Upload
melvin-scott
View
287
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Presentasi Kasus Bedah Anak
SEORANG BAYI LAKI-LAKI 2,5 BULAN DENGAN
SUSPECT MEGACOLON CONGENITAL
Disusun Oleh:
Pupus Ledysta
G99141056
Pembimbing:
dr. Suwardi, Sp.B, Sp.BA
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2014
BAB I
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : An. A
Umur : 2.5 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Sambi, Boyolali
No. RM : 01261418
B. Keluhan Utama
Tidak dapat BAB
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan tidak dapat BAB sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien sering
mengalami sulit BAB dan jarang. Pasien dibawa ke Bidan setiap kali mengalami
kesulitan BAB dan diberikan obat melalui dubur. Pasien lahir dari ibu G2P2A0
pervaginam dengan berat badan lahir : 3100 gram.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
E. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dari ibu G2P2A0 pervaginam. Saat lahir menangis, ketuban jernih,
tidak berbau.
Usia kehamilan : 35 minggu
Berat badan lahir : 3100 gram
F. Riwayat Kehamilan dan Prenatal
Riwayat ANC : rutin di bidan setempat
Riwayat sakit saat hamil : disangkal
Riwayat konsumsi jamu saat hamil : disangkal
Riwayat konsumsi obat bebas saat hamil: disangkal
G. Riwayat Imunisasi
Pasien telah mendapatkan imunisasi DPT dan Hepatitis B.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan umum : compos mentis, pasien tampak baik, gizi kesan baik
BB : 5300 gram
TB : 50,7 cm
B. Vital sign :
S : 36,5 C per aksilar
N : 128 kali per menit, regular, simetris, isi dan tegangan cukup
RR : 32 x/menit
C. Kepala : mesocephal
D. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), cekung (-/-), pupil isokor
(2cm/2cm)
E. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri tragus (-/-).
F. Hidung : bentuk simetris, nasal conca hipertrofi (-/-), napas cuping hidung (-), sekret
(-), keluar darah (-).
G. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), faring hiperemis (-/-), tonsila palatine
(T1/T1), lidah kotor (-), jejas (-).
H. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).
I. Thorak : bentuk normochest, retraksi intercosta (-/-), ketertinggalan gerak (-).
J. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : bunyi jantung I-II intenstas normal, regular, bising (-).
K. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-).
L. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, darm contour (-), darm steifung (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, metalic sound (-)
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, massa (-), nyeri tekan (-), defance muscular (-)
M. Genitourinaria : BAK pada pangkal penis, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK
(-).
N. Muskuloskletal: nyeri pada anggota gerak(-) , kelemahan pada anggota gerak(-),
ROM terbatas pada anggota gerak(-)
O. Ekstremitas
Akral dingin Oedema
- -
- -
P. Status Lokalis
Rectal toucher : Tonus musculus sphincter ani dalam batas normal, mukosa licin,
massa (-), sarung tangan lendir darah (-), feces (+) konsistensi
lembek.
- -
- -
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Foto Baby Gram
Foto Abdomen:Tampak caliber rectum kesan dilatasi dengan fecal material prominentBayangan hepar dan lien tidak tampak membesarContour ginjal kanan dan kiri tidak tampak jelasTidak tampak bayangan radioopaque sepanjang tractus urinariusPsoas shadow kanan kiri simetrisCorpus, pedicle dan spatium intervertebralis tampak baik
Kesimpulan:Suspect megacolon
B. USG Abdomen
USG Abdomen (Hepar), lien, pancreas, ginjalHepar : Ukuran normal, intensitas echoparenkim normal, VH/VP normal,
sudut tajam, tepi regular, IHBD/EHBD normalGall bladder : ukuran normal,n intensitas echoparenkim normal, tak tampak
batu/kista/massaLien : Ukuran normal, intensitas echoparenkim normal, tak tampak
kista/massaPankreas : sulit dievaluasiGinjal kanan : ukuran normal, intensitas echoparenkim normal, batas sinus-
korteks tegas, tak tampak ectasis PCS, tak tampak batu/kista/massaGinjal kiri : ukuran normal, intensitas echoparenkim normal, batas sinus-
korteks tegas, tak tampak ectasis PCS, tak tampak batu/kista/massaBladder : terisi cukup urine, tak tampak batu/kista/massaTak tampak limfadenopati paraaortaRectum : diameter transversal di rectum 5.98 mm, fecal material prominent
di rectum (+)
KesimpulanFecal material prominent di rectum, adanya megacolon belum dapat disingkirkanHepar/Gall bladder/lien/Ren kanan-kiri/Bladder normal
C. Pemeriksaan Laboratorium Darah
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 8.6 g/dL 9,4 – 13,0
Hematokrit 27 % 28 – 42
Leukosit 6,6 Ribu/µl 5,0 – 19,5
Trombosit 372 Ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 3,35 Juta/µl 3,10 – 4,30
Indeks Eritrosit
MCV 81,3 /um 80,0 – 96,0
MCH 25,7 pg 28,0 – 33,0
MCHC 31,5 g/ dl 33,0 – 36,0
RDW 12,7 % 11,6 – 14,6
HDW 3,8 Fl 2,2 – 3,2
MPV 6,8 % 7,2 – 11,1
Hitung Jenis
Eosinofil 2,00 % 0,00 – 4,00
Basofil 0,00 % 0,00 – 1,00
Netrolfil 29,80 % 18,00 – 74,00
Limfosit 59,70 % 60,00 – 66,00
Monosit 6,50 % 0,00 – 6,00
LUC/AMC 1,90 % _
Kimia Klinik
Creatinin 0,2 mg/ dl 0,2 – 0,4
Ureum 11 mg/ dl < 42
IV. ASSESMENT
Suspect megacolon congenital
V. PLANNING
Colon in loop dengan barium enema
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Megacolon kongenital adalah suatu penyakit akibat obstruksi fungsional yang
berupa aganglionis usus, dimulai dari sfingter anal internal ke arah proximal dengan
panjang segmen tertentu, setidak –tidaknya melibatkan sebagian rektum. Megacolon
kongenital ditandai dengan tidak adanya sel ganglion di pleksus auerbach dan meissner.1
B. Etiologi
Ada berbagai teori penyebab dari megacolon kongenital, dari berbagai penyebab
tersebut yang banyak dianut adalah teori karena kegagalan sel-sel krista neuralis untuk
bermigrasi ke dalam dinding suatu bagian saluran cerna bagian bawah termasuk kolon
dan rektum. Akibatnya tidak ada ganglion parasimpatis (aganglion) di daerah tersebut.
sehingga menyebabkan peristaltik usus
menghilang sehingga profulsi feses dalam lumen terlambat serta dapat
menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal
sehingga timbul gejala obstruktif usus akut, atau kronis tergantung panjang usus yang
mengalami aganglion.3,4
C. Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada kolon distal dan
smegacolon kongenitalincter anus interna sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian
yang abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang
normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya.1 Dasar patofisiologi dari
megacolon kongenital adalah tidak adanya gelombang propulsif dan abnormalitas atau
hilangnya relaksasi dari smegacolon kongenitalincter anus internus yang disebabkan
aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus yang terkena.2,3
Kerusakan yang terjadi pada Megacolon kongenital tidak terdapatnya ganglion
(aganglion) pada kolon menyebabkan peristaltik usus menghilang sehingga profulsi feses
dalam lumen kolon terlambat yang menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan
dinding kolon di bagian proksimal daerah aganglionik sebagai akibat usaha melewati
daerah obstruksi dibawahnya. Keadaan ini akan menimbulkan gejala obstruksi usus akut,
atau kronis yang tergantung panjang usus yang mengalami aganglion. Obstruksi kronis
menimbulkan distensi usus sehingga dinding usus mengalami iskemia yang disertai iritasi
feses sehingga menyebabkan terjadinya invasi bakteri. Selanjutnya dapat terjadi nekrosis,
ulkus mukosa kolon, pneumomatosis, sampai perforasi kolon. Keadaan ini menimbulkan
gejala enterokolitis dari ringan sampai berat. Bahkan terjadi sepsis akibat dehidrasi dan
kehilangan cairan rubuh yang berlebihan.2,3,4
D. Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada
neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya pengeluaran
mekonium dalam waktu 24 jam setelah lahir. Gejala lain yang biasanya terdapat
adalah: distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding, vomiting. Apabila
penyakit ini terjadi pada neonatus yang berusia lebih tua maka akan didapatkan
kegagalan pertumbuhan. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan adalah
didapatkan periode konstipasi pada neonatus yang diikuti periode diare yang massif,
kita harus mencurigai adanya enterokolitis. Faktor genetik adalah faktor yang harus
diperhatikan pada semua kasus. 2,4
2. Gejala klinik
Pada bayi yang baru lahir manifestasi megacolon kongenital yang khas
biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan dengan keterlambatan pengeluaran
mekonium pertama, selanjutnya diikuti dengan distensi abdomen, dan muntah hijau
atau fekal. Pada lebih dari 90% bayi normal, mekonium pertama keluar dalamm usia
24 jam pertama, namun pada lebih dari 90% kasus megacolon kongenital mekonium
keluar setelah 24 jam. Mekonium normal berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket
dan dalam jumlah cukup. Distensi abdomen merupakan gejala penting lainnya, yang
merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah. Tidak keluarnya mekonium pada
24 jam pertama kehidupan merupakan tanda yang signifikan mengarah pada diagnosis
megacolon kongenital. Pada beberapa bayi yang baru lahir dapat timbul diare yang
menunjukkan adanya enterokolitis.1,4
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami kesulitan
makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi. megacolon
kongenital dapat juga menunjukkan gejala lain seperti adanya fekal impaction,
demam, diare yang menunjukkan adanya tanda-tanda enterokolitis, malnutrisi, dan
gagal tumbuh kembang. 1,4 Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara
pasien dan sangat individual untuk setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala
obstruksi intestinal komplit dan lainnya mengalami beberapa gejala ringan pada
minggu atau bulan pertama kehidupan. 1
Beberapa anak yang lebih besar mengalami konstipasi menetap, mengalami
perubahan pada pola makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan padat.2,5
Pasien didiagnosis dengan megacolon kongenital karena adanya riwayat konstipasi,
distensi abdomen dan gelombang peristaltik dapat terlihat, sering dengan
enterokolitis, dan dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala dapat hilang namun
beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen. Pada pemeriksaan colok dubur
smegacolon kongenitalincter ani teraba hipertonus dan rektum biasanya kosong.
Tanda-tanda edema, bercak- bercak kemerahan khusus di sekitar umbilikus,
punggung, dan disekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi peritonitis 1,2,4
Umumnya diare ditemukan pada bayi dengan megacolon kongenital yang
berumur kurang dari 3 bulan. Bila ditemukan harus dipikirkan gejala enterokolitis
yang merupakan komplikasi serius dari aganglionosis.2 Enterokolitis terjadi pada 12-
58% pada pasien dengan megacolon kongenital. Hal ini karena stasis feses
menyebabkan iskemia mukosal dan invasi bakteri juga translokasi. Selain itu disertai
perubahan komponen musim dan pertahanan mukosa, perubahan sel neuroendokrin,
meningkatnya aktivitas prostaglandin E1, infeksi oleh Clostridium difficile atau
Rotavirus. Patogenesisnya masih belum jelas dan beberapa pasien masih bergejala
walaupun telah dilakukan kolostomy.
Enterokolitis yang berat dapat berupa toxic megacolon yang mengancam jiwa.
Enterokolitis ditandai dengan demam, muntah berisi empedu, diare yang menyemprot,
distensi abdominal, dehidrasi dan syok. Ulserasi dan nekrosis iskemik pada mukosa
yang berganglion dapat mengakibatkan sepsis dan perforasi. Hal ini harus
dipertimbangkan pada semua anak dengan enterocolisis necrotican. Perforasi spontan
terjadi pada 3% pasien dengan megacolon kongenital. Ada hubungan erat antara
panjang colon yang aganglion dengan perforasi.3 Diagnosis dini megacolon
kongenital dan penanganan yang tepat sebelum terjadinya komplikasi merupakan hal
yang penting dalam mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit ini.2
3. Pemeriksaan penunjang
Diagnostik pada megacolon kongenital dapat ditegakkan dengan beberapa
pemeriksaan penunjang :
a. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya barium enema merupakan
pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi megacolon kongenital secara dini pada
neonatus. Keberhasilaan pemerikasaan radiologi pasien neonatus sangat
bergantung pada kesadaran dan pengalaman spesialis radiologi pada penyakit ini,
disamping teknik yang baik dalam memperlihatkan tanda-tanda yang diperlukan
untuk penegakkan diagnosis.1
Foto polos abdomen
Megacolon kongenital pada neonatus cenderung menampilkan
gambaran obstruksi usus letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa
udara. Gambaran obstruksi usus letak rendah dapat ditemukan penyakit lain
dengan sindrom obstruksi usus letak rendah, seperti atresia ileum, sindrom
sumbatan mekonium, atau sepsis, termasuk diantaranya enterokolitis
nekrotikans neonatal. Foto polos abdomen dapat menyingkirkan diagnosis lain
seperti peritonitis intrauterine ataupun perforasi gaster. Pada foto polos
abdomen neonatus, distensi usus halus dan distensi usus besar tidak selalu
mudah dibedakan. Pada pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan
gambaran masa feses lebih jelas dapat terlihat.1 Selain itu, gambaran foto
polos juga menunjukan distensi usus karena adanya gas.2 Enterokolitis pada
megacolon kongenital dapat didiagnosis dengan foto polos abdomen yang
ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon yang berdilatasi yang
disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase dari dinding intestinal. Perubahan
tersebut dapat terlihat jelas dengan barium enema.1
Barium enema
Pemeriksaan barium enema harus dikerjakan pada neonatus dengan
keterlambatan evakuasi mekonium yang disertai dengan distensi abdomen dan
muntah hijau, meskipun dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-
tanda obstruksi usus telah mereda atau menghilang. Tanda klasik khas untuk
megacolon kongenital adalah segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang
segmen tertentu, daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi
(zona transisi), dan segmen dilatasi.1,2 Dalam literatur dikatakan bahwa
pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 65-80% dan spesifisitas 65-100%.8
Hal terpenting dalam foto barium enema adalah terlihatnya zona transisi. Zona
transisi mempunyai 3 jenis gambaran yang bisa ditemukan pada foto barium
enema yaitu
i. Abrupt, perubahan mendadak
ii. Cone, berbentuk seperti corong atau kerucut
iii. Funnel, bentuk seperti cerobong.1,2
Selain itu tanda adanya enterokolitis dapat juga dilihat pada foto
barium enema dengan gambaran permukaan mukosa yang tidak teratur. Juga
terlihat gambar garis-garis lipatan melintang, khususnya bila larutan barium
mengisi lumen kolon yang berada dalam keadaan kosong.1 Pemerikasaan
barium enema tidak direkomendasikan pada pasien yang terkena enterokolitis
karena adanya resiko perforasi dinding kolon.2,4,9
Foto retensi barium
Retensi barium 24-48 jam setelah pengambilan foto barium enema
merupakan hal yang penting pada megacolon kongenital, khusunya pada masa
neonatus. Foto retensi barium dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan
foto polos abdomen untuk melihat retensi barium. Gambaran yang terlihat
yaitu barium membaur dengan feses ke arah proksimal di dalam kolon
berganglion normal.
Retensi barium dengan obtipasi kronik yang bukan disebabkan
megacolon kongenital terlihat semakin ke distal, menggumpal di daerah
rektum dan sigmoid. Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto enema
barium ataupun yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda
megacolon kongenital.1 Apabila terdapat jumlah retensi barium yang cukup
signifikan di kolon, hal ini juga meningkatkan kecurigaan megacolon
kongenital walaupun zona transisi tidak terlihat.2
b. Anorectal manometry
Pemeriksaan anorektal manometri dilakukan pertama kali oleh Swenson
pada tahun 1949 dengan memasukkan balón kecil dengan kedalaman yang
berbeda- beda dalam rektum dan kolon.1 Alat ini melakukan pemeriksaan objektif
terhadap fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spingter
anorektal. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang
sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem
pencatat seperti poligramegacolon kongenital atau komputer.7
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi megacolon
kongenital adalah :
Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi
Tidak didapati kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus
aganglionik; Motilitas usus normal digantikan oleh kontraksi yang tidak
terkoordinasi dengan intensitas dan kurun waktu yang berbeda-beda.
Refleks inhibisi antara rektum dan sfingter anal internal tidak berkembang.
Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat
desakan feses. Tidak dijumpai relaksasi spontan.1
Dalam prakteknya pemeriksaan anorektal manometri tersebut dikerjakan
apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis meragukan, misalnya
pada kasus megacolon kongenital ultra pendek. Laporan positif palsu hasil
pemeriksaan manometri berkisar antara 0-62% dan hasil negatif palsu 0-24%. 1
Pada literature disbutkan bahwa sensitivitas manometri ini sekitar 75-100% dan
spesifisitasnya 85-95 %.8 Hal serupa hampir tidak jauh beda dengan hasil
penelitian lain yang menyatakan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas 75% dan
spesifisitas sebesar 95%.7 Perlu diingat bahwa refleks anorektal pada neonatus
prematur atau neonatus aterm belum berkembang sempurna sebelum berusia 12
hari.1
Keuntungan metode pemeriksaan anorektal manometri adalah aman, tidak
invasif dan dapat segera dilakukan sehingga pasien bisa langsung pulang karena
tidak dilakukan anestesi umum.1
c. Pemeriksaan Histopatologi
Standar diagnosis untuk megacolon kongenital adalah pemeriksaan
histopatologi yang dapat dikerjakan dengan open surgery atau biopsi isap rektum.
Pada kolon yang normal menampilkan adanya sel ganglion pada pleksus mienterik
(Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Diagnosis histopatologi
megacolon kongenital didasarkan atas absennya sel ganglion pada kedua pleksus
tersebut. Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut saraf
(parasimpatis).
Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi apabila menggunakan
pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak
ditemukan pada serabut saraf Pada beberapa pusat pediatric dengan adanya
peningkatan asetilkolinesterase di mukosa dan submukosa disertai dengan
manifestasi gejala yang khas dan adanya foto barium enema yang menunjukkan
adanya zona transisi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis megacolon
congenital.
Hanya saja pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase memerlukan
ahli patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat
memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan.
Disamping memakai pengecatan asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan
enolase spesifik neuron dan. pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-
antiperoksidase yang dapat memudahkan penegakan diagnosis megacolon
kongenital.1,8 Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi
dengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran
pleksus mienterik.
Secara teknis, prosedur ini relatif sulit dilakukan sebab memerlukan
anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan ikat
yang mempersulit tindakan bedah definitif selanjurnya.1 Disamping itu juga teknik
ini dapat menyebabkan komplikasi seperti perforasi, perdarahan rektum, dan
infeksi.9 Noblett tahun 1969 mempelopori teknik biopsi isap dengan
menggunakan alat khusus, untuk mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa
sehingga dapat melihat keberadaan pleksus Meissner. Metode ini dapat dikerjakan
lebih sederhana, aman, dan tidak memerlukan anastesi umum serta akurasi
pemeriksaan yang mencapai 100%.1 Akan tetapi, menurut sebuah penelitian
dikatakan bahwa akurasi diagnostic biopsi isap rektum bergantung pada specimen,
tempat specimen diambil, jumlah potongan seri yang diperiksa dan keahlian dari
spesialis patologis anatomi. Apabila semua kriteria tersebut dipenuhi akurasi
pemeriksaan dapat mencapai yaitu 99,7%.9 Untuk pengambilan sampel biasanya
diambil 2 cm diatas linea dentate.
Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan sel ganglion Meisner dan
ditemukan penebalan serabut saraf. Apabila hasil biopsy isap meragukan, barulah
dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach.1
4. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari megacolon kongenital didasarkan pada beberapa
penyakit yang mempunyai gejala obstruksi letak rendah yang mirip megacolon
kongenital. Pada neonatal gejala yang mirip dengan megacolon kongenital dapat
berupa meconium plug syndrome, stenosis anus, prematuritas, enterokolitis
nekrotikans, dan fisura ani. Sedangkan pada anak-anak yang lebih besar diagnosis
bandingnya dapat berupa konstipasi oleh karena beberapa sebab, stenosis anus, tumor
anorektum, dan fisura anus.5,6
5. Penanganan
a. Tindakan Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah serta komplikasi-
komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita
sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah
diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya
overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah
terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah
pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik,
lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi.1
b. Tindakan Bedah.
Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen
dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion
normal bagian distal. Tindakan dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi
usus dan mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab
utama terjadinya kematian pada penderita penyakit Hirschsprung. Manfaat
lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan
tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita
Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan
anastomose.3,5
Tindakan Bedah Definitif
i. Prosedur Swenson
Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi penyakit
Hirschsprung dengan metode “pull-through”. Tehnik ini diperkenalkan
pertama kali oleh Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang
aganglionik direseksi dan puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis
mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung diluar rongga
peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai
akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal
ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior. Prosedur ini
disebut prosedur Swenson I.1, 9
Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson II dimana
setelah dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik, puntung
rektum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian
posterior kemudian langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung.
Ternyata prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani
dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis pasca bedah dan bahkan
pada prosedur Swenson II kebocoran anastomosis lebih tinggi dibanding
dengan prosedur Swenson I. 1,9
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen,
melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga
dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum,
kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke
dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik
terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian
kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan
pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian
anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan
anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos
tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-
muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum
pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum
abdomen ditutup.1,5
ii. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi
kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur
ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui
bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior
rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang
ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to
side.3
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya
sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam
puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu
dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya :
- Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah
klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah
inkontinensia
- Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian stapler
untuk melakukan anastomose side to side yang panjang
- Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan
anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian
- Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal
dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak
langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong
kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas
5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititikberatkan pada
fungsi hemostasis.1
Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun
1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun
oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif
Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum
yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik
masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut.3
Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada
level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis
yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting
melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.3
Prosedur Open Hartmann
Sigmoidectomy merupakan prosedur reseksi kolon sigmoid, terkadang
termasuk mereseksi seluruh rektum dan dinamakan proctosigmoidectomy.
Prosedur sigmoidectomy yang diikuti oleh colostomy terminal dan rectal
stump dinamakan prosedur Open Hartmann. Pada awalnya prosedur ini
digunakan sebagai tindakan operatif pada kasus adenocarcinoma kolon,
walaupun begitu indikasi prosedur ini makin bermacam-macam.3
6. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis
dan gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi
terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi umum
penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman
dokter bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik serta perawatan pasaca bedah.
a. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan
yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada
kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma
colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak
hati-hati. Kartono mendapatkan angka kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan
menggunakan prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan dengan prosedur
Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu kasuspun mengalami
kebocoran.1
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam.
Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh,
terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat dapat terjadi demam
tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila
dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen
proksimal. 1,3,4
b. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan
terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis
sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis
posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis
memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit,
distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat
dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga
sfinkterektomi posterior.3,4
c. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat
berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat
enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5%
masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan
angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk
prosedur Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita
dengan tanda-tanda enterokolitis adalah :
Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit
Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi
Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari
Pemberian antibiotika yang tepat.
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab/prosedur operasi
yang telah dikerjakan. Businasi pada stenosis, sfingterotomi posterior untuk
spasme spingter ani dapat juga dilakukan reseksi ulang stenosis. Prosedur
Swenson biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga perlu
spinkterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi,
penyebab enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang tidak sempurna
sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih panjang.1,3
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada
pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan penyebab
kecacatan dan kematian pada megakolon kongenital, mekanisme timbulnya
enterokolitis menurut Swenson adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus
pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon
aganlionik yang tersisa masih spastik. Manifestasi klinis enterokolitis berupa
distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses
keluar eksplosif cair dan berbau busuk. Enetrokolitis nekrotikan merupakan
komplikasi paling parah dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang
sulit pada megakolon kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca
pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan
enterokolitis berulang pasca bedah.1
d. Gangguan Fungsi Sfinkter
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima
universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau kecipirit
merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai fungsi
anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis hal tersebut tidaklah sama.
Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat
dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai
kecipirit, umur dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan (Heikkinen
dkk,1997; Lister,1996; Heij dkk,1995). Swenson memperoleh angka 13,3%
terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus justru lebih rendah yakni 3,2% dengan
prosedur yang sama. Kartono mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson
dan 0% untuk prosedur Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga
memberikan angka 0%.Pembedahan dikatakan berhasil bila penderita dapat
defekasi teratur dan kontinen.1
7. Prognosis
Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi, 90%
pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami
penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan
saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian
akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20% .1
DAFTAR PUSTAKA
1. Kartono Darmawan. Penyakit Hirschsprung. Sagung Seto. Jakarta. 2004.
2. Pasumarthy L and Srour JW. Hirschsprung’s Disease:A Case To Remember. Practical
Gastroenterology. 2008:42-45.
3. Nurko SMD. Hirschsprung Disease. Center for Motility and Functional
Gastrointestinal Disorders.2007
4. Kessman JMD. Hirschsprung Disease: Diagnosis and Management. American Family
Physician. 2006;74:1319-1322.
5. Izadi M, Mansour MF, Jafarshad R, Joukar F, Bagherzadeh AH, Tareh F. Clinical
Manifestations of Hirschsprung’s Disease: A Six Year Course Review of Admitted
Patients in Gilan, Northern Iran. Middle East Journal of Digestive Diseases.
2009;1:68-73.
6. Theodore Z, Polley JR, Coran GA. Hirschsprung's Disease In The Newborn. Pediatric
Surgery International. 1986:80-83.
7. Baucke VL, Pringle KC, Ekwo EE. Anorectal Manometry for Exclusion of
Hirschsprung’s Disease in Neonates. Jurnal Of Pediatric Gastroentrology and
Nutrition. 1985;4:596-603.
8. Gerson KE. Hirschsprung’s Disease in: Ashcraft Pediatric Surgery 5 th edition.
Philadelphia. W.B. Saunders Company;2009:p456-475
9. Rahman Z, Hannan J, Islam S. Hirschsprung's Disease: Role of Rectal Suction
Biopsy-Data on 216 Specimens. Journal of Indian Association Pediatric Surgery.
2010;15:56-58.
10. Puri P. Hirschsprung’s Disease and Variants in: Pediatric Surgery. London. Spinger;
2009:page 453-462.
11. A. John. M Adam. Klasifikasi dan Kriteria diagnosis Penyakit Hirschsprung,
Avalaible : http://emedicine.medscape.com/article/409150- media. Acces : 4 Juli 2009
12. A. John. M Adam. Klasifikasi dan Kriteria diagnosis Penyakit Hirschsprung,
Avalaible : http://emedicine.medscape.com/article/409150- media. Acces : 4 Juli 2009