanglah, pasien kemudian dirujuk ke
Poli Bedah Sarah untuk penegakan diagnosis dan penanganan selanjutnya. Pada
tanggal 24 November 2016, pasien diputuskan menjalani operasi reseksi tumor
cerebri oleh sejawat Bedah Saraf dan dilakukan pemeriksaan patologi anatomi dan
imunohistokimia dalam rangka penegakkan diagnosis.
Dari hasil biopsi patologi anatomi didapatkan Malignant Round Cell
Tumor diagnosa banding Lymphoma Maligna. Sedangkan dari hasil pemeriksaan
imunohistokimia didapatkan Diffuse Large B-cell Lymphoma (DLBCL), CD 20
positif, subtipe non germinal center B-cell-like phenotype (non GCB).
Berdasarkan pemeriksaan histopatologi ditunjang pemeriksaan imunohistokimia
primer penyakit berasal dari susunan saraf pusat (primary central nervous system
lymphomas) cenderung tipe Diffuse Large B - Cell Lymphoma.
Gambar 5 Hasil Patologi Anatomi biopsi tumor 14/11/2016
Gambar 6 Hasil imunohistokimia jaringan biopsi 29/12/2016
Selama perawatan di RSUP Sanglah, pasien mendapatkan terapi awal
Infus NaCL 0,9% 20 tetes per menit, injeksi Dexamethason 10 mg tiap 6 jam
intravena, injeksi Pantoprazole 40 mg tiap 12 jam intravena, Paracetamol 1000
mg tiap 8 jam intraoral, Phenytoin 200 mg tiap 12 jam intraoral, Asam folat 2 mg
tiap 12 jam intraoral. Divisi Hematologi Onkologi Medik SMF Penyakit Dalam
tidak merekomendasikan pemberian kemoterapi dengan pertimbangan pemberian
dosis obat kemoterapi High-Dose Methotrexate dalam dosis yang berbahaya
(lethal dose) sehingga dipilih modalitas terapi radioterapi sebanyak 20 siklus
dengan dosis 40 Gy.
Gambar 7 MRI Kepala post radioterapi dan kemoterapi temozolomide
seri ke-3 (11/07/2017)
Pada saat kontrol terapi berikutnya di Poli Bedah Saraf, pasien diputuskan
mendapatkan kemoterapi adjuvant regimen Temodal™ sebanyak 6 siklus dengan
dosis 150mg/BSA (260 mg) hari I – V (interval 28 hari). Pada tanggal 11 Juli
2017 dilakukan pemeriksaan MRI Kepala paska pemberian radioterapi dan
kemoterapi temozolomide siklus ke-3 dengan kesimpulan sesuai gambaran residif
massa ukuran sekitar 2,5cmx3,4cmx3,1cm di lobus fronto temporal kiri, disertai
tanda-tanda subfalcine dan uncal herniasi.
2.3 Pembahasan
Diffuse Large B-Cell Lymphoma adalah tipe limfoma non-Hodgkin susunan
saraf pusat yang sering dijumpai pada kasus tumor otak dengan kecurigaan
limfoma. Secara klinis, penderita limfoma non-Hodgkin susunan saraf pusat
menunjukkan kelainan neurologis fokal dan peningkatan tekanan intrakranial,
akan tetapi ada pasien lansia dapat menunjukkan perubahan perilaku dan delirium.
CT-Scan dan MRI Kepala secara khas menunjukkan lesi tunggal atau multiple
periventricular yang homogen12
. Diagnosa definitif berdasarkan biopsi
pemeriksaan patologi anatomi dan immunohistokimia, dimana secara histologi
jenis tumor limfoma non-Hodgkin sususan saraf pusat adalah diffuse large B cell
lymphoma, sementara dari pemeriksaan immunohistokimia dilakukan untuk
menentukan subtipe varian limfoma antara lain CD 45 (antigen leukosit pada B
cell dan T cell), CD 20 (B cell), CD 3 (T cell)6. Pada pasien ini, menunjukkan
tanda defisit neurologis fokal berupa hemispastik, peningkatan tekanan
intrakranial berupa kejang, dan delirium sehingga menjalani operasi dekompresi
dan reseksi biopsi untuk penegakkan diagnosa dengan kesimpulan diffuse large B
cell lymphoma, CD 20, subtipe non germinal center B-cell fenotype.
Angka kejadian limfoma non-Hodgkin susunan saraf pusat pada pasien
immunokompeten terbilang jarang yakni sekitar 5%12
. Penyebab jarangnya kasus
limfoma non-Hodgkin susunan saraf pusat antara lain kurangnya perhatian
penderita/klinisi terhadap gejala klinis yang tidak spesifik, selain itu keterbatasan
fasilitas penunjang diagnostik13
. Karena bersifat jarang, sehingga terjadi
gap/kesenjangan antara pengetahuan perilaku tumor, penegakkan diagnosis dan
tatalaksana6. Limfoma Non-Hodgkin Susunan Saraf Pusat merupakan penyakit
sangat agresif dengan prognosa yang buruk, sehingga kecepatan penegakkan
diagnosa menentukan keberhasilan penanganan14
. Studi oleh Haldorsen dkk
(2005) mengungkap bahwa waktu rata-rata penegakkan diagnosis sekitar 3 bulan
pada kasus non-AIDS dan 2 bulan pada kasus AIDS dari awal gejala klinis16
.
Kondisi immunodefisiensi menjadi faktor risiko yang penting, walaupun
mekanismenya belum diketahui15
.
Walaupun modalitas terapi pembedahan masih diperdebatkan, studi kasus
oleh Siasios dkk (2015) menunjukkan pendekatan modalitas terapi pembedahan
pada kasus lesi tunggal limfoma non-Hodgkin susunan saraf pusat dapat
dipertimbangkan sebagai bagian dari manajemen18
, akan tetapi modalitas
pembedahan hanya dibatasi dengan tujuan biopsi stereotaktis karena sifat tumor
yang mudah menyebar26
. Tujuan pembedahan pasien ini adalah untuk
menurunkan tekanan tinggi intrakranial (dekompresi) serta biopsi stereotaktis
(reseksi). Setelah pembedahan, pasien ini mengalami perbaikan gejala klinis
tanpa adanya komplikasi neurologis.
Semenjak tahun 1980, induksi kemoterapi dengan High-Dose Methotrexate
(HD-MTX) telah menjadi tulang punggung terapi limfoma non-Hodgkin susunan
saraf pusat karena sifat farmakologisnya yang lipophilic sehingga dapat
menembus sawar darah otak (Blood Brain Barier)6. Pada kasus ini, pasien tidak
direkomendasikan mendapat kemoterapi HD-MTX dengan pertimbangan bahwa
penggunaan dosis tinggi yang digunakan dalam regimen kemoterapi mengandung
resiko toksisitas. Modalitas terapi akhirnya dipilih radioterapi. Studi klinis
prospektif oleh Radiation Therapy Oncology Group (RTOG) membuktikan bahwa
Whole Brain Radiotherapy (WBRT) dengan dosis 40 Gy ditambah booster fokal
20 Gy sebagai terapi tunggal efektif menurunkan ukuran tumor (62%) dan
memperpanjang harapan hidup dengan median survival sekitar 1 tahun20
.
Berdasarkan fakta tersebut, modalitas radioterapi sebagai terapi tunggal dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan kontraindikasi regimen kemoterapi. Dengan
memperhatikan efek neurotoksisitas yang akan timbul. Kombinasi radioterapi
dengan kemoterapi mempunyai harapan yang lebih baik. Studi Ferreri dkk (2009)
menunjukkan polikemoterapi (high-dose methotrexate dan cytarabine) dengan
radioterapi meningkatkan overall respon rate dari 40% menjadi 69% dan
prolonged progression-free survival dari 3 bulan menjadi 18 bulan27
.
Temozolomide (Temodal™) adalah agen kemoterapi dengan bioavaibilitas
oral tinggi yang dapat menembus sawar darah otak dan efektif pada kasus glioma,
leukemia, melanoma dan limfoma14
. The National Comprehensive Cancer
Network (NCCN) telah merekomendasikan penggunaan temozolomide pada kasus
Limfoma Non-Hodgkin Susunan Saraf Pusat yang refrakter21,22
. Pasien ini
mendapatkan radioterapi ditambah kemoterapi adjuvant Temodal™ sebanyak 6
siklus dengan dosis 250 mg selama 5 hari dengan interval 28 hari. Efektifitas dan
potensi toksisitas yang rendah temozolomide terhadap keganasan primer susunan
saraf pusat menjadikannya regimen kemoterapi tunggal atau dapat
dikombinasikan dengan radioterapi23
.
Gambar 8 Mekanisme aksi antitumor prodrug temozolomide25
Penambahan temozolomide terhadap regimen methotrexate sebagai
kemoterapi induksi menunjukkan respon komplit 55% pada pasien usia lanjut
yang belum diterapi dan waktu rerata bertahan hidup 35 bulan24
. Sebagai agen
kemoterapi, temozolomide mempunyai profil keamanan yang baik. Efek samping
yang paling sering adalah nausea dan muntah ringan hingga sedang yang dapat
diatasi dengan antiemetik. Adapun kemotoksisitas lainnya yang sering terjadi
adalah myelosupresi (grade 3 dan 4 trombositopenia dan atau neutropenia), biasa
terjadi pada seri pertama hingga ketiga dari siklus 28 hari24
.
Setelah menjalani radioterapi sebanyak 20 seri dan kemoterapi adjuvant
temozolomide, hasil MRI Kepala dengan atau tanpa kontras menunjukkan
pengurangan ukuran massa tumor ukuran sekitar 2,5cmx3,4cmx3,1cm di lobus
DNA termetilasi mengakibatkan kesalahan pengkodean gugus thymine
sehingga memicu proses apoptosis sel kanker
Temozolomide
Kation methyl diazonium
fronto temporal kiri. Hal ini menunjukkan respon positif modalitas radioterapi
yang digunakan pada awal tatalaksana. Walaupun penggunaan radioterapi dapat
secara signifikan menunjukkan pengurangan ukuran tumor, yang perlu
diperhatikan adalah kemungkinan munculnya relaps tumor selain dampak
neurotoksisitas28
.
BAB III
RINGKASAN
Telah dilaporkan kasus pasien laki-laki dengan Limfoma Susunan Saraf
Pusat tipe Diffuse Large B-cell Lymphoma yang mendapatkan modalitas terapi
radioterapi sebanyak 20 siklus dan kemoterapi adjuvant temozolomide
(Temodal™) 250 mg selama 5 hari dengan interval 28 hari sebanyak 6 siklus.
Melalui beberapa studi uji klinis, temozolomide tetap menjadi pilihan modalitas
terapi yang dapat ditoleransi dengan baik, bukan hanya berfungsi sebagai
monoterapi atau kemoterapi adjuvant (radioterapi atau kemoterapi); terapi lini
pertama atau terapi lini ke sekian; penggunaan sebagai terapi induksi, konsolidasi
ataupun maintenance therapy; tetapi cara pemberian yang intra oral secara
signifikan meningkatkan kualitas hidup dan memungkinkan untuk perawatan di
rumah (home care). Bagaimanapun juga, banyak dari uji klinis tersebut bersifat
retrospective non-randomised, non-controlled dan mempunyai jumlah sampel
yang kecil sehingga masih memerlukan penelitian dan uji klinis dengan jumlah
sampel yang besar untuk bisa digunakan sebagai standar terapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mufti S, Baeesa SS, Al-Magrahbi J.A. Primary intracranial lymphomas. Asian
J Neurosurgery. 2016; 11 (3): 232-239.
2. Bhagavathi S, Wilson J.D. Primary Central Nervous System Lymphoma. Arch
Pathol Lab Med. 2008; 132: 1830–1834.
3. Rinaldi I, Hardjolukito ESR, Prajogi GB, Giselvania A, Nuhonni SA, Indriani,
et al. Panduan Penatalaksanaan Limfoma Non-Hodgkin. Komite
Penanggulangan Kanker Nasional. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. 2015; 1: 1-4.
4. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Data Riset Kesehatan
Dasar tahun 2013. Badan Litbangkes, Kemenkes RI dan Data Penduduk
Sasaran. 2015; 3-5.
5. Villano JL, Koshy M, Shaikh H, Dolecek TA, McCarthy BJ. Age, gender and
racial differences and survival in primary CNS lymphoma. Br J Cancer. 2011;
105 (9): 1414 – 1418. Dalam Singh P, Kumar V, Chandra AB. Primary CNS
lymphoma: current diagnosis and management. J Cancer Prev Curr Res. 2016;
4 (3): 1-6.
6. Singh P, Kumar V, Chandra AB. Primary CNS lymphoma: current diagnosis
and management. J Cancer Prev Curr Res. 2016; 4(3): 1-6.
7. Ferreri AJ, Marturano E. Primary cns lymphoma. Best Pract Res Clin
Haematol. 2012; 25: 119 – 130.
8. Rubenstein J, Ferreri AJM, Pittaluga S. Primary lymphoma of the central
nervous system: epidemiology, pathology and current approaches to diagnosis,
prognosis and treatment. Leuk Lymphoma. 2008; 49 (01): 43 – 51.
9. Cingolani A, Gastaldi R, Fassone L, Pierconti F, Goancola ML. Epstein-Barr
virus infection is predictive of CNS involvement in systemic AIDS-related
non-Hodgkin’s lymphomas. J Clin Oncol. 2000; 18(19): 3325-3330.
10. Biggar RJ, Engels EA, Ly S. Survival after cancer diagnosis in persons with
AIDS. J Acqiurr Immune Defic Syndr. 2005; 39: 293–299. Dalam Rubenstein
J, Ferreri AJM, Pittaluga S. Primary lymphoma of the central nervous system:
epidemiology, pathology and current approaches to diagnosis, prognosis and
treatment. Leuk Lymphoma. 2008; 49 (01): 43 – 51.
11. Surawicz TS, McCarthy BJ, Kupelian V, Jukich PJ, Bruner JM, Davis FG.
Descriptive epidemiology of primary brain tumor and CNS tumors: results
from the Central Brain Tumor Registry of the United States, 1990 – 1994.
Neuro Oncol. 1999(1): 14 – 25. Dalam Rubenstein J, Ferreri AJM, Pittaluga
S. Primary lymphoma of the central nervous system: epidemiology,
pathology and current approaches to diagnosis, prognosis and treatment. Leuk
Lymphoma. 2008; 49 (01): 43 – 51.
12. Rio MSD, Rousseau A, Soussain C, Ricard D, Hoang-Xuan K. Primary cns
lymphoma in immunocompetent patients. The Oncologist. 2009; 14: 526–
539.
13. Baraniskin A, Deckert M, Schulte-Altedorneburg G, Schlegel U, Schroers R.
Current strategies in the diagnosis of diffuse large B-cell lymphoma of the
central nervous system. British Journal of Haematology. 2011; 156: 421–432.
14. Chen D, Gu W, Li W, Liu X, Yang X. Primary diffuse large B-cell lymphoma
of the central nervous system: a case report and literature review. Oncology
Letters 2016; 11: 3085-3090.
15. Osowiecki M, Ostroswka B, Walewski J. Primary central nervous system
lymphoma — a review of current therapeutic strategies. Oncol Clin Pract.
2015; 11 (6): 310–316.
16. Haldorsen IS, Espeland A, Larsen JL, Mella O. Diagnostic delay in primary
central nervous system lymphoma. Acta Oncologica 2005; 44: 728–734.
17. Schlegel U. Primary CNS lymphoma. Therapeutic Advances in Neurological
Disorders 2009; 2: 93–104.
18. Siasios I, Fotiadoua A, Fotakopoulosa G, Ioannoub M, Anagnostopoulosa V,
Fountasa K. Primary Diffuse Large B-Cell Lymphoma of Central Nervous
System: Is Still Surgery an Unorthodox Treatment? J Clin Med Res 2015;
7(12): 1007-1012.
19. Sibhoan Ng, Rosenthal MA, Ashley D, Cher L. High-dose methotrexate for
primary cns lymphoma for the elderly. Neuro-Oncology 2000; 40-44.
20. Milgrom SA, Yahalom J. The role of radiation therapy in the management of
primary central nervous system lymphoma. Leukemia & Lymphoma 2014;
1–8.
21. Murakami M, Fujimaki T, Asano S, Nakaguchi H, Yamada SM, Hoya K, et
al. Combination therapy with rituximab and temozolomide for recurrent and
refractory primary central nervous system lymphoma. Yonsei Med J 2011;
52: 1031-1034.
22. Makino K, Nakamura H, Hide T, Kuratsu J. Salvage treatment with
temozolomide in refractory or relapsed primary central nervous system
lymphoma and assessment of the MGMT status. J Neurooncol 2012; 106:
155-160.
23. Wong SF, Gan HK, Cher L. A single centre study of the treatment of relapsed
primary central nervous system lymphoma (limfoma non-hodgkin susunan
saraf pusat) with single agent temozolomide. Journal of Clinical
Neuroscience 2012; 19: 1501 – 1505.
24. Trinh VA, Patel SP, Hwu WJ. The safety of temozolomide in the treatment of
malignancies. Expert Opin. Drug Saf 2009; 8(4): 493 – 499.
25. Babu NJ, Sanphui P, Nath NK, Khandavilli UBR. Temozolomide
hydrochloride dehydrate. Cryst Eng Comm 2013; 15: 666 – 671.
26. Grommes C dan DeAngelis LM. Primary CNS lymphoma. J Clin Oncol
2017; 35: 1-9.
27. Ferreri AJ, Reni M, Foppoli M. High-dose cytarabine plus high-dose
methotrexate versus highdose methotrexate alone in patients with primary
CNS lymphoma: A randomised phase 2 trial. Lancet 2009; 374: 1512-1520.
28. Minniti G, Filippi AR, Osti MF, Ricardi U. Radiation therapy for older
patients with brain tumors. Radiation Oncology 2017; 12 (101): 1-14.